Asmara Berdarah: 01-05


ASMARA BERDARAH JILID 01   

  Kota Ceng-tao terletak di tepi laut, merupakan sebuah kota pelabuhan yang besar di Propinsi Shantung. Setiap hari perahuperahu dagang yang besar berlabuh di situ, ada yang datang membawa barang-barang dagangan dari luar daerah, bahkan dari luar negeri ke kota itu, ada pula yang mengangkut barang-barang dari dalam keluar. Bukan hanya perdagangan yang meramaikan kota Ceng-tao, akan tetapi juga hasil penangkapan ikan di laut daerah pelabuhan itu amat baik sehingga pantai itu penuh pula dengan perahuperahu nelayan dan terbentuklah sebuah pasar ikan di tepi pantai. Biasanya, sejak pagi sekali, pantai itu telah sibuk, terutama sibuk dengan para nelayan yang baru pulang dari tengah lautan di mana mereka bekerja,

   Semalam suntuk menangkap ikan, membawa hasil penangkapan ikan mereka yang memenuhi perahu mereka. Bau amis ikan-ikan mati akan memenuhi tempat itu, dan bukan hanya lalat-lalat yang merubung, akan tetapi juga manusia-manusia yang berebutan melelang ikan-ikan itu untuk dijual kembali ke pasar dan memperoleh untung yang Kadang-kadang lebih besar dari pada para nelayan itu sendiri. Kadang-kadang nampak pula pemandangan yang mengharukan, menyedihkan dan mendatangkan rasa penasaran dalam hati. Sebagian besar para nelayan itu hanya alat-alat belaka dari para juragan yang melepas uang untuk memberikan perahuperahu, jala-jala dan alat-alat perlengkapan yang baik untuk menangkap ikan. Dan mereka inilah yang menentukan harga jika para nelayan kembali dari tengah laut.

   Harga ditekan sedemikian rupa dan para nelayan tidak berani melawan karena mereka telah terbenam dalam hutang setinggi leher. Selain itu, para juragan itu membawa tukang-tukang pukul yang galak dan kejam. Tidak jarang terjadi pemukulan-pemukulan di tepi pantai itu oleh para tukang pukul terhadap nelayan yang berani membangkang. Ada pula nelayan-nelayan yang menangis karena hasilnya terlampau sedikit untuk dapat menghidupkan keluarganya, apalagi kalau ada anggauta keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan uang untuk biaya pengobatan. Akan tetapi, pada pagi hari itu keadaan di tepi pantai agak sunyi. Hujan telah turun sejak malam tadi. Karena hujan badai membuat air laut meliar, para nelayan banyak yang terpaksa pulang malam tadi tanpa memperoleh hasil.

   Setelah matahari mulai muncul, hujan mereda, tidak selebat semalam, akan tetapi masih juga turun rintik-rintik. Di kota Ceng-tao sendiri, biarpun pagi itu masih hujan gerimis, namun di jalanan penuh juga oleh orang berlalu-lalang memakai payung atau memakai caping lebar untuk melindungi diri dari timpaan air lembut yang dingin. Nampak pula gerobak-gerobak yang membawa barang-barang dagangan seperti sayur-mayur, ikan dan sebagainya, berbondong-bondong menuju ke pasar yang berada di tengah kota. Ada pula tukang-tukang pikul yang memikul barang-barang berat menuju ke pasar. Mereka ini tidak berbaju dan tubuh yang bagian atasnya telanjang itu tertimpa air hujan. Tubuh yang berkeringat itu menjadi semakin basah. Air hujan bercampur air keringat membuat tubuh itu mengkilap, nampak kuat dengan otototot menjendol.

   Namun mereka tidak terganggu oleh air hujan yang dingin. Bahkan terasa enak di badan, sejuk dan banyak mengurangi rasa lelah. Bermacam orang berlalu-lalang di jalan raya menuju ke pasar. Dari keadaan pakaian mereka, dapat diketahui siapa di antara mereka yang pedagang beruang dan siapa yang hanya kuli miskin. Pakaian mereka yang mendatangkan perbedaan itu, bukan hanya pakaian, akan tetapi juga pandang mata dan sikap mereka. Sebagian besar manusia mencerminkan keadaan kehidupan mereka pada sikap dan air muka. Yang kaya, pandai atau berkedudukan biasanya mengangkat muka tinggi-tinggi, merasa lebih dari pada orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya miskin, bodoh dan tidak ada kekuasaan, banyak menunduk dan merendahkan diri.

   Akan tetapi pada pagi hari itu, terdapat suatu suasana gembira yang dapat dirasakan oleh semua orang dari segala tingkatan. Semacam kegembiraan yang aneh, yang terasa oleh seluruh badan dan batin, kegembiraan yang tercipta oleh keadaan bumi dan udara. Setelah hujan lebat semalam, jalan-jalan raya, genteng-genteng rumah, kesemuanya nampak bersih tercuci oleh air hujan. Biarpun hujan masih gerimis dan matahari masih tertutup kabut, namun suasana terasa bersih, sejuk dan jernih. Suara air selokan yang menampung air hujan dan segala kotoran yang disapu olehnya, seperti dendang pagi yang amat merdu. Bahkan pohon-pohon nampak berseri karena merekapun dicuci bersih dari debu-debu, juga daun-daun tua dirontokkan. Setiap daun kini nampak hijau bersih kemilau. Suasana ini mendatangkan suatu rasa gembira yang ajaib.

   Di pintu gerbang kotapun nampak beberapa orang atau gerobak lewat. Mereka datang dari dusun-dusun di luar kota Ceng-tao. Matahari sudah naik agak tinggi namun hujan masih turun rintik-rintik, walaupun sudah mulai jarang. Dan pada saat itu, pintu gerbang telah sunyi, tidak nampak orang lewat lagi. Agaknya orang-orang dusun yang menuju ke kota Ceng-tao sudah habis. Mereka datang mulai pagi sekali tadi, takut kalau kesiangan yang akan membuat dagangan mereka jatuh harga atau tidak laku. Para penjaga pintu gerbang duduk bersantai di dalam gardu. Mereka itu tentu saja merasa enggan untuk berjaga di luar dan tertimpa air hujan. Pula, dalam keadaan aman seperti hari itu, perlu apa berjaga dengan ketat? Yang memasuki pintu gerbang bukan lain hanyalah orang-orang dusun yang hendak berjualan ke pasar kota.

   Suasana di sekitar pintu gerbang sunyi dan hening. Para penjaga yang berada di dalam gardu mengasyikkan diri bermain kartu sambil minum arak untuk menghangatkan tubuh. Tiba-tiba, dari jauh terdengar suara nyanyian! Suaranya agak parau, dalam, dan terdengar lucu, nada-nadanya seenaknya saja. Mau tidak mau para penjaga mendengarnya juga karena suara itu terdengar lucu dan aneh, merekapun setengah memperhatikan. Suara nyanyian itu kini diseling suara ringkik kuda dan makin didengarkan, makin tertariklah hati para penjaga karena memang suara nyanyian itu lucu dan juga aneh kata-katanya. Apalagi diseling ringkik kuda, seolah-olah manusia dan kudanya bernyanyi bersama-sama.

   Tok-tak-tok-tak
Hujan turun bertitik
Top-tap-top-tap
Langkah kudaku cantik!
Hiiii… yeeehhhh…! (ringkik kuda)
Biar hujan biar panas,
Manusia tetap mengeluh
Biar panas biar hujan,
Kuda takkan mengaduh!
Hiii… yeeehhhh…! (ringkik kuda)
Manusia memang pintar,
Pandai berkeluh-kesah
Kudaku memang tolol,
Tak kenal hati susah!
Hiii… yeeehhhh…! (ringkik kuda)
Ha-ha-hi-ha-ha-ha-ha!

   Para penjaga dalam gardu kini menghentikan permainan kartu mereka dan beberapa orang di antara mereka melongok dari jendela gardu untuk melihat siapa gerangan orangnya yang bernyanyi-nyanyi secara aneh dalam hujan rintik-rintik itu. Tak lama kemudian nampaklah orangnya! Seekor kuda yang bentuknya lucu, kecil kurus dan pendek sehingga mirip seekor anak kuda yang mukanya sudah tua, melangkah seenaknya dan agaknya kuda itu selalu berbunyi meringkik kalau lehernya ditepuk oleh penunggangnya. Tidak mengherankan kalau dia dapat ikut bernyanyi menyelingi suara nyanyian majikannya tadi. Kuda kecil mirip keledai itu melangkah sambil menunduk,

   Kadang-kadang berdongak kalau meringkik dan matanya yang besar itu berkilat. Dia nampak gembira dan lega karena tersiram air yang menyegarkan setelah setiap hari melakukan perjalanan jauh di atas jalan berdebu dan di bawah sengatan terik matahari. Air hujan itu amat menyenangkan hatinya, agaknya perasaan itu sama dengan apa yang dirasakan oleh para tukang pikul tadi. Penunggang kuda itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan kudanya sendiri. Ia seorang wanita muda, seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dan tidak karuan! Bajunya kembang-kembang dan tambal-tambal, dijahit seenaknya saja sehingga kebesaran dan kedodoran, Lengan kiri terlalu pendek lengan kanan terlalu panjang, bahkan ada bagian pundak yang robek.

   Mukanya kotor berdebu, muka yang amat lincah gembira penuh senyum dan matanya juga bersinar-sinar membayangkan kelucuan dan kenakalan. Rambutnya yang hitam dan subur itu dikepang dua dan yang sebelah membelit leher, sebelah lagi berjuntai di depan dada. Lucunya, dara remaja yang aneh ini memegang sebuah payung butut yang sudah bocor di sana-sini. Naik kuda pakai payung butut dan bernyanyi-nyanyi! Belum pernah para penjaga itu melihat yang selucu ini dan merekapun tertawa. Mungkin perempuan gila, pikir mereka. Akan tetapi, setelah dara dan kudanya datang semakin dekat, Nampaklah oleh mereka bahwa di balik kelucuan dan kesederhanaan yang ugal-ugalan itu masih dapat dilihat bentuk wajah yang manis dan bentuk tubuh yang padat ramping dan mulai mekar,

   Mulai menunjukkan lekuk lekung tubuh yang amat indah bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Seorang dara yang usianya kurang lebih lima belas tahun. Enam orang penjaga di dalam gardu itu tertawa keras, membuat dara penunggang kuda menengok. Melihat orang-orang itu tertawa, gadis itupun tersenyum dan melihat mereka kini melambaikan tangan, iapun ikut melambaikan tangan. Hal ini membuat para penjaga menjadi semakin gembira. Keadaan yang sunyi, hawa yang dingin, dan pengaruh arak membuat mereka menjadi iseng. Dua orang di antara mereka, yaitu kepala penjaga dan pembantunya, bangkit dan keluar dari gardu sambil berseru,

   “Heii, nona manis, tunggu dulu!”

   Empat orang teman mereka mencoba untuk mengingatkan mereka, akan tetapi karena mereka itu adalah kepala jaga dan pembantunya, yang lain tidak berani menentang.

   “Hemm, kalian tahu aku bukanlah jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Aku hanya ingin menggoda anak lucu itu, paling-paling hanya menciumnya. Kalau ia mau, boleh kita bawa ke sini dan kita ajak main-main, kalau ia tidak maupun aku tidak akan memaksa.!”

   Dengan kata-kata demikian, para temannya hanya tertawa gembira. Bagaimanapun juga, mereka adalah perajurit-perajurit yang sudah biasa suka bersikap ugal-ugalan dan suka main-main untuk memperlihatkan kekuasaan dirinya. Kepala jaga itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sebesar gentong, rambut kepala di bagian ubun-ubun botak dan matanya juga lebar bundar.

   Tubuh yang gendut pendek itu membayangkan kekuatan yang besar dan ketika dia menyeringai, giginya nampak hitam oleh candu rokok. Pembantunya juga berusia empat puluhan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya sipit, kulit mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Kedua orang ini sudah keluar dari pintu gardu dan kini berdiri menghadang di tengah-tengah pintu gerbang, bertolak pinggang dengan kedua kaki mereka terpentang lebar. Mereka memandang ke depan, ke arah dara berkuda itu dengan mulut menyeringai. Dara itu agaknya tidak mengerti akan maksud dua orang laki-laki yang hendak menggoda atau mengganggu itu. Karena dua orang itu menghadang di tengah pintu gerbang, maka terpaksa ia menahan kudanya agar tidak sampai menabrak mereka dan dengan senyum lebar iapun berkata,

   “Heii, dua orang sobat penjaga, berilah kudaku jalan dan biarkan aku lewat!”

   Setelah kini berhadapan dan melihat dari dekat, kepala jaga itu dengan hati girang sekali mendapatkan kenyataan bahwa gadis yang berpakaian aneh-aneh ini, biarpun kulit mukanya kotor penuh debu, namun sesungguhnya wajah itu amat manis dan sebagian kulit yang agaknya terkena usapan tangan dan bersih dari debu nampak mulus dan putih. Seorang dara remaja yang manis sekali! Apalagi, ketika gadis itu tersenyum, nampak lesung pipit menghias pipinya dan juga giginya nampak putih dan rata.

   “Ha-ha-ha, nona. Boleh saja engkau lewat, akan tetapi engkau harus membayar pajak lebih dulu!”

   Kata kepala jaga yang gendut sambil tertawa sehingga perut gendutnya bergerak-gerak. Nona muda itu mengerutkan alisnya dan memandang heran.

   “Eh, eh, mana ada aturan begitu? Sudah banyak aku keluar pintu gerbang, dan pintu gerbang yang inipun sudah banyak dilewati orang setiap hari, akan tetapi tidak pernah ada orang lewat diharuskan membayar pajak! Rasanya pemerintah belum pernah mengeluarkan keharusan membayar pajak lewat pintu gerbang!”

   “Ha-ha-ha, engkau ini nona manis tapi bodoh. Kalau yang berkuasa menghendaki, jangankan lewat pintu gerbang kota, bahkan orang kentutpun bisa saja diharuskan membayar pajak. Dan sekarang saat ini, yang berkuasa di pintu gerbang ini telah mengharuskan engkau membayar pajak. Jadi, engkau tidak boleh membangkang, nona, karena pembangkangan berarti pemberontakan dan engkau bisa ditangkap dan dijebloskan penjara!”

   “Hemm, dan siapa yang berkuasa di pintu gerbang ini sekarang?”

   “Siapa lagi kalau bukan tuan besarmu ini?”

   Si gendut menunjuk perutnya sendiri yang besar sambil tertawa.

   “Wah, ini namanya bukan pajak tapi pemerasan!”

   Dara remaja itu berteriak dan sebetulnya sikapnya ini saja sudah harus menjadi peringatan bagi dua orang penghadang itu. Kalau nona itu seorang gadis biasa, tak mungkin sikapnya seberani dan secerdik itu dalam berbantah. Seorang gadis biasa apalagi dari dusun, baru bertemu dengan penjaga dan dihardik sedikit saja sudah akan bersikap ketakutan.

   “Jangan banyak cerewet!”

   Si kurus sipit membentak.

   “Taati perintah kepala jaga kami kalau engkau tidak ingin celaka!”

   “Hemm, jadi pajak ini bukan peraturan pemerintah melainkan peraturan kalian sendiri?”

   “Benar, kami yang berkuasa di sini!”

   Kata si gendut.

   “Dan hasil pungutan pajak liar ini kalian nikmati sendiri, bukan untuk pemerintah?”

   “Tentu saja!”

   “Wah, kalau begitu kalian adalah perampok-perampok seragam yang menyamar sebagai pejabat pemerintah!”

   “Hush, tutup mulutmu atau engkau kami tangkap dan kami jebloskan penjara!”

   “Huh, pantasnya orang-orang macam kalian ini yang ditangkap dan dipenjarakan. Kalian merongrong kewibawaan pemerintah dengan tingkah laku kalian, kalian mencemarkan nama negara dengan menggunakan kekuasaan menggendutkan perut dan kantong sendiri, dan kalian inilah pengkhianat-pengkhianat dan musuh-musuh rakyat dan negara yang menekan dan memeras rakyat!”

   “Hei, perempuan gila, tutup mulutmu!”

   Si tinggi kurus membentak, akan tetapi si gendut menyeringai.

   “Gadis liar, makin menyenangkan kalau nanti dapat kutundukkan! Hayo, engkau harus mentaati peraturan dan membayar pajak, nona manis.!

   “Berapa pajaknya?”

   Gadis itu bertanya sambil bersungut-sungut.

   “Ha-ha-ha, itulah anehnya. Pajak yang harus kau bayar adalah… dua kali ciuman pada kami!”

   Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi mulut itu lalu tersenyum manis. Agaknya kalau tadi ia marah karena peraturan pajak yang dianggapnya pemerasan itu, kini kemarahannya lenyap dan ia merasa betapa permintaan pajak cium itu amat lucu. Agaknya timbul kembali kejenakaan dan kelincahan dara itu. Sikapnya tidak lagi serius seperti tadi ketika ia berbantah tentang pajak dan pemerasan.

   “Bagus, kiranya kalian minta cium? Kebetulan sekali, aku memang ahli memberi ciuman! Heh, sobat gendut, engkau minta cium pipi kiri atau pipi kanan?”

   Mendengar ucapan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu, karena tadinya si gendut mengira bahwa gadis itu akan marah, para penjaga itu tertawa gembira. Kiranya gadis itu menerima ajakan mereka dengan kedua tangan terbuka dan kini malah menantang ciuman!

   “Ha-ha-ha, coba engkau cium pipi kananku dua kali, nona manis!”

   “Engkau mana dapat bertahan dua kali? Satu kalipun cukup. Dan engkau, sobat kurus, engkau minta ciuman kanan atau kiri?”

   Si tinggi kurus bermata sipit menjadi gugup juga. Tak pernah disangkanya gadis ini malah menawarkan ciuman kepadanya.

   “Eh, aku… hemm, yang kiripun bolehlah!”

   Kembali para penjaga tertawa riuh rendah dan mereka semua sudah keluar dari dalam gardu karena mereka semua kini ingin minta ciuman dari gadis yang agaknya suka membagi-bagi ciuman itu. Dara itu turun dari atas punggung kudanya dan memandang kepada mereka dengan senyum simpul, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. Mata si gendut berminyak ketika dia melihat bahwa setelah turun dari kudanya, tubuh gadis itu nampak jelas keindahannya. Tinggi semampai dan padat, juga lenggangnya seperti batang yang-liu tertiup angin ketika gadis itu meninggalkan kuda menghampirinya.

   “Sobat gendut minta ciuman pipi kanan dan sobat kurus minta ciuman pipi kiri? Baiklah, akan kuberi ciuman seorang satu kali saja, kalau kurang nanti boleh tambah lagi!”

   Mendengar ucapan ini, si gendut dengan lagak lucu menggosok-gosok pipi kanannya agar bersih, siap menerima ciuman sedangkan si kurus juga berseri-seri wajahnya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh dara itu bergerak dengan amat cepatnya sehingga bayangannya saja yang nampak, kedua kakinya melayang ke atas.

   “Plakk! Plakkk!”

   Tubuh si gendut dan si kurus itu terpelanting dan terbanting jatuh bergulingan. Mereka mengaduh-aduh sambil memegangi pipi masing-masing, dan ketika mereka merangkak bangkit duduk, ternyata pipi kanan si gendut bengkok dan biru sedangkan bibirnya mengalir darah karena empat buah gigi di ujung kanan patah-patah, sebaliknya si kurus memegangi pipi kirinya yang juga bengkak dan bibirnya berdarah. Kiranya gadis tadi, dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, telah menendang pipi kanan si gendut dengan kaki kiri sedangkan kaki kanannya menyambar pipi kiri si kurus. Tendangan itu selain cepat, juga mengandung tenaga besar sekali, membuat kedua orang itu merasa seolah-olah kepala mereka telah copot.

   “Hei, kenapa engkau menendang orang?”

   Empat orang penjaga yang melihat adegan itu menjadi terkejut dan marah, lalu berlari mendatangi dan mengurung gadis itu sambil mencabut golok.

   “Bukankah mereka yang minta ciuman pipi kanan dan pipi kiri?”

   Gadis itu balas bertanya dengan sikap mengejek.

   “Itu bukan ciuman!”

   Bentak seorang di antara para penjaga.

   “Aku tadi tidak mengatakan cium dengan apa! Apakah kalian kira aku akan sudi mencium pipi mereka dengan hidung atau bibirku? Aih, tak usah, ya? Aku sudah memberi ciuman dengan ujung sepatu, masing-masing satu kali, kalau kurang boleh ditambah lagi. Apakah kalian berempat juga ingin minta bagian ciuman?”

   Pada saat itu, si gendut dan pembantunya sudah bangkit berdiri. Pipi mereka semakin besar bengkaknya dan dengan mata merah si gendut kini memandang kepada gadis itu. Hatinya lebih nyeri dari pada pipinya. Rasa malu mengatasi rasa nyeri dan lebih mendatangkan dendam dari pada kewaspadaan. Sesungguhnya, gerakan gadis itu yang dalam sekali gerak saja sudah mampu merobohkan dia dan pembantunya, sudah cukup membuktikan bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang berilmu tinggi. Akan tetapi, perasaan dendam membuatnya mata gelap.

   “Tangkap perempuan iblis ini! Bunuh…!”

   Dia sendiri sudah mencabut golok besarnya dan bersama lima orang anak buahnya, dia lalu menerjang dan menyerang gadis itu dengan amat ganasnya. Gerakan golok mereka berenam itu jelas merupakan serangan untuk membunuh.

   Sinar golok mereka berkilauan tertimpa sinar matahari yang mulai menimpakan cahayanya setelah ditinggalkan awan dan setelah hujan mulai berhenti menitik. Akan tetapi, pandang mata enam orang penjaga itu menjadi kabur ketika mereka melihat betapa nona di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja yang mengelak ke kanan kiri dengan kecepatan yang luar biasa. Semua tusukan dan bacokan golok tidak ada yang mengenai sasaran bahkan pada saat golok terayun, bayangan itu telah lenyap untuk muncul di tempat lain. Ketika tiba-tiba si gendut melihat bayangan dara itu muncul di depannya sambil tersenyum mengejek, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan goloknya menyambar ke arah leher nona itu dengan kecepatan kilat dan pengerahan tenaga seluruhnya.

   Karena didorong oleh kemarahan dan nafsu membunuh yang berkobar, kepala jaga gendut ini lupa akan pantangan dalam gerakan silat. Pantangan ini adalah mempergunakan seluruh tenaga dalam serangan. Seharusnya, dalam setiap serangan, orang selalu mempergunakan tenaga terbatas agar masih ada sisa tenaga untuk memperkuat kedudukan kaki dan untuk persiapan penjapan diri. Namun, si gendut melakukan serangan dengan mengerahkan seluruh tenaga. Maka, ketika gadis itu dengan amat lincahnya mengelak, si gendut tak dapat mengendalikan dirinya lagi dan diapun terdorong oleh tenaganya sendiri tanpa kakinya dapat mengatur keseimbangan badan lagi, tubuhnya tersungkur ke depan. Pada saat itu, kaki gadis itu kembali menciumnya, sekali ini mencium dada sebelah kiri.

   “Ngekk…!”

   Si gendut terpelanting dan tahu-tahu goloknya telah terampas oleh nona itu. Sambil tersenyum, nona itu menggerakkan golok rampasan ke arah si gendut yang memandang terbelalak dan wajahnya pucat sekali karena dia tahu bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba golok itu dilepas oleh si nona dan meluncur ke bawah, gagangnya di depan dan menyambar ke arah si gendut.

   “Krekkkk…!”

   Si gendut mengeluh akan tetapi sukar mengeluarkan suara karena mulutnya dipenuhi gagang golok yang telah membuat seluruh gigi dalam mulutnya rontok! Ada beberapa buah gigi yang tertelan dan kini dia mendelik, menggunakan kedua tangan untuk mengeluarkan golok itu yang gagangnya tertanam dalam mulutnya. Setelah merobohkan kepala jaga, nona itu lalu meloncat ke atas punggung kudanya. Lima orang penjaga mengejarnya dengan golok akan tetapi tiba-tiba nona itu mengeluarkan pekik melengking dan kedua tangannya bergerak ke kanan kiri. Sungguh hebat! Tanpa tersentuh, tubuh lima orang penjaga itu terpelanting semua dan terbanting roboh seperti terlanda angin yang amat kuat. Dan ketika mereka bangkit berdiri, kuda itu telah lari memasuki kota.

   “Kejar…!”

   Teriak si mata sipit dan mereka berlima meninggalkan si gendut yang masih mengeluh dan meratapi giginya itu, melakukan pengejaran. Namun, nona dan kudanya telah lenyap. Bahkan ketika mereka melapor dan pasukan penjaga ikut mencari, mereka tidak dapat menemukan jejak nona dengan kudanya itu, seolah-olah kudanya telah lenyap ditelan bumi. Tentu saja peristiwa ini segera tersiar dan menjadi buah percakapan para penduduk Ceng-tao.

   Berita akan munculnya seorang dara aneh dengan kuda aneh, menyanyikan lagu aneh pula dan setelah dengan mudahnya merobohkan enam orang penjaga lalu lenyap begitu saja, semua orang lalu menghubungkannya dengan kepercayaan mereka akan kesaktian Dewi Laut yang mereka percaya. Mana mungkin seorang gadis muda selain merobohkan enam orang penjaga, memiliki kuda sakti juga pandai menghilang begitu saja seperti terbang ke langit atau amblas ke bumi kalau ia bukan Dewi Laut? Di dalam kota itu terdapat sebuah kuil yaitu kuil Dewi Laut. Menurut dongeng turun-temurun di antara penduduk Ceng-tao yang di jaman dahulunya adalah nelayan, Dewi Laut dikenal sebagai dewi yang selain menguasai lautan, juga menjadi pelindung kaum nelayan.

   Oleh karena itu, maka patung dewi itu di dalam kuilnya dipuja-puja dan disembahyangi, bahkan dirayakan setiap tahun pada hari ulang tahunnya. Bahkan ada dongeng di antara para penduduk bahwa Dewi Laut itu sewaktu-waktu “turun”

   Ke bumi dan melakukan bermacam hal yang menggemparkan. Akan tetapi, semua hal yang dilakukannya itu pada umumnya menentang kejahatan dan menghukum pelakunya. Betapapun juga, ada kalanya Sang Dewi muncul melakukan hal-hal yang ganas. Hal ini kabarnya terjadi kalau penduduk lupa memberi sesajen atau korban sehingga sang dewi menjadi marah dan menghukum penduduk dengan perbuatan-perbuatan yang ganas.

   Kalau sekali waktu terdengar berita bahwa amukan dewi itu adalah karena penduduk lupa memberi sesajen, maka dapat dipastikan bahwa berita itu bersumber dari kuil itu sendiri. Tentu saja para nikouw yang menjaga kuil itulah yang menjadi sumber berita. Hal ini amat penting bagi mereka karena berita itu dapat memperkuat kembali kepercayaan dan rasa takut penduduk terhadap Dewi Laut. Kalau sudah begitu maka berbondonglah orang-orang datang bersembahyang dan memberi sedekah! Dan hal ini perlu bagi kehidupan para nikouw, bagi terpenuhinya semua kebutuhan dan biaya menjaga dan merawat kuil. Mungkin sekali yang dimaksudkan dengan sebutan Dewi Laut adalah nama lain dari Kwan Im Posat.

   Begitu banyaknya dongeng tentang Dewi Kwan Im Posat sebagai Dewi Belas Kasih ini sehingga tidak mengherankan kalau penduduk Ceng-tao yang dahulunya adalah kaum nelayan dan laut merupakan daerah penting bagi mereka lalu menciptakan sebutan Dewi Laut bagi Kwan Im Posat. Setelah turun-temurun, maka hanya nama Dewi Laut itu saja yang dikenal sebagai dewi pujaan mereka. Ketua nikouw yang bertugas di kuil itu adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun berjuluk Hat Cu Nikouw. Ia sengaja memakai julukan Hat Cu yang berarti Mustika Laut, agar sesuai dengan tempat itu dan sesuai pula dengan dewi yang dipuja. Hat Cu Nikouw bukanlah nikouw biasa yang lemah.

   Tidak, ia adalah seorang ahli silat yang memiliki tingkat cukup tinggi sehingga namanya dikenal dan ditakuti orang terutama kaum penjahat yang tidak berani mengganggu kuil itu, bahkan tidak berani beroperasi di daerah yang berdekatan dengan kuil Dewi Laut. Hat Cu Nikouw ini mempunyai seorang suheng, juga kini menjadi ketua kuil yang berada di luar kota. Suhengnya itu berjuluk Thian Kong Hwesio, berusia enam puluh tahun lebih dan memiliki ilmu silat yang lebih Lihai dari pada sumoinya. Ketika penduduk ramai-ramai membicarakan tentang munculnya seorang gadis aneh yang melakukan kegemparan dan penduduk mulai menghubungkan gadis itu dengan Dewi Laut, Hat Cu Nikouw juga mendengarnya. Nikouw tua ini tersenyum saja. Di dalam hatinya ia maklum bahwa semua berita tentang Dewi Laut itu hanyalah bohong belaka, walaupun ia sendiri adalah pemuja Dewi Laut.

   Dan kini ia menduga bahwa tentu gadis yang dihebohkan itu sama sekali bukan penjelmaan Dewi Laut, melainkan seorang gadis kang-ouw. Iapun tahu bagaimana tingkah para petugas jaga di pintu gerbang itu dan dapat menduga bahwa tentu gadis kang-ouw itu diganggu sehingga mengamuk dan menghajar mereka. Akan tetapi, ia hanya tersenyum dan tidak mau membantah kabar itu. Biarlah, pikirnya, biar penduduk makin yakin akan kesaktian Sianli. Pada keesokan harinya, berita tentang Dewi Laut itu menjadi semakin besar dan menggemparkan. Apalagi ketika diterima kabar oleh penduduk dari para nikouw penjaga kuil itu bahwa patung Dewi Laut semalam telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Para nikouw yang mengurus kuil itupun tidak tahu kapan dan ke mana hilangnya patung itu, seolah-olah menghilang begitu saja dari tempat pemujaannya.

   Apalagi penduduk, bahkan Hai Cu Nikouw sendiri terkejut dan merasa heran ketika menerima laporan para muridnya bahwa patung Dewi Laut telah lenyap! Siapa orangnya berani main-main dan berani mati mencuri patung keramat itu? Agaknya tidak mungkin ada pencuri berani melakukan hal itu. Akan tetapi… kenyataannya, patung itu lenyap begitu saja. Benarkah bahwa Dewi Laut telah menjelma menjadi gadis aneh? Ah, tak mungkin! Nikouw tua itu segera menghubungi suhengnya dan merekapun berunding. Hilangnya patung Dewi Laut sungguh merupakan hal yang menimbulkan penasaran dan marah. Terang bahwa penjahat yang mencurinya tidak memandang mata kepada mereka, atau setidaknya kepada Hai Cu Nikouw dan pencurian patung itu dapat dianggap sebagai suatu tantangan.

   “Tidak mungkin patung itu dicuri karena nilainya. Tidak ada emas permata yang menghias patung itu. Maka, jelaslah bahwa pencurinya melakukan hal itu untuk menghinaku, untuk menantangku!”

   Demikian antara lain Hai Cu Nikouw menyatakan rasa penasaran hatinya di depan suhengnya. Ia adalah seorang wanita yang biarpun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih nampak segar dan sehat, juga wajahnya masih membayangkan raut yang cantik. Rambutnya habis dicukur licin, wajahnya belum banyak dimakan kerut, sepasang matanya masih tajam dan ada keangkuhan membayang pada dagunya yang meruncing, agaknya keangkuhan yang timbul karena yakin akan kemampuan dirinya. Tubuhnya kecil, agak tinggi dan gerak-geriknya masih cekatan. Sepasang pedang tergantung di punggungnya dan baru mulai hari itulah ia selalu membawa sepasang pedang itu, karena merasa bahwa ia ditantang orang. Suhengnya menarik napas panjang.

   “Tenanglah, sumoi. Kalau memang benar pencuri patung itu menantangmu, kenapa sampai sekarang dia tidak muncul? Apa maksudnya mencuri patung? Dan berita tentang gadis yang aneh itu. Jangan-jangan ia yang mencuri patung itu, hanya untuk memperlihatkan kepandaiannya. Banyak ulah gadis muda kang-ouw seperti itu, hanya untuk mencari kepopuleran nama belaka.!

   Hwesio itu berusia enam puluh tiga tahun. Kepalanya gundul licin dan malam itu dia memakai penutup kepala. Jubahnya kuning dan tubuhnya gendut tinggi. Seuntai tasbeh panjang tergantung di lehernya dan jubah kuningnya cukup bersih. Di meja dekat dia duduk tersandar tongkatnya, sebuah tongkat hwesio yang terbuat dari baja disepuh emas. Tongkat ini selain menjadi tanda kebesarannya sebagai ketua kuil, juga merupakan senjatanya yang ampuh. Mereka bercakap-cakap di ruangan belakang kuil Dewi Laut ketika hwesio tua itu mengunjungi sumoinya, setelah mendengar apa yang telah terjadi di kuil itu dan dihubungi oleh sumoinya. Keadaan sunyi di kuil itu. Para nikouw sibuk berjaga karena patung itu lenyap malam kemarin, Hai Cu Nikouw nampak murung dan mudah marah, dan memarahi murid-muridnya yang dikatakan lengah dan banyak tidur.

   Maka merekapun malam ini tidak berani tidur dan berjaga secara bergiliran. Tiba-tiba keheningan di ruangan itu terpecah oleh suara ketawa lirih dari atas datangnya, disusul suara orang mendengus dan mengejek. Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat kakak beradik seperguruan itu telah meloncat keluar dari jendela. Thian Kong Hwesio telah menyambar tongkatnya dan sumoinya sudah mencabut siang-kiamnya, kemudian keduanya melayang naik ke atas genteng dari luar ruangan. Nampak bayangan yang amat gesit berkelebat menjauh atau agaknya sengaja memancing kedua orang itu. Di dalam kegelapan malam yang remang-remang, di bawah sinar bulan sepotong, nampak jelas bahwa sosok bayangan itu adalah seorang wanita, dengan tubuh ramping terbungkus pakaian ketat.

   “Iblis betina, engkau hendak lari ke mana?”

   Bentak Hai Cu Nikouw sambil meloncat ke depan dan mengejar, dibayangi suhengnya. Akan tetapi bayangan itu berlari terus, berlompatan ke sana-sini, dari genteng ke genteng rumah lain, sambil Kadang-kadang terdengar suara ketawanya, ketawa seorang wanita.

   Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw menjadi penasaran sekali. Mereka mengejar dan mengerahkan semua tenaga untuk mengimbangi keringanan tubuh bayangan itu, namun harus mereka akui bahwa ginkang dari bayangan di depan itu amat hebatnya. Kadang-kadang meloncat turun kalau dikejar ke bawah, tahu-tahu sekali melesat sudah berada di atas genteng rumah lain. Kejar-mengejar terjadi beberapa lamanya dan kedua orang pendeta itu terkejut dan merasa heran sekali setelah berlari-larian sekian lamanya, ternyata bayangan itu membawa mereka kembali ke genteng kuil Dewi Laut! Dan tiba-tiba bayangan itu meloncat tinggi sekali dan kakinya hinggap di atas ujung menara kuil yang kecil. Mereka memandang bengong, kagum dan tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyusul wanita aneh itu.

   “Hemm, hwesio dan nikouw tolol! Apakah kalian benar-benar hendak menentang dan melawan Dewi Laut?”

