Pendekar Sadis: 16-20


Pendekar Sadis Jilid 16

PENDAPAT Thian Sin itu mungkin sekali juga menjadi pendapat umum atau kebanyakan dari kita, yaitu yang berpendapat bahwa tindakan kekejaman terhadap orang-orang yang bersalah atau yang melakukan kejahatan adalah tindakan yang betul. Biasanya, tindakan itu kita namakan keadilan!

Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah itu apa bila kita menyiksa seorang yang kita namakan penjahat, bahkan jika kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya jika kita menyelidiki persoalan ini lebih dahulu sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil!

Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang? Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seseorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan mau pun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapa pun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat atau pun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian.

Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidaklah demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dengan hukuman yang sifatnya membalas dendam!

Balas dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti menyiksa dan membunuh. Namun sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci.

Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah bisa merupakan hukuman mendidik, bisa pula merupakan pelampiasan kebencian. Apa bila si ayah itu marah, jengkel pada waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh rasa kebencian. Sebaliknya, jika jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik. Antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit.

Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya, perbuatan apa pun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu pasti benar dan baik.

“Jika bukan para pendekar yang membasmi orang-orang jahat, habis siapa lagi? Sebagian besar para pejabat pemerintah malah menjadi sahabat-sahabat para penjahat! Karena itu mana mungkin kita mengandalkan para pejabat untuk membasmi kejahatan? Siapa yang akan membela dan melindungi rakyat dari penjahat-penjahat yang keji? Siapa lagi kalau bukan para pendekar yang harus membasmi habis para penjahat keji serta pembunuh-pembunuh itu?”

“Sin-ko, aku tak mengerti urusan ini, akan tetapi dengan membunuhi dan membasmi para pembunuh, bukankah itu berarti kita telah menciptakan segolongan pembunuh lain?”

“Ahh, tidak bisa! Para pendekar tentu saja tidak akan membunuhi rakyat atau orang-orang yang benar, hanya akan membasmi orang-orang jahat!”

Lian Hong tak bicara lagi karena sebetulnya dia pun tidak mengerti benar akan apa yang sedang diperdebatkan oleh Thian Sin yang dikecewakan hatinya itu. Dia hanya tidak suka akan kekejaman yang diperlihatkan oleh Thian Sin, sebaliknya dia setuju dan kagum akan kebijaksanaan dan kelembutan yang dilakukan oleh Han Tiong terhadap para penjahat.

Mendadak Thian Sin berhenti bicara dan dia meloncat berdiri dengan demikian cepatnya hingga Lian Hong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda itu sudah memegang lengannya dan berbisik, “Awas… ada banyak orang…”

Dia pun mengajak Lian Hong lari menyusup ke dalam taman, di balik semak-semak lantas mengintai keluar. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka pada saat melihat banyak sekali orang telah mengepung rumah dan taman itu.

Orang-orang itu merupakan sebuah pasukan besar karena pakaian mereka seragam! Dan di antara banyak pasukan itu, Thian Sin melihat banyak pula orang yang berpakaian biasa dan gerakan mereka gesit dan tangkas, tanda bahwa mereka ini memiliki ilmu silat yang lihai!

Dan yang membuat mereka merasa lebih kaget lagi adalah pada saat melihat betapa di antara pasukan itu ada yang mulai membakar rumah itu! Segera terjadi kegaduhan ketika keluarga Ciu terbangun dan menyerbu keluar rumah mereka yang mulai terbakar itu. Ciu Khai Sun meloncat ke luar dan berteriak dengan nyaring.

“Siapa membakar rumah?! Ehh, apa artinya semua pasukan ini?”

“Tangkap pemberontak…!”

“Tangkap anak pemberontak Ceng Han Houw…!”

“Basmi pemberontak dan pengkhianat…!”

Teriakan-teriakan itu terdengar riuh dari seluruh penjuru rumah di mana terdapat pasukan yang besar jumlahnya dan sekarang pasukan-pasukan itu sudah maju menyerbu. Mereka itu sama sekali bukan hendak menangkap pemberontak seperti yang mereka teriakkan, melainkan mereka itu langsung menyerang Ciu Khai Sun bersama kedua orang isterinya dan juga Bun Hong yang sudah berdiri di depan pintu!

Tentu saja keluarga itu langsung bergerak untuk membela diri karena mereka tidak diberi kesempatan lagi untuk bertanya atau pun memprotes. Pasukan itu telah menyerbu secara membabi-buta, bahkan dibantu oleh beberapa orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang berpakaian biasa, bukan pasukan pemerintah.

Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin serta Bun Hong terpaksa melawan dan mengamuk untuk mempertahankan nyawa mereka karena para penyerbu itu menyerang untuk membunuh, bukan untuk menangkap. Percuma saja semenjak tadi Ciu Khai Sun berteriak-teriak untuk mencoba menghentikan mereka.

Agaknya mereka memang sudah menerima perintah untuk membunuh seluruh penghuni rumah yang mereka bakar itu. Bahkan di antara para penyerbu itu ada pula yang sudah menyerbu masuk melalui pintu samping lantas merampoki segala macam barang yang berada di dalam rumah. Dan mereka tidak peduli, siapa saja yang nampak dalam rumah itu, sampai pelayan-pelayan, mereka bunuh dengan bacokan-bacokan golok.

Sementara itu, ketika melihat betapa pasukan itu membakar rumah, Thian Sin dan Lian Hong menjadi terkejut dan marah sekali. Apa lagi setelah Lian Hong mendengar teriakan-teriakan ayahnya, juga teriakan-teriakan kedua ibunya dan kakaknya yang agaknya telah melawan para penyerbu.

“Keparat!” teriaknya dan dia pun segera lari hendak menuju ke depan hendak membantu ayah bundanya. Akan tetapi di sana sudah muncul pula banyak pasukan yang langsung menyerangnya.

Melihat ini, Thian Sin mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah menerjang maju menyambut pasukan yang menyerang Lian Hong itu, lalu dengan sekali terjang dia sudah merobohkan tiga orang prajurit! Dalam waktu singkat saja, Thian Sin sudah dikepung oleh banyak prajurit, juga oleh beberapa orang berpakaian preman yang lihai.

Thian Sin mengamuk dan hatinya khawatir sekali karena dia tidak melihat Lian Hong yang terpisah dengan dia dalam pengeroyokan demikian banyaknya pasukan. Karena merasa sangat khawatir akan keadaan keluarga Ciu, terutama keselamatan Lian Hong, Thian Sin menjadi marah bukan main. Apa lagi dia tadi telah mendengar teriakan-teriakan itu, yang katanya hendak menangkap pemberontak, putera dari pemberontak Ceng Han Houw.

“Di sinilah aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!” bentaknya nyaring dan kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang. “Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!”

Maka terjadilah perkelahian yang sangat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang prajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan mengeroyok Thian Sin. Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, akan tetapi pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat.

Dengan kemarahan meluap-luap, apa lagi karena rumah itu sudah terbakar dan semakin berkobar, Thian Sin langsung mencabut pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya ini, dibantu tamparan-tamparan tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kedua kakinya.

Hebat bukan main sepak terjangnya sehingga para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak mengenakan pakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Di antara mereka itu ada pula yang berpakaian pengemis, yang mengingatkan Thian Sin pada para anggota Bu-tek Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu.

Tidak kurang dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tak menjadi gentar dan dia terus mengamuk. Akan tetapi sekarang dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong!

Oleh karena itu, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke depan rumah, di mana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu. Pada waktu melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak melarikan diri, maka mereka pun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini agaknya perkelahian hanya terpusat di sini karena tidak lagi terdengar perkelahian di tempat lain.

Ketika dia tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu hingga dengan jelas dia dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun, kedua isterinya, dan Bun Hong!

Hampir saja Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping.

“Tranggg… desss! Creppp!”

Dua orang itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam.

Thian Sin cepat memeriksa kedua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong. Semuanya sudah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal ini pun dapat dibuktikan dengan banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di sekeliling tempat itu!

Keluarga ini sudah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam keadaan gagah perkasa. Dan semua itu dikarenakan dia! Bukankah pasukan itu datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw? Dan dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong!

“Hai, keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terima pembalasanku!”

Kemudian dia pun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan mana pun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu.

Entah sudah berapa jam lamanya Thian Sin mengamuk. Seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringatnya sendiri dan basah oleh darah musuh. Makin lama semakin banyak saja pihak pengeroyok yang roboh tewas. Sedikitnya, sejak dia mulai mengamuk tadi, ada tiga empat puluhan orang yang roboh di tangan Thian Sin akan tetapi dia masih seperti seekor harimau yang haus darah saja, tidak mengenal puas. Bahkan dia menjadi semakin buas dan sepak terjangnya makin menggiriskan.

Akhirnya para pengeroyok itu menjadi gentar. Mereka maklum bahwa apa bila dilanjutkan, agaknya pemuda ini akan membunuh mereka semua sampai tidak ada seorang pun yang ketinggalan! Maka, larilah mereka, dan sisa pasukan pemerintah juga melarikan diri ketika melihat orang-orang yang lihai itu tidak berani melawan lagi.

Thian Sin mengejar kemudian merobohkan sebanyak-banyaknya orang yang mungkin dia lakukan. Akhirnya dia bisa menangkap seorang perwira yang mencoba untuk menyelinap ke tempat gelap. Dibantingnya perwira itu ke atas tanah.

“Ngekkk…!” Dan perwira itu merintih, tulang pundaknya patah.

Thian Sin cepat menempelkan pedangnya yang berlumuran darah itu ke leher perwira itu. “Cepat ceritakan mengapa pasukan melakukan ini!” Ketika dia melihat perwira itu meragu, dia menekan pedangnya dan kulit leher itu pun terobek sedikit dan berdarah.

“Baik… baik… kami hanya menjalankan perintah… mula-mula komandan kami menerima laporan dari… dari Su-couw…”

Thian Sin adalah pemuda yang cerdik sekali. Saat mendengar disebutnya kota Su-couw, dia pun langsung menghubungkan tentang perampokan barang-barang kawalan Pouw-an Piauwkiok itu dengan peristiwa hebat ini. Dia lantas teringat bahwa yang mendengar akan keadaan dirinya, yaitu sebagai orang luar, bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, hanyalah seorang saja, yaitu Phoa-taijin.

“Phoa-taijin…?!” Dia membentak dengan sikap mengancam.

“Ya… ya benar…!”

“Mengapa? Hayo cepat katakan, mengapa dia melakukan ini?!” bentaknya.

Perwira itu menggeleng-gelengkan kepala karena memang dia tidak tahu. Dia hanya tahu bahwa Phoa-taijin melaporkan mengenai adanya putera pemberontak Ceng Han Houw di rumah ketua Ui-eng Piauwkiok di Lok-yang, kemudian komandannya langsung bertindak mengepung rumah itu. Anehnya, Phoa-taijin dari Su-couw itu juga mengirim bala bantuan berupa dua puluh lebih orang-orang yang berilmu tinggi di antaranya ada beberapa orang pengemis.

“Tidak… tidak tahu…,” perwira itu berkata, namun kata-katanya berhenti di tengah jalan karena Thian Sin sudah menggerakkan pedangnya dan perwira itu tewas seketika dengan leher hampir putus!

Malam itu juga, baru lewat tengah malam, Thian Sin telah berada di atas gedung tempat tinggal Phoa-taijin! Semenjak mengamuk tadi, dia tak pernah lagi menyimpan pedangnya yang masih berlepotan darah dan kalau saja ada sinar menerangi wajahnya, orang tentu akan merasa ngeri melihat wajah yang tampan itu kini penuh dengan kekejaman, penuh dengan kemarahan, dan sinar matanya mencorong penuh dendam bagaikan mata iblis di dalam dongeng!

Thian Sin tidak ingin langsung turun tangan, melainkan hendak menyelidiki terlebih dahulu mengapa pembesar ini melakukan hasutan supaya keluarga Ciu dibasmi. Kalau memang niatnya hanya hendak menangkap dia sebagai putera Ceng Han Houw, kenapa pasukan itu bertindak demikian? Membakar dan menyerang sampai seluruh anggota keluarga Ciu terbasmi habis?

Tiba-tiba dia melihat tiga orang yang berpakaian preman dan seorang komandan pasukan memasuki rumah itu dengan sikap tergesa-gesa. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka ini adalah orang-orang yang tadi ikut menyerbu rumah keluarga Ciu dan sekarang dengan tergopoh-gopoh mereka tentu hendak melapor kepada Phoa-taijin!

Maka dia pun cepat-cepat menyelinap, meloncat turun dari atas, memasuki pekarangan belakang, lantas menyelinap ke dalam melalui tembok belakang. Akhirnya dia pun dapat mengintai dari belakang jendela, ke dalam ruangan di mana dia mendengar orang bicara dengan suara perlahan tapi terdengar serius sekali. Jantungnya berdebar penuh amarah yang ditahan-tahannya ketika dia mengenal suara Phoa-taijin yang sedang bicara dengan suara mengandung penyesalan besar.

“Apa? Anak pangeran pemberontak itu tidak berhasil ditangkap atau dibunuh dan bahkan telah membunuh banyak orang? Dan puteri Ciu-piauwsu juga dapat lolos? Ah, bagaimana kalian ini? Pasukan seratus orang juga ditambah orang-orang yang terkenal sebagai anak buah tiga datuk See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui, masih tak mampu merobohkan seorang pemuda remaja seperti anak pemberontak she Ceng itu? Sungguh celaka, kalian tiada guna sama sekali!”

“Tapi, taijin. Keluarga Ciu sudah dapat dibasmi, kalau lolos seorang anak perempuan saja mengapa? Dan tentang pemberontak she Ceng itu, memang dia lihai sekali…,” terdengar suara orang lain.

“Saya masih belum mengerti kenapa taijin memusuhi keluarga Ciu?” seorang lain dengan suara serak.

“Bodoh, apakah kau tidak mendengar betapa keluarga Ciu dan dua orang keponakannya itu yang sudah menggagalkan siasat kami ketika kami menyuruh orang-orang menyamar sebagai perampok untuk merampok barang-barang yang sebelumnya telah kusuruh kawal Pouw-an Piauwkiok? Jika mengandalkan orang-orang bodoh seperti kalian, mana mungkin kita berhasil mengumpulkan harta untuk menyokong gerakan kawan-kawan di utara?”

Thian Sin mengerutkan alisnya. Biar pun hanya secara samar-samar saja, dia kini dapat menduga bahwa para perampok itu adalah orang-orangnya Phoa-taijin sendiri yang diutus untuk menyarnar sebagai perampok lantas merampas barang-barangnya sendiri! Mungkin dengan maksud memeras Pouw-an Piauwkiok untuk bertanggung jawab dan mengganti barang-barangnya yang berharga.

Dan karena kemudian barang-barang itu ditemukan kembali, usaha itu gagal oleh dia dan Han Tiong yang menjadi tamu keluarga Ciu, maka pembesar itu kini melakukan serangan balasan dan kebetulan dia mendengar tentang putera Pangeran Ceng Han Houw, maka hal itu kemudian dijadikan dalih untuk melaporkan bahwa di rumah Ciu-piauwsu terdapat putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw.

“Aku berada di sini!” Tiba-tiba Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang jendela itu.

“Braakkkkk…!” daun jendela itu pecah dan dia pun sudah meloncat ke dalam.

“Pembesar keparat she Phoa! Inilah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk mengirim nyawa kotormu ke neraka jahanam!”

Namun empat orang yang berada di dalam kamar itu, yaitu tiga orang berpakaian preman dan seorang berpakaian komandan sudah mencabut senjata masing-masing dan segera menubruk dan menyerangnya dengan ganas, akan tetapi juga dengan hati gentar ketika mengenal bahwa yang menerobos masuk ini bukan lain adalah pemuda putera pangeran pemberontak yang amat lihai itu.

Melihat serangan empat orang ini, Thian Sin sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan mengerahkan tenaga sinkang-nya, membuat tubuhnya menjadi lunak bagaikan karet, lunak akan tetapi kuat sekali. Maka begitu tiga batang pedang dan sebatang ruyung itu menimpa tubuhnya, tenaga sinkang itu menyambut empat senjata itu dan langsung dia mengerahkan Thi-khi I-beng sehingga daya pukulan yang mengandung tenaga sinkang empat orang itu tersedot seketika.

Empat orang itu berteriak kaget, maka mereka cepat mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata masing-masing. Namun, mereka tidak mengenal Thi-khi I-beng, semakin mereka mengerahkan tenaga, semakin hebat pula tenaga sinkang mereka tersedot. Dan pada saat itu pula sinar pedang perak berkelebat, maka robohlah empat orang itu dengan mandi darahnya sendiri dan tewas seketika.

Phoa-taijin telah melarikan diri melalui sebuah lorong. Akan tetapi tiba-tiba saja bayangan Thian Sin menyambar dan tahu-tahu pemuda ini sudah menangkap tengkuk si pembesar yang segera menjerit-jerit seperti seekor anjing tersiram air panas.

“Ampun… ampun… taihiap…!”

“Keparat jahanam! Engkau telah mengerahkan orang-orang untuk membunuhku, ya? Nah, ini aku Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Sekarang kau mau apa?!”

“Ampuun… aku… aku hanya menjalankan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu pemerintah… dan karena… ayahmu dulu pernah memberontak maka… aku… aku…”

“Cacing busuk! Kalau begitu, mengapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan tetapi seluruh keluarga Ciu juga kau basmi? Engkau membalas sebab kami mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu sendiri dari tangan Pouw-an Piauwkiok itu, ya? Hayo cepat katakan, siapa itu kawan-kawanmu yang berada di utara…”

Wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh harapan pada waktu pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin.

Pemuda ini cukup waspada. Tatapan mata pembesar itu membuatnya cepat mencurahkan perhatian pendengarannya ke belakang maka tahulah dia bahwa ada dua atau tiga orang bergerak di belakangnya. Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan tubuhnya menggigil ketakutan.

“Hayo jawab!”

“Mereka… mereka itu… ah… para datuk kaum kang-ouw… telah bersekutu… eh, dengan mereka yang bergerak di utara… orang-orang bangsa Mancu…”

“Siapa para datuk itu? Hayo jawab, cepat!”

“See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui…”

“Hemm, juga Tung-hai-sian?”

“Tidak… tidak… belum, sedang dihubungi… dia yang keras kepala…”

“Setan, mampuslah kau!” Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali.

Terdengar tulang terbacok beberapa kali yang disusul jerit-jerit melengking dari pembesar itu dan pada waktu Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi, yang tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan telinga dan tanpa hidung. Tubuh yang menjadi amat pendek akibat kedua kakinya terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu bergerak-gerak aneh dan mandi darah.

Sungguh merupakan pemandangan yang bukan main mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali.

Kini Thian Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di rumah pembesar Phoa itu sudah memanggil bala bantuan sehingga kini tidak kurang dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian Sin tak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya.

Tidak, dia tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis! Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia lupa akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah.

Pakaiannya telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya.

Dan memang sepak terjang Thian Sin hebat bukan main. Walau pun pengeroyoknya kini merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran, masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi darah oleh sambaran pedangnya.

“Inilah Ceng Thian Sin! Inilah dia putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!” Thian Sin terus mengamuk sambil berteriak-teriak.

“Sin-te…!”

Sesosok bayangan berkelebat lantas sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan kanan Thian Sin. Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang sudah mendatangkan Han Tiong!

Ketika Han Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa terkejut dan juga terheran-heran sekali. Ke manakah adiknya itu yang belum juga pulang? Dia lalu keluar dan merasa semakin heran karena tak menemukan adiknya di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah larut. Dua ekor kuda mereka masih ada.

Hatinya terasa tidak enak maka dia pun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan mengambil sampul surat yang tadi telah dibaca oleh Thian Sin. Meski pun dia tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir dengan keadaan Thian Sin, maka dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya.

Kedua tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Maka mengertilah dia sekarang mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, ke manakah perginya adiknya itu? Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di atas meja.

Mendadak dia merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu! Siapa tahu! Thian Sin memiliki watak aneh dan keras.

Dugaan ini makin kuat ketika dia menanti-nanti namun adiknya belum juga pulang. Maka dia pun mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya. Dia lantas membawa buntalan-buntalan pakaian, kemudian menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat, menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu.

Tidak pernah disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru sampai di pertengahan jalan, adiknya itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Namun ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia hanya melihat nyala api berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang terlihat panik di luar rumah-rumah mereka sambil bicara simpang siur tentang penyerbuan pasukan di rumah Ui-eng Piauwkiok!

Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu, maka dia langsung mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu. Dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan hancur hatinya sesudah dia melihat puluhan mayat berserakan di antara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan di antara mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan dan Kui Lin serta Ciu Bun Hong! Tentu saja Han Tiong langsung menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan menangis.

Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari belakang dan kanan kirinya. Han Tiong menoleh dan melihat bahwa yang menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang prajurit.

Melihat bahwa pakaian para prajurit yang sudah menjadi mayat berserakan di tempat itu, maka tahulah dia bahwa mereka ini merupakan teman-teman dari orang-orang yang telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu. Maka dia pun cepat meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu lalu terpelanting.

Mereka bangkit kembali dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan prajurit-prajurit yang bertugas menjaga di tempat itu sehingga Han Tiong sudah terkepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis, kemudlan menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap.

Para prajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang di antara mereka mampu menyusul sehingga sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh sambil membawa seorang yang sudah ditotoknya. Di sebuah tempat sunyi Han Tiong melepaskan orang itu dan membebaskan totokannya.

“Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberi tahukan apa yang telah terjadi.”

Melihat sikap Han Tiong yang halus itu, si prajurit tidak takut lagi. Oleh karena itu dia pun segera menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan mereka, atas laporan dari Phoa-taijin untuk menangkap pemberontak yang katanya keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu. Akan tetapi, para pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin dan rata-rata amat lihai itu, begitu datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi pertempuran hebat yang akhirnya mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua.

“Dan keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?” Han Tiong mendesak, jantungnya berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya. Siapa lagi yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan prajurit, kalau bukan adiknya?

“Pemuda itu luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!”

“Di mana dia sekarang?”

“Tidak tahu… tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja.”

“Dan di mana pula Nona Ciu? Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?”

“Tidak tahu… hanya kabarnya berhasil lolos…”

Han Tiong lantas menotok orang itu sampai pingsan dan dia pun lalu cepat melarikan diri menuju ke Su-couw. Dia menduga bahwa tentu adiknya itu pun sudah melakukan seperti yang dia perbuat tadi, yaitu memaksa seorang prajurit supaya menceritakan keadaannya dan sesudah mendengar bahwa semua penyerbuan itu gara-gara Phoa-taijin yang secara kebetulan mendengar bahwa Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu adiknya itu pergi ke Su-couw. Maka dia pun cepat menyusul ke sana dengan hati berat dirundung duka kalau dia membayangkan kembali mayat-mayat keluarga Ciu.

Tak disangkanya akan terjadi hal seperti itu. Kalau saja dia mengundurkan kepergiannya satu hari saja, kalau saja dia masih berada di sana ketika terjadi penyerbuan, siapa tahu dia akan mampu mencegah terjadinya malapetaka hebat itu.

Akan tetapi semua telah terjadi. Keluarga Ciu sudah tewas dan sekarang yang terpenting adalah mencari Thian Sin dan Lian Hong, dua orang yang dia harapkan mudah-mudahan masih dalam keadaan selamat.

Ketika dia tiba di Su-couw, langsung dia mencari rumah gedung Phoa-taijin dan sungguh kebetulan sekali dia mendengar teriakan Thian Sin yang menantang-nantang. Cepat dia meloncat ke atas genteng dan melayang ke dalam.

Melihat keadaan Thian Sin, di bawah sinar lampu yang cukup terang di pelataran itu, Han Tiong bergidik! Pakaian adiknya sudah robek-robek dan penuh dengan darah! Pedangnya juga berlepotan darah dan sinar mata adiknya itu seperti bukan manusia lagi! Maka, tanpa membuang waktu lagi, dia meloncat turun lantas menangkap pergelangan tangan kanan adiknya.

“Sin-te, ingatlah…!” Dia berkata lagi.

Thian Sin menoleh dan melihat kakaknya, dia merintih, kemudian roboh pingsan di dalam pelukan Han Tiong. Han Tiong cepat memondong tubuh adiknya, lalu menyambar pedang Gin-hwa-kiam dan membawa adiknya itu lari sambil memutar-mutarkan pedangnya untuk menangkis semua senjata yang menyambar ke arah mereka.

Berkat ketangkasannya, Han Tiong berhasil cepat melarikan diri keluar dari Su-couw dan langsung dia melarikan diri ke dalam hutan di lereng gunung. Setelah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang mengejar mereka, dia segera menurunkan tubuh Thian Sin di bawah sebatang pohon besar.

Dia memeriksa tubuh adiknya itu. Tidak ada luka, baik luka luar mau pun dalam. Adiknya pingsan karena lelah, karena tertekan batinnya. Maka dia pun lalu mendiamkannya saja, dan dia pun duduk bersila di dekat adiknya untuk mengatur pernapasan karena dia sendiri juga tertekan dengan kedukaan dan kekhawatiran.

Baru saja terang tanah, Thian Sin mengerang dan tiba-tiba meloncat bangun. Ketika Han Tiong juga ikut meloncat berdiri, Thian Sin tiba-tiba menyerangnya dengan hebat, dengan pukulan-pukulan mematikan. Baiknya Han Tiong telah bersikap waspada, maka dia dapat mengelak dan menangkis beberapa kali sambil berseru,

“Sin-te, sudah gilakah engkau sehingga tak mengenalku lagi? Kau lihatlah baik-baik, aku adalah Han Tiong!”

Tiba-tiba saja Thian Sin menghentikan serangannya, memandang pada wajah Han Tiong, kemudian dia pun menjadi lemas, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis mengguguk seperti anak kecil! Han Tiong juga ikut berlutut sambil merangkul adiknya, diam-diam dia menyusut beberapa butir air matanya.

“Adikku… ahhh, Sin-te… tenangkanlah hatimu. Aku tahu… aku sudah melihatnya… akan tetapi, kita harus dapat menenangkan hati kita, Sin-te.”

“Tiong-ko… aduh, Tiong-ko… betapa aku tidak akan sedih? Semua itu adalah gara-gara aku! Keluarga Ciu binasa karena aku! Karena aku yang menjadi anak pangeran terkutuk itu!”

“Sin-te! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ceritakan, apa yang telah terjadi dan mengapa engkau berada di Lok-yang dan Su-couw?”

Thian Sin menenangkan hatinya, kemudian duduk bersila sejenak. Han Tiong membiarkan adiknya, bahkan dia pun lalu duduk bersila. Akhirnya terdengar Thian Sin menarik napas panjang dan suaranya telah menjadi tenang kembali ketika dia bercerita.

“Tiong-ko, maafkanlah aku, Tiong-ko. Aku… aku malam tadi telah membaca surat titipan Paman Ciu untuk ayah…”

“Aku sudah tahu, adikku.”

“Kau tahu? Dan kau diam saja…?”

Han Tiong tersenyum duka. “Keinginan tahu dari seorang muda bukanlah kesalahan yang terlalu besar, lupakanlah saja, Sin-te.”

“Lupakanlah? Ahh, Tiong-ko, engkau tidak tahu alangkah jahat adikmu ini. Aku membaca surat itu, isinya mengikatkan perjodohan antara engkau dan Hong-moi. Dan aku menjadi penasaran! Aku yang tak tahu diri ini! Aku penasaran dan aku kembali ke Lok-yang. Aku harus bicara dengan Hong-moi!”

“Ahhh…!” Han Tiong terkejut sekali dan hatinya cemas. Apakah yang telah dilakukan oleh adiknya ini? Itulah yang dicemaskannya.

“Aku berhasil memanggil Hong-moi keluar, kemudian kami bicara panjang lebar. Dan dia memang cinta kepadamu, Tiong-ko, dia memilih engkau karena… karena aku… hemmm, aku orang yang kejam dan jahat!”

“Sin-te, jangan berkata demikian. Kau seperti merasa penasaran!”

“Pada waktu itu memang aku penasaran! Dan selagi kami bicara, lantas terdengar suara ribut-ribut dan pasukan anjing jahanam itu sudah menyerbu. Mereka terus berteriak-teriak, katanya hendak menangkap aku, anak seorang pemberontak, tapi kenyataannya mereka membakar rumah dan menyerbu. Tentu saja aku tidak tinggal diam. Melihat Paman Ciu sekeluarganya melawan, aku pun lalu mengamuk. Akan tetapi, eh… betapa hancur hatiku melihat mayat-mayat mereka berempat…” Dan pemuda itu segera memejamkan matanya dan mengerutkan alisnya, menahan gelombang duka yang menyerangnya.

“Aku pun sudah melihat mereka, Sin-te. Dan… dan… Hong-moi, bagaimana dengan dia?” tanya Han Tiong, suaranya agak gemetar.

“Tidak tahu, Tiong-ko… tidak tahu… dia lenyap begitu saja… aku tidak tahu ke mana dia pergi… ahhh, hal itu membuatku semakin sedih karena mala petaka yang menimpanya itu adalah karena aku. Aku harus mencarinya sampai dapat, Tiong-ko!”

“Jangan, Sin-te. Urusan yang telah terjadi ini terlalu besar. Ingat, pasukan pemerintah ikut mencampuri dan setelah engkau membunuh sekian banyaknya prajurit, tentu pemerintah takkan tinggal diam saja. Tentang Hong-moi, ke mana engkau hendak mencarinya? Tidak ada jejak darinya…”

“Kalau perlu, aku akan siksa semua prajurit yang ada di Lok-yang, dan memaksa mereka itu mengaku di mana adanya Hong-moi!”

“Hemm, perbuatan itu bodoh, Sin-te. Kukira Hong-moi berhasil melarikan diri. Apa bila dia tertawan misalnya, tentu engkau atau aku juga sudah mendengarnya. Engkau tidak boleh sembarangan pergi mencarinya setelah apa yang terjadi malam tadi, Sin-te.”

“Habis, apakah kita harus mendiamkan saja Hong-moi terancam bahaya hingga tidak kita ketahui bagaimana nasibnya? Begitu kejamkah engkau, Tiong-ko? Dan dia… dia adalah calon isterimu sendiri!” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada berteriak penuh rasa penasaran.

Han Tiong menarik napas panjang. “Sin-te, haruskah aku menunjukkan atau memamerkan rasa dukaku akibat kematian keluarga Ciu dan kegelisahanku akibat hilangnya Hong-moi? Kita harus bersikap tenang di dalam menghadapi segala hal, Sin-te. Saat ini, pemerintah tentu sudah mendengar tentang peristiwa itu dan mata-mata tentu sedang disebar untuk mencari kita. Menghadapi persoalan yang besar ini, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali melaporkannya kepada ayah dan minta pendapat ayah bagaimana selanjutnya kita harus bertindak. Kita tak boleh bertindak sembarangan. Ingat, kita menghadapi pemerintah yang tidak mungkin kita lawan begitu saja, Sin-te.”

Akhirnya, biar pun dengan hati penuh rasa penasaran, Thian Sin mentaati kakaknya. Dia bukannya takut, tetapi merasa segan untuk membantah dan membikin susah atau marah kakaknya yang amat dikasihinya ini.

Biar pun pilihan Lian Hong kepada kakaknya itu sedikit banyak mendatangkan rasa iri hati dan juga menghancurkan perasaannya yang telah jatuh cinta kepada dara itu, akan tetapi dia tidak dapat membenci kakaknya ini. Dia terlalu sayang dan terlampau kagum terhadap kakaknya sehingga tidak mungkin dia membencinya, bahkan sekarang pun dia tidak mau membantahnya terus karena tidak mau menyusahkan hati kakaknya yang dia tahu sangat sayang kepadanya itu. Maka, dengan cepat, setelah mengambil kuda mereka, dua orang muda ini pun melakukan perjalanan pulang ke Lembah Naga.


Dapat dibayangican betapa kaget rasa hati Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu, isterinya, ketika mereka berdua melihat dua orang putera mereka itu datang dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka sambil menangis! Han Tiong dan Thian Sin menangis! Tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa hebatnya maka dapat membuat dua orang muda yang tak pernah menangis ini sekarang mengguguk sambil berlutut di depan mereka, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun.

Melihat keadaan dua orang muda itu, Bhe Bi Cu telah menjadi gelisah sekali. Dia berlutut pula di dekat Han Tiong dan mengguncang-guncang pundak putera kandungnya itu.

“Apakah yang telah terjadi? Tiong-ji… ada apakah? Kenapa kalian menangis? Thian Sin, ceritakanlah, apa yang telah terjadi?”

Melihat kegelisahan isterinya, Cia Sin Liong Si Pendekar dari Lembah Naga itu segera menyentuh pundaknya dengan halus, memberi isyarat dengan pandangan matanya agar isterinya itu tenang kembali. Bi Cu yang melihat pandang mata suaminya, menahan tangis dan duduk kembali sambil memandang dua orang muda itu dengan khawatir sekali. Kini Sin Liong yang berkata-kata dengan suara yang penuh wibawa.

“Han Tiong! Thian Sin! Kalian ini pemuda-pemuda macam apa? Hanya dapat menangis seperti anak-anak kecil! Lupakah kalian bahwa nafsu kedukaan, seperti juga nafsu-nafsu lain, hanya akan melemahkan batin kita dan menghilangkan kewaspadaan? Tidak ada hal yang bagaimana pahit sekali pun yang akan dapat meruntuhkan ketenangan hati seorang pendekar! Hayo hentikan tangis kalian itu dan berceritalah dengan tenang!”

Dua orang muda itu memejamkan kedua mata dan menahan napas, dan akhirnya mereka berdua dapat menenangkan hati mereka sehingga tidak terisak-isak lagi meski pun kedua mata mereka masih basah.

Kemudian Han Tiong menceritakan perjalanan mereka dan semua yang pernah mereka alami, mulai dari pengalaman mereka di kota raja, lalu pertemuan mereka dengan putera Pak-san-kui yaitu Siangkoan Wi Hong, juga kunjungan mereka berdua ke Cin-ling-san lalu kunjungan ke Bwee-hoa-san, tempat kediaman Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Di bagian ini, Thian Sin membantu kakaknya, bahkan dia menceritakan kegembiraannya karena berjumpa dengan neneknya, ibu dari mendiang ibunya dan betapa neneknya itu telah memberikan Gin-hwa-kiam kepadanya, dan betapa mereka berdua sudah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakek dan nenek itu.

Pendekar Lembah Naga dan isterinya tertarik sekali mendengarkan penuturan dua orang muda itu, apa lagi ketika mereka menceritakan tentang kunjungan mereka ke dalam pesta ulang tahun Tung-hai-sian di Ceng-tao bersama Cia Kong Liang, tentang peristiwa yang terjadi di dalam pesta ulang tahun yang dikunjungi oleh wakil-wakil para datuk itu.

Kemudian dua orang pemuda itu menceritakan kunjungan mereka ke Lok-yang di mana mereka telah berjumpa dengan keluarga Ciu dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Pendekar Lembah Naga kepada mereka. Dan begitu menceritakan keadaan mereka di Lok-yang, sikap dan suara dua orang muda itu berubah dan kedukaan menyelimuti wajah mereka sehingga mudah bagi Sin Liong dan isterinya untuk menduga bahwa tentu terjadi sesuatu di Lok-yang. Membayangkan betapa terjadi sesuatu atas diri keluarga dua orang adiknya, adik seibu berlainan ayah, yaitu Kui Lan dan Kui Lin, berdebar juga rasa jantung pendekar itu dan kegelisahan mulai menyelimuti hatinya.

Akhirnya cerita dua orang muda itu sampailah kepada peristiwa yang mengerikan itu, dan untuk ini, Thian Sin yang merasa betapa dialah yang bersalah dan menjadi biang keladi peristiwa itu, hanya menundukkan kepalanya dan membiarkan kakaknya yang bercerita.

“Sungguh tidak pernah kami sangka bahwa peristiwa perampasan kembali barang-barang kawalan Paman Kui Beng Sin itu akhirnya mendatangkan akibat yang amat hebat, ayah.” Han Tiong melanjutkan ceritanya dengan suara agak gemetar. “Pada malam terakhir kami berada di kota Lok-yang, secara tiba-tiba saja pasukan pemerintah menyerbu, membakar rumah Paman Ciu dan menyerang secara membabi-buta! Kami berdua tentu saja segera membantu keluarga Ciu, mengadakan perlawanan, tetapi fihak musuh terlampau banyak, bahkan pasukan itu dibantu oleh orang-orang pandai yang ternyata adalah anak buah dari tiga datuk sesat See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui. Dan di dalam pertempuran itu, rumah keluarga Ciu terbakar habis dan Paman Ciu Khai Sun, kedua Bibi Kui Lan dan Kui Lin, juga Ciu Bun Hong… mereka berempat itu… ahhh, mereka semua tewas…!”

“Ohhhhh…!” Bi Cu menjerit dan terbelalak, mukanya pucat sekali.

“Hemmm…!” Cia Sin Liong memejamkan kedua matanya seakan-akan hendak menolak penglihatan yang nampak akibat cerita puteranya itu. Sejenak keadaan hening sekali dan dua orang muda itu pun menundukkan muka.

“Tapi mengapa? Mengapa?” Akhirnya Sin Liong berkata.

“Aku yang bersalah, ayah! Karena kesalahankulah maka hal itu terjadi! Karena aku putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw maka hal itu terjadi! Mereka itu berteriak-teriak hendak menangkap putera pangeran pemberontak, akulah yang sudah berdosa. Keluarga Ciu tewas semua karena aku seorang! Aku anak keturunan pangeran terkutuk…!”

“Thian Sin!” Cia Sin Liong membentak dengan kereng. Akan tetapi Thian Sin yang seperti merasa dikejar-kejar dosa itu seolah-olah tidak mendengar bentakan ayah angkatnya.

“Aku telah berteriak bahwa aku di situ, supaya mereka jangan mengganggu keluarga Ciu. Aku telah mengamuk, aku juga telah membunuh puluhan orang prajurit, akan tetapi tidak mampu untuk menyelamatkan mereka. Ayah, ibu, aku telah membasmi mereka sebanyak mungkin, kemudian aku memaksa mereka mengaku dan ternyata yang menghasut adalah Phoa-taijin! Pembesar laknat itu ternyata telah mengatur sendiri untuk merampok barang-barangnya yang dikawal oleh Paman Kui Beng Sing supaya dapat mengumpulkan uang pengganti. Dia… dia bersekongkol dengan para datuk, dan mereka sedang berhubungan dengan orang-orang di utara, dengan bangsa Mancu yang katanya hendak memberontak. Aku telah menyiksa pembesar itu, memaksanya supaya dia mau mengaku, dan aku telah menghukumnya, membuntungi kaki tangannya, telinganya, hidungnya…”

“Sin-te…!” Han Tiong berseru.

“Biarlah, Tiong-ko, akulah yang berdosa, memang aku yang telah menyebabkan keluarga Ciu terbasmi. Akan tetapi kematian mereka telah diantarkan oleh kematian puluhan orang musuh, dan akan masih banyak lagi, lebih banyak lagi penjahat-penjahat yang pasti akan kubunuh untuk membalaskan kematian mereka! See-thian-ong, Lam-sin, Pak-san-kui dan semua penjahat di dunia ini akan kubasmi untuk membalaskan sakit hatiku ini!”

“Thian Sin! Diam kau!” Tiba-tiba Sin Liong membentak, bentakan yang disertai dengan pengerahan tenaga khikang sehingga ruangan itu tergetar.

Thian Sin sendiri yang langsung diserang itu melonjak dan kaget sekali. Dia memandang wajah ayah angkatnya, melihat sepasang mata yang laksana mata naga itu, dan dia pun sadarlah. Dia menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali sambil merintih minta maaf.

Mereda kemarahan Sin Liong setelah melihat Thian Sin minta-minta maaf seperti itu dan terbayanglah wajah Pangeran Ceng Han Houw. Dia menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada pemuda ini, akan tetapi juga khawatir.

“Sudahlah, engkau patut selalu ingat bahwa ketenangan batin seorang pendekar tak akan tergoyahkan oleh peristiwa apa pun juga. Bila mana engkau menuruti perasaan dan nafsu dendam kau biarkan menguasai batinmu, maka engkau pun akan menjadi sama jahatnya dengan mereka. Han Tiong, teruskan ceritamu.”

Wajah pemuda ini agak pucat oleh sikap Thian Sin yang penuh emosi tadi. Dia tadi sudah berusaha untuk menyembunyikan segala perbuatan Thian Sin di Lok-yang, akan tetapi di dalam kedukaan dan kemarahannya, Thian Sin malah mengakui sendiri sehingga dia pun tidak akan banyak bicara lagi.

“Ayah, melihat Sin-te sedang mengamuk di rumah pembesar di Su-couw itu, aku segera memaksanya pergi. Keluarga Ciu tewas semua, kecuali Adik Ciu Lian Hong yang lenyap entah ke mana. Mungkin sekali dia berhasil melarikan diri, karena jika dia tertawan, tentu kami telah mendengarnya. Sin-te hendak nekat mencarinya, akan tetapi karena peristiwa itu hebat sekali, dan membawa pasukan pemerintah yang banyak tewas di tangan Sin-te, maka aku memaksanya untuk pulang dan melaporkannya kepada ayah. Dan ini… ini… adalah surat yang sebelum peristiwa itu terjadi, pada pagi harinya, diberikan oleh Paman Ciu Khai Sun untuk disampaikan kepada ayah.” Han Tiong menyerahkan surat itu kepada ayahnya.

