Pedang Hati Suci / Soh Sim Kiam: 06-11


Jilid 6

Tik Hun kaget demi mendengar Cui Sing berteriak-teriak memanggil ayahnya. Pikirnya: “Hiat-to Loco sedang bertempur dengan bhiksu tua itu, melihat gelagatnya susah untuk terjadi kalah menang dalam waktu singkat. Dan bila ayahnya mendengar suaranya serta memburu kemari, bukankah aku akan dibunuh olehnya?”

Maka cepat ia mencegah teriakan Cui Sing: “Hei, jangan engkau berteriak-teriak, bila salju menjadi longsor lagi, jiwa kita pasti akan melayang bersama?”

“Aku justeru ingin mati bersama Hwesio jahanam seperti kau ini,” damperat Cui Sing dengan gemas. Dan kembali ia berteriak-teriak: “Ayah, ayah! Aku berada disini!”

“Tutup mulutmu!” bentak Tik Hun. “Jika salju longsor lagi, bukankah jiwa kita melayang, bahkan ayahmu juga akan mampus. Apakah kau hendak membunuh ayahmu? Kau benar-benar puteri jahat yang Put-hau (tak berbakti).”

Rupanya cercaan Tik Hun itu kena dihati sigadis, sebab Cui Sing lantas berpikir: “Ya, betul juga. Bila ayahpun sampai berkorban, aku yang berdosa.” Tapi segera terpikir pula olehnya: “Ah, betapa hebat kepandaian ayah? Salju longsor tadi telah menakutkan orang lain hingga lari terbirit-birit, sebaliknya Lau-pepek toh mampu melintasi lautan salju setinggi itu, dan kalau Lu-pepek dapat kemari, dengan sendirinya ayahpun dapat. Andaikan teriakanku akan membikin salju longsor lagi, paling-paling juga aku yang akan teruruk mati, ayah pasti takkan berhalangan apa-apa. Bhiksu tua itu terlalu lihay, bila Lau-pepek terbunuh olehnya, pasti yang paling celaka adalah diriku karena tercengkeram ditangan kedua bhiksu jahat ini.”

Berpikir begitu, maka kembali ia berteriak-teriak lagi: “Ajah, ayah! Aku berada disini, lekas datang menolong aku!”

Semula ketika gadis itu sudah diam, Tik Hun mengira ia takkan bersuara lagi. Siapa duga mendadak ia berteriak pula, bahkan semakin keras, seketika Tik Hun menjadi tidak tahu cara bagaimana harus menyetopnya. Waktu menengadah, ia lihat Hiat-to Loco masih menempur bhiksu tua itu dengan sengit. Golok merah yang diputar dengan cepat itu berwujud selingkar sinar merah yang bertebaran diatas salju yang memutih perak. Gerak-gerik bhiksu tua Lau Seng-hong itu tampaknya tidak terlalu cepat, tapi penjagaannya rapat sekali, meski Hiat-to Loco tampaknya takkan kalah, tapi untuk menang juga susah terjadi dalam waktu singkat.

Dalam pada itu didengarnya Cui Sing masih terus berteriak-teriak pada sang ayah, kemudian tiba-tiba berganti memanggil: “Piauko, Piauko! Lekas kemari!”

Lama-kelamaan Tik Hun menjadi sebal dibuatnya, bentaknya pula: “Budak bawel, lekas tutup mulutmu bila engkau tidak ingin kupotong lidahmu!”

“Aku justeru ingin berteriak, aku justeru akan berteriak!” demikian sahut Cui Sing. Dan kembali ia berteriak lebih keras: “Ayah, ayah! Aku berada disini!”

Karena kuatir Tik Hun benar-benar mendekatinya, maka ia lantas bangkit sambil memegang sepotong batu. Selang sejenak, ia lihat Tik Hun masih menggeletak ditanah tanpa berkutik, mendadak teringat olehnya: “Ya, Hwesio jahat ini telah patah kakinya, kalau tiada ditolong oleh bhiksu tua itu, sudah lama ia dibunuh oleh Piauko. Gerak-geriknya terang tidak leluasa, mengapa aku takut padanya?” Demi dapat membedakan kedudukan masing-masing, segera Cui Sing membatin pula: “Hwesio tua itu terang takkan datang kesini, kenapa aku tidak lantas membunuh Hwesio muda ini sekarang juga?” Dengan mata mendelik segera ia angkat batu yang dipegang itu dan mendekati Tik Hun terus saja ia keprukan batu itu keatas kepala pemuda itu.

Sudah sejak tadi Tik Hun mengikuti gerak-gerik Cui Sing, ketika tiba-tiba dilihat sikap sigadis menjadi beringas, diam-diam ia sudah mengeluh. Maka ketika gadis itu mendekati dirinya, segera ia tahu gelagat tidak menguntungkan. Dan ketika batu itu menimpa keatas kepalanya, terpaksa ia berguling kesaping. “Bluk”, batu itu menghantam ditanah salju, selisih dari mukanya cuma beberapa senti saja.

Sekali menimpuk tidak kena, kembali Cui Sing jemput batu yang lain dan menyambit pula, sekali ini mengarah keperut Tik Hun.

Terpaksa Tik Hun mengkerut tubuh dan berguling pula. Tapi karena tulang kaki patah, gerak-gerik tidak leluasa, akhirnya tulang betis kena tertimpuk pula oleh batu itu, “krak”, kembali tulang betis pecah tertimpuk batu, saking kesakitan sampai Tik Hun menjerit.

Sudah tentu Cui Sing sangat girang, lagi-lagi ia angkat sepotong batu hendak menimpuk pula.

Tik Hun insaf dirinya sudah merupakan makanan empuk bagi orang, kalau beruntun-runtun kena ditimpuk beberapa kali lagi, pasti tamatlah riwajatnya. Dalam kehilangan akalnya, mendadak iapun sambar sepotong batu dan balas menggertak: “Budak setan, kau berani menimpuk batu pula, biar kukepruk mampus kau dahulu!”

Meski kaki Tik Hun patah, tapi tenaga tangannya masih kuat, ketika Cui Sing benar-benar menimpuknya lagi, dengan kelabakan ia mengegos lagi sambil berguling, lalu kontan balas menyambitkan batu yang disambarnya tadi.

Lekas-lekas Cui Sing melompat kesaping, tapi batu itupun menyerempet lewat disisi telinga membuatnya kaget. Ia tidak berani main timpuk batu lagi, tapi segera ia jemput sebatang ranting kaju, dengan gerakan “Sun-cui-tui-ciu” (mendorong perahu menurut arus) ia terus tusuk pundak Tik Hun.

Ilmu pedang keturunan keluarga Cui memang sangat hebat, meski senjata yang digunakan hanya sebatang kaju, tapi cara menusuknya sangat cepat, sekalipun Tik Hun dalam keadaan sehat walafiat juga bukan tandingannya, apalagi sekarang. Maka begitu tusukan itu tiba, sedapat mungkin ia miringkan pundak untuk menghindar. Namun mendadak Cui Sing ganti tipu serangan, dengan “Oh-liong-tam-jiau” (naga hitam menjulur cakar), “plok”, dengan tepat ujung kayu kena “cakar” dikening Tik Hun.

Pabila senjata yang dipakai Cui Sing adalah pedang benar-benar, maka jiwa Tik Hun pasti sudah melayang. Namun demikian, biarpun cuma sebatang kayu saja toh juga sudah membikin Tik Hun kesakitan setengah mati hingga mata berkunang-kunang.

“Sepanjang jalan kau Hwesio jahanam ini telah menyiksa nonamu, kini dapatkah kau menyiksa aku lagi? Katanya kau hendak memotong lidahku, hayolah, mengapa tidak coba-coba potong?” demikian damperat Cui Sing.

Habis itu, kembali ia angkat ranting kayu itu menghantam dan menyabat keatas kepala, pundak dan pinggang Tik Hun, setiap kali kena dihajar, kontan tubuh Tik Hun bertambah babak belur,

“Hayolah, mengapa kau tidak minta tolong Cosuyamu? Hm, biarlah kuhajar mampus dulu kau Hwesio jahat ini!” begitulah sambil memaki Cui Sing terus menghujani Tik Hun dengan hajaran ranting kayu itu.

Karena tak dapat melawan, terpaksa Tik Hun hanya tutupi kepala dan mukanya dengan kedua tangan. Namun begitu tangan dan lengannya menjadi ikut babak-belur juga hingga darah berceceran. Saking sakitnya Tik Hun menjadi nekat. Mendadak ia pegang ranting kayu orang waktu Cui Sing menyabatnya lagi, lalu dibetot sekuat-kuatnya. Kalau Cui Sing tidak lepas tangan, bukan mustahil ia akan dipeluk oleh Tik Hun. Terpaksa ia lepas tangan, dan mendadak Tik Hun lantas balas menyabatkan ranting kayu itu.

Cui Sing terkejut dan cepat-cepat melompat mundur. Kemudian ia jemput sebatang kayu yang lain dan maju pula hendak melabrak Tik Hun.

Dalam bahaya mendadak timbul suatu akal Tik Hun, tiba-tiba teringat suatu akal bajingan olehnya, ia berteriak: “Jangan maju lagi! Selangkah kau berani maju, segera aku membuka celana! Dan sambil berteriak, kedua tangannya lantas meraba-raba pinggang dengan lagak hendak membuka celana.

Keruan Cui Sing kaget, lekas-lekas ia berpaling kearah lain dengan muka merah jengah. Pikirnya: “Segala kejahatan juga dapat dilakukan Hwesio jahat ini, bukan mustahil dia akan menggunakan kelakuan rendah ini untuk menghina diriku.”

“Hayolah, lekas kau melangkah kesana, lebih jauh lebih baik!” segera Tik Hun berteriak-teriak pula.

Hati Cui Sing berdebaran, ia tidak berani membangkang, benar-benar ia melangkah maju kesana.

Tik Hun sangat girang karena akal bajingannya berhasil menakutkan sigadis. Segera ia menggembor lagi: “Nah, sudahlah, aku sudah copot celanaku sekarang, jika kau masih ingin menghajar aku, silakan datang kemari!”

Keruan Cui Sing bertambah kaget.

Masakan pantas seorang gadis disuruh hajar orang telanjang. Tanpa pikir lagi ia terus melompat kesana, jangankan mendekat, sekalipun menoleh juga tidak berani. Ia menyingkir jauh-jauh kebalik gundukan salju sana.

Padahal Tik Hun sebenarnya tidak melepas celana segala. Apa yang dikatakan itu hanya untuk menggertak saja. Pikir punya pikir ia menjadi geli sendiri dan gegetun pula akan nasibnya yang apes. Hajaran yang kenyang dirasakan tadi paling sedikit ada 50 kali banyaknya dan antero badannya hampir-hampir rata penuh babak-belur, tulang betis yang pecah ditimpuk batu itu, lebih-lebih kesakitan pula. Pikirnya: “Coba kalau aku tidak gunakan akal bajingan, mungkin saat ini riwajatku sudah tamat. Ha, aku Tik Hun adalah seorang laki-laki sejati, tapi sekarang telah berlaku serendah dan sekotor ini, biarpun jiwaku ini selamat, cara bagaimana aku harus berhadapan dengan orang kelak?”

Waktu ia memperhatikan suasana ditebing karang sana, ia lihat pertarungan Hiat-to Loco dan Lau Seng-hong masih berlangsung dengan sengit.

Puncak karang yang dipakai gelanggang pertarungan itu menonyol keluar dari sebuah dinding tebing yang terjal. Tingginya dari tanah paling sedikit ada ratusan meter tingginya. Diatas karang yang luasnya cuma beberapa meter itu penuh tertimbun salju, asal salah seorang terpeleset sedikit saja hingga tergelincir jatuh kebawah, biarpun setinggi langit ilmu silatnya juga akan terbanting hancur lebur.

Dipandang dari bawah, Tik Hun merasa perawakan kedua orang itupun banyak lebih kecil daripada tubuh mereka yang sebenarnya. Lengan baju kedua orang itu tampak berkibaran hingga mirip dua dewa sedang melayang-layang ditengah awang-awang, sungguh indah pemandangan itu. Meski Tik Hun tidak terlalu jelas menyaksikan jalannya pertarungan mereka, tapi dapat diduga setiap jurusnya pasti menyangkut mati atau hidup masing-masing.

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Cui Sing berteriak-teriak pula dibalik gundukan salju sana: “Ayah, ayah! Lekas kemari!”

Setelah berteriak beberapa kali, mendadak dari arah timur-laut ada suara seorang tua menjawabnya: “Apakah Cui-titli disitu? ayahmu mengalami sedikit cidera, sebentar lagipun akan menyusul tiba!”

Dari suara itu Cui Sing dapat mengenali orang itu adalah Hoa Tiat-kan, yaitu tokoh kedua daripada empat kakek “Lok-hoa-liu-cui”. Dengan girang segera ia berseru menanya: “Apakah Hoa-pepek disitu? Dimanakah ayah? Bagaimana lukanya?”

“Wah, celaka, sekali ini benar-benar celaka!” demikian diam-diam Tik Hun mengeluh. “Dia kedatangan bala bantuan, tamatlah riwajatku tentu!”

Dan hanya sekejap saja sikakek she Hoa itu sudah berlari sampai ditempat Cui Sing, terdengar katanya: “Tadi mendadak sepotong batu yang jatuh dari atas pncak gunung telah menindih keatas kepala Liok-pepek, karena ayahmu hendak menyelamatkan Liok-pepek, ia telah hantam batu itu. Tapi karena batu itu terlalu besar dan berat, maka tangan ayahmu mengalami sedikit cidera, tapi tiada berhalangan apa-apa.”

“Eh, Hoa-pepek, ada seorang Hwesio jahat disana, lekas …….lekas Hoa-pepek pergi kesana dan membunuhnya, tapi dia …..dia telah buka……” begitulah Cui Sing menjadi malu untuk menyelaskan Tik Hun telah membuka celananya.

“Baiklah, akan kubunuh dia, dimana tempatnya?” terdengar Hoa Tiat-kan menyahut.

Cui Sing lantas menunjukkan tempat beradanya Tik Hun, tapi kuatir kalau mendadak melihat pemuda itu dalam keadaan telanjang, sambil jarinya menuding kebelakang, kakinya berbalik melangkah kesana.

Dan selagi Hoa Tiat-kan mendekati Tik Hun untuk membunuhnya, tiba-tiba terdengar suara nyaring “tring-ting-ting-ting” empat kali, suara nyaring beradunya senjata dari atas tebing curam itu. Waktu ia menengadah, ia melihat golok dan pedang Hiat-to Loco dan Lau Seng-hong saling bertahan menjadi satu, kedua orang sedikitpun tidak bergerak seolah-olah sudah mati beku oleh dinginnya salju.

Kiranya ilmu golok dan ilmu pedang kedua orang itu ada keunggulannya sendiri-sendiri, saking seru pertempuran itu, sampai akhirnya terpaksa kedua orang mesti mengadu Iwekang dengan mati-matian.

Sudah tentu Hoa Tiat-kan tahu cara mengadu Iwekang begitu adalah cara yang paling bahaya. Sekali sudah terjadi kalah dan menang, yang kalah tentu akan terluka parah bila tidak mati.

Tiba-tiba tergerak pikirannya: “Hiat-to Ok-ceng itu sedemikian tangkas dan ganasnya, belum tentu Lau-hiante dapat menyatuhkan dia. Dalam keadaan demikian bila aku tidak lantas mengeroyoknya, mau menunggu kapan lagi?”

Meski kedudukan dan nama baiknya di Bu-lim sangat tinggi, sebenarnya ia tidak sudi mendapat nama jelek karena main keroyok. Tapi kejadian para kesatria Tionggoan menguber dua bhiksu Hiat-to-bun itu sudah menggemparkan antero dunia persilatan, jikalau sekarang ia dapat membunuh Hiat-to-ceng itu dengan tangan sendiri, nama harumnya tentu cukup untuk menutupi nama jeleknya karena telah main keroyok.

Karena pikiran itu, mendadak ia putar tubuh dan berlari kebalik tebing curam itu. Dengan demikian selamatlah jiwa Tik Hun.

Sebaliknya Cui Sing menjadi heran dan kuatir. “Hai, Hoa-pepek, apa yang hendak kau lakukan?” serunya. Dan begitu tercetus pertanyaannya itu, segera iapun tahu sendiri akan jawabannya.

Ia lihat secara diam-diam Hoa Tiat-kan sedang merajap keatas tebing yang terjal itu. Tangan jago she Hoa itu memegang sebatang tumbak pendek dari baja murni, sekali ujung tumbak digunakan menutul didinding karang, segera tubuhnya melompat keatas dua-tiga meter tingginya. Waktu tubuh menurun, tumbak pendek itu lantas menutul dinding karang lagi untuk menahan, lalu mencelat naik keatas lagi. Cara manyatnya itu jauh lebih cepat daripada Hiat-to-ceng dan Lau Seng-hong tadi.

Dipihak lain demi mendengar tindakan orang sudah makin menjauh, dirinya tidak jadi akan dibunuhnya, maka legalah hati Tik Hun.

Tapi rasa lega itu hanya terjadi sekejap saja, sebab lantas dilihatnya juga Hoa Tiat-kan sedang melompat dan merayap keatas karang yang terjal itu. Sudah tentu ia menjadi kuatir. Harapan satu-satunya baginya sekarang ialah semoga sebelum Hoa Tiat-kan mencapai puncak karang itu, lebih dulu dapatlah Hiat-to-ceng membunuh Lau Seng-hong, habis itu dapat segera bertempur melawan Hoa Tiat-kan. Kalau tidak, bila nanti dikeroyok oleh Hoa Tiat-kan berdua, pasti bhiksu tua itu akan dirobohkan.

Tapi kemudian lantas terpikir pula olehnya: “Lau Seng-hong dan Hoa Tiat-kan itu adalah kesatria yang berbudi luhur, sedangkan Hiat-to-ceng itu sudah terang gamblang adalah seorang yang maha jahat, namun aku malah mengharapkan orang jahat membunuh orang baik. Ai, Tik Hun, wahai, Tik Hun, ternyata sudah sedemikian bejatnya moralmu! Begitulah disaping kuatir bagi keselamatan sendiri, ia mencela pula dirinya sendiri, perasaannya menjadi kusut sekali. Dan pada saat itulah dilihatnya Hoa Tiat-kan sudah melompat naik keatas karang itu.

Tatkala itu Hiat-to-ceng sedang mengadu tenaga dalam dengan mati-matian kepada Lau Seng-hong, secara bergelombang-gelombang tenaga dalamnya sedang dikerahkan bagaikan ombak yang mendampar-dampar hebatnya. Sebaliknya Lau Seng-hong adalah tokoh terkemuka dari Thay-kek-bun, selama hidupnya yang dilatih ialah cara menggunakan kelunakan untuk melawan kekerasan. Maka walaupun tenaga dalam Hiat-to-ceng terus membanjir, namun dengan tenang iapun gunakan tenaga dalamnya yang lunak itu untuk mematahkan setiap desakan lawan. Lebih dulu ia bertahan, habis itu akan terus balas menyerang bila musuh sudah lelah.

Dengan demikian, biarpun tenaga dalam Hiat-to Loco sangat kuat, titik serangannya yang diarah juga berubah-ubah, namun sesudah saling ngotot sekian lamanya, tetap ia tak dapat mengapa-apakan Lau Seng-hong. Dengan memusatkan semangat dalam mengadu Iwekang itu, kedua orang itu sudah melupakan apa yang terjadi disekitarnya. Maklum, kalah-menang dalam keadaan demikian tergantung sedetik saja, siapa lengah sedikit, seketika akan memberi kesempatan kepada lawan untuk melancarkan tenaga dalamnya lebih kuat.

Waktu Hoa Tiat-kan melompat keatas karang itu, kedua orang itu tiada satupun yang tahu. Ia lihat Hiat-to-ceng dan Lau Seng-hong masih senjata mengadu senjata dan tangan mendempel tangan, diatas kepala mereka mengepulkan hawa, pertanda tenaga dalam mereka sudah penuh dikerahkan. Diam-diam Hoa Tiat-kan memuji juga ketangkasan kedua orang itu.

Dengan diam-diam ia menggermet kebelakang Hiat-to Loco, ia angkat tombak bajanya yang pendek itu, ia himpun segenap tenaga kelengan yang memegang senjata itu, sekali sinar tumbak berkelebat, dengan cepat dan keras ia terus menusuk kepunggung Hiat-to Loco.

Pada waktu Hoa Tiat-kan mulai mengangkat tumbaknya tadi, sinar tumbak yang kemilauan telah menimbulkan cahaya repleksi pada tanah salju yang putih bersih itu hingga menyilaukan Tik Hun. Ia terkejut dan cepat berteriak sepenuh tenaganya: “Awas, dibelakang ada orang!”

Mendengar jeritan yang mengguncangkan kalbu itu, mendadak Hiat-to Loco tersadar, tiba-tiba ia merasa serangkum angin tajam telah menyambar dari belakang. Padahal saat itu ia sedang mengadu tenaga dalam dengan Lau Seng-hong, untuk berkelit atau mengganti tempat terang sangat sulit, jangankan hendak menarik senjata untuk menangkis serangan dari belakang itu.

Tapi bhiksu tua itu dapat berpikir cepat: “Daripada mati konyol, lebih baik aku mati terbanting saja. Aku tidak boleh mati ditangan musuh!”

Karena pikiran itu, mendadak ia mendakan tubuh dan melesat kesaping, ia sengaja terjun kebawah jurang.

Dalam pada itu tusukan tumbak Hoa Tiat-kan itu sudah bertekad harus membinasakan Hiat-to-ceng itu. Maka tusukan itu luar biasa kerasnya dan tak tertahankan lagi. Siapa tahu mendadak ada perubahan yang tak terduga oleh siapapun juga. Pada detik menentukan itu mendadak Hiat-to-ceng terjun kebawah jurang. Maka terdengarlah “crat” sekali, ujung tumbak menancap ditubuh kawan sendiri, yaitu diatas dada Lau Seng-hong. Begitu kuat tusukan itu hingga ujung tumbak menembus dari dada kepunggung. Sudah tentu kejadian itupun sekali-sekali tidak tersangka oleh Lau Seng-hong hingga iapun tidak sempat menghindar.

Dalam pada itu Hiat-to Loco yang menerjun kedalam jurang itu semakin dekat dengan tanah. Sekonyong-konyong ia menggertak sekali sambil ayun goloknya membacok kebawah. Dasar jiwanya mungkin belum ditakdirkan mampus, bacokan itu tepat mengenai batu karang yang menonyol hingga lelatu api bercipratan dan daya turunnya menjadi tertahan sedikit. Menyusul sebelah tangannya terus memukul pula kebawah, “brak”, salju bertebaran kena tenaga pukulannya itu, sejenak kemudian Hiat-to Loco dapat pula menancapkan kakinya ketanah dengan enteng dan tak kurang sesuatu apapun.

“Ehm, cucu murid yang baik, untunglah engkau telah menjerit hingga jiwa kakek gurumu ini tertolong!” demikian ia mengangguk kepada Tik Hun sebagai tanda pujian.

“Rasakan golokku!” tiba-tiba seorang membentak dibelakangnya.

Dengan ilmu “Thing-hong-pian-gi” atau mendengarkan suara membedakan arah senjata, dengan cepat dan tanpa balik tubuh bhiksu itu terus putar golok kebelakang untuk menangkis. “Trang”, dua golok saling bentur dengan keras. Kontan Hiat-to Loco merasakan dadanya sesak, hampir-hampir golok terlepas dari cekalan. Keruan kejutnya tak terkatakan.

Waktu ia menoleh, ia lihat penyerang itu adalah seorang kakek yang bertubuh tegap kekar, berjenggot panjang dan sudah putih semua. Tangan memegang sebatang “Kui-thau-to”, yaitu golok tebal yang berujung dalam bentuk kepala setan. Sikapnya sangat gagah.

Hanya sekali gebrak itu saja, maka Hiat-to Loco menjadi jeri. Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa tenaga dalamnya sudah banyak terbuang ketika mengadu Iwekang dengan Lau Seng-hong tadi, ditambah lagi menerjun dari atas, ia mesti menggunakan tenaga pukulannya untuk menahan daya turunnya tubuh hingga tidak terbanting mati. Coba kalau orang lain, andaikata tidak terbanting mampus, paling sedikit juga akan tangan patah atau remuk isi perutnya dan terluka parah.

Ia coba menjalankan tenaga murninya, ia merasa didalam perut agak sakit, tenaga susah dikerahkan.

“Liok-toako, bhiksu cabul itu telah membunuh Lau-hiante, kalau kita tidak mencingcang dia hingga menjadi baso, sungguh tak terlampias dendam kita,” demikian tiba-tiba seorang berseru dari sisi kiri sana.

Pembicara itu bukan lain daripada Hoa Tiat-kan. Sesudah dia salah membunuh kawan sendiri, yaitu bhiksu tua Lau Seng-hong, sudah tentu ia sangat berduka dan murka pula kepada musuh yang licik itu. Secepat terbang iapun memburu kebawah jurang dengan maksud hendak mengadu jiwa dengan Hiat-to Loco. Kebetulan saat itu Liok Thian-ju, yaitu sikakek pertama dari “Lam-su-lo”, juga telah menyusul tiba. Maka kedudukan Hiat-to Loco kembali terjepit lagi dari dua jurusan.

Mau-tak-mau Hiat-to Loco menjadi kuatir juga. Ia insaf tenaga dalam sendiri sudah terkuras sebagian besar, melawan seorang Liok Thian-ju saja belum tentu menang, apalagi kini ditambah Hoa Tiat-kan yang tampak sudah mendekat dengan mata membara seakan-akan hendak menelannya mentah-mentah. Kalau sebentar sampai terlibat lagi dalam keroyokan mereka, pasti jiwanya akan melayang. Ia pikir tenaga dalam sendiri sudah lemas, untuk laripun tentu susah, jalan satu-satunya sekarang ialah menggunakan Cui Sing sebagai sandera agar musuh tidak berani terlalu mendesak padanya. Dan sesudah awak sendiri dapat mengaso barang sejam dua jam, tentu akan kuat untuk bertempur lagi.

Keputusan itu ditetapkannya dalam sekilas pikir saja, dalam pada itu dilihatnya golok tebal Liok Thian-ju sudah terangkat dan hendak membacok pula. Cepat Hiat-to Loco mendakan tubuh, beruntun-runtun ia menyerang tiga kali kebagian bawah musuh.

Perawakan Liok Thian-ju tinggi besar, terpaksa ia mesti mengajun goloknya untuk menangkis kebawah. Padahal serangan-serangan Hiat-to-ceng itu cuma pancingan belaka. Tapi juga bukan sembarangan serangan kosong, sebab kalau sedikit salah tangkisan Liok Thian-ju itu, pasti jiwanya akan segera melayang. Namun tangkisan-tangkisan itu ternyata sangat rapat hingga tiada lubang kesempatan bagi Hiat-to-ceng untuk menyerang lebih jauh.

Mendadak bhiksu tua itu mendesak maju selangkah, tapi baru setengah jalan, tahu-tahu ia menarik diri dan melompat kebelakang malah. Dengan cara “Seng-tang-kek-se” (bersuara ketimur, tapi menyerang kebarat), barulah Hiat-to-ceng dapat melepaskan diri dari kurungan sinar golok Liok Thian-ju yang lihay itu.

Dan sekali sudah melompat mundur, hanya beberapa kali naik turun saja ia sudah sampai disaping Tik Hun. Ketika Cui Sing tak kelihatan, segera ia menanya: “Dimanakah anak dara itu?”

“Disana!” sahut Tik Hun sambil menuding.

Keruan Hiat-to loco menjadi gusar. “Kenapa kau tak tawan dia dan membiarkan dia lari?” damperatnya dengan beringas.

“Aku……… aku tak kuat…….. tak kuat  menangkapnya,” sahut Tik Hun gelagapan.

Hiat-to Loco semakin murka, dasarnya memang seorang yang kejam, pada saat menentukan bagi mati-hidupnya itu ia menjadi lebih buas lagi. Sekali kakinya bergerak, terus saja ia tendang kepinggang Tik Hun. Pemuda itu menjerit tertahan dan badannya mencelat dan terguling kedepan.

Tempat dimana mereka berada itu memangnya jurang yang dikelilingi puncak-puncak gunung yang tinggi, siapa duga dibawah jurang masih ada jurang lagi. Dan karena tergulingnya Tik Hun itu, tubuhnya terus tergelincir kebawah jurang yang lebih dalam itu.

Ketika mendengar suara Tik Hun tadi, segera Cui Sing menoleh. Demi dilihatnya Tik Hun sedang terjerumus kebawah jurang, dalam kagetnya dilihatnya Hiat-to Loco lagi memburu kearahnya pula. Dan pada saat itu juga tiba-tiba dari saping kanan sana ada suara seruan orang: “Sing-ji! Sing-ji!”

Itulah suara ayahnya, Cui Tay. Keruan Cui Sing sangat girang, segera iapun balas berteriak: “Ayah!”

Sungguh sayang perbuatan Cui Sing ini. Padahal waktu itu jaraknya dengan sang ayah terlalu jauh, sebaliknya jaraknya dengan Hiat-to Loco lebih dekat, selisih jarak kedua pihak itu ada beberapa meter jauhnya. Pabila Cui Sing tidak berteriak misalnya, sekali melihat ayahnya muncul, segera ia berlari kearahnya, dengan demikian jaraknya dengan sang ayah akan menjadi lebih dekat daripada jaraknya dengan Hiat-to Loco. Tapi karena teriakannya itu, nasib hidupnya menjadi banyak perubahannya.

Begitulah saking girangnya ia berteriak ayah, seketika ia menjadi lupa Hiat-to Loco juga sedang memburu kearahnya.

Dalam pada itu lingkaran kepungan Cui Tay, Liok Thian-ju dan Hoa Tiat-kan dari tiga jurusan juga semakin sempit, tampaknya dalam waktu singkat Hiat-to Loco pasti akan tergencet. Tapi kalau lebih dulu Cui sing kena ditangkap oleh bhiksu tua itu, kedudukan masing-masing tentu akan berubah, dengan mempunyai sandera tawanannya itu, tentu si bhiksu akan dapat angin lagi.

Karena itu cepat Cui Tay lantas berteriak-teriak juga: “Sing-ji, lekas kemari, lekas!”

Maka tersadarlah Cui Sing, cepat ia berlari kedepan bagaikan orang keselurupan.

Diam-diam Hiat-to Loco gegetun, cepat ia sambar secomot salju, ia kepal menjadi sepotong batu salju terus disambitkan lebih dulu kearah Cui Tay, menyusul sepotong lagi ia timpuk “Leng-tay-hiat” dipunggung Cui Sing. Tanpa ampun lagi gadis itu roboh tak berkutik lagi. Sedangkan lari Hiat-to Loco tidak pernah berhenti, begitu mendekat, terus saja ia pegang gadis itu. Hampir berbareng dengan itu, terdengarlah suara angin menyambar dari saping, ujung tumbak Hoa Tiat-kan sudah menusuk tiba.

Jago she Hoa itu sudah terlalu gemas karena bhiksu tua itu telah mengakibatkan dia menusuk mati saudara angkat sendiri, yaitu Lau Seng-hong, maka ia menjadi kalap tanpa menghiraukan mati hidupnya Cui Sing yang tertawan musuh itu, tapi begitu tiba terus saja ia menusuk dengan tumbak.

Cepat Hiat-to-ceng menangkis, “trang”, tahu-tahu goloknya mendal kembali. Kiranya tumbak Hoa Tiat-kan itupun bukan sembarangan tumbak, tapi adalah buatan baja murni hingga tak terkutung oleh sembarangan golok atau pedang mestika.

Dengan memaki segera Hiat-to Loco melangkah mundur sambil menggondol Cui Sing. Tapi dari sana tampak Liok Thian-ju telah membacoknya juga dengan Kui-thau-to. Oleh karena terkepung, untuk mundur lagi tentu juga akan terjerumus kejurang.

Tetapi sekilas Hiat-to-ceng melihat Tik Hun yang didepaknya kedalam jurang tadi bukannya terbanting mampus, tapi pemuda itu sedang berduduk dibawah situ sambil menengadah menyaksikan pertarungan mereka. Tergerak pikiran Hiat-to-ceng: “Ternyata timbunan salju dibawah jurang itu sangat tebal, makanya bocah itu tidak terbanting mati.” Tanpa pikir lagi iapun menerjun kebawah sambil merangkul Cui Sing.

Ditengah jeritan Cui Sing yang ketakutan, kedua orang itu sudah terjerumus kebawah jurang. Tinggi jurang itu ada ratusan meter tapi timbunan salju ada berpuluh meter tebalnya. Salju yang bawah sudah membeku, tapi lapisan atas salju masih cerna dan empuk laksana kasur, maka kedua orang itu sedikitpun tidak terluka apa-apa.

Cepat Hiat-to Loco terus merangkak bangun dari gundukan salju, ia sudah pilih tempat yang baik dan berdiri diatas sebuah batu karang dimulut jurang itu sambil menghunus golok. Ia terbahak-bahak dan berseru: “Hayolah, kalau berani, turun kemarilah dan kita boleh bertempur lagi!”

Kebetulan batu karang itu sangat strategis tempatnya. Kalau Cui Tay dan lain-lain melompat turun, tubuh mereka pasti akan melayang lewat batu karang itu. Dalam keadaan begitu cukup Hiat-to-ceng ayun goloknya sekali dan kontan tubuh sipenerjun itu pasti akan terkutung menjadi dua.

Dengan susah payah Liok Thian-ju berempat akhirnya dapat menyusul Hiat-to Loco, tapi sesudah kecandak, seorang saudara angkat mereka menjadi korban, sekarang bhiksu jahat itu lolos lagi. Keruan mereka menjadi gemas dan geregetan. Lebih-lebih Cui Tay yang puterinya masih berada dibawah cengkeram tangan bhiksu iblis itu, sedang Hoa Tiat-kan juga salah membunuh saudara angkat sendiri, mereka berdua inilah paling pedih hatinya. Segera mereka bertiga bisik-bisik untuk berunding cara bagaimana harus membunuh musuh.

Liok Thian-ju itu berjuluk “Jin-gi Liok Toa-to” atau sigolok besar she Liok yang berbudi luhur. Sedangkan Hoa Tiat-kan bergelar “Cong-peng-bu-tik” atau sitombak baja tanpa tandingan, Tiong-peng-jiang adalah nama tumbaknya itu.

Cui Tay sendiri berjuluk “Leng-goat-kiam”, sipedang bulan purnama. Ditambah lagi bhiksu tua Lau Seng-hong, mereka disebut “Lok-hoa-liu-cui”. Apa yang disebut “Lok-hoa-liu-cui” sebenarnya adalah “Liok-hoa-lau-cui”, yaitu diambil dari suara she mereka.

Bicara tentang ilmu silat belum pasti Liok Thian-ju yang paling tinggi, namun pertama karena usianya paling tua, kedua, hubungannya dengan kawan Kangouw sangat luas, maka namanya adalah urutan pertama dalam “Lam su-lo” atau empat kakek dari selatan.

“Tolong! Tolong! Lepaskan aku, Hwesio jahanam!” demikian Cui Sing berteriak-teriak dengan ketakutan sebab mengira dirinya hendak dipaksa secara tidak senonoh oleh Tik Hun yang mengempitnya dan menyeretnya kedalam gua dengan mengesot.

Watak Liok Thian-ju paling keras, dia paling benci kepada perbuatan rendah dan memalukan, apalagi mengenai perbuatan melanggar kehormatan kaum wanita segala. Kini melihat tingkah pola Hiat-to Loco yang mentang-mentang diatas batu karang seakan-akan dunia ini aku punya, sedangkan tubuh Cui Sing lemas lunglai menyandar badan Tik Hun. Ia tidak tahu bahwa Hiat-to gadis itu telah tertutuk dan takbisa berkutik, sebaliknya ia sangka jiwa Cui Sing itupun rendah, tak kuat mempertahankan imannya, berada dibawah cengkeraman Bhiksu-bhiksu cabul itu ternyata tidak melawan sedikitpun. Saking gemasnya ia terus jemput beberapa potong batu dan ditimpukan kebawah.

Dasar tenaganya memang besar, dari atas menimpuk kebawah pula, keruan hujan batu itu sangat hebat. Maka terdengarlah suara gemuruh disana-sini, lembah pegunungan sekeliling situpun menggemakan suara kumandang yang memekak telinga.

Dibawah hujan batu dengan salju berhamburan, cepat Hiat-to Loco mendakan tubuh dan menyeret Tik Hun dan Cui Sing bersembunyi kebalik sebuah batu karang yang besar. Sementara ini ia sudah lolos dari bahaya, rasa gusarnya kepada Tik Hun tadi menjadi reda juga, maka ia tidak ingin “cucu murid” itu mati tertimpuk batu.

Habis itu, ia sendiri kembali meloncat keatas batu karang, ia tuding Liok Thian-ju bertiga dan mencaci-maki. Bila ditimpuk dengan batu, ia lantas berkelit atau menyampok dengan goloknya.

Dalam pada itu Tik Hun dan Cui Sing yang diseret Hiat-to Loco dan disembunyikan dibalik batu karang itu, setelah rasa takut mereka agak tenang, ketika mereka melihat sekitar situ, ternyata dinding dibelakang batu karang itu mendekuk masuk kedalam hingga berwujud sebuah gua yang besar. Karena tertahan oleh batu karang itu, maka salju yang tertimbun didalam gua itu sangat tipis hingga merupakan sebuah tempat meneduh yang sangat bagus.

Oleh karena dari atas masih dihujani batu oleh Liok Thian-ju, Tik Hun kuatir ada batu nyasar hingga melukai Cui Sing, segera ia rangkul sigadis dan menyeretnya lebih jauh kedalam gua.

Keruan Cui Sing ketakutan, ia menjerit-jerit: “Jangan sentuh aku, lepaskan aku!”

“Ha-hahaha!” Hiat-to Loco terbahak-bahak. “Cucu murid yang baik. Cosuya sendiri lagi mati-matian menghadapi musuh diluar sini, kau sendiri malah mendahului senang-senang didalam situ! Hahaha, kurang-ajar!”

Sungguh dada Cui Tay bertiga hampir-hampir meledak saking gusarnya mendengar ocehan itu.

Sebaliknya Cui Sing juga menyangka Tik Hun hendak berbuat tidak senonoh secara paksa padanya, keruan ia bertambah takut. Tapi demi kemudian melihat pakaian “Hwesio” itu dalam keadaan rajin, meski bukan pakaian baru, tapi terpakai dengan betul ditubuhnya, barulah sekarang ia tahu orang mengancam hendak melepas celana tadi sebenarnya cuma untuk menipu saja.

Mukanya menjadi merah teringat kejadian tadi, segera ia mendamperat: “Hwesio jahat penipu, hayo, lekas menyingkir kesana!”

Memangnya Tik Hun tiada punya maksud jahat, sebaliknya bermaksud baik menyelamatkan gadis itu, maka segera ia berjalan menyingkir. Dalam keadaan tulang paha patah dan tulang betis pecah, hakikatnya takbisa dikatakan “berjalan” lagi, paling-paling hanya dapat disebut “mengesot”.

Begitulah kedua pihak saling bertahan dengan ngotot, tiga diatas dan satu dibawah, tanpa terasa fajar sudah menyingsing, hari sudah terang tanah. Pelahan-lahan tenaga Hiat-to Loco juga sudah pulih kembali. Sedangkan hatinya tiada hentinya merancang rencana: “Cara bagaimana aku harus menghadapi mereka? Cara bagaimana supaya aku dapat menyelamatkan diri?”

Padahal ketiga lawan didepan mata itu ilmu silat setiap orangnya adalah sepadan dengan dia, jangankan hendak menangkan mereka, untuk lolos dari kejaran merekapun maha sulit. Bahkan asal dirinya meninggalkan batu karang itu hingga kehilangan tempat penjagaan yang menguntungkan, seketika juga musuh pasti akan memburu turun dan akan dikerubut lagi.

Oleh karena tiada jalan lain, terpaksa ia terus menunggui batu karang itu. Tapi ia sengaja berjingkrak-jingkrak dan menari-nari dengan macam-macam lagak dan aksi yang di-buat-buat untuk menggoda dan mengejek musuh sekadar untuk menghibur diri pula.

Melihat tingkah-pola musuh yang memualkan itu, semakin ditonton semakin menggemaskan, tiba-tiba Liok Thian-ju mendapat satu akal. Bisiknya segera kepada Cui Tay: “Cui-hiante, coba engkau berjalan kearah timur pura-pura hendak merosot kebawah. Dan Hoa-hiante, engkau pura-pura hendak menyerang dari sebelah barat untuk memancing Hwesio jahat itu, aku sendiri menjadi ada kesempatan untuk menerjang kebawah.”

“Akal bagus,” sahut Cui Tay. “Bila musuh tidak pusingkan kita, segera kita menerjang kebawah sungguh-sungguh.”

Habis berkata, ia saling memberi tanda dengan Hoa Tiat-kan, lalu berlari kejurusannya masing-masing.

Berpuluh meter disekitar situ adalah dinding karang yang curam, kalau ingin meluncur salju kebawah jurang harus memutar jauh kesana untuk kemudian melingkar kembali.

Rupanya akal itu telah membingungkan Hiat-toceng juga. Demi melihat kedua lawan memencarkan diri kedua jurusan, terang orang bermaksud memutar jalan untuk mendekati tempatnya. Cara bagaimana harus merintanginya, seketika ia menjadi mati kutu. Pikirnya: “Wah, celaka! Jika mereka benar-benar memutar kemari, meski makan waktu agak lama, tapi akhirnya tentu akan tercapai maksud mereka. Dalam keadaan demikian, kalau aku tidak menggeloyor pergi mau tunggu kapan lagi? Mereka bermaksud memutar jalan untuk menyerang, aku lantas memutar juga untuk angkat langkah seribu.”

Ia lihat Liok Thian-ju sedang menyaksikan kepergian kedua kawannya, diam-diam Hiat-to Loco lantas memberosot kebawah batu karang dan merat kearah barat-laut tanpa memberitahukan Tik Hun.

Ketika mendadak tidak mendengar suara ocehan Hiat-to-ceng lagi, segera Liok Thian-ju melongok kebawah, tapi tahu-tahu bhiksu tersebut sudah menghilang. Ia lihat diatas tanah salju itu ada segaris bekas tapak kaki yang menuju kearah barat. Ia pikir bila bhiksu jahanam itu sampai lolos, maka runtuhlah nama baik jago silat Tionggoan. Segera ia berteriak-teriak: “Hoa-hiante, Cui-hiante, lekas kembali. Ok-ceng (hweshio jahat) itu telah merat!”

Mendengar seruan itu, segera Cui Tay dan Hoa Tiat-kan berlari kembali. Dalam pada itu tanpa pikir lagi Liok Thian-ju terus terjun kebawah jurang menirukan cara musuh tadi, seketika iapun menghilang, ambles kedalam lautan salju.

Diwaktu menerjun Liok Thian-ju sudah tutup napasnya. Ia merasa badannya terus ambles kebawah, menyusul kakinya lantas menyentuh tempat keras, yaitu lapisan salju yang sudah beku. Segera ia tutul kakinya sekuatnya hingga badannya mumbul keatas. Pengalaman demikian juga telah dialami Tik Hun dan Hiat-to Loco tadi, sesudah kepala menongol keluar, lalu mereka merangkak naik.

Diluar dugaan, baru saja kepala Thian-ju hendak menongol, sekonyong-konyong dadanya terasa kesakitan, nyata ia sudah kena sergapan musuh. Oleh karena kepala belum berada diluar salju, dengan sendirinya ia tak dapat menjerit. Tapi kontan secepat kilat iapun balas membabat dengan goloknya.

Rupanya serangan balasan yang teramat cepat itupun diluar perhitungan musuh hingga terasa juga kena sasarannya. Namun menyusul musuh yang bersembunyi dibawah salju itu lantas menyerang pula.

Waktu Cui Tay dan Hoa Tiat-kan kembali diatas puncak karang tadi, mereka menyaksikan timbunan salju dibawah jurang itu bergolak dengan hebat, tapi tiada menampak bayangan seorangpun. Hanya sekejap saja dari dalam salju tampak merembes keluar air darah

“Celaka, Liok-toako telah bertempur dengan Ok-ceng itu dibawah salju!” seru Cui Tay dengan kuatir.

“Ya, benar! Sekali ini Ok-ceng itu harus kita binasakan!” sahut Hoa Tiat-kan.

Mengapa mendadak Hiat-to Loco bisa berada dibawah salju dan bertempur dengan Liok Thian-ju? Kiranya tadi waktu mendengar seruan Thian-ju kepada kedua kawannya, bhiksu itu menaksir segera lawan itupun akan menerjun kebawah untuk mengejarnya. Tiba-tiba ia mendapat satu akal, cepat ia putar balik dan menyusup kedalam salju disekitar batu karang itu.

Terhadap jago silat yang lihay dengan pengalaman luas seperti Liok Thian-ju itu, hendak melakukan penyergapan padanya boleh dikata adalah tidak mungkin berhasil. Tapi kini ia menerjun kedalam salju dari tempat yang tinggi, pengalaman itu selama hidupnya belum pernah ada, dengan sendirinya yang ia pikirkan ialah cara bagaimana harus menahan napas dan mengerahkan tenaga selama ambles kedalam salju serta timbul kembali keatas. Apalagi dengan terang diketahui Hiat-to-ceng sudah merat, sudah tentu mimpipun tak terduga bahwa didalam salju ada sembunyi seorang musuh. Dari itulah baru kepala Liok Thian-ju hendak menongol kepermukaan salju, tahu-tahu dadanya sudah kena serangan golok Hiat-to-ceng.

Tapi betapapun Liok Thian-ju adalah kepala dari “Lam-su-lo”, terhitung jago kelas wahid diantara jago silat Tionggoan. Meski dadanya sudah terluka, menyusul iapun dapat balas melukai musuh. Ia tahu gerak-gerik Hiat-to-ceng itu laksana hantu cepatnya, ia tidak boleh meleng barang sekejappun, kalau mesti menunggu kepala menongol keatas salju lalu balas menyerang, tentu serangan musuh yang lain segera akan tiba pula lebih dulu.

Benar juga baru Hiat-to Loco hendak menyerang pula, tak terduga serangan balasan Liok Thian-ju sudah dilontarkan dengan cepat luar biasa hingga iapun terluka. Sekuat tenaga ia menangkis tiga kali serangan Kui-thau-to lawan sambil melangkah mundur. Diluar dugaan mendadak kakinya menginyak tempat kosong, salju dimana kakinya berpijak itu tidak beku hingga badannya terjeblos kebawah lagi.

Dalam pada itu serangan Thian-ju masih terus dilancarkan tanpa memberi kesempatan bernapas bagi lawan, tiga kali serangan disusul tiga kali serangan lain lagi. Ia tahu musuh pasti akan terdesak mundur, maka iapun merangsak maju. Tak terduga mendadak kakinya merasa “blong”, tubuhnya lantas anylok kebawah.

Hiat-to Loco dan Liok Thian-ju adalah jago-jago silat kelas atas pada jaman itu, meski terjerumus dalam keadaan yang benar-benar maha sulit itu, namun pikiran mereka sama sekali tidak kacau. Mereka sama-sama tidak dapat memandang dan mendengar, tapi mereka mempunyai pendapat yang serupa, begitu kaki menginjak tanah, segera masing-masing memainkan ilmu golok sendiri dengan kencang. Tatkala itu tebal salju diatas kepala mereka ada belasan meter tingginya, kecuali musuh dapat dibinasakan, kalau tidak, siapapun tiada berani menongol dulu keatas, sebab bila timbul maksud hendak menyelamatkan diri, tentu akan segera dibacok mati oleh lawan……….

Sementara itu Tik Hun menjadi heran karena mendadak diluar gua menjadi sunyi, padahal baru saja Hiat-to Loco masih mencak-mencak dan mengoceh. Waktu ia melongok keluar ternyata Hiat-to Loco sudah tidak kelihatan lagi, sebaliknya salju disekitar batu karang tadi tampak bergolak dengan hebat bagai ombak samudera. Keruan ia terheran-heran.

Setelah menyaksikan sejenak, akhirnya tahulah dia bahwa dibawah salju itu ada orang sedang bertempur. Waktu ia mendongak, ia lihat Cui Tay dan Hoa Tiat-kan berdiri ditepi karang dan sedang memperhatikan keadaan didasar jurang, sikap mereka tampaknya sangat tegang. Maka dapatlah Tik Hun menduga yang bertempur dibawah salju itu pasti adalah Hiat-to Loco melawan sikakek berjenggot, yaitu Liok Thian-ju. Ia lihat Cui Tay dan Hoa Tiat-kan bernapsu sekali hendak membantu tapi agak bingung karena tidak tahu cara bagaimana harus turun tangan.

“Hoa-jiko, biarlah aku terjun kebawah,” demikian Cui Tay berkata kepada Hoa Tiat-kan.

“Jangan,” cepat Tiat-kan mencegah. “Jika engkau juga terjun kedalam salju, lantas cara bagaimana kau akan membantu? Didalam salju dengan sendirinya tidak kelihatan apa-apa, jangan-jangan tragedi tadi akan terulang hingga Liok-toako akan salah dicelakai engkau.” Nyata karena tumbaknya tadi salah membinasakan saudara angkatnya sendiri, maka rasa duka dan sesalnya tak terkatakan hebatnya.

Ciu Tay pikir peringatan itu memang beanr, jika dirinya juga terjun kedalam salju selain senjatanya memotong dan menyabat serabutan, masakah dapat membedakan siapa kawan dan siapa lawan? Kemungkinan Hiat-to-ceng atau Liok Thian-ju akan dibunuh olehnya adalah sama besarnya, sebaliknya kemungkinan dirinya akan terbinasa dibawah senjata mereka juga tidak berkurang kesempatannya.

Akan tetapi bila tidak turun tangan membantu, hal inipun sangat keterlaluan. Sudah terang dipihak sendiri ada dua jago yang menganggur, tapi sedikitpun tak dapat berbuat apa-apa. Sungguh mereka menjadi tak sabar hingga mirip semut ditengah wajan panas, mereka hanya kelabakan sendiri tanpa berdaya sedikitpun.

Apabila nekat menerjun kebawah, namun didasar jurang itu salju masih bergolak dengan hebat, siapa tahu terjun itu takkan menindih diatas kepala Liok Thian-ju.

Sjukurlah tidak seberapa lama, pergolakan salju itu lambat-laun mulai reda, Cui Tay dan Hoa Tiat-kan yang diatas tebing serta Tik Hun dan Cui Sing yang berada didalam gua jadi makin kuatir, sebab tidak tahu bagaimana hasil pertarungan dibawah salju itu. Maka dengan penuh perhatian dan menahan napas mereka menantikan gerangan siapa yang muncul dari bawah salju?

Benar juga, selang sejenak, gumpalan salju disuatu tempat itu tampak tersundul keatas, makin lama makin tinggi hingga akhirnya satu kepala menausia kelihatan menongol. Tapi diatas kepala itu penuh salju, maka seketika susah dibedakan apakah kepala gundul Hweshio atau kepala yang berambut?

Makin lama makin tinggi kepala yang menyundul salju itu. Akhirnya dapatlah kelihatan dengan jelas diatas kepala itu penuh tumbuh rambut putih. Nyata itulah kepalanya Liok Thian-ju.

Saking girangnya Cui Sing terus bersorak sekali.

Sebaliknya Tik Hun menjadi gusar. “Sorak-sorak apa?” damperatnya.

“Sorak apa? Sorak karena kakek-gurumu itu sudah mampus, tahu? Dan jiwamu sebentar tentu juga akan tamat!” sahut Cui Sing dengan sengit.

Tidak usah diberitahu juga Tik Hun mengarti akan hal itu. Selama ini setiap hari ia berkumpul dengan Hiat-to-ceng, seperti kata pribahasa “dekat merah akan menjadi merah, dekat hitam menjadi hitam”, maka tanpa merasa Tik Hun ketularan sedikit watak kasar seperti bhiksu Tibet itu. Apalagi dilihatnya Liok Thian-ju mendapat kemenangan, akibatnya ia sendiri pasti juga akan celaka ditangan ketiga kakek itu nanti. Dalam kuatirnya ia menjadi aseran, maka bentaknya segera: “Jika kau berani cerewet lagi, segera kubunuh kau lebih dulu.”

Cui Sing menjadi takut dan tidak berani buka suara lagi. Ia masih tertutuk oleh Hiat-to-ceng tadi dan takbisa berkutik. Meski Tik Hun patah kakinya, tapi kalau mau bunuh dia boleh dikata tidaklah susah.

Dalam pada itu sesudah kepala menongol dipermukaan salju, napas Liok Thian-ju tampak megap-megap sambil meronta-ronta sekuatnya dengan hendak merajap keluar dari dalam salju.

“Liok-heng kami akan membantu kau!” seru Cui Tay dan Hoa Tiat-kan bersama. Berbareng mereka lantas terjun kedalam salju itu, menyusul terus meloncat keatas pula dan menyingkir kesamping batu karang tadi.

Dan pada saat itulah tiba-tiba nampak Liok Thian-ju ambles pula kedalam salju, tahu-tahu kepalanya sudah menghilang lagi kebawah seperti kakinya mendadak ditarik sekuatnya oleh orang. Dan sesudah ambles kebawah, lalu tidak muncul lagi. Sedangkan Hiat-to-ceng sama sekali tidak kelihatan batang-hidungnya.

Cui Tay dan Hoa Tiat-kan saling pandang dengan penuh pertanyaan. Mereka menyaksikan menghilangnya Liok Thian-ju kedalam salju itu cepatnya luar biasa, tampaknya seperti tak berkuasa karena ditarik orang dari bawah, mereka menduga besar kemungkinan sang Toako itu sudah kena disergap oleh Hiat-to-ceng.

“Pluk”, mendadak sebuah kepala menongol pula dari bawah salju. Waktu diperhatikan, kepala itu gundul, kiranya adalah Hiat-to Loco. Bhiksu itu mengakah tawa sekali, lalu menghilang lagi kebawah salju.

“Bhiksu keparat!” maki Cui Tay.

Dan baru ia hunus pedangnya hendak menubruk maju, sekonyong-konyong dari dalam salju mencelat keluar pula sebuah kepala.

Tapi kepala itu melulu kepala belaka, kepala yang sudah berpisah dengan badannya. Kepala itu berjenggot, itulah kepalanya Liok Thian-ju.

Buah kepala itu terbang keudara setinggi beberapa meter, kemudian jatuh kebawah dan ambles menghilang kedalam salju.

Menyaksikan pemandangan yang seram dan aneh itu, saking ketakutan sampai Cui Sing hampir-hampir semaput. Pikirnya mau menjerit, tapi tenggorokan seakan-akan tersumbat dan tak dapat bersuara.

Cui Tay juga sangat pedih dan gusar pula, teriaknya keras-keras: “Wahai, Liok-toako! Engkau telah berkorban bagiku, biarlah Siaute membalaskan sakit hatimu.”

Tapi sebelum ia melangkah, cepat Hoa Tiat-kan mencegahnya: “Nanti dulu! Bhiksu setan itu bersembunyi didalam salju, dia terang, kita gelap, kalau kita menerjang secara serampangan, jangan-jangan akan masuk perangkapnya lagi.

Benar juga pikir Cui Tay, maka ia menahan bergolaknya perasaan sedapat mungkin dan menanya: “Habis, apa tindakan kita sekarang?”

“Kita tunggu saja disini,” ujar Tiat-kan. “Bhiksu itu dapat tahan berapa lama berada didalam salju? Akhirnya tentu dia akan muncul keatas. Tatkala mana kita lantas mengerubutinya, betapapun kita harus membedah dadanya dan mengkorek hatinya untuk sesajen kedua saudara kita.”

Terpaksa Cui Tay menuruti saran sang kawan. Dengan air mata berlinang-linang ia bersabar sedapat mungkin dan menahan pedihnya perasaan. Namun dua kawan karib selama berpuluh tahun itu kini terbinasa begitu mengenaskan, betapapun ia tetap sangat berduka.

Mendadak dari bawah salju yang bergolak itu menongol keluar sebuah kepala manusia yang berjenggot. Nyata itulah Liok Thian-ju. Napas jago tua itu tampak terengah-engah, rupanya saking tidak tahan dikocok didalam salju oleh Hiat-to Loco, maka terpaksa ia mesti menongol kepermukaan salju untuk ganti napas.

Dengan mengincar tempat dimana kepala Hiat-to-ceng menongol tadi, pelahan-lahan Cui Tay dan Hoa Tiat-kan melompat dari batu karang satu kebatu yang lain, tanpa merasa mereka semakin mendekat dengan gua tempat sembunyi Tik Hun dan Cui Sing.

Berulang-ulang Cui Sing melirik Tik Hun, diam-diam ia ambil keputusan bila sang ayah sudah dekat segera ia akan berteriak minta tolong. Tapi kalau terlalu buru-buru teriaknya hingga jarak sang ayah terlalu jauh, tentu dirinya akan dibunuh dulu oleh “Hweshio cabul” itu sebelum tertolong ayahnya.

Dari sikap sigadis yang tidak tenteram serta sinar matanya yang berkerlingan, Tik Hun sudah lantas tahu juga maksudnya. Tiba-tiba ia sengaja bikin napasnya terengah-engah seperti orang yang kepayahan, pelahan-lahan ia mengesot kemulut gua seperti hendak mengambil salju untuk dimakan sekadar menghilangkan rasa dahaga.

Dengan sendirinya Cui Sing tidak curiga, yang diperhatikan ialah ayahnya. Sekonyong-konyong Tik Hun menahan badannya dengan tangan kiri, sekali enjot, mendadak tubuhnya melompat bangun, dengan cepat sekali lengan kanannya terus menyikap dari belakang hingga leher Cui Sing terjepit.

Keruan Cui Sing kaget, segera ia hendak berteriak, tapi sudah telat. Ia merasa lengan Tik Hun itu sekeras besi hingga lehernya kesakitan dan bernapaspun susah. Memangnya badannya tertutuk dan takbisa berkutik, ditambah lagi leher tercekik, sebentar lagi pasti jiwanya melayang. Tapi tiba-tiba terdengar Tik Hun membisikinya: “Asal kau berjanji takkan bersuara, aku lantas tak jadi mencekik mampus kau.” Habis itu, sedikit ia kendurkan lengannya agar Cui Sing dapat bernapas sedikit. Tapi lengannya yang kasar dan kuat itu tetap menyilang dileher sigadis yang putih halus itu.

Sudah tentu Cui Sing gemas tidak kepalang, tapi apa daya? Hanya dalam hati ia mencuci maki habis-habisan.

Diluar sana Cui Tay dan Hoa Tiat-kan sedang mendekam diatas sebuah batu karang, mereka terheran-heran karena tiada melihat sesuatu gerak-gerik lagi dari bawah salju. Mereka tidak tahu permainan apa yang sedang dilakukan Hiat-to-ceng yang sekian lamanya terpendam didasar salju itu.

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa sejak kecil Hiat-to Loco hidup ditanah bersalju sebagai Tibet itu, maka tentang ciri2 chas dari salju itu cukup dipahaminya. Waktu jatuh ketengah salju tadi, segera ia menggunakan goloknya untuk mengkorek sebuah liang, ia tepuk-tepuk pinggir liang itu dengan tangan hingga keras, dan liang salju itu lantas tersimpan sedikit hawa. Dalam hal ilmu silat sejati, sebenarnya kepandaian Hiat-to-ceng dengan Liok Thian-ju adalah sepadan. Tapi sebelumnya bhiksu itu sudah lama menempur Lau Seng-hong, tenaga murninya sudah banyak terbuang, maka ia menjadi kalah kuat daripada Liok Thian-ju. Tapi berkat simpanan hawa dilubang salju itu, setiap kali kalau ia merasa payah dan napas sesak, segera ia melongok kelubang salju itu untuk menghirup hawa segar.

Dengan sendirinya Liok Thian-ju tidak paham rahasia salju itu. Ia terus main hantam-kromo dengan mati-matian. Dengan demikian biarpun dia sanggup menahan napas dengan lama juga takbisa menangkan Hiat-to-ceng yang sering-sering dapat mengganti napas. Teori ini sama seperti dua orang berkelahi didalam air, yang satu sering-sering mumbul kepermukaan air untuk mengganti napas, sebaliknya yang lain terus silam didasar air, dengan sendirinya mudah ditentukan siapa akan unggul dan siapa asor.

Pada akhirnya, oleh karena Liok Thian-ju sudah tidak tahan lagi, terpaksa ia mesti menempuh bahaya dan menongol kepermukaan salju untuk bernapas. Dan karena itu badan bagian bawah lantas kena dibacok tiga kali oleh Hiat-to-ceng hingga tewas didasar salju.

Begitulah Cui Tay dan Hoa Tiat-kan masih terus menunggu, tapi sudah lebih satu jam, tetap tidak nampak bayangan Hiat-to-ceng. “Besar kemungkinan Ok-ceng itu terluka parah dan terbinasa juga didasar salju,” ujar Cui Tay.

“Kukira memang begitulah,” sahut Tiat-kan. “Betapa hebat kepandaian Liok-toako, masakah ia begitu gampang dibunuh musuh tanpa melukai musuh lebih dulu? Apalagi tadi bhiksu iblis itu sudah bertempur sekian lamanya melawan Lau-hiante, mestinya ia bukan lagi tandingan Liok-toako.”

“Ya, pasti dia menggunakan tipu keji hingga Liok-toako masuk perangkapnya,” kata Cui Tay. Berkata sampai disini ia tidak tahan lagi rasa duka dan murkanya. Teriaknya segera: “Biar kuturun kebawah sana untuk melihatnya.”

“Baiklah, tapi hendaklah hati-hati, aku akan mengawasi kau disini,” sahut Tiat-kan

Cui Tay terkesiap, katanya didalam hati: “Aneh, sebagai seorang ksatria sejati mengapa kau tidak menyatakan hendak pergi bersama?”

Namun saat itu ia sudah bertekad hendak menemukan mayat Hiat-to-ceng, lalu akan dicincangnya hingga hancur luluh untuk melampiaskan dendamnya. Paling baik kalau napas bhiksu jahat itu belum lagi putus, dengan demikian ia dapat menyiksanya sepuas-puasnya sebelum bhiksu itu dibunuhnya.

Begitulah segera ia menghunus pedangnya, ia menarik napas panjang-panjang sekali, dengan ginkangnya yang tinggi ia terus meluncur kesana, tapi baru meluncur beberapa meter jauhnya, mendadak “pluk”, dari bawah salju disebelahnya meloncar keluar seorang yang bukan lain adalah Hiat-to Loco, tapi bertangan kosong, goloknya entah kemana perginya.

Begitu muncul diatas salju, segera bhiksu itu melayang kesaping hingga beberapa meter jauhnya sambil berteriak-teriak: “Seorang laki-laki sejati harus mengutamakan keadilan. Kau bersenjata dan aku bertangan kosong, cara bagaimana kita harus berkelahi?”

Dan belum lagi Cui Tay menjawab, dikejauhan sana Hoa Tiat-kan sudah menyahut: “Untuk membunuh bhiksu jahat ini masakah perlu bicara tentang keadilan apa segala?”

Habis berkata, ia terus memburu maju juga untuk menggencet musuh.

Cui Tay menaksir golok merah bhiksu itu tentu sudah hilang ditengah salju waktu menempur Liok-toako tadi, untuk mencari kembali tentu tidak mudah. Ia menjadi lega demi nampak musuh tak bersenjata, ia yakin sekarang pasti akan menang, yang harus dijaga sekarang ialah bhiksu itu sekali-sekali jangan sampai lolos lagi untuk kemudian menyusup pula kedalam salju. Segera serunya: “Hai, Hweshio jahanam, dimanakah puteriku? Asal kau katakan terus terang, segera akan kubunuh kau dengan sekali tabas, supaya kau takkan merasakan siksaan lebih jauh.”

“Tempat sembunyi anak dara itu sangat sulit untuk kau ketemukan, asal kau berikan jalan lari padaku, segera akan kukatakan padamu,” ujar Hiat-to Loco sambil terus berlari, kuatir kalau disusul oleh Cui Tay.

Diam-diam Cui Tay pikir: “Biarlah kutipu dia agar mengaku lebih dulu.” Maka ia lantas berkata: “Disekitar sini juga melulu tebing curam belaka, meski kau diberi jalan juga tak bisa pergi?”

“Itulah gampang,” sahut Hiat-to-ceng. “Bila engkau memberi jalan hidup padaku, segera kita dapat berunding untuk mencari akal bersama. Bila kau bunuh aku, tetap kau akan susah keluar dari jurang kurung ini. Maka lebih baik kita menjadi kawan saja dan aku akan berdaya menolong kalian keluar dari lembah ini?”

“Huh, bhiksu jahat seperti kau ini masakah dapat dipercaya?” damprat Hoa Tiat-kan dengan gusar. “Hayo, lekas kau berlutut dan menyerah, cara bagaimana kau akan diadili tergantung kami, kau barani banyak cerewet?” Sembari berkata ia terus mendesak main dekat.

“Jika begitu maafkan aku tak dapat menemani kalian lagi,” seru Hiat-to-ceng. Segera ia angkat kaki dan berlari kearah timur laut sana.

“Lari kemana, Hweshio jahanam!” damperat Cui Tay sambil mengudak.

Tapi lari Hiat-to Loco semakin kencang. Ketika sampai dipojok sana, karena terhalang oleh tebing yang tinggi, mendadak ia putar kembali dan menyelinap lewat disaping Cui Tay. Kontan pedang Cui Tay menabas sekali, namun selisih satu-dua senti dari sasarannya hingga tidak kena. Kembali Hiat-to-ceng itu berlari ketempat tadi.

Melihat itu, diam-diam Cui Tay membatin: “Jika terus udak-udakan ditengah jurang ini, susah juga untuk menangkap jahanam yang punya Ginkang lihay itu. Pula Sing-ji entah disembunyikan dimana?” Karena gopohnya itu, ia mengudak terlebih kencang lagi.

Sekonyong-konyong terdengar Hiat-to-ceng menjerit sekali, kakinya lemas dan orangnya terus jatuh tengkurap kedepan, kedua tangannya tampak mencakar-cakar salju seperti ingin merangkak bangun, tapi terang sekali tenaganya sudah habis, sesudah merangkak dua kali, lalu terbanting pula dan tak sanggup bangun lagi.

Tentu saja Cui Tay tidak sia-siakan kesempatan bagus itu, secepat terbang ia memburu maju terus menikam dengan pedangnya. Karena dia ingin menyiksa bhiksu itu lebih dulu sebelum membinasakannya, maka tusukannya itu diarahkan kebagian bokong, asal bhiksu itu takbisa lari lagi, kemudian akan disiksa untuk ditanya tempat sembunyi Cui Sing.

Tak terduga, baru pedangnya diangkat, sekonyong-konyong kakinya merasa “blong”, injak tempat kosong, berbareng tubuhnya terus kejeblos kebawah.

Dalam pada itu Tik Hun dan Cui Sing juga sedang mengikuti kejadian diluar gua itu dengan perasaan yang berbeda-beda, yang satu kuatir dan yang lain senang. Siapa tahu mendadak Cui Tay menghilang dari tanah salju itu. Menyusul mana lantas terdengar pula suara jeritan yang mengerikan dibawah tanah itulah suaranya Cui Tay yang sangat ketakutan seolah-olah ketemukan sesuatu yang mengerikan.

Keruan kejadian itu membuat Cui Sing terperanjat tak terhingga, begitu pula Tik Hun pun terheran-heran. Ia tidak ingin Hiat-to-ceng pada saat itu terbunuh, sebab hal mana berarti dia sendiripun akan terbinasa. Tapi iapun tidak ingin Cui Tay dan kawannya menjadi korban, sebab ia tahu jago-jago tua itu adalah tokoh-tokoh “Hiap-gi” (kaum kesatria) yang terpuja di Tionggoan, yaitu sealiran dengan Ting Tian. Maka demi mendengar jeritan Cui Tay itu, sama sekali tiada rasa sjukur atau gembira pada hatinya.

Sementara itu Hiat-to-ceng tampak sudah melompat bangun lagi dengan cepat dan gesit sekali, suatu bukti bahwa kelakuannya tadi hanya pura-pura belaka. Dan begitu melompat bangun, begitu kakinya menganjlok, tahu-tahu tubuhnya lantas menghilang kedalam salju. Ketika sejenak lagi ia muncul kembali keatas, tangannya tampak mengempit sesosok badan manusia yang bermandikan darah. Siapa lagi manusia berdarah itu kalau bukan Cui Tay yang kedua kakinya tampak kutung sebatas lutut.

Melihat keadaan sang ayah yang mengerikan itu, Cui Sing berteriak-teriak sambil menangis: “Ayah, ayah! O, ayah!”

Tik Hun merasa tidak tega juga, dalam kejut dan ngerinya, ia menjadi lupa mencekik leher sigadis lagi, bahkan ia melepas tangan dan menghiburnya malah: “Nona Cui, ayahmu belum meninggal, janganlah menangis!”

Ketika tangan Hiat-to Loco bergerak, tahu-tahu selarik sinar merah berkemilauan, ternyata golok merah itu sudah kembali berada ditangannya lagi.

Kiranya tadi ia sembunyi dibawah salju hingga sekian lamanya, diam-diam ia telah menggali sebuah lubang jebakan, ia taruh goloknya yang tajam itu melintang dimulut lubang dengan mata golok menghadap keatas. Lalu ia menyusup keluar dengan pura-pura kehilangan senjata. Ketika musuh mengejar, ia lantas memancingnya ketempat lubang perangkap itu.

Biarpun Cui Tay tergolong tokoh Kangouw yang ulung, namun jebakan dibawah salju itu sekali-sekali tak terduga olehnya hingga akhirnya dia terjebak. Ketika ia kejeblos kebawah maka kontan kedua kakinya tertabas kutung oleh golok yang sangat tajam itu.

Begitulah dengan tipu muslihatnya itu, beruntun-runtun Hiat-to Loco telah membinasakan dua lawan dan meluka-parahkan satu. Sisa Hoa Tiat-kan seorang sudah tentu tak dipandang berat olehnya. Ia lemparkan tubuh Cui Tay ketanah salju, lalu angkat goloknya mendesak maju kehadapan Hoa Tiat-kan sambil berteriak: “Hayolah, jika kau berani, marilah kita bertempur tiga ratus jurus lagi!”

Melihat Cui Tay terguling-guling ditanah salju karena kedua kakinya sudah buntung, pemandangan ngeri itu benar-benar telah memecahkan nyalinya, mana ia berani bertempur lagi? Sambil memegang tumbaknya yang pendek itu ia mengkeret mundur kebelakang. Tumbak itu tampak gemetar, suatu tanda betapa takutnya Hoa Tiat-kan.

Mendadak Hiat-to Loco mengertak sekali sambil mendesak maju dua langkah. Dengan kaget Hoa Tiat-kan melompat mundur dua langkah, saking gemetarnya hingga tangannya terasa lemas, tumbaknya jatuh ketanah, cepat ia jemput kembali dan main mundur pula.

Padahal Hiat-to Loco sesudah berturut-urut menempur tiga jago kelas wahid, keadaannya juga sudah payah, tenaga habis dan badan lemas. Kalau benar-benar Hoa Tiat-kan bergebrak dengan dia, tak mungkin dia mampu menang. Apalagi kepandaian Hoa Tiat-kan sesungguhnya juga tidak dibawah Hiat-to-ceng, jikalau dia mempunyai rasa senasib dan setanggungan dengan para kawan, dengan penuh semangat menerjang maju, pasti bhiksu Tibet itu akan mati dibawah tumbaknya.

Sayangnya sesudah Hoa Tiat-kan salah membunuh kawan sendiri, yaitu bhiksu tua Lau Seng-hong, pikirannya menjadi kacau dan semangat lesu, apalagi dilihatnya kedua kawan yang lain juga jatuh menjadi korban. Liok Thian-ju terpenggal kepalanya dan kedua kaki Cui Tay terkutung. Kesemuanya itu benar-benar telah bikin pecah nyalinya, semangat tempurnya boleh dikata sudah lenyap sama sekali.

Dengan sendirinya Hiat-to Loco sangat senang melihat Hoa Tiat-kan sangat ketakutan. Segera katanya: “Tipu akalku seluruhnya ada 72 macam, hari ini hanya tiga macam tipu yang kugunakan dan tiga kawanmu sudah menjadi korban, masih sisa lagi 69 macam tipu akalku, kesemuanya itu akan kulaksanakan atas dirimu.”

Sebagai seorang tokoh Bu-lim yang terkemuka, pengalaman Hoa Tiat-kan sudah tentu sangat luas, gertakan Hiat-to-ceng itu sebenarnya tidak mempan baginya. Tapi kini ia sudah pecah nyalinya, setiap gerak dan setiap kata Hiat-to-ceng penuh membawa rasa seram dan ngeri baginya. Ketika mendengar bhiksu itu menyatakan masih ada 69 macam tipu keji yang akan dilaksanakan atas dirinya, segera telinganya mengngiang-ngiang dengan kata-kata “69 tipu keji”, dan karena itu tangannya semakin bergemetar.

Padahal waktu itu Hiat-to Loco juga sudah payah benar-benar, kalau dapat ia ingin bisa lantas merebah ditanah salju itu untuk tidur sepuas-puasnya. Tapi ia insaf saat itu iapun sedang menghadapi suatu pertarungan mati-matian yang menentukan, dahsjatnya hakikatnya tidak kalah serunya daripada pertempurannya melawan Lau Seng-hong dan Liok Thian-ju. Maka celakalah dia, sekali jago she Hoa itu menyerang pasti orang akan segera tahu keadaannya yang payah itu, dan untuk selanjutnya pasti dia akan mati dibawah tumbak musuh itu. Oleh karena itu, sekuat mungkin ia kerahkan semangatnya sambil memainkan golok yang dipegangnya itu dengan lagak seorang yang masih tangkas.

Dan ketika melihat Hoa Tiat-kan cuma main undur-undur saja dan tidak mau lari, diam-diam dia mendesak-desak didalam hati: “Hayolah lari! Hayolah lari! Keparat, kenapa kau tidak lari!”

Tapi waktu itu ternyata keberanian melarikan diripun sudah tidak dimiliki lagi oleh Hoa Tiat-kan.

Di sebelah sana Cui Tay yang sudah buntung kedua kakinya itu masih menggeletak di tanah salju dalam keadaan senen-kemis. Ia menjadi lebih-lebih cemas demi menyaksikan begitu rupa ketakutannya Hoa Tiat-kan.

Meski dalam keadaan terluka parah, namun Cui Tay masih dapat melihat jelas bahwa tenaga Hiat-to-ceng itu sebenarnya sudah habis seperti pelita yang kehabisan minyak, asal sang kawan berani maju melabraknya, sekali gebrak pasti dapat membinasakan musuh jahanam itu. Maka sekuat tenaga ia coba menteriakinya: “Hoa-jiko, hayolah maju labrak dia, tenaga bhiksu jahat itu sudah ludes, terlalu mudah bagimu untuk membunuhnya……….”

Hiat-to Loco terperanjat mendengar seruan Cui Tay itu. Pikirnya: “Tua bangka ini benar-benar lihay, mungkin aku bisa celaka.”

Tapi ia sengaja busungkan dada dan mendesak maju malah sambil berkata kepada Hoa Tiat-kan: “Ya, ya, memang benar! Tenagaku sudah habis, hayolah kita pergi keatas tebing sana untuk bertempur 300 jurus lagi! Hayolah, siapa yang tidak berani anggaplah dia anak haram cucu kura-kura.”

Pada saat itulah mendadak dari gua terdengar suara Cui Sing sedang berteriak: “Ayah, ayah!”

Tiba-tiba pikiran Hiat-to-ceng tergerak: “Jika saat ini aku membunuh Cui Tay, tentu akan menimbulkan curiga Hoa Tiat-kan akan kebenaran seruan kawannya itu. Biarlah kuseret keluar anak dara itu untuk memencarkan perhatian Cui Tay. Kalau melulu melawan orang she Hoa itu saja tentu akan jauh lebih mudah.”

Karena itu, ia sengaja mengejek Hoa Tiat-kan lagi: “Hayo, kau berani tidak, marilah kita bertempur lagi 300 jurus!”

Namun Hoa Tiat-kan telah menjawabnya dengan geleng kepala.

“Lawanlah dia, lawanlah dia! Apakah kau tidak ingin membalas sakit hati Liok-toako dan Lau-samko?” seru Cui Tay pula.

“Hahahaha! hayo lawanlah, lawanlah!” Hiat-to Loco terbahak-bahak lagi. “Aku justeru sedang menunggu untuk melaksanakan 69 macam tipuku yang kejam atas dirimu! Hayolah maju!” Dan ketika dilihatnya Hoa Tiat-kan malah mengkeret mundur, segera iapun putar tubuh dan masuk kedalam gua, ia jambak rambut Cui Sing dan menyeretnya keluar.

Ia tahu ilmu silat Hoa Tiat-kan sangat lihay, jalan satu-satunya sekarang harus menggunakan segala cara siksaan kejam atas diri Cui Tay dan puterinya itu agar lawan tangguh itu selalu dalam keadaan ketakutan hingga tidak berani berkutik. Maka segera ia menyeret Cui Sing kehadapan Cui Tay, bentaknya: “Nah, kau bilang tenagaku sudah habis, baiklah sekarang akan kupertontonkan padamu apakah tenagaku sudah habis atau belum?”

Habis berkata, “bret”, mendadak ia tarik sekuatnya hingga lengan baju kanan Cui Sing terobek sebagian besar, maka tertampaklah lengan sigadis yang putih halus laksana salju itu.

Keruan Cui Sing menjerit ketakutan, tapi karena jalan darahnya tertutuk, hanya mulut yang bisa bersuara untuk melawan sama sekali tak bisa.

Dalam pada itu Tik Hun juga sudah ikut merayap keluar dari gua, ketika menyaksikan adegan mengerikan itu, ia menjadi tak tega, terus saja ia berteriak: “Jang ..……. jangan kau menghina

nona itu!”

“Hahahaha!” Hiat-to Loco terbahak-bahak malah: “Jangan kuatir, cucu-muridku yang baik, pasti Cosuya takkan mencelakai nyawanya.”

Habis itu, ia putar tubuh sedikit, sekali goloknya berkelebat, tahu-tahu bahu kiri Cui Tay telah dipapasnya sebagian, lalu tanyanya: “Nah, katakanlah, tenagaku sudah habis atau belum?”

Keruan darah segar seketika muncrat keluar dari bahu Cui Tay, sebaliknya Hoa Tiat-kan dan Cui Sing berbareng menjerit kaget.

Dan ketika Hiat-to Loco membetot sekali pula, kembali baju Cui Sing terobek sebagian lagi. Kemudian katanya kepada Cui Tay: “Asal kau panggil Cosuyaya tiga kali kepadaku, segera puterimu akan kuampuni. Nah, kau mau panggil tidak?”

“Cuh”, mendadak Ciu Tay meludahi bhiksu itu sepenuh tenaga. Tapi sedikit mengegos, dapatlah Hiat-to-ceng menghindar, dan karena gerakannya itu, tanpa kuasa tubuhnya menjadi sempoyongan, kepala pening dan mata berkunang-kunang, hampir-hampir ia roboh terjungkal. Keadaan itu dapat dilihat dengan jelas oleh Cui Tay, terus saja ia berteriak-teriak: “Hoa-jiko, hayolah lekas turun tangan, lekas serang dia!”

Tentang keadaan Hiat-to-ceng yang sempojongan itu dengan sendirinya juga dilihat oleh Hoa Tiat-kan. Tapi ia justeru berpikir: “Jangan-jangan bhiksu jahat itu cuma pura-pura saja untuk memancing aku. Ok-ceng itu banyak tipu muslihatnya, betapapun aku harus waspada.”

Dan sesudah tenangkan diri, kembali Hiat-to-ceng membacok pula dengan goloknya hingga lengan kanan Cui Tay tergurat suatu luka dalam. “Kau mau panggil Cosuyaya padaku atau tidak?” demikian bentaknya pula.

Saking kesakitan, hampir-hampir Cui Tay kelengar. Tapi ia sangat perwira, matipun ia tidak sudi takluk. Kembali ia memaki: “Hwesio bangsat, biar mati orang she Cui tidak nanti menyerah padamu! Lekas kau bunuh aku saja!”

“Huh, enak?” jengek Hiat-to-ceng. “Aku justeru hendak menyajat lenganmu, aku akan potong dagingmu selapis demi selapis. Tapi asal kau panggil Cosuyaya tiga kali dan minta ampun padaku, jiwamu lantas kuampuni.”

“Cuh”, kembali  Cui  Tay  meludahi  musuh, damperatnya:

“Jangan kau mimpi disiang bolong, Hwesio durjana!”

Hiat-to-ceng tahu watak situa itu sangat bandel, sekalipun mencacah badannya hingga hancur luluh juga tidak mungkin membuatnya takluk. Maka katanya segera: “Baiklah, aku akan kerjakan puterimu ini, coba nanti kau akan memanggil Cosuyaya padaku tidak?”

Habis berkata, kembali tangannya menarik, “bret”, lagi-lagi sebagian baju Cui Sing kena disobeknya. Kali ini adalah sebagian gaunnya.

Sudah tentu Cui Tay sangat murka. Sebagai seorang kesatria sejati, biarpun musuh menghujani bacokan atas badannya juga takkan menaklukannya. Tapi bhiksu jahat itu sengaja menghina puterinya didepan orang banyak, perbuatan ini benar-benar tak bisa dibiarkan olehnya. Tapi apa daya, kakinya sudah buntung, bahkan jiwa sendiri juga tergantung ditangan musuh. Melihat gelagatnya, terang bhiksu jahat itu hendak melucuti pakaian Cui Sing sepotong demi sepotong hingga telanjang bulat, bahkan bukan mustahil akan diperlakukan secara tidak senonoh pula dihadapannya dan dihadapan Hoa Tiat-kan.

Maka terdengar Hiat-to-ceng berkata pula dengan tertawa iblis. “Segera orang she Hoa ini akan tekuk lutut dan minta ampun padaku, segera aku akan melepaskan dia, biar dia menyiarkan kejadian ini kekalangan Kangouw bahwa puterimu telanjang bulat dihadapanmu. Hahahah! Bagus, bagus! Hoa Tiat-kan, kau akan berlutut minta ampun? Ja, ja boleh, boleh, tentu aku akan mengampuni jiwamu!”

Mendengar ocehan itu, semangat tempur Hoa Tiat-kan lebih-lebih buyar lagi. Memangnya maksud tujuannya tiada lain ialah mencari hidup. Meski berlutut minta ampun adalah perbuatan yang memalukan, tapi toh jauh lebih enak daripada badan di-sayat-sayat oleh golok musuh. Sama sekali tak terlintas pikirannya akan bertempur pula dengan sepenuh tenaga, hal mana sebenarnya tidak susah baginya untuk membunuh musuh, tapi yang terbayang olehnya sekarang ialah Hiat-to-ceng dihadapannya itu terlalu seram, terlalu menakutkan. Ia dengar Hiat-to-ceng sedang berkata pula: “Kau jangan kuatir, jangan takut, asal kau sudah berlutut dan minta ampun, pasti jiwamu takkan kuganggu.”

Ucapan yang membesarkan hati itu bagi pendengaran Hoa Tiat-kan rasanya sangat enak dan sedap.

Sudah tentu kesempatan baik itu tak di-sia-siakan Hiat-to-ceng melihat air muka Hoa Tiat-kan mengunyuk rasa terhibur, segera ia tinggalkan Cui Sing dan mendekati Tiat-kan dengan golok terhunus, katanya: “Bagus, bagus! Kau hendak berlutut dan minta ampun, nah, buanglah tumbakmu dulu. Ya, ya, aku pasti takkan mengganggu jiwamu, nah, nah, taruhlah tumbakmu ketanah, nah, begitulah!”

Begitulah nada suara Hiat-to-ceng itu sangat lemah lembut dan menimbulkan daya pengaruh yang tak dapat dilawan. Benar juga, sekali cekalan Hoa Tiat-kan kendur, tumbaknya lantas terlempar ketanah salju. Dan sekali senjatanya sudah terlepas dari tangan, dengan hati bulat ia benar-benar sudah takluk pada musuh.

Dengan wajah tersenyum simpul Hiat-to-ceng berkata: “Bagus, bagus! Engkau sangat penurut, aku sangat suka padamu. Eh, tumbakmu itu boleh juga, coba kulihat! Kau mundur dulu kesana tiga tindak, nah, nah, begitulah, ja mundur lagi tiga tindak!”

Begitulah seperti orang yang sudah kehilangan sukma, Hoa Tiat-kan hanya menurut belaka apa yang dikehendaki musuh.

Maka pelahan-lahan Hiat-to Loco menjemput tumbak yang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu. Sambil memegangi tumbak pendek itu, ia merasa tenaga murninya setitik demi setitik juga sedang menghilang lagi, beruntun ia coba kerahkan tenaganya dua kali, tapi hasilnya nihil, tenaga murni itu tak dapat dihimpun kembali lagi. Diam-diam ia terkejut: “Jadi sesudah bertempur melawan tiga jago tangguh tadi, tenagaku sudah habis terkuras benar-benar, untuk dapat memulihkan tenagaku ini mungkin perlu mengaso setengah atau satu bulan lamanya.” Dari itu, meski ia sudah memegang sejata Hoa Tiat-kan, tapi ia masih kuatir bila lawan itu mendadak tabahkan diri dan menyerangnya, sekali gontok saja pasti dirinya akan dirobohkan.