   Mendengar bentakan suara yang mengandung wibawa itu, Hai Cu Nikouw dan suhengnya terkejut dan menjadi bimbang. Benarkah bayangan ini adalah bayangan Dewi Laut? Mereka berdua adalah pemuja Dewi Laut, akan tetapi mereka bukan orang-orang yang percaya akan tahyul dan dongeng-dongeng tentang Dewi Laut menjelma sebagai manusia, maka mereka merasa ragu-ragu.

   “Hemm, kalian masih ragu-ragu? Apakah menanti sampai aku marah dan kubakar kuil ini? Kalian memujaku hanya pura-pura saja, ya?”

   Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Dewi Laut yang sejati atau bukan, jelas bayangan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan bagaimanapun juga, bayangan itu belum melakukan sesuatu yang merugikan. Melihat sumoinya berlutut, Thian Kong Hwesio juga berlutut sambil berseru,

   “Omitohud, harap maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Sianli.! Bayangan itu tertawa, suara ketawanya halus dan mengerikan. Sukar untuk mengenal wajahnya karena bulan sepotong selain kurang terang sinarnya, juga berada di belakang kepalanya sehingga wajah bayangan itu tertutup kegelapan.

   “Ha-ha-hi-hi-hi, sekarang baru kalian menyembahku. Dengarlah baik-baik. Para penghuni kota Ceng-tao mulai kurang kepercayaannya kepadaku, padahal akulah yang melindungi mereka. Katakan kepada mereka bahwa aku menghendaki sesajen yang harus disediakan malam besok di dalam menara ini. Aku menghendaki emas murni lima puluh tail, berikut hidangan yang paling lezat dan masih panas-panas untuk lima orang. Dan semua itu harus diantarkan oleh dua orang pria muda yang masih perjaka dan yang tampan, dan mereka harus membawa semua itu ke dalam ruangan kosong di atas menara. Awas, kalau permintaanku tidak ditaati, bukan hanya kuil ini kubakar, akan tetapi juga akan kudatangkan badai besar, agar ombak menggulung habis kota Ceng-tao!”

   Dua orang pendeta itu mendengarkan sambil menundukkan muka dan hati mereka memang merasa gentar juga, walaupun masih ada perasaan bimbang apakah benar ini suara dewi yang mereka puja-puja sebagai pelindung rakyat Ceng-tao itu. Ketika suara itu lenyap, mereka mengangkat muka memandang dan ternyata bayangan itu telah lenyap dari puncak menara! Mereka berdua memandang ke kanan kiri dan tidak melihat apa-apa lagi. Bayangan daun pohon tinggi yang tumbuh di belakang kuil bergoyang-goyang tertiup angin dan kedua orang pendeta yang lihai itu merasa juga betapa tengkuk mereka menjadi dingin. Betapa hebatnya wanita itu, pikir mereka. Dapat menghilang begitu saja dari puncak menara yang begitu tinggi tanpa mereka ketahui. Mereka berdua lalu meloncat turun dan ketika mereka berjalan menuju ke dalam, dua orang nikouw menyambut mereka dan seorang di antara mereka berkata,

   “Subo… patung… patung itu…!

   “Ada apa? Bicara yang benar!”

   Bentak Hai Cu Nikouw.

   “Patung itu sudah kembali…!”

   Mendengar ini, Hai Cu Nikouw cepat berlari ke dalam, ke ruangan pemujaan dan ia berdiri terpukau memandang wajah patung Dewi Laut yang diterangi oleh lilin! Patung itu sudah kembali di tempatnya! Mereka berdua, suheng dan sumoi itu, lalu berunding di dalam ruangan.

   “Bagaimana pendapatmu, suheng? Benarkah… Sang Dewi menjelma dan yang kita jumpai tadi adalah penjelmaan beliau?”

   Suhengnya menghela napas panjang dan menggeleng kepala.

   “Omitohud… semoga Thian melindungi kita semua. Kita semua sudah tahu betapa mulia dan bijaksananya Sang Dewi pelindung rakyat dan kota Ceng-tao. Akan tetapi, permintaan tadi sungguh berlawanan sekali. Lima puluh tail emas? Masakan-masakan lezat dan diantar oleh dua orang pemuda tampan! Sungguh berlawanan sekali dengan kemuliaan dan kebijaksanaan. Pinceng merasa curiga, sumoi.!

   “Akan tetapi… kesaktiannya itu… dan… dan patung itu…”

   Suhengnya mengangguk-angguk.

   “Engkau tentu tahu betapa banyaknya orang berilmu tinggi di dunia ini. Juga golongan sesat banyak mempunyai orang-orang yang sakti. Siapa tahu ada yang menyamar sebagai Sang Dewi. Pinceng tetap merasa curiga sekali dan tidak sepatutnya kalau kita mentaati perintah yang begitu keterlaluan dan yang berbau nafsu keserakahan.”

   “Habis, bagaimana baiknya menurut pendapatmu, suheng?”

   “Kita harus bersiap siaga. Besok kita rundingkan hal ini dengan kepala daerah dan para komandan pasukan keamanan di kota ini, untuk bersama-sama menghadapi tantangan ini.”

   Pada keesokan harinya, suheng dan sumoi itupun pergilah ke kantor kepala daerah dan melaporkan apa yang telah mereka alami semalam. Kepala daerah mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau kotanya diganggu penjahat.

   Maka diapun cepat memanggil para pemimpin pasukan penjaga keamanan dan mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat untuk menghadapi penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut itu. Atas usul Thian Kong Hwesio, dua orang pemuda dipilih untuk menjadi pengantar barang-barang permintaan Dewi Laut. Tentu saja bukan pemuda biasa, melainkan dua orang murid Thian Kong Hwesio sendiri yang selain muda dan tampan, juga gagah dan memiliki kepandaian silat yang sudah cukup tinggi. Kamar di menara itu adalah sebuah kamar atau tempat Hai Cu Nikouw biasa berlatih samadhi, sebuah ruangan yang berukuran tiga meter kali tiga meter. Satu-satunya jalan menuju ke ruangan itu hanya melalui sebuah anak tangga yang sempit dan yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja. Suheng dan sumoi itu bersama kepala daerah dan para perwira lalu memasang perangkap dan mengatur baris pendam.

   Pasukan pilihan bersembunyi di kanan kiri anak tangga, dan sekitar menara itu telah bersembunyi pula pasukan lain, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw sendiri bersembunyi di atas genteng menara, siap untuk menyerbu kalau penjahat itu memasuki kamar menara. Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio yang membawa barang yang dipesan penjahat yang menyamar Dewi Laut, diam-diam juga memperlengkapi dirinya dengan senjata yang disembunyikan di bawah baju longgar. Malam itu, bulan lebih terang dari pada malam kemarin. Langit cerah, akan tetapi tidak demikian cerah rasa hati dua orang suheng dan sumoi yang bersembunyi di atas genteng. Jantung mereka berdebar tegang. Biarpun mereka tahu bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh para perwira yang pandai,

Bahkan di dalam menara telah terdapat pasukan pilihan yang bersembunyi, namun mereka tahu bahwa mereka menghadapi seorang yang amat lihai. Di samping itu, timbul kekhawatiran di hati Hai Cu Nikouw, yaitu kalau-kalau yang akan muncul adalah benar-benar penjelmaan Dewi Laut. Ngeri ia memikirkan kemungkinan ini, biarpun suhengnya sudah menyatakan keyakinannya bahwa tentu wanita itu seorang penjahat yang mengaku-aku sebagai Dewi Laut. Setelah malam agak larut dan bulan naik tinggi, suasana amat sunyi dan semakin menyeramkan. Suara burung malam yang terbang di atas kepala mereka sempat mengejutkan hati dua orang pendeta yang berilmu tinggi itu. Dalam keadaan tegang, memang orang menjadi mudah kaget. Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio nampak naik ke menara melalui anak tangga.

   Mereka adalah dua orang pemuda berusia dua puluh tahun, berwajah tampan dan bersikap gagah, berpakaian indah. Dengan langkah tegap mereka menaiki anak tangga. Seorang di antara mereka membawa baki penuh dengan hidangan yang masih mengepulkan uap panas. Yang seorang lagi membawa baki tertutup kain merah dan di baki itu terdapat gumpalan-gumpalan emas seberat lima puluh tail emas. Mereka telah mempersiapkan diri dengan senjata rahasia dan pedang pendek yang mereka sembunyikan di bawah jubah. Mereka tahu pula bahwa guru dan bibi guru mereka berjaga di atas genteng menara, dan bahwa di situ banyak terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi untuk melindungi mereka. Namun tetap saja mereka merasa tegang dan agak gentar karena guru mereka sudah berpesan bahwa yang mereka hadapi adalah wanita iblis yang amat lihai.

   Jantung mereka berdebar tegang ketika keduanya tiba di depan kamar menara. Dengan hati-hati mereka menggunakan kaki mendorong daun pintu yang terbuka dengan mudah karena memang tidak terkunci. Ruangan itu kosong. Sebuah ruangan bersih berbau harum dupa dan bunga, dan lantainya ditilami permadani dan kasur tipis. Mereka berdua saling pandang dengan hati lega karena ternyata iblis itu tidak berada di situ. Dengan hati-hati mereka membuka sepatu dan memasuki ruangan itu, meletakkan baki masakan dan emas itu di atas lantai. Karena lilin yang bernyala di sudut ruangan itu hampir padam, seorang di antara mereka lalu menyalakan sebuah lilin besar di sudut dan kamar itu menjadi terang. Agaknya sinar terang kamar itu menjadi tanda bagi sesosok bayangan untuk bergerak datang.

   Demikian cepatnya bayangan itu bergerak sehingga Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw yang berjaga di atas genteng, hanya melihat berkelebatnya bayangan yang kemudian lenyap. Mereka mengira bahwa itu hanya bayangan burung yang lewat, maka mereka tetap mendekam di tempat persembunyian mereka sambil menanti dengan waspada. Akan tetapi, ternyata bayangan yang berkelebat cepat tadi bukan burung, melainkan bayangan sesosok tubuh manusia yang ramping pinggangnya. Bayangan itu melesat dengan cepatnya dan bersembunyi di balik wuwungan menara. Sinar lilin besar yang menyorot keluar dari genteng menara menimpa mukanya. Muka yang mengerikan karena memakai topeng hitam yang mempunyai lubang-lubang kecil memperlihatkan sepasang mata yang bersinar tajam, hidung yang kecil dan mulut yang bibirnya lebar dan amat merah.

   Sukar menaksir bagaimana bentuk wajahnya ataupun berapa usianya. Agaknya ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa di sekitar tempat itu bersembunyi banyak penjaga yang kini mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata yang tegang. Dengan seenaknya bayangan itu lalu meloncat turun dan menghampiri anak tangga. Akan tetapi baru saja ia menaruh kakinya pada anak tangga pertama, tiba-tiba enam orang penjaga yang bersembunyi di sekitar anak tangga bermunculan dan menyerbunya dengan senjata mereka. Melihat senjata berkilatan dari segenap penjuru, wanita berkedok itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, kelihatan tidak terkejut sama sekali dan bibir yang merah lebar di balik kedok itu menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih dan besar-besar.

   Tiba-tiba kedua tangannya bergerak, benda-benda kecil berkeredepan menyambar ke arah enam orang penyerangnya dan terdengarlah suara mereka menjerit dan seorang demi seorang roboh terpelanting dan tidak dapat bangkit kembali melainkan berkelojotan dan sekarat! Leher mereka, tepat di tenggorokan, tertancap oleh sebatang jarum yang amblas masuk, membawa racun bersamanya. Jeritan-jeritan ini tentu saja menarik perhatian dan nampaklah bayangan banyak orang berlari-larian, dan dari atas menyambar tubuh Hai Cu Nikouw. Melihat betapa seorang wanita berkedok berdiri di bawah anak tangga dan enam orang penjaga yang bertugas menjaga di situ semua telah roboh berkelojotan, Hai Cu Nikouw dan suhengnya terkejut bukan main. Bagaimana wanita ini dapat masuk ke situ tanpa mereka ketahui?

   “Iblis jahat, terimalah hukumanmu!”

   Bentak Hai Cu Nikouw sambil menerjang ke depan, menggunakan sepasang pedangnya yang jarang sekali keluar dari sarungnya itu. Dua sinar putih berkelebat menyilang dan titik pertemuan silang adalah leher wanita berkedok itu. Hebat bukan main serangan nenek pendeta ini.

   “Cringgg…”

   Sepasang pedang itu saling serempet sendiri akan tetapi leher yang menjadi sasaran sudah tidak ada di tempat. Kiranya wanita berkedok itu dengan gerakan yang lebih cepat lagi sudah dapat mengelak dan meloncat ke belakang sambil tersenyum di balik kedoknya.

   “Hemm, kalian mengkhianatiku! Berarti kalian mencari mampus dan kuil ini akan kubakar habis!”

   Thian Kong Hwesio sudah menerjang pula, menggunakan tongkat bajanya. Wanita berkedok itupun dapat mengelak dari sambaran tongkat yang mengarah kepala, dan tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya seperti yang tadi dilakukan untuk merobohkan enam orang penjaga.

   “Wuuuttt…”

   Tiga batang jarum beracun menyambar ke arah tubuh Thian Kong Hwesio dan tiga lagi ke arah Hai Cu Nikouw. Akan tetapi, dua orang pendeta ini tidaklah selemah para penjaga tadi. Mereka berdua sudah dapat menduga akan kelihaian dan kecurangan lawan, maka begitu wanita itu menggerakkan kedua tangan dan melihat berkelebatnya benda kecil, mereka cepat meloncat ke samping dan terhindar dari maut. Dengan marah mereka berdua lalu menyerang wanita iblis itu dari kanan kiri.

   “Singgg…”

   Wanita itu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubahnya dan nampaklah sebatang pedang berkilauan di tangannya.

   Begitu ia menggerakkan pedang menangkis, serangan kedua orang pendeta itu dapat ditangkisnya dan mereka berdua melangkah mundur dengan kaget ketika tangkisan itu menimbulkan suara nyaring dan mereka merasa betapa lengan mereka kesemutan. Cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka yang juga merupakan senjata pilihan tidak sampai rusak oleh tangkisan pedang wanita iblis itu. Kembali mereka menerjang dan sekali ini wanita berkedok bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan serangan yang gerakannya amat ganas, cepat dan kuat. Dalam belasan jurus saja suheng dan sumoi itu terdesak hebat oleh pedang si wanita iblis yang gaya permainannya aneh dan ganas itu.

   Akan tetapi, kakak beradik seperguruan itu segera merasa lega ketika bermunculan perwira-perwira dengan pasukannya yang mengurung dan mengeroyok si wanita iblis. Wanita berkedok itu kini terdesak dan iapun memaki-maki dengan kata-kata kotor. Hal ini makin meyakinkan hati Thian Kong Hwesio dan sumoinya bahwa tidak mungkin kalau wanita berkedok ini penjelmaan Dewi Laut yang berbudi mulia itu. Merekapun menyerang dan mendesak dengan sengit. Karena kini dikeroyok banyak orang, wanita berkedok yang mulai terdesak itu meninggalkan bawah anak tangga dan menuju ke ruangan tak jauh dari situ, sebuah ruangan yang luas di mana ia dapat memainkan pedangnya dengan leluasa. Wanita itu memang lihai sekali, terutama memiliki kecepatan yang luar biasa.

   Kalau bukan dikeroyok sampai delapan orang, rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan karena mereka yang membantu dua orang pendeta itu adalah para perwira, belum tentu dua orang itu mampu mendesaknya. Ia sudah berusaha untuk menyebar jarum-jarumnya akan tetapi enam orang perwira itu terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan dengan senjata rahasia. Dan baiknya para perajurit penjaga yang mengepung tempat itu sudah gentar menghadapinya setelah empat orang yang ikut ikutan maju roboh dan tewas oleh pedangnya. Mereka hanya mengepung tempat itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak berani sembarangan maju, bahkan dilarang oleh para perwira. Kini wanita berkedok itu mulai merasa repot dan mencari-cari jalan keluar yang sudah tertutup dan terkepung oleh pasukan. Selagi ia kerepotan, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang parau, disusul suara ejekan yang kasar.

   “Ha-ha-ha, sekarang nenek cabul seperti tikus tersudut!”

   Terjadi kekacauan di dekat pintu dan enam orang anggauta pasukan roboh mandi darah disusul munculnya seorang kakek yang usianya sudah ada hampir enam puluh tahun.

   Kakek ini bertubuh tinggi besar, pakaiannya juga terbuat dari kain kasar dan sederhana, sepatunya butut dan mukanya membayangkan kekasaran. Matanya lebar bundar, hidungnya besar, mulutnya hampir tidak kelihatan tertutup kumis dan jenggot. Kakek ini membawa sebatang pecut panjang, akan tetapi ketika dia membobolkan kepungan pasukan dari belakang, dia merobohkan enam orang perajurit itu dengan cengkeraman-cengkeraman tangan kirinya yang seperti tangan baja itu. Sekali cengkeram, pecahlah kepala orang-orang itu dan merekapun roboh berlumuran darah dalam keadaan yang amat mengerikan! Biarpun kakek itu datang sambil memaki si wanita iblis, namun melihat betapa dia membunuh enam orang perajurit, para perwira menjadi marah dan maklum bahwa kakek inipun bukan orang baik-baik dan bukan kawan.

   Maka merekapun menyambutnya dengan serangan senjata mereka. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika kakek itu menggerakkan cambuknya dan robohlah seorang di antara enam orang perwira itu. Dahinya, antara kedua mata, berlubang mengeluarkan darah dan diapun tewas seketika. Kiranya di ujung cambuk kakek itu dipasangi sebuah benda dari baja seperti paku dan benda inilah yang tadi menyambar dan melubangi dahi itu. Tentu saja keadaan menjadi geger dan kini perkelahian terjadi semakin sengit di mana nenek berkedok dan kakek bercambuk itu mengamuk dan membabati musuh seenaknya. Karena ditinggalkan oleh enam orang perwira yang kini tinggal lima orang yang mengeroyok kakek itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw kini terpaksa menghadapi nenek iblis itu berdua saja dan mereka segera terdesak hebat.

   “Kakek hina dina, aku tidak butuh bantuanmu!”

   Berkali-kali nenek iblis itu berteriak memaki-maki kakek itu.

   “Nenek cabul tak tahu budi, tutup saja mulutmu dan mari kita bereskan mereka ini!”

   Kakek itu menjawab, dengan suara kasar pula. Karena saling memaki ini, agaknya timbul kemarahan di dalam hati mereka dan keduanya mengamuk semakin hebat.

   Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya lima orang perwira itupun roboh dan tewas di tangan kakek itu, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouwpun terdesak, bahkan telah menderita luka-luka yang cukup parah oleh sambaran pedang wanita iblis! Pasukan yang mengepung melihat atasan mereka roboh semua, berusaha untuk mengeroyok, akan tetapi mereka yang berani maju lebih dulu seperti mengantarkan nyawa saja. Yang lain-lain menjadi gentar dan ketika Thian Kong Hwesio dan sumoinya terpaksa meloncat ke atas genteng dan menyelamatkan diri, sisa pasukan itupun lari cerai berai! Kini tinggal nenek iblis itu dan si kakek lihai yang berdiri saling berhadapan dan dengan senjata di tangan, wajah mereka masih beringas. Belasan mayat bergelimpangan di sekitar mereka dan bau amis darah memenuhi udara tempat itu.

   “Koai-pian Hek-mo, siapa suruh engkau membantu? Kita adalah saingan dan musuh, aku tidak membutuhkan bantuanmu!”

   Nenek iblis itu membentak. Kakek yang berjuluk Koai-pian Hek-mo itu mengusap mukanya yang kasar dan hitam dengan tangan kiri, mengusap peluhnya.

   “Hwa-hwa Kuibo, dalam keadaan kita ditentang oleh golongan putih, engkau masih congkak begini terhadap orang segolongan? Apakah otakmu sudah mulai miring?”

   “Tua bangka hina, mampuslah!”

   Nenek berkedok itupun cepat menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan yang amat cepat ke arah dada lawan.

   “Cring, tranggg…”

   Cambuk itu bergerak dan gagangnya menangkis pedang. Pedang dan cambuk bertemu dengan amat kerasnya dan keduanya melangkah mundur tiga kali.

   “Kuibo, musuh-musuh yang kuat sudah mulai berkumpul. Kita harus bersatu untuk menghadapi mereka. Biarlah saat ini kita berdamai dulu, kalau perlu lain kali kita lanjutkan. Mari kita bekerja sama. Bukankah ada dua orang pemuda di menara itu? Kita bagi saja seorang satu. Engkau sendiri tidak boleh terlalu menghamburkan tenaga, dan dua orang pemuda sekaligus akan menghabiskan tenagamu, padahal kita memerlukannya dalam hari-hari mendatang ini. Bagaimana? Apa kau ingin kita terus berkelahi dan membiarkan musuh-musuh kita mentertawakan kita?”

   Nenek itu nampak bimbang dan akhirnya ia mendengus.

   “Huh, enak saja, aku yang susah payah engkau hanya ingin menggerogoti hasilnya!”

   Akan tetapi sambil berkata demikian, ia menyimpan pedangnya, membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke tangga menara. Kakek itu tertawa bergelak.

   “Ha-ha-ha, akupun sudah ikut bersusah payah tadi, sudah sepatutnya kalau aku mendapatkan bagiannya pula.”

   Dan diapun melangkah lebar menyusul nenek iblis itu menaiki anak tangga. Dapat dibayangkan betapa gentar dan tegang rasa hati dua orang muda yang berada di dalam kamar menara itu. Dari atas mereka menyaksikan perkelahian yang amat hebat itu dan melihat betapa lihainya nenek dan kakek iblis. Bahkan mereka melihat pula betapa guru mereka, Thian Kong Hwesio, terluka dan melarikan diri. Kalau guru mereka sendiri, dibantu oleh bibi guru mereka, tidak mampu mengalahkan nenek iblis itu, apalagi mereka! Dan kini nenek itu malah disertai oleh kakek yang demikian lihainya.

   Biarpun demikian, sebagai pemuda-pemuda yang sejak kecil digembleng kegagahan oleh guru mereka, dua orang muda itu menanti datangnya kakek dan nenek iblis dengan pedang di tangan kanan dan senjata rahasia piauw (pisau terbang) di tangan kiri. Begitu Hwa-hwa Kuibo dan Koai-pian Hek-mo muncul dan baru saja mereka melangkahkan kaki melewati ambang pintu, dua orang muda itu menyerang dengan sambitan piauw mereka! Akan tetapi, sedikitpun kedua orang iblis itu tidak memperlihatkan rasa kaget. Hanya dengan gerakan tangan kiri sedikit saja keduanya telah mampu menyampok runtuh dua batang piauw itu yang meluncur ke bawah dan menancap ke atas lantai kamar menara yang berbuat dari papan tebal. Kini dua orang muda itu menyerang dengan pedang mereka secara nekat.

   “Ha-ha-ha, kekasih-kekasih kita menyambut dengan hangat!”

   Koai-pian Hek-mo tertawa dan diapun menyambut pedang lawan dengan tangan kosong! Dalam beberapa gebrakan saja, pedang itu dapat dirampas dan sekali tangan kakek itu menotok, pemuda yang menyerangnya roboh lemas dan segera disambar dalam rangkulannya. Pemuda kedua menyerang Hwa-hwa Kuibo juga mengalami nasib yang sama. Pedangnya terpukul jatuh dan diapun ditotok lalu dirangkul dan dipondong. Sambil tertawa-tawa, Koai-pian Hek-mo sudah memondong pemuda tawanannya menuju ke dalam kamar menara, membawanya ke sebuah sudut kamar. Hwa-hwa Kuibo juga membawa korbannya ke sudut yang lain, kemudian dari tempat itu ia meniup ke arah lilin besar yang seketika menjadi padam.

ASMARA BERDARAH JILID 02

Dara itu jelas jauh lebih lihai dari pada dua orang lawannya, akan tetapi, agaknya ia memang berwatak bengal, jenaka dan suka main-main. Ia sengaja mempermainkan dua orang yang ia tahu menyelidiki gerakan-gerakannya itu, ia sengaja membuat gerakan kacau-balau, bahkan kalau balas menyerang ia menggunakan cara memukul anak-anak yang tidak pernah belajar silat sehingga kelihatan lemah, namun diam-diam ia mengerahkan sinkangnya sehingga serangan balasannya itu luar biasa anehnya. Dikatakan kuat, cara memukulnya sembarangan saja, akan tetapi dinamakan lemah, pukulan itu mengandung tenaga yang amat ampuh. Jadi berat-berat ringan, juga ringan-ringan berat, cukup membingungkan kedua orang lawannya.

   Bukan hanya bingung dalam hal menerka ilmu silat lawan itu, akan tetapi juga bingung bagaimana harus menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu. Bagaimanapun juga, dara remaja itu hanya bertangan kosong dan yang mengeroyoknya adalah dua orang tokoh yang amat lihai, dua orang di antara Cap-sha-kui yang mempergunakan senjata ampuh andalan mereka masing-masing, maka akhirnya dara itupun merasa bahwa permainannya sekali ini amat berbahaya. Tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara pekik melengking aneh dan pendek dan tahu-tahu dengan jari telunjuknya ia menyentil ujung cambuk yang menyambar ke arah lehernya. Ujung cambuk itu terpental ke arah muka Hwa-hwa Kuibo, sedangkan serangan pedang nenek itu dihindarkannya dengan mengelak ke belakang. Tentu saja nenek yang disambar ujung cambuk mukanya menjadi terkejut.

   “Gila kau…”

   Bentaknya kepada kawannya karena ia mengira bahwa kawannya itu salah sasaran. Sebaliknya, kakek itupun kaget dan cepat menarik cambuknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh dara itu untuk balas menyerang.

   Tangannya meluncur ke arah ubun-ubun kepala Hwa-hwa Kuibo, sedangkan kakinya menendang atau menyepak ke arah perut Koai-pian Hek-mo yang berada di belakangnya. Serangan itu amat cepat gerakannya dan ketika kedua orang iblis itu meloncat untuk menghindar, tiba-tiba tubuh dara itu berjungkir balik, kepala di bawah kaki di atas. Tangan kirinya menunjang badan dan kini tiba-tiba saja ia melanjutkan serangannya dengan membalik, yaitu kakinya menyerang ubun-ubun kepala Koai-pian Hek-mo sedangkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Hwa-hwa Kuibo! Dan hebatnya, di dalam serangan-serangannya itu terkandung hawa pukulan yang jauh lebih kuat dari pada tadi, sehingga biarpun dua orang iblis itu berusaha menangkis dan mengelak, tetap saja mereka terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir roboh!

   Melihat kehebatan ini, mereka menjadi pucat dan tanpa diberi komando, keduanya lalu meloncat keluar dari menara itu, menggunakan ginkang mereka yang hebat, sekali melayang mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam larut itu. Dara itu tidak mengejar, melainkan menengok dan memandang ke arah dua orang pemuda yang berada di sudut kanan dan kiri. sekilas pandang saja ia lalu membuang muka dengan kulit muka berobah merah dan juga alis berkerut. Dua orang pemuda itu ternyata telah tewas dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya, keduanya mungkin menolak atau melawan sehingga setelah dipaksa mereka lalu dibunuh secara kejam oleh dua orang manusia iblis tadi. Karena dua orang lawannya telah melarikan diri, dara itupun lalu meloncat keluar dari pintu kamar menara.

   “Iblis betina hendak lari ke mana engkau?”

   Terdengar bentakan-bentakan dan serombongan anak panah menyambutnya dari samping!

   “Eh, gila…”

   Dara itu berseru, akan tetapi karena puluhan batang anak panah yang menyambar ke arahnya itu tidak mungkin dapat diusirnya hanya dengan seruan, terpaksa ia melempar diri ke belakang dan bergulingan. Ia lupa bahwa ia bukan sedang berada di atas tanah, melainkan di wuwungan rumah dekat menara, maka tentu saja lantai genteng tidak rata itu membuat ia tergulingguling kacau dan genteng-genteng banyak yang patah dan pecah. Setelah ia moloncat bangun, ia sudah dikepung dan dikeroyok oleh barisan tombak!

   “Eh, eh, bagaimana ini?”

   Teriaknya akan tetapi iapun harus cepat mengelak ke sana-sini karena para perajurit itu tidak mau banyak cakap lagi. Semua orang mengira bahwa tentu gadis ini iblis betina yang telah menyamar sebagai Dewi Laut. Apalagi ketika beberapa orang di antara mereka mengenal gadis ini seperti yang digambarkan sebagai gadis aneh menunggang kuda yang mengacau di pintu gerbang kemarin dulu, mereka merasa yakin bahwa gadis inilah iblis betina itu. Repot jugalah gadis itu dikeroyok orang sedemikian banyaknya. Apalagi karena ia tidak ingin melukai mereka, apalagi membunuhnya. Dengan gerakan lincah sekali ia mengelak ke sana-sini, membagi-bagi tendangan hanya untuk merobohkan beberapa orang tanpa mendatangkan luka berat.

   Kalau kemarin dulu ia mematahkan semua gigi di mulut kepala jaga yang gendut, hal itu adalah karena si gendut bersikap kurang ajar kepadanya. Kini ia tidak tega untuk mencelakai orang-orang yang mengeroyoknya, maklum bahwa mereka itu salah duga dan mengira ialah penjahatnya yang mengacau di kuil itu. Ketika para penjaga yang bersembunyi di bagian lain bermunculan, gadis itu tiba-tiba masuk kembali ke dalam kamar menara. Semua orang tidak berani mengejarnya masuk, hanya mengurung menara itu dengan senjata siap di tangan. Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka dari dalam dan muncullah seorang pemuda tampan! Pasukan yang memegang busur dan siap dengan anak panah mereka, tidak jadi melepaskan anak panah. Dan dari belakang terdengar seruan Thian Kong Hwesio,

   “Tahan, jangan serang, dia murid pinceng!”

   Akan tetapi, pemuda yang dikenalnya sebagai muridnya karena mengenakan pakaian satu di antara dua pemuda itu, kini berlari ke depan, menggunakan kesempatan selagi orang lengah, meloncat dan melayang di atas kepala mereka ke arah wuwungan kuil di depan kemudian berloncatan dan lenyap ditelan malam yang sudah hampir terganti pagi namun masih amat gelap itu.

   Barulah Thian Kong Hwesio sadar bahwa yang disangka muridnya tadi bukanlah muridnya, melainkan gadis itu yang mengenakan pakaian muridnya itu! Para perwira memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Pengejaran dilakukan akan tetapi para pengejar itu meraba-raba di tempat gelap, tidak tahu ke arah mana gadis itu menghilang. Sementara itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw memasuki kamar menara dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat dua orang murid yang telah menjadi mayat itu. Hidangan yang dibawa oleh dua orang muda itu telah habis dimakan, akan tetapi buntalan emas masih berada di situ, tidak sempat dibawa pergi penjahat. Sementara itu, di dalam sebuah hutan di luar kota Ceng-tao, Hwa-hwa Kuibo dan Koai-pian Hek-mo saling berbantahan dan saling menyalahkan.

   “Dasar engkau yang mata keranjang dan ceroboh!”

   Si muka hitam itu mengomel.

   “Kalau memang ketagihan pemuda, kenapa tidak menangkap saja beberapa orang dan membawanya ke tempat sepi seperti hutan ini? Kenapa harus dinikmati di kuil yang keramat? Engkau mencari penyakit saja!”

   Wanita itu kini telah menanggalkan kedoknya dan kalau orang melihat mukanya pada saat itu baru mereka akan tahu mengapa wanita ini suka memakai kedok. Kiranya pipi kanannya terdapat codet atau luka bekas goretan yang dalam dan panjang, membuat muka itu nampak menyeramkan dan menjijikkan. Sambil meludah Hwa-hwa Kuibo menudingkan telunjuknya ke arah hidung kakek itu.

   “Cih, tak tahu malu! Engkau sendiripun ikut menikmatinya, sekarang hendak menyalahkan aku? Keparat, apakah engkau hendak mencoba-coba kepandaianku?”

   Kakek itu menarik napas panjang dan melambaikan tangannya dengan hati kesal.

   “Sudahlah, jangan bicara tentang kepandaian. Kau kira kita ini memiliki kepandaian macam apa? Mengeroyok seorang bocah bertangan kosong saja tidak becus mengalahkannya!”

   Ucapan ini membuat nenek itu teringat dan berdiam diri, tidak jadi menghunus pedangnya dan nampak termangu-mangu.

   “Aku masih heran, siapakah gerangan bocah setan yang memiliki kepandaian sehebat itu? Aku masih heran dan sungguh aku sama sekali tidak dapat mengenal ilmu silatnya yang aneh-aneh itu…”

   “Aku sendiripun heran. Ada beberapa gerakannya yang mengingatkan aku akan ilmu-ilmu mukjizat dari Pendekar Sadis…”

   “Ehhh…”

   Wanita itu hampir menjerit ketika mengeluarkan seruan itu. Bagaimanapun juga, sebutan Pendekar Sadis membuat jantungnya seperti akan copot rasanya.

   “Mungkin juga bukan, karena di dalam gerakan-gerakannya terdapat unsur ilmu-ilmu silat tinggi yang lain seperti Siauw-Lim-Pai, Kun-Lun-Pai dan lain-lain. Sungguh bocah itu seperti setan saja. Tidak salah lagi! Ia tentu puteri atau murid seorang sakti. Karena itulah, kita harus berhati-hati, kita harus bersatu karena bukankah sekarang ini orang-orang golongan putih yang menentang kita sedang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu?”

   Wanita itu mengangguk-angguk.

   “Memang kedatanganku ke sini juga hendak menyelidiki kebenaran berita itu. Kita tidak boleh tinggal diam saja kalau mereka mengadakan pertemuan. Apakah saudara-saudara kita yang lain juga akan datang?”

   “Kurasa demikian. Bahkan datuk-datuk kitapun kabarnya akan muncul, untuk melakukan penyelidikan sendiri.”

   “Benarkah? Aih, bakalan ramai kalau begitu! Memang mereka, golongan putih itu, semakin congkak dan tekebur saja. Kalau kita tidak melawan mereka, tentu golongan kita dianggap golongan tahu dan tidak mempunyai jagoan jagoan lagi.”

   Hwa-hwa Kuibo mengepalkan tinjunya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi penuh kebencian.

   “Kalau mereka datang, tentu muncul di Ceng-tao. Akan tetapi karena kita menjadi buruan di Ceng-tao, sebaiknya kita mendekati Puncak Bukit Perahu itu sambil menanti kedatangan para sahabat kita. Bagaimanapun juga, mereka tentu akhirnya akan berdatangan ke bukit itu pula.”

   Wanita itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan menuju ke utara.

   Pada keesokan paginya di pasar kota Ceng-tao. Pagi itu pasar ini tetap ramai seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu malam tadi. Akan tetapi, di antara percakapan sehari-hari dan urusan perdagangan, ramai pula orang bicara tentang peristiwa di kuil Dewi Laut di mana terjadi pertempuran yang menewaskan belasan orang perajurit keamanan. Bermacam-macamlah pendapat orang mengenai peristiwa itu. Yang kepercayaannya terhadap kesaktian Dewi Laut sudah berlebihan, kukuh berpendapat bahwa semua itu adalah akibat kemarahan Dewi Laut yang hendak menghukum pendeta kuil dan para perajurit.

   “Kalau bukan Sang Dewi, mana mungkin ada wanita dapat menghindarkan diri dari kepungan para perajurit?”

   “Dan kabarnya, dihujani anak panah wanita itu hanya tertawa saja!”

