Suling Emas: 11-15


Setelah berpikir demikian, ia sengaja memperlambat gerakan pedangnya dan ketika golok menyambar lehernya, ia sengaja tidak menangkis, bahkan meramkan kedua matanya menanti maut! Betapa terkejutnya hati Kam Si Ek, tak usah diceritakan lagi. Pemuda ini berseru kaget dan karena ia sudah tak mungkin menarik pulang goloknya, maka sedapat mungkin ia menyelewengkan bacokannya kearah leher. Namun, tetap saja goloknya itu membabat kearah pundak dan “makan”

Kedalam daging dipangkal lengan Lu Sian. Darah mengucur, membasahi baju gadis itu. Kam Si Ek berdiri tegak seperti patung, mukanya pucat, matanya terbelalak, lalu ia memandang wajah Lu Sian dengan bingung.

“Kau bunuhlah. Mengapa tidak jadi? Bukankah engkau hendak membunuhku?”

Lu Sian berkata, biarpun pangkal lengannya terasa sakit, namun jantungnya berdebar girang melihat hasil ujiannya yang berbahaya ini. Jelas bahwa pemuda itu tidak membencinya, buktinya tidak tega membunuhnya dan tadi serangan pemuda itu hanya digerakkan oleh kemarahan yang tiba-tiba.

“Kau.. kau mengapa begini aneh..? Mengapa membunuh orang… dengan kejam…?”

“Mengapa aku membunuh mereka berenam tadi? Hemm, dengarlah. Mereka adalah anak buah pasukan yang telah menawanmu, mereka adalah musuh. Pula, kita sedang dikejar-kejar dua orang kakek iblis, dan mereka ini sudah melihat kita. Kalau tidak dibunuh, apakah mereka tidak akan membocorkan keadaan kita kepada mereka? Kau seorang jenderal, dengan pasukanmu sudah biasa kau membunuh laksaan orang musuh tanpa berkedip, membunuh laksaan orang yang tidak kau ketahui apa kesalahan mereka dan apa kejahatan mereka. Sekarang aku membunuh enam orang yang terang-terangan adalah orang jahat dan yang akan mendatangkan bahaya bagi kita, mengapa kau marah-marah? Kau mengucapkan fitnah busuk, mengira aku akan membujukmu untuk mengabdi kepada Nan-cao! Alangkah tipis kepercayaanmu, tanda bahwa cintamu palsu belaka, hanya dibibir. Aku… aku… ahhhh….!”

Tubuh Lu Sian terhuyung-huyung lalu ia roboh terguling. Kam Si Ek kaget sekali, cepat ia melompat maju dan memeluk tubuh gadis itu, dan melihat betapa wajah gadis itu pucat, matanya meram, mulutnya terkancing rapat, ia makin gugup.

“Moi-moi…. Moi-moi…, kaumaafkan aku… ah, aku bodoh sekali! Lu Sian…! Moi-moi…!”

Kam Si Ek lalu memondong tubuh gadis itu, menyambar pedang dan golok, lalu berlari kebelakang rumah dan meloncat ke atas dek perahu besar. Hanya diperahu itulah tempat kering, maka ia lalu meletakkan tubuh Lu Sian keatas sebuah pembaringan yang berada dibilik perahu.

“Ah, benar-benar aku lancang tangan… Moi-moi, kau ampunkan aku…!”

Kam Si Ek merobek baju dipundak Lu Sian dan memeriksa. Luka itu cukup dalam dan mengeluarkan banyak sekali darah. Dengan hati penuh kegelisahan pemuda itu lalu merobek ikat pinggangnya dan membalut pundak dengan erat sekali untuk mencegah mengalirnya darah terlalu banyak.

Kemudian, melihat wajah gadis itu masih pucat dan matanya masih meram, napasnya tersengal-sengal seperti orang sekarat, ia lari kesana kemari, mengambil panci dari belakang perahu, membuat api dan memanaskan air. Tidak ada yang lebih baik daripada air matang untuk mencuci luka, pikirnya. Dimusim banjir seperti itu, air sungai amat kotor dan amat tidak baik untuk mencuci luka sebelum dimasak mendidih. Ia sama sekali tidak tahu betapa napas gadis yang tadinya terengah-engah itu menjadi biasa kembali, mata yang tadinya meram itu, terbuka satu dan bergerak mengikuti gerak-geriknya dengan mulut menahan senyum geli! Kalau ia mendekat, mata itu tertutup lagi dan napas itu tersengal-sengal lagi!

Setelah air matang Kam Si Ek lalu membuka balutan pada pundak Lu Sian, mencuci luka sampai bersih lalu membalut lagi. Kemudian, melihat diperahu itu banyak perlengkapan bahan makan ia lalu membuat bubur dan membakar daging asin. Bukan main gelisah hati Kam Si Ek melihat gadis itu biarpun sudah siuman, namun belum sadar, masih bergerak-gerak gelisah diatas pembaringan, matanya tetap ditutup dan sekarang malah mulutnya mengigau seperti orang terserang demam! Dapat dibayangkan betapa terharu hatinya ketika dalam igauannya, sambil meramkan mata gadis itu selalu menyebut-nyebut namanya!

“Ayah, aku tidak mau menikah dengan Kwee Seng! Tidak mau dengan raja muda di timur, pangeran di barat atau putera mahkota di utara! Aku hanya mau menikah dengan Kam Si Ek, biar dia jenderal tolol, biar dia laki-laki canggung, aku sudah cinta kepadanya, Ayah!”

Kam Si Ek duduk bengong dipinggir pembaringan. Bermacam perasaan teraduk dalam hatinya. Girang dan bahagia karena dalam igauannya ini Liu Lu Sian jelas membuka isi hatinya yang amat mencintainya. Bingung karena gadis itu makin malam makin hebat mengigau dan gelisah.

Duka dan khawatir karena ia telah melukai gadis itu, melukai tubuh dan hatinya. Lu Sian mengigau terus. Dalam igauannya itu malah ia menyebut-nyebut bahwa ia bersama Kam Si Ek akan pergi menemui Gubernur Li Ko Yung di Shan-si, untuk minta bantuan gubernur ini menjadi perantara meminangnya kepada ayahnya di Nan-cao. Mendengar igauan ini, sadarlah Kam Si Ek bahwa itulah jalan terbaik. Ia memang tadinya menerima undangan atau panggilan Gubernur Li dan ditengah jalan ia dijebak dan dikhianati komplotan para perwira yang memberontak dan pasukan-pasukan kerajaan Liang. Hal itu perlu ia laporkan kepada Gubernur Li. Disamping itu untuk mengajukan lamaran kepada ayah Liu Lu Sian yang selain menjadi Ketua Beng-kauw, juga menjadi koksu (guru negara) di Nan-cao, siapa lagi yang lebih tepat selain dengan perantaraan Gubernur Li?”

Ia memeluk Lu Sian dan mencium pipinya dengan mesra.

“Moi-moi, tenangkanlah hatimu, kau ampunkan kokomu yang tolol ini. Aku cinta kepadamu, Moi-moi, dan demi Tuhan, aku akan meminangmu dari tangan ayahmu.”

Ia lalu sibuk melepaskan perahu daripada ikatan, mendayung ketengah lalu memasang layar. Biarpun bukan ahli, Kam Si Ek tidak asing dengan pelayaran, maka biarpun hari telah berganti malam, ia berani melayarkan perahunya dibawah sinar bulan. Lu Sian membuka matanya dan tersenyum-senyum girang. Melihat Kam Si Ek sibuk mengemudikan perahu, ia lalu mengeluarkan bungkusannya, mengambil obat luka dan mengobati pundaknya. Kemudian ia mengusap-ngusap pipinya yang masih panas oleh ciuman Kam Si Ek, turun dari pembaringan perlahan-lahan lalu keluar dari dalam bilik.

“Koko (Kanda)…”

Ia berseru memanggil lirih. Kam Si Ek terkejut dan menoleh. Melihat gadis itu berdiri bersandar pintu bilik, ia terkejut, girang dan juga khawatir.

“Eh, kau sudah bangun, Moi-moi? Kau beristirahatlah, jangan keluar dulu, nanti kena angin…! Itu ada bubur dimeja, kau makanlah…!”

“Aku tidak lapar, Koko, dan aku sudah sembuh.”

Mana bisa ia merasa lapar kalau hatinya sebahagia itu? Pula, ketika ia berpura-pura pingsan dan mengigau, bukankah Kam Si Ek dengan amat telaten telah menyuapinya dengan bubur sampai kekenyangan?

“Aku merasa seperti baru bangun dari mimpi. Eh, Koko kau melayarkan perahu ini kemanakah?”

Girang sekali hati Kam Si Ek melihat kekasihnya benar-benar telah sembuh, wajahnya berseri pipinya merah dan matanya bersinar-seinar.

“Pundakmu tidak nyeri lagi, Moi-moi?”

Dengan gaya manja Lu Sian menggeleng kepalanya lalu berjalan menghampiri. Dengan satu tangan Kam Si Ek memegang tali layar, tangan kedua meraih lengan gadis itu dan mereka berpegang tangan, saling pandang penuh kasih.

“Sian-moi, kau tahu bahwa aku dipanggil oleh Gubernur Li akan tetapi oleh pasukan yang berkhianat dan bersekongkol dengan Raja Liang, aku diculik. Hal ini harus kulaporkan kepada Gubernur Li, maka aku sekarang hendak pergi ke Shan-si untuk berunding dengan beliau. Kuharap kau suka ikut denganku kesana, selain berunding urusan pengkhianatan itu, akupun perlu minta bantuannya.”

Sampai disini pemuda itu berhenti bicara dan mukanya menjadi merah.

“Bantuan apa, Koko?”

Lu Sian bertanya, pura-pura tidak tahu akan tetapi diam-diam girang sekali karena agaknya akalnya “mengigau”

Itu berhasil baik.

“Moi-moi.”

Tangan Kam Si Ek menggenggam erat-erat tangan Lu Sian.

“Aku hendak mohon bantuannya untuk menjadi orang perantara, mengajukan pinangan atas dirimu dari tangan ayahmu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan di Nan-cao.”

Girang sekali hati Lu Sian.

“Koko, kemanapun juga kau pergi, aku suka ikut!”

Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagi muda-mudi daripada kegembiraan dua buah hati yang saling bertemu. Berhari-hari mereka menjalankan perahu sambil bersenda gurau, menceritakan keadaan masing-masing, menangkap ikan dan masak-masak lalu makan bersama. Kam Si Ek makin mendalam cinta dan kagumnya terhadap Lu Sian, mengagumi kecantikan dan kelincahan gadis ini, termasuk wataknya yang kadang-kadang aneh. Dilain pihak, Lu Sian juga kagum akan kekasihnya yang sudah tiada orang tua lagi, tentang keturunan keluarga Kam yang semenjak dahulu terkenal sebagai panglima-panglima perang jagoan. Ketika Lu Sian bercerita tentang pertemuannya dengan kakak seperguruan jenderal itu, yaitu Lai Kui Lan didalam benteng, Kam Si Ek menyatakan kekuatirannya.

“Suci seakan-akan telah menjadi saudara kandungku. Dia seorang pendiam dan bersungguh-sungguh, banyak membantuku dalam perang. Akan tetapi akhir-akhir ini ia sering kudapati menangis dikamarnya, dan sama sekali tidak mau menceritakan apa sebab-sebabnya. Aku kuatir sekali ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Malah sebelum aku pergi dari benteng, Suci seringkali berkunjung ke Kwan-im-bio diluar benteng, bahkan bermalam disana. Agaknya ia menjadi kenalan baik dari para nikouw (pendeta wanita) di kuil itu.”

Mendengar ini, Lu Sian dapat menduga dan ia hanya mengeluh didalam hatinya, tidak mau menceritakan apa yang menjadi dugaannya. Ia menduga bahwa Kui Lan tentu menjadi korban asmara, tentu berduka karena Kwee Seng terjatuh kedalam jurang dan binasa.

Gadis itu mencinta Kwee Seng dan menjadi patah hati. Ia tidak berani bercerita tentang Kwee Seng kepada Kam Si Ek karena cerita ini tentu akan membuka pula rahasia tentang perasaan Kwee Seng kepadanya. Akibat ceritanya ini tentu akan mendatangkan suasana tidak enak diantara mereka, apalagi disitu tersangkut pula diri Lai Kui Lan. Cinta memang aneh. Biarpun dua orang muda yang amat jauh berbeda sifat dan wataknya, namun kalau sudah dipengaruhi cinta kasih, mereka seperti lupa akan semua perbedaan ini. Seorang yang mabok dicinta, hanya akan melihat yang baik-baik saja dari kekasihnya. Demikian pula dengan Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Kalau saja mereka tidak sedang mabok cinta, tentu mereka akan dapat melihat bahwa mereka mempunyai watak yang jauh berbeda. Kam Si Ek adalah seorang pemuda yang keras hati, jujur, berdisplin memegang aturan, gagah perkasa dan seorang patriot.

Sebaliknya, Lu Sian memiliki dasar watak yang aneh, kadang-kadang licik dan menjalankan siasat-siasat yang curang bukanlah aneh baginya. Ia tidak peduli akan segala aturan, bebas merdeka dan liar. Tidak mau kalah oleh siapapun juga, tidak peduli akan orang lain menderita atau tidak, tidak peduli sama sekali tentang negara maupun bangsa. Baginya, siapa yang menentangnya akan ia hantam! Perbedaan itu secara mencolok akan tampak kalau kita dapat menjenguk isi hati dan pikiran mereka pada saat mereka duduk melamun. Kam Si Ek melamunkan kebahagiaannya kalau sudah menikah dengan Liu Lu Sian, melamun betapa dengan bantuan isterinya yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa itu, ia akan dapat berjuang dan memilih junjungan yang benar-benar tepat pada jaman itu, seorang calon raja yang akan benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat.

Sebaliknya, Lu Sian disamping melamun tentang kesenangannya menjadi isteri pemuda yang dicintanya, juga ia teringat akan kekalahan-kekalahannya yang diderita selama ini. Hatinya panas bukan main kalau ia teringat betapa ia sama sekali tidak berdaya menghadapi orang-orang sakti seperti Kwee Seng, Ban-pi Lo-cia, Bayisan, dan Kong Lo Sengjin. Alangkah masih jauh ia ketinggalan dalam ilmu silat, pikirnya dengan hati tidak puas. Ia bercita-cita untuk memperdalam ilmu silatnya, mencari kitab-kitab pusaka dan wasiat-wasiat ilmu silat agar ia dapat menjadi seorang tokoh sakti yang akan menjagoi dunia persilatan, mengalahkan orang-orang itu. Pertama-tama ia akan minta kepada ayahnya untuk mewariskan ilmu-ilmu baru ciptaan ayahnya, kemudian ia akan menitahkan anak buah suaminya untuk menyelidiki dan mencari orang-orang berilmu!

Untung bagi mereka, didalam perjalanan mereka tidak bertemu dengan Ban-pi Lo-cia maupun Kong Lo Sengjin dan setelah tiba diwilayah Shan-si, mereka merasa aman, melakukan perjalanan cepat dengan menunggang kuda memasuki ibu kota Shan-si, menghadap Gubernur Li Ko Yung. Gubernur Li adalah seorang yang cerdik sekali. Dia merupakan seorang diantara pimpinan pemberontakan yang menggulingkan kedudukan kaisar terakhir Dinasti Tang. Akan tetapi ia tidak semaju Gubernur Cu Bun di Ho-nan yang akhirnya berhasil menggulingkan Kerajaan Tang dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar pertama Kerajaan Liang. Terhadap Jenderal Kam Si Ek, Gubernur Li berlaku amat hati-hati.

Ia maklum bahwa jenderal muda ini amat setia terhadap negara dan bangsa, dan bahwa jatuhnya Kerajaan Tang tidak mempengaruhi hati Kam-goanswe. Oleh karena itulah maka dengan cerdik ia hendak mempergunakan tenaga dan pikiran jenderal muda itu secara halus. Ia menyambut kedatangan Kam Si Ek dengan ramah tamah dan penuh penghormatan, juga terhadap Liu Lu Sian yang diperkenalkan sebagai puteri Beng-kauwcu, ia menyambut dengan ramah. Ketika secara singkat Kam Si Ek menceritakan bahwa perwira she Phang yang diutus memanggilnya ke benteng itu telah bersekongkol dengan pasukan Kerajaan Liang untuk menawannya, Gubernur Li menjadi marah sekali.

“Keparat itu berani melakukan kejahatan seperti itu?”

Gubernur Li menggebrak meja, memanggil seorang panglima dan memerintahnya segera berangkat membawa pasukan dan surat perintahnya untuk menangkap Phang-ciangkun dan menjatuhi hukuman mati! Setelah itu ia menjamu kedua orang tamu agung ini dengan arak dan hidangan lezat, berkali-kali ia memberi selamat atas pembebasan Kam-goanswe daripada bahaya. Kemudian, setelah mereka kenyang makan minum dan mengusir para pelayan, Gubernur Li Ko Yung berkata.

“Goanswe, saya ingin sekali bicara empat mata denganmu, untuk merundingkan urusan negara dalam keadaan kacau-balau seperti sekarang ini.”

Berkata demikian, ia melirik kearah Liu Lu Sian. Gadis ini tentu saja maklum bahwa dia merupakan “orang luar”

Apalagi dia adalah puteri Guru Negara Nan-cao, maka tentu saja ia tidak berhak mendengar. Namun dasar ia berwatak nakal dan kukwai (aneh), ia pura-pura tidak tahu dan enak-enak duduk minum arak wangi! Kam Si Ek merasa tidak enak sekali. Mengusir Liu Lu Sian pergi, tentu saja tidak enak baginya, mendiamkannya saja kekasihnya berada di situ, juga tidak enak terhadap Gubernur Li. Maka dengan memberanikan hati ia lalu berkata sambil bangkit berdiri dan menjura kepada gubernur itu.

“Li-taijin, harap maafkan. Sebelum kita meningkat kepada percakapan urusan negara yang penting, baiklah lebih dulu saya menyatakan terus terang bahwa Nona Liu ini bukanlah orang luar. Dia adalah… adalah… calon isteri saya, yaitu… eh…, kalau saja Taijin sudi melepas budi kebaikan kepada kami berdua untuk menjadi orang perantara dan mengajukan pinangan kepada Beng-kauwcu di Nan-cao.”

Setelah berkata demikian, dengan muka merah ia duduk kembali. Liu Lu Sian tersenyum didalam hati, akan tetapi ia diam saja pura-pura tunduk karena malu. Sejenak gubernur ini tercengang, kemudian ia tertawa bergelak-gelak saking girangnya. Tidak ada kesempatan sebaik ini! Cocok benar dengan cita-cita hatinya. Mengikat hubungan baik dengan Nan-cao! Melepas budi kepada Jenderal Kam! Maka ada kesempatan yang lebih bagus daripada ini demi terlaksananya cita-citanya?

“Ha-ha-ha! Bagus…, bagus sekali! Kionghi, kionghi (selamat,selamat)! Memang sudah tiba waktunya Kam-goanswe memilih teman hidup dan Nona Liu yang cantik jelita puteri Beng-kauwcu benar-benar merupakan pasangan yang amat cocok dengan Kam-goanswe. Sekali lagi kionghi dan tentu saja dengan segala senang hati saya suka menjadi perantara!”

Gubernur Li mengangkat cawan memberi selamat dan dua orang muda itu cepat menghaturkan terima kasih. Setelah itu, Gubernur Li Ko Yung berkata dengan suara bersungguh-sungguh.

“Ji-wi (kalian) tentu maklum bahwa bekas Gubernur Cu Bun yang sekarang mengangkat diri sendiri menjadi Raja Dinasti Liang adalah seorang pengkhianat, maka tidak mengherankan pula ia berusaha menculik Kam-goanswe. Memang dahulu kami bekerja sama dalam usaha menggulingkan Raja Tang yang pada waktu itu merupakan raja lalim. Akan tetapi sama sekali bukan menjadi rencana kami untuk mengangkar diri sendiri menjadi raja, melainkan hanya bermaksud menggulingkan raja lalim dan mencari pengganti yang tepat. Siapa kira Cu Bun berkhianat dan mendirikan dinasti baru yang sekarang ini. Maka tidak mengherankan apabila mereka yang tadinya membantu dalam perjuangan, kini memisahkan diri dan terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil. Sekarang, bagaimana dengan daerah kita yang meliputi Propinsi Shan-si? Tentu saja kita tidak akan tunduk kepada Kerajaan Liang atau kerajaan kecil yang manapun juga. Bagaimana pendapat Kam-goanswe?”

Kam Si Ek mengangguk-angguk, lalu berkata,

“Saya setuju dengan pendapat Taijin. Demi kesetiaan leluhur kita yang berjuang untuk negara dan rakyat, saya sendiri tidak akan mudah memilih junjungan, karena sekali kita salah pilih mengabdi kepada raja lalim berarti kita pun membantu kelalimannya.”

“Betul sekali ucapan Kam-goanswe! Kita berjuang di bidang yang lain, saya di bidang sipil, Goanswe dibidang militer, namun pendapat dan tujuan kita cocok! Kita boleh menanti dan memilih secara hati-hati, sementara itu, sebelum muncul seorang pemimpin yang betul-betul cocok, kita tidak bisa membiarkan daerah Shan-si yang menjadi tanggung jawab kita ini dicaplok oleh raja kecil palsu yang manapun juga. Bukankah begitu, Kam-goanswe?”

“Betul sekali, Taijin. Saya akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan dan membela Shan-si!”

“Bagus! Nah, ketahuilah, Goanswe. Diantara para raja kecil yang secara lancang mengangkat diri sendiri, kini terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan. Bukan hanya dari Kerajaan Liang saja datangnya ancaman terhadap wilayah kita, melainkan dari Se-cuan, dari timur Kerajaan Wu Yue, belum lagi ancaman yang amat membahayakan dari Bangsa Khitan. Untuk mempertahankan wilayah kita, perlu kita membentuk pemerintahan sementara dan kerja sama yang erat antara kita semua yang bertugas di Shan-si. Oleh karena itu, setelah nanti saya menjadi orang perantara dan telah dilangsungkan pernikahan antara Ji-wi berdua, saya minta agar Kam-goanswe sudi memegang tugas panglima di sini dan mengatur semua barisan yang perlu diperkuat untuk mejaga wilayah kita dari ancaman di segala jurusan.”

Pandai sekali Gubernur Li mengatur rencana dengan halus sehingga Kam Si Ek yang berwatak jujur itu percaya seratus prosen. Sama sekali Gubernur Li Ko Yung tidak membayangkan niat untuk mencari kekuasaan sendiri, maka serta merta Kam Si Ek menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama. Adapun Lu Sian yang lebih cerdik dan sudah biasa menghadapi kelicikan dan siasat busuk orang, sedikit banyak menaruh curiga, akan tetapi ia tidak mau peduli akan cita-cita gubernur itu. Hasratnya hanya satu yaitu menjadi isteri Kam Si Ek yang dicintainya, dan kalau gubernur itu dapat menjadi perantara sehingga hasrat hatinya terkabul, ia merasa cukup puas. Baginya sama saja apakah Gubernur Li itu seorang patriot tulen ataukah seorang pengkhianat. Juga ia tidak peduli Kam Si Ek akan membantu siapa, asal jenderal muda yang perkasa ini menjadi suaminya.

Ketika utusan Gubernur Li yang merupakan sepasukan berkuda membawa seorang wakil dan surat pribadi mengajukan pinangan, berikut pula berpeti-peti barang berharga, tiba di Nan-cao menghadap kepada Beng-kauwcu pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Ketua Beng-kauw ini membaca surat dan menarik napas panjang. Betapapun juga, ia kurang cocok dengan pilihan puterinya ini, dan ia akan lebih senang kalau puterinya mendapat jodoh seorang tokoh kang-ouw seperti Kwee Seng. Puterinya terdidik sebagai seorang ahli silat, sebagai seorang yang biasa terbang bebas seperti burung di udara, sekarang puterinya memilih Kam Si Ek, seorang jenderal yang terkenal sebagai ahli perang yang berdisiplin, bagaimana dapat cocok watak mereka?

Akan tetapi karena surat itu dilampiri surat puterinya, dan ia mengenal baik watak puterinya yang mewarisi wataknya sendiri, yaitu tidak mau mundur sejengkal pun untuk melaksanakan keinginan hatinya, pula mengingat bahwa Kam Si Ek adalah seorang pemuda perkasa yang dijadikan rebutan oleh kaum wanita, keturunan panglima-panglima perkasa pula, terpaksa ia mengalah. Apalagi kalau Ketua Beng-kauw ini sebagai seorang kok-su (guru negara) mengingat akan suasana dan kedudukan Kam-goanswe sebagai panglima di Shan-si, yang tentu saja merupakan kekuasaan yang amat baik untuk dijadikan sekutu, maka ia segera menulis surat balasan menerima pinangan itu dan menetapkan hari pernikahan puterinya di Nan-cao.

Semenjak kerajaan besar Tang yang memerintah selama hampir tiga abad (618-907) roboh oleh Gubernur Cu Bun yang kemudian mengangkat diri sendiri menjadi raja dari Kerajaan Liang Muda, muncul raja-raja kecil diseluruh negara yang jumlahnya sukar dihitung. Disamping perebutan kekuasaan diantara raja-raja kecil ini, banyak pula keluarga Kaisar Tang yang berhasil menyelamatkan diri, dibantu oleh para bekas panglima dan bangsawan, berusaha untuk merebut kembali tahta Kerajaan Tang yang sudah roboh itu. Seorang pangeran Tang secara diam-diam menghimpun kekuatan dan berhasil menarik tenaga-tenaga ahli, diantaranya bahkan telah mendapat bantuan dari bekas Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang sudah menjadi seorang kakek lumpuh yang sakti dan berjuluk Kong Lo Sengjin, dapat pula menarik bantuan Gubernur Li Ko Yung yang dibantu oleh Jenderal Muda Kam Si Ek,

Dan masih banyak pula orang-orang gagah yang menganggap bahwa memang Pangeran Tang itu tepat untuk mendirikan kembali Kerajaan Tang setelah berhasil merampas tahta kerajaan dari Pemerintah Liang Muda. Setelah mengalami perang hebat, yang merupakan perang saudara, maka berhasillah Pangeran Tang itu merobohkan Kerajaan Liang Muda, menghajar habis bala tentaranya dan merampas kota raja Lok-yang. Hal ini terjadi pada tahun 923 sehingga kerajaan Liang Muda itu hanya tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan pertama dari jaman Lima Dinasti, berumur hanya tujuh belas tahun saja (907-923). Kini pemerintahan dikuasai lagi oleh keluarga Kerajaan Tang, dimulai pada tahun 923 itu dan diberi nama Kerajaan Tang Muda.

Akan tetapi ternyata tidaklah seperti Kerajaan Tang yang telah roboh, Kerajaan Tang Muda ini, karena masih terus-menerus timbul rebutan kekuasaan diantara “orang dalam”, juga ancaman serangan dari raja-raja kecil masih terus mengepung Kerajaan Tang Muda. Gubernur Li yang berjasa dalam perjuangan ini, ternyata tidak diberi kenaikan pangkat, tidak ditarik ke kota raja untuk dijadikan menteri, melainkan oleh Raja Tang Muda ditetapkan menjadi Gubernur di Shan-si seperti biasa dan hanya diberi pengampunan atas dosa-dosanya karena dahulu pernah ikut memberontak kepada raja terakhir Dinasti Tang! Gubernur ini tidak berani membantah secara berterang, namun didalam hatinya timbul dendam terhadap Kerajaan Tang Muda. Adapun Kam Si Ek yang tenaganya amat dihargai dan terutama sekali masih amat dibutuhkan oleh kerajaan baru ini, Jenderal Kam Si Ek tetap tinggal di Shan-si.

Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan sementara terjadi pergantian kekuasaan itu, pernikahan antara Kam Si Ek dan Liu Lu Sian sudah berjalan tujuh tahun dan mereka mempunyai seorang putera berusia enam tahun. Anak ini bernama Kam Bu Song, seorang anak yang sinar matanya tajam membayangkan kecerdasan, wajahnya toapan (lebar dan terang), dan mempunyai tulang dan otot yang kuat, menjadi bahan baik untuk menjadi ilmu silat. Akan tetapi, Kam Si Ek lebih suka menggembleng puteranya itu dengan ilmu surat lebih dulu, maka sejak berusia lima tahun, Kam Bu Song sudah pandai membaca ribuan huruf. Suami isteri ini pada tahun-tahun pertama hidup penuh kebahagiaan, berenang dalam madu cinta kasih. Akan tetapi, seperti yang telah dikhawatirkan oleh Pat-jiu Sin-ong, perbedaan watak mereka mulai terasa setelah lewat beberapa tahun.

Dalam soal pendidikan terhadap Bu Song saja, mereka sudah berbeda pendapat dan hal ini sudah menjadi bahan percekcokan. Liu Lu Sian menghendaki puteranya menjadi ahli silat yang kelak akan menjagoi kolong langit, sebaliknya Kam Si Ek berpendapat lain, tidak menyukai puteranya menjadi seorang petualang dunia kang-ouw. Soal-soal lain yang jelas memperlihatkan perbedaan paham dan kesenangan segera susul-menyusul memperlihatkan diri. Kalau tadinya perbedaan-perbedaan itu masih terselimut cinta kasih mereka yang mesra, lambat laun perbedaan ini terlihat mencolok dan mulai mengganggu perasaan.

Lu sian beberapa kali menyatakan keinginannya merantau, malah mengajak suaminya meninggalkan tugas untuk setahun dua tahun agar mereka dapat mengajak putera mereka merantau dan menambah pengalaman didunia kang-ouw. Tentu saja Kam Si Ek menolak ajakan ini. Lu Sian menyatakan bahwa ia ingin sekali memperdalam ilmu kepandaiannya agar kelak dapat diturunkan kepada puteranya atau setidaknya, kelak takkan dapat terhina lagi oleh orang-orang sakti seperti pernah mereka derita ketika mereka bentrok melawan orang-orang sakti, akan tetapi Kam Si Ek menjawab bahwa bukanlah ilmu silat yang dapat melindungi kita, melainkan watak yang baik!

Demikianlah, percekcokan-percekcokan kecil timbul, disusul dengan percekcokan-percekcokan besar, Kam Si Ek yang berwatak keras dan jujur tidak mau mengalah, dan akhirnya tak dapat dicegah lagi rumah tangga yang tadinya penuh kebahagiaan itu menjadi berantakan! Pada suatu pagi yang cerah, kegelapan meliputi rumah Panglima Kam Si Ek, karena isterinya tidak berada di dalam kamarnya. Liu Lu Sian berjiwa petualang! Hanya sehelai kertas ditinggalkan berikut beberapa huruf tulisannya.

Kam Si Ek,

Kita berpisah untuk selamanya. Kau boleh menikah lagi dengan seorang yang kau anggap cocok dengan keadaanmu. Aku titip Bu Song, kelak kalau aku sudah berhasil, akan kujemput dia.

Liu Lu Sian

Kam Si Ek menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan diri diatas kursi dalam kamar mandi memegang surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia telah salah pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya itu sama sekali berbeda dengan wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai seorang laki-laki ia menerima penderitaan daripada kesalahan ini dengan hati tabah. Betapapun juga, ia mencinta isterinya itu dan sekarang, melihat kenyataan pahit bahwa isterinya meninggalkannya, hatinya menjadi kosong dan perasaannya perih. Terbayang percekcokan mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk kesekian kalinya membujuknya untuk meletakkan jabatan dan meletakkan jabatan dan melakukan perantauan.

“Si Ek!”

Demikian isterinya berkata marah, isterinya itu sejak menikah menyebut namanya begitu saja.

“Kau sendiri bilang bahwa Kerajaan Tang Muda ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang telah roboh, bahwa kerajaan ini menjadi sarang koruptor dan medan perebutan kekuasaan. Apalagi rajanya mengandalkan bimbingan seorang kejam dan jahat seperti Kong Lo Sengjin, mengapa kau masih mau diperkuda oleh pemerintah macam itu?”

“Lu Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku sama sekali bukan menghambakan diriku kepada orang-orang tertentu, melainkan kepada negara dan bangsaku. Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan bahwa Kerajaan Tang Muda ini tetap bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku sama sekali tidak ikut-ikut dengan kelaliman mereka, aku bertugas menjaga keamanan diperbatasan barat untuk menghalau musuh dari luar yang hendak mengganggu wilayah kita, bertugas mengamankan keadaan daerah ini dari gangguan orang-orang jahat.”

“Apa bedanya?”

Lu Sian panas dan mukanya merah menambah kecantikannya.

“Kau kurung dirimu dengan tugas, dan kau kurung diriku pula dengan kekukuhanmu, Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima permintaanku? Ah, kiranya cintamu terhadapku sudah mulai luntur!”

Lu Sian bersungut-sungut, akan tetapi tidak seperti kebiasaan kaum wanita kalau bertengkar, dia tidak menangis.

“Lu Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit terhadap hubungan suami isteri? Ketahuilah, isteriku. Cinta kasih antar suami isteri haruslah lebih masak, tidak seperti cinta kasih muda-mudi yang belum terikat oleh pernikahan. Cinta muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa saling suka dan mabuk oleh daya tarik masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih suami istri lebih mendalam, lebih matang dan libat-melibat dengan kewajiban, saling berkorban dan mengurangi pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan kewajibanku sebagai suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal disisiku melaksanakan kewajiban sebagai isteri dan ibu, apalagi kekurangannya? Kalau kau ajak aku dan anak kita pergi merantau, bukankah itu berarti kita sama-sama melarikan diri dari pada kewajiban? Bagaimana pula dengan pendidikan Bu Song? Kau tahu sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat.”

Lu Sian menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung meja tebal itu menjadi somplak! “Cukup! Bosan aku mendengar kuliahmu! Kalau aku tahu bahwa cintamu terhadapku hanya untuk membuat aku terikat kewajiban-kewajiban, tak sudi aku!”

Sambil berkata demikian Lu Sian lari memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras. Kam Si Ek berdiri tercengang dan terpaku memandang meja, berulang kali menarik napas panjang, kemudian ia pun memasuki kamar lain karena tidak mau membuat isterinya makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang marah begitu, isterinya sama sekali tidak suka didekatinya. Didalam kamar, Kam Si Ek duduk termenung sampai akhirnya ia tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan diatas kedua lengan. Dan pada pagi harinya, baru ia tahu bahwa isterinya telah pergi meninggalkannya, meninggalkan putera mereka, dan ia yang sudah mengenal baik watak isterinya, tahu pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar, percuma pula kalau ia menanti.

Isterinya tidak akan mau kembali, karena watak isterinya itu, sekali mengeluarkan kata-kata, akan dipegangnya sampai mati! Baru tujuh tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Lu Sian baru berusia dua puluh lima! Mereka berdua masih muda dan harus sudah berpisah. Kam Si Ek merasa betapa berat derita hidup yang dialaminya. Apalagi kalau Bu Song, puteranya yang baru berusia enam tahun itu bertanya tentang ibunya, serasa dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik sekali dan agaknya puteranya yang berusia enam tahun itu sudah dapat menduga apa yang terjadi antara ayah dan bundanya.

“Apakah ibu nakal dan ayah mengusirnya? Apakah kesalahan ibu?”

Berkali-kali Bu Song bertanya, dan selalu Kam Si Ek menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke selatan, menengok kakeknya yang sedang menjadi ketua Beng-kauw di Nan-cao. Bu Song tidak menangis, hanya menyatakan heran dan tidak percaya mengapa ibunya pergi begitu saja tanpa pamit kepadanya, pergi tidak mengajak ayahnya ataupun dia. Ketika anak itu mendesak-desaknya, Kam Si Ek yang sedang pusing dan duka itu, membentaknya dengan keras dan sejak itu Bu Song tidak mau bertanya lagi tentang ibunya, akan tetapi diam-diam anak ini hatinya penuh pertanyaan dan menduga-duga siapa yang bersalah antara ayah dan ibunya.

Ia sudah terlalu sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok, ia tahu bahwa mereka bertengkar akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak tahu pula siapakah sebetulnya yang salah diantara mereka. Hidup seakan-akan hukuman bagi Kam Si Ek semenjak isterinya pergi meninggalkannya. Setelah Lu Sian pergi, barulah ia merasa betapa sunyi rasanya dan betapa tiada kegembiraan sama sekali dalam hidupnya. Kalau keadaan Kerajaan Tang Muda tidak seburuk itu, agaknya ia akan mendapat hiburan dengan pekerjaannya. Akan tetapi keadaan Kerajaan Tang Muda ini benar-benar seperti yang digambarkan Lu Sian dalam pertengkaran mereka. Memang betul bahwa Kerajaan Liang yang meerobohkan Dinasti Tang itu dapat dihancurkan dan dapat pula didirikan Kerajaan Tang Muda dengan pimpinan para keturunan keluarga Raja Tang, namun keadaannya sudah amat buruk dan rusak.

Pimpinan muda itu hanya sekelompok orang-orang yang mengumbar nafsu, orang-orang yang mengejar kesenangan belaka, mengejar kedudukan dan kemuliaan. Orang-orang yang tadinya menjadi pejuang gagah berani, setelah memperoleh kedudukan dan kemuliaan, menjadi lupa sama sekali akan tujuan perjuangan mereka. Setiap orang pejuang tadinya bercita-cita menghalau penindas, menghalau kelaliman demi kesejahteraan rakyat jelata, demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, begitu para pejuang ini merasai kenikmatan daripada kedudukan dan kemuliaan, maboklah mereka dan lupalah mereka akan cita-cita luhur itu. Masa bodoh rakyat yang melarat tertindas. Masa bodoh orang lain. Aku yang berjuang mati-matian. Aku yang bertaruh nyawa. Aku pula yang harus senang.