Pada wajah yang gagah dari pendekar sakti yang telah mulai menua ini, tampak keharuan ketika dia membaca surat tulisan adik iparnya yang telah tewas! Tulisan seseorang yang sudah mati, berarti pesannya yang terakhir. Pesan untuk menjodohkan Lian Hong dengan Han Tiong! Jadi Han Tiong yang dipilih oleh keluarga itu, keluarga yang terbasmi habis, kecuali Lian Hong seorang.

“Han Tiong… kau harus… harus mencari Lian Hong, calon isterimu itu sampai dapat. Dan sekarang juga!” akhirnya dia berkata.

“Ah, dia baru saja datang!” bantah isterinya yang tidak rela melepaskan puteranya untuk pergi lagi pada hari dia kembali dari perantauannya selama hampir setahun itu.

Suaminya menyerahkan surat itu kepada isterinya. Bhe Bi Cu membacanya dan dia pun merasa terharu sekali.

“Bagaimana pun juga, jangan sekarang kau pergi, Tiong-ji, kau baru saja tiba dan belum beristirahat, juga belum menyediakan perlengkapan. Kini kau melakukan perjalanan yang tak tentu tujuannya, mencari tunanganmu yang belum kau ketahui jejak kepergiannya.”

“Kau boleh bersiap-siap, Han Tiong. Akan tetapi demi ibumu, biarlah kau berada di rumah selama dua hari, namun besok lusa engkau harus berangkat mencarinya hingga dapat. Ini merupakan tugas suci bagimu.”

“Baik, ayah.”

Kemudian pendekar itu memandang Thian Sin lalu berkata, “Engkau perlu untuk berlatih lagi, Thian Sin. Ilmu silatmu sudah cukup, terlebih lagi engkau telah menerima petunjuk-petunjuk dari kakek dan nenekmu. Akan tetapi, apa bila menyaksikan sepak terjangmu di Lok-yang dan Su-couw, dan juga sikapmu tadi, engkau sungguh masih harus berlatih diri dengan keras untuk memperkuat batinmu. Ingat, Thian Sin, kelemahan batin merupakan suatu yang sangat gawat bagi seorang pendekar, karena hal itu kelak bisa mencelakakan dirimu sendiri. Nah, mulai sekarang juga engkau harus lebih banyak berlatih semedhi dan menguasai nafsu itu, bukannya diperbudak atau sewaktu-waktu engkau bisa dikuasainya sehingga melakukan perbuatan secara membuta, hanya menurutkan dorongan nafsu saja. Mengerti?”

“Tapi… tapi, ayah… saya ingin sekali membantu Tiong-ko mencari Hong-moi…”

“Tidak! Dengan kelemahan batinmu seperti sekarang ini, engkau bukannya membantu, bahkan mungkin saja menimbulkan kekacauan yang lain dan malah bisa menggagalkan tugas suci Han Tiong yang cukup berat. Engkau tinggal di rumah dan berlatih semedhi!”

Thian Sin hanya mengangguk dan menundukkan mukanya, tak membantah lagi. Setelah mendengarkan penuturan Han Tiong lebih lanjut mengenai segala yang mereka tanyakan tentang perjalanan mereka berdua selama hampir setahun ini, kedua orang muda ini lalu mengundurkan diri untuk beristirahat.

Akan tetapi pada keesokan harinya, ketika Han Tiong bangun pagi-pagi sekali, ternyata Thian Sin sudah tidak ada di dalam kamarnya dan jika melihat pembaringannya, memang pemuda itu agaknya tidak tidur sama sekali. Thian Sin telah pergi tanpa pamit! Agaknya kepergian itu dilakukan malam tadi sehingga setelah ketahuan kini, tentu sudah amat jauh karena sudah semalam melarikan diri.

Cia Sin Liong menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya.

“Ahh, kukira akan dapat menundukkannya, apa lagi sesudah dia digembleng pula oleh Lie Seng Koko, siapa kira dia masih seperti seekor kuda binal yang sukar untuk ditundukkan. Melihat sikapnya kemarin… hemm, sungguh aku merasa khawatir sekali. Han Tiong, jika nanti engkau berangkat mencari tunanganmu, engkau juga perhatikan kalau-kalau dapat menemukan jejaknya dan kalau bisa, kau bujuklah dia agar mau pulang atau biarlah kau perbolehkan dia turut bersamamu dan membantumu. Kulihat hanya kepadamu sajalah dia itu dapat tunduk.”

“Baik, ayah,” jawab Han Tiong yang diam-diam merasa prihatin sekali.

Dia tahu bahwa hati adiknya itu hancur, bukan hanya akibat kematian keluarga Ciu, akan tetapi juga karena patah hati. Adiknya itu mencinta Lian Hong, lantas melihat kenyataan betapa Lian Hong dijodohkan dengan dia tentu saja hati Thian Sin menjadi sakit.

Biarlah dia tidak perlu menceritakan hal itu kepada ayah bundanya, dan kelak, kalau Lian Hong sudah bisa ditemukan, baru dia akan bicara tentang hal ini kepada ayah bundanya. Bila perlu dia akan mengalah dan mundur, membiarkan Thian Sin berbahagia di samping Lian Hong. Tentu saja kalau gadis itu memang menghendakinya, yang penting sekarang adalah menemukan dara itu.

Pendekar Sadis Jilid 17

TIGA hari kemudian, barulah Han Tiong berangkat, dibekali cukup uang berikut nasehat-nasehat dari ayah bundanya yang mengantar kepergiannya dengan tatapan mata prihatin. Dan karena Han Tiong sendiri tidak tahu di mana adanya Lian Hong atau pun ke mana perginya, maka satu-satunya jalan baginya hanyalah mengunjungi Lok-yang kembali, atau setidaknya dia akan mencari di sekitar daerah Propinsi Ho-nan.

Memang tepat dugaan Han Tiong. Malam itu juga Thian Sin nekat minggat meninggalkan Lembah Naga karena patah hati! Dia merasa tak perlu lagi tinggal di Lembah Naga. Untuk apa? Lian Hong telah menjadi calon isteri kakaknya, dan malah dia tidak boleh membantu kakaknya mencari dara itu! Kalau dia tinggal di Lembah Naga, setiap hari dia hanya akan menyesali dirinya sendiri saja. Tidak, dia harus pergi!

Dia harus mempelajari ilmu-ilmu peninggalan dari ayahnya. Dia memang putera kandung Pangeran Ceng Han Houw yang dicap pemberontak. Dia memang anak orang jahat, dan sekarang dia telah menjadi pemberontak pula sesudah membunuh pasukan pemerintah. Biarlah dia hidup sendiri dengan segala kejelekannya. Dan dia akan membalas dendam kematian keluarga Ciu, juga dendamnya sendiri.

Telah terlampau sering hatinya dibikin sakit oleh para penjahat dan betapa dia selama ini selalu menahan-nahan dendamnya. Telah beberapa kali dia harus merasa kecewa dalam hidupnya. Ayahnya dan ibunya dibunuh orang, dan karena teringat bahwa ayah bundanya dibunuh oleh pasukan pemerintah itulah maka malam itu dia mengamuk dan membunuhi para prajurit itu dengan penuh kebencian, jadi bukan semata-mata karena ingin membela keluarga Ciu.

Berapa kali dia patah hati karena putus cinta. Pertama dengan Cu Ing yang dipisahkan darinya dengan paksa. Ke dua, dia kembali kehilangan Loa Hwi Leng yang terbunuh oleh orang-orang Jeng-hwa-pang. Ia merasa sakit hati dan mendendam kepada banyak orang! Kepada pasukan kerajaan yang membunuh orang tuanya serta membunuh keluarga Ciu, lalu kepada Raja Agahai, pamannya di utara yang ikut pula mencelakakan orang tuanya, kepada Jeng-hwa-pang, kepada See-thian-ong, kepada Lam-sin, Pak-san-kui dan masih banyak lagi, dan pendeknya, kepada semua penjahat di dunia ini!

“Aku akan basmi mereka!” berkali-kali dia berkata ketika dia lari di malam hari itu, menuju ke selatan dan dengan cerdik dia mengambil jalan liar, bukan jalan umum karena dia tahu bahwa mungkin sekali kakaknya akan menyusul dan mencarinya.

Dia harus pandai menyembunyikan diri dan tak boleh sampai berjumpa dengan kakaknya, karena dia tahu bahwa kalau sampai dia berhadapan muka dengan Han Tiong, maka dia tidak mungkin dapat membantah lagi kalau kakaknya itu mengajaknya pulang.

Kali ini kepergiannya memang sudah direncanakan semenjak dia pulang dan menghadap ayah angkatnya bersama Han Tiong. Oleh karena itu dia tidak lupa membawa kitab-kitab peninggalan ayahnya. Selama ini dia belum sempat mempelajarinya sama sekali, karena ayah angkatnya melarangnya.

“Ilmu milik mendiang ayah kandungmu itu memang hebat, Thian Sin, akan tetapi sayang, ilmu itu mengandung pengaruh yang sangat tidak baik. Sifat ayahmu banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmunya itulah.” Demikian ayah angkatnya berkata.

Selama ini dia mentaati dan tidak pernah menyentuh kitab-kitab itu. Akan tetapi, kini dia membawa kitab-kitab itu dan dia harus mempelajarinya. Dia sudah pernah membalik-balik lembarannya dan dapat mengerti dengan mudah. Juga kunci-kunci rahasia kitab itu masih diingatnya dengan baik. Semua kitab tulisan ayah kandungnya itu memang mengandung rahasia-rahasia yang hanya dapat dipecahkan olehnya dengan menggunakan kunci-kunci rahasia yang pernah diajarkan ayahnya kepadanya.

Pertama-tama dia akan mencari Pak-san-kui. Datuk kaum sesat ini ialah ayah Siangkoan Wi Hong dan kini, tanpa adanya Han Tiong di sisinya, dia akan menghajar Siangkoan Wi Hong kemudian akan membunuhnya! Juga dia akan menantang Pak-san-kui yang sudah mengirim anak buahnya ikut mengeroyok dan membunuh keluarga Ciu Khai Sun.

Dia telah banyak mendengar tentang Pak-san-kui, bahkan ayah angkatnya sudah banyak bercerita mengenai datuk kaum sesat dari daerah utara ini. Dia tahu bahwa Pak-san-kui tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si dan ke sanalah dia kini menuju.

Pada saat itu, Ceng Thian Shin sudah berusia sembilan belas tahun. Wajahnya memang tampan sekali dan gerak-geriknya halus. Kalau dilihat sepintas lalu saja, dia lebih pantas menjadi seorang pemuda pelajar yang lemah. Siapa yang menyangka bahwa pemuda ini menyembunyikan ilmu silat yang amat hebat, banyak macam ilmu silat tinggi dikuasainya dan dia merupakan seorang pendekar sakti yang amat lihai.

Pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya disembunyikannya di balik jubahnya, dan dia lalu melakukan perjalanan cepat menyusup-nyusup hutan, naik bukit dan menuruni jurang, mengambil jalan liar agar tidak sampai dapat disusul oleh kakaknya.


Pak-san-kui adalah seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, hampir tujuh puluh tahun malah, dan dia memang diakui sebagai datuk oleh golongan hitam atau kaum sesat di deerah utara. Namanya adalah Siangkoan Tiang dan di kota Tai-goan di mana dia hidup sebagai seorang hartawan besar, dia lebih dikenal sebagai Siangkoan-wangwe (hartawan Siangkoan).

Rumah gedungnya besar bagai istana, dikelilingi pagar tembok yang tebal seperti benteng dan di depan pintu gerbangnya selalu terdapat penjaga-penjaga yang berpakaian seragam kuning, pakaian ahli-ahli silat yang gagah. Pak-san-kui Siangkoan Tiang ini tidak seperti para datuk lainnya, tidak mempunyai perkumpulan yang dipimpinnya.

Akan tetapi jangan dikira bahwa dia tidak mempunyai anak buah! Dia mempunyai tidak kurang dari lima puluh orang anak buah yang menjadi pesuruh-pesuruh atau para tukang pukulnya yang rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan karena tentu saja sebagai seorang datuk, Pak-san-kui tidak sudi mempunyai anak buah yang lemah!

Dan meski pun dia tidak mempunyai perkumpulan dan tidak membuka perguruan, namun dia mempunyai kurang lebih sepuluh orang anak buah yang dipilihnya dari semua anak buahnya, yang merupakan orang-orang berbakat, kemudian mengambil mereka sebagai muridnya. Sebagian besar dari anak-anak buah itu adalah bekas-bekas penjahat di daerah utara yang takluk kepada datuk ini.

Murid-murid kepala yang paling diandalkan oleh Pak-san-kui adalah Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek berusia lima puluh tahun yang terkenal dengan ilmu gabungan mereka, yaitu Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga). Pakaian tiga orang murid kepala ini pun ringkas dan gagah, berwarna putih-putih dengan sabuk biru dan kemana pun mereka pergi, tiga orang ini selalu membawa pedang di punggung mereka.

Di bawah murid kepala ini masih terdapat beberapa orang murid lagi yang cukup tangguh. Mereka semua inilah pelaksana-pelaksana yang mewakili Pak-san-kui apa bila berurusan dengan segala golongan di daerah utara.

Pak-san-kui bukan hanya terkenal kaya raya, akan tetapi dia juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan para pembesar di kota-kota, sampai di kota raja! Pengaruhnya luas sekali dan dialah, atau setidaknya murid-muridnya yang dipercayalah, yang menjadi semacam jembatan bagi setiap orang yang memerlukan bantuan para pembesar itu.

Melalui Pak-san-kui maka pembesar itu suka memberikan jasa-jasa baik terhadap para pedagang dan para hartawan yang membutuhkan bantuan pembesar-pembesar itu dengan imbalan yang cukup besar. Dan semua hubungan itu melalui Pak-san-kui! Tentu saja sebagai jembatan, Pak-san-kui memperoleh tanda terima kasih dari kedua fihak.

Selain itu, juga Pak-san-kui telah menundukkan semua gerombolan penjahat sehingga dari mereka ini pun dia memperoleh banyak sumbangan sebagai tanda takluk. Bahkan semua rumah judi, rumah pelacuran, dan rumah pemadatan yang besar-besar, berada di bawah kekuasaan Pak-san-kui. Maka tidaklah mengherankan kalau pengaruhnya besar dan kekayaannya makin lama semakin besar juga.

Seperti telah kita kenal, hartawan ini mempunyai seorang putera saja, yaitu Siangkoan Wi Hong yang tampan, halus dan pandai bermain musik, bersajak, akan tetapi juga lihai ilmu silatnya itu. Jarang ada orang yang sempat menyaksikan ilmu silat kakek hartawan ini, namun didesas-desuskan bahwa kepandaiannya bagaikan malaikat, dan huncwe panjang bergagang emas yang selalu dibawanya ke mana-mana itu merupakan senjata yang amat ampuh.

Hartawan ini memang lebih patut menjadi hartawan dari pada ahli silat tinggi. Tubuhnya yang jangkung, wajahnya yang terpelihara baik-baik serta tampan, sikapnya yang ramah, pakaiannya yang mewah, semua itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang datuk yang sakti.

Amat mudah bagi Thian Sin untuk dapat menemukan rumah gedung Pak-san-kui di kota Tai-goan itu. Setiap orang, siapa pun juga yang ditanyainya, tentu tahu di mana letaknya rumah gedung itu biar pun orang lebih mengenal Pak-san-kui sebagai Siangkoan-wangwe.

Tadinya Thian Sin sendiri bingung melihat yang ditanya mengenai Pak-san-kui tidak tahu, tetapi ketika pemilik restoran di mana dia makan mendengar disebutnya Pak-san-kui, dia cepat berkata bahwa yang dicari pemuda itu tentulah Siangkoan-wangwe. Dan Thian Sin segera membenarkan karena dia lantas teringat bahwa nama putera Pak-san-kui adalah Siangkoan Wi Hong.

“Ya, benar, Siangkoan-wangwe, di mana rumahnya?”

Semua orang dengan cepat lalu memberi keterangan di mana adanya rumah gedung milik hartawan itu, dan di luar tahunya Thian Sin, pemilik restoran diam-diam sudah mengutus seorang pegawainya untuk memperingatkan kepada hartawan itu atau para anak buahnya bahwa ada seorang pemuda tampan asing yang mencarinya.

Mudah diketahui bahwa pemuda yang mencari itu tentulah seorang asing yang datang dari jauh. Pertama karena logat bicaranya berbeda, ke dua, kalau pemuda itu orang daerah Tai-goan, tak mungkin tidak tahu di mana adanya rumah Siangkoan-wangwe!

Karena adanya laporan inilah maka ketika Thian Sin berhadapan dengan para penjaga pintu gerbang rumah gedung yang berpakaian serba kuning itu dan mendengar bahwa dia minta bertemu dengan Siangkoan-wangwe, dia lalu dipersilakan memasuki pintu gerbang. Akan tetapi begitu dia masuk, daun pintu gerbang dari besi itu ditutup rapat dan dia telah dikurung oleh beberapa orang penjaga yang membawa tombak dan golok!

Thian Sin bersikap tenang sekali. Setelah kini merantau seorang diri dan seorang diri pula menghadapi bahaya, dia bersikap tenang. Dia tahu bahwa dia telah berani memasuki goa macan, oleh karena itu dia tidak mau menuruti perasaan hatinya. Dia sudah memperoleh pelajaran pahit dan sekarang dia harus bersikap cerdik.

Dia bukan seorang tolol yang nekat mencari mati dengen menantang Pak-san-kui begitu saja. Dia harus pandai bersiasat. Maka, dikepung oleh beberapa orang yang berpakaian kuning itu, dia tersenyum saja.

“Hemm, beginikah caranya Pak-san-kui yang terkenal itu menyambut seorang tamu yang hendak bertemu dengannya? Menyambut dengan pengeroyokan bagaikan sikap seorang tukang pukul murahan saja?” katanya mengejek dan sengaja menaikkan nada suaranya, agar terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung besar itu!

Dan pancingannya itu memang berhasil. Dari dalam gedung muncullah seorang pemuda tampan yang membawa yang-kim, dan bukan lain dia adalah Siangkoan Wi Hong.

“Aha, ternyata si pemberontak berani muncul di sini!” kata Siangkoan Wi Hong dengan suara mengejek, akan tetapi dia tersenyum sambil memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata menunjukkan kekagumannya.

Memang putera Pak-san-kui ini merasa amat kagum kepada Thian Sin yang dianggapnya seorang pemuda yang pandai bersajak, penuh keberanian, dan memiliki ilmu kepandaian hebat. Dia sendiri harus mengakui bahwa dia tidak mampu menandingi putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini!

Melihat munculnya putera Pak-san-kui itu, Thian Sin tersenyum pula dan membungkuk. “Nah, kalau puteranya yang keluar menyambut masih mendingan! Siangkoan-kongcu, kau jangan sembarangan berbicara tentang pemberontak, nanti engkau bisa mendapat marah dari ayahmu. Di dunia ini ada banyak macam pemberontak, tetapi yang paling berbahaya adalah pemberontak yang bersembunyi dan tidak melakukan pemberontakannya secara berterang!”

Thian Sin teringat akan pengakuan Phoa-taijin, karena itulah dia berani menyindir dengan kata-kata itu. Dia merasa yakin bahwa datuk utara, ayah dari pemuda di hadapannya ini tentu bersekutu dengan orang-orang Mancu yang merencanakan pemberontakan.

“Bocah sombong! Engkau telah berani memberontak dan mengacau di kota Lok-yang dan Su-couw, dan sekarang berani pula muncul di sini menjual lagak? Tangkap dia!” bentak Siangkoan-kongcu yang sudah meloncat maju.

Beberapa orang penjaga segera mengurung pula, siap untuk menyerang Thian Sin yang sudah terkurung di tengah-tengah. Akan tetapi Thian Sin bersikap tenang dan masih tetap tersenyum, sama sekali tidak kelihatan gentar.

“Aku tidak percaya bahwa Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui yang terkenal lihai itu kini hendak mengandalkan pengeroyokan anak buahnya yang tidak berarti untuk menyambut seorang tamu yang hendak bicara!”

Ucapan ini membuat Siangkoan Wi Hong meragu. Kalau dia melanjutkan pengeroyokan, sungguh sama saja dengan menjatuhkan namanya sendiri di hadapan mata para anak buahnya! Akan tetapi, pada saat itu pula terdengar suara tertawa dari dalam gedung dan tiba-tiba muncullah seorang kakek bertubuh jangkung yang memegang sebatang huncwe panjang.

Biar pun selama hidupnya belum pernah berjumpa dengan Pak-san-kui, akan tetapi Thian Sin sudah memperoleh gambaran tentang datuk ini dari kakaknya yang pernah bertemu ketika masih kecil, maka begitu kakek itu muncul, dia sudah dapat menduganya dan cepat dia menjura dengan sikap hormat, menyembunyikan kebencian hatinya di balik senyuman ramah.

“Siangkoan-locianpwe suka keluar sendiri, hal ini berarti suatu kehormatan besar bagiku!” katanya sambil memberi hormat.

Kakek itu tertawa sambil matanya terbelalak kagum. “Inikah putera Pangeran Ceng Han Houw yang telah membikin geger dan telah membuntungi orang she Phoa itu? Ha-ha-ha, sungguh pantas menjadi putera pangeran yang pernah merebut gelar Jagoan Nomor Satu di dunia! Hei, Ceng Thian Sin, engkau sungguh menyenangkan sekali, tepat seperti yang telah diceritakan oleh puteraku. Mari, mari, kita ke lian-bu-thia sebab sebelum bicara lebih lanjut aku ingin sekali menguji kepandaianmu.”

Thian Sin menyembunyikan kekhawatirannya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat yang berbahaya, dan sekali masuk, entah dia akan dapat keluar lagi atau tidak. Maka sambil tersenyum dia pun berkata, “Saya sama sekali tidak dapat percaya bahwa seorang datuk seperti Siangkoan-locianpwe akan sudi untuk menjebak dan mencelakai seorang pemuda tanpa nama seperti saya ini!”

Kakek itu menghembuskan asap dari pipa tembakaunya dan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, berani dan lihai serta cerdik pula! Orang muda, apa kau kira kau akan mampu lolos dari jangkauan huncweku bila mana aku menghendaki nyawamu? Perlu apa aku mesti pakai menjebak seperti perbuatan seorang pengecut? Masuklah dan aku sendiri yang menjamin bahwa tak akan ada yang mengganggumu apa lagi menjebakmu. Kita adalah orang-orang segolongan, atau setidaknya, andai kata mendiang Pangeran Ceng Han Houw sekarang masih hidup, tentu dia merupakan seorang sahabatku yang paling baik.”

Lega rasa hati Thian Sin. Ternyata siasatnya ketika dia bicara mengenai pemberontakan sambil menyinggung keadaan Pak-san-kui tadi berhasil. Kakek itu tidak akan memusuhi dirinya, bahkan melihat sikapnya agaknya,akan menariknya sebagai sekutu atau sahabat. Baik, dia akan melihat keadaan dan tidak akan terburu nafsu membalas dendam kematian keluarga Ciu. Sekarang dia tidak memiliki siapa pun juga, maka dia harus pandai menjaga diri sendiri dan berlaku cerdik.

“Baiklah, locianpwe, aku percaya penuh kepada ucapan seorang besar seperti locianpwe.” Dan dengan sikap tenang dia pun melangkah masuk mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Siangkoan Wi Hong yang juga amat kagum kepada pemuda remaja ini.

Lian-bu-thia itu luas sekali, dindingnya putih bersih dan dihias tulisan-tulisan yang bergaya gagah. Pada sudut ruangan itu terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan senjata-senjata selengkapnya. Juga terdapat alat-alat untuk latihan silat, bahkan ada patok-patok bunga bwee untuk latihan kuda-kuda dan langkah-langkah silat, ada karung-karung terisi bubuk pasir dan bubuk besi untuk latihan mengeraskan tangan dan sebagainya.

Hawa dalam ruangan lian-bu-thia (ruangan bermain silat) itu cukup segar sebab dikelilingi jendela beruji besi. Lantainya juga sangat bersih dan tidak licin. Pendek kata, lian-bu-thia yang terawat dan baik sekali.

Ketika mereka memasuki lian-bu-thia itu terdapat tiga orang kakek setengah tua yang sedang latihan silat dan mereka ini ternyata adalah Pak-thian Sam-liong! Melihat guru dan juga majikan mereka masuk bersama Siangkoan-kongcu serta seorang pemuda, mereka segera memberi hormat dan mengenakan pakaian mereka yang tadi mereka buka dan mereka hanya memakai celana. Akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal Thian Sin, mereka terkejut sekali dan memandang dengan alis berkerut.

Akan tetapi dengan sikap gembira sekali, Pak-san-kui cepat melepaskan mantelnya yang terbuat dari bulu tebal dan dia menyerahkan huncwenya kepada salah seorang di antara Pak-thian Sam-liong yang segera mengisinya lagi dengan tembakau dari sebuah kantong tembakau yang diberikan oleh kakek itu kepadanya. Baju sutera hartawan itu kelihatan mewah sekali dan dia tersenyum memandang kepada Thian Sin.

“Ceng-sicu, aku sudah mendengar bahwa sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, engkau memiliki ilmu silat yang hebat sekali!”

“Ah, berita itu terlalu dilebih-lebihkan, locianpwe,” Thian Sin berkata merendah, sikap yang memperlihatkan kecerdikannya. Sebelum dia tahu sampai di mana kehebatan kepandaian musuh ini, dia harus bersikap hati-hati, pikirnya, apa lagi dia berada di dalam rumah datuk ini.

“Hemm, sama sekali tidak dilebih-lebihkan kalau engkau sudah mampu mengalahkan tiga orang muridku dan juga puteraku. Bahkan kabarnya engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, sungguh luar biasa sekali. Semuda ini kabarnya telah memiliki Thi-khi I-beng, benarkah itu?”

“Locianpwe terlalu memuji,” kata Thian Sin.

“Ha-ha-ha, oleh karena itu, untuk membuktikan apakah benar semua berita yang kuterima itu, apakah benar engkau sedemikian lihainya ataukah hanya murid-muridku dan puteraku saja yang tolol, maka sungguh kebetulan sekali engkau datang. Sebelum kita bicara lebih lanjut, marilah kita main-main barang beberapa jurus dan harap engkau tidak perlu untuk mengeluarkan seluruh ilmu kepandaianmu.” Setelah berkata begitu, kakek itu melangkah ke tengah ruangan lian-bu-thia, menggapaikan tangan ke arah muridnya yang tadi mengisi huncwe.

Sang murid cepat mengantarkan huncwe gurunya, kemudian dengan penuh hormat lalu menyalakan geretan api dan membakar tembakau pada ujung huncwe sehingga tak lama kemudian nampak asap putih mengepul dan tercium bau tembakau yang harum.

Pak-san-kui mengepulkan asap dari hidungnya, kemudian mengangguk kepada Thian Sin. “Ceng Thian Sin, kau majulah dan mari kita main-main!”

Thian Sin segera melangkah maju dan tetap bersikap waspada. Memang dia ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaian orang tua ini, seorang di antara para datuk. Kalau dia sanggup menandinginya, maka dia tentu akan membunuh datuk ini untuk membalaskan kematian keluarga Ciu. Akan tetapi kalau datuk ini terlalu pandai dan terlalu lihai baginya, dia akan menggunakan akal. Sambil tersenyum dia lalu menjura dan berkata,

“Aku yang muda hanya melayani kehendak locianpwe, silakan, locianpwe!”

“Baik-baik, kau siaplah, orang muda!”

Mendadak kakek ini melangkah maju, tangan kirinya menyambar sembarangan saja ke arah kepala Thian Sin. Biar pun tangan itu nampaknya hanya menyambar perlahan saja, akan tetapi ada angin sambaran yang amat kuat mendahului tangannya.

Thian Sin menggeser kaki ke belakang untuk mengelak, akan tetapi sebelum dia sempat membalas serangan sembarangan itu, tahu-tahu tangan yang sudah dielakkannya hingga lewat itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, bahkan kini dua jari dari tangan itu menusuk ke arah matanya dengan kecepatan kilat!

Tentu saja dia terkejut bukan kepalang, karena lawannya itu tidak melangkah maju, akan tetapi bagaimana tangannya masih terus dapat mengejarnya? Pada saat dia menendang sambil meloncat cepat ke kiri untuk mengelak, kiranya lengan kiri kakek itu dapat diulur panjang sampai hampir dua kali panjang lengan biasa! Itulah ilmu yang sangat luar biasa dan amat berbahaya, pikirnya.

Karena itu, sambil mengelak tadi dia pun sudah membalas dengan tamparannya, dengan mempergunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang! Dari tangannya sampai terdengar suara bersuit keras saking hebatnya pukulan itu. Memang Thian Sin yang maklum bahwa dia sedang menghadapi lawan yang amat tangguh, sudah mempergunakan semua tenaganya dalam mengirim serangan balasan ini.

Agaknya kakek ini sudah menduga akan tamparan ini. Maka dia pun sengaja menangkis dengan lengan kirinya yang sudah ditarik kembali, tentu saja sambil mengerahkan tenaga karena dia maklum bahwa pemuda ini hebat bukan main.

“Dukkk…!”

Keduanya tergetar dan terpaksa mundur selangkah. Kakek itu memandang kagum sekali.

“Itukah Thian-te Sin-ciang? Bukan main hebatnya!” katanya memuji sambil tersenyum.

Sudah lama dia mendengar akan ilmu ini dan hari ini dia benar-benar menghadapi ilmu itu yang dilakukan oleh seorang pemuda gemblengan. Akan tetapi Thian Sin mengira bahwa kakek itu memandang rendah kepadanya, maka dia pun lantas mainkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang hebat, yaitu ilmu pusaka dari Cin-ling-pai.

Menghadapi desakan serangan ilmu silat tinggi ini, apa lagi kalau pada setiap pukulannya mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, kakek itu mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun bergerak aneh, tubuhnya kadang-kadang berputar untuk mengelak dan lagi-lagi tangan kirinya yang dapat terulur panjang itu secara lemas membalas dengan serangan yang tak terduga-duga.

“Ha-ha-ha… Inikah San-in Kun-hoat? Bagus sekali!”

Thian Sin merasa penasaran. Ilmu silatnya telah dapat dikenal orang, maka dia pun lalu menggantinya dengan gerakan dari ilmu silat yang baru saja dipalajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun. Pukulan-pukulannya seperti angin cepatnya dan tubuhnya berputaran, menyerang lawan dari delapan penjuru. Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang cepatnya bukan kepalang.

“Ehh, ehh, apa ini? Seperti gerakan Pat-kwa…” Kakek itu menebak-nebak heran.

Akan tetapi harus diakui bahwa dia lihai sekali karena semua serangan Thian Sin mampu dielakkannya dengan tangkisan atau dengan putaran-putaran tubuh secara aneh, bahkan setiap pukulan selalu dibalasnya dengan kontan. Akan tetapi, Thian Sin juga selalu dapat menangkis semua pukulan itu dan dia tetap waspada karena sebegitu jauhnya, kakek itu belum pernah menggunakan huncwenya untuk menyerang. Padahal, seperti yang pernah dia dengar, huncwe itulah yang merupakan senjata maut kakek itu, maka kini perhatian Thian Sin selalu ditujukan ke arah huncwe itu.

Dan dugaannya memang tepat sekali. Ketika kakek itu agak repot menghadapi Pat-hong Sin-kun, tiba-tiba saja setelah mengelak, huncwenya menyambar. Thian Sin cepat-cepat mengelak, akan tetapi pada saat huncwe itu lewat di atas kepalanya, tiba-tiba saja ada api menyambar ke arah mukanya. Api itu keluar dari tempat tembakau dan merupakan bunga api yang menyambar cepat sekali ke arah matanya!

Tentu saja Thian Sin menjadi terkejut bukan main dan ketika dengan kecepatan kilat dia melempar tubuh ke belakang, tangan kiri kakek itu yang mulur panjang sudah menampar punggungnya! Tamparan yang dilakukan ketika dia mengelak dari sambaran api sehingga tubuh yang sedang dilempar ke belakang itu tidak mungkin mengelak lagi, bahkan untuk menangkis pun tidak sempat lagi, maka pemuda itu hanya dapat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang melindungi punggungnya.

“Plakkk!”

Thian Sin melompat untuk mengurangi tenaga tamparan itu, dan kakek itu pun berseru heran ketika tamparannya itu merasa betapa kulit punggung itu lemas dan lunak seperti karet. Tahulah dia bahwa punggung itu terlindung oleh tenaga sinkang yang amat kuatnya dan sama sekali tidak terluka oleh pukulannya tadi. Dia menjadi semakin kagum, tahulah dia bahwa Ilmu Thian-te Sin-ciang yang disohorkan oleh dunia kang-ouw itu ternyata tidak kosong belaka.

Thian Sin merasa penasaran sekali. Memang benar dia belum kalah, akan tetapi karena dia sudah terkena satu kali tamparan, maka berarti dia yang terdesak. Kini dia maju dan kembali menyerang dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Begitu dia mulai memainkan ilmu silat yang amat indah dan juga amat kuat ini, kakek itu pun sudah berseru kagum.

“Wah, inilah Thai-kek Sin-kun! Bukan main!” Dan dia pun mencoba untuk membobolkan benteng pertahanan ilmu silat itu dengan serangan-serangan huncwenya, sambil mencoba untuk mengacaukan garis pertahanan lawan dengan lengan kirinya yang dapat mulur itu.

Akan tetapi, pertahanan Thian Sin amat kuatnya sehingga ke mana pun juga huncwe dan tangan kiri itu menyerang, dia selalu sudah dapat menyambutnya dengan tangkisan kuat atau pun dengan elakan yang indah. Sepasang lengannya berani menangkis huncwe itu karena dilindungi tenaga Thian-te Sin-ciang.

Beberapa kali kakek itu memuji. Biar pun dia sudah mengerahkan tenaganya, akan tetapi belum juga dia mampu merobohkan lawan. Memang, dia tidak sepenuhnya memainkan huncwenya, melainkan huncwenya itu lebih banyak hanya digunakan untuk menggertak saja dan dia menyerang dengan tangan kirinya. Hal ini adalah karena dia merasa malu kalau harus merobohkan lawan dengan huncwenya, padahal pemuda itu juga bertangan kosong.

Memang hal ini juga yang dimaklumi oleh Thian Sin. Setiap kali kakek ini menggunakan huncwenya, dia memandang silau akibat hamburan api yang muncrat ke sana-sini, dan gerakan huncwe itu memang aneh bukan main, bahkan apa bila kakek itu mau, agaknya pertahanan Thai-kek Sin-kun juga tak mampu mempertahankan dirinya. Akan tetapi kakek itu selalu menahan huncwenya dan melanjutkan dengan serangan tangan kiri yang cukup aneh dan ampuh itu.

Sesudah lewat lima puluh jurus, kakek itu kini menggerakkan huncwenya dengan aneh. Huncwe itu diputar-putar, menjadi gulungan sinar api yang menyilaukan mata. Terpaksa Thian Sin mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi huncwe ini, namun kembali dia kecurian!

Lengan kiri kakek itu memanjang dan menghantamnya dari belakang, kini bukan ditujukan ke punggung, melainkan ke tengkuknya! Tentu saja hal ini sangat berbahaya, maka pada saat terakhir, Thian Sin sudah mengerahkan Thi-khi I-beng.

“Plakkk!”

“Aughhhh…!” Kakek itu mengeluarkan teriakan kaget, kemudian disambungnya, “Wah, ini Thi-khi I-beng, ya?” Dan huncwenya menyambar, lalu ada rasa panas pada tengkuk Thian Sin sehingga sesaat tenaga Thi-khi I-beng membuyar dan kakek itu pun sudah berhasil menarik kembali tangan kirinya! Ternyata kakek itu mampu memunahkan Thi-khi I-beng dengan bantuan api huncwenya!

“Ha-ha, hebat sekali kau, Ceng Thian Sin! Semuda ini sudah banyak ilmunya yang hebat-hebat! Tapi jangan harap kau akan dapat menangkan aku, orang muda. Lekas keluarkan pedangmu di balik jubah itu, dan mari hadapi huncweku dengan senjata!”

Kembali Thian Sin terkejut. Bukan saja kakek ini dapat memunahkan Thi-khi I-beng, akan tetapi juga tahu akan pedangnya dan menantangnya menggunakan pedang. Apa artinya dia menggunakan pedang kalau Thian-te Sin-ciang, Thi-khi I-beng dan Thai-kek Sin-kun saja tidak sanggup mengalahkan kakek ini? Dan kakek itu agaknya belum mengeluarkan ilmu huncwenya yang sungguh-sungguh!

Mengertilah Thian Sin bahwa dia memang masih kalah oleh kakek ini, maka dia menekan rasa penasaran di dalam hatinya lantas dia berkata dengan suara ramah dan merendah, “Saya datang bukan dengan maksud hendak memusuhi locianpwe, mengapa saya harus mempergunakan pedang?”

Kakek itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kata-katamu memang enak didengar. Akan tetapi aku sudah mendengar betapa ganasnya engkau menggunakan pedangmu ketika engkau mengamuk di kota Lok-yang dan Su-couw. Nah, orang muda, engkau berpedang dan aku memegang huncwe, kita lihat siapa lebih unggul!”

“Ayah, agaknya dia takut kalau-kalau pedangnya akan melukai dirinya sendiri, ha-ha-ha!” Siangkoan Wi Hong tertawa, sengaja membakar hati Thian Sin.

Thian Sin sudah siap dengan siasatnya dan menekan semua kemarahan serta kebencian, akan tetapi ternyata dia masih belum kuat. Maka mendengar ejekan ini, tangan kanannya bergerak dan nampaklah sinar perak ketika Gin-hwa-kiam tercabut. Melihat pedang yang tipis dan pendek ini, Pak-san-kui tertawa.

“Ha-ha-ha-ha, ternyata pedang seorang wanita! Ehh, Ceng Thian Sin, apakah pedang itu pedang tanda mata dari seorang kekasihmu?”

“Harap locianpwe jangan menghina!” Thian Sin berteriak, menahan diri agar tidak memaki kakek itu. “Ini adalah pedang pemberian nenekku! Nah, sambutlah!”

Dia pun segera menggerakkan pedang itu dan karena dia tidak mempelajari ilmu pedang khusus, maka dia pun lalu memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kalau dimainkan dengan pedang bisa menjadi Thai-kek Sin-kiam. Gerakannya cukup hebat sehingga begitu pedang diputar nampak gulungan sinar perak.

“Hemm!” Kakek itu mendengus dan nampak kecewa, lalu menggerakkan huncwenya dan begitu huncwe bergerak, maka terkejutlah Thian Sin.

Sudah diduganya tadi bahwa memang senjata huncwe ini adalah keistimewaan kakek itu, akan tetapi tidak pernah disangkanya huncwe itu demikian hebat. Baru belasan gebrakan saja dia sudah tidak mampu balas menyerang. Gerakan huncwe itu merupakan gulungan api! Dan selain cepat, juga amat aneh sehingga sukar diikuti.

Ia mempertahankan diri dengan terus memutar pedang melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba saja, setelah lewat dua puluh jurus, terdengar suara keras sekali dan pedangnya terpental, hampir terlepas dari pegangan tangannya, kemudian huncwe itu tahu-tahu telah datang dekat sekali dengan mukanya, seperti hendak membakarnya, maka dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan baru dapat menghindarkan diri. Kakek itu tertawa.

“Orang muda she Ceng, jangan kau terlampau pelit! Yang sejak tadi kau keluarkan adalah ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai. Kenapa engkau tak mengeluarkan ilmu peninggalan dari ayah kandungmu? Jangan dikira aku tidak tahu. Aku sudah mendengar bahwa Ceng Han Houw pernah merajai dunia persilatan karena dia memiliki ilmu silat jungkir balik yang amat lihai. Hayo, kau keluarkanlah ilmu itu dan kita bertanding sungguh-sungguh!”

Thian Sin kaget bukan kepalang. Tak disangkanya bahwa kakek ini tahu pula akan hal itu. “Sayang, aku baru saja pergi meninggalkan Lembah Naga dan belum sempat mempelajari ilmu-ilmu itu. Tunggulah setahun lagi, bila mana aku sudah melatih ilmu-ilmu itu, aku akan mencarimu dan kita bertanding lagi, locianpwe.”

“Ha-ha-ha, siapa mau kau bohongi? Kalau engkau kudesak, tentu engkau terpaksa akan mengeluarkan ilmu simpanan itu untuk kulihat!” Sesudah berkata begitu, kembali huncwe maut itu bergerak dengan kecepatan kilat.

Thian Sin lalu memutar pedang melindungi dirinya dan berusaha melawan sekuat tenaga. Akan tetapi dia hanya mampu bertahan sampai tiga puluh jurus saja dan tiba-tiba kembali terdengar suara keras. Sekarang huncwe atau gulungan sinar api itu berputar-putar hingga pedangnya seperti ‘terlibat’ dan ikut berputar, kemudian, tiba-tiba saja pedangnya terlepas dan huncwe itu menyambar.

Dia mengelak untuk disambut tangan kiri dan dia cepat mengerahkan Thi-khi I-beng, akan tetapi punggungnya terasa panas dan Thi-khi I-beng itu membuyar, lalu dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi punggungnya yang dicengkeram oleh tangan kiri lawan.