   Yang lain menambahkan, memperkuat kepercayaan orang-orang terhadap Dewi Laut. Biarpun urusan itu ramai dibicarakan orang, pada akhirnya mereka yang berada di pasar ini sibuk dengan urusan mereka sendiri, urusan mencari untung sebanyaknya atau mencari kesenangan melalui belanjaan. Ada yang secara royal membeli pakaian-pakaian mahal, sedangkan di sudut sana, di pasar itu pula, terdapat banyak orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian yang sudah berbulan-bulan tak pernah diganti, karena bajunya memang hanya yang melekat di badan itulah. Ada pula orang-orang yang sedang menikmati masakan-masakan lezat dan mahal di restoran-restoran, makan dengan lahapnya,

   Tidak perduli akan pandang mata yang disertai air liur ditelan dari para pengemis tua muda yang berkeliaran di situ dengan perut kelaparan. Sekelompok anak-anak gembel memperebutkan sisa makanan yang dibuang oleh pelayan restoran ke tempat sampah. Sang pelayan berdiri sambil menonton anak-anak gembel memperebutkan sisa makanan seperti sekelompok anjing kelaparan berebut tulang. Tentu saja sisa makanan itu bercampur dengan kotoran dan tanah setelah dibuang ke tempat sampah. Agaknya, memberikan saja makanan itu kepada anak-anak pengemis secara demikian saja tidak memuaskan hati si pelayan ini. Ada gembel tua yang duduk bersandar tembok di sudut, tenang-tenang saja memandangi semua pengemis yang bekerja pula bermodalkan suara mengharukan minta dikasihani,

   Dan Kadang-kadang ada pengemis datang menghampirinya dan memberikan sesuatu, makanan atau uang kecil kepada pengemis tua ini. Dia adalah seorang raja kecil pengemis di pasar itu yang “melindungi”

   Para pengemis. Tentu saja dia sendiri tidak perlu mengemis karena para anak buahnya selalu membagi hasil kepadanya. Ada pula yang bermalas-malasan karena sudah memperoleh hasil mengemis dan sudah kenyang perutnya. Pekerjaan yang amat mudah itu sungguh membuat mereka merasa malas. Ada pula seorang ibu mengemis memondong anak bayinya yang kurus, merengek-rengek menarik perhatian dan belas kasihan orang pasar, menceritakan bahwa bapak anak itu sudah mati dan ia hidup menjanda. Padahal, seorang laki-laki pengemis lain yang menjadi bapak anak itu pada saat itu sedang bermain judi kecil-kecilan di belakang pasar bersama kawan-kawan pengemis lain.

   Akan tetapi, sebagian besar dari pada mereka yang berada di pasar, baik para penjual maupun para pembeli, sudah terbiasa dengan penglihatan ini dan tidak memperdulikan. Mereka melihat adanya banyak pengemis di pasar ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pasar, dan andaikata pada suatu hari tidak ada seorangpun pengemis di situ, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran, bahkan mungkin akan merasa kehilangan. Di antara orang yang berjubelan itu, di depan sebuah restoran, nampak seorang pemuda gembel penuh bercak-bercak lumpur dan arang, sedang duduk nongkrong memandang ke arah dua orang anak gembel kakak beradik yang menangis sambil berangkulan. Si adik menangis dan si kakak menghiburnya.

   “Mereka… mereka memukulku…”

   Rengek adiknya.

   “Sudahlah, merekapun lapar seperti kita. Nanti kalau ada sisa makanan lagi, biar aku yang akan memperebutkannya untukmu. Diamlah…”

   Kakaknya menghibur.

   Gembel muda yang duduk nongkrong itu tak terasa lagi mengusap air matanya yang menetes turun dari kedua matanya ke atas pipi, menggunakan punggung tangan kirinya yang kotor sehingga pipinya menjadi semakin kotor lagi. Di lain saat, pemuda gembel ini sudah bangkit dan mengeluarkan sebuah mata uang kecil dari saku bajunya yang butut, dan dengan kedua mata masih basah dia berkedip-kedip dan tersenyum seorang diri, kemudian dengan lenggang dibuat-buat pergilah dia menghampiri kedai bakpao di mana tukang bakpao yang berperut gendut sekali sedang memanaskan bakpaonya. Bau sedap keluar ketika uap dari tempat pemanasan bakpao itu mengepul dan si pemuda gembel menyedot-nyedot hidungnya sambil berdiri di depan kedai itu dan memandang ke arah bakpao-bakpao yang bulat dan putih dan panas beruap itu. Melihat seorang pemuda gembel berpakaian kotor berdiri di depan kedainya, si perut gendut menghardik,

   “Heh, mau apa kau berdiri di sini? Pergi!”

   “Toapek, aku mau membeli bakpao, bukan mau mengemis.”

   Sambil berkata demikian, dia menyodorkan uang logam kecil yang berada di telapak tangan kanannya.

   “Aku mau beli lima butir bakpao terisi daging dengan uang ini.”

   Si gendut memandang dan begitu melihat uang logam di tangan pengemis itu, dia mencak-mencak dan mukanya yang gendut pula itu menjadi merah, matanya yang sipit coba dibelalakkan.

   “Setan cilik! Uang itu untuk membeli sebutir saja masih kurang, dan kau minta lima butir? Itu bukan mengemis, juga bukan membeli, akan tetapi mau merampok!”

   Sepasang mata itu melotot dan tangannya dikepal dan diamangkan tinjunya ke arah pemuda gembel itu. Pemuda gembel itu berjebi, menyeringai dan mentertawakan dengan sikap mengejek sekali.

   “Phuh, empek gendut! Perutmu begitu gendut tentu kebanyakan untung dan kebanyakan makan bakpao! Huhh!”

   Tentu saja penjual bakpao itu marah sekali.

   “Apa kau bilang? Ke sini kau! Biar kuputar batang lehermu sampai putus!”

   “Coba kau lakukan itu kalau kau mampu menangkapku! Huh, siapa tidak tahu bahwa engkau mencuri kucing dan anjing tetangga, lalu kau sembelih dan dagingnya kau pakai isi bakpao maka keuntunganmu berlimpah-limpah? Kau pencuri, penipu rendah!”

   Tentu saja si tukang bakpao menjadi semakin marah. Dia menyambar pisau besar pencacah daging bakpao dan diapun keluar dari kedainya melakukan pengejaran. Pengemis muda itu berlari, tidak terlalu jauh sambil mengejek memanaskan hati.

   Dia lari menyelinap di antara para pengunjung pasar dan setelah si gendut itu agak jauh, tiba-tiba dia menghilang. Selagi si gendut sambil memaki-maki mencari gembel muda itu, si gembel muda dengan jalan memutar, cepat kembali ke kedai dan diambilnya bakpao sekeranjang penuh, lalu dibagi-bagikannya bakpao-bakpao itu kepada anak-anak gembel yang berada di dalam pasar. Ketika si gendut kembali ke kedainya dan mencak-mencak melihat bakpao-bakpaonya hilang, gembel muda itu tertawa terpingkal-pingkal melihat anak-anak gembel makan bakpao sedemikian lahapnya sampai tercekik leher mereka. Ketika tertawa, nampak deretan gigi putih dan bagi mereka yang pernah melihat mulut dan gigi ini tentu akan teringat bahwa mulut itu semalam pernah muncul di menara kuil Dewi Laut, dan dua hari yang lalu pernah muncul pula sebagai gadis aneh di pintu gerbang!

   Melihat bakpao yang dibagi-bagikan itu cepat habis dan anak-anak itu kelihatan masih belum kenyang, si gembel muda lalu menyelinap di antara orang banyak dan diapun kini mendekati kedai bakpao itu. Berindap-indap dia mendekati kedai itu dari belakang, kemudian mencuri beberapa butir bakpao yang ditumpuk di sebelah kiri si gendut itu. Dia tidak tahu bahwa gerak-geriknya sejak tadi diikuti oleh pandang mata tiga orang laki-laki setengah tua. Ketika dia memegang lagi sebuah bakpao yang masih terlalu panas, dia terkejut dan mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya karena kepanasan, akan tetapi juga karena pundaknya dicengkeram orang dari belakang! Si gendut tukang bakpao menoleh dan melihat betapa pemuda gembel yang tadi berada di situ membawa beberapa buah bakpao dan kini dipegangi kedua lengannya oleh dua orang seperti menangkapnya, menjadi marah.

   “Nah, ini dia maling bakpaoku!”

   Dan diapun mengangkat tangan untuk menampar muka pemuda gembel itu.

   “Duk!”

   Seorang di antara tiga orang itu menangkis tamparan si gendut, membuat si gendut menyeringai kesakitan.

   “Jangan sembarangan memukul!”

   Hardik orang ketiga itu.

   “Kami adalah perwira-perwira keamanan yang sedang melakukan operasi pembersihan!”

   Mendengar bahwa tiga orang ini adalah perwira-perwira yang menyamar, si gendut tidak berani banyak cakap dan melanjutkan pekerjaannya dengan hati berdebar tegang. Memang bukan hanya dia. Siapapun juga di kota Ceng-tao, sekali berhadapan dengan petugas keamanan, menjadi kuncup hatinya dan tidak banyak tingkah. Petugas keamanan amat ditakuti rakyat dan dianggap sebagai golongan yang hanya mendatangkan kerugian saja, dianggap sebagai golongan orang yang tidak dapat dipercaya dan yang lebih baik dijauhi atau dihindari. Perasaan seperti ini akan selalu menyelinap dalam hati rakyat di negara manapun juga selama para petugas keamanan lebih menonjolkan kekuasaannya dari pada kewajibannya, membuat mereka menjadi penindas dan pemeras yang bermodal kekuasaan dan kedudukan mereka.

   Pemuda gembel itupun yang tadinya mengerutkan alisnya dan bersikap melawan, menjadi lunak, apalagi ketika melihat beberapa orang lain berpakaian preman mendatangi tempat itu dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah petugas-petugas keamanan yang menyamar. Dan diapun melihat betapa selain dia, ada pula beberapa orang gembel dan gelandangan yang ditangkapi. Maka diapun menyerah saja dibawa oleh para petugas itu, bersama tangkapan-tangkapan lainnya, menuju ke sebuah gedung, yaitu gedung seorang pembesar yang menjadi komandan pasukan keamanan. Tentu saja pembesar pasukan keamanan tidak tinggal diam begitu saja dengan adanya peristiwa di kuil Dewi Laut. Belasan orang anak buahnya tewas dan penjahat-penjahat itu tidak dapat tertangkap.

   Hal ini merupakan pukulan hebat dan mendatangkan rasa malu. Maka diapun memerintahkan seluruh anak buahnya untuk disebar di semua tempat, menangkapi orang-orang yang dicurigai untuk ditanya tentang penjahat-penjahat semalam itu, terutama tentang gadis yang pakaiannya seperti orang gelandangan. Yang ditangkap adalah pengemis-pengemis yang usianya sebaya dengan gadis itu, juga orang-orang yang dicurigai, akan tetapi sebagian besar adalah orang-orang gembel dan gelandangan-gelandangan yang berada di pasar. Bersama dengan pemuda gembel yang mencuri bakpao tadi, jumlah tangkapan ada dua puluh orang lebih. Mereka digiring seperti ternak dibawa ke pejagalan. Di sepanjang jalan, mereka menjadi tontonan orang dan sebentar saja tersiarlah berita bahwa petugas-petugas keamanan menangkapi banyak pengemis muda.

   Di dalam gedung yang terletak di daerah markas pasukan keamanan itu, terjadilah pemeriksaan terhadap para tawanan. Komandan keamanan sendiri yang melakukan pemeriksaan dengan keras. Dia seorang komandan yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Dendam karena kematian banyak anak buah membuat komandan ini pusing dan murung, membuatnya menjadi semakin galak seperti harimau haus darah. Pemeriksaan dilakukan satu demi satu, dengan kekerasan dan banyak di antara para tawanan harus menderita gebukan dan cambukan yang dilakukan bukan hanya untuk memaksa tawanan mengaku, akan tetapi juga terutama karena dorongan hati dendam yang ingin ditumpahkan.

   Tukang-tukang siksa yang sudah siap berada di kamar pemeriksaan, agaknya sudah gatal-gatal tangan dan menurut kata hati mereka, semua tawanan harus disiksa sampai mengaku atau mampus! Maka di dalam ruangan pemeriksaan itu, setiap kali ada tawanan dibawa masuk, lalu disusul oleh bentakan-bentakan, pukulan-pukulan dan diiringi raung-raung dan tangis kesakitan. Hal ini membuat hati para tawanan lain yang belum diperiksa menjadi panik dan ketakutan dan belum juga diperiksa, sebagian sudah menangis ketakutan. Pemuda gembel yang mencuri bakpao tadi dengan cerdiknya diam-diam menyelinap dan tahu-tahu dia sudah berada di paling ujung sehingga dia menjadi orang terakhir yang diperiksa. Ketika dia dibentak dan diseret tangannya oleh seorang petugas, dibawa masuk ke dalam kamar pemeriksaan,

   Pada saat itu berkelebat bayangan orang di atas genteng dan ketika pemuda gembel itu mulai dihadapkan kepada komandan tinggi besar bermuka bengis, bayangan itu kini telah bergantung dengan kedua kakinya pada atap di luar jendela, dan kepalanya yang tergantung ke bawah ini menjenguk dan mengintai dari luar jendela yang tinggi karena jendela ini adalah lubang angin. Pemuda itu gagah perkasa, pakaiannya rapi, matanya lebar tajam, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Biarpun raut mukanya tidak dapat dinamakan tampan, akan tetapi diapun tidak buruk sekali dan wajah itu membayangkan kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggung. Pada saat itu, pemuda gembel telah dihujani bermacam pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.

   “Siapakah penjahat yang mengacau kuil Dewi Laut? Di mana tinggalnya dan siapa namanya? Siapa pula teman-temannya dan mengapa penjahat itu mengacau kuil dan membunuh para petugas keamanan? Hayo ceritakan semua kalau engkau tidak mau dirangket sampai pecah-pecah kulit punggungmu!”

   Komandan itu menghardik dan matanya yang besar itu seperti hendak meloncat keluar. Dia sudah terlalu lelah dan pemuda gembel ini merupakan orang terakhir yang diperiksanya. Dia sudah melihat bahwa semua hasil pemeriksaan yang tadi tidak ada artinya, tidak dapat mengungkapkan rahasia penjahat yang dicarinya. Hatinya kesal sekali dan dia ingin menumpahkan kemarahannya kepada pemuda gembel bertubuh kecil yang wajahnya berseriseri dan cengarcengir ini.

   “Tidak tahu… saya tidak tahu…”

   Berulang-ulang pemuda itu menjawab sambil menggeleng kepalanya. Seorang di antara tiga orang perwira yang tadi menangkapnya, berkata kepada sang komandan,

   “Ketika kami menangkapnya, dia sedang mencuri bakpao.”

   Komandan itu mengerutkan alisnya dan hampir dia membentak marah kepada bawahannya mengapa pencuri bakpao saja ditangkap. Akan tetapi karena dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada tawanan terakhir ini, dia menghardik,

   “Bagus! Engkau pencuri, tentu engkau berkawan dengan maling itu! Siapa namamu?”

   Pemuda gembel itu nampak gugup, akan tetapi menjawab juga dengan suara lirih,

   “Nama saya Cin…”

   “Hanya Cin saja?”

   “Hanya Cin saja.”

   “Apa shenya (nama marganya)?”

   “Sudah lupa.”

   “Brakkk!”

   Komandan itu menggebrak meja.

   “Jangan main-main kau! Mana mungkin orang lupa she-nya sendiri?”

   “Tapi saya hanya mengingat bahwa nama saya Cin begitu saja, tuan besar.”

   “Hemm, baiklah. Sejak kapan engkau menjadi gembel?”

   “Gembel? Apakah itu, tuan besar?”

   “Gembel! Pengemis, tukang minta-minta tak tahu malu.”

   “Sejak lahir.”

   Sepasang mata yang sudah mulai lelah dan mengantuk itu kini terbelalak. Sebanyak itu orang yang diperiksanya, baru sekali ini menarik perhatiannya dengan jawaban yang aneh-aneh di luar dugaan.

   “Sejak lahir jadi gembel? Pantas! Tak tahu malu! Nah, di mana rumahmu? Hayo mengaku terus terang sebelum kusuruh potong tanganmu yang suka mencuri itu!”

   “Rumahku? Seluruh tempat di dunia ini adalah rumahku, tuan besar!”

   Jawaban ini kembali membuat semua orang tertegun dan komandan itu sendiri bangkit dari kursinya dan mengepal tinju.

   “Engkau minta dipukul? Jawab yang benar!”

   Wajah pemuda gembel itu kini berseri-seri seperti ketika dia mencuri bakpao di pasar tadi. Agaknya sudah pulih kembali kegembiraan hatinya dan dia tidak lagi dicekam rasa takut.

   “Saya tidak berbohong. Gedung inipun rumahku, bukankah buktinya aku sekarang tinggal di sini? Dan toko-toko di tepi jalan itu, tiap malam boleh saja aku tinggal di empernya, atau di bawah-bawah jembatan, semua tempat adalah tempat tinggalku…”

   “Setan! Kau mau main-main?”

   “Tidak, tuan besar. Dunia ini adalah rumahku, langit adalah atapku, bumi adalah lantaiku, pohon-pohon dan bunga-bunga adalah hiasan-hiasan rumahku, dan…”

   “Cukup!”

   Komandan itu menghardik sambil menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan mengusap peluh dari dahinya. Dia melirik ke arah para pembantunya dan mereka ini dengan penuh arti menyilangkan telunjuk ke depan dahi untuk menyatakan persangkaan mereka bahwa tentu gembel muda ini menderita penyakit miring otak.

   “Jadi engkau seorang gelandangan, ya? Seorang tuna wisma yang merantau kemana-mana. Jadi, engkau tentu mengenal penjahat yang semalam mengacau di kuil Dewi Laut? Hayo mengaku!”

   Komandan itu memberi isyarat dan dua orang tukang siksa sudah melangkah maju menghampiri.

   “Aku tahu… aku tahu…”

   Pemuda itu berseru ketika melihat dua orang tukang siksa yang membawa cambuk yang sudah berlepotan darah itu menghampirinya.

   “Bagus sekali!”

   Wajah komandan itu berseri. Akhirnya berhasil juga pemeriksaan ini, pikirnya.

   “Hayo katakan yang jelas siapa mereka itu, dan engkau bukan saja akan kubebaskan, malah akan kuberi hadiah pakaian dan uang.”

   “Aku tahu… seperti yang kudengar bahwa Sang Dewi Laut mengamuk di kuil, dan membunuh-bunuhi orang-orang yang terlalu banyak dosanya. Jadi yang mengacau adalah para hwesio dan nikouw sendiri dibantu oleh pasukan keamanan, merekalah yang dihajar oleh Sang Dewi karena mungkin terlalu banyak dosa…”

   “Brakkk!”

   Kembali komandan itu menggebrak meja dan mukanya menjadi pucat saking marahnya.

   “Hajar bocah ini! Beri dia dua puluh lima kali cambukan yang keras!”

   Dua orang algojo itu menyeringai. Dua puluh lima kali cambukan pada tubuh yang kecil ini berarti mencambukinya sampai mati! Mereka menangkap tangan pemuda itu dan seorang di antara mereka menghardik,

   “Buka bajunya!”

   “Jangan… ah, jangan… dibuka. Aku seorang wanita…”

   Pemuda gembel itu berseru dan kini suara aselinya keluar, suara seorang gadis! Dua orang algojo itu tertegun dan melepaskan tangannya saking kaget dan heran. Juga komandan itu sendiri memandang dengan mata terbelalak.

   “Perempuan…? Kau perempuan yang menyamar…? Ah, sungguh mencurigakan…”

   Kalau begitu… aughhh…”

   Tiba-tiba komandan itu yang tadinya bangkit berdiri, menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba saja dia merasa kepalanya seperti akan meledak dan pening sekali. Dia memejamkan mata dan menggerakkan tangan kepada para pembantu.

   “Bawa dia pergi… tahan dia dalam sel… dia orang penting, besok kulanjutkan pemeriksaan, kepalaku pusing…”

   Para perajurit pembantu lalu menyeret gadis yang menyamar sebagai pemuda gembel itu dan menjebloskannya ke dalam sel yang gelap. Pemuda gembel itu memang sebenarnya dara remaja yang pernah muncul naik kuda di pintu gerbang, juga ialah dara remaja yang semalam muncul di kuil Dewi Laut dan menandingi Hwa-hwa Kuibo dan Koai-Pian Hek-mo secara lihai itu.

   Kini dengan wataknya yang bengal dan ugal-ugalan, Ia sengaja membiarkan dirinya ditawan dan diperiksa, walaupun kalau ia menghendaki, setiap waktu ia dapat saja meloloskan dirinya. Kini ia malah membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel yang amat kuat, mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Semua ini sengaja dilakukan oleh dara yang bengal ini karena tadi ia melihat bayangan pemuda gagah yang bergantung di luar jendela, dan ia melihat pula ketika pemuda itu meniupkan sebutir benda kecil yang mengenai jalan darah di dekat pelipis kepala sang komandan, membuat komandan itu kontan terserang rasa pening yang hebat. Ia merasa amat tertarik melihat sepak terjang pemuda itu dan ia ingin sekali mengetahui, apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya, maka ia sengaja membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel tahanan yang gelap!

   Iapun menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda berpakaian putih bersih yang kelihatannya lihai itu dan apa maunya. Para pembaca sendiri tentu sudah bertanya-tanya dan menduga-duga siapa gerangan dara remaja yang aneh ini, yang Kadang-kadang berpakaian seperti seorang gadis ugal-ugalan atau memang ia ugal-ugalan, dan Kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda gembel. Siapakah ia dan betapa mengagumkan dan mengherankan bahwa seorang dara semuda ia, baru antara lima belas dan enam belas tahun usianya, sudah demikian lihainya sehingga mampu menandingi pengeroyokan dua orang tokoh iblis seperti Hwa-hwa Kuibo dan Koai-pian Hek-mo, dua di antara Cap-sha-kui yang ditakuti dunia kang-ouw itu? Sebetulnya, kelihaian dara remaja ini tidaklah mengherankan apabila kita ketahui siapa sebenarnya ia.

   Ia adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis! Bagi para pembaca yang belum pernah membaca kisah Pendekar Sadis sebaiknya mengenalnya sekarang juga. Pendekar Sadis bernama Ceng Thian Sin, masih berdarah kaisar karena mendiang ayahnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, amat banyak dan semua ilmunya adalah ilmu yang tinggi dan luar biasa. Dia bahkan telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-Ling-Pai, ilmu yang paling tinggi seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, bahkan Thi-khi-I-Beng yang mukjizat itu sudah dikuasainya. Dia mewarisi pula ilmu dari pendekar sakti Yap Kun Liong, yaitu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang. Juga dari neneknya, pendekar wanita Cia Giok Keng, dia mewarisi pedang Gin-hwa-kiam dan ilmu memainkan sabuk sebagai senjata.

   Untuk memperlengkap ilmu-ilmunya, dia telah pula mewarisi ilmu-ilmu mukjizat dari kitab tulisan Bu Beng Hud-couw, yaitu Ilmu Hek-liong Sin-ciang yang delapan jurus, Ilmu Hok-te Sin-kun dan siulian menghimpun tenaga sakti berjungkir balik. Sebagai puteri tunggal dari Pendekar Sadis yang demikian lihainya, sudah barang tentu dara itu lihai bukan main, mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya. Akan tetapi, dara remaja yang berbakat ini menjadi semakin lihai karena ibunyapun seorang yang amat lihai, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dan hanya berselisih sedikit dibandingkan ayahnya. Ibunya bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ayahnya adalah seorang pangeran pula. Toan Kim Hong ini pernah menyamar sebagai nenek dan bahkan telah berhasil menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan dengan julukan Lamsin (Malaikat Selatan).

   Ilmu-ilmunya juga hebat dan terutama sepasang Hokmo Siang-kiam yang hitam itu amatlah ampuhnya. Ginkangnya amat tinggi bahkan dalam hal kecepatan gerak, ia masih mengalahkan suaminya. Ilmu silatnya Hok-mo Sin-kun juga amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Selain ilmu silat tinggi ini, juga dengan sinkangnya yang kuat, ia pandai bermain silat Biankun dan tangannya dapat berobah seperti kapas lunaknya, namun mengandung tenaga mukjizat yang akan mengalahkan tenaga-tenaga yang kelihatan kuat. Senjata rahasianya jarum merah juga berbahaya, dan lebih berbahaya lagi adalah rambutnya. Ia dapat mempergunakan rambutnya sebagai senjata ampuh yang dapat merampas senjata lawan! Demikianlah sedikit perkenalan dengan Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya, Toan Kim Hong atau dahulu dikenal sebagai nenek Lamsin.

   Mereka berdua hanya mempunyai seorang anak, yaitu dara remaja yang kini berusia lima belas tahun dan bernama Ceng Sui Cin itu. Kini Pendekat Sadis sudah berusia empat puluh lima tahun dan isterinya yang lebih tua dua tahun itu masih kelihatan amat cantik seperti wanita berusia tiga puluhan saja. Sebagai puteri suami isteri pendekar yang demikian tinggi ilmunya, tidaklah mengherankan kalau dalam usia semuda itu, Sui Cin sudah amat pandai. Ayah bundanya adalah manusia-manusia bebas, maka iapun menjadi manusia bebas dan wajar. Bahkan ia diperbolehkan merantau sesuka hatinya karena ayah bundanya merasa yakin bahwa kesadaran akan hidup yang sudah ditanamkan sejak kecil kepada puterinya itu, dapat membuka mata puteri mereka dan dapat membuat Sui Cin selalu waspada akan segala hal yang terjadi, baik di dalam maupun di luar dirinya.

   Akan tetapi, karena di waktu muda mereka, Ceng Thian Sin maupun Toan Kim Hong adalah petualang-petualang besar, maka agaknya darah petualang mengalir dalam tubuh Sui Cin. Ia suka bertualang dan menempuh bahaya-bahaya, bersikap ugal-ugalan dan tidak perduli akan tanggapan orang lain. Namun di balik semua ini, ia tetap seorang yang berwatak pendekar, yang selalu menentang kejahatan, menentang penindasan dan selalu siap untuk membela kaum yang lemah tertindas. Di dalam perantuannya yang sudah memakan waktu tiga bulan itu, ia tiba di Ceng-tao dan ia sengaja menuju ke sini karena ia mendengar kabar angin di dunia kang-ouw bahwa di Bukit Perahu akan diadakan pertemuan antara para tokoh pendekar yang suka menyebut dirinya golongan putih atau golongan bersih.

   Ayah bundanya sendiri tidak pernah mengaku bahwa mereka adalah orang-orang golongan bersih. Akan tetapi ia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang belum pernah dijumpainya. Bahkan para tokoh sakti yang masih dekat hubungannya dengan ayah bundanya, tak pernah ia jumpai. Hal ini adalah karena nama ayahnya sebagai Pendekar Sadis agaknya membuat para tokoh “bersih”

   Itu segan mendekatinya. Sui Cin sudah cukup dewasa untuk dapat menduga bahwa ayah bundanya dapat digolongkan sebagai tokoh putih, akan tetapi juga dapat dinamakan tokoh hitam karena ayah bundanya tidak pernah menentang golongan hitam secara berterang.

   Dan diam-diam iapun merasa sebal terhadap para pendekar yang suka menyebut diri mereka golongan bersih, golongan putih, atau kaum pembela keadilan dan kebenaran! Ia menganggap mereka itu terlalu congkak dan tinggi hati, merasa benar sendiri, baik sendiri dan mau menang sendiri. Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sebuah pulau kosong yang kini berobah menjadi pulau yang indah, hidup sebagai orang yang berkecukupan. Di pulau itu mereka bangun sebuah gedung yang mungil, dikelilingi rumah-rumah tempat tinggal mereka yang menjadi pelayan atau anak buah. Sejak kecil, Sui Cin hidup sebagai anak kaya, akan tetapi sungguh aneh, anak ini merasa jemu dan di dalam perantauannya, ia selalu menyamar sebagai seorang miskin. Ia merasa lebih bebas dalam pakaian butut,

   Lebih dapat menikmati kehidupan sebagai orang miskin dari pada kalau ia menjadi puteri kaya yang melakukan perjalanan dalam kereta indah diiringi pasukan pengawal. Kesukaan dara itu melihat tempat-tempat lain tidaklah mengherankan. Setiap orang selalu ingin menyaksikan tempat-tempat lain dan tempat sendiri, betapapun indahnya, selalu menimbulkan kebosanan kalau tidak sekali-kali ditinggalkan untuk menyaksikan tempat lain. Pulau kosong yang ditinggali keluarga Pendekar Sadis itu sebenarnya amat indah, bernama Pulau Teratai Merah. Suami isteri itu telah memperkembang biak bunga-bunga teratai merah di situ sehingga kini pulau itu penuh dengan bunga-bunga teratai merah yang tumbuh subur di empang-empang air yang mereka buat di seluruh permukaan pulau.

   Ceng Sui Cin yang berusia lima belas tahun lebih itu seperti setangkai teratai merah yang baru mekar. Wajahnya cantik jelita dan manis sekali seperti wajah ibunya, sepasang matanya bersinar tajam seperti mata ayahnya. Sepak terjangnya di pintu gerbang Ceng-tao dan di kuil Dewi Laut membuktikan bahwa ia seorang dara yang gagah, ringan tangan tapi adil dan hatinya tidak kejam, tidak mudah membunuh orang. Hal ini, yaitu jangan mudah membunuh, ditanamkan oleh ayah bundanya sejak ia kecil. Ayah bundanya di waktu muda amat bengis, bahkan ayahnya dijuluki Pendekar Sadis karena terlalu suka membunuh. Agaknya mereka menyesali perbuatan itu dan menanamkan ke dalam batin anak tunggal mereka agar jangan terlalu mudah membunuh orang.

   Demikianlah sekelumit keterangan tentang siapa adanya gadis yang bernama Ceng Sui Cin itu. Kini ia, sebagai akibat dari kebengalan dan keinginan tahunya, telah dijebloskan ke dalam sel besi yang sempit dan gelap, tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Setelah para petugas itu pergi, diam-diam Sui Cin lalu mencoba kekuatan pintu sel itu. Ternyata pintu baja itu amat kuat dan tidak mungkin dengan tenaga kasar saja membongkarnya. Akan tetapi, karena ia tidak dibelenggu, iapun merasa tenang dan leluasa. Dicobanya pula kekuatan jeruji besi sebesar-besar lengannya itu. Tergetar sedikit, akan tetapi tidak melengkung. Ia menghentikan percobaannya dan menghimpun udara untuk memulihkan pernapasannya yang agak memburu. Sementara itu, di luar mulai gelap dan di dalam sel yang tidak diberi penerangan itupun menjadi semakin gelap.

   “Sialan, lilinpun tidak diberi!”

   Sui Cin mengomel akan tetapi ia diam saja, bahkan lalu duduk bersila di tengah ruangan sempit itu untuk menghimpun tenaga.

   Ia menanti karena merasa yakin bahwa tentu pemuda yang nampak bergantung di luar jendela sore tadi tidak akan berhenti sampai di situ saja, dan ia ingin melihat apa yang akan dilakukan olehnya. Kalau sampai semalam ini dia tidak muncul, terpaksa ia besok pagi akan mencari daya upaya untuk dapat meloloskan diri. Akan tetapi ternyata ia tidak perlu menanti terlalu lama. Menjelang tengah malam, tiba-tiba pendengarannya yang amat tajam dapat menangkap suara angin dari tubuh orang yang berkelebat dan tak lama kemudian wajah pemuda sore tadi muncul di depan jeruji pintu sel. Penerangan yang berada di luarpun hanya remang-remang sehingga wajah pemuda itu tidak nampak jelas. Akan tetapi Sui Cin yakin bahwa tentu inilah pemuda yang sore tadi bergantung di luar jendela dan telah menyemburkan benda kecil yang mengenai pelipis komandan yang memeriksanya.

   “Sssttt…”

   Pemuda itu memberi isyarat dengan telunjuk ke depan mulut ketika Sui Cin bangkit menghampiri daun pintu.

   “Aku datang untuk membebaskanmu dari tempat ini…”

   Melihat sikap pemuda itu dan mendengarnya berbisik-bisik serius, Sui Cin yang biasanya menghadapi segala sesuatu dengan gembira dan lincah, diam-diam tersenyum dan merasa geli.

   “Bagaimana aku dapat keluar dari sini?”

   Bisiknya juga, ingin tahu bagaimana akal pemuda itu untuk membebaskannya. Kalau ia menjadi pemuda itu, untuk membebaskan tawanan ia akan merobohkan penjaga, merampas kuncinya dan membuka pintu tahanan itu dengan kunci.

   “Begini…”

   Kata pemuda itu sambil memegang dua buah jeruji baja dengan kedua tangannya, lalu dia mengerahkan tenaga menariknya ke kanan kiri. Melihat ini, Sui Cin memandang penuh perhatian dan kagumlah dara remaja ini melihat betapa jeruji besi sebesar lengannya itu kini melengkung ke kanan kiri! Ia sendiri tadi sudah mencobanya dan mendapat kenyataan betapa kuatnya baja itu. Akan tetapi pemuda ini dapat menariknya sampai melengkung. Hal ini membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat.

   “Cepat, keluarlah, kita pergi dari sini,”

   Kata pemuda itu setelah dua batang jeruji ditariknya bengkok dan membuat lubang yang cukup besar untuk dapat dilalui Sui Cin. Dara itu merangkak melalui lubang itu dan berhasil keluar dari kamar tahanan sempit. Ia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian pemuda yang menolongnya ini, maka iapun lalu berkata dengan suara lantang sekali,

   “Anjing-anjing di sini sungguh menjemukan sekali! Orang-orang tak bersalah ditangkapi dan disiksa…”

   “Ssttt…”

   Harap jangan keras-keras kau bicara!”

   Pemuda itu berkata lirih.

   “Kenapa tidak boleh keras-keras? Biar mereka semua mendengarnya. Memang anjing-anjing itu kurang ajar sekali, terutama srigala gendut yang melakukan pemeriksaan!”

   “Hushhhh…”

   Pemuda itu mencegah dan memegang lengan Sui Cin, namun terlambat. Teriakan-teriakan gadis itu terdengar sudah oleh para penjaga dan dari segala penjuru berdatangan mengepung tempat itu.

   “Tawanan lolos…”

   “Kepung! Tangkap…”

   Para penjaga berteriak-teriak dan mengepung pemuda itu bersama Sui Cin yang diam-diam tersenyum gembira. Sekali ini ia akan dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu menghadapi pengeroyokan para penjaga yang telah mengepung ketat. Pemuda itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan gemas. Kini para penjaga menyalakan obor yang menerangi tempat itu dan Sui Cin dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas. Wajah yang sederhana saja, seperti wajah pemuda-pemuda biasa, akan tetapi sepasang mata itu bersinar tajam dan sikapnya penuh kegagahan.

   “Mari kita pergi…”

   Kata pemuda itu tiba-tiba sambil menarik lengan Sui Cin.

   “Ke mana harus pergi?”

   Sui Cin pura-pura bertanya, karena sesungguhnya ia belum ingin pergi sebelum menyaksikan bagaimana pemuda itu akan menghadapi para pengeroyok. Pemuda itu nampak semakin tidak sabar.

“Kau ikut saja denganku!”

