Pendekar Kelana: 11-15


JILID 11

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hui Lan sudah membayar sewa kamar lalu meninggalkan rumah penginapan itu. Ia hendak berangkat pagi-pagi menuju kota Pao-ting di mana pamannya Cia Kui Bu, tinggal. Pamannya itu masih muda, berusia kurang lebih tiga puluh dua tahun. Sebetulnya dia adalah paman tirinya, karena pamannya ituadik tiri ibunya.

   Akan tetapi paman tirinya itu telah dianggap sebagai putera sendiri oleh neneknya, maka hubungan mereka akrab sekali. Bahkan pamannya juga menerima pelajaran silat dari neneknya sehingga dia menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Cia Kui Bu tinggal di Pao-ting dan membuka sebuah perusahaan pengantar dan pengawal barang-barang kiriman yang berharga. Akan tetapi sampai berusia tiga puluh dua tahun, Cia Kui Bu belum juga menikah. Padahal perusahaannya maju pesat. Barang berharga yang di kawal perusahaannya semakin banyak saja. Para pedagang amat mempercayainya karena selama bertahun-tahun membuka piauw-kiok (perusahaan pengawal) belum ada barang yang di ganggu penjahat. Gangguan mula-mula memang ada. Ada perampok-perampok yang berusaha mengganggu dan merampas barang kiriman itu.

   Akan tetapi selalu para perampok itu dapat di pukul mundur oleh Cia Kui Bu sehingga nama piauw-kiok itu terkenal dan di takuti penjahat. Setiap orang penjahat yang melihat bendera dengan gambar naga hijau di atas kereta bermuatkan barang-barang berharga, semua tidak berani mengusiknya.. perusahaan itu memakai nama Ceng-liong Pauw-kiok (Perusahaan pengawal naga Hijau), bahkan Cia Kui Bu yang suka memakai pakaian serba hijau itu di juluki Ceng-liong (Naga Hijau) oleh para perampok. Untuk mempercepat perjalanannya ke pao-ting, Hui Lan membeli seekor kuda dan melanjutakan perjalanannya dengan menunggang kuda. Sejak kecil ia sudah belajar menunggang kuda sehingga perjalanan itu dapat di lakukan dengan cepat. Beberapa hari kemudian ia memasuki kota pau-ting. Kota ini cukup besar dan ramai karena letaknya tidak jauh dari kota raja, di sebelah selatan kota raja.

   Dan mudah sekali baginya untuk mencari Ceng-liong Piauw-kiok. Semua orang di Pao-ting mengetahui di mana adanya piauwkiok itu. Hui Lan belum pernah datang kekota ini. Biasanya Cia kui Bu yang datang berkunjung ke Cin-ling-san. Melihat rumah besar yang menjadi pusat perusahaan pamannya itu, Hui Lan menjadi kagum sekali. Agaknya perusahaan pamannya itu telah maju dengan pesatnya. Di depan pintu gerbang terdapat gambar naga hijau yang besar dan tulisan huruf-huruf besar berbunyi “Ceng Liong Piauwkiok”

   Dan di pintu gerbang duduk beberapa orang laki-laki yang bertubuh kekar dan gagah. Hui Lan melompat turun dari kudanya, menuntun kuda itu menghampiri pintu gerbang. Melihat seorang gadis cantik yang membawa pedang di punggung menghampiri pintu gerbang, lima orang piauwsu (pengawal barang) itu bangkit berdiri dan menghadang di depan pintu.

   “Nona siapakah dan ada keperluan apakah datang ke piauwkiok kami? Apakah nona hendak mengirim barang?”

   Tanya seorang diantara mereka.

   “Aku datang untuk bertemu dengan paman Cia Kui Bu. Dia adalah pamanku.”

   Jawab Hui Lan singkat. Akan tetapi kelima orang itu mengerutkan alisnya dan kelihatan tidak percaya. Hal ini tidak aneh. Mereka belum pernah bertemu dengan Hui Lan. Tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang mengaku keponakan majikan mereka, tentu saja mereka menjadi curiga.

   “Nona, majikan kami sedang berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan dia menemui nona. Maka, katakan siapa nona dan ada keperluan apa. Kami adalah pembantunya dan kami dapat mewakili majikan kami untuk mewakili keperluan nona.”

   Hui Lan mengerutkan alisnya.

   “Sudah ku katakan bahwa dia adalah pamanku, adik ibuku, dan kalian masih belum percaya. Panggil paman Cia Kui Bu keluar agar bertemu dengan aku!”

   “Maaf, nona. Kami belum pernah melihat nona dan kami tidak pernah mendengar bahwa majikan kami mempunyai seorang keponakan seperti nona. Karena itu, beritahukan nama nona dan kami akan melaporkan kedalam.”

   “Tidak, panggil saja dia keluar!”

   “Kami tidak dapat memenuhi permintaan nona.”

   “Kalau begitu baiklah, aku yang akan masuk ke dalam dan mencarinya sendiri!”

   Hui Lan lalu menambatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di situ, lalu melangkah lebar hendak memasuki pintu gerbang itu. Akan tetapi lima orang penjaga itu menghadang di pintu gerbang bahkan seorang diantara mereka melintang tombaknya.

   “Minggir, atau terpaksa aku akan menghajar kalian!”

   Bentak Hui Lan. Ketika penjaga yang memegang tomabak itu menghalanginya dengan tombak, Hui Lan dengan gerakan yang cepat merampas tombak itu dan sekali menggerakkan tangan, tombak itu meluncur dan menancap di batang pohon, diatas kudanya. Tombak itu menancap sampai hampir tembus! Lima orang itu terbelalak, akan tetapi mereka tidak menjadi gentar karena mereka mengira bahwa gadis ini sengaja datang untuk membikin kacau. Mereka menyambar golok dan pedang lalu mengepung Hui Lan.

   “Nona tidak boleh melakukan kekerasan di sini!”

   Bentak pemimpin mereka.

   “Begitukah? Kalau kalian ingin kuhajar, majulah!”

Tantang Hui Lan. Lima orang itu lalu maju menyerang, akan tetapi tiba-tiba gadis itu hilang dari kepungan mereka dan tahu-tahu ada dua orang diantara mereka yang roboh tertotok dan tidak mampu bergerak kembali. Tiga orang lainnya menjadi terkejut dan cepat menyerang, akan tetapi kembali mereka kehilangan gadis yang tadi berada di depan mereka, dan tahu-tahu mereka bertiga juga terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak kembali!

   “Hemm, hendak kulihat apa yang akan di lakukan paman Cia Kui Bu kepada kalian yang berani main kasar terhadap diriku!”

   Setelah berkata demikian, Hui Lan meloncat memasuki rumah gedung itu sambil berteriak.

   “Paman Kui Bu, ini aku Hui Lan yang datang!”

   Seorang pelayan wanita menyambutnya dan mata pelayan itu terbelalak heran.

   “Bibi, aku adalah keponakan paman Cia Ku Bu. Cepat bawa aku kepadanya!”

   “Tapi… tapi… kongcu sedang sakit, nona.”

   “Sakit…? Sakit apa? Cepat antarkan aku kepadanya, bibi!”

   Pelayan itu tidak berani membantah dan ia mendahului masuk ke dalam, diikuti oleh Hui Lan. Pelayan itu membuka pintu sebuah kamar yang luas dan di tengah kamar itu Hui Lan melihat Cia Kui Bu sedang rebah telentang dengan muka pucat.

   “Paman Kui Bu…!”

   Aku Hui Lan berteriak dan ia lari menghampiri, dan duduk di tepi pembaringan itu. Cia Kui Bu menggerakkan kepalanya menoleh dan begitu melihat Hui Lan dia menghela napas panjang.

   “Hui Lan, aku… aku sedang menderita luka berat…”

   “Kenapa, paman? Coba kuperiksa!”

   Kui Bu membuka kancing bajunya dan nampaklah oleh Hui Lan betapa di dada pamannya itu ada tapak lima buah jari yang agak menghitam. Pukulan beracun! Untung bahwa pamannya sudah memiliki sinkang yang cukup kuat sehingga pukulan itu tidak menewaskannya, hanya melukainya saja. Akan tetapi kalau di biarkan, luka itu dapat merenggut nyawanya.

   “Engkau terkena pukulan beracun, paman harus cepat di obati! Tenanglah, paman aku akan mengobati paman!”

   Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada pelayan wanita tadi.

   “Bibi, cepat ambilkan semangkok air yang telah masak, akan tetapi yang telah panas dan mendidih!”

   Pelayan itu segera pergi untuk memenuhi perintah gadis itu.

   “Mulanya begini, Hui Lan””

   “Nanti saja, paman. Sekarang sebaiknya paman yang santai saja, mengatur pernapasan untuk memasukkan hawa murni, jangan keluarkan tenaga. Batu giok mustika obat ini dapat menghisap semua hawa beracun.”

   “Hemm, milik Ayahmu?”

   “Benar, untung bahwa Ayah memberikan ini kepadaku ketika aku hendak berangkat.”

   Hui Lan mengeluarkan batu giok mestika itu dan menggosok-gosokannya keatas dada yang kehitaman sambilk mengerahkan tenaga sinkangnya untuk menyedot. Tak lama kemudian pelayan datang membawa sepanci air mendidih dan sebuah mangkok. Hui Lan minta pelayan itu menuangkan air mendidih semangkok.

   Kemudian, setelah menggosok-gosok beberapa lamanya, warna kehitaman di dada makin menipis dan ia mencelupkan batu giok mestika ke dalam sisa air di panci. Air itu seketika berubah warna menjadi kehitaman dan batu giok mestika itu menjadi bersih kembali. Ternyata hawa beracun yang di hisap batu mestika itu larut ke dalam air panas. Hui Lan mengulangi kembali usapan batu mestika itu sampai warna hitam menjadi bersih kembali. Setelah membersihkan batu kemala mestika, Hui Lan lalu memasukkan batu itu kedalam air semangkok dan membiarkan air itu menjadi dingin. Setelah airnya dingin, ia membantu pamannya untuk minum air rendaman batu kemala mestika itu. Begitu habis di minum Kui Bu menjadi sehat kembali. Dia mencoba mengerahkan sinkangnya dan dia tidak merasakan sakit lagi!

   “Ah, terima kasih, Hui Lan. Engkau telah menyelamatkan aku!”

   “Kita harus bersyukur bahwa kita tidak terlambat, paman. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi.”

   Sebelum Kui Bu bercerita, dari luar berlari lima orang anak buahnya yang tadi roboh tertotok oleh Hui Lan. Agaknya totokan mereka telah pudar kembali dan mereka kini memburu kedalam karena mengkhawatirkan majikan mereka kalau-kalau di ganggu gadis yang lihai itu.

   “Kalian mau apa?”

   Bentak Kui Bu. Lima orang itu terheran dan juga terkejut bukan main melihat gadis itu duduk dekat majikan mereka yang kini telah sehat kembali. Mereka lalu menjatuhkan diri mereka berlutut.

   “Maafkan kami, kongcu… kami… kami kira nona itu… akan mengganggu kongcu””

   “Hemm, keponakanku ini mengganggu? Malah ia yang menyembuhkan aku”

   Bukan main kagetnya lima orang penjaga itu. Mereka berlutut sambil berulang-ulang memberi hormat kepada Hui Lan dan pemimpin mereka berkata,

   “Mohon pengampunan dari Lihiap, karena kami tidak mengenal maka kami bersikap kurang hormat””

   “Apa? Kalian berani kurang ajar kepada keponakanku?”

   “Ampun, kongcu. Sungguh mati karena tidak tahu, tadi kami hendak melarang Lihiap ini masuk, akan tetapi kami semua ia robohkan…”

   Kui Bu tertawa.

   “Ha-ha-ha, biar kalian di tambah puluhan orang lagi, jangan harap dapat mencegah Hui lan masuk untuk menemuiku!”

   Setelah tertawa lagi Kui Bu lalu mengusir anak buahnya keluar dari situ.

   “Maafkan mereka, Hui Lan. Mereka tidak pernah mengenalmu, maka berani melarangmu.”

   “Tidak mengapa, paman. Mereka tidak kurang ajar, hanya hendak melarang aku masuk karena mereka curiga dan khawatir kalau-kalau aku ini datang sebagai musuhmu. Sekarang ceritakanlah, apa yang telah terjadi, paman?”

   Cia Kui Bu lalu menceritakan pengalamannya. Seminggu lalu seorang wanita cantik datang berkunjung. Wanita itu mengatakan bahwa ia memiliki sepeti emas yang amat berharga dan hendak di kirimnya ke kota raja.

   Ia menghargai isi peti itu seribu tail emas! Tentu saja Kui Bu terkejut sekali. Belum pernah ia menerima kiriman barang sebesar itu harganya. Akan tetapi wanita itu mendesaknya, dan sangup membayar biaya pengiriman berapa saja di minta. Karena wanita itu berani membayar biaya pengiriman yang besar jumlahnya, yang besarnya belum tentu bisa di peroleh Ceng-liong piauw-kiok selama sebulan, Kui Bu menerima tugas itu dan dia sendiri yang mengawal peti berisi emas itu. Dia di bantu oleh lima orang piauw su (pengawal) yang tangguh dan cukup lumayan ilmu silatnya. Peti itu di muat dalam sebuah kereta yang di tarik dua ekor kuda. Kusir yang mengendalikan dua ekor kuda itupun seorang piauwsu yang sudah berpengalaman. Diatas kereta itu berkibar bendera tanda Ceng-liong piauw kiok, yaitu gambar seekor naga hijau.

   Cia Kui Bu juga mengenakan pakaian piauwsu yang serba hijau dan nampak gagah sekali. Perjalanan dari Pao-ting ke kota raja merupakan jarak yang biarpun agak jauh, akan tetapi termasuk dekat bagi para piauwsu yang biasa mengawal barang kiriman sampai lebih jauh lagi. Dan selama ini perjalanan dari Pao-ting ke kota raja aman saja, belum pernah ada yang berani mengganggu. Setelah melakukan perjalanan sehari lamanya tanpa ada gangguan mereka melewatkan malam di dekat bangunan terusan (kanal) yang terkenal itu, di sebuah kuil tua yang sudah tidak di pergunakan lagi. Memang biasanya rombongan Ceng-liong piauwkiok mempergunakan tempat ini untuk bermalam dalam perjalanan mereka dari Pao-ting ke kota raja. Kuil itu berada di dalam sebuah hutan yang tidak terlalu luas, namun menyimpang dari jalan besar.

   “Malam itu terjadinya,”

   Kata Kui Bu melanjutkan ceritanya yang di dengarkan dengan penuh perhatian oleh keponakannya.

   “Seperti biasa kami membuat api unggun dan tidur secara bergiliran. Kami membuat api ungun dekat kereta dan aku lebih dulu tidur melepaskan lelah. Menjelang tengah malam, ketika udara amat dinginnya dan suasana amat sepinya, tiba-tiba terdengar teriakan kusir yang tidur di dalam kereta yang memuat peti emas itu. Kami semua terkejut, akupun bangun dan meloncat untuk melihat apa yang terjadi. Kusir kami telah terlempar keluar kereta dan kereta itu sendiri di seret beberapa orang pergi dari tempat itu!”

   “Hemm, mereka tentu perampok!”

   Kata Hui Lan.

   “Memang benar, akan tetapi sudah bertahun-tahun kami sering lewat di situ, bahkan tanpa aku, tidak pernah ada yang berani mengganggu. Aku lalu melompat dan menghalangi mereka yang menarik kereta, akan tetapi tiba-tiba di depanku berdiri seorang kakek berusia enam puluhan lebih, memegang sebatang tongkat berujung kepala naga dan dia menyerangku dengan ganas. Kakek itu lihai sekali dan terpaksa aku memainkan Siang-bhok-kiamsut (Ilmu pedang kayu harum). Kami berkelahi sampai puluhan jurus dengan keadaan seimbang. Lima orang pembantuku sudah roboh oleh anak buah kakek itu. Akhirnya kakek itu mengeluarkan ilmu pukulan dengan tangan kirinya, cepat tidak terduga-duga datangnya dan mengenai dadaku. Aku roboh dan terluka dalam. Para pembantuku tidak ada yang tewas, hanya luka-luka ringan dan mereka menggotong aku pulang kesini.”

   “Apakah kakek itu tidak meninggalkkan nama, paman?”

   “Tidak, setelah aku dan para pembantuku roboh, dia segera melarikan diri. kereta dan peti emas itu telah lenyap di bawa mereka.”

   Hui Lan mengerutka alisnya. Ia melihat betapa pamannya kelihatan berduka sekali.

   “Apakah paman tidak dapat menduga siapa adanya kakek bertongkat kepala naga itu, paman?”

   “Aku pernah mendengar bahwa di pantai timur terdapat seorang datuk yang lihai, bersenjata tongkat kepala naga dan juga memiliki Tok-ciang ( tangan beracun). Entah dia atau bukan orang itu. Akan tetapi yang menggelisahkan hatiku adalah wanita cantik itu. Tiga hari yang lalu ia datang dan setelah mendengar bahwa emasnya di rampok penjahat, lalu menuntut agar aku membayar kerugiannya sebanyak seribu tail emas! Dari mana aku dapat memperoleh uang sebanyak itu? Biar kujual habis semua perusahaanku berikut rumah-rumahnya, masih juga belum cukup untuk membayar emas sebanyak itu. Dan besok pagi adalah hari terakhir penentuan pembayaran. Aku khawatir sekali, Hui Lan.”

   Hui Lan mengerutkan alisnya, berpikir. Gadis ini selain keras hati dan lincah, juga amat cerdik.

   “Paman Kui Bu, ketika wanita itu mengirim peti berisi emas, apakah paman membuka peti itu dan melihat isinya?”

   “Hemm, tidak. Untuk apa? Wanita itu juga melarang merusak peti itu. Ia sanggup membayar biaya pengiriman yang banyak sekali, dan kami percaya kepadanya. Andaikata peti itu bukan berisi emas, lalu untuk apa ia mengirimnya dengan biaya semahal itu?”

   “Memang nampaknya tidak mungkin akan tetapi ada suatu kemungkinan besar sekali, paman. Ia mengirim peti berisi barang tidak berharga, lalu terjadi perampokan dan ia minta ganti seribu tail emas! Hemm, aku terus terang saja menjadi curiga kepada pengirim barang itu, paman. Mungkin saja ia ia bersekutu dengan perampok dan mereka mengharapkan hasilnya, yaitu penggantian seribu tail emas itu!”

   “Ahhh”!”

   Cia Kui Bu menepuk dahinya dan memandang kepada keponakannya penuh rasa kagum.

   “Tentu saja ada kemungkinan itu! Kenapa aku tidak pernah memikirkan sampai ke sana? Akan tetapi karena aku tidak memeriksa isinya, tidak ada bukti bahwa peti itu bukan berisi emas.”

   “Inilah kelicikan mereka. Kalau mereka merampas emas, tentu akan terus di cari sebagai penjahat perampok. Akan tetapi kalau menerima uang pengganti kerugian, pendapatan mereka itu sah dan tidak melanggar hukum.”

   “Hemm, aku akan mencari kakek itu kepulau tembaga di lautan timur. Kalau memang benar kakek itu datuk di timur yang berjuluk Tung-hai Liong-ong, aku akan merampasnya kembali!”

   Kata Cia Kui Bu sambil mengepal tinju.

   “Nanti dulu, paman. Kita harus menghadapi mereka satu demi satu. Kita hadapi wanita itu dulu, yang besok pagi akan datang menuntut kerugian. Seperti apakah wanita itu? Apa ciri-cirinya?”

   “Ia seorang wanita cantik yang kelihatan masih muda, akan tetapi kurasa ia sudah berusia hampir empat puluh tahun. Ia pesolek, berpakaian mewah dan memegang sebuah kebutan. Dipunggungnya tergantung sebuah pedang.”

   “Pakaiannya?”

   “Pakaiannya mewah dan serba mewah.”

   “Hemm, lupakah paman akan seorang tokoh sesat yang berjuluk Ang-bi Mo-li( Iblis Betina Merah Cantik )? Agaknya tokoh itulah pengirim peti emas itu.”

   Cia Kui Bu mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk.

   “Akupun pernah mendengar tentang betina itu, akan tetapi ketika ia datang mengirim barang, sikapnya demikian halus dan sopan sehingga aku tidak menyangka buruk kepadanya.”

   “Aku sendiripun belum pernah bertemu dengan Ang-bi Mo-li, maka kita tunggu saja kedatangannya besok. Biar aku yang berhadapan dengan dia paman harap diam saja dan melihat gerak-geriknya. Aku akan memancing agar ia mengakui siapa dirinya.”

   Setelah di obati Hui Lan dan mendengar pendapat gadis itu, kesehatan Cia Kui Bu pulih kembali. Dia menjadi bersemangat karena mendapat bantuan Hui Lan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Dia pernah mendengar dari encinya, Cia Kui Hong, bahwa Hui Lan memiliki bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mewarisi ilmu-ilmu andalan dari Ayah ibunya. Bahkan menurut keterangan encinya, gadis ini telah mempelajari ilmu sihir pula dari Ayahnya! malam itu Cia Kui Bu sudah sembuh betul dan dia pun dapat makan minum dengan lahapnya. Dia makan sambil bercakap-cakap dengan Hui Lan, menanyakan kabar keselamatan enci dan ci-hunya (kakak iparnya). Setelah selesai makan dia mengajak Hui Lan duduk di serambi depan sambil mengobrol.