Akan tetapi, jari-jari tangan itu meremas dan memutar sedemikian rupa sehingga semua ototnya terkena remasan, kemudian tiba-tiba saja Thian Sin roboh dengan lemas. Kakek itu tertawa dan dengan marah Thian Sin berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali dia menggerakkan tubuhnya, dia menahan rasa nyeri yang amat sangat di punggungnya dan roboh lagi.

Punggungnya itu seakan-akan patah tulangnya. Dengan punggung seperti itu, maka tentu saja dia tak mampu lagi menggerakkan tangan kakinya karena setiap gerakan kaki tangan sudah tentu mengandalkan kekuatan dari punggung.

“Ayah, kenapa orang ini tidak dibunuh saja?” Tiba-tiba Siangkoan Wi Hong berkata sambil meloncat maju dengan yang-kim yang berbahaya itu di tangannya.

Thian Sin maklum bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah tidak berdaya menghindar dan nyawanya akan melayang. Akan tetapi dia kini rebah terlentang dengan sinar mata terbelalak penuh keberanian, seolah-olah dengan sinar matanya itu dia menantang maut!

“Ha-ha-ha-ha, jangan dibunuh. Aku telah berjanji bahwa dia masuk ke sini dalam keadaan hidup, maka keluarnya dari sini pun dalam keadaan hidup. Akan tetapi hidup yang bagai mana? Ha-ha-ha, ingin aku melihat bagaimana wajah Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu itu bila dapat melihat puteranya yang tampan gagah berubah menjadi seorang manusia tapa daksa yang tidak berguna sama sekali.”

Thian Sin merasa ngeri juga membayangkan ancaman ini. Tentu kakek itu akan membuat dirinya sebagai seorang manusia dengan cacad yang membuat dia selama hidupnya tidak berguna. Itu lebih hebat dari pada kalau dia dibunuh! Maka dia pun cepat menggunakan akal.

“Pak-san-kui, kalau ayahku masih hidup, atau kalau aku sudah mempelajari ilmu-ilmu dari ayahku, aku yakin engkau tidak akan berani bersikap seperti ini!”

Pak-san-kui memandang padanya kemudian mengangguk-angguk. “Mungkin sekali, akan tetapi sayang, ayahmu telah tidak ada lagi dan engkau ternyata hanya merupakan murid Cin-ling-pai yang amat baik, sama sekali tidak mewarisi kepandaian ayahmu. Dan engkau sudah membuat Phoa-taijin menjadi manusia yang hidup tidak mati pun tidak, maka aku pun hendak membikin engkau seperti dia.”

“Orang macam Phoa-taijin itu tidak dibunuh pun masih untung! Apa gunanya orang seperti dia yang demikian ceroboh? Menggunakan perampok-perampok tolol untuk menjalankan siasat, kemudian membasmi keluarga Ciu. Tahukah locianpwe siapa Ciu Khai Sun? Dia tokoh besar Siauw-lim-pai dan apa artinya itu? Artinya bahwa gerakan sekutu locianpwe itu akan mendapat tentangan yang besar dan kuat. Jika Phoa-taijin cerdik, tentu dia akan mempergunakan orang-orang yang lebih lihai agar usaha merampok itu berhasil baik, dan juga tidak nanti membunuh orang Siauw-lim-pai! Locianpwe, aku adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, karena itu aku telahmembunuh sebanyak mungkin pasukan pemerintah. Apa kenyataan ini masih belum cukup membuka mata bahwa aku adalah seorang sekutu locianpwe yang cukup baik, bahkan jauh lebih baik dari pada orang she Phoa yang tolol itu?”

Kakek itu mendengarkan dengan alis berkerut, akan tetapi wajahnya mulai berubah dan sinar matanya berseri. “Dan andai kata benar omonganmu, dan aku menjadikan engkau sekutu, lalu apa gunanya engkau bagiku?”

“Locianpwe, mendiang ayahku itu adalah seorang jagoan nomor satu di dunia. Locianpwe tentu sudah mendengar pula akan ilmu-ilmu yang dimilikinya, ilmu-ilmu hebat dan mukjijat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan ilmu dengan berjungkir balik yang disebut Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Balikkan Bumi).”

Wajah kakek itu makin berseri dan dia pun mengangguk. “Hanya dongeng saja! Buktinya, putera tunggalnya pun tidak mampu memainkan kedua ilmu itu!”

“Sudah kukatakan bahwa karena selama ini aku tinggal di Lembah Naga dan mempelajari ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka aku tak sempat mempelajarinya. Akan tetapi kalau locianpwe berminat, bebaskanlah dulu aku kemudian kita dapat bicara.”

“Ayah, hati-hati terhadap anak ini, dia pandai bicara pula,” kata Siangkoan Wi Hong.

Akan tetapi kakek yang haus akan kepandaian silat yang hebat itu tak peduli, dan dia pun sudah menggerakkan tangan, menotok ke beberapa bagian punggung Thian Sin. Pemuda ini dapat bergerak kembali lalu bangkit berdiri dan menjura.

“Locianpwe telah mengambil keputusan yang amat tepat dan akan menguntungkan kedua fihak.”

“Ceng Thian Sin, hal ini jelas keuntungan bagi fihakmu, akan tetapi aku tidak melihat apa keuntungannya bagi ayah!” kata Siangkoan Wi Hong.

“Siangkoan-toako, engkau tahu bahwa aku bukan seorang laki-laki yang suka berbohong. Aku tidak takut mati, tadi aku hanya menawarkan kerja sama yang baik dan akan dapat menguntungkan bagi kedua fihak. Aku mempunyai kitab-kitab ayahku itu dan kutawarkan kepada Siangkoan locianpwe.”

“Di mana kitab-kitab itu?” tanya Pak-san-kui dengan girang.

“Nanti dulu, locianpwe. Locianpwe tentu akan dapat mempelajari ilmu-ilmu ayahku itu, hal ini kutanggung dengan taruhan nyawa. Akan tetapi apakah imbalannya? Seorang gagah bukan memberi ilmu dengan cuma-cuma, namun tidak menerima ilmu secara cuma-cuma pula.”

“Hemm, apa yang kau kehendaki? Aku sudah membebaskanmu!”

“Ah, itu bukan imbalan namanya. Di antara kita tidak ada permusuhan, bahkan mengingat akan keadaanku yang tentu dianggap pemberontak oleh pemerintah, kita ini mempunyai persamaan, bukan? Biar pun locianpwe bekerja di dalam selimut dan aku di luar selimut.”

“Ha-ha-ha-ha, engkau memang cerdik. Nah, apa yang kau minta sebagai penukar semua ilmu-ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw?”

“Locianpwe, di antara ilmu-ilmu locianpwe, yang amat menarik dan mengagumkan hatiku adalah ilmu huncwe dari locianpwe tadi. Maka, aku mau menukar kedua ilmu peninggalan ayahku dengan ilmu huncwe dari locianpwe.”

“Ha-ha-ha, engkau memang cerdik bukan main! Selama hidupku belum pernah ada orang yang mampu menandingi ilmu huncweku ini, dan sekarang engkau ingin mempelajarinya. Ha-ha-ha, baiklah, kita tukar dua ilmu itu!”

“Ayah…!” Siangkoan Wi Hong berseru kaget.

Sebagai putera datuk itu, dia sendiri belum diberi pelajaran ilmu itu yang menurut ayahnya tidaklah mudah dan di samping harus memiliki bakat yang amat baik, juga membutuhkan waktu yang amat lama sekali dan selain itu harus menjadi ahli menghisap asap tembakau pula! Padahal Siangkoan Wi Hong tidak suka menghisap pipa tembakau, oleh karena itu selama ini dia belum pernah mempelajari ilmu simpanan ayahnya itu.

“Aku sudah berjanji!” Ayahnya memotong. “Dan kita masing-masing mempelajari ilmu-ilmu itu selama enam bulan. Setujukah engkau, Ceng Thian Sin?”

“Baik, locianpwe. Enam bulan sudah cukup bagiku!” Pemuda itu kemudian menanggalkan jubahnya, tidak melihat betapa Siangkoan Wi Hong tersenyum-senyum karena pemuda ini sudah dapat menangkap siasat ayahnya.

Menurut ayahnya, untuk dapat mempelajari ilmu huncwe itu secara sempurna, orang yang berbakat baik sekali pun membutuhkan waktu paling sedikit tiga tahun! Dan kini ayahnya berjanji akan mengajarkan ilmu itu selama setengah tahun saja. Mana mungkin Thian Sin akan dapat menguasainya dalam waktu setengah tahun?

Sebaliknya, ayahnya adalah seorang yang bakatnya luar biasa sekali dalam hal ilmu silat. Ilmu silat apa pun, sesudah dilatihnya dua tiga kali saja tentu sudah dapat ditangkap inti sarinya dan dapat dikuasainya! Sekali ini Thian Sin kena batunya dan berjumpa dengan seorang datuk yang selain lihai juga amat cerdik.

Akan tetapi, ayah dan anak ini sama sekali tidak menduga bahwa Thian Sin mempunyai kecerdikan yang akan mengejutkan mereka. Walau pun selama ini, sejak kecilnya, Thian Sin dididik oleh orang-orang yang mengutamakan kebajikan dan menjauhi kepalsuan dan kejahatan, akan tetapi pada dasarnya dia memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jika dia menghendaki, maka dia mampu menciptakan siasat dan muslihat yang amat cerdik.

Dia menerima janji enam bulan itu dengan hati gembira, karena dia merasa yakin bahwa kitab-kitab peninggalan ayahnya itu tidak akan dapat dipelajari oleh siapa pun kecuali oleh dia yang tahu akan kuncinya. Bahkan, makin lama dipelajari orang begitu saja, orang itu akan tersesat semakin jauh.

Sedangkan bagi dia, sama sekali dia tak ingin belajar mainkan huncwe itu, melainkan dia ingin mengenal inti gerakannya, mengenal kekuatannya dan juga bagian-bagiannya yang lemah sehingga dia akan lebih mampu menghadapinya kelak!

Thian Sin kini merobek pinggiran jubahnya, dan ternyata dua buah kitab tipis digulungnya lantas disembunyikannya di dalam atau di balik jahitan jubah itu, di antara dua kain jubah yang dirangkapkan.

“Nah, inilah kitab-kitab peninggalan ayahku, locianpwe. Mulai hari ini juga locianpwe boleh mempelajarinya bersama aku, sebab aku sendiri juga belum sempat mempelajarinya, dan di samping itu harap locianpwe mulai memberi petunjuk kepadaku mengenai ilmu huncwe itu.”

Sambil membuka-buka dua buah kitab penuh tulisan tangan disertai lukisan tangan dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang cukup jelas itu, wajah Pak-san-kui berseri-seri kemudian mengangguk-angguk. “Tentu saja, anak yang baik, aku akan mengajarkan ilmu huncwe kepadamu.”

Dia merasa gembira sekali karena sedikit keraguannya bahwa kitab itu palsu lenyap oleh pernyataan Thian Sin yang hendak mempelajarinya juga bersamanya. Agaknya pemuda yang gagah perkasa ini teramat jujur, suatu sifat yang amat buruk dan lemah dari kaum pendekar, jauh berbeda dengan mereka dari golongan hitam yang selalu mengutamakan kecerdikan!

Demikianlah, mulai hari itu, Thian Sin diterima di dalam gedung besar indah itu sebagai seorang tamu. Bahkan Siangkoan Wi Hong yang tadinya menaruh curiga, setelah melihat betapa penukaran ilmu itu sungguh sama sekali tak merugikan ayahnya bahkan memberi keuntungan, sekarang kembali tertarik lagi kepada Thian Sin dan menganggap pemuda itu sebagai seorang sahabat baik.

Malah dia sering mengajak Thian Sin berlatih untuk memperdalam ilmu silatnya, karena dia tahu bahwa pemuda itu memang pandai bukan main. Ayahnya sendiri dengan terus terang mengatakan bahwa andai kata ayahnya tidak memiliki ilmu huncwe yang lihai itu, kiranya akan sukar untuk mengalahkan pemuda ini!

Setiap hari Pak-san-kui dan Thian Sin mempelajari ilmu-ilmu dari kitab peninggalan Ceng Han Houw. Mula-mula Ilmu Hok-liong Sin-ciang, ilmu ini adalah ilmu silat yang gerakannya aneh sekali, dan dengan lahapnya, Pak-san-kui menghafalkan jurus-jurus ilmu silat ini yang hanya terdiri dari delapan belas jurus saja, akan tetapi di dalam delapan belas jurus ini terkandung bermacam gerakan yang amat lihai kalau dipakai menyerang.

Dalam ilmu Hok-liong Sin-ciang ini, yang dirahasiakan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya diketahui kuncinya oleh Thian Sin adalah bagian yang melindungi tubuh pada waktu menyerang. Memang serangan itu sama kuat dan lihainya, hanya bedanya, ilmu yang asli memiliki bagian yang melindungi tubuh sendiri di waktu menyerang, dan karena bagian bertahan ini dirahasiakan, maka yang dipelajari oleh Pak-san-kui hanyalah bagian untuk menyerang saja dan tanpa disadarinya, tentu saja selagi melakukan serangan ini maka akan ada bagian tubuh yang terbuka dan tidak terlindung.

Saking girangnya melihat betapa hebatnya jurus serangan itu, Pak-san-kui tak menyadari bahwa dalam serangan itu mengandung kelemahan yang hebat pula! Hanya dalam waktu satu bulan saja dia sudah mampu menghafal delapan belas jurus itu dan merasa sudah sempurna, tinggal melatihnya saja.

Juga Thian Sin memiliki bakat yang sama besarnya dengan Pak-san-kui, bahkan dia tidak kalah cerdiknya. Secara diam-diam dia menggunakan kunci latihan itu sehingga dia dapat melakukan gerakan yang lebih sempurna, karena mencakup segi perlindungan diri pula.

Perbedaannya terletak pada letak kaki atau tangan di waktu menyerang. Sebagai contoh, pada jurus ke empat kaki kanan menerjang dari samping dengan menyilang. Pada waktu menendang ini, menurut kitab itu lengan kiri harus diangkat sebagai keseimbangan tubuh, padahal menurut kuncinya, yang diangkat adalah lengan kanan sehingga lengan kiri dapat diturunkan dan menjaga selangkangan yang terbuka dan pada detik tendangan dilakukan tentu saja terbuka dan tidak terlindung.

Akan tetapi pada waktu dia melakukan latihan di depan Pak-san-kui, tentu saja Thian Sin tidak memperlihatkan hal ini. Dan kalau Pak-san-kui kelihatan sangat girang karena sudah menguasai semua jurus, Thian Sin sengaja memperlihatkan bahwa dia belum menguasai sepenuhnya dan di sinilah letak kecerdikan pemuda itu!

Pada bulan ke dua, karena dia sendiri merasa sudah bisa menguasai Hok-liong Sin-ciang, Pak-san-kui lalu mengajak Thian Sin untuk mulai dengan pelajaran dari kitab ke dua, yaitu ilmu Hok-te Sin-kun! Ilmu ini jauh lebih rumit karena mengandung ilmu bersemedhi yang aneh, yaitu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas! Thian Sin menurut saja, biar pun dia sendiri belum dapat melatih ilmu Hok-liong Sin-ciang dengan baik.

Maka, pada bulan ke dua, mulailah mereka berdua melatih diri dengan siulian menurut kitab pelajaran Hok-te Sin-kun, yaitu jungkir balik. Dan sementara itu, hampir setiap hari Pak-san-kui mengajarkan ilmu silat huncwe itu, karena memang maksudnya bukan ingin mempelajari bagaimana untuk dapat memainkan ilmu silat itu, melainkan hendak mencari kelemahan-kelemahannya.

Kakek itu adalah seorang datuk, tentu saja dia pun tidak mau menyembunyikan ilmunya, bahkan dia bermain silat huncwe secepatnya sehingga akan sulitlah bagi Thian Sin untuk mempelajarinya. Dan pemuda ini memang dapat melihat alangkah hebat dan tangguhnya ilmu silat ini, di samping gerakan-gerakannya yang aneh. Akan tetapi dia pun mulai dapat melihat bahwa pada dasarnya, ilmu silat itu adalah ilmu silat pedang yang hebat.

Huncwe yang panjangnya sampai tiga kaki itu digerakkan seperti pedang saja, jadi pada hakekatnya tidak berbeda dengan ilmu silat yang-kim yang dimainkan oleh Siangkoan Wi Hong. Ilmu silat yang-kim itu pada dasarnya juga ilmu pedang yang disesuaikan dengan yang-kim.

Ilmu huncwe ini pun merupakan ilmu pedang yang disesuaikan dengan huncwe sehingga tusukan pedang menjadi totokan huncwe. Hanya hebatnya, masih ditambah lagi dengan penggunaan panasnya huncwe serta api yang keluar dari mulut huncwe, juga asap yang dapat dipergunakan untuk menyerang lawan.

Kunci-kunci yang terdapat dalam ilmu Hok-te Sin-kun ini lebih hebat lagi. Memang kalau dilihat begitu saja, cara Thian Sin bersemedhi tidak ada bedanya dengan yang dilakukan oleh Pak-san-kui dalam melakukan latihan menurut kitab itu. Akan tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan yang amat besar.

Berjungkir-balik dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas, dengan punggung tegak lurus, merupakan kedudukan tubuh yang baik sekali untuk membantu gerakan perjalanan darah ke dalam otak dan juga untuk ‘menurunkan’ hawa murni dari bawah pusar ke otak melalui punggung. Akan tetapi, perjalanan darah ini harus berjalan dengan wajar, dibantu dengan pernapasan yang panjang dan tanpa paksaan sama sekali, dengan pikiran yang kosong dan membiarkan hawa yang panas dari pusar itu perlahan-lahan menjalar turun sampai ke ubun-ubun kepala.

Akan tetapi, apa bila demikian adanya pelajaran yang sesungguhnya, yang kuncinya telah dipegang oleh Thian Sin, kalau menurut kitab yang menyesatkan itu, si pelatih diharuskan menekan tenaga dari tiantan itu turun dan menembus jalan darah secara paksa.

Mula-mula Pak-san-kui memang merasa girang sekali karena setelah berlatih seperti itu, dia merasa betapa hawa sakti itu dapat digerakkannya jauh lebih mudah dari pada kalau dia bersemedhi sambil duduk bersila. Akan tetapi, setelah dia berlatih selama seminggu, dia merasa kepalanya agak pening dan sesudah berlatih, maka pandang matanya selalu berkunang-kunang. Sedangkan pada Thian Sin, tidak nampak tanda apa-apa. Akan tetapi dia menghibur diri dan menganggap bahwa ini adalah tanda bahwa latihannya berhasil!

Lalu dia pun mulai berlatih dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun itu, yaitu bersilat dengan kepala di bawah, menggunakan kedua kaki sebagai penyerang utama dan kedua tangan sebagai penyerang pembantu. Dan karena memang kakek ini sudah memiliki dasar ilmu silat yang tinggi, maka gerakan-gerakan itu tidaklah sukar baginya.

Sebaliknya, dengan diam-diam Thian Sin juga mempelajari ilmu silat ini menurut catatan yang sebetulnya, yaitu menurut petunjuk dalam kitab yang telah diubahnya menurut kunci yang sudah dipelajarinya sejak kecil sehingga dia mulai merasakan hasilnya. Tubuhnya menjadi semakin ringan, tenaga sinkang di tubuhnya terasa mengalir dengan cepat dan sangat kuat di seluruh tubuhnya, akan tetapi hal ini tidak dia nyatakan sehingga kakek itu sendiri pun tidak mengetahuinya.

Sesudah lewat empat bulan, hampir lima bulan. Thian Sin sudah merasa yakin bahwa dia telah mempelajari dengan teliti dan melihat kelemahan-kelemahan pada ilmu silat huncwe dari Pak-san-kui. Sekarang dia menganggap bahwa sudah tiba waktunya bagi dia untuk memperlihatkan diri dengan sesungguhnya dan mengalahkan kakek itu! Dia sudah tinggal cukup lama di situ dan sudah mendapat tambahan ilmu dengan mempelajari ilmu huncwe yang walau pun tak dapat dikuasainya sepenuhnya akan tetapi telah dipelajarinya gerak-geraknya dan kelemahan-kelemahannya itu.

Di samping itu, dia pun telah mempelajari dua ilmu peninggalan ayahnya, biar pun belum sempurna benar, akan tetapi jelas jauh lebih baik dibandingkan Pak-san-kui sendiri yang memperoleh ilmu-ilmu itu dengan cara yang terbalik bahkan tersesat!

Dan dia akan memperlihatkan kemenangan atau keunggulannya itu kepada Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong! Maka dia memilih saat ketika putera beserta murid-murid kepala Pak-san-kui itu pada suatu sore menonton latihan-latihan mereka dan memang dia sudah mempersiapkan segala-galanya.

Pada saat itu Pak-san-kui sedang bercakap-cakap dengan murid-murid kepalanya setelah menerima laporan tentang segala tugas yang sudah dilakukan oleh murid kepala ini yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Kemudian Pak-san-kui memandang kepadanya dan berkata,

“Thian Sin, mari kita berlatih. Diam-diam telah hampir lima bulan engkau di sini dan mari kau perilhatkan apa yang sudah kau peroleh selama ini!” Kakek itu tertawa dan melirik ke arah puteranya.

Diam-diam Thian Sin tergetar. Dalam lirikan itu dia seperti melihat sesuatu dan tentu ada apa-apanya di balik ajakan berlatih ini! Apakah di dalam hati kakek itu juga mengandung keinginan yang sama dengan keinginannya sendiri, yaitu hendak menjatuhkannya dalam latihan itu?

“Baik, locianpwe!” katanya dan dia mengangkat tempat air minumnya, kemudian minum beberapa teguk air jernih itu, baru dia meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia itu.

Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong lalu mengatur tempat duduk, menyingkirkan meja di pinggir dan mereka sendiri lalu duduk menonton karena mereka pun ingin sekali mellhat apa yang selama ini dilatih oleh pemuda itu dan Pak-san-kui.

“Mari kita lebih dahulu berlatih ilmu Hok-liong Sin-ciang!” kata kakek itu dengan gembira sambil menyelipkan huncwenya di ikat pinggangnya.

Meski pun tembakau di huncwenya masih belum padam, akan tetapi karena tidak dihisap maka asapnya hanya tersisa sedikit saja. Dia telah siap dengan kuda-kuda dari Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang menurut petunjuk di dalam kitab, wajahnya gembira sekali karena dia yakin bahwa dalam ilmu silat baru ini dia tentu mampu mengalahkan Thian Sin yang dia lihat gerakannya belum sempurna benar, masih kaku.

Ia pun tahu bahwa perhatian pemuda itu terhadap Hok-liong Sin-ciang harus dibagi untuk mempelajari ilmu huncwe namun belum ada sepersepuluhnya dipelajari oleh pemuda itu, bahkan boleh dibilang selama ini pemuda itu belum mempelajari apa-apa kecuali hanya menonton saja dia bermain silat dengan huncwenya. Dan dia tidak dapat dipersalahkan, tidak dapat dikatakan licik karena dia telah mainkan semua jurus simpanannya yang ada dengan huncwenya, tentu saja terlalu cepat sehingga tak mungkin dapat ditangkap semua oleh pemuda itu!

Thian Sin hanya mengangguk dan dia pun cepat menyerang dengan jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang yang sudah dilatihnya bersama dengan kakek itu. Pak-san-kui mengelak lantas membalas serangan itu dengan gerakan yang sama anehnya, bahkan dari dua tangannya keluar hawa pukulan yang mengeluarkan suara bersuitan saking kerasnya. Namun, Thian Sin dapat menangkis dan balas menyerang.

Mereka saling serang dengan jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang itu, dan keduanya ternyata sama tangguhnya. Akan tetapi, Thian Sin segera dapat melihat lowongan-lowongan pada setiap kali kakek itu menyerang. Ia melihat betapa kedudukan kaki atau tangan kakek itu terbalik, maka saat ia melihat kakek itu menggunakan jurus ke sebelas untuk menyerang kepalanya, dengan pukulan tangan kiri dari samping dibarengi pukulan tangan kanan dari atas, padahal seharusnya dari bawah, dia segera melihat lowongan dan sambil mengelak, kakinya menyambar ke arah lambung yang ‘terbuka’.

“Plakk! Plakk!”

“Aihhhhh…!”

Pak-san-kui terhuyung ke belakang, dan biar pun dia tadi dalam gugupnya masih mampu menangkis, tetapi kedudukannya terguncang sehingga dia terhuyung ke belakang. Wajah kakek itu menjadi merah karena jelas nampak oleh siapa pun juga bahwa dalam hal ilmu baru itu dia kalah oleh pemuda ini!

“Hyaaaaattt…!” Tiba-tiba dia sudah berjungkir balik dan mainkan ilmu kedua, yaitu Hok-te Sin-kun.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Thian Sin juga menggerakkan tubuhnya berjungkir balik dan mainkan Hok-te Sin-kun. Kini terjadilah pertandingan yang membuat Siangkoan Wi Hong dan tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong menjadi bengong dan terheran-heran bercampur kagum.

Dua orang itu telah saling serang mempergunakan sepasang kaki yang dibantu sepasang tangan. Sambaran kaki mereka itu mendatangkan angin yang sangat dahsyat! Itu adalah ilmu yang amat hebat.

Mereka semua tidak tahu betapa wajah kakek itu menjadi pucat, sedangkan wajah Thian Sin merah dan nampak berseri-seri, sepasang matanya nampak mencorong. Ini tandanya bahwa tenaga yang digunakan oleh Pak-san-kui adalah tenaga yang terbalik dan salah! Setelah saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba kedua kaki mereka beradu.

“Desss…!”

Dan akibatnya tubuh Pak-san-kui terdorong dan tentu dia sudah jatuh terbanting kalau dia tidak cepat meloncat bangun. Mukanya pucat sekali dan dia menyeringai karena merasa betapa kepalanya berdenyut pening. Itulah akibatnya karena dia terlalu banyak memakai tenaga terbalik yang akhirnya memukul dirinya sendiri itu!

Sebagai seorang ahil silat kelas tinggi, seketika maklumlah kakek ini bahwa selama ini dia tertipu! Bila tidak tertipu, tidak mungkin dalam kedua ilmu itu dia kalah oleh Thian Sin! Pula, pertemuan kaki tadi memberi tahu padanya bahwa dia sudah salah menggunakan tenaga, padahal semua itu menurut petunjuk kitab. Tahulah dia bahwa dia sudah tertipu, maka dengan marah dia lantas berkata,

“Thian Sin, sekarang ini mari kita lihat kemajuanmu mempelajari ilmu huncwe!” Sesudah berkata demikian, dia sudah maju menyerang dengan huncwenya!

Pendekar Sadis Jilid 18

Thian Sin terkejut sekali, maklum bahwa agaknya kakek ini sudah curiga, buktinya begitu menyerang terus saja menggunakan jurus-jurus maut yang terampuh dari huncwenya! Dia cepat mengelak ke sana-sini, dan karena dia telah memperhatikan dengan teliti ketika dia mempelajari ilmu ini, dia mengenal setiap gerakan dan tahu akan inti kekuatan huncwe itu.

Dia segera membalas dengan serangan-serangan Thian-te Sin-ciang karena hanya ilmu inilah yang membuat tubuhnya kebal dan tamparannya cukup kuat untuk membuyarkan serangan huncwe. Agaknya kakek itu juga maklum akan hal ini sehingga tak lagi merasa heran mengapa pemuda itu kini memainkan ilmu silat itu, dan tahulah dia bahwa memang saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh pemuda itu untuk melawannya mati-matian. Maka dia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, sekali ini sudah mengambil keputusan untuk membunuh pemuda ini yang dianggap amat berbahaya baginya.

“Cringgg…!”

Tiba-tiba nampak sinar perak berkelebat dan Thian Sin telah menangkis huncwe itu. Kini, tiba-tiba huncwe itu diputar sedemikian rupa oleh Pak-san-kui hingga tampaklah gulungan sinar api! Ternyata kakek itu telah mempergunakan jurus-jurus yang paling ampuh, yaitu dengan bantuan api huncwenya yang tangguh, dan kini dari mulutnya bahkan menyambar asap hitam yang baunya amat keras!

Thian Sin sudah maklum akan hal ini, dan dia sudah menanti-nanti, bahkan bersiap untuk menghadapi jurus ini. Mendadak dia mengeluarkan bentakan dengan suara aneh, lantas dari mulutnya itu menyambar air ke arah kepala huncwe. Itulah air yang tadi diminumnya sebelum dia mulai menghadapi Pak-san-kui! Air itulah yang sekarang digunakannya untuk menghadapi api huncwe lawan. Dia tahu, dan hal ini telah dipelajarinya selama berbulan-bulan, bahwa satu-satunya kelemahan huncwe itu adalah terhadap air!

“Cessss…!” begitu kepala huncwe tersiram air, terdengar suara berdesis dan apinya tentu saja menjadi padam. Nampak asap hitam yang baunya keras bukan main.

Pada saat itu pula Thian Sin sudah berjungkir balik, pedangnya dilemparkan dari bawah ke arah perut lawan, disusul kedua tangannya menotok ke arah kaki dan kakinya sendiri menyerang ke depan dengan sangat cepatnya! Itu pun merupakan serangan gabungan yang sudah dipelajari dan diperhitungkan selama berbulan-bulan ini.

“Tringggg…!”

Pedang itu tertangkis oleh huncwe dan Si Kakek meloncat menghindarkan totokan pada kakinya. Akan tetapi dia disambut oleh tendangan kaki.

“Blukkk!”

Dua kaki Thian Sin menendang dada dengan amat kerasnya dan akibatnya tubuh kakek itu terlempar dan terbanting, dan dia pun roboh pingsan!

Siangkoan Wi Hong beserta tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong berteriak marah dan langsung menyerang dengan senjata mereka. Pemuda itu menggunakan yang-kim untuk menyerang dan dua orang kakek itu menggunakan pedang mereka.

Sementara itu, Thian Sin yang mengerahkan tenaga pada waktu merobohkan kakek tadi, merasa tubuhnya tergetar hebat dan napasnya agak terengah. Perlawanan tenaga kakek itu sungguh amat hebat dan dia tahu bahwa kalau dia harus melayani empat orang itu, dia bisa celaka, apa lagi kalau para penjaga nanti datang mengeroyok.

Maka dia segera menyambar pedangnya dan menangkis terus meloncat keluar. Gerakan Thian Sin amat cepat sehingga biar pun empat orang itu berteriak-teriak sambil mengejar, namun Thian Sin sudah dapat melarikan diri keluar rumah dan terus berlari dengan cepat.

Sementara itu malam telah tiba sehingga kegelapan malam menolong pemuda itu dapat menyelamatkan diri dari para pengejarnya. Hatinya lega bukan main. Biar pun dia sangsi apakah dia berhasil membunuh kakek itu, namun setidaknya dia sudah merobohkannya dan dia yakin bahwa kalau dia sudah matangkan Hok-liong Sian-ciang dan Hok-te Sin-kun dengan sempurna, sesudah dia tahu akan kelemahan-kelemahan ilmu huncwe maut itu, maka dia tidak perlu takut lagi terhadap datuk utara itu!

Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong tak melanjutkan pengejaran, karena mereka sendiri pun masih terlalu kaget akibat melihat betapa Pak-san-kui dapat dirobohkan pemuda itu dan hal ini cukup membuat mereka berhati-hati untuk mengejar pemuda selihai itu, yang menghilang di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Mereka lalu kembali untuk cepat menolong Pak-san-kui.

Kakek itu masih pingsan. Akan tetapi sesudah memeriksanya, hati Siangkoan Wi Hong agak tenang karena ayahnya tidak tewas, melainkan hanya pingsan sungguh pun terluka cukup parah, antara lain dua buah tulang iganya retak-retak!

Sesudah siuman, tentu saja kakek itu langsung menyumpah-nyumpah dan berjanji akan mencari pemuda yang telah merobohkannya itu, yang dianggapnya amat curang. Tahulah kini kakek itu bahwa lawannya sungguh seorang pemuda yang selain lihai, juga sangat cerdik seperti setan sehingga ‘tukar menukar’ ilmu itu hanya suatu tipu muslihat saja. Dia memperoleh ilmu yang palsu, ada pun pemuda itu berhasil mencari kelemahan-kelemahan huncwenya sehingga dia dapat dirobohkan.

Setelah pengalaman pahit itu, Pak-san-kui menyempurnakan ilmu huncwenya bahkan kini dia pun menggembleng puteranya dengan ilmu huncwe maut, juga dua ilmu dari Thian Sin itu mereka selidiki bersama, mereka cari bagian yang berguna dan oleh Pak-san-kui ilmu-ilmu itu dikembangkan dan dicampur dengan ciptaannya sendiri.


Setelah berhasil merobohkan Pak-san-kui, hati Thian Sin terasa agak terhibur juga. Bukan hanya karena dia merasa dapat mengungguli seorang di antara datuk-datuk sesat yang pada waktu itu sedang merajai dunia persilatan, akan tetapi terutama sekali karena sedikit banyak dia sudah dapat membalaskan kematian keluarga Ciu.

Ia akan terus berusaha membasmi semua penjahat di dunia ini dengan mati-matian untuk membalaskan semua sakit hati yang bertumpuk dalam hatinya, akan tetapi sebelum dia memulai usaha itu, dia harus yakin lebih dahulu bahwa dia mampu mengalahkan semua penjahat, dan untuk mengukur hal itu, tak ada jalan lain kecuali mengukur kepandaiannya melawan empat datuk kaum sesat!

Dan sekarang dia harus dapat mencari See-thian-ong! Dia harus sanggup mengalahkan See-thian-ong pula, sebelum dia mulai dengan usahanya membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi!


Siapakah See-thian-ong (Raja Wilayah Barat) itu? Dia adalah seorang kakek yang berusia kurang lebih lima puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, berkulit agak kehitaman. Dia memang gagah perkasa, kelihatan menyeramkan seperti tokoh Thio Hwi di dalam cerita sejarah Sam Kok dan wataknya juga sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.

Dia seorang yang kasar, apa bila bicara tanpa tedeng aling-aling, terbuka, jujur dan juga wataknya keras, akan tetapi kadang-kadang dia bisa juga bersikap lembut. Hal ini adalah karena dulunya dia seorang bekas pendeta Lama, yaitu pendeta budhis dari Tibet. Karena dia melakukan pelanggaran berat, dia dikeluarkan dari Tibet lantas dengan mengandalkan kepandaiannya, dia merantau ke timur dan terus memperdalam ilmu silatnya di sepanjang perjalanan, bahkan lalu berganti agama dan menganut Agama To yang menjurus ke arah ilmu gaib.

Dia malah juga mempelajari ilmu sihir dari para pertapa di sepanjang perjalanan sehingga ketika akhirnya dia sampai di daerah Telaga Ching-hai, dia berkeliaran di sekitar telaga itu dan segera terkenal sebagai seorang yang amat ahli dalam ilmu silat mau pun dalam ilmu sihir. Satu demi satu jago silat dijatuhkannya dan akhirnya tak ada seorang pun ahli silat, baik dari golongan bersih mau pun kotor, yang dapat mengalahkannya dalam waktu satu tahun, selama dia berkellaran di daerah Telaga Ching-hai di Propinsi Ching-hai itu.

Akhirnya namanya menjadi makin terkenal sehingga orang-orang menyebut dia sebagai See-thian-ong, nama julukan yang terus dipakainya dan setiap kali memperkenalkan diri, maka dia pun menggunakan nama itulah! Tidak ada seorang pun yang tahu siapa nama sebenarnya, dan dia hanya merupakan seorang kakek raksasa berpakaian seperti tosu yang amat lihai.

Akhirnya, beberapa tahun belakangan ini See-thian-ong sudah menetap di kota Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai, bahkan rumahnya bukanlah di dalam kota, tetapi di bagian luar kota Si-ning, dekat telaga dan merupakan daerah yang cukup sunyi. Dan karena dia amat lihai, tentu saja di antara para penjahat yang takluk kepadanya lalu mengangkatnya menjadi guru.

Akan tetapi, dalam hal memilih murid See-thian-ong amat teliti. Kalau tidak berbakat, dia tidak mau mengajarkan ilmu silat kepada sembarang orang, dan walau pun akhirnya dia menerima tidak kurang dari lima puluh orang sebagai anggotanya atau pembantunya dan yang disebut juga murid-muridnya, namun dia tidak pernah mau mengajar mereka sendiri dan hanya menyerahkan kepada murid-muridnya yang harus mengajar para anggota atau pembantu itu.

Dan di antara murid-muridnya yang termasuk pilihan, pertama-tama adalah So Cian Ling, dara cantik manis pesolek yang lihai itu dan ke dua yang merupakan murid kepala dan bertugas mewakili See-thian-ong di dalam segala hal, adalah Ciang Gu Sik yang berusia tiga puluh lima tahun itu.

Akan tetapi, See-thian-ong memiliki watak yang mata keranjang atau suka kepada wanita muda dan cantik! Dia tak pernah menikah, akan tetapi banyak wanita cantik yang menjadi simpanannya. Bahkan muridnya sendiri, So Cian Ling, merupakan salah seorang di antara kekasihnya!

Akan tetapi karena wanita ini juga menjadi muridnya, maka jaranglah dia menyuruh murid ini melayaninya. Terlebih lagi karena sebagai pengganti dirinya, So Cian Ling telah banyak mencarikan gadis-gadis cantik untuk gurunya yang tak pernah mengenal puas itu.

Seperti juga para datuk lainnya, kehidupan See-thian-ong terjamin oleh para tokoh kaum sesat yang setiap bulan memberi sumbangan kepadanya. Jika tidak memberi sumbangan kepada See-thian-ong, maka jangan harap mereka itu dapat membuka praktek pekerjaan mereka, baik pekerjaan itu merupakan pencurian, pencopetan, perampokan, perjudian, pelacuran dan sebagainya lagi.

Pendeknya, nama See-thian-ong merupakan semacam ‘pelindung’ supaya mereka dapat bekerja dengan tenang. Karena sumbangan ini datang dari boleh dibilang seluruh penjahat di daerah Propinsi Ching-hai, maka penghasilan kakek raksasa ini tentu saja amat besar dan membuatnya hidup sebagai seorang yang cukup kaya raya, walau pun dia, berbeda dengan murid-muridnya, selalu nampak berpakaian dan bersikap sederhana.

See-thian-ong amat terkenal meski pun dia jarang memperlihatkan ilmu kepandaiannya, kalau tidak amat perlu. Murid-muridnya pun telah cukup untuk ‘membereskan’ setiap fihak yang berani menentangnya. Dan apa bila sekali waktu dia mengeluarkan kepandaiannya, maka akibatnya amat mengerikan!

Dalam ilmu silat, di antara ilmu-ilmu silat tinggi yang rata-rata sangat ganas, dia memiliki ilmu yang sangat aneh, yaitu tubuhnya dapat menggembung seperti bola karet ditiup dan apa bila tubuhnya sudah menggembung seperti itu, penuh dengan hawa, maka jangankan hanya pukulan dan tendangan, bahkan senjata-senjata tajam tidak akan mampu melukai tubuhnya!

Selain ini, juga dia ahli menggunakan senjata toya, tongkat atau sepotong kayu sekali pun. Di samping semua ilmu silatnya, juga dia pandai bermain sihir dan dapat menguasai lawan hanya dengan pandangan mata atau bentakan suaranya yang sangat berpengaruh! Pendeknya, See-thian-ong merupakan tokoh yang amat ditakuti orang karena lawan yang berani menentangnya tentu akan roboh atau tewas dalam keadaan mengerikan.

Dan kini, tokoh semacam itulah yang hendak ditentang oleh Thian Sin! Dengan hati penuh keberanian, pemuda ini sampai di telaga besar Ching-hai. Dia berlaku hati-hati sekali dan lebih dulu menyelidiki di mana tempat tinggal datuk itu dan orang macam apa adanya. Dia bermalam di sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah dia mencoba untuk mengajak pelayan rumah makan penginapan untuk berbicara tentang See-thian-ong.

“Toako, aku adalah seorang pelancong dari daerah utara yang tertarik akan berita tentang keindahan Telaga Ching-hai,” dia memulai pada saat terbuka kesempatan bicara dengan pelayan itu.

“Ahh, kongcu tidak salah apa bila memilih tempat ini untuk berpesiar. Pada musim semi seperti ini, Telaga Ching-hai selalu menjadi pusat tempat pelesir dari penduduk di seluruh penjuru di propinsi ini dan terutama penduduk kota Si-ning setiap hari memenuhi telaga. Kongcu dapat berperahu, mengajak penyanyi dan tukang musik, atau kongcu dapat pula bermain judi apa bila kongcu suka, dan ada perahu…,” dia berbisik, “yang menyediakan gadis-gadis cantik…”

Thian Sin tertawa, berlagak seperti seorang kongcu tukang pelesir. “Aihh, menyenangkan sekali! Akan tetapi aku juga mendengar berita yang menakutkan, yakni mengenai orang yang bernama See-thian-ong…”

Wajah pelayan itu berubah pucat pasi. “Ssstt, jangan kongcu sebut-sebut itu. Akan tetapi sebenarnya tidak menakutkan, asal kongcu tidak menyebutnya dan juga tidak melakukan sesuatu yang mendatangkan keributan. Nama itu bahkan merupakan jaminan keamanan di mana-mana. Karena nama itulah maka di mana-mana tidak ada yang berani melakukan kejahatan. Sudah, kongcu tidak perlu bicara tentang itu…”

Melihat sikap pelayan itu, Thian Sin tidak mau mendesak karena maklum bahwa selain pelayan itu tidak akan berani bicara, juga mungkin saja dia dicurigai dan orang yang takut seperti pelayan ini bukan tidak mungkin bahkan melaporkan untuk mencari muka! Dia lalu mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan sendiri ke telaga. Mustahil dia tidak akan dapat menemukan tempat tinggal tokoh itu, pikirnya.