   Dan pada saat itu, empat orang petugas sudah menubruk maju dengan senjata pedang mereka. Pemuda itu mengayun kakinya dan empat orang itu terpental dan roboh! Diam-diam Sui Cin terkejut. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Tenaga kakinya amat hebat dan cara melakukan tendangan yang membabat dari samping itu benar-benar gerakan kaki seorang ahli. Akan tetapi pada saat itu, si pemuda sudah merangkul pinggangnya dan mengempitnya lalu meloncat ke atas genteng! Beberapa batang anak panah melayang ke arahnya, akan tetapi dengan gerakan kaki, pemuda itu dapat meruntuhkan semua anak panah dan tak lama kemudian, dia sudah membawa Sui Cin berloncatan dari atas wuwungan rumah ke wuwungan yang lain.

   “Haiii…”

   Lepaskan aku…”

   Lepaskan…”

   Sui Cin berteriak-teriak, sengaja meninggikan suaranya agar para pengejar tahu ke mana pemuda itu pergi. Ia masih belum merasa puas dan ingin melihat pemuda itu dalam suatu perkelahian yang seru melawan pengeroyokan para penjaga keamanan. Akan tetapi, iapun dapat merasa betapa cepatnya pemuda itu berlari dan berloncatan di atas genteng dan bahwa takkan mungkin para petugas itu dapat menyusulnya. Maka Sui Cin lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak.

   “Lepaskan aku…”

   Lepaskan aku…”

   Pemuda itu mengomel,

   “Aku ingin menolongmu, mengapa engkau bertingkah begini? Kalau aku melepaskanmu, bukankah engkau akan terjatuh dari atas wuwungan ini?”

   Akhirnya, setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu melepaskan kempitannya. Sui Cin membanting-banting kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang kepadanya dengan tenang saja.

   “Nona, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku tahu bahwa engkau seorang yang baik hati dan pemberani, akan tetapi sunggguh aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal budi.”

   “Tidak mengenal budi? Apa maksudmu berkata demikian?”

   Sui Cin bertanya galak.

   “Engkau tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, tidak minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak meronta-ronta dan berteriak-teriak seolah-olah aku sedang menculikmu, bukan sedang menolongmu.”

   Biarpun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya tetap halus dan sopan, tidak kasar. Akan tetapi Sui Cin adalah seorang anak yang manja dan bengal. Ia bertolak pinggang dan memandang dengan mata terbelalak melotot.

   “Siapa yang minta kau tolong? Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku? Dan mengapa pula yang kau tolong hanya aku seorang? Kenapa yang lain-lain kau diamkan saja?”

   Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si pemuda. Pemuda itu kelihatan kewalahan, akan tetapi dia menjawab juga,

   “Karena aku melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-kalau engkau akan celaka di tangan mereka.”

   “Huh, begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki biasa, tentu engkau tidak akan perduli. Engkau hanya menjadi penolong perempuan saja? Hemm, di situ sudah terdapat pamrih yang kotor!”

   Pemuda itu menjadi marah, mengepal tinju akan tetapi dia tetap dapat menguasai dirinya dan diapun membalikkan tubuhnya dan berkata,

   “Sesukamulah. Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat tinggal!”

   Pemuda itu meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam. Gadis itupun tertawa, dengan suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu menjadi marah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan tetapi dia tidak mungkin dapat memperlithatkan kemarahannya dengan bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi seorang gadis muda yang hidupnya demikian sengsara, sampai-sampai menyamar sebagai seorang pemuda untuk menghindarkan kesuiltan-kesulitan. Seorang gadis yang tidak mempunyai tempat tinggal, yatim piatu dan miskin. Dia percaya akan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum.

   Biarpun hanya seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri dara remaja itu yang mengagumkan hatinya. Dara itu sedemikian beraninya! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang pendekar. Wanita muda itu sama sekali, tidak cengeng, dan sama sekali tidak kelihatan ketakutan walaupun terancam malapetaka hebat, walaupun bahkan sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main! Pemuda itu lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan di mana dia tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal di situ karena dia sedang menanti datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga hari lagi di Puncak Bukit Perahu. Dia datang sebagai wakil ayahnya, juga mewakili partai ayahnya yang berada jauh di utara, di luar Tembok Besar.

   Akan tetapi, biarpun dia mewakili ayahnya, dia hanya datang sebagai peninjau saja. Ayahnya melarangnya untuk melibatkan diri atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian dan permusuhan. Pemuda ini bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis, telah diceritakan bahwa Cia Han Tiong putera dari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, telah menikah dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, di luar Tembok Besar. Mereka hidup rukun dan saling mencinta, dan dikaruniai seorang putera yang mereka beri nama Cia Sun. Tentu saja, sebagai seorang pendekar sakti, Cia Han Tiong mewariskan ilmu-ilmunya kepada puteranya itu sehingga setelah dia berusia dua puluh dua tahun sekarang ini,

   Cia Sun telah menguasai semua ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-Ling-Pai, kemudian mahir pula ilmu Hokmo Cap-shaciang. Cia Sun berwatak pendiam dan serius, seperti ayahnya. Namun perasaannya halus seperti ibunya dan biarpun dia tidak dapat disebut tampan, namun harus diakui bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar karena pendiam dan seriusnya. Seperti diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis, terdapat hubungan yang amat erat. Mereka adalah saudara angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung saja. Biarpun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan,

   Di antara keduanya tidak pernah sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih sayang antara saudara itu. Tentu saja Cia Sun sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dianggapnya yatim piatu dan miskin, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya itu dan keluarganya, akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari ayahnya. Menurut keterangan ayahnya, pamannya itu yang berjuluk Pendekar Sadis sesungguhnya adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biarpun belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat kepada pamannya itu.

   Ketika isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan isterinya. Mereka hidup di tempat yang amat sepi, jauh di utara dan tetangga mereka hanyalah penduduk liar di dusun-dusun yang amat jauh. Ketika mereka hidup berdua, hal ini sama sekali tidak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan tetapi setelah Cia Sun terlahir, mereka membayangkan betapa akan sepinya kehidupan putera mereka kalau di tempat itu tidak ada manusia lain kecuali mereka bertiga saja. Maka Cia Han Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai persilatan yang diberi nama Pek-Liong-Pang (Partai Naga Putih). Dia mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid.

   Kini, setelah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-Liong-Pang juga sudah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggauta sebanyak lima puluh orang lebih. Belasan orang murid yang sudah dianggap lulus oleh ketuanya kini telah meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-Liong-Pang sehingga nama perkumpulan ini mulai dikenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan menjadi tempat penggemblengan calon-calon pendekar di utara. Demikianlah keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang mentaati pesan ayahnya, tidak mudah melibatkan diri dengan urusan orang lain.

   Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa ke markas, Dia merasa penasaran dan tertarik sekali. Diam-diam dia membayangi mereka dan dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke dalam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan. Ketika dia melihat Sui Cin diperiksa, mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia merasa tidak tega. Tadinya dia memang mendiamkan saja pemeriksaan itu karena dianggapnya sudah selayaknya kalau komandan itu melakukan penyelidikan karena diapun sudah mendengar betapa banyak perajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di kuil Dewi Laut. Akan tetapi, ketika melihat bahwa gembel muda itu adalah seorang dara, hatinya merasa tidak tega.

   Dia lalu turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang tepat mengenai jalan derah di dekat pelipis komandan gendut itu sehingga mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu disuruh tahan dalam sel. Malamnya, dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Sungguh di luar dugaannya bahwa selain tabah, gadis itu memang amat aneh. Ditolong tidak bersyukur, eh, malah marah-marah! Akan tetapi, sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik hatinya, membuat malam itu Cia Sun merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya pada diri orang lain, apalagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mencemoohkannya, terbayang saja di depan matanya.

   “Ihh, mengapa aku ini?”

   Pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibunya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah. Dia selalu menolak karena memang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang dan ingin segera mempunyai cucu! Teringat akan hal itu, wajahnya menjadi merah. Mengapa tiba-tiba dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah memasuki otaknya, dan apa hubungannya gadis gembel itu dengan pernikahan? Wajahnya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apa artinya ini? Inikah yang dinamakan jatuh cinta seperti yang seringkali dibacanya dari buku-buku akan tetapi yang belum pernah dirasakannya itu?

   Ketika dia termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-Liong-Pang, jatuh cinta kepada seorang gadis gembel! Baginya sendiri seorang pendekar muda yang sejak kecil digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan tidak membeda-bedakan antara kaya miskin. Akan tetapi dia dapat melihat betapa nama besar Pek-Liong-Pang yang dijunjung tinggi oleh para pendekar murid Pek-Liong-Pang dan juga oleh orang-orang kang-ouw, dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi membuat keluarga Cia terikat oleh belenggu “kehormatan! dan kemuliaan sehingga mereka tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau mencemarkan keharuman nama Pek-Liong-Pang itu!

   Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Bengtiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun 1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di Tiongkok, yaitu bahwa tidak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam (pembeser kebiri). Kaisar Ceng Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat kepalsuan-kepalsuan para thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka meninggalkan istana secara diam-diam dan melakukan perjalanan seorang diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan barsenang-senang. Dia mengabaikan urusan kerajaan sehingga tentu saja kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim.

   Liu-thaikam ini berasal dari utara, dari keluarga petani miskin. Akan tetapi karena dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana semenjak remaja. Liu Kim pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela dikebiri untuk mempertahankan kedudukannya. Dia memperoleh kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaisar Ceng Tek diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang sudah berhasil menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lalu diangkat menjadi kepala thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali karena para thaikam merupakan orang-orang kepercayaan kaisar.

   Pria yang dikebiri itu tidak lagi dapat berhubungan dengan wanita, akan tetapi karena nafsunya masih ada, maka sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu yang tak dapat tersalurkan itu kepada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali kepuasan karena kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, dan kepuasan karena memiliki banyak harta benda. Inilah rupanya yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak dahulu selalu amat licin dan pandai menguasai kaisar sehingga mereka memperoleh kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri. Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tek telah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun menjadi kepala thaikam.

   Kekuasaan mutlak mengenai urusan dalam istana berada di tangannya. Kaisar muda usia yang lebih suka berkelana dan bersenang-senang itu percaya penuh kepada Liu-thaikam yang biarpun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingatkannya tentang kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda malah berbalik mendampratnya dan mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang dilaporkan itu. Pemerintahan kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah Kerajaan Beng. Kaisar muda amat lemah dan kurang memperhatikan kepentingan negara, walaupun dia bukanlah seorang kaisar lalim. Karena sikapnya yang kurang semangat, maka hal ini menular kepada para pejabat sehingga pada keseluruhannya,

   Pemerintah kelihatan kurang perduli dan lemah. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat sembunyi mereka dan merajalela karena alat-alat negara tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Mulailah berjangkit gangguan-gangguan keamanan di mana-mana. Yang amat menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis)! Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar. Terhadap pemerintah yang lemah, mereka tidak takut sama sekali. Dan Cap-sha-kui ini bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat,

   Melainkan berikut anak buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara, sampai wilayah kota raja. Keadaan inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu yang terletak di lembah Sungai Huangho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao juga untuk menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil ayahnya yang menjadi ketua Pek-Liong-Pang. Memang sudah lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-Liong-Pang tersebar sebagai pendekar-pendekar di sekitar kota raja, maka Cia-pangcu lalu mengutus puteranya sebagai wakil Pek-Liong-Pang, untuk melihat suasana dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.

   “Kita tidak mengerti persoalannya secara mendalam,”

   Demikian Cia-pangcu memesan kepada puteranya.

   “Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan dan para pendekar berkumpul untuk merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semua itu ada hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Oleh karena itu, Sun-ji (anak Sun), engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri.”

   Demikianlah, ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin tanpa dia mengetahui bahwa gadis gembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang sudah lama dikaguminya, yaitu Pendekar Sadis. Setelah melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tak dapat tidur nyenyak karena selalu membayangkan waiah si gadis gembel, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu yang berada jauh di sebelah barat. Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada di tempat sunyi, Cia Sun lalu mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang saja. Pemuda ini memang hebat.

   Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda yang sejak kecil berolah raga, Wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sutera kuning. Pakaiannya yang sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam, demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera. Ketika wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biarpun dia tidak memiliki wajah yang tampan, namun penuh kejantanan. Larinya cepat bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis gembel yang semalam membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menunggang seekor kuda kecil cebol dan melarikan kudanya itu tak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula. Gadis itu adalah Cui Sin dan iapun tidak tahu bahwa baru saja pemuda yang semalam menolongnya itu juga melalui jalan ini dengan berlari cepat menuju ke barat.

   Karena hari yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih kurang dua hari lagi, maka jalan masih sunyi dan selama itu Cia Sun belum berjumpa dengan pendekar lain yang dikenalnya atau orang-orang yang patut diduga pendekar. Orang-orang yang ditemuinya di jalan sehari itu hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao. Ketika dia melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menembus hutan itu sebelum gelap dan kini matahari telah condong ke barat. Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi setelah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang besar sehingga nampak menyeramkan dan liar. Bahkan jalan raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu.

   Agaknya para pejalan itu lebih suka mengambil jalan memutar dari pada harus memasuki hutan yang nampak liar itu. Akan tetapi, Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja itu. Di tempat tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutanhutan yang lebih luas dan lebih liar lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat. Akan tetapi, ketika dia tiba di tengah hutan di mana terdapat pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke bawah. Sebagai seorang pendekar yang lihai, dengan kewaspadaan yang selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga,

   Cia Cun melempar tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik. Betapa kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular besar. Badan ular itu melilit cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah. Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini tentu akan dapat menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orangpun akan dapat dimasukkan ke dalam perutnya. Ular besar itu mengayun kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Tangan pendekar muda ini kalau dipukulkan seperti itu hebatnya melebihi palu godam baja.

   “Krekkk!”

   Ular itu terkulai dan perlahan-lahan, libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-geliat akan tetapi kepalanya tidak dapat digerakkan karena tengkuknya patah-patah. Dan pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali. Cia Sun memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia melihat betapa dirinya telah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berbagai jenis dan warna, ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang memuakkan.

   “Heh-heh-heh! Tar-tar-tarrr… hi-hik!”

   Cia Sun cepat menengok dan alisnya berkerut, sepasang matanya mencorong penuh kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bongkok tahu-tahu sudah berada di situ, memegang sebatang cambuk yang ekornya sembilan. Nenek itu membunyikan cambuknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan nampak semacam asap mengepul dari ujung cambuknya, diseling suara ketawa terkekeh menyeramkan. Dan Cia Sun melihat kenyataan bahwa ular-ular itu agaknya terkendali oleh suara ledakan cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular dan telah mengerahkan peliharaannya yang merupakan ternak mengerikan ini untuk mengepungnya.

ASMARA BERDARAH JILID 03

   Cia Sun mengingat-ingat. Para suhengnya, murid-murid Pek-Liong-Pang yang sudah menjadi pendekar dan mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw, pernah menceritakan kepadanya tentang dunia kang-ouw, tentang tokoh-tokoh penting dari golongan putih maupun golongan hitam. Dia pernah mendengar akan Cap-sha-kui dan di antara tiga belas orang tokoh sesat itu kabarnya terdapat seorang nenek yang berjuluk Kiu-bwee Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan). Dia sudah mendengar betapa lihainya nenek ini, kalau benar Kiu-bwee Coa-li. Menurut yang didengarnya, di antara Tiga Belas Iblis, yang paling tinggi ilmunya adalah empat orang dan di antaranya adalah nenek ini, maka dia bersikap tenang dan waspada. Ular-ular itu tidak dikhawatirkannya, akan tetapi dia harus berhati-hati terhadap nenek yang menjadi pawang atau penggembala ular itu.

   “Hemm, apakah engkau Kiu-bwee Coa-li?”

   Tanyanya, suaranya tetap tenang.

   “Heh-heh-heh, engkau masih muda sudah mengenalku, dan sekali pukul dapat membunuh ular kembang. Engkau tentu seorang pendekar, ya? Seorang tokoh muda golongan putih? Hihik, aku paling suka darah pendekar dan ular-ularku ini paling suka daging pendekar, Heh-heh! Tar-tar-tar-tarrr…”

   Cambuk berekor sembilan itu bergerak dan meledak-ledak. Cia Sun mengelak dari sambaran empat ekor ujung cambuk itu, akan tetapi dia melihat bahwa nenek itu bukan hanya menyerangnya, melainkan juga memberi aba-aba kepada ular-ularnya karena kini, sambil mengeluarkan suara berdesis-desis, binatang-binatang mengerikan itu mulai menyerangnya dari segala penjuru!

   Cia Sun menggerakkan kaki tangannya. Kakinya terayun, menendangi ular-ular yang berani mendekatinya, sedangkan kedua tangannya bergerak mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang. Angin yang kuat menyambar ke arah ular-ular itu dan belasan ekor ular berhamburan seperti daun kering dilanda angin. Melihat kehebatan pemuda ini, nenek itu meringkik, setengah terkekeh setengah menangis dan pecutnya meledak-ledak semakin gencar, bukan hanya menghujani tubuh Cia Sun dengan serangan cambuknya yang berujung sembilan, akan tetapi juga untuk memberi komando kepada ular-ularnya yang menjadi semakin nekat menyerbu ke arah Cia Sun. Bahkan di antara ular-ular itu terdepat ular-ular cobra yang berdiri dengan leher berkembang, ada pula ular yang seperti dapat terbang karena ular-ular ini kecil-kecil dan ada yang kemerahan, meloncat dan menerkam seperti terbang ke arah leher dan tubuh Cia Sun!

   “Hemmm!”

   Pemuda itu mendengus dan ketika tangannya dikibaskan, ular-ular yang berani terbang menyerangnya itu terbanting hancur.

   Terpaksa Cia Sun berloncatan menjauh. Berbahaya juga kalau dia harus menjaga semua serangan itu. Dari atas sembilan ujung cambuk si nenek iblis, dan dari bawah ular-ular yang mengurungnya. Pada saat dia merobohkan ular-ular terbang, kembali terdengar ledakan dan sebuah di antara ujung-ujung cambuk itu menyambar ke arah pelipisnya dengan tenaga totokan yang amat berbahaya! Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, dan karena ujung cambuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh, maka menangkis dengan lenganpun membuka kesempatan bagi lawan untuk menotok ke arah jalan darah di bagian lengan dan hal itupun cukup berbabaya. Maka, satu-satunya jalan bagi Cia Sun hanyalah menggerakkan tangannya dan jari telunjuknya mencuat dan menyambut ujung cambuk lawan itu.

   “Tukk…”

   Bagaikan seekor ular hidup saja, begitu bertemu dengan telunjuk kiri Cia Sun, ujung cambuk itu membalik dan melingkar, dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget karena melalui cambuknya ia dapat merasakan getaran yang amat kuat muncul dari sambutan tusukan jari itu. Ia tidak tahu bahwa itulah satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari pemuda itu, yang disebut It-sin-ci (Satu Jari Sakti), semacam ilmu menotok jalar darah yang lihai sekali karena ilmu ini khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kebal,

   Juga untuk menghadapi ilmu sakti Thi-khi-I-Beng, yaitu tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan. Nenek itu mundur dan merasa agak gentar, maklum betapa lihainya pemuda ini dan iapun bersikap hati-hati. Cambuknya meledak-ledak dan ular-ularnya menjadi semakin ganas menyerbu ke arah Cia Sun. Cia Sun merasa kewalahan kalau harus menghadapi demikian banyaknya ular, apalagi banyak di antara ular-ular itu berbisa dan semburan-semburan yang mengandung racun membuat dia merasa muak dan pening. Sementara itu, nenek pawang ular tadi mulai terkekeh melihat pemuda itu kewalahan dan ia tetap membunyikan cambuknya yang menjadi komando bagi ular-ular itu sambil mendekati sebuah gubuk reyot yang terdapat di dekat tempat itu.

   “Heh-heh-heh, anak-anakku, serang dia, robohkan dia dan gerogoti dagingnya. Ha-ha, daging pendekar memang liat akan tetapi sedap!”

   Tiba-tiba muncul seorang gadis yang menunggang seekor kuda cebol. Gadis itu menahan kudanya dan memandang ke depan, tersenyum melihat Cia Sun sibuk dikepung dan dikeroyok ular-ular itu.

   Akan tetapi ketika ia melihat Kiu-bwee Coa-li yang terkekeh sambil membunyikan cambuknya untuk memberi semangat dan komando kepada ular-ularnya, gadis itu menjadi marah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin yang telah dapat menyusul Cia Sun. Tadinya ia melihat Cia Sun di dalam hutan itu dikeroyok ular, ia merasa geli, akan tetapi begitu melihat si nenek yang menyeramkan, ia segera mengenalnya. Ayah ibunya sudah menceritakan kepadanya tentang nenek ini yang selain lihai juga amat kejam dan jahat. Sui Cin menggerakkan pinggulnya dan tubuhnya melayang ke atas, tangannya meraih ke arah ranting-ranting pohon, terdengar suara ranting patah dan ketika ia meloncat turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting yang masih penuh dengan daun hijau.

   “Hei, Kiu-bwee Coa-li nenek iblis! Engkau lebih menjijikkan dari pada ular-ularmu!”

   Sui Cin berseru dan iapun sudah menerjang ke depan, menggerakkan senjatanya yang aneh, yaitu ranting penuh daun itu.

   Sebagai puteri suami isteri pendekar sakti yang sejak kecil sudah digembleng mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi, Sui Cin tidak pernah membawa senjata. Memang, bagi orang yang sudah memiliki tingkat ilmu silat seperti gadis ini, senjata tidak begitu dibutuhkan lagi. Kedua kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang amat ampuh dan juga di mana saja, benda apa saja dapat dipergunakannya sebagai senjata kalau perlu. Kalau kini ia mempergunakan ranting itu sebagai senjata adalah karena ia melihat betapa nenek itu memegang cambuk ekor sembilan, senjata yang lemas dan panjang, maka amatlah berbahaya dilawan dengan tangan kosong dan senjata yang paling tepat untuk menghadapinya adalah sebatang ranting.

   “Syuuuuttt… wirrr…”

   Ranting yang mempunyai banyak anak ranting penuh daun itu menyambar dengan dahsyat. Kiu-bwee Coa-li tentu akan memandang rendah kepada gadis ini kalau saja ia tidak mendengar betapa gadis itu begitu saja mengejeknya dan menyebut namanya. Seorang gadis yang dapat mengenalnya begitu berjumpa, tentu bukan gadis biasa dan karena saat ini memang saatnya bagi para pendekar untuk berkumpul di tempat itu, maka dapat diduga bahwa seperti si pemuda lihai, gadis inipun tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka, ketika ranting penuh daun itu menyambar iapun menggerakkan cambuknya sambil mengerahkan tenaganya.

   “Tarrr… pyuuurrr…”

   Nenek itu terkejut sekali. Bukan hanya dapat ia merasakan adanya tenaga kuat tidak lumrah bagi seorang gadis remaja di dalam ranting itu, juga tangkisannya membuat banyak daun di ranting itu rontok, aka tetapi hebatnya, rontoknya daun itu beterbangan seperti senjata rahasia piauw yang meluncur ke arah muka dan tubuhnya! Tentu saja ia menjadi repot mengelak ke sana-sini sambil menyumpah-nyumpah karena mendengar gadis itu mentertawakannya.

   “Hihik, julukanmu dirobah saja menjadi Kiu-bwee Hek-wan (Lutung Hitam Ekor Sembilan), nenek iblis. Kalau engkau menari-nari seperti itu, persis lutung deh!”

   Sui Cin yang maklum bahwa nenek itu lihai sekali, biarpun mentertawakan dan mengejek, namun ia sama sekali tidak berani main-main dan sambil tertawa iapun sudah menerjang lagi dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan kedua tangannya karena ia sudah menyimpan rantingnya di bawah lengan. Dengan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang dipelajarinya dari ibunya, dara ini melakukan penekanan. Kembali Kiu-bwee Coa-li terkejut mengenal ilmu silat yang amat aneh, indah dan juga ganas ini, mirip ilmu kaum sesat! Tentu saja ia tidak tahu bahwa ibu kandung gadis ini pernah menjadi datuk selatan kaum sesat yang berjuluk Lamsin (Malaikat Selatan) maka tentu saja ilmu silatnya ganas!

   Terjadilah perkelahian yang seru antara Siu Cin dan Kiu-bwee Coa-li dan setelah kini nenek itu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, perlahan-lahan Sui Cin mulai terdesak juga. Akan tetapi, gadis ini menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan ampuh. Sementara itu, ketika Cia Sun sedang menghadapi pengeroyokan banyak ular, pemuda ini melihat munculnya Sui Cin. Dia terkejut dan merasa khawatir sekali ketika mengenal gadis yang pernah menyamar sebagai pemuda dan pernah ditolongnya lari dari tahanan itu. Dapat dibayangkan betapa kaget, khawatir dan juga heran rasa hatinya ketika dia melihat gadis itu menyerang Kiu-bwee Coa-li dengan beraninya,

   Juga semakin heran bagaimana gadis aneh itu mengenal pula si nenek iblis. Akan tetapi keheranannya memuncak ketika dia melihat betapa gadis itu ternyata lihai bukan main dan dapat mengimbangi kepandaian Kiu-bwee Coa-li! Kalau dia tidak melihat sendiri, hanya mendengar cerita orang saja, tentu dia tidak akan mau percaya. Gadis itu ketika ditangkap sebagai seorang gadis gembel yang menyamar pemuda, adalah seorang gadis yang lemah biarpun memiliki keberanian amat besar. Buktinya, ditangkap tidak dapat melawan dan ketika ditahanpun tidak mau membebaskan dirinya. Kalau bukan dia datang menolong, tentu gadis itu akan celaka. Akan tetapi bagaimana kini ia muncul dalam pakaian yang tidak karuan pula, penuh tambalan dan potongannya lucu, membayangkan kemiskinan,

   Akan tetapi memiliki kepandaian yang tinggi sehingga mampu menandingi seorang datuk sesat lihai seperti Kiu-bwee Coa-li? Dan tiba-tiba saja wajahnya berobah merah. Dialah yang tolol! Tentu gadis itu berpura-pura ketika menyamar sebagai pria. Pura-pura tolol, pura-pura bodoh tidak pandai silat. Akan tetapi benarkah demikian? Bagaimana kalau yang muncul ini seorang gadis lain yang memiliki wajah mirip dengan gadis yang pernah ditolongnya itu? Akan tetapi, suaranya sama benar dan bengalnya juga sama ketika gadis itu mengejek Kiu-bwee Coa-li. Bagaimanapun juga, kemunculan Sui Cin menggembirakan hatinya apalagi melihat gadis itu kini berkelahi menggunakan ranting. Baru dia seperti diberi ingat bahwa untuk menghadapi pengeroyokan ular-ular itu, senjata ranting seperti gadis itulah yang paling tepat.

   Diapun berloncatan, dikejar oleh ular-ular itu dan setelah tiba di bawah pohon, dia meloncat dan mematahkan sebatang ranting panjang. Kemudian mengamuklah Cia Sun! Dengan rantingnya, dia menghajar ular-ular itu dan setiap kali rantingnya menyambar tubuh ular, ular yang kena disabet tentu melingkar-lingkar kesakitan karena sambungan tulangnya patah-patah dan hal ini membuat binatang itu tidak mampu merayap lagi. Amukan Cia Sun membuat ular-ular itu menjadi gentar, apalagi karena kini tidak ada komando dari suara cambuk Kiu-bwee Coa-li yang sedang mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatian untuk menghadapi gadis yang lihai itu. Maka ular-ular itu menjadi panik dan akhirnya ketakutan, lari meninggalkan bangkai teman-teman mereka dan teman-teman yang melingkarlingkar terluka tak mampu melarikan diri lagi itu.

   Setelah ular-ular itu pergi menjauh, Cia Sun membalikkan tubuhnya dan menonton perkelahian antara gadis gembel dan nenek iblis. Dan dia tertegun, terbelalak malah ketika melihat ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu. Tentu saja dia mengenal Thai-kek Sin-kun! Itulah ilmu dasar yang diberikan ayahnya kepadanya dan ilmu ini memang tepat sekali dipergunakan untuk mempertahankan diri terhadap tekanan lawan yang lebih lihai! Dan gadis itu memainkannya sedemikian indahnya. Begitu aseli dan itulah Thai-kek Sin-kun yang tulen. Siapakah gadis yang pandai memainkan Thai-kek Sin-kun seindah itu? Akan tetapi Cia Sun tidak mau memusingkan hal ini pada saat itu. Bagaimanapun juga, dia merasa yakin bahwa tentu ada hubungan dekat antara gadis itu dengan keluarganya, atau setidaknya dengan Cin-Ling-Pai,

   Maka tanpa banyak bicara lagi diapun sudah langsung menyerbu dengan senjata rantingnya. Kini dua batang ranting yang digerakkan dengan cepat dan kuat mengeroyok Kiu-bwee Coa-li yang segera terdesak hebat. Baru menghadapi dara remaja itu saja dia sudah merasa penasaran dan pusing karena sedemikian lamanya belum mampu merobohkannya, hanya mampu mendesak saja. Apalagi kalau pemuda yang lihai ini maju pula. Bisa berbahaya bagi dirinya. Bagi seorang tokoh sesat, tidak ada rasa malu bagi Kiu-bwee Coa-li. Yang penting dalam perkelahian, ia harus menang dan kalau berbahaya, ia tentu akan lari. Maka iapun mengeluarkan teriakan-teriakan panjang dan dari ujung cambuk itu meluncurlah Jarum-jarum halus beracun. Sembilan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun dan Sui Cin.

   “Awas senjata rahasia beracun!”

   Seru Cia Sun memperingatkan gadis itu. Akan tetapi, tidak perlu Sui Cin diperingatkan.

   Seorang gadis yang sudah memiliki tingkat kepandaian seperti Sui Cin akan selalu waspada dan serangan tiba-tiba itu tentu saja dapat dihindarkannya dengan baik. Rantingnya membentuk gulungan sinar hijau dan Jarum-jarum yang menyambar ke arahnya tertangkis, bukan runtuh begitu saja melainkan langsung membalik dan meluncur, mengejar pemiliknya, yaitu Kiu-bwee Coa-li yang melarikan diri. Nenek itu dapat menghindar dengan lompatan dan terus melarikan diri. Sedangkan Cia Sun sudah meloncat ke samping menghindarkan diri dari Jarum-jarum yang menyambar ke arahnya. Ketika mereka memandang ke depan, nenek itu telah lenyap, telah lari jauh sekali maka mereka berduapun tidak mengejar. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Sui Cin tersenyum dan berkata,

   “Kita sudah lunas, ya? Engkau pernah menolongku satu kali dan kini akupun sudah membantumu satu kali. Jadi satu-satu, lunas, bukan?”

   Cia Sun semakin tertarik. Jantungnya seperti disedot rasanya dan dia memandang wajah yang lucu itu dengan senyum kagum. Biasanya Cia Sun berwatak pendiam, serius, tidak suka berkelakar, dan sedikit bicara. Akan tetapi, berhadapan dengan gadis ini, dia merasa gembira sekali dan diapun menanggapi.

   “Nona, ketika aku menolongmu, ternyata engkau hanya pura-pura saja bodoh sehingga hal itu bukan merupakan pertolongan. Akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak muncul dan membantuku menghadapi nenek iblis itu, tentu akan terancam bahaya besar diriku. Maka, sudah sepatutnya kalau aku menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu tadi.”

   “Hemm… siapa bicara tentang budi pertolongan? Engkau kebetulan melihat aku dalam kesukaran dan menolong tanpa sengaja, sekarang akupun tanpa disengaja melihat engkau dikeroyok ular lalu turun tangan membantu. Tidak ada budi. Aku tidak pernah hutang budi atau melepas budi.”

   Ucapan seorang pendekar sejati, pikir Cia Sun yang menjadi semakin kagum. Begitu kagum hatinya sampai dia tidak lagi mampu bicara, hanya memandang kepada wajah dara itu seperti orang terpesona. Melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan bengong seperti orang bingung, Sui Cin tersenyum geli.

   “He, apa yang kau pandang?”

   Tanyanya tiba-tiba sehingga mengejutkan Cia Sun.

   “Eh, tidak apa-apa… aku… hanya heran…”

   “Mengapa heran? Apa rupaku tidak lumrah manusia?”

   “Bukan begitu, tapi aku melihat nona mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bagaimana nona dapat mempelajari ilmu itu?”

   “Hemm, dan engkau, bagaimana engkau dapat mengenal Ilmu Thai-kek Sin-kun yang kumainkan?”

   Suara itu lebih heran dan lebih curiga.

   “Karena aku heran sekali… ilmu itu adalah milik keturunan Cin-Ling-Pai…”

   “Kalau begitu…”

   “Siapakah nona yang pandai ilmu silat keluarga kami?”

   “Dan siapa pula engkau ini yang mengaku-aku keluarga kami?”

   “Ehh… jadi nona memang ada hubungan dengan Cin-Ling-Pai…? Siapakah namamu, nona?”

   “Namamu dulu.”

   “Baiklah, namaku Sun, aku she Cia…”

   “Haiii… Engkau Cia Sun dari Lembah Naga? Wah, wah… Aku… aku she Ceng…”

   “Astaga… kau… kau ini Sui Cin anak yang bengal dulu itu?”

   Sui Cin cemberut dan menghardik,

   “Siapa yang bengal?”

   Cia Sun tersenyum lebar dan menjura.

   “Maaf, maaf… membayangkan engkau ketika masih kecil, sukarlah dipercaya engkau sekarang sudah menjadi begini… besar dan lihai!”

   “Memangnya aku disuruh menjadi anak kecil selamanya? Dan jangan katakan aku bengal!”

   “Ha-ha, siauw-moi, lupakah engkau ke pada dahiku yang dahulu membenjol sebesar telur ayam karena kau sambit dengan batu?”

   Sui Cin tertawa dan menutupi mulutnya walaupun suara ketawanya lepas bebas. Lalu disambungnya dengan kata-kata,

   “Wah, tentu saja aku ingat. Ayah ibuku memarahiku dan hampir aku kena digebuk ayah! Gara-gara engkau. Kenapa dahimu membenjol, baru kena batu begitu saja. Dan sekarang, Sun-ko, jangan kau melapor lagi kepada ayah ibu kalau bertemu dengan mereka, ya?”

   “Melapor bahwa engkau menyamar sebagai gembel, bahkan sebagai pemuda gembel yang mencuri bakpao dan membiarkan dirimu ditangkap dan ditahan? Ah, tidak, Cin-moi. Kita bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sungguh telah menjadi seorang gadis yang…”

   “… bengal…?”

   “Tidak! Tidak… Engkau sudah besar dan sungguh hebat kepandaianmu, bahkan Kiu-bwee Coa-li kewalahan menandingimu. Thai-kek Sin-kun tadi kaumainkan amat indah dan hebat.”

   “Sudah, jangan terlalu memuji. Bisa membengkak dan pecah kepala ini nanti. Kalau tidak kau bantu, apa kau kira aku dapat menang menghadapi nenek ular itu? Sungguh mengherankan sekali, apakah benar-benar Cap-sha-kui telah keluar dari sarangnya dan mengapa mereka bahkan datang ke tempat ini di mana para pendekar akan mengadakan pertemuan?”

   “Bukankah baru seorang saja Kiu-bwee Coa-li tadi yang muncul?”

   “Sudah tiga bersama nenek itu! Sebelumnya aku sudah bertemu dengan dua orang lain di antara mereka, di kuil Dewi Laut, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo.”

   Cia Sun mengangguk-angguk.

   “Ah, kalau begitu agaknya benar mereka itu telah keluar dari sarang. Bahkan baik untuk memperingatkan para sahabat dalam pertemuan nanti.”

