Pendekar Hina Kelana / Siau Go Kangouw: 106-110



BAB 106. LENGHOU TIONG IKUT MENYERANG KE MARKAS MO-KAU

Ing-ing menjadi geli sendiri dan menutup mulutnya supaya tidak mengeluarkan suara tertawa.

“Bagaimana pendapatmu agar kita dapat naik ke Hek-bok-keh dengan lancar?” tanya Yim Ngo-heng.

“Tentu Kaucu sudah punya rencana dan perhitungan yang bagus, di hadapan Kaucu mana hamba berani ikut bicara?” jawab Siangkoan In.

“Apakah di waktu Tonghong Put-pay mengadakan perundingan urusan penting juga tiada seorang pun yang berani angkat bicara?” tanya Yim Ngo-heng.

“Ayah,” Ing-ing menyela pula, “Tonghong Put-pay memang seorang mahacerdik, orang lain sukar menandingi kepandaiannya. Maka biasanya memang tiada seorang pun yang berani sembarangan mengemukakan pendapat untuk menghindari bencana yang tak terduga.”

“O, kiranya demikian,” kata Yim Ngo-heng. “Siangkoan-hengte, ketika Tonghong Put-pay menyuruh kau pergi menangkap Lenghou Tiong, petunjuk apa yang dia berikan padamu.”

“Dia mengatakan disediakan hadiah besar bila Lenghou-tayhiap dapat ditangkap, bila tidak dapat menangkapnya hidup-hidup, bawa kembali kepalanya juga boleh,” tutur Siangkoan In.

“Baik, sekarang juga boleh kau ringkus Lenghou Tiong untuk menerima hadiahnya nanti,” kata Yim Ngo-heng dengan tertawa.

Siangkoan In tergetar mundur, katanya, “Lenghou-tayhiap adalah menantu kesayangan Kaucu, beliau berjasa besar pula bagi agama kita, mana hamba berani sembrono kepada beliau.”

“Bukankah tempat kediaman Tonghong Put-pay sangat sukar didatangi, dengan meringkus Lenghou Tiong, tentunya dia akan menerima kedatanganmu,” ujar Yim Ngo-heng.

“Akal ini sangat bagus,” seru Ing-ing tertawa girang. “Nanti kita menyamar sebagai anak buah Siangkoan-sioksiok untuk menemui Tonghong Put-pay. Asalkan berhadapan dengan dia serentak kita mengerubutnya, peduli apakah dia sudah berhasil meyakinkan Kui-hoa-po-tian atau belum, yang pasti dia tentu sulit menandingi keroyokan empat orang.”

“Paling baik kalau Lenghou-hiante pura-pura terluka parah dengan tangan kaki dibalut, dinodai pula dengan darah, lalu kita menggotongnya dengan usungan, dengan demikian Tonghong Put-pay pasti tidak berjaga-jaga, di dalam usungan dapat pula kita sembunyikan senjata,” kata Hiang Bun-thian.

“Bagus, bagus!” seru Yim Ngo-heng setuju.

Dalam pada itu dari ujung jalan raya sana terdengar suara ramai orang berseru, “Hong-lui-tongcu sudah tertangkap! Hong-lui-tongcu sudah tertangkap!”

Ing-ing mengajak Lenghou Tiong keluar hotel, terlihatlah beberapa puluh penunggang kuda dengan obor menggiring seorang tua sedang lewat dengan cepat. Orang tua itu sudah ubanan seluruhnya rambut dan jenggotnya, mukanya berlepotan darah, agaknya sebelum tertangkap telah terjadi pertarungan sengit lebih dulu.

Kedua tangan si kakek tampak terikat di belakang badan tapi sorot matanya berapi, agaknya tidak kepalang rasa murkanya.

Dengan suara perlahan Ing-ing membisiki Lenghou Tiong, “Beberapa tahun yang lalu bila ketemu si kakek, biasanya Tonghong Put-pay suka memanggilnya dengan sangat mesra, siapa duga sekarang dia sudah melupakan hubungan baik di masa lalu.”

Tidak lama Siangkoan In telah menyediakan kerangka usungan dan sebagainya. Ing-ing membalut lengan Lenghou Tiong dengan kain putih dan digantungkan di depan dadanya, disembelihkan pula seekor kambing, darah kambing dipakai melumuri badan Lenghou Tiong.

Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian lantas ganti pakaian sebagai anggota biasa, Ing-ing juga menyamar sebagai lelaki, mukanya dicoreng hitam-hitam, setelah makan kenyang, lalu bersama anak buah Siangkoan In berangkat ke Hek-bok-keh.

Kira-kira 40 li di barat laut Kota Pengting terdapat sebuah teluk yang panjang dan dangkal, batu tebing kedua tepi teluk berwarna merah darah, air mengalir sangat deras, itulah teluk yang terkenal dengan nama Sing-sing-tan. Lebih ke utara lagi dari teluk panjang itu hampir kedua tepinya adalah tebing-tebing yang licin melulu, di situ hanya ada sebuah jalanan batu selebar satu meteran. Sepanjang jalan dijaga dengan keras oleh anggota Tiau-yang-sin-kau. Tapi setiap kali melihat Siangkoan In para penjaga itu sangat segan padanya dan sama memberi hormat.

Setelah menyusuri tiga tempat jalan pegunungan, akhirnya mereka sampai pula di tepi teluk. Siangkoan In melepaskan panah bersuara, lalu dari seberang muncul tiga buah sampan untuk menyambut mereka ke seberang sana.

Diam-diam Lenghou Tiong mengagumi betapa hebat fondasi yang telah dipupuk oleh Tiau-yang-sin-kau selama beberapa ratus tahun ini. Coba kalau bukan Siangkoan In telah bergabung kepada mereka, jangan harap orang luar mampu masuk ke wilayah kekuasaan Sin-kau yang penting itu.

Sampai di seberang, jalanan di situ tambah curam lagi. Ing-ing selalu berjaga di samping usungan, senjata siap di tangan.

Ketika rombongan mereka sampai di tempat pusat pimpinan Tiau-yang-sin-kau hari masih sangat dini, belum lagi terang tanah. Siangkoan In mengirim orang melaporkan secara kilat bahwa perintah sang kaucu telah dilaksanakan dengan baik. Tidak lama kemudian terdengarlah suara kelenengan yang nyaring di udara, serentak Siangkoan In berdiri tegak penuh hormat.

Ing-ing menjawil ayahnya dan membisikinya, “Lekas berdiri tegak, ada perintah sang kaucu.”

Yim Ngo-heng merasa heran, tapi ia pun menurut dan berdiri. Dilihatnya segenap anggota juga mendadak berdiri tegak. Suara kelenengan tadi terus bergema dari atas menuju ke bawah dengan sangat cepat. Ketika suara kelenengan berhenti sejenak barulah semua orang berani bergerak. Seorang anggota yang berbaju kuning tampak masuk ke ruangan tunggu itu dan membentangkan sepotong kain kuning, lalu membaca, “Tonghong-kaucu Tiau-yang-sin-kau yang mahabijaksana dan mahaagung memberikan titah sebagai berikut: Kah Po dan Siangkoan In telah melaksanakan perintah dan pulang dengan hasil yang baik, jasa mereka harus dipuji, diperintahkan sekarang juga boleh menghadap ke atas tebing dengan membawa serta tawanan.”

Siangkoan In membungkuk dengan penuh hormat, lalu mengiakan disertai dengan istilah-istilah sanjung puja yang tetap itu.

Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli karena kelakuan mereka itu seperti permainan sandiwara di atas panggung.

Sementara itu Siangkoan In lantas membentak, “Kesudian Kaucu menerima hamba, budi kebaikan mahabesar ini takkan hamba lupakan selama hidup.”

Serentak anak buahnya juga berseru menirukan ucapan Siangkoan In itu. Sudah tentu Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian tidak sudi menirukan kata-kata itu, mereka hanya komat-kamit saja bibirnya, tapi menggerutu di dalam batin.

Begitulah rombongan mereka lantas naik ke atas tebing melalui undak-undakan batu, setelah melintasi tiga buah pintu terali besi yang setiap kali mereka selalu ditegur oleh penjaga dengan kode-kode rahasia, akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu batu yang besar, kedua samping pintu tampak terpahat tulisan-tulisan besar yang artinya mengagungkan penghuninya di situ.

Sesudah melewati pintu batu itu, terlihat di atas tanah ada sebuah keranjang bambu yang besar, begitu besar keranjang bambu itu sehingga cukup untuk memuat belasan orang sekaligus.

“Angkat tawanan ke dalam situ,” bentak Siangkoan In.

Lenghou Tiong segera digotong oleh Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing bertiga ke dalam keranjang raksasa itu. Ketika terdengar bunyi kelenengan, keranjang itu mulai mengapung ke atas. Rupanya di atas ada kerekan bertali sehingga keranjang itu dapat dikerek ke atas.

Keranjang besar itu mumbul terus ke atas, waktu Lenghou Tiong memandang ke atas, terlihat di atas sana ada beberapa titik-titik sinar, nyata Hek-bok-keh (karang kayu hitam) luar biasa tingginya.

Ing-ing genggam tangan Lenghou Tiong. Dalam kegelapan tertampak juga gumpalan-gumpalan mega yang melayang lewat di atas kepala mereka. Selang sejenak pula seluruhnya mereka sudah ditelan oleh lautan mega, dasar keranjang hitam gelap, sedikit pun tidak kelihatan lagi titik-titik sinar tadi.

Agak lama pula barulah keranjang raksasa itu berhenti. Lenghou Tiong diusung ke luar dan dipindahkan lagi ke sebuah keranjang lain yang terletak belasan meter di sebelah sana.

Rupanya puncak karang Hek-bok-keh itu terlalu tinggi sehingga kerekan-kerekan yang dipasang itu terbagi dalam tiga tingkat, empat kali mereka harus dikerek barulah mencapai puncak karang itu.

“Begini tinggi tempat tinggal Tonghong Put-pay, pantas sukar sekali bawahannya hendak menemui dia,” pikir Lenghou Tiong.

Akhirnya sampai juga di puncak karang, sementara itu sang surya sudah menongol di ujung timur dan memancarkan sinarnya yang gemilang. Sebuah gapura batu marmer yang megah gemilapan tertingkah oleh cahaya matahari.

Terdengar Siangkoan In berteriak, “Hamba Kong-beng-yusu Siangkoan In mohon bertemu sesuai perintah Kaucu.”

Dari sebuah rumah batu kecil di sebelah kiri sana muncul empat orang, semuanya berjubah ungu, seorang di antaranya berkata, “Selamat atas jasa besar yang telah dicapai Siangkoan-yusu. Mengapa Kah-cosu tidak ikut datang?”

“Kah-cosu telah gugur ketika melabrak musuh sebagai pengabdiannya atas budi kebaikan Kaucu,” jawab Siangkoan In.

“O, kiranya demikian,” kata orang itu. “Jika begitu segera Siangkoan-yusu tentu akan naik tingkat.”

“Bila mendapat anugerah Kaucu tentu takkan kulupakan kebaikan Saudara,” ujar Siangkoan In.

Mendengar ucapan Siangkoan In yang menjanjikan akan memberi sogokan padanya, orang itu tampak sangat senang, katanya pula, “Terima kasih sebelumnya.”

Lalu ia melirik sekejap kepada Lenghou Tiong yang telentang di atas usungan, katanya dengan tertawa, “Apakah bocah ini yang dipenujui Yim-siocia? Kukira pemuda yang ditaksir Yim-siocia tentunya secakap Phoa An dan sebagus Song Giok (kedua nama ini adalah jejaka-jejaka cakap menurut dongeng), tak tahunya juga cuma begini saja. Siangkoan-cosu, silakan ikut padaku.”

“Kaucu belum lagi mengangkat derajatku, janganlah Saudara buru-buru memanggil cosu padaku, kalau didengar oleh Kaucu mungkin bisa celaka,” ujar Siangkoan In.

Orang itu melelet-lelet lidahnya dan tidak bicara lagi. Segera ia mendahului jalan di depan sebagai pengantar.

Dari gapura itu menuju ke pintu gerbang harus melalui sebuah jalan balok batu yang lurus. Setelah memasuki pintu gerbang, dua orang berjubah ungu yang lain mengantar mereka ke ruangan belakang. Katanya kepada Siangkoan In, “Nyo-koankeh hendak menemui kau, silakan tunggu di sini.”

Siangkoan In mengiakan dan berdiri tegak dengan tangan lurus ke bawah.

Cukup lama mereka menunggu, tapi apa yang dikatakan “Nyo-koankeh” (kepala rumah tangga she Nyo) masih belum tampak muncul. Selama itu Siangkoan In tetap berdiri tegak dan tidak berani mengambil tempat duduk.

Dalam hati Lenghou Tiong membatin, “Kedudukan Siangkoan-yusu ini di dalam Mo-kau boleh dikata hanya satu-dua tingkat di bawah sang kaucu, tapi di atas Hek-bok-keh ini ternyata hampir setiap orang tidak menghargainya, seakan-akan seorang pelayan juga lebih kereng dari dia. Lalu siapa lagi Nyo-koankeh yang dikatakan itu? Besar kemungkinan adalah Nyo Lian-ting. Kiranya, dia hanya seorang “koankeh‟ saja, akan tetapi Kong-beng-yusu yang termasyhur ternyata harus berdiri menunggunya dengan penuh hormat, peraturan demikian sungguh keterlaluan?”

Lewat agak lama pula barulah terdengar suara langkah orang mendatangi, dari suara kakinya yang cepat tapi enteng ini jelas orangnya tidak memiliki lwekang yang kuat. Terdengar suara orang berdehem satu kali, lalu dari pintu angin muncul seorang.

Ketika Lenghou Tiong melirik ke sana, dilihatnya umur orang itu antara 30-an, berjubah satin merah gelap, perawakannya kekar, mukanya penuh berewok, sikapnya sangat gagah.

Kembali Lenghou Tiong membatin, “Menurut cerita Ing-ing, katanya orang ini sangat disayang oleh Tonghong Put-pay, katanya di antara kedua orang mempunyai hubungan yang istimewa. Maka tadinya kukira dia pasti seorang laki-laki secantik nona jelita, siapa tahu dia adalah seorang laki-laki kekar. Sungguh sama sekali di luar dugaan.”

Maka terdengar orang itu sedang berkata, “Siangkoan-yusu, engkau telah berjasa besar dengan berhasil menangkap Lenghou Tiong, untuk ini Kaucu merasa sangat senang.”

Suara seorang laki-laki gagah ternyata sangat merdu dan enak didengar.

Siangkoan In membungkuk tubuh dan menjawab, “Semua itu adalah berkat Kaucu yang mahaagung dan berkat bimbingan Nyo-koankeh yang bijaksana, hamba hanya sebagai pelaksana saja menurut perintah Kaucu.”

Nyo Lian-ting itu mendekati usungan dan memandangi Lenghou Tiong. Dengan sengaja Lenghou Tiong membikin mulutnya setengah melongo dan sorot mata yang guram sehingga mirip benar orang yang terluka parah.

“Orang ini tampaknya sudah setengah sekarat, apakah benar dia ini Lenghou Tiong? Kau tidak keliru?” tanya Nyo Lian-ting.

“Tidak mungkin keliru, hamba menyaksikan sendiri dia diangkat sebagai ketua Hing-san-pay,” jawab Siangkoan In. “Cuma dia telah kena ditutuk tiga kali oleh Kah-cosu, kena dua kali pukulanku pula, lukanya memang parah, dalam waktu setahun kiranya belum bisa pulih.”

“Bagus, bagus!” puji Nyo Lian-ting. “Jasamu ini tentu akan kulaporkan kepada Kaucu dan kau akan mendapatkan ganjaran semestinya. Hong-lui-tongcu telah mengkhianati Kaucu apakah kau sudah mengetahui urusan ini?”

“Hamba tidak jelas duduk persoalannya mohon diberi penjelasan,” jawab Siangkoan In.

Nyo Lian-ting terus duduk sendiri di atas kursi sambil menghela napas, lalu berkata, “Si tua Tong Pek-him ini makin tua makin tidak genah, dia suka jual lagak sebagai orang kepercayaan Kaucu dan memandang sebelah mata kepada orang lain. Akhir-akhir ini dia bahkan bersekongkol dan berkomplotan dengan maksud memberontak. Memang sudah lama kulihat tingkahnya yang mencurigakan itu, siapa tahu dia malahan tambah berani lagi, akhir-akhir bahkan bersekongkol dengan pengkhianat besar Yim Ngo-heng.”

“Dia… dia berkomplot dengan… dengan orang she Yim itu?” Siangkoan In menegas dengan suara rada gemetar.

“Siangkoan-yusu, kenapa kau menjadi ketakutan begini?” tanya Nyo Lian-ting. “Yim Ngo-heng itu toh bukan manusia yang bertangan enam dan berkepala tiga, dahulu Kaucu sudah pernah membikin dia mati kutu, kalau sekarang dia berani datang lagi ke Hek-bok-keh sini, hm, masakah dia takkan disembelih sebagaimana Kaucu menyembelih ayam.”

“Ya, ya. Entah cara bagaimana Tong Pek-him itu bersekongkol dengan dia?” tanya Siangkoan In dengan tergagap-gagap.

“Tong Pek-him telah mengadakan pertemuan rahasia dengan Yim Ngo-heng, selain mereka dihadiri pula seorang pengkhianat lain, yaitu Hiang Bun-thian. Ketika dia kembali ke sini dan kutanyakan perbuatannya itu, ternyata Tong Pek-him terus mengaku dengan terus terang.”

“Dia mengaku terus terang, jelas tuduhan padanya bukanlah fitnah,” ujar Siangkoan In.

“Kutegur dia mengapa tidak memberi laporan kepada Kaucu tentang pertemuannya dengan Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian, dia menjawab katanya mereka hanya mengadakan pertemuan persahabatan saja. Kukatakan munculnya Yim Ngo-heng jelas hendak memusuhi Kaucu, hal ini tentu cukup diketahuinya, mengapa kau anggap musuh sebagai sahabat. Dia menjawab, “Mungkin Kaucu yang salah dan bukan orang lain yang salah terhadap Kaucu!‟.”

“Kurang ajar!” gerutu Siangkoan In. “Budi luhur Kaucu setinggi langit, beliau paling baik terhadap sesama kawan, mana bisa berbuat salah kepada orang lain?”

Bagi pendengaran Nyo Lian-ting, ucapan Siangkoan In ini sudah tentu ditujukan kepada Tonghong Put-pay, tapi bagi Lenghou Tiong dan lain-lain, mereka tahu Siangkoan In sengaja hendak mengambil hati Yim Ngo-heng.

Terdengar Siangkoan In melanjutkan pula, “Hamba sudah bertekad akan mengabdi sepenuh jiwa raga kepada Kaucu, bila ada orang yang berani kurang ajar kepada Kaucu baik dalam kata maupun dalam tindakan, maka aku Siangkoan In yang pertama-tama akan menghadapinya.”

Kata-kata Siangkoan In itu jelas ditujukan kepada Nyo Lian-ting, sudah tentu dia tidak tahu sama sekali, sebaliknya dia malah menanggapi dengan tertawa, “Bagus, bila semua saudara dalam agama bisa mengikuti tekad Siangkoan-yusu ini tentu tiada hal yang tak bisa diatasi. Tentunya Siangkoan-yusu sudah lelah, silakan pergi istirahat saja.”

“Tapi, tapi hamba ingin menghadap Kaucu,” kata Siangkoan In dengan bingung.

“Kaucu sangat sibuk, mungkin tiada tempo buat menerima kau,” ujar Nyo Lian-ting.

Dari sakunya Siangkoan In lantas merogoh keluar belasan butir mutiara, Nyo Lian-ting didekati dan dibisiki, “Nyo-congkoan, belasan biji mutiara ini adalah hasil sambilanku dalam dinas luar kali ini, keseluruhannya sekarang kupersembahkan kepada Nyo-congkoan dengan harapan sudilah Nyo-congkoan menghadapkan hamba kepada Kaucu. Bila Kaucu senang hati, bisa jadi beliau akan menaikkan pangkat hamba, bila demikian tentu takkan kulupakan pula bantuan Nyo-congkoan.”

“Ah, orang sendiri, mengapa sungkan-sungkan begini,” ujar Nyo Lian-ting dengan menyengir. “Baiklah kuterima. Terima kasih ya.”

Tiba-tiba ia pun membisiki Siangkoan In, “Di hadapan Kaucu nanti tentu akan kubujuk agar kau diangkat menjadi Kong-beng-cosu.”

Berulang-ulang Siangkoan In lantas memberi hormat, katanya, “Bila jadi, selama hidupku takkan lupa atas budi kebaikan Kaucu dan Nyo-congkoan.”

“Silakan kau tunggu sebentar di sini, bila Kaucu sudah longgar temponya segera kau akan dipanggil,” kata Nyo Lian-ting kemudian sambil memasukkan mutiara-mutiara tadi ke sakunya.

Siangkoan In mengiakan beberapa kali, lalu munduk-munduk beberapa langkah ke belakang. Nyo Lian-ting sendiri lantas berbangkit dan masuk ke dalam dengan lagak tuan besar.

Selang agak lama pula, seorang dayang baju ungu tampak keluar, lalu berseru lantang, “Kaucu mahaagung, mahabijaksana, memerintahkan Siangkoan In menghadap dengan membawa tawanannya.”

Siangkoan In mengucapkan terima kasih dengan istilah-istilah sanjung puji pula. Lalu mengikuti dayang itu ke ruangan dalam dengan disusul oleh Yim Ngo-heng bertiga yang mengusung Lenghou Tiong.

Sepanjang jalan di serambi samping penuh berbaris busu-busu berseragam dan bersenjata tombak, seluruhnya mereka melintasi tiga buah pintu besi, kemudian menyusuri lagi sebuah serambi panjang yang dijaga oleh beberapa ratus busu-busu yang berbaris di kanan-kiri dengan senjata golok mengilat dan disilangkan ke atas. Rombongan Siangkoan In menerobos lewat di bawah barisan golok itu dengan perasaan kebat-kebit.

Tokoh-tokoh yang sudah kenyang asam garam Kangouw seperti Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan lain-lain itu sudah tentu memandang sebelah mata terhadap barisan busu begitu. Hanya saja mereka sangat mendongkol karena merendahkan diri hanya untuk bisa berhadapan dengan Tonghong Put-pay.

