Kisah Si Bangau Merah: 16-20


“Akan tetapi, bagaimana kalau dia menolak, Ciangkun?”

Tanya seorang di antara tiga jagoan yang mukanya kuning dan matanya sipit.

“Hemm, kalau dia menolak, dia akan dijatuhi hukuman berat, juga keluarganya. Dia pasti tidak akan menolak uluran tanganku untuk menyelamatkan keluarganya,”

Kata pembesar itu sambil menyeringai dan nampaklah giginya yang besar-besar. Makin buruk orang itu kalau menyeringai, pikir Yo Han.

“Kalau begitu, semua jerih payah kita tidak akan ada gunanya, Ciangkun!”

Kata orang ke dua yang perutnya gendut sehingga kancing bajunya bagian bawah terlepas semua dan nampak kulit perut yang buncit itu.

“Benar, kalau begitu, apa artinya semua jerih payah ini? Terbasminya keluarga itu sama sekali tidak menguntungkan Ciangkun,”

Kata orang ke tiga yang tinggi kurus dan hidungnya seperti hidung burung kakatua, melengkung panjang ke bawah sehingga matanya nampak juling. Panglima itu terbahak.

“Ha-ha-ha, apa kalian kira aku begitu bodoh untuk membuang tenaga sia-sia belaka? Kalau mereka itu berkeras tidak mau menerimaku, aku akan menghadap Sri Baginda. Aku akan mencarikan pusaka itu sampai dapat, dengan imbalan anugerah, yaitu agar gadis jelita itu diserahkan kepadaku. Kalau Kaisar yang memerintahkan, mustahil orang she Gan itu berani membantah lagi. Ha-ha-ha!”

Tiga orang itu pun tertawa gembira dan memuji kecerdikan majikan mereka. Yo Han yang mengintai tidak ragu-ragu lagi. Sudah pasti panglima inilah yang bernama Coan Ciangkun dan tiga orang itu tentu anak buahnya, atau jagoan-jagoannya. Inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Kalau dia harus mencari pusaka pusaka itu, tentu akan sukar sekali karena panglima itu tentu menyembunyikannya dan amat sukar mencari pusaka yang disembunyikan di gedung sebesar itu, apalagi yang dipenuhi penjagaan ketat. Sekali dorong saja, jendela yang terkunci dari dalam itu terbuka dan kuncinya jebol. Sebelum empat orang itu hilang kaget mereka, tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda.

“Engkaukah yang disebut Coan Ciangkun?”

Tanya Yo Han dengan suara tenang sambil memandang panglima itu. Setelah hilang kagetnya dan melihat bahwa yang masuk secara lancang itu hanyalah seorang pemuda yang tidak memegang senjata dan berpakaian sederhana saja, bangkitlah kemarahan Coon Ciangkun.

“Sudah tahu aku Coan Ciangkun dan engkau berani masuk seperti maling? Apakah nyawamu sudah rangkap lima? Tangkap dia!”

Bentak panglima itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Yo Han Mendengar ini, Si Perut Gendut tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, cacing tanah berani sekali engkau lancang masuk ke sini! Hendak mencuri apakah? Hayo cepat berlutut, atau akan kupatah-patahkan tulang kedua kakimu agar engkau berlutut dan minta ampun kepada Coan Ciangkun!”

Yo Han bersikap tenang dan matanya masih terus memandang kepada panglima itu.

“Aku tidak ingin mencuri apa-apa, bahkan hendak menangkap pencuri dua buah benda pusaka dari gedung pusaka istana!”

Tentu saja ucapannya ini mengejutkan empat orang itu.

“Tong Gu, cepat tangkap dia!”

Bentak panglima itu kepada Si Gendut yang bernama Tong Gu.

“Haiiiittt….!”

Tong Gu menerjang ke depan, gerakannya seperti sebuah bola menggelundung menuju ke arah Yo Han dan agaknya dia benar-benar hendak mematahkan kedua tulang kaki Yo Han karena begitu menerjang, dia sudah membuat gerakan menyapu dengan kaki kanannya yang pendek namun besar. Gerakannya, biarpun berperut gendut, gesit sekali dan kaki kanannya sudah menyambar ke arah kedua kaki Yo Han. Namun, Yo Han sama sekali tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan berdiri tegak dan masih memandang kepada Coan Ciangkun. Karena itu, tanpa dapat dicegah lagi, kaki kanan Tong Gu, menyambar kedua kakinya dengan amat kuatnya.

“Bresss….!”

Bukan tulang kedua kaki Yo Han yang patah-patah, melainkan Si Gendut yang berteriak-teriak kesakitan, meloncat-loncat dengan kaki kiri dan mencoba untuk memegangi kaki kanan dengan kedua tangannya. Akan tetapi karena kedua lengannya pendek, sedangkan kaki kanan itu pun pendek,

Maka sukar baginya untuk dapat memegang kaki itu dan dia pun berjingkrak menari-nari dengan sebelah kaki, matanya terbelalak mulutnya ngos-ngosan seperti orang makan mrica saking nyerinya, karena kakinya terasa kiut-miut seperti pecah-pecah tulangnya. Akan tetapi, dua orang kawannya menjadi marah dan mereka pun siap untuk menerjang. Yo Han tidak mempedulikan mereka. Dia melihat panglima itu pun terkejut dan bangkit dari tempat duduknya, siap hendak melarikan diri. Sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meloncat ke dekat panglima itu dan jari tangannya menotok. Tubuh panglima itu menjadi lemas dan dia pun jatuh terduduk kembali ke atas kursinya, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak karena Yo Han sudah menghampiri tiga orang tukang pukul itu dengan sikap tenang.

Kini Tong Gu Si Gendut sudah mencabut golok besarnya. Tulang kakinya tidak patah, akan tetapi membengkak dan kebiruan, nyeri sekali. Si Muka Kuning bermata sipit yang bernama Cong Kak juga mencabut sepasang pedangnya, sedangkan Si Hidung Kakatua mencabut rantai baja. Mereka bertiga mengepung Yo Han, namun pemuda ini bersikap tenang. Dia tidak suka berkelahi, tidak suka menggunakan kekerasan, akan tetapi sekarang dia melihat kebenaran pendapat mendiang gurunya. Kepandaian silat memang amat penting, untuk menghadapi orang-orang yang sewenang-wenang seperti ini! Bukan untuk berkelahi, bukan untuk menggunakan kekerasan, melainkan untuk menundukkan yang jahat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan!

“Lebih baik kalian membujuk majikan kalian untuk menyerahkan dua benda curian itu kepadaku. Kalau kalian menggunakan kekerasan, maka kalian sendiri yang akan menjadi korban kekerasan kalian itu!”

Yo Han masih menasihati, karena kalau dapat, dia hendak menyelesaikan masalah itu tanpa harus melawan tiga orang ini. Tentu saja nasihatnya itu menggelikan bagi orang-orang yang biasa menggunakan kekerasan itu. Mereka sudah marah sekali dan tanpa dikomando lagi, ketiganya sudah memutar-mutar senjata dan menggerakkan senjata mereka dengan kuat dan cepat, menerjang ke arah Yo Han.

Pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, namun belum pernah dia mempergunakannya dalam perkelahian. Biarpun demikian, melihat gerakan tiga orang yang bagi orang lain nampak cepat itu, baginya kelihatan lamban sekali dan dia dapat melihat jelas ke arah mana senjata mereka itu menyambar. Dengan kelincahan tubuhnya yang sudah mempelajari segala macam ilmu tari dari Thian-te Tok-ong yang sebenarnya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi, dengan amat mudah dia mengelak ke sana sini dan semua serangan senjata itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya. Yo Han tidak ingin membunuh orang, bahkan melukainya pun dia tidak tega, walaupun dia tahu bahwa tiga orang ini biasanya mempergunakan kekerasan untuk menindas orang lain.

Dia harus bekerja cepat agar urusan itu segera dapat diselesaikannya dengan baik. Maka, begitu tangan kakinya bergerak dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata tiga orang pengeroyoknya, tiba-tiba tiga orang itu berturut-turut, jatuh terpelanting dalam keadaan lemas tertotok. Senjata mereka terlepas dari pegangan dan mengeluarkan suara berisik ketika terjatuh ke atas lantai. Akan tetapi, agaknya suara ribut-ribut itu telah terdengar oleh para pengawal panglima itu. Sebelas orang perajurit pengawal berserabutan memasuki ruangan yang luas itu dengan senjata di tangan dan begitu masuk, mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi, melihat majikan mereka duduk tak bergerak dan tiga orang jagoan itu roboh dan tak mampu bergerak pula. Maka, serentak mereka mengepung Yo Han dan menyerangnya dengan senjata mereka.

Yo Han maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat, akan makin sukarlah keadaannya. Dia pun mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan seekor burung walet beterbangan, tubuhnya menyambar-nyambar dan kembali para pengeroyoknya roboh tertotok seorang demi seorang. Tubuh mereka berserakan, ada yang bertumpuk dan dalam waktu yang singkat, sebelas orang itu pun sudah roboh semua tanpa mengalami luka, hanya tertotok dan lemas tak mampu bergerak. Sebelum datang lagi pengeroyok, sekali loncat Yo Han telah mendekat! Coan Ciangkun yang marah duduk tertotok dan tak mampu bergerak. Yo Han membebaskan totokannya terhadap pembesar itu dan Coan Ciangkun dapat pula bergerak. Akan tetapi dia tidak berani bengkit berdiri karena pemuda yang lihai itu telah mengancamnya dengan jari tangan di leher!

“Mau apa engkau? Engkau akan dihukum mati untuk ini!”

Kata Coan Ciangkun dengan nada marah.

“Pasukanku akan menangkapmu!”

“Sebelum aku di tangkap, aku akan dapat membunuhmu lebih dulu, Ciangkun!”

Yo Han mengancam. Wajah yang marah itu seketika menjadi pucat karena Sang Panglima maklum bahwa pemuda yang dengan mudahnya merobohkan empat belas orang pengawalnya, tentu tidak hanya menggertak, akan tetapi benar-benar akan dapat membunuhnya dengan mudah.

“Apa yang kau inginkan?”

Katanya dan biarpun nadanya masih membentak, namun suara itu gemetar. Yo Han mendengar suara ribut-ribut di luar ruangan, suara banyak orang dan dia tahu bahwa tentu pasukan penjaga sudah datang mengepung ruangan itu.

“Pertama, kau perintahkan agar pasukanmu mundur dan jangan mengganggu percakapan kita di ruangan ini. Hayo cepat lakukan!”

Sengaja dia menyentuh leher panglima itu dengan jari-jari tangannya. Panglima itu bergidik dan dia pun berseru dengan suara nyaring.

“Pasukan jaga, semua mundur dan jangan ganggu aku Kami sedang bicara dan tidak boleh siapa pun mengganggu kami!”

Suaranya dikenal oleh para penjaga dan biarpun merasa heran, mereka semua mendengar dan tidak berani mendekati ruangan itu walaupun di sebelah sana mereka tetap mengatur pengepungan karena mereka tahu bahwa, ada seorang asing bersama majikan mereka, dan bahwa belasan orang pengawal telah dirobohkan orang asing itu.

“Bagus, Ciangkun. Kalau engkau memenuhi semua permintaanku, aku akan membebaskanmu dan tidak akan mengganggumu lagi. Sekarang, keluarkan dua buah benda mustika yang kau curi dari dalam gedung pusaka istana itu!”

Wajah itu semakin pucat.

“Apa…. apa maksudmu? Pusaka…. yang mana….?”

“Tidak usah berpura-pura lagi, Ciangkun. Aku sudah tahu semuanya. Engkau mendendam kepada keluarga Gan karena lamaranmu ditolak, dan untuk membalas sakit hati itu, engkau sengaja menyuruh orang mencuri dua buah benda pusaka dari dalam gedung pusaka istana agar Gan Taijin menerima hukuman. Dan engkau menjanjikan kepada Gan Taijin untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu asal dia mau menyerahkan puterinya kepadamu!”

Sepasang mata itu terbelalak.

“Tidak! Tidak! Mana buktinya bahwa aku melakukan semua itu?”

Yo Han memandang ke arah meja di depan panglima itu. Sabuah meja terbuat dari papan yang tebal. Dia menggerakkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ujung meja.

“Krekk-krekk….!”

Dan ujung meja itu hancur menjadi bubuk dalam cengkeramannya. Wajah panglima itu menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak ketakutan.

“Ciangkun, apakah lehermu lebih keras daripada papan meja ini?”

“Jangan…. jangan bunuh aku…. apa yang kau kehendaki?”

Pembesar itu berkata, suaranya kehilangan keangkuhannya, bernada menyerah.

“Coan Ciangkun, engkau seorang laki-laki, dan memegang jabatan tinggi sebagai panglima. Semestinya engkau seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi perbuatanmu ini sungguh memalukan sebagai seorang laki-laki. Kalau pinanganmu ditolak, itu berarti bahwa nona Gan Bi Kim bukan jodohmu. Kenapa engkau hendak memaksanya dengan cara yang begini curang dan pengecut? Kedudukanmu tinggi, akan tetapi watakmu sungguh rendah. Sekarang, aku hanya ingin engkau memperbaiki kesalahanmu, mengembalikan dua buah benda pusaka itu kepadaku. Cepat, atau aku akan kehilangan kesabaranku dan tanganku yang gatal-gatal ini akan mencengkeram lehermu atau kepalamu!”

Sengaja Yo Han meraba-raba leher itu dan Coan Ciangkun bergidik.

“Jangan bunuh…. baik, akan kukembalikan….! Tapi…. dua buah benda itu disimpan oleh Tong Gu itu….”

Dia menunjuk ke arah tubuh gendut Tong Gu, seorang di antara tiga jagoannya tadi, dengan telunjuk yang menggigil. Yo Han dapat menduga bahwa panglima itu tidak main-main atau hendak menipunya. Bagaimanapun juga, panglima itu telah berada di dalam kekuasaannya dan tidak akan mampu berbuat apa pun.

“Akan kusadarkan dia dan cepat perintahkan dia mengambil dua buah pusaka itu!”

Katanya dan sekali tangannya bergerak, dia telah membebaskan totokan Tong Gu. Si Gendut itu dapat bergerak dan meloncat dengan sikap hendak menyerang. Akan tetapi Coan Ciangkun menghardik-nya.

“Tolol, apa yang akan kau lakukan?”

Dia memang mendongkol sekali melihat ketidakbecusan para jagoannya. Malawan seorang pemuda saja, mereka bertiga roboh, bahkan belasan orang pengawalnya juga roboh. Dan sekarang, masih berlagak hendak melawan! Tong Gu terkejut dan membungkuk di depan pembesar itu.

“Maafkan hamba…. hamba kira….”

“Tidak usah banyak cakap. Cepat kau ambil dua buah pusaka itu dan bawa ke sini!”

Perintah Coan Ciangkun.

“Baik, Ciangkun!”

Kata Tong Gu. Sebelum dia pergi Yo Han berkata,

“Tong Gu, jangan coba untuk main gila. Ingat, nyawa majikanmu berada di dalam tanganku. Dia akan mati sebelum engkau dapat melakukan sesuatu terhadap diriku!”

“Kalau engkau main gila, akan kusuruh hukum siksa sampai mati!”

Bentak Coan Ciangkun yang agaknya ingin cepat-cepat bebas dari tangan pemuda yang lihai itu.

“Cepat pergi dan ambil benda-benda itu!”

Tong Gu keluar dari ruangan itu dan tentu saja dia disambut oleh hujan pertanyaan dari para rekannya di luar ruangan. Akan tetapi, dia memberi isarat dengan telunjuk di depan mulut.

“Gawat Ciangkun telah dikuasai iblis itu. Kalau kita bergerak, tentu Coan Ciangkun akan dibunuhnya. Kita tidak boleh bergerak sebelum Ciangkun dibebaskan. Kepung saja dari luar, jangan sampai ada yang lolos. Aku harus mengambilkan pusaka itu sekarang juga,”

Bisiknya kepada para pimpinan pasukan. Kini setelah penghuni gedung itu telah terbangun dan suasananya menjadi panik. Namun, pasukan itu hanya mengepung di luar gedung, dan keluarga Coan Ciangkun berkumpul di sebelah dalam, dijaga oleh pasukan pengawal dengan ketat. Tong Gu tidak berani mengabaikan perintah Coan Ciangkun karena dia maklum sepenuhnya bahwa nyawa majikannya dalam ancaman bahaya maut. Dia tahu betapa lihainya pemuda yang menawan majikannya itu.

Bukan saja dia dan dua orang rekannya yang terkenal jagoan roboh di tangan pemuda itu, juga belasan orang pengawal roboh dalam waktu singkat. Kepandaian pemuda itu tidak wajar, tidak seperti manusia biasa! Tong Gu muncul kembali ke dalam ruangan itu. Keadaan di situ masih seperti tadi. Coan Ciangkun masih duduk menghadapi meja yang patah ujungnya, dan pemuda itu masih berdiri di belakang panglima dengan sikap tenang sekali. Justru ketenangan sikap pemuda itu yang membuat Tong Gu merasa seram. Dia meletakan bungkusan dua buah banda itu di atas meja depan Coan Ciangkun. Yo Han lalu membuka bungkusan itu dan melihat bahwa memang itulah dua benda pusaka yang hilang. Dia sudah mendapat keterangan jelas dari Gan Seng bagaimana bentuk dan rupa dua buah benda pusaka itu. Tanpa ragu lagi, dia mengambil benda-benda itu dan menyimpannya ke dalam saku jubahnya.

“Kami telah menyerahkan dua buah benda pusaka itu, sekarang bebaskan kami dan pergilah, jangan ganggu kami lagi!”

Kata Coan Ciangkun menuntut.

“Nanti dulu, Ciangkun,”

Kata Yo Han dan dia memandang kepada Tong Gu lalu berkata,

“Tong Gu, cepat kau sediakan kertas dan alat tulis untuk Coan Ciangkun!”

Tong Gu tidak berani membantah dan di dalam ruangan itu memang tersedia alat tulis dan kertasnya. Setelah perlengkapan itu berada di atas meja, Yo Han lalu berkata,

“Ciangkun, sekarang tulislah surat pengakuanmu bahwa engkau yang melakukan pencurian itu!”

Sepasang mata itu terbelalak.

“Akan tetapi…. engkau ingin melaporkan aku dan mence-lakakan aku….?”

Yo Han tersenyum.

“Kami bukanlah orang-orang macam engkau yang suka bertindak curang, Ciangkun. Surat itu perlu untuk pegangan Gan Taijin, agar engkau tidak lagi mengganggunya. Kalau engkau berani mengganggunya, maka tentu surat pengakuan itu akan diserahkannya kepada Sri Baginda Kaisar.”

Panglima Coan itu menjadi lemas. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan kelak akan membalas semua ini kepada Gan Seng, kini harapannya itu membuyar seperti asap tertiup angin. Dia telah kalah mutlak dan sebagai seorang ahli perang, dia pun tahu bahwa ada waktu menang dan ada pula waktu kalah. Dan sekali ini, dia benar-benar kalah dan tidak berdaya. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera mengambil pena bulu dan menuliskan surat pengakuan seperti yang dikehendaki Yo Han. Yo Han mendikte dan diturut oleh panglima itu. Setelah selesai, Yo Han mengambil surat itu dan membacanya sekali lagi. :

Saya yang bertanda tangan di bawah ini mengaku telah mencuri dua benda pusaka, yaitu cap kebesaran dan bendera lambang kekuasaan, dari dalam gudang pusaka istana. Perbuatan itu saya lakukan untuk membalas dendam dan mencelakakan keluarga Gan Seng, karena lamaran saya terhadap puterinya telah ditolaknya. Kemudian, karena menginsafi perbuatan saya yang jahat, saya mengembalikan dua buah benda pusaka itu dan berjanji tidak akan mengganggu keluarga Gan lagi.

Tertanda saya,
PANGLIMA COAN.

Yo Han menggulung surat pengakuan itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya pula. Diam-diam Coan Ciangkun mengepal tinju. Masih ada harapan untuk menebus kesalahannya, yaitu dengan menghadang pemuda ini, mengerahkan pasukan dan menangkapnya sebelum pemuda itu menyerahkan dua benda pusaka dan surat pengakuannya kepada Gan Seng. Kalau pemuda ini dapat ditangkapnya, semua itu dapat dirampasnya kembali, dan dia dapat menebus kekalahannya saat itu. Akan tetapi, harapan terakhir ini membuyar seperti gantungan terakhir pada sehelai rambut yang putus ketika pemuda itu memegang lengan kanannya dan berkata dengan lembut tapi nadanya memerintah,

“Mari, Ciangkun. Kau antar aku keluar dari gedung ini!”

Tentu saja hatinya protes karena perintah itu merupakan tanda kekalahan terakhir baginya, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan kepala menunduk, dia melangkah keluar dari ruangan itu, pergelangan tangan kanannya digandeng Yo Han, seperti dua orang sahabat baik jalan bersama, seolah-olah panglima itu mengantar seorang tamu yang akrab keluar meninggalkan rumahnya! Para prajurit dan pengawal yang tadinya sudah mengepung gedung itu, kini hanya melongo saja tidak berani bertindak apa-apa karena komandan mereka pun diam dalam seribu bahasa, tidak berani mengeluarkan komando untuk melakukan penyergapan! Setelah tiba di pintu gerbang depan, Yo Han berkata kepada panglima itu.

“Coan Ciangkun, terima kasih atas segala kebaikanmu. Mudah-mudahan saja engkau tidak melakukan kekeliruan-kekeliruan selanjutnya. Selamat tinggal!”

Sekali berkelebat, pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam. Beberapa orang perwiranya berloncatan keluar dengan pedang di tangan, hendak melakukan pengejaran. Akan tetapi Coan Ciangkun mengangkat tengan kanan ke atas. Dia maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai dan kalau dia salah langkah lagi, mungkin dia tidak akan tertolong dan surat pengakuannya tadi merupakan ujung pedang yang sudah ditodongkan, di depan dadanya!

“Jangan kejar dia! Biarkan pergi, aku telah kalah,”

Katanya dengan lemas dan dia pun memasuki gedungnya. Tentu saja anak buahnya tidak berani melanggar perintah ini. Apalagi pemuda itu sudah lenyap dan mereka tidak tahu harus mencari dan mengejar ke mana. Ketika Yo Han menyerahkan dua buah benda pusaka itu bersama surat pengakuan Coan Ciangkun, Gan Seng dan isterinya menjadi demikian gembira dan terharu sehingga kalau tidak dicegah oleh Yo Han, mau rasanya mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu! Yo Han bukan saja telah menyelamatkan Gan Seng, akan tetapi juga seluruh keluarganya dari malapetaka yang amat besar! Gan Seng merangkulnya dan kedua matanya basah, sedangkan isterinya sudah menangis saking harunya, dirangkul puteri mereka, Gan Bi Kim, yang juga merasa gembira bukan main.

“Yo Han, engkau sungguh merupakan bintang penolong dan penyelamat kami sekeluarga. Entah bagaimana keluarga kami akan dapat membalas budimu ini, Yo Han.”

“Aih, Paman Gan, kenapa bicara seperti itu? Saya hanya melaksanakan tugas saya, memenuhi perintah dan pesan terakhir dari mendiang Suhu. Kalau Paman hendak berterima kasih, semestinya berterima kasih kepada Suhu Ciu Lam Hok karena saya hanya mewakili beliau saja.”

Nenek Ciu Ceng juga segera sembuh seketika ketika mendengar hasil baik yang diperoleh Yo Han dalam menyelamatkan keluarga puteranya.

Ketika diberi tahu tentang kematian kakaknya, nenek ini menangis dan menuntut kepada puteranya agar malam itu juga diadakan sembahyang terhadap arwah kakaknya, mendiang kakek Ciu Lam Hok, yang telah mengirim muridnya dan menyelamatkan mereka. Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega untuk menceritakan keadaan kakek Ciu Lam Hok yang buntung kedua kaki tangannya itu. Biarlah mereka menganggap bahwa suhu hidup sampai saat terakhir dalam keadaan sehat dan berbahagia, pikirnya. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar nenek Ciu Ceng yang bersembahyang depan meja sembahyang itu menangis lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, seolah-olah suhunya masih hidup dan berdiri atau duduk di situ.

“Hok-ko, kami sekeluarga hutang budi dan nyawa kepada muridmu! Oleh karena itu, ijinkanlah kami mempererat ikatan antara muridmu dengan keluarga Gan Seng, keponakanmu. Kami mohon persetujuanmu agar muridmu dapat menjadi jodoh cucuku Gan Bi Kim.”

Tentu saja Yo Han terkejut bukan main. Dia tidak dapat mengeluarkan kata apa pun dan dia lalu diam-diam menyingkir dari ruangan itu, menuju ke kamar yang sudah dipersiapkan untuk dia bermalam di rumah keluarga Gan itu.

Dia tidak tahu bahwa gadis cantik itu pun menjadi merah sekali wajahnya dan seperti juga dia, Bi Kim cepat lari memasuki kamarnya. Malam itu Yo Han tidak dapat tidur pulas. Gelisah dia memikirkan ucapan nenek Ciu Ceng. Ucapan itu seperti terdengar terus bergema di dalam telinga-nya. Dia akan di jodohkan dengan Bi Kim! Terjadi semacam pertempuran di dalam hatinya. Ada suara-suara yang seolah memaksanya untuk membayangkan kesenangan-kesenangan yang akan dinikmatinya kalau dia menjadi suami Bi Kim. Dia seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan tidak punya apa-apa, mendadak akan menjadi suami seorang gadis puteri bangsawan! Bi Kim seorang gadis yang cantik jelita, berdarah bangsawan dan kaya raya. Kalau dia menjadi suaminya, maka sekaligus derajatnya akan ter-angkat naik tinggi sekali!

Dia akan mempunyai seorang isteri yang cantik jelita, dari keluarga bangsawan yang terhormat dan menurut penglihatannya baik budi. Dia akan menjadi seorang yang dimuliakan, dihormati dan kaya raya. Bahkan besar kemungkinan dia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Dan yang lebih dari semua itu, Bi Kim adalah cucu keponakan mendiang suhunya! Mau apalagi? Belum tentu selama hidupnya dia akan mendapat kesempatan sebaik itu, menerima anugerah sebesar itu. Demikian bisikan di dalam hatinya yang menonjolkan segi-segi yang akan mendatangkan kesenangan bagi hidup-nya. Akan tetapi, ada suara lain yang menentangnya. Suara ini menonjolkan hal-hal yang sebaliknya. Mengingatkan dia bahwa kalau dia menerima perjodohan itu, dia akan kehilangan kebebasannya. Dia akan terikat di situ.

Dan tiba-tiba saja bayangan seorang anak perempuan yang mungil dan berpakaian merah muncul dalam benaknya. Sian Li! Bayangan anak ini selalu saja muncul setiap kali harinya mengalami guncangan atau dalam keadaan kesepian atau gelisah seperti sekarang ini. Sian Li yang manis, yang mungil, yang lincah jenaka, yang amat sayang kepadanya dan amat disayangnya! Dia ingin bertemu kembali dengan Sian Li! Dan kalau dia menjadi mantu keluarga Gan di kota raja, dia terpaksa harus tinggal di situ, padahal dia masih harus melaksanakan tugas lain yang dipesan suhunya, yaitu mencari mutiara hitam pusaka milik gurunya yang hilang dan kabarnya dibawa seorang kepala suku bangsa Miao! Ah, inilah yang dapat dia jadikan alasan! Mendapatkan jalan untuk dipergunakan sebagai alasan penolakannya hatinya tenang dan dia pun dapat tidur pulas menjelang pagi. Dia hanya tidur selama dua jam saja karena pada keesokan harinya,

Pagi-pagi sekali ketika terdengar kokok ayam jantan, dia sudah bangun kembali. Tubuhnya terasa segar. Jauh lebih menyehatkan tidur selama dua jam dengan pulas daripada tidur semalam suntuk dalam keadaan gelisah. Dia segera mandi karena dalam gedung besar itu selalu tersedia air secukupnya di kamar mandi. Tubuhnya makin nyaman dan dia pun berganti pakaian dan melihat bahwa rumah itu masih sunyi, agaknya penghuninya masih tidur, dia pun keluar melalui pintu belakang menuju ke taman bunga yang berada di belakang. Agaknya, setiap rumah gedung seorang bangsawan atau hartawan pasti mempunyai sebuah taman bunga yang indah. Taman bunga milik keluarga Gan itu pun luas dan indah sekali, terdapat kolam ikan yang lebar dan anak sungai buatan yang selalu mengalirkan air yang jernih.

Ada beberapa buah jembatan yang cantik sekali, dibuat dengan seni indah dan dicat merah kuning. Ada pondok kecil tempat berteduh kalau hawa sedang panas. Yo Han mengagumi keindahan taman itu dan karena pada waktu itu musim bunga sedang mulai, maka sebagian besar tanaman di situ mulai berkuncup dan berbunga. Bahkan teratai merah dan putih di kolam ujung juga mekar meriah. Tiba-tiba Yo Han terkejut dari lamunannya ketika dia melihat seorang wanita berdiri di dekat kolam bunga teratai, membelakanginya. Tadi dia tidak melihatnya karena serumpun mawar menutupinya dan sekarang dia melihatnya, akan tetapi sudah terlampau dekat dan selagi dia hendak cepat membalikkan tubuh pergi dari situ, orang itu sudah membalikkan tubuh memandangnya dan menegur.

“Yo-twako (Kakak Yo)….”

Yo Han merasa serba salah. Hendak pergi dapat menimbulkan kesan tidak ramah dan sombong, kalau tinggal di situ dapat dianggap kurang sopan karena bertemu dengan gadis puteri tuan rumah di pagi buta dalam taman. Apalagi mengingat bahwa semalam, nenek gadis itu menjodohkan dia dengan Bi Kim. Dia cepat merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk untuk memberi hormat.

“Kim-moi (Adik Kim), selamat pagi! Aku tidak tahu bahwa engkau berada di sini, maafkan aku kalau mengganggu ketenanganmu.”

Wajah gadis itu berubah kemerahan dan ia menahan senyumnya sambil memandang dari bawah dengan kepala menunduk. Kerling matanya sungguh amat menarik, kerling sopan dan malu-malu.

“Ah, Yo-toako kenapa bersikap amat sungkan? Tentu saja tidak meng-ganggu. Akan tetapi, kulihat sepagi ini engkau sudah bangun, sudah mandi dan berpakaian rapi!”

“Benar, Kim-moi, karena aku hanya menanti sampai orang tuamu dan nenekmu bangun untuk berpamit dari mereka.”

Bi Kim mengangkat muka dan menatap wajah Yo Han sepenuhnya dengan mata terbelalak. Diam-diam Yo Han terpesona. Mata itu demikian indahnya ketika terbelalak. Seperti lukisan! Nampak betapa sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu agak terangkat menjauhi mata betapa bulu mata yang halus lebat itu bergerak-gerak menimbulkan bayang-bayang gelap di sekitar mata, dan biji mata itu nampak lebih lebar dari biasanya, begitu bening dan lembut, mengkilat basah.

“Toako…. kau…. kau mau berpamit? Mau pergi….?”

Sejenak dua pasang mata bertemu dan mata yang terbelalak itu akhirnya menunduk kembali, terbawa muka yang ditundukkan. Dalam suara itu terkandung getaran seperti orang yang menangis sehingga Yo Han menjadi terheran-heran. Dia menganggukkan muka dan kalau gadis itu masih memandangnya, tentu dia tidak akan mengeluarkan suara, cukup dengan meng-angguk saja. Akan tetapi karena gadis itu menunduk dan tidak memandangnya, tentu saja anggukan kepalanya sebagai jawaban itu tidak akan terlihat, dan sikap gadis itu jelas menuntut jawaban.

“Benar, Kim-moi. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku,”

Katanya lirih dan singkat. Gadis itu mengangkat mukanya dan Yo Han merasa semakin heran. Gadis itu jelas menangis, atau setidaknya berlinang air mata! Sungguh aneh!

“Akan tetapi, semalam nenek….”

Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya dan menunduk makin dalam, agaknya baru teringat bahwa ia telah mengeluarkan ucapan yang sama sekali tidak pantas. Ia tidak sengaja berkata demikian. Ucapan neneknya semalam yang menjodohkan ia dengan pemuda ini terngiang di telinganya sepanjang malam, membuat ia tidak dapat tidur dan pagi-pagi ini ia keluar ke taman dengan suara neneknya masih terus mengiang di telinganya. Oleh karena itulah, tanpa disadari dan tanpa disengaja, perasaannya itu terucapkan oleh mulutnya dan biarpun ditahannya, namun ia telah menyebut neneknya dan tentu pemuda itu dapat mengerti. Betapa memalukan! Memang Yo Han mengerti dan dia pun tertegun. Kiranya seperti juga dia, usul nenek Ciu Ceng itu membuat gadis ini menjadi gelisah!

“Maksudmu, pernyataan nenek Ciu Ceng tentang…. perjodohan itu, Kim-moi?”

Mendengar betapa ucapan pemuda itu terdengar wajar dan santai, perlahan-lahan kecanggungan yang dirasakan gadis itu pun berkurang dan ia berani mengangkat muka meman-dang wajah Yo Han. Bi Kim mengangguk dan bertanya lirih,

“Bagaimana pendapatmu tentang usul nenek itu?”

Hemm, gadis ini cukup tabah, pikir Yo Han. Dan dia merasa girang sekali. Memang jauh lebih baik membicarakan urusan ini dengan hati terbuka, daripada harus menyimpannya dalam hati dan menjadi ganjalan kelak. Dia tahu bahwa Bi Kim adalah seorang gadis terpelajar dan mampu berpikir jauh dan berpandangan luas, tidak sempit seperti gadis-gadis yang tiada pendidikan yang baik.

“Nanti dulu, Kim-moi. Karena usul itu datang dari pihak keluargamu, maka aku ingin sekali mendengar dulu bagaimana pendapatmu dengan pertanyaan nenek itu. Lebih baik kita bicara dengan terus terang, karena hal ini menyangkut kehidupan kita berdua di masa mendatang. Nah, katakan bagaimana pendapatmu?”

Kembali wajah gadis itu memerah. Biarpun dia bukan gadis dusun dan berpendidikan, namun bicara tentang urusan perjodohan tentu saja membuat ia merasa kikuk dan malu. Ia kembali menunduk dan suaranya terdengar gemetar dan canggung, juga lirih.

“Apa yang dapat kukatakan, Toako? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami, kalau tidak ada bantuanmu, tentu Ayahku dihukum dan kami yang menjadi keluarganya juga tidak akan lolos dari hukuman. Lebih lagi, kalau tidak ada engkau yang menundukkan panglima jahanam itu, dia tentu akan terus merongrong dan menggangguku. Kini kami bebas dan merasa lega. Semua ini karena pertolongan-mu. Tentu saja aku…. aku…. ah, bagaimana aku akan dapat menolak? Aku…. eh setuju sekali.”

Yo Han mengerutkan alisnya.

Dia mengerti akan isi hati gadis itu. Tidak hanya karena ingin balas budi! Memang gadis itu agaknya suka kepadanya. Hal ini mudah diketahuinya dari pandang matanya dan sikapnya, dan jantungnya sendiri berdebar tegang. Betapa akan senangnya disayang oleh seorang gadis secantik jelita Bi Kim! Akan tetapi, kembali wajah seorang anak perempuan berpakaian merah muncul di benaknya, mengusir bayangan menyenangkan dari Bi Kim, wajah Sian Li! Dan teringatlah dia akan tugasnya yang penting, yaitu mencari mutiara hitam gurunya. Maka, dia pun diam saja, termangu-mangu dan tidak tahu harus bicara apa. Karena pemuda itu tidak menanggapi pengakuannya tadi, Bi Kim memberanikan diri melawan rasa canggung dan malu, mengangkat muka memandang. Ia melihat pemuda itu bengong saja, maka ia pun balik bertanya.

“Bagaimana dengan pendapatmu sendiri, Yo-toako?”

Suaranya ter-dengar penuh harap, matanya bersinar-sinar, mulutnya membayangkan senyum dikulum. Mulut gadis itu memang hebat, begitu penuh daya tarik, menggairahkan dan menantang.

“Aku….? Eh, pendapatku? Ah, bagaimana, ya? Kim-moi, pemuda mana yang tidak akan bangga hati dan merasa bahagia sekali menjadi jodohmu? Engkau seorang gadis bangsawan yang cantik jelita dan orang tuamu berkedudukan tinggi, bangsawan dan hartawan. Di samping kecantikanmu, engkau pun berpendidikan dan berbudi baik sekali. Apalagi yang dikehendaki seorang pemuda dari seorang gadis? Sebaliknya, aku hanya seorang pemuda yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa, tidak berpendidikan, bodoh dan miskin. Aku bagaikan seekor burung gagak di samping engkau seperti burung dewata! Bagaimana aku berani menjajarkan diriku yang hina dan papa ini dengan dirimu yang begitu mulia dan anggun?”

“Yo-toako!”

Bi Kim berseru penuh penasaran dan alisnya yang hitam kecil panjang melengkung itu berkerut.

“Jangan engkau merendahkan diri seperti itu! Orang boleh rendah hati, itu baik sekali. Akan tetapi rendah diri? Tidak ada gunanya, Toako. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda yang amat lihai, berilmu tinggi dan di dekatmu, orang akan merasa aman tenteram, tidak takut menghadapi ancaman apapun juga. Dibandingkan dengan engkau, aku seorang gadis yang lemah sekali dan sama sekali tidak berdaya menghadapi kejahatan yang merajalela di dunia ini. Aku hanya bertanya tentang pendapatmu, bukan keadaan dirimu yang kau rendahkan seperti itu, Toako”

Yo Han tersenyum. Tepat dugaannya. Gadis ini memang pandai dan cerdik, pandai bicara.

“Maafkan aku, Kim-moi. Aku bukan merendahkan diri, melainkan menyatakan pendapatku berdasarkan kenyataan. Akan tetapi bukan keadaan itu yang membuat aku terpaksa tidak berani menerima usul nenekmu, melainkan karena aku masih harus melaksanakan tugas yang dipesankan mendiang Suhu kepadaku yaitu mencari sebuah benda pusaka milik Suhu yang hilang dicuri orang.”

Gadis itu nampak kecewa, akan tetapi menutupi perasaannya dengan bertanya serius.

“Pusaka apakah yang hilang itu, Toako?”

“Sebuah benda pusaka milik Suhu yang disebut mutiara hitam, kabarnya kini berada di tangan seorang kepala suku bangsa Miao. Karena itu, tugas ini harus kulaksanakan dulu sampai berhasil.”

“Dan kalau engkau sudah berhasil dengan tugas itu?”

Bi Kim mengejar.

“Kalau sudah berhasil…. bagaimana nanti saja. Kelak masih banyak waktu untuk bicara tentang urusan pribadi, Kim-moi. Bukankah jodoh berada di tangan Tuhan? Kalau Tuhan menghendaki, agar kita…. berjodoh, pasti hal itu akan terjadi. Sebaliknya, kalau Tuhan tidak menghendaki, direncanakan pun akan gagal. Karena itu, terus terang saja, sebelum aku selesai menunai-kan tugas dari mendiang Suhu, aku tidak akan memikirkan soal perjodohan. Maaf, Kim-moi,”

Katanya cepat menutup ucapannya dengan permintaan maaf karena dia tidak ingin menyinggung perasaan gadis itu. Apalagi melihat wajah gadis itu berubah agak muram. Sampai lama keduanya tidak bicara, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya membelakangi Yo Han dan terdengar suaranya lirih,

“Seorang laki-laki akan mudah bicara seperti itu, Toako. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang perempuan berpendapat seperti itu? Kalau belum ada ikatan dengan seseorang, maka setiap saat orang tua akan menjodohkan seorang gadis dengan pria mana saja yang dianggap baik dan cocok. Dan engkau tentu tahu, sebagai seorang anak yang berbakti, tidak mungkin aku dapat menolaknya. Berbeda halnya kalau seorang gadis sudah terikat, biarpun menanti sampai beberapa tahun pun tidak ada halangannya….”

Yo Han merasa betapa jantungnya berdebar keras.

Ucapan dari gadis ini saja sudah mengandung arti pengakuan bahwa gadis itu menginginkan mereka terikat! Ini berarti bahwa gadis ini mengharapkan menjadi calon jodohnya, bahwa gadis ini menaruh harapan kepadanya dan cinta padanya! Yo Han merasa kasihan. Tidak boleh dia menyia-nyiakan harapan seorang gadis sebaik ini, tidak boleh menghancurkan hatinya. Dia harus dapat mencari alasan yang lebih tepat. Dan teringatlah dia akan Sian Li, akan ayah ibu anak itu, yaitu suhu dan subonya, guru-gurunya yang pertama sejak dia kecil sampai dia berusia dua belas tahun! Bukankah suhu dan subonya itu dahulu juga amat sayang kepadanya,

Bahkan menganggapnya seperti anak mereka sendiri? Sudah lama, sejak menjadi murid Kakek Ciu Lam Hok, dia menyadari sikap suhu dan subonya yang tidak ingin melihat Sian Li ketularan sikapnya yang dulu sama sekali tidak suka belajar ilmu silat. Dia dapat merasakan kekhawatiran kedua orang suami isteri pendeker itu yang tentu saja prihatin sekali melihat murid mereka tidak mau belajar silat, dan melihat murid mereka tidak mau belajar silat, dan melihat betapa mungkin saja Sian Li juga mengikuti jejaknya, tidak mau belajar silat. Karena pengertian ini, sudah lama dia tidak pernah merasa kecewa atau menyesal. Dia meninggalkan suhu dan subonya itu bukan karena tidak suka, melainkan karena tidak ingin menyusahkan mereka, tidak ingin mengecewakan mereka karena Sian Li mencontoh dia, tidak suka belajar ilmu silat.

“Adik Bi Kim. Aku mengerti perasaanmu. Dan ketahuilah bahwa aku akan berbohong kalau tidak mengatakan bahwa setiap orang pemuda akan berbahagia sekali menjadi calon jodohmu. Akan tetapi untuk aku sendiri, aku tidak berani memutuskan, karena aku harus bertanya kepada mereka yang berhak menentukan. Aku pun ingin seperti engkau, menjadi seorang yang berbakti….”

“Yo-toako! Bukankah kau pernah mengatakan bahwa engkau yatim piatu, tidak mempunyai ayah dan ibu lagi? Dan gurumu, yaitu kakak dari Nenek juga sudah meninggal dunia, lalu siapa lagi yang berhak menentukan?”

“Belum kuceritakan semua tentang riwayatku kepadamu, Kim-moi. Sebelum menjadi murid mendiang Kakek Ciu Lam Hok, aku telah mempunyai guru-guru yaitu sepasang suami isteri yang bukan saja mendidikku, akan tetapi juga merawatku sejak aku kecil ditinggalkan orang tuaku. Merekalah yang membesarkan aku, sejak aku berusia tujuh tahun ditinggal oleh ayah ibuku, sampai aku berusia dua belas tahun. Lima tahun aku seolah-olah menjadi anak mereka sendiri dan aku telah menerima budi yang berlimpah dari mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kalau aku menganggap mereka sebegai pengganti orang tuaku dan menyerahkan kepada mereka untuk urusan perjodohanku. Nah, sekarang sudah kau ketahui semua, Kim-moi. Aku mohon diri, hari ini aku akan melanjutkan perjalanan mencari pusaka mendiang Guruku. Selamat tinggal dan semoga kelak kita dapat bertemu kembali.”

“Selamat jalan, Toako.”

Gadis itu cepat membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Yo Han, akan tetapi pemuda itu masih sempat melihat tangisnya. Yo Han lalu berpamit kepada Nenek Ciu Ceng, Gan Seng dan isterinya. Gan Seng dan isterinya menyambut dengan ramah dan berterima kasih, akan tetapi Nenek Ciu Ceng tanpa sungkan lagi bertanya,

“Yo Han, engkau murid kakakku yang baik. Sebelum engkau pergi, engkau harus lebih dulu menyatakan kesediaanmu menerima permintaan kami.”

Berdebar rasa jantung dalam dada Yo ,Han. Tadinya dia mengira bahwa nenek itu lupa akan ucapannya ketika bersembahyang di depan meja sembahyang untuk gurunya. Kiranya pada saat ini, nenek itu mengajukan desakan yang membuat dia merasa serba salah. Dia melirik kepada Bi Kim yang berdiri di sudut sambil menundukkan mukanya, karena baik dia dan gadis itu tahu apa yang dimaksudkan oleh nenek itu. Akan tetapi, untuk memberi kesempatan baginya menenangkan hatinya yang terguncang karena tegang dia berkata,

“Permintaan apakah yang Nenek maksudkan?”

“Apalagi, Yo Han? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami, dan kami tidak berani minta apa-apa lagi. Hanya satu, yaitu kami harap engkau suka menerima cucuku Bi Kim menjadi jodohmu…”

“Nenek..!”

Bi Kim terisak dan lari ke dalam kamarnya. Melihat ulah gadis itu, Nenek Ciu Ceng terkekeh.

“Heh-heh-heh, malu-malu berarti mau. Bagaimana, Yo Han? Engkau harus memberi keputusan dulu agar hati kami merasa lega.”

Melihat pemuda itu termenung, Gan Seng yang merasa tidak enak melihat ibunya seperti mendesak dan memaksa, lalu berkata dengan suara lembut.

“Yo Han, tentu saja kami tidak memaksamu. Kami akan merasa berbahagia sekali kalau engkau suka menerima anak kami sebagai calon isterimu, akan tetapi andaikata engkau tidak suka, kami pun tidak dapat memaksamu.”

Justeru ucapan yang lembut dari pembesar ini lebih berat rasanya bagi Yo Han. Bagaimana mungkin dia mengatakan tidak suka dan menolaknya? Dia cepat memberi hormat kepada tiga orang itu.

“Nenek, Paman dan Bibi yang baik, harap maafkan saya. Sungguh saya tidak akan berani menolak, bahkan merasa terharu dan berterimakasih sekali atas kebaikan penghargaan Sam-wi (Anda Bertiga) yang sudi mencalonkan saya yang yatim piatu dan papa ini sebagai anggauta keluarga. Akan tetapi maaf, saya belum dapat memberi keputusan sekarang. Pertama, saya harus menyelesaikan tugas yang diberikan mendiang Suhu, yaitu menemukan kembali pusaka milik Suhu yang dicuri orang. Ke dua, mengenai perjodohan, saya harus menyerahkannya kepada Suhu dan Subo saya yang pertama yang telah menjadi seperti pengganti orang tua saya sebelum saya berguru kepada mendiang Suhu Ciu Lam Hok.”

“Baiklah, Yo Han,”

Kata Gan-taijin (Pembesar Gan) mendahului agar ibunya tidak sempat mengeluarkan ucapan yang sifatnya memaksa atau menyudutkan pemuda itu.

“Kami sekeluarga akan menanti berita darimu setelah engkau dapat membuat keputusan.”

“Terima kasih, Paman. Sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan saya.”

Setelah memberi hormat lagi, Yo Han lalu melangkah keluar. Akan tetapi terdengar suara nenek Ciu Ceng,

“Ingat, Yo Han. Kami sudah menganggapmu sebagai calon suami cucuku Bi Kim. Kami akan menolak pinangan dari manapun juga datangnya dan menunggumu!”

Gan Seng dan isterinya tidak sempat mencegah dan ucapan itu berkesan dalam sekali di hati Yo Han.

Mereka sudah menganggap dia tunangan Bi Kim dan ini berarti bahwa gadis itu tidak bebas lagi! Dia ingin membantah, akan tetapi merasa tidak enak, maka merasa lebih aman tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan rumah keluarga pembesar tinggi itu. Setelah Yo Han pergi, sampai dua hari lamanya Gan Bi Kim tidak meninggalkan kamarnya. Ia merasa semangatnya melayang ikut pergi bersama pemuda yang dikaguminya dan yang telah menjatuhkan cinta hatinya itu. Ia merasa kehilangan, apalagi karena jawaban pemuda itu membuat ia tidak yakin akan perjodohannya dengan pemuda itu. Setelah dapat menenteramkan hatinya, ia lalu menghadap ayahnya dan merengek agar ia dicarikan guru-guru silat yang pandai karena ia ingin belajar ilmu silat.

“Ah, engkau ini aneh-aneh saja, A-kim,”

Kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya.

“Engkau seorang puteri bangsawan, engkau sudah mempelajari semua ilmu kepandaian yang sepatutnya dimiliki seorang puteri. Apalagi yang hendak kau pelajari? Apalagi dari seorang guru silat? Ilmu silat hanya akan membuat telapak tanganmu yang halus menjadi kasar, tubuhmu yang lembut menjadi kaku!”

“Ayah, lupakah Ayah akan malapetaka yang baru saja menimpa keluarga kita? Semua itu terjadi karena kita lemah! Untung ada Han-ko datang menolong. Andaikata tidak, bagaimana? Coba andaikata aku pandai ilmu silat, tentu sudah kuhajar Coan-ciangkun yang jahat itu. Ayah, kalau aku pandai ilmu silat, setidaknya aku akan dapat menjaga keamanan keluarga kita.”

“A-kim,”

Kata ibunya membujuk.

“Aku ingin anakku menjadi seorang wanita yang halus lembut dan bijaksana, bukan menjadi tokoh rimba persilatan yang kaku dan kasar!”

“Tapi Ibu agaknya lupa bahwa Koko Yo Han juga seorang tokoh rimba persilatan, seorang pendekar yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Bagaimana kalau aku di jodohkan dengan dia aku lalu sama sekali tidak tahu ilmu silat, bahkan hanya seorang gadis yang amat lemah? Ingatlah, Ayah. Bukankah Uwa kakek Ciu Lam Hok adalah seorang sakti? Masa aku sebagai cucu keponakannya tidak mengerti ilmu silat? Ayah, carikan guru silat yang lihai untukku!”

Alasan-alasan yang dikemukakan puteri mereka yang setiap hari merengek itu akhirnya menggerakkan hati Gan Seng.

Sebagai seorang pejabat tinggi yang dekat dengan istana, Gan-taijin mengenal para jagoan istana yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia lalu menghubungi para jagoan itu dan mulai hari itu, Gan Bi Kim belajar ilmu silat dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik disamping ketekunan yang luar biasa. Ketekunan itu timbul setelah keluarga tertimpa malapetaka, setelah dara ini bertemu dengan Yo Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dengan bayaran tinggi yang dapat dipenuhi oleh Gan Seng, guru-guru silat jagoan istana itu bertambah gembira melihat betapa gadis puteri bangsawan itu ternyata memiliki bakat yang amat baik dan dapat menjadi murid yang akan menambah tinggi derajat mereka. Bahkan banyak jagoan istana seperti berlumba untuk mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada gadis bangsawan yang berbakat dan amat rajin ini.

Bangau Merah terbang di angkasa
disengat terik matahari senja
betapa ingin aku menjadi awan
untuk melindunginya,
dari sengatan!
Bangau Merah melayang di angkasa
hujan lebat datang menimpanya
betapa ingin aku menjadi guha
tempat berteduh bangau jelita!
Bangau Merah meluncur di angkasa
letih dan lapar datang menggoda
betapa ingin aku menjadi ranting
berbuah tempat ia istirahat
dengan makanan berlimpah
Bangau Merah….

“Heiiii! Engkau sedang mengapa di situ, Suheng? Dari tadi kudengar menyebut-nyebut nama samaranku. Engkau dari tadi menyebut Bangau Merah!”

Gadis itu muncul dan memang ia berpakaian serba merah dengan garis-garis kuning dan biru. Pakaian itu ringkas, sederhana bentuknya akan tetapi terbuat dari sutera merah yang membuat penampilannya cerah dan wajahnya nampak lebih manis,

Kulitnya menjadi semakin mulus. Ia seorang gadis berusia tujuh belas tahun, baru manis-manisnya, bagaikan bunga mulai mekar dan bagaikan buah sedang meranum. Dara ini memang cantik jelita, dengan wajah yang berben-tuk bulat telur, matanya lebar dan jeli, hidungnya mancung dengan ujung menantang, mulutnya yang kecil dengan bibir tipis lembut yang selalu kemerahan tanda sehat itu selalu tersenyum mengejek sehingga sering kali lesung kedua pipinya nampak memikat. Memang sejak kecil ia disebut Bangau Merah karena ia suka sekali memakai pakaian berwarna kemerahan dan ia puteri tunggal Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang amat terkenal itu. Kalau ayahnya hampir selalu mengenakan pakaian putih, dara ini selalu mengenakan pakaian berwarna merah.

Namanya Tan Sian Li dan seperti telah kita ketahui Sian Li diminta oleh paman kakeknya, yaitu pendekar sakti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, untuk mewarisi ilmu silat mereka. Suma Ceng Liong adalah adik dari nenek Sian Li yang bernama Suma Hui, yaitu nenek dari ibunya. Biarpun ayah Sian Li sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat, bahkan tidak kalah dibandingkan ilmu kepandaian Suma Ceng Liong, namun dia dan isterinya merasa tidak enak untuk menolak niat baik paman mereka itu. Apalagi, Suma Ceng Liong merupakan keturunan dari keluarga Pendekar Pulau Es dan memiliki ilmu kepandaian yang khas, sedangkan isterinya juga seorang pendekar wanita sakti, puteri dari Pendekar Suling Emas Kam Hong. Telah lima tahun Sian Li digembleng oleh suami isteri itu di dusun Hong-cun, luar kota Cin-an di Propinsi Shantung.

Setiap tahun sekali, jatuh pada hari tahun baru, ayah ibunya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, selalu datang berkunjung. Melihat bakat yang baik dari Sian Li, apalagi karena dara ini sejak kecil telah men-dapat pendidikan dasar yang amat kuat dari ayah ibunya, maka suami isteri itu mengajarkan ilmu-ilmu silat simpanan mereka kepada dara itu sehingga selama belajar lima tahun lamanya, Sian Li telah menjadi seorang gadis yang amat lihai. Bahkan kelihaiannya melampaui tingkat yang dimiliki suhengnya, yaitu Liem Sian Lun. Pemuda berusia dua puluh tahun yang bersajak tadi adalah Liem Sian Lun, suhengnya.

Sian Lun kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi besar, gagah dan tampan. Wajahnya selalu cerah dan dia pun pendiam tidak banyak bicara, kecuali kalau diajak bicara tentang sajak. Dia amat suka dan pandai membuat sajak. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, memang tidak mengabaikan pendidikan sastra terhadap Sian Lun dan Sian Li. Mereka mengundang guru sastra yang pandai untuk mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada dua orang murid itu. Senja itu memang cerah dan indah. Sejak tadi sebelum Sian Li mancari, Sian Lun sudah duduk termenung seorang diri di lereng bukit yang berada di luar dusun Hong-cun itu. Tempat ini merupakan tempat kesayangannya,

Di mana dia dan sumoinya seringkali bermain-main sejak Sian Li berusia dua belas tahun dan datang ke tempat itu. Bukit yang tidak besar, namun berada di lereng bukit itu, pemandangan alamnya amat indah. Mereka dapat melihat dusun Hong-cun di kaki bukit dan mereka dapat menikmati keindahan senjakala di situ karena lereng bukit itu berada di sebelah barat. Ketika tadi melihat keindahan senja yang cerah, melihat burung-burung bangau terbang melayang di angkasa melintasi matahari senja, agaknya hendak pulang ke sarang, teringatlah Sian Lun kepada sumoinya. Sumoinya itu diberi julukan Bangau Merah oleh suhu dan subonya. Julukan yang tepat sekali karena sumoinya selalu berpakaian merah, sumoinya puteri Pendekar Bangau Putih dan kalau sudah bersilat, gerakan sumoinya demikian indah, seindah gerakan burung bangau yang sedang terbang.

Maka, keindahan dan lamunan membuat dia bersajak tentang bangau merah dan tentang keinginan hatinya untuk menjadi pelindung Sang Bangau Merah! Sajak ini merupakan cetusan hatinya karena diam-diam Liem Sian Lun telah jatuh cinta setengah mati kepada sumoinya, Si Bangau Merah! Biarpun dia belum berani menyatakan isi hatinya secara berterang kepada Sian Li, namun dia sudah yakin bahwa sumoinya tentu tidak akan menolak cintanya. Dia bahkan sudah yakin bahwa kelak sumoinya pasti akan menjadi isterinya, dan diam-diam dia menganggap sumoinya telah menjadi tunangannya! Keyakinan ini diperkuat ketika secara tidak sengaja dia mendengar percakapan antara suhu dan subonya dari luar kamar mereka. Ketika itu, pada malam hari, dia lewat di depan kamar mereka dan suara mereka menembus jendela kamar, tertangkap oleh pendengarannya.

“Kebetulan nama mereka juga mirip. Sian Lun dan Sian Li! Akan tetapi bagaimana kalau orang tuanya tidak setuju?”

Terdengar suhunya berkata. Mendengar namanya disebut, Sian Lun memperlambat langkahnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Aku percaya keponakanku tentu akan setuju. Apalagi kalau kita jamin bahwa Sian Lun adalah seorang anak yang baik sekali. Kulihat mereka itu berjodoh.”

“Aih, jodoh di tangan Tuhan. Jangan mendahului kehendak Tuhan,”

Kata suhunya dan mereka pun tidak bicara lagi.

Sian Lun tidak berani berhenti, hanya memperlambat jalannya sehingga andaikata suhu dan subonya mendengar langkahnya, tentu tidak akan menduga bahwa dia ikut mendengarkan percakapan mereka. Dan semenjak mendengar percakapan itu, beberapa bulan yang lalu, dia merasa yakin bahwa Sian Li kelak pasti akan menjadi isterinya! Akan tetapi, Sian Li amat manja dan lincah galak. Apalagi ia tahu betapa suhengnya amat menyayangnya, juga kakek dan nenek yang menjadi gurunya. Terhadap Sian Li, Sian Lun agak takut dan penurut, dan hal ini membuat Sian Li semakin manja. Sikap manja yang dalam pandangan Sian Lun bahkan membuat dara itu menjadi semakin menggemaskan dan menarik hati. Cinta berahi kalau sudah mencengkeram hati seseorang, membuat orang itu menjadi badut. Ulah tingkah menjadi lucu dan tidak wajar lagi.

Mulut cemberut seorang yang dicinta akan nampak semakin manis, bahkan ada kelakar yang kasar mengatakan bahwa kentut seorang kekasih berbau sedap! Sebaliknya, senyum ramah seorang yang dibenci akan nampak mencemoohkan dan dianggap senyum itu mengejek dan mentertawainya sehingga menimbulkan amarah! Sian Lun terkejut ketika dia sedang melamun dan membaca sajak yang timbul di saat yang romantis itu, dia ditegur oleh Sian Li yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Saking kagetnya dia hanya menoleh dan memandang kearah dara itu yang nampak lebih cantik daripada biasanya, segar habis mandi seperti setangkai bunga bermandikan embun. Melihat pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya dan hanya bengong memandangnya, Sian Li cemberut.

“Heii, Suheng, engkau ini kenapa sih? Tadi menyebut-nyebut Bangau Merah berulang kali, sekarang engkau hanya bengong tanpa menjawab pertanyaanku!”

“Sumoi…. aih, engkau…. engkau demikian cantik…. indah sekali, ah, pantasnya engkau seorang dewi kahyangan yang baru turun melalui cahaya yang keemasan….”

Kalau saja tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah tertawa geli.

“Ahhh, yang benar, Suheng!”

Katanya memancing pujian lebih banyak. Sian Lun benar terpesona dan matanya menatap tak pernah berkedip, seolah takut kalau berkedip, keindahan di depannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap matahari senja, sepenuhnya diselimuti cahaya keemasan.

“Sungguh, Sumoi…. rambutmu yang hitam itu kini dilingkari cahaya kekuningan, wajahmu mencorong oleh cahaya keemasan, engkau nampak begitu segar, begitu hidup, berkilauan, matamu bercahaya, senyummu…. duhai, Sumoi, betapa cantik jelita engkau….”

Sian Lun tidak biasa merayu, akan tetapi sekali ini dia terpesona dan seperti dalam mimpi rasanya.

“Ah, masa….?”

Sian Li berseru manja, haus pujian selanjutnya.

“Sumoi, engkau laksana dewi yang bermandikan cahaya keemasan, cantik jelita mempesona dan….”

“Aiih, sudah-sudah! Bisa terbang melayang ke angkasa aku oleh pujianmu. Mengapa sih tiba-tiba engkau memuji-mujiku seperti ini? Engkau tadi bersajak tentang Burung Bangau Merah, sekarang engkau merayuku setengah mati. Apa engkau mabok Suheng?”

Sian Lun menghela napas panjang. Sikap dan ucapan Sian Li membuyarkan suasana romantisnya, menariknya dengan kasar kembali ke bumi yang keras. Dia menarik napas panjang dan wajahnya berubah merah karena mengenangkan sikap dan kata-katanya tadi membuat dia merasa rikuh dan malu. Kalau dia masih terpesona seperti tadi, tentu akan dijawabnya bahwa dia memang mabok akan kecantikan sumoinya itu. Akan tetapi sekarang dia sudah sadar dan dia takut kalau-kalau sumoinya menjadi marah.

“Aku tidak mabok, Sumoi. Semua itu kulakukan saking sayangnya aku kepadamu.”

Sian Li tersenyum. Gadis berusia tujuh belas tahun yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan kurang pengalaman ini masih belum sadar dan belum mengerti akan cinta kasih antara pria dan wanita. Yang dikenalnya hanya rasa sayang kepada orang-orang yang dekat dan akrab dengannya.

“Tentu saja engkau sayang padaku, Suheng. Bukankah aku ini sumoimu? Kalau tidak sayang, percuma engkau menjadi Suhengku.”

Jawaban ini demikian wajar dan Sian Lun merasa betapa kecewa hatinya. Gadis ini belum tahu! Belum tahu bahwa sayangnya bukan seperti suheng terhadap sumoi, bukan seperti kakak terhadap adik, melainkan sayang yang disertai dendam rindu, disertai berahi seorang pria terhadap wanita!

“Aku sangat sayang padamu, Sumoi, entah apakah engkau pun sayang padamu.”

“Tentu saja! Kenapa engkau masih bertanya lagi, Suheng? Kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk mengetahui hal itu. Sejak lima tahun yang lalu kita bersama-sama latihan silat di sini, belajar sastra, dan bermain bersama-sama. Nah, sekarang kalau memang engkau sayang kepadaku….”

“Apa yang harus kulakukan? Katakanlah, Sumoi,”

Kata Sian Lun dengan penuh gairah dan harapan. Untuk menunjukkan rasa sayang, disuruh apa pun dia mau, apalagi kalau disuruh memondong tubuh, biar sehari penuh pun dia bersedia.

“Aku haus dan ingin makan buah leci, Suheng. Kau carikan untukku, di lereng utara sana banyak pohon lecinya.”

“Baik, akan kucarikan, Sumoi. Kau tunggu saja sebentar di sini.”

Sian Lun lalu meloncat jauh dan berlari cepat melintasi bukit menuju ke utara di mana terdapat kebun pohon leci yang luas, milik seorang hartawan yang tinggal di kota Cin-an. Dia sudah mengenal baik penjaga kebun itu dan pasti akan diberi kalau dia minta buah leci sekedar dimakan. Setelah pemuda itu pergi Sian Li duduk sambil termenung dan tersenyum-senyum. Hatinya merasa gembira oleh pujian-pujian tadi. Ia merasa bangga.

Suhengnya memang seorang kakak seperguruan yang amat baik kepadanya. Sejak ia berada di situ, lima tahun yang lalu, suhengnya selalu bersikap baik dan mengalah kepadanya. Suhengnya itulah yang membuat ia tidak merasa kesepian tinggal di rumah paman kakeknya, membuat ia tidak merasa bosan mempelajari ilmu silat dari suami isteri yang sakti itu. Bersama suhengnya ia dapat berlatih silat, mempelajari sastra, dan bermain-main. Suhengnya seorang pemuda yang tinggi besar, gagah dan tampan, dan selalu melindunginya. Bahkan pernah suhengnya itu mengejar beberapa orang pemuda kota yang berkunjung ke dusun Hong-cun dan bersikap kurang ajar kepadanya. Ia sendiri tidak mau melayani mereka, akan tetapi suhengnya marah-marah dan menghajar lalu melempar-lemparkan tujuh orang pemuda kota itu ke dalam air Sungai Kuning!

Ia sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan Sian Lun itu terdorong oleh cemburu! Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sesosok tubuh orang yang tertatih-tatih mendaki lereng itu. Seorang pria yang sudah tua sekali. Tadinya ia mengira paman kakeknya Suma Ceng Liong yang mencarinya. Akan tetapi setelah agak dekat, ternyata bukan. Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya model pakaian sastrawan akan tetapi pakaian itu penuh tambalan walaupun bersih. Dia mendaki lereng itu dibantu sebatang tongkat. Rambut dan cambang serta kumis jenggotnya sudah putih semua, membuat dia nampak tua dan lemah. Dalam jarak dua puluh meter, kakek itu berhenti, berdiri menekan tongkat dengan kedua tangan, mengangkat muka memandang ke arah Sian Li dan berkata dengan nada suara lembut gembira,

“Ahh, tidak salah lagi. Engkau tentu Ang-ho-li (Nona Bangau Merah)!”

Sian Li mengerutkan alisnya. Tidak banyak orang tahu bahwa ia diberi nama julukan itu. Yang mengetahuinya hanyalah ayah ibunya, paman kakeknya berdua, suhengnya. Bagaimana kakek ini begitu muncul menyebutkan nama julukannya itu?

“Kek, siapakah engkau dan dari mana engkau tahu bahwa aku disebut Bangau Merah?”

Suaranya terdengar galak dan pandang matanya penuh selidik.

“Siancai….! Dahulu engkau seorang bocah yang mungil lincah, sekarang telah menjadi seorang gadis yang lincah dan galak! Hei, Dewi Baju Merah, apakah engkau benar telah lupa kepadaku? Beberapa tahun yang lalu kita pernah saling jumpa di rumah kakekmu, di Pao-teng.”

Sian Li memandang penuh perhatian dan wajahnya berubah seketika. Wajahnya kini cerah dan berseri, senyumnya menghias wajah yang manis itu, membentuk lesung mungil di kedua pipinya.

“Aihh, kiranya Locianpwe Yok-sian Lo-kai….!”

Ia bangkit dan cepat memberi hormat kepada kakek tua renta yang pakaiannya penuh tambalan itu.

“Ha-ha-ha, memang aku adalah Lo-kai (Pengemis Tua) itu! Dan aku telah mencarimu ke rumah ayah ibumu di Tatung, lalu menyusul ke Hong-cun. Kakek dan nenekmu yang kini menjadi guru-gurumu mengatakan bahwa engkau tentu berada di lereng bukit ini. Aku segera menyusul ke sini. Siancai…. engkau, telah menjadi seorang gadis, yang lihai dan manis. Dan aku datang untuk menagih janji, ingat?”

“Tentu saja aku ingat, Locianpwe. Dan aku sudah siap sedia untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dirimu.”

Kakek itu tertawa gembira dan pada saat itu muncullah Sian Lun yang membawa buah leci yang sudah masak dan cukup banyak. Melihat sumoinya tertawa-tawa dengan seorang kakek yang tidak dikenalnya, dia mengerutkan alisnya.

“Sumoi, siapakah kakek jembel ini?”

Tanyanya tak senang. Entah mengapa, setiap kali melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang laki-laki, tidak peduli laki-laki itu tua atau muda, dia merasa tidak senang, merasa cemburu!

“Hushhh, Suheng, jangan sembarangan engkau memanggil orang! Locianpwe ini adalah guruku, tahu engkau?”

Bentak Sian Li marah. Sian Lun cepat memberikan buah-buah leci itu kepada sumoinya, lalu dia memberi hormat kepada kakek itu. Dia terkejut bukan main, juga heran mendengar ucapan sumoinya.

“Ah, harap Locianpwe suka memaafkan saya yang bersikap tidak sopan,”

Katanya. Bagaimanapun juga, Sian Lun bukan hanya mempelajari ilmu silat, akan tetapi juga sastra dan tata susila. Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Siancai…. kiranya Taihiap (Pendekar Besar) Suma Ceng Liong dan isterinya yang gagah perkasa mempunyai seorang murid yang begini gagah. Tidak mengapa, orang muda. Hanya lain kali jangan terburu nafsu menyangka buruk kepada orang lain.”

Wajah Sian Lun berubah merah dan sekali lagi dia memberi hormat.

“Maafkan saya, Locianpwe. Sumoi, engkau tidak pernah bercerita kepadaku tentang suhumu ini. Siapakah beliau ini?”

Sian Li menyodorkan buah-buah leci itu kepada Yok-sian Lo-kai dan berkata,

“Suhu, silakan makan. Buah-buah leci ini baru saja dipetik, masih segar dan manis.”

Kakek itu tanpa sungkan lagi mengambil beberapa butir buah leci. Sian Li lalu menghadapi suhengnya.

“Suheng, Suhuku ini adalah Yok-sian Lo-kai. Lima tahun yang lalu Suhu ini berjanji akan mengajarkan ilmu pengobatan kepadaku dan hari ini dia datang memenuhi janjinya.”

Kembali Sian Lun terkejut. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini, yang terkenal bukan hanya karena pandai ilmu pengobatan, akan tetapi juga karena ilmu silatnya, terutama ilmu totok jalan darah, yang amat lihai.

“Sekali lagi maaf, Locianpwe, atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan sampaikan kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi.”

Sian Li cemberut.

“Tentu saja akan kuberitahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau telah berani menyebut Guruku kakek jembel!”

Sian Li yang amat manja terhadap suhengnya itu mengancam. Yoksian Lo-kai tertawa.

“Ha-ha-ha-ha, engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga. Suhengmu sudah, mengakui kesalahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa dia berani bertanggung jawab dan menyesali dan menyadari kesalahannya. Selain itu, juga aku lebih suka disebut Jembel Tua daripada Dewa Obat, heh-heh-heh! Memang julukanku Jembel Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku disebut Jembel Tua oleh suhengmu? Ha-ha-ha!”

“Baiklah, melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah, sekarang cepat kau beritahukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu Suhu Yok-sian Lo-kai dan akan pulang belakangan.”

“Baik, Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu,”

Kata Sian Lun dengan hati lega. Kalau sumoinya mengadu kepada suhu dan subonya, tentu dia akan mendapatkan teguran keras. Dia lalu berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang mata kakek itu yang masih tersenyum.

“Suhengmu sudah memiliki kepandaian tinggi, ilmunya berlari cepat cukup hebat,”

Kakek itu memuji.

“Ah, dia masih terlalu lambat,”

Kata Sian Li. Jawaban ini menunjukkan bahwa gadis ini tentu dapat berlari lebih cepat dibandingkan suhengnya dan diam-diam kakek itu kagum. Dia percaya bahwa di bawah gemblengan suami isteri sakti seperti Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, apalagi mengingat bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis berpakaian merah ini menjadi lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya kepada dara ini.

“Sian Li, aku ingin memberitahu sedikit kepadamu tentang suhengmu itu.”

Sian Li yang sedang makan leci, menghentikan gerakan mulutnya dan ia menoleh, memandang kepada kakek itu.

“Apa yang Suhu maksudkan? Suheng telah bersikap kasar, dan dia memang pantas ditegur dan….”

“Hal itu sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal ingin kuperingatkan kepadamu tentang suhengmu itu. Engkau berhati-hatilah dengan sikapmu, karena dia amat sayang kepadamu.”

“Tentu saja dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suhengku? Kenapa aku harus berhati-hati dengan sikapku?”

“Dan bagaimana dengan engkau sendiri? Sayangkah engkau kepada suhengmu?”

Dara itu memandang Yok-sian dengan sinar mata heran. Pertanyaan yang aneh, pikirnya.

“Tentu saja aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya? Dia berlatih bersamaku, belajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu dan dia amat baik kepadamu.”

Kakek itu tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih polos dan belum pernah mengalami cinta berahi, maka kasih sayangnya terhadap suhengnya itu adalah kasih sayang seorang adik terhadap kakaknya.

“Maksudku, dia pencemburu besar, Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau tidak ingin melihat dia marah-marah.”

“Aih, itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng demikian marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membunuhi orang-orang itu kalau tidak kularang….”

Kakek itu merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda itu telah jatuh cinta pada sumoinya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar panas sekali, membuat dia menjadi seorang pencemburu besar sehingga melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang kakek seperti dia pun pemuda tadi sudah tidak senang. Itu namanya cemburu,

“maka engkau harus dapat menjaga sikapmu.”

Sian Li mengangguk, padahal ia tidak mengerti mengapa suhengnya bersikap seperti itu.

“Mari kita pulang, Suhu.”

Mereka lalu menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak menguji ilmu berlari cepat muridnya. Dia sendiri mengerahkan tenaganya, mengguna-kan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan larinya cepat sekali,

Sungguh tidak sesuai dengan usianya yang sudah demikian lanjut. Namun, biar ia baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil digem-bleng dan ditangani orang-orang sakti, mula-mula oleh ayah ibunya sendiri, kemudian oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami isteri yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu mengherankan kalau dara itu bukan saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan setelah tiba di rumah kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di belakangnya! Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sambil tertawa melihat dara dan kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya. Yok-sian Lo-kai terkekeh sambil terengah ketika tiba di depan mereka.

“Aihhh…. aku sudah tua, bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?”

“Aih, jangan merendahkan diri, Suhu!”

Kata Sian Li.

“Suhu datang bukan untuk mengajarkan ilmu lari kepadaku, melainkan ilmu pengobatan!”

Semua orang tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum.

Baru terasa olehnya betapa dia tadi telah terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu melihat sumoinya beramah tamah dengan kakek itu. Demikian, mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada Sian Li. Bukan saja pengetahuan tentang ramuan obat untuk berbagai penyakit, juga kakek itu mengajarkan pengobatan dengan tusuk jarum, dengan totokan dan pijatan, dan yang amat menggembirakan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, juga tentu saja Sian Li sendiri, kakek itu bahkan mengajarkan It-yang Sin-ci, yaitu ilmu totok dengan sebuah jari yang pernah membuat nama kakek itu terkenal di dunia persilatan. Sian Li amat berbakat, dan sudah memlliki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan saja dara ini telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Yok-sian Lo-kai kepadanya.

Kakek itu merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia merasa puas bahwa akhirnya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya. Setelah memesan kepada muridnya kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk kebaikan, menolong orang sakit di samping tugasnya sebagai pendekar wanita penentang kejahatan, Yok-sian Lo-kai lalu meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi bertapa ke Liong-san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ketenangan. Dia memberikan jarum emas dan peraknya kepada Sian Li. Suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar kepergian Dewa Obat itu dengan perjamuan sederhana namun meriah, dan atas nama cucu keponakan mereka, suami isteri ini mengucapkan terima kasih mereka. Biarpun ia sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci,

Namun tentu saja Sian Li hanya baru menguasai cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus banyak berlatih untuk mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula ilmu pengobatan dengan tusuk jarum dan pijatan jari tangan, harus ia latih. Namun, ia telah menguasai cara berlatih untuk ilmu-ilmu itu. Liem Sian Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua kemampuannya untuk dapat mengimbangi sumoinya. Gerakan Sian Li luar biasa cepatnya, bagaikan seekor burung merah yang cekatan sekali berkelebatan bahkan kadang lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah yang diselimuti gulungan sinar pedangnya. Kalau orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bahwa pemuda dan dara itu berkelahi mati-matian.

Demikian cepat permainan pedang mereka, dan kadang nampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu bertemu di udara. Namun, sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang setelah tadi dalam berlatih silat tangan kosong Sian Lun terpaksa mengakui keunggulan sumoinya. Dalam ilmu pedang Sian Lun memang berbakat sekali maka dia mampu mengimbangi permainan pedang sumoinya. Bagi dua orang muda yang sudah menguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka akan saling melukai. Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu dengan tangan, seperti anggauta badan sendiri sehingga mereka sudah menguasai sepenuhnya. Setiap detik mereka akan mampu menghentikan tusukan atau bacokan pedang mereka sehingga tidak akan melukai lawan berlatih.

Keduanya berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga), yaitu gabungan ilmu pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam Bi Eng. Ilmu pedang ini memang hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan mereka ternyata bahwa di situ terkandung gerakan yang lembut seperti tiupan suling namun dahsyat dan ganas seperti seekor naga mengamuk. Karena senjata suling adalah senjata yang khas dari keluarga Suling Emas, maka Kam Bi Eng mengganti suling dengan pedang dan mengajarkan mereka memainkan ilmu itu dengan sebatang pedang. Kini Sian Li dalam kelebihannya dalam kecepatan gerakan, mulai mendesak suhengnya. Andaikata mereka itu bertanding sungguh-sungguh dalam sebuah perkelahian,

Tentu Sian Li akan dapat merobohkan suhengnya karena ia memiliki beberapa ilmu yang tidak dipelajari Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci dari Yok-sian Lo-kai, dan terutama sekali Ilmu Silat Bangau Putih yang sejak kecil dipelajarinya dari ayahnya, dan lain-lain. Kini, karena mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka menggunakan ilmu itu saja dan karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baik, maka sukarlah untuk saling mengalahkan. Sian Li berhasil mendesak hanya mengandalkan kecepatannya, dan memang ia lebih cekatan sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali, dan hanya mampu menangkis saja, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoinya untuk menyerangnya, maka tentu saja dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.

“Cukup, Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!”

Akhirnya Sian Lun mengakui kekalahannya. Pemuda ini tidak merasa iri atau malu, bahkan merasa bangga bahwa sumoinya demikian hebatnya.

“Suheng, engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh tenagamu, tentu engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan tenaga tulang dan otot, aku masih kalah.”

“Bagus sekali! Ilmu pedang yang hebat, orang-orang muda yang mengagumkan!”

Tiba-tiba terdengar pujian orang dan cepat Sian Lun dan Sian Li membalikkan tubuh dan mereka melihat dua orang yang tahu-tahu telah berada di situ, di dalam taman di mana mereka berlatih ilmu pedang tadi. Kalau dua orang itu dapat muncul demikian tiba-tiba tanpa mereka ketahui,

Hal ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang sembarangan. Sian Li memandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu tentu sudah enam puluh tahun lebih usianya, namun masih tampak tampan dan jantan dengan kulit agak gelap dan muka bulat yang tidak asing bagi Sian Li. Di punggung kakek ini terdapat sepasang pedang dengan ronce biru. Nenek itu yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek yang usianya juga sekitar enam puluh, namun masih cantik dan anggun. Ia berpakaian serba kuning, dengan kerudung kepala kuning pula. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah kerudung suteranya yang tipis. Wajah wanita ini asing,bukan wajah seorang bangsa Han. Biarpun wajah kakek itu tidak asing bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.

“Kakek dan Nenek yang baik, siapakah Jiwi (Anda Berdua)? Dan ada kepentingan apakah jiwi masuk ke dalam taman kami ini?”

Sian Li bertanya dengan lembut. Kakek itu menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira.

“Kau lihat, bukankah ia mirip sekali dengan ibunya?”

Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan berkata,

“Aku yakin bahwa engkau tentu Tan Sian Li, bukan? Engkau Si Bangau Merah, bukan?”

Sian Li membelalakkan mata.

“Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek? Siapakah engkau? Dan siapa pula Nenek ini?”

“Ha-ha-ha-ha,”

Kakek itu tertawa.

“Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika engkau masih kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa, Sian Li. Aku adalah Suma Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi.”

Sian Li membelalakkan matanya lagi dan mukanya berubah kemerahan mengingat ucapan kakek tadi bahwa ia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga membasahi bajunya. Kini ia teringat. Kakek ini adalah adik kandung neneknya, Suma Hui. Berbeda dengan paman kakeknya yang kini menjadi gurunya. Suma Ceng Liong yang hanya adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini adalah adik kandung neneknya.

“Aih, kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!”

Sian Li berseru gembira.

“Selamat datang, Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek…. namanya aneh. Nenek Gangga Dewi? Tentu bukan orang Han….”

Sian Li lalu memberi hormat kepada dua orang tua itu.

“Suheng, ini adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!”

Dara yang lincah itu memberi tahu Sian Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Gangga Dewi mendekati dan memeluk Sian Li.

“Anak manis, engkau cantik bukan main, Aku memang datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru ayahmu yang bernama Wan Tek Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah kandungku.”

Sian Li menjadi semakin gembira dan balas merangkul sambil memandang kagum. Tentu saja ia pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang berjuluk Si Jari Maut itu, yang telah menikah dengan seorang puteri Kerajaan Bhutan.

“Aih, Nenek yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun. Kiranya engkau adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!”

Karena Sian Li memang lincah jenaka dan gembira,

Maka sebentar saja ia sudah akrab dengan kakek dan nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali berkunjung ke situ sebelum Sian Li tinggal bersama Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian Lun menjadi murid mereka. Setelah makan bersama, dua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian Lun dan terutama sekali Tan Sian Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia bersama Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li segera berkata penuh gairah.

“Ku-kong aku ikut!”

Semua orang terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu.

“Aih, Sian Li, kau kira Bhutan itu dekat? Perjalanan ke sana berbulan-bulan!”

“Aku tidak takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu tentang Bhutan yang indah, dan dari Kong-kong Kao Cin Liong aku sering mendengar ceritanya tentang dunia bagian barat. Aku ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman, Ku-kong. Kebetulan sekali ada Ku-kong Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi yang akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali, Ku-kong!”

Suma Ceng Liong diam-diam tersenyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap cucu keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, berdarah petualang. Dia sendiri pun dahulu merupakan seorang petualang, demikian pula isterinya. Ayah dan ibu Si Bangau Merah ini pun petualang-petualang besar.

“Akan tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li? Kami tentu akan merasa tidak enak kalau mereka datang dan engkau tidak berada di sini,”

Kata Kam Bi Eng.

“Akan tetapi Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke sini, seperti biasa setiap tahun baru mereka datang. Dan aku akan berusaha agar sebelum tahun baru dapat pulang ke sini. Aku ingin sekali pergi, kebetulan ada Ku-kong dan isterinya yang akan menemaniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak keberatan aku ikut….”

Ia memandang kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi yang saling pandang dan tersenyum. Gangga Dewi mendekat dan merangkulnya.

“Tentu saja aku akan senang sekali kalau engkau ikut ke Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, kami tidak akan berani.”

Suma Ciang Bun berkata,

“Kami telah membeli sebuah kereta. Kalau kami mempergunakan perjalanan dengan kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya sebelum tahun baru Sian Li akan dapat pulang ke sini.”

Suma Ceng Liong memandang kepada kakaknya. Kalau dia membolehkan Sian Li pergi, andaikata dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak kepada mereka. Akan tetapi, kalau dia melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada Sian Li, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Seolah-olah dia tidak percaya kepada mereka.

“Ku-kong Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendiri, tidak bersama Ku-kong Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke barat.”

Sian Li berkata dan Suma Ceng Liong tertawa.

“Hemm, engkau memang memiliki hati membaja dan kepala membatu. Orang seperti engkau ini mana mungkin bisa dilarang? Sian Lun, engkau temani sumoimu pergi ke barat.”

“Baik, Suhu!”

Kata Sian Lun dengan tidak menyembunyikan suaranya yang mengandung kegembiraan besar.

“Sian Li kami membolehkan engkau pergi akan tetapi harus ditemani suhengmu agar kalau engkau pulang, ada yang menemani. Selain itu, kalau orang tuamu datang sebelum engkau pulang, kami dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi menemanimu.”

Sian Li girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan makin menggembirakan hatinya karena suhengnya itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan amat menyenangkan dan juga amat membantu. Ia bersorak, lalu menghampiri Kam Bi Eng dan merangkul nenek itu.

“Terima kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan memperkenankan, karena kalian adalah orang-orang tua yang terbaik di dunia ini!”

Suma Ceng Liong dan isterinya hanya tersenyum.

Suma Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya melihat sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari ke mudian, berangkatlah mereka berempat meninggalkan dusun Hong-cun. Suma Ciang Bun menjual keretanya dan sebagai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang baik dan mereka berempat melakukan perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng Liong dan isterinya yang mengantar mereka sampai ke luar dusun, diam-diam ikut girang dan terharu melihat betapa Sian Li, seperti anak kecil, kelihatan gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Dara itu memang berbakat sekali menjadi seorang pendekar. Baru dua hari ia diajar menunggang kuda oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan berani membalapkan kudanya! Bahkan Sian Lun juga kalah sigap.

Mereka yakin bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tidak akan marah andaikata mereka datang dan Sian Li belum kembali. Mereka pun merupakan pendekar-pendekar yang biasa bertualang. Apalagi kepergian Sian Li ini bersama kakeknya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula oleh Liem Sian Lun. Gangga Dewi menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan perjalanan cepat dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati. Karena mereka berempat adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertubuh kuat, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat. Kalau kuda mereka sudah terlalu lelah, Suma Ciang Bun menukarkan kuda mereka dengan kuda yang masih segar dengan menambah uang. Dengan cara demikian, mereka dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi.

Pada waktu itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah berhasil mengamankan seluruh negara.. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan yang menjaga tapal batas, dan di semua kota besar terdapat pula benteng pasukan. Pemberontakan-pemberontakan telah dapat dipadamkan, dan biarpun masih terdapat banyak golongan yang anti pemerintah Mancu, namun gerakan mereka hanya di lakukan secara sembunyi, tidak ada yang berani berterang karena pada waktu itu kekuatan pasukan Mancu amat besar. Apalagi karena Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati dan banyak menerima orang-orang Han yang pandai, diberi kedudukan tinggi dan bahkan pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han yang menganggap bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun seorang Mancu, namun mementingkan rakyat jelata.

Kaisar Kian Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, dan dia telah menjadi Kaisar selama lima puluh tahun lebih! Belum pernah ada Kaisar yang memegang tampuk kerajaan selama itu dengan berhasil baik. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong bukan seorang Kaisar yang mabok kedudukan sehingga hanya menjadi pengejar kesenangan sendiri saja. Sejak muda, Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul, bahkan akrab dengan para pendekar, dengan rakyat jelata seringkali melakukan perjalanan secara menyamar dan menyusup di kalangan rakyat jelata sehingga namanya dikenal sebagai seorang yang bijaksana dan ramah tamah. Bukan hanya karena kekuatan angkatan perangnya saja Kaisar Kian Liong dapat mempertahankan kedudukannya, akan tetapi terutama sekali karena nama baiknya itulah.

Pribadi seorang pemimpin memang menentukan kelancaran pemerintahannya, karena kalau pribadi itu tidak disukai rakyat, sudah pasti menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati rakyat, Bahkan menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang menerima kebudayaan, bahkan bahasa Han menjadi bahasa orang-orang Mancu yang memegang kendali pemerintahan. Dengan para negara tetangga, biar yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian selatan, Kaisar Kian Liong mengadakan hubungan yang baik dan menghargai kedaulatan masing-masing. Ini pun mengurangi gerakan gangguan di tapal batas dan perdagangan dengan negara lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat pemberontakan, maka hanya terjadi kecil-kecilan dan tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang.

Akan tetapi kini kedua perkumpulan itu bahkan bermusuhan, karena Thian-li-pang merupakan perkumpulan pejuang yang gagah dan sungguh membela rakyat, Sedangkan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan berkedok agama, bahkan dari Agama Buddha yang sudah menyeleweng daripada agama aselinya, bercampur dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke arah sesat. Karena kebesaran kerajaan atau Dinasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong, bahkan negara-negara seperti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan diri mengirim upeti setiap tahun kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda persahabatan, sebutan yang diperhalus dari keadaan sebenarnya, yaitu taluk tanpa diserang lagi. Hanya Kerajaan Nepal sajalah yang pernah menentang, akan tetapi negara itu diserbu pasukan besar dan ditundukkan, akan tetapi tidak dijajah dan hanya diharuskan mengirim upeti setiap tahun.

Karena keadaan yang aman itulah, Maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa ada gangguan di tengah perjalanan. Sian Li merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat sebelumnya, melihat perkampungan suku-suku bangsa yang dianggapnya aneh dan amat menarik. Perkampungan-perkampungan yang dilaluinya itu berbeda sama sekali dengan daerah timur berbeda segalanya, dari rumahnya, pakaiannya, bentuk wajah dan bahasa, bahkan makanan pun berbeda! Akan tetapi setelah Gangga Dewi memperkenalkan ia dengan orang-orang asing itu, menterjemahkan percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, Sian Li mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu hanya kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya kebiasaan hidupnya.

Pada hakekatnya, jauh di lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan ia atau seluruh bangsa di timur. Mereka suka bersahabat, suka tertawa membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal yang tidak enak. Biarpun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya cara dan campurannya saja. Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu tidak menyukai pahit dan getir. Yang disuka seperti juga di timur, manis asin sedikit asam dan pedas. Mereka pun sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti dirinya juga. Karena merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat akrab dengan mereka walaupun kadang-kadang kedua pihak tertegun heran melihat kebiasaan yang amat berbeda diantara mereka. Dengan adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk jalan,

Pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat menyenangkan bagi tiga orang yang lain, terutama sekali bagi Sian Li dan Sian Lun yang baru sekali itu selama hidup mereka lewat di tempat-tempat seperti itu. Biarpun Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah lupa bahwa sebelum tahun baru tiba, Sian Li sudah harus kembali ke rumah Suma Ceng Liong. Oleh karena itu, ia mengajak mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke Bhutan. Pada suatu siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan seelah menyeberangi sungai besar yang amat terkenal di Tibet yaitu sungai Yarlung Sangbo atau terkenal pula dengan nama Brahmaputra. Mereka melintasi pegunungan yang paling besar, tinggi dan panjang di seluruh dunia, yaitu Pegunungan Himalaya yang menjadi tapal batas antara Bhutan dan Tibet.

Di pegunungan yang amat terkenal ini. Sian Li merasa kagum bukan main. Walaupun perjalanan amat sukar, melalui gunung es yang teramat dingin, namun dara itu selalu nampak gembira dan kagum. Siang itu, mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak dusun-dusun yang termasuk wilayah Bhutan. Menjelang senja, mereka bertemu dengan pasukan kecil terdiri dari belasan orang. Ketika pasukan itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat turun dari atas kuda mereka dan memberi hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah pasukan keamanan yang menyamar dengan pakaian biasa, melakukan perondaan di daerah perbatasan itu. Setelah menerima penghormatan mereka Gangga Dewi bertanya.

“Apakah yang terjadi? Kenapa kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak berpakaian seragam pula?”

Pemimpin pasukan melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini daerah perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari Nepal memasuki daerah itu. Mereka adalah mata-mata Kekuasaan Nepal, dari pihak keluarga raja yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Ceng di Cina. Mereka ini menghasut rakyat di perbatasan Bhutan dan Tibet, untuk bersama-sama menentang dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang di perbatasan Propinsi Secuan untuk merong-rong Kerajaan Ceng.

“Ah, kalau begitu kalian harus melaksanakan tugas dengan baik. Kita tidak ingin terseret oleh pemberon-takan orang-orang Nepal itu, apalagi mereka juga menjadi musuh Kerajaan Nepal yang sah. Mereka bahkan pemberontak pula di Nepal, petualang-petualang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari pergolakan dan kekacauan,”

Pesan Gangga Dewi.

Dua orang di antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thim-phu di Bhutan, sedangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan. Gangga Dewi mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari telah sore. Mereka akan terpaksa bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu malam segera tiba, dan mereka pun sudah cukup lelah. Memang hari telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun itu. Sian Li dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat betapa mereka disambut oleh penghuni dusun yang berduyun menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian yang menyambut kedatangan Sang Puteri!

Kiranya dua orang perajurit tadi telah memberi kabar ke dusun itu, dan kepala dusun segera mengerahkan orang-orangnya untuk menyambut. Demi menyenangkan rakyatnya, Gangga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira ketika Gangga Dewi merangkul dan mencium anak perempuan yang bertugas menyerahkan seikat bunga kepada Sang Puteri. Sian Li memandang dengan wajah berseri dan Sian Lun mengagumi belasan orang penari yang terdiri dari gadis-gadis Bhutan yang manis, dengan tarian yang lemah gemulai, tubuh mereka meliak-liuk dengan amat lemas dan lenturnya, diiringi musik yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun terdengar demikian asyik dan membuat orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang berirama riang itu.

Ketika mereka memasuki dusun, mereka disambut oleh kepala dusun dan semua sesepuh dan pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas untuk para tamu agung itu mencuci badan, kamar-kamar terbaik di rumah kepala dusun dipersiapkan untuk mereka. Apalagi ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun sebagai suaminya, para penduduk semakin gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu menikah dengan seorang pria Han, bukan merupakan halangan, bahkan merupakan kebanggaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang bernama Syanti Dewi, yang mereka puja-puja dan kasihi, juga menikah dengan seorang pria Han yang kemudian bahkan menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat, ayah Gangga Dewi.

Malam itu, seluruh dusun bergembira dan sebuah pesta besar diadakan di pendapa rumah kepala dusun yang cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir sebagai tamu di panggung, sedangkan di bawah panggung, di sekeliling pendapa, hampir seluruh penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu untuk nonton keramaian, pertunjukan dan untuk melihat puteri mereka, Gangga Dewi yang mereka kagumi sebagai seorang puteri yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian seperti seorang dewi! Serombongan penari yang cantik manis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya, menari-nari diiringi musik yang sederhana namun menggairahkan seperti musik di daerah itu, yang mempunyai pukulan gendang dan tambur seolah-olah menghidupkan semua syaraf di tubuh untuk bergerak dan menari.

Puteri Gangga Dewi, Suma Ciang Bun Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu kehormatan dan para penari menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu merasa bangga mendapat kesempatan menari di depan Sang Puteri. Biasanya, hanya penari istana saja yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun yang tentu saja tidak pandai menari sehalus dan seindah penari istana, namun gerakan mereka wajar dan polos sehingga bagaikan bunga-bunga hutan yang segar. Beberapa orang di antara mereka mengerling ke arah Sian Lun dengan kerling tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah perkasa dan tampan, apalagi dia adalah anggauta rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para penabuh musik, para penonton, mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah sehingga secara bisik-bisik para pemuda menyebut Sian Li

“Dewi Merah”! Sian Li sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan yang disuguhkan juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi telah memesan kepada kepada dusun agar membuat lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han. Hal ini mudah dilakukan oleh para koki bangsa Bhutan karena memang hubungan antara Bhutan dengan Cina sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau yang disebut Han-Bhutan seperti Gangga Dewi kini berada di Bhutan seperti juga banyak di situ keturunan Nepal, Tibet, dan India. Sebagai negara kecil yang terkepung negara-negara besar Bhutan mempunyai banyak orang-orang berdarah campuran atau peranakan. Banyak pula orang Han berdatangan ke Bhutan sebagai pedagang,

Sehingga para koki bangsa Bhutan selain pandai membuat masakan khas Bhutan, pandai pula membuat masakan model Nepal, India, Tibet atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut, tidak terlalu menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak dirasakan. Sian Li juga mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda. Pakaian mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah. Mereka lebih pantas menjadi penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok khas Bhutan di pinggang mereka, dan mereka menabuh musik dengan lagak penari-penari yang lincah. Apalagi penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap. Dia menggulung lengan baju ke atas dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot.

Cara dia menabuh tambur sungguh menarik dan gagah, seperti orang bermain silat saja. Kadang-kadang dia melontarkan dua buah kayu pemukul tambur ke atas dan melanjutkan memukul tambur dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua ini dilakukan secara berirama. Sian Li kagum. Hebat memang pemuda yang usianya kurang leblh dua puluh tahun itu. Cara dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya kembali tanpa melihat karena matanya terus menatap tamburnya, seolah kedua tangannya bermata, sungguh mengagumkan. Dan pukulan tambur itu pun menggetar penuh kekuatan. Rasanya tidak mungkin dia itu tidak memiliki kepandaian silat dan tenaga sin-kang, pikir Sian Li. Akan tetapi kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih.

Tarian gadis-gadis cantik itu sudah selesai dan kini muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun. Kakek ini tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, kepalanya gundul atau botak licin dan pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula! Menyeramkan sekali kakek ini, terutama sepasang matanya yang bulat besar dengan alis yang terlalu tebal sehingga tidak wajar lagi! Kepala dusun memperkenalkan kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan Tibet yang memiliki keahlian sulap dan bermain ular! Biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu memberi hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian lentur seperti seekor ular besar! Gangga Dewi mengangguk dan tersenyum, lalu berkata,

“Mulailah dengan pertunjukanmu dan lakukan sebaik mungkin.”

Para penari dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda pemukul tambur tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma menunjukkan keahliannya. Pemuda itu tetap menahadapi sebuah tambur dan sebuah gendang, dan dengan kedua tangannya, dia mengangkat dua alat musik itu dan mendekati Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah ruangan pertunjukan.

Lulung Ma sudah siap. Ketika dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar menyeramkan, bahkan pemuda yang tinggi tegap itu pun hanya setinggi dagunya! Padahal, pemuda tampan itu sudah termasuk tinggi untuk ukuran biasa. Kini, pemuda itu memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur berdentam-dentam dan berirama, kemudian diimbangi suara suling yang bentuknya aneh, ada kepalanya yang sebesar kepalan tangan. Suling seperti itu disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli ular di India untuk menjinakkan ular yang liar dan berbisa. Akan tetapi, kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya mengimbangi pukulan tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking,

Memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang membuat Gangga Dewi dan orang-orang Bhutan di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi Sian Li, lagu itu lembut akan tetapi terasa aneh bagi pendengarannya. Suara suling berhenti dan kini pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul keras-keras, melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walaupun dari suara gendang dapat diketahui bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gendang. Suara gendang itu bisa terdengar seperti halilintar, bisa seperti riak air atau rintik hujan. Kini, kakek muka hitam itu mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak dimengerti oleh Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang sejak menjadi suami Gangga Dewi telah mempelajari bahasa daerah isterinya itu, menterjemahkan kepada mereka.

“Dia berkata bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya yang kosong.”

Sian Li memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton tukang sulap, yaitu ketika ia masih kecil. Melihat tukang sulap mampu mengambil benda-benda dari udara, ia dahulu merasa amat kagum. Akan tetapi ayah bundanya mengatakan bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dibantu pula oleh kecepatan kedua tangannya yang sudah terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam sulapan.

“Jangan-jangan dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiapkan lebih dulu!”

Katanya, suaranya cukup keras karena dianggap-nya bahwa yang mengerti bahasanya tentu hanya mereka berempat. Akan tetapi wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap itu menengok kepadanya dan berkata dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara raksasa!

“Jangan khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun kecuali kedua tanganku yang kosong ini! Maafkan, Nona cantik seperti dewi, dan suka berpakaian merah, maka aku menyebut Nona Dewi Merah!”

Kiranya raksasa muka hitam itu pandai bahasa Han, dengan lancar pula! Dan lebih membuat Sian Li terheran lagi, banyak di antara para tamu dan mereka yang menonton di sekeliling ruangan itu, pendapa yang terbuka menyambut ucapan rakasasa muka hitam itu dengan tawa riuh seolah mereka itu mengerti apa yang diucapkan dalam bahasa Han. Sian Li tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-orang di situ dengan bangsa Han sehingga bahasa Han bukan merupakan bahasa yang asing bagi kebanyakan dari mereka. Apalagi di antara mereka banyak pula terdapat keturunan Han. Segera terdengar seruan-seruan dari para pemuda yang tadi kagum kepada Sian Li.

“Dewi Merah….! Dewi Merah….!”

Gangga Dewi ikut pula bergembira dan ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghentikan keributan itu. Setelah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan suaminya itu,

“Ini adalah cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau Merah”

Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan

“Dewi Bangau Merah! Dewi Bangau Merah!”

Suma Ciang Bun terseret dalam kegembiraan itu dan dia pun mengumumkan

“Sebutan itu memang tepat sekali. Namanya memang Dewi (Sian-li)!”

Kembali orang bersorak. Ketika Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun tidak ikut bertepuk tangan, bahkan wajah pemuda itu nampak muram, ia pun menahan senyumnya. Ia segera mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang jatuh cinta kepada sumoinya, akan tetapi juga amat pencemburu sehingga kalau ada orang lain, terutama pria, yang memuji Sian Li, dia akan merasa tidak senang dan cemburu! Gangga Dewi kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara bising itu pun terhenti.

“Lulung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan memberi hadiah bunga-bunga kepada kami semua!”

Lulung Ma, Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti biasa diperlihatkan tukang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu dari udara dan…. tiba-tiba saja di kedua tangannya telah memegang masing-masing setangkai bunga yang segar berikut beberapa batang daunnya, seolah-olah baru saja dia memetiknya dari udara! Akan tetapi, ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun dan juga Gangga Dewi, hanya tersenyum.

Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang memiliki penglihatan tajam, berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat gerak cepat dari tukang sulap itu yang mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari dalam lengan baju hitamnya yang longgar. Memang benar, Lulung Ma tidak mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan seperti ucapannya tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya yang dapat bergerak cepat bukan main sehingga tidak nampak oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang panjang itu ditekuk ke dalam dan menjepit dua tangkai bunga dari dalam lubang lengan bajunya. Sambil menjura ke kanan kiri menyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke panggung kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu kepada Gangga Dewi dan Sian Li sambil berkata lantang.

“Bunga-bunga yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi dan Dewi Bangau Merah!”

Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut tepuk tangan para penonton. Sian Lun yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam itu menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam dan menyapu seluruh tubuh dara itu. Teringat dia betapa tadi Si Hitam ini juga memuji Sian Li cantik seperti dewi. Maka dengan hati panas dia menggunakan kesempatan itu untuk berkata sambil memandang kepada raksasa hitam itu.

“Engkau hanya mengambil bunga-bunga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?”

Sepasang mata yang bulat dan besar itu kini memandang kepada Sian Lun dengan sinar mata tajam mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan rasa tak senangnya. Lulung Ma lalu bangkit berdiri, memandang kepada seluruh penonton baik yang di atas panggung maupun yang di bawah.

“Saudara sekalian, pemuda ini menuduh aku mengambil bunga-bunga itu dari lengan baju. Apakah kalian melihat aku mengambil sesuatu dari lengan baju?”

Serentak terdengar jawaban,

“Tidak….! Tidak….!”

Lulung Ma lalu tersenyum dan memandang lagi kepada Sian Lun.

“Kongcu (Tuan Muda), apakah engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?”

Sian Lun diam saja. Andaikata di lengan bajunya ditaruhkan bunga lebih dahulu sekalipun, dia tentu tidak akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat orang. Untuk pekerjaan itu dibutuhkan latihan yang lama sampai menjadi ahli benar. Dia menggeleng kepala.

“Suheng, jangan mencari keributan!”

Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu. Gangga Dewi yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata,

“Memang dia tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan pertunjukanmu yang menarik ini!”

Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan mendekati tukang gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lambat dan lirih. Akan tetapi Sian Li tadi sempat melihat betapa pemuda jangkung yang tampan itu memandang ke arah Sian Lun dengan sinar mata mencorong seperti orang marah. Lulung Ma kini menggerak-gerakkan kedua tangannya, memetik dari udara, menjambak rambut sendiri, mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap kali tangannya bergerak,

Nampak setangkai bunga di tangan itu. Akan tetapi sekali ini bukan dua batang bunga segar seperti tadi melainkan berpuluh-puluh bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lampar-lemparkan kepada para tamu dan penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan tepuk tangan meriah dan seruan-seruan keheranan. Sian Li melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya mempergunakan kecepatan kedua tangannya untuk mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan baju dan saku jubah hitamnya. Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak nampak oleh mata orang biasa yang tidak terlatih. Setelah membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat mengesan-kan itu, Lulung Ma lalu memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata,

“Sekarang hamba hendak mencoba untuk mengubah kepala hamba menjadi kepala naga, harap Paduka memaafkan hamba.”

Mendengar ini, Gangga Dewi mengangguk. Diam-diam puteri ini kagum juga kepada raksasa hitam yang ternyata pandai itu, dan mendengar orang itu hendak mengubah kepalanya menjadi kepala naga, ia pun dapat menduga bahwa Lulung Ma tentu seorang ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang sebelumnya minta maaf kepadanya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan kepandaiannya maka sebelumnya minta maaf. Kini Lulung Ma menghadapi para tamu dan penonton.

“Saudara sekalian harap suka tenang, sekarang aku ingin mengubah kepalaku menjadi kepala naga!”

Lalu dalam bahasa Han dia berkata sambil memandang ke arah Sian Li dan Sian Lun,

“Dewi Bangau Merah, saya akan mengubah kepala saya ini menjadi kepala naga!”

Dan dia memberi isarat kepada pemuda penabuh gendang yang segera mengganti gendangnya dengan tambur dan terdengarlah derap bunyi tambur yang meledak-ledak dan bergemuruh seperti ada badai dan halilintar mengamuk! Lulung Ma menggerakkan kaki tangannya mengikuti suara tambur, dan makin lama tubuhnya bergetar makin kuat, lalu dia mengeluarkan suara teriakan melengking,

“Saudara lihat baik-baik, kepalaku adalah kepala naga, hitam!”

Kembali dia mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi yang semakin merendah menjadi gerengan yang menggetarkan seluruh ruangan itu, diikuti suara tambur yang menggelegar. Semua orang terbelalak, ada yang mengeluarkan teriakan, bahkan banyak wanita menjerit dan Sian Li merasa betapa lengannya dipegang Sian Lun dengan kuat. Ia menoleh dan melihat betapa Sian Lun terbelalak memandang ke arah Lulung Ma. Sian Li tersenyum dan mengerti. Suhengnya itu memang telah memiliki ilmu silat tinggi dan sin-kang yang kuat,

Akan tetapi tidak pernah mempelajari ilmu yang dapat menolak pengaruh sihir seperti Ia. Ia sejak kecil telah dilatih untuk membangkitkan tenaga sakti dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dan perlahan-lahan sekali, kekuatan itu tumbuh dalam dirinya dan ia pun seperti memiliki kekebalan terhadap sihir. Tadi ia sudah menduga bahwa kakek raksasa hitam itu tentu mempergunakan hoat-sut (sihir), maka ia pun sudah mengerahkan tenaga sakti Pek-ho Sin-kun sehingga ia pun tidak terpengaruh dan melihat bahwa kepala Lulung Ma itu tetap kepala yang tadi, tidak berubah menjadi kepala naga. Dan memang Sian Lun menjadi terkejut dan tegang ketika seperti para penonton lain dia melihat bahwa kepala raksasa hitam itu benar-benar berubah menjadi kepala naga hitam yang amat menyeramkan.

Tentu saja bentuk kepala naga itu tidak sama di antara para penonton, tergantung dari khayal mereka masing-masing. Ketika Sian Li mengerling ke arah Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, ia melihat dua orang tua ini memandang ke arah Lulung Ma sambil tersenyum tenang, tanda bahwa mereka pun tidak terpengaruh. Hal ini tidaklah mengherankan. Suma Ciang Bun adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang merupakan seorang sakti dan ahli sihir pula, maka Suma Ciang Bun yang sudah menguasai tenaga sakti Im dan Yang dari keluarga sakti itu, tidak terpengaruh. Demikian pula Gangga Dewi. Ia mewarisi ilmu dari mendiang ayahnya, yaitu Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka begitu melihat kepala itu berubah menjadi kepala naga, dengan cepat wanita ini mengerahkan sin-kangnya dan buyarlah pengaruh sihir itu dari pikirannya.

“Suheng,”

Bisik Sian Li kepada suhengnya yang masih memegang lengannya dalam keadaan tegang itu.

“Tenanglah dan kerahkan sin-kangmu untuk memecahkan pengaruh yang mencengkeram pendengaran dan penglihatanmu. Semua itu hanya ilmu sihir.”

Mendengar bisikan ini, Sian Lun melepaskan pegangan-nya dan dia nampak memejamkan kedua mata, menahan napas lalu mengatur pernapasan dan setelah dia membuka matanya lagi, dia melihat bahwa kepala Lulung Ma kembali seperti biasa.

“Hemm, kiranya ilmu setan untuk menakut-nakuti anak kecil!”

Sian Lun berkata untuk melampiaskan kedongkolan hatinya bahwa tadi dia pun sampai terpengaruh dan sempat terkejut dan gentar. Lulung Ma memiliki pendengaran yang amat tajam dan dia dapat menangkap ucapan Sian Lun itu. Dia mengeluarkan suara meraung dan bersamaan dengan bunyi tambur yang semakin menurun, orang-orang melihat asap mengepul menutupi kepala naga itu dan ketika asap lenyap, kepala itu sudah kembali menjadi kepala Lulung Ma. Para penonton bertepuk tangan dan bersorak menyambut sulapan itu penuh kekaguman. Kembali Sian Li melihat betapa pemuda penabuh tambur itu mengirim pandang mata penuh kemarahan kepada Sian Lun sehingga hatinya merasa tidak enak.

“Suheng, kuminta engkau jangan mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan. Ingat, kita ini tamu, dan mereka itu hanya menyuguhkan pertunjukan untuk menghibur. Sekali lagi engkau bersikap seperti itu, aku akan marah padamu,”

Bisiknya. Sian Lun meman-dang kepadanya dan mengangguk. Dia pun merasa betapa kepanasan hatinya tidak beralasan sama sekali dan dia merasa malu sendiri. Kini Lulung Ma sudah memberi hormat lagi kepada Gangga Dewi, lalu kepada para penonton.

“Sekarang, kami hendak mempersembahkan hiburan berupa permainan dan tari ular!”

Kakek raksasa hitam itu mengeluarkan suling ularnya dan mulai meniup suling dengan suara melengking-lengking. Pemuda penabuh tambur tadi bangkit, menghampiri belasan buah keranjang dan membuka tutup semua keranjang itu, kemudian kembali dia menabuh tambur perlahap-lahan seperti suara rintik hujan. Suara suling melengking-lengking lembut dan para penonton menjadi tegang dan tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak ketika dari belasan buah keranjang itu muncul kepala ular-ular yang besar!

Ular-ular itu mengangkat kepala tinggi-tinggi, seperti menjenguk keluar, mengem-bangkan leher dan mendesia-desis, lidah menjilat-jilat keluar masuk, kemudian mereka keluar dari dalam keranjang. Melihat ini, para penonton yang berada paling depan, mundur ketakutan, bahkan para tamu yang duduk di panggung juga mengangkat kaki dengan gentar. Ular-ular itu bukanlah ular biasa, melainkan ular kobra yang berbisa! Sekali saja digigit ular berbisa itu, nyawa dapat melayang! Kini belasan ekor ular itu sudah keluar dari dalam keranjang masing-masing dan merayap menghampiri Lulung Ma. Panjang ular itu dari satu sampai satu setengah meter. Mereka merayap dengan kepala terangkat tinggi, kemudian tiba di depan Lulung Ma, belasan ekor ular itu berhenti, masih mengangkat kepala tinggi-tinggi.

Lulung Ma menggerak-gerakkan lengan kirinya yang menjadi lemas seperti ular, dengan tangan membentuk kepala ular, dan tangan kanannya memegang suling yang masih ditiupnya. Pemuda itu juga memukul tambur dengan irama lirih dan lambat. Kini, ular-ular itu mulai menari-nari, dengan kepala dilenggang-lenggokkan, menoleh ke kiri kanan dan nampak seperti belasan orang penari yang memiliki gerakan lemah gemulai! Para penonton memandang kagum, akan tetapi tidak berani bersorak atau bertepuk tangan, takut kalau mengejutkan ular-ular itu. Suma Ciang Bun pernah mempe-lajari ilmu menguasai ular dari mendiang ibunya. Ibunya yang bernama Kim Hwee Li adalah seorang yang memiliki ilmu pawang ular, bahkan Suma Ciang Bun pernah mempelajari cara memanggil ular bukan dengan suling lagi,

Melainkan dengan suara yang dikeluarkan dari bibirnya seperti suitan panjang. Akan tetapi, kini dia kagum menyaksikan kelihaian Lulung Ma mengatur ular-ularnya untuk menari seperti itu. Hanya ular-ular peliharaan yang sudah dilatih saja yang dapat disuruh menari seperti itu. Belum tentu raksasa hitam itu mampu menguasai dan mengendalikan ular-ular yang liar pikirnya. Agaknya raksasa hitam itu seperti dapat membaca pikiran Suma Ciang Bun karena kini dengan tangan kirinya, dia memberi isarat kepada tukang tambur. Pemuda itu lalu bangkit meninggalkan tamburnya sehingga tinggal suara suling saja yang melengking dan mengendalikan belasan ekor ular itu. Pemuda itu lalu menuruni tangga panggung dan dengan suara lantang minta kepada penonton di bawah agar “membuka jalan”

Untuk barisan ular.

“Harap minggir dan membuka jalan. Semua ular di sekitar sini akan dipanggil untuk mengadakan pesta ular!”

Katanya. Tentu saja orang-orang menjadi ketakutan dan membuka jalan yang cukup lebar seperti dikehendaki pemuda itu.

Si Pemuda Jangkung kembali ke atas panggung dan dia lalu menangkapi belasan ekor ular itu dangan tangannya den mengembalikan mereka ke dalam keranjang masing-masing. Cara dia menangkap ular-ular itu saja sudah membuat Suma Ciang Bun, Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa pemuda itu dapat menggerakkan tangan dengan amat cepatnya. Bahkan ketika ular terakhir hendak ditangkap, ular itu mematuk dengan serangan cepat sekali. Akan tetapi, dengan sikap amat tenang, pemuda itu sudah dapat mendahului, jari tangannya menjepit leher ular dengan amat cekatan dan memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya. Diam-diam Sian Li kagum. Gerakan mengelak dan menjepit leher ular dengan telunjuk dan ibu jari itu tadi jelas merupakan gerakan seorang ahli silat yang pandai. Dengan jepitan seperti itu, pemuda itu agaknya akan mampu menangkap senjata rahasia yang menyambar ke arah dirinya.

Ia merasa yakin bahwa pemuda jangkung itu tentu pandai ilmu silat. Kini pemuda jangkung itu sudah menabuh tamburnya kembali, mengiringi bunyi suling yang melengking begitu tinggi sehingga hampir tidak terdengar, namun terasa getarannya. Suma Ciang Bun terkejut. Itulah lengking tinggi memanggil ular yang amat kuat dan berpengaruh. Baru dia tahu bahwa tadi dia memandang rendah. Kiranya raksasa hitam ini bukan saja mampu memanggil ular-ular liar. Jantungnya berdebar tegang. Sungguh berbahaya permainan ini, apalagi di situ berkumpul banyak orang. Bagaimana kalau ular-ular itu tidak dapat dikendalikan dan menyerang orang? Semua orang juga memandang tegang dan tiba-tiba mulailah terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau amis. Segera terjadi kekacauan ketika para penonton di bawah ada yang berteriak-teriak.

“Ular….! Ular….!”

Pemuda itu sambil terus memukul tamburnya, berteriak dengan suara lantang,

“Harap tenang! Jangan ada yang bergerak, dan ular-ular itu tidak akan mengganggu!”

Kini nampaklah ular-ular itu. Memang benar, ketika para penonton tidak bergerak, ular-ular itu tidak mengganggu. Memang mereka datang dari empat penjuru, bahkan melalui dekat kaki para penonton, akan tetapi mereka semua seperti tergesa-gesa menuju ke tangga dan naik ke panggung, menghampiri kakek raksasa hitam yang meniup suling! Banyak sekali ular-ular itu, puluhan ekor, bahkan ratusan ekor banyaknya, ada yang besar sekali, banyak yang kecil namun amat berbisa! Banyak di antara para tamu bangkit dari tempat duduk mereka karena merasa ngeri dan takut kalau-kalau kaki mereka akan diserang ular.

Juga Sian Li dan Sian Lun bangkit berdiri, bukan takut diserang ular, melainkan khawatir kalau ada tamu yang dipatuk ular. Seorang gadis remaja, puteri kepala dusun yang duduk tak jauh dari mereka, nampak pucat sekali dan gadis remaja itu agaknya memang takut ular. Tubuhnya menggigil dan ketika ada dua ekor ular yang panjangnya hanya dua kaki akan tetapi ular-ular itu amat berbisa, lewat di dekat kakinya, gadis remaja itu menjerit. Dua ekor ular itu kaget dan membalik. Melihat itu, seperti berebut saja Sian Li dan Sian Lun meloncat, mendekati gadis itu. Gerakan mereka ini membuat dua ekor ular yang sudah marah dan tadinya hendak menyerang gadis yang menjerit, membalik dan menyerang ke arah Sian Li dan Sian Lun. Ular yang menyerang Sian Lun dan Sian Li itu adalah semacam ular yang suka melompat tinggi.

Kini mereka pun meloncat dan menyerang dengan kecepatan anak panah. Akan tetapi dengan tenang saja Sian Li menggerakkan tangannya, dan sekali jari-jari tangannya menghantam, ular yang menyerangnya itu terbanting dengan kepala remuk dan tewas seketika! Adapun ular yang menyerang Sian Lun, disambut oleh pemuda itu dengan cengkeraman ke arah leher ular itu. Sekali dia meremas, leher ular itu hancur dan ular itu pun mati seketika. Lulung Ma, melihat hal itu dan alisnya berkerut. Alis yang tebal sekali itu kini seperti bersambung menjadi satu. Tiupan sulingnya menjadi kacau karena hatinya panas melihat dua ekor ularnya mati, dan hal ini membuat ular-ular itu menjadi panik dan kacau pula! Orang-orang menjerit ketika ular-ular itu mulai lari ke sana sini dengan kacau.

Melihat hal ini, Suma Ciang Bun cepat bertindak. Terdengar suara melengking aneh dan meninggi, dan ular-ular itu menjadi ketakutan. Lenyap semua kemarahan mereka dan mereka pun tidak ganas lagi, melainkan ketakutan dan mereka lari secepatnya meninggalkan tempat itu seperti dikejar-kejar sesuatu yang membuat mereka ketakutan! Lulung Ma menghentikan tiupan sulingnya. Dia dan pemuda jangkung tukang tambur itu menoleh ke arah Suma Ciang Bun, memandang dengan mata terbelalak. Kemudian, setelah semua ular pergi, hanya tinggal dua ekor bangkai ular, Lulung Ma lalu memberi isarat kepada Si Pemuda Jangkung yang segera mengambil dua bangkai ular dan menyimpannya dalam sebuah keranjang. Kemudian Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, tentu saja otomatis ke arah Suma Ciang Bun.

“Harap dimaafkan, karena ada yang menjerit ketakutan, ular-ular itu menjadi panik. Masih untung ada Enghiong (Orang Gagah) yang membantu kami mengusir ular-ular itu sehingga tidak ada korban gigitan. Untuk menyatakan maaf, biarlah murid saya ini bermain silat, dan kami akan memperlihatkan tari silat yang jelek dan hanya sekedar menghibur anda sekalian.”

Akan tetapi sebelum Si Jangkung itu bangkit berdiri, dari tempat para penari yang tadi minggir, berlompatan dua orang yang tadi juga menjadi pemain musik. Mereka berusia kurang lebih tiga puluh tahun, yang seorang bertubuh gemuk, yang ke dua kurus, akan tetapi keduanya tinggi, setinggi raksasa hitam itu dan nampak mereka itu memiliki tenaga otot yang kuat. Melihat mereka, Lulung Ma tersenyum dan kembali menjura kepada para tamu.

“Agaknya dua orang pembantu kami ini ingin pula memperlihatkan kepandaian mereka untuk menghibur para tamu. Badhu dan Sagha, silakan!”

Dua orang itu memberi isarat kepada kawan-kawan mereka dan beberapa orang datang menggotong sebuah keranjang terisi batu-batu sebesar kepala orang. Setelah meletakkan keranjang itu di depan Badhu dan Sagha, mereka turun kembali. Badhu yang gemuk dengan perut gendut itu berdiri tegak dengan kedua lutut agak ditekuk, memasang kuda-kuda dan memberi isarat kepada kawannya yang tinggi kurus bernama Sagha. Orang ini lalu mengambil sebongkah batu dari keranjang, lalu sekuat tenaga dia menghantamkan batu itu ke arah perut temannya. Perut yang gendut itu menerima hantaman batu.

“Bukkk!”

Pukulan itu membalik. Sagha mundur sejauh dua meter lebih, lalu sekuat tenaga dia melontarkan batu itu ke arah perut kawannya.

“Bukk!!”

Batu itu mengenai perut dan mental kembali ke arah Sagha yang menyambut dengan kedua tangan. Kemudian, Sagha melemparkan batu itu menghantam ke arah dada, paha, pundak, bahkan dari belakang mengenai punggung dan pinggul. Akan tetapi batu itu selalu mental kembali. Tentu saja semua orang menjadi kagum. Tubuh Si Gendut itu memang kebal. Kemudian, Badhu juga mengambil sebong-kah batu dan menghantamkan batu ke arah Sagha yang kurus. Si Kurus ini menyambut dengan batu di tangannya.

“Darr….!”

Dua buah batu itu pecah berhamburan. Mereka mengambil batu lagi dan kini mereka saling hantam, bukan saja di tubuh, melainkan di kepala. Akan tetapi setiap kali batu itu dihantamkan ke kepala lawan, batu itu pecah berhamburan! Tentu saja para penonton menyambut dengan sorak-sorak dan tepuk tangan karena pertunjukan ini benar-benar menegangkan dan juga mengagumkan. Bagaimana kepala orang dapat begitu kebal dan keras sehingga batu besar pun pecah ketika bertemu kepala! Setelah sepuluh buah batu besar itu pecah, kedua orang itu lalu mengadu kekuatan dengan bergulat! Badhu yang gendut berhasil memegang pinggang Sagha yang kurus dengan kedua tangan, mengerahkan tenaga mengangkat tubuh kurus itu ke atas, memutar-mutarnya dan membanting sekuat tenaga.

“Bukkk….!”

Tubuh kurus itu terbanting dan kalau orang lain dibanting sekeras itu, tentu akan patah-patah semua tulangnya. Akan tetapi seperti sebuah bola saja, Si Kurus sudah meloncat bangun kembali, dan kini dia menyergap Si Gendut, menangkap lengannya, dipuntir ke belakang dan dari belakang tubuhnya dia membanting kawannya itu dengan sepenuh tenaga.

“Bukkk!”

Tubuh gendut gemuk itu terbanting dan semua orang merasa khawatir. Akan tetapi seperti juga temannya tadi, segera dia bangkit kembali, seolah-olah bantingan tadi sama sekali tidak dirasakannya. Sekarang mereka tidak bergulat lagi, melainkan berkelahi saling pukul dan saling tendang. Dan agaknya mereka ingin memamerkan kecepatan gerakan mereka.

Pukulan dan tendangan mereka elakkan atau tangkis, dan yang sempat mengenai tubuh pun tidak dirasakan karena keduanya memiliki kekebalan. Demikian serunya perkelahian itu sehingga memancing tepuk sorak para penonton yang merasa kagum bukan main karena mereka seperti melihat dua ekor harimau bertarung. Memang hebat sekali perkelahian itu, apalagi diiringi musik tambur dan genderang yang dipukul secara kuat oleh Lulung Ma dan pemuda jangkung. Akhirnya, Lulung Ma yang memukul gendang memberi isarat dengan pukulan gendangnya yang semakin lambat dan lirih dan akhirnya dua orang yang sedang bertanding itu pun menghentikan pertandingan mereka. Dengan sikap bangga dan dada terangkat, Si Gendut yang bernama Badhu lalu memandang kepada para tamu dan para penonton.

“Saudara sekalian, kurang menarik kalau hanya saya dan adik saya Sagha ini yang bertanding karena kami berdua sama kuat dan tidak ada yang dapat menang atau kalah. Kita semua tahu betapa kuatnya bangsa kita yang hidup di sekitar Pegunungan Himalaya ini, tidak dapat disamakan dengan mereka yang tinggal di timur, yang kerempeng dan berpenyakitan. Akan tetapi, kalau ada di antara saudara yang mengaku orang timur dan merasa memiliki kepandaian yang katanya dimiliki orang-orang di dunia persilatan, silakan maju. Mari kita ramaikan pertemuan ini dengan main-main sebentar untuk membuka mata kita siapa sesungguhnya yang lebih kuat antara orang-orang di Pegunungan Himalaya!”

Dengan sikap menantang Badhu dan Sagha berdiri di situ sambil memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li, juga Suma Ciang Bun. Jelas bahwa biar dia tidak menantang secara langsung, akan tetapi di tempat itu yang jelas merupakan pendatang dari timur adalah mereka bertiga itu. Sian Lun dan Sian Li, saling pandang dan dari pandang mata itu mereka bersepakat untuk menyambut tantangan itu. Sian Li menoleh kepada nenek Gangga Dewi dan bertanya,

“Bolehkah kami melayani tantangan mereka?”

Gangga Dewi dan suaminya saling pandang. Diam-diam Gangga Dewi juga marah melihat sikap dua orang pegulat itu yang dianggapnya terlalu sombong dan merendahkan orang-orang Han dengansengaja. Ia mengangguk dan menjawab.

“Biar Sian Lun yang maju lebih dulu menghadapi Badhu, dan engkau nanti yang menghadapi Sagha.”

Sian Lun yang sejak tadi sudah mendongkol sekali, segera bangkit dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang ke depan dua orang itu.

“Aku orang dari timur yang kerempeng dan lemah ingin mencoba kehebatan seorang di antara kalian!”

Kata Sian Lun dengan suara lantang. Suasana menjadi tegang. Semua orang tahu bahwa pemuda tampan itu adalah anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi dan dari pakaiannya saja jelas dapat diketahui bahwa dia seorang pemuda Han. Kalau saja Sian Lun bukan anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi, tentu Badhu sudah mengejek dan menghinanya. Akan tetapi mengingat akan kehadiran puteri Bhutan itu, Badhu tidak berani bersikap kasar dan dia pun menjura sebagai penghormatan.

“Saya tidak berani menentang Kongcu, dan yang saya maksudkan adalah mereka yang datang dari timur daerah Se-cuan. Akan tetapi kalau tidak ada yang berani maju kecuali Kongcu baiklah saya akan layani Kongcu main-main sebentar.”

Sagha tersenyum dan Si Tinggi Kurus ini lalu mengundurkan diri ke rombongan penari dan pemain musik tadi. Kini Lulung Ma dan pemuda penabuh tambur memukul tambur dan gendang dengan gencar dan mereka kelihatan gembira sekali. Sian Li yang memandang rendah dua orang pegulat itu, berseru dengan lantang.

“Suheng, jangan sampai membunuh orang!”

Sian Lun mengangguk, dan mendengar ucapan gadis itu, Lulung Ma dengan tangan masih menabuh gendang, menjawab.

“Nona Dewi Bangau Merah, pembantuku Badhu ini belum pernah dikalahkan lawan bagaimana mungkin dia dapat dibunuh? Dan jangan khawatir, kami juga tidak mau membunuh orang dalam pesta ini, hanya sekadar menghibur dengan pertunjukan menarik. Badhu, mulailah!”

Dua orang itu sudah saling berhadapan. Sian Lun bersikap tenang walaupun hatinya panas mendengar ucapan Lulun Ma tadi. Namun dia sebagai murid suami isteri yang sakti, tahu bahwa membiarkan diri diseret perasaan amat merugikan. Dia tetap tenang dan waspada, dan dia mengikuti setiap gerakan lawan dengan pandang matanya yang mencorong tajam. Bagaikan seekor biruang, Badhu yang gendut itu mengangkat kedua tangan ke atas kanan kiri kepala, lalu membuat langkah perlahan mengitari Sian Lun. Pemuda itu mengikuti dengan gerakan kakinya tetap waspada.

“Kongcu, silakan menyerang lebih dulu,”

Kata Badhu yang memandang rendah pemuda yang nampak lemah itu.

“Badhu, engkau yang menantang, engkau pula yang harus menyerang lebih dulu,”

Jawab Sian Lun dengan sikap tetap tenang.

“Ha-ha-ha, engkau terlalu sungkan, Kongcu. Baiklah, aku akan menyerang lebih dulu. Awas seranganku ini!”

Tangan kirinya menyambar dari atas, akan tetapi Sian Lun membiar-kan saja karena dia tahu dari gerakan pundak lawan bahwa tangan kiri itu hanya menggertak saja, sedangkan yang sungguh menyerang adalah tangan kanan yang menyambar ke arah pundaknya. Agaknya lawan terlalu memandang rendah kepadanya, disangkanya akan begitu mudah dia tangkap! Hanya dengan memutar tubuh sedikit saja, tubrukan tangan kanan itu mengenai tempat kosong. Badhu menyusulkan serangannya bertubi-tubi.

Kedua tangannya bagaikan cakar biruang menyambar-nyambar untuk menyengkeram dan menangkap. Sian Lun maklum bahwa orang ini memiliki keahlian dalam ilmu gulat, maka dia harus menjaga agar jangan sampai dia dapat ditangkap. Tangkapan atau cengkeraman seorang ahli gulat dapat berbahaya. Maka, dia pun mengelak selalu dan kadang menangkis dari samping tanpa memberi kesempatan kepada jari-jari tangan yang panjang itu untuk menangkapnya. Ketika Badhu yang mulai penasaran karena semua sambaran tangannya tak pernah berhasil itu menubruk seperti seekor harimau, dengan kedua lengan di kembangkan. Sian Lun menggeser kakinya ke kiri dan tubuhnya mengelak dengan lincah dan begitu tubuh Badhu lewat di sebelah kanannya, dia pun mengerahkan tenaga dan menghantam ke arah lambung lawan.

“Desss….!”

Tubuh lawan itu terbanting keras dan bergulingan, akan tetapi seperti bola karet, dia sudah bangkit kembali dan sama sekali tidak kelihatan sakit, bahkan meloncat dan menubruknya lagi. Sekali ini Badhu marah karena biarpun dia tidak terluka, namun dia telah terbanting dan hal ini bisa dianggap bahwa dia kalah oleh para penonton. Kini dia tidak hanya menubruk, bahkan mencengkeram ke arah kepala. Dia memang kebal, pikir Sian Lun. Kembali dia mengelak dan sekali ini, dia tidak mau menggunakan tenaga untuk memukul lawan begitu saja, melainkan dia menggunakan tangan yang dibuka, dan tangan itu menampar ke arah muka orang. Yang diarah adalah hidung dan mata karena yakin bahwa betapa pun kebal kepala itu, kalau hidung dan mata tidak mungkin dilatih kekebalan.

“Plakkk!”

Tubuh itu tidak terguncang, akan tetapi Badhu mengeluarkan seruan kesakitan dan kedua tangannya menutupi mukanya. Ketika dia menurunkan tangannya, hidungnya menjadi biru dan sebelah matanya juga dilingkari warna menghitam! Badhu adalah orang kasar yang biasa mempergunakan kekerasan.

Kalau dia biasa menggunakan otaknya, tentu dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya dibandingkan dia yang hanya menggunakan kekuatan otot dan keras serta tebalnya tulang dan kulit. Kini, dia menjadi marah sekali dan lupa diri. Dia menggereng seperti harimau terluka dan dia menyerang Sian Lun dengan liar dan membabi-buta. Serangan membabi-buta seperti itu malah berbahaya, pikir Sian Lun. Maka dia pun menggunakan kelincahan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan pukulan-pukulan tangan terbuka yang ditujukan ke arah bagian badan yang tidak mungkin dilatih kekebalan. Berkali-kali tangannya menampar daun telinga, sambungan siku dan pergelangan tangan, kakinya menendang ke arah sambungan lutut kedua kaki lawan.

“Brukk….!”

Sekali ini Badhu jatuh dan biarpun dia berusaha untuk bangkit, dia jatuh kembali karena sambungan kedua lututnya telah berpindah tempat!

Para penonton menahan napas dan suasana menjadi tegang bukan main. Tidak ada yang berani bertepuk tangan karena selain mereka merasa bangga kepada Badhu juga mereka masih tidak dapat percaya bahwa seorang pemuda yang kelihatan lemah itu benar-benar mampu membuat Badhu bertekuk lutut tanpa mengalami cidera sedikit pun, bahkan belum pernah tersentuh tangan raksasa gendut itu! Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Sian Li! Biarpun hanya ia seorang yang bertepuk tangan, akan tetapi karena ia sengaja mengerahkan tenaganya, maka suara tepuk tangannya amat nyaring. Sagha sudah membawa teman-teman pemain musik untuk membantu Badhu meninggalkan gelanggang pertandingan dan dia sendiri menghadapi Sian Lun dengan muka merah.

“Kongcu hebat dapat mengalahkan Kakakku, akan tetapi aku pun ingin mengadu ilmu denganmu. Bersiaplah!”

Sian Lun tentu saja tidak takut. akan tetapi pada saat itu nampak berkelebat bayangan merah.

“Suheng, jangan tamak! Yang satu ini bagianku!”

Sian Lun memandang kepada sumoinya dan tersenyum.

“Hati-hati Sumoi, jangan kesalahan tangan membunuh orang,”

Katanya dan dia pun kembali ke tempat duduknya.

Semua tamu dan penonton kini memandang kepada Sian Li dan karena mereka tadi sudah kagum kepada gadis jelita itu, kini melihat gadis itu berani manghadapi dan hendak melawan seorang jagoan seperti Sagha, tentu saja mereka semakin kagum, juga perasaan hati mereka tegang. Bagaimana kalau kulit yang halus mulus itu sampai lecet, tulang yang kecil lembut itu sampai patah-patah. Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa tingkat kepandaian dara itu bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian pemuda tampan yang tadi mempermainkan dan mengalahkan Badhu! Sagha sendiri terkenal jagoan. Karena dia merasa bangga kepada diri sendiri dan jarang menemui tandingan, maka kini dihadapi seorang dara sebagai calon lawan, tentu saja dia merasa sungkan dan tidak enak sekali.

“Nona, aku Sagha adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan tak pernah mundur menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, bagaimana mumgkin aku berani melawan seorang dara yang masih setengah kanak-kanak seperti Nona? Seluruh dunia akan mentertawakan aku, menang atau pun kalah. Lebih baik aku melawan lima orang laki-laki yang mengeroyokku daripada harus bertanding melawan seorang dara remaja!”

Sian Li tersenyum mengejek.

“Sagha, katakan saja engkau takut melawan aku. Kalau engkau takut, berlututlah dan cabut semua omongan kalian yang sombong tadi, yang mengejek dan menghina para pendekar dari dunia persilatan di timur! Engkau harus menarik ucapanmu tadi dan mohon maaf, baru aku dapat mengampunimu!”

Mereka yang memahami bahasa Han, menjadi bengong mendengar ucapan gadis itu. Betapa beraninya!

Dan mereka yang tidak paham, cepat bertanya kepada teman mereka yang mengerti dan semua orang kini memandang kepada Sian Li dengan kaget dan heran. Seorang gadis yang usianya belum dewasa benar berani bersikap demikian meremehkan terhadap seorang jagoan seperti Sagha yang tadi sudah mendemontrasikan kekebalan dan kehebatan tenaganya! Baru kepala dan tubuh yang lain saja demikian kuatnya, kepalanya mampu membikin pecah batu, apalagi tangannya. Sekali sentuh saja, mungkin kepala gadis remaja itu akan remuk! Mendengar ucapan Sian Li, Sagha mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi merah sekali. Kalau bukan seorang gadis yang mengucapkan kata-kata tadi, tentu telah dihantamnya. Akan tetapi dia berhadapan dengan seorang gadis anggauta rombongan Sang Puteri Gangga Dewi pula, tentu saja dia tidak berani sembarangan.

“Nona, mungkin saja Nona pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi engkau bukan lawanku. Aku tidak takut kepadamu, melainkan takut kalau dltertawakan orang gagah sedunia. Pula, bagaimana aku berani bertanding dengan engkau yang datang bersama Yang Mulia Puterl Gangga Dewi? Aku takut mendapat marah dari beliau.”

Gangga Dewi yang mendengar ucapan Sagha itu tersenyum. Ia sudah tahu bahwa Sian Li telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, bahkan tingkatnya lebih tangguh diban-dingkan suhengnya. Oleh karena itu, tentu saja ia merasa yakin bahwa Sian Li akan mampu menandingi dan bahkan mengalahkan Sagha dengan mudah. Juga ia ingin orang yang sombong itu menerima hajaran karena telah berani mengejek dan menghina para pendekar Han.

“Sagha, engkau boleh bertanding melawan Si Bangau Merah. Kalau engkau mampu menang, baru aku mengaku bahwa engkau memang seorang jagoan yang hebat.”

Sagha memberi hormat kepada Gangga Dewi.

“Maafkan saya. Akan tetapi bagaimana kalau hamba kesalahan tangan dan melukai Nona ini? Hamba tidak ingin Paduka nanti marah kepada hamba.”

Gangga Dewi tertawa.

“Aku tidak akan marah dan semua orang yang berada di sini menjadi saksinya.”

“Terima kasih, Yang Mulia,”

Kata Sagha dan kini dia menghadapi Sian Li.

“Baik, Nona. Mari kita main-main sebentar.”

“Tidak usah main-main, keluarkan semua kepandaianmu dan seranglah sungguh-sungguh karena aku akan merobohkanmu!”

Kata Sian Li. Hemm, bocah ini terlalu memandang rendah kepadaku, pikir Sagha marah. Dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan mengambil keputusan untuk membikin malu gadis itu di depan umum, misalnya dengan merobek baju itu!

“Nona, jaga seranganku ini!”

Dan kedua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu sudah bergerak cepat menyambar ke arah tubuh dara remaja itu tanpa sungkan lagi. Dibandingkan Badhu, Sagha yang tinggi kurus ini memang lebih sigap dan cepat.

“Hyaaaahhhh….!”

Dia membentak sambil menyerang.

“Plakkk!”

Kedua telapak tangannya saling bertemu dari kanan kiri dan mengeluarkan bunyi keras ketika terkamannya itu luput, dan gadis yang tadi berada di depannya itu telah lenyap. Cepat dia membalik dan kembali kedua lengan panjang itu bergerak seperti dua ekor ular, akan tetapi kembali terkamannya mengenai tempat kosong. Makin cepat dia menyerang, semakin cepat pula Sian Li bergerak sehingga semua penonton menjadi bengong saking kagumnya. Tubuh gadis itu lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebatan dengan amat cepatnya, menyambar-nyambar di antara terkaman dan cengkeraman kedua tangan Sagha. Tiba-tiba, ketika Sian Li menganggap sudah cukup lama mempermainkan lawan, ia berseru nyaring dan jari telunjuk kirinya meluncur bagaikan patuk burung bangau mematuk dengan cepat seperti kilat menyambar.

“Haiiitttt….! Tukkk!”

Telunjuk kiri itu menotok dua kali ke pundak dan dada dan seketika Sagha tidak mampu bergerak karena dia telah menjadi korban ilmu totok ampuh It-yang Sin-ci yang dipelajari gadis itu dari Yok-sian Lo-kai.

Sian Li juga telah menguasai ilmu totok lain seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang hebat dari paman kakeknya, akan tetapi ia menggunakan It-yang Sin-ci untuk mempraktekkan ilmu yang baru saja ia pelajari dari Raja Obat itu. Dan pada saat lawan tak mampu bergerak, kaki Sian Li menyambar ke arah lutut dan Sagha yang tidak mampu mengerahkan tenaga lagi roboh terpelanting. Pada saat lawan terpelanting itu, Sian Li membebaskan kembali totokannya. Para penonton kini tidak mampu lagi menahan kekaguman dan kegembiraan mereka melihat betapa Dewi Bangau Merah telah benar-benar mampu merobohkan Sagha! Terdengar tepuk sorak riuh menyambut kejatuhan Sagha.

“Hemmm, mana kepandaianmu yang membuat engkau sombong dan mengejek para pendekar dari timur? Hanya sebegini saja?”

Sian Li mengejek dengan suara lantang, dan kembali terdengar orang menyambut dengan suara riuh. Wajah Sagha sebentar pucat sebentar merah dari dia meloncat berdiri.

“Aku belum kalah!”

Bentaknya dan dia pun menyerang, kini bukan ingin menangkap dan merobek baju gadis itu, melainkan memukul dan menendang dengan dahsyat! Sagha sudah marah sekali dan lupa bahwa yang dilawannya hanya seorang dara remaja. Dia menyerang bukan lagi untuk mencari kemenangan, melainkan untuk membunuh! Namun, dia seperti mengamuk dan menyerang bayangan saja. Semua pukulan cengkeraman dan tendangannya hanya mengenai udara kosong sampai terdengar suara bersiutan. Tiba-tiba, begitu melihat kesempatan baik,

Kembali jari telunjuk tangan kiri gadis itu meluncur dan seperti tadi, seketika tubuh Sagha tidak dapat dia gerakkan dan sekali ini, sambil membentak nyaring Sian Li menendang atau mendorong dengan kakinya sambil mengerahkan tenaga dan tubuh tinggi kurus itu terlempar keluar dari panggung dan jatuh menimpa kawan-kawannya, yaitu para penari dan penabuh musik di mana terdapat pula Badhu yang telah dikalahkan Sian Lun! Tepuk tangan dan sorak yang riuh menyambut kemenangan Sian Li ini. Akan tetapi ketika Sian Li berjalan kembali ke tempat duduknya, suara tambur dan gendang terhenti tiba-tiba dan kini Lulung Ma dan pemuda tampan jangkung telah berdiri berdampingan sambil bertolak pinggang. Lulung Ma mengeluarkan teriakan yang mengatasi keriuhan di situ, suaranya nyaring sekali dan terdengar oleh semua orang.

“Saudara sekalian! Dua orang pembantu kami telah kalah karena mereka memang bodoh. Sekarang, kami berdua menantang siapa saja yang memiliki kepandaian untuk mengadu ilmu di sini. Kami menantang semua dan siapa saja, tidak terkecuali!”

Pandang mata Lulung Ma ditujukan kepada Suma Ciang Bun, sedangkan pandang mata pemuda jangkung itu ditujukan kepada Liem Sian Lun! Biarpun mereka tidak menuding, jelas bahwa dua orang Han itulah yang mereka tantang! Tiba-tiba Gangga Dewi yang sudah berdiri seperti yang lain,menuding ke arah Lulung Ma dan terdengar suaranya yang lembut namun lantang.

“Lulung Ma, sikapmu menunjukkan bahwa engkau dan orang-orangmu ini agaknya para penyelundup yang hendak mengacau di Bhutan! Menyerahlah untuk kami tawan dan kami periksa!”

Tiba-tiba Lulung Ma mengubah sikapnya yang tadi hormat kepada puteri itu.

“Gangga Dewi, engkau puteri Bhutan yang mengkhianati bangsa sendiri, bersekongkol dengan orang-orang Han dari timur! Engkau yang sepatutnya ditawan!”

Dan tiba-tiba raksasa hitam itu meloncat ke tempat duduk kehormatan, diikuti oleh pemuda jangkung yang juga sekali menggerakkan kaki sudah melayang ke situ. Lulung Ma menerjang ke arah Gangga Dewi sedangkan pemuda jangkung itu menerjang ke arah Liem Sian Lun!

“Jahanam busuk!”

Suma Ciang Bun meloncat dan melindungi isterinya. Melihat betapa Lulung Ma menyerang Gangga Dewi dengan dorongan kedua telapak tangan terbuka, Ciang Bun memapaki dengan kedua telapak tangannya pula.

“Desss….!”

Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya Ciang Bun terhuyung, akan tetapi Lulung Ma juga mundur dua langkah.

Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui bahwa Si Raksasa Hitam itu amat kuat dan memiliki sin-kang yang ampuh dan dapat menandingi kekuatan cucu Pendekar Sakti dari Pulau Es itu! Gangga Dewi melolos sabuk sutera putihnya dan cepat membantu suaminya dan suami isteri itu kini mengeroyok Lulung Ma. Gangga Dewi menggunakan sabuk sutera, Suma Ciang Bun sudah menghunus sepasang pedangnya yang bersinar putih, sedangkan Lulung Ma juga sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh dan dahsyat, yaitu sepasang roda atau gelang besar yang dipasangi sirip-sirip tajam dan berwarna kuning keemasan. Sementara itu, pemuda jangkung tukang tambur tadi sudah menyerang Sian Lun. Tentu saja Sian Lun segera menyambut serangannya dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya.

“Dukkk!”

Pertemuan dua lengan membuat Sian Lun hampir terjengkang maka mengertilah Sian Lun bahwa pemuda jangkung itu benar seperti dugaannya tadi, bukan orang sembarangan dan memlliki tenaga sin-kang kuat. Sama sekali tidak bisa disamakan dengan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga otot dan tulang, tenaga kasar. Pemuda jangkung ini memiliki gerakan silat yang lihai, dan dalam pertemuan tenaga pertama kali tadi, Sian Lun jelas kalah kuat. Oleh karena itu, gadis yang lincah dan galak ini meloncat ke depan dan sambil mengeluarkan bentakan, ia sudah menyerang dengan ilmu yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong dan yang paling disukainya, yaitu ilmu totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang).

“Keparat, jangan menjual lagak di sini!”

Bentak Sian Li dan serangannya itu membuat Si Pemuda Jangkung terkejut. Akan tetapi dia masih dapat menghindarkan diri dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik tiga kali.

“Nona Merah cantik sekali. Mundurlah agar kulitmu yang putih mulus tidak sampai lecet,”

Pemuda itu berkata dan ternyata penabuh musik ini seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga pandai bicara dan lincah. Wajah gadis itu menjadi semerah pakaiannya, matanya melotot dan tanpa banyak cakap lagi Sian Li sudah menerjang lagi dengan tusukan-tusukan jari tangannya yang amat berbahaya. Sian Lun juga membantu sumoinya dan pemuda ini bahkan sudah mencabut pedang dan menyerang pemuda jangkung dengan ganasnya. Si Pemuda Jangkung terkejut.

Kiranya dua orang pengeroyoknya itu amat berbahaya, maka setelah berkali-kali dia berloncatan mengelak, dia lalu melolos senjatanya, yaitu sehelai sabuk rantai baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau tajam. Dia memutar senjata itu dan dua batang pisau menyambar-nyambar ke arah Sian Li dan Sian Lun bagaikan dua ekor burung walet menyambari belalang. Sian Li juga sudah mencabut pedangnya dan bersama suhengnya, ia mengeroyok pemuda jangkung. Bagaimanapun lihainya pemuda jangkung itu, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang murid dari Suma Ceng Liong, cucu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es yang paling tangguh, maka sebentar saja dia sudah terdesak hebat dan kedua pisau di ujung rantai bajanya hanya mampu melindungi dirinya tanpa mampu membalas serangan lawan.

Lulung Ma ternyata memang lihai bukan main. Sepasang senjatanya yang berbentuk gelang besar bersirip itu selain dapat dipegang kedua tangan untuk menangkis dan menghantam lawan, juga dapat dia lontarkan ke arah lawan. Gelang itu berputar menyambar ke arah lawan, dan kalau lawan mengelak, gelang itu berputar dan membalik kembali ke tangannya. Beberapa kali Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi nyaris terkena sambaran senjata yang istimewa itu. Namun, kedua suami isteri ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, keturunan orang-orang sakti, maka betapapun dahsyatnya permainan sepasang gelang atau roda di tangan Lulung Ma, tetap saja mereka dapat mempertahankan diri, bahkan serangan balasan mereka pun seringkali membuat Lulung Ma menjadi repot sekali.

“Kepung tempat ini, tangkap mereka semua. Mereka mata-mata musuh!”

Gangga Dewi berteriak lantang. Mendengar aba-aba ini, pasukan keamanan dan para petugas di dusun itu lalu serentak maju mengepung dan mengeroyok.

Hanya Lulung Ma, pemuda jangkung dan kedua orang pembantu mereka tadi, yaitu Badhu dan Sagha yang melakukan perlawanan. Para pemusik lain dan juga para penyanyi dan penari berkelompok di sudut dengan ketakutan. Penonton menjadi panik, apalagi ketika empat orang yang dikeroyok itu berloncatan ke tengah penonton. Beberapa orang penonton roboh dan ketika Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Sian Lun dan Sian Li melakukan pengejaran, empat orang itu telah lenyap di antara penonton. Para pemusik ketika ditanya, menjawab dengan ketakutan bahwa mereka tidak tahu, bahkan tidak mengenal empat orang itu. Pamimpin rombongan itu, seorang kakek yang lemah, akhirnya mengatakan bahwa dia terpaksa menerima empat orang itu sebagai anggauta rombongan.

“Kenapa engkau menerima mereka?”

Gangga Dewi bertanya.

“Hamba takut menolak, mohon Paduka mengampuni hamba….”

Kata kakek itu ketakutan.

“Hamba sama sekali tidak tahu bahwa mereka adalah pemberontak-pemberontak, tidak tahu bahwa mereka adalah orang-orang Nepal yang hendak mengacau.”

“Katakan, bagaimana engkau bertemu dengan mereka dan siapa pula mereka itu,”

Kata pula Gangga Dewi.

“Pada malam hari ketika hamba menerima perintah untuk meramaikan penyambutan terhadap Paduka, hamba didatangi kakek yang mengaku bernama Lulung Ma itu. Sebelumnya hamba mengenal dia sebagai seorang pendeta yang bernama Lulung Lama, seorang pemimpin dari para pendeta Lama Jubah Hitam di Tibet. Adapun pemuda jangkung itu adalah muridnya, seorang peranakan Han-Tibet yang bernama Cu Ki Bok. Mereka itu…. aughhh….!”

Sian Li yang bergerak paling cepat, sudah meloncat ke kiri dari mana datangnya pisau yang terbang dan menembus dada kakek pemimpin rombongan pemusik itu. Ia masih sempat melihat berkelebatnya bayangan di antara penonton. Ia mengejar terus, akan tetapi karena banyak penonton yang kembali menjadi panik dan lari ke sana-sini,

Ia kehilangan jejak bayangan itu. Akan tetapi melihat bayangan itu bertubuh jangkung, ia dapat menduga bahwa bayangan yang melempar pisau membunuh kakek pemimpin rombongan pemusik yang sedang memberi keterangan itu tentulah pemuda jangkung pemukul tambur yang lihai tadi. Ketika ia kembali ke tempat tadi, di atas panggung, ternyata kakek itu telah tewas tanpa mampu melanjutkan keterangannya. Gangga Dewi mengepal tinju dan ia mengajak suaminya dan dua orang muda-mudi itu untuk segera melanjutkan perjalanan ke kota raja Thimphu karena ia harus segera melaporkan semua hal yang terjadi itu kepada raja agar dikerahkan pasukan khusus untuk membasmi dan membersihkan jaringan mata-mata orang Nepal dan Tibet yang agaknya bersekongkol itu.

Harus mengirim berita pula kepada Kerajaan Nepal dan para pimpinan Lama di Tibet tentang orang-orang Nepal Tibet yang hendak mengacaukan keadaan yang aman tenteram itu. Tan Sian Li dan suhengnya diterima dengan penuh keramahan dan kegembiraan oleh keluarga raja di Bhutan. Juga semua orang menyambut dengan bahagia bahwa Puteri Gangga Dewi telah bersuamikan seorang pendekar yang gagah perkasa, keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es pula! Sebentar saja, semua orang mengenal dan mengagumi Si Bangau Merah, julukan Sian Li. Selama seminggu tinggal di istana, kedua orang muda itu setiap hari dijamu dan disambut penuh kehormatan dan keramahan.

Setelah selama seminggu tinggal di istana Kerajaan Bhutan, Sian Li dan Sian Lun berpamit dari keluarga kerajaan itu. Mereka tidak berani tinggal terlalu lama di istana Bhutan, di mana mereka disambut sebagai tamu agung itu karena mereka harus sudah tiba kembali di rumah Suma Ceng Liong sebelum sin-cia (tahun baru). Selain itu, mereka juga ingin meluaskan pengalaman dan akan melakukan perjalanan pulang melalui daerah Tibet. Dengan hati yang berat Gangga Dewi melepas Sian Li pergi. Ia telah merasa amat sayang kepada dara yang lincah itu dan ia memaksa Sian Li menerima bekal emas permata darinya. Selain itu, juga ia menyediakan dua ekor kuda terbaik untuk mereka. Akan tetapi ketika Gangga Dewi hendak menyiapkan pasukan pengawal, Sian Li menolaknya.

“Kami berdua dapat menjaga diri sendiri, kenapa harus dikawal? Pula, pengawalan membuat perjalanan tidak menarik dan tidak leluasa,”

Demikian Sian Li menolak dan akhirnya, Gangga Dewi, Suma Ciang Bun dan sebagian besar keluarga kerajaan mengantar keberangkatan dua orang muda itu sampai ke pintu gerbang kota raja. Selain mendapatkan hadiah emas permata yang amat berharga, dan dua ekor kuda terbaik, juga mereka menerima sebuah peta penunjuk jalan. Dalam peta itu, yang dibuat oleh seorang ahli di istana Bhutan, disebutkan tempat-tempat yang akan mereka lalui dalam perjalanan ke timur melalui Tibet itu. Juga diterangkan akan bahaya-bahaya yang mungkin mereka hadapi pada setiap tempat.

Selain itu, Raja Bhutan berkenan memberi sebuah tanda yang terbuat dari sutera yang dicap tanda kebesaran raja dan dengan tanda ini, kedua orang muda itu akan disambut oleh setiap rakyat di daerah Bhutan sebagai keluarga raja yang harus dihormati. Bahkan para pejabat di daerah Tibet pun akan mengenal tanda keluarga Raja Bhutan yang menjadi tetangga mereka dan akan menghormatinya. Ternyata kemudian bahwa tanda kebesaran ini amat ampuh dan membuat perjalanan Sian Li dan Sian Lun menjadi aman. Orang-orang Bhutan selalu menyambut mereka dengan penuh penghormatan setiap kali Sian Li terpaksa memperlihatkan tanda itu kalau ada orang yang kelihatan curiga kepada mereka. Tanda kebesaran itu membuat mereka selalu disambut dengan hormat oleh para kepala dusun yang mereka lalui.

Setelah melewati daerah perbatasan dan memasuki daerah Tibet, mereka tiba di derah yang tandus dan gersang. Mereka tahu dari peta bahwa daerah itu cukup jauh dan mereka harus melakukan perjalanan sehari penuh melewati daerah tandus itu sebelum tiba di dusun pertama di daerah yang subur. Oleh karena itu, sebelum melewati daerah ini, mereka telah membawa perbekalan makanan dan terutama minuman karena menurut keterangan dalam peta, di daerah itu, mereka tidak akan dapat menemukan makanan atau minuman bersih. Mereka berangkat pagi-pagi memasuki daerah tandus itu dan makin dalam mereka memasuki daerah itu, semakin tandus tanahnya. Tidak ada tumbuh-tumbuhan dapat hidup di tanah berbatu keras itu. Yang ada hanya batu dan pasir dan biarpun daerah itu masih cukup tinggi namun hawanya panas sekali.

Mengerikan kalau melihat ke sekeliling sedemikian sunyinya. Apalagi manusia, seekor binatang pun tidak nampak. Bahkan burung-burung pun tahu bahwa daerah itu merupakan daerah maut, maka di angkasa pun tidak nampak adanya burung terbang. Benar-benar merupakan daerah yang mati, sunyi melengang dan mengerikan. Tepat pada tengah hari, mereka melihat sebuah gubuk dan karena sinar matahari menyengat kulit dengan hebatnya, Sian Li mengajak suhengnya untuk berhenti dan beristirahat sebentar di gubuk itu dan untuk makan roti dan minum air bekal mereka. Sebuah gubuk yang sudah tua, akan tetapi masih cukup kokoh. Hanya merupakan tempat berteduh, tanpa dinding, hanya atap dan empat buah tihang saja. Akan tetapi di bawah atap itu terdapat batu datar yang dapat mereka jadikan tempat duduk.

“Lihat, ada tulisan di sini,”

Kata Sian Lun sambil menunjuk ke lantai, dekat batu di mana mereka duduk. Sian Li memandang. Di lantai gubuk itu, di atas tanah berpadas keras, terdapat ukir-ukiran beberapa buah huruf yang agaknya dibuat dengan menggunakan senjata tajam. Huruf-huruf itu jelas dan juga indah, tentu diukir oleh seorang yang pandai menulis dan mengukir, seorang sasterawan atau seniman. Mereka lalu meneliti tulisan itu dan membacanya.

Andaikata aku seorang raja,
Aku rela menukar kerajaanku
untuk segelas air jernih!

Hanya sedemikianlah ukiran huruf-huruf itu, akan tetapi itu saja lebih dari pada cukup. Sian Li dapat membayangkan keadaan Si Penulis itu. Tentu dia seorang yang kehabisan air, sedang kehausan, berada di tengah gurun tandus ini. Sungguh luar biasa sekali. Betapa berharganya segelas air jernih kalau sedang dibutuhkan oleh orang yang kehausan! Lebih berharga daripada sebuah kerajaan! Betapa besarnya kasih sayang Tuhan Maha Pengasih kepada kita manusia. Berlimpah-limpah sudah anugerah dan berkah dari Tuhan kepada manusia. Betapa nikmatnya, betapa pentingnya, betapa berharganya segelas air, atau sepotong roti, seteguk hawa udara, bagi kehidupan kita. Dan semua sarana untuk mendapatkan itu demikian mudahnya. Sudah tersedia. Ada tanah, ada air, ada hawa udara, ada sinar matahari, ada benih! Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih! Berbahagialah manusia yang dapat menikmati semua anugerah yang berlimpahan di sepanjang hidupnya ini.

Namun sayang, nafsu angkara murka dan ketamakan membuat manusia buta akan semua berkah yang dilimpahkan dan sepatutnya disyukuri dan dinikmati ini. Kalau kita mendapatkan segelas air, nafsu angkara murka membisikkan celaannya mengapa tidak ada anggur, mengapa hanya ada air tawar. Dan lenyaplah sudah segala keindahan dan kenikmatan air itu, bahkan menjadi tidak enak, memuakkan, dan mengecewakan. Nafsu memang tak menganal puas, tak mengenal batas. Kalau ada anggur, bisikan beracun itu masih terus berdengung agar kita dapat memperoleh yang lebih hebat lagi, yang lebih enak lagi, yang lebih nikmat lagi. Segala yang tidak ada, yang belum terjangkau tangan, selalu akan nampak lebih indah, lebih nyaman dan lebih menyenangkan daripada apa saja yang sudah kita miliki. Mensyukuri keadaan yang ada pada kita, mensyukuri segala peristiwa sebagai suatu berkah,

Sebagai suatu yang sudah dikehendaki Tuhan, merupakan kunci kebahagiaan. Bukan berarti lalu mandeg dan lunglai, bersandar kepada kekuasaan Tuhan belaka. Sama sekali tidak! Hidup berarti gerak, bekerja, berikhtiar, sekuat tenaga sekuat kemampuan. Ini berarti menjalankan semua alat yang disertakan oleh kekuasaan Tuhan kepada kita ketika kita diciptakan sebagai manusia. Kita pergunakan semua alat, anggauta tubuh, hati dan alat pikiran, kita gunakan demi kelangsungan hidup, demi mencukupi semua kebutuhan hidup. Bukan demi meuruti bisikan nafsu angkara murka sehingga untuk mencapai tujuan kita menghalalkan semua cara, melainkan kita kerjakan semua alat demi kepentingan hidup di dunia ini. Dan apa pun hasilnya, apa pun jadinya, dan peristiwa apa pun yang menimpa diri kita,

Kita terima tanpa mengeluh! Semua kehendak Tuhan jadilah! Kita hanya dapat menyerah, kita hanya dapat menerima, dan kita wajib membantu pekerjaan kekuasaan Tuhan pada alam ini. Kita tidak akan dapat memperoleh padi tanpa berusaha, walaupun Tuhan sudah menyediakan tanahnya, airnya, udaranya, sinar mataharinya, benihnya. Kita harus membantu mengerjakan semua itu, mencangkul tanah, menanam benih, mengairi sawah, menuai, menjemur, menumbuk dan selanjutnya, sebelum hasilnya dapat menyambung kehidupan kita melalui makanan. Sian Li tertawa dan ia mengeluarkan bungkusan roti, memberi isarat kepada suhengnya untuk makan dan minum air bekal mereka. Melihat sumoinya tertawa lalu tersenyum-senyum sambil makan roti dan minum air, Sian Lun memandang heran.

“Eh, Sumoi, kenapa engkau tertawa dan tersenyum-senyum?”

Dia mengamati wajah yang kemerahan karena sinar matahari itu sehingga kedua pipinya di bawah mata yang agak menjendul itu menjadi merah sekali, mengamati bibir yang bergerak-gerak ketika makan roti. Betapa manisnya wajah sumoinya! Sian Li tersenyum dan sebelum menjawab, ia minum dulu air dari botol airnya.

“Tulisan ini yang membuat aku tertawa,”

Katanya sambil menunjuk ke arah lantai yang diukir huruf-huruf itu.

“Apanya yang lucu Sumoi? Huruf-huruf itu indah sekali, dan isinya menurut aku mengharukan dan menyedihkan, kenapa engkau malah tertawa?”

“Bukan karena lucu, Suheng, melainkan karena senang dan gembira. Tulisan ini menyadarkan aku betapa bahagianya diriku. Di tempat ini aku tidak kehausan dan kelaparan, bukankah saat ini aku jauh lebih berbahagia dibandingkan seorang yang kaya raya seperti raja namun kehausan dan tidak mempunyai air?”

“Engkau benar, Sumoi. Akan tetapi, andaikata yang menulis ini benar seorang raja, aku yakin dia tidak akan menulis seperti ini. Apa yang akan dilakukan seorang raja yang kehausan di tempat ini dan tidak mempunyai air? Tentu dia akan memerintahkan para pengawalnya untuk segera mencarikan air minum untuknya.”

Sian Li mengangguk.

“Pendapatmu itu memang tepat, Suheng. Karena dia bukan raja, maka dia menulis seperti ini. Manusia memang siap melakukan apa saja, bersikap yang aneh-aneh, kalau sedang menghendaki sesuatu yang dibutuhkannya.”

Sian Lun mengangguk.

“Manusia selalu dipermaihkan oleh keinginannya, padahal yang diinginkan di dunia ini selalu berubah-ubah dan banyak sekali macamnya. Seorang raja yang sakit mungkin mau menukar kerajaannya dengan kesehatan dan keselamatan nyawanya, akan tetapi dalam keadaan sehat, dia akan mempertahankan dan memperebutkan kedudukannya dengan taruhan nyawa!”

Setelah melepaskan lelah dan selesai makan roti dan minum air jernih, kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi baru beberapa menit mereka melarikan kuda, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang. Sian Li yang berada di depan, menahan kudanya dan menoleh. Terpaksa Sian Lun menahan kudanya pula dan mereka melihat serombongan orang berkuda membalapkan kuda mereka dari arah belakang dan melewati mereka. Rombongan itu terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berwajah bengis menyeramkan. Ketika mengenal dua orang di antara mereka adalah Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang menjadi anak buah Lulung Lama, Sian Lun segera berkata kepada sumoinya,

“Sumoi, mari kita kejar mereka!”

Sian Li hendak membantah karena ia merasa tidak ada perlunya mengejar rombongan itu, akan tetapi karena Sian Lun sudah membalapkan kudanya, ia pun terpaksa melakukan pengejaran.

“Suheng, tahan dulu….!”

Serunya ketika ia dapat menyusul suhengnya. Sian Lun menahan kendali kudanya dan mereka berhenti.

“Suheng, untuk apa kita mengejar mereka?”

Tanyanya.

“Aih, bagaimana-kah engkau ini, Sumoi. Bukankah dua orang di antara mereka adalah mata-mata yang mengacau di Bhutan? Kita harus membantu Kerajaan Bhutan, bukan?”

“Hemm, Suheng. Kalau kita berada di Bhutan, tentu saja kita harus membantu Bhutan. Akan tetapi, menantang para mata-mata dan pengacau di Bhutan bukanlah tugas kita, apalagi kita sedang melakukan perjalanan menuju pulang. Selain itu, juga engkau harus ingat bahwa kini kita tidak berada di daerah Bhutan lagi, melakukan daerah Tibet.”

Mendengar ucapan sumoinya, baru Sian Lun sadar bahwa dia telah terburu nafsu. Dia mengangguk maklum, lalu berkata,

“Betapapun juga, karena kita juga melakukan perjalanan searah dengan mereka tadi, tiada salahnya kalau kita diam-diam memperhatikan dan menyelidiki, apa yang hendak mereka lakukan. Setidaknya, kita dapat mencegah perbuatan mereka yang akan merugikan Bhutan, tanpa menunda perjalanan kita. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?”

Gadis itu mengangguk.

“Tentu saja, Suheng. Aku pun hanya ingin mengingatkanmu agar kita berhati-hati. Perjalanan masih jauh dan kita tidak mengenal daerah ini.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan walaupun sudah tertinggal jauh oleh rombongan berkuda tadi, namun mereka masih dapat mengikuti jejak tujuh orang itu dengan mudah, apalagi liar karena memang rombongan itu menuju ke arah yang sama dengan perjalanan mereka. Setelah matahari condong ke barat, menjelang senja, mereka tiba di daerah yang subur, bukit-bukit yang hijau dan mulai nampak anak sungai mengalir turun.

Segera nampak sebuah dusun yang besar, nampak genteng-genteng, rumah dari lereng, cukup banyak dan besar-besar rumah yang berada di dusun itu. Juga jejak kaki kuda rombongan tadi menuju ke dusun itu. Mereka lalu menuju ke dusun untuk melewatkan malam dan juga sekalian untuk melihat apa yang akan dilakukan rombongan Badhu dan Sagha, dua orang ahli silat Nepal yang sombong itu. Dusun itu memang merupakan dusun yang besar dan ramai, terletak di tepi Sungai Yalu Cang-po atau Sungai Brahmaputra yang mengalir dari Pegunungan Himalaya menuju ke timur. Nama dusun itu dusun Nam-ce. Daerah itu memang luas, tanahnya subur karena dekat sungai, dan juga di sungai itu terdapat banyak ikan sehingga nampak banyak perahu nelayan di situ.

Selain ini, dusun Namce menjadi pelabuhan dan orang-orang yang melakukan perjalanan, ke timur, banyak yang mempergunakan perahu melalui sungai yang besar itu. Biarpun hanya berupa rumah-rumah sederhana, namun di dusun Nam-ce terdapat beberapa buah rumah penginapan dan juga rumah makan yang menjual makanan sederhana. Ada pula pedagang yang menjual bermacam barang keperluan sehari-hari. Semua ini membuat dusun itu menjadi semakin ramai, dan terutama sekali karena lalu-lintas melalui sungai itulah yang mendatangkan kemakmuran kepada dusun Nam-ce. Bahkan mereka yang datang dari Lha-sa, Ibu kota Tibet, yang hendak melakukan perjalanan ke timur, banyak yang melalui Sungai Brahmaputra. Di sebelah selatan luar kota Lhasa terdapat sebuah sungai yang airnya menuju ke Sungai Brahmaputra di dekat Nam-ce,

Maka banyak yang mempergunakan perahu dari Lha-sa ke Nam-ce, kemudian dari dusun pelahuhan ini melanjutkan perjalanan dengan perahu besar ke timur, mengikuti aliran air Sungai Brahmaputra. Sian Lun dan Sian Li menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan yang kecil namun bersih dan tempatnya pun agak di pinggir dusun sehingga keadaan di situ tidaklah begitu ramai seperti di bagian tengah dusun, di mana terdapat sebuah pasar yang selalu ramai dikunjungi orang karena tempat ini merupakan pasar perdagangan. Setelah membersihkan diri yang berlepotan debu dan berganti pakaian, Sian Li mengajak Sian Lun keluar dari rumah penginapan dan mencari kedai makanan. Karena mereka berada di tempat asing, dan orang-orang di sekeliling mereka adalah orang-orang dari suku bangsa daerah itu,

Hanya kadang saja nampak orang berpakaian seperti mereka, yaitu orang-orang Han yang hampir semua adalah pedagang. Andaikata Sian Li mengenakan pakaian biasa, tentu dua orang muda ini tidak terlalu menarik perhatian, walaupun kecantikan Sian Li tentu membuat banyak pria melirik. Akan tetapi, karena gadis itu selalu mengenakan pakaian yang warnanya kemerahan, baik polos maupun berkembang, maka tentu saja ia amat menyolok dan menjadi perhatian setiap orang. Sian Li mengajak suhengnya untuk memasuki sebuah kedai makan yang berada di jalan yang agak sunyi. Ketika mereka memasuki kedai, senja hampir terganti malam, cuaca mulai gelap dan kedai itu pun sudah diterangi lampu-lampu minyak yang tergantung dengan kap-kap lampu beraneka warna sehingga nampak terang dan meriah.

Seorang pelayan menyambut mereka dan mempersilakan mereka duduk. Sian Li menyapu ruangan itu dengan sinar matanya. Tidak terlalu banyak tamu di situ. Seorang pria yang agaknya menurut pakaiannya adalah bangsa Han duduk di sudut sambil menundukkan muka. Tiga orang bangsa Tibet duduk di tengah ruangan itu, dan masih ada beberapa orang lagi makan di meja sebelah kiri. Tidak ada sepuluh orang tamu yang berada di ruangan itu. Sian Li dan Sian Lun duduk di bagian kanan, sengaja Sian Li memilih bangku yang membuat ia duduk membelakangi para tamu itu. Ia takkan merasa enak makan kalau menghadapi mata banyak laki-laki yang ditujukan kepadanya dengan sinar mata kurang ajar. Sian Lun duduk berhadapan dengannya sehingga pemuda inilah yang menghadap ke tengah ruangan, dapat melihat para tamu.

Memang, seperti yang dilihatnya, sejak sumoinya memasuki ruangan rumah makan, semua tamu yang duduk di situ, kesemuanya pria, mengangkat muka dan melempar pandang mata kagum kepada Sian Li. Pandang mata orang-orang itu seperti melekat pada Sian Li, dan biarpun sumoinya sudah duduk membelakangi mereka, tetap saja mereka itu selalu melirik ke arah gadis itu. Kecuali seorang saja, yaitu orang Han yang duduk seorang diri di sudut belakang. Orang itu makan sambil menundukkan muka, dan hanya mengangkat muka memandang sejenak ketika dia dan sumoinya tadi masuk, lalu menundukkan muka kembali, sedikit pun tidak menaruh perhatian lagi. Setelah makanan yang dipesan datang, dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu makan minum dan baru saja mereka selesai,

Mereka mendengar suara banyak orang memasuki rumah makan. Mereka menengok dan sinar mata mereka menjadi keras ketika mereka mengenal tujuh orang yang tadi mereka bayangi, yaitu Badhu dan Sagha bersama lima orang kawan mereka! Sian Li tidak ingin mencari keributan di situ. Ia hanya ingin menyelidiki, apa yang akan dilakukan dua orang anak buah Lulung Lama itu, akan tetapi tidak ingin bentrok secara langsung, apalagi ia tahu bahwa ia dan suhengnya berada di daerah pihak lawan, maka keadaan dapat berbahaya bagi mereka. Ia memberi isarat kepada suhengnya, lalu menggapai pelayan yang segera mendekati mereka. Pelayan lain sibuk melayani tujuh orang tamu yang baru masuk. Sian Lun segera membayar harga makanan dan mereka berdua hendak keluar dari rumah makan itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan kasar.

“Heii, kalian berdua, tunggu dulu!”

Sian Li dan Sian Lun berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Badhu dan Sagha sudah berdiri menghadapi mereka, sedangkan lima orang kawan mereka masih duduk. Dua orang Nepal itu lalu menghampiri Sian Li dan Sian Lun yang berdiri dengan tenang dan tegak.

“Hemm, kalian ini orang-orang Han yang sombong, mau apa berkeliaran di sini?”

Kata Badhu yang berperut gendut. Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang tajam, lalu mulutnya tersenyum mengejek. Ia melihat betapa beberapa orang Tibet yang berada di situ memandang ke arah mereka.

“Bukan kami orang-orang Han yang sombong dan berkeliaran, karena kami akan kembali ke timur dan hanya lewat di sini. Akan tetapi kalianlah dua orang Nepal yang besar kepala, kalian berkeliaran di sini tentu hanya akan membikin kacau saja!”

Gadis ini memang cerdik. Tadi mendengar seruan Badhu Si Gendut, para tamu orang-orang Tibet memandang kepada Sian Li dan Sian Lun dengan mata curiga. Akan tetapi setelah gadis baju merah itu menjawab dengan suara lantang, pandang mata mereka berubah dan kini mereka memandang ke arah Badhu dan Sagha dengan alis berkerut. Wajah Badhu menjadi kemerahan ketika dia mendengar jawaban Sian Li, dan dengan marah dia membentak,

“Gadis Han yang sombong, jangan bicara sembarangan!”

Sian Li tersenyum.

“Siapa bicara sembarangan, engkau atau aku? Coba kau sangkal, bukankah kalian sudah membikin kekacauan di Nepal, kemudian di Bhutan dan setelah gagal di sana, kalian hendak mengacau pula, di Tibet ini?”

Badhu menjadi makin marah.

“Perempuan sombong! Kau lihat saja pembalasan kami atas semua penghinaanmu!”

Setelah berkata demikian, dia memberi isarat kepada enam orang kawannya dan mereka pun keluar dari rumah makan itu tanpa memesan makanan!

Karena ia memang tidak ingin membikin ribut di rumah makan itu atau di dalam dusun itu, yang hanya akan menimbulkan kekacauan dan juga akan menjadi penghambat perjalanannya, maka Sian Li juga segera meninggalkan tempat itu dan mencegah suhengnya ketika Sian Lun yang nampaknya marah itu hendak melakukan pengejaran. Setelah dua orang muda itu pergi, ramai para tamu membicarakan peristiwa kecil tadi dan semua orang merasa kagum dan memuji nona baju merah yang berani menentang orang-orang Nepal yang kelihatan kuat dan bengis tadi. Hanya seorang di antara mereka yang tidak ikut bicara. Dia adalah laki-laki yang tadi duduk di sudut belakang. Dia tidak pernah bicara, hanya memanggil pelayan, membayar harga makanannya dan dia pun segera meninggalkan rumah makan tanpa mening-galkan kesan.

“Sumoi, kenapa Sumoi melarangku untuk mengejar mereka? Dua orang Nepal keparat itu pantas dihajar!”

Sian Lun menegur sumoinya ketika mereka tiba kembali di rumah penginapan mereka.

“Suheng, lupakah engkau bahwa kita ini bukan berada di Bhutan lagi, juga bukan di negara sendiri? Kita berada di Tibet, dan engkau tentu masih ingat bahwa dua orang Nepal itu adalah anak buah Lulung Lama, seorang tokoh yang menjadi pimpinan para Lama Jubah Hitam. Ini tempat mereka dan kalau terjadi keributan, tentu kita yang dianggap sebagai pengacau. Tadi pun aku masih untung dapat membalas serangan fitnah mereka sehingga orang-orang Tibet yang mendengarnya tidak memihak mereka.

“Ah, aku hanya khawatir kalau kita dianggap penakut dan tidak berani kepada mereka. Juga, sekarang ini kita yang diancam dan kita tidak tahu kapan mereka akan turun tangan mengganggu kita.”

“Suheng, bukankah Guru kita, kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, pernah memberitahu bahwa kita tidak boleh tergesa-gesa menurutkan nafsu kemarahan belaka? Bahkan kita diharuskan bersabar setiap menghadapi lawan, kita harus mempergunakan kecerdikan, bukan asal hantam saja! Tanpa ancaman mereka pun, kita harus waspada setiap saat karena bagi seorang pengembara, kita selalu dikelilingi kemungkinan adanya serangan bahaya. Nah, kita sekarang tidur saja dan besok pagi-pagi sekali kita harus sudah melanjutkan perjalanan.”

Biarpun di dalam hatinya Sian Lun masih merasa penasaran dan marah kepada dua orang Nepal yang telah mengeluarkan kata-kata kasar dan kurang ajar terhadap sumoinya, namun alasan yang dikemukakan Sian Li amat kuat dan juga tepat, maka dia pun hanya mengangguk dan meraka memasuki kamar masing-masing. Malam itu sunyi sekali di rumah penginapan di mana Sian Li dan Sian Lun menginap. Lewat tengah malam, keadaan sudah amat sunyi dan dingin. Petugas rumah penginapan yang berjaga malam ada dua orang dan mereka ini pun sudah meringkuk di meja pengurus, tertidur karena setelah lewat tengah malam,

Tentu tidak akan ada tamu datang lagi. Lima bayangan hitam itu menyelinap memasuki rumah penginapan melalui pagar tembok belakang dengan melompatinya. Gerakan mereka ringan dan gesit sekali, menunjukkan bahwa lima orang ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dengan menyusup seperti lima ekor kucing, tanpa mengeluarkan suara, lima orang ini akhirnya telah tiba di belakang kamar Sian Lun dan Sian Li yang berdampingan. Mereka menghampiri jendela dalam dua kelompok, lalu mengintai ke dalam. Gelap dan sunyi saja dalam kedua kamar itu. Mereka itu adalah Badhu dan Sagha, diikuti tiga orang berkepala gundul berjubah hitam. Tiga orang pendeta Lama Jubah Hitam! Kiranya Badhu dan Sagha hendak memenuhi ancamannya dan sekali ini mereka tidak mau gagal.

Mereka maklum akan kelihaian dua orang muda itu, maka mereka berdua datang mengajak tiga orang tokoh Hek I Lama (Pendeta Lama Jubah Hitam) yang berilmu tinggi. Tiga orang itu adalah para pembantu dari Lulung Lama dan memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dua orang Nepal itu. Mereka memang sudah membuat persiapan dan sudah mengatur rencana membagi tugas. Anak buah mereka telah mencari keterangan di mana letak kamar pemuda dan gadis itu, dan kini mereka sudah siap melaksanakan rencana mereka. Badhu dan seorang pendeta jubah hitam akan bertugas membius gadis berpakaian merah dengan meniupkan asap pembius ke dalam kamar, sedangkan Sagha dibantu dua orang pendeta jubah hitam akan menerjang masuk ke kamar pemuda Han itu dan membunuhnya!

Setelah memberi isarat, Badhu lalu menghampiri pintu kamar Sian Li, dan dibantu seorang pendeta baju hitam, dia menyusupkan sebuah pipa kecil ke dalam kamar itu melalui bawah pintu. Pipa itu bersambung dengan sebuah kantung kulit yang menggembung. Bersama temannya, Badhu lalu menekan-nekan kantung itu dan asap beracun tertiup masuk kamar melalui pipa. Sementara itu, Sagha dan dua orang pendeta baju hitam, dengan memegang golok, mencokel jendela kamar itu. Dengan mudah saja daun jendela terbuka dan tiga orang itu berloncatan memasuki kamar yang gelap. Mereka menyalakan lilin dan kaget sekali ketika melihat betapa tempat tidur pemuda itu kosong, tidak ada orangnya! Tentu saja Sagha dan dua orang pendeta jubah hitam itu berlompatan keluar lagi.

“Kamarnya kosong….!”

Kata Sagha kepada Badhu yang menjadi heran dan kaget bukan main. Kalau kamar pemuda itu kosong, tentu kamar gadis itu kosong pula! Ataukah Si Pemuda itu pindah ke kamar Si Gadis? Badhu tersenyum, menyeringai dan berkata dengan suara mengejek.

“Tentu saja mereka tidur bersama dalam kamar ini! Siapa orangnya mau membiarkan nona merah yang cantik molek itu tidur kedinginan seorang diri?”

Mereka tertawa, walaupun suara tawa mereka ditahan agar tidak menimbul-kan kegaduhan.

“Mereka berdua tentu sudah terbius pingsan sekarang,”

Katanya lagi dengan girang. Mereka terlalu memandang rendah kepada Sian Li dan Sian Lun. Tidak percuma dua orang muda ini menjadi murid orang-orang sakti seperti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng. Biarpun dua orang ini telah melakukan perjalanan jauh dan tubuh mereka terasa lelah, namun karena tadi bertemu dengan tujuh orang yang hendak membikin ribut di rumah makan, dan mendengar ancaman Si Gendut Badhu, maka suheng dan sumoi ini tidak tidur begitu saja. Mereka beristirahat sambil duduk bersila sehingga biar tubuh mereka dapat beristirahat,

Namun kewaspadaan mereka selalu menjaga keselamatan mereka. Sedikit gerakan lima orang yang mendekati kamar mereka, biarpun tidak menimbulkan suara gaduh, cukup dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Sian Li menjadi curiga dan ketika ia mengintai dari jendela kamarnya, ia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan. Tahulah ia bahwa ada penjahat yang datang. Ia memang sudah siap siaga maka kamarnya berada dalam kegelapan. Sebelum para penjahat itu melakukan sesuatu, ia sudah membuka jendela samping dan meloncat keluar, terus mengambil jalan memutar dan meloncat ke atas genteng. Hampir ia bertubrukan dengan suhengnya di atas genteng! Kiranya Sian Lun juga sudah dapat melihat para penjahat itu dan seperti juga Sian Li, dia keluar dari kamar dan meloncat ke atas genteng.

“Ada dua orang menghampiri kamarku Suheng,”

Katanya lirih.

“Dan kulihat tiga orang menghampiri kamarku,”

Kata pula Sian Lun. Mereka berdua sudah mencabut pedang masing-masing dan kini mereka mengintai ke bawah. Mereka melihat apa yang dilakukan lima orang itu, mendengar pula percakapan mereka yang mengira bahwa mereka berdua tidur sekamar! Mendengar ini wajah Sian Li menjadi merah saking marahnya menerima tuduhan kotor tentang dirinya itu. Juga wajah Sian Lun menjadi merah sekali karena tadi pun, seperti malam-malam yang lalu, dia sering bermimpi tidur sekamar dengan sumoinya yang telah mem-buatnya tergila-gila sejak sumoinya remaja! Kini Sian Li sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Ia melayang turun, diikuti suhengnya sambil berseru,

“Jahanam bermulut busuk!”

Lima orang yang masih tertawa-tawa itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada dua bayangan orang melayang turun dari atas genteng dan tahu-tahu dua orang muda yang mereka kira sedang tidur bersama dalam kamar itu dan yang kini tentu telah roboh pingsan, kini telah berdiri di depan mereka dengan pedang di tangan.

“Gawat! Lari….!”

Teriak Badhu yang memimpin gerakan itu. Mereka pun sudah berloncatan ke dalam kegelapan malam, lari ke arah belakang rumah penginapan di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.

“Jahanam busuk, hendak lari ke mana kalian?”

Sian Lun berseru marah dan melakukan pengejaran.

“Hati-hati, Suheng!”

Teriak Sian Li yang juga ikut mengejar, merasa khawatir karena dari apa yang ia pelajari, sungguh berbahaya melakukan pengejaran terhadap penjahat yang lihai atau banyak jumlahnya di malam hari, apalagi di tempat yang tidak dikenal keadaannya. Akan tetapi ternyata bahwa mereka jauh lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh sehingga sebentar saja, mereka dapat menyusul ketika lima orang penjahat itu tiba di dalam kebun. Dan kini setelah tiba di tempat sepi, agaknya Badhu dan kawan-kawannya sudah siap siaga. Mereka berlima sudah mencabut golok dan tetap dalam pembagian tugas seperti tadi, Badhu dan seorang pendeta jubah hitam menyambut Sian Li dengan golok mereka, sedangkan Sagha dan dua orang pendeta lain menyerang Sian Lun.

Terjadilah perkelahian yang mati-matian di dalam kebun itu, hanya diterangi oleh sinar bulan yang datang agak lambat. Mereka lebih mengandalkan ketajaman pendengaran daripada penglihatan dan untunglah bahwa untuk ilmu ini, Sian Li dan Sian Lun telah mendapat gemblengan dari guru mereka. Biarpun demikian, ketika senjata mereka bertemu dengan golok mereka yang berkepala gundul dan berjubah hitam, Sian Li dan Sian Lun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka itu amat kuat, jauh lebih kuat dibandingkan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga kasar dari otot-otot yang terlatih. Sian Li masih dapat mengimbangi pengeroyokan Badhu dan seorang pendeta jubah hitam. Gadis ini mengamuk dan gerakannya yang indah mirip sekali dengan gerakan seekor burung bangau. Bangau Merah! Biarpun ia sudah menerima gemblengan berbagai ilmu silat tinggi dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng,

Akan tetapi yang menjadi inti dari kepandaiannya adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Bangau Putih) yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri sebelum ia berguru kepada kakek dan neneknya. Dan memang Suma Ceng Liong yang menghendaki agar gadis ini memperdalam ilmu warisan ayahnya itu, hanya kini ilmu silat itu dicampur dengan ilmu lain yang tinggi sehingga ilmu silat yang berdasarkan gerakan burung bangau itu kini menjadi aneh dan lihai, namun masih mengandung gerakan halus dari seekor bangau. Yang repot adalah Sian Lun. Tingkat kepandaian pemuda ini memang masih kalah dibandingkan sumoinya, dan kini dia dikeroyok tiga orang. Kepandaian Sagha memang tidak ada artinya bagi Sian Lun, akan tetapi dua orang pendeta jubah hitam itu sungguh lihai bukan main.

Melawan seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang tangguh, apalagi ada dua orang seperti itu, ditambah dengan Sagha lagi. Sian Lun hanya mampu memutar pedangnya, melindungi dirinya dari sambaran tiga batang golok para pengeroyoknya. Tiba-tiba terjadi keanehan. Lima orang pengeroyok itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kesakitan dan senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka itu lalu berlompatan jauh ke belakang dan melarikan diri dari Sian Li dan Sian Lun yang tentu saja menjadi bengong terheran-heran. Mereka tidak merasa telah melukai para pengeroyok itu, akan tetapi mengapa mereka berlima itu melepaskan golok dan melarikan diri seperti orang ketakutan? Sian Lun hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Sian Li memegang tangan kirinya mencegah,

“Suheng, mereka itu merupakan lawan berat, berbahaya sekali kalau dikejar. Mari kita kembali ke kamar!”

Katanya.

“Tapi, apa yang telah terjadi? Kenapa mereka melepaskan senjata dan melarikan diri seperti orang ketakutan?”

Sian Li menggeleng kepalanya,

“Entahlah, Suheng, aku pun tidak mengerti. Telah terjadi keanehan malam ini, mungkin ada dewa yang menolong kita.”

Mereka kembali ke rumah penginapan di mana telah berkumpul banyak orang. Kegaduhan tadi membangunkan para tamu, juga para pelayan sehingga kini mereka berkerumun di depan kamar Sian Li dan kamar Sian Lun. Ketika dua orang muda itu muncul, tentu saja mereka dihujani pertanyaan.

“Ada dua orang pencuri hendak memasuki kamar kami berdua,”

Kata Sian Lun.

“Mereka mempergunakan asap pembius. Harap kalian mundur semua, aku akan membuka jendela agar asap itu keluar. Awas, yang terkena asap itu dan menyedotnya, akan jatuh pingsan.”

Ia lalu membuka daun jendela kamarnya, lalu pergi menjauhi kamar itu, demikian pula Sian Lun.

Dari dalam kamar itu membubung asap tipis yang tidak berapa banyak lagi karena tadi sebagian asap sudah keluar melalui celah-celah pintu, jendela dan atap. Orang-orang menjauh dan memandang heran. Akan tetapi, setelah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu melarikan diri tanpa membawa barang curian, dikejar dua orang muda itu, pengurus rumah penginapan merasa lega dan para tamu pun berangsur kembali ke kamar masing-masing. Tentu saja kini mereka tahu bahwa gadis berpakaian merah yang cantik dan pemuda tampan itu adalah dua orang pendekar! Sementara itu, dari tempat gelap tak jauh dari situ, seorang laki-laki yang bersembunyi dalam gelap, meremas-remas jari tangan sendiri. Pandang matanya penuh ketegangan, keraguan, juga keharuan, bibirnya berkemak-kemik bicara seorang diri dengan lirih.

“Benarkah ia? Ah, tidak mungkin. Kenapa ia berada di sini dan siapa pemuda itu? Benarkah ia Sian Li….? Tapi pakaian merah itu…. ah, benarkah ia Tan Sian Li….?”

Dengan wajah penuh keraguan dia masih bardiri termangu-mangu di tempat gelap itu sampai Sian Li dan Sian Lun memasuki kamar masing-masing dan tempat itu menjadi sunyi kembali. Siapakah pria itu? Dan apa pula yang telah terjadi ketika Sian Li dan Sian Lun dikeroyok lima orang lawan yang lihai tadi? Mengapa mereka melarikan diri? Kita ikuti perjalanan mereka selanjutnya.

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Sian Lun dan Sian Li telah meninggalkan rumah penginapan dan menuntun kuda mereka ke pasar kuda yang selalu ramai di tempat itu. Tentu saja dua ekor kuda tunggangan mereka menarik perhatian pembeli karena dua ekor binatang itu adalah kuda-kuda pilihan dari kandang kuda istana Bhutan! Dengan mudah saja mereka mendapatkan pembeli yang berani membayar cukup mahal untuk dua ekor kuda itu. Sian Li dan Sian Lun lalu menuju ke bandar sungai untuk menyewa sebuah perahu yang akan mereka tumpangi sampai ke belokan air Sungai Yalu-cangpo atau Sungai Brahmaputra yang membelok ke selatan. Dari belokan itu, mereka akan mendarat dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki atau berkuda lagi menuju ke timur. Seorang peranakan Han-Tibet yang mempunyai sebuah perahu yang sedang besarnya, menyanggupi perjalanan itu dengan upah yang cukup memadai.

Orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun kulitnya hangus kecoklatan karena setiap hari pekerjaannya sebagai nelayan membuat kulitnya setiap hari terbakar sinar matahari. Kalau tidak karena logat bicaranya, tentu sukar dikenal bahwa dia peranakan Han. Baik wajah dan pakaiannya sudah sepenuhnya orang Tibet. Orangnya pendiam dan juga sopan, maka Sian Li memilih orang ini daripada pemilik perahu lain walau harus membayar lebih mahal. Perjalanan dengan perahu itu cukup menyenangkan. Perahunya kokoh dan baik imbangannya, tukang perahunya pendiam dan ahli mengemudikan perahu. Air sungai pun tenang dan dalam karena waktu itu musim semi, tidak banyak hujan. Pemandangan di tepi sungai juga amat indah, penuh pohon-pohonan menghijau, diseling bunga beraneka warna dan bentuk.

Kadang-kadang sungai itu melewati daerah yang diapit tebing bukit yang menjulang tinggi, kadang melalui ladang yang tanahnya landai dan datar. Kalau malam tiba, Sian Li menyuruh tukang perahu menghentikan perahunya. Mereka dapat mencoba untuk memancing ikan, menggunakan alat pancing milik tukang perahu dan betapa senangnya hati Sian Li kalau ia berhasil mendapatkan seekor ikan. Mereka membakar ikan hasil pancingan mereka, makan ikan dengan arak ringan yang membuat dua orang muda itu merasa gembira sekali, Apalagi kalau bulan sudah muncul. Duduk di kepala perahu sambil makan ikan bakar, bercakap-cakap di bawah sinar bulan purnama, dihembus angin malam yang lembut, bau daun ilalang di sekitar pantai, dan perahu bergoyang lembut seolah-olah membuat mereka seperti diayun-ayun, sungguh amat menyenangkan.

Dia romantis sekali. Keadaan dan suasana itulah yang membuat sinar mata Sian Lun ketika dia memandang wajah sumoinya yang tertimpa sinar bulan, lain daripada biasanya. Ketika mendadak suhengnya yang tadi bercakap-cakap dengan gembira itu kini diam saja, Sian Li merasakan suatu perubahan pada suhengnya yang membuatnya menatap wajah suhengnya. Dan diam-diam ia terkejut. Suhengnya memandang kepada-nya dengan aneh! Sinar mata suhengnya itu! Seolah-olah mata itu dengan lembutnya membelainya, kemudian berusaha untuk menjenguk isi hatinya. Dan pandang mata itu mengandung sesuatu yang membuat jantungnya berdebar aneh, sepasang mata itu tak pernah berkedip.

“Heii, Suheng! Apa-apaan sih engkau ini?”

Teriaknya untuk menekan guncangan hatinya sendiri, memecahkan suasana yang membuatnya canggung itu.

“Kenapa, Sumoi?”

Kata Sian Lun dan suaranya pun berubah bagi Sian Li. Suara itu demikian lembut, seperti mengelusnya dan keluar dari dalam dada.

“Suheng, kenapa engkau memandangku seperti itu?”

Tegurnya. Mereka dapat bicara dengan bebas karena tukang perahu telah tidur di tepi sungai, menggulung dirinya dalam selimutnya yang tebal. Dalam keadaan masih terpesona, seperti tersihir oleh wajah yang nampak cantik jelita luar biasa ketika bermandikan sinar bulan itu. Sian Lun masih belum sadar dan dia menjawab dengan suara penuh kagum dan penuh kasih sayang.

“Engkau… engkau begitu cantik jelita…”

Dalam keadaan biasa, pujian dari suhengnya itu tentu akan membuat Sian Li tertawa geli, akan tetapi sekarang, sigar mata suhengnya membuat wajahnya menjadi merah sekali ketika mendengar pujian itu. Akan tetapi ia memaksa diri menekan perasaan aneh, rasa senang gembira dan bangga, dan ia pun memaksa diri untuk tertawa. Ia membayangkan dirinya dan suhengnya yang telah berlatih bersama, bermain bersama sejak ia berusia dua belas tahun, ketika ia masih kanak-kanak, dan tiba-tiba suhengnya yang biasanya selalu bersikap sopan dan serius kepadanya, kini memuji kecantikannya. Lucu!

“Hi-hi-hik, heh-heh…. kau lucu, suheng! Kenapa mendadak saja engkau seperti ini? Jangan-jangan engkau kemasukan setan sungai ini yang kabarnya keramat? Kalau mau mengagumi kecantikan, tengoklah ke atas. Lihat, bulan itulah yang cantik jelita penuh senyum.”

Akan tetapi ucapan yang penuh kelakar itu tidak cukup kuat untuk menyeret Sian Lun turun kembali ke dalam keadaan seperti biasa yang wajar. Dia masih terpesona!

“Tidak, Sumoi. Kecantikan Sang Bulan tidak dapat disamakan dengan kecantikanmu! Kecantikan bulan itu mati, akan tetapi engkau…. aih, Sumoi, tidak ada wanita di seluruh dunia ini yang dapat menyamai kecantikanmu!”

Kalau tadi Sian Li masih tersenyum-senyum manis, kini senyumnya menghilang dan alisnya berkerut khawatir. Namun bagi Sian Lun, seperti juga semua laki-laki yang sudah jatuh cinta, perubahan wajah gadis itu sama sekali tidak mengubah hasil pandangannya. Tersenyum tertawa, merengut atau menangis atau marah-marah, tetap saja cantik jelita! Bagi hati yang sedang tergila-gila oleh cinta, wajah yang cemberut bahkan bertambah manis! Sebaliknya, bagi hati yang diracuni benci, wajah yang tersenyum dianggap mengejek dan menyebalkan!

“Suheng, sadarlah! Kita sudah bergaul sejak aku kecil, kita biasa berlatih bersama, bermain bersama. Kenapa sekarang engkau bersikap begini? Mengerikan! Hentikan kelakarmu ini, atau aku akan benar-benar marah, Suheng!”

Katanya dan untuk menyadarkan suhengnya. Sian Li memegang lengan pemuda itu dan mengguncang-nya agak keras. Sian Lun baru menyadari ketidakwajaran sikapnya. Dia menarik napas panjang seperti orang mengeluh,

“Maaf, Sumoi, maafkan sikapku tadi…. akan tetapi…. aku seperti mabok, Sumoi. Mabok oleh apa yang kulihat malam ini. Wajahmu disinari bulan purnama, rambutmu, matamu, hidung dan bibirmu…. ah, engkau memang cantik jelita, sumoi dan aku…. aku tak dapat menahan lagi rahasia hatiku, aku cinta padamu, Sumoi, aku cinta padamu….”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak, pipi yang tadi kemerahan itu mendadak menjadi pucat, lalu merah lagi dan tiba-tiba saja Sian Li menggerakkan ke dua tangannya mendorong kedua pundak Sian Lun. Pemuda itu terkejut, tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tubuhnya terjengkang keluar dari perahu.

“Byuurrr….!”

Air muncrat tinggi dan tubuh Sian Lun tenggelam! Tak lama kemudian, pemuda itu muncul kembali dan gelagapan. Sian Lun bukan tak pandai renang, akan tetapi dia tadi terlampau kaget ketika tubuhnya didorong sumoinya keluar dari perahu, dan kini dia pun harus melawan arus air, kembali ke perahu.

“Peganglah ini!”

Kata Sian Li yang sudah menjulurkan dayung ke arah pemuda itu. Setelah tadi mendorong tubuh suhengya sehingga terjatuh ke dalam air di luar perahu, Sian Li baru menyesali perbuatannya, dan melihat pemuda itu gelagapan, ia lalu menyambar dayung dsn menolong-nya naik. Sian Lun naik ke perahu dengan pakaian basah kuyup, juga rambutnya basah kuyup. Mereka berdiri berhadapan di kepala perahu, saling pandang. Sian Li marasa kasihan juga melihat suhengnya yang basah kuyup dan nampak bersedih.

“Maafkan aku, Sumoi,”

Kata Sian Lun lirih. Hemmm, sudah didorong ke dalam air, malah minta maaf. Sian Li merasa semakin menyesal.

“Habis, engkau sih, Suheng, yang aneh-aneh. Aku tidak suka melihat dan mendengar engkau seperti tadi! Engkau Suhengku, kuanggap seperti kakak sendiri, dan aku…. aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal cinta. Jangan sebut-sebut lagi soal itu. Dan kau juga maafkan aku yang tadi mendorongmu karena marah.”

Sian Lun menundukkan mukanya. Didorong ke air oleh Sian Li bukan apa-apa,

Biar didorong seratus kali dia mau asal gadis yang membuatnya tergila-gila itu suka menerima cintanya. Yang membuat hatinya terasa sedih sekali adalah ucapan sumoinya tadi. Sumoinya tidak mau bicara tentang cinta dan menganggap dia seperti kakak sendiri! Dia menundukkan mukanya dan memasuki bilik perahu untuk bertukar pakaian kering. Sian Li memandang ke arah kain tirai yang menutup pintu bilik dengan hati iba. Akan tetapi ia tidak berbohong dengan ucapannya tadi. Selama ini ia menyayang Sian Lun sebagai suheng, atau sebagai kakak sendiri, sama sekali tak pernah terbayangkan memandang suhengnya itu sebagai seorang kekasih, sebagai seorang calon suami! Lucu dan aneh rasanya kalau ia harus menjadi isteri suhengnya! Ketika Sian Li sedang melamun, tiba-tiba perahu itu terguncang. Ia terkejut dan menengok.

“Heiiii….!”

Teriaknya ketika melihat ada dua orang berpakaian hitam tiba-tiba saja meloncat dari air ke atas perahunya, dan sebuah perahu meluncur cepat menuju ke situ. Tahulah ia bahwa ada orang jahat yang hendak mengganggunya, maka cepat ia menyambut kedua orang itu dengan serangan kakinya yang melakukan tendangan beruntun. Tendangan-tendangan kaki Si Bangau Merah Tan Sian Li tidak boleh disamakan dengan tendangan kaki seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang biasa saja. Tendangan itu selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga sin-kang, karena gerakan itu adalah menurut ilmu tendang sakti Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong! Dua orang berpakaian hitam yang basah kuyup itu tidak sempat mengelak, hanya mampu menggerak-kan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga mereka.

“Dukk! Plakk!”

Tangkisan mereka yang disertai tenaga itu bahkan membuat tendangan itu semakin ampuh. Tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter dan mereka pun terjatuh ke air kembali.

Air muncrat lebih tinggi daripada ketika Sian Lun tercebur tadi! Akan tetapi, dari tepi perahu yang lain telah berloncatan empat orang berpakaian hitam yang lain lagi. Mereka membawa golok dan mereka sudah menerjang Sian Li dari belakang. Gadis itu mendengar sambaran golok dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik tiga kali dan ketika tubuhnya turun, ia telah meluncur dengan kepala di bawah, didahului sebatang pedang yang tadi sudah dibawanya loncat dan dicabut ketika tubuhnya berjungkir balik. Sinar pedangnya meluncur dan menyambar ke arah tiga orang penyerangnya tadi. Gerakannya bagaikan seekor burung bangau merah melayang turun dan paruh yang runcing di bawah, siap untuk mematuk! Akan tetapi tiga orang itu ternyata lihai juga. Mereka memutar golok untuk melindungi diri dari sinar pedang yang menyambar bagaikan kilat itu.

“Trang-trang-trang….!”

Karena tiga kali beradu senjata selagi tubuhnya masih di udara, terpaksa Sian Li berjungkir balik lagi agar jangan sampai terbanting jatuh.

Ia dapat turun ke atas perahu, akan tetapi terhuyung karena perahu itu terguncang oleh tenaga tiga orang itu. Dan tiga orang itu, yang agaknya lebih biasa di atas perahu, yang bergoyang-goyang, sudah menerjang maju! Tiba-tiba, Sian Lun yang sudah berganti pakaian dan mendengar suara gaduh di luar bilik perahu, sudah meloncat dan dengan pedang diputar dia menghadang terjangan tiga orang itu. Terdengar bunyi berdentangan dan bunga api barpijar ketika pedang di tangan Sian Lun bertemu dengan tiga batang golok para pengeroyok yang ternyata cukup lihai itu. Dan Sian Li tidak dapat membantu Sian Lun karena pada saat itu, dua orang lagi sudah meloncat naik dan mengeroyok Sian Li dengan golok mereka.

“Pendeta-pendeta busuk, munafik, jahat….!”

Sian Li marah sekali dan sambil memaki-maki, pedangnya digerakkan dengan dahsyat, membuat kedua orang pengeroyoknya itu terdesak. Akan tetapi, pada saat itu, perahu berguncang keras dan miring! Sian Lun masih sempat meloncat ke tepi sungai, akan tetapi Sian Li tidak sempat lagi kerena selain kedua orang lawannya sudah menyergapnya lagi selagi perahu miring dan hampir terbalik, juga dara ini berada di sisi perahu yang tiba-tiba miring ke bawah. Ia mencoba untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya, akan tetapi dua batang golok menyambar kakinya.

Terpaksa Sian Li meloncat dan tak dapat dihindarkan lagi, ia tercebur ke dalam air! Kepandaian Sian Li di air hanya biasa-biasa saja, hanya sekedar dapat berenang dan tidak sampai tenggelam, maka ketika dua orang penjahat yang sudah biasa bermain di air menyelam dan memegangi kedua kakinya, gadis ini tidak berdaya, meronta dan gelagapan sehingga akhirnya ia tertawan, kedua tangannya dibelenggu ke bela-kang dan ia diseret ke tepi sungai oleh empat orang! Sementara itu, Sian Lun yang berhasil melompat ke daratan dan tidak sampat tercebur, masih dikepung oleh tiga orang lawan yang cukup tangguh. Pemuda ini mengamuk dan sukarlah bagi tiga orang itu untuk mampu mendesaknya. Akan tetapi ketika Sian Lun melihat becapa sumoinya tertawan, dia menjadi khawatir sekali dan juga marah.

“Lepaskan ia!”

Bentak-nya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dia sudsh meninggalkan tiga orang pengepungnya,

Langsung saja dia menyambar ke arah empat orang yang menawan Sian Li! pedangnya diputar dan empat orang itu terkejut, cepat mereka menggerakkan golok untuk menangkis, lalu mengepung Sian Lun, Pemuda ini nekat. Dia harus dapat menyelamatkan sumoinya. Gerakan pedangnya amat hebat karena pemuda yang sudah marah dan nekat ini sudah memainkan Ilmu Pedang Koai-liong-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajarinya dari subonya (ibu gurunya). Pedangnya seperti berubah menjadi seekor naga mengamuk dan desing pedang seperti auman naga. Empat orang lawannya terkejut dan terpaksa mundur berpencar. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sian Lun untuk mendekati sumoinya dan sekali menggerakkan pedang, tali pengikat pergelangan kedua tangan Sian Li terbabat putus.

“Awas, Suheng….!”

Teriak Sian Li ketika melihat betapa empat orang itu, ditambah tiga orang lagi, serentak menyerang Sian Lun dari belakang dan kanan kiri! Sian Lun membalik sambil memutar pedang-nya, dan Sian Li menerjang orang yang merampas pedangnya dengan sebuah tendangan ke arah tangan yang memegang golok, dilanjutkan, tubrukan ke depan untuk merampas kembali pedangnya yang dipegang tangan kiri orang itu. Tubrukannya berhasil ketika orang itu mengelak ke samping, dan di lain saat pedang itu telah dirampasnya kembali. Akan tetapi, ketika Sian Lun menangkis, terlampau banyak golok menyerangnya sehingga sebuah di antara golok yang menyerangnya, ketika ditangkis putaran pedangnya, masih sempat melukai pundak kirinya sehingga baju di bagian pundak itu terobek berikut kulit pundak yang terluka dan berdarah.

“Suheng, kau terluka?”

Teriak Sian Li sambil memutar pedang membantu suhengnya.

“Tidak mengapa. Kita basmi manusia-manusia busuk ini!”

Bentak Sian Lun yang sudah marah sekali dan dengan penuh semangat dia juga memutar pedangnya, menyerang dengan dahsyat.

Kedua orang kakak beradik seperguruan itu mempergunakan ilmu-ilmu pedang yang amat hebat. Sian Lun tetap memainkan Ilmu pedang Naga Siluman, sedangkan Sian Li kini memainkan Ilmu Pedang Suling Emas seperti yang ia pelajari dari neneknya, Kam Bi Eng! Dua macam ilmu pedang ini memang merupakan ilmu-ilmu pedang yang dahsyat, dan Nenek Kam Bi Eng telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari ayahnya, Kam Hong yang telah menggabungkan kedua ilmu itu menjadi satu. Maka, ketika kedua orang muda ini memainkan dua macam ilmu itu, mereka merupakan pasangan yang amat kuat sehingga tujuh orang pengeroyok mereka kewalahan dan mereka pun berloncatan ke belakang dan melarikan diri ke dalam hutan gelap di tepi sungai.

“Jahanam, kalian hendak lari ke mana?”

Sian Lun melompat dan melakukan pengejaran.

“Suheng, jangan kejar!”

Sian Li berseru, akan tetapi suhengnya sudah berlari cepat dan tidak mau berhenti.

“Suheng, berbahaya kalau mengejar mereka!”

Kembali Sian Li berteriak. Karena Sian Lun tidak menanggapi dan terus berlari, terpaksa ia pun berlari mengejar dengan hati khawatir sekali. Hutan itu gelap dan cahaya bulan hanya menjadi sinar suram muram yang memasuki celah-celah daun dan ranting. Makin gelap saja dan akhirnya Sian Li menjadi bingung karena ia kehilangan jejak tujuh orang itu, juga kehilangan jejak suhengnya.

Tadi ia masih dapat mendengar suara kaki mereka menginjak daun kering. Akan tetapi kini, di sekelilingnya sunyi dan ia, tidak tahu harus mengejar ke mana. Dengan hati-hati ia berjalan ke sana sini, berkeliaran tanpa arah di dalam hutan yang lebat itu, mengerahkan kekuatan mata dan telinga untuk mencari kembali jejak mereka. Namun, usahanya sia-sia, bahkan untuk kembali ke tepi sungai tempat perahu tadi pun ia sudah tidak mengenal jalan lagi! Terpaksa Sian Li menunggu sampai pagi. Tidak lama ia menanti karena tak lama kemudian, sinar bulan semakin muram, sinar matahari mulai membakar langit di timur. Setelah cuaca tidak gelap lagi, sudah remang-remang, Sian Li bangkit dari bawah pohon dan melanjut-kan pencariannya. Ia merasa khawatir sekali. Tiba-tiba ia mendengar teriakan suhengnya.

“Sumoi, pergilah jauh-jauh jangan ke sini!”

Mendengar suara ini, tentu saja Sian Li terkejut bukan main. Ia seorang gadis yang cerdik, maka seruan suhengnya itu membuat ia sejenak termangu. Ia tahu bahwa suhengnya tentu berada dalam bahaya,

Dan suhengnya tidak menghendaki ia mendekat karena tentu ada bahaya mengancamnya pula kalau ia men-dekat! Akan tetapi, bagaimana mungkin ia membiarkan saja suhengnya terancam bahaya? Bagaimana mungkin ia pergi menjauh hanya karena ada bahaya mengancamnya setelah ia tahu bahwa suhengnya dalam bahaya? Tidak, ia harus menolong suhengnya. Terbayang ketika tadi dengan nekat dan mati-matian suhengnya menolongnya ketika ia tertawan, bahkan suhengnya sampai mengorbankan dirinya dan terluka pundak kirinya untuk menyelamatkan dirinya. Ia harus menolong suhengnya, biarlah ia akan menghadapi bahaya apa pun! Setelah mengambil keputusan tetap, dengan hati-hati namun cepat sekali Sian Li mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari seperti terbang menuju ke arah suara tadi.

Suhengnya hanya mengeluarkan kalimat itu saja lalu keadaan kembali sunyi sehingga tentu saja hatinya menjadi semakin gelisah, meng-khawatirkan suhengnya. Ia tidak berani memanggil, karena kalau ada musuh di sana, tentu akan dapat mendengar suaranya. Kalau ia ingin menolong suhengnya, ia harus dapat mendekati tempat suhengnya itu dengan diam-diam dan tersembunyi. Ia harus melihat keadaan dulu sebelum turun tangan. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat dari balik batang pohon yang besar, suhengnya telah terbelenggu di bawah sebatang pohon besar, diikat pada pohon itu dan agaknya suhengnya pingsan atau tertotok karena lehernya terkulai dan kepalanya menunduk dalam. Tali yang amat kuat membelit tubuhnya dari kaki ke dada, kedua lengan ke belakang, dan diikat kepada batang pohon itu!

Tidak nam-pak orang lain di sana! Menurutkan dorongan hatinya, tentu saja ia ingin sekali melompat mendekati suhengnya dan membebaskannya dari ikatan itu, akan tetapi kecerdikannya membuat ia berpikir sebelum bergerak. Mustahil kalau suhengnya ditangkap, dibelenggu lalu ditinggalkan saja di situ tanpa penjagaan, Tempat itu begitu sunyi, seolah tidak ada orang lain kcuali suhengnya. Mustahil! Ini tentu sebuah perangkap, sebuah jebakan, ia membayangkan, jebakan apa yang mungkin dipasang oleh pihak musuh. Mereka dapat bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, siap dengan anak panah atau senjata rahasia di tangan. Kalau ia menghampiri suhengnya, tentu mereka akan menghujanan anak panah atau senjata rahasia. Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya.

Kalau mereka ingin membunuhnya, kenapa suhengnya yang sudah tertawan itu dibiarkan hidup? Mereka tentu memasang jebakan untuk menangkapnya hidup-hidup atau jebakan atau perangkap apa yang mungkin mereka pasang? Sebuah lubang di dekat tempat suhengnya diikat? Lubang yang dtutupi rumput agar ia terjeblos ke dalam lubang kalau menghampiri suhengnya? Atau mereka akan keluar dan mengepung tempat itu? Sian Li mendapatkan perasaan yang aneh sekali. Ia merasa seperti menjadi harimau yang dipancing dengan umpan! Suhengnya menjadi kambingnya yang diikat di sana, untuk memancing munculnya Sang Harimau. Apa pun yang akan terjadi, bagaimana nanti sajalah! Yang paling penting, ia harus menolong suhengnya! Ia akan berhati-hati, menjaga segala kemungkinan. Ia akan memperhatikan sekelilingnya, juga memperhatikan tanah yang diinjaknya!

Dengan pedang terhunus di tangan kanan, dan sebatang tongkat dari cabang pohon yang dipatahkannya, ia melangkah keluar dari balik pohon, dengan hati-hati ia melangkah maju, mempergunakan tongkat yang dua meter panjangnya itu untuk meraba-raba dan menusuk-nusuk tanah di depannya sebelum ia melangkah. Ia maju selangkah demi selangkah, tongkatnya meneliti tanah yang akan diinjak, matanya waspada meneliti keadaan sekeliling sehingga kalau ada ancaman datang dari sekelilingnya, ia tidak akan mudah dibokong. Tinggal kurang lebih sepuluh meter lagi dari tempat Sian Lun diikat pada batang pohon. Tiba-tiba ia berhenti melangkah. Ujung tongkatnya menembus lapisan rumput! Di bawah rumput itu ada lubang! Ia menyelidiki dengan ujung tongkatnya. Ada lubang bundar yang garis tengahnya tidak kurang dari satu setengah meter!

Lubang yang ditutup lapisan rumput. Kalau ia melangkah atau berlari di atas lapisan rumput, tentu ia akan terjeblos ke bawah. Tepat seperti yang diduganya! Dengan pengerahan tenaga pada tongkatnya, ia mencokel lapisan rumput itu sampai lapisan penutup lubang itu terbuka semua! Kini nampaklah lubang itu, yang dalamnya tidak kurang dari tiga meter! Sekali terjeblos ke dalamnya, tentu ia akan sukar meloloskan diri, karena tentu mereka akan mengepung lubang dan mencegah ia melompat keluar lagi. Sian Li tersenyum. Untung ia bersikap hati-hati. Dengan ujung tongkat terus meraba, ia melangkah lagi mengitari lubang dan tiba di depan suhengnya tanpa ada rintangan lain. Agaknya hanya lubang itulah perangkap yang dipasang musuh. Sekarang ia harus cepat membebaskan suhengnya.

“Suheng….!”

Ia mengguncang pundak suhengnya. Akan tetapi suhengnya tetap lemas seperti tidur, atau pingsan, atau tertotok. Ia harus lebih dulu melepaskan ikatan itu kalau ingin membebaskan suhengnya dari totokan. Totokan yang melenyapkan semua tenaga itu harus dibebaskan dengan totokan dan urutan pada punggung, di pusat tenaga tengah pinggang.

Dengan pedangnya, Sian Li lalu membikin putus semua tali pengikat tubuh suhengnya. Ia harus merangkul suhengnya agar tidak sampai tubuh itu terkulai jatuh. Dan pada saat ia merangkul suhengnya itulah jala itu jatuh dari atas pohon! Jala yang lebar, yang siap di atas pohon dan tali-talinya dipegangi beberapa orang yang tersembunyi. Tali-tali dilepas dan jala itu pun jatuh menyelimuti Sian Li dan Sian Lun! Sian Li terkejut bukan main. Ia tidak menyangka akan datang serangan dari atas. Ada beberapa hal yang membuat dara perkasa ini tidak dapat menghindarkan diri dari serangan jala. Pertama, perhatiannya hanya ditujukan kepada suhengnya dan sekelilingnya. Ke dua, baru saja ia menemukan perangkap lubang tertutup lapisan rumput itu sehingga ia menganggap telah terbebas dari ancaman bahaya jebakan dan membuatnya menjadi lengah,

Dan ke tiga terutama sekali karena ia sedang merangkul suhengnya yang lemas untuk mencegah tubuh yang lemas itu terkulai jatuh. Sian Li mencoba untuk melepaskan diri, meronta-ronta, akan tetapi segera muncul tujuh orang berpakaian hitam-hitam itu dan tali-tali jala ditarik semakin kuat sehingga ia dan suhengnya terbelit dan terbungkus jala menjadi satu sampai ia tidak mampu bergerak lagi. Dengan mudah saja orang-orang berpakaian hitam itu meringkusnya dan mengikat tangan dan kakinya sebelum ia dikeluarkan dari dalam selimutan jala, demikian pula kaki dan tangan Sian Lun diikat pula. Kemudian, sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menaikkan tubuh kedua orang muda itu ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, dan dipegangi orang yang menunggang kuda, dan mereka lalu pergi dari situ menunggang kuda, menuju ke timur.

Matahari telah naik tinggi ketika rombongan tujuh orang itu berhenti di depan sebuah bangunan yang berada di puncak sebuah bukit. Tempat itu jauh dari dusun dan nampak sunyi, walaupun di kaki bukit tadi terdapat yang ditinggali orang-orang suku Tibet dan ada pula suku Miao. Sian Lun sadar dan begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di punggung kuda, menelungkup dan melintang di depan seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda itu, dia tahu bahwa dia dibawa pergi dan hatinya merasa lega. Tentu sumoinya telah mendengar teriakannya tadi sebelum dia ditotok pingsan dan sumoinya tidak mau mendekati tempat yang sudah dipasangi jebakan berbahaya itu. Biarlah, biar dia dibunuh sekalipun, asal sumoinya selamat, dia ikut girang.

“Suheng….!”

Sian Lun me-nengok ke kiri dan terkejut bukan main. Dia terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan suara. Lehernya seperti dicekik dan dadanya seperti hendak meledak. Kiranya Sian Li juga telah tertangkap seperti dia! Diikat kaki tangannya, ditelungkupkan di punggung kuda dan sama sekali tidak berdaya. Sungguh celaka! Melihat wajah suhengnya menjadi pucat dan matanya terbelalak, Sian Li tersenyum!

“Suheng, kita belum mati!”

Katanya dan ucapan ini membesarkan hatinya.

Benar juga. Mereka masih hidup dan selama mereka masih hidup, dia tidak boleh putus asa! Kalau mereka ditawan dan tidak dibunuh, hal itu hanya berarti bahwa para penawan mereka tidak menghendaki kematian mereka. Sementara ini, bahaya maut masih jauh dan masih ada harapan bagi mereka berdua untuk mencari jalan membebaskan diri. Sian Li memberi isarat dengan kedipan mata lalu memejamkan matanya, dan Sian Lun mengerti, maka dia pun tidak mau bicara lagi. Lebih baik mengumpulkan tenaga untuk bersiap-siaga, di mana ada kesempatan mereka akan membebaskan diri. Rombongan itu memasuki pekarangan rumah, kemudian dua orang tawanan dipanggul masuk ke dalam rumah, dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di dalam rumah itu terdapat belasan orang, kesemuanya berkepala gundul dan mengenakan jubah hitam.

Kiranya tempat itu merupakan sarang Hek I Lama yang menjadi orang-orang buruan pemerintah Tibet! Sian Lun dan Sian Li dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang berdampingan, dipisahkan dinding terali besi yang kokoh kuat. Mereka dapat saling lihat, akan tetapi dinding pemisah itu kuat bukan main. Juga ruangan tahanan itu mempunyai pintu besar terbuat dari besi berterali yang kokoh, dikunci dari luar. Ketika dimasukkan ke dalam ruangan tahanan, ikatan kedua kaki mereka dilepas dan kini hanya kedua tangan mereka saja yang masih terbelenggu ke belakang. Setidaknya, mereka dapat bergerak, dapat berdiri atau duduk. Mereka lalu duduk bersila, mengatur pernapasan. Sian Liberpikir. Ia melihat bahwa tujuh orang tadi sesungguhnya juga para anggauta Lama Jubah Hitam yang menyamar,

Menutupi kepala gundul mereka dangan kain hitam dan pakaian mereka juga ringkas, tidak mengenakan jubah pendeta. Jelas bahwa ia dan suhengnya tertawan oleh para pendeta Lama jubah hitam yang menurut keterangan dipimpin oleh Lulung Lama. Pendeta Tibet itu merupakan pimpinan golongan pendeta Lama yang tidak sah, yang dimusuhi pemerintah Tibet sendiri, dan golongan ini telah bersekutu dengan gerombolan dari Nepal yang juga merupakan pemberontak di negaranya sendiri. Mereka itu melakukan gerakan menghasut dan mengobarkan sikap anti pemerintah Ceng di Cina, dan agaknya mereka itu hendak melakukan gerakan pemberontakan di Cina dan kini sedang menyusun kekuatan. Semua ini ia dengar dari Gangga Dewi ketika ia masih berada di Bhutan. Akan tetapi kenapa Lama Jubah Hitam menawan ia dan suhengnya?

“Sumoi, kau baik-baik saja?”

Tiba-tiba suara Sian Lun ini menyadarkan Sian Li dari lamunannya. Ia mengangkat muka memandang dan suhengnya telah berdiri di dekat jeruji pemisah kamar tahanan mereka. Kedua tangan suhengnya juga masih terbelenggu. Ikatan itu longgar saja, akan tetapi tidak mungkin dipatahkan, karena tali untuk mengikatnya adalah dari kulit yang amat kuat, yang dapat melentur sehingga tidak dapat dibikin putus.

“Aku tidak apa-apa, Suheng. Dan mereka tidak melukaimu?”

“Tidak, hanya menotok dan membius. Bahkan lukaku di pundak tahu-tahu telah kering dan mereka obati. Sungguh aneh, apa maksud mereka itu menawan kita?”

“Aku sendiri tidak tahu, Suheng. Akan tetapi mulai sekarang, engkau harus berhati-hati dan jangan terburu nafsu, dapat menahan diri melihat keadaan. Karena engkau terburu nafsu, maka telah berlaku sembrono sehingga kita tertawan.”

“Maafkan aku, Sumoi. Memang aku ceroboh, semestinya aku tidak mengejar mereka. Akan tetapi engkau…. aku berterima kasih padamu, Sumoi. Engkau telah membelaku sehingga engkau sendiri tertawan.”

Melihat pandang mata suhengnya itu penuh kasih dan keharuan, Sian Li menarik napas panjang.

“Sudahlah, tidak perlu disebut-sebut lagi. Kita adalah kakak beradik seperguruan, tentu saja saling bantu dan saling bela.”

Tiba-tiba Sian Li memberi isarat dengan kedipan mata dan Sian Lun menghentikan percakapan,

Membalikkan badan untuk memandang ke depan kamar tahanan itu, melalui jeruji di pintu besi. Dia menahan kemarahannya ketika melihat seorang yang amat dikenalnya, yaitu penabuh tambur murid Lulung Lama yang lihai itu! Ingin dia memaki, akan tetapi dia takut kalau dianggap ceroboh lagi oleh sumoinya, maka dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata penuh kebencian, dan menyerahkan saja kepada sumoinya untuk menentukan sikap dan kalau perlu bicara. Dia sudah mendapat keterangan bahwa pemuda ini adalah murid Lulung Lama, bernama Cu Ki Bok, seorang peranakan Han Tibet. Karena dia pernah bertanding melawan pemuda yang tinggi tegap dan gagah ini, dia tahu bahwa murid Lulung Lama ini amat lihai.

“Selamat sore, Nona Tan Sian Li dan sobat Liem Sian Lun. Selamat bertemu kembali!”

Kata Cu Ki Bok sambil tersenyum dan kini sikapnya sungguh berbeda dengan ketika dia menyamar sebagai tukang tambur itu. Kini sikapnya riang dan ramah, matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum sedangkan pakaiannya juga pesolek sehingga membuat dia nampak makin gagah dan tampan.

“Hemm, kiranya engkau pula yang mengatur semua kecurangan ini! Cu Ki Bok, kalau engkau memang gagah, mari kita bertanding sampai seorang di antara kami menggeletak menjadi mayat, bukan melakukan pengeroyokan dan perangkap yang curang! Engkau pengecut tak tahu malu!”

Sian Li memaki-maki. Yang dimaki-maki tersenyum saja.

“Kalau saja Suhu tidak mempunyai rencana lain denganmu, tentu aku akan suka sekali menyambut tantanganmu itu, Nona dengan taruhan bahwa kalau aku kalah, engkau boleh membunuhku, akan tetapi kalau aku menang, engkau harus menjadi isteriku.”

Wajah Sian Li berubah merah sekali dan matanya memancarkan cahaya berapi saking marahnya.

“Huh, tak tahu malu! Siapa sudi menjadi jodohmu?, Engkau hanya seorang peranakan Han yang sudah lupa diri, suka menjadi budak orang Tibet dan Nepal, menjadi antek pemberontak!”

“Nona, kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kurobek mulutmu! Coba ingat baik-baik, kalian ini bangsa apakah, Nona Sian Li dan Sobat Sian Lun? Kalian mengaku orang Han, mengaku penduduk aseli, bahkan mengaku sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi apa yang kalian lakukan untuk negara dan bangsa kita yang terjajah oleh bangsa Mancu? Aku memang memberontak terhadap penjajahan orang Mancu, aku seorang patriot, seorang pahlawan sejati! Dan kalian masih memandang rendah dan memaki aku? Padahal, dengan sikap kalian yang tidak menentang pemerintah penjajah, berarti kalian sudah menjadi antek orang Mancu yang menjajah negara dan bangsa kita!”

Setelah berkata demikian, Cu Ki Bok meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sian Li saling pandang dengan suhengnya, ucapan pemuda tinggi tegap peranakan Han Tibet itu tadi seperti ujung pedang yang menusuk-nusuk jantung mereka karena tepat sekali mengenai sasaran,

Mereka sudah seringkali mendengar dari guru mereka, Suma Ceng Liong dan Isterinya, bahwa mereka itu kini selalu prihatin melihat betapa tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu. Bahkan Suma Ceng Liong mengakui bahwa di dalam darah keluarga Suma, yaitu keluarga keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengalir pula darah Mancu! Isteri Pendekar Super Sakti Suma Han adalah wanita-wanita Mancu. Inilah sebabnya mengapa sampai sekarang, tidak ada keturunan keluarga Suma yang menentang pemerintah Mancu. Padahal keluarga ini terkenal sebagai keluarga para pendekar yang gagah perkasa! Dan sekarang, pemuda peranakan Han Tibet yang menawan mereka itu telah mencela mereka. Salahkah mereka? Benarkah pemuda peranakan Han Tibet itu? Sian Li menjadi bingung dan termenung.

“Sumoi, jangan dengarkan dia,”

Terdengar Sian Lun berkata,

“Pahlawan macam apa dia itu? Menggunakan orang-orang Tibet dan Nepal, menawan kita secara curang dan pengecut. Seorang gagah sejati tidak akan melakukan perbuatan seperti itu. Jelas bahwa gerombolan itu jahat seperti apa yang dikatakan Bibi Gangga Dewi, mungkin kepatriotannya itu hanya sebagai kedok saja.”

Sian Li memejamkan mata. Memang, neneknya, Gangga Dewi sudah menceritakan tentang Hek I Lama, yaitu kelompok pendeta Lama Jubah Hitam yang dipimpin oleh Lulung Lama. Kelompok pendeta ini telah melakukan penyelewengan. Mula-mula, Lulung Lama adalah orang pendeta Lama Jubah Merah yang memiliki kedudukan cukup tinggi di antara para pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi dia melakukan pelanggaran, mengganggu wanita, bahkan melakukan perbuatan rendah dengan memperkosa wanita. Kejahatan ini diketahui dan dia tidak dapat diampuni lagi, dikeluarkan dari kelompok Lama Jubah Merah di mana dia tadinya menjadi tokoh. Lulung Lama merasa sakit hati dan dia pun lalu membentuk keiompok sendiri dengan mengenakan Jubah Hitam.

Baru warna Jubahnya saja sudah berarti bahwa dia tidak segan melakukan perbuatan jahat seperti golongan hitam! Dia segera diikuti oleh golongan hitam di daerah Tibet yang menjadi anak buahnya. Kemudian, Lulung Lama berkenalan dengan Pangeran Gulam Sing, yaitu pangeran dari Nepal yang menjadi orang buruan di negaranya karena dia melakukan pemberontakan. Pangeran Gulam Sing juga mempunyai banyak anak buah. Kedua orang tokoh sesat itu lalu bergabung membuat kekacauan di daerah Nepal, Bhutan dan Tibet, bahkan merencanakan pemu-pukan kekuatan untuk melakukan serbuan ke timur, menentang pemerintah Mancu dan menghasut orang-orang Han untuk bersekutu dengan mereka dan memberontak terhadap pemerintah Kerajaan Mancu dengan dalih kepatriotan!

“Mungkin engkau benar, Suheng. Bagaimanapun juga, kita harus waspada dan berhati-hati. Cu Ki Bok itu lihai dan gurunya lebih lihai lagi. Ditambah dengan anak buah Hek I Lama yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, kita berada dalam bahaya.”

Tempat tahanan mereka itu tidak pernah lowong dari penjagaan di luar ruangan. Sedikitnya ada empat orang penjaga yang berada di luar ruangan itu, kesemuanya adalah anggauta Hek I Lama dengan ciri khas mereka, yaitu kepala gundul dan jubah hitam. Mereka tidak pernah diganggu oleh para penjaga, bahkan secara teratur mereka mendapatkan makan dan minum yang layak, dimasukkan ke dalam melalui jeruji besi oleh penjaga, di atas sebuah baki. Ada nasi, ada sayur, dan ada air teh. Malam tiba dan di luar kamar tahanan itu dipasangi lampu minyak. Ada dua buah lampu yang cukup terang.

Sian Li merasa tubuhnya segar dan sehat. Ia dan suhengnya diperlakukan dengan baik. Bahkan sore tadi, ia mendapat kesempatan untuk mandi, bertukar pakaian. Dia dikawal ke tempat mandi yang berada di bagian belakang, dikawal empat orang dengan todongan golok, belenggu kedua langannya dilepas dan sebagai gantinya, kaki dan tangannya dipasangi rantai yang cukup membuat ia mampu bergerak untuk mandi, dan lain-lain. Ia tidak begitu bodoh untuk memberontak atau melarikan diri walau kaki dan tangannya dirantai, Kalau ia mau, tentu saja itu merupakan kesempatan. Namun, ia tahu pula bahwa usahanya itu tidak akan berhasil. Terlalu banyak lawan yang tangguh di situ, dan pula, andaikata ia mampu melarikan diri, suhengnya masih tertinggal di sana. Setelah ia membersihkan diri dan berganti pakaian, lalu tiba giliran Sian Lun.

“Suheng, jangan membuat ulah,”

Pesannya ketika pemuda itu digiring keluar. Dan ia girang melihat suhengnya datang lagi dengan pakaian bersih dan wajah yang segar. Mereka harus memberi kesempatan yang lebih baik agar keduanya dapat meloloskan diri. Selagi Sian Li duduk bersila mengatur pernapasan untuk melatih sin-kang, ia mendengar percakapan empat orang penjaga di luar kamar tahanan itu. Ia memperhatikan. Siapa tahu dari percakapan itu ia dapat mengumpulkan keterangan yang penting.

“Heran, kenapa kita harus bersusah payah menjaga dua orang tahanan ini siang malam dan melayani mereka seperti tamu di rumah penginapan saja? Kenapa tidak dibunuh saja mereka agar tidak merepotkan?”

Terdengar seorang di antara mereka bicara.

“Hushh, bodoh kamu! Apa tidak melihat betapa cantiknya tawanan itu?”

Kata yang lain.

“Hemm, kalau muda dan cantik, lalu kenapa? Justeru semestinya dimanfaatkan untuk hiburan kita, bukan dijadikan tamu yang hanya merepotkan saja!”

Omel suara pertama.

“Aih, engkau lancang sekali! Untung tidak terdengar Thai-losu (Guru Besar) atau Cu Kongcu (Tuan Muda Cu). Kalau terdengar bisa diketuk kepalamu!”

Tegur suara ke tiga.

“Kita senasib sependeritaan, kalau bukan dengan kalian bertiga, mana aku berani sembarangan membuka mulut? Coba siapa berani membantah sejujurnya! Bukankah keluhanku tadi juga menjadi suara hati kalian?”

Kata orang pertama.

“Sudah, kalian tidak usah ribut-ribut.”

Kata suara ke empat.

“Apa kalian tidak tahu urusan? Dua orang tawanan ini adalah pendekar-pendekar Han, tentu saja diperlakukan dengan baik oleh Thai-losu. Pula, agaknya Thai-losu ingin menyenangkan hati Pangeran Gulam Sing. Mereka berdua besok pagi datang ke sini dan engkau tahu sendiri selera pangeran itu terhadap wanita cantik.”

Mereka berempat berbisik-bisik sambil tertawa. Sian Li mendengarkan dengan alis berkerut dan hatinya menjadi tegang. Bahaya besar mengancam dirinya! Agaknya orang yang mereka sebut Thai-losu tadi adalah Lulung Lama, dan ia akan dihadiahkan kepada seorang pangeran yang bernama Gulam Sing, seorang pangeran Nepal yang haus wanita! Tentu saja Sian Li merasa khawatir sekali. Jelas bahwa pada malam hari ini, Lulung Lama tidak berada di tempat itu dan agaknya besok pagi baru akan tiba. Yang berada di situ hanya anak buah Hek I Lama dan pemuda murid Lulung Lama itu. Kalau saja ia dan suhengnya dapat keluar dari kamar tahanan dan mematahkan rantai, tentu mereka berdua akan dapat meloloskan diri!

Akan tetapi, bagaimana caranya? Ia melirik ke arah suhengnya dan pemuda itu pun sedang duduk bersila dan menoleh kepadanya dengan wajah gelisah. Tentu suhengnya tadi mendengar pula percakapan di luar kamar tahanan itu dan mengkhawatirkan dirinya yang akan dihadiahkan kepada Pangeran Gulam Sing! Malam telah larut, agaknya sudah lewat tengah malam. Ia melihat suhengnya dengan hati-hati menghampiri pintu, lalu kedua tangan suhengnya mencoba untuk merenggangkan jeruji pintu dari baja itu, ia sendiri pun segera mencoba usaha merenggangkan jeruji pintu. Namun sia-sia. Jeruji pintu dari baja itu terlampau kokoh. Tiba-tiba empat orang penjaga yang tadi masih terdengar berbisik-bisik itu nampak membuat gaduh. Seorang di antara mereka berseru lantang,

“Siapa itu….?”

Akan tetapi, tidak ada jawaban dan suasana menjadi sunyi sekali, bahkan empat orang penjaga itu tidak terdengar lagi suaranya maupun gerakannya. Selagi Sian Li dan Sian Lun merasa heran dan tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan dua buah lampu penerangan di luar kamar tahanan itu mendadak padam. Kini tempat itu hanya mendapat penerangan dari sinar lampu yang agak jauh sehingga remang-remang dan tidak jelas. Sian Li melihat sesosok bayangan hitam itu berkelebat di luar pintu kamar tahanan Sian Lun, dan orang itu, yang mengenakan caping lebar menutupi mukanya, berbisik kepada pemuda itu.

“Tak perlu bertanya-tanya. Cepat dekatkan tanganmu ke sini.”

Sian Lun segera mengerti bahwa orang itu datang untuk menolongnya, maka dia pun menghampiri pintu dan mendorongkan kedua tangannya yang dibelenggu. Terdengar suara berkeretakan dan belenggu kedua tangan Sian Lun terlepas! Bayangan itu menyerahkan dua batang pedang kepada Sian Lun dan berkata lagi.

“Cepat bebaskan sumoimu dan kalian lari dari sini!”

Sian Lun keluar dari kamar tahanan karena daun pintunya ternyata telah dibuka dan juga kamar tahanan Sian Li telah terbuka dan juga kamar tahanan telah terbuka daun pintunya. Dia meloncat masuk ke dalam kamar tahanan sumoinya, dengan menggunakan pedang, dia membebaskan dara itu dari belenggu. Dapat dibayangkan betapa girang dan juga heran hati kedua orang muda ini ketika mendapat kenyataan bahwa dua batang pedang yang diserahkan oleh orang itu adalah pedang mereka sendiri yang tadi dirampas oleh para anggauta Hek I Lama! Mereka berloncatan keluar dari kamar tahanan, memegang pedang masing-masing dan mereka mencari-cari dengan mata mereka.

Penolong tadi telah lenyap tanpa meninggalkan bekas Mereka hanya melihat empat orang penjaga di luar kamar tahanan dan empat orang ini berada dalam keadaan aneh. Ada yang sedang duduk, ada yang berjongkok, ada yang berdiri, bahkan ada yang sedang mencabut golok dan sikapnya seperti orang hendak meloncat. Akan tetapi mereka semua tidak bergerak dan seperti telah berubah menjadi patung! Tahulah Sian Li dan Sian Lun bahwa mereka telah menjadi korban totokan yang amat ampuh! Mereka tidak mempedulikan empat orang penjaga itu dan berlari keluar dari situ, menuju ke lorong dari mana mereka dapat keluar melalui taman di samping rumah untuk kemudian meloncat pagar tembok. Akan tetapi ketika mereka sudah keluar dari rumah dan tiba di dalam taman tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring.

“Tawanan lolos! Tawanan lolos!”

“Itu mereka di taman….!”

“Kepung….!”

Sian Li dan Sian Lun melihat belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok sendiri melakukan pengejaran! Mereka sudah siap untuk malawan mati-matian. Tiba-tiba di belakang mereka ada suara orang.

“Cepat kalian lari meloncat tembok, biar aku yang menahan mereka!”

Orang bercaping itu lagi! Karena keadaan mende-sak, dua orang muda itu tidak sempat bicara lagi. Mereka mentaati petunjuk penolong itu dan dengan cepat mereka berlari ke pagar tembok dan meloncat ke atasnya. Ketika tiba di atas pagar tembok, Sian Li sempat menengok dan ia memandang kagum. Penolong mereka yang bercaping itu, seorang diri dan tanpa senjata, telah berhasil menghadang belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok yang amat lihai itu! Tubuh Si Caping itu berkelebatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar dan menghala-ngi setiap orang yang hendak melakukan pengejaran! Dan setiap orang, bahkan Cu Ki Bok sendiri, terpental ke belakang begitu dihadang dan dihalangi orang bercaping itu!

“Mari cepat, Sumoi!”

Kata suhengnya dan Sian Li terpaksa cepat meloncat keluar dan bersama suhengnya ia pun melarikan diri meninggalkan tempat itu. Namun, penglihatan tadi tak pernah dapat dilupakan. Betapa lihainya kepandaian orang bercaping itu! Setelah malam berganti pagi, baru kedua kakak beradik seperguruan itu menghentikan lari mereka. Keduanya merasa amat lelah den mereka berhenti di luar sebuah dusun, melepas lelah. Dusun itu mulai hidup. Penghuninya mulai meninggalkan dusun, membawa alat pertani-an untuk mulai bekerja di sawah ladang.

“Suheng, kita telah ditolong oleh orang bercaping itu….”

Kata Sian Li, terharu karena tidak mengira bahwa mereka akan dapat lolos sedemikian mudahnya.

“Kita berhutang budi, bahkan mungkin hutang nyawa kepada orang itu, Sumoi,”

Kata pula Sian Lun, masih tertegun.

“Siapakah dia, Suheng? Apakah engkau dapat melihat mukanya?”

Sian Lun menggeleng kepala.

“Ketika dia menolong kita, kedua buah lampu itu padam dan cuaca terlalu gelap untuk dapat mengenal mukanya. Apalagi caping lebar itu menyembunyikan mukanya. Bahkan aku tidak tahu apakah dia itu muda atau tua, laki-laki atau wanita….”

“Dia jelas laki-laki, Suheng. Suaranya berat dan tubuhnya juga tegap seperti tubuh laki-laki. Sungguh sayang keadaan tidak mengijinkan kita untuk berkenalan dengan dia, Suheng. Sungguh tidak enak rasanya diselamatkan orang tanpa mengenal dia siapa, bahkan tidak melihat wajahnya sehingga selain kita tidak tahu siapa dia, juga kalau berjumpa kita tidak akan mengenalnya.”

“Sudahlah, Sumoi. Bukankah Suhu dan Subo seringkali mengatakan bahwa di dunia ini banyak terdapat orang aneh dan lihai, dan bahwa para pendekar tidak pernah mau mengikat diri dengan dendam dan budi? Dia tentu seorang pendekar aneh yang tidak mau menanam budi, maka menolong secara sembunyi dan tidak memperkenalkan diri. Kita patut bersyukur bahwa kita telah terbebas dari bahaya maut, bahkan menerima kembali pedang kita, dalam keadaan sehat. Luka di pundakku juga sudah sembuh.”

“Akan tetapi buntalan pakaian kita lenyap, dan juga bekal emas permata yang amat berharga dari Nenek Gangga Dewi, dirampas penjahat-penjahat itu! Padahal, kita perlu membeli pakaian pengganti dan untuk bekal dalam perjalanan.”

Sian Lun meraba-raba bajunya dan mengeluarkan beberapa potong perak, dari saku bajunya.

“Ini masih ada beberapa potong perak dalam saku bajuku. Kita masih dapat membeli makanan untuk beberapa hari lamanya. Mengenai pakaian…. wah, terpaksa sementara ini tidak bisa ganti….”

Mereka melanjutkan perjalanan.

Peta perjalanan itu pun lenyap dan mereka memasuki dusun, untuk membeli makanan dan menanyakan jalan. Sambil membeli makanan sederhana di sebuah kedai kecil, mereka mendapat keterangan dan ternyata mereka telah meninggalkan pantai Sungai Yalu-cangpo sejauh tiga puluh mil lebih! Dan perjalanan melalui darat ke timur amat sukar karena melalui bukit-bukit, hutan-hutan dan daerah liar, di mana terdapat banyak bahaya. Jalan raya yang biasa dipergunakan rombongan pedagang, masih belasan li jauhnya dari situ. Menurut keterangan penduduk dusun itu, kalau hendak melakukan perjalanan ke timur, paling aman dan paling cepat adalah melalui Sungai Yalu-cangpo, maka mereka terpaksa harus kembali ke utara sampai ke tepi sungai, mempergunakan perahu.

“Aih, kita harus kembali lagi ke tepi sungai, Suheng. Akan tetapi, setelah tiba di sana, bagaimana kita dapat menyewa perahu kalau kita tidak mempunyai bekal uang lagi?”

“Bagaimana nanti sajalah, Sumoi.”

Percakapan mereka terhenti ketika seorang anak laki-laki berusia lebih empat belas tahun menghampiri mereka. Dengan suara lirih dan logat Tibet yang asing dia berkata,

“Saya disuruh seseorang untuk menyerahkan buntalan ini kepada Jiwi (Anda Berdua).”

Anak itu menyerahkan sebuah buntalan dan melihat buntalan itu, Sian Lun meloncat kaget dan girang. Itu adalah buntalan pakaiannya yang dirampas oleh orang-orang. Hek I Lama!

“Siapa yang menyuruh-mu? Di mana dia sekarang?”

Anak itu menggeleng kepala.

“Aku tidak tahu dia siapa. Seorang yang memakai caping, mukanya tidak kelihatan jelas. Dia memberi aku sekeping perak dan menyuruh aku menyerahkan buntalan ini kepada seorang nona berbangsa Han yang berpakaian merah, dan yang berada di kedai ini. Setelah menyerahkan buntalan, dia pergi.”

Sian Li membuka buntalan dan memeriksa. Masih lengkap! Bahkan buntalan terisi emas permata pemberian Gangga Dewi juga masih lengkap berada di situ! Hampir ia bersorak saking gembiranya. Ia mengikat lagi buntalannya di punggung lalu berkata,

“Aku akan mencari dia!”

“Tidak perlu, Sumoi. Tidak akan bisa kau temukan. Jelas bahwa dia sengaja tidak mau memperkenalkan diri dan tentu telah pergi jauh.”

Sian Li memaklumi kebenaran ucapan suhengnya. Orang itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan kalau dia tidak menghenda-ki, tidak mungkin ia dapat mengejarnya.

“Sayang sekali. Aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengannya, Suheng, dan mengapa pula dia menolong kita secara sembunyi dan tidak mau bertemu dengan kita.”

“Tentu ada sebabnya yang dia sendiri saja mengetahuinya, Sumoi. Kelak kalau dia menghendaki, tentu kita akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, sebaiknya kalau kita mencari dan membeli kuda agar perjalanan ke pantai dapat dilakukan lebih cepat. Juga engkau perlu membelikan pakaian pengganti untukku. Penolong kita itu agaknya hanya memperhatikanmu dan mengambilkan buntalan pakaianmu sedangkan pakaianku tidak dia ambilkan.”

Sian Lun tertawa, sama sekali tidak merasa iri kepada sumoinya. Sian Li juga tertawa, akan tetapi entah mengapa, jantungnya berdebar mendengar bahwa penolong mereka itu agaknya amat memperhatikannya! Dengan emas yang ada pada Sian Li, mudah saja mereka membeli dua ekor kuda yang baik dengan harga mahal, kemudian mereka pun sudah meninggalkan dusun itu, menunggang kuda menuju ke tepi Sungai Yalu-cangpo. Peta perjalanan itu pun berada di dalam buntalan Sian Li sehingga kini mereka mendapat-kan petunjuk lagi. Perjalanan mereka ke tepi sungai itu tidak mendapat gangguan dan dari seorang nelayan mereka bahkan mendapat petunjuk baru bahwa daripada naik perahu,

Lebih cepat kalau mereka menunggang kuda saja, melalui jalan setapak menyusuri tepi sungai. Mereka menurut petunjuk ini memang benar, jalan setapak itu cukup baik untuk dilalui kuda mereka dan perjalanan dapat di lakukan lebih cepat. Ketika mereka melewati dusun yang cukup ramai, Sian Li membelikan pakaian pengganti untuk suhengnya. Kini mereka melakukan perjalanan berkuda dengan perbekalan yang lengkap pula. Untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka beristirahat. Sian Li dan Sian Lun berhenti mengaso di tepi sungai yang ditumbuhi banyak rumput gemuk. Mereka membiarkan kuda mereka makan rumput dan beristirahat, dan mereka pun membuka buntalan perbekalan makanan dan air bersih. Sambil makan, mereka bercakap-cakap, membicarakan pengalaman mereka.

“Suheng, ingatkah Sugeng ketika Badhu dan Sagha bersama tiga orang Lama Jubah Hitam itu menyerang kita di rumah penginapan itu?”

“Ya, kenapa?”

“Ketika mereka mengeroyok kita, tiba-tiba mereka melepaskan senjata dan mereka melarikan diri secara aneh karena kita tidak melukai mereka.”

“Hemm, dan engkau mengatakan bahwa mungkin ada dewa yang menolong kita?”

“Sekarang aku tahu siapa dewa yang menolong kita itu!”

“Eh, benarkah? Siapa dia?”

“Tentu orang bercaping itu juga!”

Sian Lun menatap wajah sumoinya, lulu mengangguk-angguk.

“Mungkin sekali dugaanmu itu benar, Sumoi, akan tetapi tidak ada artinya karena kita pun belum tahu siapa orang bercaping itu.”

Sian Li menghela napas panjang.

“Suheng, kalau sampai aku tidak dapat mengetahui siapa adanya orang itu, tentu akan selalu ada penyesalan dan ganjalan dalam hatiku.”

Setelah kuda mereka makan kenyang dan nampak segar kembali, mereka melanjutkan perjalanan karena menurut petunjuk dalam peta yang dibuat oleh ahli di Bhutan, tidak jauh di sebelah depan terdapat sebuah dusun besar, tepat di belokan Sungai Yalu-cangpo yang menikung ke selatan. Dari situ, mereka akan menyeberang dan meninggalkan lembah sungai itu, melanjutkan perjalanan ke timur.

Dua orang kakak beradik seperguruan itu memasuki dusun Cam-kong di tepi Sungai Yalu-cangpo yang berbelok ke selatan. Sebuah dusun yang ramai karena dari sinilah para pedagang yang hendak mem-bawa barang dagangan ke selatan berkumpul dan mengirim barang mereka dengan perahu. Sedangkan para pedagang yang membawa dagangan ke timur, dan datang dari barat, membongkar barang yang mereka bawa dengan perahu di dusun ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan rombongan mereka ke timur melalui daratan. Karena menjadi pusat persaingan para pedagang, maka dusun itu menjadi makmur dan ramai. Dengan mudah Sian Li dan Sian Lun mendapatkan dua buah kamar di rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di samping rumah penginapan. Hiruk pikuk suara orang yang tiada hentinya memuat dan membongkar barang di dusun pelabuhan itu.

Ketika mereka memasuki rumah penginapan, mengikuti seorang pelayan yang menunjukkan dua buah kamar untuk mereka, kakak beradik itu melewati sebuah ruangan duduk di mana berkumpul tujuh orang yang melihat pakaiannya tentulah pedagang-pedagang berbangsa Han. Mereka bercakap-cakap dengan santai dan mendengar logat bicara mereka, Sian Lun dan Sian Li segera tertarik sekali karena logat Shantung, seperti logat orang-orang di tempat tinggal Kakek Suma Ceng Liong yang sudah biasa mereka dengar. Kiranya mereka adalah pedagang-pedagang dari bagian timur sekali, dan mereka merasa seperti bertemu dengan saudara-saudara dari kampung halaman sendiri! Memang demikianlah perasaan hati hampir setiap orang yang berada di rantau. Kalau kita berada di rantau orang, jauh dari kampung hala-man, apalagi kalau sedang merindukan kampung halaman,

Mendengar logat bicara orang sekampung rasanya seperti bertemu dengan saudara sendiri dan segera timbul keakraban dalam hati. Dahulu kalau berada di kampung halaman sendiri, logat itu sama sekali tidak mendatangkan kesan apa pun. Kebetulan mereka mendapatkan dua buah kamar yang tidak berjauhan dari ruangan duduk itu, maka setelah memasuki kamar masing-masing, mereka dengan pendengaran mereka yang tajam terlatih, masih dapat menangkap percakapan tujuh orang Shantung itu. Mereka segera menaruh perhatian karena mereka membicarakan soal keamanan daerah itu dan perjalanan dari tempat itu ke timur, per-jalanan yang akan mereka tempuh. Mereka menceritakan pengalaman masing-masing dan menyebut-nyebut tentang adanya seorang pendekar yang mereka namakan Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).

“Kalau tidak ada pendekar itu, mungkin hari ini aku tidak dapat bertemu dengan kalian di sini,”

Terdengar seorang di antara mereka bercerita.

“Terjadinya kurang lebih sebulan yang lalu. Perampok-perampok itu sungguh tidak mengenal peraturan umum. Rombongan kami sudah bersedia untuk memberi sumbangan yang cukup memadai. Akan tetapi mereka menginginkan yang bukan-bukan, bahkan hendak menculik puteri pedagang dari selatan itu. Tentu saja kami keberatan, apalagi ketika mereka hendak mengambil semua, gulungan sutera paling halus dan paling mahal. Bisa bangkrut kami kalau menuruti kehendak mereka. Dan mereka menjadi marah, lalu mengatakan mereka akan merampas semua barang, menculik gadis itu, dan membunuh kami semua!”

“Hemm, memang sekarang mulai tidak aman. Banyak gerombolan pengacau dari berbagai aliran, ada perampok, ada bajak sungai, bahkan ada pula gerombolan pemberontak dan ada katanya pasukan keamanan sendiri malah merampok dan mengganggu kami,”

Kata orang ke dua.

“Acun, lanjutkan ceritamu tadi. Setelah rombongan diancam, lalu bagaimana?”

Kata yang lain. Orang pertama yang bernama Acun melanjutkan.

“Tentu saja kami tidak menyerah begitu saja. Tidak percuma aku pernah belajar ilmu silat di kampung, dan di antara para anggauta rombongan kami terdapat beberapa orang yang cukup jagoan. Akan tetapi, ternyata kepala perampok itu lihai sekali. Aku sendiri belum terluka, akan tetapi kawan-kawanku sudah roboh. Pada saat kepala perampok merobohkan aku dengan tendangan dan goloknya menyambar ke arah leherku muncullah Pendekar Besar Tangan Sakti itu! Hem, dia bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit!”

“Acun, ceritakan, bagaimana sepak terjangnya?”

Yang lain-lain juga mendesak Acun untuk melanjutkan ceritanya. Bahkan Sian Li dan Sian Lun di kamar masing-masing ikut mendengaran penuh perhatian.

“Kemunculannya mentakjubkan. Sudah lama aku mendengar tentang sepak terjangnya, akan tetapi baru sekali itu aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bagaikan halilintar menyambar, dia nampak sebagai bayangan yang menyambar turun dan golok di tangan kepala perampok yang lihai itu terlempar dan tubuh kepala perampok itu terlempar sampai terguling-guling. Kemudian, bagaikan kilat, bayangan itu meluncur ke sana-sini dan semua senjata para perampok yang jumlahnya belasan orang itu terlempar dan mereka pun satu demi satu terjengkang dan terbanting roboh.”

“Mampus perampok-perampok itu!”

Seru seorang pendengar.

“Mampus apa? Tidaklah engkau pernah mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap itu tidak pernah melukai orang, apalagi membunuh? Perampok itu tidak ada yang terluka, hanya terkejut dan ketakutan saja. Memang sayang, kalau aku yang menjadi pendekar memiliki kesaktian seperti itu, sudah kusikat habis para penjahat itu, kubasmi dan kutumpas mereka!”

Kata Acun.

“Kenapa sih memotong-motong cerita itu, Acun, lanjutkan. Apa yang dilakukan pendekar sakti yang aneh itu?”

Tanya seorang.

“Dan bagaimana macamnya? Sudah tua ataukah masih muda?”

Tanya orang ke dua.

“Seperti biasa yang kita pernah dengar, dia menghilang begitu saja dan hanya suaranya terdengar dari dalam pohon yang lebat. Dia memberi peringatan dan nasehat kepada para perampok, menyadarkan mereka dengan kata-kata lembut. Dan tidak seorang pun di antara kami dapat melihat wajahnya. Gerakannya demikian cepat dan wajahnya terlindung caping lebar itu.”

Mendengar ini, Sian Li dan Sian Lun tidak dapat menahan diri lagi. Mereka tertarik karena maklum bahwa yang dimaksudkan Acun itu tentulah pendekar yang menjadi penolong mereka. Keduanya keluar dari dalam kamar, saling pandang lalu menghampiri tujuh orang pedagang itu. Para pedagang itu tentu saja memandang mereka dengan heran, juga kagum melihat pemuda tampan dan gadis cantik yang menghampiri mereka itu. Sian Li cepat mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata,

“Harap Cuwi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami. Kami mendengar cerita Cuwi dan kami tertarik sekali karena kami pun mendapat pertolongan dari seorang pendekar bercaping yang tidak memperkenalkan dirinya kepada kami.”

Mendengar logat bicara Sian Li, tujuh orang itu cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan Sian Li dan Sian Lun.

“Aih, agaknya Kongcu dan Siocia datang dari daerah Shantung seperti kami?”

Karena datang dari satu propinsi, walaupun tempat tinggal mereka terpisah jauh, mereka segera menjadi akrab.

“Paman tadi bercerita bahwa pendekar itu bercaping?”

Tanya Sian Li. Acun yang merasa girang mendapat pendengar seorang dara demikian cantiknya, dengan bersemangat menjawab.

“Ketika menolong kami, kami hanya melihat bayangannya berkelebatan dan dia mengenakan sebuah caping lebar yang menyembunyikan mukanya.”

“Bagaimana bentuk badannya, Paman Acun?”

Tanya pula Sian Li dan orang itu semakin gembira disebut paman Acun secara demikian akrabnya.

“Tubuhnya sedang dan tegap, gerakannya halus namun cepat bukan main, dan dia tidak bersenjata, akan tetapi belasan batang golok itu runtuh dengan sendirinya. Dia seperti bukan manusia!”

Kata Acun.

“Pengalamanku dengan pendekar itu pun tidak kalah hebatnya!”

Terdengar seorang yang gendut berkata.

“Aku pun mempunyai pengalaman dengan pendekar Sin-ciang Tai-hiap itu!”

Kata pula orang ke tiga. Wanita memang sejak jaman dahulu sampai sekarang, mempunyai wibawa yang luar biasa terhadap para pria.

Sekumpulan pria, baik mereka itu sudah tua maupun masih remaja, selalu akan berubah sikap mereka apa bila kedatangan seorang wanita, apalagi yang muda dan cantik jelita seperti Sian Li. Amat menarik kalau memperhatikan sekelompok pria yang tadinya bercakap-cakap, lalu muncul wanita di antara mereka. Mereka itu berubah sama sekali. Gerak-geriknya, wajahnya, lirikan matanya, senyumnya, bahkan suaranya! Mungkin yang bersangkutan sendiri tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita memperhatikan, kita akan dapat melihat perubahan itu dengan jelas sekali. Mengingatkan kita kepada ayam-ayam jantan kalau bertemu ayam betina. Ada saja ulahnya untuk menarik perhatian dan berlagak! Lucu, menarik dan mengharukan mengenal diri kita sebagai pria ini, betapa pria menjadi lemah kalau sudah berhadapan dengan wanita.

Perbedaan dalam tingkah laku mungkin hanya tergantung dari watak masing-masing saja, ada yang nampak sekali, ada yang muncul lagak yang kurang ajar, ada yang pendiam. Namun perubahan itu pasti ada, bahkan yang nampak acuh pun dibuat-buat dan tidak wajar. Bermacam-macam pengalaman mereka akan tetapi pada dasarnya, mengenai Sin-ciang Tai-hiap, mereka mempunyai pengalaman yang sama. Pendekar itu sama sekali tidak pernah dapat dikenal wajahnya, kalau turun tangan menolong orang dan menghadapi penjahat, dia bertindak cepat sekali tanpa memperlihatkan wajah, apalagi memperkenalkan nama. Wajahnya kadang ditutup caping lebar, kadang juga tidak. Dan yang aneh sekali, tidak pernah dia membunuh penjahat, bahkan melukai parah pun tidak pernah. Semua penjahat diampuninya, diberi nasihat.

“Bagaimana mungkin dia akan berhasil,”

Kata Sian Lun.

“Penjahat harus dihadapi dengan kekerasan! Kalau hanya diampuni dan diberi nasihat, bagaimana mereka akan dapat sadar dan menjadi baik?”

“Belum tentu, Kongcu!”

Kata seorang di antara mereka, seorang pria tinggi kurus yang berusia enam puluh tahun.

“Biar dihadapi dengan kekerasan sekalipun, dihukum berat, belum tentu juga penjahat akan menjadi baik! Dan buktinya, menurut kabar dan ada pula kusaksikan sendiri, banyak penjahat menjadi baik dan sembuh dari penyakitnya yang membuat dia jahat setelah dia bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap dan mendapat nasihat dari pendekar aneh itu.”

“Paman Liok, ceritakan pengalamanmu itu!”

Seorang di antara mereka berseru.

“Benar, Paman. Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya,”

Kata pula Sian Li. Tanpa diminta oleh gadis itu pun, dengan penuh gairah Kakek Liok memang ingin sekali bercerita agar dia menjadi pusat perhatian.

“Di perbatasan Secuan ada seorang penjahat besar yang biasa melakukan kejahatan apa pun tanpa mengenal takut. Dia mempunyai belasan orang anak buah. Aku sudah mendengar tentang kejahatan penjahat berjuluk Pek-mau-kwi (Iblis Rambut Putih) itu, yang usianya baru empat puluh tahun akan tetapi rambutnya sudah putih semua,

Maka ketika aku melakukan perjalanan lewat daerah itu, aku memperkuat rombonganku dengan sepasukan piauw-su (pengawal) bangsa Miao yang terkenal gagah, berjumlah dua puluh orang. Akan tetapi, tetap saja di tengah jalan kami dihadang oleh gerombolan perampok yang dipimpin Pek-mau-kwi itu! Seperti biasa kalau bertemu dengan gerombolan perampok, kami juga sudah menawarkan sumbangan atau yang biasa disebut pajak jalan. Akan tetapi, berapa pun yang kami tawarkan, Pek-mau-kwi tidak mau menerimanya dan menghendaki kami menyerahkan setengah dari semua barang bawaan kami. Terjadilah pertempuran dan biarpun jumlah kami lebih banyak, tetap saja kami kewalahan. Agaknya kami tentu akan menjadi korban dan terbunuh semua kalau tidak muncul Sin-ciang Tai-hiap!”

“Dia juga bercaping, Paman?”

Tanya Sian Li, membayangkan orang bercaping yang pernah menolong ia dan suhengnya.

“Pendekar itu tidak bercaping, akan tetapi karena gerakannya cepat sekali dan rambutnya panjang riap-riapan menutupi mukanya, kami pun tidak mungkin dapat mengenali mukanya. Dia berkelebatan merobohkan semua perampok, bahkan ketika dia meloncat pergi, dia mengempit tubuh Pek-mau-kwi dan membawanya lenyap! Semua anak buah perampok lari ketakutan dan kami pun selamat.”

“Lalu bagaimana dengan Pek-mau-kwi itu dan bagaimana Paman tahu bahwa nasihat dari pendekar itu berhasil?”

Tanya Sian Lun, tertarik sekali.

“Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Pek-mau-kwi. Akan tetapi ketika beberapa bulan kemudian aku lewat di daerah itu, aku mendengar bahwa Pek-mau-kwi sudah cuci tangan, tidak lagi menjadi perampok, melainkan sekarang membuka perguruan silat dan hidup dari hasil pembayaran para muridnya. Aku mendengar bahwa dia menjadi orang baik dan tidak pernah lagi melakukan kejahatan. Bukankah itu hasil nasihat dari pendekar sakti itu?”

“Dan bagaimana pengalamannya dengan pendekar itu?”

Tanya Sian Li.

“Kabarnya, dia tidak pernah mau menceritakan kepada siapapun juga. Entah apa yang terjadi ketika dia ditangkap dan dilarikan Sin-ciang Tai-hiap.”

Sian Li dan Sian Lun merasa semakin tertarik, apalagi karena mereka sendiri berhutang budi, bahkan nyawa kepada pendekar itu.

“Apakah di antara Cuwi (Anda Sekalian) ada yang mengetahui siapakah nama Sin-ciang Tai-hiap itu?”

Semua orang yang berada di situ menggeleng kepala. Tidak pernah ada yang mendengar siapa nama pendekar aneh itu.

Jangankan namanya, wajahnya pun belum pernah dikenal orang karena sepak terjangnya cepat dan penuh rahasia. Menurut cerita para pedagang yang sudah bertahun-tahun menjelajahi daerah itu untuk berdagang, nama Sin-ciang Tai-hiap baru muncul sekitar tiga empat tahun yang lalu. Sebelum itu, tidak pernah ada orang mengenal nama julukan ini yang timbulnya juga di daerah itu, nama julukan yang diberikan oleh para pedagang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Sebelum empat tahun yang lalu, baik di daerah barat ini maupun di timur, orang tidak pernah mendengar namanya. Setelah mende-ngarkan semua cerita yang kadang seperti dongeng saja dari para pedagang itu tentang Sin-ciang Tai-hiap, yang ia tahu tentu dibumbui dan dilebih-lebihkan. Sian Li ingin mendengar dari mereka tentang orang-orang yang selama ini pernah ditentangnya.

“Apakah Cuwi (Anda Sekalian) dapat menceritakan tentang perkumpulan Hek I Lama?”

Tujuh orang pedagang itu serentak berdiam diri seperti jangkerik terpijak. Mereka bukan hanya berdiam diri tak mengeluarkan suara, akan tetapi juga wajah mereka berubah dan mereka menengok ke kanan kiri, seolah ketakutan.

“Kenapa, Paman?”

Terbawa oleh sikap mereka, Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan berbisik pula. Yang ditanya menggeleng kepala, lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis, dan menulis dengan cepat di atas kertas itu, kemudian menyodor-kannya kepada Sian Li. Gadis itu dan suhengnya segera membaca tulisan itu.

“Jangan bicara tentang itu, mata-matanya tersebar di mana-mana. Berbahaya sekali,”

Demikian bunyi tulisan dan Sian Li saling pandang dengan suhengnya. Sian Li mendekati laki-laki yang menulis itu sambil menyerahkan kembali kertas tadi yang segera dirobek-robek oleh penulisnya. Gadis itu berbisik,

“Kenapa, Paman? Apakah mereka jahat dan suka mengganggu?”

Orang itu menggeleng kepala, lalu menjawab dengan suara bisik-bisik pula.

“Mereka tidak pernah mengganggu kita, sebaliknya kita pun tidak boleh mencampuri urusan mereka. Penjahat Yang paling besar pun di daerah ini tidak ada yang berani mencampuri urusan mereka, berbahaya sekali. Di mana-mana mereka mempunyai kaki tangan. Sebaiknya kita bicara tentang hal lain saja.”

Agaknya tujuh orang pedagang itu sudah merasa ketakutan, maka mereka pun bubaran memasuki kamar masing-masing. Sian Li dan Sian Lun terpaksa juga kembali ke kamar masing-masing dan tidur. Malam itu Sian Li bermimpi bertemu dengan pendekar bercaping karena sebelum pulas tiada hentinya ia mengenang pendekar yang amat mengagumkn hatinya itu. Kini ia membenarkan akan cerita orang tuanya, juga Kakek Suma Ceng Liong bahwa di empat penjuru dunia penuh dengan orang-orang pandai, oleh karena itu, mereka berpesan agar ia tidak mengagungkan dan menyombongkan diri dan kepandaian sendiri. Kini ternyatalah bahwa di daerah barat yang dianggapnya masih liar bahkan belum beradab itu terdapat pula orang sakti yang aneh, yang membuatnya kagum bukan main.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, ketika Sian Li dan Sian Lun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan, seorang laki-laki menghampiri mereka dan dengan sikap hormat dia menyerahkan sesampul surat kepada mereka. Setelah sampul surat itu diterima Sian Li, pembawa surat itu memberi hormat dan pergi. Sian Li cepat membuka sampul dan bersama Sian Lun mereka membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf yang gagah dan indah itu. :

“Harap Liem Tahiap dan Tan Lihiap suka memaafkan sikap anak buah kami. Karena belum saling mengenal dengan baik maka terjadi kesalahpahaman. Kalau Jiwi ingin mengetahui lebih baik siapa kami, kami mengundang Jiwi untuk menghadiri pesta pertemuan antara pejuang yang kami adakan sore nanti. Kami akan menjemput Jiwi dengan kereta. Kami bukan golongan jahat, melainkan pejuang-pejuang. Keselamatan Jiwi kami jamin.”

Pimpinan Hek I Lama

“Hemm, jangan pedulikan surat dari mereka, Sumoi. Jelas bahwa mereka itu orang-orang jahat dan berbahaya. Kita pun baru saja kemarin lolos dari tawanan mereka dan hari ini mereka mengundang kita sebagai tamu? Hemm, ini pasti jebakan belaka. Lebih baik kita berangkat pergi saja meninggalkan tempat ini, Sumoi.”

“Suheng, lupakah Suheng akan nasihat dan pesan guru-guru kita? Kita memang harus berhati-hati dan waspada, akan tetapi yang terlebih penting adalah bahwa kita tidak boleh bersikap penakut! Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa besar pun bahayanya, bukan saja menghadapi, akan tetapi juga menanggulangi dan mengatasi. Mereka mengirim surat undangan resmi, tidak mungkin merupakan jebakan. Mereka adalah perkumpulan yang besar, kiranya tidak akan meng-gunakan cara serendah itu. Kita memang tidak perlu bersekutu dengan mereka, akan tetapi juga tidak perlu mencampuri urusan mereka dan memusuhi, kecuali kalau mereka mengganggu kita.”

“Jadi bagaimana sikapmu menghadapi undangan ini?”

“Aku akan menerimanya dan menghadiri undangan itu.”

“Sumoi! Ingat, hal itu berbahaya sekali. Engkau seperti mengundang datangnya bahaya!”

“Aku tidak takut, Suheng. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sebagai datuk ilmu silat yang lihai, sudah pasti para pimpinan Hek I Lama tidak akan begitu merendahkan diri dan mence-markan nama besar sendiri dengan perbuatan yang hina seperti menjebak orang-orang muda seperti kita. Pula, bukankah kita ini pergi meninggalkan rumah untuk meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan? Juga, kini kita mendapat kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang Hek I Lama, kesempatan yang baik sekali karena kita diundang sebagai tamu! Kalau engkau merasa jerih, biarlah aku sendiri saja yang datang ke sana, Suheng.”

Sian Li tidak mau mengeluarkan isi hati yang paling dalam, yaitu bahwa kalau terjadi apa-apa dengan dirinya di tempat Hek I Lama, ia mengharapkan munculnya lagi Sin-ciang Tai-hiap untuk menolongnya. Ia harus bertemu lagi dengan pendekar itu, harus membuka rahasianya yang aneh, harus mengenal wajahnya dan namanya. Kalau tidak, selama hidupnya ia akan tenggelam dalam penasaran. Wajah Sian Lun menjadi merah ketika sumoinya mengatakan dia jerih.

“Sumoi, aku tidak mengkhawatir-kan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri. Kalau engkau berkeras hendak pergi, tentu saja aku akan menemanimu.”

Sian Li tersenyum menatap wajah suhengnya.

“Terima kasih, Suheng. Dan maafkanlah, bukan maksudku mengatakan engkau takut. Akan tetapi aku ingin sekali menghadiri undangan itu dan melihat siapa saja sebetulnya orang-orang itu dan apa maksud undangan mereka kepada kita.”

Demikianlah, akhirnya Sian Lun terpaksa harus memenuhi kehendak Sian Li dan mereka menanti datangnya kereta yang akan menjemput mereka dengan hati berdebar penuh ketegangan.

Sian Li memang berjiwa petualang dan suasana yang mendebarkan hatinya itu melupakan suatu kenikmatan tertentu bagi seorang petualang. Apalagi kalau ia membayangkan kemunginan munculnya Sin-ciang Tai-hiap! Bahkan diam-diam ia mengharapkan terjadi sesuatu dengan dirinya agar pendekar aneh itu akan muncul kembali! Di luar dugaan mereka, kereta itu muncul setelah lewat tengah hari, belum sore. Sebagai seorang wanita, tentu saja Sian Li tidak mau pergi dalam keadaan belum mandi dan pakaian belum diganti, maka ia minta kepada kusir kereta yang datang menjemput agar menanti sebentar karena ia ingin mandi dan berganti pakaian lebih dahulu. Sebaliknya, Sian Lun yang merasa tegang dan selalu diliputi kegelisahan, tidak sempat bertukar pakaian dan mandi. Orang pergi menentang bahaya, untuk apa harus mandi dan berganti pakaian segala, pikirnya.

Dia malah menanti sumoinya di dekat kereta dan mencoba untuk memancing keterangan kepada kusir kereta. Akan tetapi, kusir itu hanya menjawab “tidak tahu”

Atas segala pertanyaannya, dan hanya mengatakan bahwa dia bertugas menjemput mereka. Akan tetapi, dari gerak gerik dan sinar matanya yang tajam membayang-kan kecerdikan. Sian Lun dapat menduga bahwa kusir ini hanya berpura-pura tolol dan lemah saja. Tentu dia seorang anggauta yang sudah dipercaya, dan yang memiliki ilmu kepandaian tangguh. Akhirnya muncullah Sian Li dengan wajah dan tubuh segar, dengan pakaian bersih dan rambutnya ter-sanggul rapi. Ia nampak segar dan cantik sekali, membuat hati Sian Lun menjadi semakin gelisah. Kenapa sumoinya demikian mempercantik diri? Mereka akan menjadi tamu orang-orang jahat!

Baru Cu Ki Bok, murid Lulung Ma itu saja jelas amat lihai dan pemuda itu mempunyai niat tidak senonoh terhadap diri Sian Li. Juga dari percakapan yang didengarnya ketika mereka ditawan, dia mendengar betapa Sian Li akan dihadiahkan kepada orang yang disebut sebagai Pangeran Gulam Sing! Dengan kecantikan seperti itu, sumoinya akan membuat orang-orang jahat itu menjadi semakin hijau! Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa dan mereka pun naik ke dalam kereta yang segera dijalankan oleh kusirnya dengan cepat meninggalkan kota itu. Kereta itu meluncur keluar kota melalui pintu gerbang sebelah timur, kemudian mendaki sebuah bukit. Berkali-kali Sian Lun bertanya kepada kusirnya, ke mana mereka akan dibawa pergi. Akan tetapi kusir itu tidak pernah mau menjawab! Ketika kereta memasuki sebuah hutan di lereng bukit itu, Sian Lun kehabisan sabarnya.

“Kusir keparat! Kalau tidak kau jawab, aku akan menghajarmu! Hayo katakan ke mana engkau akan membawa kami!”

Bentaknya dan dia sudah bergerak untuk menyerang kusir yang duduk di depan. Akan tetapi lengannya ditangkap Sian Li.

“Suheng, kenapa tidak sabar?”

Katanya sambil mengerutkan alisnya.

“Dia hanya petugas yang melaksanakan perintah. Tentu saja dia membawa kita kepada yang mengutusnya, yaitu Hek I Lama yang mengundang kita.”

“Nona berkata benar dan kita sudah hampir tiba di tempat yang dituju,”

Kata kusir itu dan Sian Lun terpaksa menelan kemarahannya. Dia merasa terlalu tegang sehingga mudah tersinggung dan marah. Ternyata di tengah rimba itu terdapat tempat terbuka di mana berdiri sebuah rumah besar. Dan suasananya di sana memang dalam keedaan pesta.

Banyak orang sedang membereskan ruangan depan rumah itu yang disambung dengan panggung di depan rumah, merupakan ruangan yang luas dan setengah terbuka. Kursi-kursi yang diatur di situ rapi dan semua menghadap ke dalam, ke arah rumah di mana terdapat meja besar dan kursi-kursi yang mudah diduga menjadi tempat tuan rumah. Dan pada saat itu, telah banyak orang berkumpul, bahkan di pihak tuan rumah telah duduk banyak pendeta yang berjubah hitam dan berkepala gundul. Anak buah dari perkumpulan yang dipimpln para pendeta Lama berjubah hitam ini kesemuanya juga berpakaian serba hitam, dengan kain kepala warna hitam pula sehingga mereka nampak menyeramkan. Sian Li dan Sian Lun menduga bahwa mereka yang hadir di sana dan tidak berpakaian hitam tentulah tamu-tamu seperti juga mereka.

Mereka melihat pula banyak orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan menutup kepala dengan sorban putih atau kuning. Mereka melihat pula banyak orang mengenakan pakaian Han seperti mereka. Ada pula yang memakai pakaian suku Miao, Hui, Kasak, dan Mongol. Ketika kakak beradik seperguruan itu tiba di situ, mereka disambut dengan hormat dan hal ini dapat diketahui karena yang menyambut mereka adalah Lulung Lama sendiri bersama muridnya, Cu Ki Bok! Dan setelah mereka dipersilakan duduk di rombongan orang-orang Han yang kemudian ternyata adalah orang-orang yang dianggap sebagai tokoh kang-ouw dan para pendekar, barulah Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa Lulung Ma bukanlah pemimpin nomor satu dari perkumpulan Lama Jubah Hitam!

Selain dia, masih ada pula seorang suhengnya yang duduk di kursi terbesar. Pendeta Lama ini juga berpakaian serba hitam dan dia sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh lima tahun usianya dan kelihatan seperti seorang pemalas, hanya duduk saja bersandar dikursinya. Agaknya yang aktip dalam pertemuan itu adalah Lulung Lama dan muridnya, yaitu Cu Ki Bok, peranakan Han Tibet itu. Biarpun hatinya merasa panas dan marah melihat Cu Ki Bok yang menyambutnya bersama Lulung Lama, namun Sian Lun mena-han diri dan tidak memperlihatkan kemarahannya. Adapun Sian Li bersikap tenang bahkan tersenyum-senyum sehingga diam-diam Cu Ki Bok merasa kagum bukan main. Gadis itu selain cantik dan lincah, ternyata memiliki ketabahan yang mengagumkan hatinya.

Sian Li merasa semakin yakin bahwa pihak tuan rumah tidak akan mungkin berani melakukan kekerasan terhadap ia dan suhengnya, melihat bahwa pertemuan itu dihadiri demikian banyaknya orang dari berbagai golongan. Tentu orang macam Lulung Lama tidak akan merendahkan diri yang hanya akan mencemarkan nama besarnya sendiri selagi di situ berkumpul banyak orang, dengan perbuatan yang curang dan pengecut. Hal ini terbukti pula dengan sikap Cu Ki Bok yang sopan dan hormat, padahal baru kemarin pemuda murid tokoh Hek I Lama itu bersikap kasar dan tidak sopan. Akan tetapi, Sian Li dan Sian Lun menjadi pusat perhatian para tamu ketika Lulung Ma dengan suara lantang memperkenalkan tamu baru ini kepada semua orang sebagai dua orang pendekar dari timur yang masih mempunyai hubungan erat dengan Puteri Gangga Dewi dari Kerajaan Bhutan.

Agaknya kini semua tamu sudah berkumpul dan senja mulai datang, lampu-lampu penerangan dinyalakan dan pesta pun dimulai. Setelah Lulung Lama sebagai wakil pimpinan Hek I Lama menyuguhkan anggur sampai tiga keliling kepada para tamu dan mempersilakan para tamu makan kueh manis yang dihidangkan sebagai pembuka pesta. Lulung Lama lalu bangkit berdiri dan dengan kedua tangan diangkat dia minta agar para tamu tidak berisik dan memberi perhatian kepadanya. Agaknya bicaranya memang ditujukan kepada orang-orang Han yang menjadi tamu di situ, maka dia mempergunakan bahasa Han. Para kelompok suku bangsa lain yang tidak paham bahasa Han, mendengarkan terjemahannya dari kawan-kawan mereka yang paham.

“Saudara sekalian, Cuwi (Anda Sekalian) yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw di timur, kami dari Hek I Lama mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cuwi yang memenuhi undangan kami. Seperti Cuwi dapat melihatnya, di sini kami berkumpul, dihadiri pula oleh para sahabat dari Nepal terutama sebagai kawan seperjuangan kami, dan para sahabat dari suku Miao, Hui, Kasak dan Mongol yang tidak sudi melihat orang-orang Mancu merajalela dan hendak menguasai seluruh daratan. Cuwi kami undang mengadakan perundingan dan kami ajak untuk bekerja sama menentang pemerintah Kerajaan Ceng dari bangsa Mancu. Kalau kita semua bersatu, tentu bangsa Mancu akan depat kita kalahkan dan kita usir kembali ke asal mereka. Kami mengharapkan sambutan dari Cuwi yang kami hormati sebagai orang-orang gagah di dunia kang-ouw.”

Lulung Ma memberi hormat lalu duduk kembali. Sebelum dari golongan orang Han ada yang menjawab, Pangeran Gulam Sing sudah bangkit dari tempat duduknya di jajaran tuan rumah, di samping Lulung Lama dan dia pun bicara dengan suaranya yang lantang, dalam bahasa Nepal yang langsung diterjemahkan kalimat demi kalimat oleh seorang Han yang duduk di belakangnya.

“Saudara sekalian, kita ini terdiri dari berbagai suku dan bangsa, akan tetapi saat ini kita berkumpul sebagai saudara-saudara senasib sependeritaan dan seperjuangan! Kita sama-sama sengsara oleh kelaliman bangsa Mancu! Bangsa Mancu tidak saja menjajah seluruh daratan Cina, akan tetapi juga menindas daerah barat, menjajah Tibet, bahkan merupakan ancaman bagi negara tetangga di barat. Kami, Pangeran Gulam Sing, memimpin orang-orang gagah dari Nepal, siap untuk berjuang bersama dengan saudara sekalian untuk menentang pemerintah Mancu!”

Setelah berkata demikian, dibawah sambutan tepuk tangan, pangeran Nepal ini duduk kembali. Dia seorang pangeran Nepal yang berkulit coklat kehitaman,

Bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan tampan gagah jantan, matanya lebar dan sinarnya tajam, mulutnya selalu dibayangi senyum memikat. Pangeran berusia kurang lebih empat puluh tahun ini memang seorang pria yang jantan dan ganteng sekali. Di deretan depan dari para tamu golongan Han, nampak seorang wanita bangkit berdiri. Sian Li dan Sian Lun sejak tadi sudah melihat bahwa di antara para tokoh kang-ouw terdapat beberapa orang wanita, dan yang menarik perhatian adalah adanya tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, ketiganya cantik menarik, berpakaian serba mencolok berwarna warni akan tetapi selalu dihias kembang teratai putih. Kini, seorang di antara tiga wanita itu, yang tertua, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit dan tentu saja ia menjadi pusat perhatian ketika ia bicara.

“Para pimpinan Hek I Lama, apakah aku boleh bicara sekarang?”

Tanyanya suaranya lantang akan tetapi merdu dan gayanya memikat, matanya bersinar-sinar tajam genit dan mulutnya tersenyum-senyum, pandang matanya menyambar-nyambar ke arah Pangeran Gulam Sing. Lulung Lama segera bangkit dan memberi hormat.