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi dan dia sudah mandi serta bertukar pakaian bersih sebagai seorang kongcu atau seorang pelajar yang sikapnya halus dan wajahnya amat tampan, pergilah Thian Sin berjalan-jalan menuju ke telaga. Benar saja, biar pun matahari baru saja naik, di situ sudah terdapat banyak orang yang berdatangan untuk pesiar.

Telaga itu besar sekali dan airnya sangat jernih, berkilauan laksana cermin menampung sinar matahari pagi yang masih membuat jalur kemerahan panjang di atas air yang belum begitu banyak bergerak karena tukang-tukang perahu masih sedang sibuk menawarkan perahunya di tepi telaga.

Orang-orang yang pesiar agaknya masih lebih senang berjalan-jalan di sepanjang telaga, menikmati pemandangan yang indah, baik pemandangan tumbuh-tumbuhan, bunga mau pun pemandangan lain, yaitu para pelancong itu sendiri, terutama gadis-gadisnya.

Thian Sin lalu memilih sebuah perahu yang agak butut dan pemiliknya, tukang perahu tua yang kurus, agaknya enggan berebut penumpang dengan rekan-rekannya, maka pemilik perahu itu hanya jongkok di dekat perahu bututnya, menanti datangnya rejeki. Dan rejeki itu pun datang ketika Thian Sin menghampirinya.

“Paman yang baik, maukah engkau mengantarku naik perahu berputar-putar di telaga?”

Wajah yang keruh itu seketika berseri. Rejeki besar datang!

“Tentu saja, kongcu. Perahuku ini meski pun sudah tua, akan tetapi tidak ada yang bocor dan dapat meluncur cepat sekali.”

Thian Sin tersenyum. “Aku sedang melancong dan melihat-lihat, bukan hendak berlomba, paman. Tidak perlu cepat-cepat!”

Sesudah tawar-menawar harga sewa perahu, akhirnya Thian Sin naik perahu itu, duduk di atas papan yang lebih dulu digosok sampai bersih oleh tukang perahu itu, dan perahu itu kemudian meluncur ke tengah telaga, dipandang oleh rekan-rekan tukang perahu dengan heran mengapa ada kongcu yang memilih perahu butut itu!

Di atas telaga itu masih senyap. Akan tetapi, sebuah perahu tunggal di atas telaga yang amat luas itu merupakan pemandangan yang amat indah, mengandung pesona tersendiri dan tentulah akan menjadi obyek yang menggairahkan bagi seorang pelukis atau seorang penyair. Matahari yang masih cukup rendah itu bersinar dari depan, membuat bayangan orang dan perahu mengikuti perahu itu dengan lembut, ada pun perjalanan perahu hanya mengakibatkan permukaan telaga terusik sedikit saja.

“Paman, coba bawa perahu ke sebelah kanan sana yang penuh pohon-pohon.”

“Tapi di sana sunyi sekali, kongcu.”

“Biarlah, aku justru suka akan kesunyian.”

Tukang perahu itu lalu mendayung perahunya perlahan-lahan menuju ke kanan, menjauhi pantai yang ramai itu, menuju pantai yang penuh dengan pohon-pohon karena bagian itu merupakan sebuah hutan yang masih liar. Sesudah mereka berada jauh dari keramaian orang, Thian Sin mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang menjadi tujuan utamanya naik perahu milik tukang perahu tua ini.

“Paman, di sini sunyi, tidak ada orang yang mendengarkan kita, maukan paman memberi keterangan kepadaku tentang sesuatu?”

Kakek yang usianya sudah ada enam puluh tahun itu memandang wajah Thian Sin yang muda dari tampan, lalu bertanya sambil tersenyum, “Keterangan tentang apakah, kongcu? Tentu saja saya mau menjelaskan kalau saya tahu, tapi mengapa mesti mencari tempat yang sunyi?”

“Karena setiap orang yang kutanya agaknya tidak ada yang berani menjawab sejujurnya, paman. Aku adalah seorang pelancong yang datang jauh dari utara, dan aku mendengar hal ini menjadi tertarik sekali dan rasanya tak akan puas sebelum mendapat keterangan yang memuaskan.”

“Tentang apakah, kongcu?”

“Tentang orang yang bernama See-thian-ong…”

“Ahh…!” Wajah kakek itu menjadi pucat dan segera menoleh ke kiri kanan dan belakang.

“Tidak ada seorang pun manusia di sini, paman. Paman adalah seorang tua yang miskin, siapa yang hendak menyusahkanmu? Karena itulah maka aku tadi memilih dan menyewa perahumu, dan kuharap paman suka memberi keterangan kepadaku, untuk itu aku mau untuk menambah biaya sewa perahu.”

Kakek itu menarik napas panjang. “Kongcu benar, tidak ada orang lain di sini, dan aku sudah tua dan miskin. Takut apa? Nah, kongcu hendak bertanya tentang apa?”

“Siapakah sebenarnya See-thian-ong itu dan mengapa semua orang takut membicarakan dia?”

“Dia adalah seorang tokoh besar di daerah ini, kongcu. Dia menguasai semua orang, dan semua orang agaknya tunduk kepadanya, atau setidaknya kepada anak buahnya karena dia sendiri jarang nampak di luar. Kabarnya dia memiliki kepandaian seperti dewa, malah pandai sihir sehingga semua orang takut. Katanya baru dibicarakan saja dia sudah dapat mengetahuinya, akan tetapi aku tidak membicarakan keburukan orang maka biarlah kalau didengar juga.”

“Hemm, di manakah rumahnya, paman?”

“Rumahnya tidak jauh dari telaga ini, di sebelah barat telaga, di bagian yang sunyi, yang nampak merah-merah dari sini itu.” Kakek itu menunjuk ke kiri. “Di sana dia mempunyai sebuah rumah besar, dan di sanalah para anak buahnya yang puluhan orang banyaknya itu berkumpul, mereka semua ahli-ahli silat yang lihai, demikian kata orang.”

“Semua anak buahnya yang puluhan itu tinggal di sana?”

“Ya, di rumah-rumah yang dibangun di sekitar rumah induk tempat tinggal See-thian-ong, merupakan sebuah perkampungan tersendiri. Pernah aku mengirim kayu bakar ke sana. Rumah-rumah yang indah dan mewah, kongcu.”

“Dan keluarganya?”

“Dia hanya hidup bersama para pembantunya dan kabarnya… dia memiliki belasan orang selir karena katanya, dia tidak pernah beristeri, tidak mempunyai anak…”

“Hemm, begitukah?” Thian Sin merasa girang bukan main karena dia sudah memperoleh keterangan secukupnya.

Setelah melihat banyak perahu mulai bergerak ke tengah, dan karena semua keterangan yang dikehendakinya telah didapatkan maka dia lalu menyuruh tukang perahu mendayung kembali perahunya ke tepi yang ramai itu.

Kini banyak perahu berseliweran dan mulailah terdengar suara musik di antara perahu-perahu itu. Ada suara orang bernyanyi, suara tertawa dan banyak di antaranya nampak perahu-perahu yang indah, dihias dan ditumpangi oleh gadis-gadis cantik yang melambai-lambaikan tangan ke arah pria-pria muda yang berkendaraan sendirian. Mereka terkekeh genit, dan ada pula di antara mereka yang bernyanyi-nyanyi menurutkan irama yang-kim yang dimainkan oleh temannya. Suasana di tempat itu sungguh meriah sekali dan perahu-perahu berseliweran, terutama sekali di sekeliling perahu-perahu pelesir yang ditumpangi wanita-wanita penghibur itu.

Karena si tukang perahu tua menduga bahwa tentu saja penyewa perahunya akan suka mendekati perahu itu, dia pun lalu mendayung perahunya mendekat. Dan begitu melihat Thian Sin yang sangat tampan, muda dan sendirian pula di atas perahunya, riuh rendah wanita-wanita itu melambai kepadanya.

“Kongcu yang tampan… mengapa sendirian saja…”

“Aihh… kongcu seorang manusia ataukah dewa yang baru turun dari kahyangan?”

“Mari, kongcu… mari kami layani kongcu bersenang-senang… dengan kongcu, tidak usah bayar pun tidak mengapa…”

“Aduh gantengnya…”

Bermacam-macam teriakan mereka disertai lambaian tangan, sapu tangan serta lontaran kerling dan senyum memikat ke arah Thian Sin dibarengi gelak tawa genit. Melihat hal ini, beberapa orang muda dalam perahu-perahu yang berdekatan menjadi iri hati. Ada sebuah perahu bercat merah yang ditumpangi empat orang pemuda lantas didayung oleh empat pasang tangan, didayung laju menabrak perahu yang dinaiki Thian Sin.

“Ehh… ehh… jangan menabrak…!” Tukang perahu tua berteriak ketakutan.

Perahu merah itu jauh lebih besar dan didayung oleh empat orang, karena itu sekali kena ditabrak tentu perahunya akan pecah, atau setidak-tidaknya tentu akan terguling bersama penumpangnya. Bagi dia sendiri bukan soal besar apa bila hanya terguling di telaga, akan tetapi kongcu yang menjadi penumpangnya itu!

Melihat hal ini, Thian Sin yang tidak tahu sebabnya mengapa perahu yang lebih besar itu hendak menabrak, menyangka bahwa mereka itu tak sengaja, maka dia pun cepat-cepat merampas dayung dari tangan kakek tukang perahu lantas menodongkan dayungnya ke luar perahu, hendak menyambut perahu besar itu dengan dayung.

Tukang perahu tua itu terkejut sekali. Mana mungkin tangan kuat menahan perahu besar yang meluncur cepat itu. Selain tidak kuat, dayung itu bisa patah dan lengan tangan yang memegangnya tentu akan patah pula!

“Jangan, kongcu…!” teriaknya.

Akan tetapi perahu itu telah datang dan dengan tenang, cepat namun perlahan saja Thian Sin mendorongkan dayungnya, mengenai moncong perahu besar dan… perahu besar itu melenceng lalu meluncur melewati perahu kecil dan hanya berselisih beberapa senti saja akan tetapi tidak menabrak. Melihat ini, tukang perahu yang tadinya sudah pucat itu lalu menarik napas panjang dan mengira bahwa hal itu kebetulan saja.

“Aduhhh… kita selamat…,” katanya.

“Paman, mereka itu kenapa sih? Lihat, mereka datang lagi!”

Tukang perahu itu menengok dan mukanya menjadi pucat lagi. “Celaka, agaknya mereka itu iri kepada kongcu karena ulah perempuan-perempuan itu dan mereka menjadi marah, sengaja hendak menggulingkan perahu kita.” Tukang perahu itu lalu bergegas mendayung perahunya hendak pergi dari situ.

“Jangan melarikan diri, paman. Biarkan saja mereka datang,” kata Thian Sin yang menjadi sangat marah setelah dia tahu bahwa keempat orang muda itu memang sengaja hendak menggulingkan perahunya.

Kakek itu tertegun, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, dia menjadi ketakutan. Sementara itu, lari pun tiada gunanya karena perahu merah itu datang dengan cepat sekali, kini meluncur dan hendak menabrak perahu kecil itu dari belakang. Sedangkan para pelancong lain yang berada di perahu masing-masing menonton dengan hati tertarik dan ada di antaranya yang bersorak-sorak seperti menonton pertunjukan yang amat menyenangkan.

Dengan gerakan tubuhnya, Thian Sin membuat perahunya berputar sehingga dia duduk di bagian perahu yang kini tepat akan ditabrak. Tukang perahu terkejut bukan main ketika perahunya terputar sedemikian rupa seperti dari bawah digerakkan oleh ikan yang besar dan pada saat itu, moncong perahu merah telah datang dekat sekali.

Sekali ini, Thian Sin tidak mempergunakan dayung yang masih dipegang oleh si tukang perahu, melainkan menggunakan tangan kirinya. Akan tetapi dia menanti hingga moncong perahu besar itu telah hampir menyentuh perahunya dan berada demikian dekat sehingga nampak olehnya betapa empat orang pemuda itu melihatnya dengan mulut menyeringai girang.

Tiba-tiba jari-jari tangannya menyentuh moncong perahu, lantas dia mengerahkan tenaga, mencengkeram moncong perahu itu dan sekali dia mengangkat dan mendorong, perahu merah itu seperti seekor kuda mengangkat kedua kaki depannya, terangkat lalu terbanting menelungkup dan terguling!

Segera terdengar jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan kaget. Demikian cepatnya Thian Sin menggerakkan tangannya sehingga tidak ada seorang pun, kecuali si tukang perahu yang duduk dekat dengannya, yang tahu benar bagaimana perahu besar itu tiba-tiba terguling sendiri sedangkan perahu kecil yang ditabraknya sama sekali tidak apa-apa!

Empat orang pemuda itu gelagapan dan berteriak-teriak minta tolong, karena mereka tak pandai renang. Akhirnya mereka ditolong oleh tukang-tukang perahu, di bawah sorakan dan tertawaan para pelancong lain. Karena mereka basah kuyup, empat orang pemuda itu tidak banyak lagak lagi, lalu cepat minggir dengan perahu lain dan melarikan diri dari tempat itu!

“Ehh, bagaimana bisa terjadi itu?”

“Luar biasa sekali!”

“Tentu ada setan air yang menolongnya!”

“Ahh, dia tentu benar-benar dewa dari kahyangan…!” terdengar seorang wanita penghibur berseru.

Semakin ramailah keadaan di situ dan sekarang Thian Sin menjadi pusat perhatian orang, terutama sekali para pelacur itu yang agaknya kini hendak berlomba untuk merebut hati pemuda ganteng yang bernasib amat baik itu sehingga perahunya ditabrak perahu besar malah si penabrak itu sendiri yang terbalik.

Pada saat Thian Sin yang merasa jemu itu akan menyuruh tukang perahu membawanya ke pinggir karena perahunya dikepung, tiba-tiba terdengar bentakan wanita yang nyaring dan berwibawa, “Minggir semua!”

“Wah, celaka, kongcu…!” Tukang perahu tua itu berbisik dengan muka pucat.

Mendengar ini, Thian Sin menoleh ke arah suara itu dan melihat betapa perahu-perahu pada cepat-cepat minggir untuk memberi ruang kepada sebuah perahu kecil yang datang dengan cekatan sekali.

“Silakan, nona…!”

“Silakan, siocia…!”

Suara mereka itu penuh dengan hormat dan Thian Sin memandang seorang dara yang mendayung perahu hitam kecil itu lalu wajahnya segera berseri. Kiranya nona itu adalah So Cian Ling!

Tentu saja dia mengenal nona ini, nona cantik manis dengan pakaian yang mewah dan pesolek, dengan wajah yang riang dan lincah, terutama sekali hidungnya yang mancung dan sepasang matanya yang amat jeli, yang pada saat itu menatap wajahnya dan bibir yang merah itu mulai tersenyum ketika perahu hitam itu akhirnya berhenti di dekat perahu yang ditumpangi Thian Sin!

Pemuda ini memandang dengan jantung berdebar. Bukan apa-apa, hanya girang karena dia melihat jalan yang terbaik untuk bisa berhubungan dengan See-thian-ong tanpa harus menimbulkan curiga, yaitu lewat dara ini! Bukankah So Cian Ling ini murid tersayang dari See-thian-ong?

Thian Sin segera mengangkat kedua tangannya di depan dada sambil berkata, “Selamat bertemu, Nona So Ciang Ling!”

Wajah ini segera menjadi cerah sekali, senyumnya lebar dan gembira.

“Aihhhh…! Kiranya benar-benar Saudara Ceng yang muncul di tempat ini! Ahh, siapa lagi yang dapat mendatangkan keributan kalau bukan engkau. Mari, mari… kau pindahlah ke perahuku dan kita mengobrol!”

“Akan tetapi… perahu ini kusewa…”

“Aihh, sudahlah, kongcu. Tidak mengapa, siocia telah memanggilmu…,” si tukang perahu cepat berkata.

“Hei, tukang perahu, engkau beruntung sekali perahumu disewa oleh kongcu ini!” kata So Cian Ling dan dia melemparkan sepotong uang emas kepada tukang perahu itu. Uang itu jatuh ke lantai perahu mengeluarkan bunyi nyaring. “Nah, itu ongkosnya!”

“Terima kasih… ahh, terima kasih atas kebaikan siocia yang mulia. Eh, kongcu, cepatlah kau pindah ke perahu siocia…” kata tukang perahu itu sambil mendorong-dorong perlahan ke pundak Thian Sin.

Pemuda ini tersenyum, lantas bangkit berdiri dan melompat ke atas perahu So Cian Ling. Akan tetapi pada saat itu pula So Cian Ling mendayung perahunya keras sekali sehingga perahunya meluncur jauh! Semua orang berteriak melihat kejadian ini, juga tukang perahu itu berteriak keras karena mengira bahwa tentu pemuda itu akan jatuh tercebur ke dalam air telaga! Pemuda itu telah maju tidak kurang dari lima meter jauhnya!

Akan tetapi mereka melihat betapa pemuda itu mengeluarkan seruan nyaring, kemudian tubuhnya sudah berjungkir balik di udara dan meluncur ke arah perahu nona itu lalu dapat turun dengan enaknya di atas perahu! Melihat ini, semua orang berseru kagum dan So Cian Ling tertawa.

“Wah, engkau sungguh nakal!” kata Thian Sin sambil tersenyum karena dia tahu bahwa dara itu memang sengaja mencobanya. Andai kata dia tidak sedang mendekatinya karena dia hendak mengadakan hubungan dengan See-thian-ong lewat nona ini, tentu dia sudah mendongkol dan akan membalas.

“Hi-hik, siapa takut kau tercebur?”

So Cian Ling lantas mendayung perahunya dan ketika melihat betapa perahu besar yang ditumpangi para pelacur itu menghalang dan para pelacur itu memandang kepada Thian Sin dengan mata melotot penuh kekecewaan bagaikan mata kucing-kucing yang melihat sepotong ikan dibawa pergi, dia lalu mendorong dengan dayungnya sambil berseru,

“Minggir! Apa kalian ingin perahumu kujungkirkan?”

Nona ini mendorong perlahan, akan tetapi perahu besar itu menjadi terputar-putar cepat sekali. Terdengar jerit-jerit ketakutan dan semua pelacur itu langsung mendekam di atas papan perahu sambil menjerit-jerit karena perahu itu terputar-putar dengan keras, bahkan ada pula yang sampai terkentut-kentut dan terkencing-kencing! Dua orang tukang perahu dengan sekuat tenaga berusaha untuk menghentikan perahunya, namun tidak berhasil.

“Sudahlah, kenapa main-main dengan perahu orang yang tak berdosa?” kata Thian Sin sambil dia mendoyongkan tubuhnya ke pinggir perahu.

Perahu hitam kecil itu menjadi miring, maka dengan sendirinya terputar mendekati perahu besar yang masih berputar. Dengan tangannya Thian Sin menahan dan seketika perahu besar itu berhenti dari putaran!

“Hi-hi-hik!” Cian Ling mendayung perahunya meninggalkan mereka semua, bukan ke tepi, melainkan ke tengah telaga.

Cepat sekali perahunya meluncur sehingga sebentar saja orang-orang itu hanya melihat sebuah titik hitam jauh di tengah danau yang luas itu. Semua orang hanya dapat menarik napas panjang dan menduga-duga siapa adanya pemuda itu.

“Pantas, kiranya sahabat So-siocia…,” akhirnya mereka berkata-kata, sebentar kemudian tempat itu menjadi ramai kembali.


“Kau bilang perahu itu perahu orang yang tidak berdosa?” tiba-tiba Cian Ling memandang Thian Sin dan bertanya, matanya yang jeli itu menyelidiki wajah yang tampan itu.

“Tentu saja, apa dosa mereka kepadamu?”

“Kepadaku sih tidak, akan tetapi… ehh, tak tahukah engkau siapa mereka itu?”

“Mereka? Mereka adalah wanita-wanita yang sedang melancong…”

“Aih… jangan kau pura-pura, Ceng Thian Sin!” Cian Ling berkata sambil mengerling tajam dan tersenyum mengejek.

Diam-diam Thian Sin terheran-heran dan hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Nona So Cian Ling yang dulu pernah ditemuinya dua kali itu. Dahulu, baik untuk yang pertama kalinya pada waktu dia bertemu dengan Cian Ling yang hendak membalas kepada Kakek Yap Kun Liong dan kedua kalinya pada saat dia bertemu dengan dara ini di dalam pesta Tung-hai-sian, dara ini merupakan seorang gadis gagah perkasa yang keras dan serius. Akan tetapi yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis yang manis dan jenaka, juga yang murah senyum dan sikapnya penuh dengan daya pikat! Bedanya seperti langit dan bumi!

“Hayaaa… apa yang kau lihat pada mukaku? Apakah ada kotoran di mukaku?” Cian Ling mengusap mukanya yang berkulit putih halus itu.

“Ahh, tidak… hanya… ahh, kenapa kau bilang aku pura-pura?”

“Habis, engkau memang pura-pura sih! Apa benar engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah wanita-wanita pelacur?”

Thian Sin terbelalak. Memang sejak tadi pun dia sudah terheran-heran akan sikap wanita-wanita itu yang demikian beraninya akan tetapi karena memang dia belum pernah bergaul dengan kaum pelacur dan pertama kali melihat pelacur hanya ketika Siangkoan Wi Hong menjamunya bersama Han Tiong dahulu, maka dia tidak menyangka demikian.

“Ah, kiranya begitukah? Aku sungguh tidak tahu. Akan tetapi, andai kata mereka itu benar pelacur-pclacur, habis apa dosanya?”

“Wah, apa dosanya? Mereka menjual cinta…”

“Berdosakah itu?”

“Jelas! Bercinta sih tidak mengapa, akan tetapi kalau dijual, mencinta demi uang, wah, itu namanya hina! Ehh, benarkah engkau belum pernah bergaul dengan pelacur?”

Thian Sin mengerutkan alisnya. “Hemm, untuk apa?”

Tiba-tiba saja dara itu terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya centil akan tetapi juga menarik hati sekali. Perahu yang tidak didayungnya itu meluncur tenang di tengah-tengah danau yang sunyi.

Thian Sin merasa mendongkol juga karena ditertawakan, tanpa dia ketahui mengapa dara itu tertawa.

“Ehh, mengapa engkau tertawa?” tanyanya, suaranya mengandung kemengkalan hatinya. Dara itu menengok memandangnya dan agaknya menjadi semakin geli ketika melihat dia marah.

“Ceng Thian Sin, berapa sih usiamu?” tiba-tiba dia bertanya tanpa menjawab pertanyaan mengapa dia tertawa tadi.

“Usia? Sembilan belas tahun, mengapa?”

“Hemm, benar kata Siangkoan-kongcu…”

“Apa yang dikatakan orang itu?” Thian Sin berkata, suaranya dingin.

“Dia berkata bahwa engkau adalah seorang pria yang benar-benar belum pernah bergaul dengan wanita pelacur, bahkan dengan wanita mana pun. Bahwa engkau masih perjaka tulen. Benarkah itu?”

Wajah Thian Sin menjadi merah sekali laksana udang direbus. Dia merasa ditertawakan dan merasa terbelakang dan dusun sekali. “Kalau benar, habis mengapa?”

“Kau memang hebat! Ilmu kepandaianmu sangat tinggi, engkau juga keturunan seorang pangeran, bahkan seorang pangeran yang jagoan dan pernah menggegerkan dunia, dan engkau malah mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari Cin-ling-pai, tetapi engkau… engkau masih perjaka tulen! Siapa bisa percaya hal itu? Akan tetapi aku percaya dan aku… aku kagum, Thian Sin.”

Berkata demikian, dara itu lalu mengacungkan jempolnya dan pada saat tangannya turun, tangan itu diletakkan ke atas paha kaki Thian Sin. Pemuda ini terkejut sekali, akan tetapi dia diam saja, tidak berani berkutik sedikit pun dan seluruh tubuhnya seperti terasa dingin, bulu-bulu di tubuhnya seperti bangkit semua!

Melihat keadaan pemuda ini, So Cian Ling yang sejak pertemuan pertama sudah merasa tergila-gila kepada Thian Sin, segera mendekatkan tubuhnya sehingga kehangatan tubuh gadis itu dapat terasa oleh Thian Sin. Lalu Cian Ling berbisik,

“Kau… kau takut…?”

Thian Sin tetap menegakkan tubuhnya yang duduk di atas perahu, tetapi dia menoleh ke arah muka yang begitu dekat dengan mukanya sehingga terasa kehangatan napas dari mulut dan hidung wanita itu.

“Takut apa…?” Dia sudah memberani-beranikan diri, menekan debar jantungnya, namun tidak urung suaranya gemetar dan hampir tidak terdengar, nyaris seperti bisikan saja.

Gadis itu tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga nampak deretan gigi yang teratur rapi dan putih bersih. Keharuman yang aneh keluar dari balik baju di lehernya.

“Engkau… pemuda yang gagah perkasa, yang sakti, yang tampan, engkau… ehhh, takut kepada wanita, ya? Hi-hik-hik…!”

Tersinggung rasa harga diri Thian Sin. Dia pernah bercinta, biar pun hanya saling dekap dan saling berciuman. Dia sudah pernah bercinta, terutama sekali yang terakhir dengan Loa Hwi Leng! Maka, begitu mendengar kata-kata bisikan yang sifatnya mengejeknya itu, dia menjawab penasaran.

“Siapa takut kepada wanita? Huhh…!”

Cian Ling tertawa geli. “Benarkah? Benar engkau tidak takut padaku? Aku seorang gadis muda cantik, bukan? Dan amat dekat denganmu! Engkau tidak takut?”

“Tidak!”

“Kalau benar tidak takut, beranikah engkau menciumku?”

Thian Sin semakin bingung dan malu, jantungnya berdebar keras. Menghadapi dara-dara sederhana dan malu-malu seperti Hwi Leng dahulu, dialah yang menyerang, dialah yang menggoda dan dialah yang menjadi guru. Akan tetapi kini, berhadapan dengan seorang dara seperti ini, yang begini berani, dia merasa kikuk dan malu-malu. Hal ini membuatnya penasaran karena di lubuk hati Thian Sin terdapat suatu ketinggian hati yang membuat dia enggan kalah oleh siapa pun juga dan dalam hal apa pun juga.

“Mengapa aku tidak berani? Akan tetapi, mengapa kita harus melakukan itu?” tanyanya, membayangkan keberanian akan tetapi juga keraguan.

Dengan bibir yang masih terbuka dalam senyum, dan mata memandang sayu dari balik bulu-bulu mata yang panjang, penuh daya pikat, dara itu lalu berbisik, “Mengapa? Aihh… karena kita saling menghendakinya, aku cinta padamu, Ceng Thian Sin. Nah, beranikah engkau menciumku?”

Kini Thian Sin merasa ditantang, dan pula, dekatnya tubuh yang hangat itu, bibir yang setengah terbuka penuh tantangan itu, pandang mata sayu yang penuh daya tarik itu, telah mendatangkan gairah dalam hatinya. Dia pun lalu merangkul dan mencium, tadinya sekedar memperlihatkan bukti bahwa dia tidaklah begitu ‘dusun’ dan ‘hijau’. Akan tetapi begitu bibir mereka saling bertemu, dia tidak perlu lagi bersandiwara, dan tidak perlu lagi khawatir bahwa dia tak akan dianggap jantan karena Cian Ling yang malah memagutnya, mendekapnya dan menciuminya dengan kemesraan yang menyesakkan napas Thian Sin.

Tanpa disadarinya lagi dia sudah dibawa rebah oleh Cian Ling. Kemudian dalam keadaan setengah sadar, karena terbius oleh kenikmatan yang belum pernah dirasakannya, baik ketika bercintaan dengan Hwi Leng sekali pun. Thian Sin membiarkan dirinya hanyut oleh buaian nafsu. Dan dalam hal ini, Cian Ling merupakan seorang guru yang sangat pandai, sangat manis dan yang agaknya tak mengenal puas.

Setiap manusia di dunia ini, baik wanita mau pun pria, yang hidup dalam keadaan normal dan biasa, kecuali mereka yang hidup diperuntukkan khusus menjadi pendeta atau yang berpantang senggama, sekali waktu sudah pasti akan mengalami hubungan pertama di dalam hidupnya. Hubungan kelamin antara pria dan wanita untuk pertama kalinya sudah pasti akan terjadi pada setiap orang, dengan berbagai cara dan jalan.

Dan agaknya sudah diterima oleh umum sebagai hal yang wajar dan biasa, terutama di dunia timur, bahwa kehilangan keperjakaan seorang laki-laki bukanlah hal yang aneh dan patut diributkan, sebaliknya, kehilangan keperawanan seorang wanita bisa menimbulkan bencana, urusan, permusuhan, pembunuhan, bahkan bisa pula mempengaruhi kehidupan wanita itu selanjutnya!

Hubungan antara pria dan wanita, malah hubungan yang menyangkut kelamin sekali pun, bukanlah merupakan hal yang aneh. Hubungan itu adalah wajar saja, bagaikan hubungan antara jantan dan betina pada semua makhluk, baik makhluk bergerak mau pun tidak, baik tanam-tanaman, binatang-binatang, atau manusia-manusia. Jodoh di dalam bentuk pertemuan antara Im dan Yang merupakan kewajaran, karena pertemuan antara jantan dan betina inilah yang menciptakan semua keadaan.

Demikian pula hubungan kelamin antara pria dan wanita merupakan kewajaran, bahkan merupakan sarana bagi perkembangan manusia, bagi kelahiran manusia, oleh karena itu sungguh sesat jika menganggap hubungan itu sebagai sesuatu yang kotor! Sama sekali tidak. Hubungan itu adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang bersih dan indah, sesuatu yang wajar dan tidak bertentangan hukum alam.

Namun, segala macam perbuatan di dunia ini, apa bila dilakukan dengan dasar mengejar kesenangan, tentu menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang dianggap sebagai sebuah kejahatan. Dan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mengejar kesenangan sudah pasti akan mendatangkan gangguan-gangguan dalam hidup, mendatangkan awal dari pada kesengsaraan.

Umpamanya, kegiatan makan adalah suatu gerakan wajar yang merupakan kepentingan hidup, kebutuhan jasmani, dan memang segala kebutuhan jasmani itu pelaksanaannya mengandung kenikmatan. Inilah berkah berlimpahan yang sepatutnya membuat manusia bersyukur. Akan tetapi bila dalam melakukan perbuatan makan ini kita mendasarkannya atas pamrih mengejar kesenangan, yaitu kenikmatan makan tadi, maka akan terjadilah penyelewengan.

Kita lantas makan asal enak saja, tanpa mengingat lagi bahwa fungsi makan sebenarnya adalah untuk syarat hidup, untuk perut. Kemudian terjadilah akibat-akibat yang sangat mengganggu seperti sakit perut dan sebagainya yang merupakan awal kesengsaraan! Demikian pula dengan perbuatan sebagai pelaksana hubungan kelamin antara pria dan wanita.

Gairah yang ada dalam hubungan seksual adalah wajar. Rasa tertarik antara pria dan wanita adalah wajar. Rasa nikmat yang didapat dalam hubungan itu pun adalah wajar, merupakan satu di antara berkah yang berlimpahan bagi manusia. Namun apa bila kita melaksanakan perbuatan itu dengan dasar mengejar kenikmatan, mencari kesenangan, maka kita telah menyalah gunakan berkah itu.

Kemudian timbul perbuatan-perbuatan yang merupakan penyelewengan-penyelewengan hanya demi mencapai kesenangan belaka, seperti perjinahan-perjinahan dan sebagainya, yang kesemuanya itu dilakukan hanya karena dorongan nafsu birahi belaka, hanya untuk mencari kenikmatan belaka.

Dan muncullah akibat-akibat seperti pelanggaran dari norma-norma kesusilaan manusia yang sudah terbentuk. Akibat-akibat itu bermacam-macam, misalnya, kandungan di luar nikah, permusuhan karena memperebutkan wanita, permusuhan karena merasa dilanggar kehormatannya, permusuhan karena perkosaan, penyakit kelamin, dan sebagainya lagi.

Kebijaksanaan sajalah yang bisa menertibkan semua ini. Kebijaksanaan yang timbul bila kita berada dalam keadaan waspada dan sadar. Hanya dasar cinta kasih sajalah yang akan menghalalkan semua perbuatan hubungan seksual ini. Dengan cinta kasih, maka segalanya pun baik. Dan cinta kasih itu bukan sekali-kali berarti hubungan seks! Walau pun hubungan seksual merupakan sebagian dari pada cinta kasih antara pria dan wanita dalam hubungan suami isteri, suatu pencurahan dari pada kasih sayang dan kemesraan.

Dan sebagai manusia tentu saja kita tak mungkin bisa terlepas dari pada norma-norma kesusilaan, dari pada hukum-hukum yang sudah diterima oleh masyarakat. Kalau hukum itu mengatakan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita barulah benar apa bila dilakukan antara suami dan isteri yang telah menikah secara sah, maka sudah tentu kita tidak mungkin dapat melepaskan dari ketentuan itu. Sebaliknya, andai kata masyarakat kita tidak mengadakan peraturan itu, tentu saja kita pun tidak terikat oleh hukum tentang pernikahan. Semua hukum itu hanyalah menjaga ketertiban lahiriah belaka. Akan tetapi yang terpenting adalah ketertiban menyeluruh yang berpusat kepada batin.

Kenikmatan mempunyai kekuatan yang besar sekali untuk mengikat manusia melalui kesenangan. Mengingat-ingat dan mengenangkan pengalaman yang nikmat akan selalu mendorong manusia untuk mengulang kenikmatan itu.

Di dalam perahu kecil itu, yang terapung di permukaan danau yang amat sunyi, Thian Sin terseret dalam buaian yang mendatangkan kenikmatan dan memabukkan. Cian Ling yang merasa telah menemukan sesuatu yang selama ini selalu diimpikan dan dibayangkannya, menggunakan kesempatan itu untuk memuaskan dirinya tanpa mengenal batas, menyeret Thian Sin ke dalam kenikmatan nafsu birahi!

Sesudah bertemu dengan Thian Sin dan merasa kagum, suka dan cocok sekali dengan pemuda putera pangeran ini yang selain tampan, gagah serta menyenangkan, juga yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, maka timbullah rasa cinta dalam hati Cian Ling. Ingin dia dapat mengikat dan memiliki pemuda itu, bukan hanya memiliki tubuhnya, namun juga memiliki hatinya, cintanya. Maka, dengan segala kelembutan kewanitaannya, ditambah segala pengalaman dan siasatnya dalam bermain cinta, kini Cian Ling hendak menaklukkan Thian Sin agar pemuda itu jatuh dan tidak akan mampu melepaskan diri dari cengkeramannya.

Akan tetapi, setelah mereka berdua tinggal di dalam perahu itu sampai semalam suntuk, bukannya Thian Sin yang bertekuk lutut, bahkan sebaliknya Cian Ling sendiri yang makin tergila-gila! Pemuda itu memiliki pribadi yang amat kuat, memiliki kejantanan yang bahkan mampu mengalahkan seorang wanita seperti Cian Ling yang telah berpengalaman dalam hal bermain cinta.

Maka, sesudah mereka berada di dalam perahu itu, dan hanya ke pinggir untuk mencari makanan, kadang-kadang keduanya berenang-renang di sekitar perahu, kadang-kadang mereka bercakap-cakap, bercanda dan bermain cinta di dalam perahu atau di air yang jernih selama dua hari, maka gadis itulah kadang-kadang menyatakan cintanya. Cian Ling sampai bersumpah menyatakan cintanya kepada Thian Sin.

Sebaliknya, pemuda itu hanya tenang-tenang saja sambil tersenyum penuh kemenangan. Dia menikmati hubungannya dengan Cian Ling, akan tetapi sama sekali dia tidak jatuh cinta. Dia suka kepada gadis itu, tentu saja. Siapakah orangnya, jika dia laki-laki normal, yang tidak suka kepada seorang gadis yang cantik jelita, berkepandaian, dan mempunyai gairah yang demikian besar, dan yang meminta pula? Namun, di dalam pandangan Thian Sin, Cian Ling hanyalah seorang gadis yang di samping menyenangkan, juga merupakan suatu jembatan untuk dia mendekati See-thian-ong!

Setelah dua hari dua malam berada di perahu itu, seperti sepasang suami isteri berbulan madu, akhirnya keduanya merasa bosan tinggal di atas danau dan mereka pun mendarat. Ini pun adalah atas kehendak Thian Sin yang ingin dapat bertemu dan memasuki sarang See-thian-ong.

Dari Cian Ling, dia sudah mendengar segalanya tentang diri See-thian-ong. Dan menurut penuturan gadis itu, dia pun sudah tahu bahwa selain sangat lihai ilmu silatnya, terutama ilmu tongkatnya, juga See-thian-ong amat pandai dalam ilmu sihir.

“Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mempunyai ilmu silat tinggi, yang tingkat ilmu silatnya mungkin tak kalah atau setidaknya setingkat dengan kepandaian suhu, terpaksa harus tunduk karena ilmu sihir dari suhu,” antara lain Cian Ling berkata.

Ketika mereka meninggalkan telaga, Cian Ling mengajaknya ke dalam sebuah hutan yang sangat indah. Hutan itu berada di lereng yang penuh dengan pohon-pohon serta bunga-bunga, dan di tengah-tengah hutan terdapat padang rumput yang tidak tinggi tetapi dapat hidup subur, maka padang rumput itu tebal sekali dan bila mana diinjak rasanya bagaikan menginjak beludru tebal saja. Luar biasa indahnya tempat itu.

“Ini adalah tempat yang paling kusuka, Thian Sin. Kalau aku sedang kesal hati, di sinilah aku pergi untuk melupakan semua kekesalan hatiku. Dan sekarang, kau kuajak ke sini! Engkaulah laki-laki pertama yang kuajak ke tempat ini…”

Thian Sin tersenyum. Dia duduk di atas rumput, menyandarkan kepalanya di atas kedua pahanya. Mereka saling rangkul dengan sikap mesra.

“Cian Ling, engkau seorang gadis yang amat luar biasa. Akan tetapi… bagaimana engkau dapat menjadi murid See-thian-ong? Dan sepanjang pendengaranku mengenai dia, dia itu senang sekali dengan wanita-wanita muda.” Thian Sin setengah memancing supaya bisa mengetahui lebih banyak tentang hubungan antara wanita ini dan gurunya.

Cian Ling menarik napas panjang, bagai seekor kucing yang dipangku dan dibelai, sebab dengan pandai Thian Sin menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai anak rambut halus di sekitar tengkuk dan dahi itu.

“Memang suhu seorang laki-laki yang aneh. Dan tentang wanita, yahhh… dia suka sekali dan setiap hari, maksudku tiap malam, harus ada wanita muda cantik yang mendampingi dia. Dia… dia kuat sekali, akan tetapi dibandingkan dengan engkau, dia bukan apa-apa…”

Cian Ling menarik leher pemuda itu lantas menciumnya. Thian Sin membiarkan gadis itu, kemudian melepaskan diri dan berkata lagi,

“Dan engkau begini cantik dan muda, mustahil kalau dia melepaskanmu…”

“Kau… kau cemburu?” Cian Ling bangkit duduk kemudian memandang tajam, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum.

Thian Sin menggeleng kepala sambil menunduk dan melihat gadis itu mengangkat muka memandangnya dari atas pangkuan. “Tidak, aku hanya menduga begitu saja.”

Cian Ling menarik napas panjang, nampaknya kecewa sekali. “Aihhh… ingin aku melihat engkau cemburu. Kata orang, cemburu itu tandanya cinta.”

Thian Sin hanya tersenyum dan berkata singkat, penuh kecerdikan tersembunyi, “Nona manis, kalau aku tidak cinta padamu, masa aku mau menemanimu seperti ini?”

Cian Ling gembira sekali, bangkit duduk dan merangkul leher Thian Sin, lalu menciuminya penuh nafsu. Akan tetapi Thian Sin perlahan-lahan melepaskan diri dan berkata,

“Duduklah yang baik dan kita bicara tentang gurumu. Aku ingin sekali mendengar tentang datuk barat itu.”

“Bukankah sudah banyak aku bercerita mengenai dia? Memang dugaanmu benar. Orang laki-laki seperti guruku itu, mana mau melepaskan aku? Terus terang saja, dialah yang pertama kali menggauliku. Dia adalah guruku, juga pengganti orang tuaku yang amat baik kepadaku, dan juga dialah laki-laki pertama yang pernah menyentuhku dan mengajariku tentang cinta seperti… seperti aku mengajarimu, Thian Sin.” Gadis itu tersenyum lebar.

Thian Sin tidak merasa cemburu, hanya merasa tidak senang dan agak muak mendengar akan hubungan guru dan murid seperti itu. Guru tiada jauh bedanya dengan kedudukan seorang ayah, maka hubungan kelamin antara guru dengan murid sungguh menimbulkan perasaan tidak enak baginya. Akan tetapi karena dia hendak mempergunakan gadis ini sebagai jembatan untuk berkenalan dengan See-thian-ong dan mencari rahasianya agar dia mampu mengalahkannya, maka dia pun tidak memberi komentar atas hal itu.

“Cian Ling, coba kau jelaskan. Mana yang lebih berbahaya di antara dua macam ilmunya yang pernah kau beri tahukan kepadaku itu, yaitu ilmu khikang yang membuat tubuhnya penuh dengan hawa sehingga dapat menggembung besar, ataukah ilmu tongkatnya?”

“Thian Sin, sungguh menyesal sekali aku tidak bisa menjelaskan secara terperinci, sebab walau pun aku adalah murid tersayang dari suhu dan agaknya di antara semua muridnya akulah yang paling unggul, namun kedua ilmu itu merupakan ilmu simpanan suhu pribadi, belum pernah diajarkan kepada orang lain. Bahkan Twa-suheng Ciang Gu Sik juga tidak diajarkan ilmu itu, padahal dia disebut sebagai murid kepala. Kalau dia diajari dua ilmu itu, tentu aku pun akan kalah olehnya.”

“Sayang, aku ingin sekali tahu sampai di mana kehebatan dua ilmu itu.”

“Aku hanya bisa memberi tahumu bahwa ilmu tongkatnya dinamakan Giam-lo Pang-hoat (Ilmu Tongkat Malaikat Kematian) dan segala macam tongkat atau bahkan sepotong kayu pun bila berada di tangannya dan dimainkan dengan ilmu itu maka akan berubah menjadi senjata yang ampuh. Ada pun ilmu khikang yang bisa membuat tubuhnya menggembung itu disebutnya ilmu Hoa-mo-kang. Bila suhu sudah mengeluarkan ilmu ini, maka tubuhnya menggembung besar seperti balon terisi angin lantas segala macam senjata tidak mampu menembus kulitnya dan di samping itu, juga dengan hembusan khikang melalui pukulan-pukulannya, maka jarang ada lawan sanggup menahannya. Hanya itulah yang kuketahui, kekasihku.” Gadis itu memegang tangan Thian Sin dan bertanya, “Engkau bertanya-tanya tentang suhu, sebenarnya mau apakah?”

Thian Sin sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan seperti itu yang memang sudah diduganya sekali waktu akan keluar dari mulut Cian Ling. Maka sambil memeluknya dan merebahkan gadis itu terlentang kembali ke atas pangkuannya, dia pun menjawab,

“Cian Ling, engkau tentu sudah pernah mendengar akan riwayatku, kumaksudkan, riwayat mendiang ayahku, bukan?”

Gadis itu tertawa dan meraih dagu pemuda itu untuk dibelainya, pandang matanya penuh rasa kagum karena pertanyaan itu mengingatkan dia akan kenyataan yang membuat dia merasa bangga, yaitu bahwa pemuda yang telah menjadi miliknya ini, yang menyerahkan perjakanya, ialah putera Pangeran Ceng Han Houw yang namanya selalu mendatangkan rasa kagum di dalam hatinya.

“Tentu saja! Siapa yang tidak pernah mendengar nama Pangeran Ceng Han Houw yang dulu pernah menggemparkan dunia, seorang pangeran muda yang tampan dan yang telah menjatuhkan hati seluruh wanita di dunia ini, yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan bahkan pernah dianggap sebagai seorang jagoan nomor satu di dunia…”

“Itulah yang kumaksudkan. Aku ingin memenuhi keinginan mendiang ayahku, maka akan kuperlihatkan kepada dunia bahwa puteranya ini dapat memenuhi cita-cita ayahnya, yaitu aku ingin mengalahkan semua datuk di keempat penjuru. Dan, aku ingin sekali mencoba kepandaian See-thian-ong dan mengalahkannya.”

“Ahh… untuk mengalahkan suhu, sungguh merupakan suatu hal yang sukar bukan main, kekasihku.”

“Aku hanya mengharapkan bantuanmu, Cian Ling. Kecuali engkau, siapa lagi yang dapat membantuku dalam menghadapi suhumu itu.”

“Tentu saja aku mau membantumu dalam segala hal, akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu untuk menghadapi suhu? Kalau suhu mengeluarkan kedua macam ilmu itu, aku tidak berdaya sama sekali, dan pula… mana mungkin aku dapat melawan suhu yang begitu baik terhadap diriku seperti terhadap anak sendiri?”

“Hemm, seperti anak atau seperti kekasih?”

“Hi-hik-hik, kau cemburu?”

Thian Sin tidak menjawab, melainkan merangkul dan dibalas oleh Cian Ling. Mereka tidak bicara lagi melainkan mengulang kembali apa yang telah sering mereka lakukan di dalam perahu selama dua malam itu. Agaknya tiada bosan-bosannya bagi mereka berdua untuk bermesraan dan menumpahkan rasa cinta birahi mereka.

Ketika mereka sedang berkasih mesra, Cian Ling dapat melihat bahwa suheng-nya, yaitu Ciang Gu Sik, datang dan mengintai dari tempat yang tidak jauh dari situ, yaitu dari balik sebatang pohon. Karena Gu Sik datang dari arah belakang Thian Sin yang sedang asyik bermesraan itu, maka pemuda ini tidak melihatnya.

Akan tetapi, Cian Ling dapat melihatnya, lantas diam-diam gadis ini tersenyum. Kemudian gadis ini memperlihatkan sikap yang lebih mesra dari pada biasanya, bahkan dia sengaja mengeluarkan suara-suara manja agar terdengar oleh Gu Sik.

Ciang Gu Sik, murid kepala dari See-thian-ong itu, seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun, adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit sekali. Pakaiannya kuning sederhana dan dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi.

Karena dia dekat dengan sumoi-nya, maka tentu saja dia pun tidak dilewatkan oleh Cian Ling sehingga antara suheng dan sumoi ini memang telah beberapa kali terjadi hubungan badan, seperti yang terjadi antara Cian Ling dengan See-thian-ong. Di kalangan mereka, peristiwa seperti ini tidaklah dianggap aneh atau kotor. Mereka adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang sama sekali tidak mau terikat oleh segala macam aturan dan susila.

Akan tetapi, jika Cian Ling hanya menganggap suheng-nya itu sebagai seorang di antara para pria yang pernah menggaulinya dan tak begitu mendatangkan kesan dalam hatinya, sebaliknya Gu Sik telah jatuh cinta kepada sumoi-nya ini, mengharapkan kelak sumoi-nya mau menjadi isterinya.

Sudah dua hari ini Ciang Gu Sik merasa gelisah. Dia sedang mencari-cari sumoi-nya. Dia mendengar peristiwa di telaga di mana sumoi-nya bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan juga kabarnya mempunyai kepandaian tinggi. Baginya, mendengar sumoi-nya bermain cinta dengan pemuda lain, bukanlah hal yang aneh sungguh pun dia mulai diamuk cemburu karena dia ingin menguasai tubuh dan hati sumoi-nya itu untuk dirinya sendiri.

Akan tetapi biasanya, bila mana sedang bermain gila dengan laki-laki lain, Cian Ling tidak pernah sembunyi-sembunyi, dan bahkan paling lama sehari semalam sumoi-nya itu tentu akan pulang. Tidak pernah ada pria yang dapat menahannya dalam pelukannya selama lebih dari satu hari satu malam.

Akan tetapi sekarang, telah dua hari dua malam sumoi-nya tidak pulang, maka timbullah rasa kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk pada sumoi-nya. Pada hari ke tiga pergilah dia mencari sumoi-nya. Dia tahu akan padang rumput di dalam hutan yang menjadi tempat kesayangan sumoi-nya itu, maka ke situlah dia pergi.

Ketika dia mengintai dan melihat sumoi-nya bermesraan dengan seorang pemuda tampan yang dikenalnya sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dia merasa sangat cemburu. Sumoi-nya itu pernah secara berterang menyatakan tertarik kepada pemuda itu, dan kini mereka telah bercinta-cintaan di tempat itu.

Dan sumoi-nya kelihatan begitu mesra dan amat mencinta pemuda itu! Kalau menurutkan hatinya yang panas oleh cemburu, pada saat itu juga dia ingin meloncat dan menyerang, membunuh Thian Sin. Akan tetapi, dia merasa sungkan terhadap sumoi-nya. Oleh karena itu, dia menunggu sampai kedua orang muda itu duduk kembali dalam keadaan pantas, barulah dia muncul sambil membentak marah,

“Kiranya si pemberontak Ceng Thian Sin berada di sini!” Dan dia pun sudah meloncat dan mencabut senjatanya, yaitu sebatang joan-pian (ruyung lemas), terbuat dari pada emas.

Akan tetapi, Cian Ling meloncat dan menyambut suheng-nya itu dengan berdiri tegak dan kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah dan pandang matanya mengandung kemarahan, sedangkan Thian Sin masih enak-enak saja duduk bersandar batang pohon, memandang tak acuh.

“Suheng, mau apa kau datang ke sini? Apakah engkau hendak menggangguku?”

Menghadapi sumoi-nya, Ciang Gu Sik yang berwajah pucat itu menjadi ragu-ragu. “Sumoi, dia itu adalah musuh kita, dan kini dia memasuki wilayah kita tanpa ijin dari suhu!”

“Dia bukan musuh. Kau lihat saja baik-baik. Kalau dia musuh masa sikapnya begini baik terhadap diriku? Kami saling mencinta dan harap kau tidak mengganggu. Dia memasuki tempat ini adalah karena ajakanku. Pergilah!”

“Sumoi, engkau harus ingat, dia ini di Lok-yang dan Su-couw… telah…”

“Sudahlah, suheng. Aku sedang bersenang-senang, kenapa kau berani menggangguku?”

“Sumoi, suhu tentu akan marah…”

“Suhu tak akan marah padaku. Akan tetapi engkau yang cemburu, yang tolol!” Ciang Ling segera mencabut pedangnya. “Atau engkau hendak mengandalkan joan-pianmu itu untuk memaksa aku melawan?”

Melihat ini, Ciang Gu Sik semakin marah. Dua orang kakak beradik seperguruan itu sudah berdiri saling berhadapan dengan senjata di tangan. Thian Sin hanya menonton saja dan sikapnya tenang sambil menanti perkembangan selanjutnya. Akan tetapi, setelah mereka berdua sejenak beradu pandang yang penuh kemarahan, akhirnya Ciang Gu Sik menarik napas panjang dan menyimpan kembali senjatanya.

“Baiklah, aku pergi, akan tetapi suhu tentu tidak akan senang bila melihat ini…”

Dan sesudah melempar pandang mata penuh kebencian kepada Thian Sin, laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan cepat.

“Suheng, kalau kau melapor yang bukan-bukan kepada suhu, aku tidak akan mau bicara denganmu lagi!” Cian Ling menyusulkan teriakannya kepada laki-laki itu.

Setelah suheng-nya tak nampak lagi, gadis itu lalu menyarungkan pedangnya dan duduk di dekat Thian Sin, merebahkan kepalanya di atas pangkuan pemuda itu kemudian dia pun menarik napas panjang.

“Uuhhhhh, laki-laki pencemburu macam dia…!”

Thian Sin mengelus rambut gadis itu. “Engkau telah membikin sakit hatinya, Cian Ling.”

“Peduli amat! Orang macam dia yang pencemburu itu tidak patut dihadapi dengan manis.”

“Akan tetapi dia tentu akan melapor kepada See-thian-ong.”

“Apakah engkau takut?”

“Hemm, aku tidak takut, karena memang aku ingin sekali mencoba kepandaiannya. Akan tetapi, dia tentu akan datang membawa banyak anak buahnya…”

“Ih, engkau belum mengenal betul watak suhuku!” Cian Ling berkata mencela. “Dia adalah seorang datuk yang gagah perkasa dan tinggi kedudukannya. Apakah kau maksudkan dia mau mengeroyokmu? Kau jangan memandang rendah, Thian Sin. Selamanya guruku tak pernah mengeroyok orang!”

“Kalau begitu, biar dia datang dan aku akan mencoba kepandaiannya.”

“Hemm, engkau akan kalah.”

“Kalau begitu, biar engkau melihat aku mati di tangannya.”

Cian Ling langsung merangkul. “Ih, kau begitu kejam, mengeluarkan kata-kata seperti itu? Kalau engkau mati, aku akan merana, aku akan berduka, aku akan kehilangan kekasihku. Aku amat mencintamu dan aku yang akan melindungimu, jangan kau khawatir!”

Memang Thian Sin tadi sengaja hendak membuat wanita ini benar-benar tunduk padanya. Dia telah dapat menduga bahwa dengan wajah cantiknya, dengan tubuh mudanya, sedikit banyak wanita ini tentu mempunyai pengaruh terhadap See-thian-ong, malah suheng-nya tadi pun tunduk padanya. Dengan kewanitaannya yang mempunyai daya tarik luar biasa ini, tentu Cian Ling mampu menguasai suheng-nya dan juga gurunya sendiri, kalau benar seperti yang diceritakan Cian Ling bahwa See-thian-ong bukan hanya guru dan pengganti orang tuanya, melainkan juga menganggapnya sebagai kekasih.

Pendekar Sadis Jilid 19

DUA orang muda itu bagaikan lupa akan segala, hanya menuruti gairah nafsu birahi dan mabuk dengan permainan cinta mereka. Mereka itu tak ada ubahnya sepasang pengantin baru yang tahunya hanya makan minum serta bermain cinta. Cian Ling selalu melayani kekasihnya dengan mencarikan buah-buahan, memanggang daging kelinci dan kambing hutan, dan hubungan antara mereka menjadi semakin mesra saja.

Dan pada keesokan harinya, ketika matahari meneroboskan cahaya melalui celah-celah daun pohon dan menimpa tubuh mereka, menggugah mereka dari tidur nyenyak karena kelelahan, mereka terbangun dengan hati gembira dan dengan sinar mata saling pandang penuh kemesraan.

Thian Sin maklum bahwa kalau dia tidak hati-hati, dia bisa benar-benar jatuh cinta kepada wanita cantik yang menjadi wanita pertama yang pernah memilikinya. Akan tetapi, setelah mereka mandi di sumber air di dalam hutan dan sarapan pagi dengan daging panggang, tiba-tiba saja muncullah See-thian-ong yang memang sudah mereka duga sewaktu-waktu tentu akan muncul juga.

Kemunculan datuk kaum sesat wilayah barat ini hebat bukan main. Mula-mula terdengar suaranya, suara yang terdengar berat dan parau, akan tetapi yang datangnya entah dari mana, dan tahu-tahu terdengar suara itu seperti dekat sekali dengan mereka, memanggil nama muridnya.

“Cian Ling… di mana kau…?”

Mendengar suara ini, wajah gadis itu lantas berubah. Betapa pun juga, diam-diam dara ini memang merasa jeri sekali terhadap suhu-nya yang sakti, sebab itu secara diam-diam dia pun mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Mendengar suara ini, dia pun tidak berani berayal lagi dan cepat-cepat menjawab sambil mengerahkan khikang-nya karena dia tahu bahwa suhu-nya itu masih jauh, mungkin masih berada di luar hutan.

“Teecu di sini, suhu…!”

Berkata demikian, dia memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berhati-hati. Pemuda itu tetap duduk di atas rumput, kelihatan tenang saja walau pun jantungnya berdebar tegang dan seluruh syaraf di tubuhnya telah siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Tiba-tiba ada angin bertiup dari arah selatan. Thian Sin cepat memandang dengan penuh perhatian ke arah itu. Terdengar suara berkerosakan seperti ada binatang buas datang dari tempat itu lalu nampak daun-daun kering berhamburan bagaikan dilanda angin ribut. Melihat ini, Cian Ling sudah menghadap ke arah itu sambil merangkap kedua tangannya memberi hormat sambil berkata, “Suhu…!”

Cara pemberian hormat dari Cian Ling ini sederhana saja, tidak berlutut seperti kebiasaan murid terhadap gurunya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa hubungan antara guru dan murid ini lebih akrab dari pada guru-guru dan murid-murid lainnya.

Thian Sin memandang penuh perhatian dan dia kagum juga pada saat melihat bayangan seorang laki-laki tinggi besar datang dengan gerakan yang amat gagah dan tangkas. Apa lagi setelah laki-laki itu berdiri tak jauh dari tempat itu, dia memandang kagum.

Tak seperti Pak-san-kui yang berpakaian seperti seorang kakek hartawan, See-thian-ong ini merupakan seorang kakek yang bertubuh tinggi besar dan gagah sekali. Usianya lebih muda dibandingkan Pak-san-kui, belum ada enam puluh tahun, dan tubuhnya yang tinggi besar itu cocok dengan kulit mukanya hitam. Namun, bukan hitam buruk, melainkan hitam legam yang halus dan membuat dia nampak gagah, mengingatkan orang akan tokoh Thio Hwi, yaitu tokoh cerita Sam-kok yang gagah perkasa.

Dengan pakaian yang tidak terlalu mewah, mukanya yang hitam itu dihias sepasang mata yang lebar dan bundar, bersinar-sinar bagaikan mata harimau. Dari wajahnya dan gerak-geriknya terbayanglah kejantanan, kegagahan, kekasaran dan watak jujur yang tidak suka berpura-pura.

Rambutnya digelung ke atas, model rambut tosu dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat. Inilah dia See-thian-ong yang amat terkenal itu, pikir Thian Sin tanpa bangun dari tempat duduknya. Pemuda ini memang sengaja bersikap tak acuh untuk membangkitkan rasa penasaran di dalam hati datuk itu.

“Apakah suhu datang karena dibakar oleh ocehan dari Ciang-suheng?” Cian Ling bertanya dan cara dara itu bertanya demikian terbuka juga menunjukkan bahwa ia memang sudah biasa bersikap biasa seperti itu terhadap gurunya.

Semenjak kemunculannya tadi, sepasang mata yang melotot itu sungguh mengingatkan Thian Sin akan mata tokoh Thio Hwi, selalu menatap kepada Thian Sin yang masih duduk di atas rumput. Menurut cerita Sam-kok, sepasang mata Thio Hwi juga selalu terbelalak dan tidak pernah atau jarang sekali dipejamkan sehingga pernah ketika tokoh Thio Hwi itu berjaga sambil tertidur dan sepasang matanya tetap terbelalak, membuat pasukan musuh ketakutan karena mengira bahwa orang gagah ini tidak tidur!

“Ha-ha-ha-ha! Siapa mau mendengar ocehan orang? Aku hanya tertarik, mendengar dari suheng-mu, bahwa putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw datang berkunjung! Dia itukah orangnya?”

“Benar, suhu, dia adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia itu. Dia datang karena ingin berkenalan dengan suhu.”

“Ha-ha-ha, yang jelas, dia telah berkenalan denganmu! Dan aku tidak bisa menyalahkan engkau, Cian Ling. Dia memang tampan dan ganteng, mungkin seperti itulah ayahnya dahulu, si penakluk wanita itu seperti dikabarkan orang. Akan tetapi jagoan nomor satu di dunia? Ha-ha-ha, hal itu harus dibuktikan dahulu. Orang muda, mendengar engkau putera Pangeran Ceng, mari kau layani aku barang sepuluh jurus. Aku sudah mendengar akan sepak terjangmu selama ini.”

Thian Sin bangkit berdiri dan menjura. Dia dapat menilai watak kakek ini. Seorang datuk yang kasar akan tetapi jauh lebih gagah dibandingkan dengan Pak-san-kui yang memiliki sifat licik. Boleh jadi datuk ini kasar dan kejam, tidak pedulian, dan mau menang sendiri saja, akan tetapi setidaknya dia ini jujur dan tidak curang.

Tentu kakek ini sudah mendengar tentang dia, mendengar bahwa dia telah mengalahkan murid-muridnya dan juga mengalahkan putera Pak-san-kui maka kini tertarik dan hendak mengujinya. Dia harus berhati-hati. Kalau seorang datuk sakti seperti itu sudah tahu akan keunggulannya, maka tentu datuk itu tak akan berani memandang rendah sehingga akan mengeluarkan kepandaiannya.

“Locianpwe, sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berhadapan dengan locianpwe, karena sudah lama aku mendengar bahwa locianpwe adalah seorang di antara locianpwe di empat penjuru dunia yang memiliki kesaktian tinggi. Aku yang muda memang sangat mengharapkan petunjuk darimu.” Setelah berkata demikian, Thian Sin menjura dan berdiri dengan sikap menanti, waspada dan tenang.

“Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Ternyata engkau patut menjadi putera pangeran yang pernah menggetarkan dunia kang-ouw itu. Nah, kini bersiaplah, orang she Ceng! Biar muridku menjadi saksi siapa di antara kita yang lebih unggul, aku, See-thian-ong, ataukah engkau, yang menggantikan Pangeran Ceng Han Houw!” Ketika tertawa kakek itu kelihatan jauh lebih muda dari usianya, dan Thian Sin tahu bahwa seorang laki-laki penuh kejantanan seperti ini tentu dapat menarik hati banyak wanita.

Akan tetapi, sebelum kakek raksasa itu bergerak, Cian Ling sudah melangkah maju dan menghadapi suhu-nya, lalu berkata, “Suhu…!”

“Ehh, ada apa manis?”

“Jangan suhu mencelakakan dia…!”

“Ha-ha-ha, kau khawatir kalau aku merusak boneka mainanmu sayang? Jangan khawatir, di dunia ini masih banyak pemuda-pemuda yang lebih ganteng dari pada dia.”

“Tapi aku… aku cinta padanya, suhu.”

Sepasang mata yang sudah lebar itu terbelalak. “Kau…? Cinta…? Uh, betapa bodohnya. Bukankah sudah sering kuajarkan padamu bahwa cinta adalah suatu kebodohan? Bahwa cinta hanya akan mendatangkan kesengsaraan hidup belaka? Aku tidak berjanji apa-apa, dan kita lihat saja bagaimana kesudahannya pibu ini nanti.” Dengan kasar dia kemudian menggunakan tangannya mendorong muridnya ke samping.

Terpaksa Cian Ling meloncat ke pinggir lantas memandang dengan alis berkerut karena betapa pun juga, dia tahu akan kesaktian gurunya dan akan keganasan ilmu dari gurunya. Dan dia masih belum puas dengan pemuda itu sehingga tidak ingin kehilangan Thian Sin yang begitu menyenangkan hatinya.

Kakek itu menggerakkan tangan yang memegang tongkat, lantas benda itu menancap di atas tanah sampai setengahnya. “Nah, engkau boleh mempergunakan senjatamu pedang itu, akan kuhadapi dengan tangan kosong. Ini baru adil namanya mengingat usiaku lebih matang darimu. Majulah dan keluarkan pedangmu, orang muda.”

Manusia sombong pikir Thian Sin. Dia pun tak mau kalah gertak, maka dia mengeluarkan pedangnya, bukan dicabut melainkan mengeluarkan berikut sarungnya dan dia pun lantas menancapkan pedang bersarung itu ke atas tanah.

“Locianpwe, aku datang untuk minta petunjuk, dan di dalam adu ilmu haruslah terkandung kejujuran dan keadilan. Apa bila locianpwe tidak mempergunakan senjata, aku pun masih mempunyai tangan dan kaki untuk melayanimu.”

Mata kakek itu semakin terbelalak, lalu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau tabah sekali. Agaknya karena engkau telah menguasai ilmu dari Cin-ling-pai, seperti yang telah kudengar, maka engkau berani memandang ringan kepadaku, ya? Nah, boleh mari kita mengadu tangan dan kaki. Majulah!”

“Aku yang muda dan hanya tamu, mana berani maju lebih dulu? Silakan, locianpwe!”

Sikap Thian Sin yang selalu berlaku mengalah ini sungguh-sungguh merupakan tamparan bagi See-thian-ong. Biasanya, karena dia memiliki tingkatan yang lebih tinggi, dialah yang mengalah sebagai sikap orang yang kepandaiannya lebih tinggi. Akan tetapi sekarang dia bertemu batunya, seorang pemuda yang bersikap mengalah kepadanya!

“Bocah sombong, sungguh engkau tidak mengenal siapa See-thian-ong!” bentaknya dan sikap Thian Sin itu berhasil membuat kakek ini marah.

Memang inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Dia tidak ingin kakek itu main-main, akan tetapi ingin memancing agar kakek itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat diukurnya.

Setelah mengeluarkan bentakan itu, tiba-tiba saja kakek itu menerjang dan dua lengannya yang berkulit hitam berbulu panjang dan berukuran besar itu menyambar dari kanan kiri. Dua tangannya dengan telapak tangan terbuka menyambar dari kanan kiri seperti orang hendak menepuk lalat, dan yang dijadikan lalatnya untuk dihimpit oleh kedua tangan yang lebar dan kuat itu adalah kepala Thian Sin!

“Parrrrr…!”

Dua tangan itu saling bertemu ketika dengan gerakan lincah Thian Sin sudah melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, bertemunya kedua tangan kakek itu selain mendatangkan suara nyaring, juga mengepulkan asap lantas tahu-tahu kedua tangan itu sudah meluncur dengan serangan dahsyat dan ganas sekali, yang kanan mencengkeram ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri dengan jari tangan terbuka menusuk ke arah lambung!

“Hemmm…!” Thian Sin berseru, kagum karena serangan itu sungguh sangat ganas dan cepat, sebelum kedua tangan datang sudah menyambar angin pukulan dahsyat. Dia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, sengaja menangkis kedua lengan itu dengan kedua tangannya.

“Plakk! Dessss…!”

“Ahhh! Inikah Thian-te Sin-ciang?” Kakek itu berseru kaget ketika merasa betapa kedua lengannya yang disaluri penuh tenaga sinkang itu bisa terpental akibat terkena tangkisan pemuda itu.

Maklumlah dia bahwa berita yang didengarnya mengenai pemuda ini tidak kosong belaka. Tenaga Thian-te Sin-ciang tadi saja sudah membuktikan bahwa pemuda ini mempunyai tenaga kuat sekali, jauh lebih kuat dari pada tenaga murid-muridnya yang paling pandai sekali pun.

Thian Sin tidak mempedulikan seruan kakek itu dan dia pun cepat membalas serangan lawan dengan ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dan setiap sambaran tangannya, dia kerahkan tenaga Pek-in-ciang sehingga kedua tangan itu mengeluarkan uap putih! Dua ilmu ini dia pelajari dari Yap Kun Liong dan kini dia mempunyai kesempatan untuk menggunakannya dalam praktek melawan musuh yang tangguh.

Begitu dihujani serangan oleh pemuda itu, See-thian-ong segera menjaga diri, mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan orang. Dia kagum sekali karena dia tidak yakin mengenal ilmu silat itu.

“Apa ini? Seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi bukan! Dan uap putih ini… hemm, pernah aku mendengar tentang Pek-in-ciang. Inikah ilmu itu?”

Thian Sin mendesak terus tanpa menjawab, kemudian dia bahkan mengeluarkan semua ilmu silat tinggi yang pernah dipelajarinya. Dia mengeluarkan beberapa jurus dari Thai-kek Sin-kun, juga San-in Kun-hoat dengan dibantu tenaga Thian-te Sin-ciang.

Kakek itu semakin kagum, karena semua ilmu itu dikenalnya sebagai ilmu-ilmu silat yang benar-benar sangat bermutu. Berkali-kali dia memuji dan dia sungguh-sungguh terdesak, padahal pemuda itu hanya mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu silat masing-masing itu.

Thian Sin juga bukan seorang pemuda bodoh. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang datuk yang sudah memiliki kematangan ilmu silat. Dia tidak mau dipancing seperti ketika menghadapi Pak-san-kui, yaitu dipancing untuk mengeluarkan semua ilmu-ilmunya agar dapat dipelajari oleh datuk itu. Maka dia lalu mencampur-campurkan semua ilmu silatnya sehingga membuat lawannya bingung dan kagum sekali.

Oleh karena maklum bahwa dia tidak akan mampu mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang diselang-seling itu dan tahu bahwa kalau dia hanya bertahan saja, besar kemungkinan dia akan terkena pukulan yang cukup ampuh dan berbahaya, kini See-thian-ong mengambil keputusan untuk menyudahi pertandingan.

Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan yang parau menggetarkan bumi dan pohon-pohon di sekeliling tempat itu, dan berdiri dengan kedua kaki serta tangan terpentang lebar. Pada saat itu, Thian Sin sudah melakukan serangan pukulan ke arah dada kakek itu.

Melihat kakek itu berdiri dengan dada terbuka, mendengar pula betapa menyusul suara teriakan itu dan tubuh Si Kakek mulai menggembung, tahulah Thian Sin bahwa kakek itu sudah mempergunakan ilmunya yang mukjijat, yaitu yang oleh Cian Ling disebut sebagai Ilmu Hoa-mo-kang. Akan tetapi dia tidak peduli dan memukul terus, untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu itu. Dia melihat betapa kakek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyerahkan dadanya untuk dipukul.

“Blukkkk…!”

Pukulan tangan kanan Thian Sin yang menggunakan Thian-te Sin-ciang sepenuh tenaga itu tepat mengenai dada, dan telinga Thian Sin laksana mendengar suara tambur dipukul lalu tangannya yang memukul itu tadi terpental kembali seperti memukul bola yang amat keras dan kuat. Tubuhnya sendiri sampai terhuyung akibat terbawa oleh tenaga Thian-te Sin-ciang yang membalik kembali melalui tangannya, dan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, dia sudah berloncatan jungkir balik mematahkan tenaga yang membalik itu.

“Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu tentang ilmuku tadi, orang muda? Dapatkah engkau melawannya?” See-thian-ong tertawa pula, hatinya merasa puas dan girang saat melihat lawannya terkejut menghadapi ilmunya.

“Locianpwe, ilmumu memang hebat, akan tetapi jangan mengira bahwa aku sudah kalah.”

Setelah berkata demikian, pemuda itu menerjang lagi ke depan, akan tetapi sekarang dia menggunakan dua tangannya untuk menyerang bagian-bagian tubuh yang tak terlindung oleh Hoa-mo-kang itu, seperti mata, hidung, bagian muka, dan bagian tubuh lainnya yang tulangnya menonjol dan tidak terlindung oleh daging, seperti tulang pundak, tenggorokan, sambungan siku, lutut dan sebagainya.

“Ahhh, kau memang cerdik!” Kakek itu berseru dan repot melindungi bagian-bagian yang terserang itu.

Akan tetapi karena tubuhnya sudah menggembung, maka mudah saja baginya, dengan hanya menggerakkan sedikit tubuhnya, maka bagian-bagian yang terserang adalah bagian yang terlindung hawa Hoa-mo-kang. Dan kini, begitu tubuhnya terpukul, maka otomatis tangannya langsung membalas serangan dari samping.

“Bluggg…! Dessss…!”

Ketika dengan kekuatan sepenuhnya tangan Thian Sin menyambar ke arah pundak untuk membikin patah tulang pundak kiri, kakek itu cepat miringkan tubuhnya sehingga pukulan itu mengenai dadanya, dan pada saat yang sama tangannya sudah menampar punggung Thian Sin.

Tubuh pemuda itu terpelanting, lantas bergulingan saking kerasnya pukulan lawan. Akan tetapi beruntung baginya bahwa dia tadi sedang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tubuhnya pun menjadi kebal akibat terlindung oleh tenaga itu. Dia tidak terluka, sungguh pun guncangan tenaga hantaman yang keras itu sempat membuat isi dadanya tergetar dan napasnya menjadi agak sesak!

“Ha-ha-ha!” See-thian-ong tertawa girang dan bangga.

Thian Sin menjadi penasaran dan juga marah. Dia telah menerjang kembali, menusukkan telunjuk dan jari tengah ke arah sepasang mata lawan. Ketika lawannya miringkan tubuh, dia menghantam ke arah tenggorokan.

Kakek itu menaikkan tubuh dan miring, sehingga kembali pukulan itu luput dan mengenai dada, dan pada saat itu kakek itu menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram tengkuk dan punggung Thian Sin dengan jalan merangkulnya bagai seekor beruang. Akan tetapi, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan teriakan keras.

“Aughhhhh…!” Kakek itu terkejut bukan kepalan karena begitu kedua tangannya mencengkeram, tenaga Hoa-mo-kang itu memberobot keluar melalui kedua tangannya lantas tersedot masuk ke dalam tubuh pemuda itu!

“Thi-khi I-beng…!” teriaknya.

Tiba-tiba saja tubuhnya seperti bola terisi penuh angin yang bocor, mengempis kembali lantas seluruh tenaganya lenyap sehingga dengan sendirinya tenaga sedot Thi-khi I-beng juga tidak berguna lagi dan terlepaslah kedua tangan yang melekat itu. Kakek itu cepat melempar tubuh ke belakang dan sebelum pemuda itu dapat menyerangnya kembali, dia telah bergulingan ke arah tongkatnya dan meloncat lagi dengan tongkat di tangan!

Mukanya berubah merah sehingga menjadi makin hitam, dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Peristiwa tadi, dalam satu gebrakan ketika dia dikejutkan oleh Thi-khi I-beng, sungguh merupakan tamparan baginya. Biar pun dia belum dapat dikatakan kalah, namun segebrakan tadi menunjukkan bahwa fihak lawan yang lebih unggul! Tak mungkin dia dapat dikalahkan oleh seorang pemuda remaja seperti itu.

“Orang muda she Ceng, engkau memiliki banyak sekali ilmu tangan kosong yang hebat-hebat, bahkan Thi-khi I-beng yang baru sekarang kusaksikan sendiri sempat mengejutkan hatiku. Nah, aku sudah terlanjur memegang tongkat, mari kita main-main dengan senjata!”

Thian Sin maklum bahwa kini kakek itu tentu akan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang menurut Cian Ling merupakan ilmu simpanan kakek itu yang amat hebat di samping Ilmu Hoa-mo-kang tadi. Dia tadi sudah tahu akan Ilmu Hoa-mo-kang yang amat dahsyat, akan tetapi dengan Thi-khi I-beng, dia akan dapat menghadapi Hoa-mo-kang sehingga dia tak perlu lagi takut terhadap ilmu kakek itu.

Kini, kakek itu hendak mengeluarkan ilmu simpanannya, maka hal itu baik sekali baginya untuk menguji. Sebelum dia mengambil sikap keras untuk menentang See-thian-ong ini, terlebih dahulu dia harus dapat mengukur sampai di mana kelihaian lawan. Maka dia pun meraih pedang berikut sarungnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan di lain detik sudah nampak sinar perak berkilauan ketika dia mencabut Gin-hwa-kiam dari sarungnya.

“Aku akan melayani locianpwe dan mohon petunjuk,” katanya dengan sikap merendah.

Akan tetapi karena tadi dalam gebrakan terakhir dia merasa dirugikan, kini melihat sikap merendah itu bagi See-thian-ong seperti ejekan saja, maka sambil mengeluarkan seruan keras dia pun mulai menyerang dengan tongkatnya.

Tongkat itu terbuat dari kayu biasa saja, akan tetapi begitu digerakkan oleh tangan yang berukuran besar milik See-thian-ong, berubahlah tongkat itu menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dan mengeluarkan bunyi aneh, juga gerakan-gerakannya luar biasa anehnya. Tahu-tahu ujung tongkat itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sehingga pada waktu Thian Sin menangkis dan mengelak darinya, ujung tongkat itu secara berantai telah melakukan tiga belas kali totokan sambung menyambung ke arah jalan-jalan darah maut di bagian depan tubuh lawan!

Thian Sin terkejut bukan main. Tak keliru keterangan Cian Ling. Memang ilmu silat kakek ini menjadi luar biasa hebatnya setelah dia memegang tongkat! Belum pernah dia melihat ilmu tongkat sehebat ini, dan ujung tongkat itu tergetar menjadi banyak sekali.

Inilah yang membuat ilmu tongkat kakek itu amat berbahaya, oleh karena ujungnya yang tergetar sehingga kelihatan menjadi banyak itu sukar diketahui mana yang asli dan mana bayangan-bayangannya. Hal ini membuat tongkat itu amat berbahaya.

Juga Thian Sin teringat akan ilmu Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang pernah dipelajarinya dari ibu kandungnya. Siang-bhok Kiam-sut juga memiliki dasar yang bisa membuat sebatang pedang kayu sama ampuhnya dengan sebatang pedang pusaka. Akan tetapi gerakannya jauh berbeda dengan ilmu tongkat kakek ini sehingga dia tetap belum dapat menyelami dan dalam gebrakan pertama itu, dia terdesak hebat.

Thian Sin berlaku hati-hati sekali, memutar pedang Gin-hwa-kiam dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun yang mengandung daya pertahanan sangat kuat untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman bayangan ujung tongkat yang amat cepat itu.

Melihat betapa ilmu tongkatnya yang sangat dia banggakan itu kembali dapat mendesak lawan, kegembiraan See-thian-ong bangkit lagi. Dia mulai tertawa-tawa dengan girang dan sengaja menggunakan tongkatnya untuk mempermainkan lawan.

Memang hebat sekali ilmu tongkatnya itu. Tongkat di tangannya itu seolah-olah hidup dan menyambar-nyambar dari segala jurusan. Memang, dengan mengandalkan kepada daya tahan Thai-kek Sin-kun, Thian Sin masih bisa melindungi dirinya dengan membuat dirinya seperti terkurung benteng baja. Akan tetapi tidak mungkin dalam suatu pertandingan dia hanya membela diri saja tanpa membalas serangan.

Akan tetapi, setiap kali dia membalas, bahkan sudah dicobanya Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, tetap saja setiap kali dia menyerang dia malah hampir saja celaka akibat kena disambar tongkat sehingga dia pun harus cepat-cepat kembali berlindung dalam gerakan Thai-kek Sin-kun untuk menyelamatkan dirinya. Memang benar dia pernah mempelajari Siang-bhok Kiam-sut, akan tetapi pada saat mempelajarinya itu, dia masih kecil dan dasar kepandaiannya belum matang sehingga ilmu itu pun kurang terlatih, atau inti sari ilmu itu masih kurang dapat dikuasainya.

Sesungguhnya, ilmu silat apa pun juga mengandung daya guna sendiri-sendiri dan hanya kematangan dalam menguasai suatu ilmu itulah yang membuat ilmu itu menjadi berguna dan kuat. Andai kata Thian Sin sudah betul-betul menguasai Siang-bhok Kiam-sut secara sempurna, belum tentu dia akan merasa terdesak oleh Ilmu Tongkat Giam-lo Pang-hoat yang dimainkan oleh See-thian-ong itu.

Ilmu silat hanya merupakan dasar gerakan saja yang mengandung unsur-unsur membela diri atau menyerang. Ketangguhan seseorang bukan tergantung sepenuhnya dari macam ilmu silatnya, melainkan tergantung kepada dirinya sendiri, kepada kematangannya dalam menguasai ilmu yang dimilikinya itu.

Tidak dapat dikatakan mana yang lebih kuat di antara Siang-bhok Kiam-sut dan Giam-lo Pang-hoat. Akan tetapi jika yang memainkan Siang-bhok Kiam-sut adalah Thian Sin yang masih mentah dalam ilmu itu, dan yang mainkan Giam-lo Pang-hoat adalah See-thian-ong pencipta ilmu itu, tentu saja Thian Sin kalah jauh! Buktinya, dahulu tokoh Cin-ling-pai yang merupakan pendiri Cin-ling-pai dan orang pertama yang menguasai Siang-bhok Kiam-sut, dengan pedang kayu harumnya dan ilmu pedangnya itu belum pernah bertemu tanding!

Kepandaian manusia memang ada batasnya, atau lebih tepat lagi, kemampuan manusia untuk menguasai suatu kepandaian akan ilmu pengetahuan adalah terbatas sekali. Kalau seseorang menghendaki agar dia menjadi ahli dalam suatu ilmu, dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan pikirannya untuk mempelajari dan memperdalam ilmu itu. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau memang pada dasarnya ada minat dan rasa cinta terhadap ilmu tertentu itu.

Jadi, syarat bagi seorang ahli membutuhkan tiga dasar, yaitu bakat, minat dan cermat. Bakat dalam arti kata kecenderungan kemampuan alamiah terhadap ilmu tertentu itu, dan bakat ini seolah-olah terbawa lahir oleh seseorang sehingga sebelum dia itu tahu apa-apa tentang suatu ilmu, dia telah memiliki kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain apa bila dihadapkan pada ilmu itu.

Minat adalah rasa cinta atau rasa suka akan ilmu yang dipelajarinya itu karena tanpa adanya minat atau rasa tertarik atau rasa suka ini, tentu saja dia tidak akan bersemangat mempelajarinya. Yang terakhir adalah kecermatan, atau ketekunan di dalam mempelajari ilmu itu.

Bakat memudahkan seseorang untuk mempelajari suatu ilmu, lalu minat mendatangkan gairah belajar, dan kecermatan menuntun kepada ketertiban belajar. Kalau ketiganya ini digabungkan menjadi satu, maka akan berhasillah seseorang menjadi ahli. Jika satu saja di antara ketiganya ini tidak ada, maka akan sukarlah untuk menjadi ahli dalam arti kata yang sedalam-dalamnya.

Thian Sin adalah seorang pemuda yang memiliki bakat besar sekali dalam hal ilmu silat. Pada saat masih kecil sekali, hal ini dapat nampak jelas. Begitu belajar, secara naluriah gerakannya sudah cekatan dan patut. Dan dia memang mempunyai minat yang sangat besar terhadap ilmu silat.

Akan tetapi, pengalamannya membuat dia di dalam usia muda sudah dijejali oleh banyak sekali ilmu silat tinggi sehingga dia tidak sempat untuk mematangkan satu pun di antara ilmu-ilmu itu. Oleh karena ketidak matangan inilah, maka begitu dia berhadapan dengan lawan yang sudah matang ilmunya seperti See-thian-ong ini, dia menjadi kewalahan dan terdesak terus.