Mengapa memikirkan orang lain? Begitulah kira-kira bantahan dan sanggahan mereka apabila sewaktu-waktu suara hati pejuang menuntut mereka di dalam hati sanubari. Namun, tiada yang kekal di dunia ini. Kesenangan tidak. Kedudukan pun tidak. Semua pasti berakhir, kesenangan dan kesusahan silih berganti mengisi hidup. Semua serba berputar. Selama manusia mengenal suka, tentu ia akan bertemu dengan duka. Siapa yang mengabdi kepada duka, pasti sekali waktu akan diperbudak suka. Inilah hukum timbal balik yang tak terbantahkan lagi. Im Yang! Titik kedua ujung poros yang memutar segala sesuatu di alam mayapada ini.

Tiga tahun semenjak Lu Sian meninggalkan Kam Si Ek tanpa pernah ada berita, maka Kam Si Ek mengalami pernikahannya yang kedua. Gadis pilihannya kali ini adalah puteri seorang siucai (gelar sastrawan), bernama Ciu Bwee Hwa. Tidak secantik Liu Lu Sian tentu saja karena puteri Beng-kauwcu itu memang memiliki kecantikan yang sukar dicari keduanya, akan tetapi Ciu Bwee Hwa terdidik sebagai seorang wanita yang halus perangainya, bersusila dan berkebudayaan tinggi. Yang mendesak Kam Si Ek adalah sucinya sendiri, yaitu Lai Kui Lan yang sekarang telah menjadi nikouw (pendeta wanita) di Kelenteng Kwan-im-bio, dan berjuluk Kui Lan Nikouw.

Seperti telah diceritakan dibagian depan, Lai Kui Lan ini pun menjadi korban asmara. Ia jatuh hati kepada Kwee Seng, kemudian patah hati melihat Kwee Seng terjungkal di dalam jurang yang pasti akan membawa maut bagi pendekar itu. Inilah sebabnya mengapa Lai Kui Lan kini menjadi seorang nikouw, setelah ia tertarik oleh ajaran dan ceramah para pendeta wanita yang sering dikunjunginya. Kui Lan Nikouw yang menyaksikan kehancuran rumah tangga sutenya, menjadi ikut berduka. Maka dari itu, dialah yang mendesak kepada Kam Si Ek untuk menikah lagi, karena hal ini selain perlu bagi Kam Si Ek sendiri, juga amat perlu bagi Bu Song. Anak itu tentu saja memerlukan kasih sayang seorang ibu, dan karena ibunya sendiri sudah pergi meninggalkannya, sebaiknya dicarikan pengganti seorang ibu yang baik budi. Dan pilihan mereka jatuh kepada Ciu Bwee Hwa, puteri tunggal sastrawan Ciu Kwan yang hidup menduda di dusun Ting-chun dikaki Gunung Cin-ling-san di lembah sungai Han.

Upacara pernikahan antara Kam Si Ek dengan Ciu Bwee Hwa, dilangsungkan secara sederhana sekali. Namun karena Kam Si Ek adalah seorang jenderal muda yang terkenal dan disegani, maka tetap saja menjadi meriah dengan datangnya para pembesar dan orang-orang ternama. Akan tetapi, setelah perayaan pesta pernikahan itu selesai, muncullah peristiwa-peristiwa yang membuat hati Kam Si Ek lebih menderita lagi. Tepat pada malam pernikahannya, ketika para tamu sudah pulang, diwaktu malam sunyi dan kedua mempelai sudah memasuki kamar pengantin, tiba-tiba jendela kamar itu diketuk orang dari luar dan ada suara membentak,

“Kam Si Ek, kalau kau benar laki-laki, keluarlah!”

Mendengar suara ini, Ciu Bwee Hwa menjadi pucat dan mempelai wanita ini memegang lengan suaminya sambil berkata, suaranya gemetar,

“Harap jangan layani orang itu…!”

Tentu saja Kam Si Ek menjadi curiga. Sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, mana mungkin ia tidak melayani orang yang menantangnya seperti itu? Ia memandang tajam wajah isterinya, lalu bertanya,

“Mengapa? Siapa dia?”

Dalam suaranya jelas terkandung kecurigaan dan penasaran. Tiba-tiba Ciu Bwee menangis sedih. Lalu terisak-isak berkata,

“Dia… dia… itu Giam Sui Lok, orang sekampung denganku. Dia… seorang jago silat muda di kampung kami… dan dia pernah melamarku akan tetapi … ditolak oleh ayah. Biarpun dia seorang pendekar yang terkenal baik, namun ayah tidak suka… karena dia buta huruf. Ah, dia telah bersumpah hendak menjadi suamiku, harap kau suka menaruh kasihan… dan jangan melayaninya…”

Kam Si Ek mengerutkan keningnya.

“Mana ada aturan begini? biarpun disebut pendekar oleh isterinya, jelas bahwa pemuda itu seorang yang tidak tahu aturan. Setelah ditolak lamarannya, bagaimana berani bersumpah hendak memusuhi siapapun yang menjadi suami Bee Hwa? Dan kalau dia tidak mau melayaninya, bukankah ia akan disangka pengecut dan penakut? Kau bilanglah terus terang, apakah sebabnya kau melarangku melayaninya? Apakah kau suka kepadanya?”

Bwee Hwa masih menangis ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut didepan suaminya.

“Bagaima kau bisa bilang begitu? Ahh…, bukankah aku sudah menjadi isterimu? Jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, bagaimana pikiranku dapat mengingat laki-laki lain? Suamiku, aku memohon kau tidak melayaninya, karena aku tidak ingin kalian bertempur, kemudian seorang diantara kalian terluka atau terbunuh. Kau suamiku, tentu saja aku berpihak kepadamu… akan tetapi, dia terkenal sebagai seorang yang gagah dan baik di kampung kami, dia bukan orang jahat…”

Kam Si Ek mengangkat bangun isterinya dan memeluknya.

“Jangan kau kuatir, aku akan menasihatinya, kalau tidak terpaksa, aku takkan bertanding dengannya.”

Kembali daun jendela diketuk dari luar.

“Kam Si Ek, aku Gam Sui Lok dari Cin-ling-san! Ada urusan diantara kita berdua yang harus diselesaikan sekarang juga. Apakah kau benar-benar tidak berani keluar?”

“Hemm, kautunggulah!”

Kam Si Ek lalu melepaskan isterinya, menyambar senjatanya dan membuka daun jendela, terus melompat keluar. Di pekarangan belakang rumah, tempat yang sunyi, di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Sinar mata orang itu muram, akan tetapi wajahnya membayangkan kegagahan dan kejujuran. Biarpun merasa tak senang melihat orang ini begitu tidak tahu aturan, namun sedikitnya Kam Si Ek kagum akan keberanian dan kejujurannya.

“Orang she Giam, baru saja isteriku bercerita tentang dirimu. Kau seorang laki-laki, bagaimana begini tak tahu aturan dan tak tahu malu? Dia sudah menjadi isteri orang, mengapa kau masih saja mengejar-ngejar? Apakah didunia ini hanya ada dia seorang wanita? Perbuatanmu datang malam ini, benar-benar merupakan penghinaan bagiku, akan tetapi mengingat bahwa kau bertindak karena kebodohanmu, aku mau maafkan dan harap kau segera pergi dari sini, jangan memperlihatkan diri lagi. Perkara ini habis sampai disini saja.”

Giam Sui Lok mengertak gigi dan berkata, suaranya lantang penuh kegeraman hati,

“Kam Si Ek, enak saja kau bicara! Semenjak kecil aku mengenal Bee Hwa, belasan tahun aku melihatnya, aku mimpikan dia, dan ayahnya menolak lamaranku karena aku seorang miskin dan bodoh! Karena itu aku sudah tak dapat hidup lagi kalau tidak dapat berjodoh dengan Ciu Bwee Hwa. Aku sudah bersumpah akan mati diujung senjata siapa yang menjadi suaminya, atau membunuh suami itu. Sekarang dia menjadi isterimu. Nah, mari kita selesaikan persoalan ini. Kau harus mati ditanganku atau aku yang akan mampus ditanganmu untuk mengakhiri penderitaan batin ini!”

Sambil berkata demikian, Giam Sui Lok mencabut goloknya! Kam Si Ek menjadi marah.

“Kau benar-benar seorang yang berwatak berandalan dan tidak menggunakan aturan.”

“Tak perlu banyak cakap, pendeknya berani atau tidak kau mengakhiri urusan ini diujung senjata? Kalau tidak berani, sudahlah, sedikitnya aku tidak akan menderita lagi karena tahu bahwa ayah Bwee Hwa memilih kau bukan karena kau lebih gagah daripada aku, melainkan karena kau seorang panglima, biarpun hanya panglima pengecut.”

“Tutup mulut! Lihat golokku siap menandingimu!”

Bentak Kam Si Ek yang juga sudah mencabut golok emasnya. Giam Sui Lok tertawa bergelak lalu menerjang maju dan terjadilah pertandingan hebat dan seru antara kedua orang itu. Pemuda tinggi besar bermuka hitam itu bertanding dengan nekat, goloknya menyambar-nyambar dengan amat cepat dan kuat agaknya bernafsu sekali untuk segera merobohkan lawan yang amat dibencinya karena telah mengawini wanita yang menjadi idaman hatinya!

Kalau saja ilmu silatnya agak lebih tinggi tingkatnya, agaknya Kam Si Ek akan repot menghadapi terjangan penuh nafsu dan nekat ini. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian Giam Sui Lok tidaklah sehebat nafsunya, dan dibandingkan dengan Kam Si Ek ia kalah jauh. Dengan tenang sekali Kam Si Ek menggerakkan golok emasnya menangkis sampai belasan jurus, kemudian setelah ia melihat kelemahan lawan dan banyaknya kesempatan terbuka karena kenekatan itu, mulailah ia menerjang dan membalas. Akan tetapi Kam Si Ek tidak berniat membunuh lawannya yang sama sekali tidak mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah melihat kesempatan baik, goloknya menyerempet pangkal lengan kanan lawannya. Giam Sui Lok mengeluh, pangkal lengannya luka dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia tidak mengerang kesakitan, menahan rasa nyeri lalu berkata,

“Kau menang. Nah, lekas bacoklah leherku, aku tidak ingin hidup lagi!”

Kam Si Ek tersenyum dan menyimpan goloknya.

“Justeru aku hendak membiarkan kau hidup, sobat! Kau masih muda dan biarlah kau hidup lebih lama untuk menyesali perbuatanmu yang lancang ini. Kelak kau akan merasa malu sendiri akan sepak terjangmu yang bodoh ini. Nah, kau pergilah!”

Giam Sui Lok memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.

“Kam Si Ek! Aku mengaku kalah dan minta mati, akan tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya kau ingin lebih menyiksaku. Akan tetapi, akan datang saatnya aku kembali mencarimu dan sebelum aku mati ditanganmu atau kau mati ditanganku, aku takkan mau sudah!”

Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri ia menjemput goloknya lalu pergi menghilang dibalik gelap malam. Kam Si Ek berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi, seorang anak kecil berusia sembilan tahun mengintai dari balik semak-semak. Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song!

Semenjak beberapa hari ini, Bu Song mengunci diri didalam kamarnya dan menangis saja. Malam ini ia membawa buntalan pakaian, diam-diam keluar dari kamarnya, dan terkejut menyaksikan pertempuran dipekarangan belakang. Ia bersembunyi dan mengintai, kemudian setelah ayahnya kembali kedalam rumah, ia cepat berlari keluar dan lenyap pula di tempat gelap. Dapat dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si Ek. Pernikahannya yang kedua itu amat cepat disusul dua peristiwa yang mengganjal hatinya. Peristiwa dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan, akan tetapi peristiwa kedua, larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka dan gelisah sekali. Tentu saja ia segera menyebar orang-orangnya untuk mencari, namun hasilnya sia-sia belaka. Anak itu tidak dapat ditemukan, seakan-akan ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui Lok yang melakukan penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik, ternyata Giam Sui Lok kembali ke Cin-ling-san, merawat luka dan memperdalam ilmu silat, sama sekali tidak tahu-menahu tentang lenyapnya Kam Bu Song!

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng! Sengaja kita lakukan ini agar jalan cerita dapat tersusun baik, karena memang ada hubungannya antara tokoh-tokoh yang diceritakan itu. Telah kita ketahui betapa dalam keadaan linglung, Kwee Seng telah melayani cinta kasih seorang nenek-nenek di Neraka Bumi selama belasan hari ketika Arus Maut di Neraka Bumi itu meluap airnya dan cuaca menjadi gelap. Setelah cuaca menjadi terang kembali, pikirannya pun menjadi terang dan sadarlah ia bahwa ia telah mencurahkan kasih sayangnya kepada seorang nenek-nenek yang memang menghendaki ia menjadi suaminya! Bagaikan gila Kwee Seng memukuli muka dan kepalanya sendiri, kemudian ia meloncat kedalam air arus Arus Maut, menyelam dan berenang melawan arus. Bukan main kuatnya arus itu, seekor ikan pun agaknya takkan mampu berenang melawan arus itu. Akan tetapi, selama tiga tahun berdiam didalam Neraka Bumi, Kwee Seng telah memperoleh kemajuan yang luar biasa.

Berkat latihan samadhi menurut ajaran kitab samadhi, tenaga lweekangnya meningkat hebat beberapa kali lipat, sedangkan ilmu silatnya juga tanpa ia sadari telah menjadi hebat luar biasa setelah ia memahami kitab Ilmu Perbintangan. Kini, menghadapi terjangan arus yang demikian ganasnya, Kwee Seng dapat mempergunakan lweekangnya, menyelam dan berenang sepenuh tenaga sambil menahan napas. Beberapa kali ia terpukul kembali, namun dengan gigih Kwee Seng maju terus. Benturan-benturan dengan batu ketika ia dihempaskan Arus Maut, tidak terasa oleh tubuhnya yang sudah menjadi kuat dan kebal. Kadang-kadang ia muncul di permukaan air untuk mengambil napas, lalu menyelam kembali dan bergerak maju terus. Bukan main hebatnya perjuangan melawan Arus Maut ini. Perjuangan mati-matian dan ia tidak tahu bahwa andaikata tiga tahun yang lalu ia harus melakukan perjuangan macam ini, tentu ia akan tewas!

Akhirnya ia dapat keluar dari dalam terowongan dan ketika ia muncul di permukaan air, ia melihat langit menyinarkan cahaya terang benderang, membuat matanya silau karena sudah terlalu lama ia tinggal ditempat agak gelap. Biarpun sudah keluar dari terowongan Arus Maut, namun sungai yang diterjangnya ini diapit-apit dinding batu karang yang amat tinggi. Ia berenang terus dan akhirnya, sejam kemudian, ia melihat dinding yang biarpun masih amat tinggi dan curam, namun tidak selicin dinding yang telah ia lalui. Cepat ia berenang ke pinggir, menangkap celah dinding batu karang dan mengangkat tubuhnya keatas. Cepat ia bersila di bawah dinding karang, untuk memulihkan tenaganya dan pernapasannya. Akan tetapi, setelah tenaganya pulih, ia teringat akan perbuatannya dengan nenek itu dan…

Tiba-tiba Kwee Seng menangis, lalu menampari pipinya beberapa kali sampai kedua pipinya bengkak-bengkak matang biru! Sebentar kemudian ia tertawa-tawa, suara ketawanya bergema disepanjang sungai yang diapit dinding karang. Kemudian ia merayap naik melalui dinding yang tidak rata, menggunakan tangan kirinya menangkap dan menginjak celah-celah karang. Cepat sekali gerakannya, seperti seekor monyet saja dan tak sampai seperempat jam, ia telah berada dia atas tanah datar, dilembah sungai di lereng Bukit Liong-kui-san! Tak jauh disebelah depan, ia melihat puncak dimana tiga tahun yang lalu ia bertanding mati-matian melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, dimana ia dirobohkan secara pengecut oleh jarum-jarum beracun Bayisan.

“Ha-ha-ha-ha-ha!”

Tiba-tiba Kwee Seng tertawa bergelak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan rambut riap-riapan karena ketika melawan arus tadi pita rambutnya hilang entah kemana, bajunya robek-robek, kedua pipinya bengkak-bengkak, akan tetapi matanya bersinar terang biarpun mulutnya tersenyum setengah mewek seperti orang mau menangis! Masih terdengar suaranya tertawa-tawa ketika tubuhnya berloncatan dengan gerakan yang luar biasa, tidak seperti manusia lagi, melainkan lebih pantas iblis penjaga gunung sedang menari-nari.

Memang patut dikasihani Kwee Seng ini. Karena tergila-gila akan kecantikan Liu Lu Sian dan kecewa melihat watak gadis yang ia cinta, ia menjadi seorang pemabok, dan kini setiap kali teringat kepada Lu Sian ia masih tertawa-tawa. Kemudian pengalamannya dengan nenek-nenek di dalam Neraka Bumi, benar-benar telah membuat rusak pikirannya, membuat ia tak kuat lagi menahan tekanan batin, membuatnya seperti gila. Kalau teringat kepada nenek-nenek itu, ia menangis. Maka sejak saat itu kembali ke dunia ramai, tawa dan tangis silih berganti dilakukan oleh pendekar muda ini! Seorang pendekar muda yang tadinya terkenal tampan dan gagah perkasa, kini berubah menjadi seorang berpakaian compang-camping yang suka tertawa dan menangis, pendeknya berubah menjadi seorang jembel gila! Dan semua ini karena asmara.

Akan tetapi, sesungguhnya Kwee Seng sama sekali tidaklah gila. Ia hanya seperti orang gila kalau teringat kepada Liu Lu Sian dan teringat pula kepada Si Nenek, karena kedua orang itu mengingatkan ia akan semua pengalaman dan perbuatannya. Kalau ia sedang sadar, Kwee Seng tetap merupakan pendekar yang gagah perkasa, yang cerdik dan berpemandangan luas. Ia tidak pernah pula melupakan Bayisan yang telah berlaku curang dan menyebabkan ia terjungkal ke dalam jurang di puncak Liong-kui-san. Ia tidak pula dapat melupakan guru Bayisan, Ban-pi Lo-cia yang telah membunuh atau lebih hebat lagi, menodai Ang-siauw-hwa sehingga wanita itu membunuh diri, tidak pula lupa kepada Liu Lu Sian yang telah menolak cintanya dan bahkan menghinanya. Demikianlah, Kwee Seng mulai dengan perantauannya. Ia tetap berpakaian seperti jembel, pakaian yang compang-camping penuh tambalan, rambutnya riap-riapan, akan tetapi tubuhnya selalu bersih terpelihara!

Didalam perantauannya bertahun-tahun ini, tak pernah ia melupakan tugasnya sebagai seorang gagah, seorang pendekar yang aneh dan sakti. Namun, tetap seperti dahulu, ia melakukan perbuatannya dengan sembunyi dan semenjak ia keluar dari Neraka Bumi, muncullah didunia kang-ouw seorang tokoh aneh tak terkenal yang luar biasa, yang menggegerkan dunia kang-ouw karena banyak sekali tokoh-tokoh dunia hitam dihancurkan oleh pendekar gila ini. Akhirnya ada yang mengenalnya sebagai Kim-mo-eng dan makin terkenalah nama ini yang dahulu malah tidak begitu terkenal. Kalau dulu hanya tokoh-tokoh terbesar didunia kang-ouw saja yang mengenal Kim-mo-eng sebagai seorang pendekar muda yang berkepandaian tinggi, kini dunia kang-ouw mengenal Kim-mo-eng sebagai seorang pendekar gila, sungguhpun jarang ada orang pernah melihatnya beraksi. Dengan demikian, dalam perantauannya, orang-orang yang bertemu dengan Kwee Seng hanya mengira dia seorang jembel gila, sama sekali tidak ada yang pernah mengira bahwa dia inilah Kim-mo-eng, tokoh kang-ouw yang baru muncul dan membikin geger dunia persilatan itu!

Rasa penasaran dihatinya terhadap Bayisan membuat Kwee Seng mengarahkan perantauannya menuju ke daerah Khitan! Ia hendak meluaskan pengalaman dan sekalian mencari Bayisan atau Ban-pi Lo-cia yang keduanya masih mempunyai perhitungan dengannya. Bangsa Khitan adalah bangsa nomad (perantau) yang terkenal gagah perkasa, ulet dan pandai perang. Karena iklim dan keadaan tanah di mana mereka hidup, yaitu di daerah timur laut yang penuh gunung-gunung, gurun-gurun pasir, dan salju, maka mereka dipaksa oleh keadaan untuk selalu berpindah-pindah tempat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Inilah sebabnya mengapa suku bangsa Khitan amat ulet dan berani. Dan ini pula agaknya yang menyebabkan Khitan seringkali mengadakan penyerbuan ke selatan dalam usaha mereka mencari tempat yang lebih makmur untuk bangsa mereka. Akan tetapi, berkali-kali mereka terpukul mundur oleh bala tentara kerajaan selatan sehingga akhirnya mereka tidaklah begitu berani melakukan penyerbuan secara liar, melainkan baru berani menyerbu setelah direncanakan terlebih dahulu. Karena usaha mereka yang terus menerus menyerbu ke selatan inilah maka bangsa Khitan selalu dianggap sebagai musuh besar oleh orang selatan, dari jaman dinasti manapun juga.

Pada waktu Kwee Seng melakukan perantauannya ke daerah Khitan, yang dijadikan ibu kota Khitan adalah kota Paoto di lembah Sungai Kuning, termasuk daerah Mancuria selatan. Rajanya adalah Raja Kulu-khan, seorang raja yang terkenal gagah suka perang, namun amat dicinta oleh rakyatnya karena terhadap rakyatnya ia selalu bertindak adil dan penuh perhatian. Raja Kulu-khan mempunyai belasan orang putera dan puteri, akan tetapi semua itu lahir dari para selir. Adapun permaisurinya hanya mempunyai seorang anak perempuan, yang dengan sendirinya menjadi puteri mahkota. Puteri mahkota ini bernama Puteri Tayami yang semenjak kecilnya digembleng oleh ayahnya sendiri, pandai menunggang kuda, pandai bermain panah dan pandai pula mainkan tombak dan pedang. Selain ini, ia pun seorang puteri yang amat cantik jelita, menjadi kenangan dan kembang mimpi semua pemuda Khitan.

Namun, tak seorang pun diantara para pemuda berani main-main dengan puteri Tayami, bukan saja karena Tayami adalah Puteri Mahkota, akan tetapi terutama karena mereka gentar menghadapi kegagahan puteri ini. Kalau Tayami sudah ikut maju perang dengan pedang pusaka ditangan, yaitu Pedang Besi Kuning, dengan gendewa dan anak panah menghias bahu, menyengkelit tombak, bukan main hebatnya puteri ini. Entah sudah berapa banyak tentara musuh yang roboh oleh anak panahnya, pedangnya, maupun tombaknya. Khitan memiliki pula banyak panglima-panglima perang yang berilmu tinggi diantaranya adalah Panglima Tua Kalisani dan Panglima Muda Bayisan. Hanya dua orang ini yang paling hebat kepandaiannya diantara semua panglima yang juga memiliki keistimewaan masing-masing.

Akan tetapi hanya kedua orang panglima itu yang memiliki ilmu silat dari selatan dan barat. Adapun Ban-pi Lo-cia biarpun terkenal, namun tidaklah langsung membantu pergerakan bangsanya. Dia adalah guru dari Panglima Muda Bayisan, namun jarang ia tinggal terlalu lama di Khitan, lebih suka merantau ke selatan, ke dunia yang lebih ramai dan lebih banyak terdapat kesenangan-kesenangan yang sesuai dengan selera nafsunya. Dasar watak manusia jantan, di mana-mana sama saja. Asalkan melihat wanita cantik, tentu mereka itu saling berebutan. Yang kasar yang halus, ya begitu juga, hanya yang kasar itu mengeluarkan perasaan hatinya melalui kata-kata kasar atau pandang mata kurang ajar, sedangkan yang halus diam-diam menyimpan di hati.

Namun hakekatnya, sama juga. Di antara sekian banyaknya pemuda Khitan yang jatuh hati terhadap Puteri Tayami, termasuk juga Bayisan dan… Kalisani! Kita sudah mengenal Bayisan sebagai seorang tokoh muda yang haus akan wanita cantik, yang jahat dan keji, tidak segan-segan melakukan perkosaan terhadap wanita yang manapun juga, baik ia isteri orang maupun anak orang, baik ia mau ataupun tidak. Maka tidak mengherankan apabila Bayisan tergila-gila kepada Puteri Mahkota bangasanya sendiri yang demikian jelita ayu. Akan tetapi, yang amat mengherankan adalah Panglima Tua Kalisani. Usianya sudah empat puluh tahun lebih, dua kali usia Tayami, namun panglima yang belum pernah menikah ini secara diam-diam tergila-gila pula kepada Tayami.

Hanya bedanya, kalau Bayisan mengungkapkan perasaannya melalui senyum dan pandang mata, kadang-kadang kata-kata kurang ajar, adalah Kalisani memendam dalam hati, dan mungkin hanya dapat terlihat oleh Tayami sendiri melalui pancaran sinar mata penuh kasih sayang. Namun, semua harapan para muda termasuk dua orang panglima itu, sebenarnya sia-sia belaka. Puteri Mahkota Tayami sudah mempunyai pilihan hati sendiri. Ia telah menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang bekas temannya semenjak kecil, putera dari pelayan pribadi ayahnya. Kini bekas teman itu telah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah, dan biarpun pangkatnya hanya perwira menengah, namun kegagahannya dalam pandang mata Tayami tiada yang dapat menandinginya! Pemuda ini bernama Salinga, biarpun keturunan pelayan raja, namun semenjak nenek moyangnya dahulu amat setia dan berdarah patriot.

Raja Kulu-khan amat mencinta puterinya, dan raja ini pun berpemandangan luas, tidak mengukur pribadi seseorang dari kedudukannya, maka biarpun ia tahu akan perhubungan antara puterinya dengan Salinga, raja ini tidak pernah menegur puterinya. Malah ketika Bayisan mengadukan hubungan itu, ia memarahi Bayisan. Bayisan ini biarpun terkenal diluaran sebagai panglima muda, namun adalah putera Raja Kulu-khan juga. Putera yang lahir dari seorang wanita yang telah bersuamikan seorang pembantu raja, akan tetapi oleh suaminya seakan-akan dijual kepada raja karena mengharapkan kenaikan pangkat! Peristiwa ini terjadi ketika Raja Kulu-khan masih muda dan tidak kuat menghadapi godaan isteri ponggawa itu. Namun, setelah mengetahui niat licik dari ponggawa yang menjual isterinya sendiri itu, raja ini malah menjatuhkan hukuman kepada Si Ponggawa, sedangkan isteri ponggawa itu ia ambil sekalian menjadi selirnya. Hal ini dilakukan untuk mencuci segala noda. Anak yang lahir dari hubungan inilah yang sekarang menjadi Panglima Muda Bayisan!

“Cinta kasih antara orang muda adalah cinta kasih murni yang timbul dari hati sanubari. Adalah Dewa yang menjodohkan, bagaimana kita manusia hendak merusaknya, Bayisan? Kalau adikmu Tayami memang saling mencinta dengan Salinga, biarlah. Salinga seorang pemuda baik, apa salahnya?”

“Akan tetapi, Sri Baginda. Adinda Tayami adalah seorang Puteri Mahkota, sedangkan Salinga… seorang prajurit biasa…”

“Hemm, dia seorang perwira…”

“Apa artinya? Seorang Puteri Mahkota jodohnya adalah pangeran, atau yang setingkat…”

“Ha-ha-ha, Bayisan. Alangkah sempit pandanganmu. Siapakah yang membuat hati dan menimbulkan cinta? Hanya para Dewa yang tahu. Siapa sekarang yang membuat segala macam pangkat dan kedudukan? Hanya manusia. Apa sukarnya kalau sekarang aku mengangkat Salinga menjadi Pangeran atau Ponggawa yang tinggi kedudukannya? Mudah saja, bukan? Akan tetapi aku tidak mau lakukan itu, kenaikan tingkat menurut jasa dan pahala. Kalau aku mengangkat Salinga, berarti suatu penghinaan, baik bagi Salinga maupun bagi keluargaku sendiri. Nah, cukup, tak perlu kau mencampuri urusan dalam hati Tayami!”

Demikianlah, dengan hati mengkal dan penuh dendam Bayisan selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan hati Tayami dan menjatuhkan diri Salinga. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani secara berterang melakukan hal ini, karena Salinga adalah kekasih Tayami dan bahwa dia tergila-gila pula kepada Tayami, adik tirinya!

Pagi hari itu kota raja Paoto amatlah ramainya. Kwee Seng memasuki kota raja ini dan biarpun ia menarik perhatian karena pakaiannya yang compang-camping dan penuh tambalan itu menunjukkan bahwa dia seorang selatan, namun sikapnya yang seperti orang gila membuat orang-orang hanya tertawa kepadanya. Memang pada waktu itu, banyak sekali orang Khitan sudah berpakaian seperti orang Han, dengan pakaian yang dapat mereka rampas kalau mereka menyerbu ke selatan, atau pakaian yang mereka perdagangkan dengan kulit dan bulu domba. Banyak juga pedagang-pedagang dari selatan sampai Khitan, mempertaruhkan keselamatan nyawanya. Bagi para pedagang, dimana ada “untung”

Kesana ia pergi, tak peduli disana terdapat bahaya menantang.

Keramaian kota raja Paoto ada sebabnya. Beberapa pekan yang lalu, di bawah pimpinan Panglima Muda Bayisan sendiri, sepasukan orang Khitan menyerbu dan menghancurkan pasukan Kerajaan Cin Muda yang ternyata adalah pasukan yang melarikan diri membawa barang-barang berharga hasil perampasan mereka terhadap Kerajaan Tang Muda yang kalah perang. Banyak sekali barang rampasan ini, belum lagi kuda dan senjata, maka saking gembiranya Raja Kulu-khan lalu mengadakan pesta untuk menghormati pasukan itu. Dan sebagaimana biasanya, dalam setiap keramaian seperti itu, tentu diadakan perlombaan-perlombaan ketangkasan ditepi Sungai Kuning. Perlombaan macam ini bukan hanya sebagai hiburan untuk menggembirakan suasana, namun ada maksudnya pula unutk mengumpulkan tenaga-tenaga muda dan tidak jarang dalam kesempatan seperti ini bermunculan perwira-perwira baru yang diangkat karena kemenangannya dalam perlombaan.

Kwee Seng hanyut dalam arus gelombang manusia yang menuju ke tepi sungai, ke tempat perlombaan. Sambil makan roti susu kambing yang tadi dibelinya dari warung dan kini digerogoti, Kwee Seng ikut berlari-lari. Lapangan di tepi sungai itu luas sekali dan memang tempat ini sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga rata dan baik untuk tempat perlombaan ketangkasan. Hati Kwee Seng berdenyut girang ketika ia mengenal seorang diantara para perwira tinggi yang hadir ditempat itu. Seorang Muda yang tinggi kurus, berpakaian panglima, bertopi indah dengan hiasan bulu, bukan lain adalah Bayisan, musuh lama yang dicari-carinya.

Matanya tetap mencari-cari dan ia agak kecewa tidak melihat Ban-pi Lo-cia ditempat itu. Dipanggung yang sengaja dibuat, duduklah Raja Khitan, ditemani Bayisan, Kalisani, belasan orang panglima tinggi lainnya, dan disamping raja ini duduk pula seorang gadis yang cantik jelita, pakaiannya serba hijau, pedang yang bergagang indah tergantung dibelakang punggung. Inilah Puteri Mahkota Tayami, dan Kwee Seng juga dapat menduganya karena seringkali ia mendengar nama puteri ini disanjung-sanjung orang dalam perjalanannya didaerah Khitan.

Pada saat itu, enam orang penunggang kuda masing-masing, berdiri sejajar dan agaknya menanti tanda untuk segera berlomba lari cepat. Kwee Seng melihat betapa di sebelah depan dipasangi tombak berjajar-jajar, antara dua meter tingginya dan ada empat meter lebarnya. Tombak-tombak itu memenuhi jalan dan dipasang amat kuatnya, gagangnya menancap pada tanah dan ujungnya yang runcing diatas. Tak jauh dari situ, di sebelah kiri jalan berdiri belasan orang barisan panah yang siap dengan busur dan anak panah. Kwee Seng tertarik dan bertanya kepada penonton disebelahnya, seorang Han yang agaknya adalah seorang daripada para pedagang perantau.

“Inilah saat penentuan bagi para pemenang,”

Orang itu menerangkan.

“enam orang itu adalah orang-orang pilihan yang telah keluar sebagai pemenang beberapa perlombaan. Kini diadakan perlombaan untuk memilih yang paling gagah diantara mereka. Pertandingan kali ini tentu seru, karena Salinga ikut. Tuh dia yang berbaju kuning!”

Kwee Seng melihat bahwa pemuda yang berbaju kuning adalah seorang muda yang memang tampan dan gagah, kudanya berbulu putih dan ia berada ditempat paling kiri. Lima orang pemuda lain juga gagah-gagah, bertubuh kekar dan sinar matanya penuh semangat.

“Perlombaan apa saja yang akan dipertandingkan?”

Ia bertanya gembira. Orang itu menengok. Melihat orang yang bertanya, biarpun dari suaranya jelas seorang Han, namun pakaiannya yang compang-camping dan sikapnya yang bebas lepas dan tertawa-tawa menunjukkan bahwa orang ini tak beres otaknya, maka ia lalu menjawab singkat,

“Kau lihat saja, tak usah banyak tanya!”

Kwee Seng membelalakkan mata, mengangkat pundak dan tersenyum lebar. Manusia dimana-mana masih belum dapat melempar wataknya yang buruk, yaitu menilai seseorang dari pakaiannya. Makin indah pakaianmu, makin dihormat oranglah kamu! Akan tetapi ia tidak peduli dan melongok-longok, mendesak diantara banyak orang untuk dapat menonton lebih jelas. Sementara itu, dipanggung, Bayisan memohon kepada Raja untuk mengikuti pertandingan ini.

“Ahh,”

Jawab Raja Kulu-khan.

“Siapa yang tidak tahu bahwa kau adalah Panglima Muda dan memiliki kepandaian tinggi? Apa perlunya kau hendak ikut pertandingan?”

Bayisan tersenyum.

“Hamba rasa amatlah perlu, untuk memberi contoh dan menambah kegembiraan para peserta, dan hal ini dapat menarik perhatian para muda kita agar mereka berlatih lebih giat lagi. Bukankah dengan cara ini, Paduka kelak akan mendapatkan banyak pemuda-pemuda perkasa?”

Raja Kulu-khan tersenyum. Didalam hatinya ia maklum bahwa panglima mudanya ini juga mencari kesempatan “jual muka”

Memamerkan kepandaian, akan tetapi karena alasan tadi ada benarnya pula, maka ia mengangguk memberi ijin.

“Heh-heh-heh, Bayisan, hati-hati kalau kau sampai kalah, bisa jatuh nama!”

Panglima Tua Kalisani menegur Bayisan dengan suaranya yang penuh kelakar. Memang Kalisani terkenal sebagai seorang yang suka bergurau dan selalu berwatak gembira. Dia juga terhitung masih sanak dengan keluarga raja. Bayisan hanya tersenyum mengejek, lalu mengerling kearah Puteri Tayami sambil berkata,

“Mana mungkin aku kalah dengan segala macam perwira seperti mereka itu?”

Setelah berkata demikian, ia memberi hormat kepada raja dan meloncat turun dari panggung. Ucapan ini secara langsung merupakan ejekan terhadap diri Salinga, pemuda pilihan hati Tayami, hal ini tentu saja dimengerti oleh Tayami sendiri, maupun Raja Kulu-khan dan juga Kalisani. Ketika Kwee Seng melihat Bayisan datang menunggang seekor kuda merah, ikut berjajar sebaris dengan enam orang penunggang kuda, tangannya gatal-gatal untuk segera menerjang orang yang telah berbuat curang terhadapnya itu. Akan tetapi ia menahan nafsu hatinya karena maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbukan kegemparan dan kalau ia kemudian dikepung oleh samua orang Khitan meloloskan diri? Lebih baik ia bersabar dan menanti sampai terbuka kesempatan, turun tangan diwaktu malam sunyi.

Raja memberi tanda dengan tangan diangkat keatas, terompet tanduk menjangan dibunyikan orang dan perlombaan ketangkasan dimulai. Peserta paling kanan dengan kuda hitamnya, seorang pemuda yang tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang, berteriak keras, kudanya dicambuk dan larilah binatang ini cepat laksana terbang. Debu mengepul tinggi dan para penonton mengulur leher mengikuti larinya kuda yang makin mendekati barisan tombak yang menghalang jalan. Kwee Seng sudah tidak tampak lagi diantara penonton, karena ia sudah enak-enak duduk diatas cabang pohon, tertawa-tawa dan dapat menonton dengan enak. Setelah tiba dekat barisan tombak, pemuda berkuda hitam itu berseru keras dan kudanya melompat keatas. Hebat lompatan kuda ini.

Keempat kakinya hampir menyentuh ujung tombak. Ketangkasan yang luar biasa akan tetapi juga permainan yang amat berbahaya. Sebuah saja dari keempat kaki kuda itu menyentuh mata tombak, tentu tubuh kuda akan terguling dan jatuh di “sate”

Ujung banyak tombak, mungkin berikut penunggangnya! Namun kuda hitam bersama penunggangnya amatlah tangkas, secepat kilat kuda itu sudah mewakili barisan tombak dan turun dengan selamat, menimbulkan debu mengebul tinggi dan sorak-sorai tepuk tangan gemuruh dari para penonton. Raja mengangguk puas. Makin banyak ia mempunyai orang-orang setangkas itu, makin kuatlah Kerajaan Khitan. Akan tetapi lomba ketangkasan itu belum selesai. Ujian bukan hanya sampai pada melompati barisan mata tombak.