   “Kalau begitu engkau hendak pergi menghadiri pertemuan para pendekar itu, Sun-ko?”

Sikap dan suara Sui Cin demikian akrab, seolah-olah selama ini Cia Sun selalu bergaul dengannya. Padahal, selama hidupnya, baru satu kali ia berjumpa dengan Cia Sun, yaitu ketika ia diajak ayah bundanya mengunjungi Lembah Naga, kira-kira sembilan tahun yang lalu. Ketika itu ia baru berusia enam tahun dan Cia Sun berusia tiga belas tahun. Ia bersama orang tuanya tinggal setengah bulan di Lembah Naga dan setelah mereka pulang, ia tidak pernah lagi berjumpa dengan Cia Sun. Akan tetapi, karena memang gadis ini memiliki pembawaan riang dan ramah jenaka, maka ia mudah akrab dengan siapa saja. Cia Sun sendiri yang biasanya pendiam dan serius, juga agak malu kalau berdekatan dengan wanita, sekali ini kehilangan rasa canggungnya berkat sikap Sui Cin yang ramah itu.

   “Benar, dan engkau sendiri, Cin-moi?”

   “Akupun hendak berkunjung ke sana.”

   “Mewakili orang tuamu?”

   “Tidak. Sudah setengah tahun aku meninggalkan Pulau Teratai Merah. Hanya kebetulan dalam perjalanan aku mendengar tentang rencana pertemuan itu maka aku sengaja hendak menonton. Dan engkau?”

   “Aku mewakili Pek-Liong-Pang, mewakili ayah.”

   “Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak enak kalau kemalaman dalam hutan. Apalagi bau bangkai ular-ular itu amat busuk.”

   “Baiklah, Cin-moi. Kau naiki saja kudamu, biar aku jalan kaki. Kita dapat bercakap-cakap di perjalanan.”

   Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sui Cin menunggang kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelahnya. Malam telah tiba dan cuaca mulai gelap ketika mereka keluar dari dalam hutan. Karena tidak nampak dusun di dekat situ, keduanya terpaksa melewatkan malam di tepi hutan. Mereka membuat api unggun dan Sui Cin mengeluarkan bekal roti dan daging keringnya, sedangkan Cia Sun mengeluarkan bekal araknya yang masih seguci penuh. Setelah makan sekedarnya untuk menghilangkan rasa lapar dan haus, keduanya duduk menghadapi api unggun dan melanjutkan percakapan mereka.

   “Sun-ko, sudah banyak sekah aku mendengar tentang orang tuamu, terutama sekali tentang ayahmu. Ayahku tiada bosannya mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar terbesar di dunia ini dan ayahmulah satu-satunya orang yang amat dihormati ayahku.”

   Cia Sun menghela napas.

   “Di antara ayah kita berdua memang terjalin pertalian persaudaraan yang amat kuat, melebihi saudara sekandung. Ayahku juga tiada bosannya membicarakan ayahmu dan seringkali dia mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar yang paling lihai dan satu-satunya orang yang amat disayang oleh ayahku.”

   “Kalau begitu, orang tua kita memiliki pertalian persaudaraan yang amat erat, dengan sendirinya kitapun dapat dibilang masih keluarga sendiri, bukan?”

   “Begitulah, siauw-moi.”

   “Ih, jangan sebuat aku siauw-moi (adik kecil), aku tidak kecil lagi, Sun-ko. Usiaku sudah lima belas tahun!”

   “Lima belas tahun masih kecil namanya.”

   “Siapa bilang? Bagi seorang wanita, usia itu sudah berarti dewasa.”

   “Baiklah, maafkan aku. Aku akan menyebutmu Cin-moi saja.”

   “Maaf-maafan segala, engkau terlalu sungkan, Sun-ko. Kalau aku tidak salah ingat, engkau lebih tua lima tahun dari pada aku.”

   “Tujuh tahun. Usiaku sekarang sudah dua puluh dua tahun.”

   “Engkau tentu sudah menikah…”

   Perkataan ini membuat Cia Sun terkejut dan tertegun sejenak tak dapat menjawab karena bagi seorang pendiam dan sopan serta serius seperti dia, tak pernah terbayangkan akan menerima pertanyaan seperti itu dari seorang gadis yang pernah membuat dia tidak mampu tidur nyenyak semalam suntuk. Akan tetapi ketika dia memandang dan mereka bertemu pandang, dia tidak melihat sesuatu dalam sinar mata gadis itu melainkan kejujuran dan pertanyaan yang terbuka tanpa perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Maka diapun menggeleng.

   “Kenapa engkau menyangka demikian?”

   “Karena usiamu sudah dua puluh dua tahun.”

   “Siapa yang mau menjadi isteri orang seperti aku ini, Cin-moi?”

   Sui Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu, melihat betapa wajah itu tiba-tiba dibayangi kemurungan. Wajah yang gagah, walaupun tidak terlalu tampan, akan tetapi wajah yang berwibawa, gagah dan membayangkan kejujuran. Wajah seorang pendekar yang perkasa. Akan tetapi pada saat itu, kegagahannya tertutup awan mendung sehingga menggelikan hatinya dan tiba-tiba Sui Cin tertawa, sekali ini lupa menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan gigi putih dan rongga mulut yang merah sekali seperti dibakar warna api unggun, dan ujung lidahnya nampak sebentar. Mulut itu tertutup kembali dan Sui Cin memandang kepada api unggun. Cia Sun kebingungan, merasa ditertawakan, mencari-cari kesalahan apa yang terkandung dalam ucapannya, kelucuan apa sehingga dara itu tertawa. Karena tidak dapat menemukan, diapun bertanya,

   “Cin-moi, kenapa engkau tertawa?”

   Sui Cin masih nampak termenung sambil menatap api unggun, kemudian bicara, seperti bicara kepada api unggun, suaranya lirih, satu-satu dan jelas,

   “Dia seorang pendekar perkasa berkepandaian tinggi, putera ketua Pek-Liong-Pang penghuni Lembah Naga yang amat terkenal, disegani kawan ditakuti lawan dan dia bertanya siapa yang mau menjadi isteri seorang seperti dia! Padahal, gadis-gadis dari semua penjuru akan berbondong-bondong datang berlomba untuk dapat menjadi jodohnya.”

   Wajah pendekar itu berobah merah.

   “Ah, Cin-moi, harap jangan memperolok…”

   “Siapa berolok-olok? Sun-ko, engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, hanya ada yang tidak menyenangkan hatiku… yaitu… hemmm… engkau terlalu canggung, engkau terlalu sopan, terlalu halus dan lemah, hemm… sudahlah, aku mau tidur.”

   Berkata demikian, dara itu lalu merebahkan diri di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu di bawah pohon bertilamkan rumput kering. Dia rebah miring dan tidak bergerak lagi dan tak lama kemudian pernapasannya menunjukkan bahwa ia memang sudah pulas.

   Malam itu kembali Cia Sun tidak dapat tidur. Kata-kata dan sikap Sui Cin yang membuat dia duduk bengong menghadapi api unggun dengan alis berkerut, juga dia harus berjaga. Siapa tahu nenek pawang ular itu muncul lagi dan setelah dia melakukan perjalanan bersama Sui Cin, dia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan dara ini. Dia sungguh bingung menghadapi sikap Sui Cin. Mengapa hatinya tidak senang karena dia… hemm, dianggap canggung, sopan, halus dan lemah? Apa maksudnya? Dia tidak marah disebut demikian, hanya dia ingin tahu sekali mengapa hati gadis itu menjadi tidak senang. Akan tetapi dia tidak berani bertanya, takut kalau-kalau pertanyaannya atau desakannya akan membuat Sui Cin menjadi makin marah.

   Padahal dia sama sekali tidak menghendaki gadis itu marah-marah. Sama sekali tidak, bahkan dia ingin sekali membuat gadis itu bergembira. Akan tetapi bagaimana? Ada sesuatu pada diri gadis ini yang membuatnya tertarik, untuk menyelidikinya, untuk mengenalnya lebih baik. Dan setelah ternyata bahwa gadis yang tadinya disangka gadis gembel aneh itu adalah puteri Pendekar Sadis, pamannya sendiri, kesan dalam batinnya menjadi semakin mendalam! Ketika pada keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan, di sepanjang perjalanan Cia Sun dengan hati-hati menjaga diri agar jangan sampai membuat adik sepupu itu menjadi tidak senang hatinya. Hubungan antara dia dan Sui Cin memang dekat sekali.

   Dilihat dari sumber perguruan silat, mereka masih terhitung saudara seperguruan. Diingat akan hubungan antara ayah mereka yang mengangkat saudara, mereka masih terhitung saudara sepupu angkat. Akan tetapi Cia Sun menemui kesulitan untuk depat menyesuaikan diri dengan gadis itu, atau mengikuti gerak-geriknya. Bagaikan seekor burung, Sui Cin adalah seekor burung walet yang amat gesit dan tidak pernah mau diam. Bagaikan bunga, ia mirip bunga hutan yang liar dan kuat, tidak takut akan badai dan panas, Wataknya lincah gembira, Kadang-kadang seperti kanak-kanak, kadang-kadang sudah matang dewasa, ada kalanya bengal suka menggoda orang, pendeknya, amat berlawanan dengan watak Cia Sun yang pendiam, serius, dan tidak banyak cakap.

   Namun, suatu keanehan terjadi dalam batin pemuda itu. Walaupun watak mereka bertolak belakang, dia merasa amat tertarik, dan kalau biasanya dia tidak suka melihat seseorang dengan sikap seperti Sui Cin, namun pada diri gadis itu, baginya nampak demikian memikat dan menyenangkan! Asmara memang merupakan suatu kekuasaan yang amat jahil dan suka menggoda hati manusia! Demikian kuatnya asmara sehingga tidak ada seorangpun manusia yang kebal atau dapat melawan kekuasaannya. Tanpa pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah melampaui masa remaja, asmara mulai mengintai dan mencari korban di antara manusia.

   Dan sekali orang terkena panah asmara, dia akan menjadi seperti linglung dan terjadilah perobahan besar-besaran dalam dirinya. Hebatnya, asmara dapat mendatangkan sorga pada seseorang sehingga batinnya merasa bergembira, segalanya nampak indah, hidup penuh arti yang menyenangkan. Di lain saat, asmara dapat meruntuhkan kesemuanya itu dan menyulap sorga berobah menjadi neraka, penuh derita batin, penuh kekecewaan, penuh sengsara. Lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil! Dan Cia Sun, untuk yang pertama kali selama hidupnya, terkena panah asmara tanpa dia sendiri menyadarinya! Dia jatuh hati kepada Sui Cin. Namun, karena pemuda ini semenjak kecil digembleng oleh orang tuanya menjadi seorang pendekar yang budiman,

   Sopan dan memegang teguh peraturan, sesuai dengan sifat seorang kuncu (budiman) seperti yang disebutkan oleh para guru besar dan para cerdik pandai, maka diapun diam saja dan hanya menyimpan peraman itu di lubuk hatinya. Pada suatu siang tibalah mereka di kaki bukit itu. Puncak Bukit Perahu telah nampak dari situ. Bukit itu memang berbentuk sebuah perahu yang terbalik, tertelungkup. Karena bentuknya itulah maka dinamakan Puncak Bukit Perahu. Puncaknya tidak runcing, melainkan seperti dasar perahu yang terbalik. Dari jauh nampak hutan-hutan yang amat subur karena bukit itu terletak di daerah lembah Sungai Huangho yang terkenal subur. Selagi keduanya melanjutkan perjalanan, Sui Cin di atas punggung kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah kirinya, tiba-tiba gadis itu menunjuk ke depan.

   “Eh, siapa itu tidur di tepi jalan?”

   Mereka berdua mempercepat jalan ke depan dan Sui Cin yang melihat bahwa yang menggeletak di tepi jalan itu adalah seorang wanita, cepat meloncat turun dan sebentar Saja ia sudah berlutut di dekat mayat itu. Mayat seorang gadis yang usianya sebaya dengannya, mayat yang setengah telanjang, mayat yang diperkosa dan dibunuh secara kejam.

   Kejam karena tubuh itu tidak terluka, akan tetapi setelah diperiksa, di pelipisnya ada tanda jari hitam. Tahulah Sui Cin bahwa gadis ini dibunuh oleh orang yang memiliki ilmu pukulan ganas dan kejam sekali, yang memiliki jari tangan yang mampu membunuh orang hanya dengan satu kali tusukan atau bahkan pijatan saja seperti yang dialami oleh gadis yang sudah mati itu. Dengan muka merah karena marah sekali Sui Cin menoleh ke arah Cia Sun dan melihat betapa pemuda itu sudah berdiri dekat akan tetapi pemuda itu membuang muka. Tentu saja karena melihat mayat setengah telanjang itu. Sui Cin lalu menutupi bagian-bagian yang biasanya tertutup dengan sisa pakaian yang masih ada sambil menarik napas panjang untuk menekan perasaannya yang dibakar api kemarahan.

“Kenapa ia?”

   Tanya Cia Sun mendengar helaan napas gadis itu.

   “Diperkosa lalu dibunuh. Lihatlah sendiri betapa kejamnya pembunuh itu. Tak perlu sungkan, tubuhnya sudah kututupi.”

   Sebenarnya, andaikata di situ tidak ada Sui Cin, tentu Cia Sun tidak begitu sungkan untuk memeriksa karena bagaimanapun juga, yang terbujur di atas tanah itu adalah tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Akan tetapi, dengan hadirnya gadis itu dia merasa tidak sampai hati untuk memandang ketika dilihatnya tubuh gadis itu terbuka telanjang. Mendengar ucapan Sui Cin, Cia Sun berlutut dan atas petunjuk Sui Cin, dengan mudah dia menemukan sebab kematian. Totokan jari tangan yang amat ganas pada pelipis gadis itu merusak otak dan menghentikan aliran darah, mendatangkan kematian yang amat menyiksa karena gadis itu matinya perlahan-lahan setelah mengalami rasa nyeri yang hebat tanpa dapat berkutik!

   “Bedebah! Seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!”

   Kata Cia Sun.

   “Dan gadis inipun bukan seorang gadis biasa, melainkan seorang yang memiliki kepandaian silat. Lihat, di pinggangnya masih terdapat kantung piauw yang belum habis dipergunakan, dan lengan kirinya ada cacat goresan pedang yang sudah lama.”

   “Ah, ini berarti bahwa jai-hwa-cat itu adalah satu di antara golongan hitam yang sengaja hendak mengacau pertemuan para pendekar, seperti tiga orang iblis dari Cap-sha-kui yang kau telah jumpai itu, Cin-moi.”

   “Kurasa begitu. Kasihan gadis yang masih begini muda harus tewas dalam keadaan begini menyedihkan. Mengapa ia melakukan perjalanan seorang diri ke tempat berbahaya ini?”

   “Ingat, Cin-moi, bukankah engkaupun seorang gadis muda yang melakukan perjalanan sendirian saja sebelum bertemu denganku? Kurasa iapun mengandalkan kepandaiannya maka berani melakukan perjalanan sendiri, sungguh kasihan sekali.”

   “Atau ia terpisah dari rombongannya, siapa tahu…”

   “Mungkin juga. Mari kita cepat mengubur mayatnya.”

   Dua orang pendekar muda itu lalu menggali lubang dan mengubur jenazah itu secara sederhana sekali, memberi tanda di atas kuburan itu dengan sebongkah batu yang berbentuk tinggi lurus. Setelah selesai mereka maju lagi dan mulai mendaki bukit. Ketika memasuki hutan pertama yang kecil, mereka dikejutkan oleh penemuan kedua. Sekali ini mereka melihat tiga orang laki-laki muda yang sudah menjadi mayat dan tubuh mereka berserakan di tepi jalan. Seperti mayat gadis pertama tadi, jenazah merekapun tidak terdapat cacat, tidak ada luka, hanya ada tanda satu jari hitam saja di bagian-bagian yang mematikan. Seorang di tengkuk, seorang lagi di ulu hati dan seorang lagi di kepala. Jelaslah bahwa mereka itu hanya terbunuh oleh satu kali serangan sebuah jari tangan saja yang meninggalkan bekas hitam!

   “Jahanam, aku harus membasmi Si Jari Hitam yang kejam ini!”

   Cia Sun mengepal tjnju dan di dekat tiga mayat itu dia menemukan tiga batang pedang. Agaknya tentu senjata mereka yang terlepas dari tangan.

   “Tentu ada hubungan dengan kematian gadis yang diperkosa,”

   Kata Sui Cin.

   “Engkau tadi menduga benar, Sun-ko. Gadis itu tadi tentu serombongan dengan mereka ini.”

   Kembali mereka menggali lubang, kini cukup besar untuk mengubur tiga buah mayat itu sekaligus.

   Mereka berkeringat juga setelah selesai meletakkan batu besar di atas makam baru ini dan matahari telah condong ke barat ketika mereka melanjutkan perjalanan dengan hati terasa semakin panas terhadap pelaku pembunuhan-pembunuhan kejam itu. Menjelang senja mereka tiba di lereng bukit itu dan tiba-tiba mereka melihat dua orang laki-laki sedang berkelahi dengan serunya. Cepat keduanya menghampiri dan Sui Cin segera meloncat turun dari atas kudanya. Bersama Cia Sun ia memperhatikan dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu. Orang pertama yang melakukan serangan membabi-buta adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar bercambang bauk dan jelas memiliki potongan penjahat yang serba kasar dan sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.

   Orang ini mempergunakan sebatang golok besar yang tebal dan berat untuk menyerang lawannya. Goloknya membentuk gulungan sinar yang berkilauan tertimpa cahaya matahari senja yang kemerahan. Orang kedua yang menjadi lawannya amat menarik perhatian Sui Cin dan Cia Sun. Orang itu masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan lincah gembira karena menghadapi serangan bertubi-tubi dari lawannya itu dia masih dapat tersenyum-senyum! Pakaiannya rapi dan bahkan agak mewah dan indah, pantas sekali dengan tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang tampan. Potongan seorang pendekar tulen, pendekar yang halus dan agaknya terpelajar,

   Menilik dari pakaian dan gerak-geriknya. Pemuda ini bertangan kosong dan pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata. Hanya di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian dan rambutnya yang hitam lebat itu digelung ke atas, kemudian kepalanya dilindungi oleh sebuah caping bulat yang lebar sekali. Begitu seenaknya dia menghadapi lawan sehingga topi lebar itupun tidak dilepasnya dan caping itu mengangguk-angguk dan melambailambai mengikuti gerakan-gerakannya. Sui Cin dan Cia Sun memperhatikan gerakan pemuda itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Biarpun sambaran golok itu cukup dahsyat, namun tubuh pemuda itu seperti kapas saja yang sukar disentuh golok, seolah-olah sambaran golok itu cukup membuat tubuhnya terdorong menghindar sehingga sebelum goloknya tiba,

   Tubuhnya sudah lebih dulu menyingkir. Tentu saja Sui Cin dan Cia Sun kagum dan mengerti bahwa pemuda bercaping lebar itu adalah seorang ahli ginkang yang hebat. Sui Cin sendiri telah mewarisi ginkang yang hebat dari ibu kandungnya, akan tetapi melihat gerakan pemuda bercaping itu, iapun merasa kagum dan diam-diam ia ingin sekali mencoba ginkangnya melawan pemuda itu! Karena mereka tidak tahu urusannya, maka tentu saja mereka hanya menonton dan tidak berani sembarangan turun tangan. Sementara itu, pemuda bercaping agaknya tidak pernah melihat kedatangan Sui Cin dan Cia Sui, karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi oleh lawannya. Namun semua serangan dapat dihindarkannya dengan baik dan tiba-tiba dia membuat gerakan cepat sekali dengan kakinya.

   “Hyaaat! Robohlah!”

   Dan seperti mentaati perintah pemuda bercaping itu, tiba-tiba saja lawannya itu roboh terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena tendangan si pemuda telah membuat sambungan lutut kanannya terlepas. Tendangan yang hebat tadi dapat dilihat jelas oleh Cia Sun dan Sui Cin dan mereka kembali merasa kagum.

   Itu adalah semacam ilmu tendang yang amat berbahaya, pikir mereka. Kini pemuda itu melangkah maju menghampiri. Tiba-tiba Sui Cin hampir menjerit melihat betapa laki-laki tinggi besar yang sudah roboh itu secara mendadak menggerakkan goloknya membabat ke arah kaki dan serangan ini dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut. Sungguh merupakan serangan amat berbahaya dan dilakukan dengan mendadak selagi pemuda itu menghampirinya dan sama sekali tidak menduganya. Namun, Sui Cin dan Cia Sun kembali terkejut kagum melihat betapa mudahnya pemuda itu menghadapi serangan yang cukup berbahaya itu. Ketika golok membabat kaki, tubuhnya meloncat ke atas dan ketika golok itu menyambar ke arah perutnya, enak saja tubuhnya miring dan dari samping, tangannya bergerak ke arah pundak kanan lawan yang berada dalam keadaan terbuka.

   “Krekkk!”

   Golok terlepas jatuh ke dekat tubuh orang tinggi besar itu dan lengan kanannya terkulai karena tulang pundaknya patah. Si tinggi besar memandang beringas akan tetapi agaknya diapun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang lebih kuat maka hanya menundukkan mukanya.

   “Hemm, penjahat busuk dan hina! Engkau masih tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa dan membunuh wanita itu?”

   “Aku… aku mengaku, tapi…”

   “Hemm, tidak ada tapi lagi. Setelah engkau mengaku menjadi pemerkosa dan pembunuh, sekarang boleh kau pilih, hendak menamatkan riwayat hidupmu sendiri ataukan engkau ingin aku membantumu dan membiarkan engkau mati perlahan-lahan dengan menderita? Nah, itu golokmu masih di situ dan engkau harus berterima kasih kepadaku yang membiarkan engkau masih dapat memilih.”

   Pemuda itu tersenyum di bawah capingnya. Dari jauh, yang nampak oleh Cia Sun hanya senyum itu dan dia merasa tidak suka dengan senyum ini. Senyum ini membayangkan kekejaman biarpun hanya sekilat saja. Si tinggi besar menarik napas panjang.

   “Aku sudah kalah, siapa takut mati?”

   Dan tangan kirinya mengambil goloknya sendiri lalu dengan gerakan yang kuat, golok itu digerakkan menyambar leher sendiri. Cia Sun dan Sui Cin terkejut, hendak mencegah namun terlambat. Darah muncrat-muncrat dan orang tinggi besar yang tadinya duduk itu kini terjengkang dengan leher terkuak lebar hampir putus. Pemuda bercaping lebar itu masih berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, mengangguk-angguk melihat bekas lawannya tewas. Kemudian dengan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Sui Cin dan Cia Sun. Wajahnya yang putih halus itu berseri dan mulutnva tersenyum manis dan ramah sekali. Bahkan dia lalu menjura dengan sikap hormat kepada Sui Cin dan Cia Sun yang tentu saja segera membalasnya.

   “Ah, kiranya ada dua orang gagah perkasa yang ikut menyaksikan tewasnya jai-hwa-cat yang kejam. Saya dapat menduga bahwa jiwi (anda berdua) tentu hendak menghadiri pertemuan para pendekar seperti saya juga, bukan?”

   Ucapan ini makin meyakinkan hati Sui Cin bahwa pemuda tampan dan perkasa ini adalah seorang pendekar, maka iapun cepat balas menjura dan memuji,

   “Caramu memaksa dia membunuh diri tadi sungguh cerdik sekali!”

   “Begitukah, nona? Sesungguhnya orang macam dia layak mampus, akan tetapi aku selalu merasa tidak tega untuk membunuh orang, betapapun jahatnya. Kecuali kalau sangat terpaksa. Kalau bisa, aku lebih senang membiarkan dia membunuh diri sendiri.”

   “Maaf, saudara tadi mengatakan bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat. Apakah ada buktinya dia memperkosa wanita dan membunuh orang?”

   Tiba-tiba Cia Sun bertanya dan matanya memandang penuh selidik. Pemuda bercaping itu memandang kepadanya dan sejenak dua orang muda itu saling pandang dengan tajam. Akan tetapi, pemuda bercaping itu lalu tertawa, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, mendatangkan rasa suka di hati Sui Cin. Pemuda ini selain gagah juga jujur dan gembira, tentu lebih menyenangkan sebagai sahabat dan kawan seperjalanan dari pada Cia Sun yang pendiam sekali itu.

   “Ha-ha-ha, saudara berpakaian putih sederhana, pantas dijuluki Pek-I Taihiap (Pendekar Besar Baju Putih), dan pertanyaanmu tadi menunjukkan betapa engkau adalah seorang yang teliti dan bijaksana. Memang, sebelum kita bersahabat, seyogjanyalah kalau kalian berdua mengenal dulu orang macam apa aku yang hendak dijadikan kenalan, bukan?”

   Orang itu tersenyum dan melirik ke arah Sui Cin yang juga tersenyum karena ia menganggap bahwa orang ini pandai bicara Pandai pula membawa diri.

   “Namaku Thian Bu, she Sim. Sim Thian Bu, ya, itulah nama yang mudah diingat, bukan? Aku tidak datang dari satu golongan atau partai persilatan tertentu, hidupku sendirian dan suka merantau di dunia yang luas. Karena sejak kecil aku sudah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, maka ketika mendengar akan diadakannya pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu, aku segera bermaksud menghadirinya untuk berkenalan dengan para pendekar dan meluaskan pengalaman. Ketika melewati hutan di bawah, aku melihat mayat seorang wanita diperkosa. Aku mengejar ke atas dan melihat tiga orang pendekar mengeroyok penjahat ini. Sayang aku terlambat sehingga tiga orang pendekar itu telah roboh. Aku lalu mengejar lagi dan akhirnya berhasil menyusulnya di tempat ini.”

   Mendengar cerita itu, Sui Cin tersenyum dan memuji,

   “Sungguh engkau dapat bergerak cepat hingga berhasil merobohkan penjahat keji itu, saudara Sim. Kamipun sedang mencari-carinya dan agaknya akan sukarlah mengetahui siapa pelaku kejahatan itu kalau dia dapat meloloskan diri.”

   “Nona terlalu memuji.”

   Sim Thian Bu tersenyum dan menjura.

   “Setelah aku menceritakan semua tentang diriku, bolehkah aku mengenal nama jiwi yang mulia?”

   Sui Cin melihat betapa Cia Sun diam saja hanya memandang tajam kepada pemuda tampan itu, maka ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

   “Namaku Ceng Sui Cin dan ini adalah kakak misanku bernama Cia Sun.”

   Mendengar nama kedua orang muda itu, Sim Thian Bu nampak tercengang, akan tetapi hanya sebentar saja dan hanya Cia Sun yang melihatnya karena memang sejak tadi dia memperhatikan orang itu.

   “Di dalam dunia persilatan terdapat dua orang locianpwe yang memiliki she Ceng dan Cia yang paling terkenal, yaitu Ceng-locianpwe yang berjuluk Pendekar Sadis dan Cia-locianpwe sebagai ketua Pek-Liong-Pang di Lembah Naga…”

   “Mereka adalah ayah-ayah kami.”

   Baru sekarang Cia Sun berkata, memotong ucapan pemuda she Sini itu.

   “Ah, kiranya jiwi adalah putera dan puteri dua orang locianpwe yang amat terkenal. Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat. Maaf, aku tidak berani mengganggu lebih lama lagi. Sampai jumpa di tempat pertemuan!”

   Sim Thian Bu menjura dengan sikap hormat, kemudian dia menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dari tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon. Gerakannya memang cepat sekali dan agaknya dia memang sengaja memamerkan ilmu ginkangnya sehingga mau tidak mau, dua orang pendekar muda itupun merasa kagum.

   “Dia lihai, sayang kita tidak dapat berkenalan lebih baik dan tahu siapa dia sebetulnya,”

   Kata Sui Cin. Akan tetapi Cia Sun tidak memberi komentar dan pemuda ini segera menghampiri mayat penjahat tinggi besar tadi, memandang sejenak lalu mulal menggali tanah.

   “Apa yang kau lakukan, Sun-ko?”

   “Mengubur jenazah ini,”

   Jawabnya singkat.

   “Wah, kita mengubur lagi?”

“Mayat-mayat yang tadipun kita kubur.” “Mereka adalah pendekar-pendekar, sedangkan yang ini adalah penjahat. Kalau kita harus mengubur setiap mayat termasuk mayat penjahat, kita bisa menjadi tukang pengubur jenazah!”

   “Cin-moi, apa bedanya? Baik buruk, pandai bodoh, kaya miskin, mulia hina, kalau sudah menjadi jenazah begini apa, bedanya?”

   Cia Sun bekerja terus. Sui Cin mengangkat pundak lalu membantu pekerjaan itu tanpa banyak cakap lagi. Mereka bekerja keras dan sebentar saja mereka sudah mengubur jenazah itu. Sambil membersihkan kedua tangannya, Sui Cin mengomel kepada gundukan tanah kuburan itu,

   “Hemm, jai-hwa-cat, entah kebaikan apa yang pernah kau lakukan sewaktu hidupmu sehingga ketika mati engkau mendapat kehormatan dikubur oleh kami?”

   “Cin-moi, aku masih belum percaya bahwa orang inilah yang membunuh dan memperkosa gadis yang kita kubur itu. Juga belum tentu dia yang membunuh tiga orang itu.”

   “Hemm, kenapa kau berkata demikian, Sun-ko? Bukankah sudah jelas…”

   “Sama sekali belum jelas! Cin-moi, ingatlah engkau bagaimana matinya empat orang pendekar muda itu? Mereka semua mati karena pukulan atau totokan jari tangan yang amat dahsyat. Akan tetapi, orang yang kita kubur ini, dia berkelahi mempergunakan golok. Kenapa dia tidak mempergunakan jarinya yang lihai, seperti ketika dia membunuh empat orang itu?”

   Sui Cin mengerutkan alisnya, terkejut karena baru sekarang ia teringat akan hal itu dan segera otaknya yang cerdik itu bekerja.

   “Memang aneh…”

   Katanya.

   “akan tetapi, kita harus mengakui bahwa permainan goloknya hebat sehigga bukan tidak mungkin kalau dia menguasai pula ilmu totok yang jahat itu. Mungkin saja, karena pemuda she Sim itu memang lihai dan lebih pandai dari padanya, maka dia tidak lagi mengandalkan ilmu totoknya dan menggunakan golok.”

   Pemuda itu menggeleng kepala.

   “Meragukan sekali. Biarpun permainan goloknya tadi memang cukup lihai, akan tetapi kurasa tingkatnya belum mencapai tingkat Si Jari Hitam. Penjahat itu, kalau benar penjahat, adalah penjahat yang kasar dan belum tinggi tingkatnya.”

   “Akan tetapi, Sun-ko, bukankah dia sendiri sudah mengaku bahwa dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan? Kita mendengar sendiri pengakuannya tadi sebelum dia membunuh diri.”

   “Itulah yang amat membingungkan hatiku, Cin-moi. Akan tetapi, biarpun dia mengaku memperkosa dan membunuh, dia tidak pernah mengatakan siapa yang diperkosanya dan dibunuhnya itu. Apakah gadis yang kita temui dan tiga orang pendekar muda itu? Ataukah orang lain yang dia maksudkan? Sayang orang she Sim itu tergesa mendesaknya membunuh diri sehingga aku tidak sempat mencegah untuk menanyainya secara teliti.”

   “Sekarang akupun menjadi ragu, Sun-ko. Andaikata bukan dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan atas diri gadis dan tiga orang pemuda itu berarti…”

   “Berarti bahwa seorang pemerkosa dan pembunuh yang amat lihai masih berkeliaran dan mengancam keselamatan benyak orang, terutama kaum pendekar.”

   Mereka melanjutkan perjalanan mendaki lereng bukit dan Sui Cin mengomel,

   “Sun-ko, kenapa engkau memperkenalkan aku sebagai puteri Pendekar Sadis?”

   “Eh, apa salahnya karena memang kenyataannya begitu?”

   “Aku tidak suka! Aku ingin hidup bebas, tidak mau membonceng nama besar ayahku. Kau lihat, aku suka menyamar, berarti aku hendak menyembunyikan keadaan diriku sebagai puteri Pendekar Sadis.”

   “Mengapa, Cin-moi? Seharusnya engkau bangga mempunyai ayah seperti paman Ceng Thian Sin.”

   “Hemm, ayahku Pendekar Sadis. Ibuku Lamsin, keduanya adalah tokoh-tokoh besar yang namanya menjulang tinggi. Apakah hal itu harus kupergunakan untuk mengangkat diriku sendiri? Tidak, aku tidak suka. Kalau orang mengenalku, maka dia boleh mengenal pribadiku sendiri, bukan suka berkenalan denganku karena aku puteri ayah bundaku yang terkenal itu.”

   Gadis itu cemberut dan kembali Cia Sun terheran-heran dan merasa bingung, semakin tidak dapat menyelami watak gadis ini. Mereka terpaksa berhenti pada sebuah lereng di tengah malam itu untuk beristirahat dan pada keesokan harinya, tiba-tiba Sui Cin berkata,

   “Sun-ko, di sini terpaksa kita harus berpisah.”

   Ucapan ini sungguh tak pernah disangka oleh Cia Sun yang menjadi terkejut sekali. Dan di dalam terkejutnya itu dia merasa heran mengapa hatinya menjadi begini. Apa artinya perpisahan? Setiap pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan dan biasanya, dia bertemu dan berpisah dari orang-orang tanpa kesan. Kenapa sekarang mendengar gadis itu mengusulkan perpisahan hatinya merasa seperti disayat?

   “Akan tetapi kenapa, Cin-moi? Bukankah kita berdua sama-sama hendak pergi mengunjungi pertemuan para pendekar? Tujuan perjalanan kita sama dan puncak itu sudah nampak dari sini, juga hari inilah hari pertemuan itu.”

   “Sun-ko, engkau adalah wakil dari Lembah Naga, wakil Pek-Liong-Pang, sedangkan aku hanya seorang penonton saja. Biarlah kita bertemu saja di sana nanti. Selamat berpisah!”

   Tanpa menanti bantahan lagi, Sui Cin sudah membedal kudanya yang segera berlari congklang ke depan, kemudian membalap mendaki lereng terakhir. Cia Sun hanya dapat memandang dan menarik napas panjang. Semangatnya seperti terbawa pergi oleh gadis itu, dan kaki kuda yang bercongklang itu seperti menginjak-injak dan menyepak-nyepak hatinya.

   Beberapa belas li jauhnya dari Puncak Bukit Perahu terdapat sebuah daerah liar yang jarang didatangi orang kerena tempat itu sukar dicapai dengan cara biasa. Tempat itu merupakan sebuah lereng yang penuh dengan jurang yang amat curam, juga merupakan daerah berbatu-batu, penuh dengan gua-gua gelap dan kabarnya tempat ini menjadi sarang binatang-binatang buas dan binatang-binatang beracun, juga penjahat-penjahat yang menjadi buruan banyak yang lenyap setelah memasuki daerah ini. Akan tetapi, sehari sebelum pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu dimulai, di sebuah tanah datar yang dikelilingi batu-batu dan gua-gua nampak didatangi banyak orang.