Cian Ling yang sejak tadi mengikuti jalanannya pertandingan, memandang gelisah setelah melihat pemuda itu terdesak hebat oleh tongkat gurunya. Tadi pada waktu dua orang itu bertanding dengan tangan kosong, berkali-kali Cian Lin menahan seruan kagum melihat betapa pemuda itu bukan saja dapat menandingi gurunya, bahkan mampu mendesak dan bahkan pada gebrakan terakhir gurunya itu nyaris kalah! Akan tetapi, setelah kini gurunya menggunakan tongkatnya, dia melihat betapa Thian Sin terdesak hebat dan sinar pedang perak itu semakin lama menjadi semakin kecil dan suram, didesak dan dihimpit oleh sinar tongkat di tangan suhu-nya yang terus terkekeh-kekeh dengan senang.

Dia sudah mengenal gurunya, dan mengenal kekejaman hati gurunya yang tak mengenal ampun itu. Tentu saja dia merasa amat khawatir akan keselamatan Thian Sin. Dia belum ingin kehilangan pemuda yang amat menyenangkan hatinya itu.

Melihat betapa gurunya tertawa-tawa dan mendesak terus, bahkan sudah beberapa kali dia melihat ujung tongkat gurunya itu menghajar pangkal lengan kiri serta paha kanan kekasihnya, Cian Ling tidak mampu lagi menahan hatinya.

“Suhu, jangan celakai dia…!”

“Ha-ha-ha-ha, dia belum kalah, heh-heh-heh, bukankah begitu, orang muda?” Kakek itu mengejek.

Akan tetapi dia sungguh kecelik kalau mengira bahwa Thian Sin mengaku kalah. Pemuda ini memang telah terkena beberapa kali pukulan, akan tetapi dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya kebal dan hanya terasa kulit dagingnya saja memar, akan tetapi tidak sampai menderita luka parah sehingga dia masih terus bisa melakukan perlawanan tanpa pernah mengendur sedikit pun juga. Mendengar pertanyaan yang mengandung ejekan itu, dia menahan kemarahannya.

“Aku memang belum kalah, locianpwe!” katanya.

“Ha-ha-ha-ha, agaknya kalau belum mampus engkau tidak akan merasa kalah!” Kakek itu memutar tongkatnya lebih keras dan Thian Sin terkejut bukan main karena tanpa dapat dihindarkannya lagi, dadanya kena ditotok atau didorong oleh tongkat itu yang bergerak secara aneh sekali.

“Dukkk…!”

Dia tidak terluka parah karena tenaga Thian-te Sin-ciang melindungi dirinya. Akan tetapi guncangan oleh totokan yang amat keras itu membuat napasnya seperti terhenti sehingga dia terpelanting.

“Thian Sin…!” Cian Ling berteriak, akan tetapi pemuda itu sudah bangkit kembali.

Thian Sin maklum bahwa kalau dia hanya menggunakan ilmu-ilmunya yang biasa, maka dia tidak akan mampu menang. Teringatlah dia akan ilmu peninggalan ayah kandungnya. Tidak percuma selama ini, terutama ketika berada di rumah Pak-san-kui, dia mempelajari ilmu ayahnya itu dengan tekun, terutama sekali gerakan dari Ilmu Hok-te Sin-kun.

Kini, begitu melihat kakek itu sambil tertawa-tawa menubruknya kembali sambil memutar tongkat, tiba-tiba saja Thian Sin mengeluarkan pekik melengking dan tahu-tahu tubuhnya telah berjungkir balik! Dengan gerakan yang aneh sepasang kakinya menendang-nendang menyambut tongkat, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar, dan tangan kanan yang memegang pedang menggerakkan pedang membabat kaki lawan. Dia hanya menggunakan kepala saja untuk menunjang tubuhnya yang sudah berjungkir balik.

“Ehh…?” Kakek itu terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkatnya bertemu dua buah ‘tongkat’ lain berupa kaki pemuda itu dan merasa ada sambaran angin dahsyat yang menyerang dari bawah. Dia cepat meloncat, akan tetapi tak sempat mengelak dari hantaman tangan kiri Thian Sin.

Pemuda itu tadi mencengkeram, akan tetapi pada saat melihat lawan meloncat, lalu cepat mengubah cengkeramannya itu menjadi pukulan dengan tenaga Hok-liong Sin-ciang yang dahsyat.

“Dessssss…!”

Perut kakek itu terkena pukulan. Memang kakek itu cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi perut, akan tetapi tenaga Hok-liong Sin-ciang itu adalah tenaga mukjijat maka tubuhnya terlempar dan terbanting roboh dengan keras sekali!

“Heiiiii…!” Saking kagetnya kakek itu berseru heran.

Akan tetapi saat dia bangkit berdiri, mukanya langsung menjadi merah saking marah dan malunya. Dia sudah terpukul roboh! Dan dia pun pernah mendengar akan ilmu-ilmu aneh dari Pangeran Ceng Han Houw, maka dia menduga bahwa ilmu jungkir balik tadi tentulah ilmu ayah pemuda itu.

“Itulah jurus peninggalan ayah kandungku, locianpwe!” Thian Sin berkata dalam keadaan tubuhnya masih berjungkir balik, merasa gembira bahwa jurus ilmu-ilmu silat peninggalan ayahnya demikian ampuhnya sehingga dapat membuat kakek tangguh itu roboh.

“Aku belum kalah!” teriak See-thian-ong dan dia pun sudah menerjang kembali, kemudian disambungnya dengan kata-kata yang penuh getaran aneh, “Berjungkir balik seperti itu tentu membuat kepalamu pening!”

Tongkat itu telah digerakkan lagi dan kini kakek itu menyerang dengan hati-hati. Thian Sin menyambut dengan kedua kakinya dan mulailah dia melakukan ilmu silat aneh dari ayah kandungnya. Akan tetapi tiba-tiba saja kepalanya terasa pening bukan kepalang. Benarlah kata-kata kakek itu tadi, berjungkir balik seperti itu membuat kepalanya terasa pening!

Akan tetapi, dia segera teringat bahwa tidak biasa dia merasa pening apa bila memainkan Ilmu Hok-te Sin-ciang, sehingga tahulah dia bahwa kepeningan itu datang dari pengaruh ucapan kakek itu. Sebagai anak angkat sekaligus murid seorang sakti seperti Pendekar Lembah Naga, tentu saja Thian Sin sudah pernah digembleng oleh ayah angkatnya itu tentang bagaimana harus menghadapi kekuatan yang tidak wajar.

Cepat dia mengerahkan khikang-nya lantas mengeluarkan suara melengking dan segera kepeningan kepalanya itu menjadi lenyap dan dia pun dapat menyambut serangan lawan dengan baiknya, bahkan dia dapat membalas dengan serangan dari atas menggunakan dua kakinya, dibantu oleh kedua tangannya dari bawah.

Kembali kakek itu merasa terkejut. Dia dapat merasakan getaran tenaga khikang dalam lengkingan suara pemuda itu yang membuyarkan pengaruh sihirnya terhadap pemuda itu, dan kini dia kembali kewalahan menghadapi ilmu jungkir balik yang aneh itu.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara aneh seperti orang membaca doa atau mantera, sehingga dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian Sin ketika melihat betapa tubuh lawannya itu perlahan-lahan lenyap! Mula-mula nampak suram-suram lalu semakin lama bayangan kakek itu menjadi semakin tipis. Sukar baginya untuk melawan bayangan yang hampir tidak nampak ini dan terpaksa dia meloncat lalu berdiri di atas kedua kakinya lagi sambil memutar pedangnya. Akan tetapi, kini bayangan lawan itu sudah tidak nampak lagi walau pun gerakannya masih terasa dan tertangkap oleh pendengarannya.

Thian Sin kaget dan berusaha mengerahkan khikang sambil membentak. Namun sia-sia belaka, kakek itu betul-betul telah menghilang dan masih terus menghujani dirinya dengan serangan. Pemuda ini berusaha mengandalkan pendengaran telinganya untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja tak mungkin dia dapat melawan orang yang pandai menghilang ini, yang memiliki ilmu tongkat demikian aneh dan lihainya.

Setelah berhasil mengelak dan menangkis beberapa kali akhirnya lehernya tertotok keras sekali. Sungguh pun dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, tetap saja dia terpelanting keras dan merasa nanar. Dia cepat mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng untuk menjaga diri dan membalas pukulan lawan.

Akan tetapi tiba-tiba pundaknya tertotok dan ternyata yang menotoknya itu adalah tongkat yang diluncurkan dan karena tongkat itu tidak dipegang orang, maka tentu saja Thi-khi I-beng tidak dapat menyerap apa-apa dan jalan darah thian-hu-hiat tertotok dengan tepat dan keras, mengakibatkan tubuh pemuda itu menjadi lemas dan lumpuh sama sekali!

“Ha-ha-ha-ha-ha, akhirnya engkau terpaksa harus mengakui keunggulanku, orang muda!” Kakek itu tertawa dan kini kakek itu pun dapat nampak kembali oleh Thian Sin. Pemuda ini memandang dengan sinar mata penuh penasaran.

“Locianpwe telah menggunakan ilmu siluman!” katanya memprotes.

“Ha-ha-ha-ha, dan sekarang aku akan membuatmu menjadi siluman tanpa kepala!” kata kakek itu.

Dia segera memungut pedang Gin-hwa-kiam yang sudah terlepas dari tangan pemuda itu, agaknya bermaksud ingin memenggal kepala Thian Sin. Kakek ini melihat bahwa pemuda itu merupakan seorang lawan yang sangat berbahaya sehingga kelak dapat mengancam kedudukannya, maka dia mengambil keputusan untuk membunuhnya saja.

“Suhu, tahan…!” Cian Ling sudah menjerit dan gadis ini sudah menubruk tubuh Thian Sin, melindunginya dari ancaman gurunya. “Suhu tidak boleh membunuhnya!”

“Heh-heh-heh, siapa yang melarangku dan mengapa tidak boleh?”

“Suhu, dia datang untuk mengadu ilmu dengan suhu sebagai orang muda minta petunjuk, bukan sebagai musuh. Adu pibu batasnya hanyalah kalah atau menang, dia sudah kalah mengapa harus dibunuh? Dan ke dua, suhu tidak boleh membunuhnya karena aku cinta kepadanya!”

“Ho-ho-ha-ha-ha! Cintamu hanya sedalam kulit, dan apa susahnya mencari pemuda yang lebih ganteng dari pada dia? Aku membunuhnya bukan karena bermusuhan dengan dia, melainkan mengingat bahwa dia telah memberontak, pernah membikin kacau di Su-couw dan di Lok-yang. Apa bila aku membunuhnya, bukankah itu berarti kita akan memperoleh jasa telah membunuh seorang pemberontak?”

“Hemmm, See-thian-ong, harap locianpwe tidak bicara tentang pemberontakan! Siapakah yang memberontak! Antara locianpwe dan aku ada persamaan bukan? Memang aku telah menyiksa si busuk Phoa-taijin itu, orang macam dia mana ada harganya untuk dijadikan sekutu? Akhirnya malah hanya akan mencelakakan sekutu-sekutu saja. Locianpwe, kalau locianpwe, Pak-san-kui Locianpwe dan juga Lam-sin Locianpwe, bersama-sama dengan aku membantu kekuatan dari utara, bukankah kita merupakan persekutuan yang lebih kuat lagi? Mendiang kakekku, Raja Sabutai di utara juga memiliki pasukan yang kuat dan aku dapat mengumpulkan mereka kalau waktunya telah tiba. Akan tetapi, jangan mengira bahwa kata-kataku ini hanya untuk melindungi nyawaku. Kalau locianpwe memang mau membunuhku silakan, aku bukan orang yang takut mati.”

Sejenak kakek hitam tinggi besar itu tertegun. Kakek ini paling suka akan kegagahan dan kejujuran dan memang dia sudah kagum sekali terhadap kegagahan pemuda ini. Akan tetapi dia juga khawatir akan kegagahan yang kelak akan mengancam kedudukannya itu.

Tiba-tiba dia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Kekalahannya melawan pemuda itu terutama sekali karena pemuda itu memiliki ilmu jungkir balik tadi, ilmu yang dulu pernah didengarnya menjadi ilmu simpanannya mendiang Pangeran Ceng Han Houw.

“Ceng Thian Sin, di kalangan kang-ouw dikenal istilah balas membalas budi dan dendam mendendam. Kini nyawamu berada di tanganku, dan kalau sekali ini aku mengembalikan nyawamu, lalu apa yang dapat kau berikan kepadaku sebagai balasannya?”

Thian Sin adalah seorang pemuda yang cerdik sekali dan dia pun tahu bahwa kelemahan satu-satunya bagi para datuk ilmu silat seperti Pak-san-kui dan juga See-thian-ong ini, jika bukan kedudukan tinggi tentu juga ilmu silat. Akan tetapi dia masih pura-pura tidak tahu dan bertanya,

“Locianpwe, apakah yang bisa kuberikan kepada locianpwe? Harta milikku hanya pedang itu, dan beberapa macam ilmu silat yang telah dikalahkan olehmu.”

“Ha-ha-ha-ha, memang ilmu apa pun yang kau keluarkan, tidak mungkin engkau mampu menandingi See-thian-ong! Akan tetapi, di antara semua ilmu itu, aku tertarik sekali ketika melihat ilmumu berjungkir balik tadi. Nah, bagaimana kalau engkau memberi tahu padaku tentang ilmu jungkir balik itu sebagai pengganti nyawamu?”

Thian Sin menghela napas panjang. “Ilmu itu adalah peninggalan dari mendiang ayahku, Pangeran Ceng Han Houw, dan merupakan ilmu pusaka. Akan tetapi karena locianpwe dapat dikatakan orang sendiri, biarlah kuberikan kalau locianpwe hendak mempelajarinya. Bebaskan aku, dan kitab ilmu itu akan kupinjamkan kepada locianpwe.”

Girang sekali hati kakek itu. Dia bersikap memandang rendah ilmu itu padahal sebetulnya dia ingin sekali mempelajarinya. Dengan cepat tongkatnya bergerak lalu bagaikan seekor ular mematuk, ujung tongkat itu dua kali mengenai leher dan pundak Thian Sin sehingga pemuda itu seketika dapat bergerak kembali.

“Thian Sin, engkau sembuh kembali!” Cian Ling berkata dengan girang sambil memegang lengan pemuda itu.

“Dan engkau pun ikut bertanggung jawab, Cian Ling. Karena itu engkau pun berjasa dan engkau boleh minta upah sepuasnya dari pemuda ini, ha-ha-ha! Nah, keluarkanlah kitab itu, Thian Sin.”

Thian Sin segera mengeluarkan kitab peninggalan ayahnya itu, kitab pelajaran Ilmu Silat Hok-te Sin-kun dan menyerahkannya kepada See-thian-ong sambil berkata, “Locianpwe, kitab ini adalah tulisan ayah sendiri dan merupakan kitab pusaka bagiku maka aku hanya bisa meminjamkannya kepadamu selama tiga bulan saja. Setelah lewat tiga bulan, harap locianpwe mengembalikannya kepadaku.”

“Ha-ha-ha, tentu saja. Tidak ada ilmu yang membutuhkan waktu demikian lamanya untuk kupelajari!” katanya sambil membuka-buka kitab itu.

Thian Sin memungut pedangnya dari atas tanah dan menyarungkannya kembali, lantas mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, dibantu oleh Cian Ling.

“Apakah selama suhu mempelajari kitabnya itu dia boleh tinggal bersamaku?” Cian Ling bertanya.

Gurunya tertawa. “Tentu saja! Kini dia menjadi tamu kita dan engkau boleh melayaninya sepuasmu, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, sekali melompat kakek itu lenyap di balik pohon-pohon.

“Untung engkau selamat, Thian Sin,” Cian Ling berkata sambil merangkulnya.

Thian Sin balas merangkul dan menghela napas panjang. “Karena bantuanmu, Cian Ling. Engkau telah menolongku sehingga aku berhutang budi kepadamu, entah bagaimana aku dapat membalasmu.”

“Ihhh, masa kau tidak tahu bagaimana harus membalasnya? Asal engkau selalu bersikap manis dan mencintaku, biar harus berkorban nyawa untukmu pun aku rela, kekasihku.”

Demikianlah, dengan melalui Cian Ling akhirnya Thian Sin berhasil berhadapan dengan See-thian-ong bahkan sudah berhasil menguji kepandaian datuk itu. Dia pun tahu bahwa kalau datuk itu tidak menggunakan sihir, dia akan mampu melawan dan menandinginya, bahkan mengalahkannya. Hanya ilmu sihir datuk itulah yang sangat berbahaya dan tidak dapat dilawannya, maka jalan satu-satunya untuk dapat mengalahkan datuk dari barat ini hanyalah menghadapi dan mengalahkan sihirnya.

Semenjak hari itu, Thian Sin diajak pulang ke Si-ning oleh Cian Ling. Gadis ini tinggal di Si-ning, di mana terdapat sebuah rumah besar milik See-thian-ong, tempat di mana kakek itu tinggal bersama selir-selirnya. Dan di sisi rumah besar itu terdapat pavilyun-pavilyun kecil di mana tinggal So Cian Ling di bangunan kecil sebelah kanan sedangkan Ciang Gu Sik tinggal di bangunan sebelah kiri. Masih ada lagi beberapa orang murid See-thian-ong yang tinggal di bangunan sebelah belakang dan mereka itu menjadi murid merangkap pelayan-pelayan yang mengurus rumah gedung guru mereka.

Ciang Gu Sik, murid kepala yang sudah lama jatuh cinta terhadap Cian Ling, tentu saja merasa sangat mendongkol, cemburu dan panas hatinya ketika melihat betapa pemuda putera pangeran itu menjadi tamu dan tinggal bersama dengan sumoi-nya itu. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu karena hal itu telah disetujui oleh gurunya.

So Cian Ling semakin tergila-gila terhadap Thian Sin. Selama petualangannya dengan kaum pria, yaitu semenjak dara itu dipaksa menyerahkan dirinya kepada gurunya, dan kemudian, dengan watak yang terbentuk oleh pendidikan gurunya dia menjadi tidak peduli akan urusan susila dan mendekati pria mana saja yang dikehendakinya, baru sekali ini dia benar-benar jatuh cinta! Bukan cinta nafsu birahi belaka, melainkan sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Thian Sin dan timbul keinginan hatinya untuk selamanya tidak akan berpisah lagi dari pemuda itu.

Oleh karena inilah maka semua permintaan Thian Sin dilaksanakannya dengan hati penuh kerelaan dan kesetiaan. Juga, ketika Thian Sin bertanya bagaimana dia bisa menghadapi ilmu sihir dari See-thian-ong dapat ‘menghliang’ itu, Cian Ling lalu berusaha sedapatnya untuk memecahkan rahasia gurunya.

Dia sendiri memang sudah pernah mempelajari ilmu sihir dari gurunya. Akan tetapi ilmu sihirnya itu hanya terbatas pada mempengaruhi pikiran orang saja. Dengan ilmu sihirnya ini, Cian Ling dapat menundukkan laki-laki yang berani menolaknya, dan membuat lelaki itu bertekuk lutut dan jatuh cinta padanya.

Akan tetapi ilmu sihir untuk mempengaruhi pikiran orang lain ini pasti akan terbentur batu pada waktu berhadapan dengan orang yang kuat batinnya. Buktinya, semua ilmu sihir dari See-thian-ong yang bersifat untuk mempengaruhi pikiran orang lain dan bisa membalikkan pandangan atau pendengaran orang lain melalui pikiran, dapat dibuyarkan oleh Thian Sin melalui pengerahan khikang-nya.

Akan tetapi, ilmu sihir yang membuat dirinya lenyap dari pandang mata lawan itu berbeda lagi dan Cian Ling sendiri belum pernah mempelajarinya. Menurut suhu-nya, ilmu itu tidak mudah dimiliki orang, melainkan baru dapat dimiliki melalui pertapaan bertahun-tahun dan melalui pantangan-pantangan yang sangat berat. Ilmu itu termasuk ilmu hitam yang dekat dengan kekuatan-kekuatan gaib alam halus atau dengan lain kata-kata ilmu bantuan roh atau setan.

Ketika Thian Sin minta kepadanya agar gadis itu suka memberi tahu kepadanya tentang rahasia ilmu menghilang dari See-thian-ong itu, pada mulanya Cian Ling menjadi bingung sekali. “Kekasihku, sungguh mati aku sendiri belum pernah mempelajari ilmu itu. Ilmu itu terlalu jahat dan terlalu sulit dan cara memperoleh ilmu itu amat mengerikan, di antaranya bahkan harus tidur satu peti dengan mayat. Mana aku berani mempelajarinya? Maka aku tidak tahu bagaimana caranya melawan ilmu itu.”

Thian Sin kecewa sekali dan dengan sikap marah dia menjawab, “Cian Ling, kalau benar engkau cinta padaku, engkau harus dapat memecahkan rahasia ilmu itu. Aku penasaran sudah dikalahkan suhu-mu hanya karena ilmu itu, maka aku harus dapat menghadapi dan menandinginya. Apa bila engkau tidak dapat memecahkan rahasia ilmu itu kepadaku, apa artinya aku dekat denganmu?”

Karena takut kehilangan cinta pemuda itu, Cian Ling minta waktu tiga hari dan pergilah gadis ini menemui gurunya. Dengan segala kepandaiannya merayu, Cian Ling mendekati gurunya. Mula-mula See-thian-ong mentertawakannya.

“Heh-heh-heh, apa artinya ini, muridku yang manis? Bukankah engkau mempunyai putera pangeran itu untuk bersenang-senang? Mengapa tiba-tiba engkau mendekati aku Si Tua Bangka?”

Cian Ling cepat merangkul leher kakek itu. “Aihh, jangan berkata begitu, suhu. Bukankah sebelum aku berdekatan dengan pria mana pun juga, suhu yang merupakan pria pertama di dalam hidupku? Suhu merupakan suhu-ku, orang tuaku, juga cinta pertamaku. Terlalu lama dengan pemuda itu membuat aku bosan, dan kini aku sudah rindu sekali kepadamu, suhu.”

Dengan sangat pandainya, gadis yang muda ini akhirnya membuat datuk itu menyerah ke dalam gelora nafsu yang membuatnya menjadi buta, tidak dapat membedakan lagi mana yang sungguh-sungguh dan mana yang palsu. Lantas dengan sangat cerdiknya, sesudah merayu gurunya selama dua hari, membuat gurunya mabuk karena di dalam hati kecilnya memang datuk ini sangat sayang kepada Cian Ling, gadis ini baru membawa urusan ilmu menghilang itu dalam percakapan.

“Aku melihat ilmu menghliang dari suhu itu amat berguna dan hebat. Ahh, kalau saja aku dapat memiliki ilmu itu… betapa senangnya,” kata Cian Ling ketika mereka sedang rebah berdampingan di atas pembaringan dan Cian Ling membelai-belai rambut suhu-nya yang panjang dan sudah bercampur uban itu.

“Heh-heh-heh, bukankah telah pernah kukatakan bahwa untuk mempelajarinya amat sulit dan juga memakan waktu lama? Untuk apa ilmu itu bagimu? Ilmu yang kuajarkan padamu sudah cukup.”

“Akan tetapi, melihat betapa suhu baru dapat menundukkan putera pangeran itu sesudah menghilang, terasa olehku betapa pentingnya menguasai ilmu itu.”

“Ha-ha-ha, siapa bilang bahwa hanya dengan ilmu itu saja aku baru dapat mengalahkan dia? Hanya karena dia memiliki peninggalan ilmu dari ayahnya, ilmu jungkir balik bernama Hok-te Sin-kun itu sajalah yang membuat dia lihai. Akan tetapi Ilmu Hok-te Sin-kun sudah mulai dapat kukuasai, maka tanpa ilmu menghilang sekali pun sekarang dengan mudah dia akan dapat kutundukkan!”

“Tapi… tapi aku ingin sekali mempunyai ilmu menghilang itu, suhu!”

“Untuk apa?”

“Bayangkan saja alangkah senangnya. Dengan ilmu itu aku akan dapat memasuki rumah orang tanpa diketahui, dan memasuki kamar-kamar para pengantin baru lalu menyaksikan pemandangan yang amat bagus tanpa diketahui orang.”

Kata-kata gadis ini bagi orang biasa tentu akan dianggap cabul dan menunjukkan betapa hati gadis itu penuh dengan kecabulan. Akan tetapi tidak demikian anggapan orang-orang di golongan sesat itu. Kakek itu tertawa bergelak, merasa senang sekali.

“Ha-ha-ha, sungguh jalan pikiranmu sama benar dengan jalan pikiranku. Dulu, pada saat aku baru saja berhasil memiliki ilmu itu, aku pun suka sekali memasuki kamar pengantin baru dan menikmati pemandangan dari apa yang mereka lakukan, dan kalau aku tertarik, aku lalu menggantikan si pengantin pria setelah membuat dia tidak berdaya. Ha-ha-ha-ha, engkau memang cocok dan berjodoh menjadi muridku. Akan tetapi, sungguh tidak mudah mempelajari ilmu itu. Mana mungkin engkau sanggup bertahan untuk bertapa selama tiga tahun, menjauhi segala kesenangan, menjauhi pria?”

“Suhu, apabila aku tidak dapat mempelajari, setidaknya aku harus bisa menghadapi ilmu itu. Bagaimana kalau aku bertemu lawan yang memiliki ilmu menghliang seperti itu? Ihh, betapa mengerikan bila dipikir. Coba bayangkan, andai kata sekarang ini ada musuh yang memiliki ilmu itu berada di dalam kamar ini dan melihat apa yang kita lakukan!” Gadis itu bergidik.

Gurunya merangkulnya sambil tertawa. “Andai kata begitu, habis mengapa? Paling-paling orang itu akan iri hati dan ingin, ha-ha-ha-ha. Dan tidak mungkin ada orang yang mampu menggunakan ilmu itu tanpa dapat kulihat. Jangan kau khawatir, Cian Ling.”

“Tentu saja, ketika bersama suhu, aku tidak akan takut, akan tetapi aku tidak akan terus menerus berada di dekat suhu. Bagaimana jika aku sedang merantau sendirian kemudian berjumpa dengan orang yang mempunyai ilmu menghilang atau ilmu hitam lain lagi yang lihai?”

Akhirnya, sesudah mempergunakan segala macam bujuk rayu melalui kata-kata dan juga melalui tubuhnya yang muda, berhasil juga Cian Ling mendapat rahasia itu dari gurunya. Dengan hati girang dia berpisah dari suhu-nya dan segera menemui Thian Sin yang telah menanti-nantinya dengan hati mulai kesal dan curiga.

Karena dia memperoleh rahasia ilmu itu dengan mengorbankan perasaannya dan secara tidak mudah, maka Cian Ling juga menjual mahal. Dia membuat Thian Sin melayaninya dan menyenangkan hati menurut kehendaknya lebih dulu sebelum dia membuka rahasia itu. Dan ternyata rahasia itu tidaklah begitu sukar.

“Kalau engkau menghadapi ilmu menghilang atau ilmu hitam lainnya yang semacam, kau ambillah tanah kemudian sebarkan atau sambitkan tanah itu ke arah suara. Kalau terkena tanah, tentu ilmu itu akan buyar dan orangnya akan nampak lagi.”

Bukan main girangnya hati Thian Sin. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkannya kepada Cian Ling, dan dengan sabar dia menanti hingga lewat tiga bulan. Dia hendak membiarkan See-thian-ong, seperti juga Pak-san-kui, tersesat dalam mempelajari Hok-te Sin-kun dan kitab tulisan ayahnya yang sengaja membuat kitab dengan rahasia-rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Orang yang mempelajari kitab-kitab itu tanpa mengenal rahasianya dan melatih diri berdasarkan petunjuk-petunjuk di dalam kitab itu, bukan memperoleh ilmu yang hebat melainkan malah merusak dirinya sendiri!

Sesudah lewat tiga bulan, dia menemui See-thian-ong, diantarkan oleh Cian Ling. Setelah menjura dengan hormat, Thian Sin berkata. “Locianpwe, waktu tiga bulan telah lewat dan kuharap locianpwe suka mengembalikan kitab itu kepadaku.”

Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, kitabmu memang amat hebat. Akan tetapi, apakah engkau sudah bosan berada di sini? Bosan dengan muridku yang manis ini? Cian Ling, mengapa engkau memperbolehkan dia hendak pergi? Apakah engkau juga sudah bosan?”

“Suhu, aku hendak pergi merantau bersama dia!” jawab muridnya.

“Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin. Aku sudah mempelajari kitab-kitabmu, akan tetapi aku belum pernah mempraktekkannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa yang kupelajari itu bukan barang palsu, marilah kita berlatih sebentar dengan ilmu itu.”

Thian Sin mengerutkan alisnya. Tak disangkanya kakek ini demikian cerdik. Akan tetapi, dengan tenang dia menjawab, “Bagaimana jika aku tidak mau melayanimu, locianpwe?”

“Hemm, kalau engkau tidak mau melayaniku pun akan kupaksa! Engkau harus mau, dan sebelum kita bertanding lagi, jangan harap engkau akan dapat mengambil kembali kitab-kitabmu.”

“Maksud locianpwe, kitab-kitabku itu akan dijadikan semacam taruhan? Bagaimana kalau aku menang?”

“Ha-ha-ha, kau menang?” Pertanyaan ini kedengaran lucu sekali oleh datuk itu. Sebelum dia mempelajari kitab-kitab milik pemuda itu, Thian Sin sudah dapat dikalahkannya, mana mungkin sekarang dapat menang? “Apa bila kau menang, maka tentu saja engkau boleh membawa kitab-kitabmu dan juga engkau boleh membawa pergi Cian Ling.”

“Dan kalau aku kalah?” Thian Sin bertanya.

“Jika kau kalah, engkau tidak boleh pergi lagi, harus mau menjadi pembantuku, ha-ha-ha! Senang punya murid putera mendiang Ceng Han Houw!”

Ucapan itu terdengar sebagai hinaan terhadap mendiang ayahnya, maka muka Thian Sin berubah merah. “Locianpwe, karena pertandingan antara kita dulu terjadi di tempat sunyi itu, maka sekarang aku menantang locianpwe untuk melakukan pertandingan di tempat itu lagi. Tentu saja kalau locianpwe berani! Dan aku akan menanti di sana sekarang juga!”

Sesudah berkata demikian, Thian Sin berlari keluar dari tempat itu untuk pergi ke tengah hutan, di padang rumput yang indah dan sunyi itu. Cian Ling segera mengejarnya sambil memanggil-manggil namanya.

Sesudah kedua orang muda itu pergi, See-thian-ong mengerutkan alisnya. Tidak senang hatinya menerima tantangan pemuda itu. Dan hatinya lebih tak senang lagi ketika melihat betapa muridnya itu agaknya benar-benar jatuh cinta kepada Thian Sin.

Tidak mengapa baginya apa bila muridnya itu sekali waktu bermain cinta dengan pria-pria lain. Akan tetapi dia pun tak ingin kehilangan Cian Ling untuk selamanya karena selain dia sangat sayang kepada muridnya yang kadang-kadang juga menjadi kekasihnya itu, juga Cian Ling merupakan seorang pembantu yang sangat boleh diandalkan, bahkan lebih lihai dari pada murid kepala di situ, yaitu Ciang Gu Sik.

“Gu Sik…!” Tiba-tiba kakek itu berseru nyaring.

Muridnya yang setia itu segera berlari masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Teecu berada di sini, suhu.”

“Gu Sik, tahukah kau bahwa putera pangeran itu menantangku dan kalau menang dia akan membawa kembali kitab-kitabnya dan juga sumoi-mu akan ikut pergi bersamanya?”

Pria muda berwajah pucat itu menghela napas panjang. “Suhu, sumoi masih terlalu muda sehingga dia sangat lemah dan mudah sekali dihanyutkan oleh perasaannya, harap suhu suka memaafkannya.”

“Ha, engkau selalu membela sumoi-mu.”

“Memang teecu sangat mencintanya dan teecu lebih menghargai sumoi dari pada nyawa teecu sendiri.”

“Bukankah itu juga suatu kebodohan?”

“Memang, tapi teecu tidak berdaya…”

“Sudahlah, memang murid-muridku semua lemah! Sekarang, kumpulkan semua sute-mu, juga cepat undang para tokoh silat di kota ini dan sekitarnya untuk datang ke hutan dekat telaga, berkumpul di padang rumput tengah. Pertandingan sekali ini harus disaksikan oleh banyak orang agar mereka semua melihat bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw yang terkenal itu dapat kutundukkan. Dan dia telah berjanji kalau kalah maka dia akan menjadi pembantuku!”

Ciang Gu Sik mengerutkan alisnya. Kalau jadi pembantu, berarti pemuda itu akan terus berada di situ, dan ini berarti bahwa dia akan kehilangan sumoi-nya!

“Suhu, kalau dia kalah, bukankah sebaiknya kalau dia dibinasakan saja? Ingat, suhu, jika memelihara macan amatlah berbahaya. Masih kecil dan lemah memang menyenangkan, akan tetapi kalau kelak sudah besar dan kuat, bisa berbahaya bagi yang memeliharanya.”

“Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu. Kita lihat saja bagaimana baiknya nanti. Bagiku, dia dibunuh atau tidak bukan soal lagi. Yang penting sekarang ini, mengalahkan dia di depan banyak orang.”

“Baik, suhu. Teecu akan mengumpulkan kawan-kawan.” Dan pemuda bermuka pucat itu lalu pergi dengan cepat untuk melaksanakan perintah gurunya.

Sementara itu, Thian Sin sudah siap berada di padang rumput di tengah hutan, di mana untuk pertama kalinya dia bertemu dan bertanding dengan See-thian-ong dan dikalahkan kakek itu dengan ilmu sihirnya. Cian Ling menyusulnya dan setelah tiba di tempat itu, dia berkata dengan suara khawatir,

“Thian Sin, engkau terlalu ceroboh. Kenapa engkau tidak mau berunding dulu denganku? Engkau menantang suhu dan membikin suhu marah. Berbahaya sekali, apa lagi sesudah suhu mempelajari kitab-kitabmu, berarti dia sudah mengenal ilmu-ilmumu yang paling kau andalkan.”

Thian Sin tersenyum tenang. “Lebih baik engkau mengkhawatirkan suhu-mu, Cian Ling. Sekali ini, dia tidak akan dapat menangkan aku!”

“Tapi, sungguh amat sulit untuk menangkan suhu, dan kalau kau kalah… sekali ini belum tentu aku akan dapat menolongmu…”

“Kalau sampai aku kalah dan dia membunuhku, aku tidak akan penasaran lagi, Cian Ling. Engkau sudah cukup banyak membantuku.”

“Dan kalau engkau menang?”

“Aku akan meninggalkan tempal ini!”

“Dan engkau akan mengajak aku, bukan?”

Thian Sin menggeleng kepalanya. “Aku akan pergi sendiri, Cian Ling. Persahabatan kita sampai di sini saja. Kelak mungkin sekali kita akan bertemu lagi.”

“Tetapi… aku… aku tidak mau berpisah darimu, Thian Sin… ahhh, aku akan merana, aku akan merindukanmu, aku cinta padamu…”

Thian Sin menggeleng kepalanya dan tersenyum. “Cian Ling, ingatlah bahwa hubungan di antara kita hanya sebagai sahabat, sama sekali tidak pernah ada janji cinta di antara kita dan tidak ada janji bahwa hubungan antara kita ini akan berkelanjutan. Aku mempunyai banyak tugas yang belum kuselesaikan, aku harus pergi, sendirian saja.”

Wajah Cian Ling berubah agak pucat. “Aku… aku akan merasa kehilangan…” Hampir dia menangis.

Sejak kecil gadis ini hidup di kalangan golongan sesat dan belum pernah dia merasa jatuh cinta kepada seorang pria. Hubungannya dengan para pria sebelum dia bertemu dengan Thian Sin hanyalah hubungan jasmani yang tidak pernah menyentuh hatinya. Akan tetapi, hubungannya dengan Thian Sin ini berbeda sama sekali. Bukan hanya hubungan jasmani yang mencari kepuasan belaka, melainkan lebih mendalam, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan pemuda itu.

Thian Sin tersenyum ramah padanya. Bagaimana pun juga, gadis ini sudah berjasa besar kepadanya. Memberinya kenikmatan dan mengajarnya tentang kemesraan, bahkan telah menyelamatkan nyawanya ketika dia terancam maut di tangan See-thian-ong, kemudian bahkan membantunya menemukan kunci kelemahan ilmu sihir kakek itu.

Bagaimana pun juga, dia akan selalu menganggap gadis itu sebagai seorang sahabat yang baik, seorang penolong. Akan tetapi tidak mungkin dia menerima gadis ini sebagai seorang kekasih yang selamanya akan mendampinginya. Permainan cinta itu, bagaimana pun juga, akan membosankan.

“Tak ada pertemuan tanpa berakhir dengan perpisahan, Cian Ling. Jalan hidup kita saling bersilang, akan tetapi kelak kita tentu akan dapat saling bertemu kembali. Aku akan pergi meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan seorang diri saja, akan tetapi kelak kita pasti akan saling berjumpa kembali, karena bagaimana pun juga, aku tidak akan pernah dapat melupakanmu, Cian Ling.”

Sebelum gadis itu menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara orang banyak datang dari luar hutan lantas bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, mengurung tempat itu. Melihat bahwa yang berdatangan itu adalah para pembantu serta murid-murid suhu-nya, juga dia melihat bahwa di antara mereka banyak orang-orang kang-ouw dari Si-ning dan sekitarnya, Cian Ling terkejut bukan main. Permainan apa yang akan dilakukan suhu-nya ini, mendatangkan semua pembantu dan kenalan?

“Hati-hati… mereka adalah orang-orangnya suhu…,” Cian Ling berbisik.

Dan tidak lama kemudian muncullah See-thian-ong! Dia nampak gagah perkasa dengan pakaiannya yang longgar dan sederhana. Rambutnya yang penjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pita kuning. Wajahnya yang hitam mengkilat itu berseri-seri dan kedua matanya yang lebar dan bersinar tajam itu nampak gembira.

Memang hatinya gembira sekali, karena dia melihat betapa banyak orang kang-ouw yang berdatangan di tempat itu setelah menerima berita dari muridnya. Dan dia gembira karena sebentar lagi dia akan dapat mengalahkan putera dari Pangeran Ceng Han Houw dengan disaksikan oleh banyak orang.

Kalau saja pemuda itu bukan putera Ceng Han Houw, tentu dia tidak akan mau bersusah payah mengumpulkan banyak orang saksi. Akan tetapi, mengalahkan putera pangeran itu bukanlah hal kecil, merupakan berita besar, apa lagi kalau diingat betapa pemuda putera pangeran itu memang lihai sekali, telah mewarisi banyak ilmu-ilmu tinggi dari Cin-ling-pai!

Yang ditakutinya hanyalah ilmu jungkir balik peninggalan Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi kini dia sudah menghafal dan mengenal ilmu itu. Dia tidak takut lagi bahkan merasa yakin bahwa dia akan dapat menundukkan lawan jika pemuda itu mengandalkan ilmu-ilmu dari kitab yang telah dipelajarinya selama tiga bulan.

Begitu melihat kakek raksasa itu, Thian Sin lalu melangkah maju. Baginya, berkumpulnya banyak orang itu tidak menimbulkan rasa gentar, karena dia merasa yakin bahwa seorang datuk yang berkedudukan tinggi dan mempunyai kesaktian seperti See-thian-ong itu tidak mungkin sudi mengandalkan pengeroyokan untuk menghadapi lawan.

Malah mungkin ada untungnya baginya, pikir Thian Sin. Paling tidak, oleh karena banyak orang yang menyaksikan, kakek yang banyak akalnya itu tentu akan merasa malu untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Dengan suara lantang dia menyambut kedatangan kakek itu dengan kata-kata yang masih cukup sopan dan halus, namun penuh tantangan.

“Locianpwe See-thian-ong sudah menepati janji! Tiga bulan lewatlah sudah dan sekali ini aku akan mengadu ilmu melawan locianpwe, ada pun kitab-kitab yang kutitipkan kepada locianpwe menjadi taruhan! Harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu supaya dipegang oleh orang lain dan siapa yang menang berhak menerima kitab itu.”

See-thian-ong tertawa bergelak. Senang hatinya karena pemuda itu tidak menyinggung di hadapan orang-orang banyak bahwa dia telah meminjam kitab-kitab pemuda itu untuk dia pelajari.

Memang sengaja Thian Sin bersikap demikian untuk melunakkan hati kakek ini sehingga kakek ini tidak akan mempergunakan siasat curang. Membikin marah kakek ini sebelum mereka bertanding, tentu akan berbahaya karena di dalam kemarahannya mungkin kakek ini tidak akan tahu malu lagi dan mempergunakan muslihat yang dapat membahayakan dirinya.

“Ha-ha-ha-ha, kitab-kitab peninggalan Pangeran Ceng Han Houw ini ternyata tidak begitu hebat seperti yang kukira! Ceng Thian Sin, sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan sebagai murid Cin-ling-pai yang telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, engkau sekarang sedang berhadapan dengan See-thian-ong! Tiga bulan yang lalu engkau sudah kukalahkan dan kuampuni nyawamu. Kalau sekali ini engkau berani maju lagi, sama saja halnya dengan engkau mengantar nyawa secara sia-sia. Bagaimana jika engkau mengaku kalah, lalu berlutut delapan kali dan atas nama Pangeran Ceng Han Houw dan atas nama Cin-ling-pai menyatakan tunduk kepada See-thian-ong?” Kata-kata ini dikeluarkan dengan suara keras oleh kakek itu, karena memang maksudnya agar dapat terdengar oleh semua orang.

Thian Sin menerima kata-kata itu dengan hati panas, akan tetapi dia tak mau dipengaruhi kemarahan. Dia lalu memandang ke sekeliling dan melihat betapa wajah orang-orang itu tersenyum mengejek, juga melihat betapa Ciang Gu Sik telah berdiri di belakang gurunya sambil memandang kepadanya penuh kebencian, juga tersenyum mengejek. Hanya Cian Ling seorang yang berdiri dengan muka pucat, memandang padanya dengan sinar mata penuh pernyataan cinta dan juga kekhawatiran.

Thian Sin menghela napas panjang. Sayang sekali, seorang dara seperti Cian Ling telah terperosok ke dalam pecomberan seperti itu, pikirnya dan merasa heran sendiri mengapa dalam saat seperti itu dia memikirkan keadaan gadis itu.

“Locianpwe, kalah atau menang di dalam suatu pibu adalah hal yang wajar dan baru bisa dikatakan kalah atau menang apa bila sudah dibuktikan. Maka, sekarang harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu.”

“Ha-ha-ha-ha, kitab-kitab semacam ini tidak ada harganya!” Berkata demikian, kakek itu lantas menggerakkan tangannya dan tahu-tahu ada dua buah kitab yang melayang keluar dari lengan bajunya dan seperti dua ekor burung, kitab-kitab itu melayang-layang, seperti hendak mencari tempat mendarat.

Melihat ini, semua orang yang berada di situ memandang kagum, dan Thian Sin maklum bahwa peristiwa itu bukanlah ilmu sihir, namun sebuah demonstrasi kekuatan khikang dari See-thian-ong yang dengan kekuatannya yang amat besar telah menguasai kitab-kitab itu sehingga dapat dilayangkan ke mana pun dia suka.

“Harap locianpwe berikan kitab-kitab itu kepada Nona Cian Ling yang kupercaya sebagai pemegangnya,” Thian Sin berkata lagi.

Kakek itu masih tersenyum lebar dan begitu dia menudingkan telunjuknya, dua buah kitab itu melayang ke arah Cian Ling dengan kecepatan seperti dua buah peluru meriam! Cian Ling terkejut, menggunakan kedua tangan menerima kitab. Dia berhasil menangkap dua buah kitab itu, akan tetapi saking kuatnya tenaga yang mendorong kitab-kitab itu, wanita ini sampai terhuyung ke belakang.

“Ceng Thian Sin, engkau yang sudah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai serta ilmu-ilmu dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, nah, kau majulah dan keluarkan semua ilmu-ilmu itu!” kata See-thian-ong.

Kini mengertilah Cian Ling mengapa suhu-nya mengumpulkan semua orang kang-ouw di daerah itu. Kiranya suhu-nya hendak mencari saksi untuk memamerkan bahwa dia sudah mampu mengalahkan wakil dari Cin-ling-pai dan putera Pangeran Ceng Han Houw, untuk mengangkat namanya agar lebih tinggi lagi! Juga Thian Sin dapat menduga maksud hati lawannya, maka dia pun tidak mau banyak bicara lagi.

“Awas serangan!” Thian Sin membentak nyaring dan dia sudah menggerakkan tubuhnya menyerang dengan jurus dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang baru-baru ini dipelajari dari Kakek Yap Kun Liong. Dua tangannya yang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, juga ilmu yang didapatnya dari kakek sakti itu, kini mengepulkan uap putih yang mengandung kekuatan dahsyat.

Akan tetapi, kakek tinggi besar itu sudah siap dengan Ilmu Hok-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung, penuh dengan hawa yang dahsyat bukan kepalang sehingga dia tidak takut menghadapi serangan-serangan berbahaya dari lawannya.

Thian Sin hanya memainkan beberapa jurus saja dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, dan sesudah beberapa kali mereka saling serang serta mengadu lengan, Thian Sin langsung mengubah lagi caranya bersilat, kini dia mainkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang.

Juga ilmu silat yang membuat sepasang lengannya sekuat baja ini dia mainkan beberapa jurus saja, lalu disambung dengan San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun dari Cin-ling-pai. Memang pemuda ini sengaja menahan dahulu dan tidak mengeluarkan ilmu simpanannya yang telah dipelajarinya dari peninggalan ayahnya, untuk mengecoh lawan dan agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Hal ini membuat lawannya sangat penasaran. Justru ilmu-ilmu dari Pangeran Ceng Han Houw yang selama beberapa bulan ini dengan tekun dipelajarinya dari kitab-kitab itulah yang ingin dia lawan dan dia kalahkan.

“Ceng Thian Sin, mana itu ilmu-ilmu yang tersohor dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw? Keluarkanlah, aku tidak takut, ha-ha-ha!”

Thian Sin memang juga sudah menanti saat ini. Begitu lawannya menantang, dia segera mengeluarkan pekik melengking kemudian tiba-tiba saja dia telah menyerang dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang yang sangat hebat, ilmu ciptaan Bu Beng Hud-couw yang diwarisinya dari ayahnya.

Melihat pemuda itu menyerangnya dengan jurus kelima dari Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menundukkan Naga), kakek itu tertawa. Dia tentu saja mengenal gerakan ini, karena itu cepat dia bersiap-siap menandinginya sebab telah tahu bagaimana caranya menghadapi jurus ilmu silat ini.

Akan tetapi, ketika dia sudah bergerak dan merasa yakin akan dapat memecahkan jurus ke lima ini sambil tersenyum mengejek, kakek itu terkejut bukan main! Jurus ini memiliki kelihaian dalam pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan yang mengarah pada lambung lawan, sedangkan gerakan kaki tangan lainnya merupakan pancingan dan hanya gertakan belaka. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya dia waspada terhadap pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan tidak terduga-duga itu, yang juga mengandung inti tenaga di dalam jurus itu.

Akan tetapi kenyataannya lain sama sekali! Memang tangan kiri pemuda itu melanjutkan serangan seperti yang terdapat di dalam petunjuk kitab Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu, akan tetapi pukulan tangan kiri pemuda ini biasa saja dan ‘kosong’, dan begitu ditangkisnya, tiba-tiba saja dia merasa datangnya hawa pukulan lain dari atas, yaitu dari tangan kanan lawan, yang datangnya berlawanan arah dengan pukulan tangan kiri, sama sekali terbalik!

Dia terkejut dan cepat dia membuang diri ke belakang, lantas bergulingan dan meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi dahi. Meski pun dia tadi dapat meloloskan diri, akan tetapi sambaran hawa pukulan dahsyat tadi menyerempet pundaknya yang merasa panas seperti terbakar api!

“Inilah ilmu peninggalan ayahku, Pangeran Ceng Han Houw!” Thian Sin membentak keras dan menyerang lagi dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang!

Akan tetapi sekarang kakek itu sudah menaruh curiga dan tidak terlampau mengandalkan pengetahuannya tentang ilmu itu. Dan memang kini nyatalah olehnya bahwa semua jurus yang dikeluarkan oleh pemuda itu sama sekali berbeda dengan yang sudah dipelajarinya, walau pun nampaknya saja sama. Hanya ada persamaan pada kulitnya, akan tetapi amat berbeda pada isinya. Seperti emas tulen dengan emas palsu. Tahulah dia bahwa dia telah mempelajari kitab palsu dan marahlah See-thian-ong. Dia sudah dipermainkan dan ditipu oleh pemuda ini!

Betapa pun juga, dia merasa sangat penasaran. Pada saat Thian Sin mengubah ilmunya dengan berjungkir balik, yaitu mainkan ilmu silat sakti Hok-te Sin-kun, See-thian-ong yang ingin memamerkan kepandaian kepada semua orang bahwa dia pun dapat mainkan ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw, juga segera berjungkir balik untuk mengimbangi permainan lawan.

Akan tetapi kembali dia kecelik, dan sesudah mereka berputar-putar saling serang sampai belasan jurus, See-thian-ong selalu bertemu dengan kenyataan bahwa ilmu berjungkir balik yang dipelajarinya ini pun kosong! Dan kesombongannya untuk memandang rendah lawan ini hampir saja merenggut nyawa datuk dari barat ini!

Pendekar Sadis Jilid 20

PADA waktu Thian Sin melakukan serangan dengan kaki kanannya yang seperti sebatang cangkul itu menendang dari atas ke arah pusarnya, See-thian-ong yang mengenal jurus ini secara keliru membuat perhitungan. Menurut jurus yang dipelajarinya, jurus ke sebelas dari ilmu Hok-te Sin-kun ini adalah jurus yang kosong, atau jurus yang hanya indah dan kelihatan berbahaya tapi tidak mengandung isi serangan, melainkan untuk memperkokoh kedudukannya untuk melakukan jurus selanjutnya yang merupakan inti serangan.

Maka dia pun tak begitu memperhatikan, melainkan menanti datangnya jurus berikutnya, hanya berusaha untuk mendahului lawan, karena itu dia mengira bahwa saat inilah yang paling baik untuk mendahului lawan.

Maka, begitu jurus ke sebelas mulai digerakkan oleh Thian Sin dengan menendangkan kaki kanan ke pusar, kakek itu menggereng dan membiarkan saja kaki lawan melayang, dan tangan kanannya lalu mencengkeram ke depan, ke arah tenggorokan lawan, ada pun tangan kirinya menahan tubuh dan kaki kirinya juga menendang ke arah anggota rahasia lawan. Sungguh serangan yang amat berbahaya!

Akan tetapi kakek itu lalu berseru kaget. Kiranya tendangan ke arah pusar yang menurut pelajaran hanya kosong itu, kini berubah menjadi tendangan menotok ke arah pundaknya di mana terdapat jalan darah kin-ceng-hiat pada pundak kiri! Dan untuk menangkis tidak mungkin lagi karena dia sendiri sedang melakukan serangan. Untuk mengelak lebih tidak mungkin lagi, sedangkan serangan lawan itu lebih dahulu datangnya dari pada serangan sendiri. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang. Dari perutnya keluar suara kok-kok-kok dan tubuhnya seketika menggembung.

“Desss…!”

Jalan darah pada pundaknya terlindung oleh Hoa-mo-kang sehingga tak sampai tertotok, akan tetapi gerakan ujung kaki Thian Sin mengandung tenaga mukjijat dari sinkang yang didapatnya dari latihan berjungkir-balik, maka tubuh kakek yang menggembung itu segera terlempar sampai lima meter dan terbanting lalu bergulingan seperti sebuah bola besar!

Maka terkejutlah semua orang yang hadir di sana! Merupakan berita aneh kalau sampai See-thian-ong dikalahkan orang, dan melihat tubuh datuk itu terlempar, terbanting lantas terguling-guling sungguh merupakan kenyataan yang lebih aneh pula.

Akan tetapi tidak percuma pula kakek itu disebut datuk dari barat karena dia sudah dapat meloncat bangun kembali. Mula-mula wajahnya yang berkulit hitam itu agak berkurang hitamnya karena pucat, akan tetapi segera berubah menjadi hitam sekali pada saat darah memenuhi mukanya, saking malu dan marahnya.

Tahulah dia sekarang bahwa dia benar-benar telah tertipu oleh pemuda yang kini berdiri tegak sambil tersenyum mengejek di depannya itu, dalam jarak kurang lebih enam meter karena dia tadi terpental dan terlempar.

“Bagaimana pendapatmu sekarang tentang ilmu peninggalan dari ayahku, yaitu Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia, See-thian-ong?” Sikap Thian Sin sekarang tak lagi hormat seperti tadi, melainkan penuh dengan ejekan. “Sekarang engkaulah yang harus berlutut di depan kakiku dan mengaku kalah.”

Tentu saja ucapan ini membuat kemarahan dalam benak See-thian-ong menjadi semakin berkobar. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke depan, tangannya memegang senjata yang amat diandalkannya, yaitu sebatang tongkat yang segera dimainkannya dengan Ilmu Tongkat Giam-lo Pang-hoat yang dahsyat itu.

Angin bersuitan dari segala penjuru pada saat dia menerjang dan mengamuk. Akan tetapi Thian Sin sudah cepat berjungkir balik. Dia maklum bahwa tongkat itu sangat lihai, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah menggunakan ilmu simpanannya ini. Dengan Hok-te Sin-kun dia melawan.

Terjadilah pertandingan yang sangat seru, juga amat aneh karena yang seorang melayani lawan dengan berjungkir balik. Saking cepatnya gerakan mereka, kadang kala keduanya lenyap sehingga hanya terlihat bayangan mereka saja, membuat para penonton menahan napas. Dan kadang-kadang gerakan mereka itu amat lambat dan dapat diikuti pandangan mata, namun dalam gerakan lambat itu terkandung tenaga yang dahsyat, sampai kadang-kadang terasa oleh para penonton yang berdiri menjauh.

Ilmu berjungkir balik dari Thian Sin itu memang merupakan ilmu yang amat disegani dan ditakuti See-thian-ong. Ketika mereka berdua saling bertanding pada pertemuan pertama, datuk itu sudah merasakan kehebatan ilmu ini. Kini, hatinya mula-mula besar karena dia merasa sudah dapat menguasai ilmu aneh itu. Siapa kira, yang dikuasainya hanyalah ilmu palsu. Maka sekrang kembali dia harus menghadapi ilmu aneh yang sangat lihai itu dan akibatnya, dia kembali terdesak hebat.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya lenyap! Thian Sin sadar bahwa lawannya sudah menggunakan ilmu hitam. Para penonton yang tidak terbebas dari pengaruh ilmu hitam ini, mengeluarkan suara kaget ketika melihat kakek itu hilang begitu saja, akan tetapi gerakannya masih bisa tertangkap oleh telinga mereka.

Thian Sin hanya mengandalkan pada ketajaman telinganya untuk menghindarkan diri atau menangkis. Kedua kakinya bergerak-gerak, akan tetapi tetap saja dia terdesak.

“Bukkk!”

Sebuah pukulan tongkat mengenai punggungnya dan tubuh pemuda itu terpelanting.

“Ha-ha-ha…!” Suara See-thian-ong terdengar tertawa bergelak dan kembali tubuh Thian Sin kena hajar tongkat, kini mengenai pahanya. Thian Sin sudah memperhitungkan dan secepat kilat, tangannya yang berada di bawah sudah meraih dan mencengkeram tanah, lalu dilontarkan ke arah suara ketawa itu.

“Ahhh…!” Seketika nampaklah tubuh kakek itu dan secepat kilat Thian Sin menggerakkan tubuhnya, melakukan penyerangan dengan jurus terampuh dari Hok-te Sin-kun!

Kakek itu masih belum lenyap rasa kagetnya melihat ilmu hitamnya dipunahkan Thian Sin dan melihat gerakan jurus penyerangan itu, otomatis dia pun bergerak menangkis sesuai dengan apa yang pernah dilatihnya. Dia lupa bahwa yang dilatihnya itu adalah ilmu palsu, maka tentu saja tangkisannya tidak tepat dan baru diketahuinya setelah terlambat.

“Dessss…!”

Pukulan tangan Thian Sin yang dilakukan dengan tubuh yang tadinya berjungkir balik lalu berputar berdiri lagi, tepat mengenai lambung kiri kakek itu. See-thian-ong berteriak keras lantas tubuhnya terbanting, dari mulutnya tersembur darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah! Akan tetapi, tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, karena dia telah meloncat berdiri lagi, tubuhnya bergoyang-goyang dan agak terhuyung.

Pada saat itu, murid utamanya, yaitu Ciang Gu Sik, sudah menerjang Thian Sin dengan mempergunakan senjata mautnya, yaitu senjata joan-pian dari emas. Serangannya diikuti pula oleh para murid See-thian-ong, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi tamu datuk itu ikut pula mengeroyok, tentu saja karena mereka ini ingin berjasa dan mengambil hati Sang Datuk. Melihat ini Thian Sin lalu tertawa dan sekali melompat, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan tempat itu.

“Thian Sin, tunggu…!” Cian Ling hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suheng-nya serta gurunya sudah bendiri di depannya menghadang.

Melihat gurunya yang memandang padanya dengan mata mendelik dan mulut berlepotan darah, Cian Ling terkejut dan ketakutan. Sementara itu, orang-orang kang-ouw tidak ada yang berani mengejar Thian Sin yang sudah berlari jauh dan tidak nampak lagi.

“Murid murtad!” See-thian-ong membentak marah sekali.

“Suhu…!” Cian Ling berkata dengan mata terbelalak ketakutan pada saat melihat gurunya melangkah maju mendekatinya.

“Plakkk!”

Sebuah tamparan yang keras dari tangan kiri See-thian-ong menyambar pipi kanan dara itu, membuatnya terpelanting keras.

“Engkau pengkhianat! Engkau sudah membuka rahasiaku kepadanya, ya?” See-thian-ong membentak marah. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membocorkan rahasiaku?”

“Suhu, aku… aku cinta padanya…”

“Tidak peduli engkau cinta padanya tapi engkau sudah membocorkan rahasiaku, engkau sudah mengkhianatiku, maka engkau tidak layak hidup lagi!”

See-thian-ong melangkah maju menghampiri murid yang kadang kala menjadi kekasihnya itu. Cian Ling berlutut sambil mengangkat muka, memandang ketakutan, ujung bibirnya pecah berdarah bekas tamparan tadi, rambutnya kusut dan pakaiannya kotor.

“Mampuslah, murid pengkhianat!” See-thian-ong memukul dengan tongkatnya.

“Tranggg…!”

Cian Ling menangkis dengan pedangnya yang bersinar putih! Sikap melawan ini sungguh luar biasa. Di kalangan kang-ouw, kiranya jarang ada murid berani melawan gurunya, apa lagi melawan dengan senjata.

Akan tetapi See-thian-ong adalah seorang datuk kaum sesat dan di dalam golongan kaum sesat ini memang tak berlaku sopan santun dan tata tertib, sehingga perlawanan seorang murid terhadap gurunya pun bukanlah hal aneh. Apa lagi kalau dipikir bahwa selain murid, wanita muda yang cantik ini pun kadang-kadang menjadi kekasih gurunya itu!

“Bagus kau melawan, jangan katakan aku yang kejam!” kata See-thian-ong dan dia pun menyerang lagi lebih hebat. Setiap serangan tongkatnya merupakan serangan maut, dan angin dahsyat menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Cian Ling yang juga melawan sekuat tenaga.

“Suhu, jangan bunuh sumoi…!” Tiba-tiba Ciang Gu Sik sudah meloncat ke depan, lantas dengan senjata ruyungnya dia pun membantu sumoi-nya, menangkis serangan gurunya yang selalu mengancam diri sumoi-nya itu.

Kini kedua orang murid itulah yang melawan guru mereka, dan meski pun kini ada Gu Sik yang membantu sumoi-nya menangkis serangan-serangan guru mereka, akan tetapi tetap saja Cian Ling terdesak hebat sehingga beberapa kali tongkat See-thian-ong hampir saja menyambar kepalanya dengan pukulan-pukulan maut.

See-thian-ong marah bukan main. Dia merasa sakit hati karena dikhianati oleh muridnya sendiri, murid yang terkasih lagi, dan kini melihat Gu Sik membela Cian Ling mati-matian dia menjadi semakin marah. Dia tahu bahwa murid kepala ini mencintai Cian Ling, akan tetapi tidak diduganya bahwa cinta Gu Sik sampai membuat murid itu berani menentang dirinya pula.

Untuk merobohkan Gu Sik dia tidak tega. Pertama karena Gu Sik tidak bersalah apa-apa kepadanya, dan kedua, dia pun tahu bahwa Gu Sik adalah seorang murid yang setia dan boleh diandalkan bantuannya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan melihat betapa senjata ruyung dari murid kepala itu sama sekali tidak pernah balas menyerangnya, namun hanya digunakan untuk membantu Cian Ling, yaitu menyelamatkan sumoi-nya itu dari ancaman senjata See-thian-ong.

Dihadapi oleh kedua orang murid utamanya, repot juga bagi See-thian-ong untuk dapat merobohkan Cian Ling. Apa lagi karena dia tidak ingin melukai Gu Sik. Oleh karena itu, tiba-tiba dia membentak keras dan dengan sebuah tendangan yang amat cepat dan kuat dia membuat ruyung di tangan murid utama itu terlempar, lantas di lain saat tongkatnya sudah menotok pundak Cian Ling.

Gadis itu mengeluh panjang dan roboh terkulai. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya lagi, akan tetapi tiba-tiba Gu Sik menubruk sumoi-nya dan menghalangi suhu-nya.

“Suhu, lebih baik bunuh teecu lebih dahulu!” kata Gu Sik dengan sikap berani, melindungi sumoi-nya.

“Hemm, Gu Sik, engkau hendak menentang suhu-mu pula? Hendak membela sumoi-mu yang menjadi pengkhianat?”

“Suhu, teecu mencintainya…”

“Karena dia cantik dan muda?”

“Tidak, karena memang teecu mencintainya dan teecu siap membelanya dengan nyawa.”

“Jika begitu, aku akan mengubah hukumannya. Minggirlah dan aku perkenankan engkau mengambilnya sebagai isterimu.”

“Terima kasih, suhu!” Gu Sik berlutut.

See-thian-ong menggerakkan tongkatnya beberapa kali. Terdengar bunyi ‘krek-krek’ dan tulang sambungan pergelangan tangan dan siku kedua lengan Cian Ling patah-patah dan remuk-remuk.

Dengan demikian, biar pun dengan pengobatan kedua lengan itu akan dapat bersambung lagi tulang-tulangnya, namun untuk mempunyai ilmu kepandaian tinggi sudah tak mungkin lagi bagi Cian Ling. Sambungan siku dan pergelangan lengan merupakan bagian-bagian terpenting dalam gerakan silat.

Kalau hanya patah saja, dapat tersambung lagi dan tulang yang tersambung lagi cukup kuat. Akan tetapi, dalam keadaan remuk seperti itu dan sambungan telah terlepas, walau pun dapat sembuh, tak mungkin dapat menjadi kuat kembali.

Kini Cian Ling telah menjadi penderita cacad dan dia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu silatnya. Tentu saja, jika dibandingkan dengan wanita biasa, dia masih jauh lebih tangguh kerena dengan gerakan tubuh dan tendangan-tendangan kakinya, dia masih akan mampu mengalahkan dua tiga orang pria biasa.

Menerima hukuman seperti itu, yang sangat mengerikan bagi seorang ahli silat, Cian Ling menangis dan pingsan! Gu Sik lalu memondong tubuh sumoi-nya untuk dirawat, dan para orang-orang kang-ouw pun bubarlah, tak ada yang berani bicara, apa lagi membicarakan kekalahan datuk itu!

Hanya setelah mereka berada jauh dari tempat itu saja, mereka berani berbicara dengan suara bisik-bisik, menyatakan kekaguman dan keheranan mereka tentang pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang di hadapan mata mereka telah mengalahkan datuk dunia barat itu.

Sesudah luka-lukanya akibat hukuman suhu-nya itu sembuh oleh perawatan Gu Sik yang amat teliti, akhirnya terpaksa Cian Ling menerima keputusan See-thian-ong bahwa dia harus menjadi isteri suheng-nya itu. Dia menerimanya dengan setengah terpaksa, karena kalau dia menolak, dia pun tahu bahwa gurunya tentu tak akan mengampuninya lagi dan akan membunuhnya.

Melawan pun tiada artinya, dan melarikan diri dari suhu-nya merupakan hal yang sangat tidak mungkin. Ke mana pun dia melarikan diri, akhirnya dia tentu akan tertangkap juga. Jika saja Thian Sin mau membawanya pergi, tentu dia tidak takut menghadapi suhu-nya. Akan tetapi Thian Sin sudah meninggalkannya, berarti Thian Sin tidak mencintanya dan hal inilah yang merupakan sebab ke dua mengapa dia menerima keputusan itu.

Dan hal yang ke tiga, karena dia melihat kenyataan betapa Ciang Gu Sik, suheng-nya itu, benar-benar sangat mencintainya, bukan sekedar mencinta wajah serta tubuhnya, bukan pula sekedar cinta birahi seperti yang selama ini dia rasakan dari para pria yang pernah berdekatan dengannya, melainkan cinta yang lebih mendalam lagi.


Thian Sin melarikan diri dengan hati girang bukan main. Dia sudah berhasil mengalahkan See-thian-ong! Memang dia tadi melarikan diri, sebab dia menganggap belum tiba saatnya untuk membasmi See-thian-ong dan kaki tangannya.

Dia harus terus mempelajari segala macam ilmu, harus terus memupuk ilmu-ilmunya dan memperkuat diri. Setelah dia merasa betul-betul kuat maka barulah dia akan turun tangan dan membasmi seluruh penjahat sampai ke akar-akarnya dan sekaligus mengangkat diri menjadi jagoan atau pendekar nomor satu di dunia, melanjutkan serta memenuhi cita-cita ayah kandungnya.

Kemenangannya terhadap Pak-san-kui dan See-thian-ong hanyalah berupa kemenangan tipis, belum mutlak. Sebab itu dia harus terus menggembleng diri, terutama sekali dengan ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya yang belum dilatihnya dengan sempurna. Untuk itu dia harus mencari tempat yang sunyi, tempat keramat dan apa bila mungkin dia harus dapat berjumpa dengan guru dari ayahnya, yaitu yang disebut Bu Beng Hud-couw!

Maka, dengan hati mantap Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke Pegunungan Himalaya!


Kita tinggalkan dulu Thian Sin, pemuda berhati baja yang hendak menggembleng diri itu, dan mari kita mengikuti keadaan Ciu Lian Hong, dara remaja puteri Ciu Khai Sun dan Kui Lan itu. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, keluarga Ciu telah tertimpa mala petaka yang mengerikan. Keluarga itu terbasmi oleh pasukan pembesar yang jahat dan mengandung niat hendak memberontak. Dalam keributan itu, Lian Hong lenyap tanpa meninggalkan jejak. Apakah yang telah terjadi atas diri dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu?

Ketika terjadi keributan, Lian Hong berada di taman bersama Thian Sin. Mereka berdua terkejut dan mengamuk saat melihat betapa pasukan telah menyerbu rumah keluarga Ciu. Dan dalam keributan dan pengeroyokan ini, Thian Sin yang jauh lebih lihai itu sudah lebih dulu menerjang dan memecahkan kepungan.

Lian Hong juga mengamuk dan terpisah dari Thian Sin, akan tetapi setelah dia mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok, akhirnya dia berhasil juga mendekati depan rumah di mana tadi ayah, ibu serta keluarganya dikeroyok. Dan ketika dia tiba di tempat itu, dia melihat ayahnya, kedua ibunya, dan juga kakaknya, sudah menggeletak mandi darah dan mereka telah tewas.

“Ibuuuu…! Ayaahhh…!” Lian Hong menjerit dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi dia lari menghampiri mayat ibunya, menubruk sambil menangis dan saking hebatnya guncangan batin yang dideritanya, dara ini kemudian terguling dan pingsan di dekat mayat keluarganya.

Di antara para pengeroyok itu tiba-tiba nampak seorang pengemis muda yang usianya tak lebih dari tiga puluh tahun, bertubuh jangkung dan bermuka pucat, yang segera meloncat dan menyambar tubuh Lian Hong, mengempitnya dan membawanya lari dari situ. Melihat ini, beberapa orang pengemis lain yang ikut membantu penyerbuan itu tertawa.

“A-khun, jangan makan sendiri! Bagi-bagi untuk kami!” seorang di antara mereka berseru. Yang lain tertawa.

“Jangan khawatir!” jawab pengemis yang disebut A-khun itu dan dia terus membawa lari Lian Hong meninggalkan tempat itu.

A-khun adalah seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang turut membantu pasukan di dalam penyerbuan itu, sebab dalam usahanya berhubungan dengan para pemberontak, memang pembesar Phoa-taijin di Su-couw telah berhubungan dengan golongan hitam. Seperti kita ketahui, Bu-tek Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang diketuai oleh Lam-sin, yaitu datuk wilayah selatan. Para anggota Bu-tek Kai-pang merupakan orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan A-khun termasuk satu di antara mereka yang paling lihai.

Dengan cepat A-khun melarikan Lian Hong yang masih pingsan keluar kota, kemudian membawa dara itu masuk ke dalam sebuah kuil tua rusak yang berada di pinggir jalan. Malam itu sunyi sekali dan kuil rusak itu memang tak ada penghuninya. Tempat itu siang tadi digunakan oleh orang-orang Bu-tek Kai-pang untuk berkumpul dan bersiap-siap untuk pekerjaan penyerbuan di malam itu.

Dengan hati berdebar girang dan tegang, A-khun lalu memasuki kuil itu. Tadi dia melihat kecantikan Lian Hong dan langsung merasa tertarik sekali. Dia tahu siapa dara ini. Puteri dari keluarga yang terbasmi dan dia merasa sayang apa bila dara ini dibunuh begitu saja seperti yang diperintahkan oleh ketua mereka yang bersekutu dengan Phoa-taijin.

A-khun memang terkenal mata keranjang dan gila perempuan cantik. Karena itu, melihat kesempatan baik ini, tentu saja dia tidak mau menyia-nyiakan dan bukankah keluarga Ciu telah terbasmi semua? Nona ini pun harus dibunuh, akan tetapi sebelum itu…, dia pun menyeringai ketika merebahkan tubuh gadis itu di atas lantai di bagian belakang kuil.

Dengan tenang saja A-khun lantas membuat api dan menyalakan lilin-lilin yang berada di atas meja tua bekas meja sembahyang. Tak lama kemudian, ruangan yang gelap itu kini menjadi terang.

Dengan sepasang mata yang bersinar-sinar A-khun memandangi calon korbannya sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya, secara diam-diam memberi selamat kepada diri sendiri sebab sekali ini dia benar-benar memperoleh seorang perawan yang mulus dan cantik! Akan tetapi dia tidak ingin memperkosa wanita yang berada dalam keadaan pingsan. Maka, dengan lembut dia mengurut belakang kepala dan tengkuk Lian Hong.

Gadis itu mengeluh, merintih dan membuka mata. Begitu dia membuka mata dan menjadi silau oleh cahaya lilin, dia pun terbelalak, terkejut melihat bahwa dirinya berada di sebuah ruangan yang dindingnya tua dan retak-retak. Ketika mendengar suara di sebelah kanan, dia menengok dan melihat sebuah wajah pucat seorang pria yang berlutut di dekatnya, dia terkejut sekali dan hendak meloncat. Akan tetapi dia didahului oleh totokan jari tangan A-khun yang tepat mengenai jalan darah di kedua pundaknya dan lemaslah tubuh Lian Hong.

“Apa…siapa…?”

“Nona manis, jangan takut. Engkau kubawa ke sini untuk kuajak bersenang-senang. Kau cantik manis, aku suka padamu…”

“Keparat busuk! Engkau… engkau seorang di antara mereka yang membunuh keluarga ibu…!” Dan teringat akan keadaan keluarganya, hampir Lian Hong menjerit. Akan tetapi pada saat itu dia melihat bahaya besar mengancam dirinya, maka dia hanya memandang dengan mata terbelalak, seperti mata seekor kelinci di hadapan mulut harimau yang siap menerkamnya.

“Ha-ha-ha, benar sekali. Nona manis, aku seorang tokoh Bu-tek Kai-pang yang tersohor. Dan malam ini engkau menjadi milikku… ha-ha-ha!”

Tangan kanan pengemis itu menjangkau hendak mencengkeram dan merobek baju dari tubuh Lian Hong. Akan tetapi tangan itu berhenti di tengah jalan, tiba-tiba sudah menjadi kaku!

“Ehhh…?!” A-khun terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat, memandang kepada tangannya yang terasa nyeri dan kaku, lalu mendekatkan tangan itu ke mukanya dan dia merintih pada saat melihat bahwa pada punggung tangannya itu nampak sebatang jarum menancap. Sebatang jarum kecil merah! Celaka, pikirnya, sekali ini mampuslah aku!

“Binatang, berani engkau melanggar laranganku?” tiba-tiba terdengar suara halus merdu, suara halus merdu akan tetapi bagi telinga A-khun terdengar amat menyeramkan seperti suara Malaikat Maut sehingga tubuhnya menggigil ketika dalam keadaan masih berlutut dia memutar tubuhnya dan menghadap ke arah seorang wanita yang baru saja masuk ke ruangan itu tanpa diketahuinya.

“Pangcu… am… ampunkan… saya…” Dengan seluruh tubuh menggigil bagai orang yang sedang mendadak diserang demam, A-khun menatap dan menyembah-nyembah.

Sementara itu, Lian Hong yang masih rebah dalam keadaan tertotok memandang dengan jantung berdebar tegang dan seram. Dari tempat dia rebah, dia memperhatikan wanita itu. Seorang nenek yang berwajah menyeramkan!

Rambut di atas kepala itu lebat sekali, tapi telah putih semua, digelung agak awut-awutan di atas kepala. Kulit mukanya penuh keriput dan bopeng, bahkan sampai pada kulit leher dihias cacad bekas penyakit cacar. Selain itu, tidak nampak lagi kulit bagian tubuh lainnya karena kedua kakinya memakai sepatu boot yang tinggi dan kedua tangannya memakai sarung tangan berwarna hitam.

Pakaiannya kasar sederhana, akan tetapi tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih ramping dan padat, tanda bahwa nenek tua ini masih mempunyai kesegaran dan kekuatan tubuh. Sulit menaksir usianya, akan tetapi bila melihat rambut yang sudah putih semua dan keriput di mukanya, agaknya usianya tak akan kurang dari tujuh puluh tahun!

Hanya sepasang matanya saja yang masih amat tajam, malah bersinar mencorong bagai mata orang-orang sakti. Pada punggungnya tergantung sepasang pedang bersilang dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam dari akar yang bentuknya seperti tubuh ular.

Dari sebutan yang keluar dari mulut A-khun, Lian Hong bisa menduga bahwa tentu nenek ini merupakan ketua perkumpulan Bu-tek Kai-pang. Dia merasa semakin seram. Apa bila anak buahnya saja seorang manusia binatang semacam A-khun, apa lagi ketuanya!

Teringat akan bahaya yang mengancam dirinya, kemudian teringat pula akan bayangan mayat-mayat keluarganya, Lian Hong tidak dapat menahan keluarnya air matanya. Akan tetapi dia pasrah karena kematiannya hanya berarti bahwa dia akan berkumpul dengan keluarganya.

“Berapa lama engkau sudah menjadi anggota Bu-tek Kai-pang?” Kembali terdengar suara lembut merdu itu, dan Lian Hong bergidik ngeri melihat betapa bibir nenek itu hampir tidak bergerak ketika mengeluarkan pertanyaan itu, seolah-olah suaranya langsung keluar dari dalam mulut.

“Satu… dua… tahun…”

“Apa larangan pertama dari perkumpulan kita?”

“Berkhianat terhadap perkumpulan.”

“Dan ke dua?”

“Bicara tentang Pangcu…”

“Dan ke tiga?”

“Ke tiga… ehhh… ampunkan saya, Pangcu… saya melakukannya karena Pangcu tidak berada di sini, saya… saya tidak tahu Pangcu akan datang…”

“Apa larangan yang ke tiga?” suara merdu itu tetap mendesak, dan tubuh nenek itu masih berdiri tegak tanpa bergerak, sepasang matanya yang mencorong itu agaknya tak pernah berkedip. Mengerikan sekali.

“Larangan ke tiga… ehhh… memperkosa wanita… akan tetapi, Pangcu, bukankah wanita ini harus dibunuh juga?” A-khun mencoba untuk membela diri.

Tangan kiri nenek itu bergerak sedikit dan A-khun mengeluh ketika merasa lehernya kaku dan nyeri. Dia tahu bahwa ada jarum merah yang mengenai lehernya tanpa mampu dia elakkan.

“Seluruh anggota Bu-tek Kai-pang boleh melakukan apa saja, merampok, membunuh, akan tetapi tak seorang pun boleh memperkosa wanita. Kau tahu mengapa tidak boleh?” kembali nenek itu bertanya, suaranya terdengar makin merdu dan halus, akan tetapi bagi A-khun makin menakutkan.

“Karena… karena… Pangcu adalah seorang wanita pula…”

“Karena ibumu yang melahirkanmu juga seorang wanita, keparat! Dan tiada ampun bagi pria yang memperkosa wanita!” Kembali tangan itu bergerak.

“Pangcu, ampuuuuunnn…!” Akan tetapi itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulut A-khun, karena tubuhnya sudah terjengkang roboh dan dari antara kedua matanya terdapat tanda merah yang perlahan mengeluarkan darah hitam!

Sekarang nenek itu melangkah maju dan menghampiri Lian Hong yang masih terlentang di atas lantai dalam keadaan tertotok lemas. Sejenak dua orang wanita itu saling bertemu pandang dan karena tidak mengharap dapat hidup lagi, Lian Hong menentang pandang mata yang mencorong itu dengan berani. Orang ini adalah ketua para pengemis yang ikut membantu pasukan membunuh keluarga orang tuanya, pikirnya dan sinar matanya penuh kebencian.

“Mana pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu?” tiba-tiba suara merdu itu bertanya sehingga Lian Hong terkejut. Tak disangka-sangkanya nenek itu akan menanyakan Thian Sin, dan baru dia teringat bahwa Thian Sin tadi juga mengamuk bersamanya menghadapi pasukan.

“Aku tidak tahu!” jawabnya ketus.

“Ahhh, aku ingin sekali melawan dia. Katanya mereka berdua itu lihai, putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu…” Nenek itu berkata, kemudian kelihatan termenung.

“Kalau ada Tiong-koko, putera Pendekar Lembah Naga, sekali pukul saja dia tentu akan membunuhmu!” Lian Hong berseru penuh semangat ketika dia teringat kepada pemuda yang dikaguminya itu.

Nenek yang tadinya merenung dan menunduk itu, mengangkat muka lantas memandang kepada Lian Hong, sinar matanya bagai kilat menyambar. “Begitukah? Apamukah pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu?”

Lian Hong tahu bahwa dia menghadapi kematian, maka dia hendak mempergunakan saat terakhir itu untuk membanggakan dirinya. “Dia adalah tunanganku, calon suamiku!”

“Hemm, akan tetapi engkau harus mati bersama keluarga Ciu.”

“Siapa takut mati? Aku adalah calon mantu Pendekar Lembah Naga, kematian bukanlah apa-apa bagi seorang gagah. Nenek buruk tua bangka, jika mau bunuh, lekas bunuhlah. Biar aku menyusul orang tuaku!” Lian Hong menantang.

Tangan yang bersarung tangan hitam dan memegang tongkat itu bergerak. Tiba-tiba saja tongkat itu melayang ke depan, meluncur menuju ke arah mata Lian Hong! Dara ini sama sekali tidak berkedip, karena dia hendak menyambut maut dengan mata terbuka.

“Ceppp!”

Ujung tongkat itu amblas ke dalam lantai dan hanya berjarak satu senti saja dari pipi Lian Hong! Kiranya nenek itu hanya menggertak.

“Tidak, engkau tak akan kubunuh. Engkau terlalu pemberani, sayang kalau dibunuh. Ehh, maukah engkau menjadi muridku?”

Ditanya seperti itu, Lian Hong gelagapan dan tertegun. Baru saja terhindar dari maut dan kini tiba-tiba saja nenek sakti itu menawarkan agar dia suka menjadi muridnya. Nenek itu amat sakti, dan betapa pun juga, pembunuh orang tuanya adalah pasukan yang dipimpin oleh Phoa-taijin. Kalau dia dapat menjadi murid nenek ini dan menguasai ilmu kepandaian yang tinggi, tentu kelak dia akan dapat membalas dendam kematian orang tuanya.

Dalam keadaan seperti itu, tidak ada pilihan lain lagi bagi Lian Hong, maka dia pun cepat menjawab, “Jika locianpwe benar-benar hendak memberi petunjuk, tentu saja teecu akan senang sekali.”

Nenek itu tertawa, suara tawanya juga merdu dan sekali tangannya bergerak, ada angin menyambar ke arah tubuh Lian Hong. Dara ini terkejut, akan tetapi tiba-tiba saja dia telah dapat bergerak kembali! Dengan girang dia pun lalu berlutut di depan kaki nenek sakti itu.

“Muridku yang baik, tahukah engkau siapa aku yang menjadi gurumu ini?”

“Kalau teecu tak salah menduga, tentu locianpwe adalah yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan), betulkah?”

“Hemm, tahukah bahwa selama ini tidak ada orang yang bertemu denganku namun masih dapat terus hidup? Hanya engkau satu-satunya orang yang dapat bertemu dan berbicara dengan aku, dan bahkan menjadi muridku.”

Diam-diam Lian Hong terkejut bukan main. Orang ini sungguh sangat luar biasa, sombong bukan kepalang, agaknya seolah-olah menganggap dirinya betul-betul seorang malaikat, bukan manusia lagi. Akan tetapi dia pun bukan seorang dara yang bodoh, maka dia cepat berkata,

“Kalau begitu, sungguh teecu mempunyai keberuntungan besar dan teecu menghaturkan terima kasih kepada subo.”

“Hemm, kau kira aku menolongmu karena hendak melepas budi? Uhh, jangan salah kira, ya? Aku melakukan semua ini demi kepentinganku sendiri!”

Mendengar suara merdu itu tiba-tiba ketus, Lian Hong semakin terkejut dan heran. Akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya menganggap bahwa gurunya ini memang seorang yang memiliki watak yang aneh.

“Hayo, kau ikuti aku!” Tiba-tiba nenek itu berkata.

Ternyata dia telah mencabut tongkatnya dan sekali mencokel dengan tongkatnya ke arah punggung Lian Hong, dara ini merasa ada hawa dingin memasuki punggungnya, seperti diguyur air es, membuat dia cepat melonjak dan bangkit berdiri. Pada saat itu dia melihat gurunya telah berjalan pergi, maka dia cepat-cepat mengikutinya.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Lian Hong pada waktu melihat bahwa nenek itu membawanya kembali ke Lok-yang! Akan tetapi kekagetan ini bercampur kegirangan karena dia juga ingin melihat kembali keadaan keluarganya yang terbasmi malam itu.