Ini masih belum berbahaya! Ujian kedua lebih hebat lagi, yaitu melalui barisan anak panah. Penunggang kuda hitam sudah melarikan kudanya cepat-cepat, kembali lagi setelah tiba di ujung sana untuk memasuki lingkungan barisan anak panah, yang sudah siap sedia. Begitu kuda itu memasuki lingkungan itu, busur-busur dipentang dan melesatlah puluhan batanga anak panah, menyambar kearah tubuh Si Penunggang Kuda. Semua pelepas anak panah adalah ahli-ahli pilihan sehingga tidak sebatang pun anak panah yang akan mengenai tubuh kuda, melainkan menyambar tepat diatas tubuh kuda, lewat dengan cepat, dekat sekali dengan punggung, bahkan ada yang menyerempet pelana dipunggung kuda.

Akan tetapi Si Penunggang Kuda yang cekatan itu tahu-tahu telah lenyap dari atas kuda. Demikian cepatnya gerakan itu sehingga ia seolah-olah menghilang, padahal ketika anak-anak panah menyambar, penunggang ini sudah menjatuhkan diri kekiri, terus tubuhnya menggantung kebawah perut kuda, hanya kedua kakinya yang menahan tubuh, kedua kaki yang dikaitkan kepada pelana kuda itu. Kuda lari terus, penunggangnya bergantung dibawahnya, sungguh ketangkasan yang mengagumkan! Tepuk tangan dan sorak-sorai menyambut ketangkasan ini setelah kuda besarta penunggangnya selamat melewati barisan anak panah. Dengan gerakan indah Si Penunggang mengayun tubuhnya dan dari sebelah kanan perut kuda ia telah duduk kembali dengan tegaknya!

Ujian ketiga adalah ujian ketangkasan memanah. Sambil menunggang kuda yang mengitari lapangan, Si Penunggang Kuda hitam itu mementang busur dan berturut-turut ia melepas anak panah yang menancap tepat pada dada dan perut boneka besar manusia yang menjadi sasaran dan ditempatkan di tengah lapangan. Tujuh kali Si Penunggang Kuda hitam itu melepas anak panahnya, dan lima diantaranya menancap tepat ditengah dada, yang dua agak meleset, menancap di pundak dan paha. Namun ini saja sudah cukup menyatakan bahwa ia lulus! Dengan bangga Si Penunggang Kuda hitam itu lalu menjalankan kudanya ke bawah panggung, melompat turun dan berlutut kearah raja, kemudian menuntun kudanya berdiri dipinggir ikut menonton peserta-peserta berikutnya.

Peserta kedua mengalami saat naas baginya. Ketika kudanya melompati barisan tombak, dibagian terakhir kudanya terjungkal, jatuh kebawah. Perut kuda tertembus tombak-tombak itu dan penunggangnya pun mengalami nasib yang sama, perut dan dadanya tembus oleh tombak. Penonton berseru kengerian dan beberapa orang penjaga segera lari mendatangi untuk membawa pergi mayat kuda dan orang. Korban mulai jatuh dan permainan berbahaya ini, dan penonton mulai tegang! Peserta ke tiga selamat melampaui barisan tombak, dan ketika melampaui barisan anak panah, kurang cepat ia bersembunyi sehingga pundak dan pahanya terserempet anak panah.

Dalam keadaan luka ringan ini ketika ia memanah orang-orangan, di antara tujuh batang anak panahnya, hanya dua yang mengenai sasaran, maka tentu saja ia pun dinyatakan gagal! Peserta ke empat hanya berhasil melampaui barisan tombak. Ia terjungkal roboh dengan anak panah menancap di perut dan lehernya! Kembali ada korban yang kehilangan nyawanya dalam lomba ketangkasan ini. Namun para penonton tidak lagi menjadi ngeri. Bahkan menjadi makin tegang, karena sekarang ternyata oleh mereka betapa sukarnya olah ketangkasan yang diperlombakan ini. Ketika peserta kelima yang mukanya sudah pucat melihat betapa rekan-rekannya gagal bahkan ada yang tewas itu membentak kudanya mulai mulai lari membalap, semua orang memandang penuh ketegangan.

Peserta kelima ini tubuhnya jangkung kurus namun bahunya bidang dan lengannya kelihatan kuat. Ia berhasil melompati barisan tombak, berhasil pula melewati barisan anak panah dengan cara sembunyi dibawah perut kuda seperti dilakukan peserta pertama, akan tetapi ketika ia memperlihatkan keahliannya memanah, diantara tujuh batang anak panahnya hanya dua yang menancap pada perut sasaran, yang lima meleset semua. Kegagalan inilah yang menyebabkan ia dianggap tidak lulus, tidak diterima menjadi calon panglima dan hanya dinaikkan pangkatnya satu tingkat saja. Namun ia masih beruntung kalau dibandingkan dengan rekan-rekannya yang tewas atau terluka parah.

Tibalah kini giliran Salinga. Begitu pemuda berkuda putih ini maju, para penonton bertepuk tangan. Pemuda ini amatlah tampan dan sikapnya tenang, jelas bahwa orangnya rendah hati dan tidak sombong, namun pandang matanya yang tajam itu membayangkan semangat dan keberanian yang luar biasa. Para penonton yang sudah tahu bahwa pemuda ini adalah pilihan puteri mahkota, tentu saja simpati dan mengharapkan pemuda ini akan berhasil baik dan lulus. Sebaliknya, Puteri Tayami biarpun kelihatan tenang-tenang saja, diam-diam ia merasa kuatir kalau-kalau kekasihnya takkan berhasil. Perlombaan atau ujian sehebat ini hanya diadakan beberapa tahun sekali kalau raja berkenan hendak memilih calon-calon panglima yang harus benar-benar gagah perkasa.

Seperti juga yang lain-lain. Salinga membawa kudanya ke depan panggung, lalu ia turun dan memberi hormat sambil berlutut ke arah raja. Kemudian matanya mengerling sekilas ke arah kekasihnya. Alangkah besar hatinya ketika ia menerima kiriman senyum dari Tayami, senyum yang menimbulkan keyakinan di dalam hatinya bahwa demi untuk puteri pujaannya, ia harus dan akan berhasil! Pada saat ia bangun kembali dan melompat keatas punggung kudanya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dan tahu-tahu seekor kuda berbulu merah telah berada di dekatnya. Salinga tercengang ketika mengenal penunggangnya yang bukan lain adalah Panglima Muda Bayisan! Segera ia menjura diatas kuda putihnya dan berkata.

“Salam, Tuan Panglima!”

“Salam, perwira Salinga yang gagah!”

Balas Bayisan.

“Ada pesan apa gerangan yang hendak Tuan sampaikan kepada saya?”

“Tidak ada apa-apa Salinga. Hanya, melihat bahwa peserta terakhir tinggal engkau seorang dan aku yang hendak mencoba-coba sukarnya ujian, sebaliknya kita lakukan itu bersama. Bukankah hal itu akan menambah kegembiraan dan akan membesarkan hati kita, juga menggembirakan para penonton?”

Tentu saja Salinga maklum bahwa diantara para saingannya dalam berebut hati tuan puteri, Bayisan ini merupakan saingan terberat dan juga paling berbahaya. Sudah seringkali kekasihnya, Puteri Tayami, memperingatkan agar ia berhati-hati terhadap Bayisan.

Ia tentu saja dapat menduga bahwa panglima muda yang sebetulnya juga pangeran ini mempunyai maksud tersembunyi dalam mengajak ia melakukan ujian bersama. Terang bahwa Bayisan takkan mungkin berani mencelakainya didepan begitu banyak saksi, diantaranya raja dan puteri mahkota sendiri. Salinga menaruh curiga dan tidak suka, akan tetapi betapapun juga, tak dapat ia menolak, tak dapat ia berlaku tidak hormat kepada Bayisan. Pertama, Bayisan adalah panglima muda, jadi masih termasuk atasannya biarpun ia dimasukkan kedalam pasukan yang langsung dikepalai panglima tua. Kedua, Bayisan adalah putera raja sendiri, biarpun hanya putera selir yang tidak begitu harum namanya karena menjadi selir raja atas kehendak suaminya yang kemudian dihukum mati.

“Tuan Panglima amat gagah perkasa, tentu saja ujian ini sebagai main-main belaka, berbeda dengan saya yang harus mempertaruhkan nyawa untuk dapat lulus.”

Kata salinga merendah. Mendengar ini, Bayisan tertawa bergelak dan sengaja berkata dengan suara keras agar terdengar orang lain, terutama tentu saja, agar terdengar Puteri Tayami.

“Ha-ha-ha, mempertaruhkan nyawa untuk permainan macam itu saja? Ha-ha, kau berkelakar, Salinga! Siapa yang tidak tahu akan ketangkasanmu? Hayolah, jangan membuang waktu lagi. Kuda kita sama-sama baik, usiamu lebih muda daripada usiaku, tentu kau lebih tangkas. Ha-ha!”

Bayisan lalu mencambuk kudanya yang melesat maju. Merah muka Salinga karena ia maklum apa yang dimaksudkan oleh Bayisan tadi, akan tetapi ketika ia mengerling kearah panggung, ia melihat Tayami kembali tersenyum kepadanya, senyum yang mengatakan berpihak kepadanya. Ia pun tersenyum pula dan mencambuk kuda putihnya yang terbang maju kedepan.

Penonton bersorak riuh rendah. Hebat memang melihat kedua orang gagah itu. Kuda yang mereka tunggangi juga merupakan kuda pilihan. Kuda putih tunggangan Salinga adalah kuda pemberian Puteri Tayami, tentu saja merupakan kuda pilihan dari kandang istana. Adapun kuda merah tunggangan Bayisan juga datang dari kandang istana, karena kuda ini hadiah dari raja sendiri ketika ia berhasil menumpas pasukan musuh beberapa hari yang lalu. Banyak di antara penonton hanya mendengar kegagahan panglima muda dari cerita para anggota pasukan belaka, jarang ada yang pernah menyaksikan sendiri, maka kesempatan yang amat baik tentu saja menggembirakan hati mereka.

Sementara itu, Kwee Seng yang ikut merasa tegang dan gembira, tiba-tiba terkejut bukan main ketika ia mendengar suara berkeresekan diatasnya dan ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat seorang kakek tua sudah duduk diatas cabang, hanya dua meter disebelah atasnya! Inilah yang membuat ia merasa kaget bukan main. Biarpun ia tadi memperhatikan ketegangan dibawah, namun bagaimana ia tidak dapat mendengar ada orang yang tahu-tahu berada di atasnya? Ia memperhatikan kakek itu. Kakek yang aneh sekali. Pendek, luar biasa pendeknya paling-paling satu meter tingginya. Tubuhnya, kaki tangannya, kecil seperti kaki tangan anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kepalanya sebesar kepala orang dewasa, bahkan lebih besar lagi tampaknya karena rambutnya yang penuh uban itu riap-riapan, kumis jenggotnya memenuhi separuh muka, alisnya juga panjang sampai ke pipi, bibir yang merah tampak membayang diantara kumis jenggot, tersenyum-tersenyum lebar dan matanya yang kecil itu bersinar gembira seperti anak yang nakal.

Di pundaknya sebelah kanan bertengger seekor burung, burung hantu atau burung malam yang matanya seperti mata kucing, kelihatan cerdik licik dan menakutkan! Sekali pandang saja maklumlah Kwee Seng bahwa kakek pendek aneh yang duduk di sebelah atasnya itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia bersikap hati-hati dan waspada. Ia tidak pernah mendengar di dunia kang-ouw ada tokoh macam ini, maka ia tidak tahu dari golongan mana kakek ini dan bagaimana pula sepak terjang serta wataknya. Karena sejak tadi ia sendiri tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya, bahkan ketika naik ke atas pohon itu pun ia mendaki seperti orang biasa, maka Kwee Seng merasa yakin bahwa tak seorang pun dapat menduga ia berkepandaian, juga kakek itu tentu tidak.

Maka ia segera pura-pura tidak melihatnya, atau tidak mempedulikannya, tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan melanjutkan keasyikannya tadi menonton perlombaan. Tangkas sekali Salinga dengan kuda putihnya. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, Salinga mencambuk dan kudanya melompat ke atas melewati barisan tombak. Rambut dan ujung baju Salinga berkibar-kibar bersama ekor kuda ketika mereka melayang diatas barisan tombak, selamat sampai diujung dan turun kembali keatas tanah. Akan tetapi, lebih hebat sorak-sorai menyambut lompatan kuda merah yang ditunggangi Bayisan. Panglima muda ini sengaja melompat tepat dibelakang Salinga dan begitu kuda merahnya melompat diam-diam Bayisan mengerahkan lwee-kang dan gin-kangnya.

Ia menjepit perut kudanya dan menambah tenaga loncatan kuda dengan loncatannya sendiri sehingga dia bersama kudanya melayang jauh lebih tinggi daripada Salinga! Para penonton dengan jelas melihat betapa kuda merah itu semeter lebih berada diatas kuda putih dan melayang lebih cepat. Kalau saja Bayisan menghendaki, bisa saja ia menurunkan kuda merahnya tepat diatas Salinga sehingga pemuda itu dengan kuda putihnya akan celaka. Kalau hal ini terjadi, tentu merupakan kecelakaan yang tidak disengaja, namun ia tetap kuatir kalau-kalau Raja dan Tayami mengetahui rahasianya.

Selagi para penonton menahan napas dan berseru kaget melihat kuda merah meluncur diatas kuda putih, tiba-tiba Bayisan berseru keras sekali dan tahu-tahu kuda merahnya itu berjungkir balik membuat salto diudara dan turun beberapa meter disebelah depan kuda putih! Gemuruh sorak dan tepuk tangan menyambut pertunjukan yang hebat ini. Bahkan Kwee Seng sendiri yang ikut bertepuk tangan, diam-diam terkejut dan kagum menyaksikan kelihaian Bayisan. Ia tahu bagaimana caranya Bayisan melakukan semua itu, dan inilah pula yang menyebabkan ia kagum karana tokoh Khitan itu ternyata amat maju dalam lwee-kang dan gin-kangnya. Kalau semua orang bertepuk dan bersorak, adalah kakek di atas Kwee Seng itu bersungut-sungut,

“Ah, bau…! Bau…!”

Kwee Seng mendengar ini akan tetapi pura-pura tidak dengar dan tidak tahu, karena sebenarnya ia pun tidak mengerti mengapa kakek itu mengatakan bau. Bau apa sih?

Dengan lagak dibuat-buat Bayisan sengaja minggirkan kudanya dan memberi isyarat dengan tangan agar Salinga melarikan kudanya terlebih dahulu memasuki barisan anak panah. Para penonton sudah diam semua karena kini mereka mulai merasa tegang. Bagaimanakah gerangan cara kedua orang gagah ini menghadapi hujan anak panah? Apakah juga seperti yang dilakukan peserta pertama tadi bersembunyi dibawah perut kuda? Cara seperti ini memang amat populer diantara orang-orang Khitan dan boleh dibilang setiap prajurit mempelajarinya, walaupun tidak banyak berhasil baik karena cara ini hanya dapat menyelamatkan diri dalam keadaan darurat saja. Dalam keadaan darurat saja. Dalam keadaan perang sungguh-sungguh, cara ini malah kurang tepat karena biarpun tubuh sendiri tidak terkena anak panah,

Kalau kudanya yang terkena dan roboh, bukankah penunggangnya akan tergencet dan memudahkan musuh untuk membunuhnya? Betapapun juga, cara lain tidak ada dan kini menyaksikan dua orang muda itu memasuki barisan panah, tentu saja para penonton, termasuk raja sendiri dan juga puteri mahkota, memandang penuh perhatian dan ketegangan. Ketika kudanya telah memasuki barisan anak panah, begitu terdengar menjepret dan anak panah menyambar-nyambar, sekali menggentakkan tubuhnya, Salinga telah meloncat dan berdiri diatas punggung kudanya, berdiri sambil menekuk lutut membuat tubuhnya sependek mungkin, hampir berjongkok. Dengan begini, anak panah menyambar kearahnya keseluruh bagian tubuh dari kepala sampai ke kaki! Karena para pemanah itu memang diperintahkan untuk memanah Si Penunggang Kuda dan sama sekali tidak boleh memanah kudanya.

Begitu puluhan batang anak panah itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba Salinga berseru keras dan tubuhnya mencelat keatas dalam keadaan masih seperti berjongkok. Kudanya lari kedepan, akan tetapi karena Salinga juga mencelat kedepan, ketika ia turun lagi, tepat kakinya tiba diatas pelana kudanya. Kembali anak panah menyambar, akan tetapi kembali tubuh Salinga mencelat keatas dan demikianlah secara bertubi-tubi anak panah itu dapat dielakkan sambil meloncat keatas dengan gerakan yang tangkas sekali! Sorak-sorai menyambut cara menghindarkan anak-anak panah ini, cara yang dianggap lebih tangkas dan lebih berani daripada cara bersembunyi diperut kuda, akan tetapi sudah tentu saja merupakan cara yang lebih sukar, yang hanya dapat dipelajari orang-orang pandai.

Tiba-tiba sorak-sorai lebih menggegap-gempita ketika Bayisan dengan tenangnya memasuki barisan anak panah bersama kudanya yang ia jalankan seenaknya saja. Anak panah menyambar bagaikan hujan kearahnya, namun panglima muda ini sama sekali tidak membuat gerakan mengelak. Semua orang termasuk raja kaget karena bagaimana orang itu begitu enak-enakan sedangkan puluhan anak panah menyambar dengan cepat kearahnya? Akan tetapi tiba-tiba Bayisan menggunakan cambuk di tangan kanan yang diputar-putar cepat sekali, menangkis semua anak panah yang runtuh ke kanan kiri begitu terkena sambaran cambuk yang diputar. Tangan kirinya juga ikut membantu, begitu lengan baju yang kiri menyampok, anak panah menyeleweng atau terpental kembali Kwee Seng diam-diam memuji. Kiranya Bayisan sudah banyak maju dan kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.

“Ah, bau…! Tengik dan kecut! Jembel busuk tak pernah mandi!”

Terdengar makian perlahan di sebelah atas Kwee Seng. Mendengar makian ini, Kwee Seng mengerutkan kening. Kurang ajar, pikirnya. Kiranya yang dimaki bau tengik dan kecut adalah dia! Dengan hati mendongkol Kwee Seng berdongak, memandang kakek itu yang juga memandang kepadanya sambil menutup lubang hidung dengan telunjuk dan ibu jari yang menjepit hidung.

“Heh-heh, kakek cebol. Bau tengik dan kecut itu datangnya dari jenggot dan kumismu. Coba kau cukur bersih cambang baukmu, tentu lenyap bau tak enak itu, heh-heh-heh!”

Mendengar ini, kakek itu melepaskan dekapan pada hidungnya, lalu tangannya menyambar jenggot dan kumisnya yang panjang, dibawa dekat-dekat ke ujung hidung lalu ia mendengus-dengus dan mencium-cium. Mendadak ia berbangkis dua kali.

“Haching! Haching! Apek… apek! Wah, jembel busuk, kau berani mempermainkan aku, hah? Burung setan, kau wakili aku pancal hidungnya sampai keluar kecap dan tampar kedua pipinya sampai bengkak-bengkak!”

Kakek itu berkata perlahan.

Kwee Seng memang sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan, karena orang takkan dapat menduga apa yang akan dilakukan seorang kakek aneh seperti itu, akan tetapi ia kaget juga ketika tiba-tiba sesosok sinar abu-abu menyambaar ke arah mukanya, kiranya burung hantu itu telah menyerang dengan gerakan terbang yang sama sekali tidak menimbulkan bunyi, tahu-tahu burung itu telah menggunakan paruhnya untuk mematuk hidungnya, disusul tamparan dengan kedua sayap burung itu kearah kedua pipinya! Serangan yang hebat sekali, lebih hebat daripada sambaran anak-anak panah yang betapa laju pun.

“Plak-plak-plak!!!”

Beberapa helai bulu burung rontok dan burung itu sendiri mengeluarkan suara “huuuk… huuuuk…!”

Terbang keatas, lalu lenyap keatas pohon, mengeluh kesakitan. Hidung Kwee Seng sama sekali tidak mengeluarkan kecap dan sepasang pipinya tidak bengkak-bengkak seperti yang diharapkan kakek cebol itu.

Kwee Seng masih duduk enak-enakan dan tidak pedulikan lagi kakek diatasnya, melainkan menonton kelanjutan perlombaan dibawah. Tadi ia menggunakan sentilan dan tamparan mengusir burung tanpa membunuhnya karena ia tahu bahwa burung itu tidak bersalah apa-apa, hanya memenuhi perintah Si Kakek Cebol. Saat itu, Salinga sudah melarikan kuda putihnya mengelilingi lapangan untuk memperlihatkan ketangkasannya melepas anak panah. Pemuda ini biarpun tidak selihai bayisan namun ketangkasannya sudah cukup untuk menjadi seorang perwira jagoan didalam barisan Khitan. Gendewanya yang besar dan berat mengeluarkan suara menjepret, hanya dua kali dan tahu-tahu tujuh batang anak panah telah menancap, empat batang anak panah yang kesemuanya tepat mengenai sasaran di bagian yang penting dan mematikan.

Tentu saja para penonton, termasuk Puteri Tayami sendiri, menyambut ketangkasan ini dengan tepuk sorak gemuruh, karena jelas bahwa Salinga telah lulus ujian dan patut menjadi calon panglima! Akan tetapi, apa yang dilihat penonton selanjutnya, benar-benar membuat penonton besorak lebih gemuruh lagi, karena pertunjukan Bayisan benar-benar mengagumkan mereka. Seperti juga Salinga, panglima muda ini melarikan kuda merahnya amat cepat mengelilingi lapangan, demikian cepatnya kuda merah itu lari sehingga merupakan bayangan merah yang bagaikan terbang mengelilingi sasaran. Ketika larinya kuda tiba didepan sasaran, tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar dari atas kuda menuju sasaran, dan….

Tiga belas batang hui-to (pisau terbang) telah menancap ditiga belas bagian tubuh yang mematikan yaitu di antara kedua alis, ditenggorokan, dikedua pundak, dikanan kiri dada, dipusar, dikanan kiri lambung, dikedua paha dan kedua lutut!. Tentu saja ini merupakan demonstrasi ilmu melempar senjata yang amat hebat, yang belum pernah disaksikan oleh mereka semua. Memang sebenarnya Bayisan merahasiakan kepandaiannya ini, akan tetapi karena ingin memamerkan kepandaiannya didepan Tayami, untuk mengalahkan Salinga, terpaksa kini ia perlihatkan.

“Bau… bau…! He, jembel muda yang tengik. Kau berada dibawahku, baumu naik memenuhi hidungku. Hayo kau bersamaku memperlihatkan kepada monyet-monyet itu bahwa tidak ada artinya semua pertunjukan ini. Akan tetapi karena kau bau sekali, kau harus berada diatasku, aku menjadi kuda, kau boleh menunggang punggungku!”

Kwee Seng berdongak ia terkekeh geli. Kakek itu tidak tampak lagi mukanya, ditutup baju yang ditariknya keatas, kemudian tubuh kakek itu melayang jauh kebawah, didepannya menyambar tangannya untuk ditarik bersama kebawah. Kwee Seng terkejut, namun ia cepat mengerahkan gin-kangnya yang ikut melayang kebawah. Maklum bahwa kakek ini memang hendak main-main dan cari perkara, ia merasa gembira dan begitu melihat kakek itu tiba ditanah dalam keadaan merangkak, yaitu kedua tangan menjadi kaki depan, muka seekor keledai kecil sekali, ia tidak merasa sungkan-sungkan lagi dan melayani kehendak Si Kakek, cepat ia melompat dan tepat tiba dipunggung kakek itu dengan ringan! Begitu merasa tubuh jembel muda itu tiba-tiba dipunggungnya, Si Kakek memperdengarkan suara meringkik mirip kuda, lalu ia “lari”

Dengan empat kakinya, lari congklang ketengah lapangan!

Kwee Seng terkekeh-kekeh, rambutnya riap-riapan, dan ia menoleh kekanan kiri dengan lagak congkak, meniru lagak Bayisan dan lain-lain peserta tadi. Seolah-olah ia juga seorang peserta yang gagah perkasa menunggang kuda yang tangkas. Ributlah para penonton, terdengar gelak tawa disana-sini, lalu memecah terbahak-bahak. Lucu sekali memang. Penunggangnya seorang jembel berpakaian compang-camping penuh tambalan, rambutnya riap-riapan bertelanjang kaki.

“kudanya”

Mirip seekor anjing buduk yang pincang kakinya. Para perajurit penjaga menjadi marah dan hendak menghalangi Si Gila itu membikin kacau, akan tetapi raja mengangkat tangan mencegah. Sambil tertawa-tawa Raja Kulu-khan berkata,

“Biarkan! Biarkan! Bukankah ini merupakan pertunjukan lawak yang menarik?”

Diam-diam Si Kakek aneh itu kagum ketika tadi merasa tubuh jembel muda itu tiba dipunggungnya seperti sehelai daun kering. Rasa kagum yang disusul rasa penasaran karena biarpun ia adalah sudah tua bangka, namun ia adalah seorang yang memiliki watak yang tidak mau kalah oleh siapapun juga! Maka kini ia lari mencongklang kearah barisan tombak.

Kemudian sekali ia menggerakkan kaki tangannya, tubuhnya mencelat keatas dan hinggap diatas tombak! Diatas ujung mata tombak yang runcing, yaitu empat buah tombak pertama, tangan dan kakinya menekan ujung itu seperti seekor burung hinggap diatas cabang! Kwee Seng terkejut sekali dan diam-diam ia merasa amat kagum. Gelak tawa dari para penonton seketika terhenti, dan kini para penonton melongok terheran-heran. Raja Kulu-khan sendiri terhenti ditengah-tengah senyumnya. Puteri Tayami bangkit berdiri, dan para penglima, termasuk Kalisani dan Bayisan berubah air mukanya. Ini bukan pelawak-pelawak gila lagi, melainkan pertunjukan yang hebat! Bayisan segera lari kearah barisan panah dan memberi perintah dengan suara perlahan, kemudian kembali lagi ditempat semula sambil memandang penuh perhatian.

Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, kakek yang menjadi kuda itu melangkahkan “empat kakinya”

Setapak demi setapak melalui ujung mata tombak yang berjajar-jajar itu, sedangkan Kwee Seng enak-enak duduk diatas punggungnya. Karena Kwee Seng juga merasa panas perutnya melihat kakek ini seakan-akan memamerkan kepandaiannya, maka diam-diam Kwee Seng tidak menggunakan lagi gin-kangnya, membiarkan tubuhnya memberat dan menindih kakek itu. Akan tetapi, kakek itu cerdik juga karena sekarang ia cepat melompat-lompat diatas mata tombak, tidak menekankan tangan kaki lagi seperti tadi melainkan memegang dengan tangan lalu melompat sehingga akhirnya ia sampai dibaris terakhir lalu melompat kebawah.

Para penonton sudah sadar kembali dari kaget dan heran, maka kini suara sorak-sorai mengalahkan yang tadi karena sorakan itu diseling tawa terbahak saking kagum dan lucu. Akan tetapi, suara ketawa mereka itu hanya sebentar karena “orang gila”

Bersama “kudanya”

Yang aneh sekali itu telah mendekati barisan anak panah. Apakah mereka benar-benar hendak memasuki barisan itu? Mencari mampus? Ketegangan memuncak karena Kwee Seng yang masih enak-enak “nongkrong”

Dipunggung kakek itu seakan-akan tidak melihat bahaya, membiarkan dirinya dibawa kedalam barisan anak panah, dimana ahli-ahli panah telah siap melepaskan anak panah. Busur telah mereka tarik sepenuhnya! Bahkan dipanggung kehormatan, tidak ada suara berkelisik semua mata memandang penuh ketegangan, agaknya napasnya pun ditahan menanti detik-detik yang akan datang itu. Dari mulut Raja Kulu-khan terdengar suara.

“Ah, sayang… kalau sampai mereka tewas…”

Akan tetapi suara ini hanya seperti bisik-bisik saja, pula pada saat seperti itu, siapa orangnya tidak ingin menyaksikan bagaimana kelanjutan peristiwa aneh itu? Raja sendiri biarpun mulut berkata demikian, hatinya amat ingin menyaksikan dan tentu akan melarang kalau ada yang hendak menghalangi orang gila itu memasuki barisan anak panah.

Para ahli panah yang telah menerima bisikan dari Bayisan, menanti sampai orang gila itu tiba di tengah-tengah lapangan, dan tepat pula seperti yang diperintahkan Bayisan, mereka memanah untuk membunuh, maka begitu terdengar suara tali busur menjepret disusul berdesirnya anak panah yang puluhan batang banyaknya, semua anak panah itu selain menuju kearah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Kwee Seng, juga ada yang mengaung lewat dipinggir dan aras kepalanya untuk mencegah orang gila itu mengelak!

“Aduh celaka…!”

“Ahh…!”

“Mati dia…!”

Bahkan Raja Kulu-khan sendiri mengeluarkan seruan kecewa, demikian pula puteri Tayami dan yang lain-lain ketika melihat betapa anak-anak panah yang banyak sekali mengenai tubuh “orang gila”

Itu sehingga tubuhnya seperti penuh anak panah, dikanan kiri dada, bahkan ada yang menancap dimukanya! Akan tetapi anehnya.

“kuda”

Kecil itu masih merayap terus dan orang gila itu masih enak-enak duduk mengantuk, seakan-akan anak-anak panah yang menancap pada dada dan mukanya itu tidak dirasainya sama sekali! Kembali anak panah yang banyak sekali menyambar, kini menuju kepada “kuda”! Berbeda dengan peraturan yang berlaku dalam ujian ketangkasan itu, kini karena telah diberi komando Bayisan yang tahu bahwa dua orang itu adalah orang-orang pandai yang agaknya memancing keributan, mereka lalu menghujani “kuda”

Itu dengan anak panah pula.

“Anak kecil itu pun mati…!”

Teriak orang-orang yang menonton yang tentu saja sudah dapat menduga bahwa kuda itu adalah kuda palsu, bukan kuda melainkan seorang manusia.

Tentu seorang anak-anak karena kaki tangannya begitu kecil dan pendek. Aneh pula, seperti halnya penunggangnya, kuda palsu itu pun sama sekali tidak mengelak dan tubuhnya pun penuh dengan anak panah! Akan tetapi, lebih aneh lagi, dia masih saja merangkak-rangkak, bahkan kini menuju ke lapangan dimana tersedia sasaran boneka besar untuk menguji kepandaian memanah! Barulah kini orang-orang melihat bahwa anak-anak panah yang disangka menancap didada orang gila itu sama sekali bukan menancap, melainkan dikempit diantara kedua kelek (ketiak) dan diantara jari-jari tangan, malah yang tadinya disangka menancap dimuka ternyata adalah anak-anak panah yang kena gigit oleh “orang gila”

Itu.

Entah bagaimana cara “kuda”

Itu menerima anak-anak panah yang kelihatannya masih menancap pada tubuhnya, karena tubuh itu masih tertutup baju yang dikerobongkan dikepala! Setelah tiba dilapangan memanah, tiba-tiba “kuda”

Itu lari congklang, bukan main cepatnya, agaknya tidak kalah cepatnya oleh larinya kuda! Tentu saja kenyataan itu membuat para penonton menjadi kaget, kagum, heran, dan gembira sehingga meledaklah sorak-sorai mereka, melebihi yang sudah-sudah, Raja Kulu-khan sampai bangkit dari kursinya, Puteri Mahkota Tayami bertukar pandang dengan Salinga, para panglima berbisik-bisik. Yang lucu adalah Kalisani. Panglima tua ini meloncat-loncat seperti anak kecil kegirangan dan mulutnya tiada hentinya berteriak.

“Hebat…! Mereka orang-orang sakti! Ah, mana bisa kepandaian kita dibandingkan dengan mereka?”

Hanya Bayisan yang mukanya menjadi pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Pada saat itu ia mendekati seorang pangeran yang juga merupakan putera Raja Kulu-khan dari selir, tapi lebih tua daripada Bayisan yang bernama Pangeran Kubakan. Pangeran ini pucat mukanya, lalu berbisik-bisik dengan Bayisan.

“Siapakah mereka…?”

Tanya Kubakan.

“Aku tidak tahu…”

Jawab Bayisan bingung.

“Jangan-jangan…”

Kubakan menoleh kearah ayahnya yang berdiri dan memandang kagum kearah lapangan, malah kini kedua tangan raja itu ikut pula bertepuk tangan memuji bersama semua penonton.

“Ah, agaknya Sribaginda pun tidak mengenalnya. Akan tetapi siapa tahu? Malam ini kita harus turun tangan…”

Kembali Kubakan menoleh kearah ayahnya, lalu mengangguk-angguk. Sekali lagi dua orang pangeran ini bertukar pandang, kemudian mereka berpisah. Bayisan lari kearah lapangan untuk menyaksikan dua orang aneh itu dari dekat. Setelah lari cepat seputaran dengan cara berloncatan seperti kuda, kakek yang menggendong Kwee Seng itu tiba didepan sasaran, jaraknya sama dengan jarak para peserta tadi. Tiba-tiba Kwee Seng mengeluarkan seruan bentakan yang nyaring sekali sehingga beberapa orang penonton yang jaraknya terlalu dekat roboh terguling. Berbareng dengan seruan ini tubuhnya meloncat turun dari punggung “kuda”

Dan sekali tubuhnya itu terbang cepat kearah sasaran.

“Cap-cap-cap-cap!!!”

Cepat sekali anak-anak panah itu terbang susul-menyusul menancap pada sasaran, tak sebatangpun luput. Akan tetapi para penonton memandang bingung karena tidak tampak bekasnya. Setelah mata yang memandang tidak begitu kabur lagi oleh berkelebatnya anak-anak panah itu, tampaklah oleh mereka betapa semua anak panah yang dilepaskan oleh Kwee Seng itu telah menancap diatas gagang tiga belas buah pisau terbang panglima muda! Gegerlah semua penonton saking kagum dan herannya, akan tetapi diam-diam Bayisan menjadi pucat mukanya. Terang bahwa “orang gila”

Itu memusuhinya, buktinya anak-anak panah itu menancap digagang hui-to yang tadi ia lepaskan.

Tiba-tiba terdengar suara berkakakan dan “kuda”

Itu meloncat berdiri diatas dua kaki belakangnya dan tampaklah seorang kakek cebol yang wajahnya seperti wajah patung dewa di kelenteng, kedua tangannya sudah menggenggam banyak sekali anak panah sambil masih tertawa-tawa bergelak, kedua tangannya bergerak kedepan dan meluncurlah anak-anak panah itu beterbangan kearah sasaran. Anehnya, anak-anak panah itu terbangnya masih berkelompok dan setelah dekat dengan boneka lalu terpisah menjadi lima rombongan yang menyambar ke leher, kedua pundak dan kedua pangkal lengannya, dan kedua kakinya telah patah! Tanpa mempedulikan keributan semua orang disitu, Kwee Seng kini berdiri dengan kakek aneh. Kakek itu tertawa bergelak-gelak, Kwee Seng pringas-pringis menyeringai aneh, keduanya orang-orang aneh atau mungkin juga keduanya sudah miring otaknya!

“Hoa-ha-hah, jembel muda bau busuk, kau lumayan juga! Aku harus mencobamu!”

“Kakek cebol menjemukan! Siapa gentar menghadapi kesombonganmu?”

Kwee Seng menjawab, karena betapapun juga, ia mendongkol melihat kakek ini amat jumawa (tekebur). Biarpun Kwee Seng berdiri acuh tak acuh, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti ahli silat, seperti juga kakek itu yang berdiri dengan kaki dibengkokkan lucu, namun diam-diam Kwee Seng siap dan waspada karena maklum bahwa seorang sakti seperti kakek ini, sekali menyerang tentulah amat hebat sekali. Akan tetapi pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan pasukannya, siap mengurung dan menyerang dua orang ini yang dianggapnya mengacau dan hendak membikun rusuh. Melihat ini, kakek cebol tertawa bergelak.

“Aha-ha-ha! Sudah cukup main-main hari ini, jembel muda bau, kakekmu tidak ada waktu lagi, sudah lapar dan mengantuk. Biarlah lain hari aku akan mencarimu dan tak mau sudah sebelum kau terkencing-kencing oleh pukulanku!”

Setelah berkata demikian, kakek itu melompat-lompat, makin lama makin tinggi lompatannya yang modelnya seperti katak melompat.

Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai melewati kepala orang-orang banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala atau pundaknya oleh kaki itu, karena ia lalu dipergunakan seperti batu loncatan oleh Si Kakek Aneh sehingga kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu dan lumpur, malah hebat dan lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang, kadang-kadang Si Kakek melepas kentut yang nyaring sekali sambil tertawa terbahak-bahak! Kwee Seng juga segera melompat, melampaui kepala banyak orang, kemudian mempercepat larinya menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap diantara pohon-pohon yang lebat tumbuh di lembah Sungai Huang-ho. Gegerlah keadaan di situ dan Bayisan cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan keras pada hari itu dan seterusnya. Kalisani mendekatinya dan berkata,

“Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri? Jelas bahwa dua orang sakti itu adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai niat buruk terhadap kita, bahkan gaknya mereka berdua itu pun tidak saling mengenal. Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka sebagai tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan mengejar-ngejar mereka seperti maling?”

Dengan wajah berkerut, Bayisan menjawab,

“Paman Kalisani, pandangan kita dalam hal ini berbeda. Betapapun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku sendiri yang melakukan perondaan didalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk, dan mereka amatlah lihai.”

Setelah berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani yang masih terpengaruh oleh kepandaian dua orang itu dan kadang-kadang tertawa sendiri mengingat akan kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka. Kalisani biarpun seorang tokoh Khitan, namun pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau ke selatan, mengenal baik ilmu silat selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang pandai pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang pemuda gila dan kakek cebol yang begitu aneh.

Malam itu indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam tenang tentram pada malam hari itu setelah siangnya tadi terdengar sorak-sorai menggetarkan air sungai. Bulan purnama memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang tenang redup, membuat air Sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya sudah terlalu letih semua penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan menonton keramaian, sehingga malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati keindahan sinar bulan. Kecuali, tentu saja anak-anak dan orang-orang muda yang masih selalu haus akan kesenangan. Ditepi sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan, menyusuri tepi pantai sungai yang amat lebar itu. Mereka itu sepasang orang muda, yang perempuan cantik jelita dengan rambut disanggul keatas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan gagah, memakai topi terhias bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini adalah Salinga dan Tayami.

“Betapa bahagianya hatiku, hanya bulan yang mengetahuinya, Dinda Tayami,”

Terdengar pemuda itu berkata, suaranya seperti orang bersyair.

“Lihat bulan selalu tersenyum-senyum kepadaku!”

“Sudah semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga, setelah tadi kita merasa gelisah dan bimbang. Oh, kau tidak tahu betapa tadi aku menggigil ketika kau mengajukan permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa yang akan kau minta tentulah diriku namun aku amat kuatir kalau-kalau ayah merubah pendiriannya selama ini. Setelah ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku lega sekali.”

Mereka menghentikan kuda di bawah pohon di tepi sungai, saling pandang penuh mesra.

“Sesungguhnyalah Adinda, aku pun tadi merasa betapa jantungku berdebar, serasa hendak pecah menanti keputusan Sribaginda. Memang kesempatan yang amat bagus. Aku diterima menjadi calon panglima, kemudian disuruh memilih pahala. Di depan semua panglima dan ponggawa, tentu saja aku segera memilih tanganmu sehingga persetujuan Sribaginda merupakan keputusan Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah bahagia hatiku….”

Akan tetapi wajah Tayami membayangkan kekuatiran.

“Betapapun juga Kanda Salinga, kita harus waspada terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi sinar matanya ketika mendengar keputusan ayah menerima kau sebagai calon mantunya? Aku masih merasa ngeri kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah memancarkan cahaya berapi.”

“Ah, dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta kasihnya terhadapmu tentu lebih condong kepada cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya.”

“Kau tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku teringat akan dua orang aneh tadi. Apakah maksud mereka datang mengacaukan perlombaan bangsa kita? Si Pengemis Muda itu terang seorang Han dari selatan, entah kalau Si Kakek Cebol. Betapapun juga, mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Siapa gerangan mereka?”

“Memang aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini. Sudah banyak aku mendengar akan hal itu. Tak perlu kuatir, mereka itu kurasa bukanlah orang-orang jahat. Dinda Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai, betapa tenang dan bening seperti kaca. Mari kita berperahu. Disana ada perahu kecil.”

Tanpa menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya. Mereka berdua meloncat turun dari kuda, menambatkan kendali kuda, menambatkan kendali kuda pada batang pohon, kemudian kembali bergandengan tangan dan bernisik-bisik mesra keduanya berjalan menuju ke pinggir sungai, memasuki perahu kecil, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian perahu itu meluncurlah ketengah. Salinga mendayung perahu, Tayami duduk bersandar kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.

Kwee Seng berdiri dibelakang pohon, memandang dengan melongo, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Memang hebat pemandangan itu, muda-mudi berkecimpung dalam madu asmara, dibawah sinar bulan purnama didalam biduk kecil yang diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca, rambut halus juita terurai diatas dada, kata-kata bermadu dibisikkan, sayup-sayup sampai mendesir di telinga Kwee Seng bagaikan nyanyian sorgaloka. Tanpa disadarinya, dua titik air mata menetes turun membasahi pipi Kwee Seng. Pikirannya menjadi kabur, ingatannya melayang-layang jauh dimasa lampau, membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauw-hwa, membuat ia tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah.

Kemudian terbayang wajah nenek di Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri sendiri dan menampari mukanya sambil tertawa setengah menangis. Gilanya kumat kalau ia teringat kepada nenek itu karena tiap kali teringat akan segala yang ia perbuat dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk dengan pelbagai macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur dengan rasa girang, rindu muncul silih berganti, maka tidak heran kalau ia menjadi seperti orang gila. Mendadak Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat tajam menangkap suara-suara yang tidak wajar, suara orang berbisik-bisik tak jauh dari sini. Cepat ia menyelinap, mendekat. Dibawah bayangan pohon yang amat gelap, ia melihat tiga orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian hitam.

“Ah, mengapa justeru kita yang mendapat tugas berat ini…?”

Seorang diantara mereka mengeluh.

“Mereka tidak pandai berenang.”

“Goblok! Apa kau hendak membantah perintahnya? Justeru mereka tidak pandai berenang, maka memudahkan tugas kita. Ingat, kita menggulingkan perahu, lalu menarik perahu agar hanyut sehingga besok orang-orang hanya akan tahu bahwa mereka berdua yang sedang main-main diperahu tertimpa malapetaka, perahu terguling dan mereka mati tenggelam..”

“Ahhh…!”

Kembali yang seorang mengeluh, yaitu orang yang tubuhnya tinggi kurus, tidak seperti yang dua orang temannya, yang bertubuh kokoh kekar.

“Sudahlah, tak usah banyak ribut, mari kita mulai!”

Tiga orang itu lalu turun ke dalam air perlahan-lahan, kemudian mereka menyelam dan berenang dengan cepat. Kwee Seng maklum bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli berenang, dan maklum pula bahwa ada komplotan jahat hendak berkhianat dan membunuh kedua orang muda yang asyik dimabok cinta itu. Ia menarik napas berkali-kali kemudian dengan hati mangkal karena perasaannya amat terganggu oleh peristiwa ini, karena suara hatinya tidak membolehkan dia berpeluk tangan saja, ia lalu menghantam sebatang pohon terdekat dengan tangan dimiringkan.

“Krakkkk!”

Batang pohon itu tidak dapat menahan hantaman tangan Kwee Seng yang amat ampuh, bagian yang dihantam pecah remuk dan patah, membuat pohon itu tumbang seketika!

“Eh, apa itu…?”

Terdengar dari jauh suara Salinga ketika mendengar suara keras robohnya batang pohon.

“Aiihhh, Kanda… celaka…!”

Disusul jeritan Tayami karena pada saat itu, perahu mereka tiba-tiba terguling membalik dan mereka berdua terlempar kedalam air! Perahu itu meluncur cepat dalam keadaan tertelungkup menuju ketengah dan diseret arus air menjauhi mereka. Dua orang itu megap-megap, meronta-ronta dengan kaki tangan mereka, akan tetapi karena tidak pandai berenang, banyak sudah air yang memasuki mulut.

“Tolonggg…!”

Tayami menjerit akan tetapi suaranya terhenti oleh air yang memasuki hidung dan mulut.

“Dinda…!”

“Kanda Salinga… ooohh…!”

Mereka saling menangkap tangan, akan tetapi justeru ini membuat gerakan mereka mengurang dan tubuh mereka tenggelam kembali. Cepat-cepat mereka menendang-nendang dengan kaki dan muncul lagi gelagapan. Pada saat itu, entah darimana datangnya, sebatang pohon meluncur didekat mereka.

“Dinda Tayami, cepat pegang ini…!”

Salinga berseru girang. Tak lama kemudian mereka sudah berhasil menangkap batang pohon itu. Dengan bantuan Salinga, Tayami sudah duduk diatas batang pohon sambil muntahkan air yang telah banyak diminumnya. Salinga sendiri memeluk batang pohon itu agar jangan bergulingan. Pakaian mereka basah kuyup, rambut mereka terurai, akan tetapi untuk sementara mereka selamat.

“Kanda… mengapa perahu kita terguling..?”

“Entahlah, tidak perlu dipikirkan sekarang. Paling penting kita harus dapat mendayung batang ini kepinggir…”

Dengan susah payah Salinga berusaha menggerak-gerakkan batang itu kepinggir akan tetapi karena tidak didayung, batang pohon itu bergerak perlahan menurutkan arus sungai. Pada saat itu, terdengar suara

“huuukk.. huuukkk…!”

Dan menyambarlah seekor burung yang matanya berkilauan seperti mata kucing.

“Ihhh… burung hantu…!”

Seru Tayami dengan perasaan ngeri. Sudah menjadi kepercayaan di daerah itu bahwa burung hantu ini pembawa berita kematian, maka siapa bertemu dengannya tentu akan kematian seorang keluarga.

“Ia… membawa bungkusan…!”

Seru pula Salinga terheran-heran. Betul saja. Kuku burung itu mencengkram tali dimana tergantung sebuah bungkusan kecil. Anehnya, begitu melihat mereka, burung itu menyambar turun dan sayapnya hampir saja mengenai muka Tayami kalau saja gadis ini tidak cepat-cepat mengelak sambil berseru jijik. Akan tetapi burung itu bukannya menyerang, melainkan melepas tali dan bungkusan itu jatuhlah kedepan Tayami, tepat diatas batang pohon!

“Ada tulisannya!”

Tayami berseru heran melihat tulisan huruf-huruf besar dan jelas diatas bungkusan. Kalau huruf-huruf itu tidak jelas tentu takkan dapat terbaca di bawah sinar bulan.

“LEKAS PULANG DAN ISI BUNGKUSAN INI PAKAI SEBAGAI BEDAK BARU MALAPETAKA DAPAT DICEGAH.”

Tayami membaca dengan keras sehingga terdengar pula oleh Salinga.

“Apa artinya ini?”

“Entahlah, Dinda. Semua terjadi serba aneh. Perahu kita terguling. Kita hampir celaka lalu tiba-tiba ada batang pohon ini yang menolong kita. Lalu muncul burung hantu yang memberi bungkusan dan surat. Ihhh, benar-benar menyeramkan sekali. Kau simpan bungkusan itu, mari bantu aku mendayung batang pohon itu dengan kaki agar dapat minggir.”

Mereka segera bekerja dan betul saja, sedikit demi sedikit batang kayu itu bergerak kepinggir.

Sementara itu, tiga orang Khitan yang telah selesai melakukan pekerjaan jahat itu, cepat-cepat menyelam dan berenang kepinggir kembali. Akan tetapi begitu mereka muncul dipinggir dan meloncat kedarat, mereka kaget sekali karena didepan mereka telah berdiri seorang yang terkekeh-kekeh dan ketika mereka mengenal laki-laki gila yang pagi tadi mengacaukan perlombaan, mereka menjadi ngeri.

“Heh-heh-heh, setelah membunuh lalu lari, ya?”

Kwee Seng menegur. Tentu saja mereka bertiga terkejut bukan main. Pekerjaan mereka tadi mencelakai dan membunuh puteri mahkota adalah perbuatan yang amat berbahaya. Kalau diketahui orang, tentu mereka akan celaka, maka sekarang mendengar bahwa jembel gila ini sudah melihat perbuatan mereka, serentak dua orang yang bertubuh tinggi besar itu mencabut golok dan menerjang Kwee Seng! Cepat gerakan mereka ini, dan cepat pula hasil ayunan golok mereka, yaitu kepala mereka sendiri terbelah oleh golok masing-masing sampai hampir menjadi dua dan tubuh mereka masuk kedalam sungai dan hanyut. Hanya dengan sentilan jari tangannya Kwee Seng telah membuat golok yang menyerangnya itu membalik dan “makan tuan”. Sejenak ia memandang dua buah mayat yang menggantikan tempat Tayami dan Salinga itu, kemudian sekali berkelebat ia telah meloncat dan menangkap tengkuk orang ketiga yang melarikan diri ketakutan.

“Kemana kau hendak lari?”

“Am… ampun… hamba tahu pekerjaan itu terkutuk… akan tetapi hamba terpaksa… kalau tidak mau melakukan tentu akan dibunuh…”

“Hemm, aku mendengar tadi keraguan melakukan perbuatan itu. Siapa yang memaksamu melakukannya?”

“Panglima Muda Bayisan…”

“Mengapa? Mengapa Puteri Mahkota dan Salinga akan dibunuh?”

“Hamba… hamba tidak tahu… mungkin karena cemburu setelah … Sribaginda menerima Salinga menjadi calon mantu…”

“Hemmm…”

Kwee Seng mengangguk-angguk, kemudian tangannya bergerak cepat, tahu-tahu orang Khitan itu telah roboh tertotok, lumpuh seluruh tubuhnya. Kemudian tubuhnya berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Setelah berhasil mendarat, Salinga dan Tayami segera lari kearah kuda mereka, meloncat kepunggung kuda setelah melepaskan kendali dari pohon, lalu membalapkan kuda kembali ke kota raja.

“Aku merasa kuatir sekali akan terjadi sesuatu di kota raja.”

Kata Salinga. Akan tetapi ketika mereka tiba di kota raja, keadaan sunyi saja dan biasa, tidak ada tanda-tanda terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena pakaian mereka masih basah dan hati mereka masih tegang oleh peristiwa tadi, mereka langsung melarikan kuda sampai depan istana.

“Kau pulanglah, Kanda Salinga. Urusan tadi tak perlu kau ceritakan siapapun juga. Biar besok kita bertemu lagi dan kita bicarakan peristiwa itu!”

Salinga mengangguk. Tentu saja ia tidak mau bicara dengan siapa juga tentang peristiwa itu sebelum ia dapat membuka rahasianya. Peristiwa yang penuh keanehan. Akan tetapi sebelum ia memutar kudanya pergi, ia berkata.

“Adinda, sebaiknya kau jangan tergesa-gesa memakai isi bungkusan sebagai bedak. Lebih baik suruh selidiki dulu oleh ahli obat.”

Tayami mengangguk dan mereka pun berpisah. Tayami menyerahkan kuda kepada pelayan lalu berlari-lari memasuki istana, langsung ke kamarnya untuk bertukar pakaian. Sedangkan Salinga melarikan kuda menuju ke rumahnya. Setelah para pelayan sibuk membuka pakaian basah sang puteri cantik ini, menyusuti tubuhnya sampai kering kemudian menggantikan pakaian bersih, lalu hendak menyanggul rambut yang belum kering benar itu, Tayami mengusir mereka,

“Keluarlah kalian semua, aku ingin mengaso seorang diri.”

Sambil tersenyum-senyum maklum para pelayan itu berlari-lari keluar dan Tayami duduk diatas pembaringan dengan rambut terurai, seluruh tubuh terasa segar karena habis digosoki. Bungkusan yang dijatuhkan burung hantu tadi ia buka perlahan-lahan. Ternyata isinya adalah sejenis obat bubuk yang halus sekali berwarna kuning. Begitu dibuka tercium bau yang amat harum oleh Tayami. Ganda harum ini dan tulisan yang menganjurkan agar ia memakainya sebagai bedak untuk mencegah malapetaka, membuat tangannya gatal-gatal untuk memakainya. Akan tetapi pesan kekasihnya Salinga, bergema ditelinganya. Salinga benar juga, pikirnya. Aku tidak tahu siapa yang memberi bedak ini, dan mencegah malapetaka apakah?

Di sini aman saja. Puteri Tayami bimbang antara kepercayaannya akan tahyul dan pesan kekasihnya. Bungkusannya yang sudah terbuka itu ia taruh diatas meja dekat pembaringan. Gadis puteri raja ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada dua pasang mata mengintai, penuh kekaguman. Mana ia bisa tahu kalau dua orang yang mengintainya itu datang seperti setan, tanpa menimbulkan suara sedikitpun ketika kaki mereka menginjak genteng? Dan dua pasang mata itu memandang kagum kedalam kamar pun tak dapat dipersalahkan. Siapa orangnya, apalagi kalau ia laki-laki, takkan terpesona dan kagum melihat gadis puteri mahkota yang cantik jelita itu? Melihat ditukar pakaiannya oleh para dayang keraton, kemudian kini dengan pakaian tidur yang longgar dan tipis, duduk termenung seorang diri didalam kamar yang indah.

Kwee Seng yang datang terlebih dulu karena sejak tadi ia dari jauh mengikuti puteri ini, bersembunyi disudut atas, maka ia pun tahu akan kedatangan sesosok bayangan yang gesit dan ringan sekali, bayangan yang membuka genting dan mengintai kedalam pula, seperti dia! Berdebar hatinya ketika mengenal orang itu, yang bukan lain adalah Bayisan, orang yang dicarinya untuk dibalas kecurangannya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi karena ia pun terpesona oleh keindahan didalam kamar itu, Kwee Seng tidak segera turun tangan, ingin melihat dulu apa yang dikehendaki Bayisan. Pula, melihat kecantikan Puteri Khitan, teringatlah ia kepada Liu Lu Sian dan Ang-siauw-hwa, membuatnya termenung dan penyakitnya hampir kumat! Tayami yang sedang termenung didalam kamarnya, mengenang peristiwa di sungai tadi. Teringat akan kekasihnya, ia tersenyum. Akan tetapi ketika ia teringat akan peristiwa yang amat berbahaya, ia bergidik, lalu ia memandang bubukan obat.

Apakah maksudnya pengirim obat ini? Benarkah burung itu bukan burung biasa? Ataukah disuruh oleh orang sakti? Sungguh harum baunya bedak ini. Dan kalau memang bedak ini dipakai untuk menolak malapetaka, apa salahnya? Tentu pengirimannya berniat baik. Tidak akan ada salahnya kalau aku pakai sedikit untuk coba-coba. Berpikir demikian, jari-jari tangan yang halus runcing itu bergerak mendekati kertas, hendak menjumput bedak. Akan tetapi tiba-tiba gerakannya tertahan karena melihat bayangan berkelebat, api lilin bergoyang-goyang. Cepat Tayami menggunakan tangan kiri merapatkan bajunya yang terbuka lebar sambil membalikkan tubuhnya. Terbelalak matanya saking kaget melihat bahwa didalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki yang tersenyum-senyum, Bayisan!

“Kanda Panglima Bayisan…! Apa artinya ini? Mengapa kau masuk kesini secara begini?”

Tayami bertanya gagap. Bayisan memandang dengan sinar mata seakan-akan hendak menelan bulat-bulat gadis didepannya, mulutnya menyeringai lalu terdengar ia berkata, suaranya gemetar penuh perasaan,

“Alangkah indahnya rambutmu, Tayami… alangkah cantik engkau…., bisa gila aku karena berahi melihatmu….”

Tiba-tiba Tayami bangkit dan matanya memancarkan sinar kemerahan.

“Kanda Panglima! Apakah kau sudah gila? Berani kau bersikap kurang ajar seperti ini didepanku? Pergi kau keluar! Kau tahu apa yang akan kau hadapi kalau kuadukan kekurangajaranmu ini kepada ayah!”

Bayisan tertawa mengejek.

“Huh! Ayahmu juga ayahku. Biarlah ia tahu asal malam ini kau sudah menjadi milikku. Tayami, kita sama-sama memiliki darah Raja Khitan, kau lebih patut menjadi isteriku daripada menjadi isteri seorang berdarah seorang berdarah pelayan rendah. Tayami, kekasihku, marilah… aku sudah terlalu lama menahan rindu berahiku…!”

Bayisan melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan seperti akan memeluk, mataya yang agak kemerahan karena nafsu itu disipitkan, mulutnya menyeringai.

“Bayisan, berhenti! Kalau tidak, sekali aku menjerit kamar ini akan penuh pelayan dan penjaga. Kemana hendak kau taruh mukamu?”

“Heh-heh-heh, menjeritlah manis. Para pelayan dan penjaga sudah kutidurkan pulas dengan totokan-totokanku yang lihai. Lebih baik kau menurut saja kepadaku, kau layani cinta kasihku dengan suka rela karena… karena terhadapmu aku tidak suka menggunakan kekerasan.”

Mengingat akan kemungkinan ucapan Bayisan yang memang ia tahu amat lihai. Tayami menjadi makin panik. Sambil berseru keras ia melompat kesamping, menyambar pedangnya, yaitu pedang Besi Kuning yang tergantung didinding, lalu tanpa banyak cakap lagi ia menerjang Bayisan dengan bacokan maut mengarah leher. Cepat bacokan ini dan dilakukan dengan tenaga yang cukup hebat, karena Tayami adalah seorang puteri mahkota yang terlatih, menguasai ilmu pedang yang cukup tinggi. Akan tetapi, tentu saja silat puteri mahkota ini tak ada artinya.

“Heh-heh, Tayami yang manis. Kau seranglah, makin ganas kau menyerang, akan makin sedap rasanya kalau nanti kau menyerahkan diri kepadaku!”

“Keparat! Jahanam berhenti iblis! Tak ingatkah kau bahwa kita ini seayah? Tak ingatkah kau bahwa aku ini Puteri Mahkota dan kau ini Panglima Muda? Lupakah kau bahwa pagi tadi ayah telah menjodohkan aku dengan Salinga? Bayisan, sadarlah dan pergi dari sini sebelum kupenggal lehermu!”

“Heh-heh-heh, Tayami bidadari jelita. Kau hendak memenggal leherku, kau penggalah, sayang. Tanpa kepala pun aku masih akan mencintaimu!”

Bayisan mengejek dan betul-betul ia mengulur leher mendekatkan kepalanya, malah mukanya akan mencium pipi gadis itu. Tayami marah sekali, pedangnya berkelebat, benar-benar hendak memenggal leher itu dengan gerakan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bayisan tertawa, miringkan tubuh menarik kembali kepalanya. Pedang menyambar lewat, jari tangan Bayisan bergerak menotok pergelangan lengan dan… pedang itu terlepas dari pegangan Tayami, terlempar ke sudut kamar! Bayisan sudah mencengkeram rambut yang panjang riap-riapan itu kedepan mukanya, mencium rambut sambil berkata lirih,

“Alangkah indahnya rambutmu.. halus… ah, harumnya…”

Tayami kaget sekali, tangan kirinya diayun memukul kepala, akan tetapi dengan mudah saja Bayisan menangkap tangan ini dan ketika tangan kanan Tayami juga datang memukul, kembali tangan ini ditangkap. Kedua tangan gadis itu kini tertangkap oleh tangan kanan Bayisan yang tertawa menyeringai.

“Kau lihat, alangkah mudahnya aku membuat kau tidak berdaya!”

Tangan kirinya mengelus-elus dagu yang halus.

“Kau baru tahu sekarang bahwa aku amat kuat, amat kosen, jauh lebih lihai dari Salinga, dari laki-laki manapun juga di Khitan ini!”

Sekali mendorong, ia melepaskan pegangan tangannya dan tubuh Tayami terguling keatas pembaringan. Gadis itu takut setengah mati, lalu nekat, menerjang maju lagi sambil melompat dari atas pembaringan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas ketika jari tangan Bayisan menotok jalan darah bagian thian-hu-hiat yang membuat seluruh tubuhnya menjadi seperti lumpuh! Dengan lagak tengik Bayisan kembali mengusap pipi gadis itu sambil tertawa.

“Heh-heh, betapa mudahnya kalau aku mau menggunakan kekerasan. Kau tak dapat bergerak sama sekali, bukan? Akan tetapi aku tidak menghendaki demikian, juitaku. Aku ingin kau menyerahkan diri secara sukarela kepadaku, ingin kau membalas cinta kasihku, bukan menyerah karena terpaksa dan tak berdaya. Nah, bebaslah dan kuberi kesempatan berpikir.”

Tangannya menotok lagi dan benar saja. Tayami dapat bergerak kembali. Muka gadis ini sudah pucat sekali, akan tetapi sepasang matanya berapi-api saking marahnya. Ia akan melawan sampai mati, tidak nanti ia mau menyerah! Baru sekarang ia teringat untuk menjerit, karena tadinya, selain terpengaruh oleh ucapan Bayisan yang katanya telah merobohkan semua penjaga dan pelayan, juga tadinya ia merasa malu kalau peristiwa ini diketahui orang luar. Akan tetapi melihat kenekatan Bayisan yang seperti gila itu, ia tidak peduli lagi dan tiba-tiba Tayami menjerit sekuatnya. Aneh dan kagetlah ia ketika tiba-tiba lehernya terasa sakit dan sama sekali ia tidak dapat mengeluarkan suara!

“Heh-heh-heh, jalan darahmu dileher kutotok, membuat kau menjadi gagu! Nah, insyaflah, Tayami, betapa mudahnya bagiku. Dengan tertotok lemas dan gagu, apa yang dapat kau lakukan untuk menolak kehendakku? Akan tetapi aku tidak mau begitu… aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya, berikut hatimu. Manis, kau balaslah cintaku….”

Bayisan melangkah maju lalu memeluk. Tayami memukul-mukulkan kedua tangannya, akan tetapi pukulan-pukulan itu sama sekali tidak terasa agaknya oleh Bayisan. Pemuda Khitan yang seperti gila ini menciumi muka Tayami, mebujuk-bujuk dan terdengar kain robek. Terengah-engah Tayami ketika Bayisan untuk sejenak melepaskannya sambil memandang dengan mulut menyeringai. Baju Tayami bagian atas sudah robek, wajah gadis ini pucat sekali. Celaka pikirnya. Tidak ada senjata lagi. Tiba-tiba Tayami teringat akan bungkusan bedak diatas meja. Kalau bedak itu mengenai mata, tentu untuk sesaat Bayisan takkan dapat membuka matanya, mungkin ada kesempatan baginya untuk lari keluar kamar. Bayisan sudah hendak memeluk lagi.

“Tayami sayang, aku cinta kepadamu… kau layanilah hasratku….”

Tiba-tiba Tayami memukulkan tangan kirinya kearah ulu hati Bayisan. Melihat pukulan itu keras juga dan mengarah bagian berbahaya, sambil tertawa Bayisan menangkap tangan ini dan hendak mendekap tubuh Tayami. Mendadak tangan Tayami yang kanan menyambar dan segumpak uap putih menghantammuka Bayisan yang sama sekali tidak menyangka-nyangka itu. Begitu melihat sambitannya mengenai sasaran, Tayami cepat melompat kebelakang sampai mepet dinding belakang pembaringan.

“Kau… kau apakan mukaku? Tayami… kau gunakan apa ini…?”

Ia terhuyung-huyung menuju ke meja rias dimana terdapat sebuah cermin. Ketika ia memandang wajahnya pada cermin itu, keluar teriakan liar seperti bukan suara manusia lagi. Tayami yang sudah tak dapat menahan ngerinya, menutupi mukanya dengan kedua tangannya tak sanggup ia melihat lebih lama lagi. Ia memang seorang gadis perkasa, tak gentar menghadapi perang, sudah biasa melihat mayat bertumpukan sebagai korban perang, melihat orang terluka parah.

Akan tetapi peristiwa yang mereka hadapi sekarang ini benar-benar mengerikan sekali, apalagi kalau ia ingat betapa tadi sebelum Bayisan datang, hampir saja ia menggunakan bedak beracun itu untuk membedaki mukanya. Menggigil kengerian ia kalau membayangkan betapa kulit mukanya yang halus itu akan digerogoti perlahan-lahan oleh racun itu, betapa mukanya akan tak berkulit lagi, seperti muka iblis yang seburuk-buruknya. Kembali Bayisan menggereng seperti binatang liar ketika ia membalikkan tubuh menghadapi pembaringan di mana Tayami duduk bersimpuh kengerian dan ketakutan.

“Kau… kau… setan betina… kucekik lehermu sampai mampus…”

Ia menubruk maju, akan tetapi tiba-tiba ia berseru kesakitan dan terhuyung kebelakang, tangan kirinya meraih kearah pundak kanannya yang terasa sakit, lumpuh dan gatal panas. Ketika ia berhasil mencabut jarum hitam yang menancap dipundak kanannya, ia berteriak kaget, mundur beberapa langkah dan berdongak keatas. Disana, dicelah-celah genteng, tampaklah sebuah muka menyeringai, muka seorang muda yang rambutnya riap-riapan. Bayisan tentu saja mengenal jarum hitamnya, maka tadi ia kaget setengah mati melihat pundaknya dilukai orang dengan jarumnya sendiri, kini melihat muka itu, muka jembel muda yang siang tadi membikin kacau, teringatlah ia akan muka Kwee Seng, teringatlah ia akan semua peristiwa di puncak Liong-kwi-san.

“Liong… kwi…. san ….”

Bayisan mengeluh, mukanya pucat sekali dan tahulah ia bahwa tidak harapan baginya untuk menghadapi pemuda gila yang ternyata Kwee Seng adanya itu. Tahu pula ia bahwa tak mungkin ia dapat tinggal di istana setelah apa yang ia lakukan terhadap Tayami, setelah kini mukanya menjadi seperti muka iblis yang mengerikan. Terdengar ia melengking panjang seperti lolong seekor srigala hutan yang kelaparan ketika tubuhnya berkelebat kearah jendela dan lenyaplah Bayisan didalam kegelapan malam.

Kwee Seng tersenyum puas. Tak perlu ia membunuh Bayisan, cukup dengan mengembalikan jarumnya ditempat yang sama. Ia puas melihat Bayisan sudah cukup terhukum oleh perbuatannya sendiri yang jahat. Siapa kira, bungkusan yang ia duga dikirim kakek cebol untuk puteri mahkota Khitan itu, ternyata berisi bedak beracun dan secara tidak sengaja telah dapat memberi hukuman mengerikan kepada Bayisan si manusia jahat! Akan tetapi kakek cebol itu juga jahat. Bagaimana seandainya bedak itu dipergunakan oleh puteri mahkota? Kwee Seng bergidik. Tak sampai hatinya membayangkan hal ini. Dia amat sayang akan segala yang indah-indah, kalau sampai wajah yang jelita itu, dikupas kulitnya oleh bedak beracun, hiiiih!

“Kakek cebol, kau tua bangka iblis, tak dapat kudiamkan saja perbuatanmu ini!”

Kata Kwee Seng di dalam hatinya dan ia pun meloncat turun dari atas genteng, menghilang didalam gelap.

Pada keesokan harinya, kota raja bangsa Khitan itu geger ketika Pangeran Kubakan mengumumkan bahwa Raja Kulu-khan telah meninggal dunia dengan mendadak karena terserang sakit setelah menghadiri pesta perlombaan kemarin. Tentu saja hal ini mengejutkan bangsa Khitan yang merasa sayang kepada raja yang adil itu. Semua orang berkabung untuk kematian yang tak tersangka-sangka ini. Adapun didalam istana sendiri, tidak kurang hebatnya pukulan yang tak tersangka-sangka ini. Tayami mengisi jenazah ayahnya dan para panglima hanya saling pandang dengan penuh pengertian. Tidak ada tanda-tanda penganiayaan, akan tetapi tahu-tahu raja telah meninggal dunia diatas pembaringannya, tidak ada tanda luka, tidak ada tanda minuman atau makanan beracun.

Akan tetapi bagi pandang mata yang awas dari para panglima yang tahu akan ilmu silat tinggi, yaitu misalnya Kalisani Si Panglima Tua, atau juga panglima-panglima kosen seperti Pek-bin Ciangkun (Panglima Muka Putih) dan Salinga, dapat menduga bahwa kematian raja mereka itu adalah akibat pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sin-kang dengan hawa beracun. Dari sembilan lubang di tubuh raja itu keluar darah menghitam, ini tandanya keracunan hebat oleh pukulan yang merusak tubuh sebelah dalam. Ketidak hadiran Bayisan menimbulkan dugaan mereka ini bahwa Bayisan itulah yang telah membunuh raja, ayahnya sendiri!

Mungkin karena tak senang dengan pengangkatan Salinga sebagai calon panglima dan mantu raja. Akan tetapi, setelah mereka mendengar penuturan puteri mahkota tentang kekurangajaran Bayisan memasuki kamar Sang Puteri lalu dapat diusir oleh Puteri Tayami dengan bubuk beracun sehingga Bayisan menghilang, para panglima itu tidak mau membicarakan hal ini diluaran. Hanya diam-diam mereka mencari Bayisan untuk membalas dendam atas kematian raja, namun semenjak saat itu Bayisan menghilang sehingga orang menyangka bekas panglima itu tentu telah tewas oleh racun. Sejak kematian Raja Kulu-khan itulah, timbul perebutan kedudukan raja di Khitan.

Tentu saja menurut sepatutnya karena yang menjadi puteri mahkota adalah Tayami, maka puteri inilah yang menggantikan kedudukan raja. Akan tetapi ia seorang wanita yang merasa kurang mampu mengendalikan pemerintahan, sedangkan calon suaminya hanyalah keturunan pelayan, maka hal ini menjadi perdebatan sengit di antara mereka yang pro dan yang kontra. Sayangnya bagi Tayami, yang pro dengannya tidaklah banyak. Terutama sekali yang mendukungnya adalah panglima tua Kalisani, yang bicara penuh semangat di depan sidang.

“Biarpun tak dapat disangkal bahwa pimpinan puteri tidaklah sekuat pimpinan putera, akan tetapi apa gunanya kita semua menjadi pembantu raja? Kalau ada urusan, cukup ada kita yang akan maju dengan persetujuan raja. Puteri Tayami adalah puteri mahkota, hal ini mendiang raja sendiri yang menetapkan. Kalau kita sekarang tidak mengangkat beliau menjadi pengganti raja, bukankah itu berarti kita tidak mentaati perintah mendiang raja kita?”

Demikian antara lain Kalisani membela kedudukan Puteri Tayami! Akan tetapi, pihak lain membantah dengan sama kerasnya.

“Kita semua maklum bahwa bangsa Khitan menghadapi banyak tantangan di selatan. Kalau kita sebagai bangsa yang gagah perkasa tidak sekarang mencari tempat di selatan mau tunggu sampai kapan lagi? Dan penyerbuan itu membutuhkan bimbingan seorang raja yang gagah berani, seorang laki-laki sejati. Kita percaya bahwa Paduka Puteri Tayami juga seorang wanita jantan yang gagah perkasa, akan tetapi betapapun juga, langkah seorang wanita tidak selebar laki-laki. Biarlah Puteri Tayami juga tinggal dalam kedudukannya sebagai puteri mahkota yang kita hormati, akan tetapi pimpinan kerajaan harus berada di tangan seorang pangeran.”

Perdebatan sengit terjadi, akan tetapi akhirnya Kalisani kalah suara.

Sebagian besar para panglima dan ponggawa memilih Pangeran Kubakan untuk mengganti kedudukan ayahnya menjadi raja di Khitan! Hal ini mengecewakan hati Kalisani yang amat tidak suka melihat perebutan kekuasaan yang bukan haknya itu, apalagi karena dengan adanya perdebatan itu, setelah ia mengalami kekalahan, tentu saja golongan raja ini akan membencinya. Maka pada hari itu juga ia meletakkan jabatan dan meninggalkan Khitan untuk melakukan perantauan yang menjadi kesukaannya sejak dahulu. Karena kesukaannya akan merantau ini pula agaknya yang membuat Kalisani tidak juga mau menikah. Sebelum pergi meninggalkan Khitan, Kalisani hanya minta diri kepada Puteri Tayami.

“Harap Paduka menjaga diri baik-baik. Setelah ayah Paduka wafat, belum tentu keadaan pemerintahan akan sebaik sebelumnya. Terutama sekali, harap Paduka berhati-hati terhadap Bayisan, kalau-kalau dia kembali lagi. Selamat tinggal, Tuan Puteri. Selamanya saya akan berdoa untuk kebaikan Paduka.”

Tentu saja Tayami telah maklum bahwa Kalisani sejak dahulu juga menaruh hati cinta kepadanya. Ia menjadi terharu sekali karena maklum bahwa perasaan cinta panglima tua ini benar-benar perasaan yang jujur dan tulus ihklas, yang murni. Ia maklum pula akan pembelaan Kalisani kepadanya di dalam sidang. Mengingat betapa sekaligus ia ditinggal pergi ayahnya dan Kalisani, dua orang yang benar-benar menaruh sayang kepadanya, tak terasa pula Tayami menangis. Puteri ini lalu mengambil dua buah roda emas yang menjadi berang permainan dan kesayangannya sejak kecil, menyerahkannya kepada Kalisani sambil berkata.

“Terima kasih atas segala kebaikan yang telah kaulimpahkan kepadaku, Kalisani. Semoga para dewa yang akan membalasnya dan terimalah sepasang roda emas milikku ini sebagai kenangan-kenangan.”

Kalisani mengejap-mengejapkan kedua matanya yang menjadi basah, menerima sepasang roda emas, mencium kedua benda mengkilap itu, lalu mengundurkan diri sambil berkata,

“Sampai mati aku takkan berpisah dari sepasang roda emas ini…”

Biarpun kemudian Kubakan menjadi raja bangsa Khitan, namun Puteri Tayami masih mendampingi kakak tirinya ini dan kekuasaan puteri mahkota ini masih besar sekali.

Raja Kubakan yang baru tidak berani mengganggu Tayami, karena sungguhpun para panglima membenarkan dia yang menggantikan raja, namun boleh dibilang semua panglima masih bersetia penuh kepada puteri mahkota. Raja Kubakan merasa kehilangan sekali karena Bayisan pergi tanpa pamit dan tidak ada orang tahu entah kemana perginya. Kalau seandainya ada Bayisan disampingnya, tentu rasa ini akan merasa lebih kuat dan ada yang diandalkan. Demikianlah, secara singkat dituturkan disini bahwa Puteri Mahkota Tayami menikah dengan Salinga dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta.

Tidak terjadi sesuatu diantara raja baru dan Puteri Tayami maupun suaminya karena mereka tidak saling menganggu, bahkan di waktu bangsa Khitan berperang menghadapi musuh, keduanya berjuang bersama-sama. Akan tetapi, sesungguhnya didalam hati mereka itu terdapat semacam “perang dingin”. Kita kembali kepada Kwee Seng yang meninggalkan istana dan terus keluar dari kota raja. Sambil menggerogoti sepotong paha kambing panggang yang ia sambar secara sambil lalu dari dapur istana sebelum keluar, ia berjalan seenaknya dimalam hari itu. Tak pernah ia mengaso karena bagi Kwee Seng yang kondisi tubuhnya sudah luar biasa anehnya itu, tidak tidur selama seminggu atau tidak makan selama sebulan bukan apa-apa lagi, juga sebaliknya ia bisa saja tidur tiga hari tiga malam terus-menerus atau sekali makan menghabiskan makanan sepuluh orang!