   “Aku merasa heran sekali melihat paman masih juga hidup menyendiri. Kenapa paman tidak menikah dan membentuk sebuah keluarga? Dengan demikian kehidupan paman akan menjadi tenang.”

   Cia Kui Bu tersenyum.

   “Banyak orang mengatakan demikian, Hui Lan. Akan tetapi kalau aku belum bertemu dengan calon jodohku yang cocok, bagaimana? Pula, seandainya saat ini aku sudah mempunyai isteri, bukankah aku akan menjadi lebih gelisah lagi memikirkan keselamatan mereka?”

   “Setidaknya ada orang-orang yang membantu paman memecahkan setiap persoalan yang paman hadapi.

   “kata gadis itu.

   “Engkau benar juga, Hui Lan. Akan kupikirkan hal itu dan akan kucari cara jodohku yang cocok denganku.”

   Setelah malam makin larut, Hui Lan berpamit kepada pamannya untuk mengaso dalam kamarnya. Ia tidur malam itu, akan tetapi setiap saat ia siap dan waspada, kalau-kalau malam itu ada orang yang akan mengganggu pamannya.

   Ia tahu bahwa pamannya cukup lihai, akan tetapi orang yang mengganggunya lebih lihai lagi. Pagi itu suasana di Ceng-liong piauw-kiok terasa sunyi penuh ketegangan. Semua piauwsu berkumpul di serambi depan rumah besar itu. Jumlah mereka ada enam belas orang. Mereka semua memakai pakaian seragam piauwsu yang ringkas membawa senjata tajam golok atau pedang yang tergantung di pinggang, dan nampaknya seperti pasukan yang siap untuk berperang! Ada yang berdiri dan termenung memandang keluar halaman, ada yang duduk bergerombol sambil bicara berbisik-bisik. Cia Kui Bu sendiri pagi-pagi telah mandi dan mengenakan pakaiannya yang serba hijau sehingga nampak gagah sekali. Tubuhnya telah sehat kembali dan dia merasa tubuhnya segar dan kuat. Hanya Hui Lan seorang yang tenang-tenang saja.

   Pagi-pagi gadis ini mandi, bertukar pakaian, lalu sarapan pagi bersama pamannya dan ia duduk di ruangan dalam, tidak senang berada di luar karena tentu ia akan menjadi sasaran pandang mata para piauwsu. Pukul delapan pagi. Para piauwsu yang berkumpul di serambi depan tiba-tiba terbelalak dan mereka semua berdiri memandang wanita yang tahu-tahu di halaman rumah itu. Seperti hantu saja datangnya wanita itu karena tidak ketahuan. Akan tetapi kalaupun ia hantu, maka hantu yang cantik sekali. Wajahnya di bedaki tipis dan terhias gincu pada bibir dan pipinya. Rambutnya yang hitam panjang di gelung ke atas dan di hias dengan burung emas permata indah. Pakaiannya dari sutera beraneka warna, mewah akan tetapi ringkas dan warna merah yang paling menyolok di antara banyak warna itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan tangan kirinya memegang sebatang kebutan.

   “Cia-piauwsu, keluarlah! Keluarlah untuk mempertanggung-jawabkan tanggunganmu!”

   Terdengar wanita berseru dengan suaranya yang lantang. Para piauwsu yang berada di serambi depan rumah sudah siap untuk berkelahi kalau di suruh majikan mereka. Akan tetapi, Cia Kui Bu tidak keluar, dan yang keluar bahkan gadis cantik yang kemarin datang menjadi tamu majikan mereka, yaitu keponakan Cia Piauwsu. Hui Lan melangkah keluar dengan sikap tenang akan tetapi waspada dan sepasang mata yang tajam itu mencorong memandang kearah wanita cantik itu. Melihat munculnya gadis yang jelita itu, wanita itu mengerutkan alisnya.

   “Siapa engkau? Suruh Cia Piauwsu keluar. Kalau ia tidak membayar ganti rugi barangku yang dibikin hilang, akan kuhancurkan semua yang berada di sini, dan akan kulaporkan kepada yang berwajib!”

   “Apakah engkau yang berjuluk Ang-bi Mo-li?”

   Hui Lan bertanya dengan suaranya yang halus, namun mengandung wibawa besar. Wanita itu nampak kaget.

   “Tidak perlu namaku di sebut dalam urusan ini. Cia Piauwsu telah sanggup mengantar emasku ke kota raja, akan tetapi dia mengatakan bahwa barang itu hilang di bawa perampok! Dia harus mengganti seharga seribu tail emas!”

   “Barang itu memang di rampok, dan sedang di usahakan agar di dapatkan kembali.”

   “Omong kosong! Sampai kapan di dapatkan? Aku sudah memberi waktu sampai hari ini dan tidak mau waktunya di ulur lagi.”

   “Hemm, benarkah engkau ini Ang-bi Mo-li?”

   “Kalau benar mengapa, kalau tidak kenapa?”

   Tantang wanita itu yang mulai menjadi marah kepada Hui Lan yang tetap bersikap tenang itu.

   “Kalau engkau benar Ang-bi Mo-li, maka aku tidak merasa heran kalau barang itu di bawa lari perampok!”

   Kata pula Hui Lan dan sinar matanya dengan tajam mengamati wanita itu.

   “Apa maksudmu?”

   “Barang itu sama sekali tidak berisi emas, mungkin hanya berisi batu-batu saja.”

   “Gila kau!”

   “Tidak, aku hanya berkata sebenarnya. Engkau mengirim barang yang kau katakan emas, kemudian sekutumu mengadakan perampasan di jalan, lalu engkau datang minta uang pengganti. Begitu bukan?”

   “Apa buktinya? Barang itu memang emas seribu tail!”

   “Hemm, siapakah yang melihat bahwa barang itu emas? Engkau hanya membawa sebuah peti yang kau larang untuk di periksa isinya. Hanya engkau yang mengatakan isinya emas, akan tetapi semua piauwsu di sini tidak ada yang melihatnya! Dan siapakah sekutumu itu? Bukankah dia Tung-hai Liong-ong?”

   Kata pula Hui Lan dengan nada suara mengejek. Wajah wanita itu menjadi merah sekali karena marah.

   “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Aku pengirim barang yang di bikin hilang oleh Cia-piauwsu dan aku datang minta ganti. Bukankah itu sewajarnya?”

   “Tentu sewajarnya kalau engkau bukan Ang-bi Mo-li yang sudah terkenal kelicikan dan kejahatannya.”

   “Keparat! Bicaramu makin kurang ajar saja! Siapakah engkau?”

   “Namaku Tang Hui Lan, keponakan dari Cia-piauwsu.”

   Para piauwsu yang sudah mendengarkan semua itu, menjadi marah kepada Ang-bi Mo-li.

   “Siocia, biarkan kami yang menghajar penjahat dan penipu ini!”

   Hui Lan tidak keburu mencegah karena belasan orang piauwsu itu telah menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi, nampak wanita itu menggerakkan kebutannya dan tubuhnya berloncatan dengan gesit sekali dan para piauwsu itupun roboh berpelantingan, golok dan pedang terlempar lepas dari tangan mereka. Dalam beberapa menit saja, belasan orang piauwsu itu telah roboh semua dengan tubuh terluka seperti di iris senjata tajam!

   “Kalian mundur semua!”

   Bentak Hui Lan dan iapun melompat kedepan wanita cantik itu sambil mencabut sepasang pedangnya. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang pedang penakluk iblis), pemberian ibunya. Melihat ini, Ang-bi Mo-li memandang tajam.

   “Apakah engkau ini puteri Tang Hay dan Cia Kui Hong? Dan kakek nenekmu bernama Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin?”

   Diam-diam Hui Lan terkejut. Wanita ini telah mengenal semua keluarganya. Sebuah pikiran menyelinap di hatinya. Kalau begitu, wanita ini membikin susah pamannya memang di sengaja karena pamannya adalah adik dari ibunya!

   “Kalau benar mengapa? Kalau tidak kenapa?”

   Hui Lan membalas seperti jawaban Ang-bi Mo-li ketika di tanya tadi. Sepasang mata wanita itu seperti menyinarkan api.

   “Bagus! Jadi engkau ini anak ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu, hari ini engkau akan mampus di tanganku!”

   Mendadak Ang-bi Mo-li mencabut pedang dari punggungnya dengan tangan kanan sehingga kini dia memegang dua senjata, pedang dan kebutan.

   “Aku atau engkau yang akan mampus?”

   Hui Lan membalas menggertak. Ang-bi Mo-li sudah demikian marahnya sehingga ia tidak mengeluarkan suara lagi, langsung menyerang dengan pedang dan kebutannya. Akan tetapi Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar dan ia pun menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis.

   “Trang… Cringg…!”

   Keduanya melompat ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan empat buah senjata itu membuat tangan mereka tergetar. Ang-bi Mo-li terkejut bukan main. Tak di sangkanya bahwa gadis muda itu demikian lihainya, maka ia pun menyerang lagi dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu silatnya.

   Namun, sepasang pedang di tangan Hui Lan telah berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan sama sekali tidak dapat di tembus oleh pedang dan kebutan Ang-bi Mo-li . Sebaliknya, setiap kali gadis itu menyerang, sinar kilat mencuat dari gulungan sinar pedang, Ang-bi Mo-li menjadi terkejut dan nyaris terkena tusukan pedang. Mulailah ia terdesak ke belakang. Cia Kui Bu yang sudah keluar sejak tadi, menonton pertandingan itu dengan hati kagum bukan main. Ang-bi Mo-li mungkin tidak selihai kakek bertongkat kepala naga, akan tetapi harus di akui bahwa gerakan wanita baju merah itu amat gesit. Akan tetapi, segera dia melihat betapa keponakannya mendesak terus. Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan dua sinar pedang mencuat dari dua gulungan sinar itu, dua batang pedangnya menyerang lawan dari dua jurusan.

   “Heiiittt… kena…!”

   Ang-bi Mo-li mencoba untuk memutar dua senjatanya dan mengelak, namun tetap saja ada sinar pedang menyambar pundak kirinya sehingga bajunya robek dan kulitnya terluka berdarah. Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan membanting sesuatu.

   “Darrr…!”

   Nampak asap hitam mengepul tebal. Hui lan yang tidak mau terkena asap itu segera meloncat ke belakang dan kesempatan itu di pergunakan Ang-bi Mo-li untuk melarikan diri. Cia Kui Bu menghampiri keponakannya.

   “Engkau hebat, Hui Lan. Ang-bi Mo-li itu lihai sekali dan engkau dengan mudah telah mengusirnya!”

   “Sayang aku tidak dapat menangkapnya, paman. Ia menggunakan bahan peledak untuk melarikan diri. Sekarang aku sudah tahu pasti, paman. Peti itu tentu bukan berisi emas, melainkan batu-batu biasa saja. Dengan cara ini ia hendak membikin nama baik Ceng-liong Piauwsu menjadi tercemar. Ini semua memang sudah di atur. Agaknya wanita iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Cin-ling-pai, maka ia membalasnya kepadamu.”

   Cia Kui Bu mengangguk-angguk.

   “Agaknya Ang-bi Mo-li itu bersekutu dengan Tung-hai Liong-ong. Ini berarti bahwa Tung-hai Liong-ong juga ingin membalas dendam kepada keluarga Cin-ling-pai.”

   “Boleh jadi, paman. Tidak mengherankan kalau begitu karena sejak dulu orang-orang tua yang menurunkan kita selalu menegakkan kebenaran dan keadilan dan menentang semua penjahat. Bahkan aku belum sempat mengabarimu, paman. Kakek buyut Ceng Thian Sin juga sudah meninggal dunia.”

   “Ahhh…!”

   Kui Bu memandang Hui Lan dengan kaget. Rasanya sukar di percaya bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu dapat mati! “Mari kita bicara di dalam, Hui Lan.”

   Para piauwsu mengobati luka-luka ringan mereka dan mereka tidak habis-habis memuji kehebatan Hui Lan yang mampu mengalahkan wanita iblis itu! Setelah berada di dalam, Kui Bu bertanya,

“Bagaimana sampai kakek Ceng thian Sin meninggal dunia, Hui Lan? Apakah karena sakit dan karena usia tua?”

   “Boleh di bilang demikian, akan tetapi juga karena adanya orang-orang yang hendak membalas dendam kepadanya. Tujuh orang datuk datang ke pulau teratai merah menantang kakek buyut. Mereka semua dapat di kalahkan oleh kakek buyut akan tetapi kakek buyut yang sudah tua dan mulai lemah menderita luka berat yang membawanya kepada kematiannya.”

   Cia Kui Bu menghela napas napas panjang.

   “Permusuhan dan permusuhan, saling membalas dendam. Sampai kapankah berakhirnya? Apakah kita juga harus membalas dendam kepada mereka yang membalas dendam?”

   Hui Lan tersenyum.

   “Tentu saja tidak begitu jalan pikiran kita, paman. Kita tidak membalas dendam, akan tetapi kita selalu menentang segala bentuk perbuatan jahat. Kalau kita membasmi kejahatan lalu ada keturunan orang jahat membalas dendam, tentu saja kita layani, karena keturunan yang membalaskan dendam kematian orang tua mereka yang jahat, sudah pasti bukan orang baik pula.”

   “Pekerjaan seorang piauwsu penuh bahaya dan permusuhan, Hui Lan. Oleh karena itu, aku ingin berganti perusahaan, tidak lagi menjadi piauwsu, melainkan menjadi pedagang. Aku telah mengumpulkan modal dan aku seringkali mengangkut barang dagangan sehingga aku tahu barang apa yang harus di jual ke sana. Dengan demikian akupun dapat tetap memberi pekerjaan kepada para pembantuku.”

   “Berganti perusahaan baik-baik saja, paman. Akan tetapi kurasa, menjadi piauwsu juga baik. Adapun halangan atau bahaya itu akan selalu menimpa manusia di manapun dia berada dan pekerjaan apapun yang di lakukannya. Yang jelas, semua yang merintangi pekerjaan piauwsu adalah para perampok dan maling, para orang jahat.”

   Kembali Cia Kui Bu menghela napas panjang.

   “Benar juga pendapatmu, Hui Lan. Biarlah kulanjutkan pekerjaan piauwsu ini. Akan tetapi bagaimana dengan urusan peti emas itu? Bagaimana kalau ia datang lagi untuk meminta ganti?”

   “Aku kira tidak, paman. Ang-bi Mo-li tentu tahu bahwa akal busuknya telah kita ketahui dan ia tidak akan begitu bodoh untuk datang lagi setelah ia mendapat hajaran keras tadi. Lain dari pada itu, paman, apakah paman juga mendengar tentang pek-lui-kiam?”

   “Pek-lui-kiam yang di pakai perebutan di dunia kangouw itu? Tentu saja aku juga mendengarnya, karena hal itu ramai di bicarakan orang di dunia persilatan. Menurut kabar angin, barang siapa dapat memiliki pedang itu, dia akan menjagoi seluruh dunia dan dapat di angkat atau di pilih menjadi bengcu kelak.”

   “Ah aku tidak percaya, paman. Kelihaian seseorang tergantung dari kepandaian orang itu sendiri, bukan dari senjatanya walaupun senjata itu membantunya. Orang yang mempunyai ilmu kepandaian setingkat mungkin akan menang dengan menggunakan sebuah pedang pusaka yang ampuh, akan tetapi bagaimana ampuhpun senjata itu, kalau dia berhadapan dengan orang yang tingkatnya jauh lebih tinggi, dia akan kalah juga.”

   “Pendapatmu itu benar, Hui Lan. Aku juga tidak menginginkan pedang pusaka itu kalau untuk itu aku harus berebutan dengan banyak orang.”

   “Akan tetapi besar bahayanya kalau pedang pusaka yang kabarnya sangat ampuh itu terjatuh ke tangan seorang datuk jahat yang berilmu tinggi. Dia seperti harimau yang tumbuh sayap, akan berbahaya sekali bagi manusia pada umumnya dan dunia persilatan pada khususnya. Kewajiban kita adalah mencegah terjadinya hal itu, paman. Kalau pedang itu terjatuh ke tangan seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, hal itu sudah benar. Akan tetapi kalau terjatuh kepada seorang iblis, aku harus menentangnya!”

   “Ada berita bahwa pedang pusaka itu sekarang berada di tangan Ang I Sianjin, ketua dari kwi-kiauw-pang di kwi-liong-san. Entah benar atau tidak berita itu, akan tetapi kalau benar terjatuh ke tangan ketua kwi-jiauw-pang, dunia kang ouw akan menjadi semakin keruh. Kwi-jiauw-pang terkenal sebagai perkumpulan sesat yang amat kuat dan orang-orangnya terkenal kejam. Apa lagi karena kwi-jiauw-pang kabarnya berhubungan dekat dengan perkumpulan besar pek-lian-kauw.”

   “Hemm, kalau begitu berbahaya sekali, paman. Nanti setelah singgah ke tung-ciu, ke rumah paman Pek Han Siong, aku ingin menyelidiki ke kwi-liong-san.”

   “Aih, jangan sembrono, Hui Lan. Kwi-jiauw-pang di kwi-liong-san benar-benar kuat, banyak sekali anak buahnya. Kalau engkau hanya seorang diri saja pergi ke sana, amatlah berbahaya bagimu.”

   “Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono, paman. Aku hanya akan menyelidiki apakah benar Pek-lui-kiam berada di sana. Aku tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran dengan mereka.”

   “Kalau begitu hatiku lega, Hui Lan. Aku percaya bahwa engkau telah mewarisi banyak ilmu silat yang lihai, akan tetapi kalau hanya seorang diri menghadapi puluhan, bahkan ratusan anak buah kwi-jiauw-pang, sungguh perbuatan itu tidak bijaksana.”

   Pada keesokan harinya, Hui Lan berpamit dari pamannya dan melanjutkan perjalanan ke kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja. Ia hendak memenuhi pesan Ayahnya agar singgah ke rumah Pek Han Siong yang menjadi sahabat baik seperti saudara sendiri dari Ayahnya. Akan tetapi karena perjalanan ke Tung-ciu melewati kota raja, ia hendak singgah dulu di kota raja.

   Di kota raja tinggal bibinya, adik Ayahnya, yang bernama mayang, peranakan tibet sedangkan Ayahnya adalah kakeknya. Jadi mayang adalah bibi tirinya yang hubungannya amat akrab dengan Ayahnya. Bibinya itu kini menjadi isteri seorang bangsawan, yaitu Cang Sun. sudah lewat dua tahun sejak Cang Sun, mayang, dan Tang Cin Nio, isterinya kedua, datang berkunjung ke Cin-ling-pai. Masih teringat ia betapa gembiranya ketika itu. Ia berkenalan dengan anak-anak mereka. Yang pertama adalah Cang Hok Thian, seorang pemuda putera Mayang, empat tahun lebih tua darinya. Yang kedua adalah puteri Tang Cin Nio bernama Cang Wi Mei, setahun lebih tua darinya. Biarpun mereka hanya tinggal setengah bulan di Cin-ling-san, kedua orang muda itu telah menjadi sahabat akrabnya. Setelah meninggalkan Pao-ting, Hui Lan lalu melakukan perjalanan ke utara, ke kota raja.

   Pada waktu itu, dalam tahun 1575, kerajaan Beng masih namapak kuat walaupun terjadi pemberontakan di selatan dan barat. Bahkan kini dari timur kekuasaan jepang mulai mendesak dan berebutan dengan orang-orang kulit putih yang tidak pernah jera walaupun belum lama ini pemerintah telah menghancurkan orang-orang portugis dari daratan Cina. Pada waktu kaisarnya adalah kaisar Wan Li (1572-1620), dan dia baru menjabat sebagai kaisar selama tiga tahun. Seperti juga kaisar yang lalu, kaisar Wan Li berusaha keras untuk mempertahankan kedaulatan dan wilayahnya dari desakan orang asing. Kekuasaan dari juga berulang kali mencoba menerobos pertahanan pasukan Beng. Bahkan beberapa tahun yang lalu pernah ada pasukan berani mati bangsa-bangsa Nomad di utara menerobos masuk dan berada di luar tembok kota raja Peking. Akan tetapi akhirnya pasukan berani mati dari utara itu dapat di sapu bersih dan selebihnya melarikan diri cerai berai.

   Ada yang menggabungkan diri dengan gerombolan penjahat, bahkan ada yang melarikan diri ke pantai timur dan bergabung dengan orang-orang jepang. Dua orang menteri utama yang amat berjasa selama pemerintahan Kaisar Cia Ceng (1520-1566) merupakan menteri-menteri setia yang bijaksana dan pandai. Setelah mereka meninggal dunia, kerajaan Beng kehilangan pemimpin yang pandai dan bijaksana. Akan tetapi kini terdapat seorang yang diangkat menjadi penasihat kaisar Wan Li, di jadikan penasihat karena orang ini juga memiliki pengetahuan luas dan amat setia kepada kerajaan. Dia ini bukan lain adalah Cang Sun, putera dari mendiang menteri Cang Ku Ceng. Sebagai seorang putera menteri, seorang bangsawan, sejak mudanya Cang Sun telah berkenalan dengan para pendekar yang gagah perkasa dan berjiwa patriot. Biarpun Cang Sun sendiri seorang ahli sastra dan tidak mempelajari ilmu silat,

   Namun isterinya yang pertama adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, yaitu Mayang, bibi dari Hui Lan. Oleh karena itu, kedua orang anaknya, seorang putera dan seorang puteri, di gembleng oleh Mayang dan menjadi orang-orang muda yang pandai ilmu silat. Kaisar Wan Li yang mengetahui bahwa Cang Sun mewarisi kesetiaan dan kebiksanaan Ayahnya, lalu mengangkat Cang Sun menjadi menteri yang bertugas menasihati kaisar dalam urusan pemerintahan, baik kedalam maupun keluar, karena itu, kekuasaan menteri Cang Sun amat besar. Akan tetapi, seperti mendiang Ayahnya dahulu, menteri Cang Sun bersikap keras terhadap mereka yang ingin menyuapnya. Dia memerintahkan pasukan menangkap mereka yang hendak menyuapnya itu dan menjebloskan ke dalam penjara. Semenjak itu tidak ada lagi yang berani main-main terhadap menteri ini.

   Karena menteri Cang Sun bersikap keras dan galak terhadap korupsi, sedikitpun tidak mau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan sendiri, semua bawahannya juga bertindak jujur dan tidak ada yang berani melakukan penyelewengan. Sesungguhnyalah, untuk menjaga agar pohon itu subur dan menghasilkan bunga dan buah, yang perlu di pelihara dan di jaga adalah akar dan batangnya. Demikian pula kalau menghendaki anak buah yang yang taat dan jujur, pemimpinnya lebih dulu harus jujur dan tertib. Seorang pemimpin yang bijaksana dapat menindak bawahannya yang menyeleweng, sebaliknya seorang pemimpin yang korup, bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan? Menteri Cang berhubungan dekat sekali dengan para pembesar lainnya, juga dengan panglima-panglima perang.

   Melihat perkembangan yang berbahaya dari bangsa jepang, menteri Cang Sun menasihati kaisar untuk mengirim pasukan dan menjaga pantai timur. Namun sukar sekali membendung menyusupnya orang-orang jepang ke daratan karena kulit dan wajah mereka tidak ada bedanya dengan pribumi. Ketika kaisar Wan Li mengirim pasukan ke selatan untuk menaklukkan karena Annam, Siam, dan Birma, menteri Cang Sun merasa tidak setuju. Yang terpenting adalah menjaga kedaulatan di negara sendiri, bukan memerangi kerajaan lain untuk di talukkan! Akhirnya, setelah membujuk berulang kali, akhirnya usaha menteri Cang Sun berhasil juga. Pasukan yang berperang di selatan itu di tarik kembali untuk memperkuat penjagaan di timur dan utara. Setelah demikian, barulah keadaan menjadi agak tenteram.

   Pada suatau hari, Cang Sun menonton putera dan puterinya yang sedang berlatih silat di bawah petunjuk isteri pertamanya, Mayang. Dalam hal mendidik dua orang muda itu, Mayang tidak berlaku berat sebelah, tidak mengutamakan puteranya sendiri yang bernama Cang Hok Thian itu. Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Cang Wi Mei lebih cocok bermain pedang dari pada Cang Hok Thian, ia menurunkan ilmu pedang kepada puteri tirinya itu. Kepada Hok Thia ia mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang hebat sekali, yaitu yang di sebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Adapun untuk senjatanya, Hok Thian lebih cocok menggunakan sabuk rantai yang dipakainya sebagai ikat pinggang.

   Rantai ini terbuat dari baja murni, agak tipis dan panjangnya dua meter. bIarpun berupa rantai baja, akan tetapi karena tipis dan di gerakkan oleh tangan yang mengandung sin-kang, senjata ini dapat menjadi tajam seperti pedang! Kini kedua orang kakak beradik ini latihan bersama, bertanding dengan tangan kosong. Cang Sun duduk di atas kursi menonton. Dia tidak belajar ilmu silat, akan tetapi pergaulannya erat dengan para ahli silat sehingga dia dapat menilai baik buruknya permainan silat. Ketika melihat putera dan puterinya bertanding dalam suatu latihan bersama, Cang Sun dapat menilai bahwa Cang Wi Mei lebih gesit dan ringan tubuhnya di bandingkan kakaknya. Biarpun dalam hal tenaga Cang Hok Thian masih menang setingkat, namun karena kalah cepat gerakannya. Mendadak Wi Mei berseru,

   “Kena!!”

   Dan tubuhnya meloncat kebelakang. Hok Thian tersenyum dan mengulurkan tangan untuk minta kembali kain pengikat rambutnya yang sudah berada di tangan adiknya.

   “Gerakanmu amat cepat, Mei-moi, aku tidak dapat mengikutimu!”

   Kata Hok Thian dengan sejujurnya.

   “Tenagamu lebih kuat dariku, Thian-ko, kalau aku tidak menggunakan kecepatan, aku pasti kalah olehmu.”

   Jawab Wi Mei dengan jujur pula.

   “Gerakan cepat saja tanpa di sertai tenaga sin-kang yang memadai, masih kurang daya hasilnya, Wi Mei. Engkau harus lebih banyak bersamadhi dan menghimpun tenaga saktimu. Dan engkau Hok Thian. Gerakanmu sudah cukup cepat, hanya masih kalah setingkat oleh adikmu. Karena itu, engkau harus lebih teliti dalam pertahananmu, sehingga kalau menghadapi lawan yang lebih cepat, engkau dapat melindungi diri lebih baik. engkau perbanyak latihanmu dalam hal pertahanan itu.”

   Tiba-tiba percakapan mereka terhenti dengan munculnya seorang prajurit yang bertugas menjaga di luar. Dia memberi hormat kepada menteri Cang Sun dan melapor bahwa di luar ada seorang tamu wanita yang bernama Tang Hui Lan mohon menghadap.

   “Adik Hui Lan? Ah, aku girang sekali!”

   Kata Wi mei. Cang Hok Thian juga berseri wajahnya mendengar nama itu. Mayang segera berkata kepada penjaga itu.

   “Cepat persilakan ia masuk!”

   Penjaga itu tidak langsung pergi melainkan memandang kepada menteri Cang Sun. setelah pembesar ini menganggukkan kepala, barulah dia memberi horamt dan pergi keluar. Tak lama kemudian muncullah Hui Lan dalam ruangan itu. Ia segera memberi hormat kepada keluarga itu, mengangkat kedua tangan di depan dada dan berkata gembira,

   “Paman, bibi…!”

   “Ah, Hui Lan. Dengan siapa engkau datang? Dari mana saja engkau?”

   Tanya Mayang dengan gembira sekali.

   “Saya hanya sendiri bibi, sebelum singgah kesini saya telah mengunjungi paman Cia Kui Bu.”

   Mereka lalu bercakap-cakap dengan akrab sekali, akan tetapi ketika Hui Lan menceritakan tentang, kematian kakek buyutnya, Ceng Thian Sin, semua orang terdiam karena terkejut dan ikut berduka.

   “Ah, siapa yang mengira bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu akhirnya meninggal dunia juga. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa semua orang, tidak perduli dia itu pandai atau berkedudukan tinggi sekalipun, pada suatu hari tentu akan mati dan kembali kepada asal mulanya. Sayang kami tidak tahu akan kematiannya sehingga kami tidak dapat melayat. Apakah ketika meninggal dia masih berada di pulau Teratai Merah? Lalu siapa yang berada dengan dia di saat terakhirnya? Dan bagaimana kematiannya, apakah karena sakit dan usia tua?”

   “Kebetulan saja saya dan Ayah ibu berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan kami agak terlambat karena kakek-buyut sudah berada diambang kematian. Kakek-buyut meninggal karena usia tua dan dalam keadaan sudah lemah itu terpaksa dia melawan tujuh orang yang datang menantangnya. Dia berhasil mengusir tujuh orang itu, akan tetapi dia sendiri menderita luka dalam karena dalam keadaan sudah tua sekali itu dia mengerahkan sin-kangnya.”

   Cang Sun menghela napas panjang.

   “Menyedihkan sekali. Dalam usia yang sudah lewat seratus tahun itu pendekar Sadis itu masih saja di musuhi orang! Dan orang-orang jahat dan sesat itu masih ada saja sepanjang masa, kejahatan akan selalu timbul sebagai imbangan dari kebaikan. Siapakah tujuh orang yang memusuhinya itu, Hui Lan?”

   “Menurut seorang murid kakek-buyut yang hidup berdua saja dengan kakek-buyut di pulau itu, yang datang menantang kakek-buyut adalah dua orang datuk dari barat berjuluk Toa Ok dan Ji Ok, bersama kelima Bu-tek ngo-sian yang juga datang dari barat.”

   Mayang mengerutkan alisnya. Ia sendiri berasal dari barat akan tetapi semenjak menjadi isteri Cang Sun ia tidak pernah lagi pergi ke tibet maka ia tidak pernah mendengar akan nama datuk-datuk yang di sebut itu.

   “Bagaimana keadaan Ayah dan ibumu Hui Lan? Aku sudah rindu sekali kepada mereka!”

   Kata Mayang, mengalihkan percakapan dari berita yang tidak menyenangkan itu. Hui Lan tahu dari Ayah ibunya bahwa bibinya ini amat sayang kepada Ayahnya. Ia pun menjawab dengan nada suara gembira.

   “Mereka baik-baik saja bibi, juga kakek Cia Hui Song dan nenek Ceng Sui Cin dalam keadaan sehat. Keadaan Cin-ling-pai pada umumnya baik dan tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.”

   “Syukurlah, Hui Lan. Aku girang mendengar itu. Sayang sekali bahwa pamanmu selalu sibuk dengan pekerjaaannya. Negara sedang di rong-rong oleh banyak persoalan pemberontakan dan kekacauan di perbatasan sehingga kami tidak memiliki waktu luang untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.”

   “Mendengar berita bahwa mereka dalam keadaan sehat merupakan hal yang menyenangkan sekali,”

   Kata Cang Sun menghibur.

   “Tak lama lagi tentu Cin-ling-pai akan mengadakan pesta pernikahan Hui Lan dan kesempatan itu boleh kau pergunakan untuk berkunjung ke sana bersama dua orang anak kita.”

   Wajah Hui Lan berubah merah mendengar ucapan pamannya itu, akan tetapi ia tidak marah karena ucapan itu di keluarkan untuk menghibur bibinya dan bukan untuk berolok-olok.

   “Bagus sekali!”

   Wi Mei bersorak.

   “Adik Hui Lan, kapankah engkau akan menikah? Aku sudah ingin sekali berkunjung ke Cin-ling-pai!”

   Tentu saja Hui Lan tersipu malu.

   “Ah, sama sekali belum ada rencana untuk itu, enci Wi Mei engkau dan kakak Hok Thian tentu akan menikah lebih dulu dari pada aku, dan untuk merayakan hari baik kalian itu, Ayah ibu dan kakek nenek tentu akan datang ke sini!”

   Kini Wi Mei menjadi merah mukanya dan Thian Hok juga tersipu.

   “Kami juga belum ada rencana untuk menikah!”

   Kata Wi Mei. Tiba-tiba Hok Thian berkata kepada orang tuanya.

   “Ayah, bagaimana kalau kami berdua ikut dengan adik Hui Lan berkunjung ke Cin-ling-pai? Kami juga ingin melakukan perjalanan dan menambah pengalaman kami!”

   “Betul sekali, Ayah. Saya juga ingin sekali melakukan perjalanan seperti adik Hui Lan, melihat-lihat dunia kangouw!”

   Kata Cang Wi Mei.

   “Ibu tentu setuju, bukan?”

   Pada saat itu, seorang wanita berusia empat puluh lima tahun muncul dari dalam memasuki ruangan itu.

   “Hemm, apakah yang harus di setujui itu, Wi Mei?”

   Wanita itu adalah Tang Cin Nio, isteri kedua dari Cang Sun. Hui lan segera bangkit berdiri memberi hormat.

   “Ah, engkau Hui Lan, bukan? Sudah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan cantik jelita!”

   Tang Cin Nio berkata gembira dan ia pun ikut duduk dekat Mayang.

   “Kedua orang anak kita ini minta untuk di perkenankan pergi ke Cin-ling-pai bersama Hui Lan,”

   Kata Mayang kepadanya. Tang Cin Nio mengerutkan alisnya dan ia memandang kepada suaminya lalu berkata,

   “Agaknya tidak bijaksana kalau membolehkan mereka melakukan perjalanan sejauh itu tanpa pengawalan pasukan. Aku khawatir kalau terjadi hal yang tidak baik kepada mereka.”

   “Aku sendiri juga agak keberatan. Biarpun selama ini mereka sudah mempelajari beberapa macam ilmu silat, namun di dalam dunia kangouw terdapat banyak sekali orang jahat yang tinggi ilmu silatnya.”

   Mendengar ucapan kedua orang ibunya itu, Wi Mei merengek.

   “Takut apa? Bukankah adik Hui Lan juga melakukan perjalanan seorang diri dan tidak ada bahaya menimpa dirinya? Kalau kami berdua pergi bersamanya, bukankah kami bertiga cukup kuat membela diri?”

   Cang Sun yang mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, lalu berkata kepada kedua orang anaknya.

   “Hui Lan lagi. Ia tentu telah menguasai semua ilmu Ayah ibunya yang amat tinggi. Dan pula, kalau sampai ada yang mendengar bahwa kalian berdua adalah anakku, tentu banyak orang sesat yang berusaha untuk menawan kalian, untuk di jadikan sandera. Ketahuilah bahwa banyak sekali orang yang memusuhi aku, terutama yang melakukan pemberontakan. Tidak, kalian tidak boleh pergi kecuali kalau membawa pasukan pengawal yang kaut.”

   Cang Hok Thian dan Cang Wi Mei bersungut-sungut dan melihat ini, Hui Lan menghibur.

   “Kakak Cang Hok Thian dan enci Cang Wi Mei, dari sini aku tidak akan terus langsung pulang ke Cin-ling-pai. Aku hendak berkunjung ke rumah paman Pek Han Siong di Tung-ciu. Dan aku masih hendak merantau entah kemana sebelum aku kembali ke Cin-ling-pai. Sebaliknya kalau kalian menurut kata orang tuamu, karena kalau kalian ikut aku lalu terjadi sesuatu atas diri kalian berdua, aku yang merasa tidak enak sekali.”

   Hui Lan tinggal di istana menteri Cang selama tiga hari. Selama itu pergaulannya dengan kedua orang putera menteri itu menjadi semakin akrab. Mereka bahkan latihan silat bersama dan dalam kesempatan ini Hok Thian dan Wi Mei mendapat petunjuk yang berharga dari Hui Lan. Tingkat kepandaian Hui Lan jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka dan kelebihan ini membuat Hok Thian merasa rendah diri. Sebetulnya, di dalam hatinya Hok Thian kagum dan jatuh cinta kepada Hui Lan. Akan tetapi rasa rendah diri karena Hui Lan jauh lebih tangguh darinya membuat dia menekan rasa cintanya dan menganggap dirinya tidak patut menjadi pasangan Hui Lan. Setelah tiga hari, Hui Lan berpamit dari keluarga Menteri Cang itu untuk melanjutkan perjalanannya menuju Tung-ciu, tempat tinggal Pek Han Siong dan keluarganya.

   Seorang pemuda menunggang kudanya yang berbulu putih menuruni sebuah lereng bukit. Kuda itu besar dan bagus sekali, nampak kuat dan gagah. Penunggangnya juga gagah dan tampan, duduk dengan tegak di atas kudanya yang dibiarkan mencongklang seenaknya. Dia tidak nampak tergesa-gesa, memandang ke kanan kiri menikmati keindahan pemandangan dari lereng bukit itu. Pemuda itu berpakaian serba indah seperti seorang kongcu yang kaya raya, berpakaian seperti seorang terpelajar, dan melihat rambutnya yang licin dan rapi, pakaiannya yang mewah, sepatunya yang baru, ada kesan pesolek pada diri pemuda ini. Pemuda ini mengenakan sebuah topi yang bagus untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari.

   Di punggungnya terdapat sebatang pedang sehingga dia nampak gagah dan tampan. Wajahnya bundar, matanya lebar, hidungnya mancung dan bibirnya selalu tersungging senyuman mengejek sehingga dia nampak tinggi hati. Setelah tiba di bawah lereng, di luar sebuah hutan, dia menghentikan kudanya dan menoleh ke kiri. Dari hutan itu muncul sepuluh orang yang segera memberi hormat kepada pemuda itu. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan kasar dan bertubuh tegap.

   “Selamat siang, kong cu!”

   Kata yang menjadi pemimpin sepuluh orang itu.

   “Ada berita apa? Kenapa kalian menemui aku? Sudah kukatakan jangan sekali-kali bertemu denganku di tempat umum.”

   “Maaf, kongcu. Disini aman, sepi tidak ada orang lain. Kami hanya ingin melaporkan bahwa di depan sana ada serombongan orang wanita memikul sebuah joli. Kami telah mengintai dan melihat bahwa ketika joli tersingkap, didalamnya duduk seorang gadis yang kecantikannya seperti seorang puteri raja. Mungkin kongcu akan tertarik, maka kami sengaja menghadang kongcu disini.”

   “Hemm, siapa gadis itu?”

   “Kami tidak tahu, kongcu. Para pengawalnya juga rata-rata wanita cantik.”

   “Baik, hendak kulihat orang macam apa adanya gadis itu! Kalian boleh muncul dan mengganggunya sebagai perampok biasa. Kalau aku muncul kalian harus melarikan diri ketakutan.”

   “Baik, kongcu. Kami mengerti apa yang kongcu maksudkan!”

   Kata pemimpin rombongan itu dan mereka lalu berloncatan menghilang ke dalam hutan. Pemuda tampan itu melanjutkan jalan kudanya, terus ke depan dengan santai dan seenaknya. Dari tempat yang agak tinggi dia memandang ke depan dan benar saja. Dia melihat empat orang wanita muda memikul sebuah joli berwarna hijau dan ada dua orang gadis lain yang berjalan di belakang joli itu.

   Dari cara mereka berjalan, dapat di duga bahwa para wanita itu bukanlah orang sembarangan. Langkah mereka ringan dan tegap. Joli itu namapak ringan sekali bagi mereka. Dan di punggung enam orang wanita itu nampak gagang sebatang pedang. Pemuda itu tertarik sekali dan menonton dari tempat tinggi itu. Kemudian muncullah sepuluh orang anak buahnya yang tadi menghadangnya. sepuluh orang itu cengar-cengir menghadang rombongan wanita itu dan pemimpinnya mengangkat tangan kanan keatas tanda bahwa rombongan pemikul joli itu harus berhenti. Dua orang wanita yang tadinya berjalan di belakang joli, kini sudah berpindah ke depan. Para pemikul joli tetap berhenti akan tetapi tidak menurunkan joli. Dua orang gadis pengawal itu memandang dengan alis mata berkerut, dan seorang diantara mereka bertanya, suaranya ketus,

   “Kalian mau apa menghadang perjalanan kami?”

   Pemimpin rombongan orang laki-laki itu, yang bertubuh tinggi besar, tertawa dan teman-temannya juga tertawa cengar-cengir dengan sikap kurang ajar sekali.

   “Ha-ha-ha, masih hendak bertanya lagi? Kami tidak minta banyak. Hanya lepaskan semua perhiasan dan pakaian kalian, berikan kepada kami termasuk nona yang berada di dalam joli. Dan kalian bertujuh ikut dengan kami bersenang-senang!”

JILID 12

   Ucapan itu sudah jelas sekali. Yang berada di dalam joli itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin. Seperti kita ketahui, ia ditingggalkan oleh Si Kong dan gadis yang keras hati itu nekat hendak pergi ke kwi-liong-san untuk mencari dan menyusul Si Kong yang ia tahu tentu akan pergi ke sana pula. Dari dalam jolinya Cu Yin dapat mengintai keluar dan tahu bahwa ada segerombolan perampok hendak mengganggu.

   “Turunkan joli!”

   Perintahnya dan empat orang pemikul lalu menurunkan joli. sepuluh orang lelaki itu tertawa-tawa gembira. Mereka mengira bahwa rombongan wanita ini tentu akan menyerah kepada mereka karena takut. Karena nona mereka minta joli di turunkan, hal itu berarti nona mereka akan menghadapi sendiri sepuluh orang itu. Enam orang wanita pengawal itupun berdiri di kanan kiri joli, masing-masing tiga orang dan mereka sudah siap siaga untuk berkelahi kalau nona mereka memerintahkan. Cu Yin membuka penutup joli dan semua orang laki-laki yang berdiri di situ mengeluarkan seruan kagum. Gadis dalam joli itu cantik jelita bukan main.

   Akan tetapi, Cu Yin tanpa berkata apa-apa sudah menggerakkan kedua tangannya dan meluncur empat batang anak panah ke arah rombongan orang itu. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan, empat orang di antara mereka terjungkal dan sekarat lalu tewas seketika! Melihat hal ini, enam orang lainnya menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka juga marah bukan main. Tadinya mereka hanya ingin mengganggu sambil menanti munculnya kongcu mereka yang akan bertindak seolah-olah menolong gadis itu. Siapa kira yang terjadi adalah sebaliknya. Empat dari mereka telah roboh dan tewas di tangan gadis cantik itu. Hal ini dapat terjadi karena mereka sama sekali tidak mengira akan di serang dengan panah-tangan yang merupakan senjata rahasia yang ampuh itu. Enam orang itu segera mencabut golok masing-masing dan menyerang maju.

   Akan tetapi enam orang pengawal wanita itu sudah berloncatan ke depan dengan pedang di tangan dan terjadilah perkelahian enam orang pria melawan enam orang wanita dengan seru sekali. Terdengar bunyi senjata mereka berkerontangan kalau beradu dan nampak bunga api berpijar. Melihat enam orang pengawalnya sudah menandingi para perampok itu, Siangkoan Cu Yin hanya duduk saja dalam jolinya dan mengamati jalannya pertandingan. Ia tahu bahwa para pembantunya tidak akan kalah oleh para perampok itu, maka iapun tidak mau turun tangan membantu, hanya bersikap waspada untuk menjaga agar jangan sampai ada pembantunya yang terluka. Sementara itu, pemuda tampan berkuda yang tadi menonton dari tempat yang tinggi, terkejut bukan main melihat empat orang anak buahnya tewas. Dia lalu membalapkan kudanya menuruni tempat tinggi itu menuju ketempat pertempuran.

   Pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia adalah putera tunggal dari datuk timur Tung Giam-ong (Raja Maut Timur), seorang datuk besar yang terkenal dan di takuti di wilayah timur, dari pantai utara sampai pantai sebelah selatan. Nama pemuda itu adalah Tio Gin Ciong. Sebagai putera tunggal, tentu saja dia telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Ayahnya dan kini dia merupakan seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang masih belum menikah. Tio Gin Ciong berada di tempat itu adalah dalam melaksanakan tugas yang di berikan Ayahnya kepadanya, yaitu mencari Pek-lui-kiam dan ikut memperebutkannya. Dia pergi membawa sepuluh orang pembantu pilihan. Siapa menduga bahwa empat dari sepuluh orang pembantunya mati konyol di tangan seorang gadis yang duduk di dalam joli!

   Dengan muka merah karena marah, Gin Ciong membalapkan kudanya dan sebentar saja dia sudah tiba di tempat perkelahian. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan berjongkok memeriksa seorang diantara empat orang pembantunya. Dari atas tadi dia hanya melihat empat orang pembantunya roboh. Dia tidak dapat melihat apa yang menyebabkan mereka jatuh dan mengapa mereka tidak dapat bangkit kembali. Kini dia tahu bahwa empat orang pembantunya itu telah tewas dengan bagian tubuh yang tertancap anak panah kecil itu berwarna hitam. Anak panah beracun, pikirnya dan dia mencabut anak panah itu untuk memeriksanya. Melihat ukiran dua huruf Lam Tok di gagang anak panah, dia makin terkejut. Lam Tok adalah seorang datuk besar yang berkuasa di selatan! Racun selatan itu sama kedudukannya dengan Ayahnya yang berjuluk Raja Maut Timur! Keduanya merupakan datuk besar yang di takuti dan di segani. Dia bangkit berdiri sambil memegang anak panah itu.

   “Berhenti berkelahi! Kalian semua mundur!”

   Teriakan dan suaranya berpengaruh dan berwibawa sekali. Enam orang anak buahnya segera berloncatan ke belakang mendengar teriakan ini dan enam orang wanita juga berlompatan ke dekat joli di mana nona merela masih duduk dengan tenang.

   Kini Gin Ciong melangkah maju dan berhadapan dengan Cu Yin yang masih enak-enak duduk di dalam jolinya yang sudah terbuka tirainya. Dua orang itu saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Keduanya menjadi kagum. Cu Yin tidak menyembunyikan rasa kagumnya melihat pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, dan kudanya yang putih itu juga seekor kuda pilihan. Kini seorang anak buah Gin Ciong menuntun kuda itu untuk di lepas kendalinya dan di biarkan makan rumput di bawah pohon, mengikatkan kendali pada pohon itu. Tio Gin Ciong juga kagum bukan main. Benar pelaporan anak buahnya bahwa gadis di dalam joli itu teramat cantik jelita seperti puteri istana. Tidak, bahkan lebih cantik lagi. Seperti bidadari dari surga! Sambil mengangkat anak panah itu ke atas, Gin Ciong bertanya kepada Cu Yin,

   “Nona, ada hubungan apakah antara engkau dan Lam Tok? Anak panah ini senjata rahasia Lam Tok, mengapa engkau pergunakan?”

   Cu Yin merasa bangga bahwa anak panah itu merasa di kenal di mana-mana. Itu menandakan bahwa nama besar Ayahnya sudah terkenal di semua penjuru.

   “Mau tahu apa hubunganku dengan Lam Tok? Dia adalah Ayahku! Dan siapa engkau ini. Para perampok ini apakah anak buahmu?”

   Gin Ciong semakin terkejut mendengar bahwa nona itu adalah puteri Lam Tok. Pantas saja tindakannya demikian keras dan kejam, sekali turun tangan membunuh empat orang anak buahnya!

   “Kiranya engkau puteri paman Si-angkoan? Dengar, nona. Antara Ayahmu dan Ayahku ada hubungan, karena keduanya merupakan datuk besar di wilayah masing-masing. Kalau Ayahmu itu datuk besar selatan maka Ayahku adalah datuk besar dari timur.”

   Cu Yin terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. Ia bahkan keuar dan turun dari jolinya, kini berdiri berhadapan dengan pemuda itu. Sebaliknya Gin Ciong semakin kagum karena setelah berdiri ternyata gadis itu bukan saja cantik jelita, juga memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan.

   “Engkau tentu putera Tung Giam-ong?”

   Gin Ciong menjura dengan hormat sambil berkata,

   “Benar, nona. Namaku Tio Gin Ciong, putera tunggal dari Ayahku Tung Giam-ong. Kalau boleh aku mengetahui namamu…”

   “Namaku Siangkoan Cu Yin,”

Jawabnya singkat.

   “Apakah sepuluh orang ini anak buah pulau beruang?”

   “Dugaanmu benar, nona. sepuluh orang ini adalah para pembantuku. Akan tetapi empat orang dari mereka telah kau bunuh!”

   Gin Ciong menekan kata terakhir itu sebagai protes.

   “Tentu saja mereka ku bunuh, karena mereka mengaku perampok dan mengeluarkan kata-kata kurang ajar kepadaku! Sepatutnya mereka itu kubunuh semua!”

   Gin Ciong mengerutkan alisnya yang hitam tebal.

   “Mereka kurang ajar? Kata-kata bagaimana yang mereka ucapkan?”

   “Mereka bukan saja minta semua perhiasan dan pakaian kami, bahkan hendak menawan kami untuk di permainkan. Tidakkah mereka itu layak di bunuh?”

   Gin Ciong kini menghadapi enam orang anak buahnya.

   “Benarkah apa yang di katakan nona ini? Kalian berani kurang ajar?”

   Seorang diantara enam orang itu menjawab,

   “Tidak, kongcu, kami hanya menggertak mereka, tidak mengeluarkan ucapan kurang ajar.”

   “Jahanam!”

   Gin Ciong membentak dan sekali tangan kirinya yang memegang anak panah itu bergerak, anak panah itu meluncur kedepan dan menancap di dada anak buahnya yang menjawab tadi. Orang ini hanya menjawab sekali lalu jatuh telentang dengan mata mendelik dan tewas tak lama kemudian.

   “Hayo siapa lagi yang tidak mau mengakui kesalahannya?”

   Pemuda itu membentak. Lima orang anak buahnya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Gin Ciong,

   “Kami bersalah, kami siap menerima hukuman!”

   Ucapan ini mereka kelaurkan secara serentak. Gin Ciong tersenyum mengejek.

   “Bagus! Kalian sudah mengaku salah, maka kuampunkan untuk sekali ini. Hayo minta maaf kepada Siangkoan Siocia!”

   Lima orang itu berlutut menghadap Cu Yin dan berkata serentak,

   “Siocia, kami berlima mohon ampun atas kesalahan kami.”

   Cu Yin tersenyum dan melambaikan tangan.

   “Sudahlah, lima orang dari kalian telah di hukum mati, aku sudah puas!”

   “Terima kasih, Siocia. Terima kasih, kongcu!”

   Mereka berlima lalu bangkit berdiri dan mundur mengambil jarak cukup jauh sambil menanti perintah selanjutnya. Cu Yin memerintahkan pembantunya untuk mengambil kembali anak panahnya dari tubuh kelima mayat itu. Seorang di antara enam orang pembantunya dengan cekatan lalu mencabuti anak panah itu, membersihkannya dari darah dengan selembar kain lalu menyimpannya. Gin Ciong juga memerintahkan anak buahnya untuk mengubur jenazah lima orang anak buahnya di dalam hutan di sebelah. Lima orang anak buahnya lalu mengangkat lima mayat itu dan membawanya ke dalam hutan untuk di kuburkan. Setelah kelima orang anak buahnya pergi, Gin Ciong merasa lebih bebas untuk bicara dengan gadis itu.

   “Nona Siangkoan, kalau boleh aku mengetahui, apa yang hendak nona lakukan maka nona berada di sini? Ke manakah nona hendak pergi dan dari mana nona datang?”

   Cu Yin tersenyum. Pemuda ini tampan dan putera seorang datuk besar, akan tetapi sikapnya demikian sederhana dan hormat serta sopan, sehingga hatinya tertarik. Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menceritakan apa yang hendak di carinya kepada sembarang orang yang baru saja di kenalnya.

   “Tio-kongcu, kita secara kebetulan saja bertemu di sini, dan karena ulah anak buahmu maka kita dapat saling bertemu dan berkenalan. Sudah sewajarnya kalau orang-orang yang baru bertemu saling menceritakan keadaan dirinya maka kuharap engkau suka lebih dulu menceritakan apa yang sedang kau lakukan di tempat sunyi ini.”

   Gin Ciong juga tertawa mendengar betapa pertanyaannya di jawab dengan pertanyaan pula.

   “Baiklah, nona. Memang sudah sepatutnya kalau aku yang menceritakan keadaanku lebih dulu. Ketahuilah, nona Siangkoan, aku meninggalkan pulau beruang untuk mencari pedang Pek-lui-kiam. Ayah yang menyuruhku, dengan maksud agar dalam mencari pedang pusaka itu, aku memperoleh pengalaman dan dapat bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw.”

   Diam-diam Cu Yin merasa geli. Keadaan pemuda ini tidak ada bedanya dengan ia sendiri. Ia pun hendak mencari pedang pusaka itu, seperti yang di perintahkan Ayahnya!

   “Hi-hi-hik,”

   Cu Yin tertawa geli tanpa menutupi mulutnya seperti kebiasaan para gadis kalau tertawa. Puteri Lam To ini tertawa dengan wajar dan bebas, tidak menutupi mulutnya sehingga nampak sederetan giginya yang rapi dan putih mengkilap.

   “Kalau begitu, kita ini saling berhadapan sebagai saingan karena akupun meninggalkan tepi sungai Hun-kiang memenuhi perintah Ayah untuk mencari dan merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam!”

   Mula-mula Gin Ciong terkejut mendengar ini, akan tetapi setelah berpikr sejenak diapun lalu tertawa gembira.

   “Bagus sekali kalau begitu! Kita sama sekali tidak saling berhadapan sebagai saingan. Kita adalah orang-orang segolongan. Ayahmu datuk selatan dan Ayahku datuk timur. Kebetulan sekali kalau begitu. Kita tidak bersaing, bahkan saling membantu untuk memperoleh Pek-lui-kiam. Kalau begitu kita bekerja sama, kukira akan lebih mudah menguasai Pek-lui-kiam!”

   “Ah, mana bisa di atur begitu? Pedang itu hanya sebatang, bukan dua atau lebih yang dapat di bagi-bagi!”

   “Tentu saja tidak di bagi, nona. Kalau kita dapat memperoleh pedang pusaka itu, aku akan mengalah dan memberikannya kepadamu. Pedang itu menjadi milikku atau milikmu, apa sih bedanya? Kita segolongan, dan aku tentu akan mengalah terhadapmu.”

   “Sesungguhnyakah? Kalau begitu, engkau akan membantu merampas pedang itu?”

   Gin Ciong mengangguk.

   “Boleh kau anggap begitu. Akan tetapi aku belum tahu harus mencari kemana.”

   “Aku tahu di mana adanya pedang itu!”

   Kata Cu Yin yang teringat kepada Si Kong, pemuda yang di cintainya namun tidak menanggapinya bahkan meninggalkannya. Wajah Gin Ciong berseri gembira,

   “Ah, itu baik sekali, nona. Kalau begitu mari kita melakukan perjalanan bersama untuk merampas pedang itu!”

   “Nanti dulu, Tio-kongcu (tuan muda Tio)…”

   “Aih, nona, setelah kita menjadi sahabat, jangan panggil aku kongcu lagi.”

   “Habis, harus menyebut bagaimana? Engkau sendiri menyebutku nona.”

   “Baiklah, mulai sekarang kita jangan menggunakan sebutan tuan muda dan nona lagi. Aku lebih tua darimu, maka akan kusebut engkau Yin-moi (adik Yin) dan engkau menyebut aku Ciong-ko (kakak Ciong), bagaimana pendapatmu? Setujukah engkau, Yin-moi?”

   “Baik, Ciong-ko. Dengan sebutan ini kita menjadi lebih akrab dan tidak merasa asing.

   “Yin-moi, dengan ilmu kepandaian kita berdua, kita akan sanggup menghadapi siapapun juga. Karena itu, kukira tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk di temani pelayan atau pengawal. Lebih baik kita menyuruh mereka pulang dan kita beli seekor kuda untukmu.”

   Cu Yin mengangguk.

   “Aku setuju,”

   Katanya dan iapun menggapai enam orang wanita yang menjadi pengawalnya dan meyuruh mereka membelikan seekor kuda untuknya. Enam orang wanita pengawal yang setia dan patuh itu lalu berlari pergi untuk melaksanakan perintah nona majikan mereka. Gin Ciong juga memanggil lima orang pembantunya dan menyuruh mereka pergi, pulang ke pulau Beruang dan melaporkan kepada Ayahnya bahwa dia bersama puteri Lam-tok hendak pergi merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tak lama kemudian, para pembantu Cu Yin sudah tiba kembali ke tempat itu dan mereka menuntun seekor kuda berbulu coklat yang cukup kuat dan bagus.

   “Sekarang kalian boleh pulang ke sungai Hung-kiang, laporkan pada Ayah bahwa aku baik-baik saja dan sedang pergi merampas pedang Pek-lui-kiam, dibantu oleh putera Tung Giam-ong. Enam orang wanita itu tidak berani membantah dan mereka segera pergi dari situ setelah memberi hormat kepada nona majikan mereka.

   “Mari kita berangkat!”

   Kata Cu Yin sambil meloncat ke atas punggung kudanya. Gin Ciong juga melompat ke atas kuda putihnya.

   “Kemana?”

   “Ketempat di mana Pek-lui-kiam berada.”

   “Di mana itu?”

   “Nanti engkau juga tahu. Marilah!”

   Cu Yin sudah membalapkan kudanya dan terpaksa Gin Ciong juga menyuruh kudanya lari kencang. Pemuda ini menggeleng kepala melihat kelakuan Cu Yin yang berandalan. Akan tetapi telah terjadi sesuatu dalam hatinya. Dia mencinta gadis itu! Alangkah cocoknya kalau kelak gadis itu menjadi isterinya! Dan siapa tahu pedang Pek-lui-kiam yang akan menjadi perantaranya. Kalau pedang pusaka itu jatuh ke tangannya, kemudian dia berikan kepada Cu Yin sebagai tanda cintanya, mustahil kalau gadis itu tidak membalas perasaan kasihnya, Juga Lam-tok tentu akan menyetujui karena dia sudah berjasa membantu sehingga pedang Pek-lui-kiam dapat terjatuh ke tangan datuk selatan itu.

   Kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja adalah sebuah kota yang cukup ramai. Kota ini terkenal sebagai gudang rempah-rempah dan hasil bumi karena daerahnya memiliki tanah yang subur. Karena itu, penduduk di Tung-ciu dan daerahnya dapat hidup makmur. Tanahnya subur karena di sana mengalir sungai yang tak pernah kering. Di antara deretan toko-toko, rumah makan dan rumah penginapan, terdapat sebuah toko rempah-rempah yang sedang saja besarnya. Pemilik toko ini adalah seorang pria berusia lima puluh satu tahun, dan isterinya yang berusia hampir lima puluh tahun. Semua penduduk Tung-ciu tidak tahu bahwa pemilik toko yang bernama Pek Han Siong ini sesungguhnya merupakan seseorang yang memiliki kesaktian. Dia ahli silat tingkat tinggi. Mukanya yang bulat dengan alis tebal dan mata agak sipit itu tidak menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi dunia kangouw mengenal namanya sebagai seorang pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan.

   Bersama Tang Hay yang menjadi sahabat akrabnya, dia pernah mengalahkan dan menewaskan banyak tokoh sesat, terutama para tokoh Pek-lian-kauw. Pria berwatak tenang, sabar, pendiam dan halus tutur katanya ini memiliki ilmu-ilmu silat tinggi yang dahsyat. Dia memiliki ilmu Pek-sim-pang sebanyak tiga belas jurus yang sukar di lawan, mahir pula menggunakan ilmu pedang Kwan Im Kiamsut dan ilmu-ilmu silat tinggi lainnya. Dan lebih dari pada itu, diapun ahli sihir yang kuat sekali. Isterinya bernama Siangkoan Bi Lian. Dalam hal ilmu silat, wanit aini juga mencapai tingkat tinggi, sedikit lebih rendah dari tingkat suaminya. Dalam usianya yang empat puluh sembilan tahu itu, Siangkoan Bi Lian masih nampak cantik. Didagunya terdapat sebuah tahi lalat yang membuat wajahnya yang manis itu nampak membayangkan kekerasan hati. Iapun ahli dalam ilmu silat Kwan Im Sin-kun dan Kim-ke Sin-kun.

   Suami isteri ini bagi para penduduk Tung-ciu merupakan suami isteri biasa karena memang Pek Han Siong dan isterinya tidak pernah memperlihatkan kemahiran mereka dalam ilmu silat. Mereka di anggap pedagang rempah-rempah biasa saja yang bersikap ramah terhadap para pelanggannya. Seperti kita ketahui, Pek Han Siong dan isterinya mempunyai seorang puteri bernama Pek Bwe Hwa. Gadis yang cantik seperti ibunya ini tentu saja di gembleng Ayah ibunya sejak kecil sehingga setelah kini berusia delapan belas tahun, ia telah menjadi ahli silat yang amat tangguh. Karena itu, kedua orang tuanya tidak keberatan melepas puteri mereka itu pergi untuk mencari pengalaman di dunia kangouw. Bahkan mereka berpesan agar puteri mereka itu ikut mencari Pek-lui-kiam yang kabarnya di perebutkan para tokoh kangouw.

   Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Pek Han Siong bersama isterinya telah bangun dari tidurnya. Mereka berdua seperti biasanya, berlatih silat di taman kecil belakang rumah mereka. Tidak ada orang lain yang melihat kalau mereka berlatih silat. Bahkan seorang pelayan wanita tua tidak mengerti kalau suami isteri itu bermain silat. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka berolah raga senam untuk menyehatkan tubuh. Suami isteri itu latihan bersama, memainkan ilmu Kwan Im Sin-kun. Gerakan mereka nampak hanya dua bayangan berkelebatan saling serang. Mendadak keduanya berhenti dan berlompatan kebelakang, lalu memandang kearah pagar tembok yang mengelilingi taman berikut rumah mereka. Mereka mendengar gerakan orang di pagar tembok itu dan biarpun mereka sedang latihan, pendengaran mereka demikian tajam sehingga mereka dapat menangkap suara gerakan orang di situ.

   “Siapa di sana? Masuklah!”

   Kata Pek Han Siong dengan suara tegas.

   Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan meloncati pagar tembok. Gerakan bayangan itu gesit sekali. Dengan sekali loncat saja dia sudah berada di depan suami isteri itu. Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian memandang tajam penuh selidik. Orang berusia kurang lebih lima puluh tahun, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berpakaian seperti pendeta agama To rambutnya di gelung ke atas dan di ikat pita putih. Pakaiannya berwarna kuning dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang. Wajah Tosu itu kurus seperti kurang makan, akan tetapi matanya yang cekung itu mengeluarkan sinar mencorong. Dari matanya itu saja suami isteri sudah dapat mengetahui bahwa mereka berhadapan dengan orang berilmu tinggi.

   “Siancai (damai)…! Kiranya Pek Han Siong dan puterinya Siangkoan Ci Kang bersembunyi di sini. Pantas di kota Tung-ciu ini tidak ada yang tahu bahwa kalian adalah ahli-ahli silat yang hebat!”

   Pek Han Siong mengangkat kedua tangan di depan dada. Bagaimanapun juga, orang ini adalah tamunya dan seorang pendeta pula maka sudah sepatutnya kalau dia menghormatinya.

   “Maaf, totiang. Totiang siapakah dan ada keperluan apakah dengan kami?”

   Akan tetapi Siangkoan Bi Lian tidak mau menghormatinya, bahkan bertanya dengan suara menegur,

   “Seorang pendeta semestinya mengenal kesopanan dan kehormatan. Akan tetapi engkau datang meloncati pagar dan mengatakan kami bersembunyi. Kami sama sekali tidak bersembunyi, dan juga tidak takut menghadapi siapapun juga termasuk engkau!”

   “Tenanglah dan biar totiang ini memberi penjelasan.”