Habis menerobos barisan golok itu, sampailah di depan sebuah pintu yang bertirai tebal. Siangkoan In menyingkap tirai tebal itu terus melangkah ke dalam. Sekonyong-konyong sinar putih gemerdep, delapan buah tombak dari kanan-kiri menusuk ke arahnya.

Lenghou Tiong terkejut, segera ia meraba pedang yang tersembunyi di bawahnya. Tapi dilihatnya Siangkoan In berdiri diam saja tanpa melawan. Sebaliknya lantas berseru lantang, “Hamba Kong-beng-yusu Siangkoan In mohon bertemu Kaucu yang mahaagung dan mahabijaksana!”

Terdengar di dalam istana itu ada orang berseru, “Masuk!”

Serentak kedelapan busu bertombak itu lantas menyingkir.

Baru sekarang Lenghou Tiong paham, rupanya tusukan tombak-tombak tadi hanya untuk menakut-nakuti saja, bila yang datang memang orang bermaksud jahat tentunya akan terus menangkis tusukan-tusukan itu dan terbukalah kedoknya.

Setelah masuk balairung itu, Lenghou Tiong terkesiap oleh panjangnya balairung yang luar biasa itu. Lebar balairung itu paling-paling cuma sepuluh meter, tapi panjangnya adalah ratusan meter. Di ujung balairung sana terbangun sebuah podium dan di atasnya berduduk seorang tua berjenggot. Tentunya dia Tonghong Put-pay adanya.

Balairung itu tidak berjendela, hanya pada pojok depan dipasang lilin besar, tapi di samping mimbar yang diduduki Tonghong Put-pay itu ternyata dua onggok api unggun yang sebentar terang sebentar gelap, karena jaraknya cukup jauh, cahaya yang gelap-gelap terang itu membikin orang sukar melihat jelas wajah sang kaucu.

Tidak jauh di bawah podium itu Siangkoan In lantas berlutut dan menyembah dengan kata-kata sanjung puji yang seram-seram.

Mendadak dayang di samping Tonghong Put-pay membentak, “Di hadapan Kaucu mengapa anak buahmu yang keroco itu tidak berlutut?”

Yim Ngo-heng adalah seorang yang tahan uji, ia pikir belum tiba saat yang menguntungkan, kalau untuk sementara ini aku berlutut padamu apa halangannya? Sebentar lagi aku yang akan membeset kulitmu dan membetot tulangmu. Karena itu segera ia berlutut dan menunduk. Melihat kepalanya sudah berlutut, dengan sendirinya Hiang Bun-thian dan Ing-ing lantas ikut saja.

“Mungkin anak buah hamba ini menjadi lupa daratan karena diberi kesempatan melihat wajah emas Kaucu sehingga tidak segera berlutut, harap Kaucu memberi ampun,” kata Siangkoan In.

Saat itu Nyo Lian-ting berdiri di samping Tonghong Put-pay, terdengar ia berkata, “Cara bagaimana Kah-cosu bertempur dengan musuh dan akhirnya gugur, coba ceritakan.”

“Kah-cosu dan hamba merasa utang budi kepada Kaucu, kini kami diberi tugas penting, betapa pun kami telah bertekad akan melaksanakannya dengan baik….”

Mendengar ocehan Siangkoan In yang memuakkan itu, diam-diam Lenghou Tiong menggerutu.

Pada saat itulah tiba-tiba di belakangnya ada orang berteriak keras, “Tonghong-hengte, apakah benar kau memerintahkan orang-orang ini untuk merangkap diriku?”

Suara orang ini serak-serak tua, tapi penuh kekuatan lwekang sehingga suaranya berkumandang dan memekak telinga. Lenghou Tiong menduga orang ini tentulah Hong-lui-tongcu Tong Pek-him adanya.

Benar juga, segera terdengar Nyo Lian-ting menanggapi, “Tong Pek-him, di balairung Seng-tek-tong ini mana boleh kau gembar-gembor sesukamu? Di hadapan Kaucu mengapa pula kau berdiri tanpa berlutut? Berani pula kau tidak menyebutkan keagungan Kaucu?”

Tong Pek-him mendongak dan bergelak tertawa, katanya, “Waktu aku bersahabat dengan Tonghong-hengte mana ada seorang macam kau? Ketika aku dan Tonghong-hengte sama-sama merasakan pahit getir dalam perjuangan mungkin orang macam kau belum lagi dilahirkan, masakan kau ada hak untuk bicara dengan aku?”

Lenghou Tiong coba melirik ke sana, dilihatnya orang tua itu mendelik dengan beringas, sikapnya menakutkan. Kaki dan tangannya diborgol semua dengan rantai yang sangat panjang. Rupanya saking gusarnya dia bicara sehingga kedua tangannya ikut bergerak, maka menerbitkan suara gemerencing dari rantai yang diseretnya itu.

Tadinya Yim Ngo-heng hanya berlutut di tempatnya tanpa bergerak, kini demi mendengar suara gemerencingnya rantai, seketika terbayang kembali pengalaman sendiri ketika disiksa di kamar tahanan di bawah danau di Hangciu dahulu. Darahnya bergolak hebat, badannya sampai gemetar, segera ia bermaksud mengambil tindakan.

Namun lantas terdengar Nyo Lian-ting lagi bicara pula, “Di hadapan Kaucu juga berani berkata demikian, kau benar-benar terlalu kurang ajar. Secara diam-diam kau bersekongkol dengan pengkhianat besar Yim Ngo-heng, apakah kau masih tidak menyadari dosamu ini?”

“Yim-kaucu adalah ketua agama kita yang lampau, beliau mendapat penyakit berat sehingga terpaksa harus mengundurkan diri dan segala tugas pimpinannya telah diserahkan kepada Tonghong-hengte, mana boleh kau mengatakan Yim-kaucu adalah pengkhianat besar?” bantah Tong Pek-him. “Tonghong-hengte, coba kau katakan sendiri yang tegas, benarkah Yim-kaucu mengkhianati agama kita? Apa dasarnya?”

“Setelah penyakit Yim Ngo-heng sembuh, seharusnya dia cepat kembali ke dalam agama, tapi dia malah mendatangi tokoh-tokoh Siau-lim, Bu-tong, Ko-san, dan lain-lain untuk berkomplotan dengan mereka, apalagi perbuatannya ini kalau bukan pengkhianatan?” jawab Nyo Lian-ting. “Lebih jauh kenapa dia tidak lantas menghadap Kaucu serta menerima petunjuk-petunjuknya?”

“Hahahaha!” Tong Pek-him terbahak-bahak. “Yim-kaucu adalah bekas atasan Tonghong-hengte, baik ilmu silatnya maupun pengetahuannya belum tentu di bawah Tonghong-hengte, betul tidak Tonghong-hengte?”

Tapi Nyo Lian-ting lantas membentak, “Jangan kau berlagak lebih tua di sini, jika kau mau mengakui dosamu, besok di hadapan sidang terbuka pimpinan mungkin Kaucu masih mau mengampuni dosamu. Kalau tidak, hm, bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri.”

“Haha, orang she Tong sudah mendekati 80 tahun, memangnya aku sudah bosan hidup, mengapa aku mesti takut akibat apa segala?” jawab Tong Pek-him dengan tertawa.

“Bawa maju orang-orangnya!” mendadak Nyo Lian-ting berteriak.

Dayang baju ungu mengiakan, lalu terdengarlah suara gemerencing yang ramai, belasan orang digiring ke dalam balairung, ada laki-laki ada perempuan, ada orang tua, ada anak-anak pula.

Begitu melihat orang-orang itu, seketika air muka Tong Pek-him berubah hebat, bentaknya dengan murka, “Nyo Lian-ting, kenapa kau menangkap anak-cucuku?”

Suaranya yang keras menggelegar anak telinga semua orang sehingga mendengung-dengung.

“Coba sebut Tong Pek-him, bagaimana bunyi pasal ketiga petuah Kaucu?” kata Nyo Lian-ting.

“Fui!” Tong Pek-him meludah, tapi tidak menjawab.

“Coba siapa di antara anggota keluarga Tong yang mengetahui pasal ketiga petuah Kaucu, coba uraikan!” seru Nyo Lian-ting.

Seorang anak laki-laki lantas berkata, “Pasal ketiga petuah Kaucu mahaagung berbunyi: Terhadap musuh harus kejam, babat rumput harus bersama akar-akarnya, laki-perempuan tua-muda, tidak seorang pun ditinggalkan hidup.”

“Bagus, bagus! Anak manis, apakah kesepuluh pasal petuah Kaucu dapat kau hafalkan di luar kepala?” tanya Nyo Lian-ting.

“Dapat!” jawab anak kecil itu. “Satu hari tidak menghafalkan petuah Kaucu rasanya tidak dapat tidur dan tidak dapat makan. Setelah baca petuah Kaucu seketika bersemangat dan giat belajar.”

“Bagus. Siapa yang mengajarkan hal-hal demikian padamu?”

“Ayah!” jawab si anak.

“Siapa dia?” tanya Lian-ting pula sambil menunjuk Tong Pek-him.

“Kakek!”

“Kakekmu tidak mau membaca petuah Kaucu, tidak mau menurut perintah Kaucu, malahan membangkang pada Kaucu, bagaimana menurut kau?”

“Kakek bersalah,” jawab bocah itu. “Setiap orang harus memahami ajaran Kaucu dan menurut segala perintah Kaucu.”

“Nah, kau dengar sendiri,” kata Nyo Lian-ting terhadap Tong Pek-him, “cucumu sekecil itu saja bilang begitu, sebaliknya kau sudah tua bangka, mengapa kau malah berbuat tidak senonoh?”

“Aku hanya bicara sebentar dengan orang she Yim dan she Hiang, mereka minta aku melawan Kaucu, tapi aku menolak ajakan mereka,” kata Tong Pek-him. “Selamanya Tong Pek-him bicara apa adanya dan tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.”

Rupanya dia menyaksikan belasan anggota keluarganya akan ikut menjadi korban, maka nada bicaranya menjadi agak lunak.

“Jika sejak tadi-tadi kau bicara demikian tentu urusan menjadi lebih mudah diselesaikan,” ujar Nyo Lian-ting. “Dan sekarang kau sudah mengakui kesalahanmu?”

“Aku tidak bersalah, aku tidak antiagama kita, lebih-lebih tidak anti-Kaucu,” jawab Tong Pek-him.

“Kalau kau tetap tidak mau mengaku salah, terpaksa aku tak bisa menolong kau,” ujar Nyo Lian-ting dengan menghela napas. “Penjaga, bawalah anggota keluarganya ke tempat tahanan, mulai sekarang dilarang memberikan makanan dan minuman sedikit pun juga.”

“Nanti dulu!” teriak Tong Pek-him keras-keras. Lalu katanya kepada Nyo Lian-ting, “Baik, aku mengaku salah. Untuk itu aku mohon Kaucu memberi ampun.”

“Hm, tadi kau bilang apa? Kau bilang pernah sehidup-semati dengan Kaucu, saat mana aku saja belum dilahirkan. Betul tidak?” tanya Nyo Lian-ting.

Dengan menahan perasaannya Tong Pek-him menjawab, “Ya, aku salah omong.”

“Kau salah omong? Hanya begini saja persoalannya?” kata Nyo Lian-ting dengan menjengek. “Di hadapan Kaucu mengapa kau tidak berlutut?”

“Kaucu dan aku adalah saudara angkat, selama puluhan tahun kami berdiri dan berduduk sama tingginya,” jawab Tong Pek-him. Mendadak ia berseru pula, “Tonghong-hengte, kau menyaksikan sendiri Laukoko (saudara tua) disiksa orang habis-habisan, mengapa kau tidak buka mulut, tidak bicara sepatah kata pun? Jika kau ingin Laukoko berlutut padamu, soalnya sangat gampang asalkan bicara sepatah kata saja, biarpun mati bagimu sedikit pun Laukoko takkan mengernyitkan kening.”

Tapi Tonghong Put-pay masih terus duduk tak bergerak, seketika suasana di balairung menjadi sunyi senyap, pandangan semua orang dialihkan kepada Tonghong Put-pay untuk mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Akan tetapi sampai sekian lamanya dia tetap diam saja.

“Tonghong-hengte,” Tong Pek-him berteriak pula, “selama beberapa tahun ini betapa sukarnya aku ingin menemui kau. Kau telah mengasingkan diri untuk meyakinkan “Kui-hoa-po-tian‟, tapi apakah kau tahu para kawan lama di dalam agama telah banyak meninggalkan kita, bencana besar sedang mengancam agama kita?”

Tetap Tonghong Put-pay diam saja. Maka Tong Pek-him berseru lagi, “Asal kau sendiri yang omong, segera aku akan berlutut padamu. Tidak menjadi soal kau menyiksa aku, bahkan membunuh aku sekalipun, tapi Tiau-yang-sin-kau yang namanya mengguncangkan Kangouw selama beratus-ratus tahun segera akan hancur, untuk ini kau harus bertanggung jawab dan akan berdosa besar. Mengapa kau diam saja? Apakah kau kena penyakit dalam meyakinkan ilmu sehingga tak bisa bicara?”


BAB 107. RAHASIA PRIBADI TONGHONG PUT-PAY

“Ngaco-belo!” bentak Nyo Lian-ting. “Berlututlah kau!”

Dua dayang segera menendang belakang dengkul Tong Pek-him untuk memaksanya tekuk lutut. Tapi mendadak terdengar suara jeritan dua kali, kedua dayang itu terpental sendiri ke belakang dengan tulang kaki patah dan muntah darah. Sungguh hebat lwekang Tong Pek-him itu.

“Tonghong-hengte, aku ingin mendengar satu patah katamu saja, habis itu mati pun aku rela,” seru Tong Pek-him pula. “Sudah lebih tiga tahunan kau tidak pernah bersua, para saudara dalam agama sudah sama curiga.”

Nyo Lian-ting menjadi gusar, dampratnya, “Curiga apa?”

“Mencurigai kemungkinan Kaucu telah dikerjai orang, dibikin bisu,” jawab Tong Pek-him dengan suara keras. “Sebab apa dia tidak bicara? Ya, sebab apa dia tidak bicara?”

“Mulut emas Kaucu masakah sembarangan digunakan bagi kaum pengkhianat macam kau?” jengek Nyo Lian-ting. “Bawa pergi dia, penjaga!”

Delapan dayang baju ungu serentak mengiakan dan berlari maju.

Mendadak Tong Pek-him berteriak-teriak, “Tonghong-hengte, ingin kulihat siapakah yang membikin kau tak bisa bicara?”

Berbareng ia terus memburu ke arah Tonghong Put-pay sambil menyeret rantai borgol di kaki dan tangannya.

Melihat sikap Tong Pek-him yang gagah berwibawa itu, para penjaga menjadi takut untuk mendekati dia.

“Bekuk dia! Bekuk dia!” teriak Nyo Lian-ting.

Tapi para busu hanya berteriak-teriak saja di ambang pintu dan tidak berani masuk ke balairung. Maklum, menurut peraturan tiada seorang pun anggota Tiau-yang-sin-kau diperbolehkan masuk ke balairung itu dengan membawa senjata, yang melanggar dihukum mati.

Melihat gelagat kurang baik itu, tertampak Tonghong Put-pay berdiri dan bermaksud masuk ke ruang belakang.

“Jangan pergi dulu, Tonghong-hengte, jangan pergi!” seru Tong Pek-him sambil memburu maju lebih cepat. Namun kedua kakinya terborgol, gerak-geriknya tidak leluasa, saking nafsunya dia memburu maju, mendadak ia kesandung dan jatuh terguling. Tapi sekaligus ia berjumpalitan terus menubruk pula ke depan sehingga jaraknya dengan Tonghong Put-pay sekarang tinggal belasan meter saja.

Nyo Lian-ting menjadi khawatir, teriaknya, “Pengkhianat! Kurang ajar! Berani kau mencelakai Kaucu?”

Melihat gerak-gerik Tonghong Put-pay yang rada aneh dan serbamencurigakan itu, Yim Ngo-heng tidak tinggal diam, ketika melihat Tong Pek-him tidak mampu memburu ke depan lagi, segera ia merogoh keluar tiga buah mata uang terus disambitkan ke arah Tonghong Put-pay.

Segera Lenghou Tiong lantas melompat bangun, dari dalam kain pembalutnya pedang lantas dilolos keluar. Hiang Bun-thian juga lantas mengeluarkan senjata yang disembunyikan di atas usungan dan dibagikan kepada Ing-ing serta Yim Ngo-heng. Menyusul ia menarik sekuatnya, rupanya tali yang dipakai mengikat rangka usungan adalah sebuah cambuk. Dengan ginkang yang tinggi mereka berempat lantas menyerbu maju.

Dalam pada itu terdengar Tonghong Put-pay menjerit, rupanya dahinya terkena sebuah mata uang yang disambitkan Yim Ngo-heng tadi sehingga mengucurkan darah. Untung baginya karena jaraknya cukup jauh sehingga sambitan Yim Ngo-heng itu tidak keras, hanya membikin kulit kepalanya terkupas sedikit. Namun Tonghong Put-pay terkenal ilmu silatnya tak terkalahkan, masakah sebuah mata uang saja tidak mampu menghindarkan diri, hal ini sungguh tidak masuk di akal.

“Hahaha! Tonghong Put-pay ini adalah palsu!” teriak Yim Ngo-heng.

Pada saat yang sama cambuk Hiang Bun-thian lantas menyabet, “tarrr”, kedua kaki Nyo Lian-ting terlibat oleh cambuknya, sekali ditarik tanpa ampun lagi orang she Nyo itu lantas terguling.

Tampak Tonghong Put-pay masih terus lari ke depan sambil mendekap dahinya yang luka, dengan cepat Lenghou Tiong melompat ke depannya sambil menodongkan ujung pedang dan membentak, “Berhenti!”

Siapa duga Tonghong Put-pay yang sedang lari cepat itu tak sempat menahan tubuhnya, bahkan terus menerjang ke ujung pedang malah. Namun Lenghou Tiong keburu menarik kembali pedangnya. Sedangkan Yim Ngo-heng sudah menubruk tiba, sekali cengkeram kuduk Tonghong Put-pay terus diseretnya ke tengah balairung.

“Dengarkan semua orang!” teriak Yim Ngo-heng. “Keparat ini memalsukan Tonghong Put-pay dan merusak Tiau-yang-sin-kau kita, hendaknya kalian semua memeriksa jelas cecongor keparat ini.”

Ternyata tampang orang itu memang sangat mirip dengan Tonghong Put-pay asli. Keruan para busu saling pandang dengan melongo.

“Siapa kau? Kalau tidak mengaku terus terang biar kugecek kepalamu hingga hancur,” bentak Yim Ngo-heng.

Orang itu gemetar seluruh badannya, giginya berkeriutan saking takutnya, jawabnya dengan terputus-putus, “Ham… ham… ba… ber… na… ma….” tapi sampai sekian lamanya tetap tidak mampu menyambung ucapannya.

Sementara itu Hiang Bun-thian telah menutuk beberapa tempat hiat-to di tubuh Nyo Lian-ting dan menyeretnya pula ke tengah balairung, lalu membentaknya, “Sebenarnya siapa nama orang ini?”

Tapi dengan angkuh Nyo Lian-ting menjawab, “Hm, kau ini kutu apa, kau ada hak buat tanya padaku? Aku kenal kau sebagai pengkhianat besar Hiang Bun-thian. Sudah lama kau dipecat, berdasarkan hak apa kau berani pulang lagi ke Hek-bok-keh sini?”

“Tujuanku ke Hek-bok-keh ini justru hendak membereskan kau keparat ini!” jengek Hiang Bun-thian, berbareng sebelah tangannya terus menebas, “krak”, kontan tulang betis kiri Nyo Lian-ting dipatahkan.

Tak terduga, biarpun ilmu silat Nyo Lian-ting tidak tinggi, ternyata orangnya sangat kepala batu, ia tidak menjerit kesakitan, sebaliknya malah membentak, “Jika berani, hayolah kau bunuh aku saja, main siksa begini terhitung orang gagah macam apa?”

“Membunuh kau? Hm, masakah begitu enak?” jengek Hiang Bun-thian pula, “krek”, kembali ia pukul patah tulang betis kaki Nyo Lian-ting yang lain. Menyusul Hiang Bun-thian menurunkan tubuh Nyo Lian-ting sehingga berdiri tegak.

Dengan tulang betis yang sudah patah, dengan sendirinya waktu berdiri tulang kaki yang patah itu lantas menusuk ke atas sehingga berbunyi keriang-keriut, sakitnya tentu bukan buatan. Namun Nyo Lian-ting sama sekali tidak bersuara meski mukanya pucat pasi.

“Laki-laki hebat! Aku takkan menyiksa kau lagi,” kata Hiang Bun-thian sambil acungkan jempolnya ke muka Nyo Lian-ting. Sebagai gantinya ia terus menonjok perut Tonghong Put-pay palsu sambil bertanya, “Siapa namamu?”

Orang itu menjerit kesakitan, jawabnya dengan gemetar, “Hamba… hamba ber… bernama Pau… Pau… Pau….” tapi Pau siapa tak dapat dilanjutkannya.

“Jadi kau she Pau?” Hiang Bun-thian menegas.

“Iy… ya! Hamba she… she… Pau… Pau….” namun tetap dia tidak sanggup mengatakan namanya sampai sekian lamanya.

Dalam pada itu Lenghou Tiong dan lain-lain lantas mengendus bau busuk, ternyata dari bawah celana orang itu mengalirkan air kekuning-kuningan, rupanya saking ketakutan orang itu menjadi terkencing-kencing dan tercirit-cirit.

“Urusan jangan terlambat, paling penting kita mencari saja Tonghong Put-pay yang tulen,” kata Yim Ngo-heng. Segera ia angkat orang she Pau itu dan berseru pula, “Kalian sudah menyaksikan sendiri, orang ini adalah Tonghong Put-pay palsu, dia telah merusak agama kita, sekarang juga kita harus menyelidiki duduknya perkara hingga jelas. Aku adalah kaucu kalian yang dulu, apakah kalian masih kenal padaku?”

Para busu yang berada di situ adalah pemuda-pemuda berumur 20-an, selamanya mereka belum melihat Yim Ngo-heng, sudah tentu tidak kenal. Sejak Tonghong Put-pay menjabat kaucu, orang-orang kepercayaannya dapat meraba isi hati kaucu baru ini, maka masing-masing saling memperingatkan agar jangan mengungkat-ungkat urusan Yim-kaucu, sebab itulah nama Yim Ngo-heng saja tidak pernah didengar oleh para busu. Kini mereka menjadi melongo dan saling pandang mendengar ucapan Yim Ngo-heng, tiada seorang pun yang berani menjawab.

Siangkoan In lantas berseru, “Besar kemungkinan Tonghong Put-pay sudah dibinasakan mereka. Yim-kaucu ini adalah kaucu kita. Sejak kini kita harus setia mengabdi kepada Yim-kaucu.”

Habis berkata segera ia mendahului menyembah kepada Yim Ngo-heng, serunya, “Terimalah sembah bakti hamba, semoga Kaucu panjang umur dan merajai jagat!”

Para busu kenal Siangkoan In sebagai Kong-beng-yusu yang terhormat di dalam agama, melihat tokoh setinggi itu saja menyembah kepada Yim Ngo-heng, pula menyaksikan ada orang memalsukan Tonghong Put-pay, malahan Nyo Lian-ting yang biasanya berkuasa itu sekarang juga menggeletak tak bisa berkutik dengan kedua kaki patah, maka tanpa ragu-ragu lagi para busu itu serentak berlutut kepada Yim Ngo-heng dan menyorakkan istilah-istilah puja-puji, “Semoga Kaucu panjang umur dan merajai jagat!”

Yim Ngo-heng terbahak-bahak senang dan puas, katanya kemudian, “Kalian harus menjaga rapat setiap jalan di sekeliling Hek-bok-keh ini, siapa pun dilarang naik-turun.”

Busu-busu itu mengiakan dengan gemuruh. Dalam pada itu Hiang Bun-thian sudah memerintahkan kawanan dayang baju ungu untuk membuka borgol Tong Pek-him.

Tong Pek-him sangat mengkhawatirkan keselamatan Tonghong Put-pay, begitu sudah bebas segera ia cengkeram kuduk Nyo Lian-ting dan membentak, “Tentu kau telah membinasakan Tong… Tonghong-hengte, kau… kau….” saking nafsunya sampai tenggorokannya seperti tersumbat, air mata pun berlinang-linang.

Nyo Lian-ting benar-benar kepala batu, ia malahan pejamkan mata tak pedulikan pertanyaan orang. Keruan Tong Pek-him menjadi murka, kontan ia beri tempelengan keras ke pelipis orang she Nyo itu sambil membentak, “Di manakah Tonghong-hengte?”

“Perlahan sedikit!” cepat Hiang Bun-thian mengingatkan Tong Pek-him.

Namun sudah terlambat, padahal tempelengan itu pun tidak terlalu keras, namun Nyo Lian-ting tidak tahan, kontan ia kelengar. Tong Pek-him entak-entakkan badan Nyo Lian-ting, namun kedua matanya tampak mendelik seperti orang mampus.

“Coba siapa di antara kalian yang tahu di mana beradanya Tonghong Put-pay? Siapa yang memberi laporan lebih dulu akan diberi hadiah besar!” tanya Yim Ngo-heng kepada para dayang baju ungu. Tapi meski ia ulangi pertanyaan itu tetap tiada seorang pun yang dapat memberi keterangan. Seketika dingin juga perasaannya.

Maklumlah, dia dikurung selama belasan tahun di bawah danau Barat (Se-ouw) di Hangciu, di situ siang dan malam ia tekun meyakinkan ilmu dengan tujuan bila kelak dapat meloloskan diri dari tahanan itu ia pun akan balas menyiksa Tonghong Put-pay sejadi-jadinya. Siapa duga sesudah berada di Hek-bok-keh sekarang ternyata Tonghong Put-pay yang telah dibekuknya ini adalah palsu, agaknya Tonghong Put-pay yang tulen sudah tidak hidup lagi di dunia fana ini, kalau tidak, dengan kecerdasan Tonghong Put-pay yang lain daripada yang lain itu masakah sudi membiarkan Nyo Lian-ting berbuat sesukanya dan bahkan menggunakan seorang lain sebagai duplikatnya?

Ia coba memandang kawanan dayang baju ungu yang berdiri di seputar balairung itu, kelihatan sebagian di antaranya mengunjuk sikap ketakutan, ada pula yang gelisah, tapi ada juga yang kelihatan culas. Dalam keadaan kecewa, perasaan Yim Ngo-heng menjadi sangat berangasan, mendadak ia membentak, “Kalian ini sudah tahu Tonghong Put-pay ini palsu, tapi kalian toh sengaja sekongkol dengan Nyo Lian-ting untuk menipu saudara-saudara lain dalam agama, dosa kalian tidak bisa diampuni!”

Tiba-tiba ia melompat maju, “plak-plok” empat kali, di mana tangannya tiba, kontan empat dayang seragam ungu itu lantas binasa. Keruan dayang-dayang yang lain menjadi ketakutan, sambil menjerit mereka menyingkir ke belakang.

“Kalian hendak lari? Mau lari ke mana?” bentak Yim Ngo-heng dengan menyeringai seram, dijemputnya rantai borgol yang baru dilepaskan dari tubuh Tong Pek-him tadi, sekuatnya ia lemparkan rantai itu ke sana. Kontan saja darah mencurat, kembali ada beberapa orang dibinasakan pula.

Yim Ngo-heng terbahak-bahak, teriaknya, “Pengikut-pengikut Tonghong Put-pay satu pun takkan dibiarkan hidup!”

Melihat kelakuan ayahnya rada kurang waras, cepat-cepat Ing-ing memburu maju untuk memegang tangannya sambil memanggil, “Sabar, Ayah!”

Tiba-tiba di antara kawanan dayang seragam ungu itu tampil seorang dan berlutut memberi laporan, “Lapor Kaucu, sebenarnya Tonghong… Tonghong Put-pay itu tidak mati!”

Tidak kepalang senangnya Yim Ngo-heng mendengar itu, ia memburu maju dan memegang bahu dayang itu sambil menegas, “Betul Tonghong Put-pay belum mati?”

“Iya… Ahuuh!” orang itu berteriak terus roboh tak sadarkan diri.

Rupanya saking terguncang oleh perasaannya, Yim Ngo-heng terlalu keras mencengkeram bahu dayang itu, namun sukar membuatnya siuman kembali.

Terpaksa Yim Ngo-heng berpaling kepada dayang-dayang lain dan bertanya, “Berada di mana Tonghong Put-pay? Lekas tunjukkan jalannya, sedikit terlambat saja kalian semua akan kubunuh!”

Seorang dayang lain lantas menyembah dan berkata, “Lapor Kaucu, tempat tinggal Tonghong Put-pay sangat dirahasiakan, yang tahu hanya Nyo Lian-ting seorang. Sebaiknya kita sadarkan keparat she Nyo itu, tentu dia dapat membawa Kaucu ke sana.”

“Lekas ambilkan air dingin,” bentak Yim Ngo-heng.

Kawanan dayang itu memang sudah terlatih dan sangat cekatan, dalam sekejap saja air dingin yang diminta sudah datang terus disiram ke muka Nyo Lian-ting. Perlahan-lahan orang she Nyo itu membuka matanya, dia telah siuman.

“Orang she Nyo, aku menghargai kau sebagai seorang laki-laki berhati keras, maka takkan kusiksa lagi dirimu,” kata Hiang Bun-thian. “Saat ini semua jalan masuk-keluar Hek-bok-keh sudah ditutup, betapa pun Put-pay takkan bisa lolos dari sini kecuali dia punya sayap. Maka ada lebih baik kau membawa kami pergi mencarinya. Seorang laki-laki sejati buat apa mesti main sembunyi? Kan lebih baik kalau kita bikin pemberesan secara blakblakan saja.”

“Hm, Tonghong-kaucu kini sudah punya badan yang kebal, masakah beliau gentar terhadap keroco-keroco macam kalian?” jawab Nyo Lian-ting dengan menjengek “Tapi kata-katamu barusan rada cocok juga dengan seleraku. Baik, akan kubawa kalian untuk menemuinya.”

Segera Hiang Bun-thian berkata kepada Siangkoan In, “Siangkoan-heng, biarlah sementara ini kita menjadi kuli sambilan, mari kita gotong keparat ini untuk menemui Tonghong Put-pay.”

Berbareng ia terus angkat Nyo Lian-ting dan ditaruh di atas usungan.

Siangkoan In mengiakan. Bersama Hiang Bun-thian mereka lantas mengangkat usungan itu.

“Jalan ke dalam!” kata Nyo Lian-ting.

Hiang Bun-thian dan Siangkoan In lantas mendahului jalan di depan dengan menggotong Nyo Lian-ting. Yim Ngo-heng, Lenghou Tiong, Ing-ing, dan Tong Pek-him berempat mengikuti mereka dari belakang.

Setelah rombongan masuk ke belakang balairung dan melalui sebuah serambi yang panjang, kemudian sampai di sebuah taman bunga dan memasuki sebuah rumah batu kecil di ujung kiri.

“Dorong dinding sebelah kanan!” seru Nyo Lian-ting.

Ketika Tong Pek-him menolak dengan tangannya, ternyata dinding itu bisa bergerak sehingga berwujud sebuah daun pintu. Di dalamnya terdapat pula sebuah pintu besi. Dari bajunya Nyo Lian-ting mengeluarkan segandeng anak kunci dan diserahkan kepada Tong Pek-him, pintu besi itu dibuka, di dalamnya ternyata ada sebuah lorong di bawah tanah.

Lorong itu terus menurun ke bawah. Dalam hati Yim Ngo-heng membatin, “Tonghong Put-pay telah mengurung

aku di dasar danau, siapa duga dia pun kualat sehingga kena dikurung pula di bawah tanah. Tampaknya lorong ini pun tidak lebih baik daripada tempat kurunganku dahulu.”

Tidak nyana, setelah membelok beberapa tikungan, tiba-tiba bagian depan terbeliak terang. Sekonyong-konyong semua orang mengendus bau harum bunga semerbak, seketika napas mereka terasa segar.

Keluar dari lorong di bawah tanah itu ternyata mereka sudah berada di dalam sebuah taman bunga yang kecil dan sangat indah. Bunga mekar beraneka warna, pepohonan tumbuh menghijau segar, di tengah taman ada sebuah kolam dengan beberapa pasang belibis sedang berenang kian-kemari dan beberapa ekor bangau putih bersaba di tepi kolam.

Tiada seorang pun yang menyangka bahwa di balik lorong yang gelap tadi ternyata ada kediaman seindah ini, sungguh mereka tak habis heran. Setelah mengitari sebuah gunung-gunungan, tertampak di depan terbentang sebidang kebun bunga, seluruhnya adalah bunga mawar berwarna merah tua dan jambon yang sedang mekar dan seakan-akan berlomba memamerkan kecantikan masing-masing.

Ing-ing melirik ke arah Lenghou Tiong, dilihatnya pemuda itu tersenyum simpul, tampaknya sangat senang.

“Bagus tidak tempat ini?” tanya Ing-ing dengan suara tertahan.

“Setelah kita usir Tonghong Put-pay, lalu kita tinggal beberapa bulan di sini, nanti kau mengajarkan aku memetik kecapi, alangkah bahagianya kehidupan demikian!” ujar Lenghou Tiong.

“Apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh?” tanya Ing-ing.

“Tentu saja sungguh-sungguh,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma kukhawatir tidak dapat menerima ajaran kecapimu sehingga membikin nenek marah-marah nanti.”

Maka mengikik tawalah Ing-ing teringat kepada masa lampau ketika Lenghou Tiong mengira dia adalah seorang tua renta dan selalu memanggilnya sebagai nenek.

Sementara itu tertampak Hiang Bun-thian dan Siangkoan In sedang mengusung Nyo Lian-ting ke dalam sebuah pondok kecil yang indah, cepat Lenghou Tiong dan Ing-ing ikut masuk ke situ. Begitu melangkah masuk, seketika mereka mengendus bau harum bunga yang menusuk hidung, dilihatnya dinding kamar tergantung sebuah lukisan yang menggambarkan kaum wanita sedang menyulam. Lenghou Tiong menjadi heran apakah Tonghong Put-pay tinggal di kamar ini? Apakah tempat tinggal gendak kesayangannya sehingga dia senantiasa tenggelam di tempat demikian dan lupa mengurusi pekerjaan.

Tiba-tiba terdengar seorang di dalam kamar bertanya, “Adik Lian, siapakah yang kau bawa kemari?”

Suaranya nyaring tajam, seperti suara kaum lelaki, tapi mirip juga suara wanita, mendirikan bulu roma rasanya bagi orang yang mendengarnya.

Maka Nyo Lian-ting telah menjawab, “Kubawa serta sobat lamamu, dia ingin bertemu dengan kau.”

“Mengapa kau membawanya kemari?” ujar suara di dalam itu. “Tempat ini hanya boleh didatangi seorang saja, selain kau, siapa pun takkan kutemui.”

Beberapa kata-kata terakhir ini diucapkan dengan manja seperti nada kaum wanita, namun jelas suaranya adalah suara orang laki-laki.

Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, Ing-ing, Tong Pek-him, dan Siangkoan In sudah sangat kenal Tonghong Put-pay, dari suara tadi jelas adalah suara sang kaucu itu, hanya saja nadanya sangat aneh, seakan-akan pemain sandiwara wanita yang diperankan oleh kaum lelaki dengan suara yang dibikin-bikin. Keruan mereka saling pandang dengan melongo.

Maka terdengar Nyo Lian-ting menjawab dengan menghela napas, “Ya, apa daya, kalau aku tidak membawanya kemari, aku akan dibunuh olehnya. Sebelum mati bila aku tidak melihat kau lebih dulu, hal ini akan merupakan penyesalan besar selama hidupku.”

“Hah, siapakah yang begitu berani mati membikin susah padamu? Coba suruh dia masuk kemari,” seru orang di dalam itu dengan suara melengking.

Yim Ngo-heng memberi tanda agar semua orang ikut masuk ke dalam. Lebih dulu Siangkoan In menyingkap tirai pintu yang bersulam bunga yang indah, Nyo Lian-ting lantas digotong ke dalam, lalu semua orang ikut masuk ke situ. Ternyata di dalam kamar sebelah dalam itu terpajang sangat rajin dan indah dengan hiasan yang warna-warni, pada ujung kanan sana ada sebuah meja rias, di sampingnya duduk seorang dengan baju warna jambon, tangan kiri memegang sebuah bingkai sulaman, tangan kanan memegang sebuah jarum sulam, melihat masuknya orang-orang sebanyak itu, ia angkat kepalanya dengan rada heran.

Namun betapa herannya orang itu toh masih kalah besar herannya Yim Ngo-heng dan lain-lain terhadap orang di dalam kamar itu. Semua orang jelas mengenali orang berbaju jambon itu tak-lain tak-bukan Tonghong Put-pay yang selama belasan tahun ini menduduki jabatan kaucu Tiau-yang-sin-kau dengan gelar “jago silat nomor satu di dunia”. Hanya saja sekarang kumis jenggotnya telah dicukur bersih, yang luar biasa adalah mukanya pakai pupur dan bibir digincu segala, baju yang dipakainya itu bentuknya tidak laki tidak perempuan, warnanya juga terlalu mencolok sekalipun dipakai oleh gadis jelita sebagai Ing-ing.

Sungguh sukar untuk dipercaya oleh siapa pun juga bahwa kesatria yang namanya mengguncangkan Kangouw, seorang tokoh mahaagung, ternyata hidupnya sembunyi di dalam kamar wanita dan kerjanya menyulam. Benar-benar luar biasa kalau tidak menyaksikannya sendiri.

Tadinya Yim Ngo-heng penuh dendam dengan hati seperti terbakar, tapi demi melihat keadaan Tonghong Put-pay itu, merasa geli juga. Bentaknya segera, “Tonghong Put-pay, apa kau pura-pura gila?”

“O, Yim-kaucu kiranya!” jawab Tonghong Put-pay dengan suara melengking. “Memang sudah kuduga yang datang tentulah dirimu. Eh, Adik Lian, ken… kenapakah kau? Apa dia yang melukai kau?”

Cepat ia menubruk ke samping Nyo Lian-ting terus memondongnya dan perlahan-lahan dibaringkan di atas tempat tidurnya.

Seprai tempat tidurnya yang bersulam itu berbau sangat wangi. Dengan wajah yang penuh kasih sayang tak terhingga Tonghong Put-pay bertanya, “Ah, kau sangat kesakitan tentunya? O, cuma tulang kaki yang patah, tidak apa-apa, jangan khawatir, segera akan kusambungkan bagimu.”

Dengan hati-hati ia terus membukakan sepatu Nyo Lian-ting, lalu mencopot kaus kakinya, kemudian menyelimutinya pula, mirip sekali seorang istri setia melayani sang suami.

Pemandangan aneh itu membuat semua orang melongo heran dan geli, semuanya ingin tertawa, tapi pemandangan yang teramat lucu dan seram itu membuat mereka urung tertawa.

Dalam pada itu tertampak Tonghong Put-pay telah mengeluarkan sepotong saputangan sutra hijau, perlahan-lahan ia mengusap keringat dan kotoran di dahi dan muka Nyo Lian-ting.

Dilayani semanis itu, bukannya Nyo Lian-ting berterima kasih, sebaliknya ia menjadi marah dan mendamprat, “Musuh besar di hadapan mata, buat apa kau mengurusi aku segala? Kalau kau sudah membereskan musuh barulah nanti kita bermesra-mesraan.”

Tonghong Put-pay hanya tersenyum dan menjawab, “Baik, baik! Kau jangan marah, tentu kakimu terlalu sakit bukan? Ai, hatiku pun ikut pedih!”

Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan lain-lain terhitung tokoh-tokoh kelas wahid yang sudah kenyang asam garam kehidupan, namun pemandangan aneh yang mereka hadapi sekarang sungguh sukar dimengerti. Di dunia ini memang banyak terjadi hubungan-hubungan kelamin yang tidak sehat karena perubahan kejiwaan, misalnya laki-laki yang suka meniduri anak laki-laki tanggung, hubungan seks antara sejenis, dan macam-macam kelainan, namun seorang kaucu mahaagung sebagai Tonghong Put-pay ternyata rela berdandan sebagai wanita, jelas dia tentu sudah gila. Bahkan Nyo Lian-ting menghardik dan mengolok-oloknya secara menyakitkan hati, namun dia tetap sangat halus budi dan kasih sayang sebagaimana layaknya seorang istri setia. Keruan hal ini membuat semua orang terheran-heran dan merasa mual pula.

Tong Pek-him tidak tahan, ia melangkah maju dan berseru, “Tonghong-hengte, kau… sesungguhnya kau lagi apa-apaan ini?”

Tiba-tiba Tonghong Put-pay mengangkat kepalanya dan bertanya dengan wajah cemberut, “Apakah orang yang mencelakai Adik Lian juga termasuk kau ya?”

“Tonghong-hengte, mengapa kau terima dipermainkan orang she Nyo ini? Dia telah menyuruh seorang untuk memalsukan dirimu dan memberi perintah serta main kuasa sesukanya, apakah kau sudah mengetahui hal-hal itu?”

“Sudah tentu aku mengetahui,” jawab Tonghong Put-pay. “Demi kebaikankulah maka Adik Lian sedemikian rajin padaku. Dia tahu aku sungkan mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang membosankan itu, maka dia yang mengerjakannya bagiku, apa sih jeleknya?”

“Orang ini hendak membunuh aku, apakah kau pun tahu?” tanya Tong Pek-him sambil menuding Nyo Lian-ting.

“Aku tidak tahu,” sahut Tonghong Put-pay sambil menggeleng perlahan. “Tapi kalau Adik Lian mau membunuh kau tentu kaulah yang bersalah. Lalu mengapa kau tidak membiarkan dibunuh olehnya?”

Tong Pek-him melengak bingung. Tapi ia lantas mendongak dan bergelak tertawa, suara tertawa yang penuh rasa penasaran dan sedih. Katanya kemudian, “Jadi dia ingin bunuh aku dan kau lantas membiarkan dia membunuh sesukanya, begitu?”

“Ya, apa yang suka dilakukan oleh Adik Lian tentu akan kuusahakan agar keinginannya tercapai. Di dunia ini hanya dia seorang yang benar-benar baik padaku, maka aku pun akan berbuat baik baginya,” kata Tonghong Put-pay. “Tong-toako, kita pernah hidup bersama senasib dan setanggungan, selamanya kita bersahabat dengan akrab. Cuma tidak seharusnya kau membikin susah kepada Adik Lian.”

Dengan wajah merah padam Tong Pek-him berteriak, “Tadinya kukira kau kurang waras, rupanya kau pun cukup sadar dan masih ingat kita adalah sahabat karib dan punya hubungan akrab di masa lampau.”

“Ya. Jika kau bersalah padaku takkan menjadi soal, tapi kau bersalah pada Adik Lian, inilah tidak boleh,” kata Tonghong Put-pay.

“Dan sekarang aku sudah menyalahi dia, kau mau apa?” teriak Tong Pek-him pula. “Keparat ini hendak membunuh aku, hm, kukira tidaklah mudah memenuhi keinginannya itu.”

Perlahan-lahan Tonghong Put-pay membelai rambut Nyo Lian-ting dan bertanya dengan suara halus, “Adik Lian, apakah kau ingin membunuh dia?”

Nyo Lian-ting menjadi marah, omelnya, “Lekas kerjakan, kelemak-kelemek, bikin sebal saja?”

“Baik,” sahut Tonghong Put-pay dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Tong Pek-him, katanya, “Tong-heng, mulai hari ini kita putus hubungan dan rantas persaudaraan, jangan kau salahkan tindakanku ini.”

Ketika berangkat dari balairung tadi Tong Pek-him telah rampas sebuah golok dari seorang busu. Kini mendengar ucapan Tonghong Put-pay itu, tanpa terasa ia mundur dua tindak dan siap siaga. Ia cukup kenal betapa lihainya sang kaucu, meski sekarang tampaknya aneh, tapi tidak boleh dipandang ringan.

Tonghong Put-pay menyeringai, katanya dengan gegetun, “Hal ini sungguh serbasusah bagiku. Tong-heng, aku menjadi teringat kepada kejadian dahulu ketika kau menyelamatkan diriku dari kerubutan musuh-musuhku di Soatang, waktu itu aku sudah terluka parah, bila kau tidak membantu tentu aku takkan hidup lagi sampai saat ini.”

“Hm, rupanya kau belum lupa akan peristiwa lama itu,” jengek Tong Pek-him.

“Mana bisa lupa? Bahkan hal-hal lain pun aku ingat dengan baik,” ujar Tonghong Put-pay. “Umpamanya ketika dahulu aku merobohkan Yim-kaucu dengan obat tidur, perbuatanku kepergok Hwe-tong-tongcu Lo Ko-tek, syukur engkau telah membinasakan orang she Lo itu sehingga usahaku dapat terlaksana dengan lancar. Kau benar-benar saudaraku yang paling baik.”

Dengan air muka yang berubah Tong Pek-him melirik sekejap ke arah Yim Ngo-heng, jawabnya, “Memang salahku, pada waktu itu mungkin aku sudah pikun.”

“Kau tidak salah, kau pun tidak pikun, tapi kau memang sangat baik padaku,” kata Tonghong Put-pay. “Ketika berumur 11 aku sudah kenal kau. Waktu itu keluargaku sangat miskin, engkaulah yang selalu membantu kehidupan kami. Bahkan engkau pula yang mengongkosi penguburan-penguburan ayah-bundaku ketika mereka kemudian meninggal berturut-turut.”

“Urusan-urusan yang sudah lalu buat apa dibicarakan lagi?” ujar Tong Pek-him.

“Ai, Tong-toako, bukannya aku tidak punya liangsim (hati nurani) dan melupakan kebaikanmu di masa lampau, soalnya kau telah bersalah pada Adik Lian. Dia ingin membinasakan kau, ya, terpaksa aku tak punya jalan lain.”

“Sudahlah, sudahlah!” seru Tong Pek-him.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan merah berkelebat, tubuh Tonghong Put-pay seperti bergerak sedikit. Menyusul terdengar “trang” satu kali, golok yang dipegang Tong Pek-him jatuh ke lantai, lalu tubuh orang tua itu pun terhuyung-huyung, mulutnya tampak terbuka lebar, tapi tak mampu bersuara. Sekonyong-konyong tubuhnya jatuh ke depan untuk seterusnya tidak bergerak lagi.

Meski jatuhnya Tong Pek-him terjadi dengan cepat, namun Yim Ngo-heng dan jago-jago kelas tinggi lain sudah dapat melihat jelas pada hiat-to bagian-bagian tengah kedua alis, kedua pelipis, dan jin-tiong-hiat di bawah hidung (di atas bibir) ada suatu titik merah kecil dan merembes sedikit darah. Nyata tempat-tempat itu telah kena ditusuk oleh jarum sulam yang dipegang Tonghong Put-pay.

Menyaksikan kejadian luar biasa itu, mau tak mau tokoh-tokoh sebagai Yim Ngo-heng dan lain-lain tanpa terasa mundur dua-tiga tindak. Lenghou Tiong pegang tangan Ing-ing dan disembunyikan di belakangnya. Seketika suasana menjadi sunyi dan bernapas pun tidak berani keras-keras. Semua orang tahu ilmu silat Tonghong Put-pay teramat tinggi, tapi sama sekali orang tidak mengira sedemikian hebatnya, hanya dengan sebatang jarum kecil saja dengan kecepatan luar biasa dapat menusuk empat hiat-to mematikan di atas kepala Tong Pek-him. Padahal baru saja dia menguraikan macam-macam kebaikan orang tua itu, tapi dalam sekejap sahabat dan penolongnya di masa lampau itu sudah dibinasakan olehnya, betapa culas dan kejamnya sungguh membuat orang mengirik.

Perlahan-lahan Yim Ngo-heng melolos pedangnya dan berkata, “Tonghong Put-pay, aku mengucapkan selamat karena kau telah berhasil meyakinkan ilmu silat dalam Kui-hoa-po-tian.”

“Terima kasih Yim-kaucu. Kui-hoa-po-tian itu adalah pemberianmu, senantiasa aku ingat pada kebaikanmu,” jawab Tonghong Put-pay.

“Apa betul? Makanya kau mengurung aku di bawah Danau Se-ouw supaya aku tidak pernah melihat cahaya matahari lagi.”

“Aku kan tidak membinasakan kau toh? Coba kalau aku suruh Bwe-cheng-si-yu tidak mengantar air dan makanan padamu, dapatkah kau hidup sepuluh hari atau setengah bulan, apalagi hidup sampai sekarang?”

“O, jadi caramu memperlakukan diriku masih lumayan ya?”

“Memang,” sahut Tonghong Put-pay. “Aku sengaja mengatur pensiunmu di Hangciu dengan danaunya yang indah sebagai surga menurut kata orang.”

“O, kiranya kau memberi pensiun padaku di dalam penjara dasar danau yang gelap gulita itu. Wah, malahan aku harus berterima kasih padamu. Haha!!”


BAB 108. YIM NGO-HENG MENJADI KAUCU LAGI

“Yim-kaucu,” kata Tonghong Put-pay pula, “segala macam kebaikanmu padaku selamanya takkan kulupakan. Tadinya aku cuma seorang hiangcu, termasuk bawahan Tong-toako, tapi engkau menaruh perhatian padaku dan berulang-ulang memberi kenaikan pangkat padaku, sampai-sampai pusaka kita seperti Kui-hoa-po-tian juga kau wariskan padaku dan menunjuk diriku sebagai penggantimu kelak. Semua budi kebaikan ini takkan kulupakan selama hidup.”

Lenghou Tiong melirik sekejap ke arah mayat Tong Pek-him, pikirnya, “Tadi kau terus-menerus memuji kebaikan orang tua ini padamu, tapi mendadak kau membinasakannya. Sekarang kau hendak mengulangi kelicikanmu pada Yim-kaucu, masakah beliau dapat kau tipu?”

Namun cara turun tangan Tonghong Put-pay memang benar-benar terlalu cepat, sebelumnya juga tiada tanda-tanda sehingga sukar untuk menjaga diri. Terpaksa Lenghou Tiong siapkan pedangnya dengan ujung mengarah ke dada musuh, asal musuh sedikit bergerak saja segera ia akan mendahului menusuk, kalau sampai musuh mendahului lagi tentu di dalam kamar ini akan jatuh korban lagi.

Merasakan suasana yang gawat itu, Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, Siangkoan In, dan Ing-ing juga mencurahkan seluruh perhatian terhadap Tonghong Put-pay untuk menghadapi serangan yang mendadak.

Terdengar Tonghong Put-pay berkata lagi, “Semula hasratku hanya ingin menjadi kaucu, ingin panjang umur dan merajai jagat, sehingga selalu aku memeras otak untuk memikirkan cara merebut kedudukanmu dan menumpas begundalmu. Hiang-hengte, rencanaku ini rasanya sukar mengelabui kau, di dalam Tiau-yang-sin-kau, selain aku dan Yim-kaucu, kau adalah tokoh pilihan pula.”

Dengan memegang cambuknya Hiang Bun-thian menahan napas dengan tegang sehingga tidak berani menanggapi ucapan Tonghong Put-pay itu.

Tonghong Put-pay menghela napas, lalu berkata pula, “Ketika mulai menjadi kaucu, tadinya aku pun merasa syur dan ingin berbuat sesuatu yang berguna, kemudian aku meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian, lambat laun dapatlah kurasakan artinya orang hidup, aku meramu dan minum obat, akhirnya aku memahami kenikmatan orang hidup dan jalan penting menuju kehidupan abadi.”

Mendengarkan uraian Tonghong Put-pay dengan suaranya yang melengking itu, apa yang dikatakan juga masuk di akal, jelas otaknya cukup jernih, namun potongannya yang aneh, tidak laki tidak perempuan, keanehan inilah yang membikin orang mengirik.

Perlahan-lahan sinar mata Tonghong Put-pay beralih ke arah Ing-ing, tiba-tiba ia bertanya, “Yim-toasiocia, selama ini cara bagaimana aku terhadap dirimu?”

“Kau sangat baik padaku,” jawab Ing-ing.

“Sangat baik kukira juga tidak, hanya saja aku senantiasa sangat mengagumi dirimu,” ujar Tonghong Put-pay dengan menghela napas gegetun. “Seorang dilahirkan sebagai wanita sudah beratus kali lebih beruntung daripada kaum lelaki busuk, apalagi kau begini cantik, begini molek, muda dan lincah. Bila aku dapat bertukar tempat dengan kau, hah, jangankan sebagai Kaucu Tiau-yang-sin-kau, sekalipun menjadi raja juga aku tidak mau.”

“Bila kau bertukar tempat dengan Yim-toasiocia dan suruh aku menyukai siluman tua macam kau, wah, aku mesti pikir-pikir dua belas kali lebih dulu,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

Yim Ngo-heng dan lain-lain terkejut oleh ucapan Lenghou Tiong itu. Tertampak Tonghong Put-pay memandanginya dengan mata melotot, alisnya semakin menegak dengan wajah geram, katanya, “Siapa kau? Berani kau bicara begitu padaku, besar amat nyalimu ya?”

Dasar Lenghou Tiong memang pemberani, terhadap segala urusan apa pun biasanya juga suka acuh tak acuh, meski sudah tahu keadaan sangat berbahaya juga tak terpikir olehnya, dengan tertawa ia malah mengolok-olok lagi, “Apakah dia seorang laki-laki gagah atau dia seorang perempuan cantik, tapi yang paling menjemukan aku adalah teledek (ronggeng) laki-laki yang menyamar sebagai perempuan.”

“Aku tanya kau, siapa kau?” jerit Tonghong Put-pay dengan melengking.

“Aku bernama Lenghou Tiong!”

“Ah, kiranya kau inilah Lenghou Tiong. Sudah lama aku ingin melihat kau. Kabarnya Yim-toasiocia sangat kesengsem padamu, bagimu dia rela mengorbankan jiwanya, kukira entah betapa cakap dan ganteng kekasih idam-idamannya itu. Tapi, hm, nyatanya juga cuma begini saja, dibandingkan aku punya Adik Lian, wah, selisihnya terlalu jauh.”

“Cayhe memang orang biasa saja, yang penting dapat mencintai dengan hati yang bulat dan murni. Tentang anak bagus she Nyo ini, meski gagah dan ganteng, cuma sayang, dia terlalu bangor, suka petik bunga sini dan bedol rumput sana, di mana-mana suka main cinta….”

“Apa katamu, keparat! Ngaco-belo kau!” mendadak Tonghong Put-pay menggeram dengan wajah merah padam terus menubruk maju pula, dengan jarum sulam yang dipegangnya tadi dia menusuk ke muka Lenghou Tiong.

Rupanya Lenghou Tiong sudah dapat menerka ada hubungan istimewa antara Tonghong Put-pay dan Nyo Lian-ting, maka dia sengaja hendak membuatnya marah. Setiap jago silat bila timbul marah akan berarti berkurangnya pemusatan perhatian dan kepandaiannya akan terpengaruh. Benar juga, saking murkanya tusukan jarum Tonghong Put-pay itu menjadi rada kaku.

Kontan pedang Lenghou Tiong juga bergerak, “sret”, ia pun menusuk tenggorokan lawan. Tusukan ini sangat cepat, arahnya tepat pula, kalau Tonghong Put-pay tidak menarik diri berarti lehernya akan tembus. Tapi pada saat itulah tahu-tahu Lenghou Tiong merasa pipi kiri terasa sakit “cekit”, seperti digigit nyamuk, berbareng pedangnya terguncang ke samping.

Ternyata gerak Tonghong Put-pay benar-benar sukar dibayangkan cepatnya, pada detik secepat kilat itu jarumnya telah kena menusuk satu kali di pipi Lenghou Tiong, menyusul tangannya ditarik kembali, dengan jarum sulam itu ditangkisnya pedang Lenghou Tiong itu. Untung tusukan Lenghou Tiong itu pun teramat cepat dengan arah yang tepat sehingga terpaksa lawan harus menyelamatkan diri pula, karena itu tusukan jarum Tonghong Put-pay tadi rada menceng, mestinya yang diarah adalah jin-tiong-hiat di bawah hidung sasarannya.

Namun begitu hanya dengan menggunakan sebatang jarum kecil saja Tonghong Put-pay mampu menangkis pedang Lenghou Tiong sehingga tergetar ke samping, hal ini benar-benar hebat sekali, semua orang sama menjerit kaget dan kagum. Betapa tinggi ilmu silat Tonghong Put-pay sungguh sukar diukur.

Lenghou Tiong juga terkesiap, sadarlah dia hari ini telah ketemukan lawan tangguh yang belum pernah ditemui selama hidup. Bila lawan diberi kesempatan menyerang lagi akan berarti jiwa sendiri terancam. Maka tanpa ayal ia mendahului menyerang, “sret-sret” empat kali, semuanya menusuk ke tempat mematikan di tubuh musuh.

“Eh, hebat juga ilmu pedangmu!” Tonghong Put-pay merasa heran sambil memuji pula. Berbareng jarumnya juga bekerja empat kali, semua serangan Lenghou Tiong itu telah dapat ditangkis olehnya.

Mendadak Lenghou Tiong menggertak, pedangnya lantas membacok dari atas. Namun Tonghong Put-pay tetap menggunakan jarumnya yang diacungkan ke atas, bacokan pedang tertahan, tak sanggup menyambar ke bawah.

Tangan Lenghou Tiong merasakan linu pegal oleh getaran tenaga lawan, sekonyong-konyong bayangan merah berkelebat seperti ada sesuatu benda mencolok ke mata kirinya. Dalam keadaan demikian Lenghou Tiong tidak sempat menghindar maupun menangkis, sebisanya ia puntir pedangnya terus menusuk juga ke mata kiri Tonghong Put-pay dengan tidak kalah cepatnya, yang dia gunakan adalah serangan gugur bersama musuh.

Cara serangan Lenghou Tiong ini sebenarnya tidak “masuk buku” dalam ilmu silat mana pun juga, namun Tokko-kiu-kiam yang diyakinkan Lenghou Tiong itu memang tiada punya jurus serangan yang tetap, semuanya tergantung keadaan dan menurut kemauan pemakainya.

Lantaran sudah kepepet, maka tanpa pikir Lenghou Tiong juga melancarkan serangan yang sama dengan musuhnya. Begitulah segera ia merasa alis kiri sendiri terasa sakit cekit-cekit lagi, berbareng Tonghong Put-pay juga melompat ke samping untuk menghindarkan tusukan pedang.

Tahulah Lenghou Tiong bahwa alis kiri sendiri telah kena tusukan jarum lawan, untung Tonghong Put-pay terpaksa harus menghindarkan ancaman pedangnya sehingga jarumnya mengenai tempat yang kurang tepat, kalau tidak mata kirinya tentu sudah tertusuk buta. Saking kaget dan khawatirnya, segera Lenghou Tiong melancarkan serangan-serangan gencar, lawan tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.

Melihat gelagat jelek, tanpa bicara lagi Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian ikut menerjang maju. Tiga tokoh terkemuka bertempur bersama, sekalipun beribu-ribu prajurit juga tak mampu menandingi mereka, namun Tonghong Put-pay dengan hanya sebatang jarum sulam saja ternyata dapat menyelinap kian-kemari di antara mereka bertiga secepat kilat, sedikit pun tiada tanda-tanda akan terkalahkan.

Segera Siangkoan In mencabut goloknya dan maju membantu, keadaan menjadi empat lawan satu sekarang. Pada saat paling sengit, mendadak Siangkoan In menjerit, goloknya terpental jatuh, orangnya terjungkal sambil kedua tangan menutup mata kanannya, rupanya sebelah matanya telah tertusuk buta oleh jarum Tonghong Put-pay.

Melihat serangan kedua temannya bertambah hebat, Tonghong Put-pay tiada kesempatan melakukan serangan padanya, segera Lenghou Tiong hidupkan pedangnya, selalu menusuk tempat-tempat mematikan di tubuh musuh.

Kalau menilai ilmu pedang Lenghou Tiong, meski tokoh-tokoh seperti Tiong-hi Totiang yang terhitung jago pedang nomor wahid juga tidak mampu menahan serangan Tokko-kiu-kiam yang lihai itu, namun Tonghong Put-pay benar-benar luar biasa, dia bergerak ke sana dan melayang ke sini dengan enteng dan gesit laksana setan saja. Setiap kali tusukan Lenghou Tiong selalu mengarah tempat yang tak terjaga, tapi gerak tubuh Tonghong Put-pay terlalu cepat, pada detik-detik terakhir selalu dapat menghindarkan diri.

Sejenak kemudian, tiba-tiba Hiang Bun-thian menjerit perlahan, menyusul Lenghou Tiong juga berteriak tertahan, badan kedua orang sama-sama terkena tusukan jarum Tonghong Put-pay.

Walaupun ilmu “Gip-sing-tay-hoat” yang diyakinkan Yim Ngo-heng sangat tinggi, namun gerak tubuh Tonghong Put-pay terlalu cepat, sukar untuk beradu tangan dengan dia, pula senjata lawan itu cuma sebatang jarum sulam, untuk menyedot tenaga dalamnya melalui jarum sekecil itu terang tidak mungkin.

Tidak lama kemudian, Yim Ngo-heng juga berteriak perlahan, dada dan tenggorokannya juga terkena tusukan jarum, untung saat itu Lenghou Tiong sedang menyerang dengan gencar sehingga Tonghong Put-pay terpaksa harus membela diri, maka tusukan jarumnya kurang tepat atau kurang dalam menusuknya.

Empat orang mengerubuti Tonghong Put-pay sendirian, tapi keempat orang tidak mampu menyentuh bajunya sekali pun, sebaliknya keempat orang malah kena ditusuk oleh jarumnya.

Menyaksikan itu, Ing-ing menjadi khawatir, bila jarum itu berbisa, maka akibatnya sukar dibayangkan nanti. Pikirnya, “Tampaknya dengan satu lawan tiga tokoh Tonghong Put-pay tetap lebih unggul, kalau aku ikut maju mungkin malah akan mengganggu belaka dan mempercepat kemenangan lawan.”

Sekilas Ing-ing melihat Nyo Lian-ting telah duduk di tepi ranjang dan sedang mengikuti pertarungan sengit itu. Tiba-tiba tergerak hati Ing-ing, perlahan-lahan ia menggeser ke sana, secara mendadak ia angkat pedang pendek di tangan kiri terus menikam, tepat bahu kanan Nyo Lian-ting tertusuk.

Karena tidak tersangka-sangka, Nyo Lian-ting menjerit kaget dan kesakitan. Tapi menyusul Ing-ing menambahi satu tusukan lagi, sekali ini pada pahanya.

Rupanya Nyo Lian-ting dapat mengetahui maksud tujuan Ing-ing yang inginkan suara jeritannya untuk memencarkan perhatian Tonghong Put-pay, maka dia tidak menjerit lagi, sebaliknya ia menahan sakit sebisanya.

“Kau mau menjerit tidak? Akan kupotong jari tanganmu satu per satu!” ancam Ing-ing sambil ayun pedangnya, benar juga sepotong jari musuh segera ditebasnya.

Di luar dugaan Nyo Lian-ting itu memang bandel, biarpun terluka di sana-sini dan jarinya putus pula, namun sedikit pun ia tidak bersuara.

Namun begitu jeritan pertamanya tadi toh sudah didengar oleh Tonghong Put-pay. Ia sempat melirik dan melihat Ing-ing mendekati dan sedang mengancam Nyo Lian-ting, keruan ia menjadi khawatir dan gelisah, tanpa pikir ia terus menubruk ke arah Ing-ing memaki, “Budak keparat!”

Cepat Ing-ing mengegos, ia tidak tahu apakah gerakan demikian dapat menghindarkan tusukan jarum Tonghong Put-pay. Dalam pada itu dengan cepat sekali pedang Lenghou Tiong dan Yim Ngo-heng juga telah menusuk ke punggung Tonghong Put-pay. Sedangkan cambuk Hiang Bun-thian menyabet ke atas kepala Nyo Lian-ting.

Ternyata Tonghong Put-pay sama sekali tidak memikirkan keselamatan sendiri, ia tidak berusaha menangkis tusukan-tusukan pedang dari belakang itu, sebaliknya jarum terus membalik, “crit”, tepat dada Hiang Bun-thian tertusuk.

Kontan sekujur badan Hiang Bun-thian terasa kesemutan, cambuk jatuh ke lantai. Pada saat itu pula kedua pedang Lenghou Tiong dan Yim Ngo-heng juga telah menubles ke dalam punggung Tonghong Put-pay. Dengan tubuh tergetar Tonghong Put-pay menubruk ke atas badan Nyo Lian-ting.

Yim Ngo-heng sangat girang, ia tarik pedangnya, lalu ujung pedang mengancam di belakang leher Tonghong Put-pay sambil membentak, “Tonghong Put-pay, akhirnya sekarang kau jatuh di tanganku!”

Sementara itu Ing-ing belum lagi pulih dari cemasnya, kedua kakinya terasa lemas, tubuh sempoyongan hendak roboh. Cepat Lenghou Tiong memayangnya, dilihatnya satu jalur kecil berdarah menetes di pipi kiri si nona.

“Kau telah banyak terluka oleh jarumnya,” kata Ing-ing malah. Ia terus mengusap muka Lenghou Tiong dengan lengan bajunya, maka tertampaklah berbintik-bintik darah memenuhi lengan baju itu.

Biarpun tidak mengaca juga Lenghou Tiong tahu mukanya sendiri telah banyak dicocok oleh jarum lawan. Dilihatnya kedua luka di punggung Tonghong Put-pay mengucurkan darah dengan deras, nyata lukanya sangat parah, tapi mulutnya toh masih berseru, “Adik Lian, O, Adik Lian, kawanan manusia jahat ini telah menganiaya kau, kejam sekali mereka ini!”

Nyo Lian-ting menjadi marah malah, omelnya, “Biasanya kau suka sombong, katanya ilmu silatmu tiada tandingannya di seluruh jagat, mengapa sekarang kau tidak mampu membunuh keparat-keparat ini?”

“Aku… aku sudah berbuat sekuat tenaga, namun ilmu silat me… mereka rata-rata sangat… sangat tinggi,” jawab Tonghong Put-pay dengan suara lemah. Mendadak ia sempoyongan terus terguling di tanah.

Khawatir lawan akan melompat bangun dan menyerang lagi, segera Yim Ngo-heng mengayun pedangnya sehingga paha kiri Tonghong Put-pay terbacok.

“Yim-kaucu,” kata Tonghong Put-pay dengan menyengir, “akhirnya kau yang menang, aku sudah kalah.”

“Dan namamu yang hebat itu tentunya harus diganti, bukan?” sahut Yim Ngo-heng dengan terbahak-bahak.

“Tidak, buat apa diganti?” ujar Tonghong Put-pay sambil menggeleng. “Meski aku sudah kalah, tapi juga takkan hidup lagi di dunia ini. Coba… coba kalau bertempur satu lawan satu, kau pasti tak bisa mengalahkan aku.”

Yim Ngo-heng tertegun, jawabnya kemudian, “Benar, ilmu silatmu memang lebih tinggi daripadaku, aku kagum padamu.”

“Lenghou Tiong, ilmu pedangmu memang sangat tinggi, tapi kalau satu lawan satu kau pun bukan tandinganku,” kata Tonghong Put-pay pula.

“Betul,” jawab Lenghou Tiong. “Padahal biarpun kami berempat mengeroyok kau sekaligus juga tak dapat mengalahkan kau. Soalnya kau mengkhawatirkan orang she Nyo itu sehingga perhatianmu terpencar dan akhirnya dirobohkan. Ilmu silatmu sungguh luar biasa dan pantas disebut “nomor satu di dunia ini‟. Cayhe benar-benar sangat kagum.”

“Kalian berdua berani bicara demikian, hal ini memperlihatkan sifat kesatria sejati kalian,” kata Tonghong Put-pay dengan tersenyum. “Ai, sungguh sebal. Aku telah meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian itu, aku meramu dan minum obatnya, aku menurutkan resep rahasia di dalam kitab itu pula sehingga kebiri diri sendiri dan berlatih lwekangnya, lambat laun kumis jenggotku menjadi kelimis, suaraku berubah, watakku juga berubah. Aku tidak suka pada perempuan lagi, tapi… tapi mencurahkan perhatian kepada laki-laki gagah seperti Nyo Lian-ting ini. Semua ini bukankah sangat aneh? Meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian itu entah mendatangkan bahagia atau kemalangan, tapi kalau aku dilahirkan sebagai wanita tentu akan sangat baik. Yim-kaucu, segera aku… aku akan mati, ingin kumohon se… sesuatu padamu, harap engkau sudi… sudi meluluskan.”

“Urusan apa?” tanya Yim Ngo-heng.

“Harap kau suka mengampuni jiwa Nyo Lian-ting, usir saja dia pergi dari Hek-bok-keh ini,” pinta Tonghong Put-pay.

“Mana boleh,” jawab Ngo-heng. “Aku justru akan mengiris-iris dagingnya, akan kumampuskan dia dalam waktu seratus hari, ini hari kupotong jari tangannya, esok pagi kutebas jari kakinya dan….”

“Ke… kejam amat kau!” mendadak Tonghong Put-pay berteriak sambil melompat bangun terus menubruk ke arah Yim Ngo-heng.

Walaupun dalam keadaan terluka parah, namun tubrukan itu tetap sangat dahsyat. Yim Ngo-heng sempat memapaknya dengan tusukan pedang sehingga dari dada menembus ke punggung. Tapi pada saat yang sama Tonghong Put-pay menjentik jarinya, jarum yang dipegangnya itu terus menyambar ke depan dan menancap di tengah mata kanan Yim Ngo-heng. Untung waktu itu kekuatan Tonghong Put-pay sudah lemah, kalau tidak bukan mustahil jarum itu akan terus menembus ke dalam otak dan jiwa akan melayang. Namun begitu biji mata kanan Yim Ngo-heng itu jelas sudah rusak, pasti akan buta sebelah.

Cepat Ing-ing mendekati sang ayah, dilihatnya ekor jarum yang tertampak dari luar hanya sebagian kecil saja, ternyata jarum itu hampir seluruhnya menancap ke dalam rongga mata. Segera ia mencari bingkai sulam yang dibuang Tonghong Put-pay tadi, dari situ dilolosnya seutas benang, dengan hati-hati ia menyusup mata jarum dengan benang itu, kemudian ia pegang kedua ujung benang, lalu dicabut.

Yim Ngo-heng menjerit, jarum itu telah tercabut keluar dan tergantung di bawah benang dengan membawa beberapa tetes darah.

Dengan murka Yim Ngo-heng ayun sebelah kakinya, mayat Tonghong Put-pay itu ditendang sekerasnya. Kontan mayat itu mencelat, “blang”, dengan tepat menabrak kepala Nyo Lian-ting. Tendangan Yim Ngo-heng di waktu kalap itu sungguh luar biasa, kepala Tonghong Put-pay dan kepala Nyo Lian-ting saling bentur, keruan kepala pecah dan otak hancur.

Yim Ngo-heng telah dapat membalas dendam dan rebut kembali kedudukan Kaucu Tiau-yang-sin-kau, akan tetapi lantaran itu pula telah kehilangan sebelah matanya, seketika rasa girang dan murka berkecamuk, ia menengadah dan bergelak tertawa keras-keras, suaranya menggetar sukma.

“Selamatlah Kaucu telah dapat membalas dendam, sejak kini agama kita di bawah pimpinan Kaucu tentu akan makin berkembang. Semoga Kaucu panjang umur dan merajai jagat,” kata Siangkoan In.

Kalau tadinya Yim Ngo-heng merasa risi oleh istilah-istilah sanjung puji itu, tapi sekarang tiba-tiba merasa syur, kalau benar bisa panjang umur dan merajai jagat ini sungguh suatu kebahagiaan orang hidup. Karena itu kembali ia bergelak tertawa pula, tertawa yang puas dan senang.

Sementara itu Hiang Bun-thian yang dadanya tertutuk oleh jarum Tonghong Put-pay, setelah mengalami kesemutan sebentar, sekarang keadaannya sudah pulih kembali, segera ia pun mengucapkan selamat kepada sang kaucu.

“Pertarungan yang menentukan ini kau pun berjasa besar,” kata Yim Ngo-heng dengan tertawa, lalu ia berpaling kepada Lenghou Tiong, “Anak Tiong juga tak terhingga jasanya.”

“Tapi kalau Ing-ing tidak mengerjai Nyo Lian-ting, mungkin tidaklah mudah untuk mengalahkan Tonghong Put-pay,” ujar Lenghou Tiong. “Untunglah jarumnya itu tidak berbisa.”

Dengan perasaan yang belum tenang akan pertarungan sengit tadi, Ing-ing berkata, “Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi. Dia ini bukan manusia, tapi siluman. Waktu kecil sering aku dipondongnya dan diajak pergi jalan-jalan ke gunung dan memetik buah segala, siapa tahu akhirnya dia berubah menjadi begini.”

Dari baju Tonghong Put-pay dapatlah Yim Ngo-heng merogoh keluar sejilid buku yang tipis dan tampaknya sudah kuno. Diacungkannya buku itu dan berkata, “Inilah buku yang disebut “Kui-hoa-po-tian‟. Di atas jelas tercatat: Ingin meyakinkan ilmu sejati, ambil pisau kebiri diri sendiri. Haha, masakah aku begitu bodoh mau melakukan perbuatan tolol demikian…” sampai di sini mendadak ia menggumam, “akan tetapi ilmu silat yang tertulis di atas kitab ini memang amat lihai, setiap orang persilatan tentu akan tertarik bila membacanya. Tatkala mana untung aku sudah berhasil meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, kalau tidak bukan mustahil aku pun akan meyakinkan ilmu yang tertera di dalam kitab ini.”

Dia mendepak satu kali pula pada mayat Tonghong Put-pay, katanya dengan tertawa, “Hah, biarpun kau licin seperti setan juga tidak tahu maksud tujuanku memberikan kitab ini padamu. Ambisimu besar, semangatmu menyala-nyala, dan bermaksud naik ke atas, memangnya kau kira aku tidak tahu watakmu itu. Hahahahaha!”

Hati Lenghou Tiong terkesiap, baru sekarang ia tahu kiranya tujuan Yim-kaucu memberikan Kui-hoa-po-tian kepada Tonghong Put-pay bukanlah timbul dari maksud baik, tapi keduanya sama-sama punya rencana dan tujuan tertentu. Dilihatnya mata kanan Yim Ngo-heng yang terluka itu masih meneteskan darah, ditambah lagi dia mengakak dengan mulut lebar, tampangnya menjadi lebih beringas dan menyeramkan.

Tiba-tiba Yim Ngo-heng meraba selangkangan Tonghong Put-pay, benar juga terasa kedua “bola wasiat” di bagian situ sudah lenyap, memang betul sudah dikebiri. Dengan tertawa ia berkata pula, “Bila kaum thaykam (orang kasim) yang meyakinkan ilmu dalam kitab ini tentulah sangat tepat.”

Habis berkata ia remas-remas kitab pusaka itu dan digosok-gosok dengan kedua tangan, ketika kemudian ia membuka kedua tangannya, bertaburanlah kertas kecil-kecil, hancurlah kitab yang sudah amat kuno dan lapuk itu.

Ing-ing mendesis lega, katanya perlahan, “Benda celaka begitu memang paling baik dihancurkan saja.”

“Apa kau khawatir aku juga meyakinkan ilmunya?” kata Lenghou Tiong dengan perlahan.

“Cis, bicara tak keruan!” omel Ing-ing dengan muka merah. Lalu ia mengeluarkan obat luka untuk membubuhi luka-luka ayahnya, Siangkoan In dan lain-lain.

Begitulah Yim Ngo-heng berlima lantas keluar dari kamar Tonghong Put-pay itu dan kembali ke balairung. Yim Ngo-heng memberikan perintah agar para tongcu, hiangcu, dan pimpinan lain datang menghadap. Dengan berduduk di atas singgasana kaucu, Yim Ngo-heng merasa Tonghong Put-pay memang pintar dan bisa menikmati hidupnya sebagai seorang kaucu yang dipuja. Dengan duduk tinggi di atas podium, jaraknya cukup jauh dari bawahan yang datang menghadap, dengan sendirinya lantas timbul rasa jeri dan hormat anak buahnya.

“Coba kemarilah, Anak Tiong,” ia memanggil Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong lantas mendekatinya.

“Anak Tiong,” kata Yim Ngo-heng pula, “ketika di Hangciu dahulu aku pernah mengajak kau supaya masuk agama kita. Waktu itu aku sendirian dan baru lepas dari kesukaran, apa-apa yang kukatakan tentunya tak bisa kau percayai, tapi sekarang aku benar-benar telah duduk kembali di atas singgasana kaucu, maka urusan pertama tiada lain tetap persoalan dahulu…” sampai di sini ia tepuk-tepuk tempat duduknya dan menyambung pula, “tempat ini lambat atau cepat tentu juga akan kau duduki. Hahahahaha!”

“Kaucu,” jawab Lenghou Tiong, “betapa baik budi Ing-ing padaku, apa yang engkau kehendaki atas diriku sepantasnya tidak dapat kutolak. Cuma aku sudah berjanji kepada orang akan menyelesaikan sesuatu urusan penting, maka tentang masuk agama terpaksa tidak dapat kupenuhi.”

Perlahan-lahan kedua alis Yim Ngo-heng menegak, katanya dengan suara dingin, “Apa akibatnya bagi orang yang tidak tunduk kepada keinginanku, tentu kau cukup tahu!”

Cepat Ing-ing mendekati Lenghou Tiong dan memegang tangannya, katanya, “Ayah, hari ini adalah hari bahagiamu karena menduduki kembali singgasanamu, kenapa mesti ribut urusan soal kecil ini? Tentang masuknya dia ke dalam agama kita biarlah dibicarakan kelak saja.”

Dengan mata kirinya Yim Ngo-heng melerok kepada kedua muda-mudi itu, dengusnya kemudian, “Ing-ing, sekarang yang kau inginkan cuma suami dan tidak mau ayah lagi ya?”

Cepat Hiang Bun-thian menengahi dengan tertawa, “Kaucu, Lenghou-hiante adalah kesatria muda yang berwatak kukuh, biarlah nanti kuberi pengertian padanya….”

Bicara sampai di sini, terdengarlah di luar balairung suara belasan orang berseru berbareng, “Para tongcu dan hiangcu dengan ini menyampaikan sembah bakti kepada Kaucu mahaagung dan mahabijaksana, semoga Kaucu panjang umur dan….” begitulah disertai istilah-istilah sanjung puji yang muluk-muluk.

“Masuk!” bentak Yim Ngo-heng.

Maka muncullah belasan laki-laki kekar ke dalam balairung, serentak berlutut dan menyembah secara berjajar-jajar.

Dahulu ketika Yim Ngo-heng menjabat kaucu selamanya ia saling sebut saudara dengan para anggota Tiau-yang-sin-kau, di waktu bertemu dan memberi hormat paling-paling juga cuma soja (dengan mengepal kedua tangan di depan dada) melulu. Kini melihat orang-orang itu sama menyembah padanya, cepat Yim Ngo-heng berbangkit dan bermaksud mencegah. Tapi tiba-tiba terpikir olehnya bahwa seorang pimpinan harus berwibawa dan mengadakan peraturan-peraturan yang mengikat, kalau Tonghong Put-pay sudah mengadakan tata cara menyembah segala, apa salahnya peraturan ini diteruskan. Karena pikiran ini ia urung mencegah dan duduk kembali di tempatnya.

Tidak lama, kembali suatu rombongan lain masuk memberi hormat, sekali ini Yim Ngo-heng tidak berdiri lagi, penghormatan itu diterimanya dengan senang hati sambil manggut-manggut.

Sementara itu Lenghou Tiong sudah mengundurkan diri ke ambang pintu balairung, jaraknya sudah jauh dengan singgasana sang kaucu, cahaya lilin juga remang-remang, dipandang dari jauh wajah Yim Ngo-heng tampak samar-samar, tiba-tiba timbul pikirannya, “Yang duduk di atas singgasana itu Yim Ngo-heng atau Tonghong Put-pay? Apa sih bedanya di antara mereka?”

Didengarnya para tongcu dan hiangcu di balairung itu ramai memberikan pujian-pujian kepada sang kaucu. Rupanya di antaranya banyak yang ketakutan karena selama belasan tahun ini mereka mengabdi kepada Tonghong Put-pay, kalau sekarang Yim-kaucu mengusut perbuatan mereka itu tentu bisa celaka. Sebagian lagi mungkin adalah orang baru, hakikatnya mereka tidak kenal siapa Yim Ngo-heng, tapi mereka sudah biasa menyanjung dan mengumpak Tonghong Put-pay serta Nyo Lian-ting agar terhindar dari bahaya dan mungkin malah bisa naik pangkat, maka seperti biasa mereka pun berteriak-teriak memuja untuk menarik perhatian kaucu baru.

Saat itu sang surya sudah menongol di ufuk timur, sinarnya yang lembut menembus ke dalam balairung sehingga tertampak bayangan punggung ratusan orang yang berlutut di situ sedang menyerukan puja-puji yang memualkan, pikir Lenghou Tiong, “Sebenarnya kalau aku sudah menyelesaikan urusan Ngo-gak-kiam-pay, bila Ing-ing berkeras minta aku masuk Tiau-yang-sin-kau, rasanya sukar bagiku untuk menolaknya. Tapi kalau aku diharuskan berbuat seperti ratusan orang ini, betapa pun aku tidak sanggup. Semula kukira tingkah laku demikian ini adalah permainan Tonghong Put-pay dan Nyo Lian-ting yang bertujuan menyiksa anak buahnya, tapi melihat gelagatnya sekarang Yim-kaucu juga sangat senang dipuji, sedikit pun tidak merasa risi.”

Dalam pada itu terdengar suara gelak tertawa Yim Ngo-heng berkumandang dari ujung balairung sana, katanya, “Tentang segala perbuatan kalian di bawah pimpinan Tonghong Put-pay telah diketahui dengan jelas dan telah kucatat satu per satu. Namun sang kaucu takkan mengusut kejadian yang sudah-sudah, asalkan selanjutnya kalian setia dan berbakti kepada sang kaucu. Tapi bila ada seorang yang berani membangkang dan berkhianat, maka dosa yang sudah-sudah akan sekaligus dituntut. Seorang bersalah, segenap keluarganya ikut bertanggung jawab dan dihukum mati semua.”

Serentak orang-orang itu menyatakan terima kasih mereka atas kemurahan hati sang kaucu serta menyatakan kesetiaan mereka selanjutnya. Dari suara mereka yang gemetar itu jelas dalam hati mereka itu sangat takut.

Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Cara Yim-kaucu tiada ubahnya seperti Tonghong Put-pay, menegakkan wibawa dengan kekerasan, meski lahirnya orang-orang itu tunduk, tapi dalam hati tentu memberontak, lalu dari mana “kesetiaan‟ mereka bisa dipercayakan?”

Menyusul lantas ada orang membongkar dosa Tonghong Put-pay, katanya bekas kaucu itu terlalu memercayai Nyo Lian-ting dan main bunuh secara sewenang-wenang. Ada pula yang mengadu, katanya Tonghong Put-pay suka korupsi, menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi. Ada lagi yang mengoceh, katanya ilmu silat Tonghong Put-pay sebenarnya sangat rendah, tapi suka berlagak dan main gertak melulu. Yang paling menggelikan ialah pengaduan seorang yang katanya Tonghong Put-pay sangat cabul, suka main perempuan dan memerkosa anak istri anak buahnya.

Padahal sudah jelas Tonghong Put-pay demi untuk meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian, maka dia telah

kebiri alat kelamin sendiri sehingga sudah jadi banci, dengan cara bagaimana dia bisa main perempuan dan perkosa anak istri orang? Sungguh terlalu lucu. Saking gelinya Lenghou Tiong sampai terbahak-bahak sehingga suaranya berkumandang memenuhi balairung itu. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arahnya dengan mata melotot gusar.

Ing-ing tahu kekasihnya telah menimbulkan onar, lekas ia tarik tangan Lenghou Tiong, katanya, “Mereka sedang membicarakan urusan Tonghong Put-pay, tiada sesuatu yang menarik, marilah kita turun ke bawah saja.”

“Ya, jangan-jangan ayahmu menjadi marah dan kepalaku dipenggal,” ujar Lenghou Tiong dengan menjulurkan lidah. Segera mereka keluar dari balairung dan turun ke bawah dengan keranjang kerekan.

Mereka berdua duduk bersanding di dalam keranjang, awan putih mengambang di sekeliling mereka, Lenghou Tiong merasa apa yang baru terjadi itu sebagai mimpi saja. Ia pikir selanjutnya betapa pun aku takkan naik ke atas Hek-bok-keh lagi.

“Apa yang sedang kau renungkan, Engkoh Tiong?” tanya Ing-ing tiba-tiba.

“Apakah kau mau pergi bersama aku?” kata Lenghou Tiong.

Muka Ing-ing menjadi merah, jawabnya dengan tergagap, “Tapi kita belum… belum lagi menikah, mana boleh aku ikut pergi dengan kau?”

“Bukankah dahulu kau pun ikut aku berkelana di dunia Kang-ouw?” ujar Lenghou Tiong.


BAB 109. ANTARA GURU DOGOL DAN MURID ISTIMEWA

“Dahulu itu kan terpaksa, apalagi lantaran itu telah timbul banyak omongan-omongan iseng,” kata Ing-ing. “Tadi Ayah mengatakan aku… aku hanya memikirkan kau dan tidak mau ayah lagi, kalau sekarang aku benar ikut pergi bersama kau tentu Ayah tambah marah. Setelah mengalami penderitaan-penderitaan selama belasan tahun agaknya watak Ayah rada-rada berubah aneh, kupikir harus menjaganya dengan baik-baik dan tidak tega berpisah dengan beliau. Asalkan hatimu tidak berubah, selanjutnya waktu berkumpul kita kan masih panjang?”

Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan lirih sehingga hampir-hampir tak terdengar. Kebetulan waktu itu segumpal mega putih melayang tiba sehingga mereka seperti terbungkus di dalam awan. Meski mereka duduk bersanding, namun tampaknya hanya remang-remang, jarak keduanya seperti sangat jauh.

Setiba di bawah tebing dan keluar dari keranjang bambu, dengan suara berat Ing-ing bertanya, “Apakah kau akan terus berangkat?”

“Ya,” jawab Lenghou Tiong. “Co Leng-tan, itu ketua Ko-san-pay telah mengundang segenap anggota Ngo-gak-kiam-pay untuk berkumpul pada tanggal 15 bulan tiga untuk memilih ketua Ngo-gak-pay. Dia punya ambisi sangat besar dan bermaksud buruk terhadap kesatria-kesatria seluruh jagat. Maka pertemuan di Ko-san itu harus kuhadiri.”

Ing-ing mengangguk, katanya, “Engkoh Tiong, ilmu pedang Co Leng-tan bukan tandinganmu, tapi kau harus hati-hati terhadap tipu muslihatnya.”

Lenghou Tiong mengiakan. Lalu Ing-ing menyambung pula, “Mestinya aku ingin ikut pergi, cuma aku adalah perempuan Mo-kau, kalau pergi ke Ko-san bersama kau tentu akan merintangi urusanmu.”

Ia merandek sejenak, kemudian meneruskan dengan rasa cemas, “Bila nanti kau berhasil menjadi ketua Ngo-gak-pay, namamu akan termasyhur di seluruh dunia, sedangkan kita dari golongan cing dan sia yang tidak sama, kukira urusan kita akan… akan lebih sulit.”

“Dalam keadaan begitu masakah kau masih tidak memercayai diriku?” ujar Lenghou Tiong dengan suara halus dan memegang tangan nona erat-erat.

“Tentu saja aku percaya,” sahut Ing-ing dengan tersenyum. Selang sejenak ia berkata pula dengan khawatir, “Cuma kurasa semakin tinggi ilmu silat yang dicapai seseorang, semakin besar pula namanya di dunia persilatan, sering kali hal ini akan mengubah wataknya. Dia sendiri mungkin tidak sadar, tapi macam-macam urusan selalu berlainan dengan masa-masa sebelumnya. Tonghong-sioksiok begitu, kukhawatir Ayah mungkin juga akan begitu.”

“Kau jangan khawatir, Ing-ing,” kata Lenghou Tiong. “Orang lain mungkin begitu, tapi aku pasti tidak. Pembawaanku adalah suka terus terang, tidak bisa berlagak. Andaikan aku menjadi sombong dan kepala besar, tapi di hadapanmu aku akan tetap seperti sekarang.”

“Jika begitu tentu sangat baik,” ujar Ing-ing.

Lenghou Tiong menarik tubuh si nona lebih dekat, perlahan-lahan merangkul pinggangnya, katanya pula, “Sekarang aku mohon diri padamu. Setelah urusan penting di Ko-san itu beres segera aku akan datang mencari kau. Sejak itu kita berdua takkan berpisah pula.”

Sorot mata Ing-ing menjadi terang, memancarkan cahaya yang aneh, katanya dengan berat, “Semoga usahamu berhasil dengan baik dan secepatnya kembali. Siang dan malam aku… aku menantikan kau di sini.”

“Baiklah,” kata Lenghou Tiong sambil perlahan-lahan mencium pipi si nona.

Keruan wajah Ing-ing menjadi merah, dengan malu ia mendorong perlahan. Lenghou Tiong terbahak-bahak dan mendekati kudanya, dicemplaknya ke atas kuda dan dilarikan meninggalkan pusat Tiau-yang-sin-kau itu.

Suatu hari sampailah Lenghou Tiong di Hing-san. Beramai-ramai anak murid Hing-san-pay menyambut kembalinya sang ketua dengan gembira. Tidak antara lama para kesatria yang tinggal di puncak seberang juga membanjir tiba untuk menemui Lenghou Tiong.

Lenghou Tiong menanyakan keadaan mereka selama ditinggal pergi, menurut Coh Jian-jiu para kesatria itu hidup prihatin, semuanya giat berlatih dengan tertib, tiada seorang pun yang berani datang ke puncak induk. Lenghou Tiong bersyukur bahwa mereka bisa menjaga peraturan dengan baik.

Sementara itu pertemuan di Ko-san pada tanggal 15 bulan tiga sudah mendekat, Lenghou Tiong lantas berkata kepada mereka, “Tempo hari waktu aku diangkat menjadi ketua, pihak Ko-san-pay telah mengutus seorang bernama Lim Ho dengan membawa apa yang disebut Ngo-gak-leng-ki dan mengharuskan aku berkumpul di Ko-san pada tanggal 15 bulan tiga yang akan datang, hal mana tentu kalian ikut menyaksikan bukan?”

“Benar, tapi buat apa ambil pusing?” ujar Tho-kin-sian. “Silakan Ciangbunjin memberikan sebuah Ngo-gak-leng-ki padaku, biar aku pergi ke Ko-san dan suruh ketua mereka yang datang ke Hing-san sini.”

“Kalau dia tidak mau datang, lantas bagaimana?” sela Tho-ki-sian.

“Jika kau apa yang akan kau lakukan?” Tho-kin-sian balas bertanya.

“Begini, bret, habis perkara,” timbrung Tho-yap-sian sambil kedua tangannya bergerak seperti merobek sesuatu. Maksudnya kalau perlu Co Leng-tan dirobek saja menjadi empat potong. Maka bergelak tertawalah semua orang.

“Tapi katanya para ciangbunjin dari Ngo-gak-kiam-pay akan berkumpul semua pada hari yang ditentukan itu, kalau kita memanggil ketua Ko-san-pay itu ke sini, untuk itu kita harus memberi makan-minum padanya, kita kan rugi kalau begini? Pula kurang ramai. Maka aku berpendapat ada lebih baik kalau kita beramai-ramai mendatangi Ko-san, kita makan dan minum suguhannya, ribuan orang kita makan-minum sepuas-puasnya biar dia jatuh bangkrut, cara begini kan lebih baik?” kata Lenghou Tiong.

Memangnya para kesatria itu sudah bosan hidup menyepi, keruan serentak mereka bersorak gembira mendengar usul Lenghou Tiong.

“Dan setiba di Ko-san nanti cara kalian makan-minum juga tidak perlu sungkan-sungkan agar orang tahu bahwa kita selamanya tidak pernah berhemat dalam hal makan-minum,” demikian Lenghou Tiong menambahkan.

Begitulah besok paginya rombongan besar mereka lantas berangkat menuju ke Ko-san. Beberapa hari kemudian sampailah mereka di tepi Hongho dan berkemah di situ malamnya. Esok paginya ketika Lenghou Tiong bangun, ia merasa suasana sekitarnya sunyi senyap, sama sekali berbeda daripada biasanya. Semalam ia adu minum arak dengan para kesatria sehingga tidurnya terlalu lelap. Kini ia merasakan sesuatu yang kurang baik, jangan-jangan karena mabuknya semalam sehingga para anak murid perempuan masuk perangkap musuh.

Cepat Lenghou Tiong mengenakan baju dan keluar kemah sambil memanggil Gi-lim dan lain-lain. Dengar panggilan sang pemimpin, Gi-lim dan teman-temannya lantas muncul dan menanyakan ada urusan apa.

Melihat Gi-lim dan lain-lain baik-baik saja, Lenghou Tiong merasa lega. Tiba-tiba datang Gi-jing dan melapor dengan tertawa, “Toasuko, kawan-kawan priamu itu semalam entah betapa banyak menenggak arak, masakah sampai saat ini tiada seorang pun yang bangun.”

Waktu Lenghou Tiong mendongak, dilihatnya sang surya sudah cukup tinggi di ujung timur. “Masakah tiada seorang pun yang bangun?” ia menegas.

“Ya, tiada seorang pun, memang rada aneh,” ujar Gi-lim dengan tersenyum.

Seketika Lenghou Tiong merasa ada sesuatu yang tidak beres, mustahil di antara ribuan orang itu tiada seorang pun yang bangun pagi karena mabuk-mabukan semalam, apalagi di antara mereka sedikitnya ada berpuluh orang yang tidak gemar minum arak.

Dengan perasaan tidak enak, cepat Lenghou Tiong mendatangi kemah para kesatria, ternyata di situ dalam keadaan kosong melompong tiada seorang pun. Hanya ditemukan secarik surat yang ditandatangani oleh Keh Bu-si, Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan lain-lain, bunyi surat itu mengatakan bahwa semalam mereka menerima Hek-bok-leng dari Sin-yang-kaucu yang memberi perintah agar segenap kesatria itu segera pulang ke Hek-bok-keh, karena terburu-buru sehingga tidak sempat mohon diri, maka Lenghou Tiong diminta sudi memberi maaf.

Melihat surat itu, legalah hati Lenghou Tiong walaupun rada bingung juga karena tidak tahu apa sebabnya mendadak Yim-kaucu memerintahkan semua orang itu meninggalkannya? Ia pikir tentu Yim-kaucu tidak senang karena penolakannya masuk menjadi anggota Sin-kau, pula dirinya telah tertawa ketika mereka mencaci maki Tonghong Put-pay di balairung panjang tempo hari, tentu hal ini telah membuat Yim-kaucu marah pula.

Dalam pada itu Gi-lim, Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain juga sudah menyusul tiba, mereka pun terheran-heran setelah mengetahui kepergian para kesatria tanpa pamit.

“Kebetulan juga kalau mereka sudah pergi semua,” ujar Gi-ho. “Di sini mereka hanya bikin rusuh saja dan kita harus khawatir setiap hari.”

Pada saat itu sekonyong-konyong di kemah sebelah sana ada suara gedubrakan. “Apa itu?” seru Gi-ho sambil berlari ke sana. Ternyata ada beberapa orang bertumpang-tindih menjadi satu, kiranya Tho-kok-lak-sian adanya. Cepat ia berseru, “Lekas kemari, Toasuko!”

Lenghou Tiong memang sudah menyusul tiba dan menyaksikan keadaan Tho-kok-lak-sian yang lucu itu. Cepat ia mendekati dan menurunkan Tho-kin-sian yang berada paling atas.

Ternyata di mulut Tho-kin-sian tersumbat satu buah tho, segera Lenghou Tiong mengoreknya keluar. Tapi begitu mulutnya bebas, kontan Tho-kin-sian memaki, “Keparat, bedebah, jahanam! Nenek moyangmu disambar geledek….”

“Eh, Tho-kin Toako, aku kan tidak salah padamu, kenapa kau mencaci maki aku?” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.

“Aku tidak memaki kau,” kata Tho-kin-sian. “Bangsat, pura-pura ajak minum, tapi mendadak menutuk hiat-toku. Dasar keparat, Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu memang bangsat….”

Baru sekarang Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Soalnya Tho-kok-lak-sian bukan anggota Mo-kau, dengan sendirinya mereka tidak terikat oleh perintah Yim Ngo-heng. Sebaliknya Lo Thau-cu dan lain-lain khawatir keenam orang dogol itu melaporkan kepergian mereka, maka secara tak terduga-duga mereka menutuk hiat-to Tho-kok-lak-sian serta menyumbat pula mulut mereka.

Begitulah Lenghou Tiong lantas membuka hiat-to Tho-kin-sian yang tertutuk itu, lalu tinggal keluar. Tapi sampai lama sekali tidak tampak Tho-kok-lak-sian keluar. Ia heran, ia coba masuk lagi, dilihatnya Tho-kin-sian sedang mondar-mandir di situ dengan tersenyum-senyum, ternyata sejak tadi dia tidak memberi pertolongan kepada kelima saudaranya yang lain.

Dengan tertawa geli Lenghou Tiong lantas membuka hiat-to kelima orang yang masih tumpang-tindih itu, lalu cepat keluar lagi. Maka terdengarlah segera suara gedebukan di dalam, terang keenam saudara itu sedang saling tonjok.

Lenghou Tiong berjalan menyusuri jalan tepi sawah sambil membayangkan kedogolan Tho-kok-lak-sian. Tiba-tiba terpikir olehnya, “Mendadak Yim-kaucu memerintahkan segenap anak buahnya kembali ke Hek-bok-keh di luar tahuku, ini menandakan dia sangat marah padaku. Yang paling tidak enak dalam hal ini tentulah Ing-ing karena serbasusah, di suatu pihak dia harus tunduk kepada ayahnya, di lain pihak dia ingin membela aku.”

Teringat kepada Ing-ing, tanpa terasa Lenghou Tiong menghela napas. Tiba-tiba di belakangnya suara seorang perempuan menegur, “Lenghou-toako, hatimu murung sekali, bukan?”

Waktu Lenghou Tiong menoleh, kiranya Gi-lim adanya. “O, tidak,” jawabnya. “Aku hanya merasa kesepian karena mendadak ditinggalkan para sahabat.”

“Orang-orang itu tunduk sekali kepada perintah Yim-siocia, sedangkan Yim-siocia teramat baik padamu, apakah perbuatan mereka itu tidak takut dimarahi Yim-siocia?”

“Ayah Yim-siocia sekarang adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, mereka harus tunduk kepada perintah sang kaucu, kalau tidak tubuh mereka bisa membusuk karena banyak di antara mereka telah makan obat pembusuk tubuh dari Yim-kaucu.”

“Aku ingin tanya sesuatu padamu, boleh tidak Lenghou-toako?” kata Gi-lim.

“Tentu saja boleh,” jawab Lenghou Tiong. “Urusan apakah?”

“Sesungguhnya kau lebih suka kepada Yim-siocia atau lebih suka kepada kau punya Gak-sumoay?”

Lenghou Tiong melengak, dengan rada kikuk ia menjawab, “Mengapa mendadak kau bertanya persoalan ini?”

“Gi-ho dan Gi-jing Suci yang suruh aku tanya padamu,” kata Gi-lim.

Lenghou Tiong tambah heran, jawabnya dengan tersenyum, “Mereka adalah orang agama, mengapa tanya hal-hal demikian?”

Gi-lim menunduk, katanya, “Lenghou-toako, urusan siausumoaymu itu selamanya tak pernah kukatakan kepada orang lain. Cuma Gi-ho Suci pernah melukai Gak-siocia sehingga kedua pihak timbul perselisihan. Maka ketika kedua suci kami datang ke Hoa-san untuk menyampaikan berita diangkatnya engkau menjadi ketua Hing-san-pay, mereka telah ditahan oleh Hoa-san-pay.”

“Ya, ingatlah aku, memangnya aku juga merasa khawatir mengapa mereka berdua tidak kembali sampai sekarang, kiranya mereka telah ditahan oleh Hoa-san-pay. Dari mana kau mendapat kabar ini?”

“Si… si Dian Pek-kong itu yang bilang,” jawab Gi-lim dengan malu-malu.

“O, muridmu itu?”

“Ya, ketika engkau ke Hek-bok-keh, para suci telah menyuruh dia ke Hoa-san untuk mencari berita.”

“Dengan ginkang yang tinggi, Dian Pek-kong memang tepat disuruh menyelidiki sesuatu. Dan kedua sucimu itu apakah dijumpai olehnya?”

“Ya, cuma penjagaan Hoa-san-pay terlalu keras, dia tidak sanggup menolong mereka, syukur kedua suci tidak terlalu menderita. Pula aku telah memberi pesan padanya supaya jangan main kekerasan dan memusuhi Hoa-san-pay agar tidak membikin marah padamu.”

“Kau memberi pesan padanya segala, wah, lagaknya seorang guru benar-benar,” kata Lenghou Tiong. “Lalu apa lagi yang dilihat Dian Pek-kong di Hoa-san?”

“Katanya dia kebetulan melihat suatu perayaan pesta kawin di sana, kiranya gurumu sedang mengunduh mantu….”

Sekonyong-konyong wajah Lenghou Tiong berubah hebat, keruan Gi-lim terkejut dan cepat tutup mulut.

“Bi… bicaralah terus, tak… tak apa-apa,” kata Lenghou Tiong dengan napas memburu, tenggorokannya seperti tersumbat.

“Hendaklah kau jangan sedih, Lenghou-toako,” kata Gi-lim. “Gi-ho dan Gi-jing berdua suci juga mengatakan bahwa biarpun Yim-siocia adalah orang Mo-kau, tapi dia cantik molek, ilmu silatnya juga tinggi, setiap hal juga sepuluh kali lebih baik daripada Gak-siocia.”

“Apa yang kusedihkan?” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum getir. “Bila siausumoay mendapatkan jodoh yang baik, aku justru ikut merasa senang baginya. Apakah Dian… Dian Pek-kong juga melihat siausumoayku?”

“Dian Pek-kong hanya melihat suasana sangat ramai di sana, banyak tamu-tamu dari berbagai golongan datang memberi selamat. Dan Gak-siansing ternyata tidak memberitahukan kepada Hing-san-pay kita, rupanya kita telah dipandang sebagai musuh.”

Lenghou Tiong mengangguk-angguk. Lalu Gi-lim menyambung pula, “Ih Soh dan Gi-bun Suci dengan maksud baik menyampaikan undangan kepada Hoa-san-pay. Mereka tidak mengirim utusan untuk mengucapkan selamat padamu sebagai ciangbunjin baru, sebaliknya utusan kita malah ditahan oleh mereka. Maka menurut pendapat Gi-ho dan Gi-jing Suci, kita juga tidak perlu sungkan-sungkan lagi terhadap Hoa-san-pay yang tidak tahu aturan itu, kelak kalau kita bertemu mereka di Ko-san, secara tegas kita akan tanya mereka dan suruh mereka membebaskan Gi-bun Suci berdua.”

Kembali Lenghou Tiong hanya manggut-manggut saja.

Melihat sikap Lenghou Tiong yang linglung itu, Gi-lim menghela napas dan menambahkan, “Lenghou-toako, hendaklah engkau hati-hati!”

Habis itu ia lantas meninggalkannya.

Melihat Gi-lim makin menjauh melangkah pergi, tiba-tiba Lenghou Tiong ingat sesuatu, cepat ia berseru, “Sumoay!”

Gi-lim berhenti dan menoleh ke belakang. Terdengar Lenghou Tiong bertanya, “Yang menikah dengan siausumoay….”

“Yaitu pemuda she Lim,” kata Gi-lim. Dengan langkah cepat ia mendekati Lenghou Tiong pula, ia pegang lengan bajunya dan berkata pula, “Toako, orang she Lim itu secuil pun tak bisa membandingi kau. Gak-siocia memang ceroboh sehingga sudi menikah padanya. Para suci khawatir engkau masygul, maka hal ini tetap dirahasiakan sampai sekarang. Akan tetapi dalam beberapa hari lagi di Ko-san nanti besar kemungkinan kita akan bertemu dengan Gak-siocia serta suaminya, bila mendadak engkau melihat dandanan Gak-siocia telah berubah menjadi seorang pengantin baru, bisa jadi engkau akan… akan bingung dan bikin runyam urusan. Menurut pendapat para kawan, akan sangat baik sekali jika Yim-siocia berada di sampingmu. Para suci menyuruh aku agar menasihatkan kau supaya jangan memikirkan Gak-siocia yang tidak punya pendirian itu.”

Lenghou Tiong tersenyum getir. Ia merasa terima kasih terhadap perhatian Gi-ho dan lain-lain terhadapnya, pantas mereka memberi pelayanan yang lebih mesra selama dalam perjalanan, rupanya mereka khawatir hatiku berduka. Demikian pikirnya. Tiba-tiba terasa telapak tangannya tertetes beberapa titik air, ia terkejut dan berpaling, kiranya air mata Gi-lim yang berlinang-linang. “He, ken… kenapakah kau?” tanyanya heran.

“Aku… aku tidak tega melihat engkau berduka,” jawab Gi-lim. “Toako, jika engkau ingin menangis, maka silakan menangis saja sepuasnya.”

“Hahaha, mengapa aku menangis?” ujar Lenghou Tiong sambil bergelak tertawa. “Aku adalah pemuda yang bandel sehingga sudah lama diusir oleh guru dan ibu guru. Masakah mungkin siausumoay mau… mau… Hahahaha!”

Sambil tertawa ia terus berlari cepat ke depan. Sekali lari ternyata tidak berhenti sehingga tanpa terasa lebih 50 li jauhnya. Sampai di suatu tempat yang sepi, terasalah sedih yang tak tertahankan, ia menjatuhkan diri di tanah rumput dan menangislah keras

Setelah menangis sekian lamanya barulah hatinya terasa lega. Pikirnya, “Bila aku pulang saat ini tentu kedua mataku tertampak merah bengul, hal ini mungkin akan dibuat tertawaan Gi-ho dan lain-lain. Biarlah aku kembali kalau hari sudah gelap saja.”

Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Tentu mereka sedang mencari aku dan merasa khawatir bila tak menemukan diriku. Menangis atau tertawa adalah jamak bagi setiap orang. Bahwasanya aku menyukai siausumoay telah diketahui semua orang, sekarang dia menikah pada orang lain, bila aku tidak berduka kan orang akan mengatakan hatiku palsu malah.”

Begitulah segera ia melangkah pula kembali ke tempat perkemahan. Dilihatnya Gi-ho dan lain-lain sedang mencari-carinya. Melihat dia pulang, semuanya menjadi lega dan bergirang. Malamnya Lenghou Tiong minum arak sendirian hingga mabuk, lalu tertidur.

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di kaki gunung Ko-san, waktu rapat yang ditentukan masih ada dua hari pula. Ketika tiba tanggal 15 tepat, Lenghou Tiong bersama rombongannya pagi-pagi sudah berangkat ke atas gunung. Sampai di tengah gunung, di suatu gardu istirahat telah disambut oleh empat murid Ko-san-pay yang berseragam baju kuning. Dengan sangat hormat mereka berkata, “Atas kunjungan Lenghou-ciangbun dari Hing-san-pay, atas nama Ko-san-pay lebih dulu kami mengucapkan selamat datang dan terima kasih. Para supek dan susiok dari Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hoa-san-pay sudah sejak kemarin tiba lebih dulu. Maka sekarang pun lengkaplah dengan datangnya Lenghou-ciangbun bersama para suci dan sumoay dari Hing-san-pay.”

Lenghou Tiong terus mendaki ke atas gunung. Dilihatnya sepanjang jalan pegunungan itu disapu bersih, setiap beberapa li lantas memapak beberapa anak murid Ko-san-pay yang menyuguhkan minuman dan nyamikan, cara menyambut tamu sangat teratur, hal ini menandakan persiapan Co Leng-tan yang sangat rapi dan agaknya kedudukan ketua Ngo-gak-kiam-pay harus diperolehnya dengan segala jalan.

Kira-kira dua-tiga li lagi ke atas, tiba-tiba dari belakang ada orang berseru, “A Lim! A Lim!” “He, itulah ayah!” seru Gi-lim girang. Cepat ia membalik dan berteriak, “Ayah!”

Tertampak dari sana mendatangi seorang hwesio yang tinggi besar, memang benar dia adalah ayah Gi-lim, Put-kay Hwesio. Di belakangnya masih ada lagi seorang hwesio. Mereka berjalan dengan sangat cepat, hanya sebentar saja mereka sudah mendekat.

“Lenghou-kongcu,” seru Put-kay, “engkau terluka parah dan ternyata tidak mati, bahkan telah menjadi ketua anak perempuanku, sungguh hebat sekali kau.”

“Ah, semuanya itu berkat doa restu Taysu…” mendadak Lenghou Tiong melihat hwesio di belakang Put-kay itu seperti sudah dikenalnya, hanya tidak ingat seketika siapa gerangannya. Setelah melenggong sejenak barulah ia mengenali hwesio itu kiranya ialah Dian Pek-kong. Keruan itu melongo heran dan tercetus dari mulutnya, “He, engkau….”

Hwesio itu memang betul Dian Pek-kong adanya, dia menyengir dan memberi hormat kepada Gi-lim sambil berkata, “Hormatku, Suhu!”

Gi-lim juga terheran-heran, tanyanya, “Kenapa… kenapa kau menjadi hwesio? Apa kau dalam penyamaran saja?”

“Tidak, tidak menyamar. Barang tulen harga pas, dia benar-benar seorang hwesio tulen!” kata Put-kay dengan berseri-seri. “He, Put-ko-put-kay, siapa nama agamamu, lekas beri tahukan kepada gurumu.”

Dengan menyengir Dian Pek-kong berkata pula, “Suhu, Thaysuhu telah memberikan suatu nama agama padaku, yakni “Put-ko-put-kay‟.”

“Put-ko-put-kay? Mengapa begitu panjang?” ujar Gi-lim.

“Kau tahu apa?” kata Put-kay. “Nama dalam agama Buddha biasanya memang panjang-panjang, kenapa kau mesti heran?”

Ketika Lenghou Tiong tanya sebab musababnya Dian Pek-kong sampai menjadi hwesio dan ikut Put-kay Taysu, dengan menyengir malu Dian Pek-kong bercerita.

Kiranya pada suatu hari Dian Pek-kong yang terkenal sebagai “pencuri perempuan” itu telah mengincar anak perawan seorang hartawan. Malamnya, dengan ginkangnya yang tinggi ia telah menggeremeti anak perawan orang. Tapi sial baginya, perbuatannya itu telah dipergoki Put-kay. Ilmu silat Dian Pek-kong memang jauh di bawah Put-kay, maka hanya beberapa kali gebrak saja Dian Pek-kong sudah terbekuk.

“Sungguh runyam, memang kepandaianku jauh di bawah Thaysuhu sehingga aku tertutuk tak berkutik,” demikian Pek-kong meneruskan ceritanya. “Namun waktu itu aku merasa penasaran. Ketika Thaysuhu bertanya padaku, “Nah, apa katamu sekarang? Kau tertawan olehku, kau minta hidup atau ingin mampus?‟

“Dengan penasaran aku menjawab, “Aku tertawan karena aku kurang hati-hati, kalau mau bunuh lekas bunuh saja, buat apa banyak bicara?‟

“Dengan tertawa Thaysuhu berkata, “O, kau bilang kurang hati-hati sehingga tertawan, kalau hati-hati apa kau takkan tertawan olehku? Nah, boleh coba!‟

“Habis berkata Thaysuhu lantas membuka hiat-to tubuhku yang tertutuk. Dengan ragu-ragu aku bertanya, “Apa maksudmu?‟

“Thaysuhu menjawab, “Kau membawa senjata, kau juga punya dua kaki, sekarang boleh kau menyerang atau mau melarikan diri, boleh kau pilih sesukamu!‟

“Dengan mendongkol aku menjawab, “Orang she Dian adalah laki-laki sejati, kenapa mesti main lari segala, aku bukan pengecut yang tidak tahu malu.‟

“Thaysuhu mengakak tawa, katanya, “Jika kau bukan pengecut, mengapa sudah berjanji akan mengangkat guru pada anak perempuanku, tapi sekarang kau ingkar janji?‟

“Aku menjadi heran dan bertanya, “Anak perempuanmu yang mana?‟

“Thaysuhu menjawab, “Ketika kau bertaruh dengan anak muda dari Hoa-san-pay di atas loteng restoran di Kota Heng-san, kau berjanji kalau kalah bertaruh akan mengangkat anak perempuanku sebagai guru, memangnya janjimu itu seperti kentut saja? Waktu itu aku pun berada di sana dan sedang minum arak, apa yang kalian katakan telah kudengar seluruhnya.‟

“”O, kiranya demikian. Jadi nikoh cilik itu adalah anak perempuan hwesio seperti kau? Wah, sungguh aneh.‟ “Thaysuhu berkata, “Apanya yang aneh?‟”

“Ya, hal ini memang rada aneh,” sela Lenghou Tiong dengan tertawa. “Umumnya yang pernah terjadi adalah sesudah berumah tangga dan punya istri dan anak baru kemudian meninggalkan rumah dan menjadi hwesio.

Tapi Put-kay Taysu adalah terbalik, lebih dulu dia menjadi hwesio baru kemudian beristri dan punya anak perempuan. Nama agamanya Put-kay (tidak pantang) juga punya arti tidak tunduk kepada segala peraturan dan pantangan agama.”

Lalu Dian Pek-kong menyambung ceritanya, “Maka aku telah menjawab, “Hal bertaruh waktu itu hanya berkelakar saja, mana boleh dianggap sungguh-sungguh. Kalau aku dianggap kalah pada pertaruhan itu, ya, memang betul. Biarlah seterusnya aku takkan mengganggu lagi nikoh cilik itu.‟

“Tapi Thaysuhu tidak terima, katanya, “Tidak boleh. Kau sudah menyatakan akan mengangkat guru padanya, maka janjimu harus dilaksanakan. Kau harus menyembah kepada anak perempuanku dan memanggil suhu padanya.‟

“Melihat dia mengoceh tak keruan, kupikir mau tunggu kapan lagi kalau tidak lekas melarikan diri saja. Maka pada saat yang tak terduga mendadak aku melompat keluar rumah. Dengan ginkangku yang tinggi kuyakin Thaysuhu pasti tidak sanggup menyusul aku. Tak terduga di belakangku lantas terdengar suara langkah orang yang cepat, ternyata Thaysuhu sudah memburu tiba. Cepat aku berteriak, “Hwesio gede, tadi kau tidak membunuh aku, maka sekarang aku pun takkan membunuh kau. Tapi kalau kau mengejar lagi, terpaksa aku tidak sungkan lagi padamu.‟

“Tapi Thaysuhu terbahak-bahak malah, katanya, “Cara bagaimana kau akan tidak sungkan-sungkan lagi padaku?‟

“Aku menjawab, “Akan kuserang kau dengan senjata rahasia,‟ berbareng aku lantas menyambitkan sebuah panah kecil ke belakang. Meski di tengah malam gelap ternyata Thaysuhu cukup tangkas untuk menangkap senjata rahasiaku itu. Sekali sambar panahku itu sudah terpegang olehnya. Lalu aku masih terus dikejar. Aku menjadi kelabakan karena dibayangi terus, mendadak aku membacok ke belakang dengan golokku. Namun kepandaian Thaysuhu benar-benar tinggi, walaupun aku bersenjata tetap tidak mampu melawan kedua tangannya. Hanya balasan jurus saja, tahu-tahu kudukku sudah dibekuk pula olehnya, menyusul golokku lantas dirampas.

“Dengan tertawa Thaysuhu lalu tanya padaku, “Sekarang kau takluk tidak?‟ “Aku menjawab, “Ya, takluk sudah. Bunuhlah aku!‟

“Tapi dia berkata, “Tidak, kau takkan kubunuh. Akan kutusuk buta kedua matamu agar selanjutnya kau tak bisa mengincar perempuan cantik lagi. Tapi, ah, kurang tepat. Dasar kau ini memang bajul buntung, biarpun mata buta juga tetap bisa main perempuan, umpama perempuan cantik tak bisa kau jamah, tentu nenek-nenek yang akan menjadi korban. Wah, paling betul kalau kupotong kedua kakimu agar kau benar-benar buntung dan kapok.‟

“Aku menjawab, “Sebaiknya kau bunuh aku saja, buat apa banyak omong tak keruan.‟

“Dia memuji aku malah, “Kau ini ternyata suka blakblakan. Kau adalah murid anak perempuanku, bila aku memotong kakimu, itu berarti murid anak perempuanku akan lumpuh dan tidak sanggup bertempur, hal ini akan membikin malu padanya. Rasanya aku harus mencari jalan yang baik agar kau tidak bisa menjadi maling cabul lagi… Aha, aku mendapat akal yang baik!‟ mendadak ia menutuk roboh diriku, tahu-tahu dengan anak panahku yang kecil itu ditusukkan kepada… kepada anuku itu, bahkan anak panah itu terus diikat dengan talipati. Lalu dia terbahak-bahak, katanya, “Nah, sekarang maling cabul seperti kau ini tentu akan mati kutu dan tidak mampu main gila lagi.


BAB 110. DI TENGAH PEREBUTAN BENGCU YANG KACAU

Mendengar cerita yang tidak masuk di akal itu, Lenghou Tiong menjadi geli dan terheran-heran, katanya, “Masakah bisa terjadi begitu? Wah, Thayhwesio ini benar-benar lucu dan aneh.”

“Tapi lelucon yang tidak lucu bagiku,” ujar Dian Pek-kong dengan menyengir. “Keruan waktu itu aku kesakitan setengah mati, hampir-hampir aku jatuh kelengar. Aku mencaci maki dia, “Keledai gundul bangsat, kalau mau bunuh lekas bunuh saja diriku, kenapa kau menyiksa aku secara begini keji?‟

“Dengan tertawa dia menjawab, “Keji apa? Perempuan tak berdosa yang menjadi korbanmu entah betapa banyak, kenapa selama itu kau tidak kenal keji atau tidak? Hendak kukatakan padamu, selanjutnya bila aku ketemu kau, setiap kali pasti akan kuperiksa anumu itu, kalau ketahuan panahnya kau cabut, segera kutancapi lagi dua batang, lain kali kalau kulihat panah-panah itu kau tanggalkan lagi, lantas kutancapkan pula tiga batang. Pendek kata, setiap kali kau berani mencabut anak panah itu, setiap kali kutambahi satu batang lebih banyak.‟”

Saking gelinya sampai Lenghou Tiong terpingkal-pingkal oleh cerita Dian Pek-kong itu. Keruan Dian Pek-kong tersipu-sipu malu.

“Maaf, Dian-heng,” kata Lenghou Tiong kemudian. “Bukan maksudku hendak menertawai kau, soalnya peristiwa ini sungguh sukar untuk dibayangkan.”

“Memangnya, siapa bilang tidak,” kata Dian Pek-kong. “Dia kemudian memberi obat luka padaku dan suruh aku tetirah di hotel. Kemudian beliau mendapat tahu guruku lagi rindu padamu, lalu aku disuruh pergi ke Hoa-san untuk mengundang engkau menemui guruku.”

Baru sekarang Lenghou Tiong tahu kedatangan Dian Pek-kong di Hoa-san tempo dulu untuk mengundang dirinya itu adalah karena perintah Put-kay Taysu, pantas Dian Pek-kong tidak berani bercerita apa-apa, kiranya di balik itu banyak terjadi hal-hal yang lucu dan luar biasa itu. Lalu terpikir pula olehnya, “Untuk apakah Gi-lim Sumoay ingin bertemu dengan aku? Dahulu ketika bersama di Heng-san memang dia dan aku pernah senasib setanggungan, kemudian dia jarang bertemu dengan aku, kalau bertemu tentu terdapat juga orang lain.”

Lenghou Tiong bukan orang dungu. Bahwasanya Gi-lim juga cinta padanya mustahil dia tidak tahu. Soalnya, Gi-lim adalah nikoh, kedua, umur Gi-lim masih muda belia, setelah lewat sekian lamanya tentu pikirannya sudah berubah. Sebab itu pertemuan-pertemuan selanjutnya Lenghou Tiong tidak pernah ajak bicara sendirian pada Gi-lim. Sesudah menjadi ketua Hing-san-pay lebih-lebih tidak leluasa lagi. Lenghou Tiong menyadari namanya sendiri tidak terlalu harum di luaran, baginya soal nama adalah tidak soal, tapi dirinya telah diberi tugas suci oleh Ting-sian Suthay untuk mengetuai Hing-san-pay, mana boleh nama baik Hing-san-pay ternoda di bawah pimpinannya. Sebab itulah dia jarang berkumpul dengan anak murid Hing-san-pay kecuali di waktu memberi ajaran ilmu pedang. Sekarang Dian Pek-kong bercerita tentang kejadian dahulu, mau tak mau kasih mesra Gi-lim padanya kembali terbayang dalam benaknya.

Didengarnya Dian Pek-kong bercerita pula, “Entah mengapa, Thaysuhu agaknya sangat cocok dengan aku. Meski dia menyiksa aku secara kejam, tapi sehari-hari aku diperlakukan cukup baik. Dia mengatakan biarpun aku sudah mengangkat guru, tapi sang guru tidak pernah mengajarkan ilmu silat padaku, maka ia ingin mewakilkan anak perempuannya dan banyak mengajarkan kepandaiannya padaku.”

“Syukurlah kalau begitu,” ujar Lenghou Tiong.

“Kemudian kami dengar kau diangkat menjadi ketua Hing-san-pay, Thaysuhu suruh aku datang ke Hing-san untuk membantu kau. Tapi beberapa hari yang lalu di tengah jalan aku dipergoki beberapa orang yang mengenali diriku, aku telah diteriaki sebagai “maling cabul‟ dan dikerubut. Untung Thaysuhu keburu menghalau orang-orang itu, habis itu aku lantas disuruh cukur rambut dan menjadi hwesio serta diberi nama “Put-ko-put-kay‟. Beliau suruh aku menjelaskan persoalan ini padamu agar engkau tidak marah pada suhuku.”

“Kenapa aku mesti marah para suhumu? Tidak pernah terjadi,” ujar Lenghou Tiong.

“Menurut kata Thaysuhu, setiap kali ketemu suhu tentu melihat suhu tambah kurus, air mukanya juga semakin pucat. Bila ditanya suhu selalu tidak menjawab dan hanya mencucurkan air mata. Menurut pikiran Thaysuhu tentulah engkau memarahi dia.”

“He, mana bisa,” kata Lenghou Tiong. “Selamanya aku sangat baik pada gurumu, belum pernah aku mengomeli dia satu patah kata pun. Pula dia selalu berbuat baik, kenapa aku mesti marah padanya?”

“Justru engkau tidak pernah marah dan mengomeli dia, makanya guruku menangis,” kata Dian Pek-kong.

“Sungguh aneh, aku menjadi bingung,” ujar Lenghou Tiong.

“Malahan aku pernah dihajar habis-habisan oleh Thaysuhu lantaran urusan ini,” kata Dian Pek-kong pula.

Lenghou Tiong garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia pikir kelakuan Put-kay Taysu yang dogol tak keruan itu boleh dikata setali tiga uang dengan Tho-kok-lak-sian.

Maka Dian Pek-kong berkata pula, “Thaysuhu mengatakan bahwa dahulu sesudah beliau menjadi suami istri dengan Thaysubo, mereka sering kali bertengkar mulut, semakin banyak bertengkar semakin cinta pula. Karena itu, dia berpendapat kalau engkau tidak marah pada guruku berarti engkau tidak ingin memperistrikan dia.”

“Soal ini… gurumu adalah cut-keh-lang (orang yang telah meninggalkan keluarga) dan menjadi nikoh, maka sama sekali aku tak pernah memikirkan soal demikian,” jawab Lenghou Tiong.

“Aku pun pernah berkata demikian pada Thaysuhu, tapi Thaysuhu menjadi marah malah dan aku dihajar lagi hingga babak belur,” kata Dian Pek-kong. “Beliau mengatakan dahulu Thaysubo juga seorang nikoh, demi untuk memperistrikan Thaysubo, maka Thaysuhu lantas menjadi hwesio. Kalau cut-keh-lang tak boleh menjadi suami istri, lalu di dunia ini masakah terdapat orang seperti Thaysuhu? Kalau di dunia ini tiada Thaysuhu, dari mana ada aku?”

Lenghou Tiong menjadi geli karena Dian Pek-kong sendiri dicampuradukkan dalam urusan Gi-lim yang jauh lebih muda itu.

Lalu Dian Pek-kong melanjutkan, “Thaysuhu mengatakan pula, jika engkau tidak ingin menjadi suami istri dengan suhuku, lalu buat apa engkau menjadi ketua Hing-san-pay? Katanya, “Di antara nikoh-nikoh Hing-san-pay sebanyak itu toh tiada satu pun yang lebih cantik daripada guruku. Dan kalau bukan demi guruku, lalu apa tujuanmu menjadi ketua Hing-san-pay?‟”

Diam-diam Lenghou Tiong merasa khawatir dan mengeluh. Pikirnya, “Demi untuk memperistrikan seorang nikoh, dahulu Put-kay Taysu sengaja menjadi hwesio. Menurut jalan pikirannya setiap orang di dunia ini tentu sama dengan dia. Kalau hal ini sampai tersiar, bukanlah aku akan menjadi buah tertawaan orang?”

Dengan menyengir Dian Pek-kong menyambung lagi, “Thaysuhu tanya pula padaku, “Bukankah anak perempuanku yang menjadi gurumu itu adalah wanita tercantik di dunia?‟

“Aku menjawab, “Seumpama bukan yang paling cantik, paling sedikit tergolong sangat cantik.‟

“Sekali tonjok, kontan Thaysuhu membikin rontok dua biji gigiku yang depan. Dia marah-marah, katanya, “Mengapa bukan yang paling cantik? Kalau anak perempuanku tidak cantik, mengapa dahulu kau bermaksud berbuat tidak senonoh padanya? Dan mengapa si bocah Lenghou Tiong itu mati-matian menyelamatkan jiwanya?‟

“Dengan menahan sakit cepat aku menjawab, “Ya, paling cantik, paling cantik. Nona keturunan Thaysuhu mana bisa bukan wanita paling cantik di dunia ini.‟

“Jawabanku ini rupanya cocok dengan selera Thaysuhu, beliau sangat gembira dan memuji penilaianku yang tepat.”

“Gi-lim Sumoay memang dasarnya sangat cantik, pantas kalau Put-kay Taysu suka pamer kecantikan anak perempuannya,” kata Lenghou Tiong dengan tersenyum.

“Sungguh bagus sekali, ternyata Lenghou-kongcu juga menyatakan guruku sangat cantik,” seru Dian Pek-kong dengan girang.

“Mengapa kau kegirangan?” tanya Lenghou Tiong heran.

“Sebab, Thaysuhu memberi suatu tugas padaku, aku diharuskan berusaha agar engkau… agar engkau….”

“Agar aku apa?” Lenghou Tiong menegas.

“Agar engkau menjadi sukongku (suami guruku),” jawab Dian Pek-kong dengan tertawa.

Lenghou Tiong melenggong sejenak. Ia menghela napas, lalu berkata, “Dian-heng, Put-kay Taysu benar-benar teramat sayang kepada anak perempuannya. Tapi urusan ini kau sendiri pun tahu sukar terlaksana.”

“Memangnya, aku pun bilang sangat sukar terlaksana. Kukatakan bahwa engkau pernah memimpin para kawan Kangouw menyerbu Siau-lim-si untuk menolong Yim-siocia dari Sin-kau. Aku berkata bahwa kecantikan Yim-siocia meski tiada setengahnya suhuku, namun rupanya Lenghou-kongcu ada jodoh dengan dia sehingga terpelet olehnya, orang lain benar-benar sukar menghalang-halanginya. Maklumlah Lenghou-kongcu, terpaksa aku harus bilang begitu untuk menyelamatkan beberapa gigiku yang lain agar dapat menikmati daharan, hendaklah engkau jangan marah.”

“Ya, aku paham,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum.

“Thaysuhu mengatakan bahwa beliau juga paham, dia bilang gampang saja menyelesaikan persoalan ini, cari suatu akal dan bunuh saja Yim-siocia di luar tahumu, maka urusan akan menjadi beres dengan sendirinya. Cepat aku menyatakan jangan, kubilang kalau sampai Yim-siocia dibinasakan, Lenghou-kongcu pasti juga akan membunuh diri. Lalu Thaysuhu berkata, “Betul juga. Kalau bocah Lenghou Tiong itu mati, itu berarti anak perempuanku akan menjadi janda, kan konyol malah? Begini saja, boleh kau katakan pada Lenghou Tiong bahwa kalau perlu biarlah anak perempuanku dijadikan saja gundiknya.‟

“Aku menjawab, “Thaysuhu, masakah anak perempuanmu yang terhormat demikian perlu direndahkan derajatnya sampai begitu rupa?‟

“Thaysuhu menghela napas, katanya, “Kau tidak tahu, kalau nonaku ini gagal menjadi istri Lenghou Tiong, maka siang dan malam dia pasti akan merana dan takkan hidup lama lagi.‟

“Habis itu mendadak Thaysuhu mencucurkan air mata. Air mata betul-betul Lenghou-kongcu, air mata kasih sayang seorang ayah kepada anak perempuannya, sungguh, aku tidak omong kosong.”

Lenghou Tiong jadi teringat kepada Gi-lim yang kian hari memang kian kurus, disangkanya mungkin perjalanan jauh telah melelahkan nikoh cilik itu, tak tahunya lantaran merana karena rindu dendam, urusan ini benar-benar sukar diselesaikan.

Dian Pek-kong menutur pula, “Setelah menangis, mendadak Thaysuhu mencengkeram kudukku dan memaki diriku, “Keparat, semuanya gara-gara perbuatanmu. Kalau tempo hari kau tidak bermaksud busuk terhadap anak perempuanku, tentu pula Lenghou Tiong takkan turun tangan menolong dan dengan sendirinya anak perempuanku sekarang takkan kurus dan merana seperti sekarang ini.‟

“Aku menjawab, “Tidak tentu. suhuku secantik bidadari, seumpama tempo hari aku tidak berbuat jelek padanya, tentu Lenghou Tiong akan memancing dan menggodanya, mustahil bocah Lenghou Tiong itu tidak kesengsem kepada perempuan molek.‟”

“Dian-heng, kata-katamu ini rasanya keterlaluan sedikit,” ujar Lenghou Tiong dengan mengerut kening.

“Maaf, Lenghou-kongcu. Soalnya aku kenal tabiat Thaysuhu, kalau aku tidak berkata demikian tentu aku takkan dilepaskannya. Benar juga, sesudah aku berkata begitu, dari marah beliau menjadi senang, aku lantas dilepaskan, katanya, “Anak keparat, hari itu kusaksikan kau berkelahi dengan Lenghou Tiong di atas loteng restoran itu, dia tidak mampu melawan kau sehingga badannya penuh luka terbacok oleh golokmu. Coba kalau bukan lantaran kau bermaksud memerkosa anak perempuanku, hm, waktu itu juga tentu kepalamu sudah aku gecek hingga gepeng.‟”

“Aneh, kau bermaksud perkosa anak perempuannya, dia malah merasa syukur?” tanya Lenghou Tiong heran.

“Bukan merasa syukur, tapi beliau anggap aku pandai memilih perempuan yang cantik,” kata Dian Pek-kong.

Kembali Lenghou Tiong melongo oleh logika yang gila itu.

“Lenghou-kongcu,” kata Dian Pek-kong pula, “pesan Thaysuhu sudah kukatakan seluruhnya padamu. Kutahu urusan ini rada sulit, lebih-lebih menjadi pantangan bagimu selaku ketua Hing-san-pay. Cuma kunasihatkan agar engkau sudi lebih sering bicara yang baik-baik dengan suhuku agar beliau merasa gembira. Urusan selanjutnya boleh terserah kepada keadaan.”

Lenghou Tiong mengangguk dan mengiakan.

Tengah bicara dari depan sana datang pula menyambut beberapa anak murid Ko-san-pay, mereka memberi hormat dan berkata, “Para tokoh dan ketua semua golongan dan aliran akan berkumpul di Ko-san sini untuk ikut menyaksikan upacara pemilihan ketua Ngo-gak-pay, para kawan dari Kun-lun-pay dan Jing-sia-pay sudah sejak kemarin tiba. Kedatangan Lenghou-ciangbun sekarang sangat kebetulan, semua hadirin sudah menunggu di atas sana. Silakan!”

Sikap anak murid Ko-san-pay itu sangat angkuh, kata-kata mereka pun sombong seakan-akan jabatan ketua Ngo-gak-pay pasti akan dipegang oleh Ko-san-pay mereka.

Setelah naik lagi sekian lama ke atas gunung, terdengar suara gemercak air yang gemuruh, sebuah air terjun tampak menuangkan airnya yang deras ke bawah jurang. Beramai-ramai mereka mendaki ke atas menyusur tepi air terjun itu. Sepanjang jalan anak murid Ko-san-pay yang menjadi petunjuk jalan suka pamer keindahan panorama pegunungan Ko-san sambil menunjukkan nama-nama tempat ini dan itu.

“Ko-san terletak tepat di tengah dunia ini dan selalu merupakan kepala dari semua gunung di dunia,” demikian kata murid Ko-san-pay itu. “Coba lihat, Lenghou-ciangbun, suasana sehebat ini, pantas kalau raja-raja dari berbagai dinasti selalu mendirikan kota raja di kaki Ko-san kita ini.”

Di balik maksud ucapan murid Ko-san-pay itu hendak dikatakan bahwa Ko-san adalah kepala dari semua gunung, maka Ko-san-pay juga selalu menjadi pimpinan berbagai golongan persilatan.

Dengan tersenyum Lenghou Tiong menjawab, “Orang Kangouw macam kita ini entah ada sangkut paut apa dengan raja-raja dan kaum pembesar negeri? Apakah Co-ciangbun kalian sering berhubungan dengan pembesar-pembesar pemerintahan?”

Seketika muka murid Ko-san-pay itu menjadi merah dan tidak bicara lagi.

Jalanan ke atas seterusnya menjadi makin curam, murid Ko-san sebagai penunjuk jalan itu masih memperkenalkan pula nama-nama tempat yang mereka lalui. Tidak lama kemudian, setelah melewati suatu pengkolan, mendadak kabut bertaburan, di tengah jalan pegunungan itu sedang mengadang belasan laki-laki dengan pedang terhunus. Terdengar seorang di antaranya berseru dengan suara seram, “Bilakah Lenghou Tiong akan sampai di sini? Kalau melihatnya, harap para sobat sudi memberitahukan pada aku si buta.”

Lenghou Tiong melihat orang yang bicara itu bercambang pendek dan kaku lebat, rupanya sangat seram, tapi kedua matanya ternyata buta. Ketika melihat orang-orang yang lain, semuanya juga orang buta. Terkesiap hati Lenghou Tiong, segera ia berseru, “Lenghou Tiong sudah berada di sini, Saudara ada urusan apa?”

Begitu mendengar “Lenghou Tiong sudah berada di sini”, serentak belasan orang buta itu lantas berteriak-teriak dan mencaci maki, dengan pedang terhunus mereka terus menerjang maju sambil memaki, “Bangsat keparat Lenghou Tiong, betapa kau telah membikin susah kami, hari ini biarlah kami mengadu jiwa padamu.”

Setelah berpikir sejenak, pahamlah Lenghou Tiong, “Dahulu malam-malam Hoa-san-pay kami diserang musuh secara mendadak di kelenteng bobrok, dengan Tokko-kiu-kiam yang baru saja kupelajari itu aku telah membutakan mata musuh yang tidak sedikit. Jika begitu penyerang-penyerang itu adalah suruhan Ko-san-pay, sungguh tidak nyana hari ini akan bertemu lagi di sini.”

Dilihatnya keadaan tempat cukup berbahaya, bila belasan orang itu benar-benar mengadu jiwa padanya, asalkan salah seorang berhasil merangkulnya, maka bukan mustahil akan tergelincir ke dalam jurang dan gugur bersama. Sekilas dilihatnya pula anak murid Ko-san-pay petunjuk jalan tadi bersikap acuh tak acuh seakan-akan mensyukurkan apa yang bakal terjadi.

“Apakah kawan-kawan buta ini anak murid Ko-san-pay?” tanya Lenghou Tiong.

“Bukan, mereka bukan orang kami,” jawab murid Ko-san-pay itu. “Entah mereka ada permusuhan apa dengan Lenghou-ciangbun? Hari ini adalah hari penting pemilihan ketua Ngo-gak-pay, bila Lenghou-ciangbun sampai terjerumus ke dalam jurang karena dikerubut sobat-sobat buta ini, biarpun kedua pihak gugur bersama, tapi sungguh harus disesalkan.”

“Benar juga,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum. “Maka dari itu sukalah Saudara memberi perintah agar mereka suka memberi jalan.”

“Silakan Lenghou-ciangbun sendiri membereskan saja,” jawab orang Ko-san-pay itu.

Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang membentak dengan suara menggelegar, “Biar kubereskan kau dulu dan urusan belakang!”

Siapa lagi dia kalau bukan Put-kay Taysu. Dengan langkah lebar ia menerjang maju, sekali cengkeram, dua murid Ko-san-pay telah kena dipegang olehnya terus dilemparkan ke arah kawanan orang buta tadi sambil berseru, “Ini dia Lenghou Tiong telah tiba!”

Serentak kawanan orang buta itu ayun senjata, mereka membacok dan menebas serabutan, untung kedua murid Ko-san-pay itu cukup tangkas, selagi tubuh mereka terapung di udara, mereka mampu mencabut pedang sendiri buat menangkis seraya berteriak, “Kami orang Ko-san-pay, kita kawan sendiri, lekas menyingkir!”

Mendengar itu kawanan orang buta menjadi kelabakan dan kacau-balau, mereka berusaha menghindar sedapat mungkin. Namun Put-kay sudah lantas menyusul ke depan, kembali kedua murid Ko-san-pay itu kena dicengkeram olehnya, bentaknya pula, “Jika kalian tidak suruh kawanan buta itu enyah dari sini, biar kulemparkan kalian ke jurang!”

Berbareng ia kerahkan tenaga sekuatnya, kedua orang itu dilemparkan ke atas. Bobot kedua murid Ko-san-pay itu masing-masing ada lebih seratus kati, tapi tenaga pembawaan Put-kay memang sangat kuat, sekali lempar, kedua orang itu lantas melayang ke atas beberapa meter tingginya.

Keruan kedua murid Ko-san-pay itu ketakutan setengah mati, hampir-hampir sukma mereka terbang meninggalkan raganya. Berbareng mereka menjerit ngeri, mereka percaya sekali ini pasti akan terjatuh ke dalam jurang yang tak terhingga dalamnya dan hancur lebur menjadi bakso.

Namun sebelum kedua orang itu jatuh ke bawah, dengan cepat sekali Put-kay sudah kena cengkeram pula kuduk mereka lalu mengancam, “Bagaimana? Apakah mau sekali coba lagi?”

“Ti… tidak! Jang… jangan!” cepat seorang di antaranya berseru. Seorang lagi agaknya lebih licin, tiba-tiba ia berseru, “Hei, Lenghou Tiong, hendak lari ke mana kau? Hayo para sobat buta, lekas kejar ke sana, lekas!”

Mendengar itu kawanan orang buta itu percaya sungguh-sungguh, serentak mereka mengejar.

Dengan marah Dian Pek-kong lantas mendamprat murid Ko-san-pay tadi, “Nama Lenghou Tiong masakah boleh sembarangan kau sebut? Ini hadiahmu!”

“Plak”, kontan memberi persen tempelengan kepada orang Ko-san-pay itu. Lalu ia berteriak, “Lenghou-tayhiap berada di sini, Lenghou-ciangbun berada di sini! Orang buta mana yang berani, hayolah coba kemari kalau minta diberi hajaran!”

Sebenarnya kawanan orang buta itu kena dihasut oleh orang Ko-san-pay agar menuntut balas kepada Lenghou Tiong. Maka dengan penuh dendam mereka menanti di jalan pegunungan itu. Tapi ketika mendengar jeritan ngeri kedua murid Ko-san-pay tadi, mau tak mau mereka menjadi jeri, apalagi mereka telah lari kian-kemari di jalan pegunungan itu dengan mata buta sehingga tidak tahu mana sasarannya. Keruan mereka menjadi bingung sendiri dan akhirnya berdiri termenung di tempat masing-masing.

Lenghou Tiong tidak ambil pusing lagi pada mereka, bersama Put-kay, Dian Pek-kong, dan murid-murid Hing-san-pay, mereka meneruskan perjalanan ke atas gunung. Tidak lama di depan kelihatan dua puncak gunung mengapit sebuah selat alam sehingga berwujud sebuah pintu gerbang, angin kencang meniup keluar dari selat sana disertai kabut awan.

Kalau tadi anak murid Ko-san-pay suka pamer dan mengoceh tentang tempat-tempat strategis di pegunungan Ko-san, tapi sekarang mereka hanya bungkam saja. Maka Dian Pek-kong sengaja mengolok-olok, bentaknya mendadak, “Apa nama tempat ini? Kenapa kalian berubah menjadi bisu?”

Dengan menyengir murid Ko-san-pay tadi terpaksa menjawab, “Ini namanya Tiau-thian-mui (Pintu Gerbang Langit).”

Setelah memutar lagi ke sebelah kiri dan menanjak lagi tidak jauh, tiba-tiba terdengar suara alat tetabuhan dibunyikan. Pada tanah lapang di atas puncak gunung situ sudah berjubel beribu-ribu orang. Beberapa murid Ko-san-pay tadi lantas mendahului naik ke atas puncak situ untuk melapor, Lenghou Tiong dan rombongannya menyusul kemudian.

Maka terlihatlah Co Leng-tan memakai jubah kuning datang menyambut bersama belasan orang muridnya.

Kini kedudukan Lenghou Tiong adalah ketua Hing-san-pay, tapi dia sudah biasa memanggil “Co-supek” pada Co Leng-tan, sebagai angkatan muda, maka tetap ia memberi hormat dan menyapa, “Terimalah hormat Lenghou Tiong, Ko-san-ciangbun.”

“Meski berpisah sekian lamanya, namun Lenghou-siheng tampaknya tambah segar,” ujar Co Leng-tan. “Kesatria ganteng muda sebagai Lenghou-siheng mengetuai Hing-san-pay, sungguh suatu peristiwa yang memecahkan sejarah dunia persilatan, terimalah ucapan selamat dariku.”

Lenghou Tiong tahu ucapan Co Leng-tan itu sebenarnya cuma olok-olok belaka, kata-kata “peristiwa yang memecahkan sejarah dunia persilatan” sebenarnya untuk menyindir Lenghou Tiong seorang laki-laki telah mengetuai kawanan nikoh.

Maka Lenghou Tiong menjawab sewajarnya saja, “Wanpwe menerima tugas terakhir dari Ting-sian Suthay, tujuannya adalah untuk menuntut balas bagi kedua suthay. Bila tugas membalas dendam sudah tercapai, dengan sendirinya Cayhe akan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan ketua kepada yang lebih bijaksana.”

Waktu berkata pandangan Lenghou Tiong selalu menatap tajam ke arah Co Leng-tan dengan maksud menyelami perasaan orang apakah memperlihatkan air muka malu atau marah atau benci. Tapi air muka Co Leng-tan ternyata tidak berubah sedikit pun.

Malahan Co Leng-tan berkata, “Ngo-gak-kiam-pay selamanya senasib setanggungan, selanjutnya kelima golongan bahkan akan dilebur menjadi satu, maka soal sakit hati Ting-sian dan Ting-yat Suthay tidak cuma urusan Hing-san-pay sendiri, bahkan juga urusan Ngo-gak-pay kita. Syukur Lenghou-hengte sudah menetapkan tekad, sungguh harus dipuji.”

Ia merandek sejenak lalu menyambung lagi, “Sementara itu Thian-bun Toheng dari Thay-san, Bok-taysiansing dari Heng-san, Gak-siansing dari Hoa-san, serta para undangan peninjau sudah datang semua, silakan Lenghou-hengte bertemu dengan mereka.”

“Baik,” kata Lenghou Tiong. “Entah Hong-ting Taysu dari Siau-lim dan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong sudah datang atau belum?”

Dengan acuh tak acuh Co Leng-tan menjawab, “Tempat tinggal mereka berdua meski dekat, tapi mengingat kedudukan mereka, tentunya mereka akan menjaga gengsi, rasanya mereka takkan hadir.”

Lenghou Tiong mengangguk. Tapi pada saat itulah tertampak dua murid Ko-san-pay berlari tiba dari bawah gunung, melihat cara lari mereka yang terburu-buru, jelas ada sesuatu urusan penting yang perlu dilaporkan. Karena itu para hadirin menjadi tertarik.

Dalam sekejap saja kedua orang itu sudah berada di depan Co Leng-tan, mereka memberi hormat dan berkata, “Suhu, ketua Siau-lim-si Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay bersama anak muridnya sedang menuju kemari untuk menyampaikan selamat kepada Ngo-gak-pay kita.”

“O, mereka juga hadir? Wah, sungguh suatu kehormatan besar. Harus kita sambut selayaknya,” kata Co Leng-tan.

Para kesatria yang sudah hadir juga gempar ketika mendengar bahwa ketua-ketua Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay juga hadir. Serentak mereka ikut di belakang Co Leng-tan ke bawah gunung untuk menyambut.

Lenghou Tiong bersama anak murid Hing-san-pay menyingkir di tepi jalan untuk memberi jalan kepada orang banyak. Tertampak Thian-bun Tojin dari Thay-san-pay, Bok-taysiansing dari Heng-san-pay, Pangcu dari Kay-pang, Ih Jong-hay ketua Jing-sia-pay, dan gembong-gembong persilatan lain memang benar sudah hadir semua. Kepada tiap-tiap kenalan itu Lenghou Tiong mengangkat tangan memberi hormat.

Tiba-tiba dari belakang sana muncul satu rombongan, kiranya adalah orang-orang Hoa-san-pay, Gak Put-kun dan istrinya tampak berada paling depan. Dengan perasaan pilu Lenghou Tiong memburu maju, ia berlutut dan menjura, katanya, “Harap kedua Lojinkeh (orang tua) terima hormatnya Lenghou Tiong.”

Ia tidak berani memanggil “suhu” dan “sunio”, juga tidak berani menyebut dirinya sebagai “murid”, tapi cara menjura tiada ubahnya seperti dahulu kalau dia memberi hormat kepada Gak Put-kun dan istrinya.

Gak Put-kun mengegoskan tubuhnya ke samping, jawabnya dengan nada dingin, “Buat apa Lenghou-ciangbun menjalankan penghormatan sebesar ini? Bukankah aneh dan menertawakan?”

Selesai memberi hormat, Lenghou Tiong lantas berbangkit dan mundur ke tepi jalan.

Mata Gak-hujin tampak merah basah, katanya, “Kabarnya kau telah menjabat ketua Hing-san-pay. Selanjutnya asalkan kau tidak sembrono dan tidak bikin gara-gara, kukira masih banyak kesempatan bagimu untuk membersihkan diri.”

“Hm, tidak bikin gara-gara? Nanti kalau matahari terbit dari barat,” jengek Gak Put-kun. “Kalau dia bisa menjabat ketua Hing-san-pay sampai hari ini tentu dia sudah boleh merasa puas.”

Lenghou Tiong lantas berkata, “Pertemuan di Ko-san ini tampaknya Co-supek ada maksud melebur Ngo-gak-kiam-pay. Entah bagaimana pendapat kedua Lojinkeh terhadap urusan ini?”

“Pendapatmu sendiri bagaimana?” Gak Put-kun balas bertanya.

“Tecu kira….”

“Istilah “tecu‟ tak perlu kau pakai lagi,” sela Gak Put-kun dengan tersenyum. “Jika kau masih mengingat hubungan baik di Hoa-san dahulu, maka hendaklah kau….”

Sejak diusir dari Hoa-san-pay, belum pernah Lenghou Tiong menghadapi sikap ramah Gak Put-kun seperti saat ini, keruan ia menjadi senang dan cepat menjawab, “Ada pesan apa dari Lojinkeh, Tecu… O, Wanpwe pasti akan menurut saja.”

“Aku pun tiada pesan apa-apa,” Gak Put-kun manggut-manggut. “Hanya saja kaum persilatan kita paling mengutamakan budi dan kewajiban. Bahwa kau dikeluarkan dari Hoa-san-pay sesungguhnya bukan kami yang berhati kejam dan tidak dapat memaafkan kesalahanmu. Soalnya karena kau yang melanggar pantangan besar dunia persilatan kita. Meski sejak kecil kubesarkan kau sehingga hubungan kita seperti ayah dan anak, namun aku harus bertindak secara adil tanpa pilih kasih.”

Mendengar sampai di sini, air mata Lenghou Tiong bercucuran, katanya dengan terguguk-guguk, “Budi kebaikan Suhu, biarpun badan Tecu hancur lebur juga sukar membalas.”

Gak Put-kun tepuk-tepuk bahu Lenghou Tiong dengan perlahan sebagai tanda menghiburnya, katanya pula, “Kejadian di Siau-lim-si tempo hari, kita guru dan murid sampai main senjata, tapi sebenarnya beberapa jurus yang kugunakan itu mengandung arti yang dalam dengan harapan agar kau bisa mengubah pikiranmu dan kembali ke dalam Hoa-san-pay, namun kau tidak sadar, sungguh membikin aku sangat kecewa.”

“Ya, Tecu pantas mampus,” jawab Lenghou Tiong dengan tunduk kepala. “Perbuatan Tecu di Siau-lim-si tempo hari sesungguhnya sukar dijelaskan. Bila Tecu dapat kembali mengabdi di bawah pimpinan Suhu, sungguh inilah cita-cita Tecu selama hidup ini.”

“Kukhawatir kata-katamu ini hanya manis di mulut tetapi lain di hati,” kata Gak Put-kun dengan tersenyum. “Sekarang kau kan sudah menjadi ketua Hing-san-pay, mana kau sudi kembali menjadi muridku.”

Dari nada Gak Put-kun itu agaknya dia tidak keberatan untuk menerimanya kembali menjadi murid Hoa-san-pay, kesempatan baik ini mana boleh disia-siakan, segera Lenghou Tiong berlutut dan berkata, “Suhu, Sunio, Tecu telah banyak berbuat dosa, untuk selanjutnya Tecu berjanji akan memperbaiki kesalahan-kesalahan dahulu dan taat kepada ajaran Suhu dan Sunio. Harapan Tecu hanya sudilah Suhu dan Sunio menaruh belas kasihan dan terima Tecu kembali.”

Pada saat itu terdengar suara orang banyak sedang mendatangi, para kesatria tampak mengiringi Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin sedang naik ke atas. Cepat Gak Put-kun berkata dengan suara tertahan, “Lekas kau bangun saja, urusan ini dapat kita rundingkan nanti.”

Lenghou Tiong sangat girang, ia menjura beberapa kali pula dan mengucapkan terima kasih, habis itu barulah berdiri.

Dengan perasaan pilu dan girang pula Gak-hujin berkata, “Siausumoaymu dan Lim-sute pada bulan yang lalu sudah… sudah menikah,” nadanya rada khawatir kalau-kalau apa yang dikatakannya itu akan mengecewakan Lenghou Tiong, sebab ia menduga maksud Lenghou Tiong ingin kembali ke Hoa-san-pay adalah demi Gak Leng-sian.

Pedih juga perasaan Lenghou Tiong, ia coba melirik ke arah Gak Leng-sian, tertampak sang sumoay telah ganti dandanan sebagai seorang nyonya muda, pakaiannya rada mewah, namun wajahnya masih sama seperti dahulu, tiada tanda-tanda riang gembira sebagaimana layaknya seorang pengantin baru. Ketika beradu pandang dengan Lenghou Tiong, mendadak air mukanya berubah merah dan lantas menunduk.

Seketika dada Lenghou Tiong seperti kena digodam dengan keras, mata terasa berkunang-kunang, berdiri pun hampir tidak sanggup. Sayup-sayup telinga mendengar seorang menyapa padanya, “Lenghou-ciangbun, engkau adalah tamu jauh, tapi malah sudah datang lebih dulu. Siau-lim-si adalah tetangga dekat, tapi Lolap malah datang terlambat.”

Lalu Lenghou Tiong merasa bahunya dipayang seorang, cepat ia tenangkan diri dan memerhatikan, kiranya dengan tersenyum simpul Hong-ting Taysu sudah berdiri di depannya. Cepat ia menjawab, “O, kiranya Hong-ting Taysu. Terimalah hormat Wanpwe!”

“Sudahlah, kita tidak perlu banyak adat lagi, kalau setiap orang saling memberi hormat, sampai kapan beribu-ribu orang yang hadir ini bisa rampung saling memberi hormat? Silakan para hadirin masuk sian-ih (pendopo) dan duduk di dalam.”

Para kesatria sama mengiakan, beramai-ramai mereka lantas masuk ke kuil Cun-kek-sian-ih.

Puncak tertinggi dari Ko-san bernama “Cun-kek”, di puncak tertinggi itu dibangun sebuah kuil dan disebut Cun-kek-sian-ih, selama beratus tahun kuil itu menjadi tempat kediaman ketua Ko-san-pay.

Pekarangan kuil itu penuh dengan pepohonan, pendoponya juga sangat luas, cuma kalau dibanding Tay-hiong-po-tian dari Siau-lim-si memang lebih kecil. Baru ribuan orang masuk ke kuil itu sudah memenuhi pendopo dan halaman luar, selebihnya hampir-hampir tiada tempat berpijak lagi di dalam kuil.