Kwee Seng masih enak-enak berjalan memasuki hutan setelah matahari muncul mengusir kegelapan malam. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang tertawa-tawa, suara tergelak-gelak yang amat dikenalnya karena itulah suara Si Kakek Cebol! Mendengar suara Si Cebol, bangkitlah amarah dihati Kwee Seng. Si Kakek Cebol yang kejam! Sekejam-kejamnyalah orang yang berniat merusak muka yang demikian cantiknya seperti muka Puteri Mahkota Tayami! Kakek iblis itu harus diberi hajaran. Dengan tangan kanan memegang tulang paha kambing, tangan kiri menyambar sehelai daun yang kaku dan lebar, Kwee Seng lalu mempercepat langkahnya menghampiri arah suara ketawa.

Kakek cebol itu tampak berdiri dibawah sebatang pohon besar, tertawa-tawa sambil memeriksa muka seorang yang menggeletak didepan kakinya. Ketika Kwee Seng mengenal orang yang menggeletak itu, ia terheran-heran dan kaget, karena orang itu bukan lain adalah Bayisan! Memang aneh kakek itu, ia membungkuk, mengamat-amati muka Bayisan yang rusak, lalu terpingkal-pingkal ketawa lagi, membungkuk lagi, memeriksa dengan jari-jari tangan, lalu terkekeh-kekeh lagi seperti orang gila.

“Huah-hah-hah, lucu perbuatan si tangan jail iblis siluman! Muka Si Cantik halus yang kuarah, kiranya malah bocah tolol ini yang terkena! Heh-heh-heh!”

Makin yakin kin hati Kwee Seng bahwa kakek cebol ini sengaja mengirim obat bubuk beracun untuk merusak muka Tayami, maka ia menjadi makin marah. Disamping kemarahannya, ia pun ingin sekali mengerti mengapa kakek itu hendak berbuat sedemikian kejinya terhadap Tayami. Untuk melihat apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh kakek itu Kwee Seng menanti sesaat. Bayisan agaknya pingsan, atau mungkin sudah mati, karena tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Tiba-tiba kakek itu berseru.

“Aiiihhh, bau… bau…! Bau jembel tengik…!”

Terkejutlah Kwee Seng, dengan kening berkerut ia menggerakkan muka kekanan kiri, hidungnya kembang-kempis mencium-cium. Benar-benarkah ia berbau begitu tengik sehingga kehadirannya tercium oleh kakek itu? Tentu saja pakaiannya yang sudah butut itu tak enak baunya, akan tetapi tidaklah begitu tengik sehingga dapat tercium dari jarak sepuluh meter jauhnya. Ia mendongkol dan berbareng juga kagum. Kakek cebol itu tentu sengaja memakinya dan kenyataan bahwa kakek itu dapat mengetahui kehadirannya menunjukkan kelihaiannya. Terpaksa ia muncul dari balik pohon dan melangkah maju menghampiri. Kakek itu berdiri membelakanginya dan kini kakek itu mencak-mencak berjingkrakan sambil mengoceh.

“Wah, baunya, baunya makin keras! Jembel busuk tengik ini kalau tidak cepat dicuci bersih, bisa meracuni keadaan sekelilingnya. Wah, bau… bau… tak tertahankan…!”

Kakek itu lalu berbangkis-bangkis. Rasa mendongkol didalam hati Kwee Seng seperti membakar,

“Kakek cebol tua bangka tak sedap dipandang!”

Ia memaki.

“Sudah mukamu seperti monyet tua, tubuhmu cebol, mulutmu kotor watakmu pun keji seperti ular berbisa!”

Kakek itu kini membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Seng, matanya dibelalakkan lebar, mengintai dari balik alisnya yang panjang dan berjuntai kebawah menutupi mata.

“Jembel tengik, jembel bau, kiranya benar engkau yang mengotori hawa udara disini! Ucapanmu tentang muka, tubuh dan mulutku tidak keliru. Memang mukaku seperti monyet, apakah kau mengira bahwa muka monyet itu lebih buruk daripada muka orang. Hah-hah-hah, coba kau tanya kepada monyet betina, muka monyet siapa yang lebih gagah menarik, muka monyet jantan berbulu ataukah mukamu yang licin menjijikkan! Tubuhku memang cebol, lebih baik cebol daripada merasa tubuhnya besar dan gagah sendiri tapi tanpa isi seperti tubuh yang menggeletak disini. Tentang mulut kotor, memang kau benar. Mulut manusia mana yang tidak kotor? Segala macam bangkai dimasukkan kemulut, sedangkan yang keluar dari mulut pun selalu kotoran-kotoran melulu. Bukankah segala penyakit disebabkan oleh yang masuk melalu mulut, dan bukankah segala cekcok dan ribut disebabkan oleh apa yang keluar melalui mulut? Memang mulut manusia kotor dan bau pula! Huah-hah-hah! Tapi tentang watak keji seperti ular berbisa? Eh, jangan kau menuduh dan memaki sembarangan, bocah jembel!”

Kwee Seng tersenyum mengejek dan menggerogoti sisa daging yang menempel ditulang paha, sedangkan dengan daun lebar ia mengipasi lehernya, padahal hawa udara dipagi hari itu amat dingin.

“Kakek cebol, omonganmu memang tidak keliru dan mendengar omonganmu tadi, agaknya kau tahu juga akan kebenaran. Akan tetapi, kau menyangkal watakmu yang keji berbisa, padahal sudah ada dua macam bukti didepan mata.”

Kakek itu meloncat-loncat dan membanting-bantingkan kakinya diatas tanah, mukanya memperlihatkan kejengkelan dan kemarahan.

“Iihh… oohh… aku adalah Bu Tek Lojin! Selamanya belum pernah ada orang berani memaki kepada Bu Tek Lojin. Tapi hari ini kau jembel muda busuk tengik berani bilang bahwa Bu Tek Lojin berwatak keji dan dua buktinya. Heh, bocah, jangan main-main dengan Bu Tek Lojin. Hayo katakan, apa buktinya?”

Diam-diam Kwee Seng terheran-heran. Kakek ini memiliki nama yang hampir sama dengan Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa yang suci dan yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, yang sudah hampir dapat membebaskan diri sepenuhnya daripada ikatan lahir.

Akan tetapi kakek ini namanya saja sudah membayangkan kesombongan. Bu Tek Lojin! Orang Tua Tanpa Tanding! Belum pernah Kwee Seng mendengar nama ini. Banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti ia kenal, baik mengenal muka maupun hanya mengenal nama, akan tetapi tak pernah ia mendengar nama Bu Tek Lojin! Ada Sin-jiu Couw Pa Ong, Ban-pi Lo-cia, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Hui-kiam-eng Tan Hui, Kim-tung Lo-kai, disamping tokoh-tokoh besar yang menjadi ketua partai persilatan seperti Kian Hi Hosiang Ketua Siauw-lim-pai, Kim Gan Sianjin Ketua Kun-lun pai, dan lain-lain. Dari mana munculnya kakek cebol yang mengaku bernama Orang Tua Tanpa Tanding ini?

“Huh, tua bangka sombong, kau masih hendak berpura-pura lagi? Bukti pertama sudah jelas tampak didepan mata pada saat ini pun juga. Kau lihat yang menggeletak didepan kakimu itu! Siapa dia? Kau agaknya malah hendak menolongnya, bukan? Tadi kulihat betapa kau menotok beberapa jalan darah untuk mencegah menjalarnya racun dimukanya. Mengapa kau menolong seorang busuk dan jahat seperti Bayisan? Bukankah orang-orang gagah tahu bahwa membantu pekerjaan penjahat sama artinya dengan diri sandiri melakukan kejahatan? Bukti pertama sudah jelas, kau membantu Bayisan Si Jahat!”

Tiba-tiba kakek cebol yang mengaku bernama Bu Tek Lojin itu tertawa bergelak, kembali tubuhnya meloncat-loncat berjingkrakan seperti seorang anak kecil diberi kembang gula.

“Ho-ho-ho-hah! Ada anak ayam mengejar terbang seekor garuda! Kau anak ayamnya dan aku garudanya!”

Ia tertawa-tawa lagi. Kwee Seng mendongkol sekali. Kakek ini selain lihai ilmunya, juga lihai mulutnya, seperti anak yang nakal sekali. Akan tetapi ia diam saja mendengarkan.

“Bocah, kau tahu apa tentang membantu? Tahu apa tentang menolong? Tahu apa tentang jahat dan baik? Membantu tidak sama dengan menolong, akan tetapi jahat tidak ada bedanya dengan baik, kau tahu?”

Kwee Seng seakan-akan menghadapi teka-teki.

“Kakek sombong, apa bedanya membantu dan menolong?”

“Uuhhh, goblok! Kalau dia ini melakukan sesuatu dan aku ikut-ikutan mendorong agar apa yang ia lakukan itu berhasil, itu namanya membantu. Melihat lebih dulu sebab dan akibat sebelum berbuat, itulah membantu. Tanpa mempedulikan sebab dan akibatnya lalu turun tangan, itulah menolong. Siapapun juga dia, apa sebabnya dan bagaimana akibatnya, tidak peduli, pendeknya harus turun tangan, itulah penolong yang sejati!”

Kakek itu bicaranya seperti orang membaca sajak, pakai irama dan berlagu pula sukar dimengerti. Akan tetapi Kwee Seng terkejut karena mengenal filsafat ini, biarpun diucapkan seperti sajak berkelakar, namun adalah kata-kata filsafat yang amat dalam! Mulailah ia kagum dan tidak lagi main-main.

“Bu Tek Lojin, sekarang aku ingin tahu, mengapa kau katakan bahwa jahat tidak ada bedanya dengan baik?”

“Ho-ho-hah-hah, memang kau bodoh dan goblok! Semua manusia bodoh dan tolol, termasuk aku! Semua manusia goblok itu merasa diri pintar, termasuk aku! Apa bedanya baik dan buruk? Apa bedanya siang dan malam? Apa bedanya ada tidak ada? Kalau tidak ada matahari, mana ada siang malam? Kalau tidak tahu, mana bisa ada atau tidak ada? Kalau tidak menyayang diri sendiri, mana ada buruk dan baik? Ha-ha-ha! Eh bocah, siapa namamu?”

“Aku yang muda dan bodoh bernama… Kim-mo Taisu!”

Kwee Seng sengaja memakai nama ini untuk menandingi kesombongan Si Kakek. Ia memang telah mempunyai nama poyokan Kim-mo-eng (Pendekar Aneh Berhati Emas), akan tetapi untuk mempergunakan nama Kim-mo-eng, berarti memperkenalkan dirinya sendiri, padahal ia sudah merasa malu untuk menghidupkan lagi nama Kwee Seng yang dianggap sudah mati terpendam di Neraka Bumi, maka kini ia sengaja menamakan dirinya Kim-mo Taisu yang berarti Guru Besar Setan Emas!

“Wah, wah, namamu hebat! Pandai kau memilih nama, memang memilih nama bebas, boleh pakai apa saja. Dalam hal ini kita cocok, maka aku pun memilih nama Bu Tek Lojin, huah-hah-hah! Eh. Kim-mo Taisu yang tidak patut bernama Kim-mo Taisu karena masih muda, aku Tanya, apakah kau seorang baik?”

Ditanya begini Kwee Seng melengak dan tak dapat menjawab.

“Ha-ha-ha, tentu saja dalam hatimu kau menjawab bahwa kau ini seorang baik. Tidak ada di dunia ini orang yang mengaku dirinya orang jahat. Biarpun mulutnya bilang jahat, hatinya tetap mengaku baik. Jadi, siapakah dia yang baik? Yang baik adalah dirinya sendiri, dan orang yang melakukan sesuatu yang menyenangkan dirinya sendiri, dianggap orang baik pula. Siapakah dia yang dinamakan orang jahat? Yang jahat adalah orang yang melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan dirinya sendiri, nah, mereka ini tentu akan disebut jahat. Baik dan jahat tidak ada, sama saja, yang ada hanya penilaian di hati orang yang membedakan demi kesenangan diri sendiri. Yang menyenangkan diri dianggap baik, yang tidak menyenangkan diri dianggap buruk. Ha-ha-ha-ha! Menolong yang dianggap baik, itu bukan menolong namanya! Bukan menolong orang, melainkan menolong diri sendiri, menyenangkan perasaan sendiri. Mengertikah kau, Kim-mo Taisu yang goblok?”

Didalam hatinya Kwee Seng kembali terkejut. Kakek cebol ini kiranya bukan sembarangan orang! Betapapun juga, hatinya tidak puas. Kakek ini sifatnya terlalu berandalan, terlalu liar dan bahkan mungkin keliarannya dan suka menggunakan aturannya sendiri itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain.

“Bu Tek Lojin, kau boleh mengeluarkan alasan apapun juga, boleh kau membongkar-bongkar filsafat untuk mencari kebenaran, sendiri. Akan tetapi aku melihat sendiri betapa kau memberi sebungkus bubuk racun kepada Puteri Mahkota Tayami dengan nasihat supaya dia memakai bubuk itu membedaki mukanya. Apa kau mau bilang bahwa perbuatanmu ini termasuk baik? Kau hendak membikin rusak muka yang begitu cantik bukankah itu perbuatan keji sekali? Kalau kau masih mengaku seorang manusia, dimana perikemanusiaan mu?”

“Huah-hah-hah! Memang aku bukan manusia biasa, aku setengah dewa! Tentang pengiriman obat itu, memang ku sengaja, dan memang maksudku baik. Baik sekali! Kau tahu apa yang menyebabkan semua keributan itu? Apa yang menyebabkan pemuda-pemuda tolol itu berlomba dan saling membenci? Tak lain untuk memperebutkan hati Puteri Mahkota! Dan mengapa mereka berlomba memperebutkan hati Puteri Mahkota? Karena dia cantik jelita! Ha-ha-ha! Karena itu aku berusaha melenyapkan kecantikannya. Kecantikan hanya sebatas kulit muka! Kalau obatku dapat mengupas kulit mukanya, hendak kulihat apakah para pemuda itu akan mau memperebutkannya. Inilah namanya menghilangkan akibat dengan membongkar sebabnya!”

“Hemm, membongkar sebab secara merusak tanpa mengenal kasihan seperti itu, benar-benar mencerminkan hatimu yang keji. Kau tua bangka yang benar-benar berhati iblis!”

“Uwaaaahh! Kim-mo Taisu, mulutmu lancang benar! Apa kau mau mengajak aku berkelahi?”

“Bukan mau berkelahi, melainkan mau memberi hajaran kepadamu!”

“Wah-wah, kau mau menghajar aku? Heh-heh-heh! Ada ular kecil mau menghajar seekor naga. Lucu… lucu….!”

Makin mendongkol hati Kwee Seng. Benar sombong kakek ini, tadi menyamakan dia anak ayam dan dirinya sendiri garuda, sekarang memaki dia ular kecil dan mengangkat dirinya sendiri seekor naga!

“Biarpun naga, kalau matanya buta dan merusak sana-sini, apa boleh buat, wajib dihajar!”

“Bagus, mari kau layani aku beberapa jurus!”

Kakek itu berkata, lalu meloncat kekiri dan memasang kuda-kuda yang aneh, kedua sikunya mepet pinggang, jari-jari tangan terbuka dan miring, tubuhnya doyong kedepan, pundaknya diangkat pula kedepan, matanya melirak-lirik, persis gaya seekor jago aduan yang akan dipersabungkan! Melihat kakek itu tidak bersenjata, Kwee Seng menyelipkan tulang paha kambing dan daun kepinggangnya, kemudian ia pun menghampiri kakek itu, memasang kuda-kuda dan diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya seperti yang ia pelajari di Neraka Bumi.

Karena ia cukup maklum bahwa betapapun aneh dan lucu sikap kakek itu, namun sudah terbukti kemarin betapa kakek ini memiliki lwee-kang yang amat kuat serta gin-kang yang amat tinggi. Lawan ini amat berbahaya, dan dengan cerdik Kwee Seng lalu menanti sambil siap siaga, tidak mau menyerang lebih dulu. Akan tetapi kakek itu juga tak kunjung datang serangannya. Hanya kepalanya bergerak kekanan kiri, matanya lirak-lirik seperti ayam jago sedang menaksir-naksir kekuatan lawan, kemudian kakinya melangkah-langkah berputar mengelilingi Kwee Seng! Tentu saja Kwee Seng juga segera mengubah kedudukan kaki dan mengatur langkah mengikuti Si Kakek yang aneh. Ia melihat betapa jari-jari kakek itu yang telanjang seperti kakinya sendiri, terpentang seperti cakar ayam. Benar-benar kuda-kuda ilmu silat yang aneh sekali. Apakah kakek ini menciptakan ilmunya berdasarkan gerakan ayam jago? Ataukah semacam burung? Ia menaksir-naksir akan tetapi tetap waspada.

Tiba-tiba kakek itu berseru.

“Awas!”

Dan tubuhnya mencelat kedepan, menerjang, kedua tangannya menggampar dari kanan kiri, kedua kakinya menendang. Biarpun kelihatan hanya sebuah terjangan kasar, namun jari-jari kakinya serta jari-jari tangannya melakukan totokan di tujuh bagian hiato(jalan darah) yang berbahaya! Kwee Seng kaget sekali, tak mungkin mengelak dari terjangan liar ini, maka cepat ia menggerakkan kakinya melangkah mundur lalu kedua tangannya membuat gerakan membentuk lingkaran-lingkaran dan sekaligus ia dapat menangkis dua pasang tangan kaki kakek itu.

“Dukkk!”

Tubuh Bu Tek Lojin mencelat ke belakang membuat salto dua kali, akan tetapi kedudukan kaki Kwee Seng juga tergempur sehingga dia terhuyung-huyung kebelakang. Kagetlah Kwee Seng. Tenaganya setelah berlatih di Neraka Bumi, mengalami kemajuan pesat sekali. Namun kini ia ketemu batunya. Kakek yang menerjang ditengah udara itu ternyata mampu membuatnya terhuyung-huyung, dan kedua lengannya yang menangkis tadi seakan-akan bertemu dengan benda yang antep dan keras.

“Heh-heh, kau boleh juga!”

Kakek itu memuji, kemudian mengulangi lagi pasangannya seperti ayam jago, berputar-putar sehingga terpaksa Kwee Seng juga berputaran.

Kembali Bu Tak Lojin menerjang maju dan kali ini terjangannya disusul serangkaian serangan yang ganas, memukul dan menendang bergantian, semua mengarah jalan darah yang berbahaya. Kwee Seng berlaku cepat, tubuhnya mencelat kesana-sini dan ia pun membalas dengan pukulan tanpa memakai sungkan-sungkan lagi. Maka lenyaplah bayangan kedua orang ahli silat yang mengerahkan gin-kang ini, berkelebatan seperti petir menyambar. Berkali-kali mereka beradu tangan dan selalu Kwee Seng terdesak mundur. Terang bahwa ia kalah kuat dalam hal tenaga dalam, akan tetapi karena Kwee Seng memang memiliki ilmu silat yang tinggi maka penjagaannya rapat sekali. Setelah mengalami benturan tangan belasan kali yang membuat kedua lengannya terasa sakit-sakit, Kwee Seng segera mengerahkan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti).

Kedua tangannya menjadi lunak seperti kapas dan kapas dan tenaga kakek itu seperti amblas kalau bertemu dengan tangannya, sehingga ia tidak mengalami rasa nyeri lagi, malah dengan ilmunya ini ia dapat membalas serangan dengan mendadak dan cepat, membuat kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan memuji dan penasaran. Tiba-tiba kakek cebol itu mengganti dan gerakannya yang tadinya amat cepat lincah itu, menjadi gerakan lambat. Malah kedua kakinya seakan-akan tidak bertenaga, seperti mengambang di atas air saja. Namun hebatnya, begitu mereka beradu lengan, Kwee Seng terlempar ke belakang sedangkan kakek itu hanya menari-nari dengan kedua kaki seperti tidak menginjak tanah.

Kwee Seng terkejut sekali, ia melihat kakek itu tadi hanya membuat gerakan mendorong dengan kedua tangan, mengapa begitu beradu tangan ia terlempar sampai tiga meter ke belakang? Seakan-akan dari kedua tangan kakek itu mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya, padahal gerakan kakek itu lambat dan kelihatan lemah serta kosong? Ia tidak tahu bahwa ini ilmu ciptaan Bu Tek Lo-jin yang dinamainya Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Mengandung Kekuatan Selaksa Kati)! Adapun ilmu ini adalah ilmu sin-kang yang mendasarkan ilmu memanfaatkan yang kosong seperti seringkali disebut-sebut oleh Nabi Locu dalam kitabnya To-tik-keng sehingga merupakan penggabungan ilmu silat dan ilmu batin yang tinggi. Karena maklum bahwa kalu ia terus melayani kakek sakti ini dengan tangan kosong tentu ia akan kalah, Kwee Seng lalu mencabut tulang paha kambing dan daun lebar dari ikat pinggangnya.

“Bu Tek Lojin, dengan tangan kosong aku kalah, marilah kita gunakan senjata!”

Bu Tek Lojin bukanlah orang buta. Melihat lawannya yang muda mengeluarkan senjata yang begitu sederhana dan aneh, ia tahu bahwa lawannya ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali. Tadi pun diam-diam ia sudah terheran-heran mengapa ada orang muda yang begitu lihai. Selama hidupnya, belum pernah ia bertemu tanding yang semuda ini. Akan tetapi memang wataknya tinggi hati, tidak memandang mata kepada lawan manapun juga, maka ia tertawa sambil berkata,

“Jembel tengik, keluarkan saja semua kepandaianmu untuk kulihat!”

Setelah berkata demikian kakek cebol itu langsung menyerang lagi dan kini kembali ilmu silatnya sudah berubah, tenaganya masih sehebat tadi namun kedua tangannya membuat gerakan yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar dengan tangan kirinya, sedangkan yang kanan membentuk lingkaran-lingkaran sempit. Pukulan-pukulan dan tendangan-tendangannya datang bergulung-gulung seperti ombak samudera menerjang habis segala yang merintanginya. Melihat hebatnya gerakan ini, Kwee Seng segera memutar ulang paha kambing yang ia gunakan seperti pedang, untuk melindungi tubuh, sedangkan daun di tangan kiri mulai ia kebut-kebutkan yang juga mengeluarkan angin pukulan yang amat dahsyat. Tiba-tiba terdengar suara keras,

“Bagus, Bu Tek Lojin, kau hajar mampus bocah itu. Kalau kau kalah, baru aku yang maju!”

Suara itu terdengar dari jauh akan tetapi nyaring dan jelas sekali, kemudian sebelum suara itu lenyap kumandangnya, orangnya sudah berkelebat datang. Seorang raksasa tinggi besar berkepala gundul yang segera dikenal Kwee Seng sebagai musuh lamanya, Ban-pi Lo-cia! Sejenak kakek cebol menghentikan serangannya, membanting-banting kaki dan memaki,

“Kau bilang kalau aku kalah? Kuda gundul, kau lihat saja aku menjatuhkan jembel tengik ini, kalau sudah, biar kau punya selaksa lengan (ban-pi), pasti kedua tanganku yang hanya dua ini akan kenyang menempilingi gundulmu sampai kau berkuik-kuik dan berkaing-kaing!”

Setelah berkata demikian, kakek cebol itu segera menyerang Kwee Seng lagi dengan hebatnya. Kwee Seng mencelat ke kiri sambil memutar tulang paha kambing.

“Stop dulu, Bu Tek Lojin. Dia itu musuh lamaku, biarkan aku membuat perhitungan dengan dia! Heh, manusia cabul, rasakan pembalasanku atas kematian Ang-siauw-hwa…!”

Kwee Seng hendak menyerang Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek cebol itu merintangi, bahkan menyerangnya lagi sambil mengomel.

“Kau belum kalah olehku, bagaimana bisa berhenti dan melawan orang lain?”

Karena serangan kakek cebol ini memang hebat sekali, Kwee Seng tidak dapat memecah perhatian dan terpaksa ia melayani lagi dengan hati mendongkol. Ia tahu bahwa percuma saja bicara dengan kakek cebol ini. Jalan satu-satunya mengalahkan Si Cebol ini lebih dulu, baru nanti menghadapi Ban-pi Lo-cia. Akan tetapi ini hanya rencana saja, pelaksanaannya sukar setengah mati karena Si Cebol ini benar-benar sakti luar biasa. Sementara itu, baru sekarang Ban-pi Lo-cia melihat tubuh Bayisan yang menggeletak diatas tanah. Ia kaget sekali dan tidak mempedulikan lagi mereka yang sedang bertempur. Cepat ia berlutut didekat muridnya dan setelah melihat muka muridnya ia mengeluarkan suara tertahan, menotok dan mengurut sana-sini. Akhirnya Bayisan dapat bicara.

“Suhu (Guru) …”

Ia mengeluh.

“Muridku, siapa yang melakukan ini padamu? Hayo katakan, siapa? Akan kubeset kulit mukanya!”

Dengan suara terputus-putus Bayisan bercerita terus terang kepada gurunya bagaimana ia tergila-gila kepada Tayami dan memasuki kamarnya, kemudian puteri mahkota itu menggunakan bubuk beracun mengenai mukanya. Ketika bicara agak panjang ini, Bayisan telah terlalu banyak mengerahkan tenaganya, maka begitu habis bicara, ia jatuh pingsan lagi. Ban-pi Lo-cia menarik napas panjang, menggeleng kepala dan berkata.

“Ahhh, banyak wanita cantik didunia ini, mengapa kau memilih Puteri Mahkota bangsa sendiri? Ah, tidak bisa aku mengganggu Puteri Tayami. Tayami anak Kulu-khan, mengapa engkau begini kejam? Muridku, jangan penasaran. Aku akan menurunkan semua kepandaianku kepadamu agar kelak kau dapat menjagoi dan menjadi orang nomor satu di Khitan!”

Setelah berkata demikian, Ban-pi Lo-cia memondong tubuh muridnya itu dan lari meninggalkan tempat itu tanpa peduli lagi kepada dua orang yang sedang bertanding.

“Ban-pi Lo-cia, kau hendak lari kemana?”

Kwee Seng menusukkan tulang paha dengan jurus maut Pat-sian-toat-beng (Delapan Dewa Mencabut Nyawa) dari Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Baru sekarang ia menggunakan jurus Pat-sian Kiam-hoat karena tadi dalam menghadapi Bu Tek Lojin ia belum mau mempegunakan ilmunya ini yang telah diperbaiki dahulu oleh Bu Kek Siansu, sekarang ia ingin sekali mengejar Ban-pi Lo-cia, terpaksa ia menggunakan jurus ini.

Kagetlah Bu Tek Lojin. Serangan ini memang hebat sekali dan tak mungkin ditangkis atau dielakkan. Tulang itu ujungnya tahu-tahu sudah mengancam ulu hati. Terpaksa Bu Tek Lojin menggunakan gerakan yang sebetulnya kalau tidak terpaksa, ahli silat tinggi enggan melakukannya, yaitu membuang diri kebelakang seperti batang pohon tumbang, lalu bergulingan diatas tanah. Akan tetapi Kwee Seng memang hanya ingin membuat kakek cebol ini untuk sementara menjauhkan diri, langsung ia meloncat dengan gin-kangnya yang hebat ke arah Ban-pi Lo-cia yang sedang melarikan diri membawa muridnya, tulangnya menghantam ke arah lambung Ban-pi Lo-cia. Kakek gundul ini mendengar desir angin, menangkis dengan lengan karena tahu bahwa senjata lawan itu tidak tajam.

Dukkk!!”

Tubuh Ban-pi Lo-cia terguling! Bukan main kagetnya hati Si Gundul, karena sama sekali tidak disangkanya Kwee Seng akan sekuat itu, jauh lebih kuat daripada beberapa tahun yang lalu. Tulang lengannya tidak patah akan tetapi rasa nyeri menusuk sampai ke jantung. Ia tidak berani main-main lagi dan karena ia memang amat kuat, sekali meloncat ia telah berada jauh didepan, lalu menggunakan ilmu lari cepatnya meninggalkan tempat itu. Kwee Seng hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar geraman hebat dan kakek cebol sudah menerjangnya penuh kemarahan karena tadi dipaksa harus bergulingan sehingga pakaian dan rambut serta jenggotnya terkena debu.

Terpaksa Kwee Seng mencurahkan perhatiannya kepada kakek cebol lagi dan karena mendongkol, kini ia segera mainkan Pat-sian Kiam-hoat dengan tulang ditangan kanan, sedangkan daun lebar ditangan kiri ia mainkan dengan Ilmu Silat Lo-hai-san-hoat. Kalau tiga empat tahun yang lalu saja sepasang ilmu ini dapat membuat ia terkenal dengan sebutan Kim-mo-eng, apalagi sekarang setelah ia memperoleh kemajuan pesat di Neraka Bumi. Hebat bukan main permainan pedang dan kipasnya. Dalam segebrakan saja Bu-tek Lojin sudah terdesak sampai sepuluh jurus lebih. Kwee Seng mengerahkan seluruh kepandaian karena maklum bahwa menghadapi kakek itu, sukar baginya untuk dapat mengalahkannya. Dalam hal tenaga sin-kang maupun keringanan tubuh, kakek cebol ini hebat sekali.

“Eh… ohh… tahan dulu…!”

Sambil mencelat kesana-sini menghindarkan diri dari sambaran daun dan tulang, Bu Tek Lojin berteriak-teriak. Sebagai seorang pendekar, tentu saja Kwee Seng menurut dan menghentikan serangannya.

“Mau bicara apa lagi. Bukankah kau yang tadi mendesakku untuk bertanding sampai mati?”

Kwee Seng menegur marah dan mendongkol.

“Mengapa gaya permainan silatmu seperti itu? Apakah kau murid Bu… Bu Kek… Siansu…?”

Kwee Seng tersenyum.

“Bukan, akan tetapi beliau pernah memberi petunjuk kepadaku..”

“Wah… celaka… cukuplah kita main-main.”

Kakek cebol itu lalu bersuit panjang dan datanglah burung hantu melayang-layang diatas kepalanya, kemudian ia lari meninggalkan Kwee Seng diikuti dari atas oleh burung hantu.

Sejenak Kwee Seng terlongong heran, kemudian ia pernasaran dan berlari pula mengejar. Ternyata ilmu lari cepat kakek itu hebat, sukar baginya untuk dapat menyusul. Ia tahu bahwa kakek itu belum kalah, bahkan agaknya kalau dilanjutkan dia sendirilah yang akan kalah. Akan tetapi mengapa Bu Tek Lojin menjadi seperti orang jerih dan lari? Bayangan kakek itu telah lenyap. Hanya tampak burung hantu merupakan titik hitam kecil jauh didepan. Kwee Seng kehilangan semangat untuk mengejar terus maka ia menghentikan larinya dan berjalan biasa menuju ke depan. Ketika ia memasuki hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa, suara ketawa Bu Tek Lojin! Ia menjadi heran dan lari lagi memasuki hutan. Apa yang dilihatnya membuat Kwee Seng berhenti dan menyelinap dibelakang pohon.

Kiranya kakek cebol itu sudah berdiri sambil tertawa bergelak, sedangkan didepannya tampak seorang laki-laki bangsa Khitan yang bertubuh pendek pula akan tetapi kuat, yang ia kenal sebagai seorang tokoh Khitan yang kata orang adalah panglima tua! Memang, laki-laki ini bukan lain adalah Kalisani yang telah meninggalkan kota raja dengan maksud merantau ke selatan. Kebetulan sekali didalam hutan itu Kalisani bertemu dengan kakek cebol yang amat ia kagumi sepak terjangnya ketika kakek itu menggegerkan pesta perlombaan Khitan. Begitu melihat Si Kakek Cebol, tanpa ragu-ragu lagi Kalisani lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.

“Locianpwe (Orang Tua Gagah) sudilah Locianpwe menerima teecu (murid) sebagai murid. Apa pun yang locianpwe perintahkan, akan teecu taati dengan taruhan jiwa raga teecu.”

Inilah yang membuat Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak sehingga terdengar tadi oleh Kwee Seng. Kakek cebol itu setelah tertawa berkata,

“Aku akan membikin kepalamu seperti kepala Ban-pi Lo-cia, hendak kulihat apakah kau masih nekat mau mengangkat aku sebagai gurumu!”

Setelah berkata demikian, kakek cebol itu menggerakkan telapak tangannya kearah kepala Kalisani. Bekas Panglima Khitan ini terkejut sekali ketika merasa hawa panas menyambar kepalanya. Celaka, pikirnya, mati aku sekali ini! Akan tetapi karena ia telah terlanjur berjanji akan patuh menurut, ia meramkan matanya dan menguatkan hatinya, kalau perlu mati, apa boleh buat!

Kwee Seng yang mengintai juga kaget sekali. Telapak tangan kakek cebol itu bukannya memukul, melainkan mengusap kepala Kalisani dan ketika ia mengangkat kembali tangannya, semua rambut bagian atas kepala Kalisani rontok semua sehingga kepala itu menjadi gundul kelimis bagian atasnya, botak tidak kepalang! Diam-diam Kwee Seng memaki atas kekejaman kakek cebol itu. Kalisani meringis, kulit kepalanya terasa panas dan sakit, akan tetapi tidak tembus sampai menembus kedalam, hanya terasa seperti dibakar. Melihat rambutnya rontok semua, ia kaget dan makin teguh hatinya untuk belajar ilmu kepada kakek yang amat sakti ini. Ia segera mengangguk-angguk sampai jidatnya membentur tanah sambil berkata,

“Jangan lagi begini, biar nyawa teecu kalau memang Suhu membutuhkan, teecu serahkan!”

Bu Tek Lojin tercengang menyaksikan kebulatan tekad hati orang. Ia mengelus-elus jenggotnya dan menarik napas panjang.

“Kau boleh juga. Bukankah kau panglima di Khitan, mengapa kau mengikuti aku dan hendak menjadi murid?”

“Sekarang teecu bukanlah prajurit Khitan lagi, teecu sudah meninggalkan kerajaan karena jemu menyaksikan perebutan kekuasaan dan melihat betapa Khitan akan menjadi tidak beres. Karena amat kagum akan kesaktian suhu, maka teecu hanya mempunyai satu niat dihati, yaitu menjadi murid suhu.”

“Hah-hah-hah, selamanya aku tidak menerima murid. Akan tetapi, hemmm, dia sudah menurunkan kepandaian kepada jembel tengik, mengapa aku tidak? Eh, Botak, baiklah kau menjadi muridku. Nah, hayo kau gendong aku dan jangan berhenti sebelum kuminta, biarpun kedua kakimu akan patah-patah!”

Bukan main girangnya hati Kalisani. Setelah memberi hormat berlutut dan mengangguk sampai delapan kali, ia menggendong kakek cebol itu dan lari congklang seperti kuda. Si Kakek Cebol tertawa bergelak-gelak lalu berkata,

“Hayo kau pun tertawa yang keras! Menjadi muridku harus gembira selalu, kalau tidak kau akan kubunuh!”

Dan terdengarlah suara Kalisani tertawa pula, terkekeh-kekeh menyaingi suara ketawa gurunya! Kalau ada orang melihat mereka, tentu orang itu akan lari terbirit-birit atau berdiri terlongong keheranan karena keadaan mereka itu hanya akan menimbulkan dua macam dugaan, pertama, mereka adalah dua iblis neraka atau yang kedua, mereka adalah sepasang orang gila yang liar.

Yang menggendong seorang berkepala botak dan tertawa terkekeh-kekeh, yang digendong seorang kakek cebol tertawa bergelak-gelak sepanjang jalan. Dan diatas mereka, terbanglah si Burung Hantu sambil mengeluarkan suara seperti tertawa pula, hanya saja suara itu akan membuat orang menggigil serem diwaktu malam! Kwee Seng keluar dari balik pohon, menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Aneh-aneh didunia ini, memang! Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanan meninggalkan Khitan. Urusannya di Khitan sudah selesai. Bayisan telah terhukum, sungguhpun bukan langsung dari tangannya, adapun Ban-pi Lo-cia, biarlah lain kali kalau ada kesempatan berjumpa, akan ia tantang untuk membereskan perhitungan, karena betapapun juga, matinya Ang-siauw-hwa karena perbuatan keji Ban-pi Lo-cia, tak dapat terhapus begitu saja dari ingatannya.

Dalam perantauannya ini yang menjelajah belasan propinsi dan puluhan kota ratusan desa, tiada hentinya Kwee Seng mengulurkan tangan melakukan darma baktinya sebagai seorang berilmu. Tak terhitung lagi jumlahnya penjahat yang mengenal betapa keras dan ampuhnya telapak tangan kanannya, dan sebaliknya entah berapa banyaknya orang-orang tertindas mengenal betapa lunak halus dan terbukanya telapak tangan kirinya! Dimana-mana Kwee Seng melakukan perbuatan gagah perkasa dan kini masih saja ia sembunyi, tak suka menonjolkan namanya, dan hanya beberapa kali karena terpaksa ia memperkenalkan namanya sebagai Kim-mo Taisu. Namun tak seorang pun dapat menduga bahwa orang yang berpakaian compang-camping penuh tambalan, yang rambutnya riap-riapan dan tertawa-tawa di sepanjang jalan, orang gila ini sebenarnya adalah Kim-mo Taisu Si Pendekar Budiman!

Berbahayalah orang yang terlalu lemah menghadapi racun asmara seperti halnya Kwee Seng. Pendekar ini seorang yang kuat lahir batin, namun menghadapi pengaruh asmara, ia roboh. Perasaannya menjadi lemah dan lunak seperti lilin cair dipermainkan tangan-tangan asmara yang jahil. Kegagalan cinta kasihnya terhadap Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi peristiwa dengan nenek di Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat kelakuannya seperti orang gila. Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya. Memang sesungguhnya, tiada seorang pun manusia didunia ini yang terluput dari pada serangan dan dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun boleh mengingkari atau menghindarinya, karena hal ini sudahlah wajar.

Namun, betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus tenang waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu, harus tetap berada di atas nafsu dan dapat mengendalikannya. Nafsu seumpama kuda. Badan wadag (jasmani) seumpama kereta. Nafsulah yang menarik jasmani ke depan sehingga berhasil memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya kuda menarik kereta sehingga dapat maju dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada Sang Kusir yang menguasai kuda itu maka akan berbahayalah jadinya. Sifat kuda memang liar, ganas dan tidak mudah ditundukkan. Sang Kusir inilah rohani yang harus diperkuat dengan kesadaran. Apabila Sang Kusir kuat dan dapat menguasai keliaran kuda nafsu, maka kuda itu akan dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan untuk maju menarik kereta jasmani ke arah jalan yang benar. Sebaliknya, apabila Sang Kusir itu lemah, maka kuda nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan akibatnya dapat mengerikan. Kuda liar dapat menarik kereta beserta kusirnya tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan akan membawa kereta masuk jurang!

Betapapun juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya sekali. Sekali meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi hati dan memandang cinta sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang untuk berkecimpung kedalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu berahi semata. Liu Lu Sian telah melakukan kesalah itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami isteri sehingga ia rela meninggalkan kam Si Ek dan puteranya, mencari kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapapun juga yang telah mengikatkan diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri atau suami yang baik.

Lu Sian lari daripada kewajiban-kewajiban yang dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan, kebebasan total, juga kebebasan cinta! Ada juga rasa sesal dihatinya ketika ia meninggalkan rumah, namun rasa ini ia buang jauh-jauh dengan bayangan yang menyenangkan. Betapa pun ia akan bertualang sesuka hatinya. Pergi ke manapun ia suka. Agak berat hatinya kalau ia teringat kepada Bu Song. Namun, bantah hatinya, Bu Song sudah besar, dan disana ada ayahnya. Tentu anak itu takkan terlantar. Pula, ia memang hendak mempertinggi ilmunya untuk kelak diwariskan kepada Bu Song. Puteranya harus menjadi ahli silat nomor satu didunia ini! Lu Sian berangkat menuju rumah ayahnya di Nan-cao. Ia harus memberitahukan ayahnya tentang perceraiannya dengan Kam Si Ek. Kalau tidak diberitahu dan ayahnya itu datang menjenguknya dirumah Kam Si Ek, tentu ayahnya akan mendapat malu. Selain ini, untuk mempertinggi ilmunya ia harus minta bantuan ayahnya.

Ia maklum betapa ayahnya amat kikir dalam hal menurunkan kepandaiannya. Ketika ayahnya bertanding melawan Kwee Seng, ayahnya dapat mengimbangi kelihaian pendekar itu, sedangkan dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Kwee Seng. Kalau ayahnya masih bersikap kikir, ia tahu dimana ayahnya menyimpan kitab-kitab itu, kalau perlu dicurinya. Ia tidak tergesa-gesa dalam perjalanannya yang amat jauh itu, karena ia hendak menikmati “kebebasannya”. Bukan main gembira hatinya ketika ia melihat betapa semua mata, terutama laki-laki, di sepanjang perjalanan menelannya dengan lahap. Teringat ia akan keadaannya dahulu sebelum menjadi isteri Kam Si Ek, di mana semua laki-laki memuja dan memperebutkan cintanya. Alangkah senangnya dalam keadaan seperti itu.

Ia merasa dirinya terangkat tinggi sekali, merasa amat berharga, tidak seperti kalau berada di rumah Kam Si Ek di mana ia hanya terikat oleh kewajiban melayani suaminya seorang dan merawat anaknya. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian mulailah Lu Sian merasa kesepian. Mulai ia merasa rindu akan belaian dan cumbu rayu, akan kasih sayang seorang pria. Ia merasa rindu sekali kepada Kam Si Ek, suaminya yang selalu memperlihatkan kasih sayang mesra terhadap dirinya. Pada pagi hari itu, Lu Sian duduk termenung didalam rumah makan. Semalam ia sama sekali tidak tidur dalam rumah penginapan tak jauh dari rumah makan itu. Gelisah semalam suntuk ia bergulingan di atas pembaringan, hatinya penuh rindu berahi kepada suami yang telah ia tinggalkan.

Ia malah sampai menangis penuh penyesalan mengapa ia tinggalkan suami dan anaknya. Akan tetapi hatinya yang keras melarangnya untuk kembali, karena ia maklum bahwa di rumah suaminya, segala akan berubah lagi menjadi hambar, sehari-hari hanya berkeliaran didalam rumah tak pernah dapat menikmati alam bebas. Hanya semangkok bubur dan daging asin dapat memasuki perutnya. Sehabis makan ia termenung, tak merasa betapa tiga pasang mata pelayan melahap kecantikannya. Rumah makan itu masih kosong, belum ada tamu sepagi itu.

“Bung pelayan, beri aku dua mangkok bubur panas dan arak panas dan arak hangat!”

Tiba-tiba suara ini menyadarkan Lu Sian dari lamunannya.

Ia melirik kekanan dan tampak olehnya seorang laki-laki sudah duduk didepan meja sebelah kanannya, dekat pintu rumah makan. Karena tenggelam dalam lamunannya, ia sampai tidak tahu bahwa ada tamu memasuki rumah makan itu. Pelayan cepat melayani tamu baru ini dan laki-laki itu makan dengan lahapnya, kelihatannya lapar sekali. Dari sudut matanya, Lu Sian melihat bahwa laki-laki itu berusia tiga puluh lebih, sikapnya tenang dan wajahnya tampan gagah, akan tetapi seperti diliputi awan kedukaan dan kekuatiran. Tubuh laki-laki itu tegap dan dipinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya lapuk, akan tetapi gagangnya yang licin karena sering dipergunakan itu berukirkan kepala burung dewata,

Lu Sian dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah seorang yang pandai ilmu silat, akan tetapi seperti biasa, ia memandang rendah karena selama perjalanan, terlalu banyak ia melihat laki-laki berpedang namun yang tingkat kepandaiannya hanya begitu-begitu saja. Hanya wajah orang itu agak menarik perhatiannya, wajah yang benar-benar gagah, dagunya membayangkan kekerasan hati, wajah yang memiliki kegagahan seperti wajah Kam Si Ek, suaminya. Pada saat itu terdengar suara nyanyian yang parau dan serak, datangnya dari jalan besar, diselingi suara berketuknya tongkat diatas tanah berbatu. Lapat-lapat terdengar kata-kata dalam nyanyian bersama dari beberapa orang itu, membuat Lu Sian terkejut dan cepat memandang keluar.

Beratap langit berlantai bumi
Disanalah tempat tinggal kami
Kami tidak punya apa-apa
Makan pakaian kami tinggal minta!

Kekagetan Lu Sian ada sebabnya. Pernah ia mendengar nyanyian sederhana ini dari mulut ayahnya yang memuji nyanyian itu sebagai syair yang baik dan berisi dari Perkumpulan Pengemis Hati Kosong (Khong-sim Kai-pang). Menurut penuturan ayahnya, diantara perkumpulan-perkumpulan pengemis yang besar-besar, yang paling terkenal dan amat banyak anggotanya, adalah Khong-sim Kai-pang itulah. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan biarpun hanya perkumpulan pengemis, namun sesungguhnya merupakan orang-orang yang menjadi penganut agama gabungan Buddha dan Locu. Karena filsafat Locu, maka mereka namakan diri Pengemis Hati Kosong, dan karena pengaruh ajaran Budhha, maka mereka mengemis kesana kemari, hidup sederhana sekali! Lu Sian masih teringat beberapa tahun yang lalu ayahnya menyatakan bahwa ketua perkumpulan Pengemis Hati Kosong ini adalah Yu Jin Tianglo, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, ahli bermain toya dan tongkat.

Biarpun tidak secara resmi, namun pada umumnya para perkumpulan pengemis lain di beberapa propinsi mengakui Khong-sim Kai-pang sebagai partai induk dan semua peraturan mengenai “dunia pengemis”

Bersumber kepada perkumpulan Pengemis Hati Kosong inilah. Kiranya hanya perkumpulan pengemis Ban-hwa-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga) di pantai timur sajalah yang dapat menandingi kebesaran nama Khong-sim Kai-pang. Pada saat Lu Sian termenung mengingat cerita ayahnya, suara nyanyian mereka sudah berhenti, tinggal suara ketukan tongkat di atas batu-batu jalan saja yang terdengar, makin lama makin dekat. Ketika Lu Sian melirik ke arah laki-laki gagah di dekat pintu, orang itu juga menggeser kursinya menghadap pintu, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu, tetap tenang dengan awan kedukaan menyelimutinya. Orang itu masih tetap makan buburnya dengan sumpit, sebentar-sebentar diseling minum araknya. Karena penggeseran kursi itu, maka kini Lu Sian duduknya berhadapan dengan laki-laki itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa laki-laki itu tampan dan gagah, amat menarik hati.

Muncullah kini rombongan penyanyi itu didepan pintu. Mereka terdiri dari tiga orang pengemis, pakaian mereka bermacam-macam akan tetapi kesemuanya sudah rombeng, penuh tambalan, bahkan ada seorang diantara mereka yang kaki celana sebelah kiri buntung sampai diatas lutut. Ada pula yang kaki kanannya telanjang sedangkan kaki kiri bersepatu baru. Orang ketiga masih muda, biarpun pakaiannya tambal-tambalan dan robek-robek, namun kainnya bersih sekali dan jelas tampak pengemis muda ini “pasang aksi”

Ketika matanya memandang Lu Sian. Tiga orang pengemis ini kelihatan tercengang kaget ketika melihat laki-laki tadi, dan segera mereka maju kedepan, mata mereka tiba-tiba mengandung sinar kemarahan, akan tetapi mulut mereka masih senyum-senyum. Hanya Si Pengemis Muda saja yang kadang-kadang melirik tajam ke arah Lu Sian, agaknya perhatiannya terhadap laki-laki tadi amat terganggu oleh hadirnya Lu Sian yang membetot semangatnya. Pengemis yang bersepatu sebelah itu mengetuk-ngetukkan tongkat berirama, lalu membuka mulutnya bernyanyi, suaranya parau dan dalam seperti suara seekor katak besar.

“Tamu tak diundang datang kemari apakah hendak menyerahkan diri?”

Laki-laki gagah itu menghabiskan buburnya, lalu berteriak memanggil pelayan dengan suara tenang.

“Heii, Bung Pelayan. Tolong tambah bubur setengah mangkok lagi.”

Pelayan segera datang, akan tetapi ketika melirik keluar pintu ia menjadi marah. Setelah mengisi mangkok kosong dengan bubur dan menghidangkannya ke meja Si Laki-laki gagah, pelayan itu lalu mendamprat keluar pintu.

“Eh, kalian ini bagaimana berani tak tahu aturan begini? Ada tamu sedang dahar, jangan diganggu! Nanti sore saja datang kalau hendak minta sisa…”

Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa pengemis termuda telah mengambil batu dan meremasnya hancur seperti orang meremas tepung saja!

Pelayan itu mengenal gelagat, tahu bahwa tiga orang pengemis itu bukan pengemis biasa, maka mukanya menjadi pucat ketika ia menoleh kearah tamunya yang enak-enak makan kemudian cepat-cepat ia pergi menjauhi. Pengemis muda itu dengan lagak sombong membuang hancuran batu keatas tanah, matanya melirik kearah Lu Sian mengharapkan pujian. Akan tetapi gadis ini melirik pun tidak, melainkan terus memperhatikan Si Laki-laki Gagah, dan didalam hatinya siap untuk membantu kalu laki-laki itu menghadapi bahaya. Tanpa mempedulikan teguran pimpinan tadi, pengemis kedua yang kaki celananya panjang sebelah, menyambung nyanyiannya.

“Menyerahkan diri membayar hutang baru si Kecil diantar pulang!”

Pengemis muda segera menyambung nyanyian ini, suaranya dibuat-buat dan memang suaranya merdu, matanya melirik Lu Sian dan bibirnya tersenyum-senyum.

“Diantar pulang ke rumah siapa? Apakah si Manis ada yang punya?”

Mendengar nyanyian terakhir ini, tiba-tiba lelaki itu menoleh kearah Lu Sian dan dalam beberapa detik dua pasang mata bertemu. Muka lelaki itu menjadi merah, sinar matanya tampak terpesona lalu bingung. Namun jelas bahwa dengan kekerasan hati laki-laki itu dapat menyadarkan kembali kebingungannya karena terpesona oleh kecantikan wajah Lu Sian yang sejak tadi tidak dilihatnya. Ia memaksa mukanya kembali menunduk dan tenang-tenang saja makan buburnya dengan sumpit. Juga hati Lu Sian berdebar aneh, ketika mereka bertemu pandang tadi. Melihat pandang mata orang itu, ia seperti dapat menjeguk isi hatinya! Jelas sekali laki-laki itu kagum kepadanya. Biasanya, semua laki-laki yang memandangnya tentu kagum dan jatuh hati, akan tetapi hal itu malah membuat Lu Sian kadang-kadang tersenyum mengejek disamping kebanggaannya. Sekali ini tidak. Ia merasa girang sekali!

Tiga orang pengemis itu jelas menujukan nyanyian mereka kepada orang itu, kecuali pengemis muda yang menyelewengkan nyanyian kearah Lu Sian. Kini melihat orang itu sama sekali tidak peduli mereka menjadi marah. Si Pengemis Muda menggerakkan tangannya dan menyambarlah sinar kehitaman kearah leher laki-laki gagah. Lu Sian diam-diam kaget sekali, tahu bahwa itu adalah senjata rahasia, yang biarpun tidak terlalu hebat namun cukup berbahaya kalau Si Laki-laki tidak dapat menghindarkan diri. Akan tetapi hatinya lega dan kagum ketika melihat laki-laki itu mengangkat sumpitnya dan… paku hitam yang menyambar lehernya telah terjepit diantara sepasang sumpit! Kemudian tangan yang memegang sumpit bergerak, paku hitam menyambar dengan kecepatan beberapa kali lipat daripada tadi kearah Si Penyerang.

“Auuuhhh…!”

Pengemis muda yang aksi itu meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil mengaduh-aduh dan memegangi kaki kirinya yang diangka-angkat. Paku tadi, pakunya sendiri yang biasanya ia sombongkan sehingga ia memakai julukan Tou-hiat-teng (Si Paku Penembus Jalan Darah), kini telah menancap dipaha kirinya sampai tidak kelihatan lagi kepalanya!

Dua orang pengemis melihat ini menjadi marah sekali. Si Celana Panjang Sebelah menerjang dengan tongkatnya yang ditusukkan kearah muka sedangkan pengemis sepatu tunggal itu mencabut golok lalu membacok kearah leher. Namun orang itu masih enak-enak makan buburnya yang belum habis, membiarkan dua senjata itu menyambar sampai dekat sekali. Kali ini Lu Sian benar-benar kaget. Sungguh berbahaya sekali ketenangan yang berlebih-lebihan itu, pikirnya. Cepat tangannya menyambar sumpit yang tadi ia pakai makan, sekali tangannya bergerak sepasang sumpit itu meluncur kedepan seperti anak panah melesat dari busurnya.

“Tranggg! Aduhhh! Aduhhh…!”

Peristiwa yang menjadi beberapa detik mengherankan sekali. Secara tiba-tiba, laki-laki yang dijadikan sasaran tongkat dan golok itu lenyap dari atas kursinya sehingga golok dan tongkat saling bertemu diudara, kemudian dalam detik selanjutnya, tangan dua orang pengemis yang memegang senjata itu telah tertusuk sumpit, tembus ditelapak tangan sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan, mereka berteriak-teriak kesakitan sambil menggunakan tangan kiri memijit-mijit tangan kanan.

“Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) yang bagus!”

“Sambitan yang luar biasa!”

Pujian yang keluar dari mulut Lu Sian dan orang gagah itu keluar dalam waktu bersamaan, mereka saling pandang pula. Hanya beberapa detik, pandang mata penuh kagum dan “ada rasa”! akan tetapi laki-laki itu segera melangkah keluar menghadapi tiga orang pengemis yang masih mengaduh-aduh, lalu berkata dengan suara lantang berwibawa.

“Aku Tan Hui adalah laki-laki tidak suka berlaku pengecut! Setahun yang lalu urusanku dengan Kong-sim Kai-pang sudah kubereskan dengan Yu Jin Tianglo, kami berdua saling menghargai dan bersahabat. Kenapa sekarang tanpa alasan Kong-sim Kai-pang mengganggu anak kecil? Kalau ada urusan silahkan Yu Jin Tianglo menemui aku, mengapa mengutus segala macam anjing kecil macam kalian? Hayo katakan kepada Yu Jin Tianglo bahwa aku Tan Hui ingin bicara dengan dia sendiri. Pergilah!”

Dengan tangan kanannya laki-laki yang bernama Tan Hui itu mendorong. Hawa dorongan ini menimbulkan angin dan tiga orang pengemis yang sudah terluka itu roboh terguling! Mereka merangkak bangun, meringis kesakitan, lalu yang sebelah kakinya telanjang memandang dengan mata melotot kepada Lu Sian.

“Nona, kau siapakah dan mengapa mencampuri urusan kami? Apa hubunganmu dengan Hui-kiam-eng Tan Hui?”

Lu Sian tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga pengemis muda yang pahanya terluka itu untuk sejenak melupakan rasa nyerinya.

“Aku bukan apa-apa dengan orang gagah ini, adapun namaku Lu Sian. Karena jemu menyaksikan sikap tengik kalian, maka aku menjadi muak. Masih untung sumpitku tidak kutujukan kepada kepala kalian!”

Tiga orang pengemis itu memandang dengan mata melotot, kemudian mereka membalikkan tubuh dan sambil menuntun pengemis muda yang terpincang-pincang mereka meninggalkan tempat itu. Lu Sian tadi kaget juga mendengar laki-laki itu memperkenalkan namanya. Tentu saja ia sudah mendengar akan Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) yang amat terkenal di daerah timur ini, seorang yang kabarnya amat lihai ilmu pedangnya dan terutama sekali gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya tak pernah menemui tanding. Tadi ia sudah menyaksikan gerakan yang biasa saja, namun dilakukan oleh Tan Hui dengan hebat luar biasa. Dia sendiri tak mungkin dapat melakukan gerakan ini secepat itu.

Dilain pihak, Tan Hui mengingat-ingat dan ia tak pernah mendengar nama seorang pendekar wanita bernama Sian dengan nama keturunan Lu. Akan tetapi sambitan sumpit tadi jelas membuktikan bahwa wanita cantik jelita seperti bidadari dihadapannya ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Ketika
ia memandang wajah yang tersenyum itu, sepasang mata yang bagaikan bintang begitu bercahaya, bening dan berbentuk indah sekali, hidung mancung dan bibir merah basah, rambut sinom yang terurai dikening, benar-benar membuatnya terpesona dan dengan gagap ia berkata sambil mengangkat kedua tangan didepan dada.

“Nona, banyak terima kasih atas bantuanmu tadi.”

Lu Sian tersenyum, tampaklah deretan gigi yang laksana mutiara, kemudian bibirnya bergerak-gerak ketika bicara, matanya bersinar-sinar.

“ah, itu bukanlah bantuan namanya dan tidak ada artinya. Kita mempunyai perasaan yang sama, bukan? Sama-sama sebal menyaksikan tiga orang jembel tadi…”

Hening sejenak, dan tiba-tiba Lu Sian menahan tawanya melihat betapa orang itu memandangnya dengan melongo, jelas terpesona dan seperti lupa keadaan.

“Eh, Tan-enghiong, kau kenapa….?”

Tegurnya, tersenyum manis. Tan Hui gelagapan. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita begini cantik jelita, yang bibirnya bergerak-gerak dan matanya bersinar-sinar.

“Eh… oh… kau… kau hebat sekali…”

Kembali Lu Sian tersenyum lebar dan untuk sesaat mereka hanya berdiri saling pandang dengan kaku. Akhirnya Lu Sian berkata,

“Apakah kita akan terus bicara sambil berdiri saja?”

Kembali Tan Hui baru sadar akan keadaan yang serba canggung itu, maka ia menjadi malu, merah sekali mukanya ketika ia berkata.

“ah…, silakan, Nona. Mari silakan duduk.”

Mereka duduk semeja, saling berhadapan.

“Sudah lama aku mendengar tentang Khong-sim Kai-pang. Kabarnya perkumpulan pengemis itu terkenal sebagai perkumpulan baik-baik, diketuai oleh Yu Jin Tianglo yang lihai dan terkenal sebagai tokoh baik-baik. Mengapa kau dimusuhi mereka?”

Tan Hui menarik napas panjang dan kembali wajahnya yang sejenak tadi kehilangan bayangan duka, kini menjadi keruh kembali.

“Panjang ceritanya, nona. Akan tetapi aku yakin bahwa kita segolongan, maka tidak ada salahnya kalau aku ceritakan hal ini kepadamu. Eh, Bung Pelayan, tolong kau antarkan seguci arak dan daging sekati.”

Pelayan menghampiri mereka. Pelayan ini tersenyum-senyum dan terbongkok-bongkok penuh hormat.

“Maaf, Taihiap. Kami tidak tahu bahwa Tuan adalah Tan-taihiap yang terkenal budiman. Dasar pengemis-pengemis itu tidak tahu diri, berani main gila terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui Taihiap (Pendekar Besar)!”

“Sudahlah tolong kau sediakan pesananku.”

Pelayan itu tersenyum-senyum ramah, lalu berlari pergi untuk mempersiapkan pesanan itu. Adapun pelayan lain melihat rumah itu masih belum banyak tamu, menggunakan kesempatan menganggur ini lari keluar rumah makan untuk membual tentang kehadiran pendekar budiman Hui-kiam-eng Tan Hui ditempat kerjanya!

“Aku mempunyai banyak musuh.”

Tan Hui mulai bercerita setelah menarik napas panjang.

“semua karena salahku. Aku terlalu lancang tangan dan suka mencampuri urusan lain orang. Tak tahan aku melihat orang ditindas atau kejahatan berlalu saja tanpa orang membenciku….”

“Sudah selayaknya orang gagah dibenci orang jahat.”

Lu Sian berkata menghibur, karena ia anggap hal seperti itu bukanlah hal yang patut disusahkan. Orang ini gagah sekali dan sikapnya jantan, amat menarik hati. Akan tetapi wajahnya selalu membayangkan kerisauan hati. Tan Hui mengangguk.

“Cocok! Memang begitulah pendirianku pula, Nona. Karena itulah maka aku tak pernah berhenti dengan tugasku, selalu kubela kebenaran dan kutegakkan keadilan, kalau perlu kugunakan kekerasan untuk menghantam mereka yang sewenang-wenang. Dan ini pula sebabnya mengapa aku mempunyai urusan dengan Khong-sim Kai-pang. Lima orang anggauta Khong-sim Kai-pang melakukan penyelewengan setahun yang lalu di kota Tong-an. Mereka minta derma secara paksa, tidak itu saja, malah seorang diantara mereka telah menculik puteri seorang hartawan dan memperkosanya. Aku kebetulan lewat di kota itu, lalu turun tangan memberi hajaran kepada mereka dan malah membunuh Si Penculik.”

“Kenapa tidak dibunuh semua saja?”

Lu Sian memotong. Tan Hui menghela napas.

“Kalau kubunuh semua, kiranya tidak akan muncul akibat begini panjang. Akan tetapi mengingat bahwa selamanya Khong-sim Kai-pang terkenal baik, apalagi aku memandang muka ketuanya, maka kuampunkan mereka dan hanya membunuh seorang yang paling jahat. Aku sangka urusan hanya berhenti sampai disitu. Tidak tahunya, ketika aku melakukan perjalanan, aku dihadang dan dikeroyok tiga puluh orang Khong-sim Kai-pang yang memendam atas kematian seorang temannya. Terjadi pertempuran dan biarpun aku merobohkan dan melukai banyak di antara mereka, namun aku menjaga sehingga tidak seorang pun tewas. Aku lalu pergi langsung mencari Yu Jin Tianglo, menceritakan semua urusan itu. Yu Jin Tianglo marah sekali kepada anak buahnya, malah menghukum mereka dengan penurunan tingkat. Urusan itu sudah beres sampai… setengah bulan yang lalu…”

Sampai disini Tan Hui berhenti dan wajahnya memperlihatkan kemuraman.

“Lalu mereka mengganggumu? Kalau hanya pengemis-pengemis itu saja, takut apakah? Biar mereka datang mencari mati. Yu Jin Tianglo kalau membela anak buahnya yang mencari perkara, dia pun tidak benar dan perlu diberi hajaran!”

Tan Hui tercengang keheranan menyaksikan Lu Sian bicara penuh semangat dan marah-marah. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Lu Sian, mengapa gadis ini menjadi begitu marah?

“Sungguh tidak enak terhadap Yu Jin Tianglo…”

“Tidak enak bagaimana? Anak buahnya yang tak tahu aturan yang mencari-cari perkara! Apakah kau takut menghadapi orang tua itu? Tan-enghiong, jangan kuatir, aku akan membantumu. Aku tidak takut menghadapi orang tua itu kalau ia banyak bertingkah membantu anak buahnya yang tidak benar!”

Tan Hui tentu saja tidak mengenal watak Lu Sian maka ia makin terheran-heran. Memang watak Lu Sian amat ganas menghadapi orang-orang yang ia anggap memusuhinya atau memusuhi orang yang disukainya. Dan Tan Hui otomatis telah menarik perhatiannya dan menimbulkan rasa sukanya! Dengan muka masih terheran Tan Hui bangkit berdiri dan menjura.

“Terima kasih atas perhatian Nona terhadap perkaraku.”

“Ah, kita sudah menjadi sahabat. Bukankah kau katakan tadi bahwa kita orang segolongan? Tak perlu sungkan-sungkan lagi.”

Jawab Lu Sian. Tan Hui duduk kembali dan menarik napas panjang, lalu menghirup araknya.

“Persoalannya tidaklah begitu sederhana. Kalau hanya para anggota Khong-sim Kai-pang yang masih penasaran, hal itu tidaklah menguatirkan. Akan tetapi dua pekan yang lalu… aku hidup sebatang kara, mengapa mereka mengganggu anakku? Mereka menculik anakku yang baru berusia lima tahun…”

Lu Sian terkejut dan merasa agak kecewa.

“Tan-enghiong! Kau bilang hidup sebatang kara… tapi kau… mempunyai anak?”

Melihat kekagetan orang, Tan Hui tersenyum duka.

“Memang aku sebatang kara… semenjak isteriku meninggal dua tahun yang lalu. Aku seorang duda dengan seorang anak yang kutitipkan kepada pamannya. Itu pula sebabnya orang-orang jahat itu dapat menculik puteriku. Kalau dia berada bersamaku, tak mungkin mereka dapat melakukannya! Ah, aku menyesal sekali mengapa aku suka merantau seorang diri dan menitipkan kepada kakak isteriku. Pada suatu malam, serombongan anggota Khong-sim kai-pang mendatangi rumah itu dan menggunakan kekerasan menculik pergi anakku. Iparku tidak dapat berbuat apa-apa dan mereka meninggalkan pesan bahwa kalau aku menghendaki anakku selamat, aku harus menyerahkan diri kepada mereka!”

“Ah… begitukah? Jahanam benar mereka! Dimanakah adanya Yu Jin Tianglo sekarang? Dia seoranglah yang harus bertanggungjawab menghadapi semua ini. Minta anak itu dari tangannya, kalau tidak diberikan, berarti dia menantang!”

“Markas Khong-sim Kai-pang berada di kota Kang-hu, hanya dua puluh li dari sini jauhnya. Adapun Yu Jin Tianglo biasanya berdiam dalam sebuah kuil tua diluar kota itu. Karena itu pula aku hari ini sampai disini, siapa tahu, agaknya Yu Jin Tianglo sudah menyuruh anak buahnya sengaja datang untuk menentang!”

“Tak usah takut! Kita serbu saja ke sana. Mari kita ke sana, aku akan membantumu, Tan-enghiong!”

“Nona Lu…, bukan aku tidak menghargai penawaran mu yang amat berharga itu. Akan tetapi… urusan ini mengenai pribadiku sendiri, sedangkan Yu Jin Tianglo amat lihai, belum lagi anak buahnya yang banyak…”

“Aku tidak takut!”

“Aku percaya, Nona. Kepandaianmu tinggi. Akan tetapi… aku seorang duda yang mencari anaknya, sedangkan kau… kau seorang Nona terhormat, seorang gadis muda yang baru saja kujumpai. Kalau orang luar melihat, tentu… ah, kiranya amat tidak baik untuk namamu kelak….”

Tiba-tiba Lu Sian serentak bangun berdiri, alisnya berkerut matanya berkilat.

“Apa peduliku akan pendapat orang luar! Aku suka membantumu, siapa melarangku? Tentang kau seorang duda, apa salahnya? Aku pun seorang… janda! Kita maju bersama untuk menghadapi Khong-sim Kai-pang, seorang duda dan seorang janda mana yang lebih cocok lagi?”

Tan Hui tertegun dan diam-diam berdebar hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita begini cantik jelita, begini berani dan terbuka, kata-kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan isi hatinya, tinggi ilmu silatnya. Seorang janda pula! Pada saat itu terdengar bentakan dari luar rumah makan.

“Orang she Tan! Keluarlah dan lekas berlutut untuk kami tangkap dan hadapkan kepada ketua kami!”

“Hemm, mereka benar-benar amat tak sabar. Heran aku mengapa Khong-sim Kai-pang dalam waktu setahun telah begini berubah!”

“Kau lihat saja bagaimana aku menghajar mereka!”

Sekali menggerakkan kakinya Lu Sian sudah meloncat keluar menghadapi dua orang pengemis tua yang berdiri didepan rumah makan. Akan tetapi Lu Sian mendengar desir angin dan tahu-tahu Tan Hui sudah pula berada disampingnya. Kembali ia kagum bukan main dan harus ia akui bahwa nama besar Hui-kiam-eng sebagai jago gin-kang nomor satu benar-benar bukanlah omong kosong belaka. Ia tadi sudah sengaja mengerahkan ilmunya meringankan tubuh ketika meloncat, sebagian untuk pamer kepada Tan Hui, juga untuk membikin jerih kedua orang pengemis tua. Siapa kira, gerakannya itu bagi Tan Hui agaknya kurang cepat karena dalam sekejap mata ia tersusul!

“Nanti dulu, adik Sian!”

Bisik Tan Hui yang kini tidak tahu harus menyebut apa kepada Lu Sian. Menyebut Nona tidak tepat karena Lu Sian ternyata bukan seorang gadis, melainkan seorang janda seperti pengakuannya. Menyebut Nyonya, wanita ini masih amat muda, maka ia merasa paling tepat menyebut adik saja.

“Biarkan aku bicara dulu dengan mereka.”

Tanpa memberi kesempatan kepada Lu Sian yang hendak membantah, Tan Hui sudah menjura kepada dua orang pengemis tua itu sambil berkata,

“Melihat ikat pinggang putih yang Jiwi (Tuan Berdua) pakai, kiranya Ji-wi termasuk pimpinan Khong-sim Kai-pang, aku dapat bicara dengan baik, tidak seperti tiga orang anggotanya tadi yang datang-datang lantas menyerang. Mungkin Ji-wi sudah tahu bahwa diantara Khong-sim Kai-pang dan aku, tidak ada urusan permusuhan semenjak aku bertemu dengan Yu Jin Tianglo setahun yang lalu. Oleh karena itu, kuharap Ji-wi suka menghadapkan aku kepada orang tua itu agar urusan diantara kita dapat diselesaikan baik-baik. Ingin benar aku mendengar kata-kata orang tua itu tentang main-main dari Khong-sim Kai-pang dengan anakku ini!”

Didalam ucapan Tan Hui ini, biarpun terdengar sopan dan lunak, namun terkandung kekerasan tersembunyi, sehingga sama sekali tak boleh dikatakan pendekar ini merendahkan diri. Betapapun juga, Lu Sian tidak puas. Menurut kata hatinya, lebih baik menggunakan pedang daripada menggunakan lidah dalam menghadapi orang-orang macam itu. Dua orang pengemis itu sudah tua, usia mereka lima puluh tahun lebih. Keduanya bersikap sombong dan memandang rendah, apalagi yang memegang tongkat berbentuk ular. Mukanya yang penuh keriput itu kelihatan pucat, akan tetapi selalu membayangkan senyum mengejek dan pandang matanya seperti pandang mata seorang bangsawan melihat pengemis. Dengan gerakan mulut yang kedua ujungnya ditarik ke bawah, Si Tongkat Ular ini berkata,

“Inikah orang muda sombong bernama Tan Hui yang telah membunuh dan menghina anak buah Khong-sim Kai-pang?”

Sambil berkata demikian, ia menggoyang-goyangkan tongkatnya berbentuk ular itu di depan dada dengan gerakan penuh aksi! Akan tetapi pengemis kedua yang mempunyai kepala besar sekali, sikapnya biar sombong namun lebih sungguh-sungguh dan berwibawa. Ia berkata dengan suara membayangkan ketinggian hati.

“Hui-kiam-eng Tan Hui! Setahun yang lalu kau menggunakan kelemahan bekas pangcu (ketua) kami, mengandalkan kepandaian untuk membunuh dan menghina anak buah kami. Sekarang, kami telah mempunyai pangcu baru yang tidak mau membiarkan Khong-sim Kai-pang dihina orang. Oleh karena itu, kalau kau menghendaki anakmu selamat, pangcu kami minta kau datang menghadap kepada beliau di Kang-hu!”

Setelah berkata demikian, pengemis berkepala besar ini membalikkan tubuh hendak pergi.

“Heh-heh, mungkin dengan minta-minta ampun dan mengajak dia ini menghadap Pangcu, kau akan diampuni!”

Kata Si Pengemis Bertongkat Ular yang lalu membalikkan tubuh pula, kemudian dengan langkah dibuat-buat ia meninggalkan tempat itu, setelah melirik-lirik kearah Lu Sian.

Tan Hui terkejut sekali dan termenung. Kiranya Yu Jin Tianglo sudah tidak menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang, sudah diganti. Pantas timbul urusan ini, pikirnya. Akan tetapi, kemanakah perginya Yu Jin Tianglo? Dan siapa penggantinya? Ia harus lekas-lekas datang ke Kang-hu dan semua pertanyaan itu tentu akan terjawab. Terhadap sikap dua orang pengemis tua itu, Tan Hui sama sekali tidak ambil peduli. Boleh jadi Tan Hui menganggap mereka itu tidak perlu dilayani. Akan tetapi tidak demikian dengan Lu Sian. Dia masih dapat menahan kesabarannya melihat dua orang itu memandang rendah Tan Hui, akan tetapi ketika pengemis kurus bertongkat ular itu membawa-bawa dia yang jelas sekali mengandung maksud kotor dan kurang ajar, mana mungkin Lu Sian berlaku sabar lagi?

“Eh, eh, nanti dulu, Lo-kai (Pengemis Tua) yang baik, aku mau bicara denganmu!”

Dengan langkah cepat Lu Sian mengejar. Tan Hui mengerutkan keningnya. Sahabat barunya ini benar-benar seorang wanita yang tidak tahu bahaya, pikirnya. Melihat ikat pinggang putih lebar yang dipakai kedua orang pengemis itu, terbukti bahwa mereka adalah pimpinan Khong-sim Kai-pang dan sudah terkenal bahwa para pimpinan Khong-sim Kai-pang adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Sekelebatan saja ia tadi dapat menerka bahwa Si Kepala Besar adalah seorang ahli lwee-kang yang amat kuat, sedangkan Si Kurus itu agaknya seorang ahli bermain ilmu tongkat.

Ia dapat menduga bahwa Lu Sian tentu hendak mencari perkara, maka diam-diam ia merasa kuatir, akan tetapi juga ingin sekali ia tahu sampai dimana kelihaian dua orang pengemis itu dan terutama wanita yang menarik hatinya ini. Tadi ia hanya menaksir kelihaian Lu Sian melihat cara ia menyambit dengan sumpit, akan tetapi sesungguhnya hal itu belum dapat dijadikan ukuran. Karena keinginan tahu inilah maka ia tidak menghalangi Lu Sian, melainkan mendekat agar dalam waktu keadaan berbahaya, ia dapat memberikan pertolongan dengan cepat. Kedua orang pengemis itu berhenti, Si Kepala Besar tidak bergerak, hanya membalikkan tubuhnya, akan tetapi Si Kurus sudah melangkah lebar menghadapi Lu Sian sambil memutar-mutar tongkat ularnya dan menyeringai.

“Nona mau bicara apakah?”

Ia melangkah maju sampai dekat sekali sehingga terpaksa Lu Sian mundur dua langkah.

“Harum… sedap…!”

Si Pengemis mengembang-kempiskan hidungnya karena memang tercium keharuman luar biasa ketika ia mendekati Lu Sian. Diam-diam Tan Hui mendongkol sekali terhadap pengemis itu. Memang ia sendiri diam-diam sudah menjadi heran ketika ia mencium keharuman dari tubuh Lu Sian, akan tetapi mendengar seruan kurang ajar itu ia merasa panas dadanya. Benar-benar tidak patut sikap seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang seceriwis itu! Lu Sian sengaja melempar senyum manis, matanya bergerak-gerak dengan kerling tajam, kemudian ia berkata,

“Orang tua yang baik, kau tadi bilang kepada Tan-enghiong supaya mengajak aku menghadap pangcumu agar mendapat pengampunan, apa artinya itu?”

Si Pengemis tertawa ha-hah-he-heh.

“Nona seorang yang cantik luar biasa seperti bidadari, harum seperti mawar hutan. Pangcu baru kami masih muda, tentu girang hatinya bertemu dengan orang seperti Nona, dan mungkin kemarahannya terhadap orang she Tan akan mencair.”

Di dalam hati Lu Sian mendongkol. Siapa sudi mendapat pujian dari seorang kakek jembel buruk seperti ini? Akan tetapi wajahnya yang jelita itu tersenyum manis.

“Pengemis tua, kau seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu lihai dan terkenal sekali. Bolehkah aku mendengar namamu yang mulia dan terkenal?”

Si Kurus kegirangan, terkekeh sampai keluar air matanya.

“Wah, namaku sih tidak terlalu besar akan tetapi di dunia kang-ouw tentu cukup dikenal, cukup menggemparkan. Julukanku adalah Sin-coa Koai-tung (Tongkat Aneh Ular Sakti)!”

Kakek jembel itu mengharapkan Lu Sian menjadi kagum, akan tetapi ia sejenak tercengang ketika melihat gadis itu bertepuk tangan memuji. Hanya sejenak ia bingung melihat cara menyatakan kagum seperti ini, akan tetapi hatinya lalu membengkak besar saking bangganya.

“Hebat, Kakek Jembel, hebat namamu! Pantas kau goyang-goyang selalu tongkatmu seperti ular itu! Kiranya julukanmu Ular Sakti. Wah, hebat, seperti halilintar ditengah hari panas!”

Kembali pengemis itu melengak.

“Seperti halilintar di tengah hari? Wah, baru sekali ini aku mendengar pujian begitu.”

“Kau tahu, bukan? Halilintar yang menyambar-nyambar mengeluarkan suara keras, takkan mendatangkan hujan! Namamu seperti gentong kosong berbunyi nyaring! Seperti perut kosong kebanyakan angin, maka angin busuk pula yang dikeluarkan!”

Tan Hui tak dapat menahan senyumnya. Wah, Lu Sian ini terlalu berani, terlalu bebas dan liar, akan tetapi juga terlalu… menarik hati! Sebaliknya, Sin-coa Koai-tung marah bukan main. Tahulah ia sekarang bahwa ia telah dipermainkan oleh wanita cantik ini.

“Uh-uh, bocah kemarin sore berani kau memandang rendah tongkatku dan nama besarku?”

“Ah, sama sekali tidak. Sin-coa Koai-tung! Hanya mengingat nama julukanmu istimewa, tentu kau pun mempunyai keistimewaan pula.”

“Memang, aku mempunyai dua keistimewaan. Pertama, sekali tongkatku ini bergerak, jiwa seorang manusia melayang! Dan sekali aku melihat wanita sejelita seperti kau ini, sekaligus hatiku lemas!”

Ternyata kakek ini tidak hanya lihai julukannya, juga lihai pula mulutnya sehingga serentak ia mampu membalas. Namun ia menghadapi Liu Lu Sian, gadis yang lincah jenaka, liar ganas dan pandai bicara.

“Sayang sekali, tua bangka jembel, mulai hari ini julukanmu akan terganti dengan Tongkat Buntung Ular Buduk!”

Kata-kata ini ditutup dengan gerakan tangan dan “singgg!”

Pedang Toa-hong-kiam sudah berada ditangan kanan sedangkan tangan kirinya disaat itu juga sudah mengipatkan tujuh batang Siang-tok-ciam yang hanya tampak sebagai kilatan sinar merah menuju semuanya kearah muka Si Pengemis Kurus!

“Aiiihhh!”

Pengemis itu kaget bukan main, akan tetapi ia lihai, karena dalam kegugupannya, tongkatnya sudah diputar cepat melindungi mukanya sehingga jarum merah itu kena dipukul runtuh.

“Monyet tua, makan pedangku!”

Lu Sian sudah menerjang lagi dengan pedangnya. Ia menggunakan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat, cepatnya bukan main, dahsyat bagaikan angin badai, sesuai dengan sifat dan namanya. Seperti badai mengeluarkan kilat bertubi-tubi, dalam serentetan serangan pedangnya sudah menyambar ke arah lima jalan darah berturut-turut!

“Eh… orang…! Oh… ting… cring-cring-cring….!”

Lima kali pengemis itu menangkis dengan tongkatnya, keringat dingin mengucur membasahi mukanya karena hampir saja ia tak dapat menahan serbuan hebat itu. Baiknya ilmu tongkatnya memang lihai maka setelah berhasil menangkis lima kali sambil mengeluarkan seruan kaget, ia melompat kebelakang menjauhkan diri agar terlepas daripada rangkaian kilat menyambar itu. Lu Sian berdiri tersenyum memandang dengan sinar mata berseri-seri mengejek.

“Ular Buduk, apakah kau tidak lekas berlutut minta ampun?”

Kalau tadinya pengemis kurus tua itu tertarik oleh kecantikan Lu Sian yang berhasil membangkitkan darah tuanya yang sudah hampir mendingin, kini kakek itu menjadi demikian marahnya sehingga serasa dadanya hampir meledak dan ia mengeluarkan kata-kata. Setelah menelan ludah beberapa kali, barulah ia berteriak-teriak.

“Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!”

Berkata demikian ia lalu memutar tongkatnya dan menerjang maju.

Tongkatnya menusuk dengan gerakan aneh dan karena ujung tongkat yang bergerak-gerak tak menentu itu sukar diduga kemana hendak menyerang. Sejak tadi Tan Hui melongo kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang dan ilmu melepas jarum wanita itu. Kini ia makin kagum lagi setelah menyaksikan betapa Lu Sian menghadapi tongkat yang digerakkan sedemikian lihainya dengan cara sembarangan dan main-main saja. Pedang ditangan Lu Sian membentuk garis-garis segi delapan seperti pat-kwa. Akan tetapi anehnya, kemana pun ujung tongkat pengemis itu meluncur, ia pasti bertemu dengan garis pedang sehingga tongkatnya terpental kembali.

“Hebat wanita ini!”

Diam-diam Tan Hui berpikir. Ia mencoba untuk memperhatikan dan mengenal ilmu pedang itu, namun sia-sia. Sifatnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi ada kalanya mirip Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang tersohor, namun ini hanya mirip belaka karena sifatnya benar amat berlainan.

Ilmu pedang ini aneh dan menyembunyikan sifat yang amat ganas. Dalam waktu singkat saja Sin-coa Koai-tung merasai keganasan ini karena tiba-tiba garis-garis itu berobah menjadi lingkaran berputar-putar dan tiba-tiba dari kedudukan mempertahankan, pedang itu berobah menjadi fihak penyerang karena setiap tangkisan dilanjutkan dengan tusukan yang kesemuanya mengarah bagian berbahaya. Mulailah pengemis itu terdesak dan celakanya, tangan kiri Lu Sian terus menerus bergerak, sekali bergerak menyambarlah sebatang jarum merah yang berbau wangi. Sambaran jarum dibarengi tusukan pedang. Serangan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Pat-jiu Sin-ong saja sudah hebat apalagi kini ditambah dengan serangan Siang-tok-ciam, tentu saja ia menjadi repot sekali.

“Menarilah, Ular Buduk, menarilah!”

Lu Sian berkata mengejek dan menyerang makin gencar dengan jarum dan pedangnya.

Sengaja ia menutup jalan bawah dengan serangan jarum bertubi-tubi sedangkan pedangnya merangsang kearah muka sehingga keadaan pengemis itu seperti seekor kera dikeroyok tawon. Ia meloncat-loncat menghindarkan kakinya dari sambaran jarum, sedangkan sedapat mungkin ia melindungi mukanya dari ancaman pedang dengan pemutaran tongkatnya yang sudah tidak karuan lagi gerakannya! Tiba-tiba Lu Sian membentak, disusul teriakan kesakitan. Cepat sekali hal ini terjadi, tahu-tahu pengemis itu roboh dengan paha tertusuk jarum dan telinganya menggelinding kedekat kaki Lu Sian dan sekali bacok, tongkat itupun buntung!

“Nah, bukankah kau sekarang menjadi Tongkat Buntung Ular Buduk?”

Lu Sian mengejek. Kebetulan saat itu Lu Sian berdiri membelakangi pengemis kepala besar, dan agaknya ia tidak tahu betapa dengan penuh kemarahan kakek pengemis itu sudah melompat maju dan mengirim pukulan dengan tangan kosong yang menimbulkan angin bersiutan! “Jangan curang!”

Tiba-tiba Tan Hui berseru. Tempat ia berdiri cukup jauh, akan tetapi sekali kakinya menjejak tanah, tubuhnya berkelebat cepat luar biasa dan di lain saat ia telah menangkis pukulan jarak jauh yang dilakukan pengemis kepala besar.

“Dukkk!”

Dua buah lengan yang kuat bertemu dan terus menempel. Alangkah kaget hati Tan Hui ketika mendapat kenyataan betapa lengannya seakan-akan lekat dan tak dapat ditarik kembali. Ia maklum bahwa pengemis itu mempergunakan lweekang yang amat tinggi, maka terpaksa ia pun lalu mengerahkan lweekangnya untuk melawan.

Mereka bertanding tanpa bergerak, hanya kedua lengan saling tempel, saling mendorong dengan pengerahan tenaga lweekang. Pertandingan macam ini selalu lebih berbahaya daripada pertandingan ilmu silat yang setiap serangan masih dapat dielakkan. Akan tetapi adu tenaga macam ini, yang kalah tentu akan menderita luka dalam yang amat berbahaya. Ketika merasa betapa tenaga pengemis itu benar-benar amat kuat, makin lama dorongan dan tekanannya makin berat, diam-diam Tan Hui mengeluh. Kalau mengandalkan ilmu silat, kiranya takkan sukar mengalahkan lawan ini, akan tetapi sekarang sudah terlanjur mengadu tenaga, sukar baginya untuk mundur lagi. Maju payah, mundur berbahaya! Terpaksa ia nekat dan mengerahkan terus tenaga dalamnya.

“Koko, mengapa begini sabar melayani dia?”

Tiba-tiba Lu Sian berkata halus dibelakang Tan Hui sambil menepuk pundak pendekar itu. Tan Hui kaget. Tepukan itu biarpun perlahan namun dapat mengganggu pengerahan tenaga lweekangnya, karena tepukan itu agaknya mengarah punggung dekat pundak. Namun untuk menghindarkan diri tak mungkin. Celaka, pikirnya, apakah Lu Sian ini hendak mencelakai aku? Tapi suaranya begitu merdu, panggilannya “koko”

Begitu mesra.

“Plakkk!”

Benar-benar Lu Sian menepuk punggungnya, tepat dimana hawa sin-kang lewat dan menjurus kelengannya yang menempel dengan lengan lawan. Akan tetapi anehnya, tenaganya bukannya buyar melainkan menjadi makin kuat dan tahu-tahu kakek berkepala besar itu mencelat kebelakang sampai tiga meter jauhnya, lalu bergulingan beberapa kali baru meloncat berdiri dengan muka pucat!

“Kalian yang curang!!”

Kakek itu memaki dan begitu kedua tangannya bergerak, ia sudah menyambar sebuah batu besar disampingnya dan melontarkannya kearah Tan Hui dan Lu Sian.

Batu itu besar sekali, beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus kati, akan tetapi tidak begitu mudah dilontarkan seperti orang melontarkan sekepal batu saja! Hebat serangan ini, karena jarak diantara mereka hanya empat meter sedangkan batu itu menyambar amat cepat. Lu Sian berseru keras dan tubuhnya lalu ia banting kebelakang, terus ia bergulingan menjauhi tempat itu. Ia melihat dengan penuh kekaguman betapa tubuh Tan Hui mencelat kedepan agak tinggi dan tepat pendekar itu hinggap diatas batu yang menyambar lewat, seperti seekor burung saja gerakan ini, kemudian ia “menunggang”

Batu itu dan ketika batu jatuh ketanah, ia pun meloncat turun!

“Wah, kalau aku memiliki ginkang seperti itu, barulah puas hidupku!”

Tanpa terasa lagi Lu Sian berseru penuh kekaguman. Kakek berkepala besar itu telah menderita luka dalam. Ia menjura lalu berkata,

“Hui-kiam-eng, kepandaianmu dan temanmu memang hebat. Akan tetapi kalau kau berani mendatangi tempat pangcu kami di Kang-hu untuk menerima puterimu atau menerima kematiamu, barulah kami benar-benar kagum!”

Ia lalu menghampiri temannya yang masih merintih-rintih, dan menyeretnya pergi dari situ.

“Adik Lu Sian, hebat bukan main kepandaianmu! Benar-benar tak pernah kusangka. Kiam-hoatmu aneh dan hebat, adapun tenaga lweekangmu… ah, benar-benar aku seperti tidak bermata tak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang sakti!”

Lu Sian tersenyum, girang sekali hatinya.

“Ah, Tan Hui Koko, mengapa kau begitu memuji setinggi langit? Kalau mau bicara tentang kelihaian, kaulah orangnya. Terutama sekali ginkangmu, benar-benar membuat aku tunduk dan kagum. Kalau saja aku dapat memiliki ginkang seperti itu, ahh.. alangkah akan bahagia hatiku.”

“Bagi seorang seperti kau ini, Adik Lu Sian, tidak ada lagi yang tak mungkin didunia. Apa sukarnya mempelajari ginkang bagi kau yang sudah mampu mempelajari ilmu silat sehebat itu?”

“Benarkah? Benarkah, Kakak yang baik? Kau suka untuk mengajarkan ginkangmu kepadaku? Ah, terima kasih… kau baik sekali, baik sekali…”

Saking girangnya Lu Sian memegang lengan Tan Hui dengan kedua tangannya. Sejenak mereka berdiri seperti itu, mata saling pandang, dan didalam hati masing-masing makin tertarik. Semenjak dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia karena sakit, Tan Hui hidup penuh dengan kesunyian.

Hal itu biarpun amat mendukakan hatinya, namun dapat ia tahan, karena Tan Hui adalah seorang jantan yang berbatin kuat. Tidak mudah hatinya tergoda oleh kecantikan wanita, maka selama ini ia pun tinggal menduda, sedikit pun tidak pernah menoleh kearah wanita lain, menekuni kesunyian hidupnya. Akan tetapi pertemuannya dengan Lu Sian ini adalah luar biasa. Wanita ini luar biasa cantiknya, luar biasa pula kepandaiannya. Tidaklah heran kalau Tan Hui menjadi tertarik. Hati seorang kakek pendeta sekalipun mungkin akan tergetar kalau melihat Lu Sian yang cantik jelita, yang semerbak harum, berlagak memikat hati. Bagi Tan Hui, Lu Sian merupakan wanita yang amat menarik, apalagi kalau diingat bahwa mendiang isterinya adalah seorang wanita lemah, berbeda sekali dengan Lu Sian ini yang dalam hal kepandaian, tidak berada disebelah bawah tingkatnya sendiri!

“Bagaimana, Koko? Tentu kau mau mengajarku ginkang, bukan?”

Sudah berada diujung lidah Tan Hui untuk menyanggupi, akan tetapi mengingat bahwa ilmu pedang dan ilmu ginkangnya adalah kepandaian yang merupakan ilmu turunan, ia merasa agak meragu.

“Aku tidak keberatan… eh, tapi… ilmu itu belum pernah diturunkan kepada orang luar… eh, maksudku, itu adalah ilmu turunan…”

Lu Sian yang masih memegang lengan Tan Hui, merapatkan tubuhnya sehingga Tan Hui terpaksa meramkan mata karena keharuman yang menyengat hidungnya membuat hatinya berguncang keras.

“Apakah kau tidak mau menganggap aku orang dalam…?”

Suaranya merdu lirih seperti berbisik. Pada saat itu, sudah banyak orang berkumpul karena tadi tertarik oleh keributan didepan rumah makan. Melihat ini, Tan Hui segera berkata perlahan.

“Moi-moi, tak baik bicara disini seperti ini. Dimanakah kau tinggal? Mari kita bereskan perhitungan dengan rumah makan dulu.”

“Aku tinggal di penginapan sebelah rumah makan. Biarkan aku yang membayar, Tan-koko…”

Akan tetapi sebelum mereka memasuki rumah makan, serombongan orang kelihatan berlari mendatangi. Pakaian mereka adalah pakaian ahli silat, seperti yang biasa dipakai oleh orang-orang yang pekerjaannya pengawal atau tukang pukul. Akan tetapi begitu tiba didepan Tan Hui, tujuh orang itu segera menjatuhkan diri berlutut dan setelah dekat tampaklah bahwa mereka adalah para piauwsu (pengawal barang berharga) yang mukanya penuh debu dan keringat, bahkan diantara mereka ada yang terluka sehingga pakaian mereka berlumur darah.

“Tan-taihiap (Pendekar Besar Tan), mohon suka memberi pertolongan kepada kami para piauwsu yang celaka….!”

Seorang diantara mereka yang tertua dan pundaknya terluka bacokan, segera berkata dengan suara penuh permohonan.

“Kebetulan sekali kami yang bercelaka mendengar akan kehadiran Taihiap disini, maka kami segera menghadap Taihiap untuk mohon pertolongan. Kalau Taihiap tidak suka menolong, berarti kami sekeluarga akan mati….”

Tan Hui mengerutkan keningnya. Tidak patut para piauwsu yang termasuk golongan orang gagah bersikap selemah ini.

“Kalian ini rombongan piauwsu dari manakah dan apa yang terjadi sehingga kalian merengek-rengek seperti anak kecil?”

Tanyanya berisikan teguran.

“Maaf, Taihiap, kalau sikap kami menjemukan Taihiap. Akan tetapi karena kami sudah putus harapan. Ketahuilah, Tan-hiap. Kami dari perusahaan pengantar barang Hong-ma-piauwkiok (Perusahaan Pengantar Kuda Angin). Kali ini kami ditugaskan mengantar lima peti barang-barang berharga milik seorang pembesar yang pindah tempat, yang katanya berharga ribuan tali emas. Karena perjalanan menuju kota Sui-kiang biasanya aman, kami tidak merasa kuatir apa-apa. Ternyata, diluar dugaan, dilereng bukit itu, hanya empat puluh li dari sini, kami dihadang perampok, barang-barang kami dirampas semua, bahkan diantara kami ada yang tewas dan luka-luka. Gerombolan perampok itu agaknya masih baru disana, dipimpin oleh kepalanya yang lihai. Tan-taihiap, harap tuan sudi menolong kami, karena kami tidak mampu merampas kembali lima buah peti itu pasti perusahaan kami akan bangkrut, dan kami semua akan diseret ke penjara!”

“Kalian tidak becus melawan perampok, mengapa berani menjadi piauwsu?”

Tiba-tiba Lu Sian membentak mereka.

“Memang piauwsu lawannya perampok, siapa kalah harus berani menanggung resikonya, mengapa kalian ribut merengek-rengek minta bantuan orang lain? Tak tahu malu! Hayo pergi, jangan ganggu lagi, kami punya urusan yang lebih penting!”

Tujuh orang piauwsu itu kaget sekali. Mereka bingung karena tidak tahu siapa adanya wanita cantik jelita yang galak itu. Akan tetapi karena melihat wanita itu berada disitu bersama Tan Hui, mereka lalu membentur-benturkan jidat ketanah sambil memohon-mohon dengan suara pilu.

“Sudah bertahun-tahun mendengar nama besar Tan-taihiap sebagai pendekar budiman yang selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang menghadapi melapetaka! Kini kami mohon dengan segala kerendahan hati…”

“Hemmm, sudahlah jangan banyak ribut lagi. Biar kubereskan sebentar urusan kecil itu. Di mana adanya si perampok?”

“Koko! Kau hendak memenuhi permintaan mereka yang cerewet ini? Bukan urusan kita…”

“Hanya sebentar, Sian-moi. Bukit itu tampak dari sini, dan membereskan segala macam perampok hina apa sih sukarnya? Hanya makan waktu beberapa jam juga beres.”

“Aku tidak sudi mencampuri urusan piauwsu-piauwsu tengik ini!”

Lu Sian cemberut. Tan Hui tersenyum.

“Biarlah aku sendiri yang mengurus hal ini, harap kau suka menanti. Tak lama aku kembali.”

Lu Sian tidak menjawab, keningnya berkerut dan matanya memandang kearah para piauwsu dengan marah. Kemudian ia membalikkan tubuh memasuki rumah makan. Setelah Tan Hui pergi dengan cepatnya diikuti para piauwsu yang seakan-akan hidup kembali karena mendapat harapan besar tertolong. Lu Sian lalu dengan sikap uring-uringan membayar harga makanan, menyuruh pelayan rumah makan mengambil alat tulils, lalu ditulisnya beberapa huruf diatas kertas yang kemudian dilipatnya dan diserahkannya kepada pengurus rumah makan.

“Kalau Tan Hiap datang, kau berikan surat ini kepadanya. Awas, jangan sampai lupa, surat ini sama harganya dengan sepasang telingamu!”

Pengurus itu yang tadi melihat betapa wanita kosen ini membikin buntung telinga seorang pengemis lihai, menjadi ngeri dan hanya dapat memandang dengan lidah keluar ketika Lu Sian dengan langkah gesit keluar dari situ

Mengapa terjadi keanehan pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang? Dahulu perkumpulan ini terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan dan kebaikan, di bawah pimpinan Yu Jin Tianglo yang terkenal bijaksana dan keras terhadap anak buahnya sehingga jarang terjadi anak buah perkumpulan ini berani melakukan penyelewengan. Akan tetapi, memang terjadi perubahan hebat sejak tiga bulan yang lalu. Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih bernama Pouw Kee Lui, berasal dari pantai Lautan Po-hai, datang membuat gara-gara. Pouw Kee Lui ini bukan orang sembarangan, ia murid seorang sakti yang bertapa didalam gua-gua sepanjang pantai Po-hai. Semenjak kecil Pouw Kee Lui digembleng oleh pertapa ini dan memperoleh ilmu silat yang tinggi sekali.

Akan tetapi beberapa tahun yang lalu, ia tidak dapat menahan gelora nafsunya yang memang selalu mengalahkan batinnya sehingga ia menculik dan memperkosa seorang wanita nelayan, membunuh suami wanita itu dan beberapa orang keluarganya yang hendak membela wanita itu. Gurunya marah sekali, akan tetapi dalam cengkeraman nafsu iblis, Pouw Kee Lui turun tangan pula terhadap gurunya yang sudah amat tua dan lemah sehingga ia berhasil membunuh gurunya sendiri, kemudian membunuh pula wanita itu! Peninggalan gurunya berupa kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian ia ambil semua dan pergilah Pouw Kee Lui meninggalklan pantai Po-hai dengan kedua tangan berlepotan darah pembunuhan kejam!

Selama bertahun-tahun ia memperdalam ilmunya, mempelajari kitab-kitab dari suhunya, maka kepandaiannya makin meningkat tinggi. Dalam perantauannya, Pouw Kee Lui yang sudah menjadi hamba nafsu itu mengumbar nafsu angkara murka, mengandalkan kepandaiannya untuk melakukan apa saja demi memuaskan dirinya. Merampok, membunuh, merampas wanita, dan mengganggu orang-orang kang-ouw untuk mengangkat diri dan namanya sehingga dalam beberapa tahun saja terkenallah nama Pouw Kee Lui sebagai seorang tokoh muda yang ganas dan kejam sepak terjangnya.

Pada suatu hari, yaitu tiga bulan yang lalu, sampailah Pouw Kee Lui di Kang-hu dan ia mendengar tentang perkumpulan Khong-sim Kai-pang yang terkenal dan kuat. Dengan tertarik ia mendatangi markas perkumpulan itu dan tercenganglah ia menyaksikan betapa kuil tua yang dijadikan pusat perkumpulan, ternyata disebelah dalamnya terdapat perabot-perabot rumah yang cukup lumayan dan lengkap. Tertarik pula melihat betapa kedudukan ketua perkumpulan ini amat dihormat, baik oleh anak buah Khong-sim kai-pang yang mempunyai ratusan orang anggota, maupun oleh para penduduk sekitar tempat itu. Bahkan pembesar-pembesar negeri memandang perkumpulan ini dengan hormat! Maka timbullah niatnya yang bukan-bukan yaitu ingin merampas kedudukan ketua Khong-sim Kai-pang!

Dengan tenang ia mendatangi kuil di luar kota Khang-hu, dan dengan seenaknya pula ia menyatakan kepada Yu Jin Tianglo bahwa ia ingin menjadi ketua Khong-sim Kai-pang! Tentu saja belasan orang pimpinan itu menjadi marah, namun sekaligus mereka itu dirobohkan secara mudah oleh Pouw Kee Lui! Bahkan Yu Jin Tianglo sendiri yang tentu saja mempertahankan kedudukan, terutama nama besarnya, dalam pertandingan yang hebat terbunuh olehnya! Sifat-sifat baik seseorang sukar ditiru dan tidak mudah menular. Sebaliknya sifat-sifat buruk itu tanpa diajarkan pun akan mudah ditiru dan merupakan semacam penyakit batin yang mudah menular. Setelah menyaksikan kesaktian petualang muda itu, para pimpinan Khong-sim Kai-pang mau tak mau terpaksa tunduk, dan kemudian, melihat sifat Pouw Kee Lui atau Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis) yang baru ini jauh berlainan dengan sifat dan watak Yu Jin Tianglo, para anggota perkumpulan ini menjadi gembira sekali.

Nafsu mereka yang selama berada di bawah pimpinan dan pengawasan Yu Jin Tianglo seakan-akan tertekan, kini mendapat jalan keluar dan mulailah terjadi pelanggaran-pelanggaran oleh anak buah Khong-sim Kai-pang. Bahkan dendam yang selama ini terpaksa disimpan saja di dalam hati terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui karena Yu Jin Tianglo malah menyalahkan anak buahnya sendiri, kini meluap-luap dan ketika para pimpinan menceritakan kepada ketua baru itu. Pouw Kee Lui segera mengatur rencana dan menyuruh para pimpinan yang berkepandaian cukup tinggi untuk menculik puteri Tan Hui yang baru berusia lima tahun dari rumah paman bocah itu. Hal ini dilakukan untuk langsung pergi mencari Hui-kiam-eng Tan Hui, ketua baru ini merasa dirinya terlalu tinggi!

Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang dan yang tentu saja mengherankan hati Tan Hui dan juga Lu Sian yang sudah mendengar akan kebesaran perkumpulan itu dan ketuanya, Yu Jin Tianglo. Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Pouw Kee Lui melihat anak buahnya mendapat penghinaan dari Tan Hui dan seorang wanita jelita bernama Lu Sian, malah dua orang pembantunya yang ia anggap berkepandaian cukup yang ia utus menantang Hui-kiam-eng Tan Hui, juga menerima penghinaan pula. Ia anggap penghinaan melampaui batas dan ketika sore hari itu ia mengambil keputusan untuk mencari sendiri Tan Hui, tiba-tiba munculah Lu Sian yang menerobos masuk dengan pedang ditangan dan berseru.

“Dimana adanya Yu Jin Tianglo! Aku mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui untuk mengambil kembali puterinya!”

Didalam kuil itu para pimpinan Khong-sim Kai-pang berkumpul, malah dua orang pengemis yang telinganya buntung dan Si Kepala Besar yang menderita luka dalam juga hadir disitu. Menyaksikan seorang wanita muda dengan pedang di tangan yang demikian cantik jelita, sejenak Pouw Kee Lui melongo terpesona dan keheranan. Ia dapat menduga tentu inilah teman Tan Hui yang telah membuntungi telinga pembantunya. Ia terheran-heran bagaimana ada seorang wanita muda yang cantik jelita seperti ini mampu melakukan hal itu. Pouw Kee Lui pada hakekatnya bukanlah seorang laki-laki mata keranjang, namun kali ini ia benar-benar terpesona dan untuk sejenak ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Namun ia tidak bodoh.

Ia tahu bahwa seorang, apalagi kalau ia wanita, yang sudah berani dengan sikap begini tabah memasuki sarang lawan, tentulah memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Kepandaian dua orang pembantunya bukanlah rendah, dan kalau dua orang pembantunya itu setelah bertemu dengan wanita ini pulang dalam keadaan terluka cukup hebat, terkena jarum beracun harum, telinganya buntung dan isi dadanya terguncang dan terluka, jelas bahwa di dalam kai-pang, kiranya hanya dia seorang yang akan sanggup menandingi wanita itu. Maka sebagai seorang yang berpengalaman luas, ia bersikap hati-hati, ingin tahu lebih dulu siapa gerangan wanita ini dan dari golongan mana. Akan tetapi, begitu dua orang pengemis yang kalah didepan rumah makan itu melihat munculnya Lu Sian, mereka sudah lantas memaki dan memandang dengan mata melotot.

Ini cukup menjadi isyarat bagi para pimpinan pengemis yang jumlahnya ada tujuh orang lagi. Serentak mereka itu bangkit dan mencabut senjata masing-masing. Tujuh orang pengemis ini semua adalah pengemis tua dan yang memiliki kepandaian tinggi. Lima diantara mereka, bersenjatakan tongkat mereka, sedangkan yang dua orang mencabut pedang. Namun Lu Sian sama sekali tidak takut. Dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan yang memegang pedang menudingkan ujung pedangnya kearah tujuh orang pengemis itu, ia membentak.

“Aku tidak ada tempo untuk berurusan dengan segala macam jembel tua bangka! Suruh Yu Jin Tianglo keluar untuk bicara denganku!”

Akan tetapi tujuh orang pengemis itu tidak ada yang menjawab atau peduli, bahkan mereka lalu membuat gerakan mengurung nona yang cantik dan galak ini. Lu Sian menjadi gemas sekali dan ia sudah siap menerjang untuk memberi hajaran ketika dibelakangnya terdengar suara yang jelas dan nyaring.

“Nona, Yu Jin Tianglo yang kau tanyakan itu sudah mati.”

Kaget sekali Lu Sian mendengar hal ini. Ia memang mendengar dari dua orang pengemis bahwa para para pengemis sudah mempunyai ketua baru, akan tetapi tidak ia sangka bahwa Yu Jin Tianglo sudah mati. Cepat ia memutar tubuh menghadapi Si Pembicara yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui. Ia melihat sorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya sedang, kumis dan jenggotnya pendek, wajahnya berkulit kasar akan tetapi tidaklah buruk bahkan mendekati tampan. Kelihatannya orang ini lemah dan tidak mempunyai kepandaian yang tinggi, akan tetapi sepasang matanya mencorong bagaikan mata srigala. Pakaiannya biar sederhana, namun tidak ada yang ditambal, maka ia sama sekali tidak kelihatan seperti anggota pengemis, apalagi seperti ketua pengemis.

“Mati…?”

Lu Sian ketika memutar tubuhnya berseru.

“Ya, mati,”

Kata Pouw Kee Lui dan senyum sinis muncul dibibirnya.

“Tidak kebetulan sekali, ia mati melawan aku.”

Diam-diam kagetlah Lu Sian. Siapa kira, orang macam ini mampu mengalahkan bahkan membunuh Yu Jin Tianglo yang terkenal berkepandaian tinggi? Tak masuk akal! Orang di depannya ini pantasnya seorang petani gunung, atau paling hebat seorang pedagang obat keliling.

“Hemmmm,”

Akhirnya ia mendengus.

“kau siapakah?”

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tujuh orang pengemis tua sudah serentak maju menerjangnya.

Terpaksa Lu Sian memutar pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi mereka yang sudah mengurungnya. Ia segera menggunakan jurus Delapan Iblis Menahan Hujan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-hoat, sekaligus ia menangkis datangnya hujan senjata, bahkan sekaligus pula dapat balas menyerang! Terdengar suara nyaring beradunya senjata dan diantara berdentingan ini Lu Sian mendengar orang itu tertawa dan berkata dengan nada mengejek.

“Namaku Pouw Kee Lui, Nona, dan akulah sekarang Ketua Khong-sim kai-pang!”

Lu Sian marah sekali karena ia kini dapat menduga bahwa ketua baru yang kelihatan lemah itu amat curang. Tentu tadi selagi bicara memberi perintah kepada para pembantunya untuk menyerbunya, menggunakan kesempatan selagi ia agak jengah. Baiknya ia dapat menghindarkan diri dari serangan mendadak itu dan kemarahannya meluap-luap ketika ia memaki,

“Pengecut tengik! Kalau tidak lekas dibebaskan puteri Tan Hui, akan kubasmi habis Khong-sim Kai-pang hari ini!”

Pouw Kee Lui memperhatikan gerakan pedang nona itu dan diam-diam ia terkejut dan heran karena ia sama sekali tidak mengenal gerakan ilmu pedang yang mirip Pat-sian Kiam-hoat itu. Ia sudah berpengalaman dan boleh dibilang mengenal ilmu pedang dari golongan manapun, baik dari partai bersih maupun dari golongan hitam. Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan nona ini sama sekali asing baginya dan ia harus akui bahwa ilmu pedang ini hebat! Tiba-tiba tedengar suara

“wesss-wessss”

Beberapa kali dan…. Seorang demi seorang pengemis tua yang mengeroyok Lu Sian, terjungkal roboh karena mereka merasa kaki mereka menjadi lumpuh secara mendadak. Lu Sian sendiri tidak tahu mengapa mereka itu pada roboh dengan sendirinya, maka ia tidak mau mengotori pedangnya dengan lawan yang roboh bukan oleh dia. Dengan heran dia hanya menambah tendangan saja yang membuat mereka roboh mencelat keluar dari ruangan, hiruk pikuk mereka memaki dan menyatakan rasa heran.

“Ilmu siluman….!”

“Dia bukan manusia!”

Tujuh orang pengemis itu memaki-maki. Akan tetapi Pouw Kee Lui menjadi kaget bukan main.

Matanya mengerling kekiri dan ia melihat sebuah kantung besar, seperti karung tempat beras, bersandar disudut kiri ruangan itu, dibelakang patung Budha. Ia tahu betul bahwa tadinya tak pernah ada karung seperti itu. Tentu dari karung itulah datangnya hawa pukulan yang membuat para pembantunya tadi roboh, maka ia berlaku hati-hati sekali. Gadis cantik jelita itu sudah lihai ilmu pedangnya, dan masih mempunyai pembantu yang demikian hebat ilmu pukulannya dari jarak jauh. Ia harus membikin wanita ini tidak berdaya, baru ia akan menghadapi tokoh aneh yang bersembunyi itu. Pouw Kee Lui memang cerdik dan juga banyak akal bulusnya. Kini dengan wajah tersenyum dan pandang mata kagum ia melangkah maju menghampiri Lu Sian sambil menjura dan berkata.

“Lihiap benar-benar hebat sekali, membuat orang kagum!”

Akan tetapi ia menjura bukan sembarang menghormat karena diam-diam ia menggunakan tenaga dalam untuk melancarkan pukulan yang amat kuat. Lu Sian kaget. Tentu saja ia sudah bersiap sedia dan sudah pula menduga bahwa ketua baru Khong-sim Kai-pang ini mungkin melakukan serangan gelap berselimut penghormatan, akan tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa tenaga serangan gelap itu akan sehebat ini. Ia merasa dadanya sesak. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan dorongan tenaga yang tak tampak itu, dan legalah hatinya bahwa ia berhasil mendorong mundur hawa pukulan Pouw Kee Lui. Akan tetapi pada saat keduanya bersitegang mengerahkan tenaga dan pada saat Lu Sian merasa lega karena mengira bahwa tenaga dalamnya dapat menolak mundur lawan sehingga perasaan ini membuat ia agak lengah, tiba-tiba tangan kanan Pouw Kee Lui menyambar kedepan dan tahu-tahu lengan kiri Lu Sian sudah kena dicengkeram!

Lu Sian terkejut bukan main, tak pernah mengira lawan ini selicik itu karena biasanya orang yang saling mengadu tenaga lwee-kang seperti mereka itu, sama sekali tidak mengandung lain pikiran untuk melakukan serangan gelap seperti yang dilakukan ketua pengemis ini. Dicengkram lengan kirinya, Lu Sian merasa sakit sekali, seakan-akan dari telapak tangan kanan Pouw Kee Lui keluar api yang mengalir masuk melalui pergelangan tangannya yang dicengkram. Ia kaget dan marah, lalu menggerakkan pedang ditangan kanannya dibacokkan kearah muka lawan. Namun tenaga bacokan ini berkurang karena ia merasa tangan kirinya sakit sekali. Agaknya Si Ketua Pengemis menambah tenaga cengkeramannya. Begitu hebatnya rasa nyeri sehingga bacokan Lu Sian tidaklah sehebat yang ia inginkan. Dengan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya, Pouw Kee Lui menangkis, tepat mengenai tangan kanan Lu Sian yang memegang pedang.

Begitu keras tangkisan ini sehingga terpaksa Lu Sian melepaskan pedangnya yang meluncur kesebelah kanannya, kearah karung yang bersandar disudut belakang arca! Ini saja sudah membuktikan kehebatan tenaga dan kepandaian Pouw Kee Lui yang sekaligus sambil menangkis serangan pedang, dapat membuat pedang lawan menyerang “karung”

Itu. Tepat seperti yang diduganya, karung itu bukan benda mati Karena tiba-tiba karung itu mencelat keatas dan pedang Toa-hong-kiam yang menyambarnya itu terpental dan menancap pada lengan patung. Karung itu sendiri setelah jatuh diatas lantai, membal lagi keatas dan hinggap diatas kepala arca itu, bergoyang-goyang akan tetapi tidak jatuh kebawah. Sementara itu, sejenak Lu Sian terkejut sekali oleh kelihaian ketua baru Khong-sim Kai-pang ini.

Namun ia segera mengerahkan khikang, tubuhnya merendah dan tangan kanan dengan jari terbuka menghantam pusar lawan sambil tangan kirinya yang masih dicengkram itu ditarik keras. Hebat sekali serangan yang bersifat ganas ini, serangan maut dengan pukulan dari ilmu silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) ditambah pengerahan tenaga sakti dan suara teriakan yang mengandung khi-kang. Pouw Kee Lui juga kaget, terpaksa melepaskan pegangannya dan mencelat mundur. Lu Sian sudah menyambar pedangnya yang menancap di lengan arca, dengan kemarahan meluap ia sudah siap lagi menghadapi lawannya yang tangguh, tangan kirinya diam-diam mengambil segenggam Siang-tok-ciam.

Pouw Kee Lui kagum menyaksikan kepandaian Lu Sian. Akan tetapi ia tahu, bahwa menghadapi gadis jelita ini, ia takkan kalah. Yang membuat ia ragu-ragu adalah setan karung itu, yang ia belum ketahui siapa, bahkan belum ia ketahui apakah isinya, manusia, binatang, ataukah setan? Akan tetapi ia dapat menduga bahwa yang berada dalam karung itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tiggi daripada kepandaian nona ini, bahkan belum tentu ia sendiri mampu menandinginya. Melihat munculnya tokoh rahasia ini tepat pada waktu Lu Sian datang mewakili Tan Hui, Ketua Khong-sim Kai-pang ini menjadi curiga dan ia berlaku lebih hati-hati. Seperti biasa, Pouw Kee Lui orangnya cerdik, dapat melihat gelagat dan tidak mau sembrono.

“Tahan dulu, Nona!”

Ia berseru melihat lawannya sudah siap hendak menerjangnya lagi, bahkan siap dengan jarum-jarum rahasia ditangan kiri. Ketika ia memeriksa luka akibat jarum merah yang wangi itu, ia sudah terheran dan menduga-duga, dari golongan mana wanita cantik yang menggunakan jarum beracun harum dan berwarna merah.

Lu Sian juga bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa ketua baru yang masih muda ini benar-benar amat lihai, dan ia masih belum tahu pula apakah atau siapakah adanya karung yang dapat bergerak aneh bahkan yang tidak termakan oleh pedangnya, yang dapat mengeluarkan hawa pukulan membikin roboh para pimpinan pengemis yang mengeroyoknya tadi dan sekarang masih bergoyang-goyang diatas kepala arca. Menghadapi seorang seperti Pouw Kee Lui, ia tidak boleh berlaku nekat dan sembrono. Maka ia pun menahan serangannya, memandang dengan mulut, hatinya masih mendongkol karena pergelangan tangan kirinya, masih terasa nyeri bekas cengkeraman Pouw Kee Lui yang kuat.

“Nona, terus terang saja, diantara kau dan aku tidak terdapat permusuhan apa-apa, bahkan selamanya baru kali ini kita saling jumpa. Urusan antara kami dan Hui-kiam-eng Tan Hui adalah urusan perkumpulan yang kupimpin, bukan urusanku pribadi, melainkan urusan Khong-sim Kai-pang. Oleh karena itu, untuk menghindarkan kesalahpahaman, bolehkah kami bertanya, siapakah Nona yang datang mewakili Tan Hui, dari golongan mana dan apa sebabnya mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui yang tidak berani datang sendiri?”

Lu Sian tersenyum mengejek. Setelah ia mendapat kenyataan bahwa ketua baru ini seorang lihai, pula disitu masih banyak terdapat pimpinan Khong-sim Kai-pang yang juga tidak boleh dipandang ringan kalau mereka maju mengeroyok, perlu ia mempergunakan nama Beng-kauw. Maka jawabnya dengan suara lantang.

“Dari golongan mana datangku, tak perlu kusebut-sebut karena terlampau besar untuk dibandingkan dengan perkumpulan segala macam jembel busuk. Akan tetapi kalau hendak mengetahui namaku, aku adalah Liu Lu Sian, adapun Ayahku adalah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan…”

“Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw)…?”

Pouw Kee Lui memotong cepat dan kaget.

“Betul. Nah, kau mau bicara apalagi?”

Lu Sian berkata dengan suara angkuh.

“Aku mendengar bahwa puteri Beng-kauwcu telah menikah dengan Kam-goanswe…?”

“Sekarang tidak lagi!”

Lu Sian cepat memotong.

“Nah, sekarang kau mau serahkan puteri Hui-kiam-eng atau kita lanjutkan pertandingan?”

Pouw Kee Lui tersenyum. Tentu saja ia tidak takut menghadapi Lu Sian. Akan tetapi setelah ia mengetahui bahwa wanita ini adalah puteri Beng-kauwcu, ini lain lagi soalnya! Tentu saja ia tidak boleh main-main dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua dari Beng-kauw! Tidak nanti ia mau mengorbankan diri untuk membela anak buah Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis yang baru saja ia pimpin. Ia merebut kedudukan pangcu bukan karena ia terlalu mencinta para pengemis.

“Ah, kiranya puteri Beng-kauwcu! Diantara kita orang segolongan, perlu apa terjadi pertengkaran tiada artinya?”

“Kita bukan segolongan! Dan jangan kira aku datang untuk mengemis kebaikanmu. Aku bukan pengemis!”

Kembali Pouw Kee Lui tersenyum. Tidak terasa sakit hatinya karena ia sendiri pun tidak merasa sebagai pengemis biarpun ia mengepalai perkumpulan pengemis. Akan tetapi para pimpinan Khong-sim Kai-pang melototkan mata, karena mereka sebagai tokoh-tokoh pengemis merasa terhina.

“Biarlah kukembalikan anak Hui-kiam-eng, karena mengingat persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong!”

Sambil berkata demikian, Pouw Kee Lui menoleh kearah arca dan alangkah kagetnya melihat bahwa setan karung tadi sudah tidak berada lagi ditempat itu. Entah kemana perginya! Ia meresa heran dan penasaran.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, bagaimana ia sampai tidak dapat melihat perginya mehluk aneh dalam karung itu? Ia menduga bahwa tentu karung itu terisi manusia sakti dari Beng-kauw yang terkenal dengan tokoh-tokohnya yang sakti. Ia menghela napas. Baiknya ia berlaku hati-hati. Kalau ia sampai berlaku ceroboh dan melanjutkan permusuhan dengan wanita ini, biarpun ia akan dapat menangkan Lu Sian, tapi tentu ia akan berhadapan dengan tokoh-tokoh Beng-kauw dan tentu setan karung itu seorang tokoh Beng-kauw yang akan membantu Lu Sian. Ia memberi isyarat kepada seorang anggota kai-pang yang cepat masuk kebelakang kuil itu dan tak lama kemudian orang itu datang kembali menuntun seorang anak perempuan. Anak itu berusia lima tahun, wajahnya cantik dan masih kecil sudah tampak sifat kegagahannya karena anak itu tidak menangis, hanya dengan sepasang matanya yang bening memandang kearah Lu Sian. Lu Sian tersenyum kepada anak itu.

“Anak baik, mari kau ikut aku pulang menemui Ayahmu.”

Akan tetapi anak itu diam saja, bergerak maju pun tidak, hanya memandang dengan penuh pertanyaan dan ragu-ragu, agaknya tidak percaya kepada Lu Sian. Akan tetapi ketika Lu Sian memondongnya, anak itu pun menurut saja, tidak membantah.

“Nah, sudah beres urusan kita, aku pergi Pouw-pangcu!”

Kata Lu Sian sambil melangkah keluar.

“Harap sampaikan hormatku kepada Beng-kauwcu!”

Kata Pouw Kee Lui tanpa mempedulikan sikap para pembantunya yang kelihatan penasaran. Setelah Lu Sian pergi jauh tak tampak bayangannya lagi, barulah Pouw Kee Lui menghadapi para pembantunya sambil berkata, suaranya keren.

“Kalian mau apa?”

“Pangcu,sudah banyak anak buah kita celaka oleh wanita itu, pula, apakah kematian anak buah kita ditangan Tan Hui harus didiamkan saja? Bukankah hal ini, biarpun kami tahu bahwa Pangcu sengaja mengalah, akan dipandang oleh dunia kang-ouw bahwa kita telah dikalahkan oleh Tan Hui dan seorang temannya siluman betina? Bukankah Khong-sim Kai-pang akan menjadi bahan tertawaan dan…”

“Desss!”

Pouw Kee Lui mengayun tangannya dan Si Pembicara itu, seorang pengemis tua, jatuh tersungkur, giginya yang tinggal buah itu meloncat keluar dari mulutnya yang berdarah.

“kau tua bangka tahu apakah? Kalian tidak tahu orang macam apakah aku ini sehingga mudah dikalahkan oleh Tan Hui dan wanita itu? Akan tetapi kalian harus menggunakan akal cerdik, tidak seperti kerbau gila asal berani menerjang saja tanpa perhitungan. Apakah kalian tidak tahu bahwa Beng-kauwcu adalah perkumpulan agama yang amat besar dan berpengaruh, menjadi tulang punggung dari Nan-cao? Ketua Beng-kauw adalah Koksu Negara Nan-cao yang dalam sedetik bisa mengumpulkan laksaan orang tentara! Kita Khong-sim Kai-pang sama sekali bukanlah lawan Beng-kauw, seperti anak kijang melawan harimau! Apakah kekuatan Khong-sim Kai-pang yang dulu dipimpin oleh seorang tua bangka lemah model Yu Jin Tianglo? Phuh, hanya dua ratusan orang! Sebelum kita menjadi besar dan kuat, jangan bertingkah hendak menentang Beng-kauw dengan jalan mencelakai puteri ketuanya. Sungguh tolol perbuatan begitu, berarti bunuh diri!”

Tercengang para pimpinan pengemis. Baru sekarang mereka mendengar keterangan yang begitu banyak isi dan alasannya. Makin tertarik mereka dan kagum akan pandangan ketua baru ini yang luas.

“Kami mentaati segala perintah Pangcu. Mohon penjelasan.”

Kata Si Kepala Besar. Pouw Kee Lui tertawa bergelak.

“Diseluruh dunia ini, entah berapa banyaknya pengemis macam kalian yang sesungguhnya merupakan kekuatan yang besar. Akan tetapi kalian hanya berpisah-pisah secara berkelompok, merupakan kai-pang-kai-pang yang tidak ada artinya. Kalian lihat saja, aku akan menaklukkan semua kai-pang diseluruh negeri, dengan Khong-sim Kai-pang menjadi golongan teratas. Setelah itu, barulah kita menjadi kuat, dengan anak buah yang puluhan ribu orang banyaknya. Baru setelah itu, Beng-kauw dan yang lain-lain tak usah kita pandang lagi! Ha-ha-ha!”

Para pimpinan pengemis menjadi terkejut dan kagum. Memang tak pernah mereka memikirkan hal ini, dan dengan ketua seperti Pouw-pangcu ini, agaknya niat itu bukan mimpi belaka. Dahulu ketika Yu Jin Tianglo masih menjadi ketua mereka, perkumpulan Khong-sim Kai-pang sudah terkenal paling kuat. Apalagi Pouw-pangcu ini kepandaiannya jauh melebihi Yu Jin Tianglo! Maka mereka lalu tunduk mendengarkan uraian Pouw Kee Lui tentang rencananya hendak menundukkan para kai-pang, menjatuhkan ketua mereka dan kalau ada ketua kai-pang yang tidak tunduk akan dibunuhnya.

Sementara itu, sambil memondong anak perempuan Hui-kiam-eng Tan Hui, Lu Sian berlari cepat mempergunakan gin-kangnya menuju kembali ke dusun yang terletak tiga puluh li lebih, dimana ia meninggalkan pakaiannya dirumah penginapan. Anak perempuan itu tidur dalam pondongannya. Menjelang tengah malam, sampailah ia didusun itu, terus saja ia langsung menuju kepondok penginapan dengan niat menanti disitu sampai Tan Hui datang. Akan tetapi pada saat itu, ia melihat banyak orang diruangan depan penginapan. Kiranya Tan Hui baru saja kembali setelah menyelesaikan bantuannya pada para piauwsu. Pendekar ini berhasil mengalahkan para perampok dan merampas kembali barang-barang berharga yang menjadi tanggungan para pengawal. Dengan cepat Lu Sian menyelinap ketempat gelap dan berindap-indap menghampiri rumah penginapan. Ia tidak dapat melihat jelas, akan tetapi dapat mendengar percakapan mereka. Terdengar suara seorang laki-laki yang parau, dan mudah dimengerti bahwa laki-laki itu sedang mengomeli Tan Hui, karena ucapannya begini.

“Dasar kau yang tidak mentaati nasihat orang tua! Kalau dulu-dulu kau suka menikah lagi dengan gadis pilihanku, tentu kau tidak akan merantau meninggalkan anakmu sehingga takkan terjadi urusan ini! Kau tahu sendiri betapa Lian-ji (Anak Lian) amat mencinta Siok Lan, dan dia masih terhitung saudara sepupu mendiang isterimu. Tidak akan ada wanita yang lebih tepat daripada Siok Lan untuk menjadi ibu Lian-ji…”

“Paman, harap jangan terlalu memarahi kakak Tan Hui, dia sedang menguatirkan anak Lian…”

Terdengar suara wanita, suaranya menggetar penuh perasaan dan tiba-tiba Lu Sian menjadi cemburu sekali. Ketika ia mengintai, di bawah sinar lampu tampaklah seorang laki-laki tua dan seorang gadis cantik didalam ruangan itu, masih ada beberapa orang lain yang berpakaian piauwsu. Adapun Tan Hui duduk menunjang dagu diatas bangku. Setelah menarik napas panjang berkali-kali, Tan Hui akhirnya meloncat bangun dan berkata,

“Aku harus menyusulnya sekarang juga! Orang lain berusaha menolong Anakku, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?”

“Kau terluka dan lelah, mana boleh pergi lagi menghadapi lawan tangguh? Tunggu sampai besok pagi juga belum terlambat.”

Kata suara parau.

“Akan tetapi Lauw-ko, Nona Lu pergi seorang diri, dan Khong-sim Kai-pang amat berbahaya, banyak orangnya yang pandai.”

Pada saat itu, terdengar suara anak kecil berteriak.

“Ayah…! Ayah…!”

Dan anak perempuan yang tadi digendong Lu Sian meronta dari pondongan lalu lari masuk.

“Lian-ji…!”

Seruan ini sekaligus keluar dari mulut mereka yang berada diruangan, disusul tangis seorang wanita yang memeluk anak itu.

“Lian-ji! Syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nak…”

“Bibi Lan…!”

Anak itu menangis dalam pelukan gadis cantik, sedangkan tan Hui yang sudah meloncat dekat membelai rambut kepala puterinya dengan wajah berseri. Kemudian Tan Hui menghadap ke arah pintu dan berkata,

“Adik Lu Sian, silakan masuk!”

Akan tetapi tidak ada orang yang masuk, tidak ada suara. Tan Hui terheran dan cepat meloncat keluar. Ia melihat bayangan Lu Sian terhuyung-huyung keluar dari halaman depan.

“Adik Lu Sian…!”

Tan Hui mengejar dan ia berseru kaget ketika melihat tubuh nona itu terguling roboh. Cepat ia meloncat dekat dan memondong tubuh itu.

“Kau… terluka…?”

Bisiknya. Sambil merintih kesakitan Lu Sian berkata lirih.

“… punggungku… terkena… jarum beracun…!”

Lalu ia menjerit dan pingsan. Kagetlah semua orang melihat Tan Hui datang memondong tubuh seorang wanita cantik yang pingsan.

“Inilah Nona Lu Sian yang telah menolong Lian-ji dan membawanya pulang. Akan tetapi ia terluka parah, terkena racun. Lauw-ko, harap suka menjaga dan mengantar pulang Anak Lian lebih dulu kerumah, biar Adik Siok Lan menemaninya. Aku harus mengantar Nona Lu Sian ini ke seorang ahli pengobatan racun, sekarang juga!”

Orang yang suaranya parau itu adalah kakak dari mendiang isteri Tan Hui. Melihat Tan Hui memondong tubuh seorang wanita cantik seperti itu, ia mengerutkan keningnya dan berkata.

“Mengapa susah-susah? Apakah tidak lebih baik dirawat dipenginapan sini lalu memanggil tabib?”

“Ah, kau tidak tahu, Lauw-ko. Luka jarum beracun amat berbahaya, dan hanya ahli-ahli saja yang dapat mengobatinya. Sudahlah, Nona ini telah menyelamatkan anakku sampai mengorbankan diri, bagaimana aku dapat ragu-tagu lagi untuk menolongnya? Harap Lauwko suka menjaga Lian-ji baik-baik, dan Adik Siok Lan, aku mohon bantuanmu menemani keponakanmu.”

Setelah berkata demikian, sambil kedua lengan memondong tubuh Lu Sian yang lemas. Tan Hui berkelebat dan sebentar saja ia sudah berada diluar rumah penginapan.

“Tan-taihiap, sekali lagi kami menghaturkan terima kasih atas bantuanmu dan maafkan kami yang tidak mampu balas menolong Tai-hiap yang menghadapi kesukaran.”

Seorang diantara para piauwsu itu berteriak, namun Tan Hui tidak mempedulikan mereka, dengan kecepatan luar biasa ia telah menggunakan gin-kangnya untuk berlari cepat meninggalkan dusun itu. Setengah malam penuh ia berlari cepat, bahkan pada keesokan harinya ia masih kelihatan berlari-lari cepat keluar masuk hutan dan dusun. Setelah matahari naik tinggi, Tan Hui memasuki sebuah dusun yang sunyi dan tiba-tiba ia mendengar Lu Sian mengeluh dan Tan Hui girang sekali karena tadinya ia merasa kuatir melihat Lu Sian tidak pernah bergerak dalam pondongannya, dan wajahnya pucat.

“Bagaimana, Sian-moi? Sakit sekalikah?”

Ia berhenti sambil memandang wajah orang dalam pondongannya. Lu Sian membuka mata, mengeluh lagi perlahan, lalu mengangguk.

“Tan Hui Koko, kau hendak bawa aku kemanakah?”

“Di Lembah Sungai Yang-ce bagian selatan, ada seorang ahli pengobatan racun yang tinggal di kota I-kiang. Kalau aku berlari cepat, dalam tiga hari akan sampai disana, dan kau tentu akan tertolong.”

Lu Sian menggeleng kepala sambil mengerutkan alisnya yang hitam panjag dan bagus bentuknya.

“Percuma, Koko, akan terlambat…”

Kaget sekali Tan Hui mendenagar hal ini, ia seorang ahli pedang dan ahli gin-kang, tidak banyak mengetahui tentang senjata-senjata beracun, maka ia menjadi kaget dan gugup.

“Ah… kalau begitu… bagaimana baiknya Moi-moi?”

Sejenak Lu Sian diam saja, berpikir, lalu bertanya.

“Tan Hui Koko, mengapa aku membingungkan keadaanku? Kalau aku sampai mati pun kau tidak akan rugi apa-apa!”

“Ah, jangan kau bilang begitu, Moi-moi. Kau telah mengorbankan diri untuk menolong puteriku. Aku bersedia mengorbankan nyawa untuk membalas budimu yang amat besar itu.”

“Hemm, jadi hanya karena ingin membalas budi? Andaikata aku tidak menolong anakmu, tentu sekarang kau sudah tinggalkan aku mati kering dipinggir jalan tanpa peduli sedikit pun, bukan?”

“Ah… eh, bagaimana pula ini? Sian-moi, jangan kau berpikiran begitu! Biarpun kita baru saja berkenalan, akan tetapi aku… aku amat kagum dan suka kepadamu. Sudahlah, untuk apa bicara seperti ini? Sekarang yang paling penting, bagaimana harus membebaskanmu daripada bahaya racun. Sian-moi tadi kau bilang… dalam tiga hari terlambat. Bagaimana kau bisa bilang begitu? Apakah kau mengerti tentang pengaruh racun?”

“Aku tahu, bahkan aku mengerti bagaimana caranya mengobati luka karena jarum beracun ini. Akan tetapi aku sangsi apakah kau sudi melakukannya untukku.”

“Wah, bagus!! Tentu saja aku suka menolongmu, biarpun untuk itu aku harus korbankan apa juga. Moi-moi yang baik, lekas kaukatakan bagaimana aku dapat menyembuhkanmu!”

Girang sekali Tan Hui, hal ini dapat dirasakan oleh Lu Sian yang merasa betapa kedua lengan laki-laki gagah itu memeluk tubuhnya makin erat. Diam-diam Lu Sian tersenyum didalam hatinya.

“Tan-koko, tenanglah dulu. Kau ini lucu, melihat lukaku pun belum, kau sudah kebingungan tidak karuan. Lekaslah kau cari sebuah kamar penginapan didusun ini.”

“Kurasa tidak akan ada sebuah pun rumah penginapan didusun kecil seperti ini.”

Tan Hui menjawab sangsi, memandang keadaan dusun yang sunyi itu.

“Kalau begitu, kita sewa rumah seorang petani. Nanti akan kuberi petunjuk kepadamu untuk mengobati punggungku. Mudah-mudahan saja berhasil dan nyawaku masih belum bosan tinggal didalam badanku.”

Tan Hui girang sekali dan diam-diam ia menjawab ucapan Lu Sian.

“Siapa yang akan bosan tinggal didalam tubuh seindah tubuhmu?”

Akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu. Segera mereka bisa mendapatkan sebuah rumah kecil yang cukup bersih, yang mereka sewa dari keluarga petani. Dengan amat hati-hati Tan Hui meletakkan tubuh Lu Sian diatas sebuah pembaringan dalam kamar sederhana tapi cukup bersih dipondok itu.

“Aduhh…! Ah, punggungku yang terluka, kenapa kau telentangkan tubuhku…?”

Lu Sian mengeluh kesakitan, membuat Tan Hui makin bingung dan cepat-cepat ia membantu wanita itu tertelungkup.

“Lekas, Koko, lekas periksa punggungku, sebelah kiri, ah, sakit sekali rasanya. Panas, perih dan gatal-gatal…!”

Tan Hui bingung melihat pinggang dan pinggul didepannya.

“Ha… bagaimana bisa memeriksanya…?”

Ia tergagap karena memang ia merasa sungkan sekali. Punggung itu tertutup baju. Memeriksa punggung berarti harus membuka baju yang menutupnya, betapa mungkin?

“Ah, Koko, katanya kau hendak menolongku. Selagi nyawaku terancam oleh racun yang makin menghebat menjalar masuk mendekati jantungku, kau masih memakai segala sopan santun dan sungkan-sungkan? Katakanlah, kau mau menolongku atau tidak? Kalau tidak, lebih baik kau lekas pergi dan tinggalkan aku mati sendiri disini!”

“Moi-moi kau tahu aku ingin sekali menolong…”

“Kalau begitu, lekas kau buka baju dipunggungku, kau robek saja! Lekas periksa dan ceritakan kepadaku bagaimana macamnya dan dimana letaknya.”

Mendengar ucapan yang keras ini, lenyap kebingungan Tan Hui. Tangannya merenggut baju di atas punggung dan

“brettt!”

Baju luar berikut baju dalam yang tipis berwarna merah muda terobek oleh jari-jari tangannya yang kuat. Sejenak ia puyeng melihat kulit punggung yang putih halus seperti salju, dengan urat-urat merah membayang. Akan tetapi Tan Hui menggoyang kepalanya mengusir kepeningannya, dan ia berkerut kuatir melihat tujuh batang jarum merah menancap pada punggung berkulit putih halus itu, disebelah kiri!

“Tujuh batang jarum merah!”

Katanya dengan suara menggetar melihat betapa kulit disekitar jarum-jarum itu mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan hebat.

“Lekas cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!”

Karena ingin sekali menolong sedangkan dia sendiri memang tidak mengerti tentang senjata beracun, Tan hui memenuhi permintaan ini dengan cepat. Ketika tujuh batang jarum-jarum merah itu tercabut dan disimpan oleh Lu Sian yang memeriksa sebentar, tampak bekas tusukan jarum-jarum itu merupakan tujuh bintik-bintik merah. Lu Sian merogoh saku mengeluarkan dua batang jarum perak, memberikan jarum-jarum itu kepada Tan Hui.

“Tan-koko, kau cari lilin dan nyalakan lilin itu. Kemudian kau bakarlah ujung kedua jarum itu sebentar. Cepat, Koko. Racun ini sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan bertahan sampai dua hari lagi!”

Mendengar ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat mencari dan akhirnya datang kembali kedalam kamar membawa lilin yang dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua jarum.

“Sekarang kau tusuklah tepat dikedua jalan darah kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu, Koko, diamkan sebentar lalu kau tusukkan pada jalan darah hong-hu-hiat.”

Jari-jari tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya memegangi dua jarum perak, keningnya berkerut. Bermacam perasaan menggelora didalam dadanya. Perasaan gelisah kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh dan juga perasaan tidak karuan yang ditimbulkan oleh penglihatan didepannya! Lu Sian begitu bebas! Wanita ini seakan-akan menganggapnya bukan orang lain. Tidak sungkan-sungkan dan tidak malu-malu membuka robekan baju itu lebih besar lagi ketika ia menyuruh Tan Hui menusuk jalan darah dibawah pangkal lengan.

Biarpun dia merasa mulai lega hatinya karena kini disekitar bintik-bintik merah itu tidak kelihatan biru lagi, namun setiap kali menusukkan jarum dan ujung jarinya menyentuh kulit punggung atau kulit lambung, Tan Hui menggigil dan terpaksa meramkan kedua matanya.

“koko, kau kenapakah…?”

Pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui sadar. Ia membuka matanya dan merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa Lu Sian kini sudah duduk didepannya dan memandangnya dengan sepasang mata menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!

“Aku… aku… ah, aku, telah berdosa besar terhadapmu, Moi-moi. Betapa aku berani berlancang tangan, menghadapimu, dalam keadaan begini.”

Lu Sian meraih dan memegang lengan Tan Hui.

“Aiih, mengapa kau bilang begitu? Koko, kau telah mengobatiku, mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini, apa salahnya? Bersamamu aku tidak merasa malu. Tan Hui Koko, bukankah… bukankah kau suka pula kepadaku seperti aku kagum dan suka kepadamu?”

Tan Hui menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik jelita sukar dicari keduanya, berilmu tinggi pula. Laki-laki mana didunia ini yang takkan tergila-gila? Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila!

“Moi-moi, tentu saja aku suka kepadamu, aku kagum kepadamu. Akan tetapi ketahuilah, Sian-moi, aku hanya seorang duda yang sama sekali tidak cukup berharga untukmu dan….”

Tiba-tiba Lu Sian menutupkan jari-jari tangannya yang kecil dan berkulit halus itu didepan mulut Tan hui, mencegahnya bicara lebih lanjut. Betapapun hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada kelemahannya. Dan bagi pria, biasanya takkan kuat menghadapi rayuan wanita, betapa kuat pun si pria itu. Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat daripada gerak kilat ratusan anak panah atau ribuan mata pedang! Tan Hui adalah seorang pendekar yang memiliki nama besar. Nama julukan Hui-kiam-eng bukanlah nama kosong belaka. Ia merupakan seorang pendekar penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan, ditakuti lawan disegani kawan. Namun ia seorang laki-laki juga, malah ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki yang haus akan cinta kasih, yang haus akan kehadiran wanita di dekatnya.

Kalau saja ia tidak kematian isterinya, belum tentu ada wanita betapapun cantiknya akan dapat berhasil menggodanya. Akan tetapi kini keadaannya lain. Ia kehilangan isterinya, sedang haus akan cinta. Celakanya, ia berjumpa dengan seorang wanita seperti Lu Sian, seorang wanita yang hebat, cantik jelita, apalagi yang sudah menolong puterinya dengan pengorbanan. Wanita muda yang bajunya robek terbuka bagian punggung sampai hampir membuka dadanya, yang memegang tangannya, yang memandangnya dengan sinar mata mesra dan bibir tersenyum menantang. Herankah kita kalau kemudian Tan Hui terjungkal pertahanan batinnya dan tergila-gila membiarkan diri menjadi hamba nafsu asmara? Begitu tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya ini adalah sebuah pelanggaran besar bagi seorang satria, bagi seorang pendekar!

Lupa bahwa ia telah melanggar pantangan, melanggar susila. Lupa pula bahwa ia melanggar hukum keluarganya ketika ia berbisik-bisik menjanjikan kepada Lu Sian untuk menurunkan ilmu gin-kang yang luar biasa dengan keluarganya! Tan Hui, pendekar besar berjuluk Hui-kiam-eng itu telah benar-benar menjadi mabok oleh kecantikan wajah dan keharuman tubuh Lu Sian. Mereka berdua lupa akan segala, mengejar kesenangan yang tak kunjung puas. Sampai berpekan-pekan Tan Hui dan Lu Sian berdiam di dusun sunyi itu, setiap hari bermain-main dipinggir anak sungai dalam hutan, bersenda-gurau, tertawa-tawa dan bermain cinta, disamping berlatih ilmu gin-kang yang diturunkan oleh Tan Hui kepada kekasihnya. Ilmu gin-kang keturunan keluarga Tan Hui ini memang hebat dan aneh pula cara melatihnya.

Rahasia kehebatannya terletak dalam latihan pernapasan dan samadhi, cara penyaluran jalan darah diwaktu mempergunakan ilmu ini untuk bergerak atau berlari cepat. Di situlah terletak perbedaannya dengan gin-kang dari golongan lain. Dan cara melatihnya pun istimewa, yaitu dengan bersamadhi dalam keadaan telanjang bulat! Inilah sebabnya mengapa Tan Hui pernah menyatakan keraguannya untuk mengajarkan gin-kang, dan menyatakan bahwa hanya orang “dalam”

Atau keluarga sendiri yang boleh melatihnya, karena untuk mengajar orang lain, bagaimana mungkin dengan syarat seperti itu? Akan tetapi setelah Lu Sian si cantik jelita menjadi kekasihnya, menjadi isteri walaupun diluar pernikahan, tentu saja syarat itu tidak menyusahkan mereka lagi.

Karena Lu Sian memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, dan disamping ini juga amat cerdik, dalam waktu kurang lebih dua bulan saja ia sudah berhasil menguasai ilmu gin-kang yang diturunkan oleh kekasihnya kepadanya. Ia merasa girang sekali. Bukan hanya girang karena dapat mempelajari gin-kang yang terkenal didunia kang-ouw sebagai gin-kang nomor satu itu, juga ia merasa girang karena mendapat kenyataan bahwa Tan Hui adalah seorang kekasih yang menyenangkan hatinya. Seorang kekasih yang cocok dengannya, tidak seperti bekas suaminya, Jenderal Kam Si Ek, yang dalam segala hal ingin menonjolkan disiplin! Sudah dapat ia membayangkan berapa akan bahagia hidupnya disamping Tan Hui, karena kekasihnya ini sudah menyanggupi untuk berdua dengan dia menjelajah didunia kang-ouw, mencari ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi dan sedapat mungkin ingin menjadi suami isteri jagoan nomor satu didunia!

Dengan Tan Hui disampingnya, bukan tak mungkin cita-cita ini akan tercapai Akan tetapi, betapapun juga, manusia takkan mampu mengatur nasibnya sendiri kalau perbuatannya bertentangan dengan prikebajikan. Mimpi yang muluk-muluk ini ternyata menghadapi kegagalan total yang menyedihkan! Pagi hari itu, ketika pagi-pagi sekali Lu Sian mendahului kekasihnya bangun dan pergi mandi di anak sungai, kebetulan datang serombongan orang mencari Hui-kiam-eng Tan Hui didalam dusun. Mereka ini adalah serombongan piauwsu terdiri dari sembilan orang. Ketika bertemu dengan Tan Hui, mereka menceritakan bahwa mereka diminta tolong oleh kakak ipar pendekar ini untuk mencarinya sebagai pembalasan budi, tentu saja para piauwsu ini segera mencarinya.

Selain menyampaikan pesan kakak iparnya agar Tan Hui segera pulang, juga para piauwsu ini membawa berita yang membuat Tan Hui hampir pingsan saking kagetnya. Akan tetapi pendekar ini masih mampu menekan perasaannya dan segera ia menyuruh pergi para piauwsu itu secepatnya sambil mengirim pesan kepada kakak iparnya bahwa ia segera pulang. Demikianlah, ketika Lu Sian dengan wajah berseri, wajah seorang wanita dalam cinta, pulang dari anak sungai, ia disambut oleh Tan Hui dengan muka masam. Jelas sekali bahwa Tan Hui menahan-nahan gelora amarah yang mengamuk dihatinya. Menurutkan kata hatinya, ingin Tan Hui mengamuk, namun ia mencinta Lu Sian maka yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan singkat.

“Sian-moi, sampai saat ini sajalah hubungan kita. Aku hendak pergi sekarang. Selamat tinggal!”

“Eh-eh-eh, Koko, mengapa senda-guraumu tak enak benar pagi ini?”

Lu Sian menangkap lengan kekasihnya yang hendak pergi itu. Ia masih menganggap kekasihnya bergurau. Akan tetapi Tan Hui tidaklah bergurau. Ia merenggut lengannya yang dipegang Lu Sian secara kasar, sambil berkata.

“Aku tidak bergurau. Aku benar-benar akan pergi meninggalkanmu karena hendak menikah dengan Siok Lan, gadis dusun yang baik!”

Tiba-tiba sepasang mata Lu Sian berkilat marah. Suaranya dingin sekali ketika ia menghadapi Tan Hui, sambil berkata,

“Hemm, begitukah? Tan Hui, katakanlah apa yang menyebabkan perubahan pada dirimu ini! Mengapa kau marah-marah kepadaku dan seperti tiba-tiba membenciku? Apakah kesalahanku? Bukankah semalam kau masih memperlihatkan cinta kasih yang besat terhadap diriku dan…”

“Cukup?”

Tan Hui membanting kakinya dengan marah, sedangkan mukanya berubah menjadi merah.

“Jangan sebut-sebut lagi hal itu, jangan sebut-sebut lagi perbuatan biadab kita yang tak mengenal tata susila. Perbuatan terkutuk!”

“Tan Hui, apa maksudmu? Kita saling mencinta, aku menyerahkan jiwa ragaku sebulatnya kepadamu, dan kau bilang itu terkutuk?”

“Perbuatan jina yang terkutuk! Apa kau masih ingin memaksa aku bicara? Sudahlah, aku pergi!”

Tan Hui memaksa keluar dari pintu depan. Akan tetapi Lu Sian meloncat dan menangkap lengannya.

“Kau bicara! Kau keluarkan isi hatimu! Aku akan mati penasaran kalau kau tidak bicara. Hayo katakanlah, mengapa kau marah-marah dan membenci padaku!”

Dengan kening berkerut dan muka keruh Tan Hui membalikkan tubuhnya. Sejenak ia menunduk dan menarik napas panjang, lalu terdengar ia satu kali terisak.

“Setiap kali aku menanyakan riwayatmu, kau selalu mengelak. Kiranya kau menyembunyikan rahasia dan aku menjadi barang permainanmu. Liu Lu Sian! Setelah kau menipuku, mewarisi gin-kang dan menyeretku kedalam hubungan jina karena kau adalah isteri dari seorang Jederal Kam Si Ek, apakah kau sekarang masih tidak mau melepaskan aku?”

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara pahit sekali oleh Tan Hui, tajam seperti pedang menusuk dada Lu Sian.

“Hemm, kiranya kau sudah tahu bahwa aku puteri Beng-kauwcu dan bekas isteri Kam-goanswe? Bekas isteri, kataku, karena aku sudah meninggalkannya. Tan Hui Koko, semalam kau masih bersikap baik, mengapa pagi-pagi ini kau berubah? Sejak kapankah kau ketahui rahasiaku itu?”

“Tadi para piauwsu datang menyampaikan panggilan Lauw-ko dan mereka itu mendengar dari para pengemis Khong-sim Kai-pang tentang kau….”

“Uh-uh, begitukah? Koko berkali-kali kau bersumpah menyatakan cinta kasihmu. Apakah hal itu akan mudah kau lempar begitu saja? Apakah kau sama saja seperti lelaki-lelaki isi sampah yang bersumpah palsu, seperti kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah menghisap madu dari kembang? Apakah kau seorang laki-laki begitu rendah ahlak?”

Tan Hui marah.

“Liu Lu Sian, kau cukup tahu laki-laki macam apa aku ini! Aku pasti akan memenuhi janji-janjiku. Aku cinta kepadamu. Sampai detik ini pun aku masih cinta kepadamu, terkutuk! Akan tetapi kau adalah isteri Kam SI Ek, seorang pahlawan yang kuhormati. Aku telah berjina denganmu, ini saja sudah merupakan perbuatanku yang biadab, yang cukup membuat aku bisa mati karena malu. Akan tetapi engkau… hemm, Lu Sian, bagaimanakah Thian memberkahimu dengan wajah secantik itu dan tubuh seindah itu akan tetapi dengan hati serendah ini? Bagaimanakah kau seorang isteri dari seorang pahlawan terhormat bisa meninggalkan suami dengan bermain gila dengan laki-laki lain hanya untuk mencuri gin-kang? Kau manusia rendah, wanita tak tahu malu, biarpun aku cinta kepadamu, namun aku pun muak akan tingkah lakumu. Sudahlah, aku pergi sekarang, aku akan menikah dengan gadis kampung agar tidak dapat terjerat lagi oleh siluman betina macam engkau!”

Tan Hui meloncat jauh kedepan. Terdengar pekik kemarahan dan tangan kiri Lu Sian bergerak. Sinar merah menyambar kearah Tan Hui, disusul bentakannya,

“Tan Hui, kau terlalu menghinaku!”

Mendengar sambaran angin dari belakang, Tan Hui cepat mengelak dan tangannya menyambar. Ia berhasil menangkap sebatang diantara jarum-jarum yang tadi menyambarnya. Melihat jarum merah ditangannya itu. Tan Hui tertegun, kemudian kemarahannya memuncak. Ia tidak jadi lari pergi, malah kini ia kembali dan memaki-maki.

“Sungguh perempuan tak tahu malu! Jadi ketika kau terluka dahulu itu, hanyalah akalmu saja untuk merayu aku dan menyeret aku kedalam jurang perjinaan, ya? Yang melukai punggungmu adalah jarum-jarum merahmu sendiri!”

Lu Sian tersenyum mengejek.

“Apa salahnya seorang wanita mempergunakan segala macam akal untuk memperoleh cinta? Tan Hui, sejak semula bertemu denganmu, aku sudah kagum dan hal ini menimbulkan rasa cinta. Akan tetapi kiranya kau hanya seorang laki-laki pengecut, berani berbuat takut bertanggung jawab, melawan suara hati dan perasaan sendiri. Huh, muak perutku melihatmu!”