   Kata suaminya menyabarkan hatinya. Akan tetapi Siangkoan Bi Lian masih cemberut dan memandang kepada Tosu itu dengan sinar mata mengandung kemarahan.

   “Aku tidak datang sendirian saja!”

   Kata Tosu itu dan iapun bertepuk tangan. Nampak bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri tiga orang lain yang juga melompati pagar tembok. Tiga orang ini juga berusia kurang lebih lima puluh tahun. Mereka berpakaian ringkas akan tetapi memakai jubah luar yang terlampau besar sehingga nampak kedodoran. Begitu berdiri di dekat Tosu pertama tadi, mereka membuka jubah luarnya dan nampaklah gambar lingkaran dan sebatang teratai putih di baju bagian dada mereka. Melihat ini, Siangkoan Bi Lian berseru,

   “Ah, jadi kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw? Pantas tidak mengenal aturan, datang bukan seperti tamu, melainkan seperti segerombolan perampok dan pencuri!”

   “Siancai! Puteri Siangkoan Ci Kang masih berhati keras dan galak!”

   Pek Han Siong melangkah maju.

   “Totiang, kalau kalian berempat datang dari Pek-lian-kauw, maka ada keperluan apakah kalian menemui kami?”

   “Pek Han Siong! Dua puluh tahun lebih kami menanti dengan sabar, bahkan mengasingkan diri untuk memperdalam ilmu silat. Semua itu kami lakukan untuk membuat perhitungan dengan engkau dan Siangkoan Ci Kang. Akan tetapi karena Siangkoan Ci Kang telah meninggal dunia, maka perhitungan ini di wakili oleh puterinya.”

   “Majulah kalian! Kami tidak takut!”

   Kata Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi suaminya memegang lengannya sebagai isyarat agar isterinya dapat menahan emosinya.

   “Perhitungan apakah yang kalian maksudkan? Harap jelaskan agar kami mengerti apa yang kalian maksudkan.”

   Kata Pek Han Siong dengan sikapnya yang tenang. Melihat ketenangan Pek Han Siong, empat orang Tosu itu kelihatan jerih juga. Tosu yang pertama muncul itu agaknya menjadi pemimpin dari rombongan itu dan dia sengaja melantangkan suaranya untuk mengatasi rasa jerihnya terhadap pendekar yang sikapnya luar biasa tenangnya itu.

   ek Han Siong termenung, mengenang peristiwa yang terjadi dua puluh enam tahun yang lalu. Ketika itu dia dan Bi Lian yang kini menjadi isterinya, bekerja sama dengan Tang Hay dan para pendekar Cin-ling-pai, menentang Pek-lian-kauw. Mereka mendapat kemenangan dan menewaskan banyak tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi.

   Diantara musuh itu terdapat Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu. Akan tetapi, Ban Tok Siansu memang benar tewas di tangan Siangkoan Ci Kang. Hanya saja, Hek Tok Siansubukan tewas di tangannya melainkan tewas oleh Tang Hay. Akan tetapi dia tidak menyangkal. Bagaimanapun juga, Tang Hay bekerja sama dengan dia, berarti kedua orang Siansu yang tewas itupun musuhnya. Dia berani bertanggung jawab atas perbuatan Tang Hay yang menjadi sahabat baiknya. Dia masih ingat benar bahwa Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu adalah dua orang pendeta yang sesat dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Ilmu kepandaian mereka tinggi. Kalau empat orang ini murid-murid mereka yang selama dua puluh enam tahun memperdalam ilmu meraka, dapat di bayangakan betapa lihainya mereka, Siangkoan Bi Lian kembali berkata,

   “Bagus! Kiranya kalian murid-murid orang pendeta sesat itu? Jangan kalian mati tanpa nama, siapa nama kalian!”

   Tosu pertama berkata sambil tersenyum mengejek.

   “Aku bernama Kui Hwa Cu dan tiga orang adik seperguruanku ini bernama Lian Hwa cu, Thian Hwa cu, dan Tiat Hwa Cu.”

   “Kui Hwa Cu, bagaimana caranya kalian hendak membalas dendam dan membuat perhitungan? Apakah kalian berempat hendak main keroyokan atau satu lawan satu?”

   Bi Lian bertanya dengan nada suara menantang. Sama sekali ia tidak merasa takut karena selama ini ia dan suaminya hampir setiap hari berlatih dan ketika puteri mereka belum pergi merantau, mereka berdua melatih puteri mereka. Dengan demikian, di bandingkan dua puluh enam tahun yang lalu, mereka memperoleh kemajuan.

   “Ha-ha-ha! Kedatangan kami ini bukan untuk mengadu ilmu, melainkan untuk membalas dendam dan membunuh kalian berdua. Karena itu, kami tentu saja akan maju bersama!”

   “Bagus! Selamanya Pek-lian-kauw adalah perkumpulan penjahat berkedok perjuangan yang pengecut. Baik, kalau kalian hendak megandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok kami, majulah!”

   Bentak nyonya yang berhati baja itu. Empat orang Tosu itu lalu membuat gerakan dengan tangan mereka. Mula-mula mereka menggerakkan kedua tangan di udara seperti orang menuliskan huruf-huruf, kemudian Kui Hwa Cu mengambil dua potong kertas yang sudah bertuliskan huruf dan dia berkata dengan suara berwibawa mengandung getaran kuat sedangkan tiga orang temannya berpangku tangan dengan mata di tujukan kepada Pek Han Siong dan isterinya.

   “Pek Han Siong dan isteri, saat kematian kalian sudah di depan mata! Dua ekor naga ini akan membunuh kalian!”

   Kui Hwa cu melemparkan dua potong kertas itu ke udara dan Siangkoan Bi Lian terbelalak karena ia melihat betapa di udara tiba-tiba muncul dua ekor naga yang menyeramkan, dengan mata mencorong dan lidah-lidah api terjulur keluar dari mulut dan hidung mereka. Tahulah ia bahwa lawan menggunakan sihir yang amat kuat, maka ia pun mengeluarkan sinkang untuk melawan pengaruh sihir itu. Pek Han Siong pernah di ambil murid oleh Ban Hok Lo-jin, seorang diantara delapan dewa dan dia di latih ilmu sihir yang amat kuat. Maka, melihat permainan Kui Hwa Cu dia tertawa dan terdengar suaranya yang penuh wibawa.

   “Ha-ha-ha, Kui Hwa Cu berempat! Kalian yang membuat naga ini, maka kalian pula yang akan di terkamnya!”

   Han Siong menggerakkan tangannya menunjuk kearah empat orang Tosu itu dan mereka terbelalak ketika melihat betapa dua ekor naga ciptaan ilmu sihir mereka itu kini membalik dan menyerang mereka berempat! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali dan cepat mereka menyimpan sihir mereka, menarik kekuatan sihir itu dan dua ekor naga itu kini melayang turun menjadi dua potong kertas! Kembali Kwi Hwa Cu membentak,

   “Pek Han Siong, kalian menghadapi kami delapan orang! Bersiaplah kalian berdua untuk mampus!”

   “Kui Hwa Cu, kalau kalian maju dengan delapan orang, kami akan maju sepuluh orang!”

   Yang terheran-heran adalah Siangkoan Bi Lian. Mula-mula ia melihat betapa empat orang Tosu itu menjadi delapan, setiap orang menjadi dua, akan tetapi setelah suaminya bicara, ia melihat dirinya sendiri menjadi lima orang demikian pula diri suaminya menjadi lima orang!

   Ia tahu bahwa semua ini hasil kekuatan sihir, akan tetapi ia tetap menjadi bingung. Ia tahu bahwa suaminya beradu kekuatan sihir melawan empat orang Tosu itu, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali mengerahkan tenaga sakti untuk menolak pengaruh sihir itu. Melihat hasil serangan mereka yang dapat di ungguli oleh Pek Han Siong, tahulah ke empat orang Tosu itu bahwa mereka tidak akan mendapat keuntungan kalau mengadu kekuatan sihir. Tangan mereka turun kembali dan semua kekuatan sihir mereka di tarik. Han Siong juga menghentikan pengerahan sihirnya karena kekuatan sihir itu kalau di keluarkan terlalu lama, akan menghabiskan tenag saktinya. Kui Hwa Cu dan tiga orang temannya lalu meraih ke punggung dan mereka telah memegang sebatang pedang.

Siangkoan Bi Lian dan Pek Han Siong juga mengambil pedang dari rak senjata yang memang di persiapkan di tempat itu kalau mereka sedang latihan silat. Kui Hwa Cu dan rekan-rekannya sudah tahu bahwa ilmu kepandaian Pek Han Siong lebih tinggi dari isterinya, dan memang sebelum masuk ke situ mereka sudah merencanakan siapa yang menghadapi Siangkoan Bi Lian. Maka kini Kwi Hwa Cu dan Lian Hwa Cu, sesuai rencana, menghadapi dan mengeroyok Pek Han Siong, sedangkan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu mengeroyok Siangkoan Bi Lian. Terjadilah perkelahian yang seru di dalam taman itu. Baik Pek Han Siong maupun Siangkoan Bi Lian mengguanakan pedang mereka untuk memainkan ilmu pedang Kwan Im Kiamsut yang amat hebat, halus dan lemah gemulai gerakannya, akan tetapi di balik kehalusan itu terkandung tenaga yang dahsyat sekali.

   Setelah bertanding belasan jurus, Pek Han Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu silat kedua orang pengeroyoknya amat tangguh. Ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang golongan sesat dari barat, dan banyak pula tokoh Pek-lian-kauw menguasai ilmu pedang itu yang sebetulnya lebih tepat kalau di mainkan dengan pedang melengkung. Dia sendiri tidak merasa berat melawan dua orang pengeroyoknya. Akan tetapi ketika dia mengerling ke arah isterinya dia melihat betapa isterinya terdesak oleh pengeroyokan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu. Akan tetapi selagi Bi Lian terdesak dan Han Siong mencari kesempatan untuk membantu isterinya, tiba-tiba nampak bayangan orang dan muncullah seorang gadis yang cantik jelita. Gadis ini memegang sepasang pedang yang berkilauan dan membentak,

   “Tosu-tosu palsu dari mana berani di rumah paman Pek Han Siong?”

   Karena ia melihat bahwa Siangkoan Bi Lian terdesak hebat, iapun terjun ke dalam pertempuran dan membantu Bi Lian sehingga kini dua orang pengeroyok Bi Lian terpaksa berpisah. Thian Hwa Cu tetap bertanding melawan Bi Lian sedangkan Tiat Hwa Cu menghadapi gadis yang baru datang. Kini Han Siong bernapas lega. Kalau hanya menghadapi seorang tosu, dia tidak mengkhawatirkan keadaan isterinya. Dan diapun merasa girang sekali ketika mengenal siapa gadis yang memainkan sepasang pedang itu. Gadis itu bukan lain adalah Tang Hui Lan! Siangkoan Bi Lian juga mengenal gadis itu dan ia berseru,

   “Hui Lan”!”

   “Bibi, mari kita hajar para pendeta palsu ini!”

   Kata Hui Lan sambil tersenyum dan bangkitlah semangat Siangkoan Bi Lian. Sikap gadis itu mengingatkan ia akan Cia Kui Hong, ibu dari gadis itu yang waktu mudanya bersama ia menentang Pek-lian-kauw. Lincah, berani, dan galak! Empat orang Tosu yang menamakan diri sendiri See-thian-Su-hiap (empat pendekar dunia barat) itu merasa terkejut sekali. Menurut perhitungan mereka, mereka berempat pasti akan dapat membunuh Pek Han Siong dan isterinya. Siapa kira, biarpun di keroyok dua, Pek Han Siong sama sekali tidak terdesak, dan tiba-tiba muncul gadis lihai itu yang membantu Siangkoan Bi Lian yang sudah terdesak. Dengan munculnya gadis itu terpaksa Thian Hwa cu maju sendirian menghadapi Siangkoan Bi Lian, dan Tiat Hwa Cu juga sendirian saja menghadapi gadis yang luar biasa lihainya itu!

   Tingkat kepandaian Tang Hui Lan memang sudah tinggi sekali, bahkan di bandingkan dengan Siangkoan Bi Lian, tingkatnya lebih tinggi. Payah Tiat Hwa Cu menandinginya dan setelah lewat dua puluh jurus, Tiat Hwa Cu hanya mampu melindungi dirinya dengan memutar pedang sambil terus mundur. Sepasang pedang di tangan gadis itu seolah telah berubah menjadi puluhan batang banyaknya! Dan ketika dia terdesak dan tersudut, sebuah tendangan kaki Hui Lan membuat dia terjengkang roboh! Hui lan hanya berdiri tidak mengejar karena ia belum tahu siapa mereka dan mengapa mereka memusuhi keluarga Pek Han Siong. Apa lagi melihat betapa Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian juga mulai mendesak musuh-musuhnya,

   Hui Lan berdiri saja tidak membantu karena ia tahu bahwa mereka berdua tidak membutuhkan bantuannya. Kedua orang tuanya sudah memesan agar ia tidak sembarangan saja membunuh orang. Itulah sebabnya ia diam saja melihat Tiat Hwa Cu yang sudah ditendang roboh itu merangkak bangkit dan menggunakan tangan kirinya menutupi dada kanannya yang terasa nyeri bukan main oleh tendangan kaki mungil Hui Lan! Dia pun tidak berani maju lagi dan hanya menonton keadaan saudara-saudaranya yang mulai terdesak. Mendadak terdengar Siangkoan Bi Lian membentak nyaring dan pedangnya berhasil melukai pundak kiri lawannya. Thian Hwa Cu terhuyung dan darah mengalir dari luka di pundaknya. Dia terhuyung ke belakang. Siangkoan Bi Lian hendak mengejar untuk membunuhnya, akan tetapi terdengar seruan suaminya,

   “Jangan bunuh dia!”

   Mendengar seruan suaminya ini, Siangkoan Bi Lian tidak jadi mengejar dan ia melompat ke dekat Hui Lan. Mereka berdua kini melihat perkelahian antara Pek han Siong yang di keroyok dua. Pek Han Siong merasa lega bahwa Hui Lan dan Bi Lian sudah berhasil mengalahkan dua orang musuh. Kini dia dapat mencurahkan semua perhatiannya kepada dua orang lawannya.

   “Kena…!”

   Dia membentak dan tiba-tiba pedangnya membuat gerakan memutar dan pedang di tangan kedua orang lawannya itu terpental dan terlepas dari pegangan. Secepat kilat Han Siong menyapu dengan kakinya dan Lian Hwa Cu roboh terpelanting. Han Siong menginjakkan kaki kirinya di atas dada Lian Hwa Cu dan pedangnya menodong dada Kui Hwa Cu yang sudah tidak berpedang lagi. Injakan kaki kirinya membuat Lian Hwa Cu merasa seolah dia ditindih benda yang berat sekali, membuat dia tidak mampu berkutik dan Kui Hwa Cu juga merasakan ujung pedang itu menembus pakaiannya dan menyentuh kulit dadanya. Sedikit gerakan saja dari tangan yang menodongnya itu dan tamatlah riwayatnya. Maka diapun tidak berani bergerak, hanya memandang dengan muka pucat.

   “Hemm, sebetulnya sudah lebih dari pantas kalau kami membunuh kalian berempat. Akan tetapi kami bukan orang-orang kejam dan jahat yang suka membunuh lawan yang sudah kalah dan tidak berdaya. Kalau kalian masih merasa penasaran, pergi dan belajarlah dua puluh tahun lagi, baru kalian mencari kami. Lihatlah, siapa gadis itu? Ia adalah puteri Tang Hay yang dulu membunuh Hek Tok Siansu!”

   “Kami akan membalas kekalahan ini!”

   Kata Kui Hwa Cu dengan marah dan meras terhina.

   “Bagus kalau kalian masih memiliki semangat. Nah, cepat kalian pergi dari sini!”

   Dia melepaskan kakinya dari dada Lian Hwa cu dan menarik pedangnya yang menodong dada Kui Hwa Cu. Empat orang Tosu itu tidak mau membuang waktu lagi. Mereka telah beruntung tidak di bunuh oleh musuh-musuh mereka. Mereka melompati pagar tembok dan lenyap. Pek Han Siong menarik napas panjang, lalu menoleh dan memandang ke arah Hui Lan.

   “Bagus Sekali, Hui Lan. Kedatanganmu seperti malaikat penolong!”

   “Kalau Hui Lan tidak segera datang membantu, aku bisa celaka di tangan dua orang kerbau itu!”

   Kata pula Siangkoan Bi Lian sambil merangkul gadis cantik itu.

   “Aih, paman dan bibi terlalu memuji. Tanpa adanya aku sekalipun, aku yakin paman Pek Han Siong akan dapat mengusir mereka. Akan tetapi, aku merasa heran sekali mengapa enci Bwe Hwa tidak muncul membantu paman dan bibi?”

   “Bwe Hwa sedang pergi, marilah kita masuk ke dalam rumah agar lebih leluasa kita bercakap-cakap.”

   Siangkoan Bi Lian menggandeng tangan Hui Lan dan mereka bertiga masuk kedalam rumah. Para pembantu penjaga toko rempah-rempah telah berdatangan dan toko itu mulai di buka. Akan tetapi Pek Han Siong dan isterinya tidak keluar karena asik bercakap-cakap dengan Hui Lan.

   “Bagaimana kabar tentang Ayah dan ibumu? Dan bagaimana tentang Cin-ling-pai?”

   Tanya Pek Han Siong.

   “Kami semua baik-baik saja, paman. Ayah dan ibu memang berpesan agar dalam perantauanku memperluas pengalaman, aku singgah di sini untuk menyampaikan salam mereka kepada paman dan bibi.”

   “Kami girang sekali engkau datang Hui Lan. Hanya sayangnya Bwe Hwa juga sedang merantau seperti engkau. Kalau ia berada di sini, tentu ia merantau bersamamu dan itu akan lebih menggembirakan lagi.”

   “Paman, siapakah empat orang Tosu tadi? Mengapa mereka memusuhi paman dan bibi?”

   “Kami juga baru tadi mengenal mereka. Pagi tadi tiba-tiba saja mereka muncul dan menantang kami. Mereka hendak membalaskan kematian guru-guru mereka, yaitu mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu. Ban-tok Siansu tewas di tangan Ayah mertuaku Siangkoang Ci Kang dan Hek-tok Siansu tewas di tangan Ayahmu. Akan tetapi kami berdua juga musuh-musuh karena dahulu kami bekerja sama dengan Ayahmu menentang Pek-lian-kauw.”

   “Jadi mereka tadi adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw?”

   Tanya Hui Lan.

   “Benar dan mereka itu murid-murid mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu.”

   Jawab Siangkoan Bi Lian.

   “Nama mereka Kui Hwa Cu, Lian Hwa cu, Thian Hwa Cu, dan Tiat Hwa Cu dan menggunakan julukan See-thian Suhiap!”

   Sambung Pek Han Siong.

   “Engkau berhati-hatilah kalau bertemu mereka, Hui Lan. Mereka adalah orang-orang licik yang tidak malu maju bersama untuk mengeroyok musuh.”

   “Aku akan berhati-hati, paman.”

   “Hui Lan, bagaimana engaku tadi dapat mengetahui bahwa kami sedang berkelahi dan datang membantu?”

   “Aku datang berkunjung pagi-pagi, bibi. Akan tetapi pintu depan masih di tutup dan tidak nampak seorangpun di luar. Aku lalu masuk ke pekarangan dan dari situ aku mendengar beradunya senjata dari taman di belakang rumah ini. Karena tertarik, aku lalu melompat ke pagar tembok dan melihat paman dan bibi di keroyok, maka aku segera melompat masuk dan membantu bibi.”

   Pek Han Siong menghela napas panjang.

   “Sungguh menyebalkan sekali. Kami tinggal bertahun-tahun di sini tanpa ada yang tahu bahwa kami adalah keluarga yang dapat bermain silat. Ternyata hari ini kami di datangi musuh-musuh yang hendak membalas dendam.”

   “Kenapa harus menyesal? Kita dahulu selalu membasmi golongan sesat di dunia kangouw, dan kita melakukan hal itu dengan penuh pertanggungan jawab. Kalau golongan sesat mendendam kepada kita, kita tidak perlu menyesal, melainkan menghadapi mereka dengan gagah.”

   “Engkau benar, akan tetapi betapa indahnya kehidupan kita selama ini. Jauh dari kekerasan, jauh dari perkelahian dan permusuhan.”

   “Karena kita sudah mulai tua memang sebaiknya kalau kita mengundurkan dan hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Akan tetapi orang-orang muda harus melanjutkan sikap kami membasmi golongan sesat, karena kalau tidak di imbangi oleh para pendekar, tentu golongan sesat akan semakin merajalela dan menyusahkan rakyat jelata. Itulah pula yang menyebabkan kita memberi kesempatan kepada Bwe Hwa untuk merantau dan bertindak sebagai pendekar, menegakkan kebenaran dan keadilan, menumpas yang melakukan penindasan mengandalkan kekuatan mereka dan membela yang tertindas dan lemah.”

   Ucapan Siangkoan Bi Lian ini penuh semangat, matanya mencorong dan cuping hidungnya kembang kempis. Hui Lan memandang kagum dan teringat kepada ibunya. Ada persamaan antara Siangkoan Bi Lian dan ibunya, sama-sama keras hati dan pemberani!

   “Paman dan bibi, kedatanganku ini selain menjenguk karena merasa rindu, juga aku membawa sebuah berita yang tidak menyenangkan. Ketahuilah bahwa dua bulan yang lalu kakek buyut Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah telah meninggal dunia.”

   Pek Han Siong bangkit dari tempat duduknya dengan kaget.

   “Meninggal? Kakek Ceng Thian Sin yang sakti itu dapat meninggal dunia?”

   Isterinya mencela.

   “Aih, engkau ini bagaimana sih? Setiap orang manusia betapa pandai dan saktinya, tetap saja akan mati satu demi satu. Apakah anehnya kalau kakek Ceng Thian Sin meninggal dunia? Usianya tentu sudah ada seratus tahun.”

   “Bibi benar, kakek buyut meninggal dunia dalam usia seratus tahun lebih. Hanya ada satu hal yang mengganggu hatiku mengenai kematian kakek buyut.”

   Pek Han Siong sudah duduk kembali dan memandang gadis itu dengan alis berkerut,

   “Apa yang mengganggu hatimu Hui Lan?”

   “Kakek buyut meninggal dunia setelah dia bertanding, di keroyok tujuh orang lawan. Beliau berhasil mengusir tujuh orang lawan itu, akan tetapi agaknya beliau terlalu mengeluarkan tenaga sehingga tubuhnya yang sudah tua sekali itu tidak kuat menahan, dan beliau tewas karenanya.”

   Pek Han Siong mengangguk-angguk.

   “Tidak aneh kalau kakek Ceng di cari dan di musuhi orang dalam usia setua itu, karena di waktu mudanya dia membasmi banyak sekali tokoh kangouw yang jahat. Siapakah tujuh orang itu, Hui Lan?”

   “Mreka itu adalah datuk sesat yang berjuluk Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian.”

   Jawab Hui Lan sambil menggenggam jari-jari tangannya, mengepal kedua tinjunya. Melihat ini, Siangkoan Bi Lian bertanya,

   “Jadi engkau merantau ini adalah untuk mencari tujuh orang itu dan membalas kematian kakek buyutmu?”

   “Tidak, bibi. Akan tetapi dalam perantauanku, kalau aku sampai bertemu dengan mereka, tentu mereka itu akan kuserang.”

   “Hemm, Hui Lan, apakah engkau hendak membalaskan dendam kematian kakek Ceng Thian Sin?”

   Tanya Pek Han Siong sambil memandang tajam wajah gadis itu. Hui Lan menggeleng kepalanya.

   “Tidak, paman. Aku telah di nasehati Ayah dan ibu agar jangan menyambung rantai balas membalas dan dendam mendendam ini. Akan tetapi kalau aku bertemu mereka dan mereka melakukan kejahatan, tentu akan kutentang mereka!”

   Pek Han Siong mengangguk.

   “Ayah ibumu bijaksana, Hui Lan. Dendam itu menimbulkan kebencian dan kemarahan, membuat orang ingin sekali membalas. Tujuh orang datuk itu mendatangi kakek Ceng dipulau Teratai merah juga untuk membalas dendam. Memang tidak benar kalau kita mngikat diri dengan dendam, akan tetapi kalau engkau menentang seseorang karena dia melakukan kejahatan, bukan karena engkau mendendam, tentu saja tindakanmu itu benar.”

   “Akan tetapi betapapun juga, engkau harus berhati-hati sekali kalau bertemu mereka, Hui lan.”

   Kata Siangkoan Bi Lian.

   “Nama tujuh orang itu sebagai datuk sesat sudah amat terkenal, apalagi Toa Ok dan Ji Ok itu. Sudah lama aku mendengar namanya dan mereka adalah datuk besar yang mewakili daerah barat.”

   “Terima kasih, bibi. Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono dan lancang. Akupun cukup mengerti bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan licik sehingga mereka tidak akan malu mengeroyok lawan seperti yang mereka lakukan terhadap kakek buyut.”

   Suami isteri itu bertanya banyak sekali tentang orang tua Hui Lan. Gadis inipun menceritakan semua yang di ketahuinya karena ia maklum betapa eratnya hubungan antara Ayahnya dan Pek Han Siong. Dalam percakapan mereka, Hui Lan menyinggung tentang pedang Pek-lui-kiam.

   “Ah, engkau mengetahui juga tentang pedang yang menghebohkan seluruh dunia kangouw itu? Kalau aku masih muda seperti dulu, tentu aku tidak mau ketinggalan memperebutkannya!”

   Kata Siangkoan Bi Lian.

   “Hui lan, apakah engkau juga ingin mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam?”

   Tanya Pek Han Siong.

   “Memang aku tertarik sekali, paman. Kabarnya pedang pusaka itu tadinya berada di tangan seorang pendekar besar bernama Tan Tiong Bu, akan tetapi pendekar ini terbunuh dan pedang pusaka itu lenyap. Menurut kabar angin, pembunuh itu tentu telah mencuri pedang Pek-lui-kiam.”

   “Tahukah engkau siapa pembunuh dan pencuri pedang itu?”

   “Menurut kabar yang kuperoleh dalam perjalananku, pembunuh itu adalah seorang kakek berjubah merah. Kalau tidak salah, pembunuh itu adalah Ang I Sianjin, ketua Kwi-jiauw-pang yang bersarang di Kwi-liong-san.”

   “Hui Lan, mungkin Bwe Hwa juga mencari pedang itu. Akan tetapi pedang itu asalnya bukan milik kita, maka sungguh tidak benar kalau kita mencoba untuk merampasnya. Kalau kita berhasil, berarti kita memiliki barang yang bukan milik kita, melainkan milik Tan Tiong Bu itu.”

   “Paman benar. Aku hendak ke Kwi-liong-san hanya untuk menyelidiki. Kalau benar pedang pusaka itu menjadi milik orang jahat, hal itu harus dicegah. Kabarnya pedang pusaka itu merupakan pusaka yang ampuh, kalau terjatuh ke tangan penjahat, tentu dia menjadi seperti harimau tumbuh sayap, kejahatannya makin menjadi-jadi. Sebaliknya kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan seorang pendekar yang menggunakannya untuk membasmi para penjahat, akupun tidak akan mengganggunya.”

   “Engkau benar, Hui Lan. Kalau engkau hendak menyelidiki ke Kwi-liong-san, aku hanya berpesan padamu. Apabila engkau bertemu dengan Bwe Hwa, ajaklah ia bekerja sama seperti Ayahmu bekerja sama dengan aku dahulu. Dengan bersatu, kalian berdua menjadi lebih kuat, daripada kalau bekerja sendiri-sendiri.”

   “Baik paman, akan aku perhatikan pesan paman itu.”

   Hui Lan tinggal selama tiga hari di rumah Pek Han Siong. Pada pagi hari ke empat, ia berpamit dan meninggalkan kota Tung-ciu, menuju ke selatan untuk berkunjung ke Kwi-liong-san (Gunung Naga Iblis).

   Si Kong melakukan perjalanan seenaknya. Dia tidak tergesa-gesa pergi ke Kwi-liong-san karena dia memang sedang berkelana, menikmati semua keindahan alam yang terbentang di depannya. Pada suatu siang, tibalah dia di sebuah dusun. Dia melihat betapa penduduk dusun berada dalam keadaan sibuk sekali. Orang-orang berkeliaran ke sana-sini berunding berkelompok-kelompok. Ketika mereka melihat dia memasuki dusun, banyak orang membayanginya dengan pandang mata penuh kecurigaan. Yang amat aneh baginya, dia tidak melihat seorangpun wanita muda. Yang ada hanya wanita-wanita tua dan anak-anak. Selebihnya, semua penduduk itu laki-laki! Wajah mereka jelas sekali nampak resah dan khawatir.

   Si Kong melihat sebuah kedai minuman di sudut dusun, dan di situpun banyak pria sedang berkumpul dan bicara ramai. Akan tetapi ketika dia memasuki kedai minuman itu, percakapan mereka berhenti tiba-tiba dan seorang demi seorang meninggalkan kedai itu. Si Kong mendapatkan dirinya seorang diri saja di kedai itu, bersama seorang kakek penjaga kedai yang nampak ketakutan dan sering kali mencuri pandang ke arahnya. Si Kong menjadi tidak sabar lagi.

   “Paman, aku minta secangkir teh dan bak-pau,”

   Katanya kepada penjaga kedai. Kakek itu tergopoh-gopoh menyediakan pesanannya dan membawa kepada Si Kong setelah menaruh makanan dan minuman di atas meja, kakek itu tergesa-gesa hendak pergi lagi.

   “Nanti dulu, paman. Aku ingin bertanya kepadamu.”

   “Bertanya apa, kongcu. Aku tidak tahu apa-apa.”

   Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat dan kedua tangannya diangkat seolah takut kalau dipukul. Tentu saja Si Kong menjadi lebih heran lagi.

   “Paman, aku tidak apa-apa, jangan takut. Duduklah, paman, duduklah dengan tenang, jangan takut kepadaku. Bahkan kalau ada bahaya mengancam dirimu, aku yang akan menghadapinya dan menolongmu!”

   “Tidak…, tidak…! jangan tanyakan apa-apa kepadaku aku tidak tahu, tidak mengerti”

   Ah, kasihanilah diriku yang sudah tua””

   Si Kong mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa kakek ini takut akan sesuatu, seperti semua orang dusun itu berada dalam keadaan panik dan ketakutan. Akan amat sukarlah membujuk kakek yang sudah ketakutan seperti itu. Jalan satu-satunya hanyalah membuat kakek itu takut kepadanya agar mau mengatakan apa yang terjadi di dusun ini. Si Kong melepaskan capingnya yang lebar dan meletakannya di atas meja. Kemudian, dengan tiba-tiba saja dia menyambar lengan kakek itu dan membuat mukanya nampak bengis, matanya melotot.

   “Engkau ingin hidup atau ingin kugantung sampai mati! Hayo jawab atau aku akan menghancurkan semua tulangmu dan mengupas semua kulitmu!”

   Wajah itu menjadi semakin pucat dan tubuhnya menggigil. Kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Si Kong. Suaranya hampit tidak terdengar, karena dia bicara dengan tubuh menggigil dan lidah terasa kelu.

   “Ampunkan saya kongcu, apun””

   “Hemm, aku mau mengampunimu kalau engkau mau menjawab pertanyaanku. Nah, katakan apa yang telah terjadi di dusun ini maka semua orang kelihatan ketakutan dan aku tidak melihat seorangpun wanita muda di sini. Apa yang telah terjadi? Jawab dengan sejelasnya!”

   Kata Si Kong dengan girang karena gertakannya berhasil.

   “Ada… ada malapetaka melanda dusun kami””

   “Hayo jawab yang jelas. Malapetaka apakah itu?”

   “Aku”

   Takut menjawabnya, kongcu.”

   “Takut apa?”

   “Kalau saya banyak bicara, tentu saya akan dibunuh””

   “Dan kalau engkau tidak mau menjawab, engkau bukan saja akan kubunuh, bahkan kusiksa lebih dulu. Sebaliknya kalau engkau suka menerangkan kepadaku, aku akan melindungimu dari bahaya apapun!”

   Mendengar ucapan Si Kong itu, kakek penjaga kedai itu kelihatan agak lega.

   “Kongcu, bukan hanya di dusun ini saja malapetaka itu menimpa, akan tetapi di semua dusun sekitar bukit Monyet di sana itu juga. Iblis penjaga bukit Kera itu minta agar wanita-wanita muda , terutama yang cantik, dikorbankan kepadanya. Wanita itu harus dilempar ke dalam sumur tua. Entah sudah berapa banyak wanita menjadi korban dilempar ke dalam sumur tua…”

   “Mengapa kalian suka melakukan itu?”

   “Kami dipaksa, kongcu. Ada di dusun selatan yang tidak menurut dan akibatnya, pada malam harinya, kepala dusun dan tujuh orang lain dibunuh tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya, dan dalam semalam saja, tiga orang gadis telah lenyap tanpa ada yang tahu kemana perginya.”

   “Hemm… aneh sekali ada iblis minta korban wanita muda yang cantik. Jadi karena itu, semua wanita muda mengungsi keluar dari dusun ini dan semua orang nampak ketakutan?”

   “Benar, kongcu. Kami khawatir kalau-kalau iblis itu di malam hari akan datang dan membunuh kami. Akan tetapi tadi pagi ada kejadian aneh. Ketika malam tadi kami semua mendengar suara iblis itu yang suaranya bergema minta agar hari ini disediakan korban seorang gadis, kami sudah kebingungan. Semua gadis telah pergi, yang ada hanya kanak-kanak dan nenek-nenek. Lalu pagi tadi datang seorang gadis cantik dan gadis itu menawarkan dirinya untuk menjadi korban dan dilempar ke dalam sumur tua.”

   “Ah, siapakah gadis itu?”

   “Tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Akan tetapi ia membawa pedang, agaknya ia seorang pendekar wanita yang sengaja hendak menantang iblis penjaga gunung Kera itu, kongcu.”

   “Hemm, dan ia sudah dilempar ke dalam sumur tua?”

   “Sudah dan bukan dilempar, melainkan ia meloncat kedalam sumur tua dan lenyap. Karena itu kami ketakutan, takut kalau-kalau iblis itu akan mengamuk karena ada gadis dari dusun kami yang hendak menentangnya. Ahh, kami telah memberi peringatan kepada gadis itu, akan tetapi ia memaksa dan kami tidak dapat menghalanginya.”

   Si Kong mengerutkan alisnya. Dia dapat menduga bahwa yang berani berbuat demikian tentulah seorang pendekar wanita. Dia merasa kagum akan tetapi juga khawatir. Dia tidak percaya bahwa ada iblis penjaga bukit yang menuntut agar dikorbankan gadis-gadis cantik. Ini tentu ulah orang-orang jahat. Mungkin penjahat itu lihai sekali sehingga tidak ada orang di dusun itu yang pernah melihatnya walaupun iblis itu membunuhi banyak orang di waktu malam. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan mengalami celaka di dalam sumur tua.

   “Paman, hayo antar aku ke sumur tua itu!”

   Kata Si Kong. Wajah kakek itu menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil seolah dirinya diserang demam parah.

   “Saya… saya… tidak berani, kongcu.”

   “Hayolah, ada aku jangan takut. Atau aku menggunakan kekerasan seperti ini?”

   Si Kong mengambil sebuah cangkir dan meremasnya dengan tangan kiri. Cangkir itu hancur berkeping-keping dan kakek itu semakin takut.

   “Nah, mau antar aku ke sumur tua itu atau kau memilih kuhancurkan tulang-tulangmu?”

   Si Kong menggertak.

   “Baik… baik, kongcu”

   Saya akan menutup dulu kedai ini””

Kakek itu ketakutan dan bergegas menutup kedainya. Kemudian bersama Si Kong dia meninggalkan dusun. Beberapa orang laki-laki yang melihat pemilik kedai berjalan bersama seorang pemuda asing, menjadi tertarik.

   “Paman Kiu, hendak kemana engkau?”

   Beberapa orang bertanya. Kakek itu sengaja menjawab dengan suara keras agar terdengar banyak orang. Dia ingin mencari teman dalam keadaan terancam dan terpaksa itu.

   “Aku”

   Mengantar kongcu ini ke sumur tua!!”

   Semua orang terkejut dan menyingkir, akan tetapi ada tujuh orang pemuda yang mengikuti dari belakang. Si Kong membiarkan saja mereka mengikuti, dan kakek itu kelihatan lega karena kini dia mempunyai teman yang mengantar pemuda itu ke sumur tua yang mereka takuti. Mereka kini mendaki lereng bukti Kera menuju ke puncak. Matahari telah naik tinggi, sinarnya panas membakar sehingga kakek itu bersimbah peluh dan kadang di usapnya muka dan lehernya dengan ujung lengan bajunya.

   “Masih jauhkah, paman?”

   Si Kong bertanya.

   “Sudah dekat. Itu puncaknya sudah nampak dari sini. Sumur tua itu berada di puncak bukit ini.”

   Mereka melewati sebuah hutan kecil dan melihat banyak sekali kera di hutan itu. Mengertilah Si Kong mengapa bukit itu di sebut Bukit Kera, kiranya memang banyak kera hidup di bukit ini. Tak lama kemudian tibalah mereka di puncak. Dengan tubuh gemetar kakek itu mengajak Si Kong menghampiri sebuah sumur tua. Tujuh orang pemuda berhenti di tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati tegang dan kaki siap untuk melarikan diri!

   “Inilah sumurnya, kongcu…”

   Si Kong melihat betapa sinar matahari yang berada di atas menyinari sumur. Dia menghampiri dan nenjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi kelihatannya gelap menghitam. Sinar matahari hanya sampai bagian luar dan atas sumur itu saja. Sumur itu lebar, ada dua meter lebarnya, makin ke bawah makin mengecil.


JILID 13


     “Nona berpedang itu melompat ke dalam sumur ini?”


   Tanya Si Kong kepada kakek itu. Kakek itu hanya mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara, agaknya dengan was-was dia menunggu munculnya, munculnya iblis itu dari dalam sumur. Kedua kakinya yang gemetar juga sudah siap melarikan diri. Si Kong menoleh dan melihat tujuh orang pemuda dusun masih berdiri di sana.

   “Heiii, kalian sobat-sobat! Aku ingin menyelidiki ke dalan sumur. Maukah kalian membawakan segulung tali yang kuat? Kalau ada makin panjang semakin baik!”

   Tujuh orang itu saling pandang, lalu mereka mengangguk dan larilah mereka dari puncak itu. Si Kong memeriksa keadaan sekitar sumur.

   Tidak ada sesuatu yang aneh. Puncak itu tidak berapa lebar, hanya kurang lebih sepuluh meter lebarnya, menjulang ke atas. Dia mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya dan menjatuhkan batu itu ke dalan sumur. Dia nenanti sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak ada suara apa-apa yang datang dari bawah sana, seolah-olah sumur itu tidak berdasar! Kalau dasarnya air, tentu akan terdengar suara batu yang jatuh ke dalamya. Juga kalau dasarnya tanah, akan terdengar oleh pendengarannya yang terlatih. Si Kong mengerutkan alisnya. Aneh sekali, pikirnya. Benarkah lubang sumur itu tidak berdasar atau dasarnya amat dalam hingga suara batu yang dia jatuhkan tidak dapat terdengar dari atas? Kalau seperti itu dalamnya, gadis pendekar itu tentu mengalami kecelakaan.

   Mendadak telinganya menangkap suara yang hanya sayup-sayup terdengar olehnya. Seperti suara orang berkata-kata, seperti bisikan halus. Dia merasa heran dan bulu tengkuknya meremang juga. Dia tidak pernah melihat setan. Akan tetapi pernah mendengar orang bercerita tentang setan yang seram-seram. Kini mendengar suara bisik-bisik itu, jantungnya berdebar dan terbayanglah dalan ingatannya perihal setan seperti yang pernah didengarnya. Ah, mustahil! Demikian dia mencela diri sendiri. Mana mungkin ada setan di tempat ini! Tujuh orang pemuda itu berlarian mendaki puncak dan mereka menyerahkan segulung tali yang panjang kepada Si Kong. Si Kong mengikatkan ujung tali ke batang pohon yang tumbuh di situ dan melemparkan gilungan tali itu ke dalam sumur. Lingkaran gulungan tali itu terbuka.

   “Terima kasih atas bantuan kalian. Sekarang aku hendak turun ke dalam sumur ini.”

   Setelah Si Kong menuruni sumur melalui tali itu, tujuh orang pemuda dan kakek pemlik kedai itu tidak dapat menahan lagi rasa takut mereka. Mereka lalu meninggalkan sumur dan mengintai dari jarak jauh dengan hati tegang dan jantung berdebar. Si Kong meninggalkan caping lebarnya di bibir sumur, akan tetapi dia membawa bambu pikulannya dan buntalan pakaiannya yang dia ikatkan di punggung.

   Tali itu temyata panjang sekali dan setelah melewati batas antara bagian sumur yang mendapat cahaya matahari dan yang gelap, dia menuruni tali itu dengan hati-hati. Tak lama kemdian tibalah dia di dasar sumur dan dia tersnyum sendiri ketia kakinya menyentuh sebuah jala. Kiranya ada sehelai jala dipasang di situ. Pantas batunya tidak mengeluarkan suara karena menimpa jala yang kuat dan lunak. Begitu dia menginjak jala itu, terdengar suara berkelinting di arah kiri. Dia meraba-raba ke bagian kiri dan dan dapat kenyataan bahwa dinding sumur di bagian kiri itu kosong berlubang! Kalau begitu sumur itu bagian dasarnya mempunyai sebuah terowongan! Setelah terdengar bunyi suara berkelinting tadi, segera disusul bunyi suara orang bercakap-cakap dan tak lama kemudian nampak sinar api di terowongan. Empat orang laki-laki datang dan seorang diantara mereka memegang sebuah lampu gantung yang sinarnya cukup terang.

   Dalam penerangan sinar itu, nampaklah oleh Si Kong bahwa terowongan itu lebar dan tinggi kurang lebih dua meter garis tengahnya. Di pinggang empat orang itu nampak ada golok bergantung dan mereka membawa tali seolah hendak mengikat korban yang terjatuh ke dalam jala mereka. Tentu dia dikira seorang gadis manis yang menjadi korban disuguhkan kepada iblis penjaga sumur. Tepat seperti dugaannya, bukan iblis yang menuntut dikorbankannya gadis-gadis muda dan cantik, melainkan segerombolan orang-orang jahat yang menipu penduduk dusun yang percaya akan tahyul! Hati Si Kong menjadi panas sekali. Entah sudah berapa banyak gadis dusun yang menjadi korban-korban iblis-iblis itu. Dia menyembunyikan mukanya di bawah lengan agar mereka tidak dapat melihat dari jauh bahwa dia seorang pria. Setelah mereka menghampiri, dia mendengar dengan jelas kata-kata mereka.

   “Wah, sudah datang lagi gadis manis untuk kita!”

   “Engkau sudah mendapat bagian, aku yang belum.”

   “Yang ini untukku, akan kuminta pada Twako!”

   Ketika mereka sudah tiba dekat, dalam jarak dua meter, Si Kong melompat keluar dari dalam jala dan tiga kali tangannya bergerak menotok dan tiga orang itu roboh tak dapat berkutik lagi. Dia mencengkeram pundak orang ke empat yang membawa lampu sehingga orang itu menyeringai karena pundaknya seperti dicengkeram jepitan baja saja.

   “Jangan berteriak atau bergerak kalau tidak ingin mati!”

   Si Kong berbisik, dan dari pundak yang gemeteran tahulah Si Kong bahwa orang itu ketakutan.

   “Hayo katakan berapa banyak kawan-kawanmu?”

   Agaknya orang ketakutan itu hendak menggertak, maka dia segera menjawab,

   “Ada lima belas orang dan dipimpin oleh Twako (Kakak Tertua) yang amat lihai. Engkau berani masuk ke sini, berarti engkau akan mati tersiksa.”

   Si Kong memperkuat cengkeraman tangannya dan orang itu mengaduh-aduh.

   “Aduh”

   Ampunkan saya””

   Dia meratap.

   “Dimana gadis-gadis korban itu?”

   “Diruangan sana, dikumpulkan menjadi satu. Kalau ada yang dibutuhkan, diambil dan dibawa…”

   “Antarkan aku kesana!”

   Dia melepaskan cengkeramannya dan mendorong orang yang membawa lampu itu ke depan. Orang itu hendaknya akan lari, akan tetapi setelah merasakan lagi cengkeraman di pundaknya, dia maklum bahwa dia sudah tidak berdaya.

   “Baik, akan kuantarkan. Akan tetapi lepaskan dulu pundakku… aduhh, sakit…!”

   Si Kong mengendurkan cengkeramannya dan mendorong orang itu yang terhuyung-huyung melangkah maju. Setelah berjalan sejauh kurang lebih seratus meter dan jalan itu membelok ke kanan, nampak ruangan yang mendapatkan cahaya matahari. Orang itu menggantungkan lampu di tempat gantungan yang tersedia. Si Kong memperhatikan sekelilingnya. Agaknya terowongan itu sengaja dibuat orang. Bagian itu merupakan dasar sebuah sumur yang tidak begitu dalam, maka mendapatkan sinar matahari dari atas. Orang itu lalu melangkah terus, jalan mulai mendaki naik. Setelah tiba di depan sebuah ruangan yang memakai jeruji besi pada pintunya, orang itu berhenti. Si Kong melihat belasan orang gadis berada dalam ruangan itu,

   Ada yang sedang menangis dan ada yang memandang kosong dan putus asa. Dia tertarik kepada seorang gadis yang kedua tangannya diikat pada gelang-gelang yang tertanam di dinding itu. Terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa gadis itu adalah Hui Lan, Tang Hui Lan! Akan tetapi gadis itu tidak melihatnya, melainkan menundukkan mukanya dan sikapnya tenang sekali. Dari depan terdengar suara orang. Si Kong cepat menotok tawanannya dan menyeretnya ke tempat gelap, kemudian dia mengintai. belasan orang mendatangi tempat itu, mengiringkan seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh bekas penyakit cacar. Akan tetapi laki-laki bopeng (cacat mukanya) ini mempunyai mata yang mencorong penuh kekejaman dan agaknya dia menjadi kepala mereka semua karena belasan orang itu nampak tunduk dan hormat kepadanya.

   “Sekali ini kami bersumpah, twako. Twako tentu akan senang sekali mendapatkan yang ini. Ia luar biasa cantik jelitanya tidak seperti perawan-perawan gunung yang sederhana itu. Ketika jatuh ke dalam jala ia pingsan. Melihat ia membawa pedang, kami lalu merampas pedang dan mengikat kedua tangannya pada gelang baja. Nah, itu dia, twako, agaknya sudah sadar. Aduh, cantiknya seperti puteri kaisar saja!”

   Si tinggi besar muka bopeng itu hanya menggumam, akan tetapi setibanya di depan pintu berjeruji, dia berhenti dan memandang ke arah gadis yang diikat itu dengan bengong. Ternyata anak buahnya tidak berlebihan dalam keterangannya. Seorang gadis yang luar biasa!

   “Ha-ha, ia cantik dan membawa pedang? Berarti ia tentu sedikit banyak pandai bersilat. Ia pantas menjadi sisihanku, menjadi isteriku! Bukakan daun pintu ini! Aku sendiri yang akan melepaskan ikatan kedua tangannya yang mungil itu!”

   Anak buahnya tertawa-tawa senang melihat pemimpin mereka puas, dan dua orang dari mereka cepat membuka daun pintu yang dipasangi rantai yang dikunci itu. Begitu daun pintu di buka, si bopeng itu lalu melangkah masuk dan menghampiri Hui Lan. Si Kong melihat ini dan seluruh urat syarafnya sudah menegang, siap untuk menerjang kalau si bopeng itu melakukan hal yang tidak sopan terhadap Hui Lan. Si bopeng itu telah berdiri di depan Hui Lan dan dia tertawa bergelak.

   “Hebat, cantik jelita, kulitnya begitu putih mulus! Ha-ha-ha!”

   Setelah tertawa dan berkata memuji kecantikan tawanan itu, kedua tangannya yang besar bergerak hendak melepaskan tali pengikat kedua tangan Hui Lan. Tiba-tiba Si Kong yang mengintai itu tersenyum. Dia melihat gadis itu mengangkat mukanya dan melihat betapa mata gadis itu mencorong seperti mata naga. Sekilas pandang saja tahulah Si Kong bahwa dara perkasa itu hanya pura-pura, padahal telah siap siaga sejak meloncat ke dalam sumur!

   Si Kong merasa kagun bukan main. Dia sendiri tentu akan berpikir dua kali kalau harus meloncat begitu saja ke dalam sumur yang gelap itu dan belum tahu apa yang akan dihadapinya di dasar sumur. Dugaannya benar. Begitu si bopeng menjulurkan kedua tangan untuk melepaskan ikatan tangan Hui Lan, tiba-tiba saja kedua tangan gadis yang tadinya terikat, sudah lepas begitu saja dan sekali tangan kiri si gadis itu memukul dengan tangan terbuka miring yang mengenai dada si bopeng, pemimpin gerombolan itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mengaduh-aduh dan mulutnya mengeluarkan darah! Melihat ini, belasan orang anggauta gerombolan itu menjadi terkejut dan marah. Akan tetapi sebelum mereka dapat berbuat sesuatu terdengar suara Hui Lan membentak dengan nyaring penuh wibawa.

   “Kalian hanya anjing-anjing yang pandai menggonggong! Anjing-anjing yang pandai menggonggong!”

   Si Kong menahan tawanya ketika belasan orang itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri merangkak dengan kaki tangan mereka seperti anjing dan mereka menyalak dan menggonggong riuh rendah sambil merangkak ke sana ke mari! Ternyata segerombolan orang itu telah terpengaruh oleh sihir yang dilepas Hui Lan.

   “Adik Hui Lan…!”

   Si Kong melompat keluar dari tempat sembunyinya. Hui Lan terkejut dan cepat mengangkat muka memandang. Dengan alis berkerut ia memandang Si Kong, mengira bahwa ada anggauta gerombolan yang tidak terkena sihirnya. Akan tetapi ketika ia sudah melihat jelas, ia segera mengenal pemuda itu dan memandang dengan penuh keheranan.

   “Engkau”

   Kakak Si Kong! Bagaimana engkau dapat berada di sini?”

   Pandang matanya tiba-tiba berubah penuh kecurigaan.

   “Apakah engkau menjadi satu dengan gerombolan anjing-anjing ini?”

   Si Kong tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   “Bagaimana aku dapat menjadi satu dengan mereka? Aku menuruni sumur untuk melakukan penyelidikan, setelah mendengar keterangan orang dusun. Kiranya gadis yang tadi pagi meloncat ke dalam sumur adalah engkau, Lan-moi. Ah, kekhawatiranku sia-sia saja. Kalau engkau tentu tidak membutuhkan bantuan siapapun!”

   “Nanti saja kita bicara, Kongko. Mari bantu aku membawa gadis-gadis ini keluar dari sini dan menyeret anjing-anjing ini keluar agar dapat dihajar oleh penduduk dusun.”

   “Baik, Lan-moi. Anjing-anjing itu sebaiknya dibuat tidak berdaya,”

   Kata Si Kong dan dia lalu memasuki ruangan tahanan itu. Berkali-kali tangannya bergerak dan setiap gerakan tentu merobohkan seorang penjahat yang sedang merangkak dan menggonggong itu. Sebentar saja belasan orang itu sudah tertotok semua, termasuk si muka bopeng yang telah menderita luka parah oleh pukulan tangan Hui Lan tadi. Dengan penerangan lampu yang dibawa seorang gadis yang telah dibebaskan Si Kong menyeret belasan orang itu ke dasar sumur.

   “Engkau naiklah dulu, Lan-moi. Setelah berada di atas, panggil penduduk dusun agar mereka mengangkat naik gadis-gadis ini dan juga gerombolan ini!”

   “Baik, Kong-ko!”

   Dengan sigap dan cepat sekali Hui Lan merayap naik dengan bergantung pada tali yang tadi dipakai Si Kong untuk turun ke dalam sumur. Para pemuda dusun yang tadi bersama kakek pemilik kedai mengintai dengan jantung berdebar tegang dan ketakutan, tiba-tiba melihat Hui Lan melompat keluar dari sumur. Gadis ini telah mengambil kembali sepasang pedangnya dari sebuah kamar bawah tanah yang menjadi gudang berisi barang-barang berharga hasil rampokan. Melihat gadis yang tadi pagi melompat ke dalam sumur kini muncul dari dalam sumur, tujuh pemuda dusun dan kakek itu menjadi girang dan beramai-ramai mereka menghampiri.

   “Bagaimana, Lihiap?”

   Kata mereka, tidak ragu lagi menyebut Lihiap (pendekar wanita) kepada Hui Lan.

   “Beres, gadis-gadis itu sebentar lagi akan naik ke sini, juga iblis-iblis itu telah tertangkap dan akan di naikkan pula.”

   Orang-orang itu terbelalak ketakutan mendengar bahwa iblis-iblis telah tertangkap. Bagaimanapun juga, kalau harus menghadapi iblis-iblis, walaupun sudah tertangkap, mereka merasa ngeri. Melihat mereka sudah siap untuk kabur lagi, Hui Lan tertawa.

   “Jangan bodoh, yang kumaksudkan dengan iblis-iblis itu tentu saja bukan iblis aseli, melainkan penjahat-penjahat yang mengaku sebagai iblis.”

   Mendengar ini, mereka menjadi lega.

   “Sekarang bersiap-siaplah untuk menarik tali itu. Dan kakek ini boleh pulang ke dusun memberi tahu semua orang dusun untuk menjemput gadis-gadis korban yang menjadi keluarga mereka.”

   Kakek pemilik kedai segera berlari turun. Saking girangnya dia tidak mengenal lelah sehingga setelah tiba di dusunnya, dia terengah-engah sukar bicara dan tentu akan jatuh pingsan kalau tidak segera ditolong penduduk dusun.

   “Lihiap itu”

   Telah membebaskan semua gadis korban dan telah menangkap segerombolan penjahat yang menipu kita menjadi iblis dan setan.”

   Berita ini segera tersiar luas dan didengar pula oleh penduduk dusun-dusun di sekitar pegunungan Kera itu. Maka berbondong-bondonglah mereka itu menuju ke puncak. Sementara itu, Hui Lam memberi isarat kepada Si Kong dengan menarik-narik tali. Si Kong yang berada di bawah, sudah membuatkan tempat duduk dari jala yang berada di situ, diikatkan dengan ujung tali dan memberi isarat dengan menarik-narik tali itu. Hui Lan mengerti dan ia menyuruh tujuh orang pemuda itu untuk nenarik tali ke atas.

   Gadis pertama muncul. Semua orang bersorak gembira, terutama mereka yang mengenal gadis ini dan keluarganya. Orang-orang dusun sudah berkumpul semua di sekeliling sumur. Tua muda dan anak anak bersorak dan gadis itu tersedu-sedu dalam rangkulan ibunya. Tempat duduk dari jala itu lalu diturunkan kembali. Gadis kedua, ketiga dan seterusnya diangkat satu demi satu dan sorak sorai terdengar setiap kali ada gadis yang tiba di luar sumur. Akhirnya semua gadis yang pernah menjadi korban “iblis-iblis”

   Itu telah dikeluarkan dari dalam sumur. Orang berikutnya yang ditarik keluar sumur amat berat sehingga membutuhkan tenaga banyak orang untuk menarik tali. Ketika orang itu muncul, ternyata dia adalah kepala gerombolan yang tinggi besar bermuka bopeng. Mulutnya masih berlepotan darah dan dia tidak mampu berkutik karena sudah ditotok oleh Si Kong.

   “Nah, inilah yang mengaku-ngaku iblis penjaga sumur itu. Kalian lihat, dia manusia biasa, bukan? Manusia biasa, akan tetapi amat jahatnya. Dia dan belasan orang anak buahnya yang mengganggu kalian, minta agar gadis-gadis dan perhiasan-perhiasan dikorbankan dan dilemparkan ke dalam sumur.”

   Mendengar ucapan Hui Lan itu, para penduduk dusun menjadi marah, terutama yang gadisnya dijadikan korban. Mereka maju serentak untuk memukuli si bopeng yang sudah tidak berdaya itu. Ada yang menggunakan alat bertani seperti cangkul, kapak dan lain-lain.

   “Sudah! Cukup! Jangan dibunuh!”

   Teraik Hui Lan, akan tetapi ia terlambat. Ketika orang-orang itu mundur, si muka bopeng sudah menjadi seonggok daging berlumuran darah!

   “Kalian bertindak berlebihan!”

   Hui Lan menegur.

   “Mereka memang jahat dan perlu dihukum, akan tetapi tidak dibunuh dan dibantai seperti itu! Ingat, aku akan marah kalau kalian ulangi lagi perbuatan itu atas diri para penjahat yang akan dikeluarkan semua!”

   Seruan Hui Lan itu mengandung wibawa yang kuat dan semua orang menundukkan muka. Hui Lan lalu memberi isarat kepada Si Kong dibawah untuk mengisi tempat duduk yang sudah diturunkan. Si Kong lalu memberi tanda dengan tarikan tali.

   Orang kedua dikeluarkan dan kini hanya caci maki yang terlontar dari mulut semua orang terhadap penjahat itu yang menjadi ketakutan setengah mati melihat demikian banyak orang marah-marah seolah hendak menelan dia bulat-bulat! Demikianlah, satu demi satu penjahat dikeluarkan dan mereka semua menjadi ketakutan setengah mati ketika melihat pemimpin mereka sudah tewas dengan tubuh hancur. Akan tetapi mereka tidak dibunuh, hanya diseret dan digeletakkkan ke atas tanah. Setelah semua penjahat ditarik keluar, paling akhir yang keluar adalah Si Kong sendiri yang membawa sebuah peti. Semua orang bersorak karena mereka semua sudah mendengar dari kakek pemilik kedai betapa penuda itu menuruni sumur dan menolong para gadis yang ditahan. Si Kong mengangkat kedua tangan ke atas dan membuka peti. Temyata di dalamnya terisi banyak perhiasan dari emas permata.

   “Mereka yang merasa sudah melemparkan perhiasannya ke dalam sumur, boleh mencari perhiasannya dan mengambilnya kembali. Akan tetapi yang merasa tidak mempunyai perhiasan yang dirampok, jangan mengambil sesuatu dari dalam peti. Awas, aku tidak akan mengampuni mereka yang bertindak curang dan mengambil barang yang bukan miliknya!”

   Mereka yang merasa kehilangan-kehilangan karena pernah diancam oleh suara iblis agar menyerahkan perhiasan mereka dan melemparkan ke dalam sumur, segera mencari perhiasan masing-masing dan akhir nya semua orang telah memperoleh kembali perhiasan mereka. Akan tetapi didalam peti itu masih terdapat banyak sekali benda-benda berharga dari emas, batu kemala dan lain-lain.

   “Panggil kepala dusun ke sini!”

   Kata Si Kong. Ternyata kepala dusun juga sudah berada di antara penduduk dusun dan dia segera melangkah maju ketika mendengar seruan Si Kong.

   “Paman kepala dusun di sini ?”

   “Benar, Taihiap.”

   “Dengarlah baik-baik. Kalau ada orang-orang seperti para pengacau ini, kumpulkan orang sedusun, atau kalau perlu ditambah para penghuni dusun tetangga, satukan tenaga untuk menghadapi dan nenghajar para penjahat itu. Jangan percaya kepada kabar dan cerita tahyul.”

   “Baik, Taihiap,”

   Kata kepala dusun yang tadi ikut pula memukuli kepala penjahat itu.

   “Mulai sekarang, kami akan melakukan perlawanan.”

   “Bagus! Nah, segerombolan penjahat ini sudah mendapat hajaran keras. Kalau berani muncul lagi di tempat ini jangan ragu keroyoklah ramai-ramai.”

   “Baik, Taihiap.”

   Si Kong menghadapi gerombolan yang masih rebah malang melintang tak mampu bergerak itu, lalu memulihkan jalan darah mereka yang tertotok satu demi satu. Para penjahat itu sudah mendengar semua pembicaraan Si Kong dengan penduduk dan kepala dusun, maka begitu dapat bergerak, mereka lalu berlutut dan minta-minta ampun.

   “Kalian benar-benar telah bertaubat? Awas, kalau berani sekali lagi aku melihat kalian berbuat jahat, aku tidak akan mengampunimu lagi. Sekarang, pergilah dan bawa mayat pemimpin kalian, kubur di tempat yang jauh dari sini. Nah pergilah!”

   Para penjahat itu menghaturkan terima kasih dan segera mengangkut sisa mayat si bopeng, lalu pergi dari situ dengan cepat. Mereka sangat ketakutan.

   Sejak mereka melihat pemimpin mereka roboh muntah darah dihantam oleh gadis itu, mereka tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan mereka! Mereka hanya teringat secara samar-samar betapa mereka merasa berubah menjadi anjing, kemudian mereka tidak mampu bergerak, hanya melihat betapa mereka satu demi satu ditarik naik keluar dari sumur dalam keadaan tidak mampu bergerak dan dikepung penduduk dusun yang nampak marah sekali kepada mereka. Mereka sudah putus asa dan tentu mereka akan dibunuh seperti yang terjadi pada pemimpin mereka. Maka, dapat dibayangkan betapa lega dan senang hati mereka dilepas dan diampuni. Pengalaman mereka itu sedikit banyak akan mempengaruhi jalan kehidupan mereka selanjutnya, membuat mereka jerih untuk melakukan kejahatan lagi. Si Kong menghampiri Hui Lan yang sejak tadi menonton saja dan berkata lirih,

   “Bagaimana pendapatmu, Lan-moi, jika sisa perhiasan ini kita bagikan kepada keluarga mereka yang terbunuh dan keluarga para gadis yang menjadi korban?”

   Hui Lan sejak tadi menonton dengan hati kagum. Kalau menurut hatinya, ingin ia memberi hajaran keras kepada para penjahat itu! Akan tetapi Si Kong membebaskan mereka setelah menakut-nakuti mereka. Kini mendengar pertanyaan Si Kong, ia berkata,

   “Terserah kepadamu, Kong-ko. Aku hanya dapat menyetujui saja.”

   Si Kong melambaikan tangannya memanggil kakek pemilik kedai minuman itu.

   “Paman, engkau kuangkat menjadi orang yang bertugas membagi-bagi perhiasan ini dengan adil kepada keluarga mereka yang dibunuh para penjahat dan keluarga para gadis yang menjadi korban. Sanggupkah engkau, paman?”

   Kakek itu kelihatan bangga sekali.

   “Serahkan saja kepada saya, Taihiap. Saya akan membagi-bagi secara adil.”

   Si Kong berkata kepada kepala dusun.

   “Paman menjadi pengawasnya agar pembagian berjalan lancar dan adil. Harap panggil keluarga para korban pembunuhan dan penculikan dan membagi-bagi perhiasan ini secara adil.”

   Kepala dusun mengangguk setuju. Si Kong lalu berkata kepada Hui Lan.

   “Semua sudah beres, mari kita pergi, Lan-moi!”

   Hui Lan mengangguk dan kedua orang muda perkasa itu sekali berkelebat lenyap dari depan semua orang. Melihat ini, semua orang terkejut dan ketahyulan kembali melanda hati mereka. Kepala dusun yang lebih dulu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah berkelebatnya dua orang itu. Semua penduduk segera mengikuti kepala dusun, berlutut sambil berterima kasih kepada dua orang “dewa-dewi”

   Yang telah membebaskan mereka dari ancaman iblis jahat. Dari jauh mereka mendengar yang dapat terdengar jelas oleh mereka,

   “Jangan lupakan persatuan melawan yang jahat. Selamat tinggal!”

   Itu adalah suara Si Kong yang sengaja diucapkan dari jauh dengan pengerahan khikang sehingga dapat terdengar oleh mereka yang berada di sekeliling sumur tua. Kepala dusun memimpin semua orang, untuk melempar-lemparkan banyak batu ke dalam sumur sehingga sumur itu penuh batu dan tidak mungkin dilewati orang lagi. Kemudian, dengan pengawasan kepala dusun, mulailah perhiasan itu dibagi-bagikan kepada keluarga mereka yang tewas dan keluarga para gadis yang menjadi korban. Mereka duduk di atas batu di bawah sebuah batang pohon besar. Matahari telah condong ke barat, namun cuaca masih terang. Mereka diam saja dan kadang saling pandang. Akhirnya Hui Lan yang biasanya lincah itu mengeluarkan suara memecah kesunyian.

   “Bagaimana engkau bisa masuk ke dalam sumur itu, Kong-ko? Ceritakanlah dari awal.”

   Si Kong tersenyum memandang gadis yang hebat itu. Dia pernah mengagumi Siangkoan Cu Yin, merasa suka kepada gadis berandalan itu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, kekagumannya terhadap Hui Lan ini lebih mendalam.

   “Hanya kebetulan saja, Lan-moi. Siang tadi kebetulan aku lewat di dusun ini dan membeli minuman dikedai kakek tadi. Aku melihat keadaan dan suasana yang ganjil sekali. Aku tidak melihat ada wanita muda di dusun itu dan kaum prianya kelihatan panik dan ketakutan. Bahkan ketika melihat aku yang asing bagi mereka, mereka memandang penuh kecurigaan. Karena itu aku lalu membujuk kepada kakek pemilik kedai untuk menceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi dia ketakutan dan menolak untuk bercerita. Terpaksa aku mengalahkan rasa takutnya kepada sesuatu itu menjadi rasa takut terhadap diriku. Aku mengancam dia dan akhirnya dia mengaku akan adanya setan yang mengganggu penduduk, betapa setan itu minta perhiasan dan bahkan gadis-gadis muda dan cantik. Dia bercerita tentang sumur setan dimana gadis-gadis itu dilempar ke dalam sumur, juga dia bercerita tentang seorang gadis yang dengan suka rela melompat ke dalam sumur itu. Selanjutnya aku mencari tali panjang dan menuruni sumur itu. Kurobohkan beberapa orang yang berada di dasar sumur, dan kutotok mereka. Lalu aku memaksa seorang diantara mereka untuk menunjukkan dimana adanya ruangan yang dipergunakan untuk menawan para gadis itu. Setelah tiba di sana, aku melihat engkau diantara para gadis dan kebetulan gerombolan itu datang memasuki ruangan itu. Begitulah awal mulanya aku sampai masuk ke dalam sumur itu. Dan engkau sendiri, bagaimana bisa menjadi tawanan mereka? Tentu engkau yang dikatakan kakek itu sebagai gadis yang dengan suka rela masuk ke dalam sumur itu, bukan?”

   “Benar, Kong-ko. aku juga secara kebetulan saja lewat di luar dusun itu. Dalam perjalanan itu aku melihat seorang gadis bersama ibunya melarikan diri sambil menangis ketakutan. Aku hentikan mereka dan kutanyakan apa sebabnya. Gadis itu lalu menceritakan tentang setan yang meminta korban gadis-gadis dan bahwa gadis itu semalam telah diminta oleh suara setan diatas rumah mereka. Karena ketakutan dan tidak sudi dijadikan korban setan, gadis itu lalu mengajak ibunya melarikan diri. aku menjadi penasaran sekali dan kumasuki dusun itu, kuceritakan kepada mereka bahwa aku bersedia dijadikan korban menggantikan gadis yang melarikan diri. Aku lalu diantar ke atas puncak, menghampiri sumur itu. Kemudian aku lalu meloncat masuk ke dalam sumur.”

   “Akan tetapi, Lan-moi. Bagaimana engkau berani meloncat kedalam sumur yang tidak kelihatan dasarnya itu, dan yang belum kau ketahui bagaimana keadaan di dalamnya?”

   Hui Lan tersenyum.

   “Sudah kuperhatikan dengan baik, Kong-ko. Kalau para gadis itu dilempar ke dalam sumur, berarti mereka tentu tidak akan mati ketika tiba di dasar sumur. Kalau mereka itu mati, untuk apa penjahat itu minta korban gadis?”

   “Bukankah yang minta korban gadis itu menurut para penduduk adalah iblis penjaga sumur tua?”

   “Hemm, siapa dapat percaya? Sejak semula aku sudah menduga bahwa hal itu dilakukan penjahat yang pura-pura menjadi setan, dan aku menduga bahwa penjahat itu tidak hanya seorang. Nah, setelah yakin bahwa gadis-gadis itu tidak mati, aku lalu melompat ke dalam sumur, tentu saja aku waspada dan mengerahkan ginkang untuk menjaga kalau-kalau ada bahaya maut mengancam di dasar sumur.”

   “Engkau sungguh pemberani sekali, Lan-moi.”

   “Engkaupun masuk ke dalam sumur. Entah siapa yang lebih berani, engkau atau aku. nah, setelah tiba di bawah, ternyata ada sehelai jaring yang menangkap aku. begitu tubuhku menyentuh jaring, terdengar suara berkelentingan dan muncul empat orang yang membawa sebuah obor. Aku pura-pura tidak berdaya ketika ditangkap dan sepasang pedangku dirampas.”

“Kenapa engkau menyerah begitu saja, Lan-moi?”

   “Aku ingin berhadapan sendiri dengan pemimpin mereka dan tepat seperti yang kuduga, akhirnya dia muncul dan barulah aku membebaskan diri untuk menghantam mereka.”

   “Sebetulnya dari manakah datangnya gerombolan itu? Apakah mereka itu para anggauta dari perkumpulan sesat yang lebih besar?”

   “Ah, kurasa tidak, Kong-ko. Mereka itu hanya gerombolan perampok biasa yang menemukan terowongan bawah tanah itu untuk menakut-nakuti penghuni dusun-dusun yang masih bodoh. Dengan cara demikian mereka dapat mengumpulkan perhiasan dan juga gadis-gadis gunung dengan mudah, bahkan tanpa kekerasan. Mereka adalah manusia-manusia kejam yang sudah sepatutnya dibasmi dari permukaan bumi. Mereka tadi merasa enak dibebaskan begitu saja.”

   Kalimat terakhir ini diucapkan Hui Lan dengan nada menegur.

   “Gerombolan seperti itu biasanya hanya mengekor saja perbuatan pemimpin mereka. Kepala penjahat telah terbunuh oleh orang-orang dusun, dan anak buah penjahat itu pun sudah mendapat hajaran keras. Kukira mereka akan menyadari kejahatan mereka dan akan mengubah cara hidup mereka.”

   Hui Lan tidak membantah lagi. Watak pemuda itu seperti watak Ayahnya, mudah memaafkan dan tidak suka sembarangan membunuh orang. Tidak seperti watak ibunya yang keras dan bertindak tegas terhadap para penjahat sehingga setiap mirud Cin-ling-pai juga memiliki watak seperti itu. Keras tidak mengenal ampun terhadap orang-orang jahat. Wataknya sendiri berada di tengah-tengah antara watak Ayahnya yang pengampun dan watak Ayahnya yang pengampun dan watak ibunya yang tidak mengenal ampun.

   “Kalau boleh aku mengetahui, sebenarnya engkau hendak pergi kemana, Lan-moi?”

   Tanya Si Kong mengalihkan pembicaraan.

   “Aku hendak pergi ke Kwi-liong-san,”

   Kata Hui Lan berterus terang. Si Kong memandang dengan wajah berseri.

   “Pek-lui-kiam…?”

   Hui Lan juga tercengang.

   “Eh, engkau juga mengetahui?”

   “Siapa yang tidak tahu tentang pedang pusaka itu, Lan-moi. Aku bahkan dimintai tolong oleh puteri pendekar Tan Tiong Bu untuk membantunya mencari pembunuh Ayahnya.”

   “Hemm, kau maksudkan Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san?”

   Si Kong mengangguk.

   “Agaknya engkau tahu lebih banyak tentang Ang I Sianjin, Lan-moi.”

   “Tahu lebih banyak juga tidak. Aku hanya mendengar bahwa pendekar Tan Tiong Bu terbunuh oleh seorang kakek berjubah merah dan menurut dugaan orang pembunuh dan pencuri pedang itu adalah Ang I Sianjin.”

   “Engkau hendak merampas Pek-lui-kian, Lan-moi?”

   “Kalau memang benar Ang I Sianjin pencurinya, tentu aku akan mencoba untuk merampasnya. Nama Kwi-jiauw-pang sudah tersohor di empat penjuru sebagai perkumpulan sesat yang kejam. Kalau dibiarkan Ang I Sianjin memiliki Pek-lui-kiam, tentu dia akan menjadi lebih kejam dan sewenang-wenang. Akan tetapi kalau pedang itu berada di tangan pendekar budiman, akupun tidak akan mengganggunya. Dan engkau sendiri hendak kemana, Kong-ko?”

   “Sama dengan engkau, Lan-moi. Sudah kukatakan tadi bahwa aku hendak membantu puteri mendiang Tan Tiong Bu untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Kalau berhasil tentu akan kuserahkan kepadanya yang berhak sebagai pewaris pedang milik Ayahnya.”

   “Tidak perlukah untuk menyelidiki dulu dari mana Tan Tiong Bu mendapatkan pedang itu? Aku mendengar bahwa pembuat pedang Pek-lui-kiam adalah seorang sakti berjuluk Pek-sim Lo-sian (Dewa Tua Berhati Putih). Karena itu patut diselidiki bagaimana pedang pusaka itu dapat jatuh ke tangan pendekar Tan Tiong Bu.”

   Si Kong tertegun dan mengangguk-angguk.

   “Kalau demikian persoalannya, memang engkau benar. Tadinya aku mengira bahwa pedang pusaka memang milik yang sah dari mendiang pendekar Tan Tiong Bu. Kalau begitu, apakah engkau berkeberatan melakukan perjalanan ke Kwi-liong-san bersama aku, Lan-moi?”

   Hui Lan menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik. Dia belum mengenal benar pemuda ini, akan tetapi dia adalah murid kakek-buyutnya yang setia dan berbakti. Ia akan melihat bagaimana sikap Si Kong selanjutnya kalau mereka melakukan perjalanan bersama. Kalau sikapnya tidak menyenangkan, mudah saja menghentikan perjalanan bersama itu untuk berpisah dan mengambil jalan sendiri. Sebaliknya kalau sikapnya sopan dan menyenangkan, apa salahnya melakukan perjalanan? Sebagai murid kakek-buyutnya, Si Kong dapat dikatakan sebagai “orang sendiri”. Hui Lan tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   “Tentu saja aku tidak keberatan. Bukankah tujuan kita sama? Bahkan kita dapat bekerja sama dalam penyelidikan kita terhadap Ang I Sianjin.”

   Si Kong merasa girang sekali. Mereka lalu melakukan perjalanan bersama dan di sepanjang jalan, Si Kong termenung. Dia teringat kepada Siangkoan Cu Yin! Gadis puteri datuk Lam Tok itu membujuknya untuk melakukan perjalanan bersama, akan tetapi dia menolaknya dan kini dia malah ingin melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain! Akan tetapi, Hui Lan tidak dapat disamakan dengan Cu Yin.

   Gadis ini puteri sepasang pendekar yang kenamaan dan sikapnya gagah dan lembut. Sedangkan Cu Yin sama sekali berbeda. Gadis yang suka menyamar sebagai pria itu nakal, suka mengganggu orang, dan terutama sekali membuat dia tidak suka melakukan perjalanan bersama adalah pengakuan Cu Yin bahwa gadis itu mencintainya! Andaikan Cu Yin masih menyamar sebagai pria, dia akan senang sekali melakukan perjalanan dengannya. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang mencintainya, padahal dia sendiri belum pernah mencinta gadis manapun juga, tentu akan sangat mengganggu kedamaian hatinya. Belum jauh Si Kong melakukan perjalanan bersama Hui Lan pada hari itu, senja telah datang dan matahari sudah tidak nampak, hanya sinarnya yang lemah masih memungkinkan mereka melakukan perjalanan.

   “Wah kita akan kemalaman di jalan kalau tidak dapat menemukan sebuah dusun, Kong-ko.”

   “Biar kuselidiki apakah ada dusun disekitar tempat ini,”

   Kata Si Kong dan dia lalu melompat ke pohon besar lalu memanjat ke atas. Dari atas pohon itu dia memandang ke empat penjuru. Akan tetapi, yang nampak hanya warna hijau gelap dari puncak-puncak pohon. Di empat penjuru yang ada hanya hutan, tidak nampak adanya rumah orang! Diapun melompat turun kembali.

   “Sama sekali tidak nampak ada rumah orang disekitar sini, Lan-moi. Agaknya kita akan kemalaman di tengah hutan. Akan tetapi di bagian selatan nampak ada lapangan rumput yang terbuka, agaknya disana kita dapat melewatkan malam lebih menyenangkan daripada di dalam hutan.”

   Hui Lan mengangguk.

   “Kalau begitu kita pergi ke selatan, ke lapangan rumput itu, Kong-ko.”

   Mereka lalu melakukan perjalanan cepat ke selatan karena sebentar lagi bumi akan diselimuti kegelapan dan melakukan perjalanan tidak mungkin lagi. Tak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah lapangan rumput yang terbuka, tepat pada saat malam tiba dan marga satwa mulai memperdengarkan suara puja puji terhadap Yang Maha Kuasa.

   “Tempat ini cukup menyenangkan,”

   Kata Hui Lan dan hati Si Kong menjadi lega. Tadinya dia khawatir kalau Hui Lan merasa kecewa dan tidak senang karena mereka terpaksa harus melewatkan malam di situ.

   “Memang lebih enak daripada di tengah hutan. Rumputnya bersih, seperti permadani hijau digelar luas. Aku akan membuat api unggun, Lan-moi.”

   Si Kong lalu cepat pergi ke hutan di sebelah, mengumpulkan ranting kering. Biarpun cuaca sudah mulai gelap, dapat juga dia memperoleh ranting dan daun kering yang banyak. Dia lalu membuat api unggun dan setelah api unggun bernyala besar, mereka berdua merasa gembira sekali. Suasana menjadi demikian indah di tempat itu.

   Asap api unggun mengusir nyamuk, dan panasnya api unggun mengusir kedinginan hawa udara yang tentu akan sangat mengganggu mereka yang melewatkan malam di tempat terbuka seperti itu. Masih untung bagi mereka bahwa malam itu tidak ada angin besar. Mungkin karena di sekeliling tempat itu tumbuh pohon-pohon besar yang merupakan dinding hijau yang menahan tiupan angin sehingga di lapangan itu angin hanya bertiup semilir saja. Kalau mereka berdongak memandang ke atas, nampak pemandangan yang luar biasa indahnya. Bersama tenggelamnya matahari, bermunculan bintang-bintang di langit. Tidak ada awan menghalangi sehingga bintang-bintang berlatar belakang langit hitam itu seperti ratna mutu manikam di taburkan di atas beledu hitam. Bintang-bintang gemerlapan, ada yang berkedap-kedip seperti mata bidadari memberi isarat yang mesra kepada mereka! Suasana sungguh romantis sekali.

   Kini tempat itu penuh dengan suara marga satwa yang beraneka ragam, akan tetapi suara itu sama sekali tidak mendatangkan kebisingan. Sebaliknya malah, suara itu mengandung irama yang mendatangkan suasana hening penuh rahasia. Mereka duduk di atas rumput menghadapi api unggun. Mereka dapat saling pandang melalui atas lidah api yang menjilat-jilat, dan muka mereka nampak aneh sekali, berwarna merah dan bergoyang-goyang karena lidah api itu menari-nari dan cahayanya menerangi wajah mereka. Tiba-tiba Si Kong menyadari keadaan ketika dia merasa perutnya bergerak. Lapar! Baru dia teringat bahwa sejak siang tadi mereka belum makan dan rasa lapar mulai menggerogoti perutnya. Hatinya menjadi bingung dan menyesal mengapa tidak membawa bekal makanan di malam itu. Tempat minumnya juga hanya terisi air saja!

   “Lan-moi, menyesal sekali aku tidak membawa bekal apa-apa. Engkau tentu sudah lapar seperti juga aku.”

   Hui Lan memandang kepadanya dari balik api unggun dan gadis itu tersenyum, lalu meraih buntalan pakaiannya yang diletakkan didekatnya.

   “Jangan khawatir, Kong-ko. aku masih ada bekal roti dan daging kering. Akan tetapi air minumku sudah habis.”

   “Ah, aku masih mempunyai air minum, Lan-moi!”

   Kata Si Kong dengan gembira. Mereka membuka buntalan masing-masing. Hui Lan mengeluarkan bungkusan roti dan daging asin, sedangkan Si Kong mengeluarkan tempat air minumnya. Setelah bungkusan di buka, ternyata persediaan roti dan daging asin masih cukup banyak untuk mereka berdua.

   “Cuaca begini indah, hawa udara begini hangat, perut begini lapar, roti kering dan daging asin merupakan hidangan yang lezat!”

   Kata Si Kong dan merekapun mulai makan. Hui Lan juga merasa heran kepada dirinya sendiri. Biasanya, makan roti dan daging asin amat membosankan. Terpaksa ia harus membawa bekal makanan seperti itu karena hanya roti kering dan daging asin dapat bertahan berhari-hari. Makanan seperti membuat ia merasa bosan kalau terpaksa harus memakannya karena ia tiba di tempat yang jauh dari dusun atau kota. Akan tetapi malam ini, makanan roti kering dan ikan asin terasa lezat bukan main! Makan roti kering dan daging asin mendatangkan haus. Si Kong lalu memberikan tempat airnya kepada Hui Lan.

   “Aku tidak mempunyai cawan atau cangkir, minum saja dari mulut guci air itu,”

   Katanya kepada Hui Lan.

   “Aku mempunyai sebuah cawan,”

   Kata Hui Lan mengeluarkan cawan perak itu dari buntalannya. Ia menuangkan air dari guci itu ke dalam cawan, lalu meminumnya. Bahkan air biasa itu terasa segar dan melegakan!

   “Boleh aku meminjam cawan itu, Lan-moi?”

   “Tentu saja,”

   Hui Lan menyerahkan cawan yang sudah kosong itu dan Si Kong menuangkan air ke dalam cawan lalu meminumnya. Hui Lan memandang dengan kedua pipinya berubah kemerahan. Akan tetapi hal ini tidak nampak oleh Si Kong karena sinar api unggun memang membuat wajah itu sudah kemerahan. Hui Lan merasa sungkan karena Si Kong menggunakan cawan yang bekas diminumnya itu. Akan tetapi karena Si Kong bersikap biasa saja, maka rasa sungkan itu perlahan-lahan lenyap kembali.

   “Kong-ko, sekarang ceritakanlah pengalamanmu sampai engkau menjadi murid kakek buyut Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah.”

   Kata Hui Lan setelah selesai makan dan minum.

   “Malam baru saja tiba, masih terlalu sore untuk tidur, maka aku akan senang sekali mendengar riwayatmu sejak engkau kecil.”

   Si Kong menarik napas panjang.

   “Pengalamanku sejak kecil penuh dengan duka, tidak menarik untuk diceritakan, Lan-moi.”

   “Ah, justeru pengalaman yang penuh duka itu yang menarik dan selalu menjadi kenangan, sedangkan pengalaman yang penuh suka mudah dilupakan. Ceritakanlah, Kong-ko, aku suka mendengarkan.”

   Hening sejenak ketika Si Kong mengumpulkan ingatannya, mengenang kembali semua pengalamannya sejak kecil yang pantas untuk diceritakan kepada gadis itu.

   “Aku dilahirkan di dusun Ki-ceng. Orang tuaku adalah petani yang amat miskin. Musim kering yang berkepanjangan membuat keadaan kami lebih payah lagi. Apalagi yang harus kami makan? Dan Ayahku terpaksa menyerahkan enciku kepada Hartawan Lui untuk menyambung nyawa kami sekeluarga. Enciku menjadi selir hartawan itu, akan tetapi ia seperti dipenjara, tidak pernah dapat menjenguk atau menolong kami sekeluarga. Karena kelaparan hampir melumpuhkan kami, kakakku Si Leng nekat memanjat pagar tembok rumah Hartawan Lui untuk mencari engci Kiok Hwa agar enciku dapat membantu. Akan tetapi dia ketahuan tukang-tukang pukul hartawan itu dan dia dipukuli sampai mati.”

   Si Kong berhenti sebentar untuk mengambil napas panjang. Kenangan akan semua itu mendatangkan perasaan duka di dalam hatinya.

   “Menyedihkan sekali, Kong-ko. Ketika hal itu terjadi, berapakah usiamu?”

   “Aku baru berusia sepuluh tahun, hanya dapat membantu Ayah di sawah, akan tetapi dengan adanya musim kering seperti itu, apa yang dapat dilakukan para petani miskin?”

   “Aku dapat mengerti, Kong-ko, lalu bagaimana kelanjutan ceritamu?”

   “Agaknya Tuhