Dewi Maut: 31-35


Tio Sun yang bijaksana itu ternyata telah dapat memulihkan sikapnya dan dia bergaul seperti biasa dengan Kwi Eng dan Kwi Beng. Souw Li Hwa dan suaminya diam-diam juga merasa suka kepada pemuda yang sederhana dan rendah hati ini.

Maka dia membujuk Tio Sun untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada anak-anaknya. Permintaan ini dipenuhi dengan suka hati oleh Tio Sun dan setiap hari nampak tiga orang muda itu berlatih silat di taman bunga. Dalam waktu beberapa hari saja mereka bergaul dengan akrab sekali. Dan karena maklum bahwa harapannya untuk dapat berjodoh dengan dara yang dicintanya itu lenyap sama sekali, sikap Tio Sun terhadap Kwi Eng dan Kwi Beng seperti sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya sehingga dua orang saudara kembar itupun merasa seolah-olah Tio Sun adalah kakak mereka. Keakraban inilah yang membuat Kwi Beng menaruh kepercayaan pada suatu hari, ketika memperoleh kesempatan berdua saja dengan Tio Sun, pemuda ini dengan muka sedih mengeluarkan isi hatinya.

“Tio-twako, setelah beberapa hari bergaul denganmu, aku memperoleh keyakinan bahwa engkau seoranglah yang akan dapat menolongku, twako. Sebenarnya aku menderita sekali, menderita batin yang hebat dan selama ini hanya kusimpan dan kutahan-tahan agar jangan sampai ketahuan oleh adikku dan oleh orang tuaku. Akan tetapi kalau terus kusimpan, akhirnya aku tentu tidak tahan juga.”

Melihat wajah yang biasanya gembira itu kini kelihatan amat berduka, Tio Sun terkejut dan merasa heran. Dia memegang pundak pemuda tampan itu dan berkata sambil tersenyum,

“Ah, Beng-te. Seorang pemuda dalam keadaan seperti engkau ini bagaimana bisa mengatakan menderita batin yang hebat? Engkau mesih muda, mempunyai orang tua dan saudara yang amat baik, berkepandaian cukup tinggi, hartawan dan apapun yang kaukehendaki tentu terlaksana. Mengapa masih menderita, tekanan batin?”

“Justeru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako.”

Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah hidup! Manusia, termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!
“Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?”

“Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong.”

Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari sendau-gurau antara Kwi Beng dan Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia tersenyum.

“Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapapun, apa halangannya?”

Kwi Beng menarik napas panjang.

“Akan tetapi, twako. Cintaku ini tidak akan dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju.”

“Justeru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako.”

Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah hidup! Manusia, termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!

“Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?”

“Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong.”

Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari sendau-gurau antara Kwi Beng dan Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia tersenyum.

“Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapapun, apa halangannya?”

Kwi Beng menarik napas panjang.

“Akan tetapi, twako. Cintaku ini tidak akan dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju.”

Tio Sun memandang heran.

“Tidak setuju? Apa maksudmu, Beng-te?”

“Ketika aku dan adikku pulang dahulu itu, kami berdua langsung menyatakan isi hati kami kepada ayah dan ibu. Dalam hal pilihan hati, ayah sama sekali memberi kebebasan. Ibu segera menyatakan persetujuannya ketika Eng-moi menyatakan cintanya kepada Cia Bun Houw, bahkan ibu lalu mengajak kami pergi ke Cin-ling-pai untuk membicarakan soal jodoh Eng-moi dan Cia Bun Houw itu sehingga berhasil diterima baik. Akan tetapi ketika aku menyatakan cintaku kepada nona Yap In Hong, ibu menolaknya!”

Tio Sun menahan senyumnya melihat pemuda itu kelihatan berduka sekali. Pemuda itu masih demikian kekanak-kanakan! Kedukaannya itu lebih merupakan sikap merajuk dan “ngambek”

Kepada ibunya!

“Menolak bagaimana maksudmu, Beng-te?”

“Aku minta agar ibu juga mengurus perjodohanku dengan nona Yap In Hong, akan tetapi ibu keberatan.”

“Mengapa?”

“Pertama, karena tadinya kami belum tahu siapa sebenarnya nona itu, hanya tahu sebagai penolongku yang bernama nona Hong. Dan kedua, karena ibu mendengar dari Eng-moi bahwa nona itu lebih tua kira-kira dua tahun dari aku. Akan tetapi, dalam hal cinta, apa artinya perbedaan usia? Ayah sendiri mengatakan bahwa hal itu sebenarnya bukan merupakan soal yang besar, hanya ayah setuju dengan ibu bahwa kami harus mengenal dulu siapa sebenarnya nona itu. Ketika kemarin, setelah mendengar darimu bahwa Yap In Hong adalah adik dari Yap Kun Liong, ibu lebih-lebih merasa tidak setuju lagi.”

“Hemm… mengapa pula?”

“Kata ibu, Yap Kun Liong adalah sababatnya yang sebaya. Setelah kini nona Hong tidak mempunyai orang tua, jelas bahwa kami harus melamar kepada Yap Kun Liong sebagai wali gadis itu. Dan ibu merasa malu dan sungkan kalau harus melamar adik sahabatnya itu untuk menjadi calon mantunya. Akan tetapi aku tahu bahwa keberatan itu yang terutama adalah soal perbedaan usia. Menurut ibu, seorang calon suami haruslah lebih tua daripada calon isteri.”

“Siapa yang mengharuskan, Beng-te?”

“Entahlah, akan tetapi begitulah kata ibu. Pendeknya, ibu menolak dan hatiku hancur, twako.”

Tio Sun tersenyum, senyum yang pahit. Betapa banyaknya manusia yang dipermainkan oleh cinta! Betapa banyaknya kisah duka ditimbulkan oleh cinta yang sepihak. Dia sendiri jatuh cinta kepada Kwi Eng, namun dara itu sebaliknya mencinta Bun Houw, bahkan telah terikat sebagai calon jodoh pemuda Cin-ling-pai itu. Dia menderita karena cinta sepihak. Sedangkan Kwi Beng jatuh cinta kepada gadis yang lebih tua dari padanya dan biarpun belum diketahui apakah gadis yang dicintanya itu akan menerima atau membalas cintanya ataukah tidak, namun ibunya tidak menyetujuinya! Apakah Kwi Beng juga akan menderita cinta yang gagal?

“Aku merasa ikut berduka mendengar keadaanmu, Beng-te. Akan tetapi apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa hanya aku yang dapat menolongmu?”

Pemuda yang usianya baru tujuh belas tahun itu memegang lengan Tio Sun dan memandang dengan matanya yang biru, penuh permohonan.

“Twako, sudikah twako menolongku?”

Tio Sun merasa terharu. Mata itu sama benar dengan mata Kwi Eng dan ketika pemuda ini memegang lengannya dan mengajukan permohonan itu, seolah-olah dia menghadapi Kwi Eng sendiri yang memohon pertolongan kepadanya!

“Tentu saja, Beng-te. Jangan khawatir, aku selalu siap untuk menolongmu. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana mungkin aku dapat menolongmu?”

“Aku mohon engkau suka menjadi waliku twako! Ibu tidak mau melamarkan nona Yap In Hong, biarlah engkau yang menjadi waliku dan melamarkan untukku kepada kakak nona itu, yaitu kepada pendekar Yap Kun Liong.”

“Ahhh…?”

Tio Sun terkejut sekali, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan mengajukan pormintaan seperti itu.

“Mana mungkin, Beng-te? Ayah bundamu masih ada, bagaimana aku berani lancang…”

Dan tiba-tiba Kwi Beng menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun!

“Kalau twako tidak mau menolongku, habislah harapanku…”

Katanya dengan suara seperti orang hendak menangis. Tio Sun cepat membangunkan pemuda itu.

“Duduklah, Beng-te dan mari kita bicara dengan baik dan dengan tenang.”

“Akan tetapi twako tidak mau menolongku…”

Baiklah, aku mau menolongmu, akan tetapi hanya atas dasar desakan dan permintaanmu. Kalau kelak orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku lancang…”

“Aku yang bertanggung jawab dan akan kukatakan bahwa twako melakukan itu hanya karena desakanku dan permohonan tolong dariku.”

Tio Sun merasa terdesak.

“Akan tetapi, apakah itu bijaksana kalau langsung mengajukan lamaran, Beng-te? Apakah tidak lebih baik kalau lebih dulu diadakan pendekatan dari fihakmu kepada gadis itu? Sebaiknya mengukur isi hatinya lebih dulu, apakah kiranya dia akan mau menerimanya, sehingga dengan demikian tidak sampai kelak hatimu patah karena penolakan dari fihaknya.”

“Tidak, tidak! Kalau terlambat, tentu ibu akan mendahului kita, mencarikan jodoh untukku, karena Eng-moi juga sudah terikat jodoh dengan calon suaminya. Dan kalau aku sudah diikat jodoh dengan orang lain, sampai bagaimanapun tentu ibu akan menghalangi aku berjodoh dengan nona Yap In Hong. Mengingat bahwa kakak nona itu adalah sahabat baik ayah dan ibu, yaitu menurut penuturan ibu, agaknya lamaran itu tidak akan ditolaknya. Dan tentang nona Yap In Hong sendiri, kurasa diapun… eh, cinta padaku. Buktinya dia telah menyelamatkan nyawaku dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan sikapnya terhadapku baik sekali.”

“Hemm, Beng-te. Pertolongan adalah kewajiban setiap orang gagah dan sama sekali tidak boleh dimaksudkan sebagai tanda cinta, demikian pula sikap yang baik belum tentu membayangkan cinta.”

“Aku yakin bahwa kita tidak akan gagal, twako. Akan tetapi kalau Kau pikir lebih dulu menemui nona itu, akupun setuju. Pendeknya, aku ingin pergi dari sini untuk mendahului ibu. Aku akan menemui nona Hong, akan tetapi untuk mengajukan lamaran kepada kakaknya, aku mengharapkan bantuanmu, twako. Dan aku minta agar twako suka menemaniku pergi besok pagi.”

“Ehh…? Tentu orang tuamu akan melarang.”

“Tidak! Aku tidak akan berterus terang. Twako bilang saja terus terang bahwa twako hendak pergi ke kota raja dan aku akan ikut untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan.”

Tio Sun menarik napas panjang.

“Ahhh… engkau menarik aku dalam keadaan amat tidak enak terhadap orang tuamu, Beng-te.”

“Tidak, twako. Aku yang bertanggung jawab akan hal itu. Kalau twako berpamit dan berkata hendak pergi ke kota raja, berarti twako tidak membohongi mereka, karena bukankah nona Hong kabarnya berada di sana? Dan aku ikut pergi bersama twako, apa salahnya itu?”

Akhirnya Tio Sun tak dapat mengelak lagi karena diam-diam dia merasa kasihan juga kepada pemuda remaja ini.

Pula, diapun tidak ingin terlalu lama tinggal di Yen-tai, karena makin lama dia berkumpul dengan Kwi Eng, makin beratlah penderitaan dan kekecewaan hatinya. Kalau sudah jelas bahwa nona itu bukan jodohnya, lebih baik secepat mungkin pergi dan sejauh mungkin agar tidak usah berjumpa lagi dengan dara yang dicintanya akan tetapi yang menjadi milik orang lain itu. Ketika Tio Sun berpamit kepada Yuan de Gama dan isterinya, juga kepada Souw Kwi Eng, mereka menyatakan sayang bahwa pemuda itu tidak tinggal lebih lama lagi, akan tetapi mereka tidak berani menahan, dan mengucapkan selamat jalan. Namun, ketika Kwi Beng minta perkenan orang tuanya untuk ikut bersama Tio Sun ke kota raja untuk meluaskan pengetahuan dan orang tuanya tidak keberatan karena mereka percaya penuh atas bimbingan Tio Sun kepada putera mereka, Kwi Eng yang rewel!

“Aku juga ikut…!”

Katanya manja.

“Maria, engkau seorang gadis dewasa, kurang leluasa dan kurang baik untuk pergi jauh menempuh perjalanan sukar tanpa orang tuamu!”

Kata Yuan de Gama mencegah.

“Dan kau harus ingat bahwa engkau telah terikat sekarang, Kwi Eng. Bagaimana kalau ada utusan dari Cin-ling-pai datang dan engkau tidak berada di rumah? Alangkah akan mengecewakan dan membuat kami menjadi malu.”

Diingatkan akan hal ini, reda kekecewaan Kwi Eng dan akhirnya dua orang pemuda itu berangkat meninggalkan Yen-tai menuju ke kota raja. Tidak ada seorangpun di antara keluarga itu yang tahu betapa beratnya hati Tio Sun ketika dia melangkah pergi menjauhi dara yang dicintanya itu. Semangatnya seolah-olah tertinggal di rumah gedung itu, dan telinganya selalu mendengar suara ketawa Kwi Eng sehingga beberapa kali dia kadang-kadang tidak mendengar kata-kata Kwi Beng ketika pemuda ini bicara kepadanya.

Malam yang gelap. Langit hitam pekat, tidak nampak sebuahpun bintang. Padahal malam itu sebetulnya adalah giliran bintang-bintang menggantikan bulan yang tidak muncul di malam hari itu, akan tetapi awan hitam tebal memenuhi langit. Biar di kota raja sekalipun, tempat tinggal orang-orang yang beruang dibandingkan dengan orang-orang dusun, lampu-lampu yang digantung di luar rumah tidak mampu menembus kegelapan yang tebal itu, bahkan penerangan yang dibandingkan dengan kekuatan malam gelap itu amat lemah mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan. Hanya di daerah bangunan istana sajalah, di sebelah dalam lingkungan tembok istana, keadaannya agak terang karena banyaknya lentera dan lampu besar yang dinyalakan para penjaga keamanan. Di malam yang gelap itu, yang mengancam dengan hujan, orang-orang menjadi malas keluar, toko-toko dan restoran-restoran sepi sehingga mereka itu menutup dagangan mereka sebelum waktunya.

Hanya mereka yang mempunyai keperluan penting sekali, dan laki-laki iseng yang tak betah di rumah dan keluar untuk mencari hiburan, kaum penjudi, kaum pemabok dan kaum hidung belang saja yang malam itu masih nampak berkeliaran d luar rumah-rumah yang sudah menutupkan daun pintu dan jendelanya. Seorang laki-laki setengah tua yang mabok jalan sempoyongan di atas jalan raya, digandeng oleh seorang laki-laki muda yang setengah mabok dengan susah payah karena si penggandeng itu sendiri pun tidak tetap langkahnya. Keduanya bernyanyi-nyanyi gembira dan memang orang yang mabok dapat merasakan kegembiraan yang luar biasa, karena dalam keadaan terbius oleh minuman keras itu segala macam keruwetan hidup lenyap atau terlupa oleh pikiran sehingga pikiran menjadi kosong, bebas dan karenanya dapat melihat segala sesuatu tanpa penolakan dan menimbulkan kegembiraan

“Heeeee, manusia-manusia terbang…! Ha-ha, manusia-manusia terbang…!”

Tiba-tiba yang mabok sekali itu berkata sambil menuding ke atas genteng-genteng rumah di sepanjang jalan raya itu.

“Manusia terbang… heh-heh, ya benar… manusia terbang…”

Sambung yang setengah mabok. Orang-orang di dekat mereka memandang sambil tersenyum. Kata-kata orang mabok, pikir mereka tak acuh. Akan tetapi ada sebagian di antara mereka yang mempercepat langkahnya agar dapat segera tiba di rumah yang aman.

Mereka merasa ngeri karena bukankah orang mabok itu kadang-kadang dapat melihat lebih awas daripada orang yang sadar dan tidak mabok? Siapa tahu mereka benar-benar melihat manusia terbang yang berarti bahwa mereka itu melihat setan dan iblis berkeliaran di malam gelap itu? Dan bukan tidak mungkin karena malam itu memang menyeramkan, bahkan setiap bayang-bayang yang dipantulkan oleh pohon-pohon dan rumah-rumah tersinar penerangan pucat membentuk iblis-iblis mengerikan. Akan tetapi kalau kebetulan di atas genteng-genteng rumah itu terdapat seorang berkepandaian tinggi yang berpandangan tajam, tentu dia akan menyaksikan keanehan dan bahwa teriakan orang mabok tadi bukanlah penglihatan khayal belaka karena sesungguhnya memang terdapat dua bayangan manusia yang seolah-olah terbang saja di atas genteng-genteng rumah itu.

Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga seperti dua ekor kucing berlari-larian dia atas genteng-genteng itu, tanpa menimbulkan suara dan mereka menuju ke arah istana! Ketika dua bayangan yang benar-benar memiliki kegesitan dan keringanan tubuh luar biasa itu tiba di luar tembok istana, mereka mendekam dan menanti dengan penuh kewaspadaan. Sudah tentu saja banyak terdapat penjaga dan peronda di luar tembok istana itu. Pintu gerbang istana sudah ditutup rapat-rapat dan dijaga oleh belasan orang pengawal luar. Di atas menara di ujung tembok juga terdapat pengawal yang mengawasi ke arah sekeliling tempat itu. Kemudian secara bergiliran masih diadakan perondaan, dan sekali meronda terdiri dari enam orang bersenjata tombak dan memegang lentera yang terang.

Bayangan yang berpakaian putih dan mukanya hitam, tubuhnya kecil dan agak pendek, memberi isyarat kepada kawannya yang berpakaian hitam dan bermuka putih, menudingkan telunjuk tangannya yang kecil ke arah menara. Si muka putih mengangguk, dan diapun menunjuk ke arah enam orang peronda yang datang dari depan. Keduanya mengangguk. Agaknya tanpa kata-kata mereka sudah saling mengerti dan kini si muka hitam merunduk ke depan, setengah merangkak seperti seekor harimau mengintai korban mendekati menara. Setelah dekat, dia memandang ke atas, ke arah dua orang penjaga yang berdiri di menara, hanya kelihatan tubuh bagian atas, Dari dada sampai ke pundak dan tangan mereka memegang sebatang busur sedangkan segebung anak panah tersandang di pundak.

Mereka berdua adalah ahli-ahli panah yang dapat menyerang setiap orang pengacau dari atas dengan anak panah mereka. Sementara itu, si muka putih menggunakan kedua tangannya, mengangkat sebuah batu besar, sebesar perut kerbau hamil. Seperti dikomando saja, pada saat si muka hitam menggerakkan tangannya dan sinar mengkilat menyambar ke arah menara, si muka putih melontarkan batu besar itu jauh ke depan, ke arah yang berlawanan dengan menara. Terdengar suara pekik dua orang penjaga di menara yang roboh di tempat penjaga mereka dengan leher tertusuk pisau hitam! Akan tetapi pekik ini tertutup oleh suara berdebuk yang amat keras dibarengi suara berkerosakan ketika sebongkah batu besar itu menimpa pohon,

Menumbangkan batang pohon dan jatuh berdebuk ke atas tanah. Enam orang peronda itu terkejut sekali dan cepat memburu ke depan, sama sekali tidak mendengar pekik dua orang penjaga di menara, juga sama sekali tidak tahu bahwa begitu mereka lari ke arah pohon tumbang, ada dua bayangan melesat ke atas tembok istana dengan keringanan tubuh yang luar biasa dan sekejap mata saja bayangan dua orang itu lenyap ke sebelah dalam tembok istana! Kalau orang melihat ke atas menara penjaga dan melihat betapa dua orang penjaga itu tewas dengan muka mereka menjadi hitam mengerikan, maka dia akan tahu bahwa dua orang luar biasa itu benar-benar memiliki kepandaian yang mengerikan dan bahwa pisau yang menghunjam ke leher dua orang penjaga itu adalah pisau-pisau beracun yang keji.

“Kenapa tidak diambil dulu dua hui-to (golok terbang) itu?”

Si muka pucat berbisik ketika kedua orang itu menyelinap ke dalam taman istana, bersembunyi di balik semak-semak.

“Nanti saja kembalinya, biar kenyang dulu menghirup darah segar, hi-hik!”

Bayangan kedua yang bermuka hitam terkekeh.

“Pula, masih ada belasan batang lagi padaku, cukup untuk menghadapi pengawal-pengawal istana.”

“Jangan banyak main gila, Mo-li. Kedatangan kita hanya untuk membunuh Ceng Tung dan secepat mungkin kita harus pergi dari sini.”

“Baik, Mo-ko. Memang Kaisar jahanam itu harus kita bunuh, hanya sayang kalau kita tidak dapat mengambil satu dua buah pusaka kerajaan yang hebat.”

Keduanya mendekam dan menahan napas ketika berkelebat bayangan orang yang cukup gesit gerakannya. Bayangan ini adalah bayangan seorang pengawal Kim-i-wi, yaitu Pengawal Baju Emas yang merupakan pengawal-pengawal bayangan, atau yang melakukan tugas penjagaan keemasam secara rahasia dan mereka ini memang terdiri dari orang-orang yang berilmu dan pandai ilmu silat. Siapakah adanya dua orang yang begitu berani mati memasuki daerah istana dengan jalan membunuh penjaga menara dan meloncat ke tembok pagar istana secara demikian lihainya? Melihat orang yang bermuka putih seperti kapur itu berpakaian hitam, sebaliknya yang bermuka hitam seperti arang itu berpakaian putih, sungguh amat menyeramkan dan seperti bukan manusia saja!

Dan memang sesungguhnyalah. Mereka itu setengah manusia setengah iblis! Mereka ini bukan lain adalah Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Seperti telah dituturkan di bagian depan, Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam itu adalah dua orang tokoh lihai yang datang dari Negeri Sailan. Ketika dahulu Panglima Besar The Hoo memimpin bala tentara menjelajah ke pelbagai negeri tetangga, di Sailan Panglima The Hoo yang sakti pernah berhadapan dan bertanding melawan dua orang jagoan Sailan ini. Pukulan-pukulan beracun dari mereka berdua, ketika bertemu dengan The Hoo, tidak ada gunanya bahkan membalik dan meracuni diri mereka sendiri, membuat mereka nyaris tewas dan biarpun mereka akhirnya tertolong,

Namun muka mereka yang tadinya normal kini berobah seperti iblis, yaitu yang laki-laki mukanya menjadi seperti kapur sedangkan yang wanita mukanya menjadi seperti arang. Hal ini adalah karena racun yang mereka pergunakan melawan The Hoo, hawanya membalik dan meracuni diri mereka sendiri. Dengan dendam yang meluap-luap di dalam hati, dua orang ini memperdalam ilmu mereka sambil bertapa di puncak-puncak pegunungan utara. Kemudian, setelah merasa bahwa mereka sanggup menandingi The Hoo, keduanya turun gunung dan karena maklum bahwa The Hoo adalah seorang panglima besar yang selain memiliki kepandaian tinggi juga terlindung oleh pasukan yang puluhan laksa jumlahnya, maka mereka mendekati dan mengangkat murid kepada Raja Sabutai.

Mereka menurunkan ilmu kepada Raja Sabutai dan mengharapkan bahwa melalui bala tentara Sabutai, mereka akan dapat menyerbu ke selatan, kalau mungkin menduduki Kerajaan Beng-tiauw dan dengan demikian mereka akan dapat berhadapan dengan The Hoo tanpa bahaya dikeroyok puluhan laksa perajurit Kerajaan Beng! Karena harapan-harapan inilah maka mereka bersabar saja menyaksikan semua gerak-gerik dan usaha murid mereka, bahkan merekapun tidak ambil perduli melihat isteri Sabutai oleh murid mereka itu “diserahkan”

Kepada Kaisar Ceng Tung hanya karena Sabutai menghendaki seorang anak keturunan dari Kaisar itu, karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan! Sebetulnya, hal ini amat menyakitkan hati dua orang itu, namun karena mereka mempunyai dendam dan rencana yang lebih basar, maka mereka juga tidak menegur murid mereka.

Akan tetapi, ketika Sabutai merobah siasat dan agaknya mau berdamai dengan Kaisar, bahkan hendak menarik mundur tentaranya yang tadinya sudah berhasil maju sampai ke pintu gerbang kota raja, hati dua orang kakek dan nenek itu kecewa bukan main. Maka mereka lalu hendak berusaha sendiri untuk membalas dendam. Mereka kini sudah mendengar bahwa musuh besar mereka, The Hoo, telah meninggal dunia. Maka mereka hendak menumpahkan dendam mereka kepada para pembantu dan para sahabat The Hoo dan satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Karena itulah maka mereka menahan Siang-bhok-kiam dengan maksud memancing Cia Keng Hong datang ke tempat mereka untuk dibunuh sebagai wakil The Hoo!

Kalau di waktu Sabutai mengadu kepandaian para tokoh yang bermusuhan kedua orang ini tidak turun tangan membunuh Cia Bun Houw dan Yap In Hong adalah karena mereka masih segan terhadap murid mereka sendiri yang tentu saja dibantu oleh ribuan orang pasukan, pula mereka tidak ingin bermusuhan dengan murid mereka sendiri. Selain itu, melihat pukulan Thian-te Sin-ciang yang dilakukan oleh Bun Houw, kemudian mereka melihat pula pukulan sakti itu pula dipergunakan oleh In Hong biarpun belum sempurna, mereka berdua agak jerih. Bukan jerih menghadapi orang-orang muda itu, melainkan jerih kalau-kalau pendeta Kok Beng Lama juga akan muncul! Padahal, mereka sedang melatih diri dan belum selesai dengan latihan itu, latihan kekebalan yang akan sanggup menghadapi Thian-te Sin-ciang atau pukulan apapun juga!

Setelah Sabutai mengundurkan diri, merekapun meninggalkan murid itu dan membawa Siang-bhok-kiam menuju ke Lembah Naga di tepi Sungai Luan-ho yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, di luar tembok besar. Di sini mereka melanjutkan latihan mereka dengan tekun sampai akhirnya mereka berhasil dengan ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu kekebalan yang amat luar biasa, yang hanya mampu dikuasai oleh orang-orang yang darahnya beracun seperti mereka! Setelah menguasai ilmu ini, barulah mereka menjadi berani dan untuk melampiaskan dendam mereka tanpa mengharapkan bantuan pasukan Sabutai yang telah berbaik dengan Kerajaan Beng, mereka mencari gara-gara dan hendak membikin kacau Kerajaan Beng dengan membunuh Kaisar Ceng Tung! Pertama-tama mereka hendak lakukan ini untuk menghukum Kaisar yang mereka anggap telah merendahkan dan menghina murid mereka dengan menjinai isterinya,

Dan kedua untuk memancing agar para Panglima Beng-tiauw mencari mereka untuk mereka bunuh semua. Demikianlah rencana pembalasan mereka terhadap Panglima The Hoo yang sudah tidak ada lagi itu. Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih mendekam di balik semak-semak untuk meneliti keadaan. Beberapa kali mereka melihat berkelebatan pengawal Kim-i-wi dan setiap kali mereka ini meronda lewat di taman itu, paling banyak mereka hanya berdua, bahkan kadang-kadang hanya seorang saja. Di samping mereka, ada pula pengawal-pengawal biasa yang meronda bergerombol enam orang membawa lentera dan kentongan. Mereka berunding sebentar setelah menghitung jarak waktu antara perondaan para pengawal Kim-i-wi. Mereka bersiap-siap, berindap-indap mendekati lorong kecil yang selalu dipakai oleh pengawal-pengawal Kim-i-wi yang meronda.

Tak lama kemudian, tepat pada waktu seperti yang mereka perhitungkan, berkelebat dua bayangan pengawal Kim-i-wi dan dua orang kakek dan nenek itupun menerkam dari balik semak-semak pohon kembang. Dua orang Kim-i-wi terkejut sekali, berusaha mengelak dan menangkis, namun bagi kakek dan nenek itu, gerakan mereka terlampau lamban dan jari-jari tangan kakek dan nenek iblis itu telah menusuk masuk ke dalam leher dua orang Kim-i-wi itu sehingga mereka itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Mayat mereka lalu dilempar ke dalam semak-semak dan dua orang kakek dan nenek itu cepat berlari meninggalkan taman menuju ke bangunan-bangunan istana, tidak berani meloncat naik melainkan mendekam di dalam bayangan gelap menanti kesempatan selanjutnya.

Sementara itu, di dalam kamarnya, In Hong masih duduk membaca buku. Setelah berada di dalam istana, dia memperoleh kesempatan banyak untuk membaca, karena di situ tersedia banyak sekali buku-buku kuno yang amat menarik hatinya. Dia dahulu diajar membaca oleh gurunya dan hanya sedikit memperoleh kesempatan membaca, dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan, dan karena dia leluasa dan boleh keluar masuk di seluruh bagian istana, maka dia dapat pula memasuki gedung perpustakaan untuk memilih buku yang disukainya.

Karena dia memang kurang pekerjaan selama tinggal di istana, maka dia banyak membaca dan mulailah terbuka hati dan pikiran In Hong betapa selama ikut dengan gurunya dia telah hidup secara liar dan betapa ganasnya watak gurunya dan para anak buah Giok-hong-pang. Banyak hal-hal di dalam kitab-kitab yang ditemukan dan yang menyadarkan pikirannya, membuat dia sering kali termenung dan mulailah dia merasa menyesal akan pengaruh-pengaruh yang ditanamkan gurunya ke dalam dirinya sehingga dia dahulu membenci dan menjauhkan diri dari kakaknya. Sekarang dia melihat betapa kakaknya telah mengalami derita kehidupan yang hebat, selain kematian isterinya yang tercinta, kehilangan puterinya, juga adik kandung yang dicari-carinya itu setelah bertemu bersikap jauh daripada manis kepadanya.

Dia merasa girang bahwa dalam pertemuan terakhir dengan kakaknya itu dia telah memperlihatkan sikap manis. Tiba-tiba terdengar kentongan dipukul bertalu-talu, tanda bahwa ada bahaya mengancam di istana! Tanda bahaya ini dibunyikan oleh para penjaga dan pasukan Kim-i-wi yang menemukan mayat-mayat di atas menara penjaga dan di dalam taman. Gegerlah seluruh istana! Mendengar tanda bahaya ini, In Hong melempar buku yang dibacanya ke atas meja, sekali tangannya bergerak dia memadamkan lampu-lampu dan lilin-lilin penerangan di kamarnya kemudian dia meloncat keluar melalui jendela dan langsung menuju ke istana di mana terdapat kamar Kaisar! Yang lain-lain dia tidak perduli, akan tetapi keselamatan kaisa harus dijaganya. Karena itulah dia berada di istana, dan dia diangkat menjad Puteri Pelindung Kaisar!

Dengan gerakan seperti seekor burung walet cepat dan ringannya, In Hong berloncatan dan tidak memperdulikan para anggauta pasukan Kim-i-wi yang berebutan dengan panik. Dia langsung berlari ke arah kamar Kaisar. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat mayat-mayat berserakan di depan kamar Kaisar, mayat mayat para pengawal Kim-i-wi yang bertugas jaga di sekitar tempat itu, bahkan kini dia mendengar suara orang bertempur di depan kamar itu! Karena tempat itu agak gelap, dia hanya melihat dua bayangan dikeroyok oleh lima orang Kim-i-wi, maka karena dia khawatir akan keselamatan Kaisar, In Hong cepat melompat dan sambil melompat dia mendorong jendela kamar. Pada saat itu, dia mendengar pekik beruntun dan lima orang Kim-i-wi itu roboh semua sedangkan dua bayangan itu telah menerjang pintu kamar Kaisar!

“Sing-sing-singgg…!”

Tampak sinar-sinar berkelebatan ke arah Kaisar yang duduk dengan tenang di atas pembaringan. Melihat ini, In Hong cepat menubruk ke depan, kedua tangannya bergerak dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan tiga batang pisau terbang runtuh ke atas lantai, patah-patah!

“Sri Baginda, cepat lari…!”

In Hong berseru kaget ketika mengenal bahwa yang masuk melalui pintu kamar yang sudah terbongkar itu bukan lain adalah dua orang kakek dan nenek guru Sabutai, yaitu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang dia tahu amat lihai itu. Maka dia cepat menghadang di tengah kamar dan berteriak agar Kaisar melarikan diri.

“Heh-he-he, kiranya engkau adalah bocah Yap itu. Jangan kira aku takut menghadapi pukulanmu itu!”

Hek-hiat Mo-li terkekeh dan menubruk ke depan, kukunya yang panjang mencengkeram ke arah dada In Hong. Cengkeraman ini cepat dan kuat sekali, dan jelas bahwa kuku-kuku panjang itu mengandung racun yang berbahaya. Akan tetapi In Hong yang mengkhawatirkan keselamatan Kaisar, tidak melayani nenek ini melainkan cepat dia meloncat ke arah Kaisar yang telah ditubruk oleh kakek muka putih itu dengan pukulan dahsyat, sedangkan Kaisar hanya diam saja seolah-olah menanti datangnya maut!

“Desss…!”

Tubuh In Hong terlempar ketika dia menangkis pukulan dahsyat itu, akan tetapi si kakek muka putih juga terjengkang.

“Sri Baginda, cepat lari…!”

In Hong berseru lagi. Akan tetapi Kaisar yang duduk di atas pembaringan itu tidak bergerak, enak-enak saja sehingga In Hong makin bingung dan cepat dia meloncat ke depan Kaisar dan menangkis hantaman Hek-hiat Mo-li.

“Dukkkk!”

Kembali tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan tubuh nenek itupun roboh bergulingan. Ternyata bahwa kalam melawan kakek itu tenaga In Hong kalah kuat setingkat, akan tetapi melawan nenek itu tenaga mereka seimbang! Hanya kagetnya, agaknya dua orang kakek dan nenek itu tidak terpengaruh oleh tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang telah dilatihnya dengan hebat selama ini! Agaknya mereka memiliki kekebalan terhadap hawa pukulan sakti itu. Selagi In Hong meloncat bangun, dia telah diserang oleh kakek muka putih dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Terpaksa dia mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang menangkis, akan tetapi kini Kaisar tidak terlindung sama sekali.

“Lari…! Lari…!”

Teriaknya, akan tetapi Kaisar itu tetap saja duduk dan nenek muka hitam sudah menghantamkan tangan kirinya yang ampuh ke arah kepala Kaisar.

“Celaka…!”

In Hong berteriak ngeri.

“Krakkk!!”

Kepala Kaisar itu pecah berantakan dan dari dalam kepalanya menyambar belasan jarum dan paku-paku ke arah pemukulnya, si nenek itu.

“Aihhhh…!”

Nenek itu terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja sebatang jarum memasuki mata kirinya membuat dia menjerit-jerit kesakitan dan marah sekali!

Kiranya “Kaisar”

Itu hanya sebuah patung mirip Kaisar yang duduk di pembaringan dan di dalam kepalanya terkandung senjata-senjata rahasia itu! Sesungguhnya robot macam itu adalah hasil ciptaan mendiang Panglima The Hoo dan sejak dulu setiap orang Kaisar memilikinya beberapa buah untuk menyelamatkan diri. Tadi, begitu mendengar suara ribut-ribut dan tanda bahaya, Kaisar sudah menyelinap dan menyembunyikan diri di kamar rahasia, meninggalkan robot itu di kamarnya dan sekarang, robot ciptaan mendiang Panglima The Hoo itu masih mampu melukai seorang nenek selihai Hek-hiat Mo-li. Biarpun orangnya sudah meninggal dunia, namun ciptaannya masih sedemikian hebatnya, maka dapat dibayangkan betapa tinggiliya tingkat kepandaian panglima yang disohorkan orang seperti dewa saktinya itu!

“Para panglima, hayo bantu Puteri Pelindung Kaisar!”

Terdengar suara Kaisar, dan kakek bersama nenek itu bingung karena suara ini terdengar dari mana-mana, dari atas bawah depan belakang dan kanan kiri dan mereka mengenal suara Kaisar ini! In Hong girang bukan main melihat bahwa yang dipukul hancur kepalanya itu hanya sebuah arca, maka sambil tersenyum dia berkata,

“Kakek nenek iblis, kalian telah gagal!”

Bukan main marahnya nenek Hek-hiat Mo-li. Matanya yang kiri masih terasa nyeri bukan main biarpun dia telah mencabut jarumnya dan mata itu tentu buta.

“Keparat jahanam, engkau yang menggagalkan kami!”

“Dia Puteri Pelindung Kaisar? Hemm, kita tangkap saja dia!”

Pek-hiat Mo-ko berseru marah dan nenek itu sudah mendahului menubruk ke arah In Hong.

“Dessss!”

In Hong menyambutnya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang dan biarpun nenek itu menangkisnya, namun pukulan itu tepat mengenai pundak nenek itu. Nenek itu terpelanting roboh akan tetapi meloncat bangkit kembali. In Hong terbelalak, hampir tidak percaya. Pukulannya tadi hebat sekali dan biarpun dia sendiri mengenal ilmu kekebalan yang bernama Tiat-po-san (Baju Besi), namun ilmu kekebalannya pasti tidak akan mampu menghadapi pukulan yang dilakukan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang. Akan tetapi nenek ini yang terkena pukulan pada pundaknya, seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan sudah mencelat bangun kembali. Maklumlah dia bahwa nenek ini memiliki kekebalan luar biasa dan andaikata tadi jarum dari dalam kepala area itu tidak tepat memasuki mata, agaknya juga tidak akan melukai nenek itu.

“Heh-heh-heh, itukah pukulan dari si Lama keparat? Kami tidak takut, heh-heh!”

Nenek itu tertawa dan Pek-hiat Mo-ko kini menubruk untuk menangkap In Hong. Tentu saja In Hong tidak sudi ditangkap dan ketika kakek itu menubruk, dia cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan kedua tangannya beruntun ke arah dada dan lambung kakek itu.

“Dukk! Desss!”

Pukulan Thian-te Sin-ciang menggetarkan kamar itu dan tepat mengenai dada dan lambung, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menangkisnya, malah cepat menangkap dua pergelangan tangan In Hong yang tak sempat mengelak karena kedua lengannya ditangkap pada saat sedang memukul tadi.

“Plakkk!”

Sebelum In Hong sempat melepaskan kedua lengannya, tengkuknya disambar oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li dan seketika tubuhnya menjadi lemas tak mampu bergerak. Pada saat itu, belasan orang perwira dan panglima Kim-i-wi berserabutan masuk dari pintu dan jendela.

“Mo-ko, kaupondong dia!”

Teriak Hek-hiat Mo-li sambil melemparkan tubuh In Hong kepada kawannya, Pek-hiat Mo-ko menerima tubuh yang lemas itu dan memanggulnya, kemudian dia bersama kawannya menerjang ke depan, ke arah para perwira Kim-i-wi yang mengepung dengan pedang di tangan.

“Awas, jangan sampai mengenai tubuh Puteri Pelindung Kaisar!”

Teriak seorang panglima dan hal ini benar-benar merupakan rintangan hebat bagi para perwira dan panglima itu. Dua orang kakek dan nenek itu gerakannya dahsyat sekali dan begitu mereka menerjang, terdengar pedang berkerontangan dan terlempar ke kanan kiri disusul robohnya empat orang perwira yang tewas seketika terkena pukulan-pukulan beracun! Kakek dan nenek itu cepat melompat ke atas genteng.

“Kejar…!”

Para perwira itu berloncatan naik dan terjadilah kejar-mengejar di atas genteng bangunan-bangunan istana yang amat luas itu. Namun gerakan kakek dan nenek itu memang hebat sekali, gin-kang mereka jauh lebih sempurna daripada para perwira Kim-i-wi sehingga mereka cepat menghilang ke arah tembok istana.

“Jangan lepas senjata rahasia atau anak panah! Jangan! Yap-lihiap dipondongnya, jangan sampai terkena dia sendiri!”

“Jangan lukai Puteri Pelindung Kaisar!”

Karena teriakan-teriakan ini, maka para penjaga yang sudah siap dengan barisan anak panahpun tidak berani menggunakan anak panah dan hanya para panglima yang berkepandaian tinggi saja menyambitkan senjata-senjata rahasia mereka ke arah kaki kedua orang itu, namun dengan mudah kakek dan nenek itu mengelak atau menendangi senjata-senjata rahasia yang menyambar kaki mereka bahkan ada pula yang mengenai kaki mereka akan tetapi agaknya tidak mereka rasakan sama sekali!

Melihat bahwa In Hong ternyata merupakan orang penting, Pek-hiat Mo-ko menjadi girang sekali dan dengan enaknya dia memegang kedua kaki In Hong dan memutar-mutar tubuh dara itu ketika dia dan temannya keluar dari tembok istana dan tidak ada seorangpun pengawal yang berani menyerang mereka! Dengan “perisai”

Hidup istimewa ini, akhirnya kakek dan nenek itu menghilang ditelan kegelapan malam dan dapat lolos dari kota raja dengan amat mudahnya. Yang terdengar hanya suara rintihan dan keluhan nenek yang mata kirinya buta itu, akan tetapi suara inipun segera menghilang dan para pengawal sibuk mencari dan mengejar ke sana ke mari tanpa tujuan tertentu karena bayangan dua orang itu telah lenyap. Peristiwa itu menggegerkan istana dan ketika Kaisar mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek itu, dia marah sekali dan memerintahkan kepada kepala pasukan pengawal Kim-i-wi yang bernama Lee Cin untuk mengerahkan tenaga pengawal dan mencari dara itu sampai dapat!

“Kakek dan nenek itu adalah guru-guru Sabutai!”

Antara lain Kaisar yang marah itu berkata.

“Kami akan mengirim surat kepada Sabutai dan menegurnya. Kalau dia yang menyuruh kakek dan nenek itu menyerbu ke sini, akan kami gempur dia!”

Peristiwa itu benar-benar mengejutkan dan menggegerkan istana. Bagaimana dua orang saja, seorang kakek dan seorang nenek yang seperti iblis, dapat memasuki istana dan membunuh sepuluh orang penjaga dan dua belas orang pengawal Kim-i-wi, memasuki kamar Kaisar dan nyaris membunuh Kaisar, bahkan menculik Puteri Pelindung Kaisar yang mereka kenal sebagai seorang dara yang amat lihai?

Sungguh mengejutkan sekali dan selain Panglima Kim-i-wi Lee Cin yang berusaha mati-matian untuk mencari jejak dua orang kakek dan nenek itu, juga mulai saat itu penjapan di istana diperketat, bahkan didatangkan bala bantuan barisan dari luar kota raja untuk menjaga keamanan di kota raja! Mereka berempat duduk menghadapi meja di luar kamar tahanan itu dan beberapa kali mereka sambil makan minum memandang ke arah tubuh In Hong yang menggeletak tak sadarkan diri di atas lantai kamar tahanan. Kamar tahanan itu berukuran tiga kali tiga meter, seluruhnya terbuat dari dinding baja yang amat kuat dan pintunya juga terbuat dari baja tebal dan kokoh, hanya ada jeruji besi sebagai jalan hawa dan jendela yang lebarnya tak mungkin dipakai meloloskan diri andaikata jeruji-jeruji itu dapat dipatahkan-patahkan sekalipun. Seekor gajahpun tak mungkin dapat membobol keluar jika dimasukkan dalam kamar tahanan ini.

“Mo-ko, kenapa kalian berdua dengan Mo-li bersusah payah membawa dara ini ke sini dan menahannya? Mengapa tidak dibunuh saja bocah yang amat berbahaya itu?”

Hek I Siankouw bertanya dengan nada tidak puas karena sesungguhnya nenek berpakaian serba hitam ini amat membenci In Hong yang telah menewaskan sahabat dan kekasihnya, yaitu Hwa Hwa Cinjin. Pek-hiat Mo-ko tertawa.

“Banyak sekali sebab-sebabnya mengapa kami belum membunuh dia, Siankouw. Coba kami ingin menguji kecerdikan Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu, apakah kalian berdua mengerti dan dapat menebak apa sebab-sebab itu?”

“Karena dia telah menggagalkan kalian membunuh Kaisar maka kalian hendak menyiksanya dulu sebelum membunuhnya!”

Jawab Hek I Siankouw.

“Ha-ha, itu hanya satu di antara sebab-sebab yang kecil saja,”

Kini Hek-hiat Mo-li yang berkata. Bouw Thaisu berpikir sejenak, kemudian berkata dengan suaranya yang tenang,

“Kalian hendak memancing datangnya para pembesar Beng-tiauw dengan umpan dara ini di sini.”

“Bagus! Memang benar sekali. Masih ada lain-lain lagi!”

Kata Pek-hiat Mo-ko.

“Aha, setan tua,”

Hek I Siankouw berkata.

“Tentu kau hendak menjadikan dia semacam sandera agar kau dapat menguasai ketua Cin-ling-pai dan yang lain-lain kalau mereka muncul.”

“Hemm, kami tidak takut menghadapi mereka, tanpa sanderapun! Akan tetapi pikiranmu itu bagus juga, Siankouw, dan mungkin sekali boleh dipergunakan kalau perlu.”

Hek-hiat Mo-ko teringat betapa ketika dia dan Mo-li meloloskan diri dari istana, kiranya tidaklah akan demikian mudah kalau saja mereka tidak “dilindungi”

Oleh keselamatan In Hong. Andaikata mereka tidak membawa lari gadis itu, agaknya belum tentu mereka akan dapat meloloskan diri dari istana yang dijaga ketat itu.

“Akan tetapi itu semua bukan sebab-sebab yang mutlak.”

“Pinto (aku) mengerti sekarang,”

Tiba-tiba Bouw Thaisu berkata setelah berpikir sejenak.

“Kalian sudah tahu bahwa nona ini adalah murid ketua Giok-hong-pang, dan melihat kelihaian nyonya itu, tak dapat disangsikan lagi bahwa dialah yang dahulu berhasil memperoleh pusaka bokor emas yang diperebutkan itu. Maka sekarang kalian tentu hendak memaksanya mengaku untuk mendapatkan pusaka itu!”

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li saling pandang, agaknya terkejut dan kagum mendengar tebakan yang memang tepat itu. Kemudian Pek-hiat Mo-ko tertawa dan menggerak-gerakkan tangannya.

“Ha-ha-ha, memang pantaslah kalau Bouw Thaisu menjadi seorang tokoh tersembunyi di timur yang amat sakti! Kiranya selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kecerdasan istimewa. Akan tetapi, apakah kalian berdua tahu apa hubungan kami dengan bokor emas itu? Apakah kalian yang mungkin dahulu ikut pula mencari bokor emas tahu akan riwayat bokor emas itu?”

Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw terus terang mengatakan tidak tahu dan memang sejak pusaka itu diperebutkan orang belasan tahun yang lalu sehingga menggegerkan dunia kang-ouw, tidak ada orang tahu dari mana asal mulanya pusaka itu. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa Panglima The Hoo kehilangan pusaka bokor emas yang katanya mengandung harta kekayaan dan ilmu-ilmu silat yang tinggi.

“Ketahuilah bahwa bokor emas itu sesungguhnya adalah milik kami!”

Keterangan ini mengejutkan hati Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, juga Yap In Hong yang telah siuman itu ikut mendengarkan sejak tadi dan menjadi kaget dan heran. Dia diam-diam saja masih rebah terlentang di atas lantai akan tetapi dia ikut mendengarkan dengan penuh perhatian karena biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah pewaris ilmu-ilmu dari bokor emas itu, namun diapun tidak pernah mendengar akan riwayat bokor emas itu, bahkan mungkin gurunya sendiripun tidak mengetahui, karena pernah beberapa kali gurunya menyebut-nyebut bokor emas itu sebagai milik Panglima The Hoo yang hilang dan diperebutkan dan akhirnya berkat kecerdikan gurunya, bokor itu terjatuh ke tangan gurunya.

Milik kalian?”

Bouw Thaisu yang menjadi terkejut memandang tajam, penuh kesangsian. Di seluruh dunia kang-ouw telah terkenal bahwa bokor itu milik Panglima The Hoo, kenapa kini diaku oleh dua orang tokoh yang merupakan orang-orang asing dari Sailan ini? “Akan tetapi semua orang mengira bahwa pusaka itu milik mendiang Panglima The Hoo yang dilarikan oleh anak buahnya dan kemudian lenyap lalu diperebutkan!”

“Benar, akan tetapi tentu engkau belum tahu dari mana The Hoo mendapatkan pusaka itu, bukan? Dia merampasnya dari kami!”

“Manusia pengecut dan pembohong besar!”

Tiba-tiba In Hong tak dapat menahan kemarahannya mendengar ucapan itu.

“Kalian berdua selain pengecut, juga pembohong! Kalau benar pusaka itu milik kalian, tentu semua isinya yang menjadi rahasia berada di Sailan, bukan di daratan sini!”

Mendengar ucapan In Hong yang sudah duduk itu, Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw membenarkan.

“Memang demikian, Mo-ko!”

Kata Bouw Thaisu.

“Ha-ha-ha, kau sudah sadar kembali? Wah, Mo-li, engkau menang. Ternyata racunku itu hanya bertahan membikin dia pingsan tidak lebih dari sepuluh hari! Eh, Yap In Hong, kau juga ingin mendengarkan tentang bokor emas itu yang terjatuh ke tangan mendiang gurumu? Nah, dengarkan sebelum engkau menyerahkan kembali pusaka itu kepada kami yang berhak memilikinya.”

Pek-hiat Mo-ko lalu bercerita. Dua orang ini pada puluhan tahun yang lalu telah menjadi sepasang jagoan di Sailan yang tidak ada tandingannya. Selain ilmu-ilmu mereka yang tinggi, juga mereka dipercaya oleh Raja Sailan sehingga mereka memiliki kekuasaan yang besar.

Karena kekuasaan inilah maka mereka berdua dapat menguasai sebuah bokor emas yang tadinya merupakan pusaka dari gudang pusaka Raja Sailan. Bokor emas ini dahulu, ratusan tahun yang lalu, ditinggalkan oleh seorang pendeta atau hwesio sakti yang ikut dalam rombongan ekspedisi yang dikirim oleh Kaisar Kerajaan Goan-tiauw, Yaitu Kerajaan Mongol yang pada waktu itu menguasai Tiongkok, bahkan yang telah menaklukkan Sailan dan semua negara di selatan dan barat. Ketika hendak mengikuti rombongan ekspedisi sebagai utusan Kaisar itu, hwesio sakti ini meninggalkan harta pusaka dan kitab-kitab ilmu silat miliknya, disembunyikan di suatu tempat dan ketika dia terserang penyakit hebat dan tahu bahwa dia akan meninggal dunia di Sailan dia lalu menyuruh buat bokor emas itu dan rahasia dari harta pusaka peninggalannya dia ukir di sebelah dalam bokor emas itu.

Raja Sailan hanya mengira bahwa bokor emas itu adalah bokor emas biasa akan tetapi dua orang lihai itu segera tahu bahwa bokor itu mengandung rahasia pusaka terpendam yang tentu saja berada di Tiongkok. Maka mereka menguasai bokor itu dan pada waktu itu, Panglima The Hoo dan pasukannya yang mengadakan perjalanan ekspedisi pula tiba di Sailan. Raja Sailan yang maklum akan kebesaran Kerajaan Beng-tiauw yang sedang berkembang, menyambutnya dengan baik sehingga tidak terjadi perang. Akan tetapi, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran itu lalu minggat dari istana, dan membawa banyak barang-barang pusaka berharga, di antaranya adalah bokor emas itu! Mendengar berita ini dari Raja Sailan, Panglima The Hoo menjadi tidak senang dan segera mengajak beberapa orang pembantunya untuk melakukan pengejaran.

Akhirnya di lereng pegunungan yang sunyi Panglima The Hoo dapat menyusul mereka dan terjadilah pertandingan hebat. Panglima The Hoo yang berwatak gagah itu melarang para pembantunya mengeroyok dan dia seorang diri menghadapi Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang tokoh Sailan yang memiliki banyak ilmu pukulan beracun itu. Akhirnya, mereka berdua kalah, bahkan hawa beracun dari pukulan-pukulan mereka membalik dan meracuni diri mereka sendiri. Mereka melarikan diri meninggalkan semua harta pusaka curian itu, termasuk bokor emas itu, dan The Hoo tidak mengejar mereka melainkan menyuruh para pembantunya membawa pusaka kembali ke istana Raja Sailan. Raja Sailan girang sekali dan menghadiahkan bokor emas itu kepada The Hoo. Sebagai seorang berilmu tinggi, The Hoo segera mengenal bokor itu sebagai bokor pusaka yang mengandung rahasia, maka dibawanyalah bokor emas itu pulang ke Tiongkok.

Akan tetapi, seorang di antara para pembantunya yang mendengar akan rahasia bokor emas, mencurinya dan melarikan bokor itu sehingga akhirnya bokor itu lenyap di dasar sungai. Berita tentang bokor milik Panglima The Hoo tersebar luas dan semua tokoh kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Semua itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Petualang Asmara dan akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Yo Bi Kiok. Panglima The Hoo sendiri sampai meninggal dunia belum pernah mengetahui akan pusaka yang dikandung oleh bokor emas itu, demikian pula dua orang jagoan Sailan itu. Tentu saja penuturan Pek-hiat Mo-ko dirubahnya sedikit dan dikatakannya bahwa bokor emas itu adalah milik mereka akan tetapi ketika mereka kalah bertanding melawan The Hoo, bokor itu dirampas oleh The Hoo!

“Demikianlah,”

Pek-hiat Mo-ko mengakhiri ceritanya.

“Memang kami kalah pada waktu itu oleh The Hoo, dan dia merampas bokor yang menjadi milik kami. Sekarang, kami menghendaki kembalinya bokor itu atau lebih tepat lagi, menghendaki semua pusaka yang ditemukan oleh petunjuk rahasia dalam bokor. Bukankah itu sudah adil namanya? Bokor itu adalah milik kami!”

“Memang milik kalian kalau begitu,”

Hek I Siankouw mengangguk akan tetapi Bouw Thaisu diam saja.

“Pek-hiat Mo-ko, engkau sungguh tak tahu malu!”

Tiba-tiba In Hong berkata.

“Kau sendiri tadi menceritakan bahwa bokor emas itu bukan milikmu, juga bukan milik mendiang Panglima The Hoo, melainkan milik seorang hwesio perantau yang meninggalkannya di Sailan. Berarti tidak ada yang memiliki lagi secara mutlak atau tidak ada yang berhak lagi. Yang berhak mewarisi adalah dia yang berhasil memperolehnya, dan karena akhirnya mendiang subo yang memperolehnya, maka mendiang subo yang berhak.”

“Hemm, dan sekarang subomu telah mati, akan tetapi masih ada kau dan kau menjadi tawanan kami, maka engkau harus mengembalikan semua pusaka itu kepada kami,”

Kata Hek-hiat Mo-li.

“Engkau sudah kalah oleh kami, berarti kami yang kini berhak merampas pusaka itu.”

“Tak tahu malu! Kalian mengeroyokku secara curang, bagaimana bisa bilang bahwa kalian menang dariku?”

“Eh, eh, bocah sombong! Kau kira aku tidak mampu mengalahkanmu?”

Hek-hiat Mo-li membentak marah. In Hong sudah bangkit berdiri, kepalanya agak pening dan seluruh tubuhnya terasa kaku saking lamanya dia pingsan, akan tetapi dua orang iblis itu yang menghendaki dia hidup telah memberinya mekan di waktu dia dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan seperti orang mabok, sehingga kini tenaganya masih tetap terpelihara. Dia merasa kuat menghadapi lawan, maka kini dia menantang,

“Hek-hiat Mo-li, kalau benar kau gagah, mari kita bertanding satu lawan satu, jangan menggunakan kecurangan.”

“Baik, aku ingin menghajar bocah sombong macammu ini!”

Hek-hiat Mo-li sudah meloncat bangun.

“Hati-hati Mo-li, jangan kena dipancing oleh dia. Perlu apa melayani seorang tawanan yang sudah tidak berdaya lagi?”

Kata Hek I Siankouw yang maklum betapa lihainya dara itu. Bouw Thaisu hanya diam saja dan diam-diam dia tertarik karena dia mendengar berita bahwa kini dua orang iblis ini telah menguasai ilmu yang amat hebat, yaitu kekebalan yang membuat tubuh mereka tak dapat dirobohkan oleh pukulan atau senjata yang bagaimana ampuh sekalipun, sehingga mereka seolah-olah tidak bisa mati! Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan berkata,

“Boleh kau coba ketangguhanmu terhadap dia, Mo-li. Akan tetapi hati-hati, jangan kaubunuh dia. Kita masih amat memerlukannya.”

“Aku tahu!”

Jawab Hek-hiat Mo-li dan dia lalu menekan sebuah tombol yang menghubungkan dengan alat. Kuncinya terbuka dan dengan mudah dia mendorong pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja berat itu terbuka.

“Keluarkanlah, bocah sombong!”

In Hong maklum bahwa dia tidak akan mampu meloloskan diri dari tempat ini sebelum dia mengalahkan empat orang itu, dan dia tidak tahu apakah di luar rumah besar ini, dari mana dia tidak dapat melihat keluar, tidak terdapat orang-orang lain yang menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja dia tidak mau sembrono mencoba untuk melarikan diri, karena selain hal itu berbahaya, juga dia tidak sudi kalau dikatakan takut! Ruangan itu luas dan dengan tenang In Hong lalu berjalan di tengah ruangan itu, lalu membalikkan tubuh menghadap ke arah mereka sambil berkata,

“Nah, majulah Hek-hiat Mo-li!”

Hek-hiat Mo-li meloncat ke depan In Hong, sejenak dia memandang kepada dara itu dengan penuh selidik, kemudian dia membentak.

“Jaga seranganku ini!”

Dan cepat kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher dan yang kiri menghantam ke arah pusar. Gerakannya dahsyat dan cepat, mendatangkan angin bersiut, tanda bahwa nenek itu mempergunakan tenaga yang amat kuat. Namun dengan tenang In Hong menyambut serangan itu, mengelak dari cengkeraman dan tangan kanannya menangkis pukulan tangan kiri lawan, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari samping secara tidak terduga-duga dibarengi suara angin berdesir kuat.

“Desss…!”

Itulah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat dan yang tepat mengenai pangkal lengan nenek itu sehingga tubuh si nenek itu terlempar dan bergulingan di atas lantai.

Hek I Siankouw bangkit berdiri dan wajah Bouw Thaisu menegang, namun Pek-hiat Mo-ko sambil tersenyum memberi isyarat agar mereka duduk kembali dan tenang saja. Mereka melihat nenek bermuka hitam itu ternyata tidak apa-apa dan sudah meloncat berdiri, lalu menerjang lagi dengan gerakan yang lebih dahsyat dan lebih cepat, menghujani In Hong dengan serangan-serangannya. In Hong kagum bukan main. Memang dia sudah menduga bahwa nenek ini memiliki kekebalan yang amat hebat, sehingga hantaman dengan Thian-te Sin-ciang tidak merobohkannya. Padahal nenek itu sekarang telah buta mata kirinya, namun serangan-serangannya masih cepat dan kuat dan kekebalannya agaknya juga tidak berkurang!

Dan melihat betapa serangan-serangan nenek itu berbahaya sekali, diapun lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari gurunya, ilmu silat tinggi yang gerakannya aneh. Bouw Thaisu yang memperhatikan semua gerakan In Hong, menjadi kagum. Ada dasar-dasar ilmu silat dari Siauw-lim-pai di dalam gerakan silat In Hong, akan tetapi telah berubah banyak sekali sehingga dia tidak dapat mengenalnya. Itulah agaknya ilmu simpanan yang menjadi rahasia dari bokor emas, pikirnya dan memang hebat ilmu itu. Seorang gadis semuda itu dapat menghadapi serangan-serangan seganas serangan Hek-hiat Mo-li dengan baik dan hal ini sudah membuktikan bahwa ilmu silat yang didapat dari pusaka bokor emas itu adalah ilmu silat pilihan yang tinggi tingkatnya.

“Plakk! Dukk!”

Tubuh nenek itu tarhuyung. Dua kali dia terkena pukulan, pertama tengkuknya kena ditampar dan kedua perutnya kena dihantam oleh In Hong. Kalau orang lain yang terkena satu saja dari dua pukulan itu tentu roboh, akan tetapi nenek itu hanya terhuyung, bahkan masih dapat terkekeh mengejek dan langsung menubruk lagi! In Hong mulai merasa serem! Nenek ini bukan manusia agaknya! Belum pernah dia mendengar akan kekebalan sehebat itu, apalagi menyaksikannya! Karena ternyata buhwa ilmu silat yang dimainkan oleh In Hong lebih lihai sehingga tampak sekali dia menguasai pertandingan itu dan lebih sering dapat memukul lawan, maka semua orang yang menonton pertandingan itu makin kagum. Pek-hiat Mo-ko mengelus jenggotnya.

Kalau dia dapat menguasai ilmu silat yang dimiliki gadis itu, pikirnya, maka kelihaiannya akan bertambah hebat dan kiranya tidak akan ada lagi tandingannya di dunia ini. Biarpun sekarang dia memiliki kekebalan seperti yang dimiliki nenek itu, namun tanpa ilmu silat tinggi, juga tidak mudah merobohkan lawan. Seratus jurus telah lewat dan sudah lebih dari enam kali nenek itu terpelanting roboh dan terhuyung, namun dia selalu maju lagi dengan makin ganas, seolah-olah pukulan-pukulan maut itu yang kadang-kadang mengandung Thian-te Sin-ciang, tidak membuatnya nyeri malah memberinya tambahan tenaga dan semangat! In Hong menjadi penasaran dan marah. Teringat bahwa mata kiri nenek itu dapat dibikin buta oleh jarum yang menyambar keluar dari arca Kaisar, kini dia menujukan serangan-serangan ke arah mata kanan nenek itu!

“Aihhh!!”

Nenek itu menjerit marah dan Pek-hiat Mo-ko kini mengepal tinjunya, agaknya diapun terkejut dan siap-siap untuk membantu kawannya. Betapapun hebat ilmu kekebalan mereka, namun mereka tidak dapat membuat biji mata mereka kebal! Karena Hek-hiat Mo-li selalu melindungi mata kanannya, maka usaha In Hong untuk menusuk mata itu dengan jari tangannyapun tidak berhasil. Pukulan-pukulannya mengenai pipi dan kepala, namun ternyata kepala nenek itupun kebal! Dengan geram dia lalu mengerahkan Thian-te Sin-ciang di tangan kirinya dan pada saat yang baik dia lalu menghantam ulu hati nenek itu dengan tangan kirinya yang terbuka.
“Desss… plakkk…!”

Tubuh nenek itu kembali terjengkang dan bergulingan sampai jauh akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi, sedangkan tubuh In Hong terkulai lemas dam dia roboh karena tadi, ketika dia memukul, nenek itu sama sekali tidak menangkis melainkan membarengi dengan tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak In Hong. Tamparan itu tidak terlalu hebat, akan tetapi karena kuku jari tangan nenek itu beracun dan kuku itu menggurat pundak dekat leher, maka In Hong segera menjadi lemas dan pening oleh pengaruh racun.

“Heh-he-he-heh!”

Nenek itu meloncat dekat.

“Dessss!”

Tubub dara itu ditendangnya sampai terguling-guling.

“Cukup, Mo-li!”

Pek-hiat Mo-ko berseru dan dia lalu meloncat, menyambar tubuh In Hong, membawanya ke pintu kamar dan melemparkan tubuh yang lunglai itu ke dalam kamar lalu menutupkan pintunya kembali. In Hong rebah miring dan masih memejamkan matanya karena kepalanya pening.

“Racun itu tidak akan membunuhmu, Yap In Hong, akan tetapi akan menyiksamu selama tiga hari. Biarlah itu menjadi peringatan bagimu bahwa engkau tidak dapat mengandalkan kepandaianmu terhadap kami di sini. Baru menghadapi Mo-li seorang saja engkau sudah tidak berdaya. Dan kami ada berdua, dibantu pula oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw yang ingin sekali membunuhmu untuk membalas kematian Hwa Hwa Cinjin, dan anak buah kami ada seratus orang berjaga di luar! Biarlah dalam tiga hari ini kauingat baik-baik agar engkau pertimbangkan permintaan kami untuk menyerahkan pusaka dari bokor emas itu kepada kami!”

Setelah berkata demikian, Pek-hiat Mo-ko mengajak tiga orang kawannya untuk melanjutkan makan minum.

“Kita harus bersiap-siap,”

Kata Pek-hiat Mo-ko.

“Sudah kurang lebih setengah bulan sejak gadis ini kami larikan dari istana. Mengingat bahwa gadis ini mempunyai hubungan dengan orang-orang pandai, di antaranya putera ketua Cin-ling-pai, maka tidak mustahil kalau sekarang mereka itu sudah mulai menuju ke sini.”

“Tidak hanya di sini kita harus bersiap-siap,”

Sambung Hek-hiat Mo-li.

“Akan tetapi jalan menuju ke lembah ini hanya melalui Padang Bangkai, maka sebaiknya kalau kita berpesan kepada majikan Padang Bangkai untuk berjaga-jaga pula dan cepat mengabarkan kalau ada orang dapat melewati Padang Bangkai dan menuju ke sini.

“Keadaan sudah mulai gawat dan yang kita hadapi nanti adalah orang-orang pandai,”

Kata Hek I Slankouw.

“Maka urusan mengirim pesan kepada majikan Padang Bangkai biarlah dilakukan oleh muridku.”

“Ha-ha-ha, baiklah, Siankouw. Engkau baik sekali bersama muridmu mau membantu kami dengan sungguh-sungguh.”

“Dan ingat, Mo-ko, semua bantuanku ini hanya untuk satu balasan, yaitu kauserahkan gadis keparat itu kepadaku untuk kupenggal kepalanya dan kupakai sembahyang di depan kuburan Hwa Hwa Cinjin!”

Kata nenek berpakaian hitam ini gemas.

“Ha-ha, jangan khawatir. Setelah kami selesai dengan dia pasti akan kuserahkan kepalanya kepadamu,”

Jawab Pek-hiat Mo-ko.

“Dan pinto membantumu hanya karena pinto hendak menghadapi keluarga Cin-ling-pai untuk membalas kematian Thian Hwa Cinjin sahabatku,”

Kata Bouw Thaisu. Hek I Slankouw lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan tak lama kemudian terdengarlah suara lengking yang sama dan disusul berkelebatnya bayangan merah. Seorang gadis yang usianya tentu ada dua puluh lima tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis sekali.