Dan ternyata nenek itu memang membawanya kembali ke rumahnya! Akan tetapi, ketika itu malam telah berganti pagi dan semua mayat tak nampak lagi di situ, kecuali sisa-sisa darah yang membuat tempat itu berbau amis dan mengerikan.

Ketika tiba di dekat rumah tinggalnya, tiba-tiba nenek itu memegang lengannya dan di lain waktu tubuhnya sudah melayang naik ke atas genteng rumah salah seorang tetangganya! Lian Hong merasa kagum bukan main. Gurunya ini memang sakti dan dengan memegang lengannya bisa membawanya meloncat seperti terbang jelas menunjukkan alangkah lihai ginkang-nya.

“Lekas kau beritahukan kepada para tetanggamu bahwa engkau akan pergi ke Heng-yang di Propinsi Hu-nan agar dua orang pemuda itu dapat menyusulmu!” kata nenek itu ketika mereka berada di atas genteng rumah seorang tetangga keluarga Ciu.

Lian Hong masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurunya itu, maka dia hanya memandang bingung. “Tapi… tapi teecu ingin tahu tentang ayah ibu…” Suaranya tertahan oleh isak.

“Taati perintahku! Apa kau ingin terlihat oleh pasukan dan dibunuh juga? Hayo cepat kau turun dan katakan kepada tetanggamu seperti yang kuperintahkan tadi!” bentak nenek itu dengan lirih.

Lian Hong tidak tahu mengapa gurunya memerintahkan demikian, akan tetapi perintah ini membuat dia makin percaya kepada gurunya. Dengan perintah itu, berarti gurunya tidak bermaksud buruk, bahkan menghendaki agar dua orang pemuda itu dapat menyusulnya. Maka dia pun meloncat turun dan cepat dia menghampiri kelompok keluarga tetangganya yang berkumpul di belakang rumah.

Agaknya mereka itu masih ketakutan akan apa yang telah terjadi tadi malam, mala petaka mengerikan yang menimpa keluarga Ciu, tetangga mereka. Karena itu dapat dibayangkan betapa kaget hati suami isteri serta tiga orang anaknya itu ketika tiba-tiba mereka melihat munculnya Lian Hong dari arah belakang rumah mereka.

“Ciu-siocia…!” Tuan rumah berseru dengan muka pucat, karena dia maklum betapa akan berbahayanya bagi keluarganya kalau saja fihak tentara sampai melihat nona itu berada di tempatnya!

Sementara itu, isterinya sudah menangis tersedu-sedu melihat nona itu, merasa kasihan sekali mengingat betapa seluruh keluarga nona itu telah tewas secara mengerikan.

“Paman Ong, di manakah… ehh, jenazah mereka…?” Lian Hong menguatkan hatinya dan bertanya.

“Jenazah keluargamu telah dibawa pergi oleh pasukan, nona. Kami semua tidak berdaya, tidak ada yang berani mencampuri… maklumlah…”

Lian Hong menahan kemarahan dan kedukaannya, mengepal tinju. “Sudahlah, sekarang aku hendak minta tolong kepadamu, Paman Ong…”

“Maaf… nona, kami tidak berani…”

“Aku hanya ingin agar kalau Kanda Cia Han Tiong, engkau tahu, seorang di antara kedua pemuda tamu yang pernah tinggal di rumah kami baru-baru ini, jika dia datang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa aku pergi ke Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, bersama…”

“Cukup!” Terdengar bentakan merdu, lantas tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh Lian Hong dan lenyap dari hadapan keluarga Ong yang memandang bengong itu. Tentu saja mereka menjadi ketakutan dan mengira bahwa yang muncul tadi mungkin saja arwah dari nona Ciu, maka mereka pun langsung berlutut dan sampai lama tidak berani mengangkat muka mereka!

Sementara itu, Lian Hong sudah dibawa pergi jauh keluar dari kota Lok-yang oleh Nenek Lam-sin. Tadi, dengan menggunakan kesaktiannya yang tinggi, Nenek Lam-sin berkelebat cepat sehingga tak sampai diketahui oleh para penjaga. Setelah keluar dari pintu gerbang, mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.

Lam-sin adalah nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, sebagai datuk kaum sesat dari daerah selatan. Meski pun jarang ada orang pernah melihatnya, akan tetapi namanya sudah menggemparkan dunia kang-ouw dan di daerah selatan, tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar nama ini. Apa lagi nama ini didukung dan dijunjung tinggi pula oleh perkumpulan pengemis Bu-tek Kai-pang yang merajai dunia kang-ouw di daerah selatan.

Benarkah kini manusia sakti ini mengangkat murid kepada Lian Hong? Sebenarnya tidak demikian. Sebagai datuk golongan hitam, tentu saja tidak ada rasa kasihan di dalam hati seseorang seperti Nenek Lam-sin ini. Seperti semua datuk kaum sesat, bagi mereka yang ada hanyalah kepentingan dan keuntungan diri sendiri.

Setiap tindakan yang mereka lakukan selalu berdasarkan perhitungan untung rugi. Oleh karena itu, Lam-sin mengangkat Lian Hong sebagai murid pun hanya merupakan sebuah siasatnya untuk memancing datangnya dua orang pemuda yang baru muncul dan sudah menggemparkan dunia persilatan itu.

Dia sudah mendengar dari anak buahnya akan sepak terjang putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga, maka dia pun ingin sekali dapat bertemu dan mengadu ilmu dengan mereka. Apa lagi sesudah mendengar bahwa ada beberapa orang anak buahnya yang tewas oleh putera Pangeran Ceng Han Houw, datuk ini lalu menjadi penasaran sekali.

Dengan mengangkat dara itu sebagai murid, maka dia mengharapkan akan bisa bertemu dengan mereka. Selain itu memang ia paling benci melihat pria yang memperkosa wanita. Ini pun bukan berdasarkan keluhuran budi melainkan karena dia sendiri seorang wanita, maka dia tidak suka bahkan membenci sekali pria yang suka memperkosa wanita.

Lian Hong yang maklum bahwa dia sendiri tentu menjadi buronan pemerintah, dan karena untuk saat itu dia sendiri tidak tahu siapa yang akan dapat menolongnya dan apa yang dapat dilakukannya. Maka dia pun pasrah kepada gurunya.

Memang ada ingatan untuk mencari tunangannya, yaitu Cia Han Tiong. Akan tetapi bagai mana mungkin dia bisa mendapatkan tompat yang amat jauh itu? Dia belum pernah tahu di mana adanya Lembah Naga, yang kabarnya amat jauh di utara, bahkan lewat Tembok Besar utara. Bagaimana kalau dia tidak berhasil menemukan tempat itu?

Dan perjalanan sejauh itu, apa lagi harus melalui tempat-tempat berbahaya, kiranya tidak mungkin dapat ditempuhnya dengan selamat dan berhasil. Karena itu, jalan satu-satunya adalah pasrah kepada gurunya, Lam-sin, nenek yang sakti itu. Bila dia sudah mempelajari ilmu kesaktian dari nenek ini sehingga bekal kepandaian padanya cukup kuat, baru dia akan pergi mencari Lembah Naga, di mana tinggal pamannya, yaitu Pendekar Lembah Naga, atau juga yang menjadi calon ayah mertuanya.

Karena mempunyai cita-cita seperti ini, di sepanjang perjalanan Lian Hong bersikap taat kepada nenek itu, berusaha untuk melayani subo-nya. Akan tetapi nenek itu benar-benar seorang yang luar biasa sekali. Agaknya tidak pernah suka bertemu orang lain sehingga selama dalam perjalanan, Lam-sin memilih tempat-tempat yang sunyi dan sukar dilalui.

Kadang-kadang, apa bila melalui jurang-jurang yang amat curam, Lam-sin menggandeng tangan muridnya yang merasa ngeri dan ketakutan. Walau pun Lian Hong juga seorang dara perkasa, tetapi melakukan perjalanan melalui jurang-jurang maut seperti yang dilalui nenek itu sungguh merupakan pengalaman pertama yang menegangkan.

Dan selama dalam perjalanan itu, Nenek Lam-sin jarang sekali bicara. Kalau kemalaman, mereka tidur begitu saja di dalam hutan! Hanya ada satu hal yang sangat mengherankan hati Lian Hong akan tetapi juga menguntungkan. Biar pun nenek itu tidur di sembarang tempat, bahkan kalau malam tidurnya sambil duduk bersila, namun nenek itu sama sekali tidak jorok, bahkan selalu bersih. Kalau terkena kotoran sedikit saja lalu dicuci tangannya yang bersarung tangan hitam. Dan pakaiannya selalu diganti setiap hari!

Lian Hong juga diberi dua stel pakaiannya, sehingga gadis itu pun terpaksa mengenakan pakaian Si Nenek yang ternyata mempunyai potongan tubuh yang tidak berbeda banyak dengan dirinya. Selain ini, nenek itu ternyata sangat royal kalau makan! Setiap melewati kota, tentu Lian Hong disuruh membeli bahan-bahan masakan yang mahal-mahal seperti daging kering, ikan kering yang berkualitas tinggi dan mahal, bumbu-bumbu masak yang baik, jamur-jamur dan sayur-sayur. Semua bahan ini dipergunakan untuk dimasak dalam hutan.

Akan tetapi kalau kebetulan mereka lewat di kota pada siang atau malam hari, tak jarang Lian Hong harus mengunjungi restoran untuk membeli bermacam-macam masakan yang mahal-mahal kemudian membawanya ke tempat subo-nya menunggu di luar kota. Semua ini masih ditambah lagi dengan arak wangi! Subo-nya adalah seorang wanita yang amat pembersih, dan suka makan!

Akan tetapi, hanya itulah saja yang diketahuinya dari nenek keriputan berambut putih itu. Lam-sin jarang bicara dan karena sikapnya yang sangat dingin ini, maka Lian Hong juga tidak berani banyak bertanya.

Beberapa pekan kemudian, setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, maka sampailah mereka di kota Heng-yang. Kota ini berada di Propirisi Hu-nan di selatan, dan menjadi kota pusat perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana juga tinggal Lam-sin. Kembali Lian Hong kagum dan terheran-heran melihat betapa gurunya itu memiliki sebuah rumah yang amat mewah!

Bangunannya tidak begitu besar, hanya mempunyai lima buah kamar saja yang kosong, karena hanya sebuah kamar saja yang ditempati nenek itu. Akan tetapi rumah itu penuh dengan perabot rumah yang serba mahal dan halus buatannya, bagaikan perabot rumah istana raja saja, dengan permadani di mana-mana, dan meja kursi yang juga merupakan barang seni yang halus dan mahal, ada pun di dinding penuh tergantung lukisan-lukisan dari pelukis-pelukis kenamaan dan tulisan-tulisan indah.

Juga di mana-mana terdapat pot bunga, dengan bunga-bunga segar terawat baik yang agaknya didatangkan dari seluruh penjuru Tiongkok! Sungguh pandai sekali orang yang mengatur dan menghias rumah itu, dan kemudian sesudah Lian Hong mendengar bahwa pengaturnya adalah nenek itu sendiri, kekagumannya terhadap nenek itu bertambah.

Ketika Lam-sin mengajak Lian Hong memasuki gedung kecil mungil itu, lima orang wanita muda yang cantik-cantik menyambut mereka dengan penuh kehormatan.

“Mereka berlima ini adalah pelayan-pelayanku, Lian Hong.”

Mendengar keterangan ini, Lian Hong terkejut sekali. Mereka itu begitu muda dan cantik, dan sikap serta pakaian mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa mereka adalah pelayan.

“Ini adalah Ciu-siocia yang sudah menjadi muridku, kalian harus melayaninya baik-baik,” terdengar nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya.

Lima orang wanita muda itu segera memberi hormat kepada Lian Hong. Mereka serentak berkata dengan sikap ramah, “Selamat datang, Ciu-siocia!”

Lian Hong cepat berkata dengan senyum, “Cici berlima baik sekali, terima kasih. Sebagai murid subo, aku juga harus melayaninya, karena itu aku akan membantu pekerjaan cici berlima.”

Demiklanlah, karena sikapnya yang baik, maka lima orang pelayan yang ternyata masing-masing mempunyai kepandaian silat yang cukup tinggi sebab mendapatkan pelajaran dari Lam-sin itu merasa suka sekali kepada Lian Hong. Juga nenek Lam-sin merasa suka dan mulai mengajarkan beberapa jurus ilmu silat tinggi kepada dara itu, dan sering mengajak dara itu menemaninya berjalan-jalan keluar kota.

Cara hidup nenek itu sungguh aneh sekali. Yang mengenalnya sebagai Lam-sin hanyalah para pelayan dan juga para anggota Bu-tek Kai-pang saja agaknya. Buktinya, kalau dia pergi berjalan-jalan bersama Lian Hong, memasuki pasar atau tempat pelesiran, tidak ada orang yang tahu bahwa nenek itu adalah Lam-sin, datuk dunia selatan yang tersohor.

Nenek itu sering kali bertanya kepada Lian Hong tentang diri Ceng Thian Sin dan Cia Han Tiong sehingga diam-diam Lian Hong menjadi heran sekali.

“Apakah subo pernah bertemu dengan mereka?” tanyanya.

Nenek itu menggeleng kepalanya. “Belum, dan aku ingin sekali bertemu dengan mereka, dan mencoba kepandaian mereka. Ehh, jika menurut pendapatmu, siapa di antara putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu yang lebih lihai, Lian Hong?”

Ditanya tentang dua orang pemuda itu, Lian Hong lalu membayangkan keadaan mereka. Hatinya terharu dan timbul rindunya terhadap Han Tiong yang diam-diam sudah menarik cinta hatinya itu. “Teecu tidak tahu, subo. Mereka itu keduanya sama lihainya, keduanya menerima latihan dari Paman Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga.”

Lam-sin sudah banyak mendengar mengenai mereka berdua dari para anak buah Bu-tek Kai-pang, terutama sekali tentang putera Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya amat lihai itu. Kalau saja tak ingin bertemu dengan mereka, terutama dengan putera Pangeran Ceng, tentu dia tak akan membawa Lian Hong sebagai muridnya, melainkan dara itu telah dibunuhnya. Sepasang mata yang jeli dan mencorong dari nenek itu berkilat.

“Ya, aku ingin sekali bertemu dengan mereka, menguji kepandaian mereka!”

“Tetapi, subo… oleh karena teecu telah menjadi murid, teecu harap subo tidak memusuhi mereka. Mereka berdua adalah putera-putera dari Paman teecu sendiri… dan… dan Han Tiong koko adalah tunangan teecu.”

“Siapa yang hendak memusuhi mereka? Aku hanya ingin menguji, apakah benar mereka itu selihai yang dikabarkan orang.”

Lian Hong tidak banyak membantah lagi. Diam-diam dia merasa kagum dan juga heran melihat gurunya ini. Nenek ini kelihatan sudah tua sekali, mukanya penuh keriput ada pun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi sepasang matanya mencorong, jeli dan indah seperti mata orang muda, dan gerak-geriknya sangat gesit, tubuhnya juga amat langsing padat walau pun tertutup pakaian sederhana.

Sungguh seorang nenek yang amat aneh, yang mempunyai suara merdu, kadang-kadang dingin sekali, kadang-kadang lemah lembut dan kadang-kadang suara itu, sinar mata itu, mengandung kedukaan besar. Dan kadang-kadang dia bergidik ketika melihat sepasang mata yang mencorong itu, karena mengandung penuh kekejaman.

Akan tetapi, di samping semua itu, ia merasa yakin akan kesaktian subo-nya. Oleh sebab itu dia pun belajar dengan tekun, dengan harapan bahwa dia akan bisa mewarisi ilmu silat tinggi agar kelak dia dapat membalas kematian keluarganya. Kalau dia teringat akan ayah kandungnya dan kakaknya, maka Lian Hong tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan menangislah dia pada waktu dia tidur sendirian di dalam kamarnya.


Pada suatu hari, setelah tinggal di Heng-yang selama kurang lebih tiga bulan, Lian Hong diajak subo-nya untuk pergi berbelanja ke pasar. Memang nenek Lam-sin memiliki suatu kesukaan, yaitu makan enak yang kadang kala dimasaknya sendiri, dan untuk keperluan itu dia suka pergi berbelanja sendiri ke pasar.

Seperti biasanya, di dalam pasar ini tidak ada yang mengenal nenek yang diikuti seorang nona muda cantik jelita ini. Selama tiga bulan itu, baru satu kali saja Lian Hong melihat ada orang yang mengenal Si Nenek, yaitu ketika mereka berdua berbelanja di pasar juga.

Yang mengenal nenek itu adalah seorang lelaki gagah perkasa yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun lebih. Begitu melihat nenek itu, lelaki ini lalu menjura dengan sikap amat menghormat sambil berkata, “Maaf, tidak mengira bertemu dengan locianpwe di sini. Harap locianpwe dalam keadaan baik-baik saja.”

Dan hebatnya, nenek itu hanya mengangguk sedikit lantas melanjutkan perjalanan, sama sekali tidak mempedulikan penghormatan orang. Setelah cukup jauh, Lian Hong tak dapat menahan diri lagi dan bertanya kepada gurunya siapa gerangan lelaki tadi. Dengan sikap tak acuh, nenek itu hanya menjawab bahwa laki-laki itu adalah seorang guru silat yang paling terkenal di Shao-koan sebelah selatan dan berjuluk Kim-liong-eng (Pendekar Naga Emas)!

Diam-diam Lian Hong terkejut. Seorang guru silat paling terkenal akan tetapi bersikap demikian merendahkan diri terhadap gurunya! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa biar pun dia tidak dikenal oleh orang-orang biasa sebab memang selalu menyembunyikan diri, namun nenek itu dikenal baik oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan ditakuti sesuai dengan julukannya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan!

Pagi hari itu, Nenek Lam-sin asyik sekali memilih sayur sawi kembang yang sangat segar karena baru pagi itu masuk dari desa. Lian Hong turut memilih dan dara ini sama sekali tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di antara kumpulan banyak orang yang berbelanja di pasar, terdapat seorang pemuda yang memandang ke arah mereka dengan kedua mata terbelalak, penuh keheranan dan juga perhatian. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong!

Seperti yang telah diketahui, pemuda ini meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari tunangannya yang lenyap dalam keributan ketika rumahnya diserbu pasukan itu. Orang tuanya sendiri yang memerintahkan dia pergi menyelidiki dan mencari Lian Hong. Tentu saja Han Tiong langsung pergi ke Lok-yang untuk menyelidiki.

Dengan hati-hati dia mulai menyelidiki, akan tetapi agaknya tidak ada orang yang tahu ke mana perginya Nona Ciu Lian Hong. Yang mereka ketahui hanya bahwa keluarga Ciu itu terbasmi dan tewas oleh pasukan yang menuduh mereka itu keluarga pemberontak. Harta benda keluarga itu disita pemerintah, dan jenazah keluarga itu oleh pemerintah dikubur di kuburan para penjahat di dekat penjara!

Mendengar ini, Han Tiong merasa berduka sekali. Akan tetapi ketika secara kebetulan dia bertemu dan bertanya kepada tetangga di sebelah kanan bekas rumah keluarga Ciu yang kini tertutup itu, dengan sikap takut-takut orang she Ong itu memberi tahukan kepadanya akan pesan dari Lian Hong.

“Nona Ciu Lian Hong memang meninggalkan pesan kepada seorang kongcu bernama Cia Han Tiong…”

“Sayalah Ciu Han Tiong,” kata Han Tiong cepat.

Orang she Ong itu mengangguk-angguk. “Memang sudah kuduga, kami pernah melihat kongcu ketika menjadi tamu mereka. Nona Ciu mengatakan bahwa ia pergi ke Heng-yang di Propinsi Hu-nan.”

“Apa lagi pesannya?” Han Tiong bertanya, jantungnya berdebar girang mendengar bahwa betapa pun tunangannya itu juga belum tewas!

“Tidak ada apa-apa lagi, begitu meninggalkan pesan, dia lenyap begitu saja!” Orang she Ong itu bergidik.

Mendengar suara orang itu bergetar dan melihat sikapnya yang ketakutan, Han Tiong lalu mengerutkan alisnya. “Tapi… tapi dia masih hidup, bukan?”

Dan betapa kaget hatinya melihat orang itu menggelengkan kepala. “Tidak tahu, kongcu. Entahlah, akan tetapi setelah bicara, ia menghilang begitu saja seperti… seperti setan…”

Tentu saja hati Han Tiong terasa amat tidak enak. Akan tetapi dia pun tak percaya kalau nona itu sudah tewas dan arwahnya yang meninggalkan pesan. Tidak mungkin, sungguh pun dia sendiri merasa heran bagaimana nona itu dapat ‘menghilang’. Dia tahu bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Mungkin saja dalam kekhawatirannya ketahuan pasukan, nona itu meloncat dengan cepat dan oleh orang ini disangka menghliang.

Betapa pun juga, Lian Hong sudah meninggalkan pesan pergi ke Heng-yang. Dia harus pergi menyusul dan mencarinya! Maka tanpa banyak bicara lagi dia lantas menghaturkan terima kasih dan cepat pergi ke selatan, menuju ke kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan.

Di kota ini dia bermalam pada sebuah rumah penginapan kecil dan setelah berputar-putar selama tiga hari, akhirnya pada pagi hari itu dia melihat Lian Hong berjalan memasuki pasar bersama seorang nenek! Han Tiong adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tidak langsung menegur, melainkan membayangi dan mengamati penuh perhatian.

Dia melihat betapa sikap Lian Hong amat hormat terhadap nenek itu. Dan matanya yang tajam dapat melihat bahwa nenek itu bukanlah orang sembarangan. Seorang nenek tua yang mempunyai mata mencorong seperti itu, tubuh yang masih sangat segar dan padat, mempunyai gerakan yang demikian gesit dan memiliki wibawa besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya, tentulah bukan orang biasa saja!

Tadinya, dia menaruh curiga sesudah mendengar bahwa Lian Hong pergi ke Heng-yang. Jangan-jangan datuk dunia selatan, yaitu yang bernama Lam-sin dan katanya juga tinggal di Heng-yang, memegang peran di dalam hilangnya Lian Hong. Maka kini dia berhati-hati sekali. Siapa tahu nenek itu adalah seorang di antara anak buah Lam-sin!

Dia harus mengetahui terlebih dahulu ke mana nenek itu akan pergi bersama Lian Hong. Sementara ini, dia melihat bahwa Lian Hong tidak perlu dibela. Nona itu dalam keadaan sehat dan selamat, walau pun ada kedukaan membayang di wajahnya yang jelita.

Kalau Lian Hong sama sekali tidak tahu bahwa Han Tiong berada di dalam pasar itu dan membayangi perjalanannya bersama gurunya, sebaliknya Nenek Lam-sin telah tahu sejak tadi! Tak percuma nenek ini berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) dan menjadi datuk kaum sesat di wilayah selatan.

Ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi dan sikapnya selalu waspada sehingga begitu ada sedikit perubahan saja di sekitarnya dia sudah mengetahuinya sehingga adanya pemuda yang membayanginya itu tentu saja tidak terluput dari pengamatannya. Bahkan dengan sikap yang tidak kentara, dia sudah dapat mencuri lihat wajah pemuda itu kemudian dapat menduga bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Lembah Naga, pemuda yang sering disebut-sebut oleh muridnya, yang bernama Cia Han Tiong! Bahkan sambil berbelanja, nenek ini telah dapat mengirim isyarat rahasia kepada anak buahnya!

Jangan dikira bahwa nenek itu sama sekali tidak dikawal! Ke mana pun ia pergi, tentu ada orang-orang Bu-tek Kai-pang yang siap untuk sewaktu-waktu menerima perintah ketuanya ini. Maka tidak sukarlah bagi Nenek Lam-sin untuk memberikan perintahnya kepada anak buahnya yang mengemis di luar pasar dan segera anak buah ini sudah siap melakukan perintah yang hanya diberikan oleh nenek itu melalui gerakan-gerakan jari-jari tangan saja.

Nenek Lam-sin bersikap biasa saja. Setelah cukup berbelanja, dibantu oleh Lian Hong, ia membawa belanjaannya keluar dari pasar. Akan tetapi, nenek itu tidak menuju ke utara di mana gedungnya terletak, melainkan menuju ke barat.

“Ehh, kenapa kita melalui jalan ini, subo?” tanya Lian Hong heran.

“Kau ikut sajalah, aku ingin mengambil jalan ini,” jawab nenek itu dengan suara biasa saja sehingga Lian Hong tak mau membantah lagi, karena ia sudah mengenal watak subo-nya yang memang luar biasa itu.

Akan tetapi hati dara ini menjadl makin heran saat melihat bahwa subo-nya mengajaknya keluar kota melalui pintu gerbang, bahkan terus menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah barat kota Heng-yang!

“Subo, kenapa kita memasuki hutan?”

“Diamlah, nanti engkau akan tahu sendiri,” kata Nenek Lam-sin yang secara diam-diam terus memperhatikan bayangan Han Tiong yang masih mengikuti jauh di belakang.

Ia kagum sekali karena tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga biar pun sejak tadi membayangi mereka, muridnya tidak mengetahuinya. Ia sendiri kalau tidak waspada dan sudah melihatnya semenjak tadi, tentu tidak akan mendengar gerakan pemuda itu.

Mereka berdua melewati sebuah padang rumput di tengah hutan dan tak lama kemudian mereka mendengar bentakan-bentakan riuh rendah di belakang mereka. Lian Hong kaget sekali, akan tetapi nenek itu tersenyum dan berkata,

“Mari kita melihat apa yang terjadi di belakang itu.”

Lian Hong mengikuti gurunya kembali dan pada saat mereka tiba di padang rumput, Lian Hong melihat banyak sekali orang-orang berpakaian pengemis, yaitu para anggota Bu-tek Kai-pang yang mengurung seorang pemuda yang berdiri tegak di tengah-tengah padang rumput. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong!

Melihat pemuda ini, tentu saja Lian Hong menjadi terkejut, terheran, sekaligus juga girang bukan main. Keharuan menyelimuti hatinya dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya melepaskan keranjang terisi barang belanjaan pasar tadi kemudian dia pun telah menjerit dengan tangis,

“Tiong-koko…!” Kemudian larilah gadis ini menghampiri pemuda itu yang berdiri di tengah lapangan.

“Hong-moi…!” Han Tiong berseru kemudian menerima tubuh yang menubruknya sambil menangis tersedu-sedu itu.

“Tiong-ko… ah, Tiong-ko…!” Lian Hong menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, hatinya terasa perih dan sakit sekali, karena dia teringat akan keadaan keluarganya.

Baru sekarang ini gadis itu dapat menumpahkan seluruh kedukaan hatinya. Biasanya, dia hanya diam-diam menangis di dalam kamar dan baru sekarang ada orang yang dapat dia sambati. Han Tiong juga merasa terharu, mengelus rambut kepala gadis itu.

“Tenanglah, Hong-moi, tenanglah. Segalanya itu telah terjadi… dan agaknya Thian sudah menghendaki demikian. Aku bersyukur bahwa akhirnya aku dapat menemukanmu.”

“Lian Hong, ke sini engkau!” Mendadak terdengar bentakan halus merdu dari mulut Nenek Lam-sin.

Lian Hong mengangkat mukanya lantas berdiri di samping Han Tiong sambil memegang tangan pemuda itu.

“Subo, inilah Tiong-koko, dia… tunangan teecu itu…”

“Hong-moi, siapa nenek itu? Subo-mu…?” Han Tiong bertanya heran.

“Benar, Tiong-ko. Dia adalah… Lam-sin, penolongku juga guruku…”

Bukan main kaget hati Han Tiong mendengar bahwa nenek yang berdiri di depannya itu adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dunia selatan itu. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa Lam-sin yang terkenal sekali itu, adalah seorang nenek tua renta, dan lebih tidak disangkanya lagi bahwa Lam-sin yang menolong Lian Hong, bahkan menjadi gurunya.

“Hemm, Lian Hong, siapa yang menjadi penolongmu dan gurumu? Ketahuilah, aku tidak membunuhmu dan mengangkatmu sebagai murid hanya untuk memancing datangnya dia ini. Hei, anak muda, apakah engkau yang bernama Cia Han Tiong, putera dari Pendekar Lembah Naga di utara?”

Han Tiong yang sudah mendengar bahwa nenek ini adalah penolong dan guru Lian Hong, dan mengingat akan nama besar nenek ini, cepat melepas tangan Lian Hong dan menjura dengan hormat.

“Harap locianpwe maaafkan kalau sejak tadi saya telah mengikuti locianpwe, karena saya tidak tahu dan merasa heran ketika melihat Adik Lian Hong berjalan bersama locianpwe. Kini perkenankanlah saya atas nama seluruh keluarga menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menyelamatkan Adik Lian Hong.”

“Hemm, Cia Han Tiong, aku memancingmu agar memasuki tempat sunyi ini bukan untuk menerima ucapan terima kasihmu. Lian Hong tiada artinya bagiku. Aku memang hendak mengajakmu bertanding, untuk melihat sampai di mana kebenaran berita yang kudengar bahwa putera Pendekar Lembah Naga memiliki kepandaian yang hebat!”

“Ahhh, locianpwe, sedikit kemampuan saya mana dapat dibandingkan dengan kesaktian locianpwe? Harap locianpwe tidak main-main dan biarlah saya mengaku kalah sebelum bertanding.”

Han Tiong yang merasa tidak enak untuk melawan penolong Lian Hong lalu menjura dan merendah. Akan tetapi sikap ini membuat nenek itu menggerakkan alisnya yang putih dan mulutnya menyeringai dan mengejek, pandang matanya merendahkan.

“Kiranya putera Pendekar Lembah Naga hanyalah seorang pemuda pengecut yang hilang nyalinya begitu bertemu dengan musuh yang pandai! Cia Han Tiong, dulu engkau sudah bersikap gagah-gagahan saat berhadapan dengan beberapa orang anak buahku, apakah sekarang engkau mengaku takut berhadapan dengan aku?”

Han Tiong tersenyum. Dia tahu akan watak orang-orang golongan hitam yang selalu ingin menang, sombong, dan mengagulkan diri. Dia tidak bisa mudah dibakar, karena memang sejak kecilnya pemuda ini sudah memiliki pembawaan yang bijaksana.

“Locianpwe, di sini tidak ada persoalan berani atau takut. Saya menghormati locianpwe sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi. Apa lagi locianpwe adalah penolong dari Adik Lian Hong dan juga telah mengangkatnya sebagai murid. Oleh karena itu, bagaimana saya berani kurang ajar melawan locianpwe? Lagi pula, di antara kita tidak ada urusan apa-apa, mengapa kita harus saling serang?”

“Hemmm, begitukah? Lian Hong, ke sini engkau! Engkau sudah menjadi muridku, maka engkau harus taat padaku!”

“Tidak, subo. Teecu akan ikut Tiong-koko pulang!” jawab Lian Hong.

“Begitukah? Hendak kulihat apakah engkau akan dapat meninggalkan aku!”

Tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan tangan, dan tubuhnya sudah melayang ke depan, tangan itu hendak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Lian Hong! Gadis ini terkejut dan cepat mengelak dengan meloncat ke belakang, akan tetapi tangan yang bersarung hitam itu terus mengejarnya.

“Plakkk!”

Nenek Lam-sin tertolak ke belakang oleh tangkisan Han Tiong, lantas dia pun tersenyum mengejek.

“Hemm, katanya engkau tidak hendak melawanku!” tegurnya.

“Maaf, locianpwe, saya tidak melawan, hanya hendak melindungi Hong-moi.”

“Bagus, kalau begitu, lindungilah kekasihmu itu. Kita bertanding untuk memperebutkan Lian Hong!” Setelah berkata demikian, nenek itu menerjang dengan gerakan cepat sekali, menyerang Han Tiong dengan dahsyat.

“Plakk! Plakk!”

Dua kali mereka beradu lengan dan akibatnya, keduanya langsung tertolak ke belakang, tanda bahwa tenaga sinkang mereka seimbang. Tadi Cia Han Tiong terpaksa menangkis sebab serangan lawan itu sungguh amat dahsyat, merupakan pukulan-pukulan maut yang harus ditangkisnya.

“Begitu lebih baik!” kata nenek itu dan kini ia mulai benar-benar menyerang.

Han Tiong maklum bahwa dia tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan itu, maka dia merasa tidak enak sekali. Bagaimana pun juga, nenek ini sudah menyelamatkan Lian Hong. Bagaimana mungkin dia dapat melukainya apa lagi merobohkannya?

Akan tetapi, begitu nenek itu melakukan serangan bertubi-tubi, dia terkejut bukan main. Setiap pukulan nenek itu mengandung sinkang yang sangat kuat dan memiliki kecepatan bagaikan kilat. Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh sekali sehingga terpaksa Han Tiong harus mengeluarkan kepandaiannya. Dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi seluruh tubuhnya dengan sinkang ini, dan juga untuk mengimbangi kekuatan nenek itu. Dan untuk membela diri, dia mainkan Thai-kek Sin-kun.

Akan tetapi, semakin lama gerakan nenek itu semakin cepat. Dan ternyatalah oleh Han Tiong bahwa nenek ini mempunyai kelebihan dalam hal ginkang. Tubuhnya berkelebatan bagaikan pandai menghilang saja sehingga kalau saja dia tidak mempunyai gerakan yang mantap dan kokoh, tentu dia sudah kena terpukul.

Nenek itu terus berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerang dari semua jurusan dengan kecepatan yang hebat. Dan lebih lagi, nenek itu pandai mainkan ilmu pukulan Bian-kun, yaitu kedua tangannya menggunakan sinkang yang lemas, tangannya seperti kapas saja lunaknya, akan tetapi di dalam kelunakan ini justru terkandung hawa sinkang yang dapat menembus kekuatan lawan sehingga membuat tubuh Han Tiong beberapa kali tergetar! Thian-te Sin-ciang yang demikian kuatnya hampir dapat ditembusi oleh tangan kapas itu!

Cepat Han Tiong mengubah gerakannya. Dia masih memainkan Thai-kek Sin-kun untuk menjaga diri, akan tetapi untuk dapat mengurangi kegencaran serangan lawan, terpaksa dia balas menyerang. Bukan menyerang untuk merobohkan lawan, melainkan menyerang untuk memaksa lawan membagi perhatian sehingga tidak terus-menerus menyerang saja akan tetapi juga mempertahankan diri.

Betapa pun juga, sikap Han Tiong yang tak ingin mengalahkan ini telah merugikan dirinya sendiri. Lawannya bukan orang lemah, bahkan sebaliknya. Belum pernah dia berhadapan dengan seorang lawan yang setangguh ini. Andai kata dia membalas dan berusaha untuk merobohkan lawan sekali pun, belum dapat dipastikan dia akan menang, apa lagi dalam waktu singkat. Kini, dia hanya mempertahankan dan membela diri, tentu saja dia didesak terus dengan hebatnya!

“Plakk!”

Sebuah tamparan mengenai pundak Han Tiong. Tubuh pemuda itu terhuyung dan cepat dia menggerakkan jari tangannya, menahan desakan lawan dengan ilmu It-sin-ci.

“Ihhh…!” Nenek itu mendengus dan melompat ke belakang menghadapi tusukan sebuah jari tangan yang mengeluarkan suara mendesing itu. Maklumlah ia bahwa totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) itu amat berbahaya.

Akan tetapi ternyata Han Tiong mengeluarkan It-sin-ci tadi hanya untuk menahan desakan belaka, dan tidak melanjutkan serangannya. Pundaknya yang kena tamparan itu pun tidak terluka hebat.

Kini nenek itu menerjang lagi dengan lebih hebat. Dia pun sudah berganti ilmu silat dan kedua tangannya yang dibungkus sarung hitam itu membentuk cakar seperti cakar garuda sedang tubuhnya melayang-layang seperti terbang. Jelaslah bahwa ia mainkan ilmu yang mirip dengan serangan burung garuda. Kedua tangannya mencakar-cakar dan tubuhnya berloncatan sehingga serangan-serangannya itu datang dari atas.

Han Tiong mengandalkan ilmu yang didapatkan dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Keng-lun Tai-pun. Ilmu ini menambah kekokohan dari semua gerakan silatnya sehingga walau pun dia diserang secara bertubi-tubi, namun dengan kokoh kuat dia dapat membela diri. Akan tetapi tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan kepalanya, lantas sebuah benda putih yang mengeluarkan bau harum dan suara bercuitan menyambar ke arah kepala Han Tiong!

Pemuda ini terkejut sekali, membuang tubuh atas ke belakang dan membiarkan rambut itu menyambar lewat. Saking kagetnya, dia kurang waspada sehingga sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang dan terbanting roboh.

Akan tetapi Han Tiong sudah meloncat bangun lagi. Dadanya yang terlindung oleh tenaga Thian-te Sin-ciang tidak terluka, hanya terasa sesak sedikit karena terguncang. Dia cepat memandang kepada nenek itu. Kini rambut putih nenek itu terurai dan rambut itu panjang sekali, sampai pinggulnya. Kiranya nenek ini pandai pula mainkan rambut sebagai senjata yang amat ampuh!

Han Tiong merasa serba salah. Apa bila mempertahankan diri saja, jelas dia akan celaka karena tingkat kepandaian lawan ini amat hebatnya. Apa bila melawan sungguh-sungguh, dia merasa tidak enak. Dan kini nenek itu sudah menyerang lagi.

Karena bingung, Han Tiong lalu mengeluarkan sebuah dari Ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Tubuhnya menyeruduk ke depan, memapaki serangan lawan, dua tangannya mendorong dan mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring. Kedua tangannya itu bergerak memutar ketika mendorong dan terjadilah pertemuan tenaga yang sama-sama kuat.

“Desssss…!”

Sekali ini, nenek yang tidak menyangka akan hebatnya jurus itu, terpental dan terbanting roboh! Namun dia sudah meloncat lagi dan dengan mata mencorong berkilat-kilat dia pun segera meloncat dan menyerang sambil memutar rambutnya sehingga nampak gulungan sinar putih.

Han Tiong menjadi gugup. Tadi dia sudah merasa menyesal telah merobohkan nenek itu dengan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, yaitu ilmu silat simpanannya. Karena perasaan menyesal ini, melihat nenek itu menyerang, dia menjadi gugup, gerakannya terlambat dan kembali dadanya kena didorong telapak tangan nenek itu.

“Bukkk!”

Sekali ini Han Tiong terbanting keras sesudah terpelanting! Kembali Lian Hong menahan jeritnya dan hatinya baru lega ketika melihat Han Tiong meloncat bangun kembali sambil mengatur nafas.

“Hik-hik-hik, begini sajakah kehebatan putera Pendekar Lembah Naga yang tersohor itu? Hemm, sekarang aku akan menghabiskan nyawamu, orang muda!” Dengan kedua tangan dipentang, nenek itu menyerbu dengan lompatan seperti seekor harimau kelaparan.

“Dessss…!”

Tubuh nenek itu terpental dan dia pun terkejut sekali, berjungkir balik beberapa kali baru dia berdiri tegak dan memandang kepada orang yang sudah menangkisnya tadi. Kiranya, di situ telah muncul dua orang lain, yaitu seorang pria gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih dan seorang wanita cantik dan gagah yang sebaya.

“Nenek tua bangka yang sombong, tidak tahu puteraku telah banyak mengalah!” kata pria yang menangkis tadi.

“Ayah…! Ibu…!” Han Tiong berseru girang ketika mengenal dua orang itu sedangkan Lian Hong memandang dengan jantung berdebar.

Ternyata yang baru datang itu adalah Pendekar Lembah Naga, Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu. Suami isteri ini merasa tidak enak hati ketika Han Tiong berangkat mencari Lian Hong, maka mereka pun segera meninggalkan Lembah Naga dan menyusul putera mereka. Ketika Sin Liong melihat puteranya membayangi nenek yang melakukan perjalanan dengan Lian Hong keluar dari kota Heng-yang, secara diam-diam dia bersama isterinya ikut membayangi dari jauh pula.

Seperti juga Han Tiong, dia telah menyelidiki di Lok-yang. Di tempat inilah dia mendengar bahwa penyerbuan itu dibantu oleh beberapa orang pengemis yang lihai, seperti pernah dia dengar dari Thian Sin dahulu. Maka, pendekar ini kemudian melakukan penyelidikan di antara para pengemis dan dia mendengar bahwa para pangemis itu adalah anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang berpusat di kota Heng-yang. Di kota itulah Cia Sin Liong melakukan penyelidikan dan di sini dia dapat melihat puteranya yang kebetulan sedang membayangi Lian Hong bersama Nenek Lam-sin.

“Han Tiong, mengapa engkau begini lemah dan selalu mengalah?” Pendekar itu menegur puteranya karena semenjak tadi dia mengikuti pertandingan itu dan tahu bahwa puteranya selalu mengalah dan tidak mau balas menyerang dengan sepenuh hati sehingga terkena pukulan lawan.

“Ayah, locianpwe ini adalah Lam-sin Locianpwe yang sudah menyelamatkan Adik Lian Hong,” jawab Han Tiong.

Sementara itu, Nenek Lam-sin sudah kehilangan rasa kagetnya dan kini barulah dia tahu bahwa yang menangkisnya itu adalah Pendekar Lembah Naga yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sudah sering didengarnya itu. Diam-diam dia merasa gentar juga.