Sementara itu ketika Cui Tay melihat Hiat-to-ceng lagi berusaha menaklukkan Hoa Tiat-kan, segera ia membisiki sang puteri: “Sing-ji, lekaslah kau bunuh aku saja!”

“Ay …….ayah! Aku ……. Aku tak dapat!” sahut Cui Sing dengan terguguk-guguk.

Tiba-tiba Cui Tay melirik sekejap pada Tik Hun, lalu katanya: “Siausuhu, sudilah kau berbuat bajik, lekas kau membunuh aku saja!”

Tik Hun tahu maksud jago tua itu, daripada hidup tersiksa dan dihina, lebih baik lekas-lekas terbinasa saja.

Sesungguhnya Tik Hun memang tidak tega dan sangat ingin membantu tamatkan riwajat Cui Tay. Tapi bila dirinya turun tangan, hal mana pasti akan menimbulkan kemurkaan Hiat-to Loco. Padahal ia sudah saksikan dengan mata kepala sendiri betapa akan buas dan kejamnya bhiksu Tibet itu. Makanya iapun tidak berani sembarangan membikin marah padanya.

“Sing-ji, boleh kau mohonlah belas kasihan Siausuhu ini agar suka lekasan membunuh aku saja, kalau terlambat sebentar lagi tentu akan kasip.” Pinta Cui Tay kepada puterinya.

Tapi pikiran Cui Sing sedang kusut dan bingung, sahutnya: “Ayah, engkau tak boleh meninggal, engkau tak boleh meninggal!”

“Dalam keadaan demikian, aku lebih baik mati daripada hidup, masakah kau tidak melihat penderitaanku ini?” kata Cui Tay dengan gusar.

Dan baru sekarang Cui Sing tersadar, sahutnya: “Ya, benar! ayah, biarlah ku mati bersama engkau!”

“Siausuhu,” segera Cui Tay meminta lagi kepada Tik Hun, “mohon belas kasihanmu, sudilah lekas membunuh aku. Suruh aku takluk dan minta ampun pada bhiksu tua bangka itu, masakah orang she Cui ini sudi buka mulut? Pula aku tak dapat menyaksikan puteriku dihina olehnya!”

Meski selama ini Tik Hun menyelamatkan diri dengan membonceng Hiat-to Loco serta bermusuhan dengan para jago silat dari Tionggoan, namun hati kecilnya sebenarnya tidak suka kepada bhiksu jahat itu. Dasar jiwanya memang luhur dan bersemangat kesatria, kini mendadak timbul juga jiwa kepahlawanannya, dengan suara tertahan segera ia terima baik permintaan Cui Tay. “Baiklah, akan kubunuh kau, meski nanti akan diamuk oleh bhiksu tua juga aku tidak peduli lagi!”

Cui Tay bergirang, memangnya ia seorang yang banyak tipu akalnya, meski dalam keadaan terluka parah, namun ia masih bisa mengatur siasat, bisiknya kepada Tik Hun: “Aku akan pura-pura memaki kau dengan suara keras, lalu sekali kemplang boleh kau binasakan aku, bhiksu tua bangka itu pasti tidak mencurigai kau lagi!” Dan tanpa menunggu jawaban Tik Hun, terus saja ia memaki kalang kabut: “Hwesio cabul kecil, Hwesio keparat! Jika kau tidak mau sadar dan tetap meniru perbuatan Hwesio tua bangka yang terkutuk itu, kelak kau psti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Bila hati nuranimu masih baik, seharusnya lekas-lekas kau tinggalkan Hiat-to-bun! Hwesio cabul kecil, kau anak jadah, cucu kura-kura!”

Diantara caci-maki itu dapat didengar Tik Hun bahwa ada bagian-bagian yang menasihatkan dirinya agar menuju kejalan yang baik. Diam-diam ia merasa berterima kasih, segera ia angkat sepotong kayu, tapi toh tidak tega dikemplangkan begitu saja.

Keruan Cui Tay menjadi gopoh, dengan tak sabar ia memaki lebih keji lagi.

Disebelah sana tertampak Hoa Tiat-kan sudah tak berdaya, mendadak kakinya lemas terus bertekuk lutut dan menyembah kepada Hiat-to Loco.

Dengan terbahak-bahak Hiat-to Loco tidak sia-siakan kesempatan bagus itu, sekali tutuk “Leng-tay-hiat” dipunggung Hoa Tiat-kan yang sedang menyembah itu kena ditutuknya. Dan karena tutukan itu adalah sisa antero tenaganya yang masih tinggal setitik itu, maka habis itu, iapun lemas benar-benar. Hoa Tiat-kan tertutuk roboh, Hiat-to-ceng sendiri juga lemas lunglai sampai dengkulnya hampir tak kuat menahan sang tubuh.

Melihat Hoa Tiat-kan bertekuk lutut, hati Cui Tay menjadi pedih, kawan itu sudah takluk pada musuh, kalau dirinya mati pula, maka tiada seorangpun yang dapat melindungi sang puteri lagi, diam-diam ia sesalkan nasib puterinya yang buruk itu. Mendadak ia membentak; “Hwesio cilik keparat! Mengapa kau tidak berani hantam aku?”

Tik Hun sendiri juga menyaksikan Hoa Tiat-kan menyerah tanpa sjarat kepada Hiat-to-ceng, ia pikir sejenak lagi bhiksu tua itu pasti akan putar balik, maka dengan mengkertak gigi, terus saja ia ayun alu kayu tadi keatas kepala Cui Tay.

“Prak”, kontan batok kepala pendekar besar itu pecah dan binasa seketika.

“Ayah!” Cui Sing menjerit sekali, lalu iapun jatuh pingsan.

Hiat-to Loco juga mendengar suara caci-maki Cui Tay tadi, maka ia sangka Tik Hun tidak tahan makian itu, maka telah membunuh jago tua itu. Ia pikir sekarang toh Hoa Tiat-kan sudah tak bisa berkutik, mati-hidupnya Cui Tay sudah tidak menjadi soal lagi baginya. Dan karena rasa lega dan saking gembiranya; terus saja ia terbahak-bahak keras.

Namun ia lantas merasa suara tertawa sendiri itu tidak beres, suara itu cuma “hoh-hoh-hoh” belaka, suara parau yang lemah, suara itu lebih tepat dikatakan merintih daripada disebut tertawa.

Ia coba berjalan dengan sempoyongan, tapi hanya dua-tiga langkah saja, tiba-tiba terasa pinggang pegal linu, akhirnya ia terjatuh mendoprok lagi ketanah salju.

Melihat kejadian begitu, baru sekarang Hoa Tiat-kan sangat menyesal: “Ya, apa yang dikatakan Cui-hiante memang tidak salah, bhiksu jahat itu ternyata benar sudah kehabisan tenaga. Tahu begitu, tadi kuhantam sekali tentu dapat membinasakan dia, tapi mengapa aku menjadi begini pengecut serta berlutut dan minta ampun padanya?” Sungguh ia menjadi malu tak terhingga mengingat nama baiknya sebagai seorang pendekar besar yang tersohor selama berpuluh tahun, kini ternyata mandah bertekuk lutut menyerah pada musuh, noda dan hina perbuatannya ini betapapun susah dihapus lagi. Kini ia sudah tertutuk, untuk bisa bergerak lagi harus tunggu 12 jam kemudian.

Sebagai seorang Kangouw ulung, ia tahu selama Hiat-to-ceng masih berlagak perkasa, jiwanya mungkin masih dapat diselamatkan, tapi kini kelemahan Hiat-to-ceng sudah ketahuan, terhadap padanya tentu juga tiada kenal ampun lagi. Sebab kalau masih bicara tentang ampun segala, bila 12 jam kemudian hingga dirinya dapat bergerak, mustahil takkan balas turun tangan kepada bhiksu itu.

Dan benar juga, segera terdengar Hiat-to-ceng berkata kepada Tik Hun: “Cucu murid yang baik, hayolah lekas kau kemplang mampus orang itu. Orang itu teramat licik dan keji, jangan dibiarkan hidup.”

“Bukankah kau sudah berjanji akan mengampuni jiwaku, mengapa kau ingkar janji?” seru Hoa Tiat-kan. Sudah terang diketahui protesnya itu takkan berguna, tapi sebelum ajal ia pantang mati, sedapat mungkin ia ingin hidup.

“Hm, bhiksu keluaran Hiat-to-bun kami masakah bicara tentang kepercayaan apa segala?” jengek Hiat-to Loco dengan tertawa iblis. “Kau tekuk lutut dan minta ampun padaku adalah karena kau telah tertipu olehku. Haha, hahaha! Nah, cucu-murid yang baik, lekas sekali kemplang mampuskan dia saja. Kalau dibiarkan hidup, akibatnya sangat berbahaya bagi kita.”

Sesungguhnya Hat-to-ceng juga sangat jeri kepada Hoa Tiat-kan, ia tahu tutukan yang dilakukannya tadi karena kurang kuat tenaganya, belum tentu tutukan itu dapat mengenai tempat yang paling dalam, bukan mustahil setiap saat akan dapat ditembus oleh tenaga dalam Hoa Tiat-kan, tatkala itu keadaan akan berbalik menjadi dirinya yang merupakan makanan empuk bagi jago she Hoa itu.

Namun Tik Hun tidak tahu kalau tenaga dalam Hiat-to Loco sudah kering benar-benar,, ia sangka sesudah sekian lamanya mengalahkan lawan-lawan tangguh, maka bhiksu tua itu perlu mengaso sebentar. Diam-diam ia pikir: “Sebabnya aku membunuh Cui-tayhiap tadi adalah karena aku ingin membantu dia terhindar dari siksaan lebih jauh. Sedangkan Hoa-tayhiap itu toh tidak kurang apa-apa, mengapa aku mesti membunuh dia?”

Karena pikiran itu, ia lantas berkata: “Cosuya, dia toh sudah menyerah dan tertutuk olehmu, kukira boleh mengampuni jiwanya saja!”

“Benar! Benar ucapan Siausuhu itu!” seru Hoa Tiat-kan segera. “Memang tepat perkataan Siausuhu, aku sudah ditaklukan kalian, sedikitpun tiada maksud melawan lagi, mengapa kalian akan membunuh aku pula?”

Tatkala itu Cui Sing mulai siuman sambil menangis dan merintih-rintih nama sang ayah. Ketika mendengar permintaan ampun Hoa Tiat-kan secara tidak kenal malu itu, sungguh bencinya setengah mati, kontan ia memaki: “Hoa-pepek, engkau sendiri terhitung satu jago kelas satu yang gilang-gemilang di Tionggoan, mengapa engkau begitu rendah dan tanpa malu-malu minta ampun kepada musuh? Semata-mata engkau melihat ayahku tersiksa, tapi kau ………. kau malah …………” Sampai disini ia tidak sanggup meneruskan lagi karena tangisnya yang teramat pilu.

“Tapi………..tapi ilmu silat kedua Toasuhu itu terlalu tinggi, kita tak mampu menangkan mereka, maka lebih …………. lebih baik kita menyerah saja dan ikut pada mereka, kita akan tunduk pada perintah mereka,” demikian kata Hoa Tiat-kan dengan tidak malu-malu lagi.

Hiat-to-ceng pikir makin lama menunggu makin berbahaya baginya. Tapi celaka, sedikitpun ia tidak bertenaga. Maksudnya hendak berdiri juga tidak sanggup lagi. Maka katanya pula: “Anak baik, turutlah pada Cosuya, lekaslah bunuh manusia rendah itu!”

Akan tetapi sambil memegangi alu yang telah digunakan mengemplang Cui Tay tadi, Tik Hun hanya bergemetar saja dengan ragu-ragu.

Ketika Cui Sing menoleh dan melihat kepala sang ayah pecah penuh darah, tewasnya sangat mengenaskan, teringat betapa kasih sayang sang ayah kepadanya dimasa hisupnya, sungguh hancurlah hatinya dan hampir-hampir kelengar lagi.

Tentang Cui Tay minta pertolongan pada Tik Hun agar suka membunuhnya, hal itu telah didengar juga oleh Cui Sing. Tapi saking dukanya sekarang ia tidak dapat membedakan salah atau benar lagi, yang diketahui olehnya adalah kepala sang ayah yang pecah itu lantaran dikemplang oleh Tik Hun. Rasa duka dan murkanya tak tertahan lagi, sekonyong-konyong satu arus hawa panas menerjang naik dari bagian perut.

Seorang jago silat yang Iwekangnya sudah terlatih sempurna, biasanya memang mampu mengunakan hawa murni sendiri untuk membuka Hiat-to yang tertutuk. Tapi untuk mencapai tingkatan yang hebat itu bukanlah suatu cara yang mudah. Sedangkan Hoa Tiat-kan saja takbisa, apalagi Cui Sing?

Tapi setiap orang dalam saat menghadapi mara bahaya, pada waktu mengalami suatu pergolakan perasaan yang luar biasa, maka sering-sering akan dapat timbul suatu kemampuam yang tak terduga, kemampuan yang dapat melakukan sesuatu yang biasanya sangat sulit dilaksanakan. Yaitu misalnya waktu terjadi kebakaran, tanpa merasa seorang dapat mengangkat benda berat yang biasanya tidak kuat diangkatnya atau melompat tempat tinggi yang biasanya tidak mungkin dilampauinya.

Dan begitulah kira-kira keadaan Cui Sing pada saat itu. Oleh karena bergolaknya sang perasaan, Hiat-to yang tertutuk itu mendadak lancar kembali oleh tenaga yang timbul mendadak dari pusarnya itu. Enatah darimana datangnya tenaga lagi, sekonyong-konyong ia melompat bangun, ia rampas kayu yang dipegang Tik Hun terus menghantam dan menyabat serabutan kearah pemuda itu.

Meski Tik Hun sudah berkelit kesana dan mengegos kesini, tapi mukanya, kepalanya, telinga dan pundaknya toh beruntun-runtun kena digebuk hingga belasan kali dan sakitnya tidak kepalang. Sembari tangannya dipakai menangkis, mulutnya sibuk berteriak pula: “Hei, hei! Mengapa kau memukul padaku? ayahmu sendiri yang suruh aku membunuhnya!”

Cui Sing terkesiap mendengar seruan itu. Benar juga pikirnya, memang tadi ia sendiri juga mendengar ayahnya sendiri yang meminta pemuda itu suka membunuhnya. Dan sesudah tertegun sejenak, seketika ia lemas seperti balon gembos. Ia terkulai disaping Tik Hun dan menangis tergerung-gerung.

Mendengar ucapan Tik Hun yang mengatakan Cui Tay yang minta pemuda itu membunuhnya, sekilas pikir saja segera Hiat-to Loco paham duduknya perkara, keruan ia sangat gusar: “Bocah ini berani membangkang pada perguruan dan malah membantu musuh, benar-benar murid durhaka yang kudu dibasmi.”

Dalam gusarnya segera ia bermaksud menyambar goloknya untuk membunuh Tik Hun. Tapi sedikit tangannya bergerak, segera teringat tenaga sendiri terlalu lemah, keselamatan sendiri sebenarnya sangat berbahaya.

Namun Hiat-to-ceng itu memang seorang manusia licin, sedikitpun ia tidak perlihatkan rasa gusarnya itu, bahkan dengan tersenyum ia berkata: “Eh, cucu murid yang baik, kau harus mengawasi anak dara itu dan jangan membiarkan dia main gila. Dia sudah menjadi milikmu, bagaimana kau akan perlakukan dia, Cosuya terserah kepadamu.”

Tapi disebelah sana Hoa Tiat-kan telah mengetahui ketidak beresan itu, segera ia berseru: “Cui-titli, kemarilah sini, aku ingin bicara padamu.”

Ia tahu waktu itu Hiat-to Loco sudah tak bertenaga sedikitpun dan tidak menguatirkan lagi. Tik Hun kakinya patah, diantara mereka berempat sebaliknya Cui Sing sekarang terhitung paling kuat, maka ia ingin membisiki gadis itu agar segera menggunakan kesempatan bagus itu untuk membunuh kedua bhiksu.

Tak terduga Cui Sing sudah terlalu benci kepada jiwanya yang rendah dan tidak kenal malu itu, ia pikir kalau kau tidak takluk pada musuh, tentu jiwa ayahku takkan melayang. Maka pangilan Hoa Tiat-kan itu sama sekali tak digubris olehnya.

“Cui-titli,” demikian Tiat-kan berseru pula, “Jikalau kau ingin melepaskan diri dari kesulitan, sekarang adalah saat yang paling baik. Kemarilah kau, akan kukatakan padamu.”

Hiat-to Loco menjadi gusar, damperatnya: “Tutup bacotmu! Kau berani cerewet lagi, segera kupenggal kepalamu!”

Betapapun Hoa Tiat-kan ternyata tidak berani kepada bhiksu Tibet itu, maka ia tidak berani bersuara lagi, hanya berulang-ulang ia main mata kepada Cui Sing.

Cui Sing menjadi sebal dan mual terhadap kelakuan manusia rendah itu, damperatnya dengan gusar: “Ada soal apa, katakan saja, mengapa mesti main kasak-kusuk segala?”

Gemas rasa Hoa Tiat-kan terhadap sigadis yang tidak menurut itu. Pikirnya: “Tampaknya bhiksu tua itu sedang mengerahkan tenaga dalamnya. Sedikit tenaganya pulih kembali, asal kuat mengangkat goloknya, pasti aku yang akan dibunuh paling dulu. Waktu sudah mendesak, terpaksa aku harus lekas beberkan rahasianya.” Maka cepat ia berseru: “Cui-titli, coba lihat Hwesio tua itu, setelah pertarungan sengit tadi, tenaganya sudah terkuras habis, sejak tadi ia mendoprok ditanah dan tidak kuat berdiri lagi.”

Cui Sing coba melirik si bhiksu tua, benar juga dilihatnya bhiksu itu menggeletak diatas salju, keadaannya sangat payah. Teringat kepada sakit hati sang ayah, seketika ia menjadi kalap, tanpa pikir lagi apakah perkataan Hoa Tiat-kan itu benar atau tidak, terus saja ia angkat batang kayu dan menghantam kearah Hiat-to ceng.

Namun Hiat-to Loco itu benar-benar manusia yang licin, ketika mendengar Hoa Tiat-kan berulang-ulang memanggil Cui Sing, diam-diam iapun tahu maksud musuh itu, dalam kuatirnya iapun peras otak mencari bagaimana harus menghadapi si gadis bila sebentar lagi datang menyerang padanya. Sedapat mungkin ia menarik napas panjang dua kali, tapi perutnya terasa kosong blong tanpa tenaga sedikitpun, bahkan bertambah lemah daripada tadi. Seketika ia menjadi tak berdaya dan sementara itu batang kayu Cui Sing sudah melayang keatas kepalanya.

Oleh karena saking duka atas kematian ayahnya, maka serangan Cui Sing itu hakikatnya sekenanya belaka tanpa sesuatu gerak tipu. Biasanya senjata kemahirannya adalah pedang, sebenarnya ia tidak paham ilmu pentung. Sebab itulah sekali ia menggebuk, segera tertampak banyak lubang kelemahannya. Kesempatan itu segera dipergunakan Hiat-to Loco dengan baik, sedikit ia miringkan tubuh, diam-diam ia julurkan tumbak Hoa Tiat-kan yang dipegangnya dengan miring keatas.

Cuma keadaannya terlalu lemah, untuk angkat ujung tumbak keatas sesungguhnya tidak kuat baginya. Maka yang dapat diacungkan miring keatas itu adalah garan tumbak, ia incar “Toa-pau-hiat” dibawah ketiak Cui Sing.

Saking pilunya perasaan, sudah tentu Cui Sing tidak menduga akan akal licik orang, sekali hantam, tepat sekali pentungnya mengenai muka Hiat-to-ceng hingga bonyok dan keluar darahnya. Tapi pada saat yang sama pula ketiaknya terasa kesemutan, kaki-tangannya menjadi lemas, badannya tergeliat dan akhirnya roboh terguling disaping Hiat-to-ceng.

Meski mukanya kena dihanyut sekali oleh pentung sigadis hingga sangat kesakitan, namun Hiat-to Loco juga melihat tipu dayanya telah berhasil, Cui Sing telah membenturkan “Toa-pau-hiat” diketiak sendiri keujung tumbak yang dipasangnya, jadi Hiat-to sendiri ditutuk sigadis sendiri. Saking senangnya Hiat-to Loco terbahak-bahak dan berkata: “Nah, bangsat tua she Hoa, kau bilang tenagaku sudah habis, kenapa dengan gampang saja aku dapat merobohkan dia?”

Bahwasanya Cui Sing tersodok sendiri jalan darahnya oleh ujung tumbak yang sengaja dipasangi Hiat-to Loco, karena teraling-aling badan sigadis, maka apa yang terjadi itu tak dilihat oleh Hoa Tiat-kan dan Tik Hun, maka mereka menjadi kaget dan percaya penuh bahwa gadis itu telah ditutuk roboh oleh Hiat-to Loco.

Ketika didekati Hiat-to Loco, saking ketakutannya Hoa Tiat-kan terus bertekuk lutut dan menyembah kepada bhiksu jahat itu serta minta ampun.

Keruan yang paling kaget dan takut adalah Hoa Tiat-kan, dengan tidak kenal malu-malu lagi ia memuji setinggi langit: “Ya, ya, memang ilmu sakti Locianpwe sudah tiada taranya, dengan sendirinya manusia biasa seperti diriku yang berpandangan picik ini tidak kenal akan ilmu sakti Locianpwe. Betapa hebat tenaga dalam Locianpwe itu boleh dikata tiada bandingannya dijagat ini, bahkan mungkin tidak pernah ada dari jaman dulu hingga sekarang.”

Begitulah tiada habis-habisnya dia memuji Hiat-to Loco. Dari suaranya yang gemetar itu, terang hatinya ketakutan setengah mati.

Padahal bisanya Hiat-to Loco merobohkan Cui Sing itu hanya dilakukan secara untung-untungan saja. Sesudah berhasil, diam-diam ia sangat bersjukur dirinya sudah bebas dari ancaman maut. Tapi jalan darah Cui Sing yang tersodok itu hanya terkena tenaga luaran dari sesuatu benda keras, jadi bukan ditutuk dengan tenaga dalam yang dapat menyusup hingga titik Hiat-to yang paling mendalam. Setelah lewat beberapa lamanya Hiat-to yang tersodok itu akan lancar kembali. Dan bila hal mana terjadi, tidak mungkin tutukan secara kebetulan itu dapat terulang, tak usah disangsikan lagi jiwanya pasti akan melayang ditangan sigadis.

Sebab itulah, Hiat-to-ceng berusaha sedapat mungkin didalam waktu singkat itu harus memulihkan sedikit tenaga, pada sebelum Cui Sing dapat bergerak, ia sendiri sudah harus dapat berdiri.

Maka dengan diam-diam Hiat-to-ceng melakukan semadi walaupun dengan cara yang tidak sewajarnya, yaitu dengan mendoprok. Habis, untuk duduk bersila saja ia tidak mampu.

Tempat menggeletak Cui Sing itu jaraknya cuma satu-dua meter disebelah Hiat-to-ceng. Semula ia sangat kuatir entah perlakuan apa lagi yang hendak dilaksanakan atas dirinya oleh bhiksu jahat itu. Tapi sesudah sekian lamanya sedikitpun tiada sesuatu gerak-gerik dari bhiksu itu, barulah hatinya merasa lega.

Ditanah bersalju saat itu menjadi menggeletak empat orang dengan perasaan yang berbeda-beda.

Tik Hun antero tubuhnya, dari kepala, pundak, tangan, sampai kaki, semuanya babak belur dan sakit tak terkatakan, dengan mengkertak gigi ia bertahan sedapat mungkin supaya tidak merintih, suruh dia memeras otak terang tidak sempat lagi.

Hiat-to-ceng cukup tahu tenaga dalam sendiri sudah kering, jangankan hendak memulihkan dua-tiga bagian tenaga itu, sekalipun untuk berjalan saja paling sedikit diperlukan waktu dua-tiga jam lagi. Sedangkan keadaan Hoa Tiat-kan juga tidak lebih baik, ia tertutuk dan paling sedikit harus esok paginya baru bisa bergerak dengan sendirinya.

Jadi bahaya yang terbesar tetap terletak pada diri Cui Sing. Siapa duga gadis itu sudah terlalu duka dan murka hingga semangatnya lesu dan tenaga letih, ia menggeletak sekian lamanya dan akhirnya terpulas malah.

Tentu saja Hiat-to Loco bergirang, pikirnya: “Paling baik kau terus tertidur hingga beberapa jam lamanya, maka aku tidak perlu kuatir apa-apa lagi.”

Hal mana rupanya juga diketahui oleh Hoa Tiat-kan, ia sadar mati hidup sendiri sangat tergantung kepada Cui Sing yang diharapkan bisa bergerak lebih dulu daripada si bhiksu tua. Tapi demi nampak gadis itu menjadi pulas, ia terperanjat, cepat ia berseru: “Hai, Cui-titli, jangan sekali-sekali kau tidur, sekali kau pulas, segera kau akan dibunuh oleh kedua bhiksu cabul itu!”

Namun Cui Sing benar-benar sudah terlalu letih, hanya terdengar mulutnya mengigau beberapa kali, lalu menggeros sebagai babi mati.

Dengan kuatir Hoa Tiat-kan berteriak-teriak lebih keras: “Cui-titli, wah celaka! Lekas mendusin, kau hendak dibunuh oleh Ok-ceng itu!” Namun sigadis tetap tak bergeming.

Diam-diam Hiat-to-ceng menjadi gusar: “Kurang ajar! Gembar-gembornya ini benar-benar membahayakan!” Maka katanya segera kepada Tik Hun: “Cucu murid yang pintar, coba majulah kau dan sekali bacok mampuskan tua bangka itu !”

“Tapi orang itu sudah takluk, bolehlah ampuni jiwanya,” ujar Tik Hun.

“Mana dia mau takluk?” kata Hiat-to Loco. “Bukankah kau mendengar dia sedang berteriak-teriak dengan maksud membikin celaka kita.”

“Siausuhu,” tiba-tiba Hoa Tiat-kan menyela, “kakek-gurumu itu sangat kejam, sementara ini dia sudah kehabisan tenaga murni, ia tidak dapat bergerak sedikitpun, makanya kau disuruh membunuh aku. Tapi sebentar kalau tenaga dalamnya sudah pulih, karena marah pada pembangkanganmu tadi, tentu kau akan dibunuhnya lebih dulu. Maka ada lebih baik sekarang juga engkau mendahului turun tangan bunuhlah dia.”

“Tidak, ia bukan kakek-guruku,” sahut Tik Hun sambil menggeleng. “Cuma dia ada budi padaku, dia telah menyelamatkan jiwaku, mana boleh aku membalas air susu dengan air tuba dan membunuhnya?”

“O, jadi dia bukan kakek-gurumu?” Hoa Tiat-kan menegas. “Itulah lebih-lebih baik lagi, lekas kau bunuh dia, sedetikpun jangan ajal. Bhiksu-bhiksu dari Hiat-to-bun terkenal maha kejam, jiwamu sendiri kau sayangkan atau tidak?”

Tik Hun menjadi ragu-ragu, ia tahu apa yang dikatakan Hoa Tiat-kan itu bukan tak beralasan, tapi kalau suruh dia membunuh Hiat-to Loco, perbuatan itu betapa ia tidak sanggup. Namun Hoa Tiat-kan masih terus mendesaknya tanpa berhenti, sampai akhirnya Tik Hun menjadi tidak sabar, bentaknya: “Tutup mulutmu, jika kau cerewet lagi, segera aku mampuskan kau dahulu!”

Melihat gelagat tidak menguntungkan, Tiat-kan tidak berani membacot lagi, yang dia harap adalah semoga Cui Sing lekas-lekas mendusin.

Selang tak lama, saking tak sabar, kembali ia berteriak-teriak: “Cui-titli, lekas bangun, lihatlah ayahmu telah hidup kembali!”

Teriakannya ini ternyata sangat manyur, dalam tidurnya layap-layap Cui Sing mendengar suara orang menyebut ayahnya telah hidup kembali. Saking girangnya seketika ia mendusin sambil berseru: “Ajah, ayah!”

Cepat Hoa Tiat-kan menanggapi: “Cui-titli, Hiat-to dibagian mana kau ditutuknya tadi? Cobalah katakan, bhiksu jahat itu sudah kehabisan tenaga, tutukannya tentu juga tidak keras, biarlah kuajarkan satu cara menarik napas untuk melancarkan Hiat-to yang tertutuk itu.”

Ketika ketiakku terasa kesemutan tadi, aku lantas takbisa berkutik lagi.” Kata Cui Sing.

“Ha, itulah Toa-pau-hiat yang tertutuk, gampang jika begitu lekas ia tarik napas panjang-panjang, lalu pusatkan keperut dan pelahan-lahan menggunakan hawa itu untuk menggempur Toa-pau-hiat dibagian ketiak itu, setelah kau dapat bergerak segera sakit hati ayahmu dapat kau balas,” demikian Hoa Tiat-kan mengajarkan.

Cui Sing mengangguk dan mengiakan. Meski dia masih sangat benci pada Hoa Tiat-kan yang rendah itu, namun apapun juga dia adalah kawan dan bukan lawan, sedangkan ajarannya itupun memang menguntungkan dirinya, maka ia lantas menurut petunjuk itu, ia menarik napas panjang2 dan dikerahkan kebagian perut ……….

Diam-diam Hiat-to-ceng juga mengikuti gerak-gerik sigadis itu. Ketika dilihatnya Cui Sing menurut petunjuk Hoa Tiat-kan, diam-diam ia mengeluh dan gelisah: “Anak dara itu sudah dapat mengangguk, hakikatnya ia tidak perlu menarik napas dan menghimpun hawa didalam perut segala, tapi sebentar lagi juga jalan darahnya akan lancar kembali dan dapat bergerak segera.”

Karena itu ia sendiripun lantas pusatkan pikiran, ia berharap bisa mengumpulkan sedikit tenaga untuk kemudian dipupuk lebih kuat, maka terhadap gerak-gerik Cui Sing apakah sudah dapat berjalan atau tidak sama sekali tak dipikirkan lagi.

Mengenai ilmu mengerahkan hawa murni untuk menggempur Hiat-to yang tertutuk, ilmu maha gaib itu Hoa Tiat-kan sendiri tidak becus, jangankan Cui Sing. Tapi jalan darahnya yang tertutuk itu hakikatnya sangat enteng, sesudah darah berjalan lancar, otomatis tutukan itu menjadi bujar dengan sendirinya. Maka tidak antara lama, pundaknya tampak sudah dapat bergerak.

“Bagus, Cui-titli,” seru Hoa Tiat-kan dengan girang. “Teruskanlah cara petunjukku itu, sebentar lagi pasti engkau sudah bisa berjalan. Tindakan pertama hendaklah kau jemput golok merah itu, engkau harus menurut kata-kataku dan jangan membangkang, bila tidak, sakit hati ayahmu tentu tak terbalas!”

Cui Sing mengangguk, ia merasa anggota badannya sudah tidak kaku lagi, ia coba tarik napas panjang-panjang sekali dan pelahan-lahan dapatlah berduduk.

“Bagus, bagus! Cui-titli, setiap gerak-gerikmu harus kau turut pesanku, jangan kau salah bertindak, sebab didalam tindakanmu ini nanti terletak kunci utama apakah engkau akan dapat membalas sakit hati atau tidak,” demikian seru Tiat-kan pula. “Nah, tindakan pertama sekarang jemputlah golok merah melengkung itu.”

Cui Sing menurut, pelahan-lahan ia mendekati Hiat-to Loco dan menyemput golok milik bhiksu itu.

Melihat tindakan sigadis itu, Tik Hun tahu tindakan selanjutnya tentu goloknya akan membacok hingga kepala Hiat-to-ceng terpenggal. Tapi bhiksu tua itu ternyata adem-ajem saja, kedua matanya seperti terpejam dan seperti melek, terhadap bahaya yang sedang mengancam itu ternyata tidak digubrisnya.

Kiranya waktu itu Hiat-to Loco merasa tenaga pada kaki dan tangannya mulai tumbuh, asal tahan lagi setengah jam, meski belum kuat benar, tapi untuk berjalan tentu dapat. Dan justeru pada saat genting itulah Cui Sing sudah mendahului menyambar goloknya. Walaupun dalam keadaan tak bergerak, tapi pertarungan batinnya sebenarnya tidak kalah seru daripada pertempurannya melawan Lau Seng-hong dan Liok Thian-ju tadi.

Dalam pada itu tampaknya Cui Sing sudah akan segera menyerang padanya, diam-diam Hiat-to-ceng menghimpun setitik tenaga yang sangat lemah dari seluruh tubuhnya itu kelengan kanan.

Diluar dugaan terdengar Hoa Tiat-kan berseru: “Dan tindakan kedua, bunuhkah lebih dulu Hwesio muda itu. Lekas, lebih cepat lebih baik, bunuh dulu Hwesio muda itu.”

Seruan itu benar-benar tak tersangka oleh Cui Sing, Hiat-to-ceng dan Tik Hun sendiri. Dan karena melihat sigadis masih tertegun, segera Tiat-kan berteriak lagi: “Hayolah lekas! Hwesio tua itu tak bisa bergerak, maka lebih penting bunuhlah Hwesio muda itu dahulu. Jika kau membunuh bhiksu tua dulu, tentu si bhiksu muda akan mengadu jiwa dengan kau!”

Benar juga pikir Cui Sing, segera ia menghunus goloknya kedepan Tik Hun. Tapi mendadak ia menjadi ragu-ragu. “Dia pernah membantu ayahku dengan membunuhnya sehingga terhindar dari siksaan dan hinaan si bhiksu tua yang jahat itu. Apakah sekarang aku harus membunuhnya atau tidak?”

Rasa ragu-ragu itu hanya timbul sekilas lintas, sebab ia lantas ambil keputusan harus membunuhnya. Dan sekali angkat goloknya, terus saja ia membacok keleher Tik Hun.

Cepat pemuda itu berguling menyingkir, ketika bacokan kedua kalinya tiba pula, kembali Tik Hun menggelundung pergi lagi. Menyusul ia lantas sambar sebatang kayu dan dibuat menangkis. Namun beruntun Cui Sing menabas dan memotong hingga batang kayu itu terpapas dua bagian.

Ketika untuk sekali lagi Cui Sing hendak membacok, sekonyong-konyong pergelangan tangannya terasa kencang, golok merah itu tahu-tahu telah dirampas oleh seorang dari belakang.

Jang merebut golok itu tak-lain-tak-bukan adalah Hiat-to Loco. Oleh karena tenaganya baru tumbuh setitik dan terbatas, sebaliknya keadaan mendesak ia harus bertindak, maka ia tidak boleh meleset bertindak, dengan mengincar jitu benar-benar, sekali rebut segera golok pusakanya kena dirampas kembali. Dan begitu memegang senjata, tanpa pikir lagi ia terus membacok kepunggung Cui Sing.

Kejadian yang luar biasa cepat dan mendadak itu membikin Cui Sing terkesiap bingung hingga tidak sempat menghindar serangan Hiat-to-ceng itu.

Kebetulan Tik Hun berada disebelah situ, melihat si bhiksu tua hendak mengganas lagi, segera ia berteriak: “Hai, jangan membunuh orang lagi!” Berbareng ia terus menubruk maju sekuatnya meski dengan setengah mengesot, batang kayu ditangannya terus dipakai mengetok kepergelangan tangan si bhiksu tua.

Jika dalam keadaan biasa, tidak nanti tangan Hiat-to-ceng kena diketok. Tapi kini tenaganya hanya setitik saja, mungkin tiada satu bagian daripada tenaganya semula. Maka cekalannya menjadi kendur dan golok jatuh ketanah. Berbareng kedua orang lantas berebut menyemput golok itu.

Karena badan Tik Hun mengesot ditanah, tangannya dapat menyamah dulu garan golok itu, tapi segera lehernya terasa kencang dan napas sesak, tahu-tahu Hiat-to-ceng telah mencekiknya.

Untuk tidak mati tercekik, terpaksa Tik Hun melepaskan golok itu dan menggunakan tangannya untuk membentang cekikan Hiat-to-ceng. Namun bhiksu tua itu sudah bertekad sekali ini pemuda itu harus dicekik mampus mumpung tenaga sendiri masih ada setitik, kalau tidak dirinya sendiri nanti yang akan dibunuh olehnya.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa sebenarnya tiada maksud Tik Hun hendak membunuhnya, soalnya tadi pemuda itu tidak tega kalau Cui Sing terbinasa lagi dibawah golok si bhiksu, maka tanpa pikir terus turun tangan menolong.

Begitulah Tik Hun merasa napasnya semakin sesak dan dada seakan-akan meledak. Ia coba tarik-tarik tangan si bhiksu yang mencekiknya itu, tapi tidak berhasil. Mendadak ia menjadi nekat dan balas mencekik leher Hiat-to-ceng dengan mati-matian. Maka terjadilah pergumulan hebat.

Hiat-to-ceng insaf setitik tenaganya itu sangat terbatas, mati-hidupnya hanya tergantung pada seujung rambut saja. Sekali Hwesio cilik itu sudah timbul maksud hianatnya, menurut undang-undang Hiat-to-bun, pengkhianat harus dibasmi dulu baru kemudian membunuh musuh luar. Maklum, musuh luar gampang dihadapi, sebaliknya musuh dalam, kaum penghianat, lebih susah dijaga. Pula ia menduga sebelum esok pagi Hoa Tiat-kan takkan dapat bergerak, sedangkan ilmu silat Cui Sing sangat cetek, mudah dihadapi. Maka usahanya sekarang melulu dicurahkan untuk mencekik mati Tik Hun. Semakin lama semakin kencang cekikannya.

Ketika napas Tik Hun takbisa lancar lagi, mukanya menjadi merah padam, tangannya mulai lemas dan tak kuat balas mencekik, pelahan-lahan tangannya mengendur, dalam benak sekilas: “Matilah aku, matilah aku!”

Waktu melihat kedua bhiksu itu saling bergumul ditanah salju, Cui Sing juga tahu duduknya perkara disebabkan Tik Hun hendak menolong jiwanya. Tapi ia merasa kedua bhiksu jahat itu saling membunuh, kenapa aku tidak membiarkan mereka kepayahan dahulu atau mungkin keduanya nanti akan gugur bersama.

Tapi sesudah mengikuti pergumulan itu sebentar, lambat laun tertampak tangan Tik Hun mulai lemas dan tidak kuat balas menyerang lagi. Mau-tak-mau Cui Sing menjadi kuatir, sebab kalau bhiksu muda itu terbunuh, tentu menjadi giliran dirinya yang akan dibunuh lagi oleh bhiksu tua itu.

“Cui-titli,” tiba-tiba Hoa Tiat-kan berseru pula, “saat inilah kesempatan paling bagus untuk turun tangan! Hayolah, lekas jemput kembali golok itu.”

Cui Sing menurut, golok merah itu dijemputnya lagi.

“Nah, sekarang bunuhlah kedua bhiksu jahat itu, lebih cepat lebih baik,” seru Tiat-kan pula.

Dengan menghunus golok Cui Sing melangkah maju dengan maksud membunuh Hiat-to Loco dulu. Tapi demi melihat kedua orang masih bergumul menjadi satu, padahal golok itu tajamnya tidak kepalang, sekali tabas, bukan mustahil kedua-duanya akan mati semua.

Ia pikir Tik Hun tadi telah menyelamatkan jiwanya sendiri biarpun Hwesio muda itu jahat toh terhitung pula tuan penolongnya, mana boleh ia membalas susu dengan tuba? Tapi kalau mesti menanti lubang baik untuk melulu bunuh Hiat-to Loco seorang, ia merasa tangan sendiri juga sangat lemas, sedikitpun ia tidak yakin serangannya nanti akan dapat mengenai sasarannya dengan tepat.

Tengah Cui Sing merasa ragu-ragu dan serba susah, tiba-tiba Hoa Tiat-kan mendesaknya pula: “Cui-titli, hayolah lekas turun tangan, apa yang kau tunggu lagi? Jangan kau lewatkan kesempatan bagus ini, untuk membalas sakit hati ayahmu, inilah saatnya!”

“Tapi …….. tapi mereka berdua bergumul menjadi satu dan … dan tak terpisahkan,” ujar Cui Sing.

“Geblek kau, bukankah aku suruh kau membunuh mereka berdua?” omel Tiat-kan dengan gusar. Sebagai seorang tokoh terkemuka, ia adalah ketua dari Tiat-jiang-bun di Kang-say, sudah biasa ia memerintah dirumah dan apa yang dikatakan tiada yang berani membangkang, maka ia menjadi jengkel waktu Cui Sing tidak lantas turut perintahnya.

Nyata ia lupa dirinya sendiri dalam keadaan tak berkutik, sedang Cui Sing sebenarnya juga sudah benci dan pandang hina padanya. Keruan ucapannya yang kasar itu sangat menusuk perasaan Cui Sing dan membuatnya naik darah.

“Ya, ya, aku anak geblek, dan kau kesatria yang gagah,” demikian kontan sigadis balas mendamperat. “Tapi mengapa kau sendiri tadi tidak berani bertempur mati-matian dengan dia? Jika kau mampu, hayolah kau sendiri membunuh mereka saja. Hm, pengecut.”

Dasar Hoa Tiat-kan juga sangat licik, ia dapat melihat gelagat dan menuruti arah angin, lekas-lekas ia menyambut dengan tersenyum: “Ya, ya, memang Hoa-pepek yang salah, harap Cui-titli jangan marah. Nah, pergilah membunuh kedua bhiksu jahat itu untuk membalas sakit hati ayahmu. Penjahat besar sebagai Hiat-to-ceng itu dapat mati ditanganmu, kelak dunia Kangouw pasti akan sangat kagum kepada seorang Cui-lihiap yang perkasa dan berbakti pula.”

Tapi semakin cerewet ia mengumpak, semakin membikin Cui Sing merasa mual dan benci. Ia melototi manusia hina itu sekali, lalu melangkah maju, ia incar punggung Hiat-to Loco dan bermaksud menyajatnya dua-tiga kali dengan golok agar bhiksu tua itu terluka dan mengalirkan darah, sebaliknya Tik Hun tidak terluka apa-apa.

Namun disaping bergumul dengan Tik Hun, senantiasa Hiat-to Loco juga memperhatikan gerak-gerik Cui Sing. Ketika melihat gadis itu mendesak maju dengan golok terhunus, segera iapun dapat menaksir maksudnya, sebelum orang bertindak, ia sudah mendahului menegur dengan suara tertahan: “Baiklah, boleh kau potong punggungku dengan perlahan, tapi hati-hati, jangan sampai Hwesio cilik ini ikut terluka.”

Cui Sing kaget. Sudah banyak ia merasakan siksaan Hiat-to-ceng itu, memangnya ia sangat jeri padanya, maka demi mendengar maksudnya kena ditebak, ia menjadi ragu-ragu. Dan karena sedikit tertegun itu, ia urung menyerang pula. Padahal Hiat-to Loco hanya main gertak belaka.

Dalam pada itu Tik Hun yang dicekik Hiat-to Loco itu semakin payah keadaannya. Ia merasa dadanya seakan-akan melembung karena tak dapat mengeluarkan napas. Segera hawa yang terhimpun didalam paru-paru itu menerjang keatas, tapi karena jalan napas ditenggorokan tercekik dan buntu, hawa itu lantas membalik kebawah.

Begitulah hawa dada itu lantas mengamuk dengan menerjang kesini dan menumbuk kesana untuk mencari jalan keluar, tapi tetap buntu. Dalam keadaan begitu, bila orang biasa, akhirnya tentu akan pingsan dan mati sesak napas. Tapi Tik Hun justeru tidak mau pingsan, sebaliknya ia merasakan penderitaan yang tak terkatakan pada seluruh tubuhnya, yang terkilas dalam pikirannya ialah: “Matilah aku! Matilah aku!”

Sekonyong-konyong Tik Hun merasa perutnya sangat kesakitan, hawa didalam itu makin lama semakin melembung dan bertambah panas, jadi mirip uap panas yang takbisa keluar dari dalam kuali, perut serasa akan meledak. Pada saat lain, tiba-tiba “Hwe-im-hiat” pada bagian bawah perut seakan-akan tertembus suatu lubang oleh hawa panas itu, ia merasa hawa panas itu mengalir sedikit demi sedikit menuju ke “Tiang-kian-hiat” dibagian bokong, rasanya sangat nyaman sekali badannya sekarang.

Sebenarnya kedua Hiat-to didalam tubuhnya itu satu sama lain tiada berhubungan, tapi karena hawa panas yang bergolak didalam tubuhnya menghadapi jalan buntu, secara tak disengaja hawa itu menerjang kian kemari dan akhirnya telah menembuskan jalan darahnya antara urat nadi Im-meh dan Tok-meh itu.

Dan sekali hawa dalam itu masuk ke “Tiang-kiang-hiat”, terus saja hawa itu menyusur naik melalui tulang punggung, yaitu melalui titik-titik hawa yang tercakup dalam lingkungan Tok-meh hingga akhirnya mencapai “Pek-hwe-hiat” dibagian ubun-ubun kepala.

Biasanya biarpun dilatih secara giat dan rajin selama berpuluh tahun oleh seorang ahli Iwekang yang paling pandai juga belum tentu dapat menembus urat-urat nadi Im-meh dan Tok-meh. Tapi Tik Hun sejak mendapat ajaran intisari Iwekang maha hebat dari “Sin-ciau-keng” ketika sama-sama berada didalam penjara dengan Ting Tian dulu, kendati Iwekang itu sangat bagus, untuk melatihnya dengan baik juga tidak gampang, maka sampai kapan Tik Hun baru dapat meyakinkan ilmu Iwekang itu sesungguhnya juga masih merupakan suatu tanda tanya, apalagi bakat pembawaan pemuda itu bukan tergolong pilihan, pula tiada petunjuk lagi dari Ting Tian.

Siapa duga di saat jiwanya tergantung pada ujung rambut ditengah jurang bersalju itu, sekonyong-konyong jalan darah kedua urat nadi Im-meh dan Tok-meh yang penting itu dapat ditembusnya.

Begitulah maka ia menjadi segar merasakan hawa dalam itu menerjang ke “Pek-hwe-hiat” diatas kepala. Hawa nyaman itu kemudian menurun kebagian jidat, hidung, bibir hingga sampai di “Seng-ciang-hiat” dibawah bibir.

“Seng-ciang-hiat” itu sudah termasuk urat nadi “Im-meh” yang meliputi Hiat-to disebelah depan tubuh manusia. Maka dari situ hawa segar itu terus mengalir melalui Liat-coan-hiat, Thian-tut-hiat, Soan-ki-hiat dan lain-lain hingga akhirnya sampai “Hwe-im-hiat” lagi.

Jadi hawa segar itu telah memutar satu kali diantara titik-titik Hiat-to ditubuh Tik Hun hingga seketika rasa sesak tadi hilang sama sekali, bahkan kini merasa nikmat dan segar luar biasa.

Untuk pertama kali jalannya hawa murni itu agak sulit, tapi sekali sudah lancar, untuk kedua dan ketiga kalinya menjadi sangat gampang dan cepat jalannya, maka hanya dalam waktu singkat saja beruntun-runtun hawa murni itu sudah berputar sampai belasan kali.

Sebenarnya setiap jenis ilmu Iwekang juga mempunyai cara-cara menembus urat nadi Im-meh dan Tok-meh itu, namun manfaatnya sesudah berhasil melatihnya satu sama lain berbeda-beda. Mirip seperti orang yang melatih Gwakang, daya pukulan atau tendangan masing-masing mempunyai kekuatannya sendiri-sendiri.

Sedangkan Iwekang dari “Sin-ciau-keng” itu adalah semacam ilmu paling gaib dalam ilmu silat. Sudah cukup lama Tik Hun meyakinkan Sin-ciau-kang, yaitu sejak dia mengeram didalam penjara, jadi dasarnya sebenarnya sudah terpupuk kuat. Maka sekali dia sudah lancar menjalankan hawa murni itu, setiap kali hawa itu memutar titik-titik Hiat-to dalam tubuhnya, setiap kali bertambah pula tenaga dalamnya. Ia merasa anggota badannya sekarang seakan-akan penuh tenaga, semangat menyala-nyala, bahkan setiap ujung rambut juga seakan-akan penuh mengandung tenaga.

Dengan sendirinya hal mana tak diketahui oleh siapapun juga, Hiat-to Loco tidak menduga bahwa orang yang sedang dicekiknya itu sudah terjadi perubahan yang maha besar. Maka ia tidak perhatikan keadaan Tik Hun, sebaliknya sambil mencekik, yang dia perhatikan adalah golok yang dihunus oleh Cui Sing itu.

Dalam pada itu tenaga murni didalam tubuh Tik Hun makin lama bertumbuh makin kuat, mendadak sebelah kakinya mendepak, “bluk”, tepat sekali perut Hiat-to Loco kena ditendang. Tenaga tendangan itu ternyata tidak alang kepalang kuatnya, tanpa ampun lagi tubuh bhiksu tua itu mencelat dan melayang-layang keudara.

Keruan Cui Sing dan Hoa Tiat-kan menjerit kaget berbareng, mereka tidak tahu apakah yang terjadi sebenarnya? yang sudah terang ialah tubuh Hiat-to-ceng mencelat dan berjungkir-balik diudara, habis itu lantas menancap kedalam salju dengan kaki diatas. Begitu keras jatuhnya itu hingga badan bhiksu tua itu ambles semua kedalam salju, hanya sepasang kakinya yang menongol dipermukaan salju, dan malahan sudah takbisa bergerak lagi sedikitpun.

Cui Sing dan Hoa Tiat-kan sampai terkesima menyaksikan itu. Begitu pula Tik Hun juga tidak percaya kepada matanya sendiri, ia lebih-lebih tidak percaya pada saat sudah dekat ajalnya itu mendadak sekali depak bisa membikin Hiat-to Loco mencelat keudara?

Namun iapun tidak mau banyak pikir lagi, segera ia melompat bangun, tapi baru ia berdiri, mendadak kakinya kesakitan, ia menjerit sekali dan jatuh lagi. Nyata ia lupa bahwa sebelah kakinya sudah patah.

Tapi sekarang tenaga dalamnya sudah sangat kuat, gerak perubahannya dengan sendirinya sangat cepat, begitu jatuh, segera tangan kanan dipakai menahan, lalu meloncat bangun lagi dan berdiri dengan sebelah kaki.

Waktu ia pandang Hiat-to Loco, bhiksu tua itu tampak masih menancap didalam salju dengan kaki diatas tanpa bergerak sedikitpun. Girang dan kejut Tik Hun, ia kucak-kucak mata sendiri, ia ragu-ragu akan dirinya bukan dialam mimpi? Namun sesudah ia tegaskan, memang benar-benar Hiat-to Loco itu menancap secara terjungkir didalam salju.

Waktu Tik Hun melompat bangun tadi, karena kuatir dirinya diserang, maka Cui Sing telah menggeser mundur sambil siapkan golok didepan dada untuk menjaga segala kemungkinan. Tapi ia melihat Tik Hun bersikap kebingungan sambil menggaruk-garuk kepala sendiri yang gundul itu, agaknya kejadian didepan matanya itu telah membuatnya terheran-heran.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Hoat Tiat-kan berseru: “Wah ilmu sakti Siausuhu ini benar-benar tiada tandingannya dijagat ini, sekali depak bhiksu tua itu sudah terbunuh olehnya, tenaga tendangannya itu bukan mustahil ada ribuan kati kerasnya. Tindakan Siausuhu itu benar-benar bijaksana dan tanpa pandang bulu. Manusia jahat dan kejam sebagai Hiat-to-ceng itu memang setiap orang pantas membunuhnya.”

“Huh,” jengek Cui Sing saking tidak tahan mendengar ocehan yang tidak kenal malu itu. “Masih kau berani mengaco-belo segala, apakah kau tidak kuatir orang merasa mual? Pengecut!”

“Ah, kau tahu apa?” balas Hoa Tiat-kan. “Dalam keadaan bahaya Siausuhu itu berhasil meyakinkan ilmu saktinya, badannya sekarang sudah memiliki tenaga dalam yang maha kuat, bahkan diwaktu bhiksu tua itu masih hidup juga kalah kuat daripadanya. Itulah tanda orang baik tentu mempunyai rejeki besar. Selamat bahagialah, Siausuhu!”

Nyata, biarpun Hoa Tiat-kan itu seorang rendah jiwanya, tapi pandangannya memang sangat tajam. Sekali melihat air muka Tik Hun bercahaya dan penuh semangat, dibandingkan keadaan pemuda itu tadi, perbedaannya boleh dikata seperti langit dan bumi. Maka ia dapat menduga pasti pada saat menentukan tadi mendadak pemuda itu telah berhasil meyakinkan semacam Iwekang yang maha lihay, dari tenaga tendangannya kepada Hiat-to Loco yang luar biasa kerasnya itu, ia menaksir sekalipun dirinya dalam keadaan bebas dan sehat juga tiada separoh dari kekuatan tendangan itu.

Dan Tik Hun sendiri ternyata masih bingung, ia tanya dengan tergagap-gagap: “Kau …… kau bilang aku ……. aku telah menendang mati dia?”

“Ya, ya, itulah tidak usah disangsikan lagi,” sahut Hoa Tiat-kan. “Jikalau Siausuhu tidak percaya, boleh coba kau tabas dulu kedua kakinya, lalu menariknya keluar dari salju untuk diperiksa. Dan nanti tentu Siausuhu akan percaya pada omonganku.”

Dasar dia memang licin, maka setiap tipu yang dia rencanakan selalu sangat keji. Ia suruh Tik Hun tabas dulu kedua kaki Hiat-to Loco, tujuannya kalau-kalau dugaannya meleset dan bhiksu tua itu masih hidup, namun toh takbisa berkutik lagi karena kakinya sudah terkutung.

Namun Tik Hu tidak mau turut sarannya itu, ia pandang Cui Sing hingga gadis itu mundur ketakutan sebab mengira pemuda itu hendak merebut goloknya.

Tik Hun menggojang kepala dan katanya: “Jangan takut, aku takkan bikin susah padamu. Tadi engkau tidak membunuh aku bersama Hwesio tua itu, terimalah kasihku ini.”

Cui Sing hanya mendengus sekali dan tidak menjawab.

“Cui-titli, salah kau kalau begitu,” timbrung Hoa Tiat-kan tiba-tiba. “Siausuhu dengan jujur mengucapkan terima kasih padamu, seharusnya kaupun balas terima kasih padanya. Tadi sewaktu bhiksu tua yang jahat itu membacok kepunggungmu, bila Siausuhu ini tidak “lin-hiang-sik-giok‟ dan menolong padamu, saat ini jiwamu tentu melayang.”

Mendengar ucapan “Lin-hiang-sik-giok” (kasih wangi dan sayang pada giok, kiasan kesukaan orang kepada kaum wanita) itu, Tik Hun dan Cui Sing mendelik bersama kepada manusia rendah itu.

Padahal biarpun Cui Sing terhitung satu gadis jelita, tapi maksud Tik Hun menolongnya tadi hanya timbul secara spontan karena tidak ingin melihat orang baik-baik dibunuh si bhiksu jahat. Tapi dengan ucapan Hoa Tiat-kan itu menjadi seakan-akan maksud tujuannya menolong itu tidak sehat.

Sebaliknya Cui Sing memang sangsi dan sirik kepada Tik Hun, maka ucapan Hoa Tiat-kan itu jadi menambah rasa bencinya kepada pemuda itu. Ia merasa kedua orang itu sama-sama jahat dan rendah. Sekilas dilihatnya jenazah sang ayah, terus saja ia berlari mendekati dan mendekap diatas mayat itu sembari menangis tergerung-gerung.

“Siausuhu, siapakah gelaranmu yang mulia?” demikian Hoa Tiat-kan menanya dengan cengar-cengir.

Tik Hun menjadi mual dibuatnya. Sahutnya ketus: “Aku bukan Hwesio, maka jangan panggil-panggil Suhu padaku. Aku memakai jubah bhiksu adalah terpaksa karena harus menyamar untuk menyelamatkan diri.”

“Aha, bagus jika begitu,” seru Hoa Tiat-kan. “Kiranya Siausuhu, eh salah, tolol benar aku ini! Eh, numpang tanya siapakah nama yang mulia dari Tayhiap?”

Meski sedang menangis, tapi tanya-jawab kedua orang itu samar-samar juga didengar oleh Cui Sing. Demi mendengar Tik Hun menyatakan dirinya bukan Hwesio ia menjadi heran dan sangsi.

Maka terdengar Tik Hun telah menjawab: “Aku she Tik, aku hanya seorang “Bu-beng-siauw-cut‟ (prajurit tak bernama alias keroco), seorang cacat yang beruntung lolos dari cengkeraman elmaut, masakah kau sebut Tayhiap segala?”

“Bagus, bagus!” demikian Hoa Tiat-kan masih mengumpak setinggi langit. “Begitu tangkasnya Tik-tayhiap, dengan Cui-titli yang jelita itu benar-benar merupakan suatu pasangan yang cocok. Pak comblang juga tidak perlu dicari lagi, aku inilah sudah siap sedia. Hahaha, bagus, bagus, kiranya Tik-tayhiap memangnya bukan Cut-keh-lang (kaum bhiksu), maka cukup menunggu tumbuhnya rambut lalu salin pakaian, dengan demikian jadilah engkau seorang biasa, hakikatnya tidak perlu pakai upacara kembali kemasyarakat ramai apa segala.”

Rupanya Hoa Tiat-kan yakin benar-benar Tik Hun pasti bhiksu dari Hiat-to-bun, tapi karena kesemsem pada kecantikan Cui Sing, maka sengaja tidak mau mengaku asal-usulnya.

Lapat-lapat Cui Sing juga mempunyai pikiran seperti itu, maka ia bertambah kuatir demi mendengar perkataan Hoa Tiat-kan itu. Ia bangkit dan siapkan goloknya, pabila gerak-gerik Tik Hun mengunyuk kekurangajaran, segera ia akan melabraknya dengan mati-matian. Namun Tik Hun hanya geleng-geleng kepala dan menyahut dengan kurang senang: “Rupanya mulutmu perlu dikosek supaya lebih bersih. Mengapa selalu bicara tentang hal-hal kotor itu? Jikalau kita dapat keluar jurang ini dengan selamat, selamanya aku tidak sudi melihat cecongormu lagi dan selamanya takkan melihat muka nona Cui pula.”

Hoa Tiat-kan melengak karena tidak jelas kemana perkataan Tik Hun itu hendak menuju. Tapi sesudah memikir sejenak, segera ia sadar, katanya: “Aha, tahulah aku, tahulah aku!”

“Kau tahu apa?” damperat Tik Hun dengan melotot.

Maka berbisiklah Tiat-kan dengan lagak seorang detektip: “Ya, ya, tahulah aku. Tentu didalam kuil Tik-tayhiap masih ada sicantik yang menjadi pilihanmu dan nona Cui ini tidak dapat kau bawa pulang untuk menjadi suami-isteri abadi. Jika demikian, haha, boleh juga jadilah suami-isteri sambilan barang beberapa hari, apa halangannya sih?”

Biarpun bisik-bisik, namun Cui Sing dapat mendengarnya juga. Keruan gusarnya tidak kepalang, terus saja ia memburu maju, “plak-plok, plak-plok‟, kontan ia persen kedua pipi manusia rendah itu dengan empat kali gamparan.

Dengan acuh-tak-acuh Tik Hun mengikuti kejadian itu seakan-akan segala itu sama sekali tiada sangkut-paut dengan dirinya…..

Begitulah sejam demi sejam telah lalu dan Hiat-to Loco tetap terjungkir menancap didalam salju tanpa bergerak. Meski batin ketiga orang yang berada ditengah jurang itu masing-masing mempunyai pikirannya sendiri-sendiri, tapi rasa sangsi terhadap Hiat-to-ceng itu lambat-laun sudah banyak berkurang. Namun begitu, beberapa kali Cui Sing bermaksud menabas kedua kaki bhiksu jahat itu toh tetap tak berani melakukannya.

Sesudah mengalami peristiwa hebat itu, Cui Sing menjadi lapar sekali. Ia melihat restan daging kuda panggang tadi masih terserak disitu. Kini ayahnya sudah tewas, jiwa dan kesucian sendiri juga masih terancam, dengan sendirinya tak terpikir lagi olehnya apakah daging kuda itu berasal dari kuda kesayangannya atau bukan? Segera ia mengeluarkan ketikan api, ia menyalakan kayu kering yang berada disitu dan mulai memanggang daging kuda lagi.

Hoa Tiat-kan sendiri belum bisa berkutik, maka tanpa bosan2 ia masih terus mengumpak dan menjilat. Tapi Tik Hun tidak ambil pusing lagi padanya, ia rebah ditanah salju itu untuk memulihkan semangat. Sedang Cui Sing termangu-mangu memandang api unggun yang menyala-nyala itu dengan air mata bercucuran. Air matanya menetes kesalju hingga salju mencair, tapi pelahan-lahan air salju itu lantas membeku lagi.


Jilid 7

Setelah urat nadi Im-meh dan Tok-meh ditubuh Tik Hun mulai terhubung, semangatnya terasa menyala-nyala, satu arus hangat terasa mengalir mulai dari dada sampai kepunggung dan dari punggung kembali kedada secara berulang-ulang dan terus mengalir tanpa berhenti.

Setiap kali hawa hangat itu memutar satu kali, setiap bagian tubuh lantas merasa penuh tenaga, meski kaki yang patah dan tempat-tempat bekas kena digebuk Cui Sing masih kesakitan, tapi dengan timbulnya tenaga dalam itu, rasa sakit itu menjadi mudah ditahan.

Kuatir keadaan yang aneh dan ajaib sekali itu mungkin akan segera hilang, maka Tik Hun tidak berani bergerak, ia merebah dan membiarkan hawa dalam itu mengalir kian kemari diantara urat-urat nadi Im-meh dan Tok-meh itu.

Begitulah mereka bertiga tiada seorangpun yang membuka suara. Sesudah lebih dua jam, Cui Sing yang pertama-tama bangkit, ia jemput golok merah dari dalam salju dan coba mendekati Hiat-to-ceng yang selama itu masih tetap terjungkir menancap didalam salju tanpa bergerak sedikitpun. Dengan beranikan hati, segera ia membacok kaki kiri bhiksu itu, “crat”, kontan sebelah kaki bhiksu itu tertabas kutung.

Tapi aneh bin heran, kaki kutung itu ternyata tidak berdarah. Waktu ditegaskan, kiranya darah didalam tubuh Hiat-to Loco itu sudah membeku, ternyata bhiksu durjana itu sudah sejak tadi tak bernyawa lagi.

Cui Sing bergirang dan bersedih pula. Segera ia angkat goloknya dan membacok serabutan ketubuh bhiksu jahat itu. Pikirnya: “Bhiksu durjana tua ini sudah mampus, tinggal bhiksu jahat yang muda itu entah cara bagaimana akan menyiksa aku? ayah sudah meninggal, sungguh akupun tidak ingin hidup lagi. Asal sedikit aku akan diperlakukan dengan jahat, segera aku akan membunuh diri dengan golok ini.”

Bahwasanya manusia itu betapapun tetap ingin hidup daripada mati, maka begitu pula halnya dengan Cui Sing. Padahal jika dia benar-benar hendak membunuh diri, saat itu adalah kesempatan yang paling bagus. Tapi sebelum tiba saat yang paling akhir, dengan sendirinya ia tidak mau mati begitu saja.

Disebelah sana meski badan Hoa Tiat-kan tak dapat bergerak, tapi segala apa dapat dilihatnya dengan jelas. Namun iapun tidak jelas cara bagaimana Tik Hun telah membinasakan Hiat-to-ceng itu, ia sangka mungkin tenaga murni bhiksu Tibet itu sudah terkuras habis, keadaannya sudah payah, maka sekenanya Tik Hun menghantam dan telah membinasakan dia.

Diam-diam iapun bergirang, pikirnya: “Hwesio jahat kecil ini meski bengis, tapi sangat gampang untuk dihadapi. Sebentar juga aku sudah dapat bergerak, sekali tonjok saja tentu akan kutamatkan riwajatnya.”

Dan sesudah hampir satu jam pula, Tik Hun merasa hawa hangat yang mengalir didalam tubuhnya itu masih terus berputar tanpa hilang. Ia coba menjalankan ilmu mengatur tenaga dalam dari Iwekang “Sin-ciau-keng” ajaran Ting Tian dahulu, maka timbullah sesuatu yang diluar dugaan. Hawa dalam yang tadinya susah dikuasai itu kini ternyata dapat dikendalikan sesuka hatinya, kemana ia ingin mengalirkan hawa murni itu, segera dapat dilaksanakannya dengan baik.

Keruan TIk Hun sangat girang segera ia jemput sebatang kayu untuk dipakai tongkat penyanggah ketiak dan mendekai Hiat-to-ceng secara beringsut-beringsut. Ia melihat mayat bhiksu itu masih terjungkir ambles didalam salju, kedua kakinya sudah hancur luluh dibacok oleh Cui Sing tadi, terang sekali bhiksu itu memang sudah mati. Ia pikir kejahatan bhiksu itu sudah melampaui takaran dan pantas mendapatkan ganjaran setimpal itu. Tapi sesungguhnya juga bhiksu jahat itu pernah menolongnya pula.

Sebagai seorang yang jujur dan kenal budi, Tik Hun lantas seret mayat Hiat-to-ceng dan ditaruh baik-baik ditanah salju, ia menguruknya dengan gundukan salju sekadar sebagai tanda kuburan bhiksu jahat itu.

Melihat perbuatan Tik Hun itu, timbul juga rasa ingin meniru Cui Sing. Iapun mengubur jenazah sang ayah dengan cara seperti Tik Hun itu. Sebenarnya ia bermaksud mengubur juga jenazahnya Lau Seng-hong dan Liok Thian-ju. Tapi yang seorang itu mati diatas puncak karang sana dan yang lain terpendam didasar salju, terpaksa ia batalkan niatannya itu.

Tik Hun merasa lapar, ia ambil dua potong daging kuda panggang dan dimakan.

“Siausuhu, aku sangat kelaparan, tolong kau suapi aku sepotong daging kuda itu,” pinta Hoa Tiat-kan tiba-tiba.

Tapi Tik Hun hanya menyengek sekali, ia benci pada martabat orang she Hoa yang rendah itu, maka tak menggubrisnya.

Namun Hoa Tiat-kan masih terus memohon tanpa berhenti. Karena tidak tega, selagi Tik Hun hendak jejalkan sepotong daging kuda kemulutnya agar manusia pengecut itu tidak cerewet terus, tiba-tiba Cui Sing mencegahnya: “Daging ini berasal dari kudaku, jangan berikan pada manusia tak kenal malu itu.”

Tik Hun mengangguk tanda setuju, sebagai gantinya ia melotot sekali pada Hoat Tiat-kan.

Tapi Hoa Tiat-kan tidak putus asa, ia memohon pula: “Siausuhu………………..”

“Sudah kukatakan tadi bahwa aku bukan Hwesio, kenapa kau masih memanggil secara ngawur?” bentak Tik Hun dengan mendongkol.

“Eh, ya, memang tolol benar aku ini,” cepat Hoa Tiat-kan merendah diri. “Wah, tadi sekali hantam Tik-tayhiap telah binasakan Hiat-to-ok-ceng itu, kelak namamu pasti akan tersohor diseluruh jagat. Pabila aku sudah keluar dari lembah ini, pekerjaanku yang pertama ialah menyiarkan keperkasaan Tik-tayhiap ini, bahwa Tik-tayhiap telah berusaha menolong nona Cui tanpa menghiraukan keselamatan sendiri dan akhirnya dapat mampuskan Hiat-to-ok-ceng, sungguh kejadian ini merupakan berita paling penting didunia persilatan.”

“Aku adalah seorang bekas perantaian yang tak terhormat, siapa yang mau percaya pada obrolanmu? Lebih baik tutup mulutmu saja,” jengek Tik Hun.

“Jangan kuatir, Tik-tayhiap,” masih Hoa Tiat-kan mengoceh. “Berdasarkan sedikit namaku dikalangan Kangouw, apa yang kukatakan pasti akan dipercaya oleh siapapun juga. Eh, Tik-tay-hiap, kasihlah sepotong dagingmu itu.”

Tik Hun menjadi sebal direcoki terus, bentaknya: “Sudah kukatakan tidak kasih, ja tetap tidak kasih. Kelak boleh kau siarkan pada orang Kangouw tentang nama jelekku, emangnya aku ini orang apa? Masakah ada harganya dibuat cerita?” Sampai disini, ia menjadi terkenang pada kisah derita yang telah dialaminya dengan macam-macam hinaan dan siksaan secara penasaran itu. Saking gusar dan dongkolnya hampir-hampir ia tak tahan lagi.

Padahal sebenarnya Hoa Tiat-kan tidak sungguh-sungguh ingin makan daging kuda, biarpun lapar juga, tapi kelaparan sehari dua hari baginya sudah tentu bukan soal. Ia kuatir Tik Hun itu “mewariskan” sifat jahat Hiat-to Loco dan mendadak mengamuk serta membunuhnya, dari itu ia pura-pura minta daging kuda sebagai siasat, ia pikir Tik Hun tidak sudi memberi daging yang diminta, tentu dalam hati akan timbul rasa gegetun, dan pikiran membunuh itu dengan sendirinya pula akan menjadi tawar dan akhirnya lenyap.

Melihat cuaca mulai gelap, angin meniup dengan keras, segera Tik Hun berkata pada Cui Sing: “Nona, boleh kau mengaso didalam gua itu!”

Cui Sing menjadi kuatir, ia sangka pemuda itu bermaksud jahat lagi, maka bukannya menurut, sebaliknya ia mundur ketakutan, ia siapkan golok didepan dada dan membentak: “Kau bhiksu jahat ini, asal kau berani mendekati aku selangkah, segera nonamu ini akan membunuh diri.”

Tik Hun melengak, cepat sahutnya: “Hei, jangan nona salah paham, sekali-sekali aku tiada punya maksud jahat!”

“Huh, kau Hwesio cilik ini bermuka manusia, tapi hatinya binatang,” damperat Cui Sing mendadak. “Tertawamu itu berbisa, jauh lebih jahat dan licik daripada Hwesio tua jahanam itu. Huh, jangan harap aku dapat kau tipu.”

“Tik Hun tidak ingin banyak berdebat lagi, pikirnya: “Besok pagi begitu terang tanah segera aku akan mencari jalan keluar untuk meninggalkan lembah ini. Apakah dia Cui-kohnio dan Hoa-tayhiap apa segala, selama hidupku ini aku takkan melihat cecongor mereka lagi.” Maka tanpa bicara ia lantas menyingkir jauh-jauh kesana, ia merebah dan bersandar disuatu batu padas dan tidur.

Sebaliknya Cui Sing telah pandang Tik Hun sebagai seorang bhiksu cabul tulen, semakin jauh ia menyingkir, semakin keji dan culas pula muslihatnya, bukan mustahil nanti tengah malam mendadak dirinya akan disergap olehnya.

Karena itu, Cui Sing tidak berani masuk kedalam gua itu, ia kuatir kalau tengah malam digerajangi Tik Hun, kan bisa celaka? Maka dengan hati tidak aman iapun duduk bersandar sebuah batu, matanya makin lama makin sepat, kantuk sekali rasanya, tapi selalu ia memperingatkan dirinya sendiri: “Awas, jangan tidur! Jangan tidur! Jika tidur, kau akan digerajangi bhiksu jahat itu!”

Tapi setelah mengalami kejadian-kejadian selama beberapa hari ini, sesungguhnya ia sudah sangat lelah, lahir maupun batin. Walaupun ia bertahan sedapat mungkin agar tidak terpulas, tapi lama kelamaan, tanpa merasa iapun tertidur akhirnya.

Dan tidurnya itu nyenyak benar-benar hingga esok paginya. Ia merasa sinar sang surja gilang gemilang, ia terjaga bangun. Cepat ia melompat bangun sambil sambar golok merah yang semula terletak disapingnya. Tapi tangannya memegang tempat kosong, keruan ia tambah gugup. Waktu ditegaskan, kiranya Hiat-to itu masih baik-baik berada disitu, cuma sedikit jauh dari tempatnya tadi. Rupanya dalam tidurnya tanpa merasa ia membalik tubuh dan menggeser tempat. Ia jemput kembali senjata tajam itu, waktu ia pandang kedepan, ia melihat Tik Hun sedang jalan berincang-incut keluar lembah sana dengan kakinya yang pincang. Ia menjadi girang, ia pikir “Hwesio” jahat itu tentu bermaksud pergi dari lembah bersalju itu.

Memang benar juga Tik Hun ingin mencari jalan keluar dari lembah itu. Tapi sudah beberapa kali ia mencari jalan kejurusan timur dan ujung timur laut sana, namun semuanya jalan buntu. Arah barat, utara dan selatan juga dilingkungi tebing karang yang curam, terang juga jalan buntu. Ia lihat jurusan tenggara mungkin ada harapan, tapi disitu salju bertimbun berpuluh-puluh meter tingginya, sebelum hawa panas dan salju cair, terang tak mungkin bisa keluar, apalagi sekarang ia adalah seorang pincang, kakinya patah.

Setelah mencari jalan kian kemari selama setengah hari, akhirnya ia putar balik dengan hasil nihil dan badan letih. Dengan termangu-mangu ia memandangi puncak gunung diatas sana, air mukanya muram durja.

“Bagaimana, Tik-tayhiap?” tanya Hoa Tiat-kan tiba-tiba.

Tik Hun menggeleng kepala, sahutnya: “Percuma, jalan buntu semua!”

Diam-diam Hoa Tiat-kan memikir: “Kakimu patah, dengan sendirinya susah untuk keluar dari lembah kurung ini. Tapi aku Hoa Tiat-kan masakah sudi dikeram terus disini? Sampai sore hari nanti, asal jalan darahku sudah lancar, segera aku akan angkat langkah seribu.” Hati berpikir begitu, tapi lahirnya ia pura-pura tidak terjadi apa-apa, katanya malah: “Kalian jangan kuatir, nanti bila jalan darahku sudah lancar, pasti aku akan dapat menyelamatkan kalian dari sini.”

Melihat selama itu Tik Hun tidak mengganggu padanya, mau-tak-mau rasa takut dan kuatir Cui Sing menjadi berkurang. Tapi sedikitpun ia tidak lengah, ia masih tetap was-was. Selalu ia menjauhi pemuda itu dan sepatah-katapun tidak mau bicara padanya.

Memangnya Tik Hun juga tidak sudi minta gadis itu memahami apa yang sebenarnya, yang dia harap adalah selekas mungkin dapat meninggalkan lembah maut itu. Tapi sekitar lembah terkurung salju tebal dan tinggi, ia menjadi sedih cara bagaimanakah untuk dapat keluar dari situ?

Setelah lewat lohor kira-kira jam dua sore, mendadak Hoa Tiat-kan bergelak tertawa, katanya: “Cui-titli, daging kudamu itu Hoa-pepek akan pinjam beberapa kati, sesudah makan dan keluar dari lembah ini, tentu akan kubayar kembali.”

Dan belum lagi Cui Sing menjawab, sekonyong-konyong Hoa Tiat-kan sudah melompat bangun dan mendekati tempat daging kuda panggang itu. Terus saja ia sambar sepotong daging dan dimakan dengan lahapnya. Nyata jangka waktu tertutuk jalan darahnya itu sudah berakhir dan telah terbuka dengan sendirinya.

Cui Sing tahu percuma juga hendak merintangi, terpaksa ia tidak gubris padanya.

Sebaliknya demi Hiat-to sudah lancar kembali, sikap Hoa Tiat-kan menjadi berubah aneh. Ia pikir Hiat-to-ceng sudah mati, sekarang, biarpun Tik Hun dan Cui Sing bersatu mengeroyoknya juga pasti bukan tandingan dirinya. Dan cara bagaimana dirinya akan perlakukan kedua muda-mudi itu boleh dikatakan tiada mungkin mereka bisa melawan. Tapi tiada gunanya juga tinggal dilembah bersalju itu terlalu lama, paling penting sekarang harus mencari jalan keluar dahulu.

Ia gunakan Ginkang untuk memeriksa sekitar lembah itu, ia melihat salju longsor yang luar biasa ini telah menutup rapat lembah gunung itu. Jalan keluar satu-satunya dari lembah itupun tertimbun salju berpuluh meter tingginya.

Ada juga akalnya, yaitu dengan cara menggangsir, menerobos dinding salju itu. Tapi ya kalau tebal salju itu cuma beberapa atau belasan meter saja, sebaliknya kalau beratus-ratus meter, apakah dia mampu menggangsir sejauh itu? Apalagi sesudah berada dibawah salju, arah jurusannya menjadi susah dibedakan, bukan mustahil sebelum berhasil menembus tanah salju itu lebih dulu orangnya sudah mati kaku didalam situ.

Sedangkan waktu itu baru permulaan bulan sebelas, kalau mesti menunggu sampai musim panas tahun depan, sedikitnya harus menunggu lima bulan lagi. Padahal seluruh lembah pegunungan itu hanya salju belaka, selama lima bulan itu harus makan apa untuk bisa terus hidup?

Begitulah Hoa Tiat-kan memutar kembali sampai diluar gua batu itu, air mukanya tampak muram dan berkerut. Sesudah duduk termenung sejenak, ia sambar sepotong daging kuda panggang dan dimakan, selesai makan daging kuda itu, barulah ia berkata dengan pelahan: “Untuk bisa keluar harus tunggu sampai hari Toan-ngo-ce (perajaan Pek-cun) tahun depan.”

Waktu itu Tik Hun berada disebelah kiri dan Cui Sing berada disisi kanan, jarak mereka dengan Hoa Tiat-kan kira-kira belasan meter jauhnya. Meski apa yang digerundel Hoa Tiat-kan itu sangat pelahan, tapi bagi pendengaran kedua muda-mudi itu seolah-olah bunyi geledek kerasnya. Tanpa merasa kedua orang sama-sama memandang kearah bangkai kuda yang terletak disaping api unggun itu, hati mereka sama-sama memikir: “Apakah dapat bertahan sampai Toan-ngo-ce tahun depan?”

Meski kuda tunggangan Cui Sing itu gemuk lagi besar, tapi dimakan tiga orang, tidak sampai sebulan, akhirnya habis juga daging kuda itu.

Lewat 7-8 hari pula, bahkan kepala kuda, kaki dan jerohan kuda juga termakan ludes.

Selama itu, Hoa Tiat-kan, Tik Hun dan Cui Sing sama-sama tidak mengajak bicara, terkadang sinar mata masing-masing suka kebentrok, tapi segera saling melengos.

Sesudah sekian lamanya, rasa sirik dan curiga Cui Sing kepada Tik Hun sudah banyak berkurang. Akhirnya ia berani tidur didalam gua.

Akan tetapi dengan habisnya daging kuda, timbul pula semacam rasa waswas kepada pemuda itu. Bukan kuatir pemuda itu akan berbuat hal-hal yang tidak senonoh atas dirinya, tapi takut kalau-kalau dirinya akan………. dimakan oleh “Hwesio” jahat itu.

Sampai bulan ke12, hawa dilembah kurung itu semakin dingin, angin menderu-deru sepanjang malam. Biarpun Tik Hun sudah berhasil meyakinkan “Sin-ciau-kang”, tenaga dalamnya bertambah penuh, tapi bajunya tipis dan compang-camping, ditengah tanah bersalju sedingin itu, mau-tak-mau ia tersiksa juga.

Melihat orang kedinginan, tapi toh tidak pernah melangkah masuk kedalam gua untuk menolak hawa dingin, mau-tak-mau Cui Sing merasa lega juga. Ia merasa bhiksu jahat itu memang “jahat”, tapi cukup sopan.

Selama lebih sebulan itu, luka diatas tubuh Tik Hun sudah sembuh seluruhnya, kaki yang patah juga sudah tersambung kembali dan telah bisa berjalan seperti biasa. Tenaga dalamnya makin hari juga makin tambah kuat. Sebaliknya hawa juga makin dingin, tapi toh tidak begitu dirasakan olehnya.

Habisnya daging kuda sungguh merupakan suatu persoalan yang maha pelik. Sebenarnya beberapa hari terakhir itu sedapat mungkin Tik Hun telah mengurangi makannya, boleh dikata asal sekadar mengisi perut saja. Tapi apa yang dia hemat segera disapu habis oleh Hoa Tiat-kan yang tidak kenal sungkan-sungkan itu.

Menyaksikan itu, diam-diam Cui Sing membatin: “Hm, seorang pendekar besar yang tersohor di Tionggoan, disaat menghadapi kesulitan ternyata kalah daripada seorang bhiksu cabul cilik dari Hiat-to-bun!”

Begitulah Cui Sing masih tetap pandang Tik Hun sebagai “bhiksu cabul”. Padahal saat itu rambut Tik Hun sudah tumbuh kembali, dengan sendirinya bukan kepala gundul lagi. Sedangkan dikatakan cabul juga tidak betul, selama itu toh tiada sesuatu perbuatannya yang membuktikan dia “cabul”?

Tengah malam itu, tiba-tiba Cui Sing terjaga dari tidurnya, ia mendengar Tik Hun sedang membentak: “Jenazah Cui-tayhiap itu tidak boleh kau kutik-utik!”

Lalu terdengar Hoa Tiat-kan menjawab dengan dingin: “Hm, lewat beberapa hari lagi, jangankan orang mati, bahkan orang hidup juga akan kumakan. Sekarang aku makan orang mati dulu, supaya kau bisa hidup lebih lama beberapa hari lagi!”

“Kita lebih baik makan rumput atau akar pohon, tapi sekali-sekali tidak boleh makan daging manusia!” sahut Tik Hun.

“Enyah kau!” bentak Hoa Tiat-kan mendadak.

Tanpa pikir lagi segera Cui Sing berlari keluar gua, ia melihat disaping kuburan sang ayah yang berada disana itu berdiri dua orang yang sedang bercekcok, yaitu Tik Hun dan Hoa Tiat-kan.

Segera Cui Sing  berteriak-teriak  sambil  memburu kesana: “Jangan mengutik-ngutik ayahku!”

Dan sesudah dekat, Cui Sing melihat salju yang tadinya menguruk diatas jenazah sang ayah itu telah dibongkar, bahkan tangan kiri Hoa Tiat-kan sudah memegangi jenazah sang ayah.

Selagi Cui Sing hendak berteriak pula, tiba-tiba Tik Hun sudah membentak pada Hoa Tiat-kan: “Taruh kembali!”

“Baiklah, taruh kembali ya taruh kembali!” sahut Hoa Tiat-kan. Habis berkata, benar juga ia lantas letakan mayatnya Cui Tay.

Melihat itu, Cui Sing rada lega, bentaknya: “Hoa Tiat-kan, kau sesungguhnya bukanlah manusia!”

Tapi belum habis ia memaki, sekonyong-konyong sinar tajam berkelebat, tahu-tahu Hoa Tiat-kan melolos keluar sebatang tumbak pendek dari bajunya, sekali bergerak, secepat kilat ia tusuk kedada Tik Hun.

Serangan itu teramat cepat, biarpun Iwekang Tik Hun sekarang sudah sangat tinggi, tapi ilmu silatnya hanya biasa saja, tidak lebih cuma sedikit ilmu pukulan dan permainan pedang yang pernah diperolehnya dari Jik Tiang-hoat, dengan sendiri ia tidak mampu melawan serangan kilat diluar dugaan dari Hoa Tiat-kan yang tergolong tokoh kelas satu itu.

Ketika Tik Hun insaf apa yang terjadi, sementara itu ujung tumbak musuh sudah sampai didadanya. Keruan Cui Sing ikut kaget dan menjerit dengan kuatir.

Dengan berhasilnya serangan kilat secara mendadak itu, Hoa Tiat-kan yakin tumbaknya pasti akan menembus dada lawan dan seketika lawan itu akan terbinasa. Siapa duga, begitu ujung tumbaknya mencapai dada Tik Hun, tiba-tiba seperti terhalang oleh sesuatu dan takbisa masuk.

Karena tusukan dan dorongan tumbak itu, Tik Hun terperosot jatuh dan duduk, tapi tangan kirinya sempat diangkat dan menghantam kekuat-kuatnya kebatang tumbak lawan. “Krak”, tahu-tahu gagang tumbak terhantam patah menjadi dua, bahkan tenaga pukulan itu sedemikian kerasnya hingga Hoa Tiat-kan ikut terpental dan jatuh terjengkang.

Keruan kejut Hoa Tiat-kan tak terkatakan, sungguh tak terduga olehnya bahwa ilmu silat Hwesio cilik itu ternyata sedemikian aneh dan sakti, bahkan tidak dibawah Hwesio tua yang sudah mati itu. Cepat ia menggelundung pergi hingga beberapa kali, lalu melompat bangun dan lari jauh-jauh kesana.

Ia tidak tahu bahwa tusukan tumbak itu tidak menembus badan Tik Hun, tapi saking kerasnya sodokan itu hingga dada Tik Hun terasa sesak dan napas seakan-akan berhenti. Kontan iapun jatuh pingsan………

Sang dewi malam sudah menghias ditengah cakrawala yang luas, dua ekor elang besar tampak berputar-putar diangkasa karena melihat sesosok tubuh menggeletak ditanah salju, yaitu Tik Hun.

Melihat Tik Hun menggeletak dan tak berkutik lagi, Cui Sing menyangka pemuda itu sudah ditusuk mampus oleh tumbak Hoa Tiat-kan itu, ia menjadi girang “Siau-ok-ceng” (bhiksu jahat kecil) yang ditakuti itu akhirnya telah mati, selanjutnya ia tidak perlu takut diganggu orang lagi. Tapi segera terpikir pula olehnya: “Hoa Tiat-kan bermaksud makan daging jenazah ayahku, sjukur Siau-ok-ceng itu yang telah merintangi sepenuh tenaga, tapi ia berbalik terbunuh oleh Hoa Tiat-kan. Padahal dia toh tidak perlu merintangi perbuatan Hoa Tiat-kan itu. Apa barangkali dia sengaja hendak menipu supaya aku percaya padanya, tapi kemudian aku akan di….. hm, tidak nanti aku dapat

tertipu. Akan tetapi sesudah dia mati, pabila jahanam Hoa Tiat-kan itu hendak mengganggu jenazah ayah lagi, lantas bagaimana? Ai, sebaiknya Siau-ok-ceng itu jangan mati dulu.”

Begitulah pertentangan pikiran Cui Sing pada saat itu, sebentar ia bersjukur Siau-ok-ceng atau si bhiksu jahat kecil yang ditakuti itu telah mati, tapi lain saat ia berharap Tik Hun jangan mati agar dirinya mempunyai sandaran untuk melawan Hoa Tiat-kan.

Sambil memegangi golok merah, akhirnya ia mendekati Tik Hun, ia melihat pemuda itu menggeletak terlentang dan tidak bergerak sedikitpun, daging mukanya tampak berkerut-kerut pelahan, nyata orangnya belum mati.

Cui Sing menjadi girang, cepat ia berjongkok untuk memeriksa napas Tik Hun. Tapi waktu tangannya menjulur sampai didepan hidung Tik Hun, ia merasa dua rangkum hawa panas dari lubang hidung itu menyembur ketangannya. Ia terkejut dan cepat menarik tangan.

Semula ia menyangka napas Tik Hun tentu kempas-kempis andaikan orangnya belum mati, siapa duga napas yang keluar-masuk dihidung “Siau-ok-ceng” itu ternyata begitu keras lagi panas.

Sebab apakah Tik Hun tidak mempan ditusuk tumbak? Kiranya Tik Hun mengenakan “Oh-jan-kah” pemberian Ting Tian dahulu, maka tumbak Hoa Tiat-kan itu tidak dapat menembus tubuhnya. Namun sebagai salah satu tokoh “Lam-su-lo” yang tersohor, ilmu silatnya dan tenaga dalamnya Hoa Tiat-kan dengan sendirinya luar biasa, meski tusukannya tidak mempan atas Tik Hun, tapi tusukan itu tepat menyodok didada pemuda itu hingga seketika Tik Hun lantas kelengar saking tak tahan. Untung sekarang ia sudah berhasil meyakinkan “Sin-ciau-kang” hingga jiwanya tidak sampai melayang oleh tusukan tumbak itu.

Begitulah Cui Sing baru tahu bahwa pemuda itu cuma pingsan saja, ia merasa rikuh bila sebentar pemuda itu siuman kembali dan melihat dia berdiri disitu. Dan selagi ia hendak menjauhi Tik Hun, baru ia menoleh, ia melihat Hoa Tiat-kan juga berdiri tidak jauh dari situ dan sedang memperhatikan gerak-gerik mereka.

Hendaklah diketahui bahwa Hoa Tiat-kan juga tidak kurang kagetnya ketika tumbaknya tidak mempan mengenai sasarannya, bahkan ia sendiri sampai terpental. Tapi demi dilihatnya Tik Hun menggeletak tak bangun lagi, dengan sendirinya cepat-cepat ia ingin mengetahui pemuda itu sudah mati atau masih hidup.

Selang sebentar, ketika dilihatnya Tik Hun tetap tidak bergerak, ia menduga kalau tidak mati tentu pemuda itupun terluka parah. Maka tanpa takut-takut lagi segera ia mendekati Tik Hun.

Keruan yang ketakutan adalah Cui Sing, cepat ia membentak: “Pergi kau, pergi!”

“Kenapa aku mesti pergi?” sahut Hoa Tiat-kan dengan menyeringai. “Orang hidup tentu lebih lezat daripada orang mati. Kita sembelih dia dan memakannya bersama, bukankah sama-sama baiknya?” Sembari berkata, ia terus melangkah maju.

Cui Sing menjadi sibuk, sekuatnya ia mengguncang-guncang Tik Hun sambil berteriak: “Bangunlah lekas, dia telah datang, dia telah datang!”

Dan demi nampak Hoa Tiat-kan sudah angkat sebelah tangannya hendak menghantam ketubuh Tik Hun, tanpa pikir lagi Cui Sing putar goloknya, dengan jurus “Kim-ciam-toh-jiat” (jarum emas penolong maut), segera ia menusuk dulu keulu hati Hoa Tiat-kan.

Senjata Hoa Tiat-kan, yaitu tumbak pendek, sudah dipatahkan oleh hantaman Tik Hun tadi, kini ia hanya bertangan kosong, walaupun kepandaian Cui Sing tak dipandang sebelah mata olehnya, tapi gadis itu bersenjatakan golok merah yang maha tajam itu, terpaksa ia tidak berani ayal, segera ia mengeluarkan kepandaian “Khong-jiu-jip-peh-jim” atau merebut senjata lawan dengan bertangan kosong. Ia pusatkan perhatian untuk menempur Cui Sing dengan tujuan merebut dulu senjata yang lihay itu.

Dalam pingsannya itu, lapat-lapat Tik Hun mendengar teriakan Cui Sing tadi yang menyuruhnya bangun, sesaat itu ia masih samar-samar belum sadar dan tidak tahu apa maksud gadis itu. Tapi menyusul ia lantas dengar suara bentakan-bentakan. Waktu ia membuka mata, dibawah sinar bulan ia melihat Cui Sing sedang putar goloknya menempur Hoa Tiat-kan dengan sengit.

Meski gadis itu bersenjata, tapi pertama ia tidak biasa memakai golok, kedua, ilmu silatnya selisih terlalu jauh dibanding Hoa Tiat-kan, maka kelihatan gadis itu sudah payah dan terdesak mundur terus, sampai akhirnya, yang diharapkan gadis itu adalah goloknya tidak dirampas musuh, sedangkan untuk balas menyerang sudah tidak mampu lagi.

Dan setiap beberapa jurus, selalu Cui Sing menoleh dan berteriak pada Tik Hun: “Lekas bangun, dia hendak membunuh kau, lekas bangun!”

Mendengar itu, hati Tik Hun terkesiap, pikirnya: “Wah, hampir saja aku mati! Jadi tadi dia telah menyelamatkan jiwaku. Bila dia tidak merintangi Hoa Tiat-kan, tentu aku sudah dibunuh oleh Hoa Tiat-kan.”

Dalam pada itu dilihatnya Cui Sing sedang terdesak dan terancam bahaya, tanpa pikir lagi Tik Hun lantas melompat bangun, kontan ia menghantam sekali kearah Hoa Tiat-kan.

Ketika Hoa Tiat-kan memapak pukulan itu dengan telapak tangannya, “plak”, dua arus tenaga pukulan saling beradu, “bluk”, tahu-tahu kedua orang sama-sama tergentak jatuh duduk.

Kiranya tenaga dalam Tik Hun sudah sangat kuat, sebaliknya ilmu pukulan Hoa Tiat-kan lebih lihay, maka gebrakan itu menjadi sama kuatnya.

Ilmu silat Hoa Tiat-kan lebih tinggi, gerak perubahannya menjadi lebih cepat. Begitu ia jatuh terpental, cepat ia melompat bangun lagi dan pukulan kedua segera dilontarkan pula. Tik Hun belum sempat berdiri kembali, terpaksa ia sambut pukulan itu dengan berduduk.

Diluar dugaan, dalam keadaan berduduk itu tenaga Tik Hun ternyata tidak berkurang sedikitpun, maka “blang”, kembali kedua pukulan saling bentur, Tik Hun terpental hingga berjumpalitan sekali, sebaliknya Hoa Tiat-kan juga terhuyung-huyung dan hampir-hampir terjungkal lagi, darah dirongga dadanya juga bergolak hebat dan hampir-hampir muntah darah.

Diam-diam ia terkejut: “Tenaga dalam Siau-ok-ceng ini ternyata sedemikian hebatnya!”

Tapi sesudah dua kali gebrak itu Hoa Tiat-kan tahu ilmu pukulan Tik Hun itu hanya biasa saja dan tak berarti, maka tanpa takut-takut lagi kembali ia menerjang maju dari saping, pukulan ketiga segera dilontarkan pula.

Terpaksa Tik Hun menyambut pula serangan itu. Tapi sekali ini ia kecele, ternyata Hoa Tiat-kan sangat licik, pukulan ketiga ini tidak dihantamkan dengan keras, tapi bergerak naik-turun dan menyambar lewat didepan muka Tik Hun, dengan sendirinya pukulan sambutan Tik Hun memapak angin, menyusul mana tahu-tahu “plak”, dadanya telah kena digenjot sekali oleh Hoa Tiat-kan.

Untung Tik Hun memakai baju Oh-jan-kah hingga tidak terluka apa-apa, tapi toh tidak tahan juga oleh tenaga pukulan yang hebat itu, maka baru saja ia berdiri, kembali ia jatuh terduduk pula.

Sekali pukulannya mengenai sasaran, Hoa Tiat-kan mendapat hati, pukulan lain segera disusulkan lagi. Sebenarnya Hoa Tiat-kan disegani orang Bu-lim karena ilmu tumbaknya yang lihay, tapi dalam hal ilmu pukulan toh dia juga sangat hebat, kini ia telah mainkan “Gak-keh-san-jiu”, ilmu pukulan warisan Gak Hui, kedua tangannya menyambar kian kemari, maka terdengarlah “plak-plok” berulang-ulang, Tik Hun kenyang digampar dan dihantam.

Beberapa kali Tik Hun ingin balas menghantam juga, tapi setiap kali ia balas menyerang, selalu dapat dihindarkan Hoa Tiat-kan dengan mudah. Ja maklum, selisih ilmu silat mereka sesungguhnya terlalu jauh, Tik Hun hanya menang Iwekang saja sekarang, dalam hal ilmu silat dan taktik pukulan sama sekali ia tak berdaya.

Sampai akhirnya, sesudah kenyang dihajar tanpa mampu membalas apa-apa, terpaksa Tik Hun cuma dapat melindungi muka dan kepalanya dengan kedua tangan, sedang bagian badan membiarkan dihanyut musuh, sekali-sekali ia juga berdiri, tapi segera “knock-out” lagi kena pukulan Hoa Tiat-kan.

Saat itu Hoa Tiat-kan sudah bertekad harus mampuskan pemuda itu agar tidak menimbulkan bahaya dibelakang hari, maka ia masih terus menghajar dengan kejam tanpa kenal ampun. Berulang-ulang Tik Hun sudah muntah darah tiga kali, gerak-geriknya juga sudah susah.

Dalam keadaan begitu, Cui Sing tak bisa tinggal diam lagi, semula ia tidak berani sembarangan menyela dalam pertarungan kedua orang itu, kini melihat Tik Hun melulu terima digebuk belaka dan terancam bahaya, tanpa pikir lagi ia ayun goloknya terus membacok kepunggung Hoa Tiat-kan.

Cepat Hoa Tiat-kan mengegos kesaping, berbareng tangannya meraup kebelakang untuk merebut senjata sigadis. Namun kesempatan itu segera digunakan Tik Hun untuk menghantam sekuatnya, seketika Hoa Tiat-kan terkurung ditengah pukulan pemuda itu.

Karena takbisa berkelit lagi, terpaksa Hoa Tiat-kan memapak pukulan Tik Hun itu dengan pukulan juga. “Plak”, seketika Hoa Tiat-kan kepala pusing dan mata berkunang-kunang, sebagian tubuhnya serasa kaku. Nyata kalau bicara mengadu tenaga dalam, pasti Hoa Tiat-kan bukan tandingan Tik Hun sekarang.

“Lekas lari, lekas lari!” demikian Cui Sing lantas berseru sambil menarik Tik Hun untuk berlari kedalam gua. Dengan cepat mereka mengangkat beberapa potong batu besar untuk ditumpuk dimulut gua, dengan golok terhunus Cui Sing berjaga disitu.

Mulut gua itu agak sempit, meski beberapa potong batu besar itu tidak dapat menutup rapat mulut gua itu, tapi untuk bisa masuk kesitu terpaksa Hoa Tiat-kan harus membongkar dulu batu-batu itu. Dan bila ia berani menyamah batu-batu itu, segera Cui Sing akan menabas tangannya dengan golok.

Selang sejenak, diluar gua ternyata tenang-tenang saja.

“Siau……… bagaimana keadaan lukamu?” tanya Cui Sing

tiba-tiba. Sebenarnya ia hendak memanggil “Siau-ok-ceng” kepada Tik Hun seperti biasanya, tapi kini mereka sudah menjadi kawan dan bukan lawan lagi, ia merasa rikuh dan urung memanggil pojokan yang tidak sedap didengar itu.

“Tidak berbahaya,” demikian Tik Hun telah menyahut.

Tiba-tiba terdengar Hoa Tiat-kan sedang bergelak ketawa diluar gua dan berteriak: “Ha-hahaha! Dua ekor binatang cilik itu main sembunyi-sembunyi didalam gua, apakah sedang berbuat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang?”

Keruan wajah Cui Sing merah padam, dalam hati ia menjadi rada takut juga. Ia telah pandang Tik Hun sebagai “In-ceng” (bhiksu cabul) yang tidak baik kelakuannya, kini dirinya malah berada bersama didalam gua, bukankah sangat berbahaya? Karena itu, tanpa merasa ia menggeser kesaping, ia merasa lebih jauh jaraknya dengan “bhiksu cabul” itu tentu akan lebih aman.

Dalam pada itu terdengar Hoa Tiat-kan sedang mengoceh lagi diluar: “Hahaha, sepasang anjing laki-laki dan perempuan itu enak-enak bersembunyi disitu, ya? Tapi aku menjadi kedinginan diluar sini! Hahaha! Biarlah kumakan daging panggang saja!”

Cui Sing kaget, keluhnya didalam hati: “Wah celaka! Dia hendak makan daging ayahku! Apa dayaku sekarang?”

Sebaliknya darah Tik Hun juga sedang bergolak. Selama beberapa tahun ini ia telah kenyang dihina dan dianiaya orang, kini mendengar ocehan Hoa Tiat-kan yang menjijikan itu, keruan ia tidak bisa tahan lagi.

Mendadak ia mendorong tumpukan batu yang menutupi mulut gua itu dan menerjang keluar bagaikan banteng ketaton, kedua tangannya menghantam berulang-ulang, sekuatnya ia serang Hoa Tiat-kan secara kalap.

Tapi dengan gampang Hoa Tiat-kan dapat menghindarkan beberapa kali serangan Tik Hun itu, menyusul tangan kirinya berputar sebagai pancingan, sebaliknya tangan kanan tahu-tahu menghantam dari belakang, menghantam dari arah yang sama sekali tak terduga oleh Tik Hun. “Bluk”, tanpa ampun lagi punggung Tik Hun kena digebuk sekali dengan keras.

Kontan Tik Hun muntah darah lagi, kepala terasa pusing dan mata seakan-akan lamur, ia melihat Hoa Tiat-kan dihadapannya itu seperti telah berubah menjadi Ban Cin-san, Ban Ka, Leng Dwe-su, Po-siang dan orang-orang jahat lain yang pernah menghina dan menganiaya dirinya itu. Mendadak ia pentang kedua tangan dan menyeruduk maju, tahu-tahu Hoa Tiat-kan didekapnya dengan kencang sekali.

Dengan gugup Hoa Tiat-kan lantas menjotos hingga tepat mengenai batang hidung Tik Hun, “crot”, kontan keras hidung pemuda itu bocor dan keluar kecapnya.

Namun Tik Hun sudah tidak merasa sakit lagi, ia mendekap sekencang-kencangnya, makin lama makin kencang.

Napas Hoa Tiat-kan menjadi sesak karena pinggangnya didekap sedemikian kuatnya oleh lawan yang kalap itu, mau-tak-mau ia rada kuatir juga. Malahan pada saat itu juga tertampak Cui Sing sedang memburu maju dengan golok terhunus.

Keruan Hoa Tiat-kan ketakutan, tanpa pikir lagi kedua tinyunya menghantam perut Tik Hun sekuatnya. Karena kesakitan, lengan Tik Hun menjadi lemas, pelukannya menjadi kendur. Kesempatan itu segera digunakan Hoa Tiat-kan untuk meronta dan melepaskan diri, ia menjadi kapok dan tidak berani bertempur pula dengan orang kalap, beberapa kali lompatan cepat, ia meninggalkan Tik Hun hingga belasan meter jauhnya, disitulah baru ia berhenti dengan napas megap-megap.

Melihat Tik Hun terhuyung-huyung dengan muka penuh darah, ada maksud Cui Sing hendak memajang pemuda itu, tapi toh agak takut juga kalau-kalau mendadak “Siau-ok-ceng” itu mengamuk. Maka dengan rasa waswas ia melangkah maju.

“Jangan mendekati aku!” sekonyong-konyong Tik Hun membentak. “Aku adalah Siau-ok-ceng, adalah bhiksu cabul, jangan kau mendekati aku, agar aku tidak menodai nama baik puteri seorang pendekar besar sebagai kau ini! Lekas enyah! Enyahlah!”

Melihat sikap Tik Hun yang beringas dengan sinar matanya yang buas itu, Cui Sing menjadi ketakutan dan melangkah mundur.

Dengan napas tersengal-sengal Tik Hun terus berjalan kearah Hoa Tiat-kan dengan sempojongan, serunya: “Kalian manusia-sia durjana ini! Ban Cin-san dan Ban Ka, kalian tidak berhasil membunuh aku, tidak dapat mematikan aku. Hayolah maju, marilah maju! Tikoan Tayjin, Tihu Tayjin, kalian hanya pintar menindas yang lemah dan merampas hak rakyat jelata, hayolah, jika berani, majulah, hayolah kita bertempur mati-matian……….”

“Wah, orang ini sudah gila!” demikian Hoat Tiat-kan membatin.

Maka ia melompat pergi lebih jauh lagi dan tidak berani mendekati Tik Hun.

Tik Hun masih berteriak sambil mendongak: “Kalian manusia-sia jahat semua! Hayolah boleh kalian maju semua padaku, aku Tik Hun tidak gentar! Kalian telah penjarakan aku, telah memotong jari tanganku, telah merebut Sumoayku, telah menginyak patah kakiku, tapi, semuanya itu aku tidak takut, hayolah maju, biarpun aku dicincang hancur luluh juga aku tidak gentar!”

Mendengar teriakan dan gemboran Tik Hun itu, diantara rasa takutnya, mau-tak-mau timbul juga rasa kasihannya Cui Sing. Terutama demi mendengar seruan pemuda itu tentang: “telah merebut Sumoayku, telah menginyak patah kakiku”, hati Cui Sing semakin terguncang, pikirnya: “Kiranya batin Siau-ok-ceng ini penuh siksa derita, sedangkan tulang kakinya itu justeru aku yang mengkeprak kudaku untuk menginyaknya hingga patah.”

Begitulah Tik Hun masih berteriak-teriak terus hingga suaranya menjadi serak, akhirnya ia terjungkal roboh ditanah salju dan tidak bergerak lagi.

Sudah tentu Hoa Tiat-kan tidak berani mendekati, begitu pula Cui Sing juga tidak berani mendekat…..

Melihat sesosok tubuh manusia yang menggeletak ditanah tanpa bergerak itu, elang yang terbang mengitar diangkasa itu mengira Tik Hun sudah mati. Sekonyong-konyong seekor elang itu menyambar kebawah dan mematuk jidat Tik Hun.

Saat itu Tik Hun masih dalam keadaan tak sadar, karena patukan elang itu, seketika ia siuman kembali.

Melihat badan mangsanya bergerak, elang itu menjadi ketakutan dan cepat terbang keatas.

Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: “Kau binatang inipun berani padaku?” Terus saja sebelah tangannya dipukulkan.

Tenaga pukulan Tik Hun ini sangat lihay, jarak elang itu sudah ada tiga-empat meter dari dia, tapi kena tenaga pukulan itu, seketika bulu sayapnya rontok bertebaran, bahkan elang itu terus jatuh kebawah.

Cepat Tik Hun sambar binatang itu, dengan ketawa terbahak-bahak, segera ia gigit perut elang itu. Sudah tentu binatang itu kerupukan dan meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Namun Tik Hun sudah kadung gemas, ia pencet elang itu sekeras-kerasnya, ia merasa darah elang yang asin2 amis menetes terus kedalam mulutnya hingga dia mirip diberi tambah darah.

Sebentar kemudian, setelah kenyang menghirup darah elang, ia abat-abitkan binatang yang sudah tak bernyawa itu tinggi-tinggi sambil berseru: “Nah, apa abamu sekarang? Hm, kau ingin makan aku? Tapi aku sudah makan kau lebih dulu!”

Melihat cara bagaimana Tik Hun ganyang mentah-mentah elang yang ditangkapnya itu, Hoa Tiat-kan dan Cui Sing sampai ternganga kesima. Hoa Tiat-kan menjadi takut sigila itu sebentar akan mengamuk dan menerjang kearahnya, jalan paling selamat rasanya menghindar pergi saja sejauh mungkin. Maka cepat ia mengitar keujung timur lembah itu, ia pikir cara sigila itu menangkap elang sangat praktis juga, maka ia lantas menirukan, ia merebah ditanah, ia pura-pura mati untuk menantikan sambaran elang.

Memang ada juga elang yang tertipu olehnya dan menerjun kebawah hendak memaruhnya, tapi ketika Hoa Tiat-kan menghantam, hasilnya ternyata nihil, elang itu tidak kena dihantam. Kiranya tenaga dalamnya selisih terlalu jauh dibandingkan Tik Hun sekarang, benar ilmu pukulannya sangat bagus, tapi cara berkelit elang itupun sangat gesit dan cepat, andaikan kena tenaga pukulannya juga tidak jatuh kebawah, paling-paling berkaok kesakitan terus terbang keangkasa lagi.

Sementara itu setelah Tik Hun hirup darah elang, namun saking parahnya kena dihajar Hoa Tiat-kan tadi, akhirnya ia jatuh pingsan pula.

Ketika mendusin, sementara itu hari sudah terang tanah. Ia merasa kelaparan, segera ia ambil elang mati yang berada disapingnya itu terus digeragoti. Tapi sekali menggeragot, ia tidak merasakan amisnya daging mentah lagi, sebaliknya daging elang itu terasa sangat lezat dan gurih. Waktu ia perhatikan daging elang itu, ia menjadi melongo.

Kiranya elang itu sekarang sudah bukan elang kemarin lagi, bulu elang itu kini sudah terbubut bersih, bahkan sudah terpanggang mateng. Padahal masih jelas teringat olehnya elang itu cuma dihisap darahnya saja, lalu ia terpulas. Lantas siapakah gerangannya yang memanggang elang itu? Jika bukan Cui Sing, masakah mungkin adalah sijahanam Hoa Tiat-kan? Tapi ia yakin pasti sigadis itulah yang melakukannya.

Sesudah berteriak-teriak seperti orang gila semalam, rasa sumpak dan kesalnya Tik Hun sudah banyak terlampias. Kini sesudah sadar, ia merasa dadanya lega, semangat penuh. Waktu ia memandang kedalam gua, ia melihat Cui Sing masih tidur sambil mendekap diatas batu.

Pikirnya: “Gadis itupun sudah kelaparan selama beberapa hari, sesudah panggang elang ini, semuanya ia berikan padaku tanpa mengambil sedikitpun bagi dirinya sendiri, betapapun hal ini harus dipuji. Tapi, hm, ia anggap dirinya adalah puteri seorang pendekar besar dan pandang rendah padaku, sebaliknya aku juga pandang hina padamu? Apanya sih yang kuharapkan darimu?”

Tapi selang tak lama, kembali terpikir pula olehnya: “Namun dia telah memanggangkan elang bagiku, suatu tanda dia toh tidak terlalu memandang rendah padaku. Maka tidak pantas jika dia dibiarkan mati kelaparan.”

Kira dua jam kemudian, kembali ia berhasil mendapatkan empat ekor elang dengan tenaga pukulannya. Sementara itu Cui Sing sudah mendusin, maka ia melemparkan dua ekor elang hasil buruannya itu kepada gadis itu.

Tapi Cui Sing lantas mendekatinya dan mengambil sekalian kedua ekor elang yang lain, ia sembelih semua elang itu serta dipanggang pula. Lalu tanpa bicara apa-apa kedua ekor elang panggang yang sudah masak itu dikembalikan kepada Tik Hun.

Dilembah pegunungan itu ternyata banyak juga burung elang, tapi binatang-binatang itu justeru sangat tolol. Biarpun banyak kawannya telah menjadi korban pukulan Tik Hun dan dijadikan isi perut, tapi burung-burung itu masih terus-menerus menghantarkan diri sendiri untuk dijadikan makanan.

Dalam pada itu tenaga dalam Tik Hun juga semakin tambah kuat, dengan sendirinya tenaga pukulannya juga makin hebat. Sampai akhirnya, ia tidak perlu pura-pura mati untuk memancing elang lagi, tapi asal ada burung yang menghinggap dipohon atau terbang lewat disapingnya, sekali dia hantam, tentu dapatlah ditangkapnya.

Dengan cepat sang waktu telah lalu tanpa terasa, sementara itu bulan ke12 sudah habis. Cuaca sudah banyak berubah, salju yang turun dilembah pegunungan itu kini sudah sangat jarang, siang-malam hanya tiupan angin yang masih merasuk tulang dinginnya. Kecuali kalau mencari kayu bakar dan memanggang burung, selalu Cui Sing bernaung didalam gua. Selama itu Tik Hun tidak pernah mengajak bicara padanya dan tidak pernah masuk selangkahpun kedalam gua.

Suatu malam, salju turun terus-menerus dengan bertebaran. Esok paginya waktu Tik Hun mendusin, ia merasa badannya hangat-hangat nyaman, waktu ia membuka mata, ia melihat tubuh sendiri tertutup oleh sesuatu benda yang coklat kehitam-hitaman.

Ia terkejut dan cepat memegangnya, tapi ia menjadi heran ketika diketahui barang itu adalah sepotong baju yang aneh.

Baju itu seluruhnya terbuat dari bulu burung, hampir sebagian besar adalah bulu elang. Panjang baju itu sebatas lutut hingga lebih tepat dikatakan mantel. Baju buatan dari bulu itu entah memerlukan betapa banyak, mungkin berpuluh ribu helai bulu burung.

Sambil memegangi baju bulu burung itu, mendadak wajahnya menjadi merah, ia tahu pasti baju itu adalah buah tangan Cui Sing. Untuk membuat baju itu, terang tidak sedikit jerih-payah yang telah dicurahkan sigadis. Apalagi dilembah pegunungan itu tiada peralatan menyahit seperti gunting, jarum, benang dan sebagainya, entah cara bagaimana gadis itu telah menyelesaikan baju bulu burung itu.

Waktu Tik Hun coba memeriksa baju itu, ia melihat pada pangkal tulang setiap helai bulu itu terdapat sebuah lubang kecil, tentu lubang itu ditusuk dengan tusuk-konde Cui Sing, lalu lubang itu ditembus dengan benang sutera warna kuning, terang benang itu diloloskan dari baju sutera kuning yang dipakai Cui Sing sendiri. Diam-diam Tik Hun heran, pekerjaan yang sukar dan rumit itu mengapa justeru sangat disukai oleh kaum wanita?

Tiba-tiba terkenang olehnya apa yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu ditempat tinggal Ban Cin-san dikota Heng-ciu dahulu. Pada malam itu, ia telah dikerubut oleh delapan murid orang she Ban itu, ia dihajar mereka hingga babak-belur, mata biru dan hidung bocor, bahkan sehelai baju baru yang sangat disayanginya itu juga menjadi korban dan terobek-robek. Syukur waktu itu Jik-sumoay yang telah menambal dan menjahitkan baju baru yang sobek itu.

Tanpa merasa terbayang olehnya keadaan pada waktu itu: Jik Hong menggelendot disapingnya untuk menambal bajunya.

Rambut si gadis yang panjang itu menggosok-gosok pipinya hingga menimbulkan rasa geli, malahan ia mengendus bau harum anak perawan yang selama hidup baru pertama kali itu dialaminya, dengan perasaan terguncang ia telah memanggil: “Sumoay!” Lalu Jik Hong telah menyahut: “Sssst, jangan bersuara, jangan-jangan kau akan difitnah menjadi maling!”

Terpikir sampai disini, tenggorokan Tik Hun serasa tersumbat sesuatu, air matanya berlinang-linang dikelopak matanya hingga segala apa yang berada didepannya menjadi samar-samar kelihatannya. Pikirnya: “Benar juga. Kemudian aku telah difitnah orang sebagai maling. Apa barangkali karena aku telah bersuara waktu Sumoay menambal bajuku seperti apa yang dikatakan Sumoay itu?”

Tapi sesudah mengalami godokan dan gemblengan segala penderitaan selama beberapa tahun ini, ia sudah tidak percaya lagi kepada segala kiasan yang khajal itu. Pikirnya: “Hehe, bila orang memang bermaksud bikin celaka padaku, biarpun aku tidak bersuara atau gagu sekalipun juga tetap akan dicelekai mereka. Tatkala itu Sumoay benar-benar sangat baik padaku, tapi wanita didunia ini semuanya memang takbisa dipercaya, habis manis sepah dibuang. Ketika melihat keluarga Ban yang kaja-raya itu, si jahanam Ban Ka itu muda lagi lebih ganteng daripadaku, mata Sumoay menjadi silau dan balik pikiran. Yang paling tidak pantas ialah aku telah ditipu agar sembunyi digudang kaju, tapi diam-diam ia memberitahukan pada suaminya untuk menangkap aku. Hahaha! Haha-hahahaha!”

Begitulah mendadak ia terbahak-bahak seperti orang gila. Sambil memegangi baju bulu itu ia menuju kedepan gua, ia lempar baju itu ketanah dan menginyaknya beberapa kali dengan berteriak: “Aku adalah bhiksu cabul dan Hwesio jahat, mana aku ada harganya memakai baju buatan puteri terhormat ini?” dan sekali ia depak, baju bulu itu ditendangnya kedalam gua. Lalu ia putar tubuh dan tinggal pergi dengan terbahak-bahak.

Dengan susah payah dan memakan waktu lebih sebulan barulah Cui Sing selesai membuatkan baju bulu itu. Ia pikir “Siau-ok-ceng” telah berjasa menyelamatkan jenazah ayah, tapi sedikitpun jasa itu tidak ditonyol-tonjolkan padanya. Selama ini hidupnya juga tergantung dari daging burung buruan “Siau-ok-ceng” itu. Sebaliknya tingkah-laku “Siau-ok-ceng” itu ternyata cukup “sopan”, biarpun menderita kedinginan diluar gua toh tidak pernah melangkah kedalam gua setindakpun, maka sudah sepantasnya baju bulu yang kubikin ini kuhadiahkan dia sekadar membalas kebaikannya selama ini.

Siapa duga maksud baiknya telah dibahas dengan jelek, baju bulu itu diinjak-injak dan terus disepak kembali kedalam gua, bahkan dicaci maki dan dihina. Saking gusarnya, terus saja Cui Sing jemput kembali baju bulu itu dan dibetot-betot dan dipuntir-puntir, dan saking terguncang perasaannya, air matanya lantas bercucuran.

Sama sekali tak terduga olehnya bahwa diwaktu Tik Hun berputar pergi sambil terbahak-bahak tadi, baju didadanya itu juga sudah basah lepek oleh tetesan air mata……….

Menjelang lohor, kembali Tik Hun berhasil memburu empat ekor burung, seperti biasa, ia taruh hasil buruan itu di depan gua. Maka Cui Sing lantas menyembelih burung-burung itu pula dan dipanggang, lalu membagi separoh pada Tik Hun seperti biasa.

Kedua orang sama sekali tidak bicara, bahkan sinar mata masing-masing juga tidak berani kebentrok. Keduanya duduk ditempat masing-masing dari jarak agak jauh, mereka makan daging burung panggang bagian sendiri-sendiri.

Tiba-tiba dari arah timur laut sana terdengar suara tindakan orang. Waktu mereka memandang kearah suara itu, tertampaklah Hoa Tiat-kan sedang mendatangi dengan cengar-cengir. Kedua tangan manusia hina itu bersenjata semua, tangan yang satu membawa golok Kui-thau-to dan tangan lain sebatang pedang.

Seketika Tik Hun dan Cui Sing sama melonyak bangun, cepat Cui Sing berlari masuk kedalam gua, waktu keluar lagi tangannya sudah memegangi golok merah tinggalan Hiat-to Loco itu. Setelah ragu-ragu sejenak, tiba-tiba ia lemparkan golok itu kearah Tik Hun sambil berseru: “Sambutlah ini!”

Dengan sendirinya Tik Hun tangkap golok yang dilemparkan padanya itu. Ia terkesiap: “Mengapa ia dapat mempercayai aku dan menyerahkan golok mestika pelindung jiwanya ini padaku? Ehm, tentu maksudnya agar supaya aku menyabung jiwa baginya, yaitu dengan membantu dia melawan Hoa Tiat-kan. Hm, hm, aku toh bukan budakmu?!”

Dan pada saat itulah dengan langkah lebar Hoa Tiat-kan sudah mendekat. Segera orang she Hoa itu bergelak ketawa dan berkata: “Kionghi! Kionghi!”

“Kionghi apa?” semprot Tik Hun dengan melotot.

“Kionghi pada kalian berdua yang telah jadi suami-isteri,” sahut Hoa Tiat-kan. “Habis, golok mestika pembela diri sepenting itu juga sudah diberikan padamu, apalagi barang-barang lain yang dimiliki gadis itu, tentu saja tanpa tawar-tawar lagi dipersembahkan padamu. Betul tidak? Haha-haha!”

“Jahanam,” damperat Tik Hun dengan gusar, “percuma kau mengaku sebagai pendekar besar dari Tionggoan, nyatanya adalah manusia rendah dan kotor!”

“Soal rendah dan kotor, rasanya orang dari Hiat-to-bun kalian takkan kalah daripada diriku,” ujar Hoa Tiat-kan dengan cengar-cengir.

Sambil bicara iapun melangkah maju lebih dekat. Tiba-tiba ia mengendus sekeras-kerasnya dengan hidung hingga mengingatkan orang pada anjing waktu mengendus sesuatu, lalu katanya: “Ehmmm, alangkah wanginya, alangkah sedapnya! Bau apakah ini? Eh, kiranya burung panggang! Berikan seekor padaku, ya?”

Jika dia meminta secara baik-baik, mungkin tanpa banyak bicara akan diberi oleh Tik Hun. Tapi kini pemuda itu sudah kadung geram terhadap sikap orang she Hoa yang menjijikkan itu, dengan sendirinya ia tidak sudi memberi makan padanya. Segera jawabnya: “Ilmu silatmu jauh lebih tinggi dariku, kau toh dapat mencari burung sendiri.”

“Aku justeru lagi malas mengeluarkan tenaga,” sahut Tiat-kan dengan menyengir.

Tengah mereka bicara, sementara itu Cui Sing sudah berada dibelakang Tik Hun, mendadak ia berseru kaget: “He, Lau-pepek, Liok-pepek!”

Kiranya ia telah melihat jelas senjata-senjata yang dibawa Hoa Tiat-kan itu tak-lain-tak-bukan adalah pedangnya Lau Seng-hong dan Kui-thau-to milik Liok Thian-ju. Pula waktu angin meniup hingga ujung baju Hoa Tiat-kan tersingkap, jelas Cui Sing melihat didalam baju Hoa Tiat-kan sendiri itu terangkap pula bajunya Liok Thian-ju dan jubahnya Lau Seng-hong.

“Ada apa?” sahut Hoa Tiat-kan dengan menarik muka.

“Jadi kau…………….. kau telah……….. telah makan mereka?” seru Cui Sing pula dengan suara gemetar.

Ia menduga Hoa Tiat-kan tentu sudah mendapatkan jenazah kedua paman angkat itu dan besar kemungkinan sudah dijadikan isi perut manusia binatang she Hoa itu.

“Makan atau tidak, peduli apa dengan kau?” sahut Tiat-kan acuh-tak-acuh.

“Lau-pepek dan Liok-pepek mereka kan sau……………….. saudara angkatmu?” seru Cui Sing tergagap-gagap.

Namun Hoa Tiat-kan tidak gubris padanya lagi, sebaliknya ia berpaling dan berkata pada Tik Hun: “Hwesio cilik, selama ini aku tidak mengutik-ngutik jenazah bapak mertuamu, itu berarti aku cukup menghargai kau. Tapi Hwesio tua itu telah kau bunuh sendiri, kini aku hendak menggunakannya, tentunya kau tiada perlu banyak bicara, bukan?”

Tik Hun menjadi gusar, sahutnya: “Dilembah ini cukup banyak elang dan burung yang dapat kau jadikan sebagai makanan, mengapa kau……………… kau begini kejam dan mesti makan daging manusia?”

Padahal kalau Hoa Tiat-kan mampu memburu burung, dengan sendirinya iapun tidak tega makan daging saudara angkat sendiri yang sudah mati itu. Ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk menangkap burung sebagai makanan, semula dapat juga ditangkapnya satu-dua ekor, tapi kemudian burung-burung itupun menjadi kapok dan tidak mau masuk perangkapnya lagi. Sedangkan Hoa Tiat-kan tidak memiliki tenaga pukulan sehebat Tik Hun yang sudah berhasil meyakinkan tenaga dalam Sin-ciau-kang yang hebat itu, dengan sendirinya ia tidak mampu menghantam burung terbang dari jarak jauh seperti Tik Hun itu.

Kini ia membawa senjata golok dan pedang, ia sudah bertekad akan menempur Tik Hun dan Cui Sing, ia pikir kedua orang itu harus dibunuh semua, dengan demikian, ditambah lagi

dengan mayat Cui Tay dan Hiat-to Loco yang terpendam dibawah salju itu tentu akan merupakan rangsum simpanan baginya untuk bertahan sampai musim panas yang akan datang, lalu dapatlah ia keluar dari lembah maut itu sesudah salju mencair.

Begitulah Hoa Tiat-kan menjadi ngiler demi mengendus bau daging burung panggang yang lezat itu. Sekonyong-konyong ia angkat Kui-thau-to terus membacok kearah Tik Hun sambil membentak.

Cepat Tik Hun ayun golok merah yang diterimanya dari Cui Sing itu untuk menangkis. “Trang”, Kui-thau-to yang dipakai Hoa Tiat-kan itu sampai mendal kembali, tapi tidak patah.

Kiranya Kui-thau-to itupun merupakan sebuah senjata pusaka, walaupun tidak setajam Hiat-to yang digunakan Tik Hun itu, tapi badan golok itu cukup tebal, maka golok merah itu tidak dapat menabas kutung padanya.

Waktu hari waktu Liok Thian-ju menggunakan golok tebal itu untuk menempur Hiat-to Loco, pernah juga Kui-thau-to itu tergempil beberapa tempat ketika mesti beradu dengan golok merah itu, maka kini setelah saling bentur lagi, paling-paling Kui-thau-to itu bertambah suatu gempilan baru saja.

Meski Hoa Tiat-kan tidak terlalu mahir menggunakan golok, tapi sebagai seorang tokoh persilatan, segala macam ilmu silat tentu diketahuinya, dengan dasar ilmu silat yang dimiliki, betapapun Tik Hun tidak sanggup melawan permainan goloknya itu. Maka hanya beberapa jurus saja Tik Hun sudah terdesak mundur.

Sebaliknya Hoa Tiat-kan ternyata tidak mendesak lebih jauh, tiba-tiba ia berjongkok dan menyemput sepotong burung panggang sisa makanan Tik Hun tadi terus digeragotinya dengan lahap, lalu pujinya tak habis-habis: “Ehm, lezat benar burung panggang ini, sungguh lezat sekali!”

Tik Hun menoleh dan saling pandang sekejap dengan Cui Sing. Kedua orang sama-sama merasa ngeri. Mereka insaf kedatangan Hoa Tiat-kan sekali ini dengan senjata lengkap, terang keadaannya tidak seperti waktu hari lagi yang bertempur dengan tangan kosong.

Waktu bergebrak dengan tangan kosong, jika Tik Hun kena digebuk umpamanya, paling-paling ia cuma muntah darah dan terluka dalam, untuk membinasakannya dengan pukulan atau tendangan sudah tentu tidak mudah.

Tapi sekarang Tiat-kan bersenjata, bahkan dua senjata sekaligus, yaitu golok dan pedang, maka keadaan menjadi berbeda jauh, sebab, sedikit Tik Hun meleng saja, seketika jiwanya bisa melayang.

Malahan waktu hari Tik Hun berkat bantuan Cui Sing yang meminjamkan golok merah itu padanya hingga dia masih sanggup bertahan sebisanya, tapi kini senjata Hoa Tiat-kan lebih banyak, dengan sendirinya Tik Hun tidak mungkin dapat melawannya.

Begitulah, selesai makan setengah ekor burung panggang restan Tik Hun tadi, selera Hoa Tiat-kan ternyata belum terpenuhi, ketika dilihatnya didekat gua sana masih ada seekor lagi, segera ia mendekati dan dimakan pula.

Habis melalap burung panggang itu, Hoa Tiat-kan mengusap-usap mulutnya yang berlepotan minyak itu, lalu katanya: “Ehm, sangat lezat, kepandaian si koki yang memanggang burung ini harus diberi piala.”

Kemudian dengan kemalas-malasan ia memutar tubuh. Mendadak ia melompat maju, tanpa bicara lagi goloknya membacok pula kearah Tik Hun.

Serangan itu dilakukan dengan sangat cepat dan diluar dugaan, karena tidak menyangka sama sekali, hampir-hampir kepala Tik Hun terbelah menjadi dua, untung ia cukup sigap, cepat ia menangkis dengan golok merah.

Syukurlah Tiat-kan agak jeri pada tenaga dalam Tik Hun yang kuat, bila kedua senjata saling bentur, tentu lengannya terasa linu pegal, maka lebih baik ia menghindari beradunya kedua senjata. Segera ia miringkan goloknya kearah lain, menyusul ia membabat dan membacok pula secara bertubi-tubi.

Keruan Tik Hun kewalahan dan kelabakan. “Cret”, tanpa ampun lagi lengan kiri kena tergurat oleh Kui-thau-to musuh hingga berwujud suatu luka panjang.

“Sudahlah, jangan bertempur lagi! Hoa-pepek, jangan bertempur lagi, aku akan membagi daging burung padamu!” demikian Cui Sing berteriak-teriak dengan kuatir.

Tapi Hoa Tiat-kan sedang mendapat angin, mana dia mau berhenti. Ia melihat ilmu silat Tik Hun paling-paling cuma tergolong kelas tiga dalam dunia persilatan, kalau kesempatan baik ini tidak membunuhnya, kelak tentu akan menimbulkan bahaya besar. Dari itu, bukannya ia berhenti seperti seruan Cui Sing itu, sebaliknya ia menyerang lebih kencang, bahkan mulutnya ikut menggoda: “He, Cui-titli, kau sayang pada Siauw-ok-ceng ini ya? Apa kau sudah lupa pada Piaukomu yang pernah berpacaran dengan kau itu?”

Sambil berkata, cepat goloknya menyerang pula tiga kali beruntun hingga pundak kanan Tik Hun kembali terbacok sekali. Untung tempat bacokan itu terlindung oleh Oh-jan-kah yang dipakainya, kalau tidak, tentu sebelah bahunya sudah tertabas kutung.

“Hoa-pepek, sudahlah, jangan bertempur lagi!” demikian Cui Sing berteriak-teriak pula.

Tapi Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: “Apa yang kau gembar-gemborkan? Kalau aku tak bisa menangkan dia, biarlah aku dibunuh olehnya!”

Dalam murkanya, terus saja ia membacok dan menabas serabutan. Tiba-tiba golok yang dipegang tangan kanan itu dipindahkannya ketangan kiri, menyusul tangan kanan itu terus menampar hingga pipi Hoa Tiat-kan kena ditempeleng sekali dengan keras.

Sudah tentu mimpipun Hoa Tiat-kan tidak menyangka pemuda yang ilmu silatnya rendah tak berarti itu masih mempunyai jurus “simpanan” yang bagus itu, ia menjadi tidak sempat menghindar dan kena digampar mentah-mentah.

Sebaliknya Tik Hun melengak juga oleh hasil pukulannya itu, pikirnya: “Ha, inilah “Ni-kong-sik‟ (gaya menempeleng) ajaran pengemis tua waktu dulu itu!”

Dan sekali ingat, beruntun-runtun ia lantas mengeluarkan jurus-jurus lain ajaran sipengemis tua waktu ia bertamu dirumah Ban Cin-san dahulu. Kembali ia memainkan “Ji-koh-sik” (gaya menusuk pundak) dan “Gi-kiam-sik” (gaya mementalkan pedang).

Keruan Hoa Tiat-kan kaget, ia berkaok-kaok: “He, Soh-sim-kiam-hoat! Soh-sim-kiam-hoat!”

Kembali Tik Hun melengak oleh teriakan Hoa Tiat-kan itu. Teringat olehnya waktu dulu waktu ia bertempur melawan Ban Ka dan kawan-kawannya dirumah keluarga Ban itu, ia telah mainkan ketiga jurus ajaran sipengemis tua untuk menghajar Ban Ka dan ketujuh saudara perguruannya, tatkala itu Ban Cin-san juga menyatakan jurus-jurus serangan itu adalah “Soh-sim-kiam-hoat”. Tapi hal mana dianggapnya omong kosong dan ocehan Ban Cin-san belaka. Namun sekarang Hoa Tiat-kan juga menyatakan jurus-jurus serangannya itu adalah Soh-sim-kiam-hoat.

Sebagai seorang tokoh terkemuka didunia persilatan Tionggoan, pengalaman dan pengetahuan Hoa Tiat-kan sudah tentu sangat luas, masakah iapun sembarangan mengoceh? Begitulah Tik Hun menjadi ragu-ragu apakah ketiga jurus ajaran pengemis tua itu jangan-jangan memang benar adalah Soh-sim-kiam-hoat?

Berulang-ulang Tik Hun memainkan ketiga jurus itu pula, ia gunakan golok sebagai gantinya pedang. Tapi ilmu silat Hoa Tiat-kan sudah tentu tak dapat disamakan dengan Ban Ka dan kawan-kawannya itu. Ketiga jurus serangan itu sudah tentu tidak dapat diulangi atas diri Hoa Tiat-kan dan tidak manyur.

Waktu Tik Hun hendak mengulangi jurus “Gi-kiam-sik”, dengan golok merah ia mencungkit Kui-thau-to yang dipegang Hoa Tiat-kan itu, namun Hoa Tiat-kan sudah siap sebelumnya, mendadak sebelah kakinya melayang hingga urat nadi tangan Tik Hun tepat kena tertendang.

Keruan cekalan Tik Hun menjadi kendur, golok merah terlepas dari tangan. Bahkan Hoa Tiat-kan terus menambahi pula dengan jurus “Sun-cui-tui-ciu” (mendorong perahu menurut arus), golok dan pedang yang dipegang kedua tangannya berbareng menusuk kedada Tik Hun sekaligus “Crat-cret”, tanpa ampun lagi dada Tik Hun terkena tusukan golok dan pedang Hoa Tiat-kan itu, tapi ujung kedua senjata itu lantas tertahan semua oleh Oh-jan-kah hingga tidak dapat menembus.

Saat itu Cui Sing juga sudah siap sedia disamping dengan sepotong batu, ia menunggu bila Tik Hun terancam bahaya, segera ia akan maju membantu. Kini melihat Hoa Tiat-kan telah menyerang dengan golok dan pedang sekaligus, tanpa pikir lagi ia angkat batunya terus mengepruk kebelakang kepala Hoa Tiat-kan.

Dari pengalaman yang sudah lalu dimana tumbak Hoa Tiat-kan tidak mempan menembus dada Tik Hun, memangnya Hoa Tiat-kan sudah terheran-heran dan tidak habis mengarti apa sebabnya? Ia menduga didalam baju pemuda itu mungkin terdapat sesuatu benda keras sebangsa tameng, dan ujung tumbaknya tepat menusuk diatas benda keras itu, makanya tidak mempan. Tapi sekali ini ia menusuk dengan golok dan pedang berbareng, rasanya tidak mungkin begitu kebetulan pula akan mengenai benda keras itu. Siapa duga hal yang tak diharapkan itu justeru berulang pula. Dan tengah ia tertegun bingung itu, tiba-tiba Tik Hun sudah balas menghantamnya sekali, bahkan dari belakang Cui Sing mengepruknya pula dengan batu.

Tanpa pikir lagi segera ia berkelit, lalu melompat pergi hingga jauh sambil berseru: “Ada setan! Ada setan!” Ia menjadi mengkirik sendiri demi terpikir olehnya mungkin arwah Liok-toako dan Lau-hiante yang penasaran itu hendak menuntut balas padanya karena ia telah makan mayat mereka. Tanpa terasa keringat dingin membasahi tubuhnya.

Dalam pada itu kelonggaran itu lantas digunakan oleh Tik Hun dan Cui Sing untuk lari kedalam gua, lalu menyumbat pula mulut gua dengan batu-batu besar.

Kemudian terdengarlah Hoa Tiat-kan telah berkaok-kaok diluar gua: “Hai keluarlah anak kura-kura, apakah kalian mampu sembunyi selama hidup didalam gua? Dapatkan kalian menangkap burung didalam gua? Haha-hahaha!”

Meski Hoa Tiat-kan bergelak ketawa dan mengejek dengan congkak, tapi sebenarnya hatinya juga sangat takut, maka tidak berani sembarangan membongkar mayat Cui Tay lagi untuk dimakan.

Mendengar ejekan Hoa Tiat-kan itu, mau-tak-mau Tik Hun saling pandang sekejap dengan Cui Sing. Pikir mereka: “Benar juga apa yang dikatakan keparat itu. Selama sembunyi digua, apa yang harus kami makan? Tapi kalau keluar tentu akan dibunuh olehnya, lantas apa daya sekarang?”

Padahal kalau benar-benar Hoa Tiat-kan hendak menyerbu kedalam gua, betapapun Tik Hun berdua tidak mampu merintanginya. Cuma sesudah dua kali Tik Hun tidak mempan ditusuk olehnya, Tiat-kan menjadi jeri dan menyangka benar-benar ada arwah halus yang diam-diam lagi mempermainkannya, maka ia tidak berani sembarangan bertindak lagi.

Sesudah berjaga sekian lamanya dipintu gua dan Hoa Tiat-kan tidak menyerbu, barulah Tik Hun dan Cui Sing agak lega. Waktu Tik Hun periksa luka lengan kiri, ia melihat darah masih mengucur terus.

Segera Cui Sing sobek sepotong kain bajunya untuk membalut luka pemuda itu.

Ketika Tik Hun mengeluarkan bungkusan abu tulang Ting Tian, tanpa sengaja dari bajunya itu ikut terjatuh sejilid buku kecil. Itulah “Hiat-to-keng” (kitab golok berdarah) yang diperolehnya dari Po-siang dahulu.

Meski pertarungan Tik Hun melawan Hoa Tiat-kan tadi memakan waktu singkat saja, tenaga yang dikeluarkannya juga tidak banyak, tapi semangatnya ternyata masih tegang sekali. Kini sesudah mengaso, barulah ia merasa sangat lelah.

Teringat olehnya waktu dulu waktu pertama kalinya membaca Hiat-to-keng itu, pernah ia bertingkah menurutkan gambar yang terlukis didalam kitab, lalu semangatnya lantas pulih dan tenaga bertambah. Segera ia membalik-balik halaman kitab itu pula dengan tujuan akan menirukan gaya yang terlukis didalam kitab itu untuk memulihkan semangat agar sebentar dapat dipakai menghadapi musuh kuat yang masih mengintai diluar gua itu.

Ketika ia membuka halaman pertama kitab itu, ia melihat gambar yang terlukis disitu adalah bentuk manusia yang berjungkir balik, kepala menahan ditanah, kaki terangkat keatas, sikap kedua tangannya juga sangat aneh. Tanpa pikir lagi segera Tik Hun menirukan gambar itu, iapun menyungkir dengan kepala bawah dan kaki diatas.

Melihat pemuda itu mendadak bertingkah aneh. Cui Sing menyangka penyakit gila orang telah angot lagi. Diam-diam ia mengeluh, diluar gua ada musuh, didalam gua ada orang gila pula, bagaimana dirinya harus bertindak? Dalam kuatirnya, kembali ia mewek-mewek ingin menangis.

Dalam pada itu Tik Hun masih terus berlatih, tidak sampai setengah jam, antero tubuhnya terasa panas bagai dibakar. Tapi nikmat sekali rasanya.

Melihat Tik Hun melatih ilmu dengan berdiri menjungkir, Cui Sing menjadi heran dan kaget terutama sesudah mengetahui yang ditiru Tik Hun adalah gambar didalam kitab Hiat-to-keng yang melukiskan seorang laki-laki telanjang, jangan-jangan nanti pemuda itu juga akan menirukannya dengan telanjang …..

Kemudian ia coba membalik halaman berikutnya, ia melihat gambar ini melukiskan seorang laki-laki telanjang tengkurap ditanah, hanya tangan kirinya yang menahan ditanah, sedangkan kedua kakinya membalik keatas dan menggantol dibagian leher sendiri.

Gaya menurut gambar itu sebenarnya sangat susah dilakukan. Tapi sejak Tik Hun berhasil meyakinkan Sin-ciau-kang, ia merasa antero tubuh dan segenap bagian badannya dapat digerakan dengan bebas, bagaimana keinginannya tentu dapat dilakukannya, sedikitpun tidak susah-susah. Maka ia lantas berlatih pula menurut petunjuk gambar dalam kitab itu, hawa dalam tubuh lantas ikut berjalan juga kian kemari antara urat-nadi satu keurat nadi yang lain sesuai dengan garis-garis merah dan hijau yang terdapat dalam gambar.

Kiranya “Hiat-to-keng” itu memuat ikhtisar komplit dari ilmu Iwekang dan Gwakang ajaran Hiat-to-bun. Setiap gambar yang terlukis pada tiap-tiap halaman itu biasanya harus dilatih selama setahun atau setengah tahun baru dapat jadi.

Tapi sekarang Tik Hun sudah lancarkan hubungan antara urat nadi Tok-meh dan Im-meh, ia mempunyai alas dasar Sin-ciau-kang yang tiada bandingannya dalam hal tenaga dalam. Maka ilmu yang betapapun sulitnya baginya boleh dikata tiada artinya lagi, dengan mudah tentu akan dapat dilatihnya dengan sempurna.

Ibaratkan seorang belajar membaca, semula memang sulit mengapalkan setiap huruf, tapi bila antero huruf “Kamus besar” telah dibaca dan dihapalkannya dengan baik, dengan sendirinya tiada sesuatu istilahpun yang sulit baginya untuk dipahaminya.

Begitulah Tik Hun terus berlatih sejurus demi sejurus, makin melatih makin bersamangat.

Semula Cui Sing sangat kuatir, sebab mengira penyakit gila pemuda itu kumat lagi, tapi kemudian demi mengetahui pemuda itu sedang melatih ilmu menurut gambar dalam kitab, barulah hilang rasa kuatir dan takutnya.

Bahkan ketika melihat gaya latihan Tik Hun yang aneh dan lucu itu, Cui Sing menjadi geli dan heran pula. Pikirnya: “Masakah didunia ini ada orang melatih ilmu secara begini?”

Akhirnya Cui Sing menjadi kepingin tahu juga, ia coba mendekati kitab yang terletak ditanah itu dan melongoknya, tapi sekali pandang saja ia menjadi merah jengah, hatinya berdebar-debar. Kiranya gambar yang terlihat didalam kitab itu melukiskan seorang laki-laki yang telanjang bulat. Keruan ia malu dan takut pula, pikirnya: “Jika cara begini Siau-ok-ceng itu berlatih terus menerus menurut gambar, jangan-jangan sampai akhirnya nanti ia juga akan menanggalkan pakaiannya hingga telanjang bulat seperti gambar? Wah, kan celaka kalau begitu!”

Syukurlah adegan yang dikuatirkan Cui Sing itu sebegitu jauh tidak muncul. Sesudah melatih Iwekang itu sebentar, ketika Tik Hun membalik halaman lain dari kitab itu, ia melihat gambarnya sekarang melukiskan laki-laki itu memegangi sebatang golok melengkung sedang membacok miring dan menabas kesaping.

Girang Tik Hun tidak kepalang, tak tertahan lagi ia berseru:

“Hei, inilah Hiat-to-to-hoat (ilmu permainan golok berdarah)!”

Segera ia menuju kedepan gua, ia menyemput sebatang ranting kayu sisa kayu bakar yang dipakai panggang burung itu. Ia menurutkan gaya gambar dalam kitab dan menirukan untuk melatih ilmu golok itu.

Ilmu golok permainan Hiat-to itu benar-benar sangat aneh juga, setiap jurus selalu membacok dari arah yang tidak mungkin terpikir menurut akal sehat.

Hanya tiga jurus saja Tik Hun berlatih dan segera ia paham duduknya perkara. Kiranya setiap ilmu permainan golok itu adalah perubahan dari gaya aneh menurut gambar dihalaman depan tadi. Gambar dihalaman depan itu ada yang berjungkir balik, ada yang miring, ada yang menjulur kaki menggantol dileher, ada yang membalik tangan kebelakang untuk menyewer telinga sendiri dan macam-macam gaya yang aneh dan lucu. Dan ilmu permainan Hiat-to itu juga mencakup gaya-gaya serangan yang aneh dan susah dibayangkan orang itu.

Segera Tik Hun pilih empat jurus ilmu permainan golok itu dan melatihnya bolak-balik sampai beberapa kali, ia pikir harus cepat-cepat mengapalkan beberapa puluh jurus agar beberapa hari lagi dapat dipakai modal pertempuran mati-matian dengan manusia she Hoa itu.

Tak terduga olehnya bahwa setengah haripun Hoa Tiat-kan tidak memberi kelonggaran padanya. Baru Tik Hun tekun mempelajari jurus kelima, tiba-tiba Hoa Tiat-kan sudah berseru diluar gua: “Hai, Hwesio cilik, kau mau makan hati bapak-mertuamu atau tidak? Tentu sangat lezat rasanya!”

Keruan Cui Sing terkejut. Tanpa pikir lagi ia dorong batu penutup gua terus menyerobot keluar. Ia melihat Hoa Tiat-kan sedang menggali kuburan sang ayah dengan Kui-thau-to, bukan mustahil sekejap lagi mayat sang ayah pasti akan dibongkar olehnya.

“Hoa-pepek, apakah kau ti…….. tidak ingat pada kebaikan sesama sau…….. saudara angkat lagi?” demikian Cui Sing berteriak-teriak dengan kuatir sembari menerjang maju.

Memangnya tujuan Hoa Tiat-kan justeru ingin memancing Cui Sing keluar lebih dulu, lalu ia akan robohkan gadis itu, kemudian barulah Tik Hun akan dibereskan olehnya agar gadis itu tidak mengganggu maksudnya. Maka demi melihat Cui Sing menyerbu kearahnya, ia pura-pura tidak tahu dan tetap asyik menggali. Setelah Cui Sing mendekat dan hendak menghantam punggung, saat itulah Hoa Tiat-kan lantas membaliki tangannya, secepat kilat ia pegang sigadis.

Menyusul sebelah tangan Cui Sing yang lain menghantam pula, tapi sedikit Hoat Tiat-kan miringkan tubuh, ia membiarkan bahunya kena digenjot sigadis, pada saat hampir berbareng itu tiba-tiba Cui Sing juga menjerit tertahan, ternyata pinggangnya telah kena ditutuk Hoa Tiat-kan hingga jatuh tersungkur dan tak terkutik lagi.

Selesai merobohkan Cui Sing, sementara itu Tik Hun tertampak sedang menerjang pula kearahnya sambil membawa ranting kaju.

Hoa Tiat-kan terbahak-bahak, katanya: “Hahaha! Apa barangkali kau sudah bosan hidup? Masakan akan melawan aku dengan sebatang kaju? Baiklah, kau adalah bhiksu jahat dari Hiat-to-bun, aku akan menggunakan golok mestika dari Hiat-to-bun kalian ini untuk menghantar kau pulang keakhirat!”

Habis berkata, mendadak ia lolos golok merah dari pinggang, ia simpan kembali Kui-thau-to, menyusul goloknya lantas membacok tiga kali kearah Tik Hun.

Hiat-to itu sangat tipis lagi enteng, waktu membacok lantas mengeluarkan suara mendesing yang nyaring. Diam-diam Hoa Tiat-kan memuji golok mestika yang bagus itu.

Melihat serangan musuh yang cepat dan hebat itu, Tik Hun menjadi ngeri hingga cara berkelitnya menjadi kelabakan pula. Tapi ia menjadi nekat juga, pikirnya: “Biarlah aku gugur bersama dengan kau!” Dan sekali ia balas menyerang, mendadak ia ayun ranting kayu yang dipegangnya itu dan menyabet dari belakang “plok”, tahu-tahu tengkuk Hoa Tiat-kan tepat kena digebuk sekali olehnya.

Tipu serangan ini benar-benar aneh dan bagus sekali, pabila senjata yang dipakai Tik Hun itu bukan sebatang kaju, tapi adalah sebatang golok atau pedang, maka tidak perlu disangsikan lagi pasti kepala Hoa Tiat-kan sudah berpisah dengan tuannya.

Padahal ilmu silat Hoa Tiat-kan tidak lebih rendah daripada Hiat-to Loco, andaikan Hiat-to Loco hidup kembali juga tidak mampu membunuhnya dengan sejurus saja. Soalnya tadi Hoa Tiat-kan terlalu memandang enteng pada Tik Hun yang dianggapnya cuma sebangsa keroco yang tiada artinya, dari itu ia telah kena batunya.

Ia tertegun sejenak, lalu bermaksud ayun goloknya untuk membacok pula. Namun batang kayu Tik Hun itu sudah menyabet dan menghantam secara membadai kearahnya. “Plok”, kembali Hoa Tiat-kan kena digebuk lagi, sekali ini kena dibatok kepala belakang.

Keruan hampir-hampir Hoa Tiat-kan kelengar, untung ia masih dapat bertahan walaupun dengan kepala pusing tujuh keliling. Ia berteriak-teriak: “Ada setan! Ada setan!” Tanpa merasa ia menoleh kebelakang, saking ketakutan sampai tangannya menjadi lemas, cekalannya menjadi kendur, golok merah yang dipegang itu jatuh ketanah, tanpa memikir untuk menyemput kembali senjata itu terus saja ia lari pergi dengan terbirit-birit.

Kiranya setelah Hoa Tiat-kan memakan mayat kedua saudara angkat sendiri, betapapun perasaannya tidak tenteram dan menyesal, senantiasa ia kuatir kalau arwah halus Liok Thian-ju dan Lau Seng-hong menggoda padanya.

Tadi waktu Tik Hun tidak mempan ditusuk olehnya, memangnya ia sudah sangsi jangan-jangan ada arwah halus yang telah membantu musuh itu, kini Tik Hun hanya melawannya dengan sebatang kaju, sudah terang gamblang lawan itu berdiri didepannya, pula Cui Sing sudah ditutuk roboh olehnya, tapi tahu-tahu tengkuk dan batok kepala belakang beruntun-runtun telah kena dihanyut oleh sesuatu benda keras. Padahal dilembah itu selain mereka bertiga sudah tiada manusia lain lagi. Lalu mengapa ada yang mampu menyerangnya dari belakang tanpa kelihatan wujudnya, habis kalau bukan setan iblis lantas apa? Dan begitulah ia menjadi ketakutan setengah mati dan lari sipat-kuping.

Sebaliknya Tik Hun meski berhasil menggebuk Hoa Tiat-kan dua kali, tapi musuh toh tidak terluka apa-apa, mengapa mendadak orang she Hoa itu lari pergi dengan ketakutan? Sungguh hal inipun diluar dugaannya dan membingungkan dia.

Segera Tik Hun menyemput Hiat-to yang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu, ia melihat Cui Sing masih menggeletak ditanah takbisa berkutik, tanyanya: “Kenapa kau? Apa tertutuk oleh keparat itu?”

“Ya,” sahut Cui Sing.

“Sayang aku tidak paham ilmu Tiam-hiat dan cara membukanya, maka takbisa menolong kau,” ujar Tik Hun.

“Asal pinggang dan pahaku di………..” sebenarnya Cui Sing

hendak memberitahukan Tik Hun tempat jalan darah yang harus dipijat untuk melancarkannya kembali, lalu ia akan dapat bergerak lagi. Tapi demi berkata tentang pinggang dan paha, ia lantas ingat jangan-jangan “Siau-ok-ceng” itu akan kumat penyakit buasnya dan mendadak memperlakukan dirinya secara tidak senonoh dikala dirinya takbisa bergerak, wah, kan bisa celaka?

Ketika mendadak melihat sinar mata sigadis mengunyuk rasa ketakutan dan bicara setengah-tengah, Tik Hun menjadi heran, pikirnya: “Hoa Tiat-kan toh sudah lari, apa yang kau takuti lagi?”

Tapi setelah dipikir pula, segera iapun mengarti dirinya sendirilah justeru yang ditakuti gadis itu. Sesaat itu ia menjadi gusar, teriaknya mendadak: “Jadi kau takut aku akan menodai kau? Hm, hm, biarlah sejak kini aku takkan melihat tampangmu lagi!” Saking gusarnya ia lantas mengamuk, ia menendang dan menyepak tanah salju hingga bunga salju berhamburan bagai hujan.

Ia kembali kedalam gua, sesudah mengambil kitab Hiat-to-keng, dengan langkah lebar ia tinggal pergi dan tidak memandang lagi pada Cui Sing, bahkan melirikpun tidak.

Diam-diam Cui Sing merasa malu sendiri, pikirnya: ” Jangan-jangan aku yang suka curiga tak keruan dan telah salah sangka padanya?”

Begitulah Cui Sing menggeletak tak berkutik disitu. Selang lebih satu jam, mendadak seekor elang menyambar kebawah dan mematuk kemukanya. Keruan Cui Sing menjerit kaget. Sekonyong-konyong tertampak sinar merah berkelebat, golok merah itu tahu-tahu menyambar tiba dari saping sana hingga elang itu terpapas menjadi dua dan jatuh dipinggir Cui Sing.

Meski Tik Hun sangat gusar karena dirinya dicurigai gadis itu, tapi ia juga kuatir Hoa Tiat-kan akan datang kembali untuk membikin celaka mereka, maka ia tidak pergi jauh, tapi menjaga disekitar situ sambil meneruskan pelajaran ilmu golok menurut kitab pusaka Hiat-to-keng itu. Ia tidak menyangka sekali menimpukan golok merah itu, kontan elang itu tertabas menjadi dua belah, bahkan golok itu tidak terhalang oleh elang dan masih terus melayang kedepan hingga sejauh belasan meter baru jatuh ketanah. Dengan demikian Tik Hun telah berhasil pula meyakinkan satu jurus “Liu-sing-keng-thian” atau bintang kemukus melayang diudara.

Mendadak Cui Sing berteriak-teriak: “Tik-toako, Tik-toako! Ya, aku mengaku salah sudah, seribu kali aku minta maaf padamu!”

Tapi Tik Hun berlagak tuli saja dan tidak gubris. Maka Cui Sing berteriak-teriak lagi: “Tik-toako, sudilah kau memaafkan kesemberoanku. Sesudah ayahku meninggal, aku menjadi sebatangkara, cara berpikirku menjadi agak kurang sehat, harap engkau jangan marah lagi padaku, ya?”

Namun Tik Hun masih tidak gubris padanya. Tapi pelahan-lahan rasa gusarnya menjadi lenyap juga.

Dengan menggeletak ditanah, sampai besok paginya jalan darah Cui Sing baru lancar kembali dengan sendirinya dan dapat bergerak pula. Ia tahu meski Tik Hun sepatah-katapun tidak bicara, tapi sepanjang malam toh senantiasa menjaga disitu tanpa tidur, sungguh rasa terima kasihnya tak terhingga. Maka begitu badannya bisa bergerak, segera ia pergi memanggang elang lagi, ia membagi separoh kepada Tik Hun.

Tapi ketika dia sudah mendekat, Tik Hun sengaja pejamkan mata untuk mentaati sesumbarnya sendiri bahwa selanjutnya ia tidak mau melihat tampang gadis itu lagi. Cui Sing juga tidak bicara padanya, ia taruh elang panggang itu didepan Tik Hun, lalu menyingkir pergi.

Maksud Tik Hun akan menunggu sesudah gadis itu pergi agak jauh barulah ia akan membuka mata. Diluar dugaan, mendadak didengarnya Cui Sing menjerit kaget sekali, menyusul gadis itu mengaduh pula dan terguling ketanah.

Tik Hun terperanjat, cepat ia melompat bangun dan memburu ketempat Cui Sing. Tapi tahu-tahu gadis itu telah bangkit dengan tertawa, katanya: “Aku cuma menipu kau saja. Kau menyatakan selanjutnya takkan melihat aku, tapi sekarang kau sudah melihat lagi, bukan? Maka pernyataanmu itu sekarang sudah batal!”

Tik Hun tidak menjawab, dengan mendongkol ia melotot sekali pada gadis itu. Pikirnya: “Wanita didunia ini memang licik semua. Kecuali nona Leng kekasih Ting-toako itu, selebihnya suka menipu orang saja. Sejak kini tidak nanti aku dapat kau tipu lagi.”

Sebaliknya Cui Sing masih mengikik tawa, katanya: “Tik-toako, buru-buru kau hendak menolong aku, bukan? Terima kasih, ya!”

Kembali Tik Hun melototi sigadis sekali, lalu memutar tubuh dan menyingkir……..

Sementara itu rupanya Hoa Tiat-kan sudah ketakutan pada setan iblis, maka ia tidak berani mengacau lagi ketempat gua. Terpaksa ia mencari kulit pohon dan akar rumput sekadar mengisi perut agar tidak mati kelaparan. Sudah tentu penghidupan begitu sangat menderita baginya.

Dalam pada itu setiap hari Tik Hun asyik melatih sejurus-dua ilmu permainan golok, baik tenaga dalam, maupun tenaga luar, setiap hari ia mencapai kemajuan yang menonjol.

Sang waktu silih berganti dengan cepat, tanpa merasa musim dingin sudah lalu dan musim semi telah tiba. Hawa udara lambat-laun mulai menghangat, salju tidak turun lagi, sebaliknya timbunan salju mulai susut, yaitu mulai cair.

Selama itu Tik Hun sudah lengkap mempelajari Iwekang dan ilmu golok yang terlukis didalam Hiat-to-keng itu. Kepandaiannya kini sudah mencakup dua aliran Cing dan Sia yang paling tinggi, meski pengalamannya cetek dan kurang pengetahuan, sedang diantara sari ilmu-ilmu silat aliran Cing dan Sia itupun belum ada pembauran yang sempurna, tapi kalau melulu bicara tentang ilmu silat sejati, saat itu jangankan cuma Hoa Tiat-kan, bahkan kepandaian Tik Hun sekarangpun sudah lebih tinggi daripada Ting Tian dulu. Hal ini adalah berkat Sin-ciau-kang yang telah berhasil diyakinkan dengan baik serta terhubungnya urat-urat nadi Tok-meh dan Im-meh.

Selama itu, bila Cui Sing mengayak bicara padanya, selalu Tik Hun berlagak gagu tanpa menjawab sepatahpun. Kecuali waktu makan, terpaksa mereka berkumpul sebentar, habis itu, selalu Tik Hun menjauhi Cui Sing lagi dan tekun melatih diri.

Pada benaknya cuma ada tiga harapan: Bila sudah keluar dari lebih salju ini, tugas pertama ialah mencari Suhu ketempat kediaman lama di Heng-ciu; Kedua, mengubur abu tulang Ting-toako bersama nona Leng sebagaimana ia sendiri telah janji pada Ting Tian dahulu dan ketiga ialah menuntut balas.

Maka sangat dia harapkan agar salju dilembah itu dapat mencair selekas mungkin.

Ia melihat air salju sudah meluber sebagai air kali dan mengalir terus keluar lembah, salju yang menutupi jalan keluar lembah itu makin hari makin susut. Ia tidak tahu masih kurang berapa hari lagi baru akan tiba hari Toan-ngo-ce, yang terang, hari keluarnya dari lembah itu sudah tidak terlalu lama lagi.

Satu petang, ia menerima dua ekor burung panggang dari Cui Sing, selagi ia hendak putar tubuh dan menyingkir, tiba-tiba gadis itu berkata: “Tik-toako, lewat beberapa hari lagi kita sudah dapat keluar dari lembah ini, bukan?”

“Ehm,” sahut Tik Hun tak acuh.

“Terima kasih padamu yang telah menjaga keselamatanku selama ini, tanpa perlindunganmu, tentu sudah lama aku dibunuh oleh jahanam Hoa Tiat-kan itu.”

“Tidak apa-apa,” sahut Tik Hun sambil menggeleng. Lalu ia bertindak pergi.

Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba didengarnya suara sesenggukan dibelakang, waktu menoleh, ia melihat Cui Sing mendekap diatas sebuah batu dan sedang menangis.

Ia menjadi heran: “Sudah hampir bisa pulang, seharusnya merasa senang, mengapa malah menangis? Sungguh perasaan wanita memang aneh dan susah diraba.”

Malam itu, setelah melatih sebentar, Tik Hun merebah diatas batu besar yang biasanya dipakai sebagai balai-balai.

Jarak batu itu tidak jauh dari gua untuk menjaga kalau-kalau tengah malam mereka disergap Hoa Tiat-kan. Tapi selama masa terakhir ini Hoa Tiat-kan ternyata tidak muncul lagi. Ia menduga takkan terjadi apa-apa lagi, maka tidurnya menjadi sangat nyenyak.

Tengah Tik Hun terpulas, tiba-tiba dari jauh samar-samar seperti ada suara tindakan orang.

Iwekang Tik Hun sekarang sudah sangat tinggi, mata-telinganya juga sangat tajam, meski suara tindakan orang itu masih sangat jauh, tapi sudah membuatnya terjaga bangun. Cepat Tik Hun berduduk dan mendengarkan dengan cermat, ia merasa jumlah orang yang datang itu cukup banyak, paling sedikit ada 50-60 orang dan sedang menuju kearah lembah ini.

Ia terkejut dan heran: “Mengapa mereka mampu masuk kelembah salju ini?”

Ia tidak tahu bahwa ditengah lembah yang dikelilingi puncak-puncak gunung yang tinggi itu, cuaca disitu menjadi lebih dingin dan berbeda daripada diluar lembah sana. Timbunan salju diluar lembah sudah mulai lumer, tapi salju didalam lembah belum apa-apa dan paling sedikit harus 13 hari atau setengah bulan lagi baru mencair.

Segera terpikir pula oleh Tik Hun: “Orang-orang itu pasti adalah jago-jago silat Tionggoan yang dahulu ikut menguber-uber itu, kini Hiat-to Loco sudah mati, segala permusuhan tentu akan berakhir juga. Dan, ya, Piaukonya nona Cui tentu juga ikut datang untuk membawanya pulang, itulah paling baik. Tapi mereka telah anggap aku sebagai bhiksu cabul dari Hiat-to-bun, untuk memberi penjelasan rasanya tidaklah mudah, maka lebih baik aku tidak bertemu dengan mereka, biarkan nona Cui dibawa mereka pergi mereka, lalu aku sendiri baru meninggalkan tempat ini.”

Segera ia mengitar kesaping gua sana dan mengumpet dibelakang sepotong batu karang, ia ingin tahu macam apakah orang-orang yang datang itu.

Suara tindakan orang banyak itu makin lama makin dekat. Tiba-tiba pandangan mata terbeliak, ternyata rombongan orang-orang itu sudah muncul dari balik bukit sana. Tangan mereka membawa obor semua.

Jumlah seluruhnya memang betul kurang lebih 50 orang, semuanya membawa obor dengan tangan kiri dan tangan kanan bersenjata.

Orang yang mengepalai didepan itu tampak berjenggot putih, tangannya tidak membawa obor, sebaliknya bersenjata semua, tangan yang satu membawa golok dan tangan yang lain memegang pedang. Siapa lagi dia kalau bukan Hoa Tiat-kan adanya.


Jilid 8

Semula Tik Hun agak heran mengapa Hoa Tiat-kan bisa berada bersama dengan orang-orang sebanyak itu. Tapi segera ia menjadi sadar: “Ah, orang-orang itu adalah pengejar-pengejar dari Ouw-pak dan Su-cwan yang pernah ikut menguber-uber kami dahulu itu dan Hoa Tiat-kan adalah satu diantara pemimpin mereka, dengan sendirinya mereka lantas menggabungkan diri ketika saling bertemu kembali. Tapi entah hasutan apa saja yang telah Hoa Tiat-kan katakan kepada mereka itu?”

Sementara itu rombongan Hoa Tiat-kan sudah masuk kedalam gua. Segera ia merajap maju lebih dekat, ia bertiarap di-semak-semak rumput yang saljunya masih belum cair agar tak dipergoki pendatang-pendatang itu. Meski jaraknya dengan rombongan Hoa Tiat-kan itu masih cukup jauh; tapi dengan kemajuan Iwekang yang dicapainya dengan pesat selama ini, kini mata-telinganya sudah sangat tajam, apa yang dipercakapkan orang-orang didalam gua itu dapat didengarnya dengan jelas. Maka terdengar suara seorang yang kasar serak sedang berkata: “Hiat-to Loco itu terbinasa ditangan Hoa-heng sendiri, sungguh jasa ini harus dipuji dan dikagumi. Selanjutnya Hoa-heng adalah pemimpin dunia persilatan kita di Tionggoan, kami siap sedia dibawah pimpinan Hoa-heng.”

“Sungguh sayang Liok-tayhiap, Lau-totiang dan Cui-tayhiap bertiga telah mengalami nasib malang, hal ini benar-benar sangat menyedihkan,” kata seorang lain.

“Meski Ok-ceng tua itu sudah mampus, tapi Ok-ceng cilik itu masih hidup, kita harus segera mencarinya, membabat rumput harus sampai keakar-akarnya, agar kelak tidak menimbulkan bencana pula, betul tidak menurut pendapatmu, Hoa-tayhiap?” demikian sambung seorang lagi.

“Benar,” sahut Hoa Tiat-kan. “Siau-ok-ceng itu tinggi juga ilmu silatnya yang jahat, keganasannya tidak dibawah gurunya yang sudah mampus itu bahkan jauh melebihinya. Tadi demi melihat kedatangan kita, tentu cepat-cepat dia berusaha hendak meloloskan diri. Marilah saudara-saudara, janganlah kenal lelah kita harus mencari dan binasakan pula Siau-ok-ceng itu.”

Diam-diam Tik Hun terkesiap mendengar hasutan Hoa Tiat-kan itu, pikirnya: “Orang she Hoa ini benar-benar manusia keji, untung tadi aku tidak sembarangan unyukkan diri, kalau tidak, pasti aku akan dikerubut dan susahlah untuk melawan mereka yang berjumlah sangat banyak itu.”

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara seorang wanita telah menjawab, “Dia …… dia bukan Siau-ok-ceng, tapi adalah

seorang laki-laki sejati, Hoa Tiat-kan sendirilah seorang yang maha jahat.”

Itulah suaranya Cui Sing. Sungguh hati Tik Hun sangat terhibur, untuk pertama kalinya inilah ia mendengar gadis itu menyatakan: “Dia bukan Siau-ok-ceng, tapi dia adalah seorang laki-laki sejati,” Sungguh tak terduga olehnya bahwa gadis yang selama ini bersikap takut dan dingin padanya ini, meski paling akhir ini tidak lagi mengunyuk sikap benci padanya, tapi berani terang-terangan membela kebaikannya dihadapan orang banyak, sungguh hal ini tak diduganya sama sekali. Saking terharunya sampai air mata meleleh, pelahan-lahan ia menggumam sendiri: “Dia mengatakan aku adalah laki-laki sejati!”

Setelah Cui Sing bicara tadi, keadaan didalam gua menjadi sepi, agaknya orang-orang itu sedang saling pandang dengan bingung.

Tik Hun coba mengintip, dibawah sinar obor yang terang Tik Hun melihat air muka orang-orang itu penuh mengunyuk sikap jijik dan hina.

Selang sejenak, lalu suara seorang tua berbicara lagi: “Cui-titli, aku adalah sobat lama ayahmu, mau-tidak-mau aku harus mengatai kau, Siau-ok-ceng itu telah membunuh ayahmu, tapi kau …….”

“Tidak, tidak …….” Seru Cui Sing tak lancar.

“Apa kau maksudkan ayahmu tidak dibunuh oleh Siau-ok-ceng itu?” orang tua itu menyela. “Jika demikian, lalu ayahmu dibunuh oleh siapa?”

“Dia ……. dia……..” demikian Cui Sing ingin menyelaskan, tapi susah rasanya untuk mengucapkan.

“Menurut cerita Hoa-tayhiap, katanya dalam pertempuran sengit dahulu ayahmu telah kehabisan tenaga hingga tertawan musuh, kemudian Siau-ok-ceng itu telah membunuhnya dengan mengepruk kepalanya dengan sepotong kaju, betul tidak?” tanya orang tua tadi.

“Betul, tapi …… tapi ……” sahut Cui Sing.

“Tapi apa lagi?” potong orang tua itu.

“Ayahku sendiri yang mohon dia suka membunuhnya!” sahut Cui Sing.

Maka ramailah seketika suara gelak tertawa didalam gua. Ditengah suara ketawa itu terseling pula kata-kata yang mengejek seperti: “Mohon dirinya dibunuh?” Hahahaha! Dusta ini benar-benar terlalu menggelikan!” “O, jadi Cui-tayhiap itu sudah bosan hidup, makanya minta calon menantunya itu membinasakan dia saja!” “Calon menantu apa? Bahkan sebelum Cui-tayhiap meninggal, Siau-ok-ceng itu katanya sudah mengadakan hubungan dengan nona cilik ini, hahahaha!”

Malahan diantara suara tertawa dan ejekan itu, banyak pula suara orang yang memaki kalang kabut kealamat Cui Sing yang dianggapnya perawan hina, gadis cabul dan macam-macam lagi. Orang itu adalah golongan orang Kangouw yang kasar, keruan segala kata-kata kotor tidak segan-segan mereka ucapkan.

Kiranya sesudah mendengar hasutan Hoa Tiat-kan, orang-orang itu telah dicekoki dengan cerita yang dikarang Hoa Tiat-kan sendiri, maka mereka telah yakin bahwa Cui Sing sudah menyerahkan diri kepada Tik Hun, kini mereka bertambah gemas melihat gadis itu malahan membela sang “gendak”, dari itu segala caci-maki itu lantas dihamburkan kepada Cui Sing.

Keruan muka Cui Sing merah padam, mendadak ia berteriak: “Diam! Kalian  sem  …….  sembarangan  memaki  orang?  Apa kalian tidak kenal malu?”

“Hahahaha!” kembali pecah gelak tertawa orang banyak dengan macam-macam ejekan: “Eh, kami tidak kenal malu? Dan cara kau main pat-pat-gulipat dengan Siau-ok-ceng didalam gua itu tanpa memikirkan sakit hati orang tua, apakah ini yang dikatakan kenal malu?” “Maknya!” mendadak suara seorang yang kasar memaki. “Jauh-jauh Loco ikut menguber kemari tanpa mengenal capek, maksudnya ingin menolong perempuan jalang seperti kau ini. Siapa duga kau sendiri sedemikian hina-dina tak punya malu, ini, biar kumampuskan kau dulu dengan golokku!”

“He, jangan, jangan!” cepat orang lain mencegahnya. “Tio-heng jangan semberono!”

“Sabar, sabar dulu, saudara!” demikian suara orang tua pertama tadi berbicara lagi. “Usia nona Cui masih terlalu muda dan kurang pengalaman. Cui-tayhiap telah mengalami nasib jelek hingga tertinggal nona Cui yang sebatangkara, maka janganlah saudara-saudara membikin susah padanya. Kukita selanjutnya dibawah asuhan Hoa-tayhiap, tentu nona Cui akan dapat dididik menuju kejalan yang benar dan itu berarti saudara-saudara sekalian ikut berbuat kebaikan bagi sesamanya. Tentang peristiwa dilembah pegunungan ini tidak perlu kita siarkan kedunia Kangouw demi nama baik Cui-tayhiap. Dimasa hidupnya Cui-tayhiap terkenal berbudi dan pengasih, kalau tidak, masakah saudara-saudara sudi ikut menguber kemari dari jauh guna menolong puterinya? Maka menurut pendapatku, marilah kita lekas mencari Siau-ok-ceng itu, kita tangkap dia dan menyembelihnya dihadapan kuburan Cui-tayhiap guna membalas sakit hati beliau.”

Agaknya orang tua yang bicara itu berkedudukan cukup tinggi dan disegani yang lain-lain, maka lantas terdengar suara dukungan dari beberapa orang diantaranya. Kata mereka: “Benar, beanr! Apa yang dikatakan Thio-locianpwe itu cukup beralasan. Marilah kita lekas mencari Siau-ok-ceng itu, kita ringkus dia dan mencincangnya hingga hancur luluh!”

Ditengah berisik suara orang banyak yang berlainan pendapat itu, Cui Sing mendadak menangis tergerung-gerung.

Pada saat itulah kira-kira dari jauh terdengar suara seruan seorang: “Piauwmoay! Piauwmoay dimana kau berada? Piauwmoay! Cui-piauwmoay!”

Itulah suara Ong Siau-hong.

Mendengar suara sang Piauko yang sedang mencarinya, dalam keadaan sebatang kara dan ditengah sindir-ejek orang banyak itu, mendadak telah datang seorang yang sangat dirindukan itu, keruan Cui Sing kegirangan. Segera ia berhenti menangis dan berlari memapak keluar gua.

“Ai, Ong Siau-hong yang sedang tenggelam dilautan asmara itu bila mengetahui apa yang diperbuat kekasihnya disini, entah bagaimana hatinya akan terluka!” demikian lantas ada yang memberi komentar.

Segera si orang tua tadi berkata: “Jangan ribut dulu, saudara-saudara, dengarkanlah usulku! Hoa-tayhiap, pemuda she Ong itu sangat kesemsem kepada nona Cui ini, sebenarnya dia sudah dua hari lebih dulu mencari kemari tanpa menghiraukan salju yang masih belum cair. Mungkin ditengah jalan dia mendapat cidera apa-apa atau kesasar, maka datangnya disini malah tertinggal dibelakang kami. Begini, saudara-saudara berbuatlah sedikit kebaikan, pemuda itu sedemikian kesemsemnya kepada nona Cui, maka kejadian tentang nona Cui dengan Siau-ok-ceng itu hendaklah jangan dikatakan pada Ong-siauhiap.”

“Ya, setuju!” segera beberapa diantaranya yang berhati baik menyatakan akur. “Setiap orang dapat berbuat kesalahan, dan kita harus memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki, apalagi dalam keadaan seperti nona Cui itu sebenarnya juga sangat terpaksa, kalau tidak, masakah seorang gadis baik-baik sudi main gila dengan seorang Hweshio kejam yang tak keruan macamnya itu?”

Tapi ada juga yang menanggapi: “Sungguh sial Ong Siau-hong itu, seorang pemuda gagah ganteng mesti mencintai seorang gadis yang sebenarnya hina-dina, benar-benar celaka. Hahaha!”

Begitulah tengah mereka bicara, sementara itu suara teriakan Ong Siau-hong tadi kedengaran makin menjauh malah, agaknya dia tidak tahu letak gua itu, dimana kawan-kawannya berada, maka telah membelok kejurusan lain.

Cepat Cui Sing berlari kedepan dan berseru: “Piauko, Piauko! Aku berada disini, aku berada disini!”

Sungguh girang Ong Siau-hong melebihi orang putus lotere 25 juta ketika mendadak mendengar suara jawaban sang Piauwmoay.

“Piauwmoay, benar-benar kau? Piauwmoay! Dimana kau? Piauwmoay!” serunya pula.

“Aku berada disini, Piauko!” sahut Cui Sing.

Maka tertampaklah dari arah timur-laut sana ada suatu orang sedang mendatangi secepat terbang. Sambil berlari orang itupun berteriak-teriak: “Piaumoay! Piauwmoay!”

Mendadak orang itu yang tiada lain adalah Ong Siau-hong terpeleset hingga jatuh terbanting. Rupanya saking girang demi mendengar suara Cui Sing tadi, Siau-hong menjadi lupa daratan dan berlari terlalu napsu, maka sebelah kakinya telah kejeblos kedalam satu lubang hingga dia terjungkal. Tapi begitu jatuh, segera ia melompat bangun untuk kemudian lantas berlari pula.

Melihat sang Piauko tiba-tiba jatuh, Cui Sing berteriak kaget dan kuatir, cepat iapun berlari memapak kedepan. Makin lama makin mendekat jarak kedua muda-mudi itu, sampai akhirnya keduanya lantas saling berpelukan dengan terharu.

Sudah lama nama mereka terkenal sebagai “Leng-kiam-siang-hiap”, sepasang pendekar muda yang tersohor, sejak kecil mereka berkumpul dan dibesarkan bersama, sudah tentu mereka menjadi girang tak terhingga dapat bertemu kembali sesudah mengalami marabahaya yang penuh gemblengan itu.

Dari jauh Tik Hun dapat menyaksikan juga pelukan mesra antara Cui Sing dan Ong Siau-hong itu. Aneh juga, entah mengapa timbul juga semacam perasaannya yang rada cemburu.

Sebenarnya selamanya Tik Hun takkan melupakan Jik Hong, meski dia sudah tinggal selama setengah tahun dilembah bersalju ini bersama Cui Sing dan selama itu tidak pernah timbul sesuatu perasaaan antara pria dan wanita. Cuma sesudah tinggal bersama sekian lamanya dan kini mesti berpisah, mau-tak-mau lantas timbul semacam rasa berat.

Pikirnya kemudian: “Ya, biarlah dia ikut pulang bersama Piauwkonya, itulah jalan paling baik, semoga “Leng-kiam-siang-hiap‟ mereka hidup bahagia sampai hari tua.”

Mendadak didengarnya suara tangisan Ong Siau-hong, mungkin berduka ketika Cui Sing memberitahu tentang meninggalnya Cui Tay.

Selang tak lama, tertampaklah Cui Sing putar balik ketempat gua sambil bergadengan tangan dengan Ong Siau-hong. Dengan suara sesenggukan pemuda itu sedang berkata: “Sejak kecil aku dibesarkan Kuku, sungguh aku sangat berduka atas wafatnya, terutama bila teringat kebaikan Kuku yang selama ini menganggap aku sebagai putera sendiri”.

Mendengar sang Piauko menyinggung sang ayah, Cui Sing menjadi ikut sedih dan mencucurkan air mata pula.

“Piauwmoay,” kata Siau-hong dengan suara pelahan, “selanjutnya kita berdua tidak boleh berpisah lagi, janganlah kau berduka, selama hidup ini aku pasti akan menjaga dirimu sebaik-baiknya.”

Sejak kecil Cui Sing memang sudah sangat mencintai sang Piauko, lebih-lebih sesudah berpisah sekian lamanya, sesungguhnya siang-malam ia sangat merindukan pemuda pujaannya itu. Kini mendengar janji sang Piauko pula, keruan alangkah bahagia rasa hatinya. Begitulah mereka berjalan berendeng kearah gua. Tapi setelah dekat, tiba-tiba Cui Sing berhenti dan berkata: “Piauko, marilah sekarang juga kita pergi saja dari sini, aku tidak ingin melihat orang-orang itu.”

“Sebab apa?” tanya Siau-hong dengan heran. “Para paman dan kawan-kawan yang ikut mencari kemari itu dengan tekad bulat bertujuan menyelamatkan dirimu, dengan tak kenal payah mereka rela menderita selama setengah tahun diluar lembah sana, sungguh rasa setia kawan mereka itu harus dipuji dan dikagumi, masakah kau tidak mengucapkan terima kasih apa-apa dan lantas tinggal pergi begini saya?”

“Aku …….. aku sudah berterima kasih kepada mereka,” ujar Cui Sing dengan menunduk.

“Mereka bersama-sama datang kesini dari tempat jauh, kalau sekarang kitapun pulang secara beramai-ramai, bukankah cara ini lebih baik?” kata Siau-hong. Pula jenazah Kuku harus dibojong kembali ketanah leluhur, andaikan dibiarkan bersemajam untuk selamanya disini juga kita mesti minta persetujuan dulu dari para Locianpwe yang ikut hadir itu. Dan bagaimanakah dengan Liok-pepek, Lau-totiang dan Hoa-pepek?”

“Marilah kita pergi dulu, nanti akan kujelaskan padamu.” Ajak Cui Sing. “Hoa-pepek adalah manusia jahanam, jangan kau suka percaya kepada obrolannya yang ngaco!”

Biasanya Ong Siau-hong tidak suka membangkang segala keinginan sang Piauwmoay, maka demi sigadis berkeras ajak pergi, sebenarnya Siauw-hong sudah menyerah dan bermaksud menuruti keinginan Cui Sing. Tapi sebelum dia menjawab, tiba-tiba dimulut gua sana seorang telah menegur padanya: “Ong-hiantit, baru sekarang kau tiba? Marilah kesini!”

Itulah suara Hoa Tiat-kan. Maka cepat Siau-hong menjawab: “Baik, Hoa-pepek!”

Keruan Cui Sing menjadi kuatir, dengan membanting kaki ia berkata: “Jadi kau tidak mau turut lagi pada omonganku?”

Sejenak Siau-hong menjadi ragu-ragu. Tapi segera terpikir olehnya: “Hoa-pepek adalah angkatan tua dari Bu-lim, perintah orang tua mana boleh dibangkang? Apalagi para kawan yang telah bantu mencarikan Piauwmoay tanpa kenal lelah itu masih belum ditemui barang sekejap lantas kutinggal pergi tanpa pamit, hal ini sesungguhnya tidak pantas. Piauwmoay masih bersifat kanak-kanak, asal sebentar lagi aku menimangnya dan minta maaf padanya, tentu dia takkan marah padaku.” Maka tangan Cui Sing lantas digandengnya dan menuju kegua.

Cui Sing tahu apa yang akan dibicarakan Hoa Tiat-kan nanti tentu takkan menguntungkan dirinya, tapi lantas terpikir olehnya: “Aku suci bersih dan tidak berdosa, biarpun mereka akan memfitnah dan menyangka jelek padaku, kenapa aku mesti takut?” Maka iapun tidak membantah lagi dan ikut Ong Siau-hong menuju kegua, cuma wajahnya menjadi pucat pasi.

Setiba didepan gua, berkatalah Hoa Tiat-kan. “Ong-hiantit, kebetulan kau sudah datang, Hiat-to-ok-ceng sudah kubunuh, tinggal seorang Siau-ok-ceng yang berhasil lolos, marilah kita harus menangkapnya lagi untuk dibinasakan. Siau-ok-ceng itu adalah pembunuh Kukumu.”

“Sret”, mendadak Siau-hong lolos pedangnya, sambil berteriak gusar. Sejak kecil ia dipelihara Cui Tay, budi kebaikan pendekar besar itu dirasakannya bagaikan orang tua sendiri, kini mendengar pembunuhnya belum tertangkap, keruan ia menjadi murka dan bertekad akan mencarinya. Dan begitu melolos pedang, segera ia berpaling kearah Cui Sing untuk melihat bagaimana sikap sang Piauwmoay.

Dibawah sinar obor yang terang, terlihatlah air muka sang Piauwmoay yang sudah setengah tahun berpisah itu dalam keadaan pucat pasi, hati Siau-hong menjadi sedih dan kasihan.

Tapi dilihatnya pula gadis itu sedang menggeleng kepala pelahan atas tindakannya melolos pedang itu.

Cepat Siau-hong menanya: “Kenapa, Piauwmoay?”

“Ayahku bukan dibunuh oleh …….. oleh orang itu,” kata Cui Sing.

Mendengar ucapan ini, seketika orang-orang yang sudah berkerumun itu menjadi gusar. Kata mereka didalam hati. “Sungguh perempuan rendah! Kami telah ikut berkorban bagimu, bahkan demi nama baikmu dimasa hidup yang akan datang dan demi kehormatan Cui-tayhiap kami sengaja menutupi perbuatanmu yang tidak kenal malu dengan Siau-ok-ceng itu, tapi sampai sekarang kau masih membela bhiksu jahat ini, sungguh dosamu ini tak berampun!”

Dilain pihak Ong Siau-hong menjadi heran demi melihat wajah semua orang mengunyuk rasa gusar. Dasarnya dia memang seorang pemuda cerdik dan pintar, segera terpikir olehnya mengapa Cui Sing tadi tidak mau bertemu dengan orang-orang ini dan sekarang orang-orang inipun bersikap memusuhi sang Piauwmoay, pasti dibalik kesemuanya ini terdapat rahasia apa-apa.

Segera Siau-hong berkata: “Piaumoay, marilah kita menurut maksud Hoa-pepek, lebih dulu kita tangkap Siau-ok-ceng itu untuk mencacahnya hingga hancur lebur untuk menyembayangi arwah Kuku. Dan jika masih ada urusan lain lagi, biarlah kita kesapingkan untuk sementara ini.”

“Dia …… dia bukan Siau-ok-ceng,” kata Cui Sing pula.

Siau-hong melengak dan bingung. Dan ketika dilihatnya pula sikap semua orang mengunyuk jijik dan menghina pada sang Piauwmoay, kembali ia terkesiap, lapat-lapat ia merasa ada sesuatu yang tidak beres didalamnya. Tapi ia tidak ingin lantas mengusut rahasia apa yang disembunyikan itu, segera katanya pula dengan suara keras. “Para paman, para saudara dan sobat-sobat baik, marilah sekali lagi mohon kalian suka mencurahkan sedikit tenaga untuk menyelesaikan urusan ini. Habis Siau-ok-ceng itu tertangkap, satu-persatu pasti aku orang she Ong akan menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan kalian.” Habis berkata, lebih dulu ia lantas membungkuk untuk memberi hormat.

“Ya, marilah kita mencari Siau-ok-ceng itu, kita harus bergerak secepatnya agar bhiksu jahanam itu tidak keburu melarikan diri lebih dulu!” seru semua orang beramai-ramai. Berbareng mereka lantas menerjang keluar gua dengan berbondong2.

Maka hanya dalam sekejap saja didalam gua itu menjadi sepi tertinggal Cui Sing dan Ong Siau-hong berdua. Entah siapa yang membuang obornya didepan gua, sinar api obor yang sebentar terang sebentar gelap itu membikin suasana didalam gua itu jadi seram.

Wajah “Leng-kiam-siang-hiap” juga sebentar terang sebentar gelap, kedua muda-mudi berhadapan sambil tangan bergandeng tangan, banyak sekali isi hati masing-masing, tapi entah cara bagaimana mereka harus mulai bicara.

Diam-diam Tik Hun membantin: “Kedua saudara misan telah bertemu kembali sesudah terpisah sekian lamanya, tentu banyak kata-kata mesra yang ingin mereka utarakan, kalau aku ikut mendengarkan disini rasanya tidaklah pantas.”

Dan selagi Tik Hun bermaksud merajap pergi, tiba-tiba didengarnya suara tindakan dan dua orang sedang menuju ketempat sembunyinya itu. Terdengar seorang diantaranya sedang berkata: “Coba kau mencari kearah sana, aku akan mencari dari sebelah sini, sesudah satu keliling, nanti kita bertemu kembali disini.”

“Baik,” sahut seorang lain “Eh, disekitar sini banyak bekas tapak kaki, mungkin Siau-ok-ceng itu bersembunyi disekitar sini, kita harus hati-hati mencarinya!”

“He, Lau Song,” tiba-tiba orang yang pertama berkata pula dengan menahan suara: “Nona Cui itu cantik molek, selama setengah tahun ini, sungguh rejeki Siau-ok-ceng itu bukan main besarnya setiap hari dilayani seorang gadis jelita seperti nona Cui!”

“Hahaha! Memang benar!” demikian sahut kawannya dengan terbahak-bahak. “Pantas orang she Ong itu tidak pikirkan hal itu dan rela menerima “barang bekas‟. Habis susah sih mencari gadis secantik itu.”

Begitulah kedua orang itu sambil berkelakar dan terbahak-bahak lalu terpencar untuk mencari “Siau-ok-ceng” alias Tik Hun.

Rupanya mereka tidak tahu bahwa Ong Siau-hong dan Cui Sing masih berada didalam gua, mereka mengira bahwa muda-mudi itu tentu sudah ikut keluar gua untuk mencari musuh, maka cara bicara mereka menjadi tidak tedeng aling-aling hingga pembicaraan yang tidak sedap itu dapat didengar semua oleh Siau-hong dan Cui Sing.

Sudah tentu Tik Hun ikut mendengar semua pembicaraan kedua orang tadi, diam-diam ia merasa pedih bagi kedua muda-mudi yang dijadikan bulan-bulanan itu, pikirnya: “Hoa Tiat-kan itu benar-benar maha jahanam, dia sengaja mengarang cerita-cerita kotor yang tidak benar itu untuk merusak nama baik nona Cui, apa paedahnya sih baginya?”

Ketika ia mengintip lagi kedalam gua, ia melihat Cui Sing sedang mundur-undur kebelakang dengan wajah pucat dan badan gemetar, katanya dengan suara terputus-putus: “Piau …… Piauko,  jangan  kau  percaya  pada  ……pada  omongan  mereka yang ngaco-belo!”

Siau-hong tidak menjawab, tapi mukanya tampak berkerut-kerut menahan perasaan. Terang ucapan kedua orang tadi seakan-akan ular berbisa yang telah memagut lubuk hatinya. Selama setengah tahun ini dia menanti diluar lembah bersalju itu, siang-malam selalu terpikir juga olehnya: “Piauwmoay berada dicengkeram kedua bhiksu cabul itu, rasanya sulitlah baginya untuk mempertahankan kesucian badannya. Asal jiwanya tidak terganggu, rasaku sudah puas dan berterima kasih kepada langit dan bumi.”

Akan tetapi tiada manusiapun yang mempunyai batas rasa puas. Jika dulu ia berpikir begitu, adalah sekarang sesudah bertemu kembali dengan Cui Sing, ia berharap pula agar gadis itu dapat menjaga diri tetap dalam keadaan suci bersih. Dan demi mendengar percakapan kedua orang tadi, diam-diam ia memikir: “setiap orang Kangouw sudah mengetahui peristiwa ini, sebagai seorang laki-laki sejati, aku Ong Siau-hong masakah terima dibuat tertawaan orang?”

Tapi demi nampak keadaan Cui Sing yang harus dikasihani itu, kembali hatinya lemas lagi, ia menghela napas sambil menggeleng kepala, katanya kemudian: “Sudahlah, mari kita pergi, Piauwmoay!”

“Tapi kau percaya tidak kepada ucapan orang-orang itu?” tanya Cui Sing.

“Kata-kata iseng orang luar yang tak keruan itu buat apa mesti digubris?” sahut Siau-hong.

“Tapi, kau percaya tidak?” Cui Sing menegas pula sembari gigit bibir sendiri.

Siau-hong termangu-mangu sejenak, kemudian ia menyahut: “Baiklah, aku takkan percaya!”

“Tapi didalam hati kau masih ragu-ragu, bukan? Kau percaya penuh omongan mereka, bukan?” kata Cui Sing. Dan sesudah merandek sejenak, kemudian sambungnya pula. “Sudahlah, selanjutnya kau tidak perlu bertemu dengan aku lagi, anggaplah aku sudah mati didalam lembah bersalju ini.”

“Ai, Piauwmoay, kenapa kau berkata demikian,” sahut Siau-hong.

Sungguh pedih sekali rasa hati Cui Sing, air matanya lantas bercucuran. yang dipikirnya sekarang hanya selekasnya dapat meninggalkan lembah salju itu dan meninggalkan orang banyak, ia ingin menyingkir kesuatu tempat yang tak dikenalnya, suatu tempat yang jauh dari manusia. Segera ia angkat kaki dan berlari keluar gua, tapi baru ia melangkah keluar gua, tanpa merasa ia menoleh kepojok dalam gua itu.

Selama setengah tahun ini dipojok gua itu dia berteduh siang dan malam, meski tiada suatu alat perabot apa-apa, tapi dasarnya gadis itu memang rajin dan suka akan kebersihan, maka banyak juga barang kerajinan tangan yang telah dibuatnya dari bulu burung seperti tikar, kasur dan sebagainya. Kini mendekati detik akan berpisah dengan barang-barang yang berdampingan selama setengah tahun dengan dirinya itu, betapapun ia merasa berat juga.

Tiba-tiba terlihat olehnya mantel bulu yang pernah dihadiahkannya kepada Tik Hun dahulu itu. Hatinya tergerak segera dan teringat kepada pemuda itu: “Orang itu bergembar-gembor katanya dia adalah bhiksu cabul dan bertekad akan membunuhnya. Pabila dia diketemukan mereka, dalam keadaan satu lawan musuh sebanyak itu, apakah dia sanggup menyelamatkan diri?”

Tanpa merasa ia putar balik ketempat tidurnya itu, ia ambil mantel bulu itu dan dipandangnya dengan termangu-mangu hingga sekian lamanya.

Melihat baju bulu itu terletak ditempat Ciu Sing, sedangkan baju itu tampak cukup longgar dan besar, bentuknya adalah mantel orang laki-laki, mau-tak-mau Siau-hong menjadi curiga. Segera ia menanya: “Baju apakah itu?”

“Baju bulu yang kubuat sendiri,” sahut Cui Sing.

“Apakah untuk kau pakai sendiri?” Siau-hong menegas.

Hampir-hampir Cui Sing telanjur menjawab bukan, tapi segera ia merasa tidak tepat jawaban itu, ia menjadi ragu-ragu hingga tidak menyahut.

“Bentuknya seperti baju lelaki?” tanya Siau-hong pula, suaranya bertambah kaku, suatu tanda hatinya dirangsang rasa gusar.

Cui Sing mengangguk tanpa menjawab.

“Kau yang bikin untuk dia?” tanya Siau-hong lagi.

Kembali Cui Sing mengangguk.

Siau-hong mengambil baju bulu itu dan memeriksanya sejenak, lalu katanya: “Ehm, bagus sekali buatanmu ini.”

“Piauko,” tiba-tiba Cui Sing membuka suara, “janganlah kau memikir yang tidak-tidak, dia dan aku tiada ……. tiada ……….”

ia tidak melanjutkan ucapannya demi melihat sorot mata Siau-hong mengunyuk sesuatu sikap yang aneh.

Mendadak Siau-hong membanting baju bulu itu ketempat tidur Cui Sing sambil berkata dengan nada mengejek: “Hm, bajunya mengapa berada ditempat tidurmu?”

Seketika Cui Sing merasa hampa, sungguh tak tersangka olehnya sang Piauko yang biasanya menyanyung puja padanya itu kini mendadak bisa berubah begitu kasar dan menyemukan. Dalam dongkolnya iapun tidak sudi banyak memberi penyelasan lagi, pikirnya: “Ya, sudahlah, jika kau bercuriga dan menuduh aku berbuat serong, bolehlah kau bercuriga dan menuduh sesukamu, buat apa aku mesti memohon belas kasihanmu untuk memahami penasaranku?”

Dari tempat sembunyinya Tik Hun dapat mengikuti keadaan didalam gua itu dengan jelas, ia melihat Cui Sing menanggung penasaran karena disangka menyeleweng dari garis-garis kesusilaan, air muka gadis itu tampak sangat cemas dan sedih, diam-diam Tik Hun ikut merasa tidak enak, pikirnya: “Aku Tik Hun sudah biasa didakwa dan difitnah orang secara semena-mena, bagiku hal-hal itu tidak menjadi soal. Tapi nona Cui, seorang lemah lembut yang tak berdosa, mana boleh dia dibiarkan menanggung tuduhan yang tak benar itu?”

Berpikir begitu, jiwa kesatria Tik Hun seketika terbangkit, meski dia cukup tahu dirinya sedang dicari berpuluh-puluh jago silat Tionggoan diluar gua sana, kalau kepergok mereka, pasti jiwanya tak mungkin diampuni. Tapi ia tidak dapat berpikir panjang lagi, sekali lompat segera ia menyusup kedalam gua lagi dan berseru: “Ong Siau-hong, salah besar apa yang telah kau pikir itu!”

Cui Sing dan Siau-hong terkejut semua ketika mendadak nampak seorang menerobos kedalam gua. Kini Tik Hun tidak gundul lagi seperti dulu, rambutnya sudah panjang kembali, sesudah memperhatikan sejenak barulah Ong Siau-hong dapat mengenalnya. Cepat ia lolos pedangnya, tangan lain lantas dorong mundur Cui Sing, dengan pedang siap melintang didepan dada, sedapat mungkin ia tenangkan diri untuk menghadapi musuh.

“Kedatanganku ini bukan untuk mengajak berkelahi padamu,” kata Tik Hun. “Aku ingin mengatakan padamu, nona Cui adalah seorang gadis yang suci bersih, seorang perawan “ting-ting‟, jika kau memperisterikan dia, sungguh rejekimu tak terperikan besarnya. Maka jangan kau sembarangan berprasangka atas dirinya.”

Sungguh sama sekali Cui Sing tidak menyangka bahwa didalam saat demikian itu mendadak Tik Hun bisa tampil kemuka tanpa mengenal bahaya yang akan mengancam padanya, hanya demi untuk membuktikan kebersihan Cui Sing yang dituduh secara kotor oleh orang banyak itu. Sungguh rasa terima kasih Cui Sing tak terhingga dan berkuatir pula, maka segera katanya: “Lekas ……. lekas kau pergi saja dari sini, semua orang ingin membunuh kau, disini terlalu bahaya bagimu.”

“Aku tahu, tapi aku harus menyelaskan urusan ini kepada Ong-siauhiap, percayalah padaku, nona Cui adalah seorang gadis suci bersih, jangan ……. jangan kau sembarangan memfitnah dia.”

Dasarnya Tik Hun memang tidak pandai bicara, biarpun sesuatu urusan biasa saja juga susah berbicara secara terang, apalagi urusan sekarang ini adalah sesuatu yang rumit dan penting hingga apa yang dikatakan itu ternyata belum melenyapkan rasa curiganya Ong Siau-hong.

Sudahlah, lekas kau pergi saja! Terima kasih atas maksud baikmu, biarlah kubalas padamu dijelmaan hidup yang akan datang,” demikian kata Cui Sing dengan terharu. “Nah, lekaslah kau pergi dari sini, mereka ingin membunuh kau ……..”

Mendengar ucapan Cui Sing yang penuh memperhatikan keselamatan “Siau-ok-ceng” itu, rasa cemburu Siau-hong menjadi berkobar-kobar. Bentaknya mendadak: “Rasakan pedangku!” Berbareng itu pedangnya terus menusuk kedada Tik Hun.

Meski serangan itu dilakukan dengan sangat cepat dan teramat lihay, tapi Tik Hun sekarang sudah bukan Tik Hun dulu lagi. Kini Tik Hun telah memiliki ilmu-ilmu silat kelas wahid “Sin-ciau-kang” dan “Hiat-to-bun” sekaligus, dengan kedua macam ilmu sakti dari dua aliran yang berbeda itu, biarpun sekarang Ting Tian dan Hiat-to Loco hidup kembali juga belum tentu mampu menandinginya.

Ketika melihat serangan Ong Siau-hong tiba, sedikit Tik Hun mengegos saja dapatlah ia menghindarkan tusukan itu. Katanya: “Aku tidak ingin bergebrak dengan kau. Tapi aku mengharap engkau suka mengambil nona Cui sebagai isteri, janganlah bercuriga sedikitpun atas kesuciannya, dia …. dia adalah seorang nona yang baik.”

Diwaktu Tik Hun bicara, susul-menyusul Ong Siau-hong sudah melancarkan serangan-serangan pula secara gencar. Tapi seperti tidak terjadi apa-apa saja Tik Hun dapat berkelit kian kemari dengan mudah. Diam-diam Tik Hun heran: “Aneh, ilmu silat orang ini dahulu sangat bagus, mengapa selama setengah tahun ini dia tiada kemajuan, sebaliknya mundur malah?”

Rupanya ia salah sangka, bukanlah ilmu pedang Ong Siau-hong tiada kemajuan, tapi dia sendirilah yang selama ini ilmu silatnya telah maju pesat. Padahal Ong Siau-hong cuma tergolong jago kelas dua atau tiga dikalangan Bu-lim, sebaliknya Tik Hun sekarang sudah memiliki dua macam ilmu silat dari dua aliran Cing dan Sia yang hebat, kecuali pengalaman kurang dan praktek menghadapi musuh masih harus ditambah, tapi dalam hal ilmu silat sejati kini dia boleh dikata sudah tergolong kelas tertinggi yang jarang ada tandingannya.

Maka sia-sia saja Ong Siau-hong menyerang berulang-ulang, setiap tusukannya selalu dapat dihindarkan Tik Hun seperti tiada terjadi apa-apa saja. Keruan Siau-hong bertambah murka, ia menyerang makin gencar dan cepat.

“Ong-siauhiap,” kata Tik Hun, “asal kau berjanji takkan mencurigai nona Cui dan aku segera akan pergi dari sini. Kawan-kawanmu itu akan membunuh diriku, aku tidak boleh tinggal terlalu lama disini.” Sembari bicara, tetap ia menghindarkan serangan-serangan Siau-hong dengan seenaknya saja.

Dalam murkanya, permainan Kiam-hoat Ong Siau-hong semakin lama semakin cepat. Dalam hal Ginkang Tik Hun memang belum mencapai tingkatan yang sempurna, maka lambat-laun ia menjadi kewalahan juga menghadapi serangan pedang yang terlalu gencar itu. Mendadak ia incar batang pedang lawan, sekali jarinya menyentil, “trang”, kontan Ong Siau-hong merasa genggamannya kesakitan, pegangannya menjadi kendur, pedang terlepas dari tangan dan jatuh ketanah.

Segera Siau-hong bermaksud menyemput kembali senjatanya itu, diluar dugaan Tik Hun terus melangkah maju dan mendorong pundaknya. Dorongan itu sebenarnya tidak keras, tak terduga Siau-hong tak sanggup lagi bertahan ia terdorong jatuh hingga terguling-guling kebelakang, “bluk”, tubuhnya tertumbuk di dinding gua dengan keras.

Dasar hati Cui Sing memang bajik, apalagi sejak kecil sudah bergaul dengan baik dengan sang Piauko, kini melihat Siau-hong terjungkal sedemikian berat, lekas-lekas ia memburu maju untuk membangunkannya.

Sebaliknya Tik Hun menjadi melongo dan terpatung ditempatnya, sungguh bukan maksudnya hendak mendorong jatuh Ong Siau-hong, sebenarnya ia cuma bertujuan mencegah agar pemuda itu tidak jemput kembali pedangnya, siapa duga begitu Ong Siau-hong terbentur oleh tenaganya, kontan saja terpental begitu berat seperti anak kecil bertabrakan dengan manusia raksasa.

“Ma …… maaf, aku tidak sengaja!” kata Tik Hun kemudian sambil melangkah maju.

Sementara itu Cui Sing sedang menarik lengan kanan Siau-hong sambil bertanya: “Piauko, tidak apa-apa, bukan?”

Gusar dan cemburu Ong Siau-hong tak tertahankan lagi, ia anggap Cui Sing telah condong kepihak Tik Hun, sesudah dirinya dihajar kini sengaja hendak menyindir padanya. Maka tanpa menjawab terus saja tangan kirinya menampar, “plok”, tepat pipi Cui Sing kena digampar sekali. “Enyahlah!” bentak Siau-hong.

Keruan Cui Sing terkejut, sungguh tak tersangka olehnya bahwa sang Piauko yang biasanya ramah-tamah dan suka merendah padanya itu kini bisa memukul padanya. Seketika Cui Sing menjadi terlongong-longong malah sambil meraba-raba pipi yang digampar itu.

Sebaliknya Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: “Tanpa sebab apa-apa, mengapa kau memukul orang?”

Pada saat itulah dari luar gua lantas terdengar suara orang berlari-lari mendatangi dan beberapa diantaranya lantas berteriak-teriak: “He, didalam gua ada suara orang bertengkar, lekas periksa kedalam situ, jangan-jangan Siau-ok-ceng itu bersembunyi didalam gua?”

Cepat Cui Sing berkata kepada Tik Hun: “Lekas kau pergi saja, aku … sangat berterima kasih kepada maksud baikmu.”

Untuk sejenak Tik Hun memandang Cui Sing, lalu pandang Ong Siau-hong pula, kemudian jawabnya: “Baiklah, aku akan pergi saja!” segera ia putar tubuh dan bertindak keluar gua.

Sekonyong-konyong Ong Siau-hong terus berteriak-teriak″ “Siau-ok-ceng itu berada disini! Bhiksu cabul itu berada disini! Lekas cegat pintu gua, jangan sampai dia lolos!”

“Piauko,” seru Cui Sing dengan kuatir, “caramu ini bukankah akan bikin susah pada orang baik?”

Tapi bukannya berhenti, sebaliknya Ong Siau-hong berteriak lebih keras lagi: “Lekas cegat pintu gua, lekas! Siau-ok-ceng akan lari!”

Mendengar suara itu, segera beberapa orang diluar gua sana terus memburu maju untuk menghadang dimulut gua agar Tik Hun tidak dapat lolos.

Dan begitu melihat Tik Hun sedang mendatangi dengan langkah lebar, salah seorang pencegat itu lantas menggertak: “Hendak lari kemana!” berbareng goloknya terus membacok keatas kepala Tik Hun.

Namun sedikit Tik Hun mengegos, luputlah serangan itu, bahkan ketika Tik Hun tolak kedada orang itu terus didorong pergi, kontan orang itu terpental keluar hingga tiga orang kawannya yang berdiri dibelakangnya ikut terseruduk, sekaligus empat orang itu terjungkal bersama dengan kepala dan muka benyut karena saling bentur.

Dan ditengah bentakan dan makian orang-orang itulah dengan cepat Tik Hun lantas menerobos keluar gua.

Rupanya suara ribut-ribut itu telah didengar juga oleh jago-jago Tionggoan yang lain hingga beramai-ramai mereka memburu datang dari berbagai jurusan. Namun Tik Hun sudah

melarikan diri cukup jauh. Segera ada tujuh-delapan jago kelas tinggi menguber kearahnya. Tapi Tik Hun tidak ingin bertempur dengan mereka, ia pilih termpat semak-semak rumput yang lebat untuk bersembunyi, ditengah malam buta, jejaknya takbisa diketemukan lagi oleh pengejar-pengejar itu.

Karena mengira Tik Hun telah lari keluar lembah salju itu, berbondong-bondong para jago Tionggoan itu lantas ikut mengejar keluar lembah. Dari tempat sembunyinya Tik Hun dapat menyaksikan kepergian orang-orang itu, ia melihat Ong Siau-hong dan Cui Sing berjalan paling belakang, meski jarak kedua muda-mudi itu terpisah agak jauh, tapi arah yang mereka tuju adalah sama, makin jauh hingga akhirnya bayangan merekapun lenyap dibalik bukit.

Hanya sebentar saja lembah salju yang tadinya riuh ramai oleh berisik manusia itu kini telah berubah menjadi sunyi senyap.

Para jago Tionggoan itu sudah pergi semua, Hoa Tiat-kan juga tiada lagi, Cui Sing pun sudah berangkat, hanya tinggal Tik Hun seorang diri. Ia coba mendongak, sampai elang pemakan bangkai yang biasanya suka berputar-putar diangkasa itupun sekarang tak tertampak lagi.

Suasana benar-benar hening sepi, sekarang Tik Hun benar-benar merasakan keadaan yang sebatangkara.

Tik Hun tinggal pula setengah bulan dilembah salju itu. Iwekang dan To-hoat yang diperolehnya dari “Hiat-to-keng” itu telah dilatihnya hingga masak dan sempurna betul, rasanya sudah tak mungkin akan lupa, lalu ia membakar “Hiat-to-keng” itu, ia taburkan abu kitab pusaka Hiat-to-bun itu diatas kuburan Hiat-to Loco.

“Sudah saatnya kini aku harus berangkat!” demikian pikirnya. “Ehm, baju bulu burung ini tidak perlu kubawa, biarlah kalau segala urusan sudah kubereskan, segera aku akan kembali kelembah bersalju yang selamanya tiada ditinggali manusia ini, selama hidupku biarlah kulewatkan disini. Hati manusia dijagat ini terlalu kejam dan culas, aku tidak sanggup menghadapinya!”

Begitulah Tik Hun lantas meninggalkan lembah itu dan menuju kearah timur.

Tujuannya yang pertama ialah pulang kekampung halaman sang guru Jik Tiang-hoat yang berada di Ouwlam itu. Ia ingin tahu bagaimana keadaan orang tua yang sudah berpisah sekian lamanya itu. Sejak kecil Tik Hun sudah yatim-piatu, ia dibesarkan oleh gurunya itu, maka melulu sang guru itulah merupakan pamili satu-satunya didunia ini. Walaupun perasaannya kepada Suhunya sekarang sudah jauh berbeda daripada waktu dahulu, tapi ia harus mencari tahu dan menyelidikinya hingga jelas.

Dari wilajah Tibet menuju ke Ouwlam harus melalui Sucwan. Tik Hun pikir bila ditengah jalan kepergok pula dengan jago-jago Tionggoan itu, tentu tak terhindar dari suatu pertarungan sengit, padahal dirinya dengan mereka toh tiada punya permusuhan dan sakit hati apa-apa, kenapa mesti terjadi pula pertarungan yang tidak bermanfaat itu? Adapun sebab-musabab daripada apa yang terjadi dahulu hakikatnya cuma salah paham belaka, yaitu gara-gara ia mebubut rambutnya sendiri hingga pelontos, lalu disangka sebagai Siau-ok-ceng dari Hiat-to-bun yang jahat itu.

Karena itulah, untuk menghindari kesulitan-kesulitan ditengah jalan, ia lantas menyamar sedikit, ia gosok muka sendiri dengan hangus kuali hingga kelihatan kotor dan hitam mirip seorang pengemis dekil, lalu melanjutkan perjalanan ketimur.

Benar juga ditengah jalan terkadang bertemu dengan jago-jago yang pernah ikut menguber dirinya itu, tapi mereka tiada yang dapat mengenalnya, bahkan tidak memperhatikannya.

Kira-kira lebih 20 hari, akhirnya sampailah Tik Hun dikampung halamannya, yaitu di Moa-keh-po dipropinsi Ouwlam barat.

Tatkala itu hawa udara sudah sangat panas, ia melihat tanaman sawah-ladang menghijau permai. Semakin dekat dengan kampung halamannya, semakin banyak perasaan-perasaan yang berkecamuk dalam benaknya, pelahan-lahan mukanya terasa panas, debaran hatinya juga makin keras.

Ia terus menyusuri jalan pegunungan yang sudah biasa dilaluinya diwaktu muda dahulu, akhirnya tibalah dia dirumah tinggalnya yang lama. Ketika ia memandang, mau-tak-mau ia menjadi kaget, hampir-hampir ia tidak percaya pada matanya sendiri.

Ternyata ditepi kali dibawah pohon Liu yang rindang, dimana dulu berdiri tiga petak rumah kecil gurunya itu kini telah berubah menjadi sebuah gedung yang megah, gedung itu berdinding putih dan bergenting hitam mengkilap. Gedung itu sedikitnya tiga kali lebih besar daripada rumah-rumah kecil semula itu. Kalau dipandang lebih cermat, bangunan gedung itu walaupun tidak terlalu indah, bahkan seperti dibangun secara tergesa-gesa, tapi kemegahannya sudah bolehlah.

Sungguh kejut dan girang sekali Tik Hun, ia coba memeriksa sekeliling situ, ia memang tidak salah lagi, itulah kampung halamannya dimana ia telah dibesarkan. Pikirnya: “Sungguh sangat hebat, rupanya Suhu telah menjadi orang kaya mendadak, makanya pulang kampung dan bangun gedung.”

Saking girangnya, tanpa pikir lagi Tik Hun terus berteriak: “Suhu!”

Tapi baru memanggil sekali, segera ia tutup mulut pula. Pikirnya: “Keadaanku yang mirip pengemis ini mungkin akan membikin Suhu kurang senang, biarlah aku tidak bersuara dulu untuk melihat gelagat saja.”

Tengah ia memikir, tertampaklah dari dalam gedung itu muncul seorang, dengan melirik orang itu mengamat-amati Tik Hun, sikapnya penuh menghina dan memandang jijik. Tegurnya kemudian: “Kau mau apa?”

Tik Hun melihat orang itu memakai kopiah miring, badannya kotor penuh debu pasir, sangat tidak sesuai dengan gedung yang megah itu. Dari sikapnya yang garang itu, Tik Hun menduga orang mungkin adalah mandor tukang batu dan sebagainya. Maka jawabnya: “Tolong tanya, Pak Mandor, apakah Jik-suhu ada dirumah?”

“Jik-suhu atau Jak-suhu apa? Entah, tidak kenal!” sahut orang itu sambil melirik.

Keruan Tik Hun melengak, tanyanya pula: “Bukankah tuan rumah disini she Jik?”

“Untuk apa kau tanya tuan rumah segala?” demikian orang itu berbalik menanya. “Apa kau ingin minta sedekah padanya? Kalau mau mengemis saja kau tidak perlu cari tahu siapa tuan rumah segala. Sekali kukatakan tidak ada ya tetap tidak ada. Hayo, pengemis bau, lekas enyah, lekas!”

Jauh-jauh Tik Hun sengaja datang buat mencari Suhu yang sudah berpisah sekian lamanya itu, sudah tentu ia tidak rela pergi begitu saja hanya mendapat jawaban yang tidak memuaskan itu. Maka ia berkata pula: “Kedatanganku bukan untuk minta-minta, aku ingin mencari keterangan padamu, dahulu yang tinggal disini adalah orang she Jik, entah sekarang beliau apakah masih tinggal disini atau tidak!”

“Dasar pengemis yang cerewet, sudah kukatakan Tauke disini bukan orang she Jik atau she Jok segala, hayolah lekas pergi kelain tempat saja!” sahut orang itu dengan menyengek.

Tengah mereka bicara, sementara itu keluar lagi seorang dari dalam gedung itu. Orang ini memakai kopiah tile, pakaiannya bersih dan rapi, dandanannya mirip seorang Koan-keh (pengurus rumah tangga) keluarga hartawan. Dengan lenggang kangkung Koan-keh itu berjalan keluar, segera ia menegur dengan tertawa: “He, Lau Peng, kau bergembar-gembor lagi ribut mutut dengan siapa?”

“Itu dia, pengemis dekil seperti itu sejak tadi cerewet saja disini, kalau mau minta sedekah mestinya bicara terus terang saja, tapi dia mencari tahu siapa nama Tauke kita segala,” demikian simandor yang dipanggil Lau Peng itu menjawab.

Mendengar keterangan itu, air muka Koan-keh itu rada berubah, ia mengamat-amati Tik Hun sejenak, lalu berkata: “Eh, sobat, ada apakah kau mencari tahu nama Tauke disini?”

Jika Tik Hun beberapa tahun yang lalu tentu akan terus terang menjawab maksud tujuannya. Akan tetapi lain-dulu-lain-sekarang, Tik Hun sekarang sudah bertambah cerdik, sudah kenyang pahit getir yang dialaminya didunia Kangouw, kepalsuan manusia umumnya sudah cukup dikenalnya. Kini melihat si Koan-keh itu bertanya dengan sorot mata yang penuh sangsi dan curiga, diam-diam Tik Hun membatin: “Biarlah jangan kukatakan terus terang, aku harus mencari keterangan lebih jauh dengan sabar, bukan mustahil dibalik urusan ini ada sesuatu yang ganjil.”

Karena pikiran itu, maka ia menjawab: “Ah, tiada apa-apa, aku ingin tahu she Tauke disini, perlunya agar aku dapat berseru memanggilnya agar sudi memberi sedekah padaku. Ap……. apakah engkau ini adalah Tauke sendiri?”

Begitulah Tik Hun sengaja berlagak pilon dan pura-pura bodoh supaya tidak menimbulkan curiga orang.

Benar juga Koan-keh itu lantas terbahak-bahak. Meski ia merasa Tik Hun itu terlalu tolol, tapi ia disangka sebagai Taukenya, mau-tak-mau ia merasa senang juga hingga timbul rasa sukanya kepada sibocah tolol itu. Segera katanya: “Aku bukan Tauke disini. He, bocah tolol, mengapa kau sangka aku sebagai Tauke?”

“Habis, engkau…….. engkau sangat gagah dan berwibawa, engkau mempunyai potongan Tauke besar,” sahut Tik Hun sengaja mengumpak.

Keruan Koan-keh itu bertambah senang, katanya dengan tertawa: “Bocah tolol, jika kelak aku Lau Ko benar-benar menjadi Tauke, pasti aku akan memberi persen padamu. He, anak tolol, kulihat badanmu kekar dan tenagamu kuat, mengapa tidak cari kerja yang benar, tapi malah menjadi pengemis.”

“Habis tiada yang suka memberi pekerjaan padaku,” sahut Tik Hun. “Eh, Tauke, sukalah kau memberi sedekah sesuap nasi padaku?”

Koan-keh itu terpingkal-pingkal saking geli, mendadak ia gablok pundak simandor Peng tadi dan berkata: “Coba kau dengar, berulang-ulang ia memanggil aku sebagai Tauke. Kalau aku tidak memberi persen sesuap nasi juga tidak pantas rasanya. Lau Peng, bolehlah kau suruh dia ikut gali tanah dan memikul, berikan upah sekedar padanya.”

“Baiklah, apa yang kau orang tua kehendaki tentu kulaksanakan,” sahut simandor she Peng itu.

Dari logat bicara mereka itu Tik Hun dapat mengenali mandor she Peng itu adalah penduduk setempat, sebaliknya Koan-keh she Ko itu berlogat orang utara. Tapi ia pura-pura tidak tahu, dengan penuh hormat ia berkata: “Terima kasih, Tauke besar dan Tauke kecil!”

“Kurangajar, sembarangan omong!” maki simandor Peng dengan tertawa.

Sedang si Koan-keh she Ko itu semakin terpingkal-pingkal. “Hahaha, aku dipanggil sebagai Tauke besar dan kau adalah Tauke kecil, bukankah……… bukankah kau disangka sebagai puteraku?” katanya dengan terengah-engah.

Mandor Peng geli-geli dongkol, segera ia jewer telinga Tik Hun, katanya dengan tertawa: “Sudahlah, masuk kesana! Makan dulu yang kenyang, nanti malam mulai melembur.”

Tanpa membangkang sedikit Tik Hun ikut masuk kedalam gedung itu, dalam hati ia merasa heran: “Aneh, mengapa kerja lembur diwaktu malam?”

Sesudah masuk kedalam dan menyusur suatu serambi saping, tiba-tiba Tik Hun terkejut, hampir-hampir ia tidak percaya pada matanya sendiri.

Ternyata ditengah gedung itu sedang digali suatu lubang yang sangat dalam dan lebar, begitu lebar lubang itu hingga pinggir lubang itu hampir mepet dengan dinding disekelilingnya, hanya tertinggal satu jalan yang sempit untuk orang berlalu. Didalam lubang tanah itu tertampak penuh menggeletak alat2 gali sebangsa pacul, sekop, keranjang, pikulan dan sebagainya. Terang bahwa lubang itu belum selesai digali dan masih dikerjakan. Kalau melihat gedung semegah itu dari luar, sungguh siapapun tiada yang menyangka bahwa didalam rumah terdapat suatu lubang galian yang begitu besar.

“He, bocah tolol, apa yang kau lihat disini dilarang kau ceritakan pada orang luar, tahu?” kata simandor Peng tiba-tiba.

“Ya, ja! Aku tahu,” demikian sahut Tik Hun cepat. “Tentu disini Hongsui-nya sangat bagus, tuan rumah ingin mengubur disini, maka orang luar tidak boleh mengetahuinya.”

“Benar, ha, sitolol ternyata pintar juga,” demikian kata simandor. “Marilah ikut aku kebelakang untuk makan.”

Sesudah makan sekenyang-kenyangnya didapur, simandor suruh Tik Hun mengaso dan menunggu diserambi belakang itu dan dipesan jangan sembarangan kelujuran. Tik Hun mengiakan perintah itu, tapi didalam hati ia semakin curiga.

Ia melihat didalam rumah itu tiada sesuatu perabotan yang baik, segala perlengkapan sangat sederhana, bahkan dapur itu tiada dibuat tungku permanen, tapi cuma sebuah tungku darurat yang ditumpuk dengan batu bata saja dan diatas tungku darurat itu tertaruh sebuah kuali besi. Meja kursi yang ada juga sangat kasar, sama sekali tidak sesuai dengan gedung yang megah itu.

Waktu magrib, didapur umum itu penuh berjubel-jubel orang, semuanya adalah orang desa setempat yang masih muda dan kuat. Beramai-ramai mereka asyik makan-minum dengan gembira. Tanpa sungkan-sungkan Tik Hun ikut makan bersama orang banyak itu, ia bicara dengan logat daerah setempat yang tulen, dengan sendirinya si Koan-keh she Ko dan mandor Peng tidak menaruh curiga apa-apa, mereka menyangka Tik Hun adalah satu pemuda gelandangan setempat yang tidak punya pekerjaan apa-apa.

Selesai makan, mandor Peng lantas membawa orang-orang itu keruangan tengah yang terdapat lubang galian itu, segera ia mengucapkan kata permbukaan: “Saudara-saudara sekalian, hendaklah kalian menggali sepenuh tenaga, mudah-mudahan malam ini ada rejeki, pabila ada yang berhasil menggali sesuatu benda, baik berupa buku, kertas, maupun sebangsa mangkok-piring dan sebagainya, tentu kalian akan mendapat hadiah yang pantas.”

Maka beramai-ramai para kuli itu telah mengiakan, segera terdengarlah suara riuh dari bekerjanya pacul dan sekop yang menggali tanah.

“Huh, sudah menggali selama dua bulan, tapi ada benda mestika apa yang diketemukan? Benar-benar orang yang menyuruh kita ini sudah gila harta dan lupa daratan,” demikian seorang penggali yang tidak jauh disebelah Tik Hun itu mendadak menggerutu sendiri.

Sudah tentu Tik Hun tertarik oleh gerundelan kuli kampung itu. “Mestika apakah yang hendak mereka gali? Masakah disini terdapat sesuatu harta apa segala?” demikian pikirnya.

Ia menunggu simandor agak meleng, segera ia menggeser kedekat kuli yang mengomel tadi, dengan suara tertahan ia menanya: “Toacek, sebenarnya mereka ingin mencari benda mestika apakah?”

“O, benda mestika yang mereka cari ini benar-benar sangat berharga,” sahut orang itu dengan suara berbisik. “Katanya Tauke disini mahir ilmu gaib. Ia bukan orang daerah sini, tapi berasal dari lain tempat. Dari jauh katanya ia melihat ditempat penggalian ini ada cahaya mestika yang menyorong kelangit, ia tahu ditempat ini terdapat benda mestika, maka tanah ini telah dibelinya, agaknya kuatir kalau rahasianya bocor, maka lebih dulu gedung ini telah dibangun, lalu mengumpulkan orang, siang hari kami disuruh tidur dan malam hari disuruh kerja.”

“O, kiranya begitu. Apakah Toacek tahu benda mestika apa yang dia cari?” tanya Tik Hun pula.

“Sudah tentu aku tahu,” sahut kuli itu dengan lagak sok tahu. “Menurut simandor, katanya yang dicari adalah sebuah “Cip-po-bun‟ (baskom wasiat). Jika kau masukan satu mata uang kedalam baskom itu, maka lewat semalam, besok paginya mata uang itu akan berubah menjadi satu baskom penuh. Kalau dimasuki satu tahil emas, besoknya akan berubah menjadi satu baskom emas, pendek kata segala macam barang yang kau masukan kedalam baskom, maka dalam semalam saja barang sedikit ini akan melahirkan barang banyak. Wah, bukankah itu suatu benda mestika ajaib?”

“Wah, benar-benar mestika ajaib!” puji Tik Hun sambil tiada berhenti-henti mulutnya berkecek-kecek.

Lalu orang itu mengoceh pula: “Mandor sengaja memesan kita agar cara kita memacul harus pelahan-lahan, tidak boleh keras-keras, sebab kalau sampai baskom wasiat itu menjadi rusak kena pacul, wah, bisa runyam! Kata pak Mandor, bila baskom wasiat itu sudah dapat diketemukan, kita masing-masing akan diberi pinjam pakai satu malam, apa yang kau ingin masukan didalam baskom itu boleh kau lakukan mana suka. Nah, anak tolol, mulai sekarang boleh kau coba-coba rencanakan, barang apakah yang akan kau masukan didalam Cip-po-bun itu.”

Tik Hun pura-pura memikir sejenak, lalu menjawab: “Aku sering kelaparan, perutku selalu berkeroncongan, maka aku akan taruh sebutir beras didalam baskom itu dan besok paginya, wah, sudah menjadi satu baskom penuh beras putih, bagus bukan?”

“Hahaha! Memang bagus! Haha!” demikian orang itu menjadi lupa daratan dan bergelak tertawa.

Keruan simandor lantas menoleh demi mendengar ada suara tertawa orang, lantas ia membentak: “Hus, jangan banyak omong doang! Hayo, lekas kerja! Lekas gali!”

Orang itu menjadi ketakutan dan cepat bekerja pula dengan giat.

Diam-diam Tik Hun membatin: “Masakah didunia ini terdapat Cip-po-bun apa segala? Emangnya seperti cerita Aladin dalam 1001 malam saja? Ah, majikan rumah ini pasti bukan seorang tolol, dibalik kesemuanya ini pasti ada sesuatu tipu muslihat, tapi ia sengaja mengarang cerita tentang baskom wasiat segala untuk menipu orang.”

Maka sejenak kemudian, dengan suara tertahan kembali ia menanya orang tadi: “Siapakah nama Tauke disini? Engkau tadi mengatakan dia bukan orang daerah sini?”

“Itu dia, bukankah si Tauke sudah berada disitu?” sahut orang itu.

Waktu Tik Hun memandang kearah yang dimaksudkan, ia melihat dari ruangan belakang sana telah muncul satu orang, perawakannya tinggi kurus, kedua matanya bersinar tajam, pakaiannya sangat perlente, usianya kira-kira setengah abad.

Hanya sekejap saja Tik Hun memandang orang itu, tapi kontan jantungnya berdebar-debar, cepat ia berpaling dan tidak berani memandang pula. Didalam hati tiada hentinya ia bertanya-tanya: “Orang ini sudah pernah kukenal, ya, sudah pernah kukenal. Dimanakah itu? Siapakah dia?”

Begitulah ia merasa muka si Tauke sudah dikenalnya, cuma seketika tak teringat dimanakah dulu telah melihatnya.

Dalam pada itu si Tauke sudah mulai berkata: “Malam ini harap kalian menggali lebih dalam lagi satu-dua meter, tidak peduli apakah diketemukan potongan kertas, remukan batu atau pecahan kaju, satu bendapun tidak boleh dianggap sepele, harus diperlihatkan padaku.”

Mendengar suara si Tauke, Tik Hun terkesiap, segera ia sadar: “Ya, ingatlah aku sekarang. Kiranya dia!”

Kiranya Tauke pemilik gedung megah itu tak-lain-tak-bukan adalah sipengemis tua yang pernah mengajarkan tiga jurus ilmu pedang kepada Tik Hun ketika berada dirumah Ban Cin-san di Heng-ciu dahulu itu.

Tatkala mana bajunya rombeng, rambutnya kusut-masai, sekujur badannya kotor dekil, seratus prosen adalah dandanan pengemis.

Tapi kini telah berubah menjadi seorang hartawan, hampir semuanya telah berganti bulu, pantas saja Tik Hun takbisa lantas mengenalnya, dan sesudah mendengar suaranya barulah Tik Hun ingat siapa gerangannya.

Dan begitu mengenali si Tauke, sebenarnya Tik Hun bermaksud lantas melompat keluar dari lubang galian untuk menyapanya. Tapi penderitaan dan pengalaman selama beberapa tahun ini telah menggembleng Tik Hun menjadi seorang pemuda yang bisa berpikir dan dapat bertindak hati-hati dalam segala hal. Pikirnya: “Paman pengemis tua ini pernah berbudi padaku. Dahulu jika aku tak ditolong olehnya, mungkin aku sudah terbinasa ditangan bandit terkenal dari Thay-heng-san yang bernama Lu Thong itu. Kemudian ia telah mengajarkan tiga jurus Kiam-hoat lagi padaku hingga aku dapat menghajar anak murid Ban-supek. Kini kalau dipikir, sebenarnya ketiga jurus ilmu pedang yang dia ajarkan padaku itu toh sepele saja, tiada sesuatu yang luar biasa, tapi pada waktu itu telah menghindarkan diriku dari hinaan dan penganiayaan orang. Kini dapat berjumpa pula dengan dia, aku harus menyatakan terima kasihku selayaknya.

Akan tetapi tempat ini adalah bekas kediaman Suhuku, mengapa dia menggali tanah disini? Dan untuk apa dia membangun gedung sebesar ini untuk menutupi pandangan orang luar? Dahulu dia adalah seorang pengemis, seorang kere, kenapa sekarang bisa kaya mendadak?”

Begitulah diam-diam Tik Hun menimang-nimang dan ambil keputusan akan diam saja dulu untuk melihat gelagat. Pikirnya pula: “Aku utang budi padanya, untuk mengucapkan terima kasih adalah soal gampang. Tapi mengapa dia tidak kuatir Suhuku akan pulang kesini? Jangan-jangan ………. jangan-jangan Suhu sudah meninggal?”

Sejak kecil ia sudah ikut dan dibesarkan Jik Tiang-hoat, perasaannya kepada guru itu adalah mirip orang tua sendiri, kini demi terpikir gurunya mungkin sudah mati, seketika ia menjadi sedih.

Tiba-tiba dipojok sana terdengar suara gemerinting sekali, pacul kuli penggali itu entah kena memacul sesuatu benda keras apa. Tapi demi mendengar suara nyaring itu, segera si Tauke melompat turun kedalam lubang galian itu, cepat ia jemput sepotong benda.

Serentak kuli-kuli penggali itu berhenti kerja semua dan memandang kearah benda yang dipegang si Tauke. Maka tertampaklah Tauke lagi memegang sebuah……. paku, bolak-

balik Tauke memeriksa paku itu dengan wajah agak kecewa. Akhirnya ia lemparkan paku itu kepinggir lubang galian dan memerintah: “Hayo mulai lagi, lekas gali terus!”

Tik Hun kerja keras semalam suntuk bersama para kuli kampung, selama itu si Tauke terus mengikuti kemajuan galian itu. Setelah fajar menyingsing dan tiada diketemukan sesuatu apa, barulah si Tauke memerintahkan istirahat.

Sebagaian besar kuli-kuli kampung itu adalah penduduk sekitar situ, mereka pulang kerumah masing-masing. Tapi ada sebagian yang bertempat tinggal agak jauh, mereka lantas merebah dan tidur diserambi saping rumah gedung itu.

Tik Hun juga ikut tidur diserambi saping itu. Sampai sore harinya barulah mereka bangun tidur untuk makan.

Badan Tik Hun terlalu kotor, orang lain tidak suka berdekatan dengan dia, diwaktu tidur maupun makan, selalu orang-orang itu menjauhi Tik Hun. Tapi hal ini malah kebetulan bagi Tik Hun, risiko dirinya akan dikenali orang menjadi lebih sedikit.

Selesai makan, dalam isengnya Tik Hun lantas jalan-jalan kesuatu pedusunan kecil tidak jauh dari gedung besar itu untuk mencari tahu apakah sang guru pernah pulang kampung atau tidak. Ditengah jalan diketemukan juga beberapa teman memain diwaktu kecil, kini teman2 itu sudah tinggi besar dan asyik bercocok-tanam disawah-ladang.

Ia tidak ingin dirinya diketahui orang, maka ia tidak menyapa teman lama itu, tapi sengaja mencari satu anak tanggung untuk ditanya tentang keadaan rumah gedung itu. Menurut keterangan bocah tanggung itu, katanya gedung itu dibangun pada musim rontok tahun yang lalu, pemiliknya sangat kaya dan datang kesini buat mencari Cip-po-bun, namun sudah sekian lamanya benda mestika yang dicari itu masih belum ketemu. Sembari berkata bocah itu sambil ketawa-ketawa, suatu tanda dongeng tentang Cip-po-bun atau baskom wasiat itu telah menjadi bahan obrolan iseng penduduk setempat.

Ketika ditanya tentang rumah-rumah petak yang dulu, anak tanggung itu mengatakan sudah lama rumah-rumah kecil itu tidak ditinggali orang dan selamanya juga tidak pernah ditengok yang empunya. Maka waktu gedung besar itu dibangun, dengan sendirinya rumah-rumah petak itu dibongkar.

Tik Hun mengucapkan terima kasih dan tinggalkan anak tanggung itu, hatinya menjadi masgul dan penuh curiga pula. Sungguh ia tidak tahu sebenarnya apakah maksud tujuan tindak-tanduk sipengemis tua yang penuh rahasia itu.

Ia berjalan menyusur gili-gili sawah dan ladang, ketika melewati sepetak ladang sayur, ia melihat tanaman ladang itu menghijau lebat, subur sekali tertanam sayur Khong-sim-jay.

“Khong-sim-jay! Khong-sim-jay!” tiba-tiba benak Tik Hun bergema suara panggilan yang nyaring merdu dan nakal itu.

“Khong-sim-jay” adalah sayur yang sangat umum didaerah Ouwlam barat situ, sesuai dengan namanya, maka sayur itu kopong tengahnya tak bersumbu. Dari itu Sumoaynya Tik Hun, yaitu Jik Hong, telah memberi nama pojokan itu kepada Tik Hun sebagai olok-olok bahwa pemuda itu berotak kopong, takbisa berpikir, polos dan jujur, takbisa berbelit-belit.

Sejak Tik Hun meninggalkan kampung halaman itu, selama itu dia mengeram didalam penjara di Hengciu, kemudian di-uber-uber musuh dan akhirnya terkurung ditengah lembah bersalju. Dan baru hari ini dia dapat melihat Khong-sim-jay pula.

Tik Hun termangu-mangu sejenak memandangi sayur yang bersejarah itu. Ia berjongkok dan memetik setangkai, lalu pelahan-lahan melanjutkan perjalanan kebarat.

Disebelah barat adalah pegunungan sunyi yang tandus penuh batu karang, pepohonan susah tumbuh disitu. Ditengah bukit tandus itu terdapat sebuah gua yang tidak pernah didatangi manusia kecuali Tik Hun dan Jik Hong yang dulu sering memain kesitu.

Karena terkenang pada masa lalu yang menggembirakan itu, tanpa merasa Tik Hun berjalan terus kearah gua. Sesudah melintasi tiga bukit lain dan menerobos dua terowongan besar, akhirnya sampailah dia digua yang terpencil dan sunyi senyap itu.

Didepan gua itu ternyata sudah penuh tumbuh rumput alang-alang, hingga mulut gua tertutup rapat. Hati Tik Hun menjadi berduka terkenang teman main diwaktu kecil yang dicintainya itu kini telah berada dipangkuan orang lain. Ia coba menerobos kedalam gua itu, ia melihat barang-barang yang terdapat di gua itu masih tetap seperti dulu waktu ditinggal pergi bersama Jik Hong, sedikitpun tidak pernah dijamah atau pindah tempat. Barang-barang seperti bandring yang dahulu sering digunakannya untuk menangkap burung, boneka tanah yang dibuat Jik Hong, alat perangkap kelinci, seruling milik Jik Hong diwaktu angon sapi. Semuanya itu masih terletak baik-baik diatas meja batu didalam gua.

Disebelah sana terdapat pula sebuah keranjang kecil. Dulu Jik Hong sering datang kegua ini dengan membawa keranjang jinjing yang berisi bahan-bahan dan alat menjahit. Tertampak gunting didalam keranjang itu sudah berkarat, Tik Hun coba ambil sejilid buku pola menyulam yang sudah kuning dari keranjang itu. Ia membalik-balik halaman buku itu dan terkenanglah dimasa dahulu bila dia bersama Jik Hong “pik-nik‟ kegua ini, sering ia menganyam keranjang disitu dan Jik Hong lantas menyulam, terkadang sigadis menyulam bunga atau burung-burungan diatas kain tebal guna bahan sepatunya.

Termenung-menung Tik Hun mengenangkan kejadian dimasa lampau: ketika satu pasang kupu-kupu besar warna hitam terbang kian kemari didepan gua, selalu sepasang kupu-kupu itu terbang berjajaran keatas dan kebawah bagaikan sepasang kekasih yang sedang bercumbu. Saat itu Jik Hong telah berteriak-teriak: “Nio San-pek, Cio Eng-tay! Nio San-pek, Cio Eng-tay!”

Kiranya penduduk didaerah Ouwlam barat itu menamakan kupu-kupu besar warna hitam itu sebagai Nio San-pek dan Cio Eng-tay, yaitu sepasang kekasih yang saling cinta-mencintai dan sehidup-semati dalam cerita roman klasik yang terkenal.

Waktu itu Tik Hun sedang mengayam sepatu rumput, pasangan kupu-kupu itu telah terbang diatas kepalanya. Mendadak Tik Hun meneplok dengan sepatu rumputnya hingga seekor kupu-kupu diantaranya tergablok mati. Melihat itu, Jik Hong menjerit kaget dan menegur dengan marah: “Ken…….. kenapa kau membunuhnya?”

Tik Hun menjadi gugup karena sigadis mendadak marah, cepat sahutnya: “Karena kau suka kupu-kupu, maka aku hendak menangkapnya untukmu.”

Kupu yang diteplok mati itu jatuh ditanah, sedang kupu yang lain masih terus terbang mengitar diatas kawannya yang sudah tak berkutik itu. Maka Jik Hong berkata: “Lihatlah, bukankah kau berdosa? Mereka adalah pasangan suami-isteri yang rukun, tapi sekarang kau telah membunuh satu diantaranya.”

Dan barulah Tik Hun merasa menyesal, sahutnya: “Ai, memang aku bersalah.”

Kemudian Jik Hong telah menirukan bentuk kupu-kupu yang mati itu dan dibuatnya sebuah pola atau patrun untuk disulam diatas sepatunya sendiri. Waktu tahun baru, kembali ia menyulam sebuah dompet kain dengan lukisan kupu-kupu yang sama untuk Tik Hun. Dompet kain itu selalu tersimpan didalam baju pemuda itu dan baru hilang ketika dia dimasukan penjara di Hengciu.

Patrun itu masih terselip didalam buku pola itu. Ia mengambil patrun kupu-kupu itu, telinganya sayup-sayup seperti mendengar suara Jik Hong: “Lihatlah, bukankah kau berdosa? Mereka adalah pasangan suami-isteri yang rukun, tapi sekarang kau telah membunuh satu diantaranya.”

Tik Hun termenung-menung agak lama, ketika ia membalik-balik pula halaman buku pola itu, tiba-tiba didengarnya dari jauh ada suara berkeletakan batu paling bentur, terang itulah suara tindakan orang yang sedang mendatangi. Diam-diam Tik Hun heran, pikirnya: “Jarang ada manusia yang datang dibukit tandus ini, jangan-jangan adalah sebangsa binatang buas?”

Segera ia masukan buku pola itu kedalam bajunya, saat lain tiba-tiba didengarnya ada suara orang sedang berkata: “Sekitar tempat ini sunyi senyap dan bukit karang belaka, tidak mungkin terdapat disini.”

“Semakin sepi semakin besar kemungkinanan orang menyimpan harta mestika disini,” demikian suara seorang tua menjawab. “Maka kita harus mencarinya dengan cermat.”

“Ha, mengapa ada orang mencari harta mestika lagi ketempat ini?” pikir Tik Hun. Cepat ia menyelinap keluar gua, ia bersembunyi dibalik satu pohon besar.

Tidak lama kemudian lantas terdengar ada suara orang bertindak kearah gua. Dari suaranya dapat diduga sedikitnya adalah 7-8 orang.

Waktu Tik Hun mengintip dari belakang pohon, ia melihat seorang yang jalan paling depan berpakaian perlente dan berdandan secara berlebih-lebihan, mukanya seperti sudah dikenal Tik Hun. Menyusul seorang dibelakangnya membawa cangkul, orang kedua ini berbadan tegap gagah, mukanya cakap. Begitu melihat orang kedua ini, seketika darah Tik Hun tersirap, sungguh kalau bisa ia ingin lantas menerjang maju untuk menghajarnya, bahkan sekali cekik ia ingin mampuskan orang itu.

Kiranya orang kedua itu tak-lain-tak-bukan adalah musuh besarnya yang telah membikin sengsara padanya, orang yang telah merebut Sumoaynya yang cantik serta menyebloskan Tik Hun kedalam penjara, yaitu si Ban Ka adanya.

Sedang orang pertama yang lebih muda tadi ternyata adalah Sim Sia, anak murid Ban Cin-san yang buncitan.

Dan dibelakang Ban Ka dan Sim Sia, lalu muncul pula anak murid Ban Cin-san yang lain, yaitu Loh Kun, Sun Kin, Bok Heng, Go Him dan Pang Tan.

Murid Ban Cin-san seluruhnya ada delapan orang, tapi murid kedua, yaitu Ciu Kin, dahulu telah dibunuh oleh Tik Hun didalam taman bobrok dikota Hengciu waktu dia bersama Ting Tian di-uber-uber oleh Ciu Kin dan kawan-kawannya. Maka kini murid Ban Cin-san hanya tinggal tujuh orang saja.

Sudah tentu Tik Hun sangat heran: “Hendak mencari harta mestika apakah orang-orang ini?”

Pada lain saat tiba-tiba terdengar Sim Sia berseru: “Suhu, Suhu! Disini ada sebuah gua!”

“O, ya?” sahut suara orang tua tadi. Nadanya penuh rasa girang.

Menyusul lantas muncul seorang yang tinggi besar, itulah dia Ngo-in-jiu Ban Cin-san adanya.

Sudah beberapa tahun tak bertemu, Tik Hun melihat semangat orang tua itu masih segar dan kuat, sedikitpun tidak terlihat tanda-tanda loyo sebagaimana lazimnya orang tua.

Hanya beberapa langkah lebar saja Ban Cin-san sudah masuk kedalam gua. Menyusul lantas terdengar suara-suara orang banyak: “He, disini pernah ditinggali orang!” “Debu kotorannya begini banyak, sudah lama tidak didatangi orang.” “Tidak, tidak! Lihatlah ini, disini terdapat tapak kaki baru.” “Ya, disini juga ada bekas jari tangan!” “Benar, pasti Gian-susiok telah…………. telah mendahului menggondol Soh-sim-kiam-boh itu.”

Terkejut dan geli pula Tik Hun mendengar pembicaraan orang-orang itu. Pikirnya: “Apa barang yang hendak mereka cari adalah Soh-sim-kiam-boh? Mengapa sudah sekian lamanya mereka masih terus mencari? Menurut Suhu, katanya beliau mempunyai seorang Suheng kedua yang bernama Gian Tat-peng, tapi Gian-supek itu sudah lama menghilang tanpa ada kabar beritanya, mungkin sudah lama orangnya meninggal dunia, mengapa sekarang dapat muncul lagi untuk berebut Soh-sim-kiam-boh apa segala? Sudah terang bekas tapak kaki dan tangan itu adalah tinggalanku barusan, tapi mereka menerka secara ngawur, sungguh lucu!”

Begitulah maka terdengar Ban Cin-san sedang berkata: “Diam, diam! Jangan ribut! Coba carilah sekitar sini dengan tenang.”

Lalu ada yang mengomel: “Jika Gian-susiok sudah mendahului datang kesini, mustahil barangnya tak digondol lari lebih dulu.”

“Jik Tiang-hoat itu benar-benar seorang yang licin dan pintar mengatur, ia sembunyikan Kiam-boh (kitab pelajaran pedang) itu disini, tentu saja orang lain sudah mencarinya,” ujar yang lain.

“Sudah tentu ia sangat licin dan pandai mengatur, kalau tidak masakah dia berjuluk “Tiat-soh-heng-kang‟?” demikian kata seorang lagi.

Begitulah sambil bicara mereka terus mengobrak-abrik gua itu. Memangnya didalam gua tidak terdapat benda apa-apa, maka sesudah dibongkar-bangkir orang-orang itu, tetap tiada sesuatu yang mereka ketemukan. Menyusul lantas terdengar suara gemerantang yang nyaring, itulah suara cangkul. Tapi gua itu adalah batu karang, dengan sendirinya cangkul itu tidak mempan menggalinya.

“Sudahlah, disini tiada terdapat apa-apa, marilah kita keluar, coba kita rundingkan lagi diluar sana,” kata Ban Cin-san kemudian.

Beramai-ramai ketujuh anak muridnya lantas ikut sang Suhu keluar gua, mereka mengambil tempat ditepi suatu sungai kecil, disanalah mereka berduduk diatas batu karang yang banyak terserak disitu.

Tik Hun kuatir dipergoki mereka, maka tidak berani mendekat.

Sedangkan suara percakapan kedelapan orang itu sangat lirih, maka apa yang dirundingkan mereka itu tak bisa didengar Tik Hun.

Tidak lama kemudian, selesai berunding, kedelapan orang itu tampak bangkit semua dan berangkat pergi.

Diam-diam Tik Hun memikir pula: “Katanya mereka ingin mencari Soh-sim-kiam-boh apa segala, tapi belum lagi ketemu sudah lantas curiga telah dicuri lebih dulu oleh Gian-supek. Sedangkan bekas tempat tinggal Suhu telah dirombak pula menjadi suatu gedung megah, katanya sipengemis tua itu ingin mencari Cip-po-bun apa segala…………. Ah, benar, tahulah aku!”

Begitulah sekonyong-konyong terkilas sesuatu pikiran pada benaknya, mendadak ia sadar akan duduknya perkara: “Terang sipengemis tua itu bukan bertujuan mencari Cip-po-bun segala, tapi iapun ingin mencari Soh-sim-kiam-boh. Ia yakin kitab pusaka itu berada ditangan Suhuku, maka sengaja mencari kemari, dan agar tidak menimbulkan rasa curiga orang lain, lebih dulu ia membangun gedung besar itu, kemudian menggali pekarangan didalam rumah itu untuk mencarinya, dan agar tidak membikin geger khalajak ramai, ia sengaja menyiapkan berita dongengan katanya ingin mencari Cip-po-bun, sudah tentu alasan itu cuma buat membohongi orang kampung yang bodoh saja.”

Lalu terpikir pula olehnya: “Waktu dulu waktu Ban-supek mengadakan perayaan hari ulang tahun di Hengciu, pengemis tua itu siang-malam selalu mengincar disekitar kediaman Ban-supek, suatu tanda dia mempunyai sesuatu maksud tujuan. Ya, sesudah tidak menemukan Soh-sim-kiam-boh yang dicari itu, masakah rombongan Ban Cin-san takkan mendatangi rumah gedung itu untuk menyelidiki lebih jauh? Mungkin kedatangan mereka kesini sudah lama, maka gedung itu sudah pernah mereka datangi. Namun urusan ini terang belum selesai, biarlah aku menanti dirumah gedung itu saja untuk menonton keramaian. Ya, dibalik semua kejadian ini pasti ada sesuatu rahasia lain.”

“Tapi kemanakah perginya Suhu selama ini?” demikian pikirnya pula. “Bekas tempat tinggalnya telah dibongkar-bangkir orang sedemikian rupa, masakah beliau sama sekali tidak tahu? Apa benar beliau tidak pernah pulang kemari? Lalu bagaimana dengan Jik-sumoay? Ya, mungkin dia masih tinggal di Hengciu dan sedang menikmati kebahagiaan sebagai nyonya muda keluarga Ban yang kaya-raya. Sudah tentu orang-orang keluarga Ban itu tidak memberitahukan pada Sumoay bahwa bekas tempat tinggalnya itu akan diobrak-abrik. Dan apakah yang sedang dikerjakan Sumoay saat ini?……”

Malamnya, kembali didalam rumah gedung itu terang-benderang dengan cahaya lilin, belasan kuli kampung asyik mengajun cangkul mereka untuk menggali tanah.

Tik Hun juga berada diantara kuli-kuli penggali itu, ia tidak terlalu giat, tapi juga tidak malas, dengan demikian ia mengharap tidak menarik perhatian orang lain. Apalagi rambutnya kusut-masai, jenggot dan kumisnya tak tercukur hingga hampir seluruh mukanya tertutup oleh berewoknya yang tak terawat itu, ditambah lagi debu tanah yang berlepotan dimukanya, keruan muka aslinya menjadi lebih susah dikenali.

Malam ini penggali-penggali itu menitik-beratkan pojok utara dari lubang tanah itu, sedang sipengemis tua sedang berjalan mondar-mandir ditepi lubang galian itu sambil menggendong tangan. Sudah tentu sekarang ia bukan lagi seorang pengemis yang dekil dan mesum, tapi adalah seorang Tauke besar yang hidup mewah, bajunya buatan dari bahan sutera satin, pada jari manis kiri memakai sebuah cincin permata jamrud, ikat pinggangnya juga terikat sepotong batu kemala yang susah dinilai harganya.

Sekonyong-konyong Tik Hun mendengar diluar gedung itu ada suara orang merayap datang, dari kanan-kiri dan muka-belakang, semua jurusan ada suara merajap orang. Jarak pendatang-pendatang itu masih sangat jauh, agaknya sipengemis tua masih belum mengetahui sedikitpun.

Tik Hun coba miringkan tubuh untuk melirik sipengemis itu, tapi sang Tauke ternyata tenang-tenang saja seperti tidak merasakan apa-apa. Sementara itu Tik Hun mendengar suara tindakan orang-orang dari berbagai jurusan itu sudah makin mendekat. Satu, dua, tiga…….. enam, tujuh, delapan, ja, benarlah

itu Ban Cin-san beserta ketujuh anak muridnya. Tapi sipengemis tua ternyata masih tidak mengetahui.

Sungguh heran Tik Hun, baginya kedatangan rombongan Ban Cin-san itu dapat didengarnya dengan jelas, bahkan dapat dihitung jumlahnya. Tapi mengapa pengemis tua itu seperti orang tuli saja tanpa mendengar apa-apa?

Lima tahun yang lampau, Tik Hun kagum dan memuja pengemis tua itu bagaikan malaikat dewata. Pengemis itu hanya mengajarkan tiga jurus ilmu pedang kepada Tik Hun dan pemuda itu sudah sanggup menghajar Ban-bun-pat-te-cu atau delapan murid keluarga Ban, hingga pontang-panting, sedikitpun kedelapan lawan itu tak mampu melawan. “Tapi kini, mengapa kepandaian pengemis tua ini telah berubah sejelek ini dan mundur malah? Jangan-jangan Tauke ini bukan pengemis tua yang dahulu itu? Barangkali aku salah mengenali dia? Tapi, tidak, tidak mungkin, tidak mungkin aku salah lihat!” demikian Tik Hun bertanya-jawab sendiri.

Ternyata Tik Hun tidak memikir bahwa sebenarnya ilmu silatnya sendiri yang telah mencapai kemajuan pesat hingga sudah hampir mencapai tingkatan yang tiada taranya. Sesuatu yang dapat didengarnya dengan jelas bagi telinga orang lain sebaliknya sedikitpun tidak terdengar apa-apa.

Dalam pada itu kedelapan orang itu makin lama sudah makin mendekat. Sungguh Tik Hun sangat heran: “Perbuatan kedelapan orang itu benar-benar sangat lucu, memangnya mereka mengira tiada seorangpun yang mengetahui kedatangan mereka hingga mesti main germat-germet seperti maling kuatir kepergok?”

Sementara itu kedelapan orang itu sudah lebih dekat lagi. Mendadak sipengemis tua tampak bergetar sambil miringkan kepalanya untuk mendengarkan.

“Ha, dia sudah dengar sekarang barangkali? Kenapa baru dengar sekarang, apa tuli?” demikian Tik Hun membatin.

Padahal sipengemis tua yang sudah menjadi Tauke itu sebenarnya tidak tuli. Soalnya jarak kedelapan orang itu memang masih jauh. Kalau Tik Hun dua-tiga tahun yang lalu pasti juga takkan mendengar suara rombongan Ban Cin-san, bahkan lebih dekat juga belum tentu dapat mendengarnya.

Sementara itu kedelapan orang itu sudah dekat benar-benar, kini mereka melangkah setindak demi setindak dengan hati-hati, terkadang berhenti dulu, lalu melangkah maju pula, terang mereka juga kuatir diketahui oleh orang didalam rumah.

Namun sekarang sipengemis tua sudah mengetahui kedatangan musuh. Dengan tenang ia mendekati pojok ruangan dan mengambil sebatang tongkat yang tertaruh disitu. Itulah sebatang “Liong-thau-bok-koay” atau tongkat kayu berukiran kepala naga.

“Masakah tongkat begitu akan dipakai sebagai senjata?” demikian Tik Hun merasa heran.

Sekonyong-konyong, serempak kedelapan orang diluar rumah itu berlari maju dan mengepung dari empat jurusan kearah gedung. “Blang”, mendadak pintu didobrak orang hingga terpentang, secepat kilat seorang telah mendahului menerjang masuk, itulah dia Ban Ka.

Menyusul Sim Sia, Bok Heng dan lain-lain juga lantas ikut menyerbu kedalam.

Sesudah ketujuh Ban-keh-te-cu itu menyerbu masuk, serentak mereka mengepung sipengemis tua di-tengah-tengah sambil senjata siap ditangan.

Namun pengemis tua itu ternyata tenang-tenang saja, bahkan ia terbahak-bahak dan berkata: “Hahahaha! Bagus, bagus! Apa anak-anak sudah datang semua? Dan dimana Ban-suko, mengapa tidak nampak?”

Maka terdengarlah suara tertawa lepas seorang diluar rumah, menyusul masuklah orang itu dengan langkah berlenggang, itulah dia “Ngo-in-jiu” Ban Cin-san.

Sesudah berada didalam rumah, Ban Cin-san berdiri berhadapan dengan pengemis itu terpisah oleh lubang galian, kedua orang sama-sama mengamat-amati masing-masing, selang sebentar barulah Ban Cin-san membuka suara: “Gian-sute, wah, berpisah selama lima tahun, tahu-tahu engkau sudah menjadi OKB (orang kaya baru).”

Begitu selesai mendengar ucapan Ban Cin-san itu, seketika kacau-balau pikiran Tik Hun oleh berkecamuknya macam-macam pertanyaan. “Ha? Jadi……… jadi pengemis tua inilah tak-lain-

tak-bukan adalah Jisupek Gian Tat-peng yang selama ini cuma dikenal namanya saja itu?” demikian ia tidak habis heran.

Maka terdengar sipengemis tua itu sedang menjawab: “Suko, aku cuma mendapat sedikit rejeki yang tak berarti, tapi selama beberapa tahun ini usahamu tentu banyak kemajuan, bukan?”

“Terima kasih atas pujimu,” sahut Ban Cin-san. “He, anak-anak, mengapa tidak lekas memberi hormat kepada Susiok?”

Serentak Loh Kun dan lain-lain lantas berlutut memberi hormat kepada pengemis tua itu dan berkata: “Terimalah hormat kami, Susiok!”

“Sudahlah, sudahlah! Sambil memegang senjata, tentu tidak leluasa untuk menjura, maka boleh tak usahlah,” seru pengemis tua itu dengan tertawa.

Diam-diam yakinlah Tik Hun: “Jika demikian, jadi pengemis ini memang betul Gian-supek adanya.”

“Sute,” demikian Ban Cin-san telah berkata pula, “ada apa kau menggali tanah didalam rumah sini? O, barangkali kau mengusahakan pertambangan, ya? Besar amat lubang yang kau gali ini?”

Tapi sipengemis tua alias Gian Tat-peng itu tenang-tenang saja, ia tertawa dingin, lalu menjawab: “Dugaan Suheng salah semua. Soalnya musuh Siaute terlalu banyak, aku ingin bersembunyi disini, maka sengaja menggali lubang perlindungan ini. Tapi lubang inipun serta guna, jika musuh terbunuh oleh Siaute, maka sekalian aku lantas menguburnya disini dengan tidak perlu menggali liang kubur lain. Sebaliknya jika Siaute dibinasakan musuh, maka lubang inipun dapat dianggap sebagai tempat tidurku untuk selama-lamanya.”

“Wah, bagus, bagus! Sute memang pintar berpikir!” demikian Ban Cin-san tertawa memuji. “Tapi badan Sute toh tidak terlalu gede, kulihat liang inipun sudah lebih dari cukup, rasanya tidak perlu menggali lebih dalam lagi.”

“Benar, untuk mengubur seorang memang lebih dari cukup, tapi kalau untuk mengubur delapan orang mungkin masih kurang dalam,” sahut Gian Tat-peng.

Melihat kedua saudara perguruan itu begitu berhadapan sudah lantas perang mulut dengan kata-kata tajam, tiba-tiba Tik Hun menjadi teringat kepada apa yang pernah diceritakan Ting Tian dahulu. Pikirnya: “Menurut cerita Ting-toako, katanya Suhu bersama Ban-supek dan Gian-supek bertiga telah mengeroyok dan membunuh guru mereka, Bwe Liam-seng. Sedangkan guru mereka sendiri saja dibunuh, apalagi diantara mereka masakah dapat diharapkan adanya hubungan persaudaraan yang baik? Menurut cerita Ting-toako (bacalah jilid 2), katanya mereka bertiga telah berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, tapi tidak mendapatkan Kiam-koat yang merupakan inti rahasia dari pelajaran ilmu pedang itu. Padahal Kiam-koat itu melulu terdiri dari angka-angka saja, katanya angka pertama adalah “4′, angka kedua adalah “51′, angka ketiga adalah “33′, angka keempat adalah “53′, angka kelima “18′, angka keenam “7′ dan ………. sampai ajalnya Ting-toako angka-angka itupun

belum selesai diucapkan. Bukankah Kiam-boh sudah mereka rebut dari guru mereka, mengapa sekarang mereka mencari lagi kesini?”

Dalam pada itu Ban Cin-san telah berkata: “Sute yang baik, kita berdua adalah saudara seperguruan sejak kecil, kau cukup kenal pikiranku, akupun paham isi hatimu, buat apa mesti bicara secara berputar-putar! Mana, serahkan!” Begitu kata-kata terakhir itu dilontarkan, berbareng ia sodorkan tangannya kedepan.

Namun Gian Tat-peng hanya geleng-geleng kepala, sahutnya: “Belum dapat kutemukan. Kelicinan Jik-losam memang harus diakui kita bukan tandingannya. Sampai sekarang aku masih belum dapat mengetahui dimanakah dia telah menyembunyikan Kiam-boh itu.”

Kembali Tik Hun terkesiap, pikirnya pula: “Agaknya sesudah mereka bertiga berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, kemudian Suhu berhasil pula mengangkangi sendiri kitab ilmu pedang itu. Tapi mengapa selama itu tiada terjadi apa-apa? Ya, tentu disebabkan Suhu dapat bertindak dengan sangat licin hingga selama itu perbuatannya tak diketahui oleh kedua Supek ini. Dan kalau Suhu tidak tinggal disini, dengan sendirinya Kiam-boh itu selalu dibawanya kemana-mana, masakah Kiam-boh itu dapat disembunyikan atau dipendam didalam rumah ini? Sekarang mereka membongkar-bangkir tempat ini, bukankah terlalu tolol perbuatan mereka itu?”

Akan tetapi ia tahu sekali-sekali Ban Cin-san dan Gian Tat-peng itu bukan orang tolol, mungkin berpuluh kali, bahkan beratus kali lebih pintar dan cerdik daripada Tik Hun sendiri.

Habis, rahasia dan muslihat apakah yang berselubung dibalik kesemuanya ini?


Jilid 9

Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san telah tertawa terbahak-bahak. Katanya: “Sute, masakah kau perlu berlagak pilon lagi? Ha-ha, orang mengatakan Samsute kita adalah Tiat-soh-heng-kang, tipu-akalnya lihay, tapi menurut hematku, adalah Jisute kau yang lebih lihay. Mana serahkan!”Dan kembali ia menjulurkan kedua tangannya pula.

Tapi Gian Tat-peng menepuk-nepuk kantongnya yang kosong itu, sahutnya: “Jika sudah kudapatkan, masakah antara kita masih perlu dibeda-bedakan milikmu atau milikku? Jika barang itu dapat ketemukan, tentu akan kutunjukan secara terbuka, kita boleh melatihnya bersama dan kita dapat tukar pikiran pula, bukankah begini lebih baik. Bukan aku sengaja membesar-besarkan hal ini, tapi sesungguhnya Suheng, andaikan mestika itu kudapatkan, seorang diri saudaramu ini juga tak sanggup melatihnya, tapi mesti minta Suheng yang memegang pimpinan ini. Sebaliknya, hehe, seumpama Suheng yang menemukan mestika itu, biarpun anak muridmu cukup banyak, tapi kepandaian mereka masih hijau, maka perlu juga rasanya bantuan saudaramu ini untuk berkongsi.”

“Kau sudah pernah mendatangi gua disana itu, apa yang telah kau ketemukan?” tanya Ban Cin-san.

“Gua apa?” sahut Gian Tat-peng dengan heran. “Didekatan sini ada gua, maksudmu?”

“Sute,” kata Cin-san, “kita adalah saudara seperguruan selama puluhan tahun, buat apa akhirnya mesti cekcok sendiri? Harap kau keluarkan saja, marilah kita mempelajari bersama, ada untung sama dirasakan, ada rugi sama dipikul.”

“Sungguh aneh, mengapa kau yakin benar-benar menuduh aku sudah memperolehnya?” tanya Tat-peng. “Jika betul aku sudah mendapatkan barangnya, buat apa aku masih susah-payah menggali disini?”

“Huh, banyak tipu akalmu yang licin, siapa tahu permainan apa yang sedang kau lakukan?” ujar Cin-san.

“Suko, kau sendiri toh cukup kenal Samsute, masakah barangnya akan begini gampang kita ketemukan?” kata Tat-peng. “Menurut pendapatku, belum tentu pula disimpannya didalam rumah ini, bila menggali tiga hari masih belum kutemukan apa-apa, maka akupun tidak ingin meneruskan lagi penggalian ini.”

“Haha, kukira lebih baik kau menggali sebulan atau dua bulan supaya permainan sandiwaramu ini bisa lebih hidup,” jengek Ban Cin-san.

Seketika air muka Gian Tat-peng berubah, segera ia bermaksud unyuk gigi, tapi sesudah dipikir pula, sedapat mungkin ia menahan gusarnya, sahutnya kemudian: “Suheng, cara bagaimana aku harus berbuat supaya kau mau percaya?” Habis berkata, ia terus membuka jubahnya dan dibalik, ia kebas-kebas jubahnya itu, maka terdengarlah suara gemerincing yang nyaring, dari jubahnya itu jatuh beberapa tahil perak dan sebuah pipa tembakau, ia pun tidak menyemput kembali barang-barang itu, tapi masih mengebas beberapa kali jubahnya itu.

“Hm, memangnya kau begitu bodoh, masakah kau membawanya didalam bajumu?” kata Ban Cin-san. “Ya, andaikan kau bawa, tentu juga kau simpan dibagian dalam, tidak mungkin kau taruh disaku luar.”

Gian Tat-peng menghela napas, sahutnya: “Jikalau Suheng tetap tidak percaya, ya apa boleh buat, silakan menggeledah badan Siaute saja.”

“Maafkan kalau begitu,” kata Cin-san. Lalu ia memberi tanda kepada Ban Ka dan Sim Sia.

Kedua pemuda itu mengangguk tanda tahu, lalu mereka memasukkan pedang mereka kesarungnya, dari kanan-kiri segera mereka mendekati Gian Tat-peng.

Menyusul Ban Cin-san memberi isjarat pula kepada Bok Heng dan Loh Kun, kedua orang itu pelahan-lahan lantas menggeser kebelakang Gian Tat-peng dengan pedang tetap terhunus.

Dalam pada itu Gian Tat-peng telah tepuk-tepuk lagi saku baju dalam dan berkata: “Nah, silakan geledah!”

“Maaf, Susiok,” kata Ban Ka, terus saja ia mengulur tangannya kedalam saku sang paman guru.

Tapi mendadak ia menjerit tajam sekali, cepat ia menarik kembali tangannya, waktu diperiksa dibawah sinar obor yang terang itu, maka tertampaklah dipunggung tangannya terdapat seekor ketungging yang besar. Rupanya sangat kesakitan hingga Ban Ka berjingkrak-jingkrak, “plok”, cepat ia balikkan tangan dan menggablok ketepi tanggul liang galian, seketika ketungging berbisa itu terpukul hingga hancur. Tapi punggung tangannya sudah terkena bisa binatang itu, kontan saja terus abuh.

Ban Ka masih berlagak jagoan, sedikitpun ia tidak sudi merintih, tapi keringat dingin dijidatnya sudah lantas merembes keluar berbutir-butir sebesar kedelai.

Kemudian terdengar Gian Tat-peng berseru kaget: “Ai, Ban-hiantit, darimanakah kau mendapatkan serangga berbisa seperti itu? Wah itu adalah ketungging loreng, lihaynya tidak kepalang. Suko, hayolah lekas, lekas, kau membawa obat penawar racun tidak? Kalau terlambat sebentar lagi, wah tentu celaka, tentu celaka!”

Maka tertampak punggung tangan Ban Ka yang abuh itu dari warna merah berubah menjadi matang biru, lalu menjadi hitam, ada satu garis merah pelahan-lahan menaik kearah lengan.

Namun Ban Cin-san insaf telah terjebak oleh tipu keji sang Sute, karena sudah kepepet, terpaksa ia menahan perasaannya dan berkata: “Sute, kakakmu ini terimalah menyerah padamu, aku mengaku kalah sudah, harap kau berikan obat penawarnya dan kami lantas pergi, untuk seterusnya kami takkan datang kembali untuk merusuhi kau lagi.

“Tentang obat penawar, ya, dulu aku memang punya, tapi kemudian, lama kelamaan entah tertaruh dimana, biarlah lewat beberapa hari lagi akan kucarikan dan mungkin akan dapat diketemukan. Pabila tidak, nanti aku akan pulang ke Tay-beng-hu untuk mencari resep obat itu dan membelikannya diapotik. Ya, apa mau dikata, habis kita sesama saudara seperguruan sih.”

Mendengar jawaban itu, sungguh dada Ban Cin-san hampir-hampir meledak saking gusarnya. Luka terpagut ular atau diatup ketungging seperti itu dalam waktu singkat saja jiwa penderita mungkin akan melayang, asal garis merah yang mulai menaik ke lengan itu menembus sampai didada, maka kontan penderita itu akan terbinasa, tapi sang Sute enak-enak bicara tentang “lewat beberapa hari lagi obat penawar itu akan dicari” dan katanya akan cari resepnya dulu ke Tay-beng-hu, padahal jarak Tay-beng-hu itu beribu-ribu li jauhnya, bahkan secara tidak kenal malu mengatakan pula tentang hubungan baik sesama saudara seperguruan apa segala.

Tapi apa daya, jiwa putera kesayangannya tergantung diujung rambut, terpaksa Ban Cin-san menahan perasaannya, seorang laki-laki hendak membalas dendam masih belum terlambat untuk menunggu sepuluh tahun lagi. Maka katanya pula: “Sute, hari ini sudah terang aku terjungkal habis-habisan. Apa yang kau inginkan, hendaknya kau katakan terus terang saja.”

Gian Tat-peng benar-benar seorang licik, biar orang kerupukan setengah mati, tapi ia justeru bersikap ngular kambang, dengan pelahan-lahan ia miring kepala untuk memikir, habis itu barulah ia menjawab: ” Suko, apa sih keinginan yang kuharapkan dari kau? Sudahlah, kau suka bagaimana dan aku akan menurut saja.”

Diam-diam Ban Cin-san gemas tidak kepalang, didalam hati ia bersumpah: “Baik, sedemikian kau mendesak diriku, sedikitpun tidak mau mengalah, pada suatu hari kelak pasti aku akan suruh kau kenal akan kelihayanku.” Dan lahirnya ia tenang-tenang saja dan menjawab: “Baiklah aku berjanji untuk selanjutnya takkan bertemu lagi dengan Sute, kalau aku mengutik-utik apa-apa lagi kepada Sute anggaplah aku orang she Ban ini bukan manusia.”

“Ai, mana aku berani terima sumpahmu seberat itu,” ujar Gian Tat-peng dengan senyum culas. “Begini, aku hanya mohon Suko menyatakan bahwa “Soh Sim Kiam-boh” itu diakui sebagai milik Gian Tat-peng. Kalau yang menemukan kelak adalah Gian Tat-peng sendiri itulah tidak perlu lagi dipersoalkan, tapi umpama Suko yang menemukan, maka juga harus diserahkan kepada Sutemu ini.”

Dalam pada itu separoh tubuh Ban Ka sudah kaku lumpuh, hawa racun pelahan-lahan mulai menyerang otaknya hingga kepalanya terasa pening, mata menjadi gelap, tubuhnya sempojongan, tanpa kuasa lagi ia berkelejetan seperti orang kena penyakit ajan.

“Sute, Sute!” seru Loh Kun dengan kuatir, cepat ia maju untuk memajang Ban Ka. Waktu di periksa lengannya, ternyata garis merah itu sudah lewat ketiak dan menyurus kedada. Cepat ia berpaling kepada Ban Cin-san dan berseru: “Suhu, segala permintaannya kita sanggupi saja!”

Dibalik kata-katanya itu seolah-olah menyatakan bahwa kita terpaksa menerima syaratnya, tapi kelak kita masih dapat ingkar janji dan membalas sakit hati.

Ban Ka adalah putera tunggal kesayangan Ban Cin-san, dengan sendirinya jago “Ngo-in-jiu” itu tidak dapat menyaksikan puteranya itu mati konyol begitu saja, terpaksa ia lantas berseru: “Baiklah, “Soh-sim-kiam-boh‟ itu anggaplah sebagai milik Sute. Kionghi. Kionghi!”

“Jika begitu, biarlah kucari dulu kedalam kamar sana, boleh jadi aku akan mendapatkan obat penawar apa yang berguna, hal ini tergantunglah nasib Ban-hiantit sendiri yang entah akan mujur atau malang.”

Habis berkata, tetap dengan caranya yang ngular kambang ia bertindak kedalam. Segera Ban Cin-san mengedipi Loh Kun dan Bok Heng dan segera kedua pemuda itupun ikut masuk kedalam.

Selang agak lama, tunggu punya tunggu ketiga orang itu masih belum keluar, suara merekapun tidak kedengaran. Sebaliknya keadaan Ban Ka semakin payah, sudah dalam keadaan tak sadarkan diri dan tak berkutik lagi bersandar dalam pegangan Sim Sia.

Keruan Ban Cin-san semakin kelabakan bagaikan orang kebakaran jenggot. Segera ia berkata kepada muridnya yang lain, yaitu Pang Tam: “Coba kau lihat kedalam sana!”

Pang Tan mengiakan, tapi belum lagi ia bertindak, sementara itu tertampak Gian Tat-peng sudah berjalan keluar dengan muka berseri-seri dan berkata: “Untung, untung! Ini, dapat kutemukan sembari berkata ia lantas unyukan sebuah botol porselen kecil dan menyambung pula: “Ini adalah obat penawar racun, tentu akan manjur sekali untuk menyembuhkan racun antupan ketungging.”

Habis berkata, ia terus mendekati Ban Ka, ia membuka sumbat botol dan menuang keluar sedikit obat bubuk warna hitam, ia bubuhkan obat dipunggung tangan Ban Ka sambil berkata: “Ban-hiantit, agaknya nasibmu masih mujur!”

Obat penawar itu ternyata sangat mustajab, hanya sekejap saja dari luka itu lantas merembes keluar air hitam dan menetes ketanah, makin lama makin banyak darah hitam yang menetes itu dan garis merah dilengan Ban Ka itupun pelahan-lahan menurun kembali kepergelangan tangan.

Ban Cin-san menghela napas lega, tapi mendongkol pula. Jiwa puteranya memang telah dapat diselamatkan, tapi pamornya sekarang benar-benar bangkrut habis-habisan. Bertempur saja belum dan dia mesti mengaku kalah, bukankah hal ini terlalu penasaran baginya?

Selang tak lama pula, akhirnya Ban Ka membuka mata dan memanggil: “Ayah!”

Lalu Gian Tat-peng menutup kembali botolnya dan menyimpannya kedalam baju, katanya dengan tertawa: “Nah, selamat jalan, aku tidak menghantar, ya!”

“Panggil mereka keluar,” kata Ban Cin-san kepada Sim Sia, maksudnya kedua muridnya yang menyusul Gian Tat-peng keruangan belakang tadi.

Sim Sia mengiakan, lalu menuju keruangan belakang sambil berseru: “Loh-suko, Bok-suko, hayolah lekas keluar, kita akan berangkat!”

Tapi ia tidak mendapat sahutan seorangpun, kembali ia menggembor lagi beberapa kali dan tetap sunyi senyap tiada suara apa-apa. Tanpa menunggu perintah sang Suhu lagi segera Sim Sia menerjang kebelakang.

Namun sial benar-benar, sekali ia sudah masuk, untuk selanjutnya iapun tidak keluar lagi.

Keruan Ban Cin-san curiga dan kuatir, tapi segera iapun sadar: “Didalam rumah keparat Gian Tat-peng ini kalau bukan ada jagoan silat lihay, tentu didalam situ dipasang perangkap rahasia apa-apa hingga ketiga muridku sekali masuk lantas terjebak tipu muslihatnya. Dalam keadaan demikian biarpun aku memohon lagi dengan merendah diri juga tiada gunanya.”

Karena pikiran itu, tanpa bicara segera ia lolos pedang, sekali bergerak, kontan ia menusuk keleher Gian Tat-peng.

Selamanya Tik Hun belum pernah melihat sang Toasupek Ban Cin-san mengunjukan ilmu silatnya, kini melihat tusukannya itu sangat kuat dan keji pula, diam-diam ia memuji: “Ehm, bagus, serangannya ini sangat tepat.”

Hendaklah diketahui bahwa kepandaian Tik Hun sekarang sudah luar biasa, maka setiap permainan silat orang lain baginya boleh dikata seperti mengambil barang disaku sendiri gampangnya, apakah permainan silat orang itu salah atau benar dengan segera akan dapat diketahui olehnya. Ia melihat serangan pertama Ban Cing-san itu sedikitpun tiada tempat kelemahan, maka dapat diduga ilmu silat sang paman guru itu memang tidak rendah.

Begitulah maka Gian Tat-peng telah mengegos untuk hindarkan tusukan Ban Cin-san tadi, menyusul kedua tangannya yang memegangi tongkat tadi mendadak dipentang, tahu-tahu tongkat itu putus menjadi dua, “creng”, tahu-tahu tangannya telah bertambah sebatang pedang yang gemilapan menyilaukan mata.

Kiranya tongkat itu sebenarnya adalah senjata “dwi-guna”, boleh dipakai sebagai tongkat dan dapat pula digunakan sebagai pedang bila ujung tongkat yang berukir kepala naga itu ditarik, maka kepala naga itu akan berubah tugasnya menjadi garan pedang dan bagian tongkat yang bawah sebenarnya adalah sarung pedang.

Maka begitu pedang sudah dilolos, segera Gian Tat-peng melancarkan serangan balasan hingga dalam sekejap saja terdengarlah suara “trang-tring” yang nyaring, kedua saudara seperguruan itu lantas saling labrak ditengah lubang galian luas itu.

Sejak tadi para kuli kampung itu sudah kuatir menyaksikan pertengkaran mulut kedua orang itu, kini melihat mereka mulai saling tempur dengan senjata, keruan kuli-kuli kampung itu bertambah ketakutan hingga mereka sama menyingkir kepojok ruangan dan tiada seorangpun yang berani membuka suara.

Tik Hun juga pura-pura ketakutan, tapi diam-diam iapun perhatikan pertarungan kedua paman guru itu.

Sesudah mengikuti belasan jurus lagi, diam-diam Tik Hun merasa gegetun, pikirnya: “Tenaga dalam kedua Supek ini mengapa begitu cetek? Meski tipu serangan mereka masing-masing ada keunggulannya sendiri-sendiri, tapi kalau kebentur lawan yang punya Iwekang tinggi, sekali senjata beradu, sekali gebrak saja pasti senjata mereka akan mencelat keudara, jangan lagi hendak bicara serang-menyerang segala? Dan kalau kedua Supek ini ingin ilmu silat mereka tambah maju, mereka harus mulai dengan memupuk tenaga dalam, kalau tiada memiliki tenaga dalam yang kuat, sekalipun mendapatkan Soh-sim-kiam-boh juga tiada gunanya. Apalagi usia mereka sudah lanjut begini, untuk melatih Iwekang agaknya juga sudah susah.”

Dan setelah mengikuti beberapa jurus pula, kembali ia lebih gegetun lagi: “Nyata sekali ilmu silat Lau Seng-hong berempat pendekar yang bergelar “Lok-hoa-liu-ciu” adalah jauh lebih tinggi daripada kedua Supek ini. Kulihat ilmu silat kedua Supek ini memang sejak mula sudah sesat jalan, melulu mengutamakan perubahan-bahan tipu serangan yang indah dipandang, tapi sebenarnya tak berguna. Mereka tidak pikir cara bagaimana harus memupuk tenaga dalam yang merupakan landasan ilmu silat.

Apakah sebabnya mereka bisa salah? Ya, aku menjadi ingat, dahulu waktu Suhu mengajarkan ilmu pedang padaku juga demikian caranya dia memberi petunjuk. Agaknya mereka, Ban-supek, Gian-supek dan Suhu bertiga saudara seperguruan memang beginilah memperoleh didikan dari Suco (kakek guru). Pada hal ilmu silat kembangan begini kalau ketemukan lawan yang bertenaga dalam sedikit lebih kuat, maka silat kembangan mereka ini seketika tiada gunanya sama sekali. Ya, sungguh aneh, mengapa mereka belajar ilmu pedang cara begini?”

Begitulah Tik Hun tidak habis mengerti oleh cara belajar silat Suhu dan kedua Supeknya itu.

Dalam pada itu dilihatnya Sun Kin, Pang Tan dan Go Him bertiga juga sudah mulai mengerubut maju, mereka tidak pikirkan pula tentang peraturan Kangouw apa segala.

Maka tertawalah Gian Tat-peng dengan terbahak-bahak: “Bagus, bagus! Toasuko, makin lama makin jempol kau! Sekian banyak begundalmu yang kau bawa untuk mengeroyok Sutemu ini!” Meski ia bersikap tenang-tenang saja seperti tak terjadi apa-apa, tapi permainan pedangnya sudah mulai kacau menghadapi empat lawan itu.

Pikir Tik Hun pula: “Ilmu pedang kedua Supek masing-masing mempunyai keunggulannya sendiri-sendiri. Dahulu Gian-supek telah mengajarkan tiga jurus “Ji-koh-sik‟, “Ni-kong-sik‟ dan “Gi-kiam-sik‟ padaku hingga aku dapat melabrak habis-habisan kedelapan Ban-bun-tecu, tapi kini ia sendiri menggunakan tipu-tipu serangan itu untuk menghadapi Ban-supek ternyata tiada sedikitpun gunanya. Ai, mengapa mereka tidak paham bahwa ilmu pedang yang indah-indah permainannya kalau tidak dilandasi dengan tenaga dalam yang kuat, apa sih gunanya? Dan sungguh aneh, mengapa mereka tidak tahu hal ini?”

Sekonyong-konyong dalam benaknya terkilas sesuatu kejadian dimasa lampau: “Menurut cerita Ting-toako mengenai asal-usul Sin-ciau-keng, nyata Suco Bwe Liam-sing pasti paham betapa pentingnya landasan Iwekang tapi mengapa beliau tidak mengatakan kepada ketiga muridnya? Jangan-jangan ……jangan-jangan ….” berpikir sampai disini, tanpa merasa ia menggigil dan keringat dingin merembes keluar dipunggungnya, badannya gemetar sedikit.

Seorang kampung disebelahnya yang berusia sudah tua tiada hentinya menyebut Budha dan berdoa: “Omitohud, Omitohud! Semoga jangan terjadi pembunuhan disini. Adik cilik, jangan takut, jangan takut!”

Rupanya ia melihat Tik Hun gemetar, maka disangkanya pemuda itu ketakutan oleh pertarungan sengit itu, maka orang tua itu lantas menghiburnya. Padahal hatinya sendiri sebenarnya juga sangat ketakutan.

Begitulah sekali Tik Hun sudah dapat menerka dimana letak keganjilan itu, cuma hal ini terlalu keji dan penuh kepalsuan hati manusia, maka ia tidak ingin banyak memikirkan pula, bahkan tidak ingin membentangkan satu jalan pikiran yang membenarkan pendapatnya itu. Namun Tik Hun tadi sudah berhasil memecahkan teka-teki yang ganjil itu, dengan sendirinya segala sesuatu hal yang paling kecil sekalipun juga akan dapat diarahkan kesitu. Dan setiap gerak serangan Ban Cin-san dan ketiga muridnya itu selalu menambah dan membuktikan kebenaran pendapat Tik Hun itu.

“Ya, ya, tidak salah lagi, tentu beginilah halnya. Tetapi, ah apa mungkin? Sebagai guru masakah bisa berlaku sekeji ini? Tidak, tidak bisa namun jika bukan begitu, mengapa bisa begini? Sungguh sangat aneh?”

Akhirnya terbayanglah suatu adegan yang sangat jelas dalam benaknya. “Beberapa tahun yang lalu, itulah ditempat yang sama ini, aku dan Jik Hong sumoay sedang latihan dan Suhu berdiri disaping untuk memberi petunjuk. Suhu telah mengajarkan suatu jurus yang indah dan aku telah melatihnya dengan giat. Tapi ketika untuk kedua kalinya aku bertanya apa yang Suhu ajarkan lantas tidak sama lagi, gayanya sih tetap sangat bagus tapi sudah berbeda daripada yang pertama. Tatkala itu aku mengira ilmu pedang Suhu itu terlalu hebat dan banyak perubahannya, tapi kini demi dipikir sebab apakah satu jurus ilmu pedang bisa berbeda-beda cara mengajarkan, maka terang gamblang sekali dapat kuketahui sekarang.

Mendadak ia merasa sangat berduka, sangat sedih, pikirnya pula: “Suhu telah sengaja menyesatkan aku, sengaja mengajarkan ilmu pedang yang tidak baik padaku. Sebenarnya kepandaiannya cukup tinggi, tapi ia sengaja mengajarkan padaku ilmu pedang yang cuma indah dipandang tapi tidak berguna dipakai …….. dan Ban-supek juga begitu, kepandaiannya terang jauh berbeda daripada para anak muridnya ini ….”

Dalam pada itu dilihatnya Gian Tat-peng sedang beraksi pula, tangan kiri bergaya, dan tangan kanan bergerak, ujung pedang disendal hingga berputar-putar dalam bentuk lingkaran-lingkaran, lalu dengan cepat luar biasa terus menusuk kedada lawan.

Sebaliknya Ban Cin-san juga cepat menangkis, pedangnya menabas melintang berulang-ulang, lawannya tujuh kali memutar pedang, iapun menabas tujuh kali hingga lingkaran-lingkaran kecil pedang lawan dipecahkan semua olehnya.

Menyaksikan itu, kembali Tik Hun berpikir pula: “Ketujuh lingkaran-lingkaran itu sebenarnya tidak perlu, sebab paling akhir toh dia menusuk kedada Ban-supek, jika begitu, mengapa tidak terus langsung menusuk saja, bukankah lebih cepat dan lebih ganas? Sebaliknya Ban-supek juga menabas dan menangkis lingkaran-lingkaran kecil itu, nampaknya memang bagus, tapi sebenarnya gobloknya keliwat. Kalau dia balas menusuk keperut Gian-supek, bukankah sejak tadi dia sudah menang!”

Mendadak benaknya terbayang pula suatu adegan dimasa dahulu.

Waktu itu dia sedang berlatih bersama sang Sumoay Jik Hong. Banyak juga variasi ilmu pedang yang dimainkan Jik Hong, sebaliknya ia sendiri agak lupa kepada tipu jurus yang diajarkan oleh Suhunya hingga dia terdesak kalang-kabut oleh serangan Jik Hong, berulang-ulang terpaksa ia mundur. Dan selagi Jik Hong mencecar pula tiga kali hingga dia kelabakan takbisa menangkis, nampaknya pasti dia akan kalah, pada saat sudah kepepet inilah ia tidak memikirkan apa yang pernah dipesan sang guru lagi, tapi pedangnya diangkat untuk menangkis sekenanya, menyusul terus menusuk kedepan.

Aneh juga, serangan Jik Hong itu tampaknya bergaya indah dan lihay, dan tangkisan Tik Hun tampaknya kaku ngawur, tapi malah serangan Jik Hong itu dapat dipatahkan, bahkan tusukan Tik Hun terus mengancam ke pundak Jik Hong. Sedang Tik Hun bingung karena tak sempat menarik kembali tusukannya itu, sekonyong-konyong Jik Tiang-hoat melompat maju dengan membawa sepotong kayu, cepat ia sampuk hingga pedang Tik Hun kena dihantam jatuh terpental. Dalam pada itu Jik Hong dan Tik Hun sudah kaget setengah mati. Maka Jik Tiang-hoat telah damperat Tik Hun mengapa tidak menurut petunjuk ajaran sang guru, tapi main ngawur.

Tatkala itu Tik Hun juga pernah memikir: “Aku menyerang secara “ngawur‟, tapi mengapa malah menang?”

Tapi pikiran itu hanya sekilas saja lantas hilang. Segera terpikir olehnya: “Ya, mungkin ilmu pedang Sumoay sendiri pun kurang sempurna, bila betul-betul ketemukan lawan tangguh, caraku ngawur tadi tentu akan bikin celaka diri sendiri.”

Begitulah sama sekali ia tidak pikirkan bahwa tipu serangan yang dilontarkan secara mendadak itu sebenarnya jauh lebih hebat dan lebih praktis daya gunanya.

Dan kalau dipikir sekarang, terang berbeda sama sekali pendapatnya. Kini ilmu silat Tik Hun sudah sempurna, dengan terang gamblang ia dapat melihat dengan jelas bahwa diantara permainan silat Cin-san dan Gian Tat-peng itu hanya gerak kembangan yang tiada gunanya, sedangkan apa yang diajarkan Ban Cin-san kepada muridnya dan apa yang diajarkan Jik Tiang-hoat kepada Tik Hun, gerak tipu yang tak berguna itu lebih banyak pula. Nyata sekali bahwa Suco Bwe Liam-sing sebenarnya sudah tahu bahwa jiwa ketiga muridnya itu tidak jujur, maka diwaktu mengajar sengaja menyesatkan mereka kejalan yang tidak benar. Kemudian waktu Ban Cin-san dan Jik Tiang-hoat mengajar kepada muridnya, jalan sesat itu menjadi makin jauh lagi.

Sungguh Tik Hun tidak habis mengarti, dengan tipu serangan yang tidak berguna itu kalau dipakai bertempur melawan musuh, itu berarti menyerahkan jiwa sendiri kepada musuh. Mengapa Suco, Supek dan Suhu begitu keji dan kejam? Mengapa mereka begitu culas.

Sambil memandangi muka Gian Tat-peng, kemudian Tik Hun mendadak ingat sesuatu kejadian dimasa dahulu. Yaitu pada hari Bok Heng datang untuk mengundang gurunya menghadiri perajaan ulang tahun sang Supek. Tatkala itu ia sedang berlatih dengan Jik Hong, mendadak terdengar suara orang tertawa dibalik onggok jerami sana, waktu Suhunya memeriksa kesana, kiranya adalah seorang pengemis tua yang sedang menjemur diri dibawah sinar matahari sambil mencari tuma dibajunya yang rombeng itu. Tatkala itu Suhu tidak tahu, padahal sebenarnya pengemis tua itu adalah samaran Gian Tat-peng. Senantiasa Gian-supek itu mengintai disekitar rumah tinggal Suhunya itu untuk mencari sesuatu dan sudah tentu yang dicari adalah Soh-sim-kiam-boh, malahan sampai sekarang kedua Supek itu masih bertempur memperebutkan kitab pusaka itu.

Begitulah jika disana Tik Hun sedang mengelamun mengenangkan kejadian-kejadian dahulu, adalah ditengah kalangan pertempuran sana Ban Cin-san masih saling labrak dengan sengit bersama Gian Tat-peng. Tapi karena Ban Cin-san mengeroyok bersama ketiga muridnya, maka Gian Tat-peng makin lama makin terdesak.

Sekonyong-konyong Sun Kin menusuk kepunggung Gian Tat-peng, tapi cepat Tat-peng sempat membaliki pedangnya untuk menangkis, berbareng pedangnya menyabat kebawah, maka menjeritlah Sun Kin, “trang” pedangnya jatuh ketanah, pergelangan tangannya juga luka terkena senjata lawan. Dan pada saat yang hampir sama itu, kesempatan itu telah digunakan dengan baik oleh Ban Cin-san, “cret” pedangnya juga kena menggores suatu luka panjang di lengan kanan Gian Tat-peng.

Sambil mengikuti pertarungan Ban Cin-san melawan Gian Tat-peng itu. Tik Hun menjadi terheran-heran mengapa tipu-tipu serangan mereka hanya indah dalam gaya permainan saja, tapi sama sekali tidak berlandaskan Iwekang?

Karena kesakitan, cepat Tat-peng mengoperkan pedangnya ketangan kiri. Dan sudah tentu ia kurang biasa menggunakan pedang dengan tangan kiri, apalagi lukanya juga tidak ringan, darah mengucur membasahi tubuhnya, maka setelah beberapa jurus lagi, kembali bahu-kirinya tertusuk pula oleh pedang Ban Cin-san.

Para kuli kampung yang menonton disaping itu menjadi pucat ketakutan, mereka saling berbisik menyatakan kekuatiran mereka akan kemungkinan terjadinya perkara jiwa, tapi tiada seorangpun diantara mereka yang berani bersuara keras.

Sebaliknya Ban Cin-san sudah bertekad harus membunuh sang Sute, maka serangan-serangannya semakin gencar dan semakin keji. “Cret”, kembali dada kanan Gian Tat-peng kena tertusuk lagi.

Tampaknya dalam berapa jurus lagi jiwa Gian Tat-peng pasti akan melayang dibawah pedang sang Suheng, tapi toh dia masih melawan mati-matian, sepatah katapun dia tak mau minta ampun. Rupanya ia cukup kenal watak sang Suheng yang culas, apalagi selama belasan tahun mereka telah “perang dingin” secara diam-diam, kalau dia minta ampun, itu berarti akan makin dihina dan tidak mungkin berguna.

Dalam pada itu Tik Hun sedang memikir: “Dahulu waktu di Hengciu, Gian-supek pernah menolong aku dari labrakan sibandit besar Lu Thong, malahan iapun mengajarkan tiga jurus ilmu pedang padaku hingga aku terhindar dari aniaya dan hinaan murid-muridnya Ban-supek. Sebelum aku membalas budinya ini, mana boleh aku menyaksikan dia mati ditangan orang.”

Karena itu Tik Hun pura-pura gemetar ketakutan, tapi cangkul yang dipegangnya itu telah siap mengeduk tanah.

Pada saat lain dilihatnya pedang Ban Cin-san kembali menusuk lagi keperut Gian Tat-peng dan tampaknya Gian Tat-peng sudah tak sanggup menangkis lagi, pada detik itulah secepat kilat Tik Hun sendalkan cangkulnya, kontan segumpal tanah melayang kearah Ban Cin-san. Tenaga sambaran gumpalan tanah itu tak terkatakan kuatnya, karena tertumbuk oleh tenaga itu, seketika Ban Cin-san tak tahan, “bluk”, kontan ia jatuh terjungkal.

Oleh karena diluar dugaan, maka tiada seorangpun yang tahu darimana datangnya gumpalan tanah itu. Dan selagi suasana agak panik, tanah cangkul Tik Hun yang kedua kalinya telah menghambur lagi, tapi sekali ini yang diarah adalah lentera minyak dan lilin ditepi meja sana, maka dalam sekejap itu padamlah lilin dan lentera, dalam rumah menjadi gelap gelita disertai suara jerit kaget orang banyak. Dan pada saat lain Tik Hun lantas melompat maju, cepat ia kempit Gian Tat-peng terus menerjang keluar.

Setiba diluar rumah, segera Tik Hun tutuk beberapa Hiat-to penting dipundak, dada dan lengan untuk menahan keluarnya darah dari luka Gian Tat-peng itu. Lalu ia panggul sang Supek, ia keluarkan Ginkangnya yang tinggi terus berlari secepat terbang kearah pegunungan dibelakang rumah.

Karena Ginkangnya hebat, tempat disekitar situ juga sangat dikenalnya, maka Tik Hun terus berlari menuju kelereng gunung yang paling terjal dan susah ditempuh. Gian Tat-peng menggemblok diatas pundak pemuda itu merasa badannya seakan-akan melayang-layang di-awang-awang dan mirip dialam mimpi saja. Sekalipun ia sudah kenyang asam-garam kalangan Kangouw, tapi susah disuruh percaya bahwa didunia ini ternyata ada tokoh silat setinggi ini.

Begitulah jalan yang dituju oleh Tik Hun itu makin lama makin tinggi, kira-kira lebih satu jam, akhirnya tibalah diatas puncak gunung yang paling tinggi disekitar situ. Puncak gunung itu menyulang tinggi menembus awan, jangankan orang lain susah mendaki kesitu, biarpun Tik Hun sendiri juga baru pertama kali ini datang kesitu. Dahulu ia dan Jik Hong sering memandangi puncak gunung ini dari jauh dan bersenda-gurau secara kekanak-kanakan, siapa duga hari ini kebetulan dia menolong jiwa seorang, maka didatanginya puncak gunung ini.

Kemudian ia letakan Gian Tat-peng ditepi sebuah batu cadas, lalu ia tanya: “Kau membawa obat luka atau tidak?”

Tanpa menjawab, tapi Gian Tat-peng terus berlutut dan menyembah, katanya: “Siapakah nama Inkong (tuan penolong) yang mulia? Hari ini Gian Tat-peng selamat berkat pertolonganmu, sungguh budi setinggi langit ini entah cara bagaimana harus kubalas.”

Tik Hun adalah orang jujur tulus, meski ia tidak ingin memberitahukan siapa dirinya sendiri, tapi ia pun merasa tidak pantas menerima penghormatan sang Supek, maka cepat iapun berlutut dan balas menyembah, sahutnya: “Cian-pwe jangan banyak adat hingga membikin hati Cayhe merasa tidak enak. Cayhe adalah seorang “Bu-beng-siau-cut‟ (perajurit tak bernama, keroco), namaku tiada harganya untuk dikenal, tentang sedikit urusan ini kenapa mesti bicara soal membalas budi segala.”

Tapi Gian Tat-peng masih berkeras ingin tahu. Sebaliknya Tik Hun tidak dapat membohong dengan nama palsu, hanya tetap ia takmau beritahukan namanya.

Gian Tat-peng tahu bahwa banyak tokoh-tokoh kosen dari dunia persilatan yang suka mengasingkan diri dan menghapuskan namanya dari pergaulan ramai, dari itu iapun tidak berani mendesak terus, kemudian ia mengeluarkan obat luka yang dibawanya dan membubuhkan dilukanya sendiri.

Melihat luka-luka diatas tubuh sendiri itu, mau-tak-mau Gian Tat-peng merasa ngeri dan bersyukur pula, pikirnya: “Untung ada tua penolong ini, kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah menjadi almarhum?”

Lalu Tik Hun mulai membuka suara: “Cayhe ada beberapa persoalan yang susah dimengerti, maka ingin minta penyelasan pada Cianpwe.”

“Janganlah Inkong menyebut diriku sebagai Cianpwe,” kata Tat-peng dengan merendah. “Jika Inkong ada pertanyaan apa-apa, asalkan Tat-peng tahu, tentu akan kukatakan sejujur-jujurnya, sedikitpun tidak berani berdusta.”

“Bagus sekali, inilah yang kuharapkan,” kata Tik Hun. “Nah tolong tanya Cianpwe, apakah gedung itu adalah kau yang membangunnya?”

“Benar,” sahut Tat-peng.

“Cianpwe sengaja mengupahi orang buat menggali lubang besar itu, tentunya ingin mencari “Soh-sim-kiam-boh‟ itu, dan apakah sudah diketemukannya?” tanya Tik Hun pula.

Tat-peng terkesiap, pikirnya: “Ai, kukira dia menolong aku dengan maksud baik, tak tahunya juga seorang yang lagi mengincar “Soh-sim-kiam-boh‟.” Tapi mau-tak-mau iapun menjawab: “Sudah banyak jerih-payah yang kukorbankan, tapi sampai saat ini belum memperoleh sedikit tanda-tanda yang berguna. Harap Inkong maklum bahwa apa yang kukatakan ini adalah sesungguhnya. Pabila Tat-peng sudah memperoleh apa yang dicari itu, tentu akan kupersembahkan dengan kedua tangan. Sedangkan jiwaku juga Inkong yang menolong, masakah aku masih sayangkan benda yang toh takkan berguna jika jiwa sudah melayang.”

“Eh, jangan kau salah sangka,” kata Tik Hun sambil goyang-goyang tangannya. “Aku sendiri tidak inginkan Kiam-boh itu, untuk bicara terus terang, meski kepandaianku cuma biasa saja, tapi aku yakin kalau cuma kitab seperti “Soh-sim-kiam-boh‟ apa itu, rasanya belum tentu akan berpaedah bagiku.”

“Ya, ya, memang!” kata Tat-peng. “Ilmu silat Inkong sudah tiada taranya dan dijaman ini tiada tandingannya, sedangkan “Soh-sim-kiam-boh‟ itu hanya sejilid kitab pelajaran ilmu pedang yang biasa saja. Kami bersaudara perguruan karena ingin memperoleh kitab pusaka perguruan sendiri, maka sangat menilai tinggi atas kitab itu, padahal dimata orang luar itu cuma kitab yang tiada artinya.”

Biarpun Tik Hun adalah seorang tulus dan tidak pandai berliku-liku, tapi ia dapat juga mendengar apa yang dikatakan Gian Tat-peng ada yang tidak jujur, namun iapun tidak membongkar kebohongan orang itu, tapi ia bertanya lagi. “Kabarnya tempat ini adalah kediaman lama Sutemu Jik Tiang-hoat. Katanya Jik Tiang-hoat itu berjuluk “Tiat-soh-heng-kang‟, apakah artinya julukan itu?”

Sejak kecil Tik Hun dibesarkan oleh gurunya, apa yang dilihatnya selama itu adalah sang guru itu seorang tua pedusunan yang jujur dan lugu, tapi Ting Tian justeru mengatakan bahwa gurunya adalah seorang yang banyak tipu akalnya sebab itulah ia sengaja tanya Gian Tat-peng untuk mengecek kebenaran apa yang dikatakan Ting Tian itu.

Maka terdengar Gian Tat-peng telah menjawab: “Suteku Jik Tiang-hoat memang berjuluk “Tiat-soh-heng-kang‟, yaitu orang memperumpamakan dia itu laksana seutas rantai besi besar yang melintang dipermukaan sungai hingga semua lalu-lintas air itu takbisa naik dan tak dapat turun, artinya mengatakan Jik-sute itu seorang yang banyak tipu muslihatnya, caranya keji pula terhadap orang.”

Sungguh hati Tik Hun sangat menyesal, pikirnya: “Apa yang dikatakan Ting-toako itu ternyata sedikitpun tidak salah. Guruku ternyata benar seorang yang demikian, sejak kecil aku telah tertipu olehnya dan beliau selamanya juga tidak pernah mengunjukkan watak aslinya padaku.” Namun demikian dalam hatinya tetap timbul sekelumit harapan, maka tanyanya pula: ” Juluk orang Kangouw itu belum tentu dapat dipercaya penuh, boleh jadi musuhnya yang sengaja memberikannya julukan itu untuk mengolok-oloknya. Sebagai sesama saudara perguruan, tentunya Gian-cianpwe cukup kenal bagaimana wataknya, nah, sebenarnya bagaimanakah wataknya itu?”

Gian Tat-peng menghela napas, kemudian katanya: “Bukanlah aku sengaja hendak membicarakan kejelekan saudara perguruanku sendiri, tapi karena Inkong ingin tahu, Cayhe tidak berani berdusta sedikitpun, maka biarlah kukatakan terus terang. Jik-suteku itu lahirnya memang kelihatan seperti orang desa yang ketolol-tololan, tapi sebenarnya hatinya licin, pikirannya tajam.

Kalau tidak, masakah “Soh-sim-kiam-boh‟ itu dapat jatuh kedalam tangannya?”

Tik Hun manggut-manggut, selang sejenak barulah ia berkata pula: “Darimana kau tahu dengan pasti bahwa “Soh-sim-kiam-boh‟ itu berada padanya? Apa kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri? Menurut kabar, katanya engkau suka menyamar sebagai seorang pengemis tua, apakah benar?”

Diam-diam Gian Tat-peng terkesiap lagi, ia heran orang begitu lihay dan serba tahu mengenal seluk-beluk dirinya. Maka jawabnya: “Wah, berita Inkong benar-benar sangat tajam hingga setiap tindak-tanduk Cayhe dapat diketahui Inkong. Semula aku pikir, “Soh-sim-kiam-boh‟ itu kalau bukan berada ditangan Ban-suko tentulah berada pada Jik-sute, maka diam-diam aku menyamar sebagai pengemis tua untuk menyelidiki antara kedua tempat tinggal Suheng dan Sute itu. Tapi sesudah kuselidiki sekian lamanya, akhirnya aku menarik kesimpulan bahwa Kiam-boh itu tidak berada pada Ban-suko tapi pasti berada ditangan Jik-sute.”

“Apa yang meyakinkan kesimpulanmu itu?” tanya Tik Hun.

Jawab Gian Tat-peng: “Dahulu waktu guru kami akan wafat, beliau telah menyerahkan Kiam-boh itu kepada kami bertiga saudara seperguruan ……”

Tik Hun jadi teringat kepada cerita Ting Tian tentang peristiwa berdarah pada suatu malam dipantai Tiangkang, dimana Ban Cin-san, Gian Tat-peng dan Jik Tiang-hoat bertiga telah mengeroyok guru mereka hingga mati. Maka ia lantas mendengus demi mendengar keterangan Gian Tat-peng itu, katanya: “Hm apa betul gurumu menyerahkan kitab itu kepada kalian secara baik-baik? Hm kukira belum …. belum tentu benar, bukan? Apakah beliau meninggal secara wajar?”

Keruan kejut Gian Tat-peng tak terhingga, mendadak ia melompat bangun, ia tuding Tik Hun dan berseru: “Apa kau … kau adalah Ting … Ting Tian … Ting-toaya?”

Hendaklah diketahui bahwa kejadian Ting Tian yang mengubur jenazah Bwe Liam-sing itu akhirnya tersiar dikalangan Kang-ouw, sebab itulah demi mendengar dosa sendiri yang membunuh guru dibongkar oleh Tik Hun seketika ia mencurigai pemuda itu adalah Ting Tian.

Tapi dengan dingin Tik Hun berkata: “Aku bukan Ting Tian, Ting-toako adalah seorang pembenci kejahatan, dengan mata kepala sendiri ia telah menyaksikan kalian bertiga mengeroyok hingga tewasnya Suhu kalian, pabila aku adalah Ting-toako, tidak mungkin hari ini aku mau menolong jiwamu, tentu akan kubiarkan kau mati dibawah pedangnya Ban Cin-san.”

“Habis siapa engkau?” tanya Gian Tat-peng dengan takut dan sangsi.

“Kau tidak perlu urus siapa aku,” sahut Tik Hun. “Jika ingin orang lain tidak tahu, kecuali kalau engkau sendiri tidak berbuat. Nah, katakan terus terang, setelah kalian menewaskan gurumu dan berhasil merebut “Soh-sim-kiam-boh‟, kemudian bagaimana?”

“Jika …. jika engkau toh sudah tahu semuanya, buat …. buat apa tanya padaku lagi?” sahut Gian Tat-peng dengan suara gemetar.

“Ada sebagian yang kuketahui, tapi ada sebagian aku tidak tahu. Maka kau harus mengaku dengan sejujurnya, jika bohong sedikit saja tentu akan kuketahui.”

Sungguh takut dan hormat pula Gian Tat-peng kepada Tik Hun, katanya kemudian: “Mana aku berani membohongi Inkong? Begini, sesudah kami mendapatkan “Soh-sim-kiam-boh‟ itu, setelah kami periksa, ternyata yang ada cuma Kiam-boh (kitab pelajaran ilmu pedang) dan tiada terdapat Kiam-koat (kunci pelajaran ilmu pedang) yang penting itu, jadi percumalah kami mendapatkan Kiam-bohnya saja ……”

Diam-diam Tik Hun membatin: “Menurut Ting-toako, katanya Kiam-koat itu menyangkut rahasia suatu partai harta karun yang belum diketemukan sesudah Bwe Liam-sing, Leng-siocia dan Ting-toako wafat semua, maka didunia ini sudah tiada seorangpun yang tahu akan Kiam-koat itu, sebaiknya kalian jangan mengimpi pula akan memperolehnya.”

Dalam pada itu terdengar Gian Tat-peng sedang melanjutkan: “Sebab itulah, maka kami masih terus menyelidiki dimanakah beradanya Kiam-koat itu. Tapi kami bertiga saling curiga-mencurigai, masing-masing sama kuatir kalau Kiam-boh itupun akan dikangkangi pihak lain, maka setiap malam diwaktu tidur, Kiam-boh itu lantas kami kunci didalam sebuah peti besi, kunci daripada peti itu kami buang ketengah sungai dan peti besi itu kami simpan dilaci meja yang kami kunci pula. Malahan peti besi itu kami gandeng pula dengan tiga buah rantai besi yang kecil dan masing-masing terikat dipergelangan tangan kami, jadi asal ada seorang yang bergerak sedikit, segera dua orang yang lain akan lantas terjaga bangun.”

Penjagaan seperti itu sungguh sangat kuat,” ujar Tik Hun.

“Benar,” sahut Gian Tat-peng. “Tapi toh masih terjadi juga keonaran.”

“Terjadi keonaran apa?” tanya Tik Hun.

“Malam itu kami tidur didalam suatu kamar, tapi esok paginya mendadak Ban-suheng berteriak-teriak. “Dimana Kiam-boh itu? Dimana?” Waktu aku terjaga bangun, kulihat laci meja yang tersimpan peti besi itu sudah terbuka, tutup peti besi juga melompong. Kiam-boh yang tersimpan didalam peti itu sudah terbang tanpa bekas. Keruan kami bertiga sangat kaget, cepat kami mencari kesana kemari dan sudah tentu hasilnya nihil. Kejadian itu benar-benar sangat aneh sebab pintu dan jendela kamar itu masih tetap tertutup rapat dan terkunci dengan baik, maka dapat diduga pencuri Kiam-boh itu pasti bukan dilakukan orang dari luar, sebaliknya adalah orang yang berada didalam kamar, jadi kalau bukan Ban-suko tentu adalah Jik-sute, satu diantara mereka berdua itu pasti adalah malingnya.”

“Jika begitu, mengapa dia tidak membuka jendela atau pintu agar disangka dicuri oleh orang luar?” tanya Tik Hun.

“Tangan kami tergandeng oleh rantai besi, kalau diam-diam bangun untuk membuka laci dan peti besi itu masih mungkin, tapi kalau berjalan agak jauh untuk membuka pintu atau jendela, maka rantai besi yang menggandengkan kami itu akan kurang panjang,” kata Tat-peng.

“O, kiranya begitu, lalu apa yang kalian lakukan lagi?” tanya Tik Hun pula.

“Sudah tentu kami tidak tinggal diam mengingat Kiam-boh itu tidak mudah kami peroleh tapi direbut dengan mengadu jiwa,” sahut Tat-peng. “Maka diantara kami bertiga telah saling menyalahkan dan terjadilah pertengkaran, bahkan saling tuduh menuduh pula, namun tiada seorangpun yang dapat membuktikan tuduhan masing-masing, akhirnya terpaksa masing-masing menuju kearahnya sendiri-sendiri ……”

“Ada sesuatu yang aku merasa tidak paham, harap suka memberi penyelasan,” kata Tik Hun. “Bahwasanya kalian bertiga adalah saudara perguruan, jikalau gurumu memiliki sejilid Kiam-boh pusaka, lambat atau cepat toh pasti akan diwariskan kepada kalian, apakah mungkin Kiam-boh ini akan dibawanya serta kedalam liang kubur? Dari itu, mengapa kalian turun tangan sekeji itu dan mengapa mesti membunuh guru kalian untuk mendapatkan Kiam-boh itu?”

“Ai, dasar guruku itu memang sudah pikun barangkali,” sahut Tat-peng. “Coba, masakah kami bertiga dituduh berhati tidak jujur dan berjiwa jahat, maka beliau bertekad akan mengajarkan ilmu silatnya kepada orang luar. Oleh karena kami sudah tak tahan lagi, sudah terpaksa, maka berbuat seperti apa yang terjadi itu.”

“O, kiranya begitu. Habis, darimana kemudian kau yakin bahwa Kiam-boh itu berada dalam tangan Jik-sutemu?” tanya Tik Hun.

“Semula yang kucurigai adalah Ban Cin-san, sebab dia yang menggembor lebih dulu tentang kemalingan itu. Dan biasanya itu maling suka teriak maling, itulah siasat yang paling sering digunakan. Tapi sesudah diam-diam aku menguntit dia, tidak lama kemudian aku lantas tahu dia bukan malingnya. Sebab dia sendiri juga sedang membayangi Samsute. Jikalau Kiam-boh itu berada ditangan Ban Cin-san, tidak mungkin dengan susah-payah ia malah menyelidiki orang lain, tapi ia tentu akan menghilang sejauh mungkin untuk meyakinkan ilmu pedang itu. Namun setiap kali aku melihat dia, selalu kulihat dia sedang mengertak gigi dengan gemas, sikapnya tidak sabar lagi dan dendamnya tidak kepalang. Karena itulah aku lantas ganti sasaran, yang kuincar sekarang adalah Jik Tiang-hoat.”

“Lalu adakah sesuatu yang kau ketemukan?” tanya Tik Hun.

“Tidak, Jik Tiang-hoat itu benar-benar memang seorang yang licin, sedikitpun ia tidak menunjuk sesuatu tanda yang mencurigakan,” sahut Tat-peng dengan menggeleng kepala. “Pernah aku mengintai waktu dia mengajar ilmu pedang kepada putri dan muridnya, tapi dia sengaja berlagak bodoh, ia sengaja mengubah nama-nama jurusnya dengan istilah-istilah yang aneh dan menggelikan. Tapi semakin dia berlaga pilon, semakin menimbulkan curigaku. Selama tiga tahun aku terus mengintai gerak-geriknya, tapi tetap tiada sesuatu lubang kelemahan yang kudapatkan. Diwaktu dia tiada dirumah, pernah beberapa kali aku menggerajangi rumahnya, tapi hasilnya nihil, jangankan Soh-sim-kiam-boh apa segala, biarpun kitab belajar membaca juga tiada sedikitpun terdapat dirumahnya. Hehe, Suteku ini benar-benar seorang maha licin, seorang cerdik, seorang pintar!”

“Kemudian bagaimana?” tanya Tik Hun lagi.

“Kemudian, kemudian pihak Ban Cin-san akan merayakan ulang tahunnya. Ia telah mengirim seorang muridnya untuk mengundang Jik Tiang-hoat ke Heng-ciu untuk ikut merayakan Shejit sang Suko,” tutur Tat-peng pula. “Sudah tentu, merayakan She jit hanya siasat saja, yang benar Ban Cin-san ingin mencari tahu bagaimana keadaan Jik-sutenya. Begitulah Jik Tiang-hoat lantas berangkat ke Heng ciu dengan membawa serta seorang muridnya yang ketolol-tololan, kalau tidak salah bernama Tik Hun dan puterinya, Jik Hong juga ikut. Ditengah perajaan ulang tahun itu, entah mengapa mendadak si tolol Tik Hun itu telah berkelahi dengan kedelapan anak-murid Ban Cin-san, dalam keadaan dikerubut itu mendadak Tik Hun melontarkan tiga tipu serangan yang hebat hingga menimbulkan curiga Ban Cin-san. Segera ia mengundang Jik-sute kedalam kamarnya untuk bicara, tapi bicara punya bicara, akhirnya mereka sendiripun bertengkar, sekali tusuk Jik Tiang-hoat telah melukai Ban-suko, habis itu ia lantas kabur dan menghilang entah kemana lagi. Aneh, sungguh aneh, benar-benar sangat aneh!”

“Aneh tentang apa?” tanya Tik Hun.

“Tentang Jik Tiang-hoat yang menghilang itu, sejak itu tidak pernah kelihatan lagi batang-hidungnya, entah dia telah sembunyi dimana, bahkan kabar sedikitpun tiada lagi,” kata Tat-peng.

“Diwaktu Jik Tiang-hoat berangkat ke Hengciu, dengan sendirinya tidak mungkin ia membawa serta Kiam-boh yang dia serobot dari kedua Suhengnya itu, tapi pasti dia simpan kitab pusaka itu disuatu tempat rahasia dirumahnya itu. Semula aku menaksir sesudah dia melukai Ban Cin-san, tentu malam itu juga ia akan pulang kerumah untuk mengambil Kiam-boh, lalu merat sejauh mungkin. Selama itulah, begitu terjadi peristiwa itu di Heng-ciu, segera aku menggunakan kuda pilihan mendahului datang ke Wan-leng sini, aku sembunyi disekitar rumahnya untuk mengintai dimanakah dia menyimpan Kiam-boh curian itu, dengan begitu aku akan segera menyergapnya. Akan tetapi tunggu punya tunggu, tetap dia tidak muncul. Akhirnya aku menjadi tidak sabar lagi, dengan tidak sungkan-sungkan lagi aku lantas bongkar rumahnya hingga murat-marit, aku lalu menggali kitab pusaka yang dia pendam dirumahnya itu. Namun sampai sekarang rupanya usahaku ini sia-sia belaka, jerih payahku itu terbuang percuma. Coba kalau tidak ditolong oleh Inkong, bukan mustahil sekarang jiwaku sudah melayang disitu.”

“Dan kalau menurut pendapatmu, kira-kira saja Jik-sutemu itu sekarang berada dimana?” tanya Tik Hun.

“Inilah aku benar-benar tidak dapat menerkanya,” sahut Tat-peng dengan menggeleng. “Besar kemungkinan dia sudah ketulah dan sudah mati menggeletak dimana atau jatuh sakit untuk tidak pernah sembuh lagi atau boleh jadi mengalami kecelakaan apa-apa serta sudah menjadi mangsa harimau atau serigala.”

Melihat cara Gian Tat-peng omong itu penuh mengunyuk rasa senang pabila sang Sute itu benar-benar sudah mati, diam-diam Tik Hun menjadi muak terhadap manusia rendah itu. Tapi lantas terpikir olehnya bahwa selama ini memang tiada kabar berita tentang gurunya itu, besar kemungkinan memang sudah mengalami sesuatu halangan apa-apa.

Maka ia lantas bangkit dan berkata. “Terima kasih atas keteranganmu yang sebenarnya ini, sekarang Cayhe mohon diri lebih dulu.”

Dengan penuh hormat kembali Gian Tat-peng menjura tiga kali lagi, katanya. “Budi kebaikan Inkong yang tiada terhingga ini selama hidup Gian Tat-peng takkan melupakan.”

“Hanya soal kecil ini mengapa mesti dipikirkan,” sahut Tik Hun. “Kau boleh merawat lukamu disini, Ban Cin-san itu takkan dapat menemukan kau, maka tidak perlu kau kuatir.”

“Saat ini besar kemungkinan dia lagi kelabakan seperti semut di minyak wajan panas, mana dia sempat untuk memikirkan mencari aku?” sahut Tat-peng dengan tersenyum.

“Sebab apa?” tanya Tik Hun dengan heran.

“Sebab saat ini dia tentu lagi kelabakan memikirkan keselamatan puteranya,” tutur Tat-peng. “Tangan puteranya itu telah kena disengat oleh ketungging yang berbisa jahat itu, untuk bisa sembuh harus berturut-urut dibubuhi obat sebanyak sepuluh kali, kalau cuma sekali dibubuhi obat, memang sakitnya akan hilang untuk sebentar, lalu tidak lama kemudian akan kambuh lagi lebih jahat.”

“Wah jika begitu, apakah jiwa Ban Ka itu akan melayang?” kata Tik Hun agak kaget.

Racun ketunggingku itu memang benar-benar lain daripada yang lain,” tutur Tat-peng dengan berseri-seri. “Yang hebat adalah Ban Ka itu takkan mati seketika, tapi dia akan merintih dan menderita selama sebulan suntuk, habis itu barulah jiwanya melayang. Hahaha, sungguh hebat, sungguh bagus!”

“Kalau sebulan kemudian baru dia akan mati, jika begitu tentu dia akan dapat menemukan tabib pandai untuk mengobati lukanya yang disengat ketungging itu,” ujar Tik Hun.

“Agaknya Inkong tidak tahu bahwa ketungging berbisa itu bukanlah sembarangan serangga yang dibesarkan oleh alam, tapi adalah piaraanku sendiri, sejak kecil aku telah melolohi dia dengan macam-macam obat penawar agar mereka sudah biasa atau kebal oleh obat penawar itu, maka kalau tabib umumnya membubuhkan obat penawar ditempat yang disengat itu, sudah tentu takkan berguna sama sekali. Hahaha!”

Dengan melirik hina Tik Hun mengikuti cerita manusia keji itu, diam-diam ia membatin: “Hati orang ini benar-benar terlalu kejam dan menakutkan. Bukan mustahil lain kali akupun akan kena disengat oleh ketungging yang ia piara itu. Menurut pesan Ting-toako, katanya kalau berkelana di Kangouw hendaklah jangan timbul maksud untuk membikin celaka orang, tapi juga jangan lengah untuk menjaga kemungkinan dicelakai orang. Maka lebih baik aku minta sedikit obat penawar dari dia sekedar untuk persediaan siapa tahu bila kelak ada gunanya.”

Maka ia lalu berkata: “Gian-cianpwee, obat penawar untuk racun ketunggingmu itu bolehlah serahkan padaku saja.”

“Baik, baik,” sahut Gian Tat-peng tanpa pikir. Tapi ia tidak lantas menyerahkan obat yang diminta, sebaliknya tanya dulu. “Inkong minta obat penawar itu, entah akan digunakan untuk apa?”

“Ketunggingmu itu sangat lihai, bisa jadi pada suatu saat aku kurang hati-hati hingga tersengat, tapi kalau aku sudah punya obat penawarnya tentu takkan kuatir lagi,” sahut Tik Hun.

Wajah Gian Tat-peng mengunyuk rasa risi, sahutnya dengan tertawa: “Ah Inkong suka bergurau saja. Sedangkan buat pertolongan jiwa Inkong padaku belum kubalas, masakah aku mempunyai maksud untuk mencelakai Inkong.”

“Ya, tapi ada baiknya juga aku menjaga segala kemungkinannya, sedia payung sebelum hujan, kan tiada jeleknya,” kata Tik Hun sambil mengulurkan tangannya.

“Ya, ja!” sahut Gian Tat-peng dan terpaksa ia mengeluarkan botol obat penawar itu dan diserahkan kepada tuan penolong jiwanya itu.

Sesudah meninggalkan Gian Tat-peng dipuncak gunung itu, Tik Hun kembali pula kegedung itu untuk menyelidiki keadaannya. Tapi dilihatnya gedung itu sudah sepi senyap tiada seorangpun, para kuli kampung sudah bubar, simandor dan si Koankeh juga entah menghilang kemana lagi.

“Suhu mungkin sudah meninggal, Sumoay kini sudah menjadi isteri orang, maka tempat ini untuk selanjutnya terang takkan kudatang lagi,” demikian pikir Tik Hun. Segera ia tinggalkan gedung itu dan berangkat menuju kebarat-daya dengan menyusur tepi sungai.

Sementara itu fajar sudah menyingsing, sang surya mulai mengintip diufuk timur, beberapa puluh meter jauhnya, waktu Tik Hun menoleh, ia melihat sinar fajar cemerlang dipucuk pohon-pohon. yang didepan gedung itu, air sungai juga berkelip-kelip memancarkan cahaya keemassannya, pemandangan demikian ini sudah sejak kecil kenyang dilihat oleh Tik Hun, tanpa merasa ia menggumam lagi: “Untuk selanjutnya aku takkan kembali lagi ketempat ini.”

Setelah membetulkan rangselnya, ia pikir tugas yang masih harus dilaksanakannya hanya tinggal satu saja yaitu mengubur abu tulang Ting-toako bersama jenazah Leng-siocia. Maka tempat yang harus ditujunya sekarang adalah Heng-ciu.

Pikirnya pula: “Sikeparat Ban Ka itu telah mengakibatkan hidupku merana seperti sekarang ini, syukur orang jahat tentu mendapat ganjaran yang setimpal, maka rasanya akupun tidak perlu membalas dendam dengan tanganku sendiri, menurut kata Gian Tat-peng katanya dia akan merintih-rintih dan sesambatan selama sebulan, habis itu baru akan mati, entah apa yang dikatakan itu benar atau tidak. Jika ternyata jiwanya masih belum melayang umpamanya, maka aku baru menambahi dia dengan tusukan pedangku biar bagaimanapun jiwa anjingnya harus kucabut.”

Begitulah ia lantas berangkat ke Heng-ciu yang tidak jauh dari barat Ouw-lam itu, maka tiada seberapa hari iapun sampailah disana.

Sesudah mencari kabar, diketahuilah bahwa Leng Dwe-su masih tetap menjadi Tihu disitu. Maka ia tetap menyaru seorang gelandangan yang dekil agar tidak dikenal orang.

Begitu masuk kota, pikiran pertama yang timbul padanya adalah: “Aku ingin menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri cara bagaimana Ban Ka tersiksa oleh racun ketungging itu. Entah apakah dia dapat disembuhkan dan entah apakah dia sudah pulang kesini atau belum, boleh jadi dia masih tinggal di Ouwlam untuk berobat.”

Maka pelahan-lahan ia menuju kerumah keluarga Ban itu, dari jauh lantas dilihatnya Sim Sia sedang keluar dari gedung megah itu secara tergesa-gesa, agaknya sedang sibuk mengalami sesuatu masalah gawat.

Pikir Tik Hun: “Jika Sim Sia berada disini, tentu Ban Ka juga sudah pulang. Maka malam nanti biarlah aku menyelidikinya kesitu.”

Segera ia kembali ketaman bobrok dahulu, taman itu tidak jauh dari rumah keluarga Ban itu. Ditaman itulah dahulu Ting Tian meninggal sesudah lebih dulu membunuh Ciu Kin, Kheng Thian-pa dan Tay-beng. Kini berkunjung lagi ketempat lama ia melihat taman itu semakin rusak, keadaan semakin tak keruan. Di-mana-mana runtuhan puing dan tumbuh-tumbuhan liar.

Ia mendatangi pohon Bwe dahulu itu, ia meraba-raba lekak-lekuk pohon tua itu sambil memikir. “Waktu itu Ting-toako menghembuskan napasnya yang penghabisan dibawah pohon ini, tapi wujud pohon ini sampai sekarang masih tetap sama, sedikitpun tiada berubah, sebaliknya Ting-toako sekarang sudah menjadi abu.”

Begitulah ia lantas duduk termenung-menung dibawah pohon Bwe itu, akhirnya ia terpulas juga.

Kira-kira dekat tengah malam, ia mendusin dan mengeluarkan rangsum kering untuk tangsal perut lalu keluar dari taman bobrok itu dan menuju kerumah keluarga Ban.

Ia memutar kepintu belakang gedung besar itu, dari sini ia melompat pagar tembok dan masuk ketaman bunga. Menghadapi tempat bersejarah itu, tanpa merasa hati Tik Hun menjadi pedih, pikirnya: “Dahulu aku terluka parah dan sembunyi digudang kayu sana, tapi Sumoay tidak membantu dan menolong aku, ia benar-benar tidak berbudi, bahkan ia malah memanggil suaminya untuk membunuh aku.”

Begitulah sambil membayangkan kejadian dahulu dan selagi ia mulai melangkah kedepan, tiba-tiba dilihatnya ditepi empang sana ada tiga titik sinar api yang berkelip-kelip.

Tik Hun menjadi curiga dan segera berhentikan langkahnya ia mengumpet dibelakang sebatang pohon, lalu mengintai ketempat sinar api itu. Sesudah diperhatikan, akhirnya dapat diketahuinya bahwa bintik-bintik sinar api itu tak-lain adalah tiga batang dupa yang tertancap disuatu Hiolo (tempat menancap dupa). Hiolo itu tertaruh diatas satu meja kecil dan didepan meja itu ada dua orang yang sedang berlutut dan menyembah kepada langit.

Tidak lama kemudian kedua orang itu tampak bangkit, maka jelaslah Tik Hun melihat satu diantaranya adalah Jik Hong, seorang lagi adalah satu dara cilik, terang itulah puteri sang Sumoay yang dipanggil “Kong-sim-jay” itu.

Terdengar perlahan-lahan Jik Hong berdoa: “Dupa pertama ini memohon agar Tuhan memberkahi keselamatan bagi suamiku, agar lukanya segera sembuh, abuhnya lekas kempis dan racunnya segera hilang, supaya tidak lama tersiksa oleh racun ketungging itu. Khong-sim-jay, hayolah berkata, bilang mohon Tuhan memberkati penyakit ayah lekas sembuh”.

“Ya, ibu, mohon Tuhan memberkati penyakit ayah lekas sembuh, supaya ayah tidak berteriak-teriak kesakitan lagi” demikian dara cilik itu menirukan nada sang ibu.

Mendengar itu, diam-diam Tik Hun merasa senang dan syukur atas penderitaan Ban Ka. Tapi ia gemas pula atas perhatian Jik Hong terhadap suaminya itu.

Kemudian terdengar Jik Hong berdoa lagi: “Dan dupa kedua ini mohon Tuhan memberkati ayahku dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, semoga lekas-lekas pulang untuk berkumpul lagi. Khong-sim-jay, lekas bilang mohon Tuhan memberkati Gwakong semoga berumur panjang”.

“Ya, ibu, Gwakong, hendaklah engkau lekas pulang, mengapa engkau tidak lekas pulang”, demikian sidara cilik menirukan pula.

“Katakan mohon agar Tuhan memberkahi selamat”, sang ibu mengajarkan.

“Ya, ibu, mohon Tuhan memberkahi selamat pada Gwakong, kepada ayah dan kepada kakek”, kata dara cilik itu. Selamanya ia belum pernah melihat Jik Tiang Hoat yaitu Gwakong atau kakek luarnya, maka yang dipikirkan adalah ayahnya dan kakeknya sendiri, yaitu Ban Cin-san.

Dan sesudah berhenti sejenak, kemudian Jik Hong berdoa lagi dengan suara agak lirih: Dan dupa yang ketiga ini memohon kepada Tuhan agar memberkahi dia dalam keadaan sehat, semoga dia hidup senang dan mendapatkan isteri baik dan lekas mendapat anak……………………….”. berkata sampai disini, suaranya

menjadi serak seakan-akan tersumbat tenggorokannya, lalu ia mengusap air matanya dengan lengan baju.

“Kembali ibu terkenang kepada Kuku, ja” tanya si dara cilik. “Khong Sim-jay, bilang mohon kepada Tuhan agar

memberkahi keselamatan kepada Khong-sim-jay Kuku…………..” kata Jik Hong pula.

Memang Tik Hun sudah heran ketika Jik Hong berdoa untuk dupa yang ketiga. Ia tidak tahu siapakah yang dimintakan berkah. Dan demi mendadak mendengar bekas kekasih itu menyebut “Khong-sim-jay Kuku”, seketika telinganya seperti mendengung, hatinya serasa berkata: “Ha, dia maksudkan aku, dia maksudkan aku?”.

Dalam pada itu si dara cilik telah menurut kata ibunya tadi dan sedang bersujut:”Ya, Tuhan, ibuku selalu terkenang kepada Khong-sim-jay Kuku, mohon diberkahi selamat dan rejeki besar agar kelak aku dibelikan sebuah boneka besar. Dia adalah Khong-sim-jay, akupun Khong-sim-jay, kami sama-sama Khong-sim-jay. Eh, ya, ibu kemanakah perginya Khong-sim-jay Kuku itu? Mengapa dia tidak pernah pulang?”

Maka Jik Hong telah menjawab: “Khong-sim-jay Kuku itu telah pergi ke tempat yang jauh, jauh sekali. Kuku itu telah meninggalkan ibumu, tetapi ibumu senantiasa memikirkan dia…………………”. berkata sampai disini tiba-tiba ia peluk

anak perempuannya itu dan menyusupkan kepalanya di dada bocah itu, lalu masuk kerumah dengan langkah lebar.

Pelahan-lahan Tik Hun keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati Hiolo yang ditinggalkan itu. Dengan termenung-menung ia memandangi ketiga batang dupa itu semakin lama makin surut, sampai akhirnya menjadi abu semua, tapi ia masih termangu-mangu di situ tanpa bergerak sedikitpun.

Ia baru tersadar ketika burung berkicau dengan ramai dan fajar sudah menyingsing, maka cepat ia tinggalkan taman keluarga Ban itu. Ia berkeliaran kian kemari di dalam kota Heng-ciu tanpa arah tujuan.

Tiba-tiba didengarnya suara “creng-creng” yang berisik, itulah bunyi kecer seorang tabib kelilingan yang sedang menawarkan obatnya sepanjang jalan.

Mendadak hati Tik Hun tergerak. Bukankah ia ingin menyaksikan sendiri bagaimana keadaan Ban Ka yang sesambatan tersiksa oleh racun ketungging itu?

Terus saja ia mendekati tabib kelilingan itu, ia keluarkan sepuluh tahil perak untuk membeli pakaian tabib itu beserta peti obat dan peralatan lainnya. Sudah tentu tabib kelilingan itu sangat heran ada orang mau memborong barang-barangnya yang rombeng itu, padahal nilainya tidak lebih dari lima tahil perak. Sudah tentu ia kegirangan setengah mati, bagai orang putus lotre. Tanpa tahan harga lagi ia terus lepaskan kepada Tik Hun.

Sesudah memborong milik tabib kelilingan itu, lalu Tik Hun kembali ke taman bobrok itu, disitulah ia ganti pakaian, ia menyaru sebagai tabib. Lalu ia tumbuk sedikit rumput obat dan airnya ia gunakan untuk poles mukanya sendiri, malaha ia sengaja tambal sepotong kojok dimata kiri sendiri hingga muka aslinya susah dikenali lagi. Habis itu, segera ia menuju ke rumah keluarga Ban.

Didepan gedung keluarga Ban itu ia sengaja bunyikan kecernya sekeras mungkin, sesudah dekat pintu ia terus berteriak-teriak malah: “Tabib sakti, spesial mengobati segala macam penyakit aneh, segala jenis keracunan, baik disengat kelabang maupun dipagut ular, tanggung ces-pleng, sekali minum obatku, seketika sembuh!”.

Begitulah sesudah ia berteriak-teriak beberapa kali, lantas tertampaklah dari dalam berlari keluar dengan buru-buru, setelah dekat orang itu lantas memanggilnya: “He, Sinshe, kemarilah sini”.

Tik Hun kenal orang itu adalah muridnya Ban Cin San yang bernama Go Him, yaitu orang yang dahulu telah menabas putus jarinya itu.

Tapi kini Tik Hun dalam penyamaran, muka aslinya sudah berobah 180 derajat, dengan sendirinya Go Him tidak kenal dia lagi.

Pelahan-lahan Tik Hun mendekati Go Him, karena kuatir suaranya dikenal orang, ia sengaja menekuk suara dan berkata: “Ada apakah Tuan? Apakah engkau menderita penyakit aneh, misalnya bisul jahat atau abuh bengkak yang tak dikenal namanya?”

“Hus, apakah kau kira aku ini mirip seorang penderita sakit?” Semprot Go Him, “He, aku ingin tanya padamu, kalau disengat ketungging, apakah kau dapat menyembuhkan?”

“Ha-ha, mengapa tidak bisa?” sahut Tik Hun sengaja bergelak tawa. “Sedangkan ular-ular berbisa seperti Jik-lian-coa (ular gelang rantai), Kim-kah-tay (ular bergelang kaki), Bak-kia-coa (ular kaca-mata, kobra) dan lain-lain ular berbisa paling jahat juga ces-pleng bila makan obatku, apalagi cuma penyakit sepele kena disengat ketungging, he-he, itulah penyakit tak berarti”.

“Ah, jangan kau omong besar dahulu”, ujar Go Him. “Hendaklah engkau ketahui bahwa ketungging itu bukan sembarangan ketungging, sedangkan tabib terkemuka di kota Heng-ciu juga tak berdaya menyembuhkannya, masakah kau sanggup mengobati?”

“Ha, masakah ada ketungging selihay itu?” demikian Tik Hun pura-pura mengkerut kening. “Padahal ketungging didunia ini paling lihay cuma sebangsa Hwe-kat (ketungging kelabu), Kim-ci-kat (ketungging mata uang emas), Moa-tahu-kat (ketungging kepala burik), Ang-bwe-kat (ketungging ekor merah), Pek-kah-kat (ketungging kaki putih) dan……………………….” Begitulah ia sengaja mencerocos

dengan aneka macam-macam nama-nama ketungging sampai berpuluh-puluh jenis banyaknya. Habis itu baru ia berkata pula: “Setiap jenis ketungging itu memang berbeda-beda racunnya, cara pengobatannya juga berlainan, maka biarpun namanya saja tabib pandai, jikalau cuma nama kosong saja sudah tentu takkan becus menyembuhkan luka disengat ketungging”.

Mendengar sekaligus tabib kelilingan itu mencerocos berpuluh nama jenis ketungging, mau tak mau Go Him merasa kagum dan tertarik, segera katanya: “Jika begitu, silakan Sinshe masuk ke dalam untuk mengobati suhengku, Jikalau dapat menyembuhkan, tentu suhuku akan memberi hadiah besar”.

Tik Hun mengangguk dan ikut masuk ke dalam gedung itu. Begitu melangkah masuk, seketika Tik Hun teringat kepada kejadian dulu, dimana ia dan sumoay mengikut sang suhu menghadiri perajaan ulang tahun sang Supek, tatkala itu ia masih seorang pemuda desa yang hijau, segala apa belum pernah dilihatnya dan semuanya serba baru baginya, maka sepanjang jalan ia asyik bicara dengan Sumoay tentang pemandangan yang mereka lihat itu. Kini berkunjung kembali kegedung yang sama, namun suasananya sudah berbeda.

Ia ikut Go Him masuk keruangan dalam, setelah menyusur dua tempat Cimche, akhirnya sampai dibawah sebuah loteng. Segera Go Him menengadah keatas dan berseru: “Samsuso, ini adalah seorang tabib kelilingan, katanya mampu mengobati segala penyakit kena disengat ketungging, apakah perlu aku mengundang tabib ini untuk periksa penyakit Suko?”

Lalu terdengar suara berkeriut, jendela loteng dibuka orang, tertampak Jik Hong melongok keluar dan berkata: “Baiklah, terima kasih Go-sute, malahan hari ini Suko-mu tambah kesakitan, lekas undang Sinshe naik ke sini”.

“Baiklah Suso”, sahut Go Him. Lalu ia berpaling kepada Tik Hun: “Silakan, Sinshe”. Ia menyilakan sang “Sinshe” naik ke loteng, tapi ia sendiri tidak ikut mengantar.

Maka Jik Hong berseru lagi: “Go-sute, silakan kaupun ikut kemari membantu”. Go Him mengiakan, maka iapun ikut naik keatas loteng.

Setiba diruangan loteng, Tik Hun melihat ditengah situ didekat jendela tertaruh sebuah meja tulis yang besar dengan penuh segala peralatannya dan banyak kitab-kitab pula, diatas meja terdapat pula sehelai baju anak kecil yang belum selesai dijahit.

Sementara itu tampak Jik Hong telah memapak keluar dari kamar sana, mukanya tidak berbedak dan bergincu, tapi tidak mengurangi cantiknya, hanya tampak agak kurus dan pucat sedikit, mungkin terlalu letih dan kurang tidur karena mesti merawat sang suami.

Tik Hun hanya memandang sekejap saja kepada sang Sumoay itu lalu tidak berani memandang lagi sebab kuatir dikenali. Kemudian ia ikut masuk kedalam kamar, disitu kelihatan ada sebuah ranjang kayu yang besar, diatasnya merebah seseorang dengan menghadap kedalam sana sambil tiada hentinya merintih-rintih. Itulah dia Ban Ka.

Dan ditepi ranjang itu seorang dara cilik berduduk diatas dingklik cilik kecil sedang memijat pelahan-lahan kaki sang ayah. Tapi demi melihat wajah Tik Hun yang kotor dan aneh itu, ia menjerit takut dan mengumpet ke belakang sang ibu.

Kemudian Go Him berkata: “Suko-ku ini kena disengat ketungging berbisa, racunnya masih belum hilang, harap Sinshe suka memeriksa dan kasih obat bila perlu”.

Tik Hun mengiakan. Kalau diluar tadi ia bisa mencerocos bagai air bah membanjir untuk bicara dengan Go Him, adalah sekarang sesudah melihat Jik Hong, seketika hatinya berdebar-debar dan mulut serasa terkancing, untuk bicarapun rasanya susah.

Tapi iapun mendekati ranjang dan tepuk pelahan dipundak Ban Ka. Pe-lahan-lahan Ban Ka membalik tubuh, ketika ia membuka mata dan melihat macam Tik Hun yang luar biasa itu, mau tak mau ia terkesiap juga.

Maka terdengar Jik Hong mendahului berkata: “Samko, ini adalah Sinshe yang diundang oleh Go Sute, katanya…………..katanya  ia  pandai  mengobati  segala  macam racun serangga dan ular, boleh jadi dia ada obat mujarab yang dapat menyembuhkan lukamu”. Nyata nadanya juga tidak menaruh kepercayaan bahwa tabib gelandangan seperti itu mampu mengobati penyakit sang suami.

Tapi Tik Hun tidak bicara, ia periksa punggung tangan Ban Ka yang abuh itu. Ia melihat bagian tangan itu hitam hangus mengerikan.

“Ini adalah sengatan ketungging berbisa keluaran Wan-leng di barat Ouw-lam, di Ouw-pak tiada terdapat ketungging sejenis itu”. kata Tik Hun kemudian.

“He, ia betul, memang betul disengat oleh ketungging di Wan-leng sana”. seru Go Him dan Jik Hong berbareng.

“Sesudah Sinshe dapat mengetahui asal-usul ketungging yang menyengat itu, tentu Sinshe dapat mengobatinya?” tanya Jik Hong pula dengan penuh harapan.

Tik Hun sengaja menghitung dengan jari, lalu katanya pula: “Ehm, ketungging itu menyengatnya diwaktu malam, kalau tidak salah, ehm, sampai sekarang sudah lewat tujuh hari tujuh malam lamanya”.

Keruan Go Him saling pandang dengan Jik Hong, habis itu mereka berseru berbareng lagi: “Betul, betul, sungguh dugaan Sinshe sangat tepat, memang pada malam hari kena disengat oleh ketungging dan sampai sekarang sudah tujuh hari tujuh malam. Maka harap Sinshe lekas tolong memberi obat”.

Sudah tentu Tik Hun bukan dewa yang bisa meramalkan kejadian yang sudah lalu dan dapat menduga apa yang belum datang. Soalnya ia sendiri yang menyaksikan Ban Ka disengat oleh ketunggingnya Gian Tat-peng, dengan sendirinya ia dapat mengatakan dengan jitu.

Begitulah maka ia menjadi senang dan kasihan pula melihat kelakuan Jik Hong dan Go Him yang kejut-kejut girang itu. Maka iapun sengaja jual mahal, segera katanya pula: “Apakah tuan ini telah menggecek mati ketungging itu dengan punggung tangannya? Kalau tidak berbuat demikian sebenarnya masih dapat tertolong, tapi kini ketungging itu dibunuh diatas punggung tangan, seketika racunnya lantas tersebar semua kedalam luka, untuk menolongnya sungguh maha sulit sekarang”.

“Memang jelas sekali uraian Sinshe, tapi apapun juga mohon Sinshe sudilah menolong jiwanya”, pinta Jik Hong dengan kuatir dan gopoh.

Kedatangan Tik Hun ke Heng-ciu ini sebenarnya ingin menyaksikan sendiri cara bagaimana Ban Ka menderita dan merintih-rintih mendekati ajalnya, yaitu untuk melampiaskan rasa dendamnya selama ini, maka sedikitpun tiada pikiran padanya untuk menolong jiwa musuh besarnya itu.

Namun sejak semalam didengarnya doa restu Jik Hong yang ternyata masih tidak melupakan dirinya, bahkan memohon kepada Tuhan agar memberkati selamat bahagia bagi dirinya, semoga lekas beristri dan beranak, malahan mengatakan bahwa dirinya yang telah meninggalkan Sang Sumoay itu, dari ucapan terakhir ini agaknya Sumoay masih yakin bahwa dia benar-benar pada malam itu hendak kabur bersama gundiknya Ban Cin-san, yaitu si Mirah, oleh sebab itulah maka Sumoay menyesal dan putus asa lalu menikah pada Ban Ka.

Diwaktu kecilnya Tik Hun sangat penurut kepada segala kehendak Jik Hong, tidak pernah ia membangkang atau membantah apa yang dikatakan sang Sumoay. Maka kini demi mendengar permohonan Jik Hong yang penuh kuatir itu, hati Tik Hun menjadi lemas, segera ia bermaksud mengeluarkan obat penawar yang diperolehnya dari Gian Tat-peng itu.

Tapi mendadak ia mendapat pikiran lain: “Si keparat Ban Ka ini telah membuat aku menderita dan merana selama ini, dia merebut pula Sumoayku, kalau aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri sebenarnya sudah dapat dikatakan aku cukup murah hati, mana boleh sekarang aku menolong jiwanya pula?”.

Karena pikiran itu ia segera menggeleng kepala dan menjawab: “Bukanlah aku tidak mau menolongnya, tapi sesungguhnya dia sudah terlalu mendalam keracunan, pula sudah tertunda sekian hari, racunnya sudah masuk otak, untuk menolongnya sudah sangat susah”.

Tiba-tiba Jik Hong meneteskan air mata, ia tarik si dara cilik tadi dan berkata padanya: “Kong-sim-jay mestikaku, lekaslah kau menjura kepada paman Sinshe ini, mohon beliau sukalah menolong jiwa ayahmu”.

“Jang………………jangan menjura apa segala……………….,” cepat Tik Hun menggojang-gojang tangannya.

Tapi anak itu memang sangat penurut, rupanya tahu juga ayahnya sakit sangat payah, maka terus saja ia berlutut dan menyembah beberapa kali.

Kelima jari kanan Tik Hun sudah terpapas kutung oleh Go Him dahulu dan sejak tadi ia masukkan saku, maka ia hanya gunakan tangan kiri untuk membangunkan anak dara itu. Waktu menarik bangun bocah itu, tiba-tiba dilihatnya dilehernya memakai sebuah kalung dengan mainan yang berukir empat huruf “Tik-jong-siang-bo‟.

Melihat itu, Tik Hun menjadi tertegun, teringat olehnya waktu dulu waktu dia pingsan di dalam gudang kayu rumah keluarga Ban ini, ketika ia sadar kembali, ia dapatkan dirinya berada di dalam suatu sampan dan terombang-ambing di tengah sungai Tiang-kang, disapingnya terdapat beberapa tahil perak dan sedikit perhiasan, diantaranya juga terdapat sebuah mainan yang bertuliskan empat huruf seperti itu. Ia menjadi heran, jangan-jangan……. jangan-jangan………….

Maka ia tidak berani memandang lagi, pikiran kusut akhirnya jernih kembali, terbayang pula keadaan waktu dahulu itu. “Ya,….ketika aku jatuh pingsan digudang kayu itu, selain Jik-

Sumoay yang menolong aku, terang tiada orang lain lagi. Dahulu aku mencurigai dia sengaja hendak membunuh aku, tapi semalam ia berdoa…….berdoa kepada Tuhan, ia telah mengutarakan isi

hatinya terhadap diriku. Dan kalau dia begitu mencinta aku, waktu dulu itu sudah tentu tidak mungkin bermaksud membunuh aku. Masakah aku ditakdirkan bahwa sesudah mengalami derita sengsara selama ini, lalu aku akan dipersatukan lagi dengan Sumoay seperti sekarang ini”.

Teringat kemungkinan akan rujuk kembali dengan sang Sumoay tanpa merasa hati Tik Hun berdebar-debar pula, ketika ia melirik Jik Hong, dilihatnya wajahnya penuh merasa kuatir, dengan penuh perhatian Sumoay itu sedang memandangi Ban Ka yang menggeletak diranjang itu, sorot matanya mengunyuk rasa cinta kasih yang tak terhingga.

Melihat sinar mata sang Sumoay itu, seketika hati Tik Hun mencelus lagi. Kembali terbayang lagi kejadian dahulu yang masih diingatnya dengan jelas. Hari itu ia bertempur melawan Ban-bun-pat-tecu, ia dikeroyok dan dihajar mereka hingga matang biru dan hidung bocor. Kemudian Sumoay telah menyahitkan bajunya yang terobek dalam perkelahian itu, sorot mata sang Sumoay pada saat mendampinginya itulah juga penuh rasa kasih sayang seperti sekarang sang Sumoay itu memandangi Ban Ka. Maka kini, teranglah sorot mata yang membahagiakan setiap lelaki itu oleh sang Sumoay telah diberikan kepada suaminya dan tiada mungkin ditujukan kepadanya lagi.

“Pabila aku tidak memberi obat penawar padanya, siapakah yang dapat menyalahkan aku? Dan bila nanti Ban Ka sudah mampus, dimalam hari diam-diam aku datang kesini untuk membawa kabur Sumoay, siapakah yang dapat merintangi aku? Dengan begitu aku dapat berkumpul pula dengan Sumoay sebagai suami isteri selama hidup. Tentang anak dara ini, ehm, biarlah akan kubawa serta dia………………Tetapi, ai, tak bisa, tak bisa!

Sumoay sudah biasa menjadi nyonya muda dirumah keluarga Ban yang kaya ini, hidupnya senang serba cukup, masakah dia mau ikut pergi bersama aku untuk meluku sawah dan mengangon kerbau lagi? Apalagi wajahku jelek begini, tidak banyak “makan‟ sekolah, lagi tanganku juga cacat, masakah aku sesuai menjadi jodohnya? Dan apakah dia sudi ikut kabur bersama aku?”

Begitulah demi teringat dirinya sendiri yang serba kurang dan serba rendah itu, Tik Hun menjadi malu diri dan kecil hati, ia menunduk termangu-mangu.

Sudah tentu Jik Hong tidak tahu bahwa pada saat sesingkat itu pikiran sang “Sinshe‟ sedang melayang-layang sejauh itu. Maka dengan terkesima iapun memandangi Sinshe itu dengan harapan akan terdengar ucapan menggirangkan dari mulutnya bahwa suaminya dapat tertolong.

Sementara itu Ban Ka masih terus merintih-rintih dan sesambatan, racun ketungging itu meresap sampai diruas tulang ketiaknya, keruan rasanya menjadi seperti lengannya itu terkutung sakitnya.

Dan sesudah menunggu agak lama, sang Sinshe masih diam saja, Jik Hong tambah kuatir, kembali ia memohon pula: “Sinshe, tolong………… tolonglah engkau mencoba saja, asal……. asal dapat mengurangi sedikit penderitaannya juga………….juga mendingan baginya, andaikan… andaikan…………, akhirnya dia…………. Ya, juga tak bisa menyalahkan pada Sinshe”.

Maksudnya akan mengatakan bila jiwa Ban Ka itu toh tak bisa diselamatkan lagi, asal penderitaannya dapat dikurangi, biarpun akhirnya mati juga tidak terlalu tersiksa lagi.

Maka Tik Hun tersadar dari lamunannya tadi, seketika itu hatinya serasa hampa, segala harapannya musna sirna, ia benar-benar ingin mati pada saat itu juga. Dengan segenap hati ia mencintai sang Sumoay, tapi Sumoay itu telah dipersunting oleh musuhnya, bahkan kini orang yang dicintai itu memohon dengan sangat agar dia menolong musuh itu. Apa gunanya lagi menjadi manusia seperti itu? “Aku lebih suka menjadi Ban Ka yang menderita dan tersiksa seperti sekarang ini, tapi didampingi Sumoay yang memandang padaku dengan penuh kasih sayang, biarpun akan mati dalam beberapa hari lagi juga tidak menjadi soal‟. Demikian pikirnya.

Begitulah tanpa merasa ia menghela napas dan mengeluarkan obat penawar yang diperolehnya dari Gian Tat-peng itu, ia tuang sedikit obat bubuk warna hitam dan dibubuhkan dipunggung tangan Ban Ka.

“He, betul, memang betul itulah obat penawarnya, wah, ini……….. ini berarti akan tertolonglah!” Demikian mendadak Go Him berseru.

Tik Hun menjadi heran mendengar seruan yang bernada aneh itu. Bahwasanya sang Suheng “berarti akan tertolong‟ seharusnya ia ikut bergirang, akan tetapi nadanya itu, justeru merasa sangat kecewa malah, bahkan merasa menyesal dan dongkol pula.

Tik Hun coba melirik ke arah Go Him, ia melihat sorot mata pemuda itu menyinarkan rasa benci dan keji. Keruan Tik Hun bertambah heran. Tapi demi teringat bahwa diantara kedelapan anak murid Ban Cin-san itu tiada seorangpun yang baik, sedangkan Ban Cin-san sendiri saling bunuh membunuh dengan guru dan saudara seperguruannya, maka tidaklah heran bila diantara anak-anak muridnya itu juga saling cakar-cakaran. Dan kalau begitu, tentunya hubungan antara Ban Ka dan Go Him tidak baik, tapi mengapa ia malah mengundang aku untuk mengobati Suhengnya itu?

Dalam pada itu tangan Ban Ka yang abuh itu, begitu dibubuhi obat hitam tadi, hanya sebentar saja dari luka itu lantas mengeluarkan air hitam. Lambat-laun sakit Ban Ka juga berkurang, dengan suara lemah ia dapat berkata: “Terima kasih Sinshe, obat penawar ini benar-benar sangat bagus”.

Sungguh girang Jik Hong tidak kepalang, cepat ia membawakan waktulong untuk menadah darah hitam yang menetes terus dari luka sang suami itu sambil tiada henti-hentinya menyampaikan terima kasih kepada Sinshe sakti alias Tik Hun.

“Suso, sekali ini Sinshe telah berjasa besar, bukan?” tiba-tiba Go Him berkata.

“Benar, aku harus menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Go Sute”, sahut Jik Hong.

“Hanya omong di mulut saja percuma, tapi harus dengan kenyataan”, ujar Go Him dengan tersenyum.

Jik Hong tidak gubris padanya lagi, tapi berpaling dan berkata kepada Tik Hun: “Numpang tanya siapakah nama Sinshe yang mulia? Kami harus memberi penghargaan sepantasnya kepada Sinshe”.

Tapi Tik Hun goyang-goyang kepala, sahutnya: “Tidaklah perlu penghargaan apa segala. Tapi racun ketungging ini harus berturut-turut dibubuhi obat ini sepuluh kali baru bisa sembuh sama sekali” dan dengan perasaan hampa dan pilu tak terucapkan, akhirnya ia berkata pula sambil mengangsurkan botol obat yang diperolehnya dari Gian Tat-peng itu: “Ini, terimalah semua obat penawar ini”.

Sebaliknya Jik Hong menjadi ragu-ragu, sebab sama sekali tak terduga olehnya bahwa urusan bisa terjadi sebegitu gampang, katanya kemudian: “Biarlah kami membeli saja kepada Sinshe, entah berapa harganya?”

“Tidak, tidak perlu beli, tapi kuberikan cuma-cuma padamu”, kata Tik Hun.

Sungguh girang Jik Hong tak terhingga, cepat ia terima botol obat itu, sambil memberi hormat, katanya: “Sinshe begini berbudi dan murah hati pula, betapapun kami harus menyuguhi engkau barang secawan arak. Go-sute, silakan engkau menemani Sinshe keruangan tamu untuk berduduk sebentar.”

“Sudahlah, tidak perlu duduk lagi, aku akan mohon diri saja”, ujar Tik Hun.

“Tidak, jangan”, seru Jik Hong, “Budi pertolongan Sinshe atas jiwa suamiku ini kami tidak dapat mendapat membalas apa-apa, maka hanya secawan arak saja harap engkau sudi menerima sekadar sebagai penghormatan kami. Sinshe, betapapun engkau janganlah pergi dahulu!.”

“Betapapun, engkau jangan pergi dahulu!” kata-kata ini sekali menyusup kedalam telingan Tik Hun, betapapun keras hatinya juga lantas lemas seketika. Pikirnya: “Sakit hatiku ini sudah terang tak terbalas lagi, sesudah aku menguburkan Ting-toako, untuk seterusnya aku juga tidak mungkin kembali ke kota Heng-ciu lagi, selama hidup ini, aku takkan bertemu pula dengan Sumoay. Dan sekarang ia hendak menyuguhi aku secawan arak, ya, dengan demikian boleh juga aku akan dapat memandangnya lebih lama sedikit”.

Oleh karena itu, iapun memanggut sebagai tanda menerima undangan Jik Hong.

Tidak lama kemudian, meja perjamuan sudah dipersiapkan, yaitu diruangan tamu di bawah loteng. Tik Hun diminta duduk ditempat yang paling terhormat, Go Him mengiringi disebelahnya. Karena merasa sangat berterima kasih kepada Sinshe yang berbudi itu, maka Jik Hong sendiri telah melayaninya minum arak dan menyuguhkan daharan.

Agaknya Ban Cin-san dan anak muridnya yang lain waktu itu tiada dirumah, maka tiada orang lain lagi yang ikut hadir dalam perjamuan itu.

Dengan penuh hormat Jik Hong menyuguhkan tiga cawan arak kepada Tik Hun dan diminum habis oleh “Sinshe‟ itu. Tiba-tiba perasaannya pilu hingga matanya memberambang, ia tahu bila tinggal lebih lama disitu mungkin air matanya bisa lantas menetes, hal mana tentu akan mengakibatkan rahasianya terbongkar.

Maka cepat ia bangkit dan berkata: “Sudahlah cukup, terima kasih atas suguhanmu, sekarang aku permisi untuk pergi dan selanjutnya takkan datang lagi.”

Jik Hong agak heran oleh ucapan tabib kelilingan yang tidak genah itu. Tapi karena potongan sang tabib memang agak lucu, maka iapun tidak ambil perhatian, segera dijawabnya: “Ai, mengapa Sinshe terburu-buru saya? Atas budi pertolonganmu itu, kami tidak dapat membalas apa-apa, di sini ada seratus tahil perak, harap Sinshe suka terima sekedar sangu dalam perjalanan.

” sembari berkata iapun mengangsurkan sebungkus uang perak dengan penuh hormat.

Mendadak Tik Hun menengadah dan terbahak-bahak tawa, katanya: “Akulah yang telah menolong dia, akulah yang telah menghidupkan dia! Sungguh lucu, akulah yang telah menghidupkan dia! Apakah didunia ini ada orang yang lebih goblok dari diriku?”

Dan meski dia bergelak tertawa dengan menengadah, tapi tanpa merasa air matanya juga berlinang-linang.

Keruan Jik Hong dan Go Him saling pandang dengan bingung melihat kelakuan “Sinshe‟ yang setengah sinting itu.

Sebaliknya si dara cilik Khong-sim-jay lantas berteriak-teriak: “Heee, Sinshe menangis, Sinshe menangis!”.

Tik Hun menjadi terkejut, ia tahu telah dicurigai orang, ia kuatir rahasianya akan ketahuan, maka ia tidak berani bicara lagi dengan Jik Hong, hanya dalam hati ia berkata: “Sejak ini aku takkan bertemu lagi dengan kau”.

Diam-diam ia mengeluarkan kitab kuna yang didalamnya terselip pola sulaman sepatu yang diketemukan di dalam gua dengan Wan-leng waktu hari, ketika orang tidak memperhatikan, pelahan-lahan ia taruh kitab itu diatas kursi, lalu tanpa memandang lagi kepada Jik Hong ia lantas mohon diri dan tinggal pergi.

“Go-sute, harap engkau hantarkan Sinshe.” Kata Jik Hong.

Go Him mengiakan, lalu mengikut dibelakang Tik Hun.

Sambil masih memegangi bungkusan uang perak tadi, hati Jik Hong berdebar-debar tak keruan. Pikirnya: “Siapakah sebenarnya Sinshe itu tadi? Mengapa suara tertawanya mirip benar dengan orang itu? Ai, entah mengapa, meski jiwa Ban-long dalam keadaan bahaya, tapi pikiranku selalu menyeleweng dan memikirkan dia saja, ai, dia……dia entah……”

Begitulah ia menjadi termenung-menung sendiri, ia taruh bungkusan uang perak itu di atas meja, dengan tumpang dagu ia berduduk pula di atas kursi.

Kebetulan kursi yang didudukinya sekarang adalah kursi yang bekas diduduki Tik Hun tadi. Ketika mendadak merasa menduduki sesuatu benda, Jik Hong bangkit lagi dan memeriksanya, maka lantas tertampaklah sejilid kitab kuna yang sudah kekuning-kuningan.

Sekonyong-konyong Jik Hong berseru tertahan sekali, cepat ia jemput kitab itu dan membalik-balik halamannya, segera terjatuh keluar dari kitab itu sehelai pola sepatu, ia kenal itu adalah buah tangannya waktu masih tinggal dirumah dibarat Ouw-lam sana.

Ia ternganga sambil memegang kitab dan pola itu, kedua tangannya gemetar. Ketika ia membalik-balik lagi kitab itu, kembali diketemukannya sepasang kupu-kupu guntingan dari kertas, seketika terbayanglah waktu berduaan dengan Tik Hun duduk berjajar di dalam gua, dimana ia telah menggunting kupu-kupu kertas itu.

Tanpa terasa ia berseru tertahan pula, katanya didalam hati: “He, dari……… dari manakah kitab ini? Sia…..siapakah yang membawanya kesini? Jangan-jangan Sinshe itu tadi?”.

Melihat sikap ibunya agak aneh, si dara cilik Khong-sim-jay menjadi takut, berulang-ulang ia memanggil: “Mak, mak, ken…kenapakah kau?”

Jik Hong terkejut oleh seruan anaknya ini, tapi cepat ia masukkan kitab itu kedalam bajunya sambil berlari keluar rumah secepat terbang.

Sejak ia menjadi anak menantu keluarga Ban, hidupnya selalu lemah-lembut halus sopan, tidak pernah ia berlari kesetanan seperti itu. Keruan kaum hamba dan dayang keluarga Ban menjadi terheran-heran melihat nyonya muda mereka berlari cepat dengan Ginkang sekaligus dari ruangan dalam terus menyusur Cimche terus keluar rumah.

Waktu sampai dipelataran depan, kebetulan Jik Hong melihat Go Him telah masuk kembali, maka cepat ia tanya: “Dimanakah Sinshe itu?”

“Orang itu sangat aneh, tanpa bicara apa-apa ia sudah pergi”, sahut Go Him, “Suso, ada urusan apakah kau mencarinya lagi? Apakah keadaan Suko berubah buruk?”

“Tidak, tidak”, sahut Jik Hong sambil memburu keluar pintu, ia menengok kesana dan mengintai kesitu, tapi bayangan tabib kelilingan itu sudah tak tertampak lagi.

Jik Hong terlongong-longong sejenak diluar pintu, kembali ia mengeluarkan kitab kuna tadi, dan setiap kali melihat pola sepatu dan kupu-kupu kertas itu, seketika timbul pula pemandangan-pemandangan gembira ria dimasa mudanya. Bayangan-bayangan itu bagaikan air bah membanjir kedalam benaknya hingga tanpa merasa air matanya bercucuran.

Mendadak ia berubah pikiran: “Mengapa aku begitu bodoh? Bukankah barusan Ban-long ikut kong-kong dan lain-lain pergi ke Wan-leng untuk mencari Gian-susiok, boleh jadi tanpa sengaja mereka telah masuk kedalam gua dan disanalah kita ini telah diketemukan, lalu sekalian ada yang membawa pulang kitab ini. Memangnya Sinshe yang tidak terkenal itu ada hubungan apa dengan kitab ini?”.

Tapi lantas datang pikiran lain pula: “Ah, tidak, tidak, tidak! Masakah mungkin terjadi secara begitu kebetulan? Gua itu letaknya sangat rahasia, sekalipun ayahku juga tidak tahu, masakah Ban-long dan rombongannya dapat menemukannya?

Tujuan mereka adalah mencari Gian-supek, mana bisa mereka kesasar kedalam gua rahasia itu? Tadi waktu aku membersihkan meja kursi perjamuan, sudah terang keempat kursi itu aku melapnya hingga bersih, tidak mungkin ada sejilid kitab seperti ini. Dan kitab ini kalau bukan tabib itu yang membawanya, habis darimanakah datangnya?”

Begitulah dengan penuh curiga dan sangsi pelahan-lahan ia kembali ke kamarnya. Dilihatnya sehabis dibubuhi obat tadi, semangat Ban Ka sudah banyak lebih baik, sakitnya juga mulai hilang.

Sambil memegangi kitab itu, sebenarnya Jik Hong bermaksud menanya sang suami, tapi lantas terpikir olehnya: “Lebih baik aku jangan terburu-buru cari keterangan dulu, jangan-jangan tabib itu……tabib itu adalah……………..”

Dalam pada itu terdengar Ban Ka sedang bicara padanya: “Hong-moay, Sinshe itu benar-benar adalah tuan penolong jiwaku, kita harus memberi penghargaan setinggi-tingginya kepadanya”

“Ya, aku tadi telah menghadiahkan dia seratus tahil perak, tapi dia justru tidak mau terima meski kupaksa”, tutur Jik Hong, “Ai, benar-benar seorang kangouw yang aneh, seorang yang berbudi. Obat penawar itu…………………… he, dimanakah

botol obat itu tadi? Apakah kau simpan di dalam laci meja?”

Tadi waktu Jik Hong mau keluar untuk melayani “Shinshe” yang akan dijamunya itu, ia ingat betul botol obat itu ditaruhnya di atas meja di depan ranjang Ban Ka, tapi kini sudah hilang.

Maka Ban Ka telah menjawab: “Tidak, aku tidak menyimpannya, bukankah tadi kau taruh diatas meja?”

Tapi meski Jik Hong sudah mencari kian kemari diseluruh kamar itu, tetap botol obat itu tidak kelihatan. Keruan ia sangat gelisah dan cemas, pikirnya: “Jangan-jangan karena pikiranku tadi lagi bingung, maka obat itu kubawa serta sambil lari keluar dan jatuh? Tapi, ah, tidak bisa, aku ingat betul-betul botol obat itu kutaruh di atas meja, didekat mangkok obat itu”.

Ban Ka juga sangat gugup, katanya: “Le……lekas kau mencari lagi, masakah bisa hilang? Sungguh aneh. Tadi aku hanya terpulas sebentar dan masih ingat benar-benar botol obat itu tertaruh di atas meja.”

Mendengar itu Jik Hong bertambah kuatir, segera ia keluar kamar, ia coba tarik puterinya dan tanya padanya: “Khong-sim-jay, tadi waktu ibu keluar, adakah siapa-apa yang masuk ke kamar?”

“Ada, Go-sioksiok tadi datang, ketika melihat ayah tidur, ia lantas keluar lagi”, tutur si dara cilik.

Jik Hong menghela napas lega mendapat keterangan itu, lapat-lapat ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi Ban Ka sedang sakit, apapun yang terjadi tidak perlu dia ikut tahu hingga ikut menanggung kuatir. Maka katanya kepada Khong-sim-jay: “Anak baik, kau temani ayah di dalam kamar, ya, kalau ayah tanyakan ibu, bilanglah ibu lagi menyusul Sinshe untuk minta obat bagi ayah”.

Sidara cilik memanggut dan menyahut: “Ya, mak, kau lekas pulang, ja!”

Dan sesudah tenangkan diri, pelahan-lahan Jik Hong membuka laci meja Ban Ka, ia ambil sebilah belati dan diselipkan dipinggang dalam baju, kemudian ia turun ke bawah loteng. Pikirnya: “Keparat Go Him itu, bila bertemu aku ditempat sepi, selalu ia cengar-cengir padaku dengan maksud tidak baik. Tabib tadi itu adalah dia yang mengundang, jangan-jangan dia bersekongkol dengan tabib itu dan telah mengatur tipu muslihat keji apa-apa″.

Begitulah sambil memikir ia bertindak ketaman dibelakang rumah. Sampai diserambi saping, dilihatnya Go Him sedang termenung-menung memandangi ikan mas di empang sambil bersandar lankan.

“Go-sute”, segera Jik Hong menegur, “lagi berbuat apa engkau di sini seorang diri”.

Ketika berpaling dan melihat penegur itu adalah Jik Hong, seketika muka Go Him berseri-seri, sahutnya: “Kukira siapa, tak tahunya adalah Suso. Engkau mengapa tidak menjaga Suko di atas loteng, tapi masih punya waktu luang untuk jalan-jalan kesini?”

“Ai, aku merasa sangat kesal,” sahut Jik Hong sambil menghela napas, “Setiap hari selalu mendampingi orang sakit, dan semakin tangan Suko-mu kesakitan, perangainya juga bertambah kasar. Maka aku perlu keluar untuk jalan-jalan menghibur hati dan lara”.

Mendengar jawaban itu, sungguh girang Go Him melebihi orang dapat “buntut‟, dengan cengar-cengir segera ia membumbui: “Ya, memang, engkau memang perlu istirahat dan menghibur diri. Sebenarnya Suko juga keterlaluan, punya isteri cantik sebagai engkau masih kurang terima, tapi malah suka mengamuk saja, sungguh keterlaluan”.

Jik Hong mendekati orang dan bersandar juga di atas lankan untuk memandangi ikan mas yang lagi berenang kian kemari dengan bebas ditengah empang itu, lalu sahutnya dengan tertawa: “Ah, Suso-mu ini sudah tua, masakah masih dikatakan cantik apa segala, bukankah akan dibuat tertawa orang?”

“He, mana bisa, mana bisa”, cepat Go Him berkata, “Suso benar-benar sangat cantik. Diwaktu masih gadis engkau mempunyai kecantikan seorang gadis, sesudah menjadi Siaunaynay (nyonya muda) juga tetap mempunyai kecantikan sebagai Siaunaynay. Tanyakan saja diseluruh kota Heng-ciu ini, siapa orangnya yang tidak mengatakan bahwa bunga tercantik adalah tertanam dikeluarga Ban”.

Sampai disini mendadak Jik Hong memutar tubuh dan mengangsurkan tangannya sambil berkata: “Mana, serahkan sini”.

“Serahkan apa?”, tanya Go Him dengan tertawa.

“Obat penawar itu”, kata Jik Hong dengan muka membesi.

“Obat penawar apa? Entah, aku tidak tahu, apakah kau maksudkan obat penawar untuk luka Ban-suko itu?,” demikian Go Him berlaga pilon.

“Benar!”, sahut Jik Hong tegas. “Sudah terang kau yang mengambilnya”.

Go Him tertawa licik, sahutnya: “Tabib itu adalah aku yang mengundangkan, obat penawar adalah aku yang mengusahakan. Kini Ban-suko dibubuhi satu kali, paling tidak ia akan terhindar dari penderitaan untuk beberapa hari”.

“Tapi Sinshe itu bilang obat itu harus dibubuhkan berturut-urut sepuluh kali”, kata Jik Hong.

“Ya, aku sungguh menyesal, sungguh aku menyesal”, tiba-tiba Go Him goyang-goyang kepala.

“Menyesal tentang apa?”, tanya Jik Hong

“Semula aku menyangka tabib kelilingan yang dekil seperti itu masakah mempunyai kepandaian apa-apa, maka aku mau mengundang dia ke atas loteng, tujuanku sebenarnya adalah ingin mencari kesempatan untuk melihat Suso, siapa duga, eh, keparat itu benar-benar mempunyai obat mujarab untuk menyembuhkan racun disengat ketungging. Sudah tentu, sudah tentu, hal itu sangat bertentangan dengan maksud tujuanku”, demikian tutur Go Him.

Sungguh gusar Jik Hong tak terkatakan oleh cerita orang itu, tapi obat penawar yang dicarinya itu masih ditangan orang, ia harus bersabar untuk mendapatkan obatnya, habis itu baru akan membikin perhitungan dengan manusia rendah itu.

Maka dengan tertawa ia menjawab: “Habis kalau menurut kau, cara bagaimanakah kau mengharapkan balas jasa dari Sukomu agar engkau mau menyerahkan obat penawar itu?”

Tiba-tiba Go Him menghela napas, sahutnya: Sam-suko sendiri sudah menikmati kebahagiaan selama beberapa tahun ini, kalau sekarang dia harus mati juga pantas rasanya”.

Air muka Jik Hong berubah seketika, tapi sedapat mungkin ia menahan perasaannya, dengan menggigit bibir ia diam saja.

Maka Go Him berkata pula: “Waktu kau datang ke Heng-ciu untuk pertama kalinya, diantara kami berdelapan saudara seperguruan, siapakah orangnya yang tidak kesengsem padamu? Dan kami menjadi penasaran melihat sitolol Tik Hun itu siang malam senantiasa mendampingi engkau, maka kami beramai-ramai lantas berkomplot untuk menghajarnya hingga babak belur………………….”

“He, kiranya kalian menghajar Sukoku itu malahan adalah disebabkan diriku?” kata Jik Hong.

“Ya, memang”, sahut Go Him, “Dan untuk menghajarnya sudah tentu harus dicari alasan. Maka kami sengaja menuduh dia suka menonjolkan diri buat bertempur dengan bandit Lu Thong hingga membikin malu kami yang menjadi anak murid keluarga Ban yang berkepentingan. Padahal tujuan kami adalah demi dirimu. Suso! Habis, kau menambalkan bajunya, mengajak bicara padanya dengan mesra, tentu saja kami “minum cuka‟!”.

Diam-diam Jik Hong terkesiap oleh cerita itu, pikirnya: “Apa benar peristiwa itu adalah gara-gara diriku? Ai, Ban-long, mengapa selama ini kau tidak pernah mengatakan hal ini kepadaku?”.

Tapi ia masih pura-pura tidak paham dan berkata pula dengan tertawa: “Ai, Go-sute, engkau ini memang pintar berkelakar. Padahal waktu itu aku aku adalah seorang gadis desa, seorang nona yang ketolol-tololan, dandananku juga mentertawakan orang, apanya sih yang menarik?”

“Tidak, tidak”, ujar Go Him. “Orang cantik tulen justeru tidak perlu berdandan atau bersolek segala. Suso, bila bukan karena kesemsem padamu, tentu tidak sampai …………” berkata sampai di sini mendadak ia berhenti dan tidak meneruskan lagi.

“Apa lagi”, tanya Jik Hong

“Setelah kami dapat menahan kau dirumah keluarga Ban ini, untuk mana aku orang she Go juga tidak sedikit mengeluarkan tenaga,” kata Go Him pula, “akan tetapi, Suso, setiap kali kau bertemu muka dengan aku selalu bersikap dingin-dingin saja, tersenyum sekali saja padaku juga tidak pernah, coba, apakah hal itu tidak membikin hatiku menjadi panas”.

“Cis”, semprot Jik Hong dengan tertawa, “Aku tinggal dirumah keluarga Ban, lalu aku menikah pada Suko-mu, semuanya itu adalah aku sendiri yang sukarela, tenaga apa yang pernah kau korbankan dalam urusan itu? Toh waktu itu kau tidak ikut membujuk padaku apa segala, ai, kenapa kau sembarangan omong saya?”

“Meng…………….. mengapa aku tidak korbankan tenaga?” bantah Go Him, “Cuma saja engkau sendiri yang tidak tahu.”

Jik Hong tambah curiga, segera katanya dengan membujuk: “Sute yang baik, coba katakanlah sebenarnya kau ikut mengorbankan tenaga apa, tentu Susomu ini takkan melupakan jasamu itu?”

Go Him menggoyang-goyang kepala, katanya kemudian: “Urusan itu sudah lama lalu, buat apa diungkit-ungkit lagi? Andaikan kau mengetahui juga tiada gunanya”.

“Ya, sudahlah, jika kau tidak mau menerangkan, akupun tidak memaksa”, kata Jik Hong. “Nah, Go-sute, lekaslah serahkan obat penawar itu padaku, kita berada berduaan disini jangan-jangan akan dipergoki orang dan akan menimbulkan sangkaan jelek”.

“Kalau siang hari memang kuatir dipergoki orang, tapi kalau malam hari tentu tidak kuatir lagi”, ujar Go Him sambil tertawa.

“Apa katamu”, bentak Jik Hong tertahan dengan muka membeku sambil mundur setindak.

Tapi dengan menyengir Go Him berkata pula: “Jika kau ingin menyembuhkan penyakit Ban-suko, hal ini tidak sulit asalkan nanti tengah malam kau datang ke gudang kayu sana, aku akan menunggu engkau di sana, Jika kau mau menurut pada keinginanku itu, aku lantas memberikan kadar obat yang cukup untuk dibubuhkan satu kali diluka Ban-suko”.

“Anjing keparat, kau berani omong begitu, apa kau tidak takut dicincang oleh Suhumu?” damperat Jik Hong dengan gemas.

“Memangnya aku sudah siap untuk korbankan jiwaku ini, tegasnya aku sudah nekat,” sahut Go Him. “Padahal Ban Ka sibocah apek itu apanya sih yang dapat menangkan aku? Soalnya ia adalah putera Suhu sendiri, hanya itu saja. Padahal semua orang toh ikut keluarkan tenaga, mengapa mesti dia sendiri yang menikmati wanita cantik sebagai engkau ini?”

Jik Hong semakin curiga mendengar Go Him berulang-ulang mengatakan “mengeluarkan tenaga‟. Tapi karena Go Him lantas menghambur dengan kata-kata makian kotor, ia benar-benar tidak tahan lagi, maka katanya segera: “Kau mengaco-belo tak keruan, sebentar jika Kongkong pulang, biar akan kulaporkan padanya, lihat saja kalau dia tak membeset kulitmu”.

“Ha-ha, aku justeru ingin coba,” sahut Go Him dengan menyengek. “Aku akan tunggu disini, asal Suhu memanggil aku, segera aku menuang isi botol ini untuk umpan ikan di dalam empang. Tadi aku sudah tanya tabib itu tentang obat penawar ini, dia bilang, obat ini hanya tinggal sebotol, untuk membuatnya lagi sedikitnya akan makan waktu setahun atau dua tahun.”

Sambil berkata ia terus mengeluarkan botol porselen itu, ia tarik sumbat botol dan dijulurkan keatas empang, asal tangannya sedikit miring, seketika obat penawar didalam botol itu akan tertuang kedalam empang, dan itu berarti jiwa Ban Ka takkan tertolong pula.

Keruan Jik Hong menjadi kuatir, cepat serunya: “He, he! Jangan, jangan! Lekas kau simpan kembali obat itu, kita masih dapat berunding lagi”.

“Apa yang perlu dirundingkan lagi?”, ujar Go Him dengan tersenyum iblis. “Jika kau ingin menolong jiwa suamimu, maka kau harus menurut apa yang kukatakan.”

“Ya, pabila memang betul dahulu kau menaruh hati padaku dan pernah mengeluarkan tenaga demi diriku, maka……………. mungkin aku akan…………. Tapi, ah, tidak bisa jadi, aku tidak percaya”, demikian Jik Hong sengaja berkata.

“He, hal itu sungguh-sungguh seribu kali sungguh-sungguh, sedikitpun bukan omong kosong,” cepat Go Him menegaskan. “Malahan itu adalah tipu-akalnya Samsute, dia suruh Ciu Kin dan Bok Heng menyamar sebagai Jay-hoa-cat untuk memancing sitolol Tik Hun kekamarnya si Mirah. Dan orang yang menaruhkan emas-intan dibawah ranjang Tik Hun itu tak lain tak bukan adalah aku Go Him sendiri. Coba, Suso, Jika kami tidak menggunakan akal itu, masakah kami dapat menahan engkau untuk tinggal dirumah keluarga Ban ini?”

Seketika Jik Hong merasa kepalanya pening dan pandangannya menjadi gelap. Ucapan Go Him itu mirip sebilah belati yang menikam ulu-hatinya. Tanpa merasa ia menjerit tertahan: “Oh, Thian! Jadi aku telah keliru mendakwa dia, aku salah menuduh dia yang sebenarnya tidak berdosa!”.

Sesaat itu Jik Hong agak sempoyongan, untung ia masih sempat memegangi lankan.

Sebaliknya Go Him sangat senang, katanya pula dengan suara lirih: “Suso, apa yang kukatakan ini sungguh-sungguh, lho! Dan jangan kau katakan kepada orang lain. Kami berdelapan saudara sudah bersumpah bahwa siapapun tidak boleh membocorkan rahasia ini kepada orang lain”.

Mendadak Jik Hong menjerit sekali, ia terus berlari pergi, ia mendorong pintu taman belakang terus berlari keluar dengan cepat.

Dan Go Him masih berseru padanya: “He, kemanakah kau, Suso? Tengah malam nanti jangan lupa, ya!”.

Setelah keluar dari pintu belakang, Jik Hong terus menuju ketempat yang sepi dari orang, sesudah menyusur beberapa kebun sayur, akhirnya dilihatnya di arah barat sana ada sebuah Su-theng (rumah berhala pemujaan leluhur) kecil yang tak terawat, pintu rumah berhala itu setengah tertutup, segera ia mendorong pintu itu dan masuk kesitu.

Maksud Jik Hong adalah ingin mencari suatu tempat yang sunyi agar dia dapat memikirkan secara tenang bahwasanya: “Tik Hun difitnah orang atau bukan? Kitab kuna bekas miliknya itu darimanakah datangnya? Cara bagaimana menghadapi Go Him yang bermaksud jahat dengan memperalat obat penawar penyambung nyawa suaminya itu? Dan bagaimana sebenarnya dengan diri Ban-long sang suami?

Begitulah Jik Hong bersandar disebatang pohon waru yang besar, sampai lama dan lama sekali tetap ia tak dapat menarik kesimpulan dan mengambil keputusan.

Sekonyong-konyong terdengar suara kelotak-kelotek orang berjalan dari dalam Su-theng itu tahu-tahu muncul seseorang. Itulah seorang wanita setengah umur dengan rambutnya yang panjang kusut terurai tak keruan, bajunya rombeng dan dekil sekali.


Jilid 10

Melihat Jik Hong, wanita dekil itu tampak agak takut-takut, dengan menyisir pelahan-lahan ia menyelinap masuk kedalam rumah berhala itu. Dan baru ia melangkah masuk keruangan dalam, kembali ia menoleh memandang sekejap lagi pada Jik Hong, rupanya sekali ini ia dapat mengenali siapa Jik Hong, tanpa terasa ia menjerit kaget.

Waktu Jik Hong memandangnya hingga sinar mata kedua orang kebentrok, tanpa kuasa lagi wanita itu mendadak berlutut serta memohon padanya: “Siau-naynay (nyonya muda), ha……..harap jangan kau ka……..katakan aku berada di……disini.”

Keruan Jik Hong heran sebab ia merasa tidak kenal wanita dekil itu, ia tanya: “Siapakah kau? Untuk apa kau berada disini?”

“O, ti……tidak apa-apa, aku ……aku adalah seorang pengemis,” sahut wanita itu dengan gelagapan, habis itu, ia lantas bangkit dan masuk keruangan dalam dengan langkah cepat.

Pikiran Jik Hong tergerak oleh tingkah-laku wanita kotor yang tidak dikenal itu, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres atas wanita itu. Tapi lantas berpikir pula olehnya: “Ah, aku sendiri sudah cukup kesal menghadapi macam-macam urusan, buat apa ikut campur urusan orang lain lagi?”

Lalu ia membatin. “Keparat Go Him itu mengatakan cara mereka memfitnah Tik-suko, hal itu pastilah betul dan bukan omong ksosong, lantas kitab itu ……kitab itu ……..”

Berpikir sampai disini tanpa merasa ia pegang dahan pohon waru disapingnya dan digojangkan pelahan hingga daun waru kering jatuh berserakan.

Pada saat itulah ia dengar suara orang berlari, kiranya siwanita dekil tadi telah merat melalui pintu belakang Su-theng itu.

Jik Hong semakin heran, pikirnya: “Entah mengapa wanita ini demikian takutnya padaku ………Ha, teringatlah aku, dia…….dia adalah Tho Ang, si Mirah ……..”

Demi mengenali si Mirah itu, dengan cepat Jik Hong lantas memburu kepintu belakang sana, segera ia cabut belatinya sambil membentak: “Tho Ang, kau berbuat apa secara sembunyi-sembunyi disini?”

Memang wanita dekil itu betul adalah Tho Ang alias si Mirah, itu gundiknya Ban Cin-san dahulu yang katanya bergendakan dengan Tik Hun dan tertangkap basah itu.

Ketika namanya dipanggil Jik Hong, memangnya si Mirah sudah gugup, apalagi melihat nyonya muda itu menghunus belati lagi, keruan ia ketakutan setengah mati, dengan gemetar ia berlutut pula sambil memohon: “Siau…….Siau-naynay, am…….. ampunilah aku!”

Jik Hong sangat heran oleh kelakuan wanita itu. Sejak dia tinggal didalam keluarga Ban, ia hanya bertemu beberapa kali dengan Tho Ang, tidak lama kemudian lantas tidak pernah bertemu pula. Apalagi setiap kali bila teringat kejadian Tik Hun hendak kabur bersama si Mirah itu, rasa hatinya menjadi seperti di-sayat-sayat, lantaran itulah maka menghilangnya Tho Ang itupun tidak pernah digubrisnya. Siapa duga wanita bejat itu ternyata sembunyi didalam Su-theng atau rumah berhala bobrok ini.

Su-theng ini jaraknya tidak jauh dari rumah keluarga Ban, tapi sejak Jik Hong menjadi nyonya mantu, penghidupan yang dia tuntut sudah berbeda daripada waktu perawan hidup dikampung halamannya sana, ia tidak pernah kelujuran diluaran lagi, walaupun sering juga keadaan Su-theng bobrok itu dilihat olehnya dari jauh, tapi belum pernah ia memasukinya.

Keadaan Tho Ang sekarang juga tak keruan, rambutnya kusut masai, mukanya kurus pucat, hanya beberapa tahun tidak berjumpa tampaknya malah sudah lebih tua beberapa puluh tahun, makanya Jik Hong pangling. Cuma Tho Ang sendiri yang ketakutan hingga menimbulkan curiga Jik Hong dan sesudah dipikir-pikir, akhirnya teringat juga olehnya diri si Mirah itu. Coba kalau Tho Ang tinggal pergi pelahan-lahan seperti tidak terjadi apa-apa, sedang Jik Hong sendiri lagi kusut pikirannya tentu dia takkan diperhatikan.

Begitulah Jik Hong lantas gerakkan belatinya sambil mengancam: “Apa yang kau lakukan dengan sembunyi-sembunyi disini? hayo lekas mengaku terus terang!”

“Aku ti……tidak berbuat apa-apa,” sahut Thoa Ang dengan ketakutan.  “Siaunaynay,  aku  ……aku  telah  diusir  oleh  Loya, beliau mengatakan bila kepergok aku masih berada di Hengciu sini, tentu aku …….aku akan dibunuh olehnya, akan tetapi……akan  tetapi  aku  tiada  mempunyai  tempat lain  lagi, terpaksa……terpaksa sembunyi disini untuk cari hidup dengan minta-minta sesuap nasi. Siau……..Siaunaynay, selain Hengciu, aku tidak tahu kemana aku harus pergi? Maka sukalah……sukalah Siaunaynay berbuat bajik, jangan……janganlah katakan pada Loya tentang diriku.”

Mendengar ratapan orang yang cukup kasihan itu, Jik Hong lantas simpan kembali belatinya. Katanya kemudian: “Sebab apa kau diusir Loya? Mengapa aku tidak tahu?”

“Akupun tidak……..tidak tahu sebab apa  mendadak Loya tidak suka padaku lagi,” tutur Tho Ang. “Padahal Tik…….urusan orang she Tik itu bukanlah salahku. Ai, tidak……..tidak seharusnya aku bercerita tentang ini.”

“Kau tidak mau bercerita juga boleh, sekarang juga kuseret kau pergi menemui Loya,” ancam Jik Hong sambil jambret lengan baju si Mirah.

Keruan si Mirah ketakutan, dengan gemetar ia berkata: “Aku …….aku akan bercerita! Siaunaynay, apa yang kau ingin tahu?”

“Ceritakan tentang orang…….orang she Tik itu, sebenarnya bagaimana duduknya perkara? Sebab apakah kau hendak kabur bersama dia?” demikian kata Jik Hong.

Saking takut dan gugupnya hingga Tho Ang ternganga dan terbelalak tanpa bisa bicara.

Dengan mata tak berkesip Jik Hong pandang lekat-lekat wanita itu, rasa takut dalam hatinya mungkin berpuluh kali lebih hebat daripada si Mirah. yang ditakutkan adalah cerita si Mirah, jangan-jangan cerita itu akan menyatakan bahwa: Waktu itu memang benar Tik Hun telah memperkosanya.

Tapi karena sesaat itu Tho Ang tidak dapat bicara, maka wajah Jik Hong menjadi pucat lesi, jantungnya seakan-akan berhenti berdenyut, saking tegangnya.

Akhirnya, mengakulah Tho Ang: “Kejadian itu bukan……..bukan salahku, Siauya (tuan muda) yang suruh aku

berbuat begitu, suruh aku peluk orang she Tik itu sekencang-kencangnya serta menuduh dia hendak memperkosa diriku dan membujuk aku agar kabur bersama. Hal ini telah kututurkan kepada Loya, sebenarnya Loya toh percaya juga, tapi…….tapi akhirnya tetap beliau mengusir aku.”

Sungguh Jik Hong merasa sangat terima kasih dan berduka, merasa penasaran dan merasa kasihan. Dalam hati ia meratap: “O, Suko, jadi akulah yang telah salah sangka jelek padamu, seharusnya aku mengetahui hatimu yang suci murni, tapi toh aku telah menyangka jelek dan membikin susah padamu!”

Begitulah ia tidak dendam pada Tho Ang, sebaliknya ia malah agak berterima kasih, untunglah wanita itu yang telah membuka ikatan hatinya yang tertekan selama ini. Didalam rasa duka dan pedihnya itu tiba-tiba terasa pula semacam rasa manis diantara rasa pahit getir. Meski selama ini ia telah menjadi isterinya Ban Ka, tetapi orang yang benar-benar dicintainya didalam lubuk hatinya selalu hanya seorang yaitu Tik Hun. Sekalipun sang Suko itu mendadak berubah pikiran, sekalipun jiwanya ternyata kotor dan rendah, biarpun seribu kali pemuda itu berbuat salah, seribu kali berhati palsu, tapi hanya dia, ja hanya dia, tetap dia seoranglah yang selalu dikenangkan dan dirindukan oleh Jik Hong.

Mendadak segala rasa benci dan dendam telah berubah menjadi sesal dan duka pada diri sendiri, pikirnya: “Pabila sejak dulu aku tahu duduknya perkara, sekalipun menghadapi bahaya apapun juga pasti akan kutolong dia keluar dari penjara. Tapi dia telah menderita sehebat itu, entah cara bagaimana dia akan pikir atas ………atas diriku?”

Melihat Jik Hong diam saja, Tho Ang coba melirik nyonya muda itu, lalu katanya dengan suara gemetar: “Siaunaynay, banyak terima kasih pabila sudi membiarkan aku pergi, aku akan ……….akan tinggalkan Hengciu ini dan takkan kembali kesini untuk selamanya.”

Jik Hong menghela napas, katanya kemudian: “Ah, sebab apakah Loya mengusir kau? Apa kuatir aku mengetahui duduknya perkara itu? Tetapi, hai mungkin sudah takdir ilahi, secara kebetulan hari ini aku telah pergoki kau disini.”

Habis berkata iapun lepaskan pegangannya pada lengan baju orang. Mestinya ia ingin memberikan persen sedikit uang perak, tapi ia keluar secara buru-buru hingga pada sakunya tidak terdapat apa-apa.

Melihat Jik Hong sudah melepaskan dirinya, kuatir akan terjadi apa-apa lagi, buru-buru Tho Ang melangkah pergi, tapi mulutnya masih menggumam: “Habis, di waktu malam Loya tentu ketemu setan, tentu memasang tembok, mengapa aku yang disalahkan? Toh bukan aku yang sembarangan omong.”

Mendengar itu, cepat Jik Hong memburu maju dan bertanya: “Kau omong apa? Melihat setan dan pasang tembok apa katamu?”

Tho Ang sadar telah kelepasan mulut lagi, cepat ia menyahut: “O tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa. Aku bilang Loya sering melihat setan diwaktu malam, ditengah malam selalu bangun untuk memasang tembok.”

Melihat tingkah-laku orang yang angin-anginan itu, Jik Hong pikir mungkin sejak si Mirah itu diusir oleh Kongkong (bapak mertua) penghidupannya sangat susah, maka pikirannya menjadi kurang waras. Habis, masakah Kongkong dikatakan tengah malam bangun untuk pasang tembok? Padahal didalam rumah tidak pernah dilihatnya tembok yang dipasang Kongkong.

Rupanya Tho Ang kuatir nyonya muda itu tidak percaya, maka ia mengulang lagi: “Ya, dia pasang tembok, tapi tembok …….tembok palsu. Setiap tengah malam Loya suka…….suka menjadi tukang batu maka aku telah mengatai dia beberapa kata, dan dia lantas marah-marah, aku dihajar hingga babak-belur, kemudian aku diusirnya pula……..” Begitulah sambil mengomel dan menggerundel tak habis-habis, ia terus mengeloyor pergi dengan beringsat-ingsut.

Jik Hong menjadi terharu memandangi bayangan wanita celaka itu, pikirnya: “Paling banyak ia cuma lebih tua 10 tahun daripadaku, tapi ia telah berubah sedemikian jeleknya. Entah mengapa Kongkong telah mengusirnya? Mengapa dia mengatakan Kongkong melihat setan dan pasang tembok ditengah malam buta? Ah, mungkin pikiran wanita ini memang tidak waras lagi. Ai, disebabkan seorang wanita goblok seperti ini. Suko telah merana selama hidup dan akupun menderita selama ini!” Berpikir sampai disini, bercucuran air matanya.

Begitulah Jik Hong menangis hingga sekian lamanya sambil bersandar dibatang pohon waru itu, tapi sehabis menangis hatinya yang pepet tadi menjadi agak lega, perlahan-lahan barulah ia pulang kerumah. Ia tidak melalui taman belakang lagi, tapi masuk dari pintu saping terus kembali keatas loteng sendiri.

Begitu mendengar suara tangga loteng itu, segera Ban Ka bertanya dengan tak sabar: “Hong-moay, obat penawarnya didapatkan tidak?”

Jik Hong tidak menjawab, ia terus masuk kekamar, ia melihat Ban Ka duduk diatas ranjang dengan sikap yang tidak sabar menunggu lagi, tangannya yang terluka itu terletak ditepi ranjang, darah hitam setetes demi setetes merembes keluar dari punggung tangannya dan jatuh kedalam baskom yang menadah dibawah ranjang itu. Dara cilik Khong-sim-jay sudah lama tidur disebelah kaki ayahandanya.

Tadi sesudah mendengar cerita Go Him hingga berlari keluar rumah, dalam hati Jik Hong sebenarnya penuh rasa murka terhadap Ban Ka. Ia benci kepada caranya yang keji dan kotor itu untuk memfitnah Tik Hun. Tapi kini demi melihat air muka sang suami yang tampan pucat itu, cinta kasih suami-isteri selama beberapa tahun ini kembali membuatnya lemah hati. Pikirnya: “Ya, betapapun adalah karena Ban-long cinta padaku, makanya dia berusaha menyingkirkan Tik-suko, caranya memang keji hingga membikin Suko kenyang menderita, tapi kesemuanya itu adalah demi diriku.”

Dan karena tiada mendapat jawaban, maka Ban Ka telah bertanya pula: “Obat penawarnya sudah dibeli lagi belum?”

Karena bingung apakah mesti memberitahukan atau tidak kepada suami tentang kelakuan Go Him yang kurangajar itu, maka segera ia menjawab: “O, aku sudah ketemukan tabib itu, aku telah memberikan uang lagi dan minta dia segera meramukan obatnya.”

Mendengar itu, barulah Ban Ka merasa lega hatinya, katanya. “Hong-moay, jiwaku ini akhirnya engkaulah yang menyelamatkan.”

Jik Hong paksakan diri tertawa, ia merasa bau darah berbisa yang berada didalam baskom itu sangat menusuk hidung, segera ia membawakan sebuah waktulong ludah untuk menggantikan baskom itu, lalu baskom itu dibawanya keluar.

Tapi baru beberapa langkah, bau darah berbisa itu menerjang hidungnya hingga kepalanya terasa pening, diam-diam ia mengakui betapa lihaynya racun ketungging itu. Cepat ia keluar kamar, ia taruh baskom itu dilantai ditepi meja, lalu ia hendak mengambil saputangan dari bajunya untuk menutupi hidung, kemudian darah berbisa itu akan dibuangnya.

Tapi begitu tangannya menjulur kedalam saku, segera ia memegang kitab kuno itu. Ia tertegun sejenak, kembali hatinya berdebar-debar lagi, ia mengeluarkan kitab itu, ia duduk ditepi meja, lalu satu halaman demi satu halaman dibaliknya. Ia masih ingat dengan jelas kitab itu diambilnya dari bawah sebuah kopor rusak milik sang ayah yang penuh tersimpan baju lama, waktu itu ia sedang mencari sesuatu baju lama dan tanpa sengaja telah diketemukan kitab itu. Padahal ia tahu ayahnya tidak banyak makan sekolah, biarpun huruf segede telur juga tiada dua keranjang yang dikenalnya, entah darimana sang ayah menemukan kitab seperti itu. Tatkala itu kebetulan ia baru selesai menggunting dua buah pola sulaman, maka ia lantas selipkan kertas pola kedalam buku itu. Dan ketika suatu hari ia bermain lagi kegua rahasia itu bersama Tik-suko, kitab itu sekalian lantas dibawanya kesana, sejak itu kitab itupun selalu tertinggal didalam gua, mengapa sekarang bisa diketemukannya disini? Apakah Tik-suko menyuruh tabib kelilingan tadi menghantarkannya padaku? Tabib itu…….. jangan-jangan …… kelima jarinya terpapas putus semua oleh Go Him? Ja, tabib itu mengapa……. Mengapa selalu menyembunyikan tangan kanan didalam saku.”

Begitulah sekonyong-konyong Jik Hong teringat pada waktu itu. Di kala tabib keliling itu membubuhi obat pada Ban Ka tiada seorangpun yang memperhatikan tangan yang digunakan sitabib adalah tangan kiri dan tidak pernah memakai tangan kanan, kini demi teringat dahulu jari tangan kanan Tik Hun pernah terpapas putus oleh Go Him, seketika terbayanglah kembali adegan-adegan tadi waktu sitabib membuka peti obat, mengambil botol obat dan membuka sumbat botol serta menuang obat bubuk itu, ja, kesemuanya itu melulu dilakukan oleh tangan kiri sitabib.

“Jangan-jangan……. Jangan-jangan tabib itu adalah  Tik-suko? Tapi mengapa mukanya sedikitpun tidak sama?” demikian pikir Jik Hong. Dan saking kusut dan kesalnya, ia menjadi berduka, air matanya bercucuran dan menetes diatas kitab yang dipegangnya itu.

Air matanya menetes terus hingga membasahi kitab kuno dan hal mana belum disadari oleh Jik Hong, air matanya menetes diatas sepasang kupu-kupu guntingan kertas, yaitu kupu-kupu San Pek dan Eng Tay, nasib percintaan mereka baru akan terjalin sesudah keduanya mati semua ………

Dalam pada itu Ban Ka sedang berseru didalam kamar: “Hong-moay, aku merasa gerah sekali, aku ingin bangun untuk jalan-jalan sebentar.”

Tapi Jik Hong sendiri lagi tenggelam dalam lamunannya, maka tidak mendengar suara sang suami itu. Waktu itu ia sedang memikir: “Waktu hari dia (Tik Hun) telah mematikan seekor kupu-kupu hingga sepasang kekasih telah dicerai-beraikan olehnya. Apakah dia telah ketulah oleh perbuatannya itu dan hidupnya ini diharuskan merana dan menderita!………

Dan pada saat itulah mendadak dibelakangnya seorang telah berseru dengan suara kaget. “He, itulah ……..Soh ……… Soh-sim-kiam-boh!”

Keruan Jik Hong juga berjingkrak kaget, cepat ia menoleh, ia melihat Ban Ka dengan wajah kegirangan dan penuh semangat sedang berkata: “He, Hong-moay, darimanakah kau memperoleh kitab itu? Lihatlah, aha, kiranya begitu, kiranya demikian!”

Segera ia memburu maju, dengan kedua tangannya ia memegang kitab kuno ditangan isterinya. Ia balik sampul kitab itu, dengan jelas dibacanya judul kitab itu adalah “Tong-si-soan-cip” (pilihan-pilihan syair jaman Tong).

Kemudian ia melihat halaman yang ketetesan air mata Jik Hong itu adalah sebuah syair yang berkalimat “Seng-ko-si” dan disaping bawahnya timbul tiga huruf kecil kekuning-kuningan, ketiga huruf itu adalah “tiga puluh tiga” atau dalam angka menjadi “33″. Beberapa baris tulisan itu telah basah kena air mata Jik Hong.

Saking girangnya Ban Ka sampai lupa daratan, ia berteriak-teriak: “Aha, disinilah letak rahasianya, ya, kiranya harus dibasahi dahulu, lalu akan timbul hurufnya. Bagus! Bagus! Tentu adalah kitab ini. He, Khong-sim-jay, Khong-sim-jay, lekas pergi mengundang Engkong kemari, katakan ada urusan penting!”

Begitulah ia lantas membangunkan sidara cilik yang lagi tidur nyenyak itu dan disuruhnya pergi mengundang sang Engkong (kakek), yaitu Ban Cin-san.

Sambil memegangi kitab syair itu dengan erat-erat, Ban Ka menjadi lupa tangannya yang terluka dan kesakitan itu, sebaliknya ia terus bicara sendiri: “Ya, pasti inilah kitabnya, tentu tidak salah lagi. ayah bilang Kiam-boh itu berwujud sejilid Tong-si-soan-cip, tentu tidak salah lagi, apakah perlu disangsikan lagi sekarang? Hahaha, pantas lebih dulu harus membikin basah kitab ini dan dengan sendirinya rahasianya akan timbul sendiri.”

Karena luapan rasa girang yang tak terkendalikan, maka Ban Ka telah mengoceh tak tertahan, hal mana telah membikin Jik Hong menjadi paham juga duduknya perkara.

Pikirnya: “Apakah kitab ini adalah “Soh-sim-kiam-boh‟ yang dibuat rebutan antara ayahku dan Kongkong itu? Jika begitu, sebenarnya kitab ini telah didapatkan oleh ayahku, tapi secara tak sadar aku telah mengambilnya untuk menjepit pola sepatu. Tapi waktu ayah kehilangan kitab pusaka ini, mengapa beliau tidak kelabakan dan mencarinya? Ah, tentu juga sudah dicarinya, cuma dicari kesana kesitu tidak ketemu, lalu disangkanya telah dicuri oleh Gian-supek dan diantepin saja. Mengapa dahulu ayah tidak tanya padaku tentang kitab yang hilang itu? Sungguh sangat aneh!”

Jika Tik Hun, tentu sekarang ia takkan heran sedikitpun, sebab ia sudah tahu Jik Tiang-hoat itu adalah seorang yang licin, seorang yang banyak tipu akalnya, sekalipun didepan puterinya juga sedikitpun tidak mau mengunjukkan sesuatu tentang kitab pusaka Soh-sim-kiam-boh itu. Waktu kitab itu hilang, tentu juga ia berusaha mencarinya ubek-ubekan, tapi sesudah tidak diketemukan kembali, ia lantas pura-pura tidak terjadi apa-apa, hanya diam-diam ia menyelidiki dengan segala jalan untuk memperhatikan apakah kitab itu bukan dicuri oleh Tik Hun? Atau dicuri puterinya? Tapi disebabkan Jik Hong tidak merasa mencuri, ia tidak perlu takut sebagaimana seorang maling kuatir konangan, maka dengan sendirinya penyelidikan Jik Tiang-hoat menjadi sia-sia.

Dalam pada itu Ban Cin-san baru saja pulang, ia sedang diruangan makan. Ketika ia dipanggil cucu perempuannya, ia sangka luka puteranya mungkin berubah buruk, maka belum lagi sarapannya dihabiskan dia sudah lantas buru-buru kebelakang sambil membopong sidara-cilik. Dan begitu ia melangkah keatas loteng, dia lantas mendengar suara seruan Ban Ka yang kegirangan. “Haha, di-cari-cari tidak ketemu, siapa duga diperoleh secara begini mudah. Eh, Hong-moay, mengapa engkau kebetulan membasahi kitab ini dengan air? Sungguh kebetulan, mungkin memang takdir Thian!”

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air yang membasahi kitab itu adalah air mata sang isteri yang barusan sedang merindukan seorang laki-laki lain.

Begitulah Ban Cin-san menjadi lega demi mendengar suara sang putera itu, segera iapun masuk kedalam kamar.

“Tia, Tia! Lihatlah, apakah ini?” seru Ban Ka segera sambil mengunyukan kitab “Pilihan-pilihan syair jaman Tong‟ itu kepada sang ayah yang baru masuk itu.

Hati Ban Cin-san tergetar demi nampak kitab kekuning-kuningan yang tipis itu, cepat ia taruh Khong-sim-jay ketanah, lalu terima kitab yang diangsurkan Ban Ka itu dengan hati berdebar-debar hebat.

Itulah dia “Soh-sim-kiam-boh” yang telah dicarinya mati-matian selama belasan tahun kini telah kembali didepan matanya.

Memang benar inilah kitabnya, kitab asli yang pernah dimilikinya bersama Jik Tiang-hoat dan Gian Tat-peng, yaitu hasil rampokan mereka bersama dengan menganiaya guru mereka.

Dahulu mereka bertiga telah membalik-balik dan mempelajari bersama isi kitab itu didalam hotel, akan tetapi kitab itu toh bukan “Kiam-boh” sebagaimana orang sangka, kitab itu tidak lebih hanya sejilid kitab syair kuno yang umum, kitab “Tong-si-soan-cip” yang juga dapat dibeli dengan mudah disetiap toko buku setiap tempat.

Dengan macam-macam jalan mereka bertiga saudara perguruan telah menyelidiki isi kitab itu. Pernah mereka menyorot setiap halaman kitab itu dibawah sinar matahari dengan harapan menemukan apa-apa didalam lempitan kertas itu, pernah juga mereka membaca beberapa bait syair itu dijungkir balik, dibaca pula secara melompat-lompat dan macam-macam cara lagi dengan tujuan mendapatkan sesuatu rahasia didalamnya, tapi semua usaha itu hanya sia-sia belaka, hasilnya nihil. Mereka bertiga saling curiga mencurigai, kuatir kalau pihak lain menemukan rahasia didalam kitab itu dan dirinya sendiri tidak tahu. Maka setiap malam diwaktu tidur, mereka lantas mengunci kitab itu didalam sebuah peti besi, peti besi itu digandeng pula dengan tiga utas rantai besi serta masing-masing diikat dipergelangan tangan mereka bertiga. Akan tetapi pada suatu pagi hari, tahu-tahu kitab itu sudah menghilang tanpa bekas.

Akibat hilangnya kitab itu selama belasan tahun mereka bertiga saudara perguruan telah bertengkar tidak habis-habis, masing-masing saling selidik menyelidiki. Dan mendadak kitab itu telah muncul didepan matanya sekarang.

Ban Cin-san coba membalik halaman keempat dari kitab itu. Ja, memang betul, ujung kiri halaman itu tersobek sedikit, itulah kode rahasia yang sengaja dibuatnya waktu dulu, ia kuatir kedua Sutenya itu mungkin menukarnya dengan sejilid “Tong-si-soan-cip” yang serupa dan dirinya tertipu, maka ia sendiri harus menaruh sesuatu tanda dulu diatas kitab asli itu.

Ketika ia membalik pula halaman ke16, benar juga bekas goresan kuku yang ditaruhnya dahulu itu juga masih kelihatan. Ya, tidak salah lagi, memang betul kitab ini tulen adanya.

Begitulah ia lantas manggut-manggut, sedapat mungkin ia menahan rasa senangnya itu, katanya kemudian kepada sang putera: “Ya, memang betul adalah kitab ini, darimana kau memperolehnya?”

Segera sorot mata Ban Ka beralih kepada Jik Hong dan bertanya: “Hong-moay, darimanakah kitab ini kau temukan?”

Jik Hong sendiri sejak melihat sikap Ban Ka tadi, yang terpikir olehnya melulu diri ayahnya saja, ia pikir: “Kemanakah perginya ayah selama ini? Sesudah aku mengambil kitabnya ini dan kubawa kedalam gua itu, beliau mencari ubek-ubekan. Padahal kitab ini yang selalu dibuat incaran dan menyebabkan pertengkaran mereka, dalam hati ayah tentu sangat luar biasa sayang kepada kitab ini. Entah kitab kuno seperti ini mempunyai manfaat apa hingga mesti mereka ributkan? Tapi dahulu aku telah mengambilnya dari kopor ayah, sekali-sekali tidak boleh kubiarkan kitab ini jatuh ditangan Kongkong.”

Apabila sehari dimuka, pada waktu itu Jik Hong masih belum tahu duduknya perkara tentang penderitaan Tik Hun yang difitnah orang, tentu ia masih sangat cinta dan penuh kasih-sayang kepada suaminya, dan dalam penilaiannya mungkin sang suami akan lebih utama daripada ayahnya sendiri, apalagi sang ayah entah kemana perginya selama ini, entah akan pulang lagi atau tidak?

Namun keadaan sekarang sudah berubah lain. “Sekali-sekali kitab ayahku itu tidak boleh kubiarkan jatuh ditangan mereka. Tentu Tik-suko yang telah mengambil kitab ini dari gua dan diserahkan padaku, dengan sendirinya tidak boleh kuberikan pada mereka, hal ini bukan saja demi ayah, tapi terutama demi Tik-suko!” demikian ia ambil keputusan.

Begitulah maka waktu Ban Ka bertanya padanya darimana diperoleh kitab itu, Jik Hong sendiri lagi memikirkan cara bagaimana harus merebut kembali kitab yang telah dipegang oleh bapa mertuanya itu. Padahal ilmu silat Ban Cin-san sangat tinggi, sekali-sekali dirinya bukan tandingannya apalagi sang suami juga berada disitu, untuk merebutnya denggan kekerasan terang tidak mungkin.

Mendadak tertampak olehnya baskom yang terletak didekat meja sana, didalam baskom masih terisi setengah baskom air darah, yaitu sebagian adalah air cuci muka Ban Ka dan darah berbisa yang menetes dari luka tangannya. Air didalam baskom itu berwarna merah hitam, kalau…… kalau diam-diam kitab itu direndam didalam air baskom, tentu mereka takkan menemukannya kembali. Akan tetapi, cara bagaimana, harus dicari kesempatan untuk memasukkan kitab itu kedalam baskom?

Demikian Jik Hong sedang putar otak, sebaliknya sorot mata Ba Cin-san dan Ban Ka juga sedang diarahkan padanya. Kembali Ban Ka mengulangi pertanyaannya: “Hong-moay, darimanakah kau memperoleh kitab ini?”

Baru sekarang Jik Hong terkesiap, cepat ia menyahut: “Ah, entahlah, akupun tidak tahu, tadi aku keluar dari kamar dan tahu-tahu melihat kitab itu diatas meja. Apakah itu bukan milikmu?”

Karena seketika itu tidak jelas duduknya perkara, maka sementara Ban Ka tidak mengusut lebih jauh, yang terpikir olehnya ialah ingin lekas memberitahukan kepada sang ayah tentang pengalamannya yang luar biasa tadi. Maka ia lantas berkata kepada Ban Cin-san: “Lihatlah, ayah! Asal halaman kitab ini dibasahi, lantas timbul hurufnya disitu.” Segera iapun menunjukkan angka “33″ yang terdapat disebelah kalimat syair “Seng-ko-si” itu. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air yang membasahi halaman kitab itu adalah air mata sang isteri, air mata rindu sang isteri kepada seorang laki-laki lain yang bernama Tik Hun. Kalau dia tahu, entahlah bagaimana perasaannya, akan girang atau akan marah?

Dalam pada itu Ban Cin-san sedang meneliti syair “Seng-ko-si” itu, ia lagi menghitung-hitung huruf syair satu demi satu, mulai dari suatu bait yang berbunyi: “Loh-cu-tiong-hong-siang…….” hingga akhirnya jatuh pada huruf “He-hong-seng…….”

Itu dia, huruf ke33 jatuh pada huruf “Seng”!

Ban Cin-san gablok pahanya sendiri sekali dan berseru: “Tepat! Memang beginilah caranya, ja beginilah caranya! Kiranya rahasianya terletak disini! Hai, Ka-ji, engkau benar-benar sangat pintar, sjukur dapatlah kau menemukan caranya ini. Memang harus memakai air, ya, harus pakai air! Sungguh tolol, dahulu kami justeru tiada seorangpun yang memikirkan tentang pemakaian air untuk menemukan rahasia didalam kitab ini!”

Melihat kedua orang itu penuh semangat asyik mempelajari rahasia yang tersimpan didalam kitab itu, segera Jik Hong menarik puterinya kedalam kamar sana, ia pondong dara cilik itu didalam pangkuannya dan pelahan-lahan berkata padanya: “Khong-sim-jay, kau lihat baskom itu bukan?”

Dara cilik itu manggut2, sahutnya: “Ya, tahu!”

“Nah, sebentar kalau Engkong, ayah dan ibu berlari keluar semua, kau lantas melemparkan buku yang dipegang Engkong tadi kedalam baskom agar kerendam air kotor itu, jangan sampai diketahui oleh Engkong dan ayah, ya,” demikian Jik Hong mengajarkan puterinya.

Sidara cilik kegirangan, disangkanya sang ibu hendak mengajarkan suatu permainan yang menarik padanya, maka dengan tertawa ia bersorak: “Bagus, bagus!”

“Tapi jangan sekali-sekali diketahui oleh Engkong dan ayah, lho! Kemudian kaupun jangan katakan pada mereka, ya!” pesan Jik Hong pula.

“Ya, Khong-sim-jay pasti takkan bilang pada mereka, pasti tidak!” seru sidara cilik.

Lalu Jik Hong keluar kamar depan lagi, katanya kepada Ban Cin-san: “Kongkong, aku merasa didalam kitab itu ada sesuatu yang ganjil.”

Cin-san menoleh, tanyanya: “Ganjil apa sih?” Memangnya ia sendiri juga merasa was-was karena munculnya kitab itu secara mendadak, datangnya terlalu mudah, hal mana bukanlah sesuatu alamat baik. Maka ia bertambah pikiran demi mendengar ucapan nyonya mantunya itu.

“Íni, disini!” kata Jik Hong kemudian sambil mengulurkan tangannya.

Ban Cin-san lantas serahkan kitab syair itu kepadanya. Sesudah Jik Hong membalik-balik halaman kitab itu, kemudian dikeluarkannya sepasang pola kupu-kupu itu dan berkata: “Kongkong, didalam kitabnya dahulu apakah terdapat sepasang kupu-kupu kertas semacam ini?”

Cin-san terima kupu-kupu kertas itu dan mengamat-amatinya, lalu sahutnya: “Ya, tidak ada!”

“Habis apa artinya kupu-kupu kertas didalam kitab ini?” ujar Jik Hong. “Apakah didalam Bu-lim terdapat seseorang tokoh yang berjuluk “Hek-oh-tiap‟ (kupu-kupu hitam) dan sebagainya? Dengan meninggalkan kupu-kupu kertas ini didalam kitab, mungkin adalah tanda peringatan bahwa mereka akan datang menuntut balas?”

Biasanya memang sering terjadi didalam Kangouw bahwa sebelum menuntut balas, seorang telah mengirimkan tanda peringatan lebih dulu kepada orang yang akan didatanginya. Dan selama hidup Ban Cin-san justeru tak terhitung banyaknya kejahatan yang pernah diperbuatnya, dengan sendirinya ia terkejut mendengar ucapan Jik Hong itu, apalagi kupu-kupu kertas memang nyata terselip didalam kitab itu. Ia coba mengingat-ingat apakah pernah memusuhi seorang tokoh yang berjuluk “Hek-oh-tiap‟ dan sebagainya? Tapi seingat dia toh tidak ada.

Selagi ia merenung, mendadak terdengar Jik Hong membentak: “Siapa itu? Ada apa main sembunyi-sembunyi disitu?” Segera ia tuding keatas wuwungan rumah diluar jendela, maka berbareng Ban Cin-san dan Ban Ka memandang kearah sana, tapi toh tiada terdapat apa-apa.

Cepat Jik Hong sambar sepasang pedang yang tergantung didinding, ia lemparkan sebatang kepada Ban Cin-san dan sebatang kepada Ban Ka, serunya pula. “Aku melihat tiga sosok bayangan orang berkelebat kesana!”

Sementara Cin-san dan Ban Ka menyambuti pedang yang dilemparkan Jik Hong itu, segera Jik Hong lantas tarik laci meja dan masukan kitab syair itu kedalamnya dan sambil berbisik: “Jangan sampai dicuri musuh!”

Ban Cin-san berdua percaya saja, mereka memanggut. Segera mereka bertiga melompat keluar jendela dan naik keatas rumah, waktu memandang sekeliling situ, namun tiada tertampak seorangpun. “Coba periksa kebelakang sana!” kata Cin-san.

Bertiga orang terus menguber kerumah belakang sana. Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan orang berkelebat dipengkolan sana, segera Cin-san membentak: “Siapa itu?” Dan waktu ia melesat maju, kiranya orang itu bukan lain adalah muridnya nomor enam, yaitu Go Him adanya.

“Kau melihat musuh tidak?” tanya Cin-san pula.

Sebenarnya wajah Go Him sudah pucat seperti mayat, ia ketakutan setengah mati ketika mendadak melihat Suhu bertiga menguber kearahnya dengan senjata terhunus, ia mengira perbuatannya yang kotor itu telah dilaporkan oleh Jik Hong. Dan demi mendengar pertanyaan sang guru itu, barulah ia merasa lega. Cepat ia menajhut: “Ya, barusan seperti ada orang berlari lewat sini, makanya Tecu lantas memburu kemari untuk mencari tahu apa yang telah terjadi.”

Sebenarnya jawabannya itu adalah untuk menutupi sikapnya yang kikuk itu, sebaliknya menjadi kebetulan bagi Jik Hong yang membohong itu.

Segera mereka berempat menguber pula kebelakang, berulang-ulang Go Him bersuit memanggil Loh Kun, Bok Heng dan lain-lain, tapi meski seluruh isi rumah mereka kerahkan untuk mencari musuh, toh tiada suatu bayanganpun yang kelihatan.

Karena kuatirkan kitab “Soh-sim-kiam-boh” yang masih tertinggal dikamar itu, segera Cin-san suruh Loh Kun dan para Sute-nya mencari lebih jauh jejak musuh. Ia sendiri bersama Ban Ka dan Jik Hong lantas kembali kekamar loteng.

Segera pula ia membuka laci hendak mengambil kitab itu, tapi ……..

Sudah tentu laci itu sudah kosong melompong, kitab itu entah sudah terbang kemana?

Keruan kejut Ban Cin-san dan Ban Ka tak terkatakan, mereka mencari ubek-ubekan didalam kamar, dan sudah tentu nihil hasilnya.

“Adakah seorang masuk kesini?” Ban Cin-san coba tanya Khong-sim-jay.

“Tidak ada!” sahut sidara cilik. Kemudian ia berpaling dan main mata dengan sang ibu, hatinya sangat senang.

Sudah terang gamblang Ban Cin-san berdua menyaksikan sendiri Jik Hong memasukan kitab itu kedalam laci, dikala menguber musuh juga selalu nyonya mantu itu berada bersama mereka, dengan sendirinya bukan Jik Hong yang main gila. Ia menduga pasti adalah tipu muslihat musuh yang “memancing harimau meninggalkan sarang”, lalu mencuri kitab pusaka itu.

Keruan Ban Cin-san dan Ban Ka merasa lemas, mereka saling pandang dengan lesu dan menyesal.

Sebaliknya Jik Hong dan Khong-sim-jay sangat senang, mereka saling main mata, saling kedip penuh arti ………

Begitulah anak murid Ban Cin-san yang lain telah sibuk mencari jejak musuh disetiap polosok rumah dan sudah tentu tiada suatu bayanganpun yang diketemukan.

Ban Cin-san pesan kepada Jik Hong agar jangan sekali-sekali bercerita keapda Loh Kun dan lain-lain tentang diketemukannya Kiam-boh dan kemudian hilang lagi. Sudah tentu Jik Hong mengiakannya dengan baik. Selama ini Jik Hong sudah makin sadar akan hubungan guru dan murid keluarga Ban itu, begitu pula hubungan antara murid satu dengan murid lainnya selalu dilakukan dengan tidak jujur, masing-masing hanya memikirkan kepentingan sendiri-sendiri, satu sama lain saling curiga-mencurigai.

Dengan rasa menyesal dan penasaran kemudian Ban Cin-san kembali kekamarnya sendiri, yang terpikir olehnya adalah tanda kupu-kupu hitam kertas didalam kitab itu. Sebaliknya Ban Ka juga payah keadaannya, sesudah berlari-lari menguber musuh, tekanan darahnya naik, luka ditangannya itu menjadi kesakitan lagi, maka ia telah merebah di ranjangnya untuk mengaso dan tidak lama iapun tertidur.

Diam-diam Jik Hong pikir kitab syair itu akan sangat berguna bagi ayahnya, kalau kerendam terlalu lama didalam air mungkin akan rusak. Segera ia masuk kekamar dan coba memanggil sang suami beberapa kali, tapi Ban Ka sudah tertidur nyenyak, segera ia keluar lagi dan bawa baskom itu kebawah, ia buang air darah didalam baskom itu hingga kelihatan dasar baskom. Ia puji si Khong-sim-jay sangat pintar dan penurut, tidak merasa wajahnya menampilkan senyuman puas.

Sama sekali diluar dugaannya bahwa sebenarnya sudah sedari tadi Ban Ka telah curiga padanya.

Tadi waktu sidara cilik main mata dengan sang ibu, kelakuan itu telah dapat diketahui oleh Ban Ka hingga timbul rasa curiganya. Maka ia sengaja pura-pura tidur, dan begitu Jik Hong turun kebawah, segera iapun bangun dan dengan berjinyit2 seperti maling kuatir kepergok, ia mengawasi gerak-gerik sang isteri.

Karena kitab itu berbau amis darah yang merendamnya tadi, Jik Hong merasa muak dan tidak sudi memegangnya, ia pikir: “Dimanakah kitab ini harus kusembunyikan?”

Segera teringat olehnya ditaman belakang ada sebuah kamar pojok yang biasanya dibuat simpan barang rongsokan sebangsa pacul, tenggok, sapu dan sebagainya, pada waktu itu tentu tiada terdapat orang disitu. Segera ia petik daun bunga seruni hingga penuh satu baskom untuk menutupi kitab yang basah itu, lalu menuju ketaman.

Sesudah masuk kedalam kamar dipojok taman itu, ia melihat kamar itu tidak terawat, temboknya banyak yang rontok, ujung dinding sana ada beberapa potong bata sudah mulai merenggang. Ia pikir: “Kalau kitab ini kusembunyikan disini tentu takkan dicurigai siapapun juga.” Segera ia mengorek keluar beberapa potong bata itu, ia masukkan kitab itu kedalam liang dinding itu, lalu bata-bata itu dipasangnya kembali hingga rapat.

Habis itu, dengan masih menyinying baskom itu ia berjalan kembali sambil bernyanyi-nyanyi kecil seperti tiada pernah terjadi apa-apa.

Waktu lewat diserambi, mendadak dari pengkolan sana menyelinap keluar seorang sambil membisikinya: “Suso, tengah malam nanti jangan lupa, ya! Aku tunggu kau didalam gudang kayu sana!” Siapa lagi dia kalau bukan Go Him.

Memangnya Jik Hong lagi menahan rasa kuatir kalau perbuatannya dipergoki orang, ketika mendadak muncul seorang dan berkata begitu padanya, keruan jantungnya seakan-akan copot saking kagetnya.

Segera iapun mendamperatnya: “Cis, kau cari mampus, besar amat nyalimu, apa kau sudah bosan hidup?”

Tapi dengan cengar-cengir Go Him menjawab: “Demi Suso, biarpun jiwaku akan melayang juga aku rela. Suso, engkau inginkan obat penawarnya atau tidak?”

Dengan gemes Jik Hong sudah meraba belati yang tersimpan didalam bajunya itu, sungguh ia ingin sekali tikam mampuskan manusia rendah itu dan merampas obat penawarnya.

Tapi Go Him adalah seorang licin dan culas, sudah tentu ia cukup waspada terhadap segala kemungkinan. Dengan menyengir ia berkata pula dengan pelahan: “Suso, jangan kau coba-coba menyerang, asal kau menyerang dengan tipu “Wajah manusia muncul dari balik gunung‟ dan menikam kearahku, maka aku sudah siap akan menghindar dengan gerakan “kepala kuda timbul disaping awan‟, dan sekali tanganku bergerak begini, seketika obat penawar ini kubuang kedalam empang.” Sembari berkata ia terus ulurkan tangannya dan apa yang digenggamnya memang betul adalah botol obat penawar itu. Ia kuatir Jik Hong menubruk untuk merebutnya, maka lebih dulu ia lantas mundur beberapa langkah kebelakang.

Tahu kalau pakai kekerasan juga takkan berhasil merebut obat penawar itu, terpaksa Jik Hong batalkan niatnya, segera ia menyisir lewat dari saping orang. Dan dengan suara pelahan Go Him membisikinya lagi: “Ingat Suso, aku cuma sanggup menanti sampai tengah malam. Lewat tengah malam kau tidak datang, jam satu malam aku lantas tinggal pergi bersama obat penawar ini, aku akan kabur sejauh mungkin dan takkan kembali ke Hengciu lagi. Haha, andaikan mati juga orang she Go ini tidak sudi mati ditangan ayah dan anak she Ban.”

Waktu Jik Hong sampai dikamarnya, ia mendengar Ban Ka sedang merintih-rintih, nyata racun ketungging telah kumat lagi dengan hebat.

Ia duduk menyanding meja dengan bertopang dagu, pikirannya bergolak tak tertahankan. Ia pikir: “Caranya dia (Ban Ka) memfitnah Tik-suko sungguh sangat keji, tapi nasi sudah menjadi bubur, apa mau dikata lagi? Selama beberapa tahun ini sesungguhnya iapun sangat baik padaku, sebagai seorang wanita, menikah ayam ikut ayam, kawin dengan bebek turut bebek, selama hidupku sudah ditakdirkan akan menjadi suami-isteri dengan dia. Cuma Go Him itu benar-benar keparat, cara bagaimana supaya aku dapat merebut obatnya?” Ia melihat air muka Ban Ka pucat kurus, diam-diam ia membatin pula: “Luka Ban-long sangat parah, jika kukatakan perbuatan Go Him itu padanya, dalam gusarnya tentu ia akan mengadu jiwa padanya dan tentu akan membuat keadaannya lebih payah.”

Begitulah pikirannya menjadi kusut. Sementara itu hari sudah gelap, sesudah makan malam, Jik Hong mengatur puterinya tidur, ia sendiri masih gelisah. Sesudah dipikir pulang-pergi, akhirnya ia mengambil keputusan akan laporkan persoalan Go Him itu kepada Ban Cin-san, sebagai seorang tua yang berpengalaman tentu akan dapat mencari jalan keluar yang sempurna. Tapi urusan ini tidak boleh diketahui oleh Ban Ka, harus menunggu sesudah sang suami itu tidur nyenyak, barulah akan dilaporkan kepada bapa mertuanya ini. Selama beberapa hari ia benar-benar terlalu capek merawat luka suaminya itu siang dan malam, namun ia tidak dapat tidur. Ia menunggu setelah terdengar suara mendengkurnya Ban Ka, lalu bangun dengan pelahan-lahan, dengan hati-hati ia turun kebawah loteng, ia menuju keluar kamarnya Ban Cin-san.

Sinar bulan menembus kedalam kamar Ban Cin-san, melalui celah-celah jendela dapat dilihatnya bahwa didalam kamar bapa mertua itu sudah gelap, pelita sudah dipadamkan, ia menduga orang tua itu sudah tidur.

Diluar dugaan, sesudah ia mendekati jendela, tiba-tiba dari dalam kamar orang tua itu terdengar suara “he-he-he” yang aneh, yaitu suara orang yang bernapas dikala mengeluarkan tenaga besar untuk berbuat sesuatu.

Jik Hong sangat heran, sebenarnya ia sudah akan memanggil, tapi segera diurungkan. Ia coba mengintip kedalam kamar melalui celah-celah jendela, dibawah sinar bulan yang remang- remang ia melihat Ban Cin-san sedang merebah diatas tempat tidurnya, kedua matanya terpejam, tapi kedua tangannya tampak mendorong-dorong sekuatnya keatas.

Sungguh heran Jik Hong tak terkatakan, pikirnya dengan menahan napas: “Pasti Kongkong sedang melatih sesuatu ilmu Iwekang yang hebat. Konon diwaktu orang melatih Iwekang, yang paling dipantang adalah gangguan yang mengagetkan, jika hal mana terjadi, seringkali orang yang sedang berlatih itu akan “Cau-hwe-jip-mo‟ (sesat jalan dan kemasukan api) hingga membikin celaka diri sendiri. Sebaiknya aku menunggu dulu, biar beliau selesai latihan barulah akan kupanggilnya.”

Ia mengikuti terus tingkah-laku Ban Cin-san itu. Ia melihat sesudah mendorong-dorong keatas sebentar, kemudian Ban Cin-san bangkit dan turun dari tempat tidurnya serta melangkah beberapa tindak kedepan, lalu berjongkok dan menjulur tangannya keatas seperti sedang mencekeram sesuatu.

Diam-diam Jik Hong membatin: “Kiranya Kongkong sedang melatih Kim-na-jiu-hoat (ilmu memegang dan menangkap)!”

Tapi sesudah diperhatikan sebentar lagi. Ia melihat gerak-gerik Ban Cin-san makin lama makin aneh, kedua tangannya berulang-ulang mencengkeram entah apa yang hendak dipegangnya, habis itu lantas ditumpuknya kebawah satu persatu dengan rajin dan teratur, jadi mirip tukang batu sedang memasang bata. Namun dilantai situ toh kosong melompong tiada terdapat sesuatu benda apapun, jadi gerak-geriknya itu hanya perbuatan kosong belaka.

Dan sesudah memegang-megang sebentar lagi keudara, kemudian tampak orang tua itu mengukur-ukur dengan kedua tangannya, mungkin merasa sudah cukup besar, lalu kedua tangannya bergaya seperti mengangkat sesuatu benda besar dari tanah dan dimasukkan kedepan.

Jik Hong merasa bingung menyaksikan itu, dengan jelas dilihatnya kedua mata Ban Cin-san itu masih tertutup rapat, gerak-geriknya itu sekarang sudah terang bukan lagi melatih sesuatu ilmu silat apa segala, tapi lebih mirip sigagu sedang main sandiwara. Tiba-tiba teringat oleh Jik Hong ucapan si Mirah dirumah berhala siang tadi bahwa: “Ditengah malam Loya suka bangun untuk pasang tembok!”

Tapi gerak-gerik Ban Cin-san sekarang toh bukan lagi pasang tembok, kalau dikatakan ada sangkut-pautnya dengan tembok, maka lebih mirip kalau dia sedang membongkar tembok.

Lapat-lapat Jik Hong merasakan semacam firasat yang menakutkan. Pikirnya pula: “Ah, tentu Kongkong telah kena penyakit Li-hun-cing (sakit ngelindur). Kabarnya orang yang dihinggap penyakit tidur seperti itu, terkadang orangnya bisa bangun ditengah malam dan jalan-jalan atau bekerja tanpa disadari oleh orang yang bersangkutan sendiri. Bahkan ada yang telanjang bulat berjalan-jalan diatas rumah, ada pula yang membakar rumah dan membunuh orang dan macam-macam perbuatan lain yang aneh-aneh, tapi sesudah mendusin, sama sekali orang yang bersangkutan tidak tahu apa-apa.”

Begitulah Jik Hong melihat pula sesudah Ban Cin-san bergaya memasukan sesuatu benda besar kedalam lubang dinding yang sebenarnya tiada wujudnya itu, kemudian tampak orang tua itu mendorong-dorong lagi beberapa kali dengan kuat keatas, habis itu ia menyemput bata dilantai yang tiada wujud itu lalu dipasangnya, sekali ini benar-benar bergaya sedang pasang batu.

Semula Jik Hong agak merinding menyaksikan perbuatan aneh yang menyeramkan itu kemudian sesudah melihat gayanya yang sedang pasang tembok, maka ia tidak begitu takut lagi sebab sebelumnya sudah diketahui akan hal itu. Katanya didalam hati: “Menurut Tho Ang, katanya Kongkong sering bangun ditengah malam untuk pasang tembok, suatu tanda penyakit tidurnya ini sudah lama dideritanya. Dan pada umumnya orang yang mempunyai sesuatu penyakit aneh tidaklah suka kalau diketahui orang lain. Tho Ang sekamar dan setempat-tidur dengan Kongkong dan tahu pula akan penyakitnya ini, dengan sendirinya Kongkong merasa kurang senang.”

Karena pikirannya itu, rasa ragu-ragunya tadi menjadi hilang. yang terpikir olehnya sekarang hanya: “Dan entah berapa lamanya penyakit tidur Kongkong itu akan berlangsung. Kalau sampai lewat tengah malam hingga sikeparat Go Him merat dengan membawa obat penawar, wah tentu celaka.”

Sementara itu dilihatnya Ban Cin-san sedang bergaya mengambil bata yang dibongkarnya tadi dan dipasang kembali kelubang dinding tanpa wujud itu, kemudian lantas bergaya seperti tukang kapur yang sedang melabur dinding. Dan sesudah segala sesuatu itu selesai dilakukannya, lalu kelihatan orang tua itu bersenyum-senyum dan naik pula keatas ranjang untuk tidur pula.

Pikir Jik Hong: “Setelah sibuk sekian lamanya, mungkin pikiran Kongkong belum lagi tenang kembali, biarlah aku menunggu sebentar lagi untuk memenggilnya.”

Tapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar pintu kamar bapa mertua itu diketok orang beberapa kali, menyusul ada orang memanggil dengan suara tertahan: “Tia-tia, Tia-tia!” Itulah suara sang suami, Ban Ka.

Jik Hong agak terkejut, ia heran pula: “Mengapa Ban-long juga kemari? Untuk apakah dia datang?”

Ia lihat Ban Cin-san terus mendusin dan bangkit, setelah tenangkan diri sejenak, lalu orang tua itu bertanya: “apakah Ka-ji disitu?”

Sebagai seorang jago silat, rupanya Ban Cin-san sangat cepat terjaga bangun asal mendengar sesuatu suara pelahan saja. Malahan jika penyakit ngelindurnya sedang kumat, pada saat itulah malah susah kalau orang hendak menyadarkan dia.

Maka terdengar Ban Ka telah mengiakan diluar kamar. Dan Cin-san lantas turun dari tempat tidurnya dengan enteng tanpa menerbitkan suara sedikitpun, biarpun usianya sudah lanjut, tapi gerak-geriknya ternyata masih gesit sekali, segera ia membukakan pintu dan membiarkan Ban Ka masuk sambil bertanya: “Apakah kau sudah memperoleh keterangan tentang Kiam-boh?” Nyata yang selalu terpikir olehnya adalah kitab pusaka itu.

“Tia!” terdengar Ban Ka memanggil pelahan sekali sambil melangkah masuk dengan sempojongan, cepat ia berpegangan pada sandaran kursi yang berada disitu.

Kuatir kalau bayangan sendiri yang tersorot cahaya rembulan itu akan dilihat oleh mereka, cepat Jik hong meringkuk kebawah jendela sambil mendengarkan dengan cermat, ia tidak berani mengintip gerak-gerik kedua orang itu lagi.

Ia dengar Ban Ka merandek sejenak sesudah memanggil ayahnya tadi, lalu katanya dengan suara terputus-putus: “Tia, men…… menantumu itu bukan …….bukan orang baik-baik.”

Jik Hong terkejut pula, ia heran mengapa sang suami berkata begitu?

Maka terdengar Ban Cin-san sedang tanya: “Ada apa lagi? Suami-isteri bertengkar?”

“Kiam-boh sudah diketemukan. Tia, menantumu itulah yang mengambilnya,” sahut Ban Ka.

“Ha, sudah diketemukan? Itulah bagus, bagus!” seru Cin-san dengan girang. “Dimana kitabnya?”

Jik Hong juga terkejut dan heran tak terkatakan. Ia pikir: “Mengapa dapat diketahui olehnya? Ah, tentu sibocah Khong-sim-jay itu yang telah berkata pada ayahnya.”

Tapi ucapan Ban Ka selanjutnya telah membantah sangkaannya itu. Ban Ka telah memberitahukan kepada ayahnya bahwa dia telah mengetahui gerak-gerik Jik Hong dan Khong-sim-jay yang mencurigakan, maka ia sengaja pura-pura tidur, tapi diam-diam mengawasi tingkah-laku Jik Hong, ia melihat isterinya itu membawa baskon ketaman belakang dan diam-diam ia telah menguntitnya, ia menyaksikan Jik Hong menyembunyikan Kiam-boh kedalam lubang dinding didalam kamar pojok taman sana…..

Sungguh Jik Hong gegetun setengah mati: “O, ayah yang bernasib malang, kitabmu itu kembali jatuh lagi ditangan Kongkong dan Ban-long, untuk merebutnya kembali terang akan maha sulit. Baiklah, aku mengaku salah, memang Ban-long lebih lihay daripadaku.”

Kemudian terdengar Ban Cin-san sedang berkata: “Wah, bagus sekali jika begitu, lekaslah, lekas ambil kitab itu, dan kau boleh pura-pura tidak tahu apa-apa untuk melihat bagaimana kelakuan isterimu itu, jika dia tidak singgung-singgung lagi, maka kau juga tidak perlu katakan padanya. Aku justeru sangat curiga darimanakah datangnya kitab ini, jangan-jangan……. jangan-jangan……….” begitulah ia tidak melanjutkan jangan-jangan apa?

Maka Ban Ka telah berkata: “Tia!” suaranya kedengaran sangat menderita.

“Ada apa?” sahut Cin-san.

“Sebabnya menantumu mencuri Kiam-boh itu, kiranya …….kiranya adalah untuk …….” berkata sampai disini suaranya menjadi gemetar dan seakan-akan tersumbat.

“Untuk siapa?” Cin-san menegas.

“Kiranya adalah untuk……untuk sianjing keparat Go Him itu!” sahut Ban Ka akhirnya.

Telinga Jik Hong serasa mendengung, hampir-hampir ia tidak percaya pada telinganya sendiri. Hanya dalam hati ia berkata: “Perbuatanku itu adalah demi ayahku, mengapa bilang untuk Go Him? Mengapa menuduh aku berbuat untuk Go Him?”

Begitulah Jik Hong merasa penasaran oleh tuduhan Ban Ka itu. Ia dengar Ban Cin-san juga sangat heran dan kejut, orang tua itu telah tanya: “Untuk Go Him, katamu?”

“Ya,” sahut Ban Ka. “Sesudah kulihat dia menyembunyikan Kiam-boh ditaman belakang sana, dari jauh aku menguntitnya pula, siapa duga …….siapa duga setiba diserambi situ, ternyata ia

telah main kasak-kusuk dengan keparat Go Him, perempuan …….perempuan jalang itu benar-benar tidak tahu malu lagi!”

“Tapi selama ini aku melihat tingkah-lakunya toh sangat baik dan sopan, tidak mirip seorang yang kotor seperti itu, apa kau tidak salah lihat? Dan apa yang dibicarakan oleh mereka?” demikian kata Ban Cin-san dengan ragu-ragu.

“Anak kuatir dipergoki mereka, maka tidak berani terlalu mendekat, pula diserambi sana tiada tempat sembunyi, terpaksa aku mengumpet diujung tembok untuk mendengarkan,” tutur Ban Ka. “Tapi suara percakapan sepasang anjing laki-perempuan itu sangat lirih, aku tidak dapat mendengar seluruhnya, hanya sebagian saja dapat kudengar dengan jelas.”

“O,” Cin-san bersuara, katanya: “Sudahlah, Ka-ji sabarlah dulu. Seorang laki-laki masakah kuatir tidak bisa mendapat isteri lagi? Sesudah Kiam-boh itu dapat kita temukan, pula bila rahasia didalam Kiam-boh sudah kita pecahkan, dalam sekejap saja kita akan menjadi kaja-raya sekaligus kau ingin membeli seratus orang isteri dan seribu selir juga sangat gampang. Nah, duduklah kau, bicaralah dengan pelahan-lahan.”

Lalu terdengar suara “krak-krek” papan ranjang, Ban Ka telah duduk ditepi tempat tidur itu, kemudian berkata pula dengan napas terengah-engah. “Sesudah perempuan jalang itu selesai menyembunyikan kitab, rupanya ia sangat senang, bahkan bernyanyi-nyanyi kecil segala. Ketika ketemu gendaknya, yaitu sikeparat Go Him, segera binatang she Go itu cengar-cengir dan berkata padanya: “Suso, tengah malam nanti jangan lupa, lho! Aku menanti engkau digudang kayu sana!” ucapan ini dengan terang dapat kudengar dengan baik, sedikitpun tidak salah.”

“Dan, bagaimana lagi jawab perempuan jalang itu?” tanya Cin-san.

“Dia…….dia mendamperat: “Kau cari mampus, besar amat nyalimu, apakah kau sudah bosan hidup!‟” tutur Ban Ka.

Sungguh hancur hati Jik hong mendengar cercaan pada dirinya itu, ia tidak tahu mengapa mereka memfitnah orang baik-baik? Padahal ia berbuat, demi kepentingan sang suami dan ingin merebut obat penawar untuk menejmbuhkan lukanya, tapi sang suami malah menistanya secara begitu keji, sungguh lelaki yang tidak punya Liangsim, demikian pikir Jik Hong.

Ia dengar Ban Ka sedang melanjutkan ceritanya lagi: “Sesudah kudengar percakapan mereka itu, sungguh hatiku sangat panas, kalau bisa sungguh aku ingin menubruk maju dan bunuh kedua anjing laki dan perempuan itu. Tapi aku tidak membawa senjata, apalagi dalam keadaan terluka, aku tidak dapat menempur mereka secara terang-terangan, segera aku lari kembali kekamar agar sesudah perempuan jalang itu pulang kekamar takkan mencurigai diriku. Dan apa yang dibicarakan sepasang anjing laki dan perempuan itu selanjutnya aku tidak tahu lagi.”

“Hm, bapa anjing tidak nanti melahirkan puteri harimau, dasar sekeluarga she Jik mereka itu adalah manusia-sia rendah semua,” demikian Cin-san memaki. “Baiklah kita pergi mengambil dulu Kiam-boh itu, kemudian kita menjaga diluar gudang kayu untuk menangkap basah perbuatan hina sepasang anjing laki-perempuan itu, lalu habiskan jiwa mereka.”

“Rupanya perempuan jalang itu sudah tidak seranti ditunggu oleh gendaknya, maka jauh sebelum tengah malam sudah keluar sejak tadi,” kata Ban Ka. “Sementara ini mungkin…….mungkin sedang……” saking geregetan barangkali hingga terdengar giginya berkrutukan.

“Jika begitu, sekarang juga kitapun berangkat kesana,” ujar Cin-san. “Bawalah senjata, tapi kau jangan turun tangan, biar aku mengutungi kaki dan tangan mereka dulu, kemudian kau sendiri menghabiskan nyawa sepasang anjing laki-perempuan itu.”

Lalu kelihatan pintu kamar dibuka, sambil memajang Ban Ka, Ban Cin-san membawa puteranya itu menuju ketaman belakang.

Sembari bersandar ditembok, sungguh pedih sekali hati Jik Hong, air matanya bercucuran bagai hujan. Maksudnya ingin luka sang suami bisa lekas sembuh, siapa tahu sang suami berbalik mencurigai dirinya berbuat serong. Sedangkan ayahnya sejak menghilang tidak pernah kembali lagi. Tik Hun telah merana entah kemana dengan menanggung penasaran tanpa berdosa, dan kini……kini sang suami bersikap demikian pula padanya, penghidupan seperti ini entah bagaimana nasib selanjutnya?

Begitulah ia merasakan kekosongan hati, sungguh ia tidak ingin hidup lagi, sama sekali tiada pikirannya buat memberi penyelasan pada sang suami atau minta dikonfrontir dengan Go Him sebagai saaksi, seketika ia cuma merasa badannya lemas dan bersandar didinding.

Selang tidak lama, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, Ban Cin-san dan Ban Ka telah kembali diruangan duduk, mereka sedang berunding pula.

“Tia,” demikian Ban Ka lagi berkata, “kenapa kita tidak bunuh Go Him saja digudang kayu tadi?”

“Didalam gudang hanya terdapat Go Him sendiri,” sahut Cin-san dengan suara rendah, mungkin perempuan jalang itu telah tahu gelagat jelek, maka sudah merat sendiri lebih dulu. Jika kita takbisa menangkap basah perbuatan kotor mereka, mana boleh kita sembarangan membunuh orang mengingat kita adalah keluarga terkemuka dikota Hengciu sini? Kau harus tahu sesudah kita mendapatkan Kiam-boh, masih banyak pekerjaan penting lain yang harus kita lakukan dikota ini, maka kita harus sabar, jangan terburu napsu hingga menggagalkan usaha besar kita!”

“Habis, apakah kita antepin saja urusan ini?” tanya Ban Ka. “Dan cara bagaimana dendam anak ini harus dilampiaskan?”

“Untuk melampiaskan dendam apa sih susahnya?” ujar Cin-san. “Kita dapat gunakan cara lama!”

“Cara lama?” Ban Ka menegas.

“Ya, cara lama! Cara kita mengerjakan Jik Tiang-hoat dulu!” kata Cin-san. Ia merendek sejenak, lalu sambungnya pula: “Sementara ini kau kembali kekamar dulu, sebentar aku akan mengumpulkan para anak murid dan kau boleh datang bersama mereka keluar kamarku. Hati-hatilah, jangan sampai menimbulkan curiga orang.”

Sebenarnya pikiran Jik Hong sedang kusut tak keruan, ia sudah putus asa, yang masih terasa berat olehnya adalah puterinya yang masih kecil itu. Dan demi tiba-tiba mendengar Ban Cin-san menyatakan hendak “menggunakan cara lama dikala mereka mengerjakan Jik Tiang-hoat dahulu” terhadap Go Him, seketika otaknya seperti dikompres dengan es, dengan segera pikirannya jernih kembali, sekilas timbul suatu pertanyaan dalam benaknya: “Dengan cara apakah mereka telah mengerjakan ayahku dahulu?”

Ia pikir hal ini diselidikinya hingga terang. Dan sebentar Kongkongnya akan mengumpulkan para anak muridnya, kemanakah ia harus bersembunyi?

Sementara itu terdengar Ban Ka sedang mengiakan perintah ayahnya, lalu melangkah pergi. Kemudian Ban Cin-san menuju keluar, ia berseru menyuruh pelayan menyalakan pelita dan mengundang para muridnya.

Tidak lama kemudian dari sana-sini terdengarlah suara berisik para muridnya yang sedang mendatangi untuk berkumpul. Jik Hong tahu bila tinggal lebih lama disitu, tentu akan ada orang lalu diluar jendela dan mempergoki jejaknya. Sesudah ragu-ragu sejenak, terus saja ia menyelinap masuk kedalam kamarnya Ban Cin-san. Ia singkap seperei yang menutupi kolong ranjang, lalu menyusup kebawah. Dengan begitu, asal tiada orang menyingkap seperei yang menjulur hampir ketanah itu, tentu tiada seorangpun yang dapat mempergoki jejaknya.

Ia bertiarap melintang dikolong ranjang, tidak lama kemudian tertampaklah ada sinar pelita merembes masuk melalui bawah seperai, ada orang masuk dengan membawa pelita. Ia melihat sepasang kaki yang bersepatu ikut melangkah masuk, itulah kakinya Ban Cin-san. Sesudah kaki itu melangkah disaping kursi, lalu terdengar suara berkeriut perlahan, Ban Cin-san telah duduk diatas kursi. Lalu terdengarlah ia memerintahkan pelayan keluar dan menutup pintu kamar.

Tidak lama, terdengar suara Loh Kun berseru diluar kamar. “Suhu, kami sudah datang semua, silakan Suhu memberi perintah.”

“Ehm, bagus! Nah, kau boleh masuk dulu,” sahut Ban Cin-san.

Segera Jik Hong melihat pintu kamar didorong, sepasang kakinya Loh Kun tampak melangkah masuk, kemudian pintu kamar dikancing lagi.

“Ada musuh telah mendatangi rumah kita, apakah kau tak tahu?” demikian Cin-san mulai bertanya.

“Siapakah musuh itu? Tecu tidak tahu,” sahut Loh Kun.

“Orang itu menyaru sebagai seorang tabib kelilingan, bahkan sudah pernah datang kemari,” ujar Ban Cin-san.

Diam-diam Jik Hong terkejut: “Masakah dia mengenali siapakah gerangan sitabib itu?”

Maka terdengar Loh Kun sedang menjawab: “Tecu telah mendengar juga hal itu dari Go-sute. Dan siapakah musuh itu sebenarnya?”

“Orang itu dalam keadaan menyamar, aku tidak melihat dengan sendiri, maka aku belum dapat meraba asal-usulnya,” kata Cin-san. “Maka besok pagi-pagi hendaklah kau menyelidiki kesekitar utara kota, kemudian melapor padaku hasilnya. Sekarang kau keluar dulu, sebentar aku akan memberi tugas lain lagi.”

Loh Kun mengiakan, lalu keluar kamar.

Berturut-urut Ban Cin-san memanggil pula murid keempat Sun Kin dan murid kelima Bok Heng, apa yang dikatakan pada mereka pada garis besarnya serupa tadi. Hanya saja Sun Kin ditugaskan kesekitar selatan kota dan Bok Heng menyelidiki timur kota. Dikala memberi pesan pada Bok Heng sengaja ditambahkannya: “Go Him akan menyelidiki barat kota, Pang Tan dan Sim Sia akan memberi bantuan dimana perlu. Sedangkan Ban-suko kalian masih sakit, ia takbisa ikut keluar.”

“Ya, Ban-suko memang perlu istirahat dulu,” demikian sahut Bok Heng, lalu membuka pintu dan keluar kamar.

Sudah tentu Jik Hong tahu apa yang dikatakan Ban Cin-san itu sengaja hendak diperdengarkan kepada Go Him agar pemuda itu tidak menaruh curiga apa-apa.

Maka terdengarlah Ban Cin-san sedang memanggil pula: “Go Him masuk!” suaranya tetap tenang dan ramah, sama seperti memanggil Loh Kun dan lain-lain.

Jik Hong melihat pintu kamar terbuka lagi, kaki kanan Go Him melangkah masuk dulu, tampaknya agak ragu-ragu sedetik, tapi akhirnya masuk juga. Ia melangkah maju kedepan Ban Cin-san dan menunggu perintah.

Dari tempat sembunyinya Jik Hong melihat jubah Go Him bagian bawah itu agak keder sedikit, suatu tanda dalam hati Go Him sangat ketakutan, maka tubuhnya agak gemetar.

Maka terdengar Ban Cin-san sedang bertanya: “Kita kedatangan musuh, kau tahu tidak?”

“Tecu sudah mendengar uraian Suhu barusan diluar kamar, katanya adalah tabib kelilingan itu,” sahut Go Him. “Orang itu adalah Tecu yang mengundangnya kemari untuk mengobati Ban-suko, sungguh tidak nyana bahwa dia adalah musuh kita, harap Suhu suka memberi maaf.”

“Orang itu menyamar, pantas juga kalau kau tidak tahu,” ujar Cin-san. “Nah, besok pagi kau pergi kesekitar barat kota untuk menyelidiki, jika ketemukan jejaknya, harus kau mengawasi gerak-geriknya.”

“Ya, Suhu!” sahut Go Him.

Sekonyong-konyong Jik Hong melihat kedua kaki Ban Cin-san bergerak, mendadak orangnya berdiri, tanpa merasa Jik Hong menyingkap sedikit seperai ranjang untuk mengintai keluar. Tapi sekali mengintip, seketika ia kaget setengah mati, hampir-hampir saja ia menjerit.

Ternyata adegan didalam kamar itu membuatnya terbelalak kesima. Ia melihat kedua tangan Ban Cin-san lagi mencekik leher Go Him dengan keras dan Go Him baru saja ulur tangan sendiri hendak melawan, namun sudah keburu tidak berdaya karena kena dicekik. Ia melihat kedua mata Go Him itu mendelik, makin lama makin mencotot keluar hingga mirip mata ikan emas. Telapak tangan Ban Cin-san terluka kena cakaran kuku Go Him, tapi ia mencekik sekuat-kuatnya, betapapun ia tidak mau lepas tangan.

Lambat-laun kedua tangan Go Him mulai terbuka dengan lemas, ia tak mampu berkutik lagi.

Sampai akhirnya Jik Hong melihat lidah Go Him juga menjulur keluar, makin lama makin panjang, keadaannya sangat mengerikan, keruan hati Jik Hong berdebar-debar hebat.

Selang sebentar lagi, pelahan-lahan Ban Cin-san mengendurkan cekikannya, ia sandarkan Go Him diatas kursi. Rupanya ia sudah sediakan apa yang perlu, maka ia telah ambil dua carik kertas kapas yang sudah dibasahi dulu dengan air, lalu ditutup diatas mulut dan hidung Go Him. Dengan demikian pemuda itu takkan dapat bernapas, dan dengan sendirinya juga takkan siuman untuk selamanya.

Diam-diam Jik Hong memikir: “Kongkong pernah berkata bahwa keluarga mereka adalah kaum terkemuka dikota Hengciu sini, tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan ayahnya Go Him kabarnya adalah hartawan disekitar kota, tentu urusan ini takkan selesai sampai disini saja, akibatnya tentu akan geger kelak.”

Dan pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara bentakan Ban Cin-san: “Bagus sekali perbuatanmu, hayolah lekas kau mengaku terus terang, apakah perlu aku hajar kau dahulu?”

Semula Jik Hong kaget sebab mengira jejaknya telah diketahui orang tua itu, tapi mendadak terdengar, suaranya Go Him lagi menjawab: “Suhu, engkau suruh aku meng…….mengaku apakah?”

Sungguh kejut Jik Hong tak terkatakan, sudah jelas dilihatnya Go Him sudah menggeletak diatas kursi tanpa bernyawa lagi, masakah sekarang bisa bicara pula? Apakah pemuda itu telah hidup kembali? Tapi toh jelas kelihatan bukan begitu halnya, Go Him masih tetap bersandar dikursi tanpa bergerak sedikitpun.

Waktu Jik Hong mengintip pula, ia melihat bibir Ban Cin-san sendiri yang sedang bergerak, ia menjadi heran. “Ha, jadi Kongkong yang lagi bicara? Tapi sudah terang tadi itu adalah suaranya Go Him.”

Maka didengarnya pula Ban Cin-san telah membentak lagi: “Mengaku apa? Hm, jangan kau berlaga pilon. Kau sekongkol dengan musuh dan bermaksud mengerjakan sesuatu kejahatan dikota Hengciu ini, apa kau masih berani mungkir?”

“Su…….Suhu, keja……kejahatan apakah?” demikian suaranya Go Him.

Dan sekali ini Jik Hong dapat melihat dengan jelas dan nyata, memang betul Ban Cin-san sedang bicara sendiri dengan menirukan suaranya Go Him, pintar amat cara menirukannya itu hingga serupa benar.

“Kiranya Kongkong masih mempunyai kepandaian simpanan dalam hal menirukan suara orang, mengapa selama ini aku tidak tahu. Apakah maksud tujuannya dengan menirukan suara ucapan Go Him ini?” demikian tanda-tanda tanya yang timbul dalam hati Jik Hong. Dalam lubuk hatinya yang dalam sana lapat-lapat teringatlah sesuatu olehnya, tapi itu hanya sesuatu yang samar-samar yang belum dapat dipelajari dengan baik. Dalam hati kecilnya timbul semacam rasa kuatir yang susah dimengerti.

Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang berkata pula dengan suara keras: “Hm, kau sangka aku tidak tahu, ya? Kau telah sekongkol dengan tabib kelilingan yang kau bawa kemari itu, orang itu adalah seorang penjahat besar, kau sekongkol dengan dia hendak menggerayangi ………”

“Menggerajangi apa, Suhu? Tecu benar-benar tidak tahu?” demikian ia tirukan suaranya Go Him.

Habis itu kembali dengan suara sendiri Cin-san membentak: “Kau hendak menggerajangi kantor Leng-tihu untuk mencuri sesuatu dokumen rahasia, betul tidak? Ha, masih kau berani mungkir?”

“Su……… Suhu, darimanakah engkau mendapat tahu? Suhu, sudilah meng…… mengingat hubungan baik kita selama ini, am…….ampunilah perbuatanku ini, lain…… kali Tecu tidak berani lagi.”

“Hm, urusan sebesar ini, masakah begini gampang mengampuni kau?”

Setelah diperhatikan, Jik Hong merasa suara Go Him yang ditirukan Ban Cin-san itu sebenarnya tidak terlalu mirip, cuma ia sengaja menahan suaranya hingga kedengarannya agak samar-samar, bahkan setiap kalimat selalu ditambahi panggilan “Suhu” dan berulang-ulang menyebut “Tecu”, maka bagi pendengaran orang diluar kantor dengan sendirinya menyangka memang betul adalah Go Him yang sedang bicara. Apalagi dengan nyata semua orang menyaksikan Go Him masuk kedalam kamar serta mendengar percakapan mereka, walaupun suara selanjutnya agak sedikit berlainan, namun selain Go Him masakah didalam kamar itu masih ada orang lain lagi?”

Begitulah pelahan-lahan Ban Cin-san lantas mengangkat mayatnya Go Him, ia berjongkok untuk menyingkap seperai yang menutup kolong ranjang itu.

Keruan Jik Hong ketakutan setengah mati bila kepergok oleh bapa mertuanya.

Sambil menahan napas ia menantikan apa yang akan terjadi. Dibawah sinar pelita yang remang-remang ia melihat sebuah kepala orang menyusup dulu kekolong ranjang, itulah kepalanya Go Him dengan matanya yang mendelik bagai mata ikan mas. Karena mayat Go Him itu terus dijejalkan kekolong ranjang oleh Cin-san, terpaksa Jik Hong menggeser sedapat mungkin, namun badannya toh saling dempel juga dengan mayat itu.

Dalam pada itu sandiwara Ban Cin-san masih main terus, terdengar ia berkata: “Nah, Go Him, apakah kau tidak lekas berlutut? Segera akan kuringkus kau untuk diserahkan kepada Leng-tihu, apakah beliau akan mengampuni kau atau tidak, itulah aku tidak berani menyamin.”

“Suhu, apakah engkau benar-benar tidak dapat mengampuni Tecu?” demikian suara Go Him tiruan.

Maka Cin-san menjawab: “Hm, mempunyai murid seperti kau, pamorku sudah kau bikin ludas, masakah masih ingin aku mengampuni kau?”

Lalu Jik Hong melihat orang tua itu mengeluarkan sebilah belati dari bajunya, pelahan-lahan Cin-san menikam kedada sendiri. Tapi didalam baju dibagian dada itu entah sudah diganyal dengan gabus atau benda lain yang empuk maka begitu belati ia ditusukan, segera menancap tegak disitu.

Dan baru saja Jik Hong tahu apa yang bakal terjadi, benar juga segera terdengar suara bentakan Ban Cin-san: “Masih kau tidak mau berlutut?”

Menyusul ia menirukan suara Go Him: “Suhu, engkaulah yang terlalu mendesak padaku, kau tidak dapat menyalahkan aku lagi!”

Dan mendadak Ban Cin-san berteriak: “Aduuuuh!” berbareng ia tendang daun jendela hingga terpentang sambil berteriak pula: “Bangsat kecil, kau……kau berani menyerang gurumu?”

Segera terdengarlah suara gedubrakan, pintu kamar telah didobrak Loh Kun dan lain-lain dari luar dan beramai-ramai mereka lantas menyerbu kedalam kamar. Mereka melihat sang guru lagi memegangi dada, dari celah2 jarinya merembes keluar air darah (besar kemungkinan adalah tinta merah yang sudah dipegangnya lebih dulu).

“Ia……..lari kesana!  Bangsat  kecil itu  sudah lari sesudah menikam aku satu kali!” demikian seru Ban Cin-san dengan suara terputus-putus dan agak sempojongan. Le……lekas kejar, ke…..kejar!” dan habis itu, segera iapun jatuhkan dirinya diatas ranjang.

Ban Ka pura-pura kuatir, ia berteriak-teriak: “Tia-tia! Tia-tia! Parah tidak lukamu?”

Dalam pada itu Loh Kun, Sun Kin, Bok Heng, Pang Tam dan Sim Sia berlima sudah lantas melompat keluar jendela dan menguber sambil membentak-bentak. Seisi rumah sama terkejut juga hingga geger.

Jik Hong yang sembunyi dikolong ranjang itu merasa mayat Go Him lambat-laun mulai dingin. Ia sangat takut, tapi sedikitpun tidak berani bergerak. Ia tahu Kongkong masih merebah diatas ranjang dan sang suami juga berdiri didepan ranjang situ.

Maka terdengarlah Ban Cin-san sedang bertanya dengan suara rendah: “Ada orang menaruh curiga tidak, Ka-ji?”

“Tidak,” sahut Ban Ka. “Sungguh mirip benar permainan ayah. Sama seperti waktu membunuh Jik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara.”

“Sama seperti waktu membunuh Jik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara”, kata-kata ini seperti sebilah belati tajam yang menikam ulu hati Jik Hong.

Memangnya lapat-lapat sudah timbul firasat tidak enak dalam hatinya, cuma saja ia masih tidak percaya akan kemungkinan itu. Ia pikir: “Selamanya Kongkong toh sangat ramah-tamah padaku, suami juga sangat baik dan mencintai aku, masakah mungkin mereka membunuh ayahku?”

Dengan sembunyi dikolong ranjang, Jik Hong dapat mengikuti Ban Cin-san membunuh muridnya sendiri, yaitu Go Him, dengan secara licik. Ternyata bapa mertua itu pandai pula menirukan suara orang lain. Seketikan Jik Hong teringat kepada kejadian ayahnya dahulu, apa barangkali ayahnya juga telah menjadi korban kelicikan Ban Cin-san itu?

Tapi sekarang ia telah mendengar dan melihat sendiri, dengan rapi mereka telah atur perangkap untuk membunuh Go Him. Pantas waktu dulu iapun mendengar suara ayahnya yang sedang bertengkar dengan Ban Cin-san didalam kamar, kemudian melihat Ban Cin-san terluka oleh tikaman ayahnya serta melihat daun jendela terbuka, ayahnya tentu sudah kabur melalui situ. Dan sekarang sudah jelas duduknya perkara, semuanya itu adalah sandiwara belaka yang sengaja diatur oleh Ban Cin-san. Pada waktu itu ayahnya tentu sudah dibunuh olehnya, lalu Ban Cin-san menirukan suara ayahnya, pantas waktu itu suara ayahnya kedengaran agak serak berbeda daripada biasanya. Dan rupanya memang sudah takdir ilahi bahwa kejahatan Ban Cin-san itu harus tamat riwajatnya, secara kebetulan sekarang ia sembunyi dikolong ranjang hingga dengan mata kepala sendiri menyaksikan adegan yang mengerikan itu. Coba kalau tidak melihat sendiri, siapa orangnya yang mau percaya?

Begitulah maka terdengar Ban Ka lagi bicara: “Dan perempuan hina itu, bagaimana harus ditindak? Apakah kubiarkan begitu saya?”

“Sabar dulu, pelahan-lahan kita dapat bereskan dia,” ujar Cin-san. “Harus kita lakukan dengan tak diketahui orang dan tak dilihat setan supaya tidak merusak nama baik keluarga Ban dan mencemarkan pamor kita berdua.”

“Ya, memang cara berpikir ayah sangat rapi,” sahut Ban Ka. Dan tiba-tiba ia menjerit: “Aduuuh……..”

“Ada apa?” tanya Cin-san cepat.

“Luka ditangan anak ini kembali kesakitan lagi,” kata Ban Ka.

“O!” Cin-san bersuara. Dan dalam hal ini memang dia sama sekali tak berdaya.

Bicara tentang luka Ban Ka itu, Jik Hong lantas ingat obat penawar yang berada pada Go Him itu. Pelahan-lahan ia ulur tangannya untuk menggerajangi bajunya Go Him, ia merasa botol porselin kecil itu masih berada didalam sakunya, segera ia mengambilnya dan dimasukan dalam baju sendiri. Dengan rasa pilu ia memikir: “Ban-long, o, Ban-long, hanya separoh pembicaraan keparat Go Him ini yang kau dengar dan kau sudah lantas mendakwa aku berbuat serong dan sebab itu juga kau tidak dengar bahwa obat penawar berada pada keparat ini. Sesudah dia dibunuh oleh ayahmu, sebenarnya dengan tanpa susah2 kau dapat mengambil obat penawar ini, tapi toh kalian tidak tahu.

Sementara itu karena tidak menemukan bayangan Go Him, tidak lama kemudian Loh Kun dan lain-lain telah pulang juga satu-persatu serta datang pada Ban Cin-san untuk tanya keadaan sang guru itu.

Waktu itu Ban Cin-san sudah membuka baju hingga dadanya telanjang, tampak kain pembalut membelebat dari leher memutar kedada, melingkar kepunggung, lalu membalut kembali kedada dan naik lagi keleher.

Sekali ini lukanya tidak begitu parah seperti dahulu. Habis, ilmu silat Go Him tidak mungkin lebih lihay daripada paman gurunya Jik Tiang Hoat. Walaupun tikamannya itu cukup hebat, tapi tidak membahayakan. Demikian permainan sandiwara Ban Cin-san.

Dan sudah tentu para muridnya sangat lega melihat sang guru tidak berbahaya lukanya, mereka sama mencaci-maki pada Go Him yang dikatakan manusia durhaka dan murtad, semuanya menyatakan besok akan pergi mencari orang-tuanya untuk diajak bikin perhitungan, mereka mengharap sang guru merawat diri baik-baik, lalu mengundurkan diri. Hanya tinggal Ban Ka yang masih duduk ditepi ranjang untuk menjaga ayahnya.

Jang gelisah adalah Jik Hong, ia ingin mencari suatu kesempatan untuk lari keluar, ia meringkuk disebelah mayat Go Him, rasanya muak dan sebal, maka sedapat mungkin ingin lekas pergi, tapi kuatir pula kalau diketahui oleh Ban Cin-san berdua, sama sekali ia tiada akal untuk meloloskan diri.

Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san lagi bicara: “Kita harus bereskan dulu mayatnya, jangan sampai rahasia kita diketahui orang.”

“Apakah akan dibereskan seperti caranya Jik Tiang-hoat?” tanya Ban Ka.

Cin-san memikir sejenak, lalu katanya: “Ya, lebih baik dengan cara lama itu.”

Jik Hong meneteskan air mata pedih, katanya didalam hati. “Dengan cara bagaimanakah mereka telah kerjakan ayahku?”

“Apakah akan dipasang disini? ayah tidur disini, apakah tidak merasa risi?” tanya Ban Ka.

Sementara boleh aku pindah kekamarmu,” sahut Cin-san. “Yang kukuatirkan ialah mungkin masih akan timbul sesuatu yang sulit, masakah orang begitu baik hati menghantarkan kembali Kiam-boh ini kepada kita? Maka kita berdua harus bersatu-padu untuk melawan musuh. Kelak kalau kita sudah kaja-raya masak kuatir tidak punya gedung yang lebih mentereng daripada ini?”

Ketika mendengar mayat Go Him akan “dipasang” disitu, seketika terkilas sesuatu dalam benak Jik Hong, segera iapun paham duduknya perkara: “Ya, dia …….dia telah pasang mayat ayahku didalam tembok. Dengan licin ia telah musnakan mayat ayahku, pantas selama ini tiada kabar-berita tentang jejak ayahku. Pantas pula Kongkong…… tidak, tidak, ia bukan Kongkong lagi, tapi jahanam Ban Cin-san itu suka bangun ditengah malam untuk pasang tembok. Rupanya dia terlalu banyak berbuat kejahatan, pikirannya terganggu, maka telah kena penyakit tidur, dalam tidurnya ia suka bangun untuk pasang tembok……”

Kemudian ia dengar Ban Ka sedang tanya: “Tia, sebenarnya apakah manfaat yang berada pada Kiam-boh itu? Engkau mengatakan kita akan mendapatkan harta karun hingga kaya-raya mendadak? Apa barangkali kitab ini bukan……bukan kitab ilmu silat segala, tapi adalah sesuatu rahasia mengenai suatu partai harta karun terpendam?”

“Ya, sudah tentu bukan kitab ilmu silat, tapi yang dikatakan didalam Kiam-boh itu adalah suatu tempat simpanan harta karun,” sahut Cin-san. “Dahulu situa bangka Bwe Liam-sing hendak mewariskan kitab itu kepada orang luar, hehe, benar-benar tua bangka, masakah murid sendiri juga tak dipercayai. Eh, Ka-ji, lekas, lekas kau ambil Kiam-boh itu.”

Setelah ragu-ragu sejenak, kemudian Ban Ka mengeluarkan sejilid buku dari bajunya. Kiranya sepeninggalnya Jik Hong dari kamar pojok taman itu, segera Ban Ka masuk kesitu dan mengeluarkan kitab itu dari lubang dinding.

Kitab itu habis direndam oleh Jik Hong, maka sampulnya belum lagi kering. Ban Cin-san menerima kitab itu sambil melirik sekejap pada puteranya itu, pikirnya: “Barusan mengapa kau ragu-ragu? Kenapa tak mau keluarkan kitab itu secara blak-blakan? Apa kau hendak membohongi aku untuk mengangkangi sendiri kitab ini?”

Tapi sekarang ia tiada waktu buat menyelami pikiran sang putera itu, segera ia membalik-balik kitab itu satu halaman demi satu halaman.

Sesudah terendam sekian lamanya didalam air darah yang berbisa dibaskom itu, kedua halaman sampul berikut beberapa halaman muka dan belakang dari kitab itu sudah basah semua, tapi halaman-halaman bagian tengah masih tetap kering.

Maka dengan suara rendah Ban Cin-san telah berkata: “Kitab ini apakah dapat kita pertahankan atau tidak sesungguhnya sulit dipastikan. Paling penting sekarang kita harus menyelidiki rahasia yang tertulis didalam kitab ini, dan bila kemudian kitab ini dirampas orang lagi, hal mana takkan menjadi soal bagi kita. Nah, pergilah ambil sebatang potlot dan kertas, kita harus mencatatnya dengan baik. Nah, kau juga harus hapalkan jurus pertama dari Soh-sim-kiam-hoat berasal dari syair “Yun-kui‟ (Musim semi tiba pula) ciptaan To Hu (Tu Fu, penyair tersohor dijaman dinasti Tong) ……”

Sembari berkata ia terus gunakan jarinya untuk mengambil ludah, lalu digunakan membasahi halaman kitab yang tertulis syair To Hu itu, tiba-tiba ia berseru pelahan kegirangan, katanya: “Ha, angka “empat‟! Empat…….empat…….bagus! Huruf keempat adalah “Kang‟, nah, catatlah yang betul. Dan jurus kedua berasal dari syair To Hu pula yang berjudul “Tiong-kang-ciau-leng‟.” Kembali ia membasahi jari dengan ludah dan lagi-lagi ia bersorak pelahan: “Ha, angka “51′. Nah, satu, dua, tiga, empat, lima………” begitulah ia menghitung terus satu huruf demi satu

huruf hingga huruf ke51, dan ternyata jatuh pada huruf “Leng‟. “Ha, huruf “Leng‟, jadi “Kang-leng‟, bagus. “Kang-leng‟, kiranya memang betul adalah di Hengciu sini.”

“Tia-tia, hendaklah pelahan sedikit suaramu,” kata Ban Ka ketika melihat ayahnya menjadi lupa daratan saking girangnya.

Maka Ban Cin-san telah tersenyum, katanya: “Ya, benar, memang tidak boleh lupa daratan saking senangnya. Nah, Ka-ji, jerih-payah ayahmu ini akhirnya tidaklah sia-sia, rahasia besar ini akhirnya dapat kita ketemukan juga!”

Dan sekonyong-konyong ia menutup kembali halaman kitab itu, katanya dengan suara tertahan: “Tapi, Ka-ji, sebab apakah musuh sengaja menghantarkan Kiam-boh ini kepada kita, sekarang aku sudah tahulah!”

“Sebab apakah?” Hal mana sampai sekarang aku masih tidak paham,” ujar Ban Ka.

“Ya, sebab setelah mendapatkan Kiam-hoat ini, tetap musuh tak dapat memecahkan rahasia didalam kitab, dan dengan sendirinya tiada berguna, bukan?” kata Ban Cin-san dengan berseri-seri. “Padahal Soh-sim-kiam-hoat kita setiap jurusnya memakai nama yang berasal dari syair jaman Tong, dengan sendirinya orang dari golongan lain takkan tahu hal ini. Didunia ini sekarang hanya aku dan Gian Tat-peng yang ingat dengan baik nama-nama jurus ilmu pedang kita. Hanya aku dan dia yang tahu nama setiap jurus itu berasal dari syair yang mana. Seperti jurus pertama harus mencarinya pada syair “Jin-kui‟ dan jurus kedua harus mencari pada syair “Tiong-kang-ciau-leng‟ dan begitu seterusnya.”

“Tia, kenapa kau tidak pernah mengajarkan padaku?” demikian Ban Ka bertanya.

BanCin-san tampak agak kikuk oleh teguran itu, segera ia menjawab: “Habis aku mempunyai delapan anak murid, setiap hari kalian berada bersama, kalau melulu aku ajarkan padamu, tentu juga akan diketahui oleh mereka, dan itu berarti bikin urusan runyam.”

“O, kiranya musuh mempunyai tipu muslihat tertentu, ia ingin kita menemukan rahasia didalam kitab ini dan membiarkan kita pergi mencari harta karun itu, kemudian ia akan menyergap kita, dengan demikian ia akan keduk keuntungannya tanpa susah payah,” demikian kata Ban Ka.

“Ya, memang betul terkaanmu,” kata Cin-san. “Maka setiap tindakan kita harus waspada, jangan sampai usaha kita sia-sia belaka, jangan-jangan harta karun belum diperoleh, tapi jiwa kita sudah melayang dulu ditangan musuh.”

Kemudian itu menggunakan ludah pula untuk membasahi syair ketiga, katanya: “Jurus ketiga dari Soh-sim-kiam-hoat kita berasal dari syair “Song-ko-si‟ ciptaan Ju Bek, angka kuncinya adalah “33′ seperti apa yang sudah kelihatan ini, nah, satu, dua, tiga, empat…….Ha, huruf tiga-puluh-tiga jatuh pada huruf “Seng‟

(kota). Eh, jadi lengkapnya adalah “Kang-leng-seng‟ (kota Kang-leng atau Hengciu). Aha, ini dia, memang benarlah, tidak salah lagi, apa yang mesti disangsikan pula? He, kenapa tanganku ini terasa sangat gatal?”

Begitulah tiba-tiba ia merasa punggung tangan kirinya sangat gatal, segera ia kukur-kukur dengan tangan kanan. Tapi punggung tangan kanan ikut terasa gatal pula, cepat ia garuk-garuk lagi dengan tangan kiri dan begitulah secara berulang-ulang, ia kukur-kukur sini dan garuk sana.

Sesudah kukur-kukur dan garuk-garuk, sebenarnya Ban Cin-san tidak ambil perhatian, kembali ia membaca isi Kiam-boh pula dan berkata: “Dan jurus keempat ini……….he, gatal benar?” dan

kembali ia kukur-kukur tangan kiri. Tapi sekali ini ia coba periksa tangan itu, ia melihat punggung tangan disitu terdapat beberapa jalur bekas tinta hitam, keruan ia heran, ia merasa tidak pernah menulis, kenapa tangannya terpercik noda tinta?

Sementara itu ia merasa tangannya semakin gatal, waktu ia periksa tangan kanan, disitu juga terdapat beberapa jalur bekas tinta bak yang silang melintang tak keruan.

“Ha, ayah, dari……..darimanakah noda hitam diatas tanganmu itu?” demikian teriak Ban Ka tiba-tiba. “Tampaknya tanda itu seperti terkena racun ketungging Gian Tat-peng itu?”

Ban Cin-san tersadar oleh ucapan puteranya itu, ia merasa tangannya semangkin gatal, tanpa merasa ia garuk-garuk lagi kesana dan kesini.

“Wah, jang………jangan  digaruk, racun itu berasal  dari kukumu itu,” seru Ban Ka.

“Ai, memang benar!‟ segera Ban Cin-san juga berteriak. Iapun sadar seketika, katanya: “Ya, karena Kiam-boh ini direndam didalam air darah berbisa oleh siperempuan jalang itu, dengan sendirinya kitab inipun mengandung racun jahat itu. Ai, ku……. kurangajar sikeparat Go Him itu, mati saja tidak rela

hingga tanganku kena dicakarnya sampai terluka, dan sekarang racun ketungging telah masuk melalui luka ini, rasaku menjadi risi, tapi agaknya tidak apa-apa……..Aduuuh, kenapa makin

lama semakin sakit. Auuuuuh, aduuuuh!” begitulah saking tak tahan akhirnya ia merintih-rintih kesakitan.

“Tia, agaknya racun ketungging yang masuk ditanganmu itu, tidak banyak, biarlah kuambilkan air untuk dicuci,” ujar Ban Ka.

“Ya, benar!” sahut Ban Cin-san. Dan mendadak ia berseru: “Tho Ang! Tho Ang! Ambilkan air!”

Ban Ka mengkerut kening, ia pikir: “Ayah barangkali sudah pikun? Sudah lama Tho Ang telah diusir olehnya sendiri, kenapa sekarang memanggil-manggil?”

Segera iapun mengambil sebuah baskom, dengan cepat ia menuju ketepi sumur, ia menimba air satu baskom penuh, lalu dibawa masuk kekamar dan ditaruh diatas meja. Terus saja Ban Cin-san masukan kedua tangannya untuk direndam didalam baskom, dan memang benar kerendam air dingin, rasa sakit dan gatalnya menjadi jauh berkurang.

Diluar dugaan bahwa racun ketungging yang mengenai Ban Ka itu telah berubah sifatnya, sesudah dibubuhi obat penawar satu kali, darah hitam yang merembes keluar dari lukanya itu telah berubah sifatnya menjadi semacam racun lain jauh lebih jahat daripada racun semula, apalagi tangan Ban Cin-san itu bekas luka kena cakaran Go Him, luka cakaran itu tergurat cukup dalam hingga racun yang meresap kesitupun jauh lebih cepat dan lebih berat.

Maka hanya sebentar saja ia merendam tangannya, segera air didalam baskom itu berubah menjadi hitam, bahkan lambat-laun air hitam itu berubah menjadi ketat hingga mirip tinta bak.

Keruan Ban Cin-san saling pandang dengan Ban Ka, mereka sangat terkejut. Sejenak kemudian, waktu Ban Cin-san mengangkat tangannya, mendadak ia menjerit kaget. Ternyata kedua tangannya itu telah abuh seakan-akan menjadi dua bola, sekalipun luka tangan Ban Ka yang disengat ketungging waktu hari juga tidak sejahat sekarang ini.

“Ai, celaka! Mungkin tidak boleh direndam didalam air!” seru Ban Ka.

Saking kesakitan Ban Cin-san menjadi mata gelap, “bluk”, kontan ia tendang pinggang Ban Ka sambil memaki: “Binatang, jika tahu tidak boleh direndam dengan air, kenapa tadi kau mengambilkan air? Bukankah kau sengaja hendak bikin celaka padaku?”

Karena tendangan itu, saking kesakitan sampai Ban Ka menyengking meringis sambil pegang pinggangnya. Katanya dengan suara terputus-putus: “Ak……..akupun tidak tahu, mana mungkin sengaja hendak bikin celaka pada ayah?”

Dengan jelas Jik Hong yang sembunyi dikolong ranjang itu dapat mengikuti percekcokan ayah dan anak itu, tapi perasaannya waktu itu tak keruan rasanya, entah merasa sedih atau girang, karena mengingat akan dapat menuntut balas.

Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san lagi berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak: “Wah bagaimana ini, bagaimana ini?”

“Dikamarku sana ada sedikit obat tahan sakit, meski takbisa memunahkan racun, tapi dapat menghilangkan rasa sakit sementara, apakah ayah mau memakainya?” kata Ban Ka.

“Ya, ja! Lekas, lekas ambil sana!” sahut Cin-san.

“Tapi apakah manjur atau tidak, anak tidak berani menyamin, lho!” kata Ban Ka. “Jangan-jangan tidak manjur, nanti ayah akan marah dan menendang aku lagi!”

“Maknya!” damperat Cin-san dengan gemas. “Bapakmu sudah hampir sekarat dan kau masih merasa penasaran karena tendangan tadi? Kau diberi gegares hingga sebesar cecongormu itu, hanya tendangan sekali saja apa salah? Bangsat, hayo lekas pergi ambil, lekas!”

Terpaksa Ban Ka mengiakan, lalu putar tubuh dan keluar.

Melihat diwaktu perginya sang putera masih mengunjuk sikap penasaran, diam-diam Cin-san merasa was-was. Ia lihat kedua tangan sendiri bukan main besarnya, mirip pelembungan yang ditiup hingga penuh, kulit sebagian tangan itu sampai menitis, kerut kisutnya sampai tak kelihatan lagi, kalau abuh lagi sedikit, bukan mustahil bisa segera pecah.

“Marilah kita pergi bersama!” serunya segera kepada sang putera. Dengan demikian ia pikir akan terhindar dari kemungkinan dipermainkan oleh puteranya sendiri. Maka lebih dulu ia masukan Soh-sim-kiam-boh kedalam baju, lalu menyusul kearah Ban Ka dengan langkah cepat.

Mendengar kedua orang itu sudah pergi jauh, segera Jik Hong merangkak keluar dari kolong ranjang, pikirnya: “Kemana aku harus pergi sekarang?” sesaat itu ia menjadi bingung, ia merasa dunia seluas itu baginya seakan-akan sebesar daun kelor dan tiada tempat berteduh baginya.

“Mereka telah membunuh ayahku, sakit hati ini masakah tak kubalas? Tapi dendam sedalam lautan ini cara bagaimana harus membalasnya? Bicara tentang ilmu silat, terang aku selisih sangat jauh dibandingkan Kongkong dan Ban-long, apalagi mereka percaya penuh bahwa aku telah bergendak dengan Go Him, bukan mustahil sekali bertemu dengan mereka pasti aku akan dibunuhnya, dan cara bagaimana aku harus melawan mereka? Jalan satu-satunya sekarang ialah……..ialah pergilah mencari

dulu Tik-suko, bila sudah ketemu, tentu akan dapat dicari jalan yang sempurna untuk menuntut balas. Dan bagaimana dengan Khong-sim-jay? Ai, mana boleh kutinggalkan dara cilik itu?”

Begitulah demi teringat kepada puterinya yang masih kecil itu, ia menjadi tidak tega tinggal minggat. Segera ia berlari keloteng dibelakang sana, ia bertekad akan membawa puterinya itu untuk melarikan diri dan kelak baru akan dicari jalan membalas dendam. Dalam hati kecilnya iapun tidak berani percaya seratus prosen bahwa ayah dan anak she Ban itu benar-benar adalah orang yang membunuh ayahnya. Memang Ban Cin-san dikenalnya sebagai seorang manusia keji dan kotor. Tapi Ban Ka? Suaminya selama ini sangat mencintainya, betapapun hubungan suami-isteri itu susah diakhiri begitu saja.

Ketika ia berlari-lari sampai dibawah loteng, ia mendengar suara Ban Cin-san yang serak sedang berteriak-teriak kalap. “Begitu berisik suaranya, tentu Khong-sim-jay akan terjaga bangun dengan kaget,” demikian pikir Jik Hong.

Cinta kasih ibu memang suci murni. Demi ingat kemungkinan puterinya akan terjaga bangun dan kaget, tanpa pikirkan bahaya atas diri sendiri, segera Jik Hong naik keatas loteng dengan pelahan-lahan, dengan hati-hati ia berusaha tidak mengeluarkan suara.

Kamar tidur Khong-sim-jay terpisah dibelakang kamar tidur suami-isteri mereka, yaitu dipisah dengan selapis papan. Sesudah Jik Hong menyelinap kedalam kamar itu, dari sinar pelita yang tembus dari kamar tidurnya sendiri, ia melihat puterinya itu sudah lama terjaga bangun, dengan mata terbelalak dara cilik itu kelihatan sangat ketakutan, dan begitu melihat ibundanya sudah datang, segera bocah itu mewek-mewek hendak menangis.

Cepat Jik Hong memburu maju terus memeluknya kencang-kencang, ia memberi tanda agar bocah itu jangan bersuara.

Anak dara itu memang pintar dan menurut pula, benar juga ia lantas diam saja. Maka ibu dan anak berdua lantas berkelonan diatas ranjang.

Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang berteriak-teriak: “Wah, celaka! Obat tahan sakit ini makin membikin sakit malah, bagaimana baiknya ini? Hayolah lekas cari tabib kampungan itu, harus memakai obat penawarnya itu baru dapat sembuh!”

“Ya, benar, harus memakai obatnya itu barulah racun itu bisa dipunahkan,” Ban Ka ikut berseru. “Nanti kalau sudah terang tanah, segera suruh Loh-toako dan lain-lain keluar serentak untuk mencari tabib kampungan itu.”

“Masakah mesti menunggu sampai terang tanah?” semprot Cin-san dengan gusar. “Kenapa tidak…. Aduuuh…. Aduuh.… Aduuuuh! Aku tak tahan, aku tak tahan!” dan mendadak ia terus terguling dilantai saking kesakitan sampai ia berkeloyotan kian kemari seperti orang sekarat. Dan mendadak ia berteriak pula. “Lekas, lekas ambil pedang! Potong……potonglah kedua tanganku ini, lekas potong kedua tanganku!”

Menyusul lantas terdengar suara gedubrakan dan gemerantang, suara jatuhnya meja kursi dan pecah hancurnya perkakas rumah tangga sebangsa mangkok-cangkir. Dengan ketakutan Khong-sim-jay peluk ibundanya dengan kencang, mukanya pucat. Tapi pelahan-lahan Jik Hong telah mengelus-elus dara cilik itu agar jangan takut, namun iapun tidak berani bersuara.

Rupanya Ban Ka juga sangat gugup dan kuatir, terdengar ia sedang berkata: “Tia, harap kau bisa tahan sebentar saja, masakah tanganmu boleh dipotong? Lebih baik kita harus mencari obat penawarnya.”

Mungkin Ban Cin-san sudah tidak tahan lagi oleh siksaan luka yang berbisa itu, mendadak ia menjadi murka, bentaknya dengan mendelik: “Kenapa kau tidak mau memotong kedua tanganku untuk membebaskan aku dari siksaan kesakitan? Ha, tahulah aku, tentu kau……kau ingin aku lekas-lekas mati agar kau bisa ……bisa kangkangi sendiri  Kiam-boh  ini,  kau  ingin mendapatkan harta karun itu sendirian…….”

Ban Ka menjadi gusar juga karena dituduh secara tidak semena-mena, sahutnya: “Tia, saking kesakitan hingga pikiranmu agak linglung, lebih baik engkau tidurlah sebentar. Padahal bila engkau tidak memimpin dalam urusan ini, apa sih gunanya aku mendapat Kiam-boh itu?”

“Hm, pikiranku linglung? Tapi pikiranmu sendiri sudah tidak bermaksud baik,” sahut Cin-san sambil tiada hentinya berkeloyotan kian kemari dilantai. “Aduuuh, mati aku, sakitnya!…….Matilah aku…….. Ya, toh aku akan mati, biarlah kita bubar pasar saja, kita semua takkan mendapatkan apa-apa!”

Mendadak matanya merah membara, segera ia mengeluarkan Kiam-boh itu dari bajunya, lalu satu halaman demi satu halaman dirobeknya.

Keruan Ban Ka terkejut dan merasa sayang, cepat ia berseru: “Hai, jangan, jangan disobek!” Dan segera ia mencegahnya, terus saja ia pegang sebelah kitab itu,

Tapi Ban Cin-san masih pegang erat-erat bagian lain dari kitab itu dengan mati-matian, betapapun ia tidak mau lepas.

Kiam-boh itu habis direndam didalam air berdarah, sebegitu jauh masih belum kering, sekarang kena ditarik lagi oleh kedua orang, seketika kitab itu terobek menjadi dua bagian. Ban Cin-san pegang separoh jilid dan Ban Ka juga memegang setengah buku.

Selagi Ban Ka tertegun oleh kejadian itu, kembali Ban Cin-san mulai merobek-robek lagi halaman kitab itu.

Sudah tentu Ban Ka merasa berat kehilangan kitab itu, ia tidak rela harta karun yang diimpikan oleh setiap orang itu akan lenyap begitu saja, segera ia merangsang maju untuk merebut lagi bagian kitab ditangan ayahnya itu. Maka terjadilah betot-membetot, akhirnya saling gumul, dan kitab itu menjadi makin kumal dan hancur berkeping-keping.

Sekonyong-konyong Ban Ka menjerit: “Aduuuh, sakitnya!”

Kiranya setelah terjadi tarik dan betot dan akhirnya saling gumul itu, tanpa sengaja luka ditangan Ban Ka itu kena pula racun yang meresap didalam kitab itu. Dan racun yang berada didalam kitab itu sungguh bukan main jahatnya, hanya sekejap saja kedua tangan Ban Ka kembali abuh lagi seperti pelembungan, rasa sakitnya yang menusuk ulu hati dan merasuk tulang itu benar-benar susah ditahan. Apalagi dasar ilmu silatnya selisih jauh kalau dibandingkan ayahnya, sehabis sakit tentu tenaganya juga masih lemah. Sebab itulah, begitu racun itu masuk kedalam lukanya dan meresap mengikuti aliran darah, maka kumatnya menjadi cepat luar biasa.

Jadi sekarang kedua orang ayah dan anak itu sama-sama berkelojotan diatas lantai sambil menjerit-jerit ngeri.

Sesudah mendengarkan agak lama, akhirnya Jik Hong merasa tidak tega, betapapun hubungan suami-isteri selama itu telah mendorongnya bertindak, ia tidak dapat berpeluk tangan menonton saja. Segera ia bangkit dari tempat tidur dan menuju kepintu kamar. Melihat Ban Cin-san berdua masih bergulung2 dilantai, segera ia menegur dengan dingin: “Ada apakah kalian? Kenapa bergulingan ditanah?”

Melihat Jik Hong, tiada waktu buat marah lagi bagi Ban Cin-san berdua. Segera Ban Ka memohon: “Hong-moay, tolong, tolonglah lekas pergi mencari tabib kampungan itu, mohonlah dia suka lekas meracikan obat penawarnya, aduuuh…….. sungguh sakit sekali, aku tidak tahan lagi, mo……. mohon bantuanmu…….”

Melihat keringat memenuhi jidat sang suami dengan menahan sakit, hati Jik Hong semakin lemah lagi, tanpa pikir ia lantas mengeluarkan botol porselin kecil itu, katanya: “Obat penawarnya berada disini!”

“Wah, bagus, bagus!” serentak Ban Cin-san dan Ban Ka berteriak girang bagaikan orang tarik lotere 150 juta. Segera mereka meronta-ronta untuk merangkak bangun.

Melihat sorot mata Ba Cin-san yang menampilkan sifat buasnya binatang, Jik Hong pikir kalau kesempatan ini tidak digunakan untuk memaksa pengakuannya, mungkin kelak akan susah mejelidiki duduknya perkara sebenarnya. Maka ia lantas membentak: “Tahan dulu, jangan bergerak! Asal kalian ada yang melangkah maju satu tindak saja, segera obat penawar ini akan kulemparkan kedalam empang dibawah sana, biar kita mati semuanya!” Sembari berkata ia terus membuka daun jendela dan membuka sumbat botol pula, ia angsurkan botol porselin itu keluar jendela, asal dia lepas tangan, segera botol itu akan jatuh kedalam empang dan obatnya akan bujar terkena air serta takbisa dicari lagi.

Ban Cin-san berdua menjadi mati kutu, benar juga mereka tidak berani sembarangan bergerak, mereka terpaku ditempatnya sambil saling pandang.

“Eh, menantuku yang baik, asal kau memberikan obat penawar itu, aku berjanji akan meluluskan kau ikut pergi bersama Go Him, sedikitpun aku takkan merintangi kalian. Selain itu aku akan menghadiahkan pula seribu tahil sebagai modal untuk kalian…….aduuh, sakit……dan ……dan Ka-ji juga tak dapat menahan kau bila engkau toh sudah ingin pergi, maka……maka kau boleh tak perlu kuatir.”

Jik Hong pikir orang ini benar-benar licin dan rendah tak kenal malu, sudah terang Go Him telah dicekik mati olehnya sendiri, tapi masih digunakannya untuk menipu orang.

Sementara itu terdengar Ban Ka juga berkata padanya: “Ya, Hong-moay, meski aku merasa berat, tapi jiwaku lebih penting, aku berjanji takkan membikin susah pada Go Him.”

“Hm, hati kalian barangkali sudah beku, ya? Masakah masih mempunyai pikiran jijik seperti itu?” jengek Jik Hong. “Aku hanya ingin tanya sesuatu pada kalian, asal kalian mengaku dengan sejujurnya, segera aku akan memberikan obat penawar ini.”

“Baik, baik! Lekas kau tanya, pasti akan kujawab. Aduuuuh, aduuuuuh!………” demikian sahut Ba Cin-san sambil merintih.

Pada saat itulah tiba-tiba angin meniup kencang masuk dari jendela hingga sobekan kertas yang berserakan dikantor itu bertebaran dan ada yang kabur keluar. Tiba-tiba sepasang kupu-kupu kertas itupun terbang keatas, itulah pola kupu-kupu guntingan Jik Hong waktu dulu yang diselipkannya ditengah kitab itu. Karena angin meniup terus, maka sepasang kupu-kupu kertas itupun seakan-akan terbang kian kemari dengan hidup didalam kamar, Jik Hong menjadi pedih dan duka, terbayang olehnya suasana gembira ria waktu dia bermain dengan Tik Hun didalam gua dimasa dahulu.

Dalam pada itu Ban Ka juga telah mendesak: “Ya, apa yang kau ingin tahu, lekaslah tanya. Asal tahu tentu akan kukatakan terus terang.”

Dan karena itu barulah Jik Hong tersadar dari lamunannya, katanya kemudian: “Tentang ayahku. Dimanakah beliau? Apa yang telah kalian perbuat atas diri beliau?”

“Ayahmu, hehe, darimana aku tahu, bukankah dahulu ia telah melarikan diri?” ujar Ban Cin-san dengan tertawa yang di-

buat-buat. “Tentang saudara-seperguruanku itu, aduuuh……….aku juga sangat terkenang padanya, auuh, ck-ck-ck……..Ai, toh kita sekarang  juga sudah besanan, kan sangat baik toh?”

Begitulah sambil menjawab Ban Cin-san sembari berteriak-teriak kesakitan.

Tapi Jik Hong tidak bisa tertipu lagi, dengan muka masam ia menyemprot: “Huh, masih berani kau berkata demikian? ayahku sudah dibunuh oleh kau, betul tidak? Cara kau membunuh beliau adalah sama seperti kau membunuh Go Him, betul tidak? Dan kau telah masukan jenazahnya kedalam tembok, betul tidak?”

Berulang-ulang tiga kali pertanyaan: “Betul tidak?” telah membuat Ban Cin-san dan Ban Ka menjadi gelagapan dan terperanjat, sama sekali tak mereka duga bahwa Jik Hong dapat mengetahui terbunuhnya ayahnya, bahkan terbunuhnya Go Him juga tahu.

Maka dengan suara tak lancar Ban Ka bertanya: “Da……..darimana kau tahu?”

Dengan pertanyaan itu, sama saja Ban Ka telah mengakui segala kejadian itu memang betul adanya.

Dalam pedih dan gusarnya segera Jik Hong bermaksud melepaskan botol porselin yang dipegangnya itu kedalam empang. Melihat gelagat jelek, segera Ban Ka bermaksud menubruk maju untuk merebut kalau Ban Cin-san tidak keburu membentak untuk mencegahnya. Dalam keadaan begitu, Cin-san tahu akan lebih runyam lagi bila memakai kekerasan.

Dan pada saat itu juga tiba-tiba sidara cilik Khong-sim-jay berlari keluar dari kamarnya sambil berseru: “Ibu, ibu!”

Segera dara cilik itu bermaksud memburu kepangkuan ibundanya.

Sekilas Ban Ka mendapatkan akal, cepat ia sambar Khong-sim-jay sebelum dara cilik berlari lewat disisinya, ia angkat bocah itu dan segera mencabut belati mengancam diatas kepala puterinya sendiri itu sambil membentak: “Baiklah, kalau mau mati, biarlah kita tua-muda seisi rumah ini mati bersama saja, sekarang biarlah kubunuh Khong-sim-jay dulu!”

Keruan Jik Hong kaget, puterinya itu merupakan mestika jiwanya, cepat ia berseru: “Jangan! Lekas lepaskan dia, apa sangkut-pautnya dengan bocah yang tak berdosa itu?”

“Ya, toh kita semua tak bakal hidup lagi, maka lebih dulu biar kubunuh Khong-sim-jay saja,” ujar Ban Ka. Dan sekali tangannya terangkat, segera belatinya hendak menikam kedada si-bocah.

“Jangan! Jangan!” saking kuatirnya Jik Hong terus memburu maju hendak menolong.

Meski Ban Cin-san dalam keadaan tersiksa oleh karena serangan racun dalam tubuh, tapi ia sudah kenyang asam-garam, demi melihat Jik Hong kena dipancing oleh Ban Ka dan berlari maju, tanpa ajal lagi ia lantas menyikut hingga tepat pinggang Jik Hong kena ditutuk olehnya, menyusul ia terus rampas botol obat penawar ditangan menantu itu dan buru-buru ia bubuhkan obat penawar itu dipunggung tangan sendiri.

Cepat Ban Ka ikut memburu maju untuk minta dibubuhi obat pemunah racun itu. Sebaliknya Jik Hong masih sempat mencapai puterinya serta merangkulnya dengan erat-erat tanpa menghiraukan orang lain.

Segera Ban Cin-san ayun kakinya, Jik Hong didepaknya hingga terguling, menyusul ia lepaskan ikat pinggang sendiri untuk meringkus menantunya itu dengan menelikung kedua tangannya kebelakang, kemudian kedua kakinya diikat pula kencang-kencang.

Sambil menjerit-jerit memanggil ibu, Khong-sim-jay memburu kearah Jik Hong. Tapi sekali Ban Cin-san ayun tangannya, tepat dara cilik itu kena digampar hingga kelengar. Tapi gamparan itu memakai telapak tangannya yang abuh hingga Ban Cin-san meringis kesakitan sendiri sambil merintih tertahan.

Obat penawar racun ketungging itu memang “ces-pleng”, sesudah dibubuhi obat itu, hanya sebentar saja dari luka kedua orang itu lantas merembes keluar air berdarah, rasa sakit mulai hilang dan berubah menjadi rasa gatal, tak lama kemudian rasa gatal itupun berkurang dan akhirnya lenyap.

Sungguh lega dan senang sekali Ban Cin-san dan Ban Ka karena jiwa mereka telah dapat dirampas kembali dari tangan raja akhirat. Dan sekali jiwa mereka sudah selamat, segera timbul lagi jiwa tamak mereka. Segera mereka teringat kepada kitab pusaka yang merupakan kunci bagi suatu partai harta karun itu.

Untuk sejenak mereka celingukan kian kemari, mereka melihat didalam kamar masih banyak bertebaran sobekan-sobekan kertas, banyak pula yang sedang kabur keluar jendela tertiup angin.

“Wah, celaka!” demikian sekonyong-konyong kedua orang berteriak bersama. Segera mereka memburu maju hendak mencegah kaburnya sobekan-sobekan kertas itu.

Namun kertas kecil-kecil itu sudah tak keruan tempatnya, sebagian sudah jatuh kedalam empang diluar jendela sana, ada pula yang sedang melayang-layang di udara dan hampir masuk ke air.

“Wah, cialat! Lekas buru, lekas!” teriak Ban Cin-san.

Dan tanpa dikomando untuk kedua kali lagi, segera mereka berdua memburu kebawah loteng secepat terbang, saat itu mereka sudah lupa pada kelakuan mereka yang merengek-rengek secara menjijikan waktu sekarat tadi.


Jilid 11 (Tamat)

Begitulah Ban Cin-san dan Ban Ka telah berlari ke taman, dengan napsu mereka ingin menangkap kembali potongan-potongan kertas yang bertebaran itu. Tetapi beratus-ratus potong kertas yang kecil-kecil itu sudah terpencar tak keruan, ada yang kecemplung ke dalam empang, ada yang jatuh keluar pagar tembok, ada yang melayang-layang keudara terbawa angin. Maka biarpun mereka berdua tubruk sini dan sambar sana sambil berjingkrakan seperti orang gila, hasilnya juga tidak seberapa, apalagi kertas yang sudah di-robek-robek itu masakah dapat memulihkan kitab aseli Soh-sim-kiam-boh itu?

Begitulah meski sakit ditangan Ban Cin-san sudah hilang, tapi sakit di dalam hatinya menjadi tambah hebat. Dalam dongkolnya yang tak terlampiaskan itu, segera ia mendamperat puteranya: “Semuanya gara-gara kau bangsat kecil ini. Kalau kau tidak main tarik dan betot padaku, masakah Kiam-boh itu bisa hancur seperti sekarang?”.

Ban Ka menghela napas dan tidak mengubar lagi kertas-kertas yang sudah hancur itu. Sahutnya: “Tia, kalau tadi anak tidak mencegah, mungkin Kiam-boh itu sudah lebih hancur daripada sekarang”.

“Ah, kentut!” semprot Ban Cin-san, walaupun dalam hati ia harus mengakui kebenaran ucapan puteranya itu, tapi dimulut ia tidak mau kalah, masih “kentat-kentut‟ terus.

“Tia,” kata Ban Ka kemudian, “baiknya kita sudah tahu bahwa tempat yang dimaksudkan itu adalah Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), mungkin dari sisa Kiam-boh yang masih ada itu dapat kita temukan sedikit petunjuk lain, dan mungkin kita masih dapat menemukan harta terpendam itu.”

Semangat Ban Cin-san terbangkit seketika demi mendengar peringatan puteranya itu, serunya cepat: “He, benar, memang tempat itu adalah “Kang-leng-seng-lam‟……..

Dan pada saat itu juga, tiba-tiba diluar pagar tembok sana ada suara orang mengulangi kalimat itu dengan pelahan: “Kang-leng-seng-lam!”.

Keruan kejut Ban Cin-san berdua bukan kepalang demi mendengar suara itu. Seketika mereka memburu keluar sana. Mereka melihat dua sosok bayangan yang sedang menghilang dibalik tikungan jalan sana, cepat Ban Cin-san membentak: “Bok Heng, Sim Sia, berhenti!”.

Tapi jangankan berhenti, bahkan menolehpun tidak kedua orang itu lantas kabur dengan cepat.

Dan selagi Ban Cin-san bermaksud mengejar, tiba-tiba Ban Ka berkata: “Tia, di atas loteng masih ada sisa Kiam-boh itu, pula masih ada…………. Masih ada perempuan jalang itu”.

Setelah memikir, Ban Cin-san merasa benar juga usul puteranya itu, ia mengangguk tanda setuju dan segera mereka kembali keatas loteng.

Disana tertampak sidara cilik Khong-sim-jay sudah mendusin dan sedang menangis dalam pangkuan ibundanya. Jik Hong sendiri tak bisa berkutik karena anggota badannya terikat, namun ia coba menghibur dan membujuk puterinya yang kecil itu.

Ketika melihat kakek dan ayahnya telah kembali, Khong-sim-jay menjadi lebih takut hingga tangisannya makin keras.

Bukannya menimang, sebaliknya datang-datang Ban Cin-san terus depak sekali dipantat dara cilik sambil memaki: “Kau anak sial ini, berani menangis lagi segera kutabas batang lehermu!”

Khong-sim-jay semakin ketakutan hingga mukanya pucat sebagai kertas saking ketakutan hingga dia tidak berani menangis lagi.

“Tia”, kata Ban Ka dengan suara perlahan, “perempuan jalang ini telah mengetahui engkau adalah……………. Adalah

pembunuh ayahnya, pula dia telah menyaksikan kematian Go Him, untuk semuanya itu terang dia takkan bisa dibiarkan hidup terus. Lantas cara bagaimana kita harus membereskan dia?”.

Cin-san memikir sejenak, kemudian katanya: “Kedua orang diluar tadi sudah terang adalah Bok Heng dan Sim Sia, bukan?”

“Betul, memang mereka itu, pasti tidak salah lagi,” sahut Ban Ka. “Mungkin rahasia Kiam-boh itu sudah bocor, mereka telah mengetahui Kang-leng-seng-lam adalah tempatnya.”

“Ya, urusan tidak boleh ditunda-tunda lagi, kita harus lekas-lekas mendahului turun tangan,” ujar Cin-san. “Baiklah, tentang perempuan jalang ini, boleh kita bereskan seperti ayahnya saja.”

Sejak Jik Hong diringkus, ia sendiripun insaf pasti tiada harapan buat hidup lagi, terutama karena dia telah membongkar rahasia kekejaman mereka berdua. Kini mendengar ayah mertua itu mengatakan hendak membereskan dia seperti ayahnya, maka iapun tidak pikirkan mati hidup sendiri, yang dia beratkan adalah puterinya yang masih kecil itu.

Segera  ia  berkata: “Ban…………….  Ban-long,  jelek-jelek kita telah bersuami-isteri sekian lamanya, tidaklah menjadi soal jiwaku melayang, tapi sesudah aku mati, hendaklah kau menjaga baik-baik pada Khong-sim-jay!”.

Ban Ka hanya mendengus saja tanpa menjawab.

Sebaliknya Ban Cin-san berkata: “Membabat rumput harus sampai akar-akarnya, mana boleh kita tinggalkan bibit bencana dikemudian hari? Bocah ini sangat pintar lagi cerdik, apa yang terjadi hari ini telah dilihatnya semua, siapa berani menyamin bahwa kelak takkan dibocorkan olehnya kepada orang luar?”.

Ban Ka mengangguk pelahan-lahan. Sebenarnya ia sangat sayang kepada puteri satu-satunya itu, betapapun dara cilik itu adalah darah dagingnya sendiri. Tapi apa yang dikatakan ayahnya itu juga ada benarnya, kalau meninggalkan bibit bencana ini, bukan mustahil kelak akan menimbulkan akibat yang susah dibayangkan.

Air mata Jik Hong bercucuran melihat kekejaman kedua orang itu, katanya dengan suara terputus-putus: “Ka…..kalian

keji sekali, masakah anak……..anak kecil begini juga tak dapat

kalian ampuni?”.

“Sumbat saja mulutnya daripada dia cerewet tak habis-habis, jangan-jangan nanti dia berteriak hingga bikin geger tetangga malah.” Kata Ban Cin-san.

Mengingat jiwa puterinya juga akan amblas ditangan kakek dan ayahnya yang kejam itu, mendadak Jik Hong menggembor benar-benar: “Tolong! Tolong!”.

Ditengah malam sunyi kelam, suara teriakan “tolong‟ yang memecah angkasa itu kedengarannya menjadi lebih seram.

Cepat Ban Ka menubruk maju, dan tekap mulut Jik Hong. Tapi Jik Hong masih terus berteriak: “Tolong! Tolong!”. Cuma mulutnya ditekap tangan sang suami, maka suaranya menjadi serak dan tertahan.

Segera Ban Cin-san menyobek sepotong kain baju dan diberikan kepada sang putera. Terus saja Ban Ka sumbat mulut Jik Hong hingga tak bisa bersuara lagi.

“Pendam dia sekuburan dengan keparat Jik Tiang-hoat itu, sungguh bagus sekali mereka ayah dan anak bersatu liang kubur”, kata Cin-san.

Ban Ka mengangguk, segera ia kempit Khong-sim-jay, lalu mereka menggotong Jik Hong ke kamar baca dibawah loteng.

Kamar baca itu teratur bersih, dindingnya juga terkapur putih. Diam-diam Jik Hong membatin: “Apakah ayahku telah dicepit oleh mereka ditengah dinding yang putih ini?”.

Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang berkata pula: “Biarlah  aku  yang  membongkar  dinding  ini,  kau  boleh  pergi menyeret kemari mayatnya Go Him itu! Hati-hatilah, jangan sampai diketahui oleh orang!”.

Ban Ka mengijakan dan segera berlari ke kamar tidurnya Ban Cin-san.

Lalu Cin-san membuka almari meja tulis, ia mengeluarkan alat2 pertukangan, ada pahat, ada palu, ada lingis dan macam-macam lainnya, komplit. Ia pandang dinding yang putih itu, kedua tangannya bergosok-gosok, ia berpaling memandang sekejap kepada Jik Hong dengan air muka yang sangat senang.

Melihat sorot mata orang yang buas sebagai binatang itu, tanpa merasa Jik Hong mengkirik sendiri.

Sementara itu Ban Cin-san telah memegang palu dan pahat, ia periksa dulu duduk tembok yang benar, lalu ia memahat diantara sela-sela bata. Sesudah sela-sela bata longgar, segera ia goyang-goyangkan dengan tangan dan dikorek keluar sepotong bata itu, caranya ternyata sudah sangat apal seperti bekas tukang batu saja.

Sesudah sepotong bata itu dilolos keluar, tertampak Ban Cin-san mengendus-endus bata itu. Mungkin ia ingin tahu apakah di dalam dinding itu masih berbau mayatnya Jik Tiang-hoat atau tidak.

Melihat ketrampilan Ban Cin-san dalam hal membongkar bata itu, Jik Hong lantas ingat waktu penyakit tidur orang itu angot tadi, waktu itu bapa mertua itupun bergaya mengorek tembok, memasukkan mayat, memasang bata dan sebagainya. Memangnya Jik Hong sudah mengkirik, demi melihat Ban Cin-san mengendus-endus pula bau mayat ayahnya yang dicepit di dalam dinding itu, maka Jik Hong menjadi takut, gusar dan berduka pula.

“Kau bangsat keparat yang terkutuk ini!”, demikian ia memaki. Tapi karena mulutnya tersumbat, maka yang terdengar hanya suara “ah-uh‟ yang tak jelas.

Dan selagi Ban Cin-san hendak membongkar bata kedua, tiba-tiba terdengar suara orang berlari diluar, segera tertampak Ban Ka berlari masuk dengan langkah sempojongan dan badan gemetar, katanya dengan suara terputus-putus: “Tia, ce……… celaka ! Go…….. Go Him………… Go Him…………..”

“Go Him kenapa?”, tanya Ban Cin-san sambil berpaling.

“Hi…..hilang! Go…… Go Him menghilang”, kata Ban Ka dengan tergagap-gagap.

“Kentut! Masakah orang mati bisa menghilang?”, damperat Ban Cin-san. Tapi dari suaranya yang rada gemetar itu, terang iapun kaget dan kuatir. Bahkan “plok‟, bata yang terpegang ditangannya itu tanpa merasa jatuh kelantai.

“Aku………aku telah mengangsurkan tangan ke kolong ranjang ayah hen…..hendak menyeret mayat itu”, demikian tutur Ban  Ka  dengan  tak  lancar,  “Tetapi…..  tetapi  tanganku  tidak menyentuh apa-apa. Cepat kunyalakan pelita dan coba menerangi kolong ranjang, namun…………..namun mayat itu sudah menghilang tanpa bekas. Aku mencari diseluruh pelosok didalam kamar ayah, tapi tiada……..tiada menemukan apa-apa″.

“Aa…………..aneh,  sungguh  aneh!”  kata  Cin-san  sambil merenung, “Apa barangkali Bok Heng dan Sim Sia yang main gila!”.

“Tia,  jangan-jangan…………….jangan-jangan jahanam Go Him itu belum…..belum putus napasnya, sesudah pingsan sebentar, lalu……..lalu hidup kembali!” ujar Ban Ka.

“Kentur! Mana bisa jadi!” seru Cin San dengan gusar. “Ayahmu ini berjuluk “Ngo-in-jiu‟, dalam hal ilmu menggunakan tangan betapa lihaynya, masakah mencekik seorang saja takbisa membuatnya mampus?.”

“Ya, seharusnya tidak bisa jadi”, sahut Ban Ka. “Akan tetapi, sehabis Go Him itu dicekik mampus oleh ayah, entah mengapa………..entah mengapa mayatnya sekarang bisa menghilang? Jangan-jangan………..jangan-jangan…….”

“Jangan-jangan apa?”, tanya Cin-san.

“Jangan-jangan di dunia ini benar-benar ada……………..ada mayat hidup?”

“Hus! Ngaco-belo belaka!”, bentak Cin-san. “Sudahlah, lekas kita bereskan perempuan jalang dan anak setan ini dan nanti boleh kita mencari mayatnya Go Him lagi. Mungkin urusan ini sudah ketelanyur diketahui orang luar, kitapun susah menetap lagi dikota Heng-ciu ini.”

Ban Ka mengiakan, segera ia berjongkok dan membantu membongkar tembok kamar. Batu bata sepotong demi sepotong dikorek keluar hingga dalam sekejap saja tertampaklah suatu lubang besar.

“Tia, ti……………tidak beres ini!” tiba-tiba Ban Ka berseru dengan suara gemetar.

“Apanya yang tidak beres?”, tanya Cin-san

“Di……………..dimanakah mayatnya Jik Tiang-hoat?”, sahut Ban Ka. “Umpama mayatnya sudah…….sudah busuk dan lapuk, paling tidak…………….paling tidak pakaiannya dan…………..dan tulangnya toh mesti ada disini?”.

Benar juga, pikir Cin-san. Segera ia angkat pelita minyak untuk menerangi liang dinding itu. Tapi mendadak terdengar suara nyaring, hancurnya pelita minyak jatuh ke lantai, seketika keadaan menjadi gelap gulita. Hanya sinar bulan yang remang-remang menyorot masuk ke kamar melalui jendela itu hingga menambah seramnya susasana di dalam kamar.

Kiranya Ban Cin-san sendiripun kaget demi melihat di dalam liang dinding itu tidak diketemukan mayatnya Jik Tiang Hoat. Dinding itu adalah dinding dua lapis, padahal mayat itu dia sendiri yang masukkan dahulu, masakah sekarang bisa menghilang?.

Selang agak lama, barulah Ban Cin-san pulih dari kagetnya, katanya dengan rada gemetar: “Sungguh aneh, mengapa bisa hilang? Sudah terang aku sendiri yang memasukkan mayat itu kedalam dinding, masakah mayatnya bisa terbang sendiri?”

“Tia, jangan-jangan……jangan-jangan dinding lapisan yang sebelah sana ada jalan tembusan lagi?” ujar Ban Ka.

“Tidak, tidak ada!” kata Cin-san. “Dinding ini adalah buntu semua, mana mungkin ada jalan tembusan? Coba…coba kau ulurkan tanganmu untuk meraba, apa benar disitu tiada sisa-sisa mayat?”.

Ban Ka mengiakan walaupun didalam hati sebenarnya sangat ketakutan. Dengan sendirinya ia tidak berani meraba dengan tangannya, selang agak lama barulah ia berkata: “Ti…………….tidak ada apa-apa!”. Padahal tangannya tidak pernah dimasukkan kedalam liang dinding itu.

Ban Cin-san juga dapat menduga puteranya tidak berani meraba liang dinding itu, katanya kemudian: “Coba nyalakan pelita lagi, kita harus periksa pula hingga tahu duduknya perkara”.

Ban Ka mengiakan pula, lalu tangannya meraba-raba dilantai dan diketemukan pelita tadi, tapi pelita minyak itu sudah hancur, juga ketikan api hanya diketemukan batunya, sedang ketikannya entah jatuh dimana.

Begitulah kedua orang itu sibuk mencari kian kemari dan tetap tidak menemukan apa-apa. Akhirnya Ban Cin-san menjadi aseran, katanya: “Sudahlah, tak perlu menggubris lagi tentang mayat itu. Boleh kau turun tangan membunuh perempuan jalang itu dan pendam dia kedalam liang situ”.

Ban Ka mengiakan lagi. Segera ia mendekati Jik Hong dengan menghunus golok, katanya dengan suara gemetar: “Hong-moay, harap jangan kau sesalkan aku, tapi engkau sendirilah yang berdosa padaku!”.

Jik Hong tak bisa bersuara, tapi dalam hati ia sangat murka. Kalau dirinya sendiri hendak dibunuh adalah dapat dimengerti, tapi puterinya yang masih kecil dan tak berdosa itu juga hendak dibunuh mereka, sungguh kedua manusia she Ban itu lebih mirip dengan binatang buas. Mendadak ia menjadi nekat, sekuatnya ia menubruk maju hingga bahu Ban Ka kena disruduk.

Ban Ka tergentak mundur dua tindak. Ia menjadi gusar, segera golok diangkatnya sambil memaki: “Perempuan jalang, ajalmu sudah tiba, masih kau berani main galak?”

Dan selagi goloknya hendak diajunkan, tiba-tiba didengarnya suara “krek-krek‟, suara pintu dibuka.

Keruan Ban Ka terperanjat, cepat ia menoleh. Dibawah sinar bulan yang remang-remang dilihatnya pintu kamar baca itu sudah terpentang, tapi tiada tampak bayangan seorangpun.

“Siapa?”, segera Cin-san juga membentak.

Tapi tiada suara sahutan seorangpun. Sebaliknya pintu berbunyi “krek-krek‟ pula.

Didalam keadaan yang remang-remang itu, tertampak suatu bayangan orang menggeser pelahan-lahan kedepan kamar. Bayangan orang itu kaku tegak sambil melompat-lompat, anehnya lututnya tidak tertekuk dikala melompat, jadi baik diwaktu menggeser maupun diwaktu melompat, bayangan itu tetap tegak.

Keruan kaget Ban Cin-san dan Ban Ka tak terhingga, berulang-ulang mereka mundur-undur dengan ketakutan.

Dalam pada itu bayangan orang itu makin mendekat hingga kini mukanya tersorot oleh cahaya bulan yang remang-remang.

“Haaaaaaa”, berbareng Cin-san dan Ban Ka berteriak kaget.

Ternyata kedua mata orang itu mendelik, lidahnya menjulur panjang keluar, lubang hidungnya, mulutnya dan telinganya mengucurkan darah. Siapa lagi dia kalau bukan Go Him yang telah mati dicekik oleh Ban Cin-san itu?

Melihat keadaan yang menyeramkan itu, Jik Hong juga merinding dan hampir-hampir mati kaku ketakutan.

Sesudah menggeser masuk ke dalam kamar, Go Him lantas berdiri tak bergerak lagi, kedua tangannya pelahan-lahan terangkat lurus kearah Ban Cin-san.

Ban Cin-san menjadi nekat, ia kerahkan antero keberaniannya dan membentak: “Setan Go Him, masakah Locu takut kepada mayat hidup seperti kau?” berbareng ia terus lolos golok dan membacok.

Tapi baru setengah jalan serangannya dilancarkan, sekonyong-konyong pergelangan tangannya terasa kesemutan, cekalannya menjadi kendur, golok jatuh kelantai dan menerbitkan suara gemerantang. Menyusul mana pinggangnya juga terasa kaku pegal, lalu tubuhnya tak bisa berkutik lagi.

Sebagai seorang kawakan Kang-ouw yang sudah banyak berpengalaman, segera Ban Cin-san sadar bahwa dibelakang mayatnya Go Him itu ada seorang kosen lagi yang sangat hebat ilmunya. Ia tidak tahu siapakah gerangannya, tapi ia menduga besar kemungkinan adalah musuh yang meninggalkan tanda kupu-kupu kertas hitam itu.

Sebaliknya Ban Ka ternyata tidak paham duduknya perkara. Ketika dilihatnya lengan Go Him kemudian berganti arah dan menjulur kepadanya, ia menjadi ketakutan setengah mati, sungguh ia ingin menjerit: “Go-sute, ampunilah aku!” tetapi suara jeritan itu seakan-akan tersumbat ditengah tenggorokan hingga susah dikeluarkan.

Berulang-ulang ia mundur lagi ke belakang, tapi mendadak kakinya terasa lemas, ia terbanting roboh terlentang. Ia melihat Go Him yang tegak kaku itu sudah berada didepannya, lengan kanan pelahan-lahan menjulur kebawah dan mulai meraba pipinya, tangan itu terasa dingin sebagai es.

Keruan semangat Ban Ka seakan-akan terbang keawang-awang saking takutnya, hampir-hampir saja ia jatuh kelengar.

Sekonyong-konyong tubuh Go Him itupun ikut ambruk kedepan hingga menindih diatas badan Ban Ka untuk kemudian tidak bergerak lagi. Tapi dibelakang Go Him itu lantas bertambah seseorang.

Orang itu mendekati Jik Hong dan mengeluarkan kain sumbat mulutnya. Ketika ia pegang tali pengikat kaki dan tangan Jik Hong, sedikit ia remas, tali pengikat itu segera putus. Waktu ia putar tubuh lagi, tiba-tiba ia depak dua kali dipinggang Ban Ka hingga Hiat-to pemuda itu tertutuk.

Sesudah dapat bergerak, yang lebih dulu diperhatikan adalah puterinya, segera Jik Hong pondong Khong-sim-jay, lalu tanya dengan  suara  gemetar:  “Siapakah…….siapakah  In-kong  (tuan penolong) yang telah menolong jiwa kami ini?”

Namun orang itu tidak menjawab, dibawah sinar bulan yang remang-remang tertampak kedua tangannya membawa sebuah pola kupu-kupu hitam, itulah kupu-kupu kertas yang terselip didalam kitab “Tong-si-soan-cip” dan telah dijemput olehnya karena tadi telah ikut “terbang‟ ketepi empang ketika kitab itu dibuat rebutan antara Ban Cin-san dan Ban Ka.

Sekilas pandang tiba-tiba Jik Hong melihat kelima jari kanan orang itu puntul terpotong, hatinya tergetar, tanpa merasa ia berteriak: “Tik-suko!”

Ya, memang tidak salah, orang itu memang Tik Hun adanya!.

Ketika mendadak mendengar seruan: “Tik-suko” itu, seketika dada Tik Hun berombak dan air mata berlinang-linang, segera ia balas menyapa: “Sumoay, syukur kita dapat………….

Dapat berjumpa pula, kita harus berterima kasih kepada Thian yang maha murah!”.

Saat itu diri Jik Hong boleh diibaratkan sebuah sampan yang terombang-ambing ditengah samudera raja dan dibawah damparan gelombang ombak dan angin badai, tapi akhirnya dapatlah sampan itu meluncur masuk disebuah bandar dimana angin tenang dan ombak berdiam.

Terus saja Jik Hong menubruk kedalam pelukan Tik Hun sambil berseru: “O, Tik-suko, apakah…..apakah ini bukan dialam mimpi?”

“Bukan, bukan mimpi, tapi adalah kenyataan”, sahut Tik Hun. “Selama dua hari ini, senantiasa aku berada disini untuk mengintai dan mengawasi. Segala tindak-tanduk kejahatan ayah-anak she Ban itu sudah kulihat semua. Tentang mayatnya Go Him, ha, memang sengaja kugunakan untuk menakut-nakuti mereka”.

“Ayah, ayah!” tiba-tiba Jik Hong berseru sambil berlari-lari keliang dinding sana. Ia taruh Khong-sim-jay, lalu mengulur tangannya ke dalam liang itu untuk meraba, tapi tiada sesuatu yang didapatkannya.

Sedari tadi Tik Hun juga menguatirkan keselamatan gurunya itu, maka cepat iapun menyalakan api untuk menerangi liang dinding itu. Tapi tertampak didalam lapisan dinding rahasia itu keadaan kosong melompong tiada terdapat sesuatu, yang ada Cuma sedikit pasir dan potongan bata belaka, mana ada jenazahnya Jik Tiang-hoat?

Jik Hong masih tidak percaya, segera ia memeriksa lebih teliti lagi, tapi memang benar kosong liang di dalam lapisan dinding rahasia itu. Jangankan jenazah, sedangkan baju atau tulang belulang juga tidak diketemukan andaikan jenazah sang ayah sudah membusuk.

Ia terkejut, tapi bergirang pula, timbul sedikit harapannya: “Boleh jadi ayahku tidak terbunuh oleh mereka”. Maka ia lantas tegur suaminya: “Ban-long, sebenarnya…… sebenarnya bagaimana dengan ayahku?”.

Ban Cin-san dan Ban Ka tidak tahu bahwa Jik Hong tidak menemukan mayat ayahnya, mereka mengira sesudah memeriksa lebih teliti di dalam liang dinding itu, akhirnya terdapat bekas jenazahnya Jik Tiang-hoat itu dan Jik Hong kini bermaksud membalas dendam pada mereka.

Maka dengan bersitegang, Ban Cin-san menjawab: “Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, Jik Tiang-hoat memang aku yang membunuhnya, jika mau menuntut balas boleh kau tujukan kepadaku saja”.

“Jadi, ayahku telah kau bunuh? Dan di…….dimanakah jenazahnya?” Jik Hong menegas.

“Apa? Jenazah di  dalam……di dalam liang dinding itu bukan ayahmu?”, kata Cin-san.

“Masakah disini ada orang mati?” Jik Hong menegas.

Seketika Ban Cin-san saling pandang dengan Ban Ka, muka mereka pucat, betapapun mereka tidak percaya, masakah di dunia ini ada mayat hidup sungguh?

Segera Tik Hun menyeret Ban Cin-san dan menyejalkan kepalanya kedalam liang dinding itu untuk melongok keadaan di dalam situ. Dan sudah tentu tiada sesuatu yang dapat dilihatnya.

“Masakah mungkin? Sudah……sudah terang…..”, baru sekian Cin-san berkata, tiba-tiba ia berganti nada, katanya: “Ai, anak menantu yang baik, semuanya ini aku hanya…….. hanya

membohongi kau saja. Biarpun kami kakak-beradik seperguruan tidak akur satu sama lain juga tidak mungkin aku turun tangan sekeji ini untuk membunuhnya, masakah kau percaya saya? Haha, hahaha!”.

Biasanya Ban Cin-san sebenarnya sangat pintar berdusta dan jarang orang curiga kepada apa yang dia katakan, tapi kini dalam keadaan gugup dan bingung, cara bicaranya menjadi agak kaku dan gelagapan, mau tidak mau menimbulkan curiga orang lain. Kalau dia bungkam saja mungkin Jik Hong dan Tik Hun akan ragu-ragu dan mempunyai harapan kalau-kalau Jik Tiang-hoat memang betul masih hidup, tapi dengan ucapan Ban Cin-san yang di-buat-buat itu, Jik Hong dan Tik Hun menjadi lebih yakin bahwa Jik Tiang-hoat sudah dibunuh oleh orang she Ban itu.

Begitulah segera Tik Hun pegang pundak Ban Cin-san, katanya: “Ban-supek, tentang kau telah membikin aku hidup derita merana selama ini, bolehlah takkan kupersoalkan padamu lagi. Sekarang aku hanya ingin tanya suatu hal padamu: Sebenarnya kau telah membunuh Suhuku atau tidak?”

Sembari bicara terus saja Tik Hun kerahkan Iweekang dari ilmu sakti “Sin-ciau-kang‟ yang hebat, berangsur-angsur tenaga dalam itu menekan kedalam badan Ban Cin-san hingga sesaat itu Ban Cin-san merasa badannya seperti digodok di dalam anglo, bahkan darahnya juga terasa seakan-akan mendidih, saking tak tahan, akhirnya ia mengaku: “Ya, be…. Benar! Memang akulah yang membunuh Jik Tiang-hoat!”

“Dan dimanakah jenazah guruku?” tanya Tik Hun pula. “Sebenarnya telah kau buang kemana jenazah beliau?”

“Aku…………  aku  telah  memasukkan  mayatnya  kedalam liang sini, mungkin…….. mungkin benar-benar ada mayat hidup lagi”, sahut Cin-san.

Dengan benci Tik Hun pandang manusia durhaka itu, teringat olehnya derita sengsara dirinya selama beberapa tahun ini, semuanya gara-gara perbuatan kedua orang ayah dan anak she Ban dihadapannya ini, dan kini Ban Cin-san mengaku pula telah membunuh Jik Tiang-hoat, keruan rasa gusar Tik Hun seperti api disiram minyak. Syukur pertemuannya kembali dengan Jik Hong ini telah membuat hatinya lebih suka daripada dukanya, kalau tidak, sekali gablok tentu ia sudah hancurkan kepala Ban Cin-san itu.

Tiba-tiba Tik Hun menggertak gigi dengan gemas, terus saja ia angkat tubuh Ban Cin-san dan dilemparkan “blang‟, ia lempar orang she Ban itu kedalam liang dinding. Karena lubangnya agak sempit hingga beberapa potong bata ambrol tertumbuk oleh badan Ban Cin-san, habis itu barulah ia terguling masuk ke dalam liang dinding buatannya sendiri itu.

Dan selagi Jik Hong menjerit kaget, Tik Hun sudah lantas seret Ban Ka pula dan dijejalkan kedalam liang dinding, katanya: “Ini namanya ada ubi ada talas, ada benci kudu membalas! Mereka berdua telah membunuh suhu secara keji, maka kitapun memperlakukan mereka dengan cara yang sama”.

Lalu ia gunakan bata yang terserak dilantai itu untuk merapatkan kembali dinding itu. Memangnya disitu sudah komplit tersedia peralatan tukang batu, maka hanya sebentar saja Tik Hun sudah selesai memasang tembok itu, bahkan ia kapur pula hingga putih bersih.

“Su….Suko”,  kata  Jik  Hong  dengan  suara  terputus-putus,

“akhirnya engkau telah dapat membalas sakit hati ayah. Dan tentang jenazah ini, bagaimana harus diselesaikan?” dan mayat Go Him lantas dituding olehnya.

“Sudahlah, kita tinggal pergi saja, peduli apa dengan dia”, kata Tik Hun.

Tapi Jik Hong berkata lagi: “Dan mereka berdua yang tertutup didalam dinding itu belum lagi mati, kalau ada orang datang menolong mereka…….”.

“Orang lain darimana bisa tahu kalau di dalam dinding situ terdapat dua orang?” ujar Tik Hun. “Andaikata melihat dinding itu baru saja dipasang dan dikapur juga tentu orang akan menduga tembok ini habis diperbaiki, tidak nanti orang menyangka dibalik dinding ada rahasianya. Apalagi kalau kita pindahkan mayat Go Him, orang lain lebih-lebih takkan mencurigai kamar baca ini”.

Habis berkata, segera ia angkat mayatnya Go Him dan keluar kamar baca itu, katanya kepada Jik Hong: “Marilah kita pergi saja!”.

Segera mereka melompat keluar dari pagar tembok taman keluarga Ban itu, Tik Hun lemparkan mayat Go Him ketanah, katanya: “Sumoay, kini sebaiknya kita harus pergi kemana?”.

“Menurut pendapatmu, apakah ayahku benar-benar telah dibunuh oleh mereka?”, tanya Jik Hong.

“Ya, kuharap semoga Suhu masih hidup sehat walafiat,” ujar Tik Hun. “Tapi menurut ucapan Ban Cin-san tadi agaknya kemungkinan itu sangat tipis”.

“Aku harus kembali kerumah untuk mengambil sesuatu, harap kau menunggu aku di dalam Su-theng bobrok disana itu”, kata Jik Hong.

“Biarlah aku mengawani kau”, ujar Tik Hun.

“Tidak, jangan!”, sahut Jik Hong. “Pabila kita dilihat orang tentu akan menimbulkan sangkaan jelek”.

“Tapi lebih baik aku mengawani kau saja, Ban Cin-san masih mempunyai murid-murid yang lain dan tiada seorangpun diantara mereka adalah manusia baik-baik,” kata Tik Hun.

“Tidak, tidak apa, aku tidak takut pada mereka,” kata Jik Hong. “Harap kau pondong Khong-sim-jay dan tunggu aku di sana”.

Karena mengalami kejadian-kejadian yang menakutkan tadi, sementara itu Khong-sim-jay sudah bobok nyenyak didalam pangkuan sang ibu.

Biasanya Tik Hun memang suka menuruti segala permintaan Jik Hong, maka kini iapun enggan membantah, terpaksa ia pondong sidara cilik Khong-sim-jay dari tangan Jik Hong. Kemudian sang Sumoay lantas melompat masuk lagi kerumah keluarga Ban itu, dan ia sendiri lantas menuju kerumah berhala yang ditunjuk itu, ia dorong pintunya yang sudah rejot itu dan masuk kedalam untuk menunggu datangnya Jik Hong.

Selang cukup lama, masih tidak kelihatan kembalinya sang Sumoay, Tik Hun mulai gopoh dan bermaksud menyusul kerumah Ban Cin-san. Tapi ia kuatir kalau nanti diomeli Jik Hong, maka ia menjadi bingung, ia pondong Khong-sim-jay dan berjalan mondar-mandir diserambi rumah berhala itu dengan rasa tak sabar.

Sekonyong-konyong didengarnya didalam ruangan rumah berhala itu ada suara kelotakan dua kali, suara orang mengerjakan sesuatu.

Cepat Tik Hun menyisir kepinggir dan berdiri disaping jendela dengan diam saja. Selang sebentar, terdengarlah pintu dalam sana dibuka, lalu muncul seseorang.

Mata Tik Hun cukup tajam meski ditengah malam gelap, ia dapat melihat jelas bahwa orang itu adalah seorang pengemis wanita yang berambut kusut masai dan berbaju compang-camping.

Semula Tik Hun agak was-was dan kuatir kedatangan musuh, tapi demi melihat orang adalah pengemis perempuan yang umum, iapun tidak menaruh perhatian lagi. Pikirnya: “Rumah berhala bobrok ini adalah tempat meneduh pengemis wanita ini, kedatanganku ini berarti telah mengganggu padanya. Ai, mengapa Jik-sumoay masih belum datang kembali?”

Dalam pada itu, mendadak Khong-sim-jay menjerit tangis dalam mimpinya sambil memanggil-manggil: “Ibu, ibu!”.

Ketika mendadak mendengar suara lengking orang, semula pengemis wanita itu terperanjat hingga mengkeret ketakutan dipojok serambi sana sambil menangkup kepalanya sendiri.

Kuatir kalau Khong-sim-jay mendusin, pelahan-lahan Tik Hun menepuk bahu dara cilik itu menimang: “Anak manis, jangan menangis! Segera ibu akan datang, jangan menangis, anak manis!”.

Sesudah mengetahui bahwa yang berteriak tadi adalah seorang dara cilik, pula melihat Tik Hun tiada bermaksud jahat padanya, maka pengemis wanita itu menjadi tabah, bahkan ia lantas membantu menimang Khong-sim-jay, katanya: “O, anak manis, anak pintar! Janganlah menangis, segera ibu akan kembali!”.

Kemudian ia berkata pada Tik Hun dengan suara rendah: “Seorang dikala tidurnya memang sering melihat setan. Ada orang ditengah malam buta suka bangun untuk pasang tembok, o, jang…………jangan kau tanya…………jangan kau tanya padaku”. Demikian ia takut-takut pula dan menyisir-nyisir hendak pergi.

Mendengar ucapan orang aneh itu, segera Tik Hun bertanya: “Apa yang kau katakan?”.

“Ah, tidak………tidak apa-apa″, kata pengemis wanita itu.

“Loya telah mengusir aku, ia tidak sudi padaku lagi. Padahal, dahulu, diwaktu aku masih muda jelita, beliau sangat….sangat suka padaku. Kata orang: “Menjadi suami-isteri semalam akan cinta seratus malam, menjadi suami-isteri seratus malam, cinta kasih semakin mendalam”. Maka……maka aku tidak putus asa, pada suatu hari tentu……..tentu Loya akan mencari padaku lagi.

Ja, memang, menjadi suami-isteri semalam akan timbul cinta seratus malam, menjadi suami-isteri seratus malam, cinta kasih keduanya semakin mendalam………”.

Mendengar sipengemis wanita itu berulang-ulang menyebut “menjadi suami-isteri semalam timbul cinta kasih seratus malam, menjadi suami-isteri seratus malam, cinta kasih keduanya akan makin mendalam‟, seketika hati Tik Hun tergetar, pikirnya mendadak: “Ai, jika begitu jangan-jangan cinta Hong-moay kepada suaminya juga takkan terputus begini saya?”.

Karena perasaan itu, segera ia pondong Khong-sim-jay dan berlari keluar dari rumah berhala itu.

Sudah tentu sedikitpun tak terduga oleh Tik Hun bahwa pengemis wanita yang dekil itu tak lain tak bukan adalah Tho Ang atau si Mirah yang dahulu pernah memfitnahnya hingga membuatnya hidup merana itu.

Begitulah Tik Hun berlari kembali kerumah Ban Cin-san, segera ia melompat pagar tembok dan memburu kekamar baca Ban Cin-san.

Keruan kejut Tik Hun tak terkatakan, cepat ia menyalakan pelita diatas meja, dibawah sinar pelita itu dapat dilihatnya dengan jelas antero badan Jik Hong sudah mandi darah. Pada perutnya masih menancap sebilah belati.

Waktu Tik Hun periksa sekitar kamar itu, dilihatnya lantai berserakan potongan-potongan bata dan kapur pasir, dinding yang baru dipasang itu telah terbongkar pula hingga berlubang dan Ban Cin-san serta Ban Ka sudah tak kelihatan batang hidungnya, entah sudah menghilang kemana.

Sambil berjongkok Tik Hun berlutut disaping Jik Hong, seruanya: “Hong-moay! Hong-moay!”. Tapi saking kagetnya hingga ia gemetar dan suaranya menjadi serak.

Ia coba meraba mukanya Jik Hong, ia merasa masih hangat, hidungnya juga masih bernapas pelahan sekali. Tik Hun tenangkan diri sedapat mungkin, lalu berseru pula: “Hong-moay!”.

Pe-lahan-lahan tampak Jik Hong membuka mata, wajahnya sekilas menampilkan senyum getir, katanya lemah: “Su…..Suko, ma……maafkanlah aku!”.

“Sudahlah, kau jangan bicara, aku……aku akan menolong kau”, kata Tik Hun.

Segera ia letakkan Khong-sim-jay, dengan tangan kanan ia rangkul dan bangunkan tubuh Jik Hong, tangan kiri lantas memegang belati yang menancap diperut Jik Hong itu, ia bermaksud mencabut belati itu.

Tapi ketika ditegaskan pula, ia melihat belati itu menancap hampir seluruhnya didalam tubuh Jik Hong, kalau belati dicabut, bukan mustahil nyawa Jik Hong seketika juga akan melayang. Maka ia menjadi ragu-ragu dan tidak berani mencabut belati itu, dalam gugupnya ia menjadi bingung. Berulang-ulang ia hanya bertanya: “Bagaimana baiknya ini? Siapa….. siapakah yang mencelakai kau?”

“Suko”, kata Jik Hong dengan senyum pahit, “kata orang: menjadi suami-isteri semalam…… Ai, sudahlah, tak perlu dikatakan  pula,  harap…..harap  kau  maafkan  aku,  karena  aku tidak……tidak tega, maka aku telah melepaskan suamiku, tapi

dia…..dia……”

“Dia…..dia malah  menusuk  kau  dengan  belati  ini, betul tidak?” Tik Hun menegas dengan mengertak gigi.

Jik Hong tersenyum getir dan memanggut.

Tik Hun pedih bagai di-sayat-sayat menyaksikan jiwa Jik Hong hanya tinggal dalam waktu singkat saja, tublesan belati Ban Ka itu sedemikian dalam dan lihay, terang jiwa sang Sumoay susah ditolong lagi. Dalam hati kecilnya Tik Hun merasa di-gigit-gigit oleh semacam rasa iri hati yang tak terhingga, diam-diam ia menggerutu: “Ya, betapapun toh kau tetap cinta kepada………….kepada suamimu, dan……….dan kau lebih suka korbankan dirimu sendiri untuk menyelamatkan dia”.

“Suko”, demikian terdengar Jik Hong berkata pula, “berjanjilah padaku bahwa engkau akan menjaga baik-baik pada Khong-sim-jay dan akan menganggapnya sebagai….. sebagai anakmu sendiri”.

Tik Hun tidak menjawab, dengan wajah pedih ia hanya mengangguk. Kemudian dengan mengertak gigi ia bertanya: “Dan bangsat itu telah…………telah lari kemana?”

Namun sinar mata Jik Hong sudah membujar, suaranya menjadi kacau mengigau, terdengar ia berkata dengan lemah: “Di dalam gua itu ada dua ekor kupu-kupu hitam, itu…… San-pek dan Eng-tay! Suko, lihatlah….lihatlah!  yang seekor itu adalah kau, dan yang seekor adalah diriku. Kita……kita akan terbang kian kemari dengan bebas dan selamanya tak terpisah. Kau setuju bukan?

Makin lama makin lemah suara Jik Hong dan makin lemas pula napasnya hingga akhirnya mengembuskan napasnya yang penghabisan.

Dengan air mata bercucuran Tik Hun mendekap diatas tubuh sang Sumoay, untuk sekian lamanya ia termenung-menung disaping jenazah Jik Hong.

Akhirnya ia mengertak gigi, ia pondong Khong-sim-jay dan sebelah tangan lain mengempit jenazah Jik Hong, ia melompat keluar dari pagar tembok keluarga Ban itu. Sebenarnya ia bermaksud membakar habis rumah Ban Cin-san yang megah dan besar itu, tapi lantas terpikir olehnya: “Jika aku membakar habis rumah ini, tentu Ban-si-hucu (ajah dan anak she Ban) takkan pulang lagi kesini dan untuk mencarinya menjadi lebih susah.

Kalau hendak membalas sakit hati Sumoay, rumah ini lebih baik dibiarkan begini saja”.

Begitulah ia lantas berlari ketaman bobrok yang luas, dimana Ting Tian telah meninggal itu. Ia menggali sebuah liang dan mengubur Jik Hong disitu. Ia simpan baik-baik belati yang menghabiskan jiwa Jik Hong itu, ia bertekad akan mencabut nyawa Ban-si-hucu dengan belati itu pula.

Saking berduka hingga air mata Tik Hun serasa sudah kering, sungguh ia menyesal sekali, ia memaki dirinya sendiri mengapa tadi tidak lantas membunuh saja Ban-si-hucu yang terkutuk itu, habis itu barulah dilemparkan kedalam liang dinding? Ja, mengapa begitu gegabah hingga kini terjadilah peristiwa yang menyesalkan selama hidup baginya?

Dalam pada itu Khong-sim-jay telah berteriak-teriak menangis mencari ibunda, suara tangis dan jerit dara cilik itu membuat pikiran Tik Hun semakin gundah. Ia bermaksud mengintai disekitar rumah Ban Cin-san itu untuk menunggu kembalinya mereka, tapi dengan suara tangis Khong-sim-jay, terang mereka akan kabur lebih jauh pula.

Maka ia pikir harus mengatur dulu diri dara cilik itu. Ia mendapatkan suatu keluarga petani diluar kota Heng-ciu, ia memberikan 20 tahil perak kepada wanita tani itu dan minta dia merawat Khong-sim-jay.

Sang waktu lewat dengan cepat, sudah sebulan lamanya siang-malam Tik Hun mengintai disekitar rumah Ban Cin-san itu. Tapi selama itu tidak nampak batang hidung Ban-si-hucu. Yang lebih aneh lagi, bahkan bayangan anak murid Ban Cin-san yang lain seperti Loh Kun, Pang Tan, Ciu Kin dan lain-lain juga tidak kelihatan sama sekali.

Sebaliknya selama itu didalam kota Heng-ciu (atau dengan nama lain kota Kang-leng) telah berkumpul tidak sedikit orang-orang Bu-lim dari berbagai golongan dan aliran dengan aneka ragamnya pula, tua-muda, laki-perempuan, sedikitnya ada beratus-ratus jumlahnya.

Pada suatu petang, disuatu rumah makan Tik Hun mendengar percakapan dua orang Kangouw yang menarik hati.

Kata yang seorang: “Kiranya Soh-sim-kiam-boh itu terdapat didalam kitab: “Tong-si-soan-cip‟, dan empat huruf kunci utama dari rahasia Kiam-boh itu berbunyi “Kang-leng-seng-lam‟, apakah kau sudah tahu?”

“Ya, sudah tentu tahu,” sahut kawannya. “Selama beberap hari ini entah betapa banyak tokoh Bu-lim telah berdatangan di kota Kang-leng ini. Tapi selama ini masih tiada seorangpun yang tahu bagaimana lanjutan tulisan-tulisan dibelakang keempat huruf itu”.

“Ha, kalau menurut aku, peduli apa huruf dibelakang istana itu? Asalkan kita mencari saja di Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), kita tunggu di sana, bila melihat ada orang berhasil menemukan sesuatu harta karun apa, segera kita turun tangan merampasnya. Ini namanya maling ketemu perampok! Mereka malingnya, kita rampoknya. Hahahaha!”.

“Benar”, sahut yang lain, “Andaikan kita tak mampu merampas dari mereka, paling tidak kita juga dapat minta bagiannya. Ini sudah merupakan undang-undanggolongan kita yang tak tertulis”.

“Hehe, kalau dibicarakan sungguh gila!” kata yang duluan tadi. “Apa kau tahu bahwa semua toko buku didalam kota selama beberapa hari ini telah ketomplok rejeki? Semua orang ingin mencari “Tong-si-soan-cip‟. Malahan pagi tadi, baru saja aku melangkah masuk ke toko buku, pegawai disitu sudah lantas menegur: Apakah tuan akan membeli “Tong-si-soan-cip‟? Kita itu baru saja kami datangkan lagi dari Han-kau, barangnya masih hangat-hangat, kalau ingin beli hendaklah lekas, kalau tidak tentu sebentar akan kehabisan. Tentu saja aku heran, kutanya darimana dia tahu aku hendak mencari Tong-si-soan-cip. Dan tahukah kau apa katanya?”

“Entah, apa yang dia katakan?, sahut kawannya.

“Kurang ajar! Pegawai itu bilang: Harap tuan maklum, karena selama beberapa hari ini toko kami telah banyak kedatangan tuan-tuan yang gagah perkasa dengan bersenjata, sebelas dari sepuluh orang yang datang tentu yang dicari adalah Tong-si-soan-cip. Oleh karena itu, kita itu benar-benar seperti pisang goreng larisnya, jika tuan juga ingin membeli silahkan lekas saja, harganya lima tahil perak setiap buku”.

“Keparat, masakah ada kitab semahal itu?” maki kawannya tadi.

“Apakah kau tahu harga buku? Apakah kau pernah beli buku? Darimana kau tahu harga itu terlalu mahal?”

“Hahaha! Darimana aku tahu! Huruf segede telur juga aku tidak kenal satu bakul banyaknya, selama hidup inipun tidak pernah masuk toko buku, buat apa aku membeli buku? Selama hidup Ingsun hanya suka berjudi, kalau beli kartu sih berani, beli buku mah terima kasih. Hehehehe!”.

Begitulah diam-diam Tik Hun membatin: “Rupanya rahasia tentang Soh-sim-kiam-boh sudah tersebar hingga semua orang sudah tahu. Siapakah gerangan yang menyiarkan rahasia itu? Ah, tahulah aku, tentu Ban-si-hucu membicarakan rahasia itu dan telah didengar oleh Loh Kun dan lain-lain, ketika Ban Cin-san menguber mereka, anak muridnya lantas kabur dan dengan begitu berita tentang harta karun dalam Soh-sim-kiam-boh lantas tersiar”.

Teringat kepada Soh-sim-kiam-boh, segera iapun teringat pada waktu ia meringkuk didalam penjara bersama Ting Tian dahulu, dimana juga banyak orang-orang Kang-ouw merecoki Ting Tian dengan tujuan hendak memperoleh rahasia Soh-sim-kiam-boh, tapi satu persatu orang-orang Kang-ouw itu telah dibinasakan oleh Ting Tian.

“Ai, kenapa aku menjadi lupa? Ting-toako telah pesan agar aku menguburkan abu tulangnya bersama jenazah Leng-siocia, maka tugas itu harus kulaksanakan dahulu”, demikian ia lantas teringat kepada pesan tinggalan saudara angkat yang dicintainya itu.

Segera ia mulai menyelidiki dimana letak kuburannya Leng-siocia.

Sebagai puteri Tihu (bupati) dari kota Kang-leng, dengan sendirinya kuburan Leng-siocia itu mudah dicari. Tik Hun hanya mencari tahu kepada toko-toko penjual peti mati yang besar dan tukang batu pembuat batu nisan yang terkenal didalam kota, maka dengan gampang ia sudah mendapat tahu letak tempat kuburan Leng-siocia itu. Tempat itu adalah diatas sebuah bukit kecil diluar pintu timur kota, jaraknya kira-kira dua belas li.

Setelah membeli dua buah cangkul, segera Tik Hun keluar timur kota dan tidak terlalu susah kuburan Leng-siocia itu telah dapat diketemukan.

Ia lihat di atas batu nisan itu tertulis: “Kuburan puteri tercinta: Leng Siang-hoa”. Sekitar kuburan itu tandus merata tiada sesuatu tanaman apa-apa, baik pohon maupun bunga-bungaan. Padahal dimasa hidupnya Leng-siocia paling suka pada bunga, namun sesudah meninggal, satupun ayahnya tidak menanam bunga disekitar kuburannya itu.

“Hehe, puteri tercinta? Apa betul-betul kau cinta pada puterimu ini?” demikian Tik Hun mengejek Leng-tihu yang kejam itu. Dan bila teringat kepada Ting Tian dan Jik Hong, tak tertahan lagi air matanya bercucuran bak hujan.

Memangnya bajunya sudah pernah lepek oleh air mata tangisannya kepada Jik Hong waktu hari, sekarang didepan kuburan Leng-siocia telah bertambah dibasahi air mata yang baru.

Disekitar bukit itu tiada rumah penduduk, jauh terpencil pula dari jalan raja dan tiada orang berlalu disitu. Tapi tidaklah pantas menggali kuburan disiang hari. Maka terpaksa ia menunggu sesudah magrib barulah ia menggali. Setelah membongkar batu penutup liang kubur itu, maka tertampaklah peti matinya.

Sesudah mengalami derita sengsara selama beberapa tahun ini, sebenarnya Tik Hun bukan lagi seorang yang mudah berduka dan gampang mengalirkan air mata. Tetapi dibawah sinar bulan yang remang-remang itu demi melihat peti mati itu, ia lantas teringat kepada kematian Ting-toako yang justeru akibat peti mati itu, yaitu kena racun yang dipoles diatasnya, mau tak mau Tik Hun berduka pula dan tak bisa mencucurkan air mata lagi.

Ia tahu Leng Dwe-su telah melumasi peti mati itu dengan racun “Hud-co-kim-lian‟ yang maha jahat, meski sudah lewat sekian tahun lamanya, apalagi peti mati itu telah digotong dan dipendam disitu, besar kemungkinan racun diatasnya sudah dihapus lebih dulu. Namun begitu ia tetap was-was, ia tidak mau terima resiko untuk menyentuh tutup peti mati itu. Maka segera ia lolos Hiat-to (golok merah) milik Hiat-to Loco dahulu. Pe-lahan-lahan ia masukkan golok mestika itu kegaris tutup peti mati dan disayat keliling.

Golok mestika itu dapat memotong besi sebagai merajang sayur, maka dengan gampang sekali semua paku dan pantek peti mati itu telah disayat putus. Ketika ia cungkel dengan golok itu, segera tutup peti mati bergeser dan mencelat jatuh keluar liang kubur.

Sekonyong-konyong dilihatnya dibawah tutup peti mati itu dua buah tangan yang sudah berwujud tulang kering itu menegak ke atas, ketika tutup peti mati mencelat, kedua rangka tulang tangan itu lantas jatuh berantakan kedalam seakan-akan bisa bergerak sendiri.

Keruan Tik Hun terkejut biarpun nyalinya cukup tabah. Pikirnya: “Diwaktu jenazah Leng-siocia dimasukkan peti mati, mengapa kedua tangannya bisa terangkat keatas? Aneh, sungguh aneh?”

Ketika ia periksa isi peti mati itu, ia tidak melihat sebangsa bantal guling, mori belaco yang pada umumnya dipakai orang mati. Yang ada Cuma pakaian tipis biasa dan serangka tulang-belulang.

Diam-diam Tik Hun mendoa: “Ting-toako, Leng-siocia, diwaktu hidupnya kalian tak dapat menjadi suami isteri, sesudah meninggal cita-cita kalian agar terkubur bersama kini telah tercapai. Jika arwah kalian mengetahui hal ini di alam baka, dapatlah kiranya kalian merasa puas hendaknya”.

Lalu Tik Hun menanggalkan buntalan yang dibawanya, ia tebarkan abu jenazah Ting Tian diatas kerangka tulangnya Leng-siocia. Ia berlutut dan menjura empat kali dengan penuh hormat, lalu ia berdiri dan hendak mengangkat tutup peti mati untuk ditutup kembali seperti semula.

Dibawah sinar bulan yang remang-remang itu, tiba-tiba dilihatnya di bagian dalam tutup peti mati itu samar-samar seperti penuh tulisan. Waktu Tik Hun mendekati dan memperhatikannya, ia lihat tulisan-tulisa itu mencang-menceng tak teratur, diantaranya tertulis: “Ting-long, biarlah kita menjadi suami isteri pada penjelmaan yang datang!”.

Tik Hun terkesiap dan terduduk lemas ketanah. Beberapa huruf itu terang diukir dengan kuku jari. Sesudah dipikirnya sejenak, segera iapun paham duduknya perkara. Kiranya Leng-siocia itu sebenarnya belum meninggal waktu itu, tapi dia telah dipendam hidup-hidup oleh ayahnya sendiri dan dimasukkan kedalam peti mati secara paksa. Beberapa huruf itu terang diukirnya dengan kuku pada waktu ia belum meninggal. Sebab itulah, sampai saat matinya kedua tangannya masih terangkat keatas, yaitu karena dia lagi mengukir tulisan dibagian dalam tutup peti mati. Sungguh susah untuk dipercaya bahwa di dunia ini ternyata ada seorang ayah yang begitu kejam. Dengan segala tipu daya Leng Dwe-su telah berusaha mendapatkan Soh-sim-kiam-koat dari Ting Tian, tapi selama itu Ting-toakonya tidak mau tunduk, sedangkan Leng-siocia juga tidak mau mengingkari Ting-toako, dan karena sudah ditunggu dan tunggu lagi tetap tipu muslihat Leng Dwe-su tak berhasil, akhirnya ia menjadi gemas dan secara keji telah kubur puterinya sendiri dengan hidup-hidup.

Ia coba meneliti tulisan-tulisan diatas tutup peti itu, ia melihat dibawah pesan kepada Ting Tian tadi tertulis beberapa angka pula seperti: 4, 51, 33, 53, 18, 7, 34, 11, 28 dan banyak lagi.

Tik Hun menarik napas dingin, katanya didalam hati: “Ah, tahulah aku. Ternyata sampai detik terakhir Leng-siocia masih ingat cita-citanya yang ingin berkubur bersama dengan Ting-toako. Leng-siocia pernah berjanji kepada siapapun asal dapat menguburkan dia bersama Ting Tian, maka ia akan memberitahukan rahasia Soh-sim-kiam-boh kepadanya. Ting-toako juga pernah mengatakan kunci rahasia itu kepadaku, tapi belum lagi habis beliau sudah keburu meninggal. Sedangkan Kiam-boh yang diperoleh suhu dan terdapat kunci rahasianya justeru telah di-robek-robek oleh Ban-si-hucu, tadinya kukira rahasia itu sudah tiada orang yang tahu lagi di dunia ini dan untuk seterusnya akan lenyap, siapa tahu Leng-siocia telah mencatat secara lengkap disini”.

Maka diam-diam Tik Hun berdoa: “Leng-siocia, engkau benar-benar seorang yang bisa pegang janji. Terima kasihlah atas maksud baikmu. Tetapi aku sendiri sekarangpun lagi putus asa, kalau bisa sungguh akupun ingin bisa menggali suatu liang kubur, lalu membunuh diri disini untuk menyusul kau dan Ting-toako. Cuma sampai sekarang sakit hatiku belum terbalas, aku harus membunuh dulu Ban-si-hucu serta ayahmu, habis itu barulah aku rela mati. Adapun tentang harta benda bagiku adalah mirip tanah dan sampah saja yang tiada artinya”.

Segera ia angkat tutup peti mati dan hendak ditutupkannya kembali. Tapi sekonyong-konyong timbul suatu akalnya: “He, bukankah aku sedang sulit mencari Ban-si-hucu? Dan kalau sekarang aku menuliskan kunci rahasia tentang dimana letak penyimpanan harta karun itu, kutuliskan huruf-huruf itu ditempat yang menyolok, dapat dipastikan Ban-si-hucu pasti akan mendengar serta datang melihatnya. Ya, benar, aku harus menggunakan kunci rahasia Soh-sim-kiam-boh ini sebagai umpan untuk memancing kedatangan Ban-Cin-san dan Ban Ka. Walaupun Ban-si-hucu tentu akan curiga juga, namun betapapun juga mereka pasti ingin mengetahui rahasia Soh-sim-kiam-boh, tentu mereka akan menempuh bahaya dan datang kemari”.

Setelah ambil keputusan itu, ia taruh lagi tutup peti mati itu, ia apalkan dengan baik angka-angka kunci Soh-sim-kiam-boh itu, bahkan ia ukir pula angka-angka itu digagang cangkul dengan goloknya. Selesai mengukir, untuk selamatnya ia mencocokkan sekali pula, habis itu barulah ia tutup kembali peti mati itu serta menguruki lagi tanah pekuburan seperti semula.

“Cita-citaku yang terpenting ini kini sudah terlaksana, tugasku kepada Leng-siocia dan Ting-toako sudah kupenuhi. Nanti bila aku sudah membalas sakit hati, tentu aku akan datang lagi kesini untuk menanami beberapa ratus pohon bunga seruni disini. Memang bunga seruni adalah bunga kesayangan Ting-toako dan Leng-siocia dimasa hidup mereka”, demikian Tik Hun berjanji pada diri sendiri.

Besok paginya, diatas dinding benteng selatan kota Kang-leng tepat di atas pintu gerbang yang menyolok mata jelas tertampak beberapa angka yang tercoret dengan kapur.

Huruf-huruf itu besar-besar hingga dapat terlihat jelas dari jauh, angka-angka itu antara lain dan didahului: 4, 51, 33, 53…………………..

Anehnya huruf-huruf itu tertulis di atas tembok yang tingginya belasan meter, mungkin diseluruh kota Kang-leng tak terdapat tangga sepanjang itu untuk mencapai dinding dan menulisnya, kecuali orang dikerek dari atas benteng dan orang itu menulis di dinding benteng itu dengan tergantung.

Jauh ditepi jalan raja yang menuju ke pintu gerbang kota itu tampak ada seorang pengemis sedang sibuk mencari tuma dibajunya yang rombeng dan berbau sambil menjemur diri dibawah sinar matahari.

Orang itu adalah Tik Hun. Dan tulisan ditembok yang tinggi itu adalah perbuatannya.

Pintu gerbang selatan itu sangat ramai dengan orang yang berlalu lalang, apalagi diwaktu pagi, banyak bakul-bakul dan tukang-tukang sayur dari desa sama menuju kepasar di dalam kota. Maka orang-orang desa dan penduduk kota merasa heran juga ketika melihat tulisan diatas tembok yang sangat tinggi itu, hanya dalam waktu singkat saja gemparlah seantero kota Kang-leng, baik dirumah makan, baik diwarung kopi dan maupun dipasar, semua orang geger membicarakan kejadian yang aneh itu, bahkan banyak yang berbondong2 datang kepintu gerbang untuk melihat tulisan itu.

Dan sudah tentu tulisan-tulisan itu tiada yang luar biasa, kecuali letaknya yang sangat tinggi itu, tulisan-tulisan itu pada hakekatnya tidak mengherankan dan menarik, maka banyak diantara penonton-penonton itu sesudah membaca sekadarnya, lalu menggerutu dan tinggal pergi.

Sebaliknya banyak juga orang-orang Kang-ouw dan tokoh-tokoh Bu-lim yang tidak lantas tinggal pergi, mereka masing-masing tampak membawa sejilid “Tong-si-soan-cip‟, mereka mencatat semua angka-angka yang tertulis didinding kota itu, lalu mengkerut kening memikirkan arti angka-angka itu.

Tik Hun sendiri masih asyik memitas tuma yang diketemukannya dari bajunya, tapi perhatiannya tidak pernah meninggalkan orang-orang Bu-lim yang datang kesitu itu.

Akhirnya dapatlah dilihat Sun Kin dan Sim Sia telah datang, kemudian Loh Kun tiba pula.

Tapi mereka tidak tahu urutan-urutan jurus permainan Soh-sim-kiam-hoat, pula tidak tahu syair mana yang menjadi indeks daripada jurus ilmu pedang itu. Maka sekalipun mereka masing-masing juga membawa sejilid “Tong-si-soan-cip‟, walaupun mereka dapat membaca angka-angka yang tertulis didinding kota dan tahu pula bahwa keempat angka pertama itu adalah kunci rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh itu, bahkan meski mereka sudah mendengar juga percakapan guru mereka dengan puteranya dikala memecahkan angka-angka kunci itu, namun mereka tidak tahu setiap angka itu harus jatuh atau dicari di dalam syair yang mana.

Maklum, untuk bisa mengetahui syair mana yang dimaksudkan dari jurus-jurus Soh-sim-kiam-hoat itu didunia ini hanya Ban Cin-san, Gan Tiat-peng, dan Jik Tiang-hoat bertiga yang tahu.

Tertampak Loh Kun dan para sutenya itu sedang bicara, rupanya sedang saling tukar pikiran. Tapi sampai sekian lamanya tiada sesuatu kesimpulan yang dapat mereka tarik dari angka-angka itu.

Karena jaraknya agak jauh, Tik Hun tidak dapat mendengar apa yang dipercakapkan mereka. Ia lihat sesudah Loh Kun dan lain-lain berunding lagi sebentar, kemudian mereka masuk kembali keota. Selang tidak lama, tertampak Loh Kun bertiga keluar lagi, tapi kini sudah menyamar semua. Yang satu menyamar sebagai tukang rujak dengan memakai memikul suatu dasaran yang banyak terdapat ketimun, nanas, jeruk, dan sebagainya. Seorang lagi menyaru sebagai tukang sayur, pikulannya penuh terisi sayur-sayuran dan seorang lain pula menyamar sebagai petani yang habis pulang dari menjual hasil taninya di kota.

Setiba diluar pintu kota, mereka lantas pura-pura mengaso disitu, tapi yang mereka perhatikan adalah orang-orang yang berlalu-lalang.

Tik Hun dapat meraba maksud tujuan mereka, tentu mereka ingin menunggu kedatangan Ban Cin-san. Mereka sendiri tak dapat memecahkan angka-angka rahasia Soh-sim-kiam-boh itu, maka mereka hendak membonceng sang guru saja. Apabila Ban Cin-san berhasil menggali harta karun itu, biarpun mereka tak dapat mengangkangi, paling tidak juga akan kebagian rejeki.

Beberapa angka kunci pertama dari “Soh-sim-kiam-boh‟ itu adalah: 4, 51, 33 dan 53. Angka-angka itu mempunyai arti sebagai “Kang-leng-seng-lam‟ atau selatan kota Kang-leng, hal ini sudah tersiar luas di kalangan orang Kang-ouw melalui mulutnya Bok Heng dan Sim Sia yang dapat mendengar dari guru mereka itu. Dan kini angka-angka itupun jelas tertulis diatas dinding kota itu, bahkan dibelakangnya berturut-urut masih banyak angka-angka yang lain lagi, melihat itu, biarpun orang yang paling goblok juga akan dapat menduga bahwa angka-angka itu pasti adalah rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh yang dicari itu.

Begitulah maka orang-orang yang datang kepintu selatan kota itu, makin siang makin banyak. Ada yang menyamar, ada yang blak-blakan menurut muka asli mereka.

Diam-diam Tik Hun menghitung jumlahnya dan seluruhnya ada 78 orang. Selang tak lama lagi, ia lihat Bok Heng dan Pang Tan juga sudah datang. Bahkan diantara mereka entah sedang mempercekcokkan urusan apa, muka mereka tampak merah beringas, kaceknya mereka tidak sampai berkelahi. Tapi akhirnya mereka dapat sabar kembali dan duduk ditepi sungai yang mengelilingi benteng kota itu sambil merenungkan apa arti angka-angka yang tertulis diatas dinding itu.

Sampai sore hari, masih tetap Ban-si-hucu tidak kelihatan batang hidungnya. Bahkan sampai dekat magrib, masih juga Ban Cin-san dan Ban Ka tidak nampak muncul. Banyak diantara orang-orang itu kedengaran mencaci-maki dengan kata-kata kotor.

Dan ketika hari sudah hampir gelap, tiba-tiba tertampak seorang yang berdandan sebagai guru sekolah telah datang dengan langkahnya mirip “gojang sampan‟. Guru sekolah itu membawa pensil dan secarik kertas pula. Setiba diluar pintu gerbang situ, ia lantas mencatat semua angka-angka yang dapat dibacanya diatas dinding itu.

Ada seorang laki-laki berewok dan bermuka bengis memangnya lagi mendongkol tak terlampiaskan lantaran sudah sekian lamanya menunggu dan masih tidak melihat munculnya Ban Cin-san, terus saja ia gunakan guru sekolah itu sebagai alat pelampias marahnya, segera ia bekuk guru sekolah itu sambil membentak: “Buat apa kau menurun angka-angka itu?”.

“E-eh, seorang laki-laki sejati hanya boleh pakai mulut dan tidak boleh memakai tangan”, demikian sahut guru sekolah itu sambil meringis karena tengkuknya dicengkeram laki-laki kasar tadi.

“Persetan kau laki-laki atau perempuan,” bentak orang itu, “Nah, jawablah, buat apa kau mencatat angka-angka itu?”

“Sudah tentu ada gunanya bagiku, orang lain mana bisa tahu,” sahut guru sekolah itu.

“Keparat, makanya aku tanya!”, teriak laki-laki kasar itu dengan mendongkol, “Nah, kau mau mengaku tidak, kalau tidak, segera kutonjok kau. Nih!”. Dan segera ia acungkan bogemnya ke depan hidung guru sekolah itu.

Rupanya guru sekolah itu menjadi takut, katanya dengan gemetar: “Ya, ya, kan….akan kukatakan. Aku Cuma……Cuma orang suruhan saja”.

“Siapa yang suruh kau?”, bentak orang itu.

“Seorang……seorang tua. Ya, kukatakan terus terang saja,

orang yang menyuruh aku itu adalah tokoh terkemuka didalam kota ini, beliau  ialah…………..ialah, eh, kalau kukatakan, jangan kau gemetar, lho! Beliau ialah…….ialah Ban Cin-san, Ban- loyacu!”, demikian tutur guru sekolah itu.

Demi mendengar nama “Ban Cin-san‟ disebut, seketika gemparlah semua orang. Tik Hun pun ikut bergirang, tapi diantara rasa girang itu lebih besar rasa dendam kesumat dan rasa dukanya.

Begitulah guru sekolah itu lantas digusur beramai-ramai oleh orang banyak kedalam kota, ia diharuskan menunjukkan dimana beradanya Ban Cin-san. Maka dalam sekejap saja ratusan orang telah pergi hingga jauh. Mereka ingin mencari Ban Cin-san untuk memaksanya memberitahu dimana tempat penyimpanan harta karun itu, mereka akan menggalinya untuk dibagi sama rata.

Sudah tentu laki-laki berewok itu mendapat banyak pujian dari para petualang yang lain, mereka memujinya: “Saudara ini sungguh sangat cerdik, kami sama sekali tidak menduga Ban Cin-san bisa menyuruh orang untuk menurun angka-angka rahasia ini. Coba kalau tiada kau saudara, biarpun kita menunggu tiga hari tiga malam suntuk disini juga akan sia-sia belaka, sebaliknya kesempatan itu sudah digunakan oleh sikeparat Ban Cin-san untuk menggali harta karun itu”.

Dengan sendirinya makin dipuji, makin berseri si orang berewok itu, katanya dengan bangga: “Memangnya sejak munculnya pelajar kecut ini aku sudah menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres. Dan nyatanya memang benar!”.

Dalam suasana remang-remangnya magrib itu, rombongan orang-orang itu telah pergi hingga jauh, maka diluar pintu gerbang kota itu kembali sunyi-senyap. Mestinya Tik Hun bermaksud ikut diantara orang banyak itu, tapi ia menjadi ragu-ragu, ia merasa Ban Cin-san yang licik dan licin itu tidak mungkin berlaku begitu goblok menyuruh seorang guru sekolah yang begitu gampang lantas ditangkap dan mengaku terus terang dimana ia berada. Bukan mustahil dibalik itu ada sesuatu tipu muslihatnya.

Karena itulah maka ia tidak jadi bangkit untuk ikut diantara orang banyak itu. Dan selagi ia ragu-ragu apakah usahanya itu akan gagal begitu saja atau masih harus diteruskan lagi hingga besok, tiba-tiba dilihatnya ditepi sungai dekat pintu gerbang kota itu, berkelebat suatu bayangan orang. Dengan cepat bayangan orang itu terus lari kearah barat secepat terbang.

Pikiran Tik Hun tergerak, segera iapun melesat kedepan, diam-diam ia menguntit dibelakang bayangan orang itu dengan Ginkang yang tinggi hingga tak diketahui siapapun juga.

Ternyata Ginkang orang itupun sangat hebat, namun Tik Hun sekarang bukan lagi Tik Hun dulu, betapapun kepandaian orang itu masih selisih jauh kalau dibandingkan pemuda itu. Maka sama sekali orang itu tidak merasa bahwa ada seorang lain lagi sedang menguntit dibelakangnya.

Tik Hun terus menguntit hingga sampai didepan sebuah rumah kecil. Ia lihat orang itu masuk kedalam rumah. Segera Tik Hun menyisir maju, sampai disaping rumah, ia menjaga disitu jika orang itu keluar lagi. Tapi ternyata orang itu tidak keluar, sebaliknya didalam rumah lantas kelihatan sinar terang, orang itu telah menyalakan pelita.

Tik Hun terus menggeser keluar jendela, ia mengintip dari sela-sela jendela, maka dapat dilihatnya bahwa orang tadi adalah seorang tua, Cuma berdirinya membelakangi jendela, maka mukanya tidak kelihatan. Orang itu berduduk menghadap meja, diatas meja terletak sejilid buku. Begitu memandang segera Tik Hun tahu buku itu adalah “Tong-si-soan-cip‟. Buku berisi pilihan syair jaman Tong itu dalam beberapa hari terakhir ini telah merupakan barang paling laris di dalam kota Kang-leng, maka tidak mengherankan jika orang tua itupun memiliki suatu jilid.

Dalam pada itu, terlihat orang tua itu lagi memegang sebatang pensil, lalu sedang menulis diatas sehelai kertas kuning, yang ditulis adalah empat huruf “Kang-leng-seng-lam‟ atau selatan kota Kang-leng, kemudian terdengar dia menyebut sebuah judul syair dan menyebut suatu angka, habis itu ia lantas membalik-balik halaman kitab syair kuno itu mulai menghitung huruf-huruf dari syairnya. Terdengar ia menyebut: “Satu, dua, tiga, empat……….., sebelas, dua belas……… lima belas, enam belas, tujuh belas, delapan belas.” Sampai disini ia lantas menulis satu huruf diatas kertasnya.

Diam-diam Tik Hun terkejut melihat gerak-gerik orang tua itu, ia heran mengapa orang juga paham Soh-sim-kiam-hoat? Kalau dilihat dari belakang, terang orang ini bukanlah Ban-Cin-san. Karena pakaian orang tua itu berwarna kelabu yang sangat umum, maka Tik Hun juga tidak dapat menyelami siapakah gerangan si kakek.

Begitulah terlihat orang tua itu membalik-balik terus halaman kita “Tong-si-soan-cip‟, lalu menghitung-hitung dan mencatat sampai akhirnya keseluruhannya ia telah menulis 28 huruf diatas kertas.

Ketika Tik Hun memperhatikan tulisan-tulisan itu, sjukur ia dapat membacanya. Ke28 huruf itu maksudnya kira-kira begini: “Diruangan belakang Secong-si diselatan kota, bersujudlah didepan patung Budha, panjatkanlah doa suci dan mohon Budha memberkahi agar dapat mencapai nirwana dengan selamat”.

Setelah mencatat ke28 huruf itu dan habis membacanya, orang tua itu menjadi gusar, mendadak ia banting pensilnya kemeja sambil mengguman sendiri: “Huh, masakah suruh orang bersujud kepada patung kayu yang tak berjiwa, katanya agar diberkahi keselamatan, dan ada pula tentang “mencapai nirwana‟ apa segala. Hahaha, kurangajar, masakah dapat “mencapai nirwana‟, bukankah itu berarti menyuruh orang menghadap raja akhirat alias mati saja”.

Dari suara gerundel kakek itu, Tik Hun merasa suara orang seperti sudah dikenalnya. Tengah ia mengingat-ingat, tiba-tiba orang itu miringkan mukanya. Cepat Tik Hun mendak kebawah jendela sambil membatin: “Ha, kiranya adalah Ji-supek Gian Tat-peng. Pantas dia paham jurus-jurus Soh-sim-kiam-hoat. Dan rahasia apakah didalam tulisan yang diperolehnya dari angka-angka kunci rahasia itu? Bukankah Cuma untuk mempermainkan orang belaka? Berpikir demikian mau tak mau ia menjadi geli: “Haha, jadi sudah sekian banyak pikiran dan tenaga yang dikeluarkan oleh orang banyak itu, mereka tidak segan-segan membunuh guru, mencelakai sesama orang Bu-lim dan membinasakan kawan, tapi akhirnya yang diperoleh ternyata hanya suatu kalimat yang mempermainkan orang saja”.

Begitulah Tik Hun tidak sampai ketawa, tapi didalam rumah Gian Tat-peng sudah terbahak-bahak dan berkata: “Hahahaha! Suruh aku menjura dan bersujud kepada patung, agar berdoa pada patung lempung atau kayu ini supaya memberkahi rejeki padaku? Hahaha, keparat, Locu disuruh menuju nirwana! Padahal kami bertiga saudara seperguruan sampai melakoni membunuh guru, kemudian kami bertiga saling rebut dan saling gasak, ternyata yang diperebutkan melulu untuk “mencapai nirwana‟. Dan beberapa ratus kesatria Bu-lim yang berkumpul dikota Kang-leng dan saling berebut itu, yang dituju juga demi untuk “mencapai nirwana‟. Hahahahahaha!”

Suara tertawa Gian Tat-peng itu ternyata penuh rasa pilu, penuh rasa sesal, dan sembari tertawa seraja merobek-robek kertas yang dibuatnya menulis itu hingga hancur.

Mendadak, ia berdiri tegak tanpa bergerak, kedua matanya memandang keluar jendela dengan terkesima. Lalu terdengar ia mengguman sendiri: “Keadaan sudah terlanyur begini, tiada jeleknya juga kalau aku coba memeriksa Secong-si itu. Memang disebelah barat dari pintu selatan kota itu terdapat sebuah kelenteng kuno seperti apa yang dimaksudkan itu”.

Segera ia padamkan pelita dan keluar dari rumah itu, dengan Ginkang yang tinggi ia lantas menuju kesebelah barat sana.

Tik Hun menjadi ragu-ragu, pikirnya: “Apakah aku harus mencari Ban Cin-san saja atau menguntit Gian-supek? Ah, Ban-supek toh sudah dirubung oleh serombongan orang, maka aku lebih baik mengawasi tindak-tanduk Gian-supek saja”.

Maka iapun cepat menyusul dibelakangnya Gian Tat-peng.

Tik Hun sendiri tidak tahu Secong-si yang dimaksudkan itu terletak dimana, tapi Gian Tat-peng sudah beberapa tahun mencari dan menyelajahi kota Kang-leng, segala tempat yang mencurigakan telah diselidikinya semua, maka keadaan sekitar kota baginya boleh dikata seperti rumah sendiri saja. Maka tidak terlalu lama, sampailah ia diluar kelenteng itu.

Gian Tat-peng memang seorang cerdik, ia tidak lantas masuk kelenteng itu, tapi ia celingukan kian kemari, lalu mendengarkan apakah didalam kelenteng ada sesuatu suara atau tidak, kemudian ia mengelilingi pula kelenteng itu, habis itu barulah ia mendorong pintu masuk kedalam.

Letak Secong-si itu sangat terpencil, disekitar itu sunyi-senyap, pula kelenteng itu tidak terawat, tiada Hwesio dan penghuni lain. Waktu Gian Tat-peng sampai diruangan tengah, segera ia menyalakan geretan api dan hendak menyulut lilin diatas meja sembahjang.

Sekonyong-konyong dibawah sinar api itu dilihatnya sumbu lilin itu masih basah-basah dan diujung itu agak lumer. Hatinya tergerak, cepat ia coba memegang ujung lilin itu, benar juga terasa masih hangat dan lemas, terang tidak lama berselang baru saja ada orang menyalakan lilin itu. Ia menjadi curiga dan cepat memadamkan api. Dan selagi ia hendak melangkah keluar untuk memeriksa keadaan kelenteng itu. Tiba-tiba punggungnya terasa sakit sekali, sebilah belati telah menancap ditubuhnya, ia hanya sempat menjerit sekali terus roboh binasa.

Sementara itu Tik Hun juga sudah melintasi pagar tembok kelenteng dan sembunyi dibelakang pintu depan sana. Ia lihat sinar api menyala, lalu sirap lagi dan disusul jeritan ngeri Gian Tat-peng. Dalam kagetnya segera Tik Hun tahu Gian-supek sudah kena disergap musuh. Kejadian itu berlangsung terlalu cepat hingga dia sama sekali tidak sempat bertindak dan menolong. Maka iapun tidak jadi bergerak, tapi terus sembunyi disitu untuk melihat siapakah gerangan yang menyergap Gian Tat-peng disitu.

Di dalam keadaan gelap, maka terdengarlah suara seorang sedang tertawa dingin. Tik Hun merasa mengkirik oleh suara tawa orang yang menyeramkan itu, tapi ia merasa suara orang seperti sudah dikenalnya juga.

Sekonyong-konyong sinar api berkelebat, orang itu telah menyalakan lilin hingga tubuh orang kelihatan jelas. Pelahan-lahan orang itupun berpaling kearah sini. Dan……..hampir saja Tik Hun menjerit: “Suhu”.

Kiranya orang itu memang betul Jik Tiang-hoat adanya.

Maka tertampak Jik Tiang-hoat telah mendepak sekali mayatnya Gian Tat-peng, bahkan ia melolos pedang dan menusuk beberapa kali pula dipunggung orang yang sudah mati itu.

Melihat gurunya begitu keji dan kejam membunuh sesama saudara perguruan sendiri, maka jeritan “Suhu” yang hampir diteriakkan Tik Hun itu segera ia telan kembali mentah-mentah.

Terdengar Jik Tiang-hoat sedang tertawa dingin pula, katanya: “Ji-suko, jadi kau juga sudah dapat memecahkan rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh, ya? Haha, Ji-suko, kata kalimat didalam Kiam-boh itu bahwa: “Budha akan memberkahi kau hingga mencapai nirwana, dan sekarang bukankah kau benar-benar sudah menuju nirwana? Bukankah Budha sudah memberkahi dan memberi rejeki padamu? Hahahahaha?”.

Kemudian ia berpaling pula, ia pandang patung Budha yang berwajah senyum simpul itu, dengan penuh mendongkol ia mendamperat: “Kau patung celaka ini, kau telah permainkan aku selama ini dan membikin aku menderita sengsara, akhirnya Cuma begini saja jadinya”.

Dan segera ia melompat keatas altar patung itu dengan pedang terhunus, “trang-trang-trang”, beruntun-runtun ia membacok tiga kali diperut patung Budha yang gendut itu.

Pada umumnya sesuatu patung terbuat dari tanah liat atau ukiran dari kaju, paling-paling ukiran dari batu. Tapi ketiga kali bacokannya itu ternyata menimbulkan suara nyaring suara benturan logam.

Untuk sejenak Jik Tiang-hoat tertegun, tapi ia segera membacok dua kali lagi, ia merasa tempat yang terkena pedang itu sangat keras. Segera ia ambil lilin untuk menerangi bekas bacokan diatas perut patung itu. Ia lihat dari guratan bekas bacokan itu mengeluarkan sinar kuning mengkilap. Ia terkesima sejenak. Ia coba mengkerik dengan kuku-jarinya ditempat bekas bacokan itu, ia lihat warna kuning mengkilap itu lebih nyata lagi, ternyata didalamnya adalah emas murni belaka.

Seketika Jik Tiang-hoat menjerit tertahan: “Ha, ini adalah patung emas raksasa, seluruhnya terbuat dari emas, emas murni seluruhnya!”.

Patung Budha itu tingginya 4-5 meter, lengannya besar dan perutnya gendut, jauh lebih besar daripada patung raksasa umumnya. Dan bila patung ini seluruhnya terbuat dari emas murni, maka dapat ditaksir paling sedikit ada 40-50 ribu kati beratnya. Dan emas sebanyak itu kalau bukan harta-karun namanya harus disebut apa lagi?

Dan sesudah memikir sejenak, segera Jik Tiang-hoat mengitar pula kebelakang patung Budha itu, ia coba mengkerik pula dengan pedangnya, ia lihat dibagian pinggang patung itu seperti ada sesuatu pintu rahasia kecil. Berulang-ulang ia mengkerik dan memotong pula hingga debu kotoran diatas patung itu tersapu bersih, bahkan bagian pinggang patung itupun tercacah beberapa goresan, sesudah itu barulah bagian itu tampak bersih dan kelihatan pintu rahasianya.

Segera Jik Tiang-hoat masukkan pedangnya kesela-sela pintu rahasia itu, ia cungkil beberapa kali, tapi pintu rahasia itu teramat kencang hingga sedikitpun tidak bergeming, ia coba menyongkel lebih keras, tapi sedikit kurang hati-hati, “pletak‟, pedangnya patah malah.

Namun ia tidak putus asa, dengan pedang patah itu ia mencungkil lagi sela-sela pintu rahasia sisi lain. Dan sesudah berkutetan agak lama, lambat-laun pintu rahasia mulai longgar dan pelahan-lahan tercungkil keluar. Jik Tiang-hoat membuang pedangnya yang patah itu, segera ia pegang pintu rahasia itu dan pelahan-lahan ditarik hingga terbuka. Ketika ia menerangi dengan lilin, ia lihat didalam perut patung Budha itu penuh terisi emas-intan dan batu permata yang gemilapan menyilaukan mata. Melihat betapa besar perut patung itu, sungguh susah dinilai berapa banyak harta benda yang tersimpan didalam situ.

Saking kesima Jik Tiang-hoat menelan ludah sendiri beberapa kali. Segera ia bermaksud meraup beberapa biji batu permata didalam perut patung itu untuk diperiksa, tapi mendadak ia merasa altar patung itu pelahan-lahan berguncang sedikit.

Jik Tiang-hoat adalah seorang yang sangat cerdik dan waspada, segera ia tahu keadaan tidak beres, cepat ia meloncat turun dari altar patung itu. Tapi baru sebelah kakinya menginyak tanah, seketika perutnya terasa sakit, nyata ia telah kena disergap orang dan tertutuk. Tanpa ampun lagi ia roboh terguling dan takbisa berkutik.

Maka tertampaklah seorang menerobos keluar dari bawah altar, dengan tertawa hina orang itu berkata: “Jik-sute, kiranya kau belum mati dan akhirnya sampai disini. Lo-ji (sinomor dua, maksudnya Gian Tat-peng) juga mencari kemari, tapi mengapa kalian tidak memikir bahwa Toa-suheng kalian juga pasti akan mencari kesini? Hahahaha!”.

Orang itu ternyata bukan lain daripada Ban Cin-san. Secara diam-diam ia sudah sembunyi didalam kelenteng sebelum kedua Sutenya datang.

Karena mendadak ketomplok rejeki hingga Jik Tiang-hoat yang biasanya sangat hati-hati dan pandai berhitung itu menjadi lupa daratan dan sedikit lengah itu dia kena disergap oleh Ban Cin-san. Iapun cukup kenal kekejian sang Suheng itu, ia tahu tiada gunanya minta ampun segala, maka dengan gemas ia berkata: “Sudah pernah satu kali kau tak bisa membinasakan aku, tak tersangka akhirnya tetap mati juga ditanganmu”.

Ban Cin-san senang sekali, katanya: “Memangnya aku lagi heran atas dirimu. Eh, Jik-sute, bukankah kau sudah mati kucekik, dan kumasukkan kedalam liang dinding berlapis itu, mengapa kau bisa hidup kembali?”

Namun Jik Tiang-hoat bungkam saja tidak menjawab, bahkan ia terus pejamkan mata sekalian dan tidak menggubris.

“Ha, kau tidak mau menerangkan, apakah dikira aku tidak tahu?”, ujar Cin-san dengan tertawa dingin. “Tentu waktu itu kau pura-pura mati dengan menahan napasmu. Dan sesudah kumasukkan kau kedalam dinding berlapis itu, lalu kau membobol tembok dan melarikan diri, sebelumnya kau merapatkan kembali dinding itu lebih dulu. Hehe, kau benar-benar lihay dan licik, dengan mata kepalamu sendiri kau menyaksikan puterimu telah menjadi anak menantuku, tapi selama itu kau tetap tidak unjuk diri. Nah, ingin kutanya padamu, sebab apakah kau menghilang? Sebab apa?”.

Sekonyong-konyong Jik Tiang-hoat meludahi sang Suheng dengan riaknya yang kental dan tidak menjawab. Namun Cin-san sempat berkelit, katanya dengan tertawa: “Lo-sam, bolehlah kau pilih sendiri, kau ingin mati dengan cepat dan enak atau ingin binasa pelahan-lahan dan menderita?”

Bila teringat betapa keji dan kejamnya Suhengnya itu, mau-tak-mau air muka Jik Tiang-hoat menampilkan rasa seram juga. Katanya kemudian: “Baiklah, biar kukatakan padamu. Sebabnya aku tidak pedulikan puteriku itu justeru karena aku ingin menyelidiki duduknya perkara. Dan kini dapat diketahui bahwa puteriku itulah yang telah mencuri Kiam-boh yang kusimpan itu, nah, katakanlah apakah puteriku itu anak yang baik atau bukan? Pendek kata, orang she Ban, boleh kau bereskan aku dengan cepat saja”.

“Baik, akan kubereskan kau dengan cepat,” kata Ban Cin-san dengan senyum iblis, “Menurut pantasnya, mestinya aku tidak mungkin memperlakukan kau semurah ini, tapi mengingat jelek-jelek kau adalah besanku, pula akupun tidak punya waktu terlalu banyak, aku masih harus menyelesaikan partai harta karun ini. Nah, baiklah Sute yang baik, kuhaturkan selamat jalan padamu”. Habis berkata, terus saja ia ayun pedangnya hendak menusuk kedada Jik Tiang-hoat.

Tapi sekonyong-konyong suatu bayangan merah mendahului berkelebat, tahu-tahu buah kepala Ban Cin-san sendiri sudah terbang, menyusul tubuhnya yang tak berkepala itu kena didepak orang hingga roboh terguling.

Kiranya orang menyelamatkan jiwa Jik Tiang-hoat itu tak lain tak bukan adalah Tik Hun dengan golok merah secepat kilat ia telah tabas kepala Ban Cin-san.

Kemudian ia lantas membuka Hiat-to sang guru yang tertutuk itu dan menyapa: “Suhu, baik-baikkah engkau?”

Perubahan itu sunggu terlalu cepat jadinya hingga Jik Tiang-hoat termangu-mangu sampai sekian lamanya. Dan kemudian barulah ia dapat mengenal Tik Hun, dengan suara terputus-putus entah girang entah sedih ia berseru: “Ha, kiranya………kiranya kau, Hun-ji”.

Tik Hun sudah berpisah sekian tahun dengan gurunya itu. Kini mendengar kembali panggilan “Hun-ji‟ itu tak tertahan lagi rasa dukanya bergolak pula dalam hatinya. Sahutnya kemudian: “Ya, suhu, memang murid adanya!”.

“Jadi, kau telah ikut menyaksikan semua kejadian barusan ini?” tanya Jik Tiang-hoat.

“Ya, sejak tadi murid sudah berada disini”, sahut Tik Hun tanpa pikir. “Adapun Sumoay……. Sumoay….. dia…… dia telah……”, tapi ia tidak sanggup meneruskan lagi, air mata lantas bercucuran.

Ternyata Jik Tiang-hoat sama sekali tidak tertarik oleh penuturan Tik Hun tentang puterinya itu, ia sedang memperhatikan mayat kedua Suhengnya yang menggeletak dilantai itu.

“Hun-ji”, katanya kemudian, “untunglah kau telah menolong aku tepat waktunya, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu. Eh, Hun-ji, apakah itu?”. ~demikian tiba-tiba ia menuding kebelakang Tik Hun.

Tanpa curiga apa-apa Tik Hun lantas berpaling, tapi tiada sesuatu yang dilihatnya, dan selagi ia merasa heran, tiba-tiba punggung terasa agak sakit.

Namun Tik Hun kini sudah bukan Tik Hun dahulu lagi, betapa cepat dan tangkas reaksinya, sekali tangannya meraup ke belakang seketika pergelangan tangan musuh yang membokong itu kena dipegangnya. Cepat ia lantas berpaling kembali, ia lihat tangan penyerang itu memegang sebilah belati, siapa lagi dia kalau bukan Jik Tiang-hoat, gurunya sendiri.

Sesaat itu Tik Hun menjadi bingung, katanya: “Su………Suhu, apakah kesalahan…… kesalahan Tecu hingga Suhu hendak…… hendak membunuh aku?”

Baru sekarang Tik Hun ingat bahwa tusukan belati gurunya itu sebenarnya sudah tepat mengenai punggungnya, untung dia memakai Oh-jan-kah, dengan baju mestika yang tidak mempan senjata tajam itu, maka jiwanya sekali lagi telah lolos dari lubang jarum.

“Bagus, bagus!. Sekarang kau sudah menjadi jagoan, ya? Ilmu silatmu sudah hebat sekali hingga gurumu tak terpandang sebelah mata lagi olehmu!” demikian Jik Tiang-hoat mengejek dengan dendam. “Nah, lekaslah kau membunuh aku saja, lekas, mengapa tidak lekas membunuh aku?”

Tapi Tik Hun lantas melepaskan tangan sang guru, malah ia tetap tidak paham, sahutnya: “Mana murid berani membunuh suhu?”.

“Huh, buat apa kau mesti pura-pura dungu?”, jengek Jik Tiang-hoat. “Kalau aku tidak dapat membunuh kau, maka akulah yang akan kau bunuh, kenapa mesti dibuat heran? Harta karunnya sudah jelas didepan matamu, patung Budha ini adalah emas murni tulen, didalam perutnya juga penuh terisi intan-permata yang tak ternilai. Nah, kenapa kau tidak lantas membunuh aku? Kenapa tidak lekas membunuh aku?”.

Demikian ia berteriak-teriak suaranya penuh mengandung sifat angkara-murka dan penuh penyesalan. Suaranya itu hakikatnya bukan suara manusia lagi, tapi lebih mirip suara lengking serigala yang terluka, dan mendekati ajalnya.

Namun Tik Hun menggojang kepala sambil mundur beberapa langkah, katanya: “Jadi sebabnya Suhu hendak membunuh aku adalah lantaran patung Budha raksasa buatan dari emas murni ini?”

Begitulah sekilas Tik Hun menjadi paham seluruhnya, demi harta benda Jik Tiang-hoat tidak segan-segan mencelakai gurunya sendiri, tidak segan membunuh Suhengnya, bahkan mencurigai puterinya sendiri, dan sudah tentu membunuh seorang murid lebih-lebih bukan menjadi soal baginya.

Seketika dalam benak Tik Hun menggema kembali ucapan Ting Tian dahulu: “Gurumu berjuluk “Tiat-soh-heng-kang‟, urusan apa yang tak mungkin diperbuatnya?”

Dan sesudah melangkah mundur dua tindak pula, Tik Hun berkata lagi: Suhu, aku tidak ingin membagi rejeki yang kau peroleh ini, boleh kau menjadi hartawan sendirian saja. Silahkan!”.

Hampir-hampir Jik Tiang-hoat tidak percaya pada telinganya sendiri, sungguh ia tidak percaya bahwa didunia ini ada manusia yang tidak kemaruk kepada harta. Ia menduga sibocah Tik Hun pasti mempunyai tipu muslihat apa lagi. Maka dengan tidak sabar lagi ia lantas membentak: “Tik Hun, kau hendak main gila apa? Bukankah ini adalah suatu patung emas, didalam perut patung penuh terisi harta mestika, kenapa kau tidak mau? Apakah kau masih mempunyai tipu muslihat lain lagi?”

Tik Hun hanya goyang-goyang kepala saja dan selagi ia hendak tinggal pergi, tiba-tiba terdengar suara ramai orang banyak sedang mendatangi. Cepat ia melompat keatas rumah dan memandang keluar. Maka terlihatlah serombongan orang ada ratusan banyaknya dengan membawa obor sedang mendatangi dengan cepat. Terang itulah orang-orang Kangouw dan tokoh-tokoh Bu-lim yang berkumpul dikota Kang-leng selama hari-hari terakhir ini.

Bahkan terdengar ada diantaranya sedang membentak dan memaki: “Ban Ka, keparat kau, lekas jalan, lekas! Setan kau!”

Sebenarnya Tik Hun berniat tinggal pergi, tapi demi mendengar nama “Ban Ka‟ disebut, seketika ia urungkan maksudnya, ia masih harus membalas sakit hatinya Jik Hong.

Begitulah rombongan orang itu kemudian telah membanjir masuk kedalam kelenteng. Jelas terlihat oleh Tik Hun bahwa Ban Ka kena dipegang oleh beberapa laki-laki kekar serta di-dorong-dorong. Ia lihat hidung Ban Ka bocor, mulut keluar kecapnya dan mata matang-biru, terang habis kenyang dihajar orang-orang itu, tapi badannya masih memakai baju sebagai guru sekolah.

Maka tahulah Tik Hun akan duduknya perkara. Jadi Ban Ka sengaja menyamar sebagai guru sekolah untuk memancing dan membelokkan perhatian orang-orang Kangouw yang berkerumun diluar pintu gerbang selatan kota itu, dengan begitu agar Ban Cin-san sempat datang ke kelenteng bobrok ini untuk menggali harta karun.

Tapi karena dibawah pengusutan orang banyak, akhirnya tipu muslihat Ban-si-hucu itu terbongkar. Sesudah dihajar hingga babak belur, orang-orang Kang-ouw itu mengancam jiwa Ban Ka pula kecuali kalau ia menunjukkan tempat rahasia penyimpanan harta karun dan akhirnya mereka sampai juga ke Secong-si.

Dalam pada itu, ketika mendengar suara orang banyak, segera Jik Tiang-hoat melompat keatas altar patung dengan maksud hendak menghilangkan bekas bacokan pedang diatas patung agar sinar emas tidak dilihat oleh orang-orang itu. Namun sudah agak terlambat, beberapa orang diantaranya sudah keburu berlari masuk. Dan demi nampak perut patung Budha itu berwarna kuning kemilauan, terus saja mereka berteriak-teriak dan berlari kepatung itu, mereka membersihkan debu tanah diatas patung serta membacok-bacok dan mengkerik pula dengan senjata mereka, maka dalam sekejap saja tubuh patung itu lantas bersih dan mengeluarkan cahaya emas yang gemilapan.

Menyusul ada orang melihat pula pintu rahasia dipunggung patung itu, segera ada orang membuka pintunya terus meraup segenggam batu permata terus dimasukkan kantong sendiri.

Melihat kawannya kebanjiran rejeki, sudah tentu yang lain tidak mau ketinggalan, segera orang kedua menggentak minggir orang pertama dan dia sendiri lantas mencedok dengan kedua tangannya hingga setangkup emas-berlian dikantongi olehnya.

Keruan orang ketiga menjadi merah matanya segera ia dorong pergi kawannya itu dan dia juga menyerbu harta mestika itu. Bahkan ia lebih serakah lagi, beruntun-runtun ia meraup dan mencomot dengan kedua tangannya secara bergiliran dan dimasukkan kedalam bajunya, dan sesudah kantong bajunya penuh segera ia gunakan ujung baju untuk mewadah batu permata itu.

Begitulah suasana seketika menjadi kacau dan gempar, orang-orang itu saling berebut mengambil harta mestika itu, mereka berjejal-jejal dan desak-mendesak, yang tidak sempat mendesak maju kepintu rahasia patung untuk mengambil sendiri, segera mereka merebut milik kawan, kalau kawan melawan, segera digenjot………..

Sekonyong-konyong diluar kelenteng terdengar suara tiupan terompet, pintu kelenteng lantas terpentang, berpuluh perajurit tampak menyerbu masuk, sambil berteriak: “Tihu-tayjin tiba, siapapun dilarang bergerak, diam semua!”.

Menyusul masuklah seorang dengan pakaian kebesaran dan bersikap angkuh, itulah dia Leng Dwe-su, Tihu dari kota Kang-leng, ayahnya Leng-siocia.

Tapi demi melihat harta mestika yang menyilaukan mata itu, para orang Kang-ouw sudah lupa daratan, jangankan Cuma seorang Tihu, biarpun raja yang datang juga tidak mereka gubris lagi. Mereka masih tetap saling berebut dengan mati-matian.

Maka seluruh ruangan kelenteng itu penuh terserak harta mestika yang kemilauan, ada mutiara mestika, ada emas-intan, ada batu permata, jamrud, merah delima, ada biru safir, ja, mungkin juga ada koh-i-noor………………..

Perajurit-prajurit yang dibawa datang oleh Leng Dwe-su itu juga manusia, dan manusia mana yang tidak ngiler akan harta karun seperti itu? Keruan saja tanpa komando perajurit-prajurit itu ikut berebut, bahkan perwiranya juga tidak mau ketinggalan.

Keadaan menjadi makin kacau, Jik Tiang-hoat lagi berebut harta mestika itu, Ban Ka juga lagi berebut, malahan tuan besar Leng Dwe-su akhirnya juga tak tahan oleh rangsangan harta karun yang memangnya telah dicari sekian lamanya itu. Ia kuatir kehabisan, segera iapun ikut berebut.

Tik Hun melihat diantara orang-orang Kang-ouw yang berebut harta karun itu terdapat pula Ong Siau-hong dan Hoa Tiat-kan.

Dan sekali sudah saling berebut, dengan sendirinya saling hantam dan sekali saling hantam sudah tentu ada yang terluka dan terbinasa. Anehnya, dalam pertarungan sengit itu, akhirnya mendadak ada orang menubruk keatas patung Budha emas itu, patung itu dirangkul terus digigit-gigit seperti anjing gila. Ada yang menggunakan kepalanya untuk membentur patung dan ada yang menggosok-gosokkan mukanya.

Tik Hun sangat heran, andaikan orang-orang itu sudah buta pikiran oleh harta karun itu juga tidak perlu sampai gila sedemikian rupa.

Dan memang betul, orang-orang itu memang sudah gila, mata mereka merah membelalak, mereka saling genjot, saling gigit dan betot. Mereka telah berubah seperti segerombol binatang buas atau anjing gila.

Tiba-tiba Tik Hun paham duduknya perkara: “Ya, tentu diatas harta mestika itu telah dilumasi racun yang sangat lihay oleh raja yang menyimpannya dahulu”.

Tik Hun tidak sudi menyaksikan lebih jauh kelakuan manusia gila yang memuakkan itu, segera ia tinggal pergi. Ia membawa Khong-sim-jay dengan menunggang kuda terus menuju jauh kearah barat sana. Ia hendak mencari suatu tempat yang sunyi untuk mendidik Khong-sim-jay agar kelak menjadi seorang manusia yang berguna, seorang manusia baru.

Akhirnya ia sampai dilembah salju diperbatasan Tibet dahulu itu. Saat itu lagi hujan salju dengan lebatnya, tapi ia dapat mencapai gua yang dahulu.

Sekonyong-konyong dari jauh dilihatnya didepan gua itu telah berdiri seorang gadis jelita. Itulah Cui Sing adanya!.

Dengan muka berseri-seri Cui Sing berlari memapak sambil berseru: “Sudah sekian lamanya aku menunggumu Tik-toako! Aku yakin akhirnya engkau pasti akan kembali ke sini. Selama ini aku…… aku tidak pernah meninggalkan lembah ini!”.

Sesudah kedua muda-mudi itu saling berhadapan, Tik Hun pegang erat-erat kedua tangan Cui Sing sambil memandang Khong-sim-jay dalam pangkuannya itu dengan tersenyum.

Dan apa yang terjadi selanjutnya, tak perlu diceritakan juga, para pembaca akan tahu sendiri……………..

TAMAT