Gadis ini adalah murid Hek I Siankouw yang bernama Liong Si Kwi, seorang gadis manis yang sampai berusia dua puluh lima tahun belum juga menikah karena gurunya menghendaki agar dia menikah dengan seorang laki-laki pilihan, seorang pangeran atau setidaknya putera seorang Pangcu yang terkenal atau seorang laki-laki yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari gadis itu sendiri, muda dan tampan! Tentu saja sukar sekali mencari jodoh yang ditentukan nilai-nilainya ini dan banyak sudah pemuda yang jatuh hati kepada Si Kwi yang manis itu terpaksa mundur teratur sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, Liong Si Kwi masih perawan dan biarpun di dalam hatinya dia sudah ingin sekali menjadi isteri orang, namun keinginan ini selalu ditahannya karena selain malu, diapun takut kepada gurunya yang dalam hal ini amat galak!

“Subo!”

Kata Si Kwi sambil menjura ke arah gurunya, sikapnya manis dan gagah, dan sepasang pedang yang bersarung dan bergagang indah terukir itu tergantung di punggung, gagangnya nampak di kanan kiri pundaknya, menambah kegagahannya. Pakaiannya sederhana namun terbuat dari sutera merah dan menempel ketat mencetak tubuhnya yang penuh lekuk lengkung menggairahkan, tanda bahwa dia adalah seorang wanita yang sudah masak, seperti setangkai bunga atau buah yang siap untuk dipetik. Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li memandang dengan kagum, sedangkan Bouw Thaisu mengerutkan alisnya sambil berkata,

“Siankouw, apakah bijaksana mengutus muridmu ini ke Padang Bangkai? Muridmu masih muda dan cantik, dan sepanjang pendengaran pinto, Ang-bin Ciu-kwi si pemabok dari Padang Bangkai itu sukar melewatkan seorang wanita muda yang cantik tanpa diganggunya.”

“Hemm,”

Hek I Slankouw mendongkol.

“Dia mencari mampus kalau berani mengganggu muridku, pula, Si Kwi dapat menjaga diri sendiri.”

Lalu nenek berpakaian hitam ini bertanya kepada muridnya.

“Eh, Si Kwi, beranikah engkau diutus ke Padang Bangkai menemui Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, majikan-majikan Padang Bangkai?”

Gadis itu yang tadi mendengar ucapan Bouw Thaisu bahwa si pemabok yang berjuluk Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) itu suka menggoda wanita muda, menjadi merah mukanya dan dia meraba kantong di pinggangnya, yaitu kantong yang terisi senjata rahasianya yang ampuh seperti senjata rahasia gurunya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam), lalu menjawab.

“Tentu saja teecu berani, subo.”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, anak baik!”

Kata Hek-hiat Mo-li.

“Kalau si pemabok gila itu hendak mengganggumu, katakan bahwa engkau utusan kami, tentu dia akan mundur teratur!”

“Liong Si Kwi, kami menerima usul gurumu agar engkau yang menjadi utusan kami pergi ke Padang Bangkai!”

Kata Pek-hiat Mo-ko.

“Temuilah suami isteri mabok itu dan katakan bahwa menurut pikiran kami, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka mereka harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan yang tangguh mampu melewati Padang Bangkai, agar mereka secepatnya memberi kabar kepada kami di sini!”

“Baik, locianpwe,”

Jawab Si Kwi dan nona ini melirik ke dalam kamar tahanan, melihat betapa dara yang ditawan itu duduk bersila sambil memejamkan mata seperti orang sedang siulian (samadhi). Dara murid Hek I Siankouw ini bukanlah orang jahat, dan sesungguhnya, Hek I Siankouw sendiripun dahulunya adalah seorang tokouw yaitu pendeta wanita Agama To yang hidup dengan bersih, bahkan menjauhkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi, dia bersama Hwa Hwa Cinjin terjebak dalam perangkap nafsu berahi dan mereka itu, seorang pendeta wanita dan seorang pertapa pria, mengadakan hubungan gelap dan selanjutnya menjadi kekasih.

Karena Hwa Hwa Cinjin adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoat-su yang terbunuh oleh The Hoo, maka diapun terkena bujukan Lima Bayangan Dewa untuk membantu mereka menghadapi ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai sahabat The Hoo dan juga musuh Toat-beng Hoat-su. Ke manapun Hwa Hwa Cinjin pergi, apalagi menghadapi urusan berbahaya, tentu saja Hek I Siankouw ikut dengan meninggalkan muridnya. Dan kini, setelah Hwa Hwa Cinjin kekasihnya sejak muda itu tewas oleh In Hong, tentu saja Hek I Siankouw menaruh dendam dan maulah dia bekerja sama dengan dua orang kakek nenek guru Sabutai itu sambil mengajak muridnya. Sungguhpun wataknya angkuh dan keras sebagai murid seorang pandai, namun Liong Si Kwi tidak pernah terlibat dalam kejahatan,

Bahkan dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang keras hati dan menentang kejahatan! Tentu saja dia tidak menganggap bahwa subonya itu jahat, pula dia tidak menganggap bahwa orang-orang yang kini dibantu subonya itu jahat, karena dianggapnya mereka, seperti juga subonya, hendak menuntut balas, dan pembalasan dendam dianggapnya bukanlah perbuatan jahat. Kini melihat betapa tawanan wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, juga kelihatan tenang saja, dia sudah menjadi kagum bukan main. Akan tetapi justeru gadis di dalam tahanan itulah yang menjadi pembunuh supeknya, yaitu Hwa Hwa Cinjin, demikian menurut keterangan subonya, maka dia memandang ke arah In Hong dengan sinar mata benci. Musuh gurunya berarti juga musuhnya, karena gurunya itupun menjadi pengganti orang tuanya.

“Subo, kenapa tidak dibunuhnya saja dia itu?”

“Justeru dia menjadi umpan untuk memancing datangnya musuh-musuh besar yang lain, Si Kwi. Akan tetapi dia sudah tidak berdaya dan nyawanya berada di tangan kita,”

Jawab gurunya dengan wajah beringas penuh dendam.

“Sekarang berangkatlah, muridku, dan hati-hatilah karena majikan Padang Bangkai adalah orang-orang setengah gila!”

Gadis itu mengangguk, memberi hormat lalu meloncat dengan cepat sekali, lenyap dari tempat itu. Bouw Thaisu mengangguk-angguk.

“Gin-kang murldmu itu pinto lihat amat hebat, mungkin tidak kalah oleh gurunya!”

“Memang betul, Thaisu. Si Kwi menerima pelajaran khusus dari mendiang Hwa Hwa Cinjin sehingga gin-kangnya menjadi matang dan lumayan. Karena gin-kangnya itulah maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya dan dia dijuluki orang Ang-yan-cu (Si Walet Merah),”

Jawab Hek I Siankouw dengan bangga.

Tempat In Hong ditahan itu adalah sebuah tempat yang terdiri dari beberapa bangunan yang kokoh kuat dan pernah menjadi markas atau benteng ketika Raja Sabutai dahulu bermarkas di situ bersama puluhan orang pengikutnya yang setia. Kini, oleh Raja Sabutai, bekas markas itu diberikannya kepada kedua orang gurunya. Memang tempat ini amat baik untuk dijadikan semacam benteng kecil, juga amat baik untuk menjadi tempat tinggal di daerah yang berbahaya itu. Tempat itu berada di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Naga dan berada di kaki Pegunungan Khing-an-san.

Karena lembah itu berada di tepi Sungai Luan-ho, tepat di tikungan sungai yang disusul dengan banyak tikungan-tikungan kecil, sehingga dari atas lembah itu Sungai Luan-ho kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-liku, maka lembah itu dinamakan Lembah Naga. Lembah Naga terletak di luar Tembok Besar, di daerah Mongol dan di daerah itu terdapat banyak tempat-tempat yang amat berbahaya, gunung-gunung yang tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tak bertepi, diseling gurun-gurun pasir yang tandus. Jalan menuju ke Lembah Naga itu kalau didatangi dari barat, timur dan selatan, hanya ada satu saja, yaitu dari selatan melalui Padang Bangkai! Tidak ada jalan lain yang mungkin membawa manusia mendatangi Lembah Naga kecuali melalui Padang Bangkai ini.

Mengapa dinamakan Padang Bangkai? Sebetulnya padang itu adalah padang rumput yang luas, akan tetapi keadaannya demikian aneh dan banyak sekali binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang manusia yang melakukan perjalanan lewat tempat itu dan tersesat, berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai! Memang amat berbahaya sekali. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa, dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah itu, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, Baik di musim panas maupun di musim semi tetap saja hijau segar itu, merupakan tempat maut yang mengerikan.

Salah sangka membuat banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjerumus, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tak terukur besarnya. Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun demikian tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Ada pula bagian yang rumputnya berwarna aneh kebiruan dan ternyata rumput di bagian ini mengandung racun yang berbahaya.

Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka lalu terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas. Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan alang-alang setinggi orang dan yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara alang-alang tinggi ini berlika-liku, bercabang-cabang dan semua sama bentuknya, yaitu lorong setapak yang di kanan kiri diapit-apit oleh alang-alang tinggi! Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini, maka amat berbahaya, belum lagi binatang-binatang buas yeng menghuni di dalam rumpun alang-alang lebat itu. Dan jalan umum yang melalui Padang Bangkai ini terhenti oleh sebuah dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah rumah.

Dusun ini dikelilingi oleh sungai yang memang sengaja dibuat, yaitu air dari Sungai Luan-ho yang dialirkan di sekeliling dusun itu sehingga kalau orang hendak melanjutkan perjalanan, mau tidak mau orang itu harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang terdapat di situ, melewati dusun itu dan menyeberang lagi di sungai yang berada di belakang dusun, karena kalau tidak mengambil jalan melalui dusun itu, orang harus mengambil jalan melalui padang rumput maut yang bawahnya lumpur itu, yang penuh di kanan kiri dusun menghadang jalan! Untuk mengelilingi dusun dengan perahupun tentu saja bisa, jadi tanpa melalui dusun, akan tetapi di situ tidak ada sebuahpun perahu, dan andaikata ada orang luar yang membuat perahu dan menggunakan jalan air di sekeliling dusun, tentu sebelum sampai di tempat tujuan perahunya sudah akan digulingkan oleh anak buah Padang Bangkai!

Sebetulnya tempat inipun dahulu dibuat oleh orang-orang Mongol atas perintah Raja Sabutai yang dipergunakan sebagai semacam gerbang maut untuk menghalang musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Akan tetapi karena tempat ini berbahaya sekali, setelah Sabutai meninggalkan tempat itu untuk menghimpun bala tentara yang besar, tempat itu tidak ada yang mau mempergunakannya dan ditinggalkan terlantar. Baru pada beberapa tahun yang lalu, dua orang aneh datang ke tempat itu, kemudian menjadi penghuni di situ, bahkan mereka lalu mengumpulkan anak buah mereka yang jumlahnya ada belasan orang, yang menjadi murid, anak buah, juga melayani segala kebutuhan mereka. Siapakah dua orang aneh yang berani tinggal di tempat yang berbahaya itu? Mereka bukanlah orang-orang biasa tentu saja, melainkan orang-orang yang berkepandaian tinggi.

Mereka merupakan sepasang suami isteri yang aneh dan tidak lumrah suami isteri biasa, melainkan lebih tepat kalau dinamakan sekutu yang kadang-kadang saling memperlihatkan kekuasaan dan memang kepandaian mereka adalah seimbang. Yang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan sikapnya kasar dan wajahnya yang membayangkan kekasaran dan keberanian itu selalu berwarna merah, matanya lebar dan jarang sekali orang melihat dia terlepas dari guci arak. Dialah yang dijuluki orang Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah), seorang yang memiliki tenaga besar dan dapat membunuh orang dengan kejam, mencekik leher orang dengan tangan kiri dan selagi orang itu berkelojotan, tangan kanannya membawa guci arak ke mulutnya untuk diminum mengglogok!

Isterinya berusia empat puluhan tahun, wajahnya cukup cantik dan karena dia pesolek dan sikapnya agak genit, maka dia masih menarik. Tubuh yang terawat itu masih ramping dan padat, dan melihat sikapnya, orang mengira dia seorang wanita yang baik hati karena sikapnya lemah dan manis budi. Akan tetapi, sebetulnya, di balik senyumnya yang manis itu bersembunyi hati yang amat kejam, yang merasa gembira kalau melihat orang atau lawan tersiksa! Dia ahli racun, dan jarum-jarumnya yang beracun amat terkenal karena dia memiliki bermacam-macam jarum yang mengandung racun-racun bermacam-macam ular sehingga kalau mengenai tubuh lawan, juga menimbulkan siksaan bermacam-macam pula. Inilah wanita yang dijuluki Coa-tok Sian-li (Si Dewi Racun Ular)!

Ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li meninggalkan Raja Sabutai yang mengecewakan hati mereka karena raja yang menjadi murid mereka itu tidak melanjutkan serangan ke selatan bahkan berdamai dengan Kaisar, dan terutama sekali menyuguhkan isterinya kepada Kaisar, kedua orang kakek dan nenek ini lalu tinggal di Lembah Naga yang diberikan kepada mereka oleh Sabutai. Dan Raja Sabutai juga memberikan seratus orang pengawal kepada dua orang gurunya ini yang dipilih sendiri oleh kakek dan nenek itu. Seratus orang inilah yang kini menjadi anak buah mereka di Lembah Naga! Akan tetapi ketika dua orang kakek dan nenek ini mendengar bahwa Padang Bangkai kini mempunyai majikan baru, mereka lalu datang ke tempat itu untuk menuntut bahwa tempat itu termasuk wilayah Lembah Naga.

Tentu saja suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tidak mengenal kakek dan nenek berasal dari Sailan ini memandang rendah dan menyerang mereka, akan tetapi keduanya terkejut karena dengan amat mudahnya suami isteri itu dihajar jatuh bangun oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko sampai mereka minta-minta ampun! Kakek dan nenek itu melihat betapa kepandaian mereka berdua itu lumayan, dan karena untuk menghadapi para pembesar Beng-tiauw yang mempunyai banyak orang pandai itu merekapun membutuhkan kawan, maka mereka tidak membunuh suami isteri itu bahkan ditarik menjadi sekutunya! Padang Bangkai diberikan kepada mereka sebagai tempat tinggal akan tetapi mereka harus menjaga agar jangan ada musuh yang dapat mendekati Lembah Naga tanpa diketahui.

Demikianlah sedikit keterangan tentang Lembah Naga dan Padang Bangkai, dan pada suatu hari, kini matahari telah naik tinggi, serombongan orang yang jumlahnya tiga puluh enam orang kelihatan berjalan dari selatan menuju ke Padang Bangkai! Mereka itu terdiri dari tiga puluh orang wanita dan enam orang pria, dipimpin oleh seorang wanita yang berusia tiga puluh tahun lebih, cantik dan gagah. Dua puluh sembilan wanita lain yang menjadi anak buahnya juga rata-rata memiliki gerakan yang gagah dan usia mereka itu paling tinggi empat puluh tahun dan paling muda tiga puluh tahun.

Kesemuanya membawa sebatang pedang di pinggang mereka, kecuali wanita yang menjadi pemimpin dan yang berpakaian serba hijau itu, yang selain membawa sebatang pedang panjang, di pinggangnya terselip pula sepasang pedang pendek. Adapun enam orang laki-laki itu agaknya menjadi semacam pelayan, karena enam orang inilah yang membawa buntalan-buntalan mereka dan berjalan di tengah-tengah, dan sungguhpun mereka juga terdiri dari orang-orang muda berusia paling tinggi tiga puluh tahun dan bertubuh tegap dan gerakannya gesit, namun sikap mereka terhadap para wanita itu jelas memperlihatkan bahwa mereka itu kalah pengaruh! Siapakah mereka ini yang begitu berani mati mendatangi tempat berbahaya ini? Mereka itu bukan lain adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang dan hal ini jelas dapat dilihat dari hiasan rambut wanita-wanita itu yang berbentuk burung Hong!

Mereka adalah anak buah Yo Bi Kiok yang telah tewas. Seperti telah kita ketahui, Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw (Telaga Setan) dan menjadikan tempat itu sebagai markas mereka dan menawan sebagian dari anak buah Ui-hong-pang yang dipimpin oleh Kiang Ti yang dibunuh oleh Yo Bi Kiok. Kemudian perkumpulan itu ditinggalkan oleh Yo Bi Kiok dan ketika Yo Bi Kiok membantu Sabutai, ketua ini membawa sebagian besar anak buahnya untuk membantu. Setelah Yo Bi Kiok tewas, anak buahnya itu tersebar tidak karuan, ada yang menjadi isteri para perwira Sabutai, ada pula yang tewas atau melarikan diri. Akan tetapi, ada pula beberapa orang di antara mereka yang berhasil kembali ke Telaga Setan dan menceritakan kepada kawan-kawan mereka tentang kematian ketua mereka!

Kini jumlah mereka tinggal tiga puluh orang dan belasan orang laki-laki yang selama ini menjadi semacam pelayan yang melayani segala keperluan mereka, dari keperluan makan sampal keperluan sex! Adapun yang menjadi pemimpin mereka, setelah Yo Bi Kiok tewas dan Yap In Hong murid ketua mereka itu tidak di situ, adalah Bhe Kiat Bwee. Di permulaan cerita ini telah diceritakah tentang Bhe Kiat Bwe ini. Dia adalah seorang kekasih mendiang Kiang Ti yang tercinta, yaitu ketua dari Ui-hong-pang yang tadinya bersarang di Telaga Setan dan kemudian terbunuh oleh Yo Bi Kiok. Bhe Kiat Bwee ini seorang wanita cantik yang dipermainkan oleh Kiang Ti sebagai benda permainan indah yang menyenangkan dan menjadi pemuas nafsu berahi belaka. Oleh karena itu, Bhe Kiat Bwee amat membenci Kiang Ti, bahkan karena semenjak muda dia diperkosa dan dipermainkan oleh ketua Ui-hong-pang itu, timbul rasa bencinya terhadap pria pada umumnya.

Oleh karena itu, ketika Ui-hong-pang dihancurkan oleh Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang, diapun lalu menjadi anggauta Giok-hong-pang, bahkan dia dapat menjilat dan menyenangkan hati ketua Giok-hong-pang sehingga diam-diam Bhe Kiat Bwee menerima ilmu-ilmu silat tinggi dari Yo Bi Kiok! Ketua Giok-hong-pang ini, yang merasa kasihan melihat Bhe Kiat Bwee yang seperti juga dia, hidupnya dirusak oleh seorang pria, hanya bedanya Bhe Kiat Bwee dirusak kehormatarmya dan dijadikan benda permainan sedangkan dia dirusak hatinya oleh cinta tak terbalas, bahkan meninggalkan sebuan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepada pelayan pribadinya itu ketika dia meninggalkan Giok-hong-pang. Oleh karena inilah, maka dengan cepat Bhe Kiat Bwee berobah menjadi seorang yang tinggi kepandaian silatnya, paling tinggi di antara para anggauta Giok-hong-pang!

Setelah semua anggauta Giok-hong-pang yang masih ada melihat bahwa pelayan pribadi ketua mereka ini ternyata memiliki kepandaian tinggi bahkan mewarisi ilmu permainan sepasang pedang pendek dari ketua mereka, tentu saja mereka dengan senang hati menerima Bhe Kiat Bwee menjadi wakil ketua dan pemimpin mereka. Bhe Kiat Bwee yang amat mencinta ketua Giok-hong-pang, ketika mendengar akan kematian Yo Bi Kiok, menjerit dan menangis dengan sedih sekali. Dia lalu mengatur upacara sembahyang untuk menyembahyangi roh dari ketua mereka, kemudian dia mengumpulkan seluruh sisa anggauta Giok-hong-pang yang berjumlah tiga puluh orang dengan dia itu untuk pergi menyusul Yap In Hong, murid ketua mereka yang kabarnya berada di kota raja dan menjadi seorang puteri istana! Akan tetapi, di kota raja mereka mendengar bahwa baru beberapa hari ini puteri Yap In Hong itu telah diculik oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Marahlah Bhe Kiat Bwee dan dengan anak buah bekas pengikut Yo Bi Kiok sebagai petunjuk jalan, berangkatlah dia dan rombongannya itu menyusul ke utara untuk menolong Yap In Hong. Tiga orang pengikut Yo Bi Kiok yang berhasil lolos dari kematian dan yang pernah membantu Raja Sabutai, tahu siapa adanya kakek dan nenek iblis itu, dan merekapun tahu bahwa mereka itu tentu berada di Lembah Naga. Maka ke sanalah mereka menyusul, tiga puluh orang wanita Giok-hong-pang yang penuh dendam, ditemani oleh enam orang pria dari Telaga Setan yang mereka jadikan pembawa barang perbekalan dan pelayan. Menjelang sore rombongan itu tiba di batas wilayah Padang Bangkai dan mereka menghadapi padang yang amat luas, dan dari situ mereka dapat melihat bangunan rumah-rumah di dusun seberang padang yang luas itu.

“Kita malam ini harus dapat tiba di dusun depan itu,”

Kata Bhe Kiat Bwee sambil menudingkan telunjuknya ke depan.

“Kita bermalam di sana dan besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga.”

Teman-temannya mengangguk, dan seorang di antara mereka yang pernah mendengar tentang tempat ini ketika dia bersama sang ketua dan teman-temannya dahulu membantu Raja Sabutai, berkata.

“Harap Bwee-suci (kakak seperguruan Bwee) suka berhati-hati, kerena kalau tidak salah, daerah inilah yang disebut Padang Bangkai. Lihat di sana itu, bukankah itu kerangka manusia? Dan di sana itu terdapat bangkai seekor kuda yang membusuk. Hemm, tempat ini menyeramkan sekali dan tentu berbahaya.”

Bhe Kiat Bwee memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk.

“Biarpun berbahaya, kita tidak perlu takut. Yang penting kita harus berhati-hati sekali. Persiapkan tali panjang yang kita bawa!”

Segulung tali hitam panjang diambil dari buntalan yang dibawa oleh para laki-laki itu dan Bhe Kiat Bwee membawa gulungan tali itu di pundaknya.

Kemudian dia memimpin teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan dan memesan agar mereka semua bersikap hati-hati dan jangan sembrono. Tak lama kemudian, ketika melalui jalan setapak yang di kanan kirinya penuh dengan rumput hijau, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan di sebelah kanan. Bhe Kiat Bwee dan teman-temannya cepat menengok dan mereka melihat seorang di antara teman mereka yang menginjak rumput hijau itu telah amblas disedot oleh lumpur di bawah rumput. Wanita ini menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin hebat dia meronta, makin cepat tubuhnya disedot ke bawah! Seorang temannya cepat hendak menolongnya, dengan tangan terulur dia menghampiri dan diapun menjerit karena kaki kanannya juga tersedot dan ditarik oleh lumpur di bawah rumput yang diinjaknya.

“Kalian diam…! Jangan bergerak sedikitpun! Yang lain semua mundur! Jangan menginjak rumput hijau itu!”

Bhe Kiat Bwee yang cerdik cepat berteriak, kemudian dia sendiri lalu melontarkan ujung tali hitam ke arah dua orang itu. Mereka yang sudah pucat mukanya, seorang terbenam sampai ke leher dan yang kedua terbenam sampai ke pinggang, dengan kedua tangan menggigil menangkap ujung tali itu. Kiat Bwee lalu menarik, akan tetapi betapapun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, dua orang itu tidak dapat ditariknya! Dia lalu minta bantuan teman-temannya, akan tetapi sampai semua orang menarik tali itu beramai-ramai, tetap saja dua orang itu tidak dapat ditarik keluar!

“Satu demi satu!”

Kiat Bwee tidak kehilangan akal.

“Kalian berdua jangan bergerak sama sekali, makin bergerak tentu akan makin dalam kalian tenggelam!”

Dua orang yang sudah ketakutan dan lemas itu melepaskan tali dan kini Kiat Bwee membuat sebuah jeratan di ujung tali lalu dilemparkannya ke arah orang kedua yang hanya terbenam sampai ke pinggang. Lemparannya tepat dan jeratan yang berlingkar itu memasuki tubuh orang itu dan tali dapat menjerat pinggangnya. Wanita itupun memegangi tali seperti gila, karena dia maklum bahwa di situlah nyawanya tergantung. Tiba-tiba terdengar wanita yang terbenam sampai ke lehernya itu menjerit-jerit, matanya terbelalak dan teriakannya makin mengerikan.

“Jangan bergerak!”

Kiat Bwee berseru keras dan marah, akan tetapi wanita itu makin hebat menjerit-jerit dan meronta-ronta sehingga akhirnya kepalanyapun terbenam, tinggal kedua lengan yang masih meronta dan jari-jari tangannya yang mencengkeram-cengkeram ke udara. Itupun tidak lama karena segera kedua tangan itupun lenyap ditelan rumput-rumput hijau. Semua orang masih pucat dan merasa seram menyaksikan pemandangan itu, dan tiba-tiba wanita kedua itupun menjerit-jerit,

“Aduuhhh… augghh… aihhhh, lekas… lekas… tolong aku…!”

Dia mulai pula meronta-ronta dan Kiat Bwee cepat menarik tali yang kini sudah mengikat pinggang wanita itu. Teman-temannya membantu. Dengan pengerahan tenaga, mereka dapat menarik tubuh wanita itu sedikit demi sedikit karena amat sukar mencabut tubuh itu, apalagi karena wanita itu meronta dan menjerit-jerit seperti orang gila. Akhirnya wanita itu yang meronta-ronta seperti gila akhirnya mengejang, lalu lemas dan pingsan. Maka lebih mudahlah bagi Kiat Bwee dan teman-temannya untuk membetotnya keluar dari lumpur di bawah rumput hijau segar itu. Pakaian wanita itu, dari dada sampai ke ujung kaki, penuh dengan lumpur kehitaman dan ketika dia sudah ditarik ke atas tanah keras dalam keadaan pingsan, teman-temannya cepat membuka pakaiannya untuk dibersihkan tubuhnya dan ditukar pakaian kering dan bersih.

Aaihhhhh…!”

“Hiiiiihhhhh…!”

Jeritan-jeritan mengerikan terdengar ketika mereka sudah membuka celana dan baju wanita itu, karena ternyata di bawah pakaian itu kelihatan banyak binatang yang seperti lintah, yang sudah menggembung oleh darah yang dihisap mereka dari tubuh wanita itu sehingga menjadi merah gemuk! Dari dada sampai ke kaki, di situ menempel ratusan ekor binatang seperti lintah, warnanya kehijauan dan agak merah karena penuh darah, menempel pada kulit yang putih halus itu. Pantas saja wanita itu menjerit-jerit,

Kiranya selagi tubuhnya terbenam di dalam lumpur tadi, dia dikeroyok ratusan ekor binatang itu yang menggigitnya dan memasuki pakaiannya untuk dapat langsung menggigit kulit dan daging, mengisap darah langsung dari bagian-bagian yang lunak! Biarpun dengan memberanikan hati yang merasa jijik dan ngeri akhirnya Kiat Bwee dan teman-temannya dapat mencabuti semua lintah itu dari tubuh teman mereka, namun wanita itu tidak dapat hidup lama, bahkan tidak sadar lagi dari pingsannya, tubuhnya berubah menjadi kehitaman dan ternyata lintah-lintah itu bukan hanya menyedot darah, akan tetapi juga meninggalkan racun yang saking banyaknya menjadi berbahaya dan mematikan juga! Terpaksa mereka menguburkan mayat teman ini di tempat itu, menggali lubang di tanah keras antara dua padang rumput yang mengerikan itu. Kiat Bwee lalu berkata,

“Kita maju terus. Ini adalah daerah musuh, akan tetapi untuk membela nona In Hong, kita tidak boleh takut atau mundur, hanya kita harus makin berhati-hati.”

Mereka kini menggunakan tongkat-tongkat untuk memeriksa keadaan sehingga tidak sampai terjebak seperti dua orang temen mereka tadi. Ketika mereka menghadapi padang yang penuh dengan rumput alang-alang, Kiat Bwee berkata,

“Jalan kecil ini melalui rumput alang-alang, agaknya aman di sini, akan tetapi kalian siapkan senjata masing-masing agar mudah menjaga diri kalau ada serangan musuh.”

Rombongan yang sudah berkurang dua orang itu kini berjalan berindap-indap melalui jalan kecil di antara dua hutan alang-alang itu. Akan tetapi, makin lama mereka berjalan, makin tinggi juga alang-alang di kanan kiri mereka, sampai akhirnya rumpun alang-alang di kanan kiri itu sama tingginya dengan mereka sehingga mereka tidak dapat melihat apa-apa di kanan kiri mereka kecuali rumpun alang-alang!

Kiat Bwee mengeluarkan sehelai saputangan merah dan dicabik-cabiknya saputangan ini menjadi potongan-potongan kecil-kecil dan setiap sepuluh langkah dia melemparkan sepotong cabikan saputangan merah ke atas tanah yang mereka lewati. Memang wanita ini cerdik sekali. Dia tahu bahwa lorong di antara rumpun alang-alang ini merupakan tempat berbahaya yang dapat menyesatkan, maka dia sudah bersiap-siap lebih dulu dengan memberi tanda-tanda kepada lorong yang sudah mereka lewati agar mudah nanti menemukan jejak mereka kembali. Dan dugaannya memang tepat sekali. Lorong di antara dua “dinding”

Alang-alang itu mulai terpecah, mulai bercabang-cabang dan membelak-belok!

Dan di luar pengetahuan mereka, semenjak mula-mula mereka memasuki wilayah Padang Bangkai memang mereka sudah diawasi terus oleh anak buah Padang Bangkai! Banyak pasang mata pria yang terbelalak dan dengan mulut menyeringai dan mengilar, para anak buah Padang Bangkai memandang wanita-wanita yang rata-rata memiliki tubuh padat berisi dan wajah cantik itu, seperti sekumpulan laba-laba yang melihat masuknya lalat-lalat gemuk ke dalam sarang mereka! Rombongan wanita yang dipimpin Bhe Kiat Bwee itu mulai menjadi bingung ketika jalan kecil itu berputar-putar, bahkan lalu memutar kembali lagi ke arah semula! Dan selagi mereka kebingungan, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ratusan ekor ular dari kanan kiri, keluar dari rumput alang-alang itu menyerang mereka dengan ganas!

“Awas, mundur…!”

Kiat Bwee berseru kaget sambil menggunakan sepasang pedang pendek yang sejak tadi dipegangnya untuk membabat putus dua ekor ular yang menyerangnya. Akan tetapi anak buahnya yang terkejut itu menjadi panik dan terjadilah pengeroyokan ular-ular yang mengerikan dan tiga orang di antara mereka terkena gigitan pada kaki mereka. Mereka menjerit-jerit dan roboh berkelojotan karena ular-ular itu ternyata adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya!

“Mundur…!”

Kembali Bhe Kiat Bwee berteriak, akan tetapi kembali dua orang memekik dan roboh berkelojotan. Mereka itu ternyata adalah dua di antara enam orang laki-laki yang membawakan perbekalan mereka. Terpaksa beberapa orang wanita anggauta Giok-hong-pang mengambil perbekalan itu dan mereka terus mundur meninggalkan lima mayat yang kini menjadi sasaran kemarahan ular-ular itu.

Untung bagi mereka bahwa tadi Kiat Bwee telah memberi tanda-tanda dengan potongan-potongan kain merah. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka hanya dapat mundur beberapa puluh meter saja karena setelah itu, mereka tidak dapat menemukan lagi potongan-potongan kain merah yang tadi disebar oleh Kiat Bwee. Tentu saja mereka tidak mampu menemukan benda-benda itu kembali karena benda-benda itu telah dibersihkan oleh anggauta Padang Bangkai! Dan dengan sendirinya rombongan wanita itu menjadi tersesat di dalam padang rumput alang-alang itu. Terdengar auman yang menggetarkan disusul auman-auman lain dan muncullah lima ekor harimau besar dari kanan kiri yang langsung menyerang mereka karena binatang-binatang itu sudah kelaparan agaknya.

Kiat Bwee dan anak buahnya terkejut bukan main, dan mereka cepat menggerakkan senjata untuk membela diri dan balas menyerang. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian antara rombongan wanita yang sudah mulai ketakutan itu melawan lima ekor harimau buas, dan akhirnya lima ekor harimau buas itu menggeletak mati, akan tetapi di fihak rombongan itupun ada delapan orang yang tewas menjadi korban cakaran dan gigitan harimau buas itu, belum dihitung beberapa orang yang terluka! Kemudian terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan nyaring dan di dalam kegelapan malam itu, dari kanan kiri menyambar jala-jala hitam yang amat kuat, meringkus tiga belas orang wanita dan dua orang laki-laki yang masih mengadakan perlawanan itu.

Mereka roboh dan meronta-ronta seperti sekelompok ikan kena jaring, namun segera muncul belasan orang laki-laki tinggi besar dan mereka lalu diseret di dalam jaring mereka itu setelah tengkuk mereka satu demi satu dipukuli sehingga mereka roboh pingsan. Ketika Kiat Bwee dan teman-temannya siuman, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh lampu-lampu besar. Kaki tangan mereka terikat ke belakang dan mereka tidak mampu bergerak lagi. Di depan mereka, di atas dua buah kursi, duduklah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka merah dan bermata lebar, bersama seorang wanita setengah tua yang pesolek dan cantik dengan senyum selalu menghias bibirnya. Mereka ini bukan lain adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li!

“Ha-ha-ha-ha!”

Ang-bin Ciu-kwi menenggak arak dari guci besar, mengusap mulutnya yang berlepotan arak, memandangi wanita-wanita itu satu demi satu, kemudian pandang matanya berhenti pada wajah Bhe Kiat Bwee.

“Inikah pemimpinnya?”

Terdengar suaranya parau, bertanya kepada anak buahnya yang berdiri di situ, anak buahnya yang wajahnya serem-serem dan bertubuh besar-besar dan yang berdiri menyeringai dengan wajah girang. Mereka ini terdiri dari lima belas orang laki-laki kasar, anak buah Padang Bangkai.

“Benar, twako!”

Jawab seorang di antara mereka. Mereka semua menyebut twako kepada Ang-bin Ciu-kwi. Twako artinya kakak tertua, akan tetapi anehnya, terhadap Coa-tok Sian-li mereka menyebut twanio atau nyonya besar! Hal ini saja menunjukkan bahwa Ang-bin Ciu-kwi tergolong orang kasar yang tidak memperdulikan segala macam sebutan, sebaliknya dengan isterinya yang ingin dihormat sebagai nyonya besar!

“Ha-ha-ha! Eh, perempuan manis, mengapa engkau dan teman-temanmu berani memasuki Padang Bangkai? Siapakah kalian?”

Bhe Kiat Bwee menjawab berani,

“Kami adalah orang-orang Giok-hong-pang, dan kami hendak mencari nona kami, Yap In Hong.”

“Hemm, suamiku, kau memang tolol. Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa wanita-wanita yang memakai hiasan rambut seperti itu adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang? Mereka adalah anak buah musuh, perlu apa ditanya lagi?”

Coa-tok Sian-li berkata, suaranya halus dan ramah sungguhpun kata-katanya kasar terhadap suaminya.

“Ha-ha-ha, kau benar, isteriku! Kau memang selalu benar. Hei, kau yang menjadi pemimpin, siapa namamu?”

“Namaku Bhe Kiat Bwee.”

“Nama yang manis! Ha-ha-ha! Dan dua orang laki-laki ini siapa?”

“Dia adalah pelayan kami.”

“Pelayan? Pelayan saja? Wah, kenapai pelayan-pelayan dibawa ke sini, tidak dibunuh saja?”

Ang-bin Ciu-kwi membentak kepada anak buahnya.

“Membunuh mereka sekarangpun belum terlambat, twako.”

Kata seorang anak buahnya yang bermata merah dan dia sudah menggerakkan tangan, memukul ke arah kepala seorang di antara dua pelayan Giok-hong-pang itu.

“Plakk! Aduuuuhhh…!”

Orang itu berseru kesakitan dan meloncat mundur, memegangi tangannya yang tadi bertemu dengan tangan halus Coa-tok Sian-li, ketika nyonya itu menangkisnya. Memang kelihatan aneh sekali betapa tangan besar berbulu yang nampak kuat itu menjadi terpental dan pemilik tangan itu berteriak kesakitan ketika tangan itu bertemu dengan tangan kecil berkulit putih halus dari Coa-tok Sian-li.

“Manusia lancang! Berani kau hendak turun tangan di depanku?”

Nyonya itu membentak, akan tetapi pandang matanya masib berseri dan mulutnya masih tersenyum.

“Ampunkan saya, twanio…”

Laki-laki bermata merah itu menjura dengan ketakutan.

“Bawa mereka ke kamarku, bebaskan dari belenggu dan beri makan secukupnya, suruh mereka mandi yang bersih!”

Kata pula nyonya itu dan si mata merah mengangguk-angguk, kemudian bersama seorang kawan lain dia membawa pergi dua orang laki-laki yang ditawan itu.

“Ha-ha-ha-ha!”

Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak.

“Engkau sungguh masih bernafsu besar, isteriku. Sekaligus mengambil dua orang untuk melayanimu! Wah, jangan biarkan aku ketinggalan untuk menikmati tontonan itu. Ha-ha, kau membikin aku menjadi iri, isteriku! Perempuan inipun kelihatannya boleh juga!”

Dia lalu menggerakkan tangan ke depan.

“Breeeetttt…!”

Sekali dia merenggutkan dengan tangannya yang kuat, robeklah bagian depan pakaian yang menempel di tubuh Bhe Kiat Bwee, pakaian luar dan dalam, seperti kertas saja rapuhya di tangan si muka merah itu dan bagian depan tubuh wanita itu nampak seluruhnya.

“Ha-ha-ha, benar dugaanku. Boleh juga! He, bawa dia ke kamarku!”

Perintahnya dan kembali seorang anak buahnya membawa Kiat Bwee pergi dari situ.

“Mereka ini adalah musuh-musuh kita,”

Kata pula Coa-tok Sian-li.

“Boleh kalian miliki bersama untuk semalam ini. Akan tetapi, besok pagi-pagi mereka itu semua harus sudah bersih, harus kalian lemparkan ke padang rumput hijau. Nah, bawa mereka pergi!”

Para anak buah itu bersorak girang dan seperti harimau-harimau kelaparan mereka menubruk wanita-wanita Giok-hong-pang yang seperti domba-domba terikat tak berdaya itu. Terdengar jerit dan rintih di antara mereka, diseling gelak tawa para anak buah Padang Bangkai ketika mereka membawa pergi wanita-wanita itu dari situ.

Malam penuh kemaksiatan berlangsung di dusun kecil terpencil itu, di dalam beberapa buah rumah itu, di mana semua anak buah Padang Bangkai berpesta pora memuaskan nafsu mereka secara buas sekali! Dua belas orang wanita anggauta Giok-hong-pang itu diperkosa bergantian, di antara daging dan arak, mereka dipermainkan dan kebuasan yang dilakukan oleh manusia-manusia itu jauh lebih mengerikan daripada kebuasan binatang liar manapun juga! Sukar untuk melukiskan keadaan di tempat pesta itu, di mana terdengar rintihan dan keluhan, tangis yang diseling suara tertawa seperti iblis-iblis bangkit dari neraka. Makin hebat wanita-wanita itu merintih dan menangis, makin menggila lagi tingkah polah anak buah Padang Bangkai, makin keras pula mereka tertawa-tawa seolah-olah suara tangis dan rintihan itu terdengar oleh mereka sebagai suara nyanyian yang membangkitkan gairah birahi.

Orang yang menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi di ruangan besar itu tentu akan merasa muak, ngeri dan juga sedih menyaksikan tingkah polah manusia yang demikian ganas dan buas, demikian penuh dengan kejahatan yang mengerikan. Akan tetapi, kalau dia pergi meninggalkan tempat itu dan melihat apa yang berlangsung di dalam sebuah kamar lain, kamar besar yang cukup indah dan lengkap, dia akan merasa lebih muak lagi. Di dalam kamar ini, suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li juga sedang berpesta, sama saja dengan anak buah mereka, pesta penuh nafsu berahi yang menjijikkan di mana suami isteri itu membawa tawanan-tawanan mereka berkumpul di dalam satu kamar dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka secara terbuka!

Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah menggunakan arak yang dicampur racun dan yang diminumkan secara paksa kepada Bhe Kiat Bwee dan dua orang laki-laki pelayan Giok-hong-pang sehingga wanita dan dua orang laki-laki itu menjadi seperti gila diamuk nafsu berahi mereka, dalam keadaan setengah sadar mereka itu memenuhi segala keinginan suami isteri itu melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan biasa tentu membuat mereka malu bukan main. Namun, mereka telah terbius oleh racun sehingga mereka dapat melakukan apapun juga untuk melampiaskan dorongan mujijat yang membangkitkan gairah nafsu berahi mereka. Menjelang pagi, Coa-tok Sian-li yang telah merasa puas dan kekenyangan oleh pelayanan dua orang laki-laki muda yang dibikin kuat oleh arak beracun,

Lalu menyeret mereka pergi keluar kamar dan tak lama kemudian terdengar bunyi gerengan menyeramkan dari empat ekor anjing kelaparan, yaitu anjing-anjing hutan yang dipelihara oleh nyonya ini di dalam kerangkeng, diseling teriakan-teriakan menyayat hati dari dua orang pria itu yang tubuhnya dirobek-robek oleh empat ekor anjing hutan itu, sampai akhirnya teriakan-teriakan itu makin lemah dan akhirnya berhenti sama sekali dan yang terdengar hanya suara anjing makan daging dan tulang, menjilat-jilat darah segar dan Coa-tok Sian-li yang tadi berdiri di luar kerangkeng dan menonton dengan mata berkilat-kilat, kini meninggalkan tempat itu dengan senyum penuh kepuasan. Dia lalu memasuki kamarnya sendiri, dalam keadaan masih setengah telanjang dia melempar tubuhnya ke atas kasur dan tak lama kemudian terdengar wanita ini mendengkur dengan enaknya!

Pagi-pagi sekali, sesosok bayangan berkelebat di antara pohon-pohon menuju ke Padang Bangkai. Bayangan ini adalah Liong Si Kwi, gadis manis murid Hek I Siankouw yang diutus untuk menghubungi majikan Padang Bangkai. Karena dia telah mengenal jalan, dan telah diberi tahu akan rahasia dan keganasan tempat-tempat itu, maka dia mengambil jalan yang aman dan sama sekali tidak mau mendekat padang rumput hijau dan lain bagian yang berbahaya, melainkan dia hendak langsung mengambil jalan lorong kecil yang diapit-apit rumput alang-alang itu. Akan tetapi tiba-tiba Si Kwi menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia mendengar suara orang-orang tertawa-tawa di antara suara rintihan-rintihan wanita! Tak lama kemudian, dari balik rumpun alang-alang muncul lima belas orang laki-laki tinggi besar yang dikenalnya sebagai anak buah Padang Bangkai. Mereka itu tertawa-tawa dan menyeret-nyeret tubuh dua belas orang wanita yang kesemuanya telanjang bulat, menangis dan merintih-rintih dalam keadaan menyedihkan sekali.

“Ha-ha-ha, sayang. Kita cuma diberi waktu semalam saja!”

“Semalampun sudah cukup, A-ban! Kalau kita berpesta seperti semalam selama tiga malam saja engkau akan mati lemas, ha-ha-ha!”

“Akupun sudah puas!”

“Dan mereka ini bisa menjemukan!”

Si Kwi yang mengintai, memandang dengan mata terbelalak. Jantungnya berdebar dan dadanya terasa panas dan tidak enak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak boleh mencampuri urusan mereka! Kemudian, dia melihat betapa wanita-wanita telanjang bulat itu oleh para anak buah Padang Bangkai dilemparkan ke arah padang rumput hijau yang dia tahu adalah tempat berbahaya sekali! Hampir saja dia menjerit untuk mencegah, akan tetapi dia sadar dan mendekap mulutnya sendiri. Hanya matanya saja yang terbelalak memandang ketika wanata-wanita itu dilemparkan dan jatuh ke atas rumput hijau segar itu. Akan tetap segera terdengar mereka menjerit-jerit karena tubuh mereka begitu terbanting terus saja tenggelam sampai ke pinggang!

“Aughhhh… tolooongggg…!”

“Aduhhh… lepaskan aku…!”

Mereka menjerit-jerit dan memohon-mohon, akan tetapi makin hebat mereka itu meronta, tubuh mereka amblas makin dalam. Lima belas orang anggauta Padang Bangkai itu menonton sambil tertawa-tawa, seolah-olah penglihatan itu merupakan tontonan yang amat menyenangkan dan menegangkan hati mereka. Bahkan mereka mulai bertaruh siapa di antara wanita-wanita itu yang paling tahan lama! Si Kwi hampir tidak dapat menahan hatinya mengintai dan melihat itu semua.

Mulai tampak wanita-wanita itu terbelalak dan melolong-lolong. Tentu mulai digigiti lintah-lintah beracun, pikirnya karena dia telah memperoleh keterangan tentang tempat-tempat berbahaya itu dan dia bergidik membayangkan betapa tubuh telanjang itu diserang oleh ratusan ekor lintah. Wanita-wanita itu makin hebat meronta-ronta, ketakutan dan kengerian yang amat hebat terlukis di wajah mereka dan mulai ada yang kehilangan suaranya, karena perlahan-lahan, kepalanya mulai terbenam pula, hanya kedua tangan mereka yang menegang dan mencengkeram. Tentu saja pemandangan ini membuat kawan-kawan wanita lainnya menjadi makin ketakutan. Suara jeritan-jeritan itu makin berkurang dan akhirnya, wanita terakhir yang melihat betapa semua temannya lenyap dari merasakan seluruh tubuhnya seperti ditusuki jarum dan dibakar, tiba-tiba tertawa bergelak.

Melihat wajah yang cantik itu tertawa seperti itu, dengan matanya menjadi liar, Si Kwi bergidik dan maklumlah dia bahwa wanita itu menjadi gila saking takutnya! Sambil tertawa-tawa laki-laki yang dalam pertaruhan memilih wanita ini, sibuk menerima uang pembayaran dari kawan-kawannya dan suara ketawa menyeramkan dari wanita itupun lenyap ketika mulutnya mulai terbenam, hanya kelihatan matanya saja yang masih liar melirik ke kanan kiri dan akhirnya pemandangan yang mengerikan inipun lenyap. Tidak ada bekasnya lagi dari dua belas orang wanita itu dan rumput-rumput di situ tetap hijau segar seolah-olah mendapat rabuk dari mayat dua belas orang wanita itu. Si Kwi bergidik dan dia lalu keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan dengan tenang tanpa memperdulikan lima belas orang itu.

“Heiii… masih ada satu…!”

Tiba-tiba Si mata merah berteriak dan mereka semua lalu berloncatan mengejar dan mengurung Si Kwi.

“Ah, bukan! Dia bukan teman mereka.”

“Dia ini masih muda. Hemm, manisnya!”

Bermacam-macam komentar mereka sambil mengepung Si Kwi dan menilai-nilai, seperti sekumpulan srigala mengepung seekor domba gemuk, akan tetapi tidak menyerangnya karena mereka masih kekenyangan oleh pesta semalam! Selain itu, juga karena mereka menduga bahwa gadis ini bukanlah teman dari orang-orang Giok-hong-pang, mereka tidak mau lancang bertindak sembarangan. Kalau mereka semalam berani memperebutkan dan mempermainkan wanita-wanita itu adalah karena majikan mereka yang memberi ijin! Kini mereka menghadapi Si Kwi sebagai seorang baru, seorang musuh baru yang berani memasuki wilayah Padang Bangkai tanpa ijin.

“Hei, nona! Siapakah engkau?”

Tanya si mata merah yang agaknya selalu menjadi pemimpin di antara anak buah Padang Bangkai itu. Si Kwi memandang mereka dengan sinar mata jijik dan tidak suka.

“Siapa adanya aku tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian manusia-manusia iblis!”

Jawabnya. Mereka membelalakkan mata, saling pandang dan tertawa.

Ha-ha-ha, si manis ini galak sekali!”

“Tunggu aku menjinakkan dia!”

“Tangkap saja dulu dan laporkan ke dalam!”

“Biar aku yang menangkap, akan kuhukum dia dengan satu kali ciuman!”

Si mata merah yang melihat sikap Si Kwi begitu menantang, menjadi curiga dan dia mengangkat tangannya. Semua temannya diam dan si mata merah kini melangkah maju menghadapi Si Kwi.

“Nona, engkau telah memasuki wilayah kami, maka harus mengaku siapa nama dan mau apa engkau melanggar wilayah kami.”

“Minggirlah kalian! Aku hendak bertemu dengan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!”

Kata Si Kwi.

“Wah-wah, bocah ini kurang ajar sekali!”

Terdengar teriakan, dan mereka kini mengurung makin rapat.

“Tunggu…! Biar kita coba dulu sampai di mana kelihaiannya maka dia ingin bertemu dengan twako dan toanio tanpa mengindahkan kita sama sekali.”

“Biarlah aku mencobanya!”

“Aku saja!”

“Biar kutangkap dia untukmu!”

Mereka seperti berebut dan akhirnya, dua orang tinggi besar telah menubruk ke arah Si Kwi dari depan dan belakang, agaknya mereka itu sudah ingin sekali untuk menubruk, memeluk dan mendekap gadis manis itu untuk menangkapnya. Akan tetapi, Liong Si Kwi memang sudah bersiap-siap untuk ini dan kebetulan sekali, dia dapat melampiaskan kebenciannya terhadap laki-laki yang dianggapnya sebagai manusia-manusia iblis ini. Begitu melihat ada dua orang menyergapnya dari depan belakang, dia cepat mengubah kedudukan kakinya dengan miringkan tubuh sehingga mereka berdua itu kini bukan menyergap dari depan belakang, melainkan dari kanan kiri. Kedua tangannya bergerak secepat kilat, dengan dua jari tangan kanan kiri dia mendahului mereka, menotok ke arah ulu hati mereka.

“Hukk! Hukk!”

Dua orang laki-laki tinggi besar itu terkejut dan napas mereka seolah-olah terhenti, dan pada saat itu, kedua tangan Si Kwi sudah menangkap rambut mereka dengan jambakan kuat dan sekali dara itu membentak dengan suara nyaring sekali, tubuh mereka telah terlempar ke arah rumput hijau!

“Bress! Bress!”

Karena mereka tidak berdaya dan tubuh mereka yang berat terbanting, maka seketika mereka telah amblas ke dalam lumpur maut itu sampai ke dada!

“Tolonggg…! Tolooonggg…!”

Mereka berteriak dengan mata terbelalak ketakutan, dan karena mereka sudah mengenal tempat maut ini, mereka sama sekali tidak berani bergerak, hanya mata mereka yang terbelalak dan melirik ke sana-sini. Tentu saja teman-temannya menjadi terkejut dan cepat mereka itu mengeluarkan tali panjang, lalu melontarkan ujung-ujung tali ke arah mereka, dan tiga belas orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik keluar dua orang teman yang sial itu.

“Aduhh… aduhhh… cepat… mereka mengeroyokku, perempuan-perempuan itu…!”

Yang seorang berteriak-teriak ketakutan, merasa seolah-olah tubuhnya yang terbenam itu dicubiti dan digigiti oleh wanita-wanita Giok-hong-pang yang menjadi korban keganasan mereka tadi.

“Auwwww… aduhhh… mati aku…!”

Orang kedua tiba-tiba menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali. Akhirnya, dengan susah payah mereka dapat menarik dua orang itu ke tempat aman. Cepat mereka membersihkan lintah-lintah beracun yang menempel di tubuh mereka dan memberi obat penawarnya. Dan mereka tertawa geli ketika melihat bahwa yang mengaduh-aduh dan sambat mati tadi ternyata ditempeli seekor lintah besar pada anggauta rahasianya!

“Eh, mana dia?”

“Iblis betina itu telah pergi!”

“Itu lihat…! Dia menuju ke sarang kita!”

“Kejar…!”

Tiga belas orang itu meninggalkan dua orang teman mereka yang sudah terhindar dari bahaya maut untuk mengejar bayangan Si Kwi yang sudah berlari cepat memasuki padang alang-alang yang sudah dikenalnya dari petunjuk gurunya pula, memang jalan kecil yang datang dari utara Padang Bangkai tidaklah begitu ruwet dan berbahaya, kecuali melalui satu padang rumput hijau yang merupakan tempat maut itu dan sedikit pada alang-alang yang tidak begitu luas dan tidak ada mengandung jebakan-jebakan yang mengerikan. Yang berbahaya adalah jalan yang ditempuh oleh rombongan Giok-hong-pang kemarin, yaitu dari selatan, akan tetapi jalan inipun sudah diketahui oleh Si Kwi karena memang gurunya sudah mengenal daerah berbahaya ini dan telah menceritakan kepada muridnya.

Pagi hari itu, Ang-bin Ciu-kwi sedang duduk di beranda depan bersama isterinya. Sepagi itu dia sudah minum arak dan Bhe Kiat Bwee yang setengah telanjang itu masih belum dilepaskannya, wanita yang belum sadar benar karena terus dilolohi arak dan racun itu dipangkunya dan dibelainya. Seperti orang gila, Kiat Bwee terkekeh dan melayani belaian Ang-bin Ciu-kwi, sedangkan Coa-tok Sian-li melihat dengan muka membayangkan kejemuan hatinya.

Tiba-tiba mereka melihat Si Kwi yang berlari cepat mendatangi dari jauh dikejar oleh anak buah mereka. Dengan tenang saja kedua orang ini memandang, dan Ang-bin Ciu-kwi masih memangku dan merangkul pinggang Kiat Bwee ketika Si Kwi tiba di depan mereka, gadis itu memandang dengan alis berkerut. Suami isteri itu tentu lupa lagi kepadanya, dan biarpun dia pernah melihat suami isteri ini, akan tetapi hanya sebentar saja tanpa diperkenalkan, yaitu ketika suami isteri ini datang menghadap Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga. Setelah dia tadi menyaksikan kebuasan anak buah Padang Bangkai yang membunuh wanita-wanita itu, dan kini melihat Ang-bin Ciu-kwi memangku seorang wanita setengah telanjang pula dan mempermainkannya, hati Si Kwi menjadi muak dan panas sehingga sampai lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
“Twako! Twako…! Dia telah menyerang kami! Ditanya nama tidak mengaku malah dia melemparkan dua teman kita ke rumput maut!”

Dari jauh si mata merah sudah berteriak-teriak.

“Ahhhh??”

Ang-bin Ciu-kwi terkejut dan marah. Dia bangkit berdiri dan didorongnya Kiat Bwee ke samping sampai wanita ini roboh. Akan tetapi Kiat Bwee tidak marah, malah tersenyum-senyum dengan genitnya! Wanita ini sudah menjadi setengah gila karena minum obat bius.

“Hemm, kau bocah sombong, patut diberi hajaran!”

Ang-bin Ciu-kwi yang sudah menjadi marah mendengar teriakan anak buahnya itu, cepat menubruk dan dalam tubrukan ini, tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala Si Kwi sedangkan tangan kirinya yang memegang guci arak itu mendorongkan gucinya ke arah dada gadis itu dalam pukulan yang dahsyat! Si Kwi terkejut sekali. Tak disangkanya dia akan diserang oleh majikan Padang Bangkai itu. Akan tetapi, karena hatinya sudah tidak senang kepada mereka, timbul keinginannya untuk melawan dan melihat sampai di mana kepandaian majikan Padang Bangkai yang sikapnya menjemukan hatinya itu. Mengandalkan gin-kangnya yang istimewa, Si Kwi dapat mengelak dan balas menendang dari samping ke arah lambung majikan Padang Bangkai itu.

“Ahh!”

Ang-bin Ciu-kwi berseru kaget. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu dapat mengelak demikian mudahnya dari serangannya tadi, bahkan dapat membalas serangannya dengan tendangan yang demikian cepatnya. Dia menggunakan tangan kanan untuk menangkap kaki gadis itu. Tentu saja Si Kwi tidak sudi membiarkan kakinya tertangkap, dia menarik kakinya dan dengan loncatan kilat dia sudah berada di sebelah kiri lawan dan dari sini dia menggunakan tangan terbuka menampar ke arah tengkuk lawan.

“Plakk!”

Ang-bin Ciu-kwi menangkis dan tubuh Si Kwi agak terhuyung, akan tetapi si Setan Arak itupun terkejut.

“Wah, boleh juga gadis ini!”

Serunya dan dia kini dengan gembira menubruk lagi. Ketika gadis itu mengelak, tiba-tiba dari dalam guci arak itu muncrat arak yang langsung menyerang ke arah muka Si Kwi.

“Aihhh…!”

Si Kwi menjerit dan biarpun dia sudah cepat meloncat namun tetap saja pinggulnya kena diraba oleh tangan Ang-bin Ciu-kwi.

“Ha-ha-ha, isteriku. Dia masih perawan! Ha-ha-ha!”

Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan isterinya hanya mendengus, akan tetapi mulutnya tersenyum. Wajah Si Kwi menjadi merah sekali dan marahlah gadis ini. Tugas tinggal tugas, akan tetapi majikan Padang Bangkai ini terlalu menghina dia! Dicabutnya siang-kiamnya dan dengan kedua pedang di tangan kanan kiri dia sudah menyerang dengan ganasnya.

“Wah-wah-wah, hebat juga… ganas… hemm…”

Ang-bin Ciu-kwi cepat mengelak dan menggerakkan gucinya menangkis. Terdengar bunyi berkentrangan nyaring ketika sepasang pedang berkali-kali bentrok dengan guci. Akan tetapi karena Ang-bin Ciu-kwi agaknya tidak ingin membunuh gadis yang mulai menarik perhatiannya ini, dia mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan dia kelihatan terdesak hebat oleh sepasang pedang Si Kwi yang telah berobah menjadi dua gulungan sinar pedang yang amat cepat gerakannya itu.

“Hem, isteriku, apa kau sudah bosan padaku dan ingin melihat aku mampus?”

Berkali-kali Ang-bin Ciu-kwi berteriak.

“Bantulah aku menangkap gadis ini…”

“Hemm, yang seorang masih ada dan engkau masih inginkan dia ini?”

Isterinya mencela.

“Aaaahhh, isteriku, aku ingin yang masih perawan ini. Hayo, bantulah, kelak akan kucarikan seorang perjaka yang ganteng dan gagah perkasa untukmu. Aku berjanji!”

Tentu saja Si Kwi menjadi makin marah dan dia membentak,

“Mampuslah!”

Pedangnya menyambar-nyambar dahsyat, sehingga majikan Padang Bangkai itu menjadi repot juga. Tiba-tiba terdengar seruan Coa-tok Sian-li halus,

“Bocah sombong, robohlah!”

Si Kwi mendengar suara halus dan maklumlah dia bahwa ada senjata-senjata rahasia halus menyambar ke arahnya. Cepat dia mengelak dan dia berhasil menghindarkan jarum-jarum halus yang menyambar ke arah tengkuk dan kedua pundaknya, akan tetapi sebatang jarum yang menyambar ke arah kakinya tak dapat diketahuinya. Tiba-tiba dia merasa pergelangan kakinya seperti digigit semut, kemudian menjadi lumpuh dan tergulinglah dia!

“Ha-ha-ha!”

Ang-bin Ciu-kwi menubruk dan menotoknya sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi, sepasang pedangnya dirampas. Si muka merah ini lalu memondong tubuh Si Kwi sambil tertawa-tawa. Terdengar suara wanita terkekeh dan Kiat Bwee sudah mendekati Ang-bin Ciu-kwi, merangkul dengan sikap manja.

“Ahhh, pergi kamu! Aku sudah bosan! Nah, kalian ambillah dia ini, untuk dibagi rata ha-ha!”

Ang-bin Ciu-kwi menendang dan tubuh Kiat Bwee terlempar ke arah lima belas orang anak buahnya. Tentu saja mereka menyambut tubuh Kiat Bwee yang masih montok itu dengan gembira. Kiat Bwee sendiri tertawa-tawa genit ketika dia dipeluk dan diciumi banyak laki-laki, lalu dia dibawa pergi. Terdengar suara ketawanya yang lambat-laun berobah menjadi pekik dan terdengar wanita itu menjerit-jerit menyayat hati.

“Kau jadi milikku sekarang, ha-ha. Kau perawan liar, kepandaianmu boleh juga!”

Ang-bin Ciu-kwi hendak mencium Si Kwi, ditonton oleh isterinya yang tersenyum saja.

“Lepaskan aku! Lepaskan…! Aku adalah murid subo Hek I Siankouw!”

Si Kwi yang merasa terkejut dan ketakutan karena kini dia terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut itu menjerit akan tetapi tidak dapat meronta. Ang-bin Ciu-kwi mengurungkan niatnya untuk mencium.

“Ah? Murid Hek I Siankouw yang berada di Lembah Naga?”

Dia meragu.

“Huh, Hek I Siankouw memandang rendah kita!”

Tiba-tiba Coa-tok Sian-li berkata dan diapun bangkit dari tempat duduknya.

“Akan tetapi kita jangan membunuhnya, hanya kita harus memberi pelajaran mengapa Hek I Siankouw mengutus muridnya menyelidiki tempat kita.”

Dia lalu memberi obat kepada mata kaki Si Kwi yang terkena jarum racun ularnya itu setelah mengeluarkan jarumnya, kemudian dia berkata lagi,

“Suamiku, hayo bawa dia ke dalam kamar. Kau boleh menikmati dia sebelum kita suruh dia kembali kepada gurunya!”

Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi menjadi girang bukan main. Dia memondong tubuh gadis itu dan bersama isterinya membawanya ke dalam kamar di mana tadi malam dia dan isterinya berpesta pora mengumbar nafsu bersama Kiat Bwee dan dua orang pelayan pria dari Giok-hong-pang itu. Setelah melemparkan tubuh gadis itu ke atas pembaringan, Ang-bin Ciu-kwi menenggak araknya dan berkata,

“Kau bantu aku memeganginya setelah kubebaskan totokannya, isteriku!”

Suami isteri ini memang sudah bukan merupakan manusia-manusia normal lagi.

Mereka itu menjadi budak-budak nafsu berahi yang aneh dan cabul. Kesukaan mereka nonton adegan-adegan cabul sama besarnya dengan nafsu-nafsu berahi mereka sendiri. Maka tidaklah mengherankan kalau mereka itu kadang-kadang saling menonton apabila seorang di antara mereka sedang main gila dengan orang lain! Kini, Coa-tok Sian-li bahkan hendak membantu suaminya menggagahi dan memperkosa seorang gadis yang mereka tawan! Terdengar suara kain robek ketika bagaikan seekor binatang buas kelaparan Ang-bin Ciu-kwi merenggutkan semua pakaian dari tubuh Si Kwi sambil memegangi kedua tangan gadis itu dengan tangan kanannya, sedangkan kedua kaki gadis yang telah dibebaskan dari totokan itu dipegangi oleh Coa-tok Sian-li yang biarpun hanya ingin menonton, akan tetapi gairah nafsunya sama berkobarnya seperti suaminya.

“Lepaskan aku…!”

Si Kwi menjerit ngeri.

“Aku… aku adalah utusan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dari Lembah Naga!”

“Ahhh…?”

Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya terkejut bukan main mendengar pengakuan ini. Tadinya Si Kwi memang enggan menggunakan nama kakek dan nenek iblis itu karena dia mengira bahwa nama gurunya sudah cukup besar dan berpengaruh. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya sendiri ditambah nama besar gurunya tidak dapat menyelamatkannya dan dia telah berada di ambang malapetaka yang amat mengerikan hatinya, terpaksa berantakanlah keangkuhannya dan dia mengaku bahwa dia adalah utusan kakek dan nenek iblis itu. Pengakuan ini sekaligus membuyarkan semua nafsu dari dalam kepala Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, terganti oleh rasa takut yang hebat.

“Benarkah…?”

Coa-tok Sian-li bertanya, mukanya agak pucat.

“Siapa membohong? Aku datang atas perintah mereka!”

Kata pula Si Kwi.

“Akan tetapi, mengapa tidak kau katakan sejak tadi?”

Ang-bin Ciu-kwi bertanya.

“Lepaskan aku, baru akan kuceritakan, atau kau lanjutkan perbuatanmu yang terkutuk dan jantung kalian akan dimakan mentah-mentah oleh mereka!”

Si Kwi menggertak. Suami isteri yang memang amat takut terhadap kakek dan nenek iblis itu segera melepaskan pegangan mereka dan membiarkan Si Kwi duduk. Bahkan Coa-tok Sian-li lalu mengambilkan satu setel pakaiannya sendiri, diberikan kepada Si Kwi untuk dipakai karena pakaian merah gadis itu telah robek. Dengan cemberut karena masih merasa malu dan terhina oleh perlakuan tadi, Si Kwi memakai pakaian nyonya rumah.

“Suruh jahit kembali pakaianku sendiri ini!”

Bentaknya.

“Eh… maafkan kami, maafkan aku…”

Ang-bin Ciu-kwi berkata sambil menenggak araknya. Sedikitpun dia tidak menduga bahwa daging yang berada di depan mulutnya, tinggal telan itu akan gagal dimakannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani nekat setelah mendengar nama kakek dan nenek yang amat ditakutinya itu karena dia dan isterinya maklum bahwa mereka sama sekali bukan tandingan kakek dan nenek itu.

Sebetulnya kami tidaklah salah,”

Coa-tok Sian-li membantah sambil memandang gadis itu yang sudah duduk di atas pembaringan sambil memandang mereka dengan sinar mata penuh kebencian, lalu diapun duduk di dekat gadis itu.

“Mengapa kau tidak memperkenalkan diri dan malah memusuhi kami?”

Si Kwi menghela napas. Dia terpaksa harus menekan kemarahannya dan kebenciannya karena mereka ini benar-benar tangguh.

“Semua adalah salahnya anak buah kalian,”

Katanya.

“Mereka mengganggu aku dan menimbulkan kemarahanku.”

“Sudahlah,”

Coa-tok Sian-li menghibur.

“Untung belum sampai terjadi hal-hal yang lebih hebat. Sekarang ceritakan, siapakah engkau dan apa tugasmu ke sini?”

“Namaku Liong Si Kwi, aku murid subo Hek I Siankouw yang membantu kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Kedua locianpwe itu yang mengutus aku datang ke sini menemui kalian untuk menyampaikan pesan mereka.”

“Hemm, apakah pesan kedua locianpwe itu?”

Ang-bin Ciu-kwi bertanya, agak gelisah juga kalau teringat betapa hampir saja dia menghina utusan dari dua orang kakek dan nenek iblis itu! Si Kwi memandang kepada si muka merah itu dengan sinar mata penuh kebencian! Lalu dia menjawab perlahan,

“Aku diutus untuk menyampaikan kepada kalian bahwa menurut perkiraan kedua locianpwe itu, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka kalian harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan tangguh mampu melewati Padang Bangkai, kalian harus cepat-cepat memberi khabar ke Lembah Naga.”

“Ha-ha-ha!”

Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya.

“Harap sampaikan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga agar mereka jangan khawatir. Kami telah siap berjaga-jaga dan tidak mungkin ada lawan yang dapat melewati Padang Bangkai!”

“Hemm, ucapan bagus akan tetapi kosong!”

Si Kwi berkata sambil memandang marah.

“Apa yang harus kukatakan kepada ji-wi locianpwe itu tentang keadaan yang kulihat di sini? Semua anak buahmu bersenang-senang, mengganggu dan menyiksa wanita, dan kulihat majikan mereka sendiripun sama saja, bahkan yang memberi contoh! Sungguh menjijikkan!”

Akan tetapi Si Kwi makin mendongkol, penasaran dan terheran-heran ketika melihat suami isteri itu tertawa bergelak. Benar-benar orang-orang ini setengah gila atau mabok, pikirnya.

“Ha-ha-ha, bagus sekali, nona! Kau laporkan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga apa yang telah kami perbuat terhadap tiga puluh orang wanita dan enam orang pria yang kemarin berani menyerbu ke sini! Ceritakanlah! Engkau telah melihat betapa anak buah kami membunuhi perempuan-perempuan itu, bukan? Dan perempuan yang kuhadiahkan kepada mereka tadi adalah pimpinan mereka. Ceritakanlah kepada ji-wi locianpwe bahwa kami telah membasmi tiga puluh orang wanita dan enam orang pria, semua anggauta-anggauta Giok-hong-pang, anak buah nona yang kini menjadi tawanan ji-wi locianpwe itu. Ha-ha-ha! Kami layak menerima ganjaran!”

Bukan main kagetnya hati Si Kwi mendengar ini. Akan tetapi dia masih mengomel.

“Hemmm, kiranya mereka adalah fihak musuh? Mengapa mereka tidak dibunuh saja melainkan dipermainkan seperti itu? Kalian adalah iblis-iblis keji, bukan manusia!”

Dua orang suami isteri itu hanya tertawa dan sehari itu Si Kwi terpaksa harus tinggal di Padang Bangkai karena kakinya harus diobati. Kalau tidek mendapat obat penawar yang mujarab dari Coa-tok Sian-li sendiri, tentu nyawanya akan terancam atau kalau diobati orang lain, akan memakan waktu lama sekali. Akan tetapi setelah diobati oleh Coa-tok Sian-li dan beristirahat selama sehari semalam, pada keesokan harinya gadis itu telah pulih kembali kesehatannya, dan dia meninggalkan Padang Bangkai dengan muka masih membayangkan rasa ketidaksenangan hatinya terhadap suami isteri itu.

“Bagaimana pendapatmu tentang dia?”

Ang-bin Ciu-kwi bertanya kepada isterinya sambil memandang tubuh belakang Si Kwi ketika gadis itu berjalan pergi.

“Hemm, heran mengapa ji-wi locianpwe mempergunakan orang macam dia. Dia berbahaya sekali, dan setelah dia datang, entah bagaimana nasib kita nanti,”

Jawab isterinya.

“Bagus! Akupun berpikir demikian. 0rang seperti dia harus ditundukkan, kalau tidak bisa berbahaya untuk kita!”

“Kau benar,”

Isterinya mengangguk, lalu mengeluarkan sebungkus obat dari saku bajunya.

“Pergunakan ini, kalau kemudian dia masih tidak mau tunduk, habiskan saja!”

Wajah yang merah itu menjadi berseri dan Ang-bin Ciu-kwi merangkul dan mencium mulut isterinya.

“Kau manis!”

Kemudian sambil tertawa-tawa dan membawa guci araknya, dia lalu melompat dan berlari cepat, menyusul Si Kwi mengambil jalan lain untuk memotong jalan dan menghadang gadis itu.

Suami isteri ini selain aneh, cabul dan kejam, juga amat cerdik. Mereka khawatir melihat sikap Si Kwi yang terang-terangan membenci mereka dan membenci perbuatan mereka mempermainkan orang-orang Giok-hong-pang sebelum membunuh mereka itu, dan karena mereka berdua pernah melakukan kesalahan, hampir saja menghina utusan dua orang kakek dan nenek iblis, maka mereka merasa curiga kalau-kalau Si Kwi akan mengadu kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentang penghinaan itu. Kalau demikian, bisa berbahaya untuk mereka. Maka keduanya bersepakat untuk menundukkan perawan itu dengan jalan memaksanya mengadakan hubungan kelamin dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan menggunakan obat racun yang pernah mereka lolohkan kepada Bhe Kiat Bwee.

Kalau perawan itu menyadari kemudian bahwa dia telah melakukan hubungan dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan dasar “suka sama suka”, tentu saja melalui obat bius itu, tentu gadis itu tidak berani lagi melaporkan yang bukan-bukan. Kalau kemudian siasat itu gagal dan si gadis masih memperlihatkan sikap bermusuh, agar dibunuh saja dan disembunyikan, lalu pura-pura tidak tahu akan kedatangannya. Sementara itu, ketika meninggalkan rumah suami isteri itu, Si Kwi merasa tidak senang sekali. Dia merasa menyesal mengapa subonya kini bergaul dengan segala macam orang seperti itu! Bukan manusia lagi, melainkan iblis! Dan dia harus bersekutu dengan orang-orang macam itu! Gadis ini merasa menyesal sekali dan ketika dia berjalan meninggalkan rumah itu, terjadi perang di dalam hatinya. Kalau teringat akan subonya, dan teringat akan supeknya,

Hwa Hwa Cinjin yang telah terbunuh mati musuh dan harus dibalas, memang dia ingin kembali ke utara, ke Lembah Naga. Akan tetapi kalau teringat akan kekejaman kakek dan nenek iblis, kemudian teringat akan keadaan para pembantunya seperti orang-orang Padang Bangkai yang demikian mengerikan, ingin dia meninggalkan tempat itu jauh-jauh dan tidak mencampuri urusan mereka! Akhirnya, kengerian yang disaksikannya di Padang Bangkai membuat dia mengambil keputusan tetap untuk meninggalkan saja tempat itu, menuju ke selatan! Dia bukanlah seorang penjahat, tidak! Dia biasanya malah menentang dan memusuhi penjahat-penjahat macam majikan Padang Bangkai itu bersama anak buah mereka! Akan tetapi kini dia disuruh bersekutu dengan orang-orang macam mereka! Huh, lebih baik mati kalau begitu.

Pikiran ini mendorong Si Kwi untuk mengayun langkah lebih cepat menuju ke pintu gerbang selatan di mana terudapat jembatan yang menyeberang sungai yang mengelilingi benteng dusun itu. Tidak nampak seorangpun penjaga, dan memang inilah keistimewaan benteng sarang gerombolan Padang Bangkai itu. Para anak buah Padang Bangkai tidak pernah memperlihatkan diri, hanya melakukan penjagaan sambil bersembunyi, dan hal ini menambah bahayanya tempat yang menyeramkan itu. Kini, tentu saja para anak buah Padang Bangkai tahu bahwa Si Kwi telah meninggalkan rumah majikan mereka, akan tetapi karena mereka maklum bahwa gadis itu ternyata bukan musuh melainkan utusan dari Lembah Naga, mereka tidak berani mengganggu, hanya merasa heran mengapa gadis itu meninggalkan kampung mereka pergi ke selatan!

Bukan hanya mereka yang heran. Terutama sekali Ang-bin Ciu-kwi yang terheran-heran ketika dia membayangi gadis itu dan melihat gadis itu keluar dari pintu gerbang selatan! Cepat dia menyelinap dan mengambil jalan rahasia memotong jalan gadis itu, lalu menanti di dalam rumpun alang-alang karena dia tahu bahwa gadis itu harus melalui jalan ini berhubung tidak ada jalan lain. Si Kwi merasa menyesal dan juga berduka. Mengapa gurunya rela bergaul dengan orang-orang macam itu? Sejak dulu dia tidak setuju, yaitu ketika gurunya itu bergaul dengan golongan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Dia tahu bahwa gurunya hanya terbawa-bawa oleh Hwa Hwa Cinjin yang hendak membalas dendam atas kematian suheng dari tosu itu, yang bernama Toat-beng Hoatsu.

Dendam-mendendam itu membuat gurunya akhirnya terpaksa harus bersekutu dengan manusia-manusia iblis seperti kakek dan nenek yang tinggal di Lembah Naga itu. Mengerikan! Dia tahu bahwa sebenarnya subonya bukanlah seorang jahat, hanya karena terseret-seret dalam dendam maka terpaksa bersatu dengan orang-orang golongan hitam. Kini subonya menjadi kaki tangan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li hanya karena gurunya hendak membalas kematian Hwa Hwa Cinjin oleh gadis perkasa Yap In Hong itu. Si Kwi menyesal sekali. Dia sudah tidak mempunyai ayah bunda, dan satu-satunya keluarganya hanyalah subonya itu. Akan tetapi terpaksa dia meninggalkan subonya karena dia tidak ingin kembali ke sana, menjadi kaki tangan orang-orang dari kaum sesat.

Kini dia tiba di antara rumpun alang-alang. Dia sudah tahu jalan mana yang aman dari gangguan ular-ular berbisa dan binatang lain. Akan tetapi, tiba-tiba alang-alang di depan bergoyang dan gadis itu terkejut, meraba senjatanya. Betapa kagetnya ketika dia tidak mendapatkan siang-kiamnya di punggung dan baru teringat dia bahwa sepasang pedangnya itu terampas oleh Ang-bin Ciu-kwi dan karena dia tergesa-gesa hendak lekas-lekas meninggalkan tempat itu, dia sampai lupa untuk memintanya kembali. Akan tetapi, dia menjadi heran dan juga lega ketika melihat seorang laki-laki muncul dari rumpun alang-alang dan ternyata orang itu adalah Ang-bin Ciu-kwi sendiri! Kebetulan sekali, pikirnya dan melihat laki-laki bermuka merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, Si Kwi lalu berkata,

“Tentu engkau hendak mengembaliken siang-kiamku yang ketinggalan!”

Akan tetapi Si Kwi terkejut karena orang itu menyeringai dan pandang matanya mentertawakan bahkan lalu menenggak araknya dari guci dengan sikap yang mengejek dan mempermainkan.

“Liong Si Kwi, engkau memang patut sekali memakai pakaian merah. Makin manis saja kau. Akan tetapi aku percaya bahwa tanpa pakaian engkau akan lebih menarik lagi!”

Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan matanya berkilat saking marahnya mendengar pujian yang mengandung kekurangajaran itu.

“Ang-bin Ciu-kwi, mau apa engkau menghadangku? Kukira tadinya engkau hendak mengembalikan siang-kiamku!”

Si Kwi masih menahan kemarahannya karena dia maklum akan kelihaian orang ini.

“Ha-ha-ha! Baik sekali engkau ketinggalan senjatamu agar tidak terialu repot bagiku untuk menundukkanmu, manis!”

“Ciu-kwi! Jangan kau kurang ajar atau aku akan melapor kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga!”

“Ha-ha-ha, nona manis, engkau tidak lagi bisa membohongi aku! Kalau engkau hendak kembali ke Lembah Naga, mengapa kau keluar dari sebelah selatan?”

Si Kwi terkejut dan baru ingat akan keadaannya yang memang mencurigakan. Akan tetapi dengan cerdik gadis ini menjawab,

“Aku masih mempunyai suatu urusan di selatan, juga atas perintah ji-wi locianpwe. Bukan urusanmu!”

Ang-bin Ciu-kwi tidak bisa menentukan apakah jawaban ini dicari-cari atau memang benar, maka dia kembali tertawa lebar.

“Baiklah, kalau begitu aku hanya akan menghaturkan selaman jalan, nona. Minumlah seteguk arak sebagai ucapan selamat jalan dariku.”

Dia mengambil sebuah cawan kecil dari saku bajunya dan menyerahkan cawan kosong itu kepada Si Kwi untuk diisi dengan arak dari gucinya. Tentu saja Si Kwi menolak dengan marah.

“Cui-kwi, jangan ganggu aku lagi!”

“Ha-ha, kalau mengganggumu mengapa? Jangan pura-pura, nona manis. Di sini tidak ada orang lain, hanya engkau dan aku. Dan alang-alang itu lunak sekali.”

“Keparat busuk!”

Si Kwi sudah menerjang dengan kepalan tangannya, akan tetapi Ang-bin Ciu-kwi sudah menangkis dan tangkisannya yang disertai pengerahan tenaga itu membuat Si Kwi terhuyung. Dengan marah gadis ini lalu merogoh saku tempat menyimpan senjata rahasianya dan sekali tangannya bergerak, dua batang Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun) menyambar ke arah leher dan dada lawan. Ciu-kwi cepat menggerakkan gucinya dan mengelak.

“Tringgg…!”

Sebatang paku runtuh dan yang sebatang lagi dapat dielakkannya.

“Ha-ha-ha, tanpa pedangmu dengan mudah aku akan dapat merobohkan engkau, nona. Dan pakumu itupun tidak banyak gunanya. Bukankah lebih baik minum secawan arak sebagai sahabat daripada kita harus bertempur dan saling serang sendiri?”

Setan Arak ini lalu menenggak guci araknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyodorkan cawan kecil itu kepada Si Kwi. Orang gila ini berbahaya, pikir Si Kwi. Menggunakan kekerasan agaknya akan lebih berbahaya baginya. Dia melihat Setan Arak itu berkali-kali meneguk arak dari guci itu, maka apa salahnya kalau hanya minum secawan? Biarpun dia merasa jijik harus minum arak dari guci yang sudah diteguk begitu saja oleh mulut Setan Arak itu, akan tetapi agaknya ini lebih aman daripada harus menggunakan kekerasan karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian Setan Arak ini lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.

“Ciu-kwi, benarkah kau tidak akan menggangguku lagi setelah aku minum secawan arak?”

Tanyanya.

“Kau berani berjanji demi kedua locianpwe di Lembah Naga?”

Dia menyebutkan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li karena maklum betapa takutnya orang gila ini terhadap mereka itu.

“Ha-ha-ha, aku berjanji demi nama beliau berdua! Kau baik sekali mau menerima penghormatanku dan ucapanku selamat jalan, nona!”

Ang-bin Ciu-kwi lalu menuangkan arak dari gucinya ke dalam cawan itu, lalu menyodorkannya kepada Si Kwi. Tanpa ragu-ragu lagi gadis itu lalu menenggak arak dari dalam cawan sampal habis, kemudian mengembalikan cawannya. Sambil menerima cawan itu dan menyimpannya, Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. Arak di dalam cawannya itu sudah dimasukinya obat bubuk pemberian isterinya dan tentu saja bagi dia tidak ada bahayanya karena dia telah lebih dulu minum obat penawarnya. Kini dia melihat wajah gadis itu menjadi kemerahan dan pandang mata gadis itu kelihatan aneh!

“Ha-ha-ha, selamat jalan, nona manis!”

Si Kwi menggerakkan kedua kaki hendak pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba dia terhuyung.

“Ouhhhh…!”

Dia mengeluh dan berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, pandang matanya berkunang dan kepalanya terasa pening sekali, jantungnya berdebar aneh dan biarpun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia merasakan segala keanehan ini, namun kemauannya lenyap sama sekali dan dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, seolah-olah semangatnya terbang melayang.

“Kau kenapa, nona manis…?”

Ang-bin Ciu-kwi sudah berada di sampingnya dan merangkul lehernya.

“Auhhh… aku… auhhhh…!”

Si Kwi hanya dapat mengeluh dan merintih, bahkan dia memegang lengan Ang-bin Ciu-kwi, sama sekali tidak menolak ketika laki-laki itu merangkul lehernya dan mengecup pipinya sambil tertawa girang.

Biarpun dia same sekali tidak pernah melakukan penyelewengan, namun sebagai seorang gadis berusia dua puluh lima tahun yang sehat dan normal, karena kesukaran gurunya memilih jodoh untuk muridnya ini, tentu saja di dalam diri Si Kwi terdapat api gairah yang wajar, dorongan nafsu berahi yang normal bagi seorang dewasa yang sehat. Api gairah ini selalu ditekannya dan hanya dilepaskan di alam mimpi di mana dia bermimpi dengan bebas, bercumbu dengan pria yang dibayangkannya di dalam mimpi. Maka biarpun lahiriah Si Kwi merupakan seorang gadis yang alim, akan tetapi di dalam tubuhnya terkandung api yang bergairah sekali, maka kini setelah dia minum racun yang membiusnya, dia merasa seperti dalam mimpi dan bercumbu dengan pria yang dirindukannya!

“Ha-ha-ha, marilah manis!”

Ang-bin Ciu-kwi lalu menuntunnya dan merebahkan gadis ini di atas rumput alang-alang. Si Kwi hanya memejamkan matanya dan seperti seekor domba jinak dia menurut saja apa yang dilakukan oleh Ciu-kwi yang menurut perasaan hatinya seperti pria di dalam mimpinya selama ini. Kini Ang-bin Ciu-kwi tidak perlu lagi merenggut dan merobek baju gadis itu, karena Si Kwi sama sekali tidak menolak ketika sambil membelai dan menciumnya Ang-bin Ciu-kwi menanggalkan pakaiannya.

“Bedebah!”

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Ang-bin Ciu-kwi terkejut sekali dan menghentikan usahanya menanggalkan pakaian gadis itu. Ketika melihat ada seorang pemuda berdiri di jalan sambil memandangnya dengan mata tajam dan penuh kemarahan, Ang-bin Cui-kwi merasa heran dan marah. Orang ini bukan anak buahnya, jadi jelas adalah seorang luar! Maka dia meloncat meninggalkan Si Kwi yang masih rebah terlentang. Ketika merasa ditinggalkan orang, Si Kwi merintih, membuka matanya sedikit dan mengulurkan kedua lengannya ke arah pemuda itu sambil tersenyum penuh arti!

“Keparat, siapa kau berani memasuk wilayah ini?”

Bentak Ang-bin Ciu-kwi sambil memegang guci araknya erat-erat.

“Manusia iblis, siapapun adanya aku bukan hal yang penting. Akan tetapi setelah aku berada di sini, jangan harap engkau akan dapat melanjutkan perbuatanmu yang terkutuk itu!”

Jawab si pemuda yang memperhatikan keadaan gadis setengah telanjang itu dengan alis berkerut karena dia masih merasa heran akan keadaan dan sikap gadis itu. Kemudian dia dapat menduga mendengar rintihan gadis yang seperti orang mabok itu.

“Hemm, keparat, engkau tentu menggunakan racun untuk membiusnya, bukan?”

Ang-bin Ciu-kwi yang merasa marah sekali karena kesenangannya diganggu, sudah membentak keras.

“Bocah yang bosan hidup!”

Dan tangan kanannya menyambar dengan cepat sekali, juga amat kuat karena dia mengerahkan tenaganya untuk sekali pukul merobohkan pemuda yang mengganggunya ini.

“Wuuuuuttt… dukkkk!”

Ang-bin Ciu-kwi terpelanting dan dia memekik dengan kaget bukan main ketika merasakan betapa lengan tangannya nyeri sekali beradu dengan lengan pemuda itu. Akan tetapi dia meloncat berdiri lagi dan memandang penuh perhatian. Pemuda yang berpakaian sederhana namun tampan bukan main, tampan dan gagah dan tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada isterinya tadi dan tertawalah Ang-bin Ciu-kwi!

“Ha-ha-ha, bagus! Engkau ternyata tampan dan gagah, cocok sekali untuk isteriku! Ha-ha-ha! Orang muda, lebih baik kita bersahabat. Aku adalah Ang-bin Ciu-kwi dan mari kuperkenalkan dengan isteriku di rumah.”

Pemuda itu memandang tajam dan alisnya berkerut. Celaka, pikirnya. Orang ini kalau bukan pemabok besar tentu miring otaknya. Akan tetapi betapapun juga, orang ini bukan orang sembarangan karena dalam pukulannya tadi terkandung tenaga yang hanya dimiliki orang yang lihai.

“Aihhhh… peluklah aku… peluklah…”

Si Kwi kini rebah dengan gelisah, tubuhnya bergoyang ke kanan kiri dan mulutnya berbisik-bisik matanya setengah dipejamkan.

“Ha-ha-ha, apakah tidak sayang dia dibiarkan sendiri saja?”

Ang-bin Ciu-kwi tertawa.

“Dan isteriku lebih hebat dari dia, orang muda.”

“Jahanam busuk engkau!”

Kini pemuda itu menjadi marah dan tangannya menyambar. Ang-bin Ciu-kwi yang masih tertawa itu dengan cepat mengelak dan balas memukul, kini menggunakan guci araknya yang merupakan senjata ampuh memukul ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, dengan mudah pemuda itu mengelak dan sekali tangannya digerakkan dengan gerakan mendorong, hawa pukulan yang dahsyat menyambar dan Ang-bin Ciu-kwi terjengkang dan roboh! Si pemabok ini terkejut bukan main, cepat dia meloncat bangun lagi dan kini pandang matanya berbeda.

“Siapa engkau? Mau apa engkau?”

Tanyanya, tidak lagi tertawa-tawa seperti tadi.

“Tak perlu kaukenal dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Aku hendak pergi ke Lembah Naga…”

Heii, keparat!”

Ang-bin Ciu-kwi kini tidak ragu-ragu lagi. Ini tentu seorang musuh yang harus dijaganya agar jangan sampai ke Lembah Naga.

“Memang kau harus mampus!”

Dia menerjang lagi, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun pemuda itu, sedangkan guci araknya menyambar ke arah lambung, ada arak muncrat dari dalam mulut guci menyambar ke arah kedua mata lawan! Memang hebat serangan dari Ang-bin Ciu-kwi ini, dan muncratnya arak itupun merupakan serangannya yang istimewa. Namun, sekali ini Ang-bin Ciu-kwi menemukan tandingannya. Dengan tenang saja pemuda itu miringkan kepala untuk menghindarkan sambaran arak, kemudian tangan kiri menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun sedangkan hantaman guci itu diterimanya begitu saja dengan lambung yang terbuka. Ang-bin Ciu-kwi sudah girang sekali karena isi perut pemuda itu tentu akan berantakan terkena hantaman gucinya.

“Bukkk! Plakk!”

Lambung itu tepat kena dihantam guci akan tetapi bukan si pemuda yang roboh, melainkan Ang-bin Ciu-kwi sendiri yang terpelanting dan hampir pingsan dia karena lehernya yang ditampar oleh tangan pemuda itu rasanya seperti remuk dan patah-patah, kepalanya menjadi pening dan dengan susah payah barulah dia bisa bangkit berdiri. Dia memandang sejenak, kemudian larilah Ang-bin Ciu-kwi kembali ke Padang Bangkai, bahkan sedikitpun tidak lagi menengok ke arah Si Kwi yang masih rebah di atas rumput alang-alang tebal yang lunak seperti kasur! Pemuda itu memandang ke arah larinya lawan dan selagi dia hendak melanjutkan langkahnya, terdengar rintihan dan teringatlah dia kepada gadis setengah telanjang yang masih rebah merintih-rintih di atas rumput itu. Pemuda itu menarik napas panjang dan menghampiri, lalu berjongkok di dekat wanita itu.

“Engkau siapakah? Apa yang telah dilakukan terhadapmu? Engkau diberi minum apa?”

Suara pemuda itu halus namun mengandung wibawa. Si Kwi membuka matanya, menggigit bibirnya, kelihatannya tersiksa sekali.

“Si iblis… Ang-bin Ciu-kwi… aku minum arak… ahhhh, kau… kau… peluklah aku…”

Pemuda itu meraba dahi gadis itu, meraba pergelangan tangannya dan gadis itu bangkit duduk, merangkul pemuda itu dan menciuminya dengan mata terpejam.

“Ah, tenanglah…”

Pemuda itu memalingkan mukanya menghindarkan ciuman.

“Engkau keracunan, terbius, biar kucoba mengusir hawa beracun dari tubuhmu.”

Karena Si Kwi terus menggeliat dan hendak merangkul dan menggelutnya, pemuda itu menjadi repot juga, maka sekali dia menotok, Si Kwi mengeluh panjang dan terkulai lemas. Pemuda itu lalu menelungkupkan gadis itu, dan dengan tangan kirinya ditempelkan di punggung gadis itu, dia mengerahkan sin-kangnya, mengusir hawa beracun yang membuat gadis itu seperti orang mabok yang dirangsang nafsu berahi. Tenaga sin-kang pemuda itu memang luar biasa kuatnya. Hanya sepuluh menit kemudian, terdengar Si Kwi mengeluh normal dan pemuda itu lalu menotok pundaknya untuk membebaskannya. Si Kwi mengeluh lagi, membalikkan tubuhnya dan melihat pemuda itu, dia cepat meloncat dan dengan gerakan cepat dia sudah menghantam pemuda ini!

“Eh, sabar dan tenanglah…!”

Pemuda itu menangkis dan tubuh Si Kwi terhuyung ke belakang. Kini agaknya Si Kwi baru sadar benar dan melihat pemuda yang asing itu, dia terkejut dan heran, kemudian dia melihat betapa tubuhnya hanya tertutup pakaian dalam sedangkan pakaian luarnya telah tertumpuk di atas rumput.

“Ihhhhh…!”

Die menjerit dan dengan gerakan canggung dan repot dia berusaha menutupi dada dan bawah pusarnya, kemudian membalikkan tubuh membelakangi pemuda itu. Pemuda itu tersenyum, lalu mengambil tumpukan pakaian dan melemparkannya kepada dara itu, tepat menutup di pundaknya.

“Kau pakailah kembali pakaianmu.”

Tanpa menjawab, Si Kwi mengenakan lagi pakaian luarnya, barulah dia membalik dan memandang pemuda itu dengan muka merah dan sinar mata masih bingung.

“Apa yang terjadi? Apa yang kaulakukan?”

“Aku? Aku hanya mengusir hawa beracun yang menguasaimu, nona.”

“Mana dia? Mana iblis itu?”

“Kau maksudkan si pemabok tadi? Dia sudah lari.”

Si Kwi mulai teringat semuanya. Betapa dia minum arak dari cawan dan menjadi pening, kemudian betapa dia senang sekali dirangkul dan diciumi Ang-bin Ciu-kwi, bahkan dibaringkan di atas rumput alang-alang.

“Cuhhh…!”

Tiga kali dia meludah ke arah rumput alang-alang tadi, penuh kejijikan. Pemuda itu tersenyum.

“Jangan khawatir, nona. Belum terlambat si bedebah itu melanjutkan perbuatannya yang terkutuk.”

Si Kwi memandang pemuda itu, menatap wajah yang tampan dan gagah itu dan mukanya menjadi makin merah. Dia telah terlihat oleh pemuda ini dalam keadaan setengah telanjang!

“Engkau mengusirnya?”

Tanyanya hampir tidak percaya bahkan pemuda tampan sederhana ini telah menyebabkan Ang-bin Ciu-kwi melarikan diri. Pemuda itu mengangguk.

“Aku lewat dan melihat perbuatannya yang terkutuk, maka aku menegurnya dan akhirnya dia lari.”

“Dan kau lalu mengobatiku?”

Kembali pemuda itu mengangguk.

“Melihat sikapmu yang… eh, tidak wajar, aku tahu bahwa engkau
terbius hawa beracun, maka aku lalu mengusir hawa beracun dari tubuhmu.”

Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut dan dua titik air mata membasahi pipinya,

“Ah, banyak terima kasih, Taihiap. Tanpa ada pertolonganmu, tentu celakalah saya…”

Katanya terharu.

“Sudahlah, nona, tidak perlu kau bersikap begini. Bangunlah dan ceritakan apa yang terjadi.”

Pemuda itu mengangkat bangun Si Kwi yang kemudian berdiri dengan kedua pipi kemerahan dan sinar matanya penuh kagum memandang pemuda tampan yang demikian halus sikapnya, dan yang tentu berilmu tinggi karena buktinya dengan mudah mengusir Ang-bin Ciu-kwi dan juga dapat menyembuhkan dia dari pengaruh racun.

“Nama saya Liong Si Kwi dan saya akan… ah, akan pergi meninggalkan tempat terkutuk ini, akan tetapi Setan Arak itu menghadang saya. Kami pernah bertanding dan saya kalah… lalu saya kena ditipunya, minum secawan arak dan…”

“Cukuplah. Aku sudah dapat menduganya. Orang itu jahat sekali.”

“Tentu saja jahat, Taihiap, karena dia adalah majikan Padang Bangkai di sini. Selain dia, masih ada lagi isterinya, Coa-tok Sian-li yang tidak kalah kejamnya. Mereka berdua menjadi majikan Padang Bangkai, dibantu oleh lima belas orang anak buah mereka. Daerah ini amat berbahaya, Taihiap, maka sungguh mengherankan Taihiap dapat datang ke tempat seperti ini.”

“Aku hendak pergi ke Lembah Naga.”

“Ohhhh…!”

Melihat gadis yang manis itu berseru kaget dan mukanya berubah, pemuda itu cepat bertanya,

“Nona Liong, apakah engkau mengenal tempat itu?”

“Mengenal Lembah Naga? Tentu saja, akan tetapi sebelumnya, siapakah Taihiap ini dan apa perlunya mencari Lembah Naga?”

Sinar mata gadis itu menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kekhawatiran. Pemuda itu juga memandang si gadis penuh perhatian dan dia mengharap bahwa gadis yang telah diselamatkannya dari ancaman bahaya mengerikan tadi, yang agaknya mengenal daerah itu, akan dapat membantunya dengan petunjuk-petunjuk, maka dia lalu menjawab sejujurnya,

“Aku bernama Cia Bun Houw…”

“Aihhh…!”

Kembali Si Kwi berseru kaget, mulutnya agak terbuka, matanya terbelalak menatap wajah pemuda itu seperti orang melihat sesuatu yang luar biasa! Tentu saja dia telah mendengar nama ini dari gurunya, nama putera ketua Cin-ling-pai yang kabarnya memiliki kepandaian amat hebat! Tak disangkanya kini dia berhadapan dengan orangnya, seorang pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah, dan telah menyelamatkannya dari perkosaan Ang-bin Ciu-kwi!

Bagaimana Cia Bun Houw dapat muncul di tempat itu dan secara kebetulan dapat menyelamatkan Liong Si Kwi dari bahaya perkosaan? Seperti telah kita ketahui, pemuda ini meninggalkan Cin-ling-pai, diutus oleh ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Yuan de Gama di Yen-tai calon besan Cin-ling-pai, dan menghaturkan surat untuk Kaisar di kota raja. Setelah mendengar bahwa dia telah dipertunangkan dengan Souw Kwi Eng atau Maria de Gama, hati Bun Houw merasa tidak tenang, karena sesungguhnya pemuda ini telah jatuh cinta kepada In Hong. Maka, menerima tugas ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Souw itu, dia merasa enggan, karena dia merasa malu bertemu mereka, apalagi bertemu dengan Kwi Eng yang tentu telah tahu bahwa mereka telah bertunangan!

Ah, menyesallah rasa hati Bun Houw kalau teringat betapa dahulu dia telah mencium gadis itu! Karena keengganan ini, maka dia tidak lebih dulu ke Yen-tai, melainkan lebih dulu ke kota raja untuk menyerahkan surat ayahnya kepada Kaisar. Dan begitu tiba di kota raja, dia mendengar bahwa baru beberapa hari yang lalu, In Hong yang kini menjadi seorang puteri itu telah diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan marah. Dia menyerahkan surat ayahnya kepada Kaisar dengan menghadap sendiri. Kebetulan sekali pada waktu itu, Kaisar telah menerima balasan dari Raja Sabutai bahwa urusan kakek dan nenek guru Sabutai itu adalah di luar tanggung jawab Sabutai, bahwa Sabutai tidak tahu-menahu dengan semua perbuatan kedua orang gurunya itu yang kini telah meninggalkan dia dan berada di Lembah Naga.

Maka begitu membaca surat ketua Cin-ling-pai yang mohon bantuan Kaisar karena puteranya hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai dan dikhawatirkan bahwa kakek dan nenek iblis itu mengandalkan pasukan liar di utara, Kaisar lalu memanggil panglima pengawal untuk mengerahkan pasukan pengawal dan membantu putera ketua Cin-ling-pai itu menuju ke Lembah Naga, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi terutama sekali untuk menyelamatkan Yap In Hong. Akan tetapi Bun Houw yang tidak sabar menanti, berpamit dan berangkat lebih dulu seorang diri dengan cepat sehingga pada hari itu, dia tiba di luar dusun Padang Bangkai dan secara kebetulan dapat menolong Si Kwi. Ketika dia melihat Si Kwi terkejut mendengar namanya, bahkan wajah gadis yang manis itu menjadi pucat, dia lalu bertanya,

“Nona, apakah engkau sudah mengenal namaku?”

Si Kwi mengangguk,

“Taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai, bukan?”

“Benar. Bagaimana engkau bisa tahu, nona?”

“Dan Taihiap hendak pergi ke Lembah Naga untuk menuntut kembalinya Siang-bhok-kiam dan menolong nona Yap In Hong?”

“Benar…! Bagaimana dengan nona itu?”

Bun Houw girang sekali. Si Kwi menghela napas panjang.

“Taihiap, mereka telah menanti-nanti datangnya orang-orang yang hendak menolong nona Yap In Hong, dan mereka telah bersiap-siap! Taihiap, kalau Taihiap percaya kepada saya… harap Taihiap jangan pergi ke sana. Berbahaya sekali…!”

Si Kwi menatap wajah itu dan dia merass makin khawatir. Entah bagaimana, dia tidak dapat membayangkan pemuda ini menemui bencana di Lembah Naga

“Hemm, mengapa begitu, nona?”

“Cia-Taihiap, percayalah kepadaku. Di sana, selain ada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, juga ada Bouw Thaisu dan ada pula guruku, Hek I Siankouw di samping masih ada seratus orang anak buah kedua orang kakek dan nenek itu…”

“Ah, kiranya engkau adalah murid Hek I Siankouw?”

Tiba-tiba Si Kwi berlutut kembali dan kini dia tidak dapat menahan air matanya.

“Taihiap harap jangan samakan saya dengan mereka! Tidak… saya hanya terbawa oleh subo yang tentu saja ingin membalas dendam kematian supek Hwa Hwa Cinjin. Akan tetapi sekarang saya telah melihat dengan jelas betapa mereka itu adalah orang-orang jahat. Karena itu, tadinya saya hendak melarikan diri dari sini, Taihiap, sampai saya terhadang oleh Ang-bin Ciu-kwi dan hampir celaka… sungguh, saya amat khawatir kalau Taihiap melanjutkan perjelanan. Amat berbahaya menempuh bahaya itu scorang diri saja. Kembalilah, Taihiap, atau setidaknya, kalau Taihiap hendak menyerbu, bawalah teman sebanyaknya.”

Bun Houw dapat mempercayai keterangan gadis ini. Dia merasa beruntung bahwa secara kebetulan dia dapat menolong gadis ini sehingga dia akan mendengar keterangan yang amat jelas, boleh dipercaya dan berharga dari gadis ini. Maka dia lalu duduk di atas rumput.

“Liong-kouwnio, kaududuklah dan mari kita bicara baik-baik. Engkau tentu tahu, sebagai putera ketua Cin-ling-pai aku tidak mungkin kembali dan mundur.”

“Akan tetapi itu berarti bunuh diri, Taihiap! Berbahaya sekali…”

Bun Houw menggeleng kepalanya.

“Bahayanya akan berkurang banyak kalau saja engkau suka menceritakan kepadaku keadaan di sana.”

“Tentu! Tentu saja saya suka menceritakan. Taihiap, baru perjalanan menuju ke Lembah Naga saja sudah merupakan perjalanan penuh bahaya. Tidak ada jalan lain menuju ke Lembah Naga kecuali harus melalui Padang Bangkai yang dimulai dari sini. Banyak terdapat bagian-bagian yang amat berbahaya.”

Gadis ini lalu menuturkan dengan jelas tentang rahasia tempat itu, mana jalan yang merupakan ancaman maut siapapun yang melanggarnya, dan mana pula jalan rahasia yang harus diambil.

“Melihat kelihaian Taihiap, agaknya Padang Bangkai masih akan dapat Taihiap lewati. Akan tetapi setelah Taihiap berada di daerah Lembah Naga, haruslah berhati-hati sekali. Seratus orang anak buah kakek dan nenek itu adalah orang-orang pilihan dari pasukan Raja Sabutai, dan Pek-hiat Mo-ko serta Hek-hiat Mo-li memiliki kesaktian luar biasa, Taihiap. Dan Taihiap hanya sendirian saja…”

Mendengar penuturan yang panjang lebar itu Bun Houw menjadi girang sekali. Setidaknya dia kini tahu jalan mana yang harus diambil. Maka dia lalu bangkit berdiri, diikuti oleh Si Kwi, dan menjura sambil berkata,

“Liong-kouwnio telah memberi bantuan yang amat berharga kepadaku, banyak terima kasih atas kebaikanmu, kouwnio.”

“Jangan berkata demikian, Taihiap. Sayalah yang berhutang budi dan nyawa…”

“Selamat berpisah, kouwnio, aku hendak melanjutkan perjalanan.”

Si Kwi masih hendak mencegah, namun pemuda itu telah menggerakkan kakinya dan berkelebat lenyap di antara rumpun alang-alang yang tinggi. Dia terkejut dan kagum bukan main. Dia sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu gin-kang yang tinggi, namun gerakan pemuda itu demikian cepatnya sehingga dia maklum bahwa dibandingkan dengan tingkat kepandaian putera ketua Cin-ling-pai itu, kepandaiannya seperti permainan kanak-kanak saja! Jantungnya berdebar ketika dia teringat bahwa pemuda itu adalah putera seorang ketua perkumpulan yang amat besar dan terkenal. Subonya selalu menolak pinangan pemuda-pemuda yang jatuh cinta kepadanya karena subonya hanya mau menjodohkan dia dengan pemuda pilihan, bangsawan atau putera ketua perkumpulan yang berilmu tinggi dan terkenal. Dan pemuda tadi…

“Ah, aku melamun yang bukan-bukan!”

Dia mencela diri sendiri, akan tetapi dara itupun kini melangkah, bukan melanjutkan perjalanan ke selatan, melainkan kembali ke utara, karena dia ingin kembali ke Lembah Naga! Pertemuannya dengan Bun Houw, mendengar bahwa pemuda itu akan menyerbu Lembah Naga, membuat dia khawatir sekali dan berubah sama sekali niatnya. Dia harus kembali ke Lembah Naga, dia tidak mungkin bisa meninggalkan pemuda itu begitu saja tertimpa malapetaka di Lembah Naga! Bun Houw berlari cepat akan tetapi juga dengan penuh kewaspadaan. Dia maklum akan bahaya yang terdapat di Padang Bangkai ini dan merasa bersyukur bahwa dia dapat menolong Si Kwi sehingga mendapatkan petunjuk-petunjuk yang amat berharga dari gadis itu.

Dari Si Kwi dia mendengar tadi bahwa In Hong masih dalam keadaan baik-baik saja, karena memang gadis itu ditawan untuk dipergunakan sebagai umpan. Mendengar bahwa In Hong masih selamat, hatinya lega bukan main. Memang amat penting baginya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah menyelamatkan In Hong. Dirabanya perhiasan rambut burung hong kumala yang selalu berada di saku bajunya bagian dalam, kemudian dirabanya pedang Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya. Apapun yang terjadi, dia harus menyelamatkan In Hong! Tiba-tiba dia berhenti dan menyelinap di balik rumpun alang-alang ketika dari jauh dia melihat serombongan orang berjalan sambil tertawa-tawa, akan tetapi di antara suara ketawa banyak orang laki-laki itu dia mendengar suara isak tangis seorang wanita!

Ketika rombongan itu telah tiba dekat, dia memandang dengan mata berkilat saking marahnya. Rombongan itu terdiri dari belasan orang laki-laki tinggi besar dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang wanita cantik yang telanjang bulat, kedua tangannya dipegangi banyak orang dan dia setengah diseret menuju ke sebuah padang rumput hijau tak jauh dari situ. Dia mendengar dari penuturan Si Kwi tadi bahwa padang rumput hijau itu amat berbahaya, karena di bawahnya menyembunyikan lumpur maut yang sekali diinjak akan menyedot tubuh manusia dan di dalamnya terdapat lintah dan binatang lain yang beracun. Kini rombongan laki-laki itu mengangkat tubuh si wanita telanjang dan beramai-ramai mereka melemparkan tubuh wanita itu ke tengah padang rumput! Wanita itu menjerit, tubuhnya terbanting dan amblas ke bawah sampai ke pinggang.

Matanya terbelalak dan dia meronta-ronta, akan tetapi terbenam makin dalam. Tiba-tiba wanita itu tertawa, lalu menangis lagi dan karena dia terus meronta, sebentar saja suara tawa atau tangisnya itu lenyap karena kepalanya telah terbenam, hanya tinggal kedua tangannya saja yang nampak, membentuk sepasang cakar yang kaku! Bun Houw menahan napas saking ngeri dan marahnya melihat peristiwa ini. Dia tidak menyangka bahwa wanita itu akan dilempar ke tempat berbahaya itu dan ketika dia melihat hal ini terjadi, dia sudah terlambat dan dia maklum bahwa tak mungkin lagi menolong wanita itu, maka setelah wanita itu tidak nampak lagi dan orang-orang kasar itu masih tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata cabul dan tidak senonoh, dia lalu keluar dan berdiri tegak, memandang mereka penuh kemarahan sambil membentak,

“Iblis-iblis bermuka manusia!”

Tentu saja anak buah Padang Bangkai itu terkejut sekali. Cepat mereka menengok dan melihat seorang pemuda asing berdiri di situ, mereka segera mengepungnya. Mereka merasa heran sekali mengapa mereka tadi tidak melihat pemuda ini datang dan tahu-tahu pemuda itu telah berada di situ. Akan tetapi sebelum mereka bertanya, terdengar suara bentakan nyaring.

“Hayo kepung dan bunuh orang ini!”

Itulah suara Ang-bin Ciu-kwi yang telah datang di situ bersama isterinya, Coa-tok Sian-li. Suami itu bercerita kepada isterinya bahwa dia telah gagal menggagahi Liong Si Kwi karena munculnya seorang pemuda yang amat lihai, pemuda yang amat tampan dan gagah. Mendengar ini, Coa-tok Sian-li sudah tertarik sekali, maka dia cepat bersama suaminya keluar dari sarang untuk menangkap pemuda yang tampan dan gagah itu. Kiranya pemuda itu telah dikepung oleh anak buah mereka.

“Jangan!”

Coa-tok Sian-li berseru, lebih nyaring dari suaminya.

“Tangkap dia hidup-hidup!”

Nyonya yang cantik ini memang tertarik sekali melihat Bun Houw yang tampan dan ganteng dan merasa sayang kalau seorang pemuda seperti itu dibunuh begitu raja! Mendengar perintah Coa-tok Sian-li, orang-orang kasar itu tersenyum dan saling pandang. Mereka ini tentu saja sudah mengenal baik akan kesenangan nyonya majikan itu, dan sambil tertawa-tawa, mereka lalu mengeluarkan sehelai jala,

Masing-masing mengeluarkan sehelai dan mengurung pemuda itu dengan jala siap di tangan. Bun Houw sejak tadi memperhatikan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, maklum bahwa suami isteri inilah majikan Padang Bangkai itu seperti yang diceritakan oleh Si Kwi tadi. Dia harus melalui Padang Bangkai untuk dapat pergi ke Lembah Naga dan untuk dapat melalui Padang Bangkai dia harus dapat mengalahkan suami isteri ini bersama belasan orang anak buah mereka. Kebetulan, pikirnya, mereka kini telah berkumpul semua di sini, di tepi padang rumput hijau yang menyeramkan itu. Teringat akan nasib wanita telanjang tadi, Bun Houw merasa perutnya muak dan kini sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah belasan orang yang mengurungnya itu, dengan sinar berkilat-kilat.

“Haaaiiittt…!”

“Tangkaaappp…!”

Empat orang menubruk dari empat penjuru dengan jala mereka. Jala itu bentuknya seperti jala ikan biasa, ada talinya dan ketika dilontarkan, jala-jala itu mengembang seperti layar dan keempatnya dengan tepat menyelimuti tubuh Bun Houw. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, membiarkan jala-jala itu menyelimutinya, akan tetapi segera dia menggerakkan kedua tangannya.

“Breeeetttt…!”

Empat helai jala itu pecah dan koyak-koyak hancur, dan si pemuda tampan itu masih berdiri di tengah-tengah pengepungan mereka dengan sikap tenang.

“Heiii…!”

“Ahhh…!”

Mereka terkejut bukan main. Jala mereka itu amat terkenal kuat dan dapat menahan bacokan golok. Musuh yang sudah terjala, baru sehelai jala saja, akan sukar meloloskan diri. Akan tetapi kini pemuda itu, dengan tangan kosong telah menghancurkan empat helai jala sekali gerak! Suami isteri itupun terkejut bukan main dan jantung Coa-tok Sian-li makin berdebar penuh gairah berahi terhadap pemuda yang demikian jantan dan lihainya.

“Serbu! Tangkap!”

Teriaknya dan kini lima belas orang anak buah Padang Bangkai itu bergerak seperti harimau-harimau kelaparan memperebutkan seekor domba. Sekaligus dua orang menubruk dari depan dan dua orang pula menyergap dari belakang. Karena mereka diperintah untuk menangkap, maka mereka tidak menghantam, hanya menubruk untuk meringkus pemuda ini yang mereka tahu amat diidamkan oleh nyonya majikan mereka.

Kembali Bun Houw membiarkan empat orang itu meringkus dan merangkulnya, kemudian dia mengeluarkan suara melengking dahsyat dan menggerakkan tubuhnya. Akibatnya hebat karena empat orang tinggi besar itu semua terlempar seperti dilontarkan ke arah… padang rumput hijau! Mereka memekik ketakutan, akan tetapi karena tenaga yang melontarkan mereka itu amat kuat, akhirnya mereka terbanting ke atas padang rumput hijau dan celakanya, mereka jatuh dengan kepala lebih dulu dan langsung tubuh mereka menancap di lumpur dari kepala sampai ke pinggang, tinggal dua kaki mereka saja bergoyang-goyang lucu dan aneh! Teman-teman mereka terkejut dan hendak menolong kawan-kawan mereka itu dengan tali, akan tetapi kini Bun Houw mengamuk, tidak memberi kesempatan kepada mereka, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara berkeretaknya tulang-tulang patah dan ada pula yang terlempar ke padang rumput hijau.

Dengan gerakan kilat Bun Houw berloncatan dan ke manapun tubuhnya berkelebat, tentu ada anggauta Padang Bangkai yang roboh atau terlempar ke padang rumput berbahaya itu. Dalam waktu singkat, delapan orang terlempar ke padang rumput hijau dan “ditelan”

Lumpur, yang tujuh orang roboh tak dapat bangkit kembali, ada yang pingsan katena kena ditampar, ada yang patah tulang kaki atau tangannya dan mereka kini hanya merupakan sekumpulan orang cacad yang tidak mampu bangkit, hanya mengerang kesakitan! Melihat ini, tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li terkejut bukan main. Semua gairah nafsu berahi lenyap dari benak wanita itu ketika melihat betapa lima belas orang anak buahnya telah roboh semua. Kini mukanya yang dihias tebal itu menjadi buruk karena ditarik sedemikian rupa oleh perasaan marah,

Tangannya bergerak berkali-kali dan puluhan batang jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) menyambar ke tubuh Bun Houw dari kepala sampai ke kaki! Hebat bukan main serangan beruntun dan bertubi-tubi dari jarum-jarum yang dilontarkan oleh Coa-tok Sian-li yang sudah marah, akan tetapi anehnya, Bun Houw sama sekali tidak mengelak, hanya mengangkat tangan untuk melindungi mukanya dari serangan jarum-jarum itu. Dan semua jarum itu tepat mengenai tubuhnya, dari leher sampai kaki, akan tetapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan jarum-jarum itu banyak yang menancap di pakaiannya! Kini Bun Houw menggunakan tangannya mengusap pakaiannya dan jarum-jarum itu telah berada di tangannya, lalu tangannya bergerak dan belasan batang jarum menyambar ke arah suami isteri itu dan orang-orang mereka yang masih mengerang kesakitan.

“Celaka…!”

Coa-tok Sian-li berseru. Dia dan suaminya dapat meloncat jauh ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum itu, akan tetapi empat orang anggauta atau anak buah mereka yang telah terluka tadi, kini menjerit dan terjengkang roboh berkelojotan termakan oleh jarum-jarum beracun! Hanya mereka yang tadi sudah pingsan dan rebah saja yang lolos dari maut.

Melihat ini, Coa-tok Sian-li dan Ang-bin Ciu-kwi menjadi pucat dan tanpa menanti komando lagi, keduanya telah membalikkan tubuh dan lari dari situ seperti dikejar hantu! Mereka melarikan diri ke utara untuk melapor ke Lembah Naga tentang kedatangan pemuda yang luar biasa lihainya ini. Sementara itu, dari jauh Si Kwi melihat semua peristiwa itu dan jantungnya berdebar tegang dan penuh kekaguman. Makin kagumlah dia kepada Bun Houw, dan makin tetaplah tekadnya bahwa apapun yang akan terjadi, dia harus menjaga agar Bun Houw jangan sampai tertimpa malapetaka, atau dia akan berusaha untuk menolongnya sedapat mungkin. Ketika dia melihat pemuda itu dengan gerakan cepat sekali telah meninggalkan tempat itu dan agaknya seperti mengejar suami isteri yang melarikan diri, Si Kwi juga cepat melanjutkan perjalanannya.
“Ohh, aku cinta padamu… betapa aku cinta padamu…”

Bibirnya berkemak-kemik ketika dia memandang bayangan Bun Houw yang segera lenyap itu. Si Kwi bukan seorang gadis yang mudah jatuh cinta. Biasanya, karena sikap gurunya, dia malah ada kecondongan memandang rendah kaum pria, biarpun di dalam lubuk hatinya dia merindukan seorang suami yang seperti yang diidam-idamkan gurunya dan diidamkannya sendiri pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan lebih lihai daripada dia sendiri, dan tentu saja yang tampan dan ganteng. Maka kini, bertemu dengan Cia Bun Houw dan melihat betapa semua idaman hatinya itu terkumpul di dalam diri pemuda itu, tidaklah mengherankan apabila dia tertarik, kagum, dan jatuh cinta! Apalagi karena justeru pemuda hebat itulah yang telah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut!

Dan selain ini, juga pemuda itu telah melihat dia dalam keadaan setengah telanjang, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan pendek saja! Seluruh kerinduan yang timbul semenjak beberapa tahun ini, semenjak dia telah menjadi dewasa, kini ditumpahkan kepada diri Bun Houw seorang! Berkat petunjuk dari Liong Si Kwi, Bun Houw tidak mengalami kesukaran melewati Padang Bangkai yang telah kosong ditinggalkan penghuninya itu dan akhirnya tibalah dia di luar tembok yang mengelilingi tempat tinggal Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Lembah Naga. Tembok itu seperti benteng saja, kokoh kuat dan tinggi. Akan tetapi sungguh aneh sekali, kalau benteng dijaga dengan ketat dan tentu tampak para perajurit penjaga hilir-mudik melakukan penjagaan dan perondaan, sebaliknya tempat ini sunyi saja tidak nampak seorangpun penjaga.

Ketika Bun Houw tiba di depan pintu gerbang, pintu besar dari tembok benteng itu malah terbuka lebar-lebar dan tidak nampak ada yang menjaganya, seolah-olah pintu yang terbuka lebar itu mempersilakan dia memasukinya. Akan tetapi, Bun Houw bukan seorang pemuda sembrono atau bodoh. Baginya, pintu benteng yang terbuka lebar itu seperti mulut seekor naga yang terbuka, siap menelannya kalau dia tidak berhati-hati! Bun Houw menduga bahwa tidaklah mungkin Lembah Naga begitu lengah setelah sengaja menawan In Hong dan menggunakan gadis itu sebagai umpan datangnya para tokoh Kerajaan Beng. Apalagi karena sekarang Siang-bhok-kiam juga telah mereka rampas dan setiap saat mereka menanti datangnya orang Cin-ling-pai untuk merampas kembali pedang pusaka itu.

Ini pasti sebuah perangkap, pikirnya. Dia teringat akan suami isteri majikan Padang Bangkai yang melarikan diri. Pasti karena dua orang itu telah datang melapor, maka kini Lembah Naga sudah siap menyambutnya dan mengatur perangkap. Namun Bun Houw sama sekali tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan In Hong gadis yang dicintanya itu. Dia lalu pergi mencari sebongkah batu yang beratnya kurang lebih seberat orang biasa, lalu dia melontarkan batu itu ke lantai di tengah pintu gerbang sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung terbang saja.

“Bukkkk…!”

Baru saja batu itu tiba di lantai pintu, terdengar bunyi berderit nyaring dan lantai di bawah pintu gerbang itu terkuak lebar sekali merupakan sumur besar yang dapat menelan puluhan orang perajurit yang menyerbu pintu gerbang itu. Kemudian, dari atas kanan kiri pintu gerbang itu, belasan orang laki-laki yang sudah bersiap dengan gendewa mereka melepas anak panah seperti hujan saja ke dalam lubang.

Bun Houw bergidik. Jangankan baru dia seorang, andaikata ada pasukan yang lancang menyerbu masuk, tentu pasukan itu akan terjeblos ke dalam lubang sumur besar itu dan semua tewas di bawah hujan anak panah itu! Akan tetapi kini para anak buah Lembah Naga itu sudah melihat Bun Houw yang berdiri di atas tembok, maka mereka kini lalu membalikkan gendewa mereka dan menyerang pemuda itu dengan anak panah. Bun Houw meloncat ke bawah, kaki tangannya menangkis dan menendang anak panah yang datang menyerangnya, ada pula yang mengenai tubuhnya akan tetapi semua anak panah itu runtuh ke bawah, tidak ada yang dapat melukai tubuhnya yang sudah dilindungi oleh sin-kang menjadi kebal. Begitu tiba di bawah, Bun Houw berseru nyaring,

“Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Keluarlah kalian kalau memang kalian bukan pengecut-pengecut hina! Aku Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah datang!”

Semua anak buah Lembah Naga terkejut mendengar ini. Di antara mereka memang ada yang sudah pernah melihat Cia Bun Houw ketika pemuda ini dahulu memasuki benteng Sabutai, akan tetapi ada pula yang belum melihatnya. Akan tetapi, mereka semua telah mendengar akan nama pemuda Cin-ling-pai yang kabarnya amat lihai itu dan tadi mereka sudah menyaksikan sendiri betapa selain tidak dapat terjebak di pintu gerbang, juga pemuda itu telah memperlihatkan kelihaiannya ketika dihujani anak panah.

“Ha-ha-ha, bocah sombong!”

Terdengar suara keras dan nampaklah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li muncul dari dalam sebuah rumah gedung, langsung menghampiri tempat yang telah dikurung oleh puluhan orang anak buah mereka itu. Juga, nampak muncul Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, kemudian paling akhir muncul pula Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang memandang ke arah pemuda itu dengan sikap gentar.

“Ha-ha-ha! Mana ketua Cin-ling-pai? Aku mengharapkan dia yang muncul di sini, bukan seorang bocah masih ingusan macam kau!”

Pek-hiat Mo-ko berkata lagi, memandang rendah kepada Bun Houw. Bun Houw sudah memandang penuh perhatian. Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan berpakaian hitam di samping Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam berpakaian putih itu benar-benar merupakan pasangan yang menyeramkan sekali. Akan tetapi, teringat bahwa In Hong berada di sebelah dalam dari satu di antara rumah-rumah di benteng ini, bangkit kembali semangat Bun Houw dan dengan tabah dia lalu berkata,

“Ji-wi locianpwe adalah dua orang tua yang berilmu, mengapa menggunakan cara yang amat tercela? Kalau hendak menantang kami mengapa harus menggunakan akal pancingan?”

“Heh-heh-heh, bocah ini bermulut lancang!”

Hek-hiat Mo-li mengejek.

“Pedang Siang-bhok-kiam memang ada pada kami, suruhlah ketua Cin-ling-pai sendiri datang untuk mengambilnya kalau dia berani!”

“Cukup dengan aku saja sebagai putera ketua Cin-ling-pai mewakili ayah dan seluruh Cin-ling-pai!”

Kata Bun Houw tenang.

“Dan bukan hanya untuk Siang-bhok-kiam, terutama sekali hendaknya ji-wi suka membebaskan nona Yap In Hong sekarang juga!”

Ucapan yang tenang dari Bun Houw ini mengherankan semua orang, heran akan keberanian pemuda ini yang datang seorang diri di tempat itu namun telah membuka suara lantang hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam dan menuntut dibebaskannya Yap In Hong! Sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang menanti jawaban dari dua urang kakek dan nenek itu dan tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara lemah,

“Subo…”

Semua orang menengok dan Hek I Siankouw juga menoleh. Ketika dia melihat muridnya yang berpakaian merah itu telah tiba di situ dengan muka agak pucat, dia cepat memanggil dengan suara dingin,

“Si Kwi, ke sinilah engkau!”

Mendengar suara gurunya, Liong Si Kwi terkejut dan melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang keduanya menyeringai itu, dia lalu cepat menghampiri gurunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Hek I Siankouw.

“Heh-heh, bagus sekali muridmu, Siankouw! Kiranya muridmu yang Kau bilang amat boleh dipercaya itu hanya seorang pengkhianat tak tahu malu!”

Kata Hek-hiat Mo-li.

“Nanti dulu, Mo-li!”

Hek I Siankouw membantah.

“Kita tidak boleh hanya mendengarkan keterangan yang sepihak saja. Persoalan ini perlu diselidiki baik-baik sebelum menjatuhkan kesalahan kepada satu pihak. Eh, Si Kwi, bagaimana dengan perintah yang kuberikan kepadamu untuk menemui majikan-majikan Padang Bangkai dan menyampaikan pesan?”

“Sudah teecu lakukan dengan baik, subo. Akan tetapi…”

Dara itu mellrik ke arah Ang-bin Ciu-kwi yang masih menyeringai.

“Akan tetapi engkau berkhianat kata orang, hendak melarikan diri dari sini, kemudian engkau bermain gila dengan pemuda Cin-ling-pai ini, berjina dengan dia dan ketahuan oleh Ang-bin Ciu-kwi dan…”

“Bohong…!”

Si Kwi menjerit dan dia melompat bangun, menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan menudingkan telunjuknya kepada majikan Padang Bangkai itu.

“Dia bohong, dia bukan manusia, subo! Dia inilah manusianya yang hampir saja memperkosa teecu! Ketika teecu tiba di sana, mereka ini dan anak buah mereka tidak melakukan penjagaan, melainkan mengganggu banyak wanita biarpun kemudian mereka bilang bahwa wanita-wanita itu adalah anak buah Giok-hong-pang. Kemudian… dengan curang iblis ini menyuguhkan arak beracun kepada teecu dan nyaris teecu diperkosa olehnya! Bedebah keparat dia ini!”

“Ha-ha-ha, kami lihat engkau dan pemuda Cin-ling-pai itu bergumul di antara rumpun alang-alang… ha-ha-ha, betapa asyiknya… dan sekarang masih memutar balikkan omongan!”

Kata Ang-bin Ciu-kwi.

“Nanti dulu, Ciu-kwi. Benarkah omonganmu dan isterimu bahwa kalian melihat muridku berjina dengan pemuda Cin-ling-pai ini?”

“Benar! Kami berdua melihatnya!”

Jawab Coa-tok Sian-li dengan tegas.

“Bohonngg…!”

Si Kwi menjerit lagi.

“Diam kau, Si Kwi!”

Hek I Siankouw membentak muridnya, lalu berkata kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

“Kalian berdua tentu bukan anak kecil dan hal ini tentu saja dengan mudah dapat kita periksa. Sepanjang pengetahuanku, muridku adalah seorang perawan. Akan tetapi kini dua orang majikan Padang Bangkat ini mengatakan bahwa muridku berjina dengan seorang laki-laki. Harap Hek-hiat Mo-li suka memeriksa kebenaran keterangan itu. Kalau benar muridku sekarang sudah bukan perawan lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya!”

“Heh-heh, itu benar sekali!”

Hek-hiat Mo-li melangkah maju dan sebelum Si Kwi sempat mengelak, dia telah tertotok roboh. Dengan cekatan jari-jari tangan Hek-hiat Mo-li meraba-raba dan tak lama kemudian dia membebaskan totokannya, mencelat ke tempatnya kembali sambil berkata kecewa.

“Dia benar masih perawan!”

“Hemm…”

Hek I Siankouw kini menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li.

“Bagaimana sekarang, manusia-manusia palsu? Kalau muridku telah berjina dengan seorang pria, bagaimana mungkin dia masih perawan sekarang?”

Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li tentu saja menjadi bingung. Mereka memang sengaja memutarbalikkan fakta agar gadis itu tidak mengadukan keadaannya ketika berada di Padang Bangkai, siapa tahu kini terdapat bukti bahwa cerita mereka itu bohong belaka!

“Akan tetapi dia… dia hendak lari ke selatan dan… sekarang buktinya, pemuda Cin-ling-pai ini mana mungkin bisa melewati Padang Bangkai dan tiba di sini kalau tidak atas petunjuk Si Kwi?”

Kata Ang-bin Ciu-kwi yang biarpun pemabok namun cukup cerdik itu. Kembali Hek I Siankouw meragu.

“Si Kwi, benarkah engkau memberi petunjuk kepada pemuda Cin-ling-pai ini?”

“Tidak, Hek I Slankouw, dia sama sekali tidak memberi petunjuk apa-apa kepadaku. Mengapa kalian ini begitu tolol untuk mempercaya omongan manusia-manusia macam suami isteri yang cabul dan kotor ini? Aku memaksa seorang anggauta Padang Bangkai untuk menunjukkan jalan ke sini!”

Bun Houw cepat berkata untuk melindungi Si Kwi.

“Nah, jelas bahwa engkau sengaja hendak memburukkan nama muridku, hanya karena engkau tadinya hendak memperkosanya dan kini kau memutarbalikkan kenyataan! Ang-bin Ciu-kwi, kau menghina muridnya, berarti kau menantang gurunya!”

“Bagus, Hek I Siankouw, engkau sombong sekali!”

Tiba-tiba Coa-tok Sian-li berteriak dan meloncat ke depan membela suaminya.

“Muridmu bisa bercerita bohong dan tentu saja pemuda musuh ini membelanya, akan tetapi kami suami isteri juga mempunyai cerita tersendiri. Muridmu yang tak tahu malu…”

“Tutup mulutmu, perempuan cabul!”

Teriak Hek I Siankouw.

“Engkau yang harus tutup mulut!”

Teriak Coa-tok Sian-li. Dua orang wanita itu, tentu saja Coa-tok Sian-li dibantu suaminya, sudah akan saling serang ketika terdengar Hek-hiat Mo-li berseru keras.

“Sungguh bodoh kalian! Mudah saja diadu domba oleh musuh. Sedangkan musuh masih berdiri di antara kita, kalian sudah saling cekcok! Lebih baik kalian bertiga cepat maju menangkap pemuda Cin-ling-pai ini!”

“Benar, kalau memang kalian bertiga merupakan pembantu-pembantu kami yang setia, hayo kalian tangkapkan pemuda ini untuk kami!”

Kata pula Pek-hiat Mo-ko. Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu, merasa jerih. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya yang ampuh itupun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka diapun meragu untuk turun tangan. Akan tetapi dalam saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.

“Singggg…!”

Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).

“Singggg…!”

Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang berlika-liku seperti ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam jarum racun ular.

“Wuuut-wuuuttt…!”

Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.

Tiga orang ini karena terpaksa kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya sudah menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu. Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang telah mewarisi Thian-te Sin-ciang secara sempurna, sehingga biarpun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani untuk menangkis senjata-senjata pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.

“Plak-plak-plakkk…!”

Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan otomatis Hek I Slankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangannya.

Coa-tok Sian-li juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu berupa uap yang amat kuat menyambar ke depan dan biarpun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khi-kang yang hebat, tidak kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya! Bun Houw meloncat ke atas dan kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, kini tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka menghantam ke arah Hek I Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.

Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya dan pendeta wanita tua ini terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah pucat. Bun Houw menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi. Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar suara Bouw Thaisu,

“Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!”

“Wuuut-wuuuuuttt…!”

Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik dan mengelak dari sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan baju ini lebih lihai daripada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya yang lain.

“Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua pengecut ini!”

Bun Houw berseru dan diapun balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang tua yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan.

Namun, pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat mendorong mereka biarpun tidak mengenai langsung. Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jerih lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Kini mereka telah menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut lagi menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!

“Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak akan mampu merobohkannya,”

Kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.

“Bukan salah mereka. Mereka merupakan pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini,”

Kata Hek-hiat Mo-li.

“Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia.”

“Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu daripada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kau bantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku mempunyai akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan kita.”

Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat dari tangan kanannya. Pek-hiat Mo-ko terkenal dengan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun dan yang mendatangkan hawa dingin sekali. Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan empat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuat. Cepat diapun mengerahkan tenaganya menangkis ke kiri, disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.

“Prattt… dessss…!”

Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan, akan tetapi sambil tersenyum dia sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya!

“Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet itu datang ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha!”

Pek-hiat Mo-ko tertawa girang. Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itupun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya!

Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat daripada tadi. Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia lebih dulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu lawan satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biarpun kakek ini memiliki kekebalan yang begitu istimewa. Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lain! Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata.

“Trang-trang-trakk-breetttt…!”

Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor dan ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat Mo-ko. Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek yang amat lihai itu.

“Tahan…! Cia Bun How, lihat ini…!”

Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan suara nyaring. Bun Houw meloncat ke belakang, menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.

“Hong-moi…!”

Tak disadarinya lagi Bun Houw berseru girang melihat gadis itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan maut!

“Cia Bun Houw, pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan nyawanya di depan matamu!”

“Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!”

Tiba-tiba In Hong berseru nyaring dan Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan “nona Hong”

“Hong-moi…!”

Kembali dia mengeluh dan meragu.

“Cia Bun Houw, engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai yang perkasa. Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan perdulikan aku!”

Kembali In Hong berkata.

“Jangan kau merendahkan nama ayahmu.”

“Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!”

Tangan berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.

“Hek-hiat Mo-li!”

Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar amat berwibawa dan menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya.

“Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong akan tetapi akupun dapat membunuh kalian semua!”

“Ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kau kira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu dapat kami bunuh dan kaupun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?”

Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat itu telah terkurung oleh seratus orang anak buah yang kelihatannya kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka memandang ke arahnya.

“Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biarpun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!”

“Houw-ko, jangan gila…!”

In Hong menjerit dan tanpa disadarinya dia kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw. Bun Houw tersenyum kepadanya.

“Hong-moi, sudah sepatutnya kalau laki-laki yang menjadi tawanan, bukan wanita. Pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Kalau engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang ditawan!”

Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh semua orang.

“Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?”

Hek-hiat Mo-li berteriak.

“Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya akan tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan saja, aku mau menyerah tanpa syarat.”

“Houw-ko…!”

In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak disangkanya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia!

“Bagaimana ji-wi locianpwe?”

Bun Houw mengejek.

“Kalian memilih aku mengaku dan membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?”

Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li dan mereka bicara dalam Bahasa Sailan.

“Memang dia lebih berharga daripada gadis ini,”

Kata Pek-hiat Mo-ko.

“Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini,”

Kata Hek-hiat Mo-li.

“Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu.”

Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan,

“Cia Bun Houw, kami menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu.”

Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat.

“Siapa bisa percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku ini adalah pedangnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah.”

Kakek dan nenek itu marah sekali, merasa terhina.

“Bocah lancang! Kami adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang yang akan melanggar janji? Kalau tidak percaya kepada kami, kamipun bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau tidak mampu menyerah?”

“Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai melanggar janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar ketika di antara Bayangan Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Aku keluar sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah berjanji dan lebih baik mati daripada melanggar janji, itulah watak seorang pendekar!”

“Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji daripada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!”

Kata Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu.

“Mo-li, bebaskan nona ini!”

“Eh, eh, nanti dulu, Moli!”

Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan mencegah.

“Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu adalah milikku, kalian harus ingat ini!”

“Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!”

Hek-hiat Mo-li menjawab.

“Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan kepadamu kalau urusan kita semua sudah selesai, dan sekarang urusan belum selesai, bantuanmupun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya kembali? Kalau sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana Kaisarpun kami dapat mengambilnya apalagi di tempat lain!”

Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantahpun tidak akan ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang amat lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap gadis yang telah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, daripada sekarang memusuhinya dan sama sekali tidak akan menguntungkannya. Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua belenggu kaki tangan In Hong dan membebaskan totokannya dengan jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat karena pembebasan totokan dan belenggu itu membuat seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri. Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya.

“Hong-moi, kau pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu.”

Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam. Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw.

“Houw-ko… tidak boleh begini…”

Katanya dengan suara berbisik.

“Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari neraka ini!”

“Tapi… tapi… kau…?”

“Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan… kau maafkan semua keselahanku yang sudah-sudah…”

“Houw-koko!”

In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus dua titik air mata. Lalu dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada.

“Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!”

“Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka.”

“Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh nonton sandiwara?”

Bentak Ang-bin Ciu-kwi dengan marah.

“Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu,”

Kata pula Bun Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus. Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya dan berlari keluar dari pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

“Nah, sekarang aku menyerah.”

“Engkau memang sungguh seorang muda yang amat gagah!”

Pek-hiat Mo-ko memuji sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.

“Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!”

Kata Hek-hiat Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok. Bun Houw mengangguk.

“Maaf, anggauta tubuhku bergerak otomatis tanpa kusengaja.”

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya,

“Biar kuikat saja dengan ini.”

Dan kakek inipun lalu mengikat kedua tangan pemuda itu di belakang tubuhnya. Tali ini bukan tali semberangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleb apapun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tehanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

“Bebaskan dia!”

“Hong-moi…!”

Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka berubah saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In Hong! Gadis ini kelihatan jelas habis menangis, matanya merah dan pipinya basah. Kini dia tidak menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan beringas, pedang Hong-cu-kiam di tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya mengancam seperti seekor harimau betina yang dirampas anaknya.

“Hong-moi, pergilah…! Ahhh…!”

Bun Houw menjadi bingung sekali. Sementara itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, sudah menerjang In Hong dengan senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw menggunakan pedang hitamnya yang ujungnya rusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang pedang. Melihat betapa gadis itu melawan dengan nekat dan gerakannya cepat bukan main, Bouw Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya menonton.

“Ha-ha-ha, tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!”

Pek-hiat Mo-ko tertawa bergelak dan Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong. Tentu saja In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan main. Pernah dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini memiliki kekebalan yang luar biasa. Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia mengamuk dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah terpaksa mundur.

“Hek-hiat Mo-li! Apakah engkau demikian tak tahu malu untuk melanggar janji?”

Bun Houw membentak dan berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, kedua lengannya tidak mampu membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak mulur sehingga tidak mungkin dapat dibikin putus.

“Hemm, Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji? Nona itu datang sendiri, dan kami tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami melanggar janji?”

Pek-hiat Mo-ko berkata. Tentu saja Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru.

“Hong-moi, jangan…! Pergilah lekas!”

Sambil menangkis serangan yang dilakukan dengan penuh kebencian oleh Hek I Siankouw, In Hong menjawab,

“Tidak! Kalau engkau tidak dibebaskan, aku akan mengamuk sampai titik darah terakhir!”

Hek I Siankouw menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung pedang Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika sinar keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya dan sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung.

“Hong-moi, pergilah…!”

Kembali Bun Houw berteriak, akan tetapi In Hong sudah marah seperti seekor harimau terluka. Dia meloncat bangun dan dengan mata beringas memandang nenek bermuka hitam itu dan lima belas orang anak buahnya yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang yang digulung. Inilah pasukan tali yang sudah terlatih baik oleh dua orang kakek dan nenek itu. Begitu Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu menggerakkan tangan dan meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, dan ujung itu diterima oleh seorang teman di seberang. Dengan demikian, tahu-tahu In Hong telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk bergerak karena ke manapun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu!

In Hong menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas orang yang mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak kalau dia bergerak, dan kedudukannya tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu. Terdengar dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak lagi mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu ternyata juga terbuat dari bahan yang kuat sekali, akan tetapi Hong-cu-kiam yang tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sin-kang kuat, merupakan sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali itu mulai putus! Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itupun mulai menjadi kacau dan In Hong sudah dapat minggir mendekati mereka yang makin panik dan jerih karena tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini telah robek-robek!

“Mundur!”

Teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw dengan tali otot hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tak dapat bergerak lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu ke depan. Melihat dua orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya berkelebat menyerang dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang tongkat itu menangkis dan mendesak ke depan.

In Hong dikurung rapat dan didesak sedemikrian rupa sehingga gadis itu menjadi repot juga. Menghadapi seorang di antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa, apalagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat secara istimewa pula. Belum sampai lima puluh jurus dia mempertahankan, dia telah roboh oleh totokan istimewa yang dilakukan dengan ujung tongkat oleh Pek-hiat Mo-ko. Tubuh In Hong terguling dan segera diapun diikat kaki tangannya seperti Bun Houw dan dilempar di dekat Bun Houw. Kebetulan sekali In Hong terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdentar Bun Houw mengeluh kekecewaan. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini!

“Dukk! Dukk!”

Dua kali tangan Pek-hiat Mo-ko bergerak ke arah tengkuk Bun Houw dan In Hong, dan kedua orang muda itu mengeluh dan tak bergerak lagi, mata mereka terpejam karena mereka telah pingsan. Kakek dan nenek itu sendiri yang mengempit tubuh dua orang muda yang merupakan tahanan dan sandera amat berharga itu, diiringkan oleh semua pembantunya mereka lalu membawa dua orang tawanan itu dan setelah membebaskan totokan dan tali, melemparkan mereka ke dalam kamar tahanan yang amat kuat, kamar tahanan dari baja yang tidak mungkin dapat dibobol oleh seorang lihai seperti Bun Houw sekalipun!

“Mengapa mereka dibebaskan? Sungguh berbahaya, locianpwe,”

Ang-bin Ciu-kwi mencela Pek-hiat Mo-ko setelah dua orang muda itu dibebaskan dari belenggu dan dilempar ke dalam kamar tahanan dan pintunya dikunci dari luar. Pek-hiat Mo-ko tersenyum.

“Biarpun berbahaya, mereka itu hanya seperti dua ekor harimau di dalam kerangkeng. Mereka tidak berbahaya lagi dan sewaktu-waktu, mudah saja kita merobohkan mereka dari luar kerangkeng. Mereka adalah sandera-sandera yang amat berharga, harus dijaga jangan sampai sakit dan mati sebelum semua teman The Hoo si keparat itu mewakilinya datang ke sini dan menerima hukuman.”

Ang-bin Ciu-kwi bergidik karena dalam suara kakek ini terkandung ancaman yang amat hebat.

“Sungguh saya merasa heran, locianpwe. Panglima The Hoo sudah mati, kenapa ji-wi locianpwe menaruh dendam yang demikian hebat sehingga semua temannya harus dihukum!”

Tiba-tiba leher baju Setan Arak itu dicengkeram oleh tangan kiri Pek-hiat Mo-ko sehingga Si Setan Arak kaget dan ketakutan.

“Ampun… maafkan kalau saya salah bicara…”

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko menarik muka Ang-bin Ciu-kwi sampai dekat dengan mukanya.

“Lihat! Lihat baik-baik mukaku, dan lihat muka Hek-hiat Mo-li! Apakah seperti manusia lagi? Itu semua gara-gara si keparat The Hoo!”

Dia lalu mendorong dan melepaskan tubuh Ang-bin Ciu-kwi yang jatuh terjerembab ke atas lantai.

“Sekarang, engkau dan isterimu, harus menjaga baik-baik dua orang tawanan ini. Awas, kalau sampai mereka itu sakit atau mati atau lolos, nyawa kalian berdua yang menjadi gantinya!”

Pek-hiat Mo-ko memang cerdik. Dia tidak mempercayakan penjagaan atas diri dua orang tawanan itu kepada Bouw Thaisu, atau Hek I Siankouw, karena dia tahu bahwa dua orang itu hanya membantunya karena mereka itu mempunyai tujuan pribadi masing-masing. Tidak seperti Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang sudah menjadi kaki tangan dan orang-orang taklukannya. Orang-orang seperti ini tentu saja lebih tunduk dan taat. Bun Houw siuman lebih dulu dan segera dia bangkit di atas lantai di mana tadi ia menggeletak.

Yang pertama-tama menarik matanya adalah tubuh In Hong yang rebah pula di lantai itu, masih pingsan akan tetapi dalam keadaan sehat. Hal kedua yang lebih menarik perhatiannya adalah bahwa dia dan In Hong sama sekali tidak terbelenggu. Hal-hal ini menenangkan hatinya dan mulailah dia memeriksa keadaan di dalam kamar tahanan itu. Sebuah kamar yang tidak begitu besar, kurang lebih empat meter persegi, dindingnya terbuat dari baja yang amat kuat dan hanya ada sebuah daun pintu yang juga terbuat dari baja tebal. Pergantian udara hanya melalui lubang-lubang di atas pintu, yang cukup banyak sehingga mereka tidak akan mati pengap, akan tetapi terlalu sedikit sehingga mereka tidak dapat merasa enak bernapas. Betapapun juga, mereka tidak akan mati tinggal di kamar ini. Dari lubang-lubang itu, kadang-kadang dia melihat bayangan orang di luar daun pintu.

Bun Houw melihat ada sebuah pembaringan di dalam kamar dan di sudut kamar terdapat sebuah lubang di lantai, agaknya dimaksudkan untuk tempat buang air! Kemudian dia melihat sebuah lubang yang lebarnya kurang lebih tiga puluh sentimeter persegi di bagian bawah pintu, akan tetapi lubang ini ditutup dari luar oleh baja pula dan agaknya lubang itu adalah tempat untuk memasukkan makanan dan lain-lain ke dalam kamar. Paling penting adalah menyadarkan In Hong, pikirnya dan dipondongnya tubuh nona itu, dibaringkannya terlentang di atas pembaringan. Kemudian Bun Houw mengurut tengkuk gadis itu yang tadi kena pukul. Tak lama kemudian gadis itu mengeluh perlahan dan membuka mata. Begitu melihat Bun Houw, dia cepat bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, melihat kaki tangannya dan serunya pertama,

“Kita bebas…!”

Bun Houw mengangguk.

“Ya, akan tetapi kita dikurung di dalam kamar tahanan yang kuat sekali.”

In Hong lalu turun, memeriksa kamar itu, melangkah hilir-mudik dan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Bun Houw dan berkata,

“Kita tidak ditotok, tidak dibius dan tidak dibelenggu. Kita bebas dan kalau kita berdua mengamuk, apa sukarnya kita basmi mereka dan lolos dari sini?”

Bun Houw menggeleng kepala dan duduk di sudut pembaringan yang juga terbuat dari baja!

“Kurasa tidak begitu mudah, Hong-moi. Merekapun bukan orang-orang bodoh. Sudah kuperiksa tadi dan jelas bahwa kita tidak mungkin membobol kamar ini. Pula, kalau kita memberontak dan mengamuk di dalam kamar ini, betapa akan mudahnya bagi mereka untuk membuat kita tidak berdaya dengan asap beracun atau serangan lain.”

In Hong terkejut.

“Aihhh… habis bagaimana?”

“Hong-moi, tadi engkau sudah dapat lolos, kenapa engkau kembali?”

Bun Houw tidak menegur, melainkan menyesal karena melihat dara itu tertawan kembali. In Hong kini berdiri dan memandang wajah pemuda itu dengan angkuh, mengingatkan Bun Houw akan sifat dara ini yang memang keras, akan tetapi keangkuhan itu baginya amat menarik karena dara itu tidak berpura-pura dan di dalam keangkuhan itu terdapat keagungan yang membuat dara itu menjadi makin menarik.

“Kau kira aku ini orang macam apa, Houw-ko? Engkau mengorbankan dirimu untuk kebebasanku. Aku bebas akan tetapi engkau tertawan dan terancam nyawamu. Aturan mana itu? Mana bisa aku diam saja? Tentu selama hidupku aku akan merasa tersiksa oleh penyesalan kalau sampai terjadi sesuatu dengan engkau yang mengorbankan diri untukku. Tidak! Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan kebebasanku dan aku nekat kembali untuk mencoba menolongmu dan membebaskanmu.”

“Dan kau gagal…”

“Lebih baik gagal dan sama-sama menghadapi kematian daripada mati sedikit demi sedikit digerogoti penyesalan kelak.”

Hening sejenak.

“Hong-moi…”

“Hemm…?”

“Agaknya engkau ini…”

“Ya…?”

“Angkuh bukan main!”

“Maksudmu?”

“Sedikitpun engkau tidak sudi menerima budi orang…”

“Tentu tidak! Sejak kecil aku hidup sendiri, bersama subo yang kini sudah tidak ada. Aku tidak mengemis budi, tidak mengharapkan budi, dari siapapun!”

“Hemm, engkau menjadi keras oleh keadaan, Hong-moi. Sungguh kasihan…”

“Aku tidak mengharapkan kasihan orang…!”

“Akan tetapi aku bukan orang biasa. Aku adalah seorang sahabatmu, Hong-moi. Lupakah engkau akan itu? Engkau malah sudah memberi Giok-hong-cu (Burung Hong Kumala) kepadaku dan aku memberikan Hong-cu-kiam padamu. Berarti kita telah terikat oleh persahabatan!”

“Dan pedang itu terampas oleh mereka!”

In Hong berkata kecewa.

“Akan tetapi Giok-hong-cu pemberianmu masih kusimpan!”

Bun Houw berkata dan tangannya merogoh ke saku baju sebelah dalam dan dikeluarkanlah hiasan rambut yang terbuat dari batu kumala indah berbentuk burung hong itu.

“Benda ini selamanya tidak pernah terpisah dari badanku, Hong-moi!”

Melihat pemuda itu memegang burung hong kumala dan menyatakan demikian, tiba-tiba saja jantung In Hong berdebar keras dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah dan dia merasa senang bukan main!

“Kita harus mencari akal untuk dapat lolos dari kurungan ini, Houw-ko, kemudian kita serbu mereka, rampas kembali Siang-bhok-kiam dan…”

“Ssstt, jangan terburu nafsu, Hong-moi. Tidak akan mudah. Kita harus bersabar dulu.”

“Tapi kita akan celaka…”

“Kurasa tidak, Hong-moi. Sebetulnya, yang diinginkan oleh kakek dan nenek itu adalah ayahku dan para panglima bekes pembantu Panglima The Hoo, bukan kita. Kita ini hanya dijadikan umpan belaka. Kalau mereka hendak membunuh kita, tentu agaknya engkau sudah mereka bunuh, dan aku juga.”

“Ssstt…!”

In Hong memberi tanda agar pemuda itu jangan mengeluarkan kata-kata, dan keduanya memandang dengan penuh perhatian kepada lubang kecil yang tiba-tiba terbuka dari luar pintu. Kalau saja ada tangan diulur masuk, tentu In Hong yang sudah siap itu akan menangkapnya. Akan tetapi, terdengar suara ketawa Coa-tok Sian-li di luar pintu itu dan sebuah panci besar dan beberapa mangkok didorong masuk ke dalam satu demi satu tanpa memperlihatkan tangan yang mendorongnya. Kemudian juga sebuah poci minuman. Panci itu berisi masakan sayur mayur dan daging, baunya cukup sedap merangsang selera dan nasi itu putih dan masih mengebulkan uap, masih panas. Poci itu berisi air teh.

“Iblis, aku tidak sudi makan dan minum suguhanmu!”

In Hong hendak menendang hidangan itu, akan tetapi cepat-cepat Bun Houw mencegahnya dan memegang lengannya.

“Hong-moi, apa gunanya itu?”

Ketika gadis itu memandangnya, dia berkedip dan menggelengkan kepalanya. In Hong tidak berkata apa-apa dan keduanya diam.

“Ha-ha-ha!”

Terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi di luar. Kiranya suami isteri itu menjaga di luar. Bun Houw dan In Hong cepat mengintai dari lubang-lubang angin dan benar saja. Di luar terdapat Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li duduk berjaga dan kini Ang-bin Ciu-kwi berkata.

“Memang bocah she Cia itu pintar! Tidak seperti gadis itu yang liar!”

Tiba-tiba terdengar suara Hek I Siankouw.

“Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kalian dan aku adalah sekawan, lupakanlah pertikaian antara kita dan kalian turutilah permintaanku sedikit.”

“Hemm, apakah permintaanmu itu, Siankouw?”

“Biarkah aku memotong tangan kanan gadis bernama Yap In Hong itu untuk membalas kematian sahabatku.”

“Wah, wah, dalam keadaan biasa aku sendiri akan suka menonton kau melakukan penyembelihan terhadap dia, akan tetapi kami berdua bertugas jaga di sini, tidak saja menjaga agar mereka jangan lolos, juga jangan mereka sakit atau mampus. Bagaimana mungkin kami berani membiarkan kau memotong lengannya? Tentu lengan kami akan hilang pula sebagai gantinya!”

Kata Ang-bin Ciu-kwi.

“Siankouw, harap kau jangan cari-cari perkara. Kau tahu bahwa yang menentukan hanyalah dua orang locianpwe yang berkuasa di sini. Kalau engkau hendak minta sesuatu, mintalah kepada beliau berdua. Kalau sudah ada perkenan beliau, biar kaubunuh gadis itupun kami tidak mencampuri,”

Kata Coa-tok Sian-li. Hek I Siankouw menghela napas panjang. Diapun tidak berani melanggar perintah dua orang kakek dan nenek iblis itu, betapapun sakitnya hatinya dan betapa inginnya untuk segera membalas dendam. Tiga orang itu tiba-tiba bicara bisik-bisik dan menjauhi pintu kamar itu sehingga Bun Houw dan In Hong tidak lagi melihat atau mendengar mereka.

“Hong-moi, mari kita makan, mumpung masih panas-panas.”

Bun Houw mengangkati semua hidangan itu ke atas pembaringan besi dan mempersilakan gadis itu makan.

“Uhhh! Aku tidak sudi makan hidangan mereka.”

“Hong-moi, pikirlah dengan tenang. Kita perlu memelihara kesehatan dan mengumpulkan tenaga, bukan? Sekali waktu akan ada gunanya bagi kita. Kalau kau tidak mau makan sampai jatuh sakit dan lemah, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka kalau saatnya tiba?”

Dibujuk demikian, In Hong termenung, lalu dengan cemberut dia duduk pula di atas pembaringan dan menerima semangkok nasi dan sumpitnya. Akan tetapi ketika dia hendak menyendok sayur, dia berkata penuh curiga,

“Siapa tahu masakan ini mengandung racun!”

Bun Houw tersenyum, menyendok sayur dan daging lalu memakannya dengan enak.

“Tidak mungkin,”

Katanya.

“Mereka perlu dengan kita sebagai sandera, mengapa mereka harus meracun kita? Pula banyak jalan untuk membunuh kita yang sudah tidak berdaya, mengapa menggunakan racun dalam makanan seperti perbuatan orang-orang lemah? Aku yakin mereka tidak akan meracun makanan kita.”

In Hong lalu mau makan juga dan karena memang dia amat lapar, maka sebentar saja dia makan sama lahapnya dengan Bun Houw.

Mereka lalu minum teh dan tak lama kemudian In Hong duduk melenggut karena mengantuk. Badannya terasa segar dan sehat, dan Bun Houw lalu turun dari pembaringan setelah menaruh semua perabot makan di depan lubang bagian bawah pintu yang sudah tertutup lagi dari luar itu. Dia mengintai dari lubang-lubang angin yang kecil, akan tetapi karena tidak dapat melihat Hek I Siankouw maupun Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, juga tidak mendengar suara mereka maka diapun lalu membiarkan In Hong istirahat dan mulailah dia memeriksa keadaan kamar tahanan itu lebih teliti. Akan tetapi, tepat seperti telah diduganya, tempat itu amat kuat dan kokoh, tidak mungkin meloloskan diri dari tempat itu dengan menggunakan tenaga saja. Bagian depan yang ada pintunya terbuat dari baja, demikian pula seluruh dindingnya.

Hanya lantainya saja terbuat dari batu. Akan tetapi untuk apa membongkar lantai? Selain tidak mudah, juga tentu nampak dari luar sebelum dia dan In Hong berhasil lolos. Setelah memerika dengan teliti, Bun Houw juga duduk bersila di atas lantai batu untuk menghimpun tenaga. Sementara itu, Hek I Siankouw dan dua orang majikan Padang Bangkai itu berunding tidak jauh dari kamar tahanan sambil berbisik-bisik.

“Jangan khawatir aku akan ikut bortanggung jawab. Bukankah Mo-ko dan Mo-li hanya berpesan agar mereka tidak sakit, mati atau lolos? Nah, ketiganya itu tidak akan terjadi. Aku ingin melihat mereka itu terhina dan rusak nama dan kehormatan mereka sedangkan kalian dapat menikmati tontonan itu!”

Demikian antara Lin Hek I Siankouw berkata dan membujuk mereka.

“Memang menyenangkan sekali!”

Coa-tok Sian-li berkata.

“Asyik sekali kalau menonton itu!”

Kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

“Andaikata Mo-ko dan Mo-li mendengarnya, tentu mereka tidak akan marah. Justeru mereka sendiri yang menyuruh mengurung dua orang itu dalam satu kamar, maka kejadian itu bukankah sudah sewajarnya?”

Kita pula Hek I Siankouw.

“Baikiah, Siankouw. Lihat saja malam nanti, kehendakmu pasti terlaksana dan kami akan menikmati tontonan itu, hik-hik!”

Coa-tok Sian-li tertawa-tawa genit. Sore hari itu, kembali Bun Houw dan In Hong mendapatkan suguhan makanan dan minuman, bahkan ada seguci kecil arak wangi. Lampu penerangan telah dipasang dan karena sinar lampu hanya dapat memasuki kamar tahanan itu melalui lubang-lubang angin kecil, maka kamar tahanan itu biarpun tidak gelap sama sekali, akan tetapi juga tidak terlalu terang, hanya remang-remang saja.

Kini In Hong tidak ragu-ragu lagi untuk makan dan minum, bahkan diapun minum arak wangi yang manis dan lezat itu untuk menghangatkan tubuhnya, ditemani oleh Bun Houw yang sama sekali tidak kelihatan berduka atau khawatir. Dan memang sesungguhnya, secara aneh sekali kedua orang muda itu tidak merasa khawatir atau tidak senang, bahkan baru sekarang mereka merasakan kegembiraan yang aneh! Mereka tidak sadar bahwa itulah tanda-tanda cinta! Cinta tidak mengenal duka dan khawatir, dalam keadaan bagaimanapun juga. Ketika mereka selesai makan minum dan Bun Houw menaruh perabot-perabot makan di dekat lubang, lubang itu terbuka dari luar dan dengan cepatnya mangkok piring itu disambar oleh tangan yang tidak nampak, dibawa keluar dan terdengarlah suara terkekeh genit dari Coa-tok Sian-li yang berkata.

“Hi-hi-hik, selamat menikmati malam pengantin!”

Bun Houw mengerutkan alisnya. Ucapan seorang cabul seperti Coa-tok Sian-li memang tidak perlu diperhatikan, akan tetapi di dalam kata-kata itu terkandung sesuatu yang membuat dia menaruh curiga. Apalagi ketika lampu penerangan di luar dibesarkan sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi lebih terang, dan dia mendengar suara-suara manusia di luar kamar seolah-olah ada beberapa orang yang mengintai dari luar! Dia merasa curiga, maka didekatinya In Hong yang duduk di tepi pembaringan sambil berbisik,

“Hong-moi, hati-hatilah…”

“Ada apakah, Houw-koko?”

“Aku menaruh curiga kepada mereka. Agaknya mereka hendak melakukan sesuatu, entah apa.”

Karena merasa tegang, Bun Houw memegang tangan gadis itu dan tanpa disengaja jari-jari tangan mereka saling genggam. Rasa hangat yang aneh menjalar dari sentuhan tangan itu, getaran yang luar biasa menjalar dari ujung-ujung jari yang bersentuhan terus ke lengan dan ke seluruh tubuh, mengguncangkan jantung.

Otomatis mereka saling pandang dan sinar mata mereka melekat. Di dalam cahaya yang remang-remang namun cukup terang itu, Bun Houw melihat wajah yang luar biasa cantiknya, luar biasa manjanya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Sepasang mata yang bening dan pandang matanya tajam penuh semangat hidup, hangat dan begitu dalam seperti lautan yang sukar dijajagi dalamnya, bibir yang agak terbuka seolah-olah menantangnya, napas yang panjang halus agak tersendat membuat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis, leher yang panjang dan seperti tangkai bunga. Dia terpesona! Dan sebaliknya, In Hong juga memandang wajah Bun Houw seolah-olah baru sekarang dia menemukan ketampanan dan kegagahan wajah pemuda itu.

“Ahhh…!”

In Hong berseru dan cepat menarik tangannya.

“Maaf, Hong-moi…!”

Bun Houw juga cepat melangkah mundur. Napas mereka agak memburu. In Hong menundukkan mukanya. Muka itu tentu merah sekali, pikir Bun Houw, di dalam cuaca yang agak remang-remang kelihatan gelap. Namun mata itu mengerling dari bawah, kerlingan yang seperti menggapai! Seperti didorong oleh tenaga yang tidak kelihatan, Bun Houw melangkah maju lagi, jantungnya berdebar sampai terdengar di dalam kedua telinganya. Benarkah penglihatannya? Dia melihat gadis yang menundukkan muka itu mengerling malu-malu dan tersenyum! Dan dada yang membusung itu kelihatan naik turun, napasnya memburu.
“Hong-moi…”

Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung pundak gadis itu. Pundak itu tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi sungguh aneh. Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh tubuh In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang dahsyat mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan seluruh kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil!

“Ada apa… koko…?”

Dara itu mengangkat mukanya, mukanya benar saja merah sekali setelah kini tertimpa sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada apinya, seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!

“Tidak… eh, aku hanya hendak mengatakan eh, kau… kau cantik sekali, Hong-moi!”

Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah terjadi? Dia menanti kemarahan dara itu andaikata akan menamparnya, dia akan menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya. Akan tetapi aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan senyum yang membayangkan kebesaran hati yang bangga!

“Terima kasih… Houw-ko…”

Suaranya tersendat-sendat. Mereka masih saling pandang dan akhirnya tak kuat lagi menahan gelora hatinya yang membuatnya seperti mabok dan tidak sadar, Bun Houw merangkul leher gadis itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul pinggangnya, kini muka mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka saling merasakan tiupan nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling bersentuhan, akan tetapi naluri kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya dan mengeluh.

“Houw-ko…”

“Hong-moi ah, Hong-moi…”

Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke dadanya, timbul berahinya yang amat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan kepala itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya agar menjadi satu dan takkan terpisah lagi dengan dia!

“Hi-hi-hik!”

Suara ketawa ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan setengah sadar tadi kini buyar dan seperti ada sinar terang memasuki benak mereka, membuat mereka maklum behwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw mclepaskan pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung. In Hong juga memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan pipi sendiri, bingung dan terkejut.

“Hong-moi… celaka… kita keracunan…!”

Bun Houw berseru dan mengepal tinjunya karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati gadis itu.

“Ahhh… pantas aku merasa tidak wajar… panas sekali… tentu dalam makanan tadi…”

“Dalam arak mungkin…”

“Ha-ha-ha!”

Terdengar suata ketawa Ang-bin Ciu-kwi.

“Memang kau pintar, putera Cin-ling-pai. Racun itu berada dalam arak tadi dan kalian sudah meminumnya. Kalian tahu racun apa? Eh, isteriku yang cantik dan cerdik, kau ceritakan agar mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha!”

“Hi-hik, sebetulnya bukan racun berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja. Lebih baik dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam Pengantin! Bersenanglah kalian!”

“Coa-tok Sian-li iblis betina cabul!”

In Hong membentak marah.

“Kalau sekali aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!”

“Jangan harap kau dapat mempermainkan kami!”

Bun Houw juga berteriak, namun jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam hatinya.

“Ha-ha, mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja tidak kuat menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apalagi manusia, dan masih muda seperti kalian! Ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai berjina di dalam kamar tahanan!”

Kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

“Dan aku ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah membunuh sahabatku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah seperti seorang pelacur!”

Terdengar suara Hek I Siankouw. Mendengar ini, terkejutlah Bun Houw. Kiranya itulah rencana mereka! Dia dan In Hong sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu berahi agar mereka berdua dalam keadaan tidak sadar melakukan hubungan kelamin, berjina di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mereka. Maksud mereka tidak lain tentu agar mereka dapat menyebarluaskan peristiwa itu untuk menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh Kaisar!

“Manusia-manusia iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami melakukan perbuatan hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!”

Bun Houw membentak marah.

“Hayo masuklah kalian ke sini kalau berani!”

In Hong juga berteriak.

“Akan kuhancurkan kepala kalian satu demi satu!”

“Hi-hik, malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut? Yang tidak tahu akan menyangka pengantinnya cekcok!”

Coa-tok Sian-li mengejek.

“Sssttt… isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan,”

Terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, setidaknya suami isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar! Mereka berdiri berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga penuh dengan gelora nafsu berahi yang menyesakkan dada.

“Hong-moi… bagaimana rasanya tubuhmu…?”

In Hong yang merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan.

“Kepalaku pening, Houw-ko, dan tubuhku panas sekali… seolah-olah ada api yang membakar di dalam tubuh… hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko…”

“Demikianpun keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun mereka. Kita harus melawannya, Hong-moi. Duduklah dan atur pernapasan, masukkan hawa murni sebanyaknya, pergunakan sin-kang untuk mengusir hawa yang memabokkan.”

Bun Houw sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk bersila di atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan hasrat nafsu berahi yang makin kuat. Akan tetapi dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok Sian-li itu memang amat luar biasa.

Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para raja kuno di Sailan. Seperti raja-raja di negara manapun juga di dunia ini di jaman kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara banyak selir. Tentu saja jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang perawan yang usianya baru belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan pelayanan yang baik dari dara remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang belum tahu apa-apa, kedua kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka melayani seorang pria tua, sungguhpun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk menyenangkan hati raja yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau manusia pilihan, maka para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang mengandung racun atau obat perangsang yang amat kuat.

Obat ini juga sekaligus merupakan racun, kalau pada ukuran tertentu merupakan obat mujarab untuk mendatangkan rangsangan berahi sehingga raja yang tua itu akan memperoleh pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekalipun, juga untuk raja sendiri yang sudah kekurangan gairah itu dapat dirangsang kembali oleh pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu akan dapat mematikan orang yang bagaimana kuatpun. Coa-tok Sian-li adalah seorang ahli racun, maka tentu saja dia dapat membuat obat perangsang ini yang dibuatnya dari sebangsa lalat istimewa yang hanya terdapat di rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan ditumbuk halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, lalu dicampur arak.

Sama sekali tidak merobah rasa arak sehingga mudah saja meracuni orang lain. Bun Houw dan In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sin-kang kuat. Kalau hanya terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram di tubuh, tentu mereka akan dapat menyelamatkan diri dengan pengerahan sin-kang mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah dan otak, langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu berahi sehingga biarpun mereka mengerahkan sin-kang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan berahi itu. Makin malam, makin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang pada dasarnya sebetulnya memiliki gairah yang menggelora dan darah yang panas, hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya.

Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya, akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali! Kini, beberapa kali In Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap lagi. Beberapa kali dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata sayu dan setengah terpejam, seperti mata orang mengantuk, agak basah, hidungnya kembang-kempis, mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak dan napasnya memburu, terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya. Semua ini merupakan tanda-tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan berahi! Bun Houw juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Diapun sudah membuka mata, memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri, menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas.

“Oohhhh… Houw-ko… ahhhh… Houw-ko… tolonglah aku, tolonglah…”

In Hong merintih-rintih memelas sekali.

“Pertahankanlah, Hong-moi. Memang, pengerahan sin-kang tidak menolong, jalan satu-satunya hanya bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu. Kita harus mempertahankan… harus ahhh…”

Dan Bun Houw cepat memejamkan matanya kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In Hong menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan makin hebat.

“Houw-koko… aku tidak tahan lagi… Houw-koko… panas sekali… ah, panas sekali tubuhku…”

Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu saja sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih mulus!

“Hong-moi… jangan, Hong-moi!”

Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia terhuyung dan mendekati pembaringan itu, cepat dia menutupkan kembali baju In Hong yang setengah terbuka.

“Houw-koko, panas sekali… aku tak tahan…”

In Hong mengeluh dan setengah terisak.

“Pertahankan, adikku, pertahankan…”

“Ohhh, Houw-ko…”

In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu. Bun Houw memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya menyentuh muka dara itu. Akhirnya In Hong terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw.

“Houw-koko…”

Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak.

“Bagaimana, Hong-moi…”

“Houw-koko… selama hidupku… belum pernah aku mengalami seperti ini… aku tidak kuat, koko… ah, aku tidak perduli… kaulakukanlah sekehendak hatimu…”

Kedua lengan In Hong yang merangkul itu makin menguat dan mukanya dibenamkan di dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya terpejam dan ada beberapa titik air mata di atas kedua pipinya. Bun Houw merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan diapun merangkul akan tetapi dia menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan hal yang lebih jauh daripada berpelukan itu.

“Tidak, Hong-moi, tidak…! Kita harus kuat…! Hong-moi, betapa aku cinta padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu…!”

“Houw-ko…”

In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar pengakuan ini. Dia masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia dalam keadaan hampir tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi berada di mana dan berada dalam keadaan bagaimana “Kalau kau cinta padaku… apa salahnya lagi… ah, aku… aku rela… menyerahkan jiwa ragaku…”

“Hong-moi, tidak…!”

Bun Houw yang hampir tidak kuat lagi itu melepaskan pelukannya dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan dia roboh terguling. Dia lalu duduk bersila dan memejamkan mata, berusaha sekuatnya untuk melawan dorongan hasrat yang bernyala-nyala itu. In Hong terisak di atas pembaringan. Selama hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru sekarang ini dara perkasa yang biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-rintih.

“Kau benar… Houw-ko, kau benar…”

Hening kini di kamar itu, yang terdengar hanya isak tertahan dari In Hong yang masih rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, di sana-sini terbuka karena dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju terbuka didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan,

Namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tak dapat dikatakan bahkan menambah keaslian wajah yang amat jelita itu. Bun Houw sendiri masih berjuang dengan diri sendiri, karena setelah dia berdiam diri duduk di lantai, dia merasa tubuhnya seperti dibakar dan keadaannva malah makin menderita lagi. Mendengar suara rintihan dan isak tangis tertahan dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang. Dia melihat betapa In Hong rebah terlentang, dadanya agak diangkat dan terengah-engah, kedua tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia tidak tahan untuk mengawasi saja dan Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung menghampiri pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang gadis itu dengan perasaan kasihan sekali.

“Hong-moi, ah, Hong-moi…”

Perasaan kasihan mempunyai daya yang kuat sekali mendorong berahi. Kini Bun Houw yang sudah tidak kuat lagi dan dia lalu memeluk In Hong. Gadis itupun otomatis menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw mendekatkan muka, seperti orang mabok dia berada di antara sadar dan tidak dan akhirnya dorongan nafsu membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara itu. Begitu bibir mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan untuk sekilat cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun Houw, lalu bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang.

“Tidak…! Jangan, Houw-ko…! Tidak boleh…!”

Teriaknya.

“Hong-moi… aku tidak tahan lagi… Hong-moi…”

Bun Houw kembali hendak merangkul, akan tetapi untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga Bun Houw terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga.

“Houw-ko…!”

Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat turun dan berlutut.

“Kau… kau tidak apa-apa…?”

Dengan mulut mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya. Sejenak In Hong membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi ketika Bun Houw hendak menciumnya, dara ini sekuat tenaga menekan gairahnya sendiri dan dia memalingkan muka,

“Houw-koko… kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik menjadi lemah? Koko, kita tidak boleh… kita harus mempertahankan sekuat tenaga…”

“Ah, Hong-moi…”

“Maafkan, aku, koko…”

In Hong meronta dan melepaskan pelukan pemuda itu, kemudian dia menjauhkan diri. Bun Houw menjambak rambutnya sendiri.

“Ah, apa yang kulakukan tadi? Kau benar, Hong-moi… lebih baik mati daripada tunduk kepada mereka…”

Untung bagi Bun Houw bahwa In Hong pada saat terakhir itu disadarkan oleh naluri kewanitaannya yang sejak kecil memang jauh daripada penghambaan nafsu berahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang menyadarkannya. Dengan demikian, tidak sampai terjadi perjinaan atau hubungan kelamin seperti yang diharapkan oleh dua orang suami isteri di luar tempat tahanan itu dan oleh Hek I Siankouw yang tidak ikut mengintai karena tokouw ini sama sekali tidak cabul seperti mereka,

Sungguhpun di waktu mudanya Hek I Siankouw juga tidak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia melakukan perjinaan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami isteri tidak sah saja dengan pendeta itu. Waktu itu hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang ttu sudah mencapai puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-gellat di tempat masing-masing! In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai. In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan, tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw, tangannya meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri karena mendengar suara rintihan Bun Houw saja.

“Koko…”

“Hong-moi…”

Mereka otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang mendahului, mencium atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw karena dorongan hati hendak membelai pemuda itu dan merapatkan tubuhnya sedekat mungkin. Bun Houw tidak tahan, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali saja mereka berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat merenggut dirinya lepas.

“Hong-moi, hanya ini satu-satunya jalan, maafkan aku…”

Tangannya bergerak dan menotok tengkuk In Hong. Karena dia sudah hampir pingsan, maka tentu saja totokannya tidak tepat dan In Hong mengeluh, terkulai. Begitu melihat dari itu terkulai, Bun Houw bangkit, terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah pingsan pula.

“Terkutuk!”

“Keparat!”

Suami isteri di luar tempat tahanan itu menyumpah-nyumpah karena kecewa. Mereka telah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya karena mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan kini, setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka gagal! Hampir pada umumnya manusia memiliki kesukaan yang sama atau mirip dengan kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada yang kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan, baik itu berupa tontonan atau mendengar penuturan orang maupun membaca.

Kalau toh ada yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan kemauan yang didasari oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik, maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada! Dicobanya dilenyapkan dengan keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum padam! Hanya ditutup saja. Bersembunyi di balik pelejaran-pelajaran tentang kesusilaan dan sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya. Yang penting adalah menghadapinya sebagai suatu kenyataan! Menghadapinya, mendekatinya dan memandangnya penuh kewaspadaan.

Pandangan penuh kewaspadaan tanpa mencelanya, tanpa menerima atau menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan segala hal-ihwal mengenai kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka melihat kecabulan? Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan dalam hubungan kelamin (sex). Cabulkah kalau kita melihat binatang, terutama yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi mengapa kalau melihat binatang yang besar, teruhama manusia, metakukan hubungan sex, lalu timbul istilah cabul? Barangkali karena melihat binatang besar terutama manusia melakukan hubungen sex mempunyai daya rangsang yang merangsang gairah dan nafsu berahi kita! Inilah sebabnya mengapa timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu berahi dianggap cabul! Padahal, tidak ada peristiwa apapun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu berahi.

Hubungan sex adalah sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak merangsang gairah nafsu berahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA SENDIRI! Pikiran kitalah yang menambah penglihatan itu dengan bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali semua pengalaman sex kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya, dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan pikiran kita sendiri itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah berahi kita sendiri. Dan bagi orang-orang seperti Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, perbuatan menonton kecabulan itu yang menimbulkan semacam kerikmatan tertentu, menjadi suatu kebiasaan yang telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah menjadi sesuatu yang dicari-cari.

Kenyataan itu hanya dapat terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala hal yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan, kemaksiatan, kepalsuan, kemunafikan, kemarahan, kebencian, iri hati dan segalanya itu tidak terletak di tempat jauh di luar kita, melainkan terletak di dalam diri kita sendiri! Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar kesenangan dalam bentuk apapun juga, kesenangan lahir maupun kesenangan batin. Pengejaran kesenangan menjadi sumber daripada semua kesengsaraan hidup yang timbul karena pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan!

In Hong rebah pingsan di atas lantai, sedangkan Bun Houw juga sudah setengah pingsan. Karena inilah maka mereka berdua tidak mendengar suara apa-apa, bahkan tidak melihat ketika lantai di sudut belakang kamar itu dibobol dari bawah dan tak lama kemudian muncullah sebuah kepala orang. Kepala seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Liong Si Kwi! Seperti kita ketahui, gadis murid Hek I Siankouw ini telah diselamatkan oleh Bun Houw ketika dia hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi dan gadis ini selain merasa utang budi, juga gadis itu sekaligus jatuh cinta kepada pemuda itu. Apalagi ketika pemuda itu, yang telah dikurung dan diancam keselamatannya, namun masih juga membelanya di depan subonya, benar-benar membuat hati gadis ini jatuh!

Diam-diam dia mengambil keputusan nekat untuk menolong pemuda itu. Kini terbuka matanya betapa demi untuk memuaskan nafsu dendam dan sakit hatinya, subonya tidak segan-segan untuk bersekutu dengan manusia-manusia iblis! Dia harus menyelamatkan Bun Houw, dia harus membebaskan putera ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa itu, kalau perlu dengan taruhan nyawanya. Hatinya makin kagum, akan tetapi juga iri sekali melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu telah mengorbankan dirinya, menyerah untuk menebus Yap In Hong yang dibebaskan. Kemudian, diapun iri kepada In Hong yang ternyata juga merupakan seorang gadis yang amat gagah, yang datang kembali dengan nekat untuk membebaskan pemuda itu.

Dia merasa iri karena dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan cinta kasih antara pemuda dan dara itu. Namun, rasa cemburu dan iri hati ini tidak menghentikan tekadnya untuk menolong Bun Houw dengan cara apapun juga. Ketika dia melihat bahwa yang menjaga kamar tahanan adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, dan betapa Cia Bun Houw serta Yap In Hong dimasukkan dalam kamar tahanan tanpa dibelenggu dan bebas, timbullah harapannya. Asal saja dia dapat mengeluarkan mereka itu dari dalam kurungan, tentu dua orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu akan mampu membebaskan diri, atau lebih penting baginya, asal Bun Houw dapat keluar dari kurungan, tentu pemuda itu akan dapat melarikan diri! Demikianlah, karena kebetulan sekali kamar yang ia dapat sebagai tamu Lembah Naga itu berdekatan dengan kamar tahanan,

Sore-sore dia telah menutup diri di dalam kamarnya, memberi alasan bahwa dia merasa tidak sehat, dan diam-diam dia telah menyelundupkan sebuah cangkul ke dalam kamarnya. Mulailah dia menggali lantai kamarnya, membuat terowongan di dalam tanah menuju ke kamar tahanan. Dia bekerja keras sampai kedua tangannya lecet-lecet berdarah, namun tidak pernah dia berhenti sebentarpun. Dengan penuh semangat dia terus menggali dan akhirnya, lewat tengah malam, dia dapat menembus kamar tahanan dan muncul di dalam kamar itu di waktu In Hong masih pingsan dan Bun Houw dalam keadaan setengah sadar karena saat itu pengaruh racaun perangsang sudah mencapai puncak kekuatannya yang hampir tak tertahan olehnya. Baiknya In Hong telah menggeletak pingsang, kalau tidak entah apa yang akan terjadi antara dia dan gadis itu!

Liong Si Kwi yang sudah berhasil masuk ke kamar itu, ketika melihat Bun Houw menggeletak seperti orang yang bernyawa lagi, segera meloncat mendekati dan berlutut di dekat pemuda itu, memeriksa dan legalah hatinya ketika melihat Bun Houw ternyata masih bernapas, bahkan bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lemah yang tak dimengertinya karena pada saat itu hati Si Kwi tegang bukan main, khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui penjaga sebelum dia berhasil membebaskan Bun Houw dihalangi oleh orang-orang berkepandaian tinggi di tempat itu. Dia tidak tahu akan apa yang dilakukan oleh suami isteri majikan Padang Bangkai itu, maka dia bingung melihat Bun Houw yang siang tadi masih sehat kini menggeletak di lantai dalam keadaan seperti orang yang tidak sadar. Juga dia melihat In Hong pingsan.

Tadinya memang dia berniat untuk membebaskan mereka berdua, karena dengan adanya mereka berdua yang berilmu tinggi, kesempatan atau harapan untuk lolos lebih banyak lagi. Kini, melihat keadaan Bun Houw setengah pingsan dan gadis perkasa itu malah pingsan sama sekali, Si Kwi menjadi bingung, akan tetapi akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw saja. Cepat dia mendukung tubuh Bun Houw dan membawanya masuk ke dalam lubang terowongan yang dibuatnya. Biarpun tidak mudah membawa Bun Houw yang merangkulnya, dan yang mengelus rambutnya, mendekapnya dan kadang-kadang mencium pipi dan lehernya sepertu orang mabok itu, namun akhirnya berhasil jugalah Si Kwi membawa pemuda itu keluar dari lubang terowongan dan tiba di dalam kamarnya.

“Eh… eh, Taihiap…!”

Si Kwi terkejut sekali karena kini Bun Houw membuka matanya yang merah dan pemuda itu langsung merangkul dan menciumi bibirnya dengan penuh nafsu. Si Kwi telah lama merindukan seorang pria yang akan memeluk dan menciumi seperti itu, maka kekagetan dan perlawanannya hanya sebentar saja, dan tak lama kemudian dia balas memeluk dan balas menciumi, tidak kalah hebatnya dengan orang yang terpengaruh obat perangsang.

Keduanya lalu terguling di atas pembaringan Si Kwi dan mereka melupakan segala-galanya. Kalau tadi Bun Houw masih tidak melanggar keyakinannya dan dapat bertahan sehingga dia tidak melakukan hubungan dengan In Hong seperti yang dikehendaki oleh mereka yang sengaja meracuninya, adalah karena di fihak In Hong masih ada penolakan dan memang di lubuk hati Bun Houw, dia sama sekali tidak melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap dara yang dicintainya itu. Akan tetapi sekali ini, selagi pengaruh obat perangsang itu memuncak dan sepenuhnya menguasainya, dia mendapat pelayanan dari Si Kwi, bahkan gadis itu lebih hebat merayunya seperti orang mabok pula, maka tentu tidak ada lagi yang menahan Bun Houw dan Si Kwi! Berlangsunglah hubungan kelamin seperti yang dikehendaki oleh Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li,

Hanya bedanya, putera ketua Cin-ling-pai itu tidak melakukannya dengan In Hong, melainkan dengan murid He I Siankow! Pada saat itu, Bun Houw sudah lupa segala-galanya, hampir tidak sadar sama sekali dan yang ada hanyalah keinginan untuk memenuhi desakan nafsu berahinya yang bernyala-nyala itu. Andaikata Si Kwi menolaknya seperti yang dilakukan oleh In Hong tadi, tentu sedikit sisa kesadaran yang masih membekas itu cukup untuk membuat pemuda ini sadar dan menghentikan perbuatannya. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Si Kwi yang sudah jatuh hati benar-benar itu dan yang maklum bahwa perbuatannya menolong pemuda itu merupakan permainan yang mempertaruhkan nyawa, ingin dalam saat terakhir dan kesempatan selagi dia masih hidup itu untuk menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemuda yang dikagumi dan dicinta ini.

Terjadilah hubungan dan bagaikan sebuah gunung berapi yang penuh dengan api dan uap, meledaklah Bun Houw. Menjelang pagi, barulah dia sadar karena pangaruh racun perangsang itu menipis. Begitu dia sadar dan melihat bahwa dia memeluk tubuh Si Kwi yang memandangnya dengan penuh kemesraan, pemuda ini terkejut bukan main, terkejut karena dia tahu apa yang telah terjadi. Sambil berteriak nyaring pemuda ini yang tadi bangkit duduk, terguling dan roboh pingsan! Penyesalan yang amat hebat, ditembah rasa kaget yang luar biasa besarnya, dan pemborosan tenaga yang didorong oleh racun, ketegangan-ketegangan yang dideritanya sejak dia menghadapi In Hong dalam keadaan keracunan, penggerahan tenaga kemauan yong amat hebat ketika dia menekan dorongan nafau bersama In Hong, semua itu menghantamnya di sebelah dalam sehingga dia roboh pingsan.

“Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat… sungguh hebat bukan main!”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela kamar itu. Si Kwi yang tadinya terlena oleh kepuasan hasrat yang terpenuhi, yang makin menebal rasa kasih sayangnya kepada pemuda itu yang kini dianggapnya sebagai miliknya dan yang memilikinya, sebagai suaminya walaupun tidak secara sah, kini seperti disiram air dingin. Dia sadar akan semua yang telah terjadi. Dia tidak menyesal, hanya khawatir karena dia telah ketahuan dan akan celakalah Bun Houw! Dengan cepat dia melompat dan kembali terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela.

“Liong Si Kwi, engkau sungguh hebat! Akan tetapi sayang, dia keburu pingsan! Biarlah aku yang akan memuaskan dirimu, manis. Bukalah jendela ini, biarkan aku masuk.”

Si Kwi menyambar pakaiannya, memakai pakaian itu secepatnya dan segera disambamya siang-kiam di atas mejanya dan dicabutnya sepasang pedang itu lalu menghadapi jendela dengan beringas, siap untuk mengadu nyawa dengan Ang-bin Ciu-kwi.

“Ha-ha-ha, tenanglah, manis. Aku datang untuk menonton pertunjukan menarik yang berlangsung di dalam kamar ini tadi, sungguh asyik sekali… hemm, dan kau membangkitkan gairahku. Bukalah jendela ini, manis dan mari kita bermain-main sebentar. Atau kau lebih suka kalau aku pergi kepada Hek I Siankouw dan melaporkon apa yang telah terjadi di sini?”

Si Kwi yang sudah siap menerjang ke luar jendela itu menjadi terkejut. Maklumlah dia bahwa kalau sampai Setan Arak ini yang melapor kepada gurunya, nyawanya tidak tertolong lagi, demikian pula nyawa Bun Houw. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mandahului laporan orang lain, apalagi laporan Ang-bin Ciu-kwi yang tentu akan memberi bumbu-bumbu lain yang lebih memanaskan hati subonya lagi. Memang, kalau dia menuruti kehendak Ang-bin Ciu-kwi, boleh jadi peristiwa antara dia dan Bun Houw tadi akan tertutup, akan tetapi, lebih baik dia mati saja daripada harus menuruti permintaan Ang-bin Ciu-kwi! Pula, setelah kini keadaannya sama sekali berubah daripada keadaan asyik-masuk seperti tadi, dara ini sadar pula bahwa adanya Bun Houw tadi melakukan perbuatan seperti itu adalah karena pemuda itu berada dalam keadaan tidak sadar, seperti orang mabok.

Kini mengertilah dia halawa pemuda itu tentu terkena bius, terkena racun yang menyebabkan pemuda itu mudah saja melakukan perbuatan tadi bersama dia. Dia dapat menduga kini mengapa dia mendapatkan diri Bun Houw menggeletak hampir tidak sadar dengan tubuh panas dan sikap begitu hangat, merangkul dan hendak menciuminya, dan mengerti pula dia mengapa In Hong juga pingsan. Kiranya mereka berdua itu telah diberi racun, dan siapa lagi yang memberi racun kalau tidak suami isteri Padang Bangkai yang terkenal sebagai ahli-ahli tentang racun itu? Dia teringat akan pengalamannya sendiri ketika hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi. Diapun diberi minum arak dan segera dia diserang oleh racun perangasang yang amat hebat sehingga hampir-hampir saja dia menyerahkan diri secara suka rela kepada setan itu!

“Aku harus cepat melapor kepada subo!”

Pikirnya dan dara itu cepat meloncat, bukan ke jendela melainkan ke pintu yang didorongnya terbuka dan cepat dia melarikan diri ke kamar subonya. Dia terpaksa meninggalkan Bun Houw, karena dia maklum bahwa melarikan diri sendiri saja belum tentu dia selamat, apalagi kalau harus membawa tubuh Bun Houw. Lebih baik dia cepat pergi ke subonya dan minta tolong subonya. Siapa tahu kalau dia sudah memberi tahu subonyo akan semua hal dengan terus terang, subonya suka menolong Bun Houw dan suka mengakuinya sebagai mantu!

“Subo…! Subo… tolonglah teecu, subo…!”

Katanya sambil mengetuk pintu itu dengan kuat. Daun pintu terpentang lebar dan Hek I Siankouw telah berdiri di ambang pintu sambil memegang pedang hitamnya. Alisnya berkerut ketika dia melihat muridnya berdiri di situ dengan muka pucat sekali dan dengan siang-kiam di kedua tangan.

“Si Kwi, apakah yang terjadi?”

Tanyanya dan dia membiarkan muridnya memasuki kamamya. Dia menjenguk keluar dan karena tidak melihat siapapun juga di luar, tokouw itu lalu menutupkan kembali pintu kamarnya. Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menangis! Gurunya adalah satu-satunya orang yang selama ini dianggap sahabat, guru, juga orang tua! Sekarang, dalam keadaan seperti ini, terancam bahaya hebat, bukan hanya untuk dia, terutama untuk Bun Houw, tidak ada orang lain kecuali gurunya ini yang dapat diharapkan untuk menolongnya dan menolong Bun Houw.

“Subo… sebelumnya harap subo mengampunkan dosa teecu…”

“Si Kwi, jangan seperti anak kecil. Katakan apa yang telah terjadi!”

Gurunya membentak.

“Subo, teecu telah jatuh cinta… semenjak teecu diselamatkan oleh Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai… ketika teecu akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi, teecu telah jatuh cinta kepada putera ketua Cin-ling-pai itu…”

Gurunya mengerutkan alisnya.

“Memang kalau begitu mengapa engkau menangis?”

Gadis itu mengangkat muka, memandang wajah subonya dengan penuh harapan.

“Jadi… subo… setuju…?”

“Dia seorang pemuda yang tinggi ilmunya, putera ketua Cin-ling-pai, kalau memang dia cinta padamu, kenapa aku tidak setuju? Sayangnya, dia berada di fihak lawan.”

“Ah, terima kasih, subo…!”

Si Kwi berseru girang dan memberi hormat.

“Sesungguhnya… teecu… teecu telah menjadi isterinya…”

Tiba-tiba saja wajah tokouw itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar marah.

“Apa? Jadi kalau begitu benar laporan Ang-bin Ciu-kwi?”

Bentak gurunya.

“Ah, tidak…! Tidak, subo…! Bukankah subo sendiri sudah tahu, juga Hek-hiat Mo-li locianpwe, bahwa teecu… teecu masih perawan? Akan tetapi malam tadi…”

“Malam tadi mengapa? Hayo katakan!”

“Malam tadi, lewat tengah malam… teecu… teecu telah menjadi isterinya.”

“Eh, Apa maksudmu? Pemuda itu berada di dalam kamar tahanan bersama In Hong, dan mereka…”

Dia teringat akan minuman yang diberi racun perangsang oleh Coa-tok Sian-li, maka timbul kecurigaannya.

“Si Kwi!”

Dia membentak.

“Ceritakan, apa yang terjadi!”

Dengan suara terputus-putus Si Kwi lalu menceritakan betapa dia telah membuat jalan terowongan dari kamarnya ke dalam kamar tahanan, dan berhasil menolong Bun Houw keluar dari kamar tahanan memasuki kamarnya sendiri.

“Akan tetapi, subo… ketika tiba di kamar teecu… dia… dia seperti mabok atau terbius… dan dia… dia merayu… ah, teecu cinta padanya, subo, teecu tidak mampu menolongnya dan… dan teecu menyerahkan diri kepada Cia Bun Houw… kemudian pagi tadi, muncul di luar jendela kamar teecu, si keparat Ang-bin Ciu-kwi, dia ternyata telah melihat peristiwa itu dan dia… dia menuntut agar teecu suka menyerahkan diri kepadanya. Teecu tidak sudi dan teecu lari ke sini… teecu menyerahkan nyawa teecu ke tangan subo…”

“Desss…!”

Tubuh Si Kwi terlempar oleh tendangen gurunya. Muka gurunya sebentar pucat sebentar merah dan hati tokouw ini terasa panas dingin karena terjadi perang di dalam perasaan hatinya. Ada perasaan marah yang amat hebat mendengar penuturan muridnya itu yang telah menyerahkan diri begitu saja dengan amat mudahnya kepada seorang pria, dan biarpun pria itu adalah seorang pemuda yang harus dia akui pilihan, akan tetapi pemuda itu betapapun adalah seorang lawan, atau yang berada di fihak lawan. Akan tetapi di lain fihak, hatinya juga terharu karena dia telah menganggap Si Kwi sebagai puterinya sendiri dan sesungguhnya ada pertalian batin yang kuat antara dia dan gadis itu. Sekarang dia tahu bahwa kalau tidak dia lindungi, nyawa dara itu berada dalam ancaman bahaya hebat!

“Murid murtad, engkau hanya akan mencelakakan gurumu saja!”

“Harap subo sudi mengampuni teecu!”

Kata pula Si Kwi.

“Teecu bersedia untuk mati di tangan subo, untuk menebus kesalahan dan dosa besar teecu, akan tetapi, teecu mohon dengan sangat, mengingat akan hubungan antara kita sebagai guru dan murid, dan sebagai orang tua dan anak, teecu mohon sukalah subo menolong dan menyelamatkan Cia Bun Houw. Teecu sungguh cinta kepadanya, subo, teecu mencintanya, melebihi nyawa teecu sendiri!”

Dan murid ini menangis lagi, menangis dengan penuh kesedihan.

Sepasang mata Hek I Siankouw menjadi basah ketika dia mendengar dan melihat keadaan muridnya itu. Teringatlah dia ketika dia dahulu bermain cinta dengan Hwa Hwa Cinjin dan diapun amat mencinta Hwa Hwa Cinjin. Adanya dia tidak menjadi isteri yang sah dari Hwa Hwa Cinjin adalah karena sebagai pendeta-pendeta, tentu saja mereka tidak dapat menikah. Namun rasa cinta di hatinya terhadap Hwa Hwa Cinjin amat mendalam sehingga mereka berdua itu seperti suami isteri saja! Mereka saling setia dan tidak pernah mencinta orang lain sampai keduanya menjadi kakek dan nenek.

“Akupun mencinta Hwa Hwa Cinjin melebihi nyawaku sendiri…”

“Ahhh, subo, ampunkan teecu… teecu telah mengecewakan hati subo…”

Kembali Si Kwi meratap dengan suara pilu.

“Teecu rela mati di depan kaki subo, akan tetapi kalau subo sudi menyelamatkan Cia Bun Houw, biarlah roh teecu akan selalu membantu subo…”

“Bocah yang bodoh! Mana mungkin menyelamatkan nyawa pemuda itu? Apa kau kira kita dapat menghadapi Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko? Tentang pemuda itu, tak perlu kita ributkan, yang penting, lekaslah kau pergi dari sini. Sekarang juga!”

“Akan tetapi… subo…”

“Tutup mulut! Tidak ada tapi lagi. Pergilah kau dari sini dan selamanya jangan kau memperlihatkan muka kepadaku!”

“Subo…!”

“Aku tidak mempunyai murid macammu! Pergiiiii…!”

Hek I Siankouw membentak dan mengusir. Si Kwi terisak, akan tetapi terpaksa dia bangkit dan pergi dari kamar itu, diikuti oleh Hek I Siankouw yang kini basah kedua matanya. Tokouw ini sengaja mengusir muridnya karena dia tidak ingin muridnya terlibat dalam kesukaran. Dan dia sengaja membayangi muridnya itu agar dapat keluar dari Lembah Naga dengan selamat. Di tengah jalan, murid dan guru yang membayanginya itu bertemu dengan Hek-hiat Mo-li, Pek-hiat Mo-ko, Ang-bin Ciu-kwi, dan Coa-tok Sian-li. Dari wajah kedua orang kakek dan nenek Lembah Naga itu mengertilah Hek I Siankouw bahwa keduanya tentu telah tahu akan perbuatan Si Kwi. Akan tetapi Si Kwi sendiri berdiri dengan tenang dan air mata masih membanjiri pipinya.

“Mo-ko dan Mo-li, karena perbuatan muridku yang mencemarkan namaku, terpaksa aku mengusirnya pergi dari sini!”

Hek I Siankouw memecahkan kesunyian yang mencekam hatinya itu.

“Hemm… agaknya banyak terjadi hal-hal hebat di sini semalam.”

Kata Hek-hiat Mo-li.

“Dan kejadian-kejadian itu adalah gara-gara muridmu yang baik ini!”

Ucapan lanjutan itu bernada keras.

“Kalau aku boleh berterus terang, Mo-li, bukan hanya gara-gara muridku, melainkan gara-gara aku juga, dan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!”

“Eh-eh, Hek I Siankouw, kenapa kau begitu pengecut membawa-bawa nama kami dalam persoalan ini? Sudah jelas bahwa muridmu hendak meloloskan dua orang tawanan itu, untung masih terlihat oleh kami, karena muridmu tidak dapat menahan nafsunya! Kalau tidak, bukankah tawanan-tawanan itu sudah lolos semua oleh muridmu ini?”

Kata Coa-tok Sian-li.

“Coa-tok Sian-li, aku hanya bicara apa adanya dan sama sekali bukan hendak membela muridku secara membuta. Memang muridku bersalah, akan tetapi kita bertigapun bersalah, bukan? Setelah akibat dari perbuatan kita seperti ini, mengapa kita tidak berani berterus terang saja kepada Mo-ko dan Mo-li?”

“Hemm… apakah sebetulnya yang telah terjadi dan apa yang kalian bicarakan ini, Siankouw?”

Pek-hiat Mo-ko membentak marah.

“Terus terang saja, Mo-ko. Kami bertiga, yaitu aku, Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah main-main dengan dua orang tawanan itu. Karena aku ingin melihat gadis keparat itu tercemar, dan karena Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya ingin pula menonton hal-hal yang mereka berdua sukai, maka kami bertiga telah bersepakat untuk mencampuri racun perangsang, yaitu Arak Malam Pengantin buatan Coa-tok Sian-li ke dalam hidangan yang disuguhkan kepada dua orang tawanan itu.”

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengerutkan alis mereka, akan tetapi tidak kelihatan marah.

“Hemm, lalu?”

Tanya Hek-hiat Mo-li.

“Sementara itu, muridku yang murtad ini jatuh cinta kepada Bun Houw. Sama sekali dia tidak berniat untuk membebaskan tawanan, melainkan dia membuat terowongan dari kamarnya ke tempat tahanan, mengajak Cia Bun Houw yang sedang mabok oleh racun Arak Malam Pengantin itu ke kamarnya dan menyerahkan dirinya kepada pemuda itu. Hal ini diketahui oleh Ang-bin Ciu-kwi yang menyangka muridku hendak melarikan tawanan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Buktinya tawanan itu ditinggalkan pingsan di kamarnya dan muridku lalu melapor kepadaku. Dia sama sekali tidak hendak melarikan tawanan, karena kalau benar demikian, tentu dia telah mengajaknya pergi dari sini.”

Hek I Siankouw berhenti sebentar untuk melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi.

Dia sengaja tidak menceritakan tentang ancaman Ang-bin Ciu-kwi yang hendak menuntut agar Si Kwi menyerahkan dirinya kepada Setan Arak itu dan hal ini dilakukan sebagai “pukulan simpanan”

Kalau-kalau Ang-bin Ciu-kwi tidak mau bekerja sama melindungi muridnya!