   Melihat keadaan pakaian dan sikap orang-orang ini, juga wajah mereka yang rata-rata menyeramkan, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan hitam. Para pendekar menamakan golongan ini sebagai kaum sesat. Demikianlah, ketika mendengar bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, mereka yang dinamakan kaum sesat itupun segera bergerak dan mendahului pertemuan itu dengan mengadakan pertemuan rahasia di tempat liar itu, hanya belasan li jauhnya dari tempat yang akan dijadikan balai pertemuan para pendekar! Dan pertemuan rahasia ini tidak tanggungtanggung karena pengundangnya adalah Cap-sha-kui. Berbondonglah mereka yang merasa dirinya sudah “tokoh”

   Untuk menghadiri pertemuan rahasia itu. Dan memang sesungguhnyalah, kalau tidak memiliki kepandaian tinggi,

   Jangan harap akan bisa mendatangi tempat pertemuan rahasia yang ditentukan itu dan agaknya dalam hal ini memang Cap-sha-kui hendak menguji dan menyaring para tokoh sesat. Mereka yang tidak tinggi tingkat kepandaiannya tidak akan berani atau dapat datang. Para tokoh besar kaum sesat banyak yang memiliki kebiasaan dan watak yang aneh dan tidak lumrah manusia pada umumnya. Karena kepandaian mereka yang tinggi dan watak mereka yang ganas, mereka Kadang-kadang bukan seperti manusia lagi. Biasanya, mereka tidak pernah memperdulikan orang lain, yang terpenting adalah diri sendiri. Akan tetapi agaknya sekali ini, karena tuntutan keadaan dan karena kekhawatiran terhadap keamanan diri sendiri, mereka berusaha untuk mengadakan pertemuan dan untuk bersatu. Demikian anehnya mereka sehingga pertemuan rahasia itupun diadakan di waktu tengah malam!

   Demikian bunyi undangannya dan pada malam yang ditentukan, ternyata tepat malam bulan purnama. Malam itu bulan yang bulat amat terangnya. Tidak ada awan hitam yang gelap, yang ada hanyalah awan-awan putih tipis yang terbang lalu dengan lembutnya. Suasana di tanah lapang dekat dinding gua-gua itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apapun, sepi dan lengang. Akan tetapi, menjelang tengah malam, terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengerikan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin keras, menyayat hati seperti anak yang dalam kesakitan. Setelah tangis yang makin meninggi itu sampai di titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti,

   Suaranya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan menakutkan, sampai beberapa lamanya. Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak terdengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itupun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, seperti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu terhenti dan kembali lengang. Menegangkan dan mengerikan! Dan di dalam suasana yang menegangkan itu, tiba-tiba saja nampak dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seolah-olah pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan,

   Hanya karena geraken mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ. Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Kalau didekati, memang mereka itu amat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah! Kalau dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Sepasang mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya.

   Siapa yang berjumpa dengan mereka di malam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia. Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput, demikian kurus muka itu sehingga hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala! Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa di waktu mudanya nenek ini seorang wanita cantik. Akan tetapi wajahnya pucat sekali, bahkan bibirnya agak kebiruan, dengan sepasang mata yang mencorong itu ia mirip siluman. Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat.

   Dan mereka itupun sesungguhnya demikian. Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok (Lembah Iblis) sebuah tempat di Pegunungan Hongsan yang amat berbahaya dan jarang ada orang, betapapun pandainya berani lancang memasuki daerah itu di mana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya. Mereka tidak pernah memakai julukan, akan tetapi orang-orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lomo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lobo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mereka tidak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang juga merupakan murid-murid mereka. Perkumpulan itupun dinamakan Kui-kokpang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggauta atau muridnya berpakaian putih berkabung.

   “Hemm, belum nampak seorangpun datang,”

   Kata Kui-kok Lomo dengan suara mengomel.

   “Mereka itu memang bermalas-malasan kalau ada tugas pekerjaan, coba diberitahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan datang,”

   Omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali. Suami-isteri ini adalah dua di antara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian dari tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu. Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam. Terdengar dari jauh sekali dan suami isteri yang tua ini saling pandang dan wajah mereka yang seperti mayat itu tidak memperlihatkan perobahan apapun, akan tetapi mata mereka bersinar-sinar.

   “Si raksasa rakus sudah datang,”

   Kata Lobo.

   “Huh, memuakkan. Ke sini membawa korbannya, menjijikkan!”

   Sambung Lomo. Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara duk-duk langkah kaki yang amat berat. Muncullah dari balik gua seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng. Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tak terpelihara dan pakaian seperti gembel,

   Sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. Akan tetapi sungguh amat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias kedua pergelangan tangannya. Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya kalau diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang! Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar dan tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya dan dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Dia makan daging anak-anak mentah-mentah! Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lomo dan Kui-kok Lobo. Kalau kakek dan nenek tadi datang seperti bayangbayang setan,

   Dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapat dibayangkan betapa besar tenaganya. Diam-diam kakek dan nenek itupun kagum dan harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwakang (tenaga luar) yang demikian hebatnya. Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini? Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti. Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia amat kejam dan amat ditakuti,

   Maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya. Dan seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi inipun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia peranakan Nepal dan di waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Karena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu-ilmu sesat dan ilmu hitam dan akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui. Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke balik jurang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.

   “Heh-heh, Lobo, apanya yang memuakkan dan menjijikkan?”

   Tanyanya, suaranya besar parau.

   “Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?”

   Kui-kok Lobo mengejek.

   “Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!”

   Tambahnya.

   “Ha-ha, Lomo, apakah engkau tidak bisa mengendalikan mulut binimu? Lobo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?”

   Raksasa itu tertawa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.

   “Apa? Aku pemakan bangkai? Jaga mulutmu!”

   Bentak Lobo marah.

   “Segala macam daging yang kau makan itu apakah bukan bangkai? Bangkai binatang yang kau makan, dan aku makan bangkai orang, Heh-heh, aku lebih unggul!”

   “Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?”

   Lobo berteriak.

   “Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai di mana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walaupun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lobo.”

   Kui-kok Lobo menoleh kepada suaminya. Bagaimanapun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan kepada suaminya. Lomo mengangguk dan berkata.

   “Karena yang lain belum datang, boleh saja engkau main-main melawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita.”

   Kalau tidak melihat wajahnya yang seperti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lomo adalah seorang kakek yang halus budi bahasanya. Setelah mendapat persetujuan suaminya, dengan gerakan yang amat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di depan raksasa itu.

   “Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!”

   Katanya dan secepat kilat nenek itu sudah menggerakkan tangannya ke depan. Terdengar suara mencicit seperti suara kelelawar ketika jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.

   “Hehh!”

   Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyambar ke arah perutnya. Itulah semacam ilmu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Maka diapun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biarpun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata diapun dapat bergerak sigap. Dia meloncat ke belakang dan lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk menangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia membarengi dengan uluran lengan kiri menghantam dari samping ke arah kepala si nenek. Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibarkibar. Namun, gesit sekali gerakan Lobo yang sudah dapat menghindar pula.

   Sebetulnya pertandingan itu hanyalah semacam ujian saja karena lama mereka tidak saling jumpa dan mereka ingin sekali mengukur kepandaian atau kemajuan masing-masing. Akan tetapi dasar watak mereka yang aneh dan ganas, biarpun hanya merupakan pertandingan dan bukan perkelahian karena dendam, keduanya tidak menahan gerakan mereka dalam menyerang, setiap serangan mereka adalah pukulan-pukulan maut dan begitu bergebrak mereka sudah mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Hal ini adalah karena mereka tahu bahwa kalau mereka mengeluarkan ilmu-ilmu lama tentu akan percuma saja karena pihak lawan sudah mengenalnya dan akan dengan mudah mampu memecahkannya. Menghadapi serangkaian pukulan nenek itu yang mengeluarkan suara mencicit dan mengandung hawa panas, juga hawa pukulan itu mampu merobek ujung bajunya, Tho-tee-kwi terkejut bukan main.

   “Eh, eh, ilmu setan apakah itu?”

   Bentaknya. Nenek itu mendengus.

   “Ilmu untuk mengalahkanmu. Hayo lekas berlutut mengaku kalah kalau engkau tidak ingin perutmu yang penuh mayat itu terobek dan ususmu terburai keluar!”

   Raksasa baju hijau itu tertawa besar.

   “Ha-ha-ha, enaknya buka mulut membual! Lihat ini!”

   Dan tiba-tiba kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah sedemikian kerasnya sehingga tanah itu terguncang seperti ada gempa bumi. Tubuh nenek itu ikut pula tergetar dan dalam keadaan demikian, raksasa itu menyerang dan kini pukulannya sama antepnya dengan hentakan kakinya tadi, begitu penuh mengandung tenaga raksasa! Hebat memang ilmu ini dan agaknya ketika pertama muncul tadi, si raksasa juga sudah memamerkan ilmu barunya itu.

   Lobo cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari rangkaian serangan pertama. Akan tetapi, si raksasa berkali-kali menghentakkan kakinya dan menyusuli serangan-serangan yang amat dahsyat hingga tempat itu dilanda anginangin pukulannya membuat daun-daun pohon yang agak jauh tergoyang-goyang dan nenek itupun mulai terdesak! Ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membalas serangan lawan. Akan tetapi, dengan mengandalkan ginkang yang jauh lebih lihai, ia masih mampu menyelamatkan diri dari semua serangan ganas itu. Melihat betapa isterinya terdesak dan kalau dilanjutkan agaknya isterinya akan kalah, Lomo lalu melompat ke depan. Dia sudah memperhatikan gerakan lawan tadi dan maklum bahwa tanpa mempelajari dulu ilmu baru itu dan menangkap intinya, akan sukarlah untuk mengatasinya.

   “Mundurlah, biar aku yang mencoba ilmu baru Tho-tee-kong!”

   Katanya. Nenek itupun tahu diri, akan tetapi ia tidak mengakui keunggulan lawannya, maka sambil meloncat mundur ia berseru mengejek.

   “Mulut dan badanmu bau mayat, aku tidak tahan melayanimu lebih lama lagi!”

   “Ha-ha-Ha-ha!”

   Kakek raksasa tertawa. Akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika Lomo sudah menggeser kakinya ke depan.

   “Tho-tee-kong, mari kita main-main sebentar!”

   Lagak kakek bermuka mayat ini memang berbeda dengan lagak isterinya atau raksasa itu, bahkan berbeda dengan lagak dan sifat para datuk sesat pada umumnya. Kalau para datuk sesat itu biasanya berlagak aneh, kasar dan tidak memperdulikan sopan santun, kakek ini sebaliknya bersikap halus dan berwibawa, lebih mendekati sikap seorang tokoh pendekar dari pada seorang tokoh sesat. Hal ini adalah karena dia berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat dan di waktu kecilnya, dia terdidik baik-baik. Maka, biarpun kini menjadi tokoh utama dari kaum sesat, dia tidak dapat melupakan sikap halus yang sudah ditanamkan pada dirinya sejak kecil.

   “Ha-ha, Lomo, binimu maju pesat, engkau tentu lebih hebat lagi!”

   Raksasa itu mengejek.

   “Sambutlah!”

   Kata Lomo dan diapun mulai menyerang. Serangannya nampak ringan saja, akan tetapi karena gerakannya amat cepat maka tahu-tahu telapak tangannya sudah menyambar ke arah leher Tho-tee-kwi. Raksasa ini melempar tubuh ke belakang dan terkejut sekali. Dari telapak tangan kakek mayat itu menyambar hawa panas yang disertai uap putih berbau amis! Kemudian kakek itu menyerang untuk kedua dan ketiga kalinya, dan maklumlah raksasa itu bahwa Lomo menggunakan ilmu yang sama dengan Lobo tadi,

   Hanya tingkat Lomo sudah lebih tinggi sehingga telapak tangan itu bukan hanya mengeluarkan bunyi dan hawa panas, akan tetapi juga mengeluarkan uap putih yang berbau amis. Diapun cepat menggereng dan mengeluarkan ilmunya yang tadi. Kakinya dihentakhentakkan sehingga bumi seperti terguncangguncang dan kedua lengannya secara aneh menyambar ke depan, memukul, menampar, atau mencengkeram, akan tetapi di balik semua pukulannya itu terkandung tenaga yang benar-benar mengerikan sehingga baru angin pukulannya saja demikian kuat, seperti angin badai dan mengeluarkan suara bersuitan.

ASMARA BERDARAH JILID 04

Pertandingan antara Kui-kok Lomo berjalan seru, lebih ramai dari pada ketika kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lobo. Akan tetapi setelah lewat seratus jurus, dia mulai terdesak.

   Bagaimanapun juga, gerakan yang cepat dari Lomo tidak dapat diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh itupun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apabila terlanda anginnya. Akan tetapi, seperti juga Lobo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apalagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lomo mengerti bahwa pada saat itu bermunculanlah rekan-rekan mereka dari dunia hitam. Memang di tengah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti setan-setan bermunculan dari neraka dan mereka menonton pertandingan itu tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan mereka menikmati pertandingan itu, apalagi melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main, melainkan berkelahi mati-matian.

   Kiu-bwee Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul dan nenek ini terkekeh girang menyaksikan pertandingan itu, diam-diam dia sebagai seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, menikmati perkelahian ini karena ia dapat mencurahkan perhatian mengikuti setiap gerakan untuk mempelajari ilmu dua orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing mengeluarkan ilmu simpanan baru itu. Dua orang kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwahwe Kuibo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga sudah hadir. Keduanya juga menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang lebih tinggi tingkat kepandaiannya itu. Tiba-tiba terdengar suara mengomel,

   “Hemm, tak tahu diri… tak tahu diri… dalam keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri… tua bangka-tua bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa toloInya!”

   Suara itu lirih akan tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul. Suara itu memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan seorang kakek sudah muncul di situ, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai tidak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya sinar mencuat dua kali ke arah Lomo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah,

   “Kalian masih nekat dan tidak mau berhenti?”

   Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget dan keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata, dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka. Memang, mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andaikata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam segebrakan saja.

   Biarpun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi dari pada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu! Dan semua orang yang hadir di situ, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah sinar bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan tidak akan menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang memandangnya. Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lomo, usianya juga sudah tujuh puluh tahun, pakaiannya serba hitam dan bentuknya seperti pakaian seorang petani biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga matanya!

   Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak! Kiranya kakek ini adalah seorang buta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tak mengenal takut, kini kelihatan gentar menghadapinya? Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)! Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walaupun kedua matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggauta Cap-sha-kui, karena dia merasa lebih tinggi. Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang memiliki pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya!

   Karena kepandaiannya yang amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah kepadanya, ke manapun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup membuat seorang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya. Siangkoan-lojin adalah seorang aneh yang menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan petunjuknya sedikit saja. Baru setengah tahun lamanya dia turun gunung, tinggal di kota Paochi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walaupun pakaiannya sebagai seorang petani sederhana.

   Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal bersama seorang putera tunggalnya dan belasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya. Isterinya sudah lama meninggal ketika putera tunggalnya masih kecil. Kakek ini mempunyai beberapa orang murid yang lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada putera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun. Demikianlah sedikit keadaan Siangkoan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu memandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sesungguhnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehendak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.

   Siangkoan-lojin sendiri, setelah pindah dan bertempat tinggal di Paochi, hidup dalam dua dunia. Yang satu di dunia kaum sesat di mana dia didewa-dewakan dan ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, di mana dia hidup sebagai seorang tuan tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal dermawan, royal sekali mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan bantuan. Pendeknya, dalam pergaulan umum, dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya dan dermawan, dan tidak ada seorangpun yang pernah mengira bahwa dia adalah raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar sudah mendengar berita angin tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga di antara para pendekar muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para pendekar pernah melihatnya.

   “Maafkan kami, lojin, kami hanya berlatih,”

   Kata Kui-kok Lomo dengan sikap hormat dan suara merendah.

   “Benar, lojin, kami hanya main-main, aku hanya minta petunjuk dari Lomo,”

   Sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.

   “Diam!”

   Bentak kakek buta itu dan suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran yang menusuk jantung, membuat wajah kakek raksasa yang menyeringai tadi tiba-tiba saja berobah pucat.

   “Kalian sedang berusaha mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beritahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!”

   Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, namun mereka tidak berani berkutik.

   “Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!”

   Seperti lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu. Kakek ini sekarang kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeremkan. Rambutnya yang putih seperti benangbenang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.

   Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat di mana tadi mereka setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Di antara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa kakek buta itu dengan bengis memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu. Ada dua puluh satu orang termasuk Siangkoan-lojin yang hadir. Mereka ini masing-masing mempunyai anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tidak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutanhutan.

   Selain tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk dapat mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu. Tempat itu dikelilingi jurang yang curam dan di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang liar airnya dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya kalau naik perahu melewatinya. Pula, dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk mendaki ke atas tebing walaupun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar dari tempat pertemuan rahasia itu. Diahat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bulan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.

   “Hanya ada dua puluh dua orang semuanya?”

   Tiba-tiba Siangkoan-lojin bertanya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan merekapun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang begitu banyak dengan tepat? Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah!

   Tentu saja, tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kuibo, apalagi tiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lomo dan Kui-kok Lobo, juga Tho-tee-kwi, tidak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini memiliki perasaan yang amat peka, pendengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing. Dengan mengandalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka dengan telinganya, dan mencium bau yang berlainan dengan hidungnya. Bahkan dalam perkelahian, kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat mengandalkan ketajaman pendengarannya sehingga setiap gerakan lawan dapat diketahuinya dengan seksama, bahkan lebih cepat dari pada daya tangkap penglihatan mata yang Kadang-kadang kabur.

   “Benar, lojin. Yang hadir ada dua puluh dua orang.”

   Kata Kiu-bwee Coa-li.

   “Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?”

   “Ada tujuh orang, lojin.”

   Kui-kok Lobo yang kini ikut bicara karena iapun hendak memberitahukan raja datuk itu bahwa iapun hadir.

   “Tujuh orang? Siapa dia?”

   Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berkerut.

   “Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kuibo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lomo, aku sendiri dan lojin…”

   Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua orang terkejut. Kui-kok Lomo hendak memperingatkan isterinya, namun terlambat karena tahu-tahu kakek buta itu telah mencelat ke depan, tongkatnya menyambar dan Kui-kok Lobo menjerit lalu roboh terlentang, ujung tongkat menempel di lehernya. Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru merobohkan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu!

   “Mulut lancang! Kau samakan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?”

   Kui-kok Lobo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berobah menjadi kehijauan.

   “Lojin, ampunkan aku…”

   Ia meratap.

   “Lojin, harap maafkan ia,”

   Kata pula Kui-kok Lomo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tanpa dia dapat menolongnya itu. Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek.

   “Kalau aku tidak mengampuninya, apakah sekarang ia masih tinggal hidup? Perempuan lancang, engkau menyesal telah bersalah kepadaku?”

   “Aku menyesal,”

   Kata Lobo sambil bertunduk.

   “Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!”

   Kata pula Iblis Buta. Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itulah penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasanya amat galak dan kejam itu kini berlutut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!

   “Sekali lagi!”

   Bentak iblis itu dan Lobo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.

   “Sudah, mundurlah dan mari kita lanjutkan pertemuan ini,”

   Kata kakek buta itu dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

   “Kita berkumpul di sini untuk mengadakan pertemuan dan membicarakan keadaan yang menyangkut keamanan pekerjaan kita semua. Kalian tahu bahwa besok hari para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu dengan acara pokok menentang dan beruseha menumpas kita semua.”

   Hening sejenak setelah Iblis Buta berhenti bicara, kemudian, bagaikan bendungan air yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak,

   “Hancurkan manusia-manusia sombong itu!”

   “Bunuh semua pendekar!”

   “Serang mereka pada pertemuan itu!”

   Si kakek buta mengangkat tongkatnya ke atas dan suara gaduh itu berhenti.

   “Mengadakan perlawanan memang harus, akan tetapi menghadapi para pendekar kita harus berhati-hati karena di antara mereka terdapat orang-orang yang sakti. Tidak mungkin menggunakan kekerasan dan harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih lanjut, aku ingin mendengarkan pelaporan kalian masing-masing tentang keadaan di daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar.”

   Dengan suara yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu, didengarkan penuh perhatian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari daerah kota raja melapor,

   “Lojin, anak buah kami membayangi kaisar yang sedang lolos dari istana melakukan perjalanan seorang diri menyamar sebagai orang biasa. Diam-diam dia dibayangi dan dilindungi oleh dua orang perwira istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun tangan. Harap lojin memberi petunjuk.”

   “Jangan ganggu kaisar! Jangan mengganggu seujung rambutnya. Aku sendiri akan membunuh siapa yang berani mengganggunya!”

   Tiba-tiba kakek buta itu berseru. Para tokoh Cap-sha-kui yang sudah mengerti, tidak merasa heran, akan tetapi tidak demikian dengan para tokoh lain. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilatjilat lalu maju bertanya.

   “Maaf, lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah kita semua sekarang harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar? Bukankah pekerjaan kita semua selalu bertentangan dengap pemerintah?”

   “Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti sekarang ini, kita dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama dengan para pejabat di manapun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan mereka. Dan selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam, dan kalau sampai Liu-thaikam kehilangan kekuasaannya, kita tidak mempunyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita menjadi orang yang selalu diburuburu oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kitapun tidak akan dimusuhi pemerintah, mengerti?”

   Semua orang mengangguk.

   “Aihh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada saat ini ada pihak lain yang mempunyai niatan buruk, menculik kaisar dalam penyamarannya.”

Iblis Buta mengerutkan alianya.

   “Bukankah kau katakan bahwa ada dua pangawal rahasia yang melindungi kaisar?”

   “Akan tetapi, lojin. Sekali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah orang-orang Kang-Jiu-Pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!”

   Kata pula si cebol berkepala botak. Iblis Buta mendengus.

   “Perkumpulan keras kepala yang tidak mau bergabung dengan kita! Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo, sanggupkah kalian mengerahkan teman-teman di muara Huangho untuk melindungi kaisar dan mengenyahkan Kang-Jiu-Pang yang hendak merusak itu?”

   Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu, dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para tokoh, maka mereka berdua serentak menyatakan sanggup.

   “Bagus, setelah selesai urusan kita di sini, kalian harus dengan cepat pergi melakukan tugas dan keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian,”

   Kata pula kakek buta.

   Memang bagi kakek ini, keselamatan Kaisar Ceng Tek amatlah penting. Dia mengenal Liu Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama antara mereka. Beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk mengenyahkan musuh-musuh rahasianya, yaitu para pembesar yang menentangnya dan yang menghendaki kaisar terbebas dari kekuasaannya. Tugas itu dilaksanakan oleh Siangkoan-lojin, yang menyuruh anak buahnya, dengan mudah dan baik. Beberapa orang musuh itu lenyap secara aneh dan tak ditemukan mayat-mayat mereka. Tentu saja Iblis Buta memperoleh kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh restu berupa surat-surat ijin dari thaikam itu untuk membuka bermacam usaha seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.

   “Ada dua tugas yang agak berat namun penting sekali,”

   Sambungnya lagi.

   “Demi keamanan kita semua, ada dua orang pembesar yang harus dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yaitu Menteri Kebudayaan yang istananya berada di kota raja. Kuserahkan tugas ini kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu saja kalau nenek itu berani!”

   Mendengar demikian, Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya.

   “Tartartarr.. Lojin anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku harus membunuhnya, lojin? Sekarang juga aku berangkat!”

   “Hemm, nenek sombong, jangan tergesa-gesa dan jangan terlalu membual. Kalau engkau gagal, aku akan menghukummu! Jangan sembrono, di samping menteri yang lemah itu terdapat seorang selirnya dan seorang anak perempuannya yang cukup lihai karena mereka itu murid-murid Shantung SamLo-eng.”

   “Heh-hehheh, lojin. Jangankan baru murid-muridnya, biar mereka bertiga sendiri hadir, aku tidak akan takut,”

   Kiu-bwee Coa-li yang memang berwatak sombong itu tertawa.

   “Baik, akan tetapi tunggu sampai urusan kita selesai, baru kau boleh berangkat melaksanakan tugasmu. Sekarang pembesar kedua yang harus dienyahkan, dia adalah Ciang-goanswe (Jenderal Ciang), panglima nomor dua di kota raja. Siapa berani memegang tugas ini?”

   Semua orang melongo, Ciang-goanswe adalah seorang jenderal besar. Sebagai panglima nomor dua, dia memimpin laksaan orang pasukan!

   “Akan tetapi… mana mungkin membunuh seorang panglima yang menguasai ratusan ribu orang pasukan? Siapa sanggup dan mungkin dapat berhasil melakukan tugas ini tanpa bantuan pasukan besar pula, lojin? Dan mengerahkan pasukan besar berarti pemberontakan dan perang…”

   Pertanyaan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang nampak gagah perkasa akan tetapi juga menyeramkan karena mukanya penuh dengan cambang bauk yang lebat dan hitam. Sepasang matanya besar dan gerek-geriknya kasar akan tetapi pada mulutnya terbayang sifat yang kejam dan suka mempergunakan kekerasan. Agaknya pertanyaan yang diajukan ini berkenan di hati semua orang, karena terdengar bisik-bisik dan suasana menjadi gaduh sampai Iblis Buta mengangkat tongkatnya ke atas. Suasana kembali tenang dan sunyi.

   “Kalian semua bodoh kalau berpendirian demikian. Memang, Ciang-goanswe adalah seorang panglima yang memimpin ratusan ribu orang tentara. Akan tetapi, diapun seorang manusia biasa dan tidaklah mungkin kalau selamanya dia berada di antara ratusan ribu pasukannya! Sekali waktu tentu dia akan menyendiri, dengan keluarganya saja, dan penjagaan atas gedungnya tidak akan sekuat penjagaan di istana. Kalau orang berpikiran cerdik, tidak seperti kalian yang tolol, tentu akan dapat menemukan dia dalam keadaan jauh dari para pasukannya. Nah, karena pentingnya tugas ini, kuserahkan saja kepada sepasang Kui-kok Lomo dan Lobo. Sanggupkah kalian?”

   Suami isteri tua itu saling pandang.

   “Kami sanggup.”

   Akhirnya Kui-kok Lomo berkata.

   “Bagus! Itulah tugas yang perlu kalian kerjakan. Setelah urusan kita di sini beres, kalian lakukan tugastugas itu dan kemudian hasilnya laporkan kepadaku. Sekarang, setelah selesai urusan yang menyangkut kaisar, siapa lagi yang ada laporan?”

   Dia berhenti sebentar, menengok ke kanan kiri, bukan untuk memandang melainkan untuk mendengarkan dan menyambung.

   “Bukankah kalian sebelum berkumpul di sini sudah menyelidiki tentang pertemuan para pendekar? Siapa saja yang akan hadir dan apakah kalian sudah bertemu dengan beberapa orang di antara mereka?”

   Tiba-tiba kakek itu mengayunkan tongkatnya ke kiri.

   “Blarrrrr…”

   Ujung batu karang yang menonjol di situ, yang tadi pernah diraba-rabanya, pecah berantakan dan melayang ke arah api unggun yang baru saja dibikin oleh seorang di antara mereka. Api unggun itu padam dan kayunya terlempar ke mana-mana, dan ada beberapa orang yang terkena kayu terbakar dan pecahan batu karang. Akan tetapi karena mereka semua adalah golongan orang yang pandai, tidak ada yang sampai terluka parah. Semua orang terkejut dan semakin kagum karena si buta itu ternyata hebat luar biasa, dapat mengetahui adanya api unggun dan dapat memadamkannya secara demikian luar biasa.

   “Bodoh! Apa artinya pertemuan rahasia kalau kau menyalakan api unggun yang akan menciptakan sinar yang nampak dari jauh dan mengeluarkan bau yang dapat tercium dari tempat jauh?”

   Bentaknya.

   “Ampun, lojin, maksudkan hanya untuk mengusir nyamuk…”

   “Kalau aku tidak tahu begitu, tentu batu itu menghancurkan benakmu dan bukan memadamkan api saja,”

   Kata pula Iblis Buta.

   “Nah, siapa membuat laporan?”

   “Aku bertemu dengan seorang gadis remaja dan seorang pemuda yang amat lihai. Bahkan aku banyak kehilangan ular-ularku ketika melawan mereka. Sungguh, belum pernah seumur hidupku bertemu dengan gadis dan pemuda yang semuda itu namun selihai itu. Masing-masing dari mereka saja mampu menandingiku dan mungkin aku dapat mengalahkan mereka satu demi satu, akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka, terpaksa aku harus melarikan diri. Hebat, dan aku tidak sempat mengenal ilmu mereka, tidak pula tahu siapa mereka. Pasti mereka hendak menghadiri rapat pertemuan para pendekar.”

   Berita ini amat tidak menggembirakan Si Iblis Buta, juga para tokoh sesat di situ merasa gelisah. Kalau dua orang muda dapat menandingi Kiu-bwee Coa-li itu berarti bahwa di pihak para pendekar terdapat orang-orang lihai sekali, padahal mereka masih begitu muda!

   “Aku sempat bertemu dengan suami isteri setengah tua yang menjadi murid Bu-Tong-Pai, dan aku berhasil membunuh mereka yang juga hendak menghadiri pertemuan para pendekar,”

   Kata pula seorang tokoh lain yang suaranya mirip bunyi tikus, mencicit. Ada pula yang melapor telah berhasil melukai seorang peserta pertemuan para pendekar, ada lagi yang melaporkan telah membunuh beberapa orang calon peserta dengan cara meracuni mereka. Pendeknya, laporan-laporan itu amat menyenangkan si Iblis Buta dan dia mengangguk-angguk sambil berkali-kali menyatakan senang hatinya.

   “Bagus, bagus… biarkan mereka tahu bahwa kita tidak tinggal diam dan kita bukanlah golongan lemah!”

   Tiba-tiba si cebol botak yang tadi pernah bicara, maju ke depan sambil menyeret sebuah buntalan.

   “Lojin, semua yang dihasilkan kawan-kawan itu masih tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan yang kuhasilkan!”

   Katanya menyombong dan dengan sikap menjilat. Iblis Buta mengerutkan alisnya dan telinganya yang lebih lebar dari pada telinga biasa itu nampak memperhatikan sekali. Kalau orang mau memperhatikan daun telinganya, di waktu dia mencurahkan pendengarannya itu, akan melihat betapa daun telinganya sedikit bergerak-gerak.

   “Jangan banyak cakap, buat laporan singkat yang betul!”

   Katanya.

   “Lojin, dalam perjalanan ke sini, aku menghadang keluarga pelancong. Kubunuh ayah ibunya, kuperkosa anak gadisnya dan harta rampasan yang kuperoleh juga lumayan. Lalu muncul seorang pendekar dari selatan yang mengaku anak murid Kong-thong-pai. Jumlah mereka ada tiga orang. Aku berhasil melukai seorang, membunuh seorang dan menawan yang seorang lagi.”

   “Kenapa ditawan?”

   “Ha-ha, ia seorang gadis cantik dan maksudku untuk mempersembahkannya kepadamu, lojin. Sayang, yang terluka dapat melarikan diri.”

   “Mana tawanan itu?”

   Si cebol botak lalu melepaskan buntalan dan di dalamnya ternyata terdapat seorang gadis yang cukup cantik dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Gadis itu berpakaian pendekar dan ia segera menggulingkan tubuhnya dan biarpun kaki tangannya terbelenggu, ia berusaha untuk memberontak.

   “Hemm, kiranya para iblis kaum sesat berkumpul di sini! Tunggu saja, kalian akan dihancurkan oleh para pendekar…”

   Tiba-tiba suaranya terhenti dan tubuhnya mengejang dan tewaslah wanita perkasa itu ketika Iblis Buta menggerakkan tongkatnya menuding ke arahnya. Tidak ada yang melihat bagaimana hanya dengan menudingkan tongkat ke arah wanita itu orangnya lalu mengejang dan mati. Akan tetapi para tokoh Cap-sha-kui dapat melihat sinar halus menyambar ke arah leher si gadis dan ternyata dari ujung tongkat itu menyambar senjata rahasia berupa jarum halus sekali yang menyambar tanpa bunyi, hanya mendatangkan cahaya berkilat halus dan hampir tak nampak. Si cebol botak terkejut bukan main melihat betapa Iblis Buta membunuh korban yang dipersembahkannya itu.

   “Tapi… tapi… kenapa…?”

   Teriaknya gagap.

   “Manusia tolol! Engkau malah membuka rahasia kita dan membiarkan pihak musuh mengetahui segalanya? Gadis pendekar itu tadi mendengarkan semua percakapan kita! Dan siapa tahu ada temannya yang membayangimu sampai ke sini. Bukankah yang seorang kau biarkan lolos?”

   “Tapi dia terluka…”

   “Apa Kau kira tidak ada orang lain yang dapat mendengarkan pelaporannya? Tolol, engkau malah mengkhianati kami!”

   Tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya lagi. Si cebol botak itu cukup lihai. Melihat demikian, dia dapat menduga bahwa Iblis Buta hendak membunuhnya seperti yang telah dilakukannya terhadap gadis tadi, maka cepat meloncat ke belakang, bersembunyi di belakang tubuh Kiu-bwee Coa-li untuk kemudian melarikan diri. Dan memang benar Iblis Buta tidak menyerangnya dengan jarum halus. Akan tetapi si cebol botak itu salah duga kalau dia akan dapat melarikan diri dengan mudah. Sebelum dia tahu apa yang akan terjadi, terdengar suara meledak dan cambuk di tangan Kui-bwee Coali bergerak melilit kakinya dan sekali menggerakkan cambuknya, tubuh si cebol botak itu terlempar ke depan kaki Iblis Buta.

   “Brukkkk!”

   Si cebol terbanting dan dia terbelalak ketakutan. Akan tetapi sambil mendengus Iblis Buta menggerakkan tongkatnya. Hanya terdengar suara “tuk!”

   Perlahan ketika ujung tongkat menyentuh tengkuk si cebol botak, akan tetapi akibatnya hebat sekali.

   Tubuh si cebol botak itu bergulingan, dari mulutnya terdengar suara merintih-rintih, kaki tangannya berkelojotan, dan dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah segar! Akan tetapi yang lebih mengerikan lagi, semua orang yang berada di situ tertawa-tawa geli dan gembira, seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukan lawak yang menyegarkan! Demikianlah watak mereka ini. Padahal yang sedang sekarat dan tersiksa oleh rasa nyeri hebat itu adalah seorang rekan mereka sendiri! Kita dapat dengan mudah melihat betapa kejamnya hati mereka itu. Akan tetapi kalau kita mau bersikap waspada dan mengamati diri sendiri, sekali waktu kita akan terkejut dan mungkin juga merasa ngeri betapa di dalam batin kitapun bisa terdapat kekejaman seperti itu. Betapa mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli melihat orang yang sedang disiksa oleh kenyerian,

   Bahkan sekali waktu kita seperti merasa terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga menderita! Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tiada bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu! Dan, tanpa melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat merobahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas dari pada kekotoran itu. Bahkan ketika si cebol botak masih berkelojotan dalam sekarat, percakapan mereka lanjutkan, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan taritarian dan mendengarkan nyanyian.

   “Sekarang kita harus melakukan persiapan. Kita mendekati Puncak Bukit Perahu dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak berapa besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan biar mereka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing yang sudah siap untuk dapat dipergunakan besok pagi?”

   Kata pula Iblis Buta. Mereka semua menyebutkan jumlah pengikut yang sudah siap dan ternyata jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri.

   “Cukup, lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan saja, dan kita yang akan berpestapora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi kita harus sudah siap bersembunyi di dalam hutan selatan puncak, membiarkan mereka berkumpul semua seperti tikus-tikus dalam sebuah lubang, tinggal membasmi saja!”

   Tiba-tiba Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar semua orang diam. Dia sendiri lalu melangkah ke kanan, mendekati tebing dari mana dapat kelihatan sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu. Semua orang ikut memandang dan tidak melihat sesuatu, juga yang mereka dengar hanya gemerciknya air sungai. Akan tetapi agaknya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Dan semua orang saling pandang dengan gelisah dan jantung berdebar karena memang benar, lapat-lapat kini merekapun mulai dapat mendengar suara Yang-kim. Yang-kim adalah semacam siter yang memakai senar-senar kawat berbunyi nyaring melengking dan kini di antara gemercik suara air itu terdengar suara Yang-kim dimainkan orang!

   Dan tak lama kemudian nampaklah pemain Yang-kim itu! Di bawah sinar bulan purnama yang seperti perak, nampak sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yang liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang dapat naik perahu enak-enakan main Yang-kim di atas air yang demikian liar dan banyak dihalangi batu-batu menonjol. Dan pemain Yang-kim itu adalah seorang kakek. Tidak nampak jelas bentuk mukanya, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara Yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti Yang-kim biasa sehingga suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.

   Mula-mula Yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu memasuki telinga demikian nyaringnya sehinga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk. Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sinkangnya sudah menjadi lemas dan mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seolah-olah dapat menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo sudah duduk bersila melakukan siulian (samadhi) untuk memperkuat sinkangnya menahan daya serangan suara Yang-kim itu.

   Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksasa baju hijau yang sudah memiliki tingkat kepandaian dan tenaga sinkang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apalagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia marah melihat betapa suara Yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita. Akan tetapi, diapun tahu bahwa pemain Yang-kim itu berada jauh di bawah tebing sehingga diapun tidak dapat mendekatinya. Akan tetapi, kakek buta ini memang hebat bukan main. Dari suara Yang-kim itu dia dapat menentukan di mana letak perahu yang ditumpangi pemain Yang-kim itu. Tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.

   “Krakkk…”

   Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, dan tepat sekali mengarah perahu di mana kakek berjenggot panjang masih bermain Yang-kim! Memang hebat sekali Siangkoan-lojin ini.

   Pendengarannya sedemikian tajamnya, tidak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah “awas”

   Dibandingkan orang yang tidak buta. Para tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak dan wajah berseri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menduga bahwa tentu perahu itu bersama penghuninya akan hancur lebur tertimpa batu yang demikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya. Akan tetapi, kakek berjenggot itu agaknya sama sekali tidak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerekkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan Yang-kim!

“Blarrrr…”

   Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus dan suara Yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu. Iblis Buta yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, menarik napas panjang.

   “Hemm, Gara-gara si tolol ini!”

   Katanya sambil menggerakkan kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tak bergerak lagi itupun kena ditendangnya dan melayang menuruni tebing yang curam! “Dia yang memancing datangnya orang pandai memata-matai tempat ini. Kita harus cepat bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan sembarangan bergerak. Kalau aku sudah turun tangan, barulah kalian boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang mendahuluiku. Mengerti?”

   Bagaimanapun juga, peristiwa dengan penabuh Yang-kim itu mengecutkan hati para tokoh hitam karena mereka maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu benar-benar lihai. Kalau banyak yang seperti itu di antara para tokoh pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh. Bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang lihai yang biasanya mengandalkan kekuatan sendiri. Apalagi mereka mempunyai anak buah yang banyak dan di tengah mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya.

   Maka, biarpun peristiwa tadi mengecutkan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut. Pada keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu telah dikurung oleh kurang lebih dua ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang semalam telah mengadakan pertemuan rahasia itu. Mereka semua telah mengurung dan bersembunyi, siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun tangan paling dulu. Akan tetapi, Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai matahari naik tinggi dan keadaan puncak itupun sunyi-sunyi saja. Akhirnya, mereka melihat bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu menyumpah-nyumpah!

   Karena melihat kakek itu sudah tiba, para gerombolan segera menyerbu ke atas dipimpin oleh kepala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi, setelah mereka tiba di atas puncak, mereka termangu-mangu melihat kakek buta itu marah-marah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pohon-pohon dan meremukkan batu-batu. Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorangpun pendekar di situ! Tahulah Iblis Buta Siangkoan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka itu menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Dan teringatlah dia akan kakek berjenggot panjang pemain Yang-kim semalam. Teringat pula dia akan si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini. Kini para tokoh menghadap Siangkoan-lojin.

   “Sekarang, setelah kita gagal di sini karena rahasia telah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal dalam tugas lain yang semalam telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini dan berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas khusus agar waspada di tempat masing-masing dan kalau ada gangguan dari para pendekar, agar dapat bersatu-padu menghadapi mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri seperti yang sudah-sudah. Kalau terjadi peristiwa penting, laporkan kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan kalau bertemu dengan para pendekar, hajar dan hadang mereka!”

   Setelah menerima perintah ini, merekapun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo pergi bersama untuk melaksanakan tugas mereka ke Cinan menghadapi perkumpulan Kang-Jiu-Pang yang kabarnya mempunyai niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri. Kiu-bwee Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Kemudian sepasang suami isteri kakek nenek dari Kuisenkok itupun pergi berdua untuk pergi membunuh Jenderal Ciang yang merupakan tugas paling berat. Tokoh-tokoh yang lain juga bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi sunyi kembali. Memang tidak mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi marah-marah.

   Mereka sudah mendapatkan keterangan jelas bahwa pada hari itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun pendekar datang ke tempat itu? Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang anggauta gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar naik ke puncak. Memang dugaan Iblis Buta itu tepat sekali. Para pendekar yang tadinya hendak menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi telah mendengar bahwa pertemuan itu dibatalkan dan semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama munculnya Iblis Buta, nama yang amat menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.

   “Kita tidak menghendaki bentrokan secara terbuka,”

   Demikian pemberitahuan itu melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para anggautanya terdiri dari murid-murid Siauw-Lim-Pai.

   “Apalagi jumlah mereka amat banyak dan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran massal. Maka terpaksa pertemuan dibatalkan dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing mengadakan usaha perorangan untuk menentang para penjahat dan membendung menjalarnya pengaruh mereka.”

   Pek-ho-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-Lim-Pai yang mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati para pendekar maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan. Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari Siauw-Lim-Pai dan karena dia seorang tokoh Siauw-Lim-Pai ahli Ilmu Silat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), maka diapun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para murid itu ke dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendalikan. Perkumpulan ini berada di kota Paoting dan karena Hwa Siong Hwesio sendiri sudah terlalu tua, sudah mendekati sembilan puluh tahun usianya,

   Maka perkumpulan itu diserahkan kepengurusannya kepada murid-murid kepala. Akan tetapi ketika Hwa Siong Hwesio mendengar akan kekacauan yang terjadi di mana-mana, apalagi mendengar bahwa Cap-sha-kui gentayangan seperti iblis-iblis keluar dari neraka, dia merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu. Akan tetapi, pada malam hari itu, perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, seorang kakek berjenggot panjang yang membawa Yang-kim di punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul.

   Dan kakek berjenggot ini yang memberitahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu. Mendengar berita mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai lalu menyebar murid-murid mereka untuk menghadang dan memberi tahu para pendekar yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha ini, maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka mendapatkan tempat kosong! Siapakah kakek berjenggot panjang membawa Yang-kim itu? Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan Yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari atas tebing.

   Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, di antara para pendekar dia disebut Shantung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shantung). Dia orang termuda dari Shantung SamLo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung), dua orang suhengnya telah meninggal dunia dan dia sendiri sudah berusia delapan puluh tahun. Setelah tinggal seorang diri, dia suka berkelana dan sudah bertahun-tahun tidak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan menanggalkan pedangnya dan menggantikannya dengan Yang-kim karena sejak dahulu, Shantung SamLo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan. Akan tetapi, ketika melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat,

   Shantung Lo-kiam terpaksa keluar juga, dan biarpun masih membawa Yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia dapat mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu. Diapun mendengar akan undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya. Demikianlah, pertemuan para pendekar dibatalkan demi keamanan, akan tetapi, para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui sudah bergerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, kini kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!

   Seperti juga para pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika berada di lereng bawah puncak, bertemu pula malam itu dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pendekar wanita ini tetap tenang saja. Ia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena ia tidak tahu siapa orang itu dan entah kawan atau lawan, maka ia bersikap tenang saja dan diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.

   “Nona, apakah nona seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?”

   Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon. Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua, berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba putih. Pertanyaannya diajukan dengan suara sopan akan tetapi sikapnya ragu-ragu karena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar. Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya. Ia harus berlaku hati-hati, karena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.

   “Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?”

   Ia balas bertanya, pandang matanya penuh selidik dan penuh tantangan. Laki-laki itu menjura.

   “Kalau nona termasuk seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya adalah anggauta Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung.”

   “Berita apakah itu?”

   Sui Cin tertarik.

   “Maaf, harap nona sudi memperkenalkan diri lebih dulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas.”

   Sui Cin tersenyum. Dia dapat memaklumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Ia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai merupakan perkumpulan yang mempelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-Lim-Pai.

   “Akupun boleh meragukan dirimu!”

   Katanya dan tiba-tiba saja gadis ini sudah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!

   Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka diapun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu silatnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini. Akan tetapi, tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, hanya memancing saja. Kalau ia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan lawannya. Setelah ia melihat gerakan laki-laki itu yang membentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan kelima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru ia percaya dan iapun melompat ke belakang.

   “Engkau benar murid Siauw-Lim-Pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebetulan lewat dan mendengar tentang pertemuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton. Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa saja.”

   Tentu saja omongan ini tidak diperdulikan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hebat dan memiliki kecepatan gerak yang luar biasa. Diapun tidak mengenal nama itu, akan tetapi sebagai peninjau, gadis inipun perlu diberi tahu.

   “Maaf, nona. Saya diberi tugas memberitahukan kepada semua pengunjung bahwa pertemuan para Pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka meninggalkan tempat ini sekarang juga karena Cap-sha-kui dan gerombolannya yang berjumlah besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan mengurung dan menyerbu tempat ini.”

   Tentu saja Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apaiagi mendengar sebutnya nama Si Iblis Buta.

   “Ah, kenapa tidak kita lawan saja?”

   Teriaknya penasaran. Yang datang berkumpul adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja?

   “Saya tidak dapat menerangkan banyak, nona. Akan tetapi demikianlah perintah suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah, selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu para calon pengunjung yang lain.”

   Orang itu melompat dan menghilang dalam gelap. Untuk beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali dan termenung.

   Ia tidak tahu persoalannya dan ia datang ke situ hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan melibatkan diri ke dalam keributan. Kini, mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja iapun tidak boleh mencampuri. Apa lagi ia sendiri belum tahu tindakan yang akan diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa ia telah berpisah dari Cia Sun sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding. Selagi ia termenung, tiba-tiba berkelebat bayangan orang lagi. Karena tadinya membayangkan betapa tempat itu akan diserbu musuh, maka sekali ini berkelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan iapun otomatis meloncat berdiri dan siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya. Akan tetapi orang itu tertawa ramah.

   “Ha-ha, nona Ceng, apakah aku membuatmu terkejut? Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu.”

   Ceng Sui Cin memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah sekali. Iapun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini kembali mengendur dan hatinya lega.

   “Aih, kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu.”

   Lalu ia teringat akan berita dari murid Pek-ho-pai tadi.

   “Apakah engkau juga sudah mendengar akan berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?”

   Pemuda yang baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri itu nampak terheran mendengar ucapan Sui Cin.

   “Murid Pek-ho-pai? Berita tentang apa? Aku belum mendengarnya, nona.”

   “Baru saja dia datang ke sini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Dia membawa berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan.”

   “Dibatalkan?”

   Sim Thian Bu nampak terkejut dan kecewa.

   “Aih, jauh-jauh aku datang untuk menghadiri pertemuan dan belajar kenal dengan para pendekar… wah, nona, kenapa dibatalkan?”

   “Karena besok tempat ini akan dikurung dan diserbu oleh para penjahat…”

   “Hemmm…”

   “Kaum sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri.”

   “Benarkah…?”

   “Bukan itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula.”

   “Hebat! Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?”

   “Tidak, hanya namanya saja yang kukenal.”

   “Kalau begitu, nona juga akan pergi dari sini, tidak jadi menghadiri pertemuan para pendekar?”

   “Ya, pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?”

   “Memang sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini, nona.”

   “Kita…?”

   “Ya, kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama? Bukankah kita sudah saling berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?”

   Sui Cin tersenyum.

   “Hemm, tidak selalu kenalan berarti sahabat.”

   Sim Thian Bu juga tersenyum.

   “Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona.”

   “Kenapa?”

   “Karena engkau lihai…”

   “Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?”

   “Mana mungkin engkau tidak lihai kalau engkau puteri Pendekar Sadis?”

   Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, seperti pakaian seorang sasterawan muda yang kaya. Untuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih menarik dari pada Cia Sun walaupun tentu saja terhadap Cia Sun ia sudah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpengaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun adalah putera tunggal Cia Han Tiong, kakak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya. Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya walaupun kelihatannya pantas menjadi seorang pendekar pula.

   “Hati-hati berhadapan dengan manusia, anakku,”

   Demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasihat.

   “Di dunia ini penuh dengan manusia yang palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesungguhnya adalah manusia jahat yang berbahaya, seperti harimau bertopeng domba.”

   Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan biarpun ia merasa suka bergaul dengan pemuda tampan yang berwajah gembira dan pandai bicara ini, namun ia belum menyerahkan seluruh kepercayaannya dan diam-diam bersikap waspada.

   “Kalau kita pergi dari sini, ke mana tujuanmu?”

   Ia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk melewatkan malam di tempat itu dan membuntal semua pakaiannya.

   “Ke Mana? Ha-ha, nona, sudah kuberitahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu ke mana akan pergi. Ke mana saja, asal dapat meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang amat indah. Bagaimana kalau kita melancong ke sana? Tentu saja kalau nona suka.”

   Pemuda itu memang pandai mengatur kata-katanya sehingga menyenangkan hati Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan perasaan gadis itu.

   “Baik, kita pergi ke sana,”

   Kata Sui Cin. Ia mengambil keputusan untuk barsenang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.

   Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huangho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki tempat-tempat peristirahatan atau tempat rekreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur. Di luar kota Cinan, di pantai Sungai Huangho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Di sini selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, Juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun di mana orang dapat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya.

   Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya menggunakan tempat ini untuk pelesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton terian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang. Akan tetapi pada hari itu, di kebun itu agak sepi. Hanya nampak beberapa orang berjalan-jalan di sana-sini, ada pula yang sedang duduk di perahunya memancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak. Seorang pelukis tua di atas gunung-gunungan asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya dan seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut,

   Menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya diapun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan di mana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya. Tak lama kemudian, penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu. Tiba-tiba wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.

   “… gerakan air dan awan berobah setiap saat tanpa bekas, tanpa tujuan…”

   Penyair itu bertepuk tangan dengan girang.

   “Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak, di dalam syair terkandung lukisan, keduanya tak dapat dipisahkan!”

   Akan tetapi setelah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik.

   “Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah mereka.”

   Si pelukis memandang ke arah pemukaan telaga di mana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyikan muka mereka, dan dari bawah caping itu, mata mereka Kadang-kadang ditujukan ke arah seorang pemuda yang sedang mendayung perahu seorang diri sambil minum arak! Dua orang bercaping lebar itu memiliki bentuk tubuh yang tegap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat sebatang pedang.

   Kini pelukis itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan bersama si penyair lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap dan keduanya nampak akrab sekali, mungkin karena keduanya seniman. Usia mereka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka mengenakan pakaian sasterawan yang sederhana. Orang-orang takkan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang kakek sederhana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka, orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan mereka. Tangan seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan!

   Bagi ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kakek-kakek seniman ini pernah mempelajari ilmu pukulan yang ampuh! Memang demikianlah. Dua orang kakek ini bukan orang-orang sembarangan melainkan tokoh-tokoh dari Kang-Jiu-Pang! Kang-Jiu-Pang (Perkumpulan Kepalan Baja) didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan perkumpulan itu berpusat di Cinan. Song Pak Lun adalah bekas perwira tinggi yang ikut didepak keluar karena menentang kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia tidak mendendam karena dikeluarkan, melainkan sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat betapa pemerintah dikendalikan oleh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka diapun selalu bersikap menentang.

   Dalam usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia memiliki banyak murid yang menjadi anggauta Kang-Jiu-Pang. Ketika dia mendengar bahwa kaisar dalam penyamaran sedang berpelesir meninggalkan istana dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia lalu mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertindak. Kaisar harus ditawan, diculik, demiklan keputusannya. Sebagai seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hendak menawan kaisar muda itu dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancaman nyawa, agar kaisar suka menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik baginya untuk melaksanakan maksud itu.

   Kebetulan kaisar muda itu melakukan perjalanan ke daerah Cinan, menyamar sebagai seorang pemuda biasa! Dua orang pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan memperoleh kepercayaan Liu-thaikam yang diam-diam mengutus dua orang pengawal untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat setia kepida kaisar! Liu-thaikam setia kepada kaisar, sebetulnya dia mempertahankan kesenangan yang diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiripun celaka! Dan bentuk kesenangan yang diperoleh seseorang bukan hanya terbatas pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan, melainkan dapat saja berupa kesenangan batiniah berupa nama terhormat dan sebagainya.

   Kita kembali kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri dalam perahunya sambil minum arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk bersih menyegarkan di pagi hari itu. Pemuda itu berpakaian seperti seorang sastrawan, berwajah tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek! Semenjak diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, empat tahun yang lalu, kaisar muda ini tidak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap pemerintahan. Dia lebih senang menghibur diri dengan permainan silat, atau membaca kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan setelah usianya makin dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita.

   Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini, dalam usahanya untuk menguasai hati kaisar, tentu saja menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar itu. Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pandai, sehingga kaisar muda itu makin tenggelam ke dalam kesenangan tanpa memperdulikan urusan pemerintah. Dan satu di antara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda biasa, menanggalkan pakaian kebesaran dan mahkota yang berat itu, meninggalkan upacara-upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, meninggalkan semua itu agar diurus oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas di udara seperti burung, terbang melayang sekehendak hatinya!

   Kaisar Ceng Tek, sebagai seorang yang paling berkuasa tentu dapat melepaskan diri atau mencoba untuk melepaskan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa yang dilakukannya bukanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia masih mempergunakan haknya sebagai kaisar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan akibat dari pelarian ini adalah kekacauan! Roda pemerintahan dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi penumpukan harta benda. Pada pagi hari itu, Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil tersenyum-senyum gembira, mengira bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui keadaan dirinya. Dia tidak tahu bahwa tidak jauh dari perahunya, dua orang tukang pancing setengah tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan.

   Juga dia tidak tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia menjadi pusat perhatian banyak orang dan berada dalam keadaan terancam. Ketika itu, si penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-Jiu-Pang yang lihai, yang merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-Jiu-Pang dan yang bertugas memimpin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil, mendayungnya sambil minum arak dan si penyair bernyanyi-nyanyi kecil membacakan sajaknya. Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang memancing ikan itu dan tiba-tiba perahu mereka itu menabrak perahu dua orang tukang pancing yang bercaping dan yang tidak menyangka-nyangka itu.

   “Heiii…”

   Seorang di antara mereka berteriak, akan tetapi tiba-tiba saja sikap dua orang kakek seniman itu berobah. Mereka sudah meloncat dan menggunakan dayung mereka menghantami ke arah dua orang kakek bercaping.

   “Heiiiittt!”

   “Hyaaattt…”

   Dua orang bercaping itupun meloncat, mengelak dan mencabut pedang yang tersembunyi di balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng dan mereka berempat mulai berkelahi dengan seru. Dua orang seniman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melancarkan pukulan-pukulan ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu menggunakan pedang.

   Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan talinya itu bergoyang-goyang keras dan setiap saat perahu-perahu itu dapat saja terguling. Kaisar Ceng Tek yang perahunya berada tak jauh dari situ, terkejut mendengar suara gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang saling serang dengan hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, sang kaisar bangkit berdiri di perahunya dan menonton dengan gembira! Satu di antara kesukannnya adalah menyaksikan pertandingan silat dan kini dia disuguhi pertandingan yang seru dan menarik di atas dua buah perahu yang digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu silat yang hebat.

   “Ceppp…”

   Perahu kecil itu terguncang dan sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk dan berpegang kepada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar perahunya tidak terguling. Kiranya setelah dia duduk, dia melihat betapa sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap!

   “Heiii, apa-apaan ini? Lepaskan perahuku!”

   Sang kaisar berteriak marah.

   “Tenanglah saja, sri baginda!”

   Terdengar suara di belakangnya. Kaisar Ceng Tek cepat menengok dan ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan nampak gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding melawan dua orang bercaping itu.

   Kaisar Ceng Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya sudah berada dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri karena mereka itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, selain belum tentu akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu untuk membunuhnya kalau mereka kehendaki. Jalan satu-satunya hanyalah menyerah saja sambil melihat bagaimana perkembangannya. Dia juga tahu bahwa mereka tentu tidak berniat membunuhnya, karena kalau demikian halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya? Tidak nampak ada petugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk dapat menolongnya dari orang-orang ini. Kini perahu sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang meloncat ke dalam perahu kecil itu.

   “Harap paduka menyerah saja dan menurut kehendak kami dari pada paduka harus dipaksa dengan kekerasan,”

   Kata seorang di antara mereka yang tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang.

   “Mari kita mendarat.”

   Kaisar Ceng Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biarpun jantungnya berdebar penuh ketegangan, bahkan ada sedikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh amat menarik, lalu diapun melangkah keluar dari perahu dan mendarat. Akan tetapi, pada saat delapan orang itu mendarat semua, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.

   “Tikus-tikus bosan hidup!”

   Tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wanita yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya dan yang tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil dan mulut lebar yang giginya besar-besar putih. Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-Jiu-Pang itu.

   “Awas senjata rahasia!”

   Teriak orang tertua. Para anggauta Kang-Jiu-Pang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa mengejek.

   “Ha-ha-ha, orang-orang Kang-Jiu-Pang hendak berlagak!”

   Dan muncul pula seorang kakek tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok. Kakek ini memegang sebatang pecut baja yang panjang dan pada ujungnya terdapat paku besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya jorok dan kotor.

ASMARA BERDARAH JILID 05

Melihat munculnya dua orang ini, delapan orang Kang-Jiu-Pang terkejut bukan main. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kuibo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huangho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.

   “Jiwi locianpwe, harap jangan mencampuri urusan dalam Kang-Jiu-Pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan jiwi atau dengan golongan jiwi!”

   Kata orang tertua dari Kang-Jiu-Pang dengan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan dua orang datuk kaum sesat ini. Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hubungannya dengan golongan manapun, sehingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi pekerjaan mereka.

   “Ha-ha-ha!”

   Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor.

   “Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam? Ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tidak akan membiarkan begitu saja!”

   Mendengar ucapan ini, terkejutlah orang-orang Kang-Jiu-Pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-Jiu-Pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu! Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-Jiu-Pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih kedua tangan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu.

Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo yang mempertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, tidak mempergunakan senjata mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya, dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan cambuk bajanya dan mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-Jiu-Pang dengan tangan kosong pula. Para murid Kang-Jiu-Pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka biarpun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-Jiu-Pang itu kewalahan dan beberapa orang di antara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu.

   Adapun murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut mengeroyok, melainkan dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menonton dengan heran dan kagum. Dia merasa heran mengapa orang-orang yang kelihatannya seperti pendekar-pendekar gagah menculiknya, dan kini dua orang yang seperti iblis jahat malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu. Murid Kang-Jiu-Pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para sutenya tidak akan menang menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki tangan Liu-thaikam, diapun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Kalau terjadi apa-apa dengan kaisar hal itu berarti akan amat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang hanya sementara itu.

   “Berhenti, atau kubunuh kaisar…”

   Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu. Sang kaisar hanya terbelelak dan pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-Jiu-Pang itu sedangkan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.

   Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar telah ditodong oleh seorang murid Kang-Jiu-Pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan kalau sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka akan takut akan kemarahan Iblis Buta. Akan tetapi pada saat itu murid Kang-Jiu-Pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh dan terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-Jiu-Pang dan membuatnya roboh pingsan itu dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut,

   “Harap paduka jangan khawatir, sri baginda.”

   Melihat betapa kaisar telah terlepas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo menjadi girang sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-Jiu-Pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya lalu mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk. Kasihan para murid Kang-Jiu-Pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah kewalahan, apalagi harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka.

   Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuk bajanya yang berujung paku itu dan dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku. Juga Hwa-hwa Kuibo mengamuk dan tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya. Nenek ini merasa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo, maka tangan kirinya bergerak dan belasan batang jarum beracun meluncur dan menancap ke leher dan dada murid Kang-Jiu-Pang yang masih pingsan, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru datang. Dengan demikian, mereka berdua telah membunuh delapan orang murid Kang-Jiu-Pang itu, seorang empat! Kini dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang telah menyelamatkan kaisar dan keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng!

   Karena dua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka dan nampaklah deretan gigi putih yang besar-besar. Pemuda itu memang ganteng. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat, wajahnya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan sepasang mata yang jernih dan tajam itupun selalu berseri gembira. Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agaknya dia jauh dari pada pesolek. Biarpun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat.

   Pemuda berusia dua puluh satu tahun ini memang amat menarik, merupakan seorang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira. Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa sepasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya berkewajiban menyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri. Pada saat itu, dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-Jiu-Pang yang menyamar sebagai dua orang seniman, datang berlarian dengan pakaian basah kuyup. Mereka kelihatan gembira sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.

   “Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan orang-orang gagah ini,”

   Kata seorang di antara mereka. Kaisar Ceng Tek merasa jengkel melihat penyamarannya dikenal orang. Rahasianya telah terbuka dan tidak ada gunanya lagi berpura-pura, maka diapun mengerutkan alisnya bertanya,

   “Kalian siapa?”

   “Hamba berdua adalah perwira pengawal yang diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka.”

   “Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!”

   Kata kaisar tak sabar.

   “Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba ada dua orang, agaknya tokoh-tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba dan terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah ketika kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri sambil berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini.”

   Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja.

   “Siapakah kalian?”

   Tanyanya singkat. Biarpun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak memperdulikan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gentar. Mereka saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan. Apaiagi nenek itu, merasa tidak sanggup untuk menjawab dan dengan pandang matanya di balik kedok, ia menyerahkan saja jawabannya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani sembrono lalu menjura.

   “Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi paduka dan mereka ini adalah orang-orang Kang-Jiu-Pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-Jiu-Pang dan akan kami basmi sampai habis semua anggautanya!”

   Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan tadipun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, biarpun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculiknya. Maka tanpa mengeluarkan komentar diapun lalu menoleh kepada pemuda tampan yang pakaiannya nyentrik itu.

   “Dan engkau siapa?”

   Pemuda itu menjura dengan sikap hormat.

   “Hamba adalah pelancong yang kebetulan lewat dan melihat paduka, yang tadinya tidak hamba sangka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui setelah mendengarkan percekcokan mereka, terancam bahaya, hamba merasa berkewajiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya.”

   Kaisar semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-Jiu-Pang yang seperti pendekar-pendekar itu, ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan inipun agaknya enggan memperkenalkan nama. Ah, diapun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka diapun berpaling kepada dua orang perwira pengawal,

   “Mari, antar aku pulang, aku lelah sekali!”

   Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada kakek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang pengawalnya. Setelah kaisar pergi, nenek itu terkekeh.

   “Huhhuh, begitu sajakah kaisar? Tak mengenal budi! Eh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!”

   “Kaisar tidak minta dilindungi, kenapa engkau mengomel?”

   Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda.

   “Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari perguruan mana? Aku suka sekali bersahabat denganmu!”

   “Jangan percaya omongannya! Paling-paling engkau akan dijadikan teman tidurnya!”

   Hwa-hwa Kuibo mengejek.

   “Wah, masih jauh lebih baik dari pada menjadi pacar nenek seperti tua bangka ini!”

   Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas. Pemuda itu tersenyum.

   “Ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku tidak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau ini Hwa-hwa Kuibo, dua orang datuk muara Huangho yang terkenal itu, bukan?”

   “Bagus engkau sudah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah aku dan menjadi muridku yang terkasih!”

   Kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.

   “Engkau menjadi muridku saja, dan apapun yang kau minta tentu terlaksana.”

   “Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana kalau kalian berebut saja? Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku? Yang menang itulah guruku!”

   Kata si pemuda sambil tertawa.

   “Bagus!”

   Hwa-hwa Kuibo berseru dan nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang mengairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya! Kakek itupun menjadi marah dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang. Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu. Ada dua puluh jurus lewat mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tidak ada lagi di situ, telah pergi dengan diam-diam tanpa mereka ketahui karena mereka hanya mencurahkan perhatian untuk mencari kemenangan!

   “Celaka, kita tertipu!”

   Bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.

   “Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?”

   “Bagaimanapun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di antara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas panting kita!”

   “Tapi aku belum kalah!”

   Tantang si nenek.

   “Akupun belum!”

   “Mari kita lanjutkan!”

   “Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?”

   “Sialan! Mulut runcing!”

   Si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga. Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan iapun tidak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-Jiu-Pang. Menjelang senja, kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sarang Kang-Jiu-Pang. Sebagai rumah perkumpulan persilatan, tempat itu dikelilingi tembok tebal seperti benteng dan di luar pintu gerbang yang besar itu terjaga oleh beberapa orang pemuda anggauta Kang-Jiu-Pang. Ketika dua orang datuk kaum sesat itu tiba di situ, mereka tidak berani sembarangan bergerak.

   Keduanya sudah lama mengenal perkumpulan ini dan maklum bahwa perkumpulan itu dipimpin oleh Song Pak Lun yang lihai sekali, terutama sekali kedua “tangan baja! yang telah dilatihnya secara sempurna itu. Juga mereka tahu bahwa perkumpulan ini memiliki murid atau anggauta yang puluhan orang jumlahnya. Maka, keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak mengambil tindakan secara terbuka karena bagaimanapun juga, mereka merasa berada di pihak pemerintah yang menghadapi pemberontak, jadi tentu saja mereka berdua merasa mendapat angin. Ternyata bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat dan sikapnya tenang dan angker.

   Inilah Song Pak Lun sendiri, ketua Kang-Jiu-Pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang! Di sampingnya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang amat pahit itu, ialah bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-Jiu-Pang untuk menculik kaisar itu gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara mengerikan dalam tangan dua orang datuk sesat. Sejenak kedua pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak memperlihatkan kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan usahanya.

   “Sejak kapan Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo menjadi antek pembesar lalim Liu-thaikam?”

   Demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu nampaknya tidak sabar lagi. Kakek dan nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-Jiu-Pang itu diikuti oleh murid-murid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggauta Kang-Jiu-Pang itu kelihatan marah dan mendendam kepada mereka berdua. Dengan sikap tenang mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya dan memutar-mutar senjata itu dengan sikap menantang sekali, lalu dia berkata,

   “Dan sejak kapan Kang-Jiu-Pang menjadi gerombolan pemberontak?”

   “Hemm, sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?”

   Kembali Song Pak Lun bertanya.

   “Orang she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!”

   Tiba-tiba Hwa-hwa Kuibo yang memang wataknya galak itu memaki.

   “Engkau memusuhi kaisar atau tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-Jiu-Pang. Nah, sekarang terserah kepadamu, hendak menyerahkan nyawa dengan baik-baik ataukah kami harus menggunakan kekerasan!”

   Sambil berkata demikian, nenek itu mencabut pedangnya. Wajah Song Pak Lun menjadi pucat sebentar, lalu berobah merah sekali, sepasang matanya lebar terbelalak dan seperti mengeluarkan api. Tadi dia terkejut mendengar disebutnya narna Siangkoan-lojin. Kiranya Iblis Buta itu benar-benar telah keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia? Dan dia marah mendengar kesombongan nenek itu.

   “Kami adalah orang-orang gagah dan sampai matipun kami menjunjung kegagahan. Kalau kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan merasa malu walaupun memperoleh kernenangan. Hek-mo dan Kuibo, majulah hadapi aku satu lawan satu, kalau aku kalah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan Kang-Jiu-Pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala kalian untuk menyembahyangi arwah delapan orang murid kami.”

   Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, akan tetapi Hwa-hwa Kuibo yang lebih cerdik dan sudah tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, berseru,

   “Kami datang berdua sebagai utusan, mati hidup harus kami lakukan berdua. Karena itu, kami berdua akan maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!”

   Diam-diam Koai-pian Hek-mo meraaa girang karena kecerdikan temannya ini menempatkan mereka di atas. Diapun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-Jiu-Pang adalah ketua itu sendiri. Melawan ketua itulah yang berat. Kalau mereka berdua maju bersama, tentu terpaksa ketua itu memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka berdua. Kalau pembantu itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan mengeroyok sang ketua dan tentu mereka akan dapat menang! Song Pak Lun juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kuibo yang bukan tidak masuk akal ini. Seorang di antara dua seniman tua tadi melangkah maju dan berkata,

   “Pangcu, biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka.”

   Akan tetapi Song Pak Lun menggeleng kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid pertama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara murid-muridnya. Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya dan diapun tahu bahwa kalau dia membiarkan seorang di antara mereka maju, hal itu hanya berarti membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja. Tidak, usahanya telah gagal dan dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.

   “Aku akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kuibo!”

   Katanya dengan tegas.

   “Tidak adil seorang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua Kang-Jiu-Pang!”

   Tiba-tiba terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang iblis itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah mereka perebutkan! Pemuda itu dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, dengan senyumnya yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam telah berdiri di situ sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.

   “Kau… ah, jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?”

   Hwa-hwa Kuibo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk dengan suara merayu.

   “Tunggulah, aku membasmi Kang-Jiu-Pang ini lebih dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!”

   Pemuda itu tertawa.

   “Sayang seribu sayang, Kuibo, tapi kedokmu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu.”

   Pemuda itu agaknya sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk menggoda dan mengejek, karena tidak ada yang lebih memanaskan hati Hwa-hwa Kuibo dari pada kalau orang bicara tentang mukanya dan kedoknya.

   “Bocah keparat, kucabut lidahmu!”

   Bentak nenek itu dengan marah. Sementara itu, Song Pak Lun memandang tajam kepada pemuda yang baru datang, dan ketika murid kepala di belakangnya membisikkan bahwa perwida inilah yang pernah membantu dua orang iblis itu menyelamatkan kaisar dan merobohkan seorang murid Kang-Jiu-Pang, tentu saja hatinya penuh curiga dan kemarahan. Tidak mungkin pemuda yang sudah membantu dua orang iblis itu kini bendak membantu Kang-Jiu-Pang menghadapi mereka. Ini tentu pura-pura, atau siasat pihak lawan. Kaum sesat terkenal curang dan tidak segan mempergunakan akal-akal licik.

   “Kang-Jiu-Pang tidak pernah mengharapkan bantuan orang luar, dan engkau orang muda malah masih ada perhitungan yang belum beres dengan kami!”

   Bentaknya. Pemuda itu menoleh kepadanya dan menarik napas lalu menjura.

   “Maaf, pangcu. Aku pernah merobohkan muridmu karena melihat murid-muridmu hendak mengganggu kaisar. Akan tetapi setelah kuselidiki tadi, baru aku tahu apa dasarnya. Walaupun aku sendiri tidak menyetujui caramu, akan tetapi baru kuketahui bahwa Kang-Jiu-Pang bukan golongan jahat. Maka, untuk menebus kesalahanku, aku hendak membantu Kang-Jiu-Pang.”

   “Hemm!”

   Ketua yang keras hati itu mencela.

   “Kalau tidak ada campur tanganmu, tentu usaha kami telah berhasil dan murid-murid kami tidak ada yang tewas. Kami tidak dapat menerima bantuan orang yang telah mencelakakan kami!”

   Pemuda itu agaknya maklum bahwa dalam saat seperti itu, banyak bicara tidak ada gunanya. Ketua Kang-Jiu-Pang itu agaknya bukan hanya bertangan baja, akan tetapi juga berwatak baja yang keras. Diapun menggerakkan kedua pundaknya.

   “Terserah, kalau tidak boleh membantu akupun tidak akan membantu kalian. Akan tetapi, aku sendiri masih mempunyai perhitungan dengan dua iblis ini yang harus kubereskan sekarang juga. Hei, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo, kutantang kalian untuk maju melawan aku. Kalau kalian tidak berani, akan kusudahi perkara ini kalau kalian suka membuntungi lengan kanan masing-masing dan memberikannya kepadaku!”

   Mendengar ucapan yang nadanya memandang rendah sekali ini, ketua Kang-Jiu-Pang dan semua anak buahnya terkejut. Bahkan kakek dan nenek iblis itu sendiri terbelalak, lebih kaget dari pada marah.

   Ada seorang muda berani mengeluarkan ucapan seperti itu! Sungguh kurang ajar, terlalu menghina. Pemuda itu memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang nadanya memandang rendah untuk memaksa dua orang iblis itu menandinginya, atau setidaknya seorang di antara mereka agar lawan ketua Kang-Jiu-Pang menjadi ringan. Dan usahanya ini berhasil baik. Dua orang datuk sesat itu marah sekali, merasa amat dipandang rendah. Terdengar suara menggereng keras seperti seekor harimau terluka dan terdengar suara meledak nyaring ketika pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Ujung pecut baja yang panjang itu dipasangi paku besar dan kini paku itu meluncur ke arah pelipis si pemuda yang dianggap sombong dan bermulut besar.

   “Eh, luput…”

   Pemuda itu mengejek sambil menggerakkan kepalanya mengelak.

   “Wuuuuttt… singgg…”

   Paku di ujung pecut itu lewat beberapa senti saja di pinggir kepala pemuda yang kelihatannya begitu tenang dan menghadapi kakek iblis itu sambil tersenyum-senyum.

   “Tartartartarrr…”

   Pecut itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar, akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, menghindar ke kanan kiri dengan gerakan yang indah dan mantap. Demikian yakin dia akan dirinya sendiri sehingga gerakannya tidak nampak gugup, namun ujung pecut yang kelihatannya seperti akan mengenai dirinya itu selalu luput.

   “Wah, tidak kena lagi, Hek-mo!”

   Dia berulang-ulang mengejek. Song Pak Lun bukanlah seorang yang bodoh. Biarpun dia keras hati dan memiliki harga diri yang tinggi, namun dia cukup cerdik. Dia tadi telah menolak bantuan pemuda itu, dan kalau kini pemuda itu berkelahi melawan Koai-pian Hek-mo, hal itu adalah urusan mereka berdua sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan Kang-Jiu-Pang. Akan tetapi tentu saja hal ini amat menguntungkan dirinya karena dengan terlibatnya Hek-mo dalam perkelahian melawan pemuda itu yang dia lihat memiliki gerakan cukup hebat, maka kini dia hanya tinggal menghadapi Hwa-hwa Kuibo seorang, jadi tidaklah begitu berat jika dibandingkan dengan melawan dua orang datuk sesat itu bersama.

   “Hwa-hwa Kuibo, lihat seranganku!”

   Bentaknya dan diapun sudah menerjang maju dengan tamparan tangannya. Kedua tangan ketua Kang-Jiu-Pang ini, dari siku ke bawah, telah berobah warnanya menjadi persis warna besi baja dan mengkilat pula. Ketika tangan kiri itu menampar, bunyinya berdesing dan amat panas ketika menyambar ke arah muka Hwa-hwa Kuibo. Nenek ini maklum akan ampuhnya tangan baja ketua Kang-Jiu-Pang itu, maka iapun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan pedangnya ke arah lambung lawan.

   “Tranggg…”

   Nenek berkedok itu terkejut bukan main. Ternyata ketua Kang-Jiu-Pang itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika pedang itu bertemu dengan tangan kanan Song Pak Lun, terdengar bunyi nyaring seolah-olah pedangnya bertemu dengan logam dan mengeluarkan percikan bunga api, bahkan tangan kanan yang memegang pedang itu terasa tergetar hebat! Barulah ia tahu sekarang bahwa nama Song Pak Lun sebagai ketua perkumpulan Tangan Baja sungguh bukan nama kosong belaka dan nenek inipun lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Terjadi perkelahian yang amat seru dan mati-matian di antara mereka, ditonton oleh para anggauta Kang-Jiu-Pang dengan hati tegang.

   Akan tetapi, ketegangan karena perkelahian antara ketua Kang-Jiu-Pang melawan Hwa-hwa Kuibo mengendur banyak ketika mereka itu menyaksikan perkelahian antara Koai-pian Hek-mo dan pemuda tampan yang tersenyum-senyum itu. Bahkan, para anggauta Kang-Jiu-Pang Kadang-kadang tak dapat menahan gelak tawa mereka melihat kelucuan pemuda itu menghadapi lawannya di samping mereka menjadi terheran-heran, bahkan demikian kagum sampai bengong. Pemuda itu benar-benar memiliki gerakan yang amat lincah. Dia tidak mengandalkan kecepatan ketika menghadapi pecut baja lawan, melainkan mengandalkan gerak kaki yang demikian indah dan mantap, kedua kakinya bergerak ke depan belakang, kanan dan kiri demikian indah dan mantapnya sehingga tubuhnya dapat selalu menghindar dari sambaran ujung pecut baja. Kadang-kadang dia mentertawakan lawannya.

   “Wah, luput lagi, Hek-mo. Pakumu sudah usang, ganti saja dengan yang baru.”

   “Sing…”

   Wirrr… singgg…”

   “Nah, tidak kena lagi! Gerakanmu terlalu lemah! Apa kau belum makan? Kalau lapar jangan bertanding silat, nanti masuk angin…”

   “Wuuuuttt… sing…”

   “Apa kubilang, luput lagi…”

   “Keparat!”

   Kakek itu memaki dan memutar cambuk bajanya lebih cepat lagi. Cambuk itu sendiri lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu membentak, suaranya demikian keras mengejutkan.

   “Perlahan dulu!”

   Kakek itupun terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung cambuknya yang dipasangi paku itu telah tertahan dan terjepit oleh dua jari tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya! Semua orang memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biarpun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan! Dia mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan! Sinkang yang amat kuat, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani mengeluarkan kata-kata sombong, kiranya bukan bual belaka dan memang pemuda ini “berisi”. Dia mengerahkan tenaga lagi sambil menarik dan tiba-tiba,

   “Singggg…”

   Pemuda itu melepaskan jepitan jarinya! Tentu saja paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya.

   “Uhhh…”

   Hampir saja muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berobah agak pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri.

   “Nah, apa kubilang? Jangan main-main dengan segala pecut dan paku yang tiada gunanya, salah-salah hidungmu sendiri terpaku!”

   Pemuda itu mengejek dan beberapa orang anggauta Kang-Jiu-Pang bersorak. Kini wajah Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia hampir celaka. Hatinya menjadi penasaran sekali.

“Orang muda, beritahukan namamu agar aku tahu dengan siapa aku bertanding!”

   Pemuda itu tersenyum.

   “Eh, kenapa tanya-tanya nama segala? Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu? Wah, jelas kutolak kalau mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi, biarlah agar engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu, aku she Cia bernama Hui Song!”

   “Dari perguruan mana?”

   “Cerewet! Memangnya kita ini kong-kauw (ngobrol) atau sedang bertanding? Hayo lanjutkan permainan cambuk bajamu yang jelek itu!”

   Pemuda yang bernama Cia Hui Song itu mengejek.

   “Bocah sombong!”

   Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya.

   “Tar-tar-tarrr!”

   Lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ubun-ubun kepala Cia Hui Song. Akan tetapi, sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan jari tangannya untuk menjentik.

   “Tringgg…”

   Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya! Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan menghujankan serangan. Akan tetapi terdengar suara nyaring tangtingtangting ketika Hui Song menyambut paku itu dengan jentikan jari-jari tangan bahkan diapun lalu membalas dengan tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya sehingga angin pukulannya saja membuat rambut dan baju lawannya berkibarkibar dan dalam beberapa gebrakan saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.

   Kini baru benar-benar Hek-mo terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa amat penasaran dan malu. Dia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kuibo untuk menjadi muridnya dan siapa kira, bocah ini malah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dia hanya ingin menjadi gurunyapun tidak mampu menandinginya! Sementara itu, Hwa-hwa Kuibo dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan menghadapi sepak terjang ketua Kang-Jiu-Pang dengan sepasang tangan bajanya itu. Tangan kanannya yang memegang pedang juga terasa lelah sekali karena setiap kali bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar. Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak,

   “Kuibo, mari kita pergi!”

   Iapun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali. Iapun tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini, lambat laun ia akan kalah melawan ketua Kang-Jiu-Pang. Cepat tangan kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan. Song Pek Lun maklum akan bahayanya Jarum-jarum itu, maka diapun cepat mengelak mundur sambil menggunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki Jarum-jarum sehingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kuibo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dahulu tanpa dikejar oleh Cia Hui Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya mengambil langkah seribu. Pemuda itu lalu menghadapi Song Pak Lun dan menjura.

   “Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang terancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu cepat-cepat bersama seluruh anggauta Kang-Jiu-Pang meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggauta Kang-Jiu-Pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau membasmi Kang-Jiu-Pang.”

   Song Pak Lun menarik napas panjang.

   “Kami mengerti dan bagaimanapun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua Cin-Ling-Pai?”

   Hui Song tersenyum dan mukanya menjadi merah.

   “Aku tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku.”

   “Ahh…”

   Para anggauta Kang-Jiu-Pang berseru kaget. Kiranya pemuda ini adalah putera ketua Cin-Ling-Pai! Pantas saja demikian lihai!

   “Aku mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan kami, Cia-taihiap,”

   Kata ketua Kang-Jiu-Pang itu.

   “Terima kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut terseret, hanya ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-Ling-Pai terlibat. Nah, selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dan semua anggautamu dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!”

   Cia Hui Song lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggauta Kang-Jiu-Pang pergi meninggalkan Cinan berikut keluarga mereka. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, mereka hanya menemukan sarang yang kosong karena semua burungnya telah terbang pergi entah ke mana.

   Cia Hui Song adalah putera ketua Cin-Ling-Pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Cin-Ling-Pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang telah berusia lima puluh tahun. Para pembaca kisah Pendekar Sadis tentu telah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang sudah mencuci tangan dan merobah jalan hidupnya di atas jalan bersih. Ayah mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di Ceng-tao di Propinsi Shantung. Julukannya ketika masih menjadi datuk adalah Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aselinya Minamoto. Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat.

   Puterinya ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-Ling-Pai. Cia Kong Liang hidup rukun dan saling mencinta dengan Bin Biauw dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Cia Hui Song ini sudah berusia dua puluh satu tahun. Setelah ayahnya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-Ling-Pai sebagai ketuanya dan semenjak itu, di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya, Cin-Ling-Pai menjadi semakin kuat dan terkenal. Dalam mendidik dan melatih murid-murid Cin-Ling-Pai, Cia Kong Liang bersikap keras sehingga di antara murid-muridnya banyak yang jadi. Tentu saja puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun sehingga Cia Hui Siong telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-Ling-Pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu dari ibunya yang memiliki ciri khas.

   Pemuda ini sejak kecil berada di Cin-Ling-Pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san, dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang sejak mudanya berwatak keras, pendiam dan serius, bahkan agak angkuh dan tinggi hati. Agaknya Hui Song menuruni watak ibunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang karena sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat sepi dan berbahaya sehingga seringkali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya. Akan tetapi dia tidak pernah merasa jera, apalagi karena dilindungi ibunya sehingga akhirnya ayahnya merasa bosan sendiri dan membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal dan juga aneh, mengenakan pakaian seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.

   Kehadirannya di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-Ling-Pai. Akan tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, diapun meninggalkan tempat itu dan sebelum pulang ke Cin-Ling-Pai dia melancong dulu sampai ke Cinan di mana secara kebetulan dia dapat menyelamatkan kaisar kemudian berbalik membantu Kang-Jiu-Pang menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis. Setelah memberi nasihat kepada Kang-Jiu-Pang agar cepat-cepat meninggalkan Cinan, Hui Song sendiri segera pergi dari kota itu. Diapun merasa khawatir kalau-kalau pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-Ling-Pai. Bantuannya terhadap Kang-Jiu-Pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua orang iblis itu ternyata adalah kaki tangan pemerintah pula!

   Dia sendiri masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya. Kaisar akan diculik oleh kumpulan pendekar Kang-Jiu-Pang, sedangkan orang-orang macam Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo malah melindungi kaisar. Apakah dunia ini sudah terbalik? Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar dan para penjahat malah membelanya? Memang pemuda ini tidak begitu memperdulikan urusan pemerintahan, maka diapun tidak tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu sebetulnya bukan mengabdi kepada kaisar melainkan kepada pembesar lalim yang memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah. Pada keesokan harinya, Hui Song telah pergi jauh dari Cinan menuju ke selatan.

   Dia harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan atau pembatalan pertemuan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang dialaminya di Cinan. Sebelum dia turun tangan membantu Kang-Jiu-Pang, dia telah melakukan penyelidikan kilat di Cinan tentang perkumpulan itu dan mendapat kenyataan bahwa Kang-Jiu-Pang adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah mengapa dia tanpa ragu-ragu cepat pergi ke Kang-Jiu-Pang dan melihat perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, diapun segera membantu. Siang hari itu matahari amat terik dan semalam Hui Song telah melakukan perjalanan tanpa berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini mengaso di luar sebuah hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di tepi jalan, diapun lalu naik ke gubuk kecil itu untuk berteduh.

   Di bawah naungan daun-daun pohon dan atap gubuk sederhana, yang menciptakan tempat teduh dan sejuk dengan adanya semilirnya angin, membuat mata mengantuk sekali. Hui Song segera tertidur setelah dia merebahkan diri terlentang di atas anyaman bambu di gubuk itu. Dia tertidur amat nyenyak dan nikmatnya. Kita condong beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Kalau mau makan enak haruslah membeli masakan-masakan yang mahal harganya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah demikian adanya?

   Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di ladang dapat menikmati makanannya yang sederhana, dengan kenikmatan yang tidak dibuat-buat. Mengapa demikian? Karena badannya sehat dan batinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi nikmat terasa olehnya. Kita melihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat lahir batinnya. Sebaliknya, kitapun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak kerja menjadi malas, makan tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahalmahal dan banyak macamnya.

   Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak. Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya.

   “tuk!”

   Hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun diapun sudah waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada biarpun dalam keadaan sedang tidur. Suara tidak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.

   “Brakkkkk…”

   Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia ikut terbanting dan tertindih.

   Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat di situ telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa. Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kuibo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan. Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, biarpun baru satu kali bertemu dengan makhluk ini, Hui Song yang sudah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka, diapun bersikap waspada walaupun mulutnya bergerak membuat senyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kuibo yang tertawa-tawa itu.

   “Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo. Apakah kalian belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?”

   Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo menjadi marah sekali.

“Bocah sombong, kami datang menagih hutang berikut bunganya!”

   Kata Hwa-hwa Kuibo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.

   “Plakk!”

   Hui Song menangkis sambil tertawa.

   “Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutar-balikkan fakta!”

   Tangkisan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibatnya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. Kakek inipun tidak menggunakan pecut bajanya. Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, merekapun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Serangan Hek-mo dari samping cukup dahsyat, dengan pukulan keras ke arah lambung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.

   “Memang sudah lama aku tahu kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Tapi jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!”

   Berkata demikian, Hui Song menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali. Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas, kedua tangannya berbareng menyambar ke arah Hek-mo dan Kuibo dengan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!

   “Plakk! Plakk… Ihhh…”

   Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting ketika menangkis pukulan sakti ini dan mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka besar. Mereka merasa penasaran sekali kalau secara maju bersama tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma Hui Song menjadi putera tunggal ketua Cin-Ling-Pai yang telah digembleng dengan keras sejak dia masih kecil dan sekarang dia sudah mewarisi semua ilmu ayah dan ibunya sehingga tingkat kepandaiannya hanya berselisih sedikit saja dibandingkan dengan ayahnya sendiri.

   Maka tentu saja dia dapat bergerak dengan amat sigapnya dan biarpun dikeroyok oleh dua orang tokoh Cap-sha-kui, pemuda ini dapat mengimbangi permainan mereka, bahkan dia nampak lebih unggul karena selain menang tenaga sinkang, juga ilmu silatnya yang banyak macamnya, aneh-aneh dan terdiri dari ilmu-ilmu yang tinggi itu membingungkan kedua orang pengeroyoknya. Melihat betapa dua orang rekannya itu sampai lima puluh jurus belum juga mampu mengalahkan lawan yang masih begitu muda, si raksasa berjubah hijau compang-camping menjadi tidak sabar lagi. Tadinya dia nonton sambil duduk di atas batu besar di dekat pohon. Kini dia bangkit berdiri dan sekali dia menggerakkan kakinya, terdengar suara hiruk-pikuk dan batu sebesar perut kerbau itu sudah ditendangnya sampai terlempar cukup jauh!

   “Kalian berdua mundurlah dan biarkan aku merobek tubuhnya menjadi dua potong!”

   Katanya.

   Dua orang rekannya merasa girang dan cepat meloncat ke belakang. Mereka berdua merasa kehilangan muka kalau sampai mereka tidak dapat mengalahkan pemuda itu, apalagi kalau sampai mereka harus mengeluarkan senjata. Kini, Tho-tee-kui sudah menyuruh mereka mundur, berarti mereka berdua belum sampai kalah! Hui Song berdiri tegak memandang kepada raksasa yang sudah berdiri di depannya. Memang hebat sekali kakek itu. Dia sendiri bukan seorang yang kecil pendek, sebaliknya dia termasuk seorang pemuda yang memiliki tubuh cukup tinggi beser. Akan tetapi, berhadapan dengan Tho-tee-kwi, tingginya hanya sampai di bawah pundak raksasa itu dan lengan raksasa itu besarnya sama dengan betisnya! Tho-tee-kwi menyeringai sambil memandang pemuda itu.

   “Orang muda, engkau boleh juga dapat dapat menandingi mereka berdua. Sayang engkau harus mampus di tangan Tho-tee-kong!”

   “Hemm, kiranya inikah yang berjuluk Setan Bumi? Tho-tee-kwi, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang datuk sesat yang tidak pernah turun tangan sendiri mencampuri urusan dunia ramai, apakah sekarang engkaupun sudah ikut-ikutan menjadi kaki tangan golongan tertentu untuk mengacau dunia?”

   Hui Song mengejek, tidak tahu siapa sebenarnya yang mempergunakan tenaga para datuk sesat ini sehingga kini Cap-sha-kui yang terkenal datuk-datuk besar yang tidak pernah turun tangan sendiri itu nampak berkeliaran di mana-mana.

   “Ha-ha, orang muda, menurut keterangan dua orang rekanku, engkau pernah membantu mereka dan menyelamatkan kaisar, akan tetapi sekarang engkau membalik menentang kami. Mengingat engkau pernah berjasa, aku memberi kesempatan kepadamu untuk bersatu dengan kami dan menjadi sahabat kami. Akan tetapi, kesempatan ini hanya kuberikan satu kali saja,”

   Kata Tho-tee-kwi yang sebenarnya lebih suka kalau dapat bersahabat dan bekerja sama dengan pemuda yang dia sudah lihat memiliki kepandaian yang tinggi itu.

   “Bekerja sama dengan datuk-datuk kaum sesat? Dengan Cap-sha-kui? Wah, engkau hendak menarikku sehingga Tiga Belas Setan akan menjadi Empat Belas Setan? Tak usah, ya! Terima kasih. Penawaranmu kutolak dan kalian menjemukan hatiku. Pergilah agar aku bisa tidur lagi, kalian mengganggu tidurku saja.”

   Berkata demikian, Hui Song teringat bahwa kalau tadi tidak ada tahi tikus menjatuhi dahinya, tentu dia sudah celaka ketika gubuk itu ditendang runtuh oleh raksasa ini.

   “Engkau sia-siakan kesempatan baik dan engkau memilih tidur selamanya? Baiklah, kucabut saja nyawamu!”

   Berkata demikian, kedua lengan yang besar itu menyambar ke depan, kaki kanan dihentakkan dan bumipun tergetar hebat. Seperti terjadi gempa bumi saja ketika raksasa itu menghentakkan kakinya dan pada saat itu, kedua tangannya yang besar-besar telah menyambar dengan serangan pertamanya, yang kanan mencengkeram ke arah kepala Hui Song, sedangkan yang kiri menyambar ke arah perut. Serangan itu dilakukan oleh kedua tangan yang mengandung kekuatan dahsyat. Hui Song mengenal serangan berbahaya. Dia tahu bahwa kakek raksasa yang menjadi lawannya ini adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang kuat sekali sehingga mengadu tenaga kasar dengan orang ini sama saja dengan mencari penyakit.

   Maka diapun bersikap cerdik, mengandalkan kegesitannya dan mengelak sambil menusukkan jari tangannya untuk menotok ke arah jalan darah dekat siku ketika lengan itu meluncur lewat. Akan tetapi, ternyata di samping kekuatannya yang dahsyat, raksasa itupun memiliki gerakan cepat. Sikunya telah ditekuk dan lengan itu menebas ke bawah untuk membabat tangan lawan, dilanjutkan dengan cengkeraman untuk menangkap pergelangan tangan pemuda itu dan tiba-tiba kakinya dibanting lagi dibarengi dengan tamparan dahsyat ke arah kepala Hui Song! Bantingan kaki itu sungguh membuat Hui Song terkejut dan kehilangan keseimbangan sehingga ketika tangan yang besar menampar, elakannya agak lambat dan pundaknya kena serempet tangan yang lebar dan kuat itu.

   “Desss…”

   Tubuh Hui Song terpelanting, akan tetapi karena pemuda ini tadi dengan cepat telah mengerahkan ilmu Tiat-po-san, semacam ilmu kebal yang dipelajarinya dari ayahnya,

   Maka tamparan yang menyerempet pundaknya itu tidak mendatangkan luka. Hanya saking kerasnya tenaga tamparan, tubuhnya terpelanting dan Hui Song cepat mengerahkan keringanan tubuh untuk menjaga tubuhnya agar tidak sampai terbanting jatuh. Dengan jungkir balik dia dapat turun lagi ke atas tanah menghadapi lawannya yang tangguh itu sambil mengatur langkah-langkah Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu ini ampuh sekali untuk melawan musuh yang pandai dan dengan ilmu ini berarti Hui Song tidak memandang rendah lawannya. Lawannya adalah seorang di antara pentolan-pentolan Cap-sha-kui yang amat lihai maka diapun harus bersikap hati-hati sekali. Ketika lawannya membanting kaki lagi, diapun mengerahkan sinkang dan dari dalam perutnya keluar tenaga melalui mulut dan dia berseru,

   “Hehh!”

   Dan lenyaplah pengaruh bantingan kaki yang tadi menggetarkan tubuhnya itu sehingga dia dapat menghadapi serangan lawan dengan tenang dan balas menyerang dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang.

   Dia harus menyelingi Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dipergunakan untuk melindungi tubuhnya itu dengan Jurus-jurus ampuh dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan Im-yang Sin-kun dan setiap kali memukul dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang karena maklum bahwa tubuh lawan yang seperti raksasa itu amat kuat dan kebal. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat dan biarpun pemuda itu lebih banyak bertahan dari pada menyerang namun tidak mudah bagi si raksaaa untuk mendesaknya. Diam-diam Tho-tee-kui terkejut dan penasaran sekali, sebaliknya Hui Song mengeluh di dalam hatinya karena dia harus mengakui bahwa baru sekali ini dia bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh sekali. Kakek dan nenek iblis yang melihat betapa rekannya yang lebih lihai dari pada mereka itupun sekian lamanya belum juga mampu merobohkan pomuda itu, menjadi semakin penasaran dan marah.

   Tak disangka oleh mereka bahwa pemuda yang tadinya mereka perebutkan untuk menjadi murid dan kekasih, ternyata memiliki tingkat kepandaian yang demikian hebatnya sehingga rekan mereka yang amat lihai seperti Tho-tee-kui pun tidak mampu mengalahkannya. Seperti telah bersepakat lebih dulu, keduanya lalu menerjang memasuki arena perkelahian itu dan mengeroyok Hui Song. Dasar watak penjahat, Tho-tee-kwi yang disohorkan sebagai pentolan Cap-sha-kui itupun diam-diam enak-enak saja melihat dua orang rekannya membantu dan mereka bertiga yang terkenal sebagai datuk-datuk besar kaum sesat tidak merasa sungkan atau malu mengeroyok seorang pemuda yang sama sekali belum terkenal di dunia persilatan!

   “Ihh, bangkotan-bangkotan tebal muka, main keroyokan seperti bajingan-bajingan kecil saja!”

   Tiba-tiba terdengar bentakan dan muncullah seorang dara remaja yang segera terjun pula ke dalam arena perkelahian itu, membantu Hui Song dan mengamuk dengan menggunakan senjata aneh, yakni sebuah payung butut! Akan tetapi jangan dipandang rendah payung butut itu karena gagangnya terbuat dari baja dan payung butut hanyalah kainnya saja akan tetapi rangkanya yang baja itu masih utuh dan ujungnya runcing-runcing! Begitu terjun, gadis ini menyerang Hwa-hwa Kuibo dan Koai-pian Hek-mo dengan ganas dan kalang-kabut!

   “Eh, engkau…?”

   Teriak Hwa-hwa Kuibo dengan kaget dan Koai-pian Hek-mo juga terkejut sekali. Mereka berdua mengenal gadis yang pernah menghalangi mereka dan nyaris merobohkan mereka di kuil Dewi Laut! Gadis itu memang Ceng Sui Cin, siapa lagi kalau bukan ia yang mengamuk dengan payung butut itu?

   “Ya, aku!”

   Kata Sui Cin tertawa mengejek.

   “Aku akan menyelesaikan pekerjaanku yang belum selesai ketika kita saling bertemu di kuil Dewi Laut itu. Sekarang, jangan harap kalian akan dapat lolos dari jari-jari payung bututku, hihi!”

   Tho-tee-kui juga kaget bukan main melihat munculnya seorang dara remaja dengan payungnya yang begitu mengamuk membuat dua orang rekannya kalang-kabut dan dua orang rekannya itu cepat-cepat mengeluarkan senjata mereka, Hek-mo mengeluarkan pecut bajanya dan Kuibo mencabut pedangnya. Tentu saja di samping merasa kaget dan juga heran menyaksikan munculnya seorang gadis yang aneh pakaiannya dan lihai ilmu silatnya itu, Hui Song juga merasa girang sekali. Apalagi mendengar ucapan-ucapan gadis itu yang jenaka dan mempermainkan lawan, dia merasa gembira.

   “Benar, nona manis. Hajar mereka! Lutung muka hitam itu kurang ajar sekali, hadiahi pukulan payungmu pada ubun-ubun kepalanya dan nenek topeng tikus itu lucuti saja topengnya dan tusuk telinganya sampai tembus!”

Sepasang mata Sui Cin berkilat dan iapun menahan senyum geli. Tapi dengan galak ia menghardik.

   “Kurang ajar, apa maksudmu menyebutku nona manis segala? Mau ceriwis dan kurang ajar engkau, ya?”

   “Lhoh! Disebut nona manis kok marah, bagaimana sih? Apa lebih suka kalau kusebut engkau nona jelek dan galak?”

   “Plak-plak… dukkkk!”

   Nyaris Hui Song terkena pukulan ketika dia bicara lalu kesempatan itu dipergunakan oleh Tho-tee-kwi untuk mendesak hebat.

   “Rasakan kau hampir mampus!”

   Sui Cin mengejek.

   “Aku tidak sudi disebut nona manis, juga tidak mau disebut nona jelek dan galak!”

   Pada saat ia bicara tentu saja perhatiannya kurang tercurah kepada dua orang lawannya sehingga seperti juga Hui Song, ia terdesak oleh pecut baja dan pedang lawan. Akan tetapi karena ilmu silatnya memang hebat dan jauh lebib lihai dibandingkan dua orang pengeroyoknya, begitu memutar payungnya, ia mampu menggagalkan semua serangan itu dan balas mendesak lagi. Hati Hui Song semakin gembira. Dia melirik dan melihat bahwa gadis itu masih muda sekali, baru sekitar lima belas atau enam belas tahun usianya, pakaiannya seperti gelandangan akan tetapi bersih, wajahnya manis dan gerakannya lincah, mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya bengal. Seorang gadis yang panas dan hidup, cocok dengan dia, pikirnya.

   “Wah, lalu menyebut apa? Baiklah, kusebut nona yang setengah manis setengah galak… wuuuuttt…”

   Dia terpaksa melempar tubuh ke belakang dan tidak berani banyak cakap lagi karena kakek raksasa itu telah mendesaknya lagi dan tentu akan selalu menggunakan kesempatan selagi dia bicara untuk merobohkannya. Setelah kini kedua orang muda itu tidak lagi bicara, mereka dapat menghadapi lawan dengan baik dan tiga orang datuk sesat itupun maklum bahwa keadaan tidak menguntungkan bagi mereka. Selain itu, kini mereka sudah dapat mengenal dengan samar-samar ilmu silat mereka dan diam-diam mereka bertiga merasa gentar. Mereka mengenal gerakan-gerakan ilmu silat tinggi dari Cin-Ling-Pai!

   “Kita pergi!”

   Tiba-tiba raksasa itu berseru dan dia mengeluarkan gerengan hebat sambil menghentakkan kakinya. Sui Cin sendiri sampai kaget setengah mati dan tergetar kaki dan hatinya, maka iapun meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk meloncat jauh dan melarikan diri bersama raksasa itu yang kini agaknya menyimpan kekuatannya sehingga ketika melarikan diri tidak terdengar derap kakinya yang biasanya berat itu.

   Hui Song tidak mengejar lawannya. Selain tidak mempunyai permusuhan pribadi, juga dia tahu betapa besar bahayanya mengejar seorang datuk sesat seperti Tho-tee-kwi itu yang tentu untuk menyelamatkan diri tidak segan-segan mempergunakan caracara yang keji dan curang. Sui Cin juga tidak mengejar karena ia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Ia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi iapun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan ia kepada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ah, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!

   Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Diapun tadi melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan banyak mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo! Diapun menduga-duga. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-Ling-Pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali di antara murid-murid Cin-Ling-Pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-Ling-Pai telah hidup terpisah dari Cin-Ling-Pai dan mereka tentu telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada murid-murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang dapat memainkan ilmu-ilmu silat Cin-Ling-Pai,

   Akan tetapi melihat kehebatan gadis remaja ini, jelas bahwa ia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini? Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan karena keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling pandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang. Pandang mata pemuda itu penuh kagum dan agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentarpun juga. Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata,

   Maka iapun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia sudah digembleng oleh ayah bundanya untuk mempertajam panca inderanya, terutama sekali mat. Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seperti itu, pandang matanya menjadi tajam. Ia mampu mengikuti gerakan senjata lawan, dan ia mampu bertahan tidak berkedip sampai berjam-jam! Akan tetapi, pandang mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tidak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi, apa pula setelah ia merasa darahnya naik dan api kemarahannya berkobar. Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak,

   “Kau melihat apa? Matamu melotot seperti mata iblis!”

   Dibentak demikian, Hui Song baru sadar bahwa sejak tadi dia memandang dengan bengong. Dia dapat merasakan keadaan yang lucu di antara mereka, maka diapun tersenyum lebar.

   “Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!”

   Sui Cin makin marah karena merasa ditertawakan. Orang yang sedang dikuasai nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah kalau hati diracuni nafsu amarah. Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!

   “Ha-ha-ha, sungguh lucu engkau, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini…. eh, hebat? Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!”

   Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.

   “Apa hebat? Apa maksudmu dengan kata hebat itu?”

   Tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah. Kini terpaksa Hui Song berterus terang.

   “Engkau hebat… karena engkau begini cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata… bidadari.”

   “Engkau laki-laki… cabul…”

   Sui Cin membentak dan payungnya sudah bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!

   “Wuuutt… singgg… Heeiiittt…”

   Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.

   “Wah, tahan dulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih? Tadi engkau membantuku menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kenapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi… sate, kau tusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?”

   “Manusia ceriwis, cabul, sialan!”

   Sui Cin menyerang terus dan kini Hui Song mendapatkan kegembiraan lain, yaitu dia memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang dikagumi ini dan yang juga mengherankan hatinya melihat Jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai Jurus-jurus keluarga Cin-Ling-Pai. Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa hebat dan berbahayanya ilmu silat dara itu, dan bahwa watak keras dara itu membuat serangan-serangannya tidak main-main lagi,

   Diapun tidak berani memandang rendah dan terpaksa dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menandangi Sui Cin. Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu sedemikian lihainya sehingga tidak mungkin dia bertahan terus tanpa balas menyerang, karena hal itu amat berbahaya. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun untuk bertahan diri dan Kadang-kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang. Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar amat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir dari pada ia sendiri. Sampai lima puluh jurus mereka berkelahi dan belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.

   “Tahan dulu…”

   Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang. Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi dan lehernya agak basah oleh peluhnya dan matanya bersinar-sinar.

   “Belum ada yang kalah kenapa berhenti?”

   Bentak Sui Cin penasaran. Hui Song tersenyum dan wajahnya bersungguh-sungguh.

   “Terus terang saja, selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh ketika iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau merupakan lawan yang lebih tangguh lagi dari pada mereka. Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa kita berdua adalah saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-Ling-Pai…”

   “Aku bukan murid Cin-Ling-Pai!”

   Bentak Sui Cin.

   “Apa Kau kira hanya putera ketua Cin-Ling-Pai saja yang mampu bersilat?”

   Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar, sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum. Sui Cin sendiri tersenyum di dalam hati dan mengaku bahwa tidak mungkin marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.

   “Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata mengenalku sebagai putera ketua Cin-Ling-Pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu mempunyai hubungan dengan Cin-Ling-Pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal ketua Cin-Ling-Pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apalagi menikah!”

   Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walaupun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.

   “Siapa perduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!”

   Jawabnya, kemudian ia meninggalkan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi. Melihat dara yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut.

   “Eh, nanti dulu nona, aku belum berkenalan…”

   Akan tetapi Sui Cin mempercepat langkahnya dan kini ia mengerahkan ginkangnya berlari cepat seperti terbang. Melihat ini, Hui Song penasaran dan diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, mengejar sekuat tenaga. Dua orang muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum karena ternyata dalam hal ilmu berlari cepat merekapun memiliki tingkat yang seimbang! Sui Cin mulai merasa lelah dan iapun cepat mengambil jalan memutar menuju ke tempat di mana tadi ia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih enak-enak makan rumput di bawah pohon, ia lalu mencengklaknya dan membalapkan kudanya!

   “Heiii, tunggu…”

   Hui Song penasaran sekali dan terus mengejar. Tadinya dia memandang rendah ketika melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil itu, mana mampu lari cepat, pikirnya. Akan tetapi dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu ternyata dapat berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga ketika napasnya sendiri sudah seninkemis, kuda itu masih terus membalap. Akhirnya Hui Song terpaksa mengalah, berhenti berlari kalau dia tidak mau napasnya putus. Dia berhenti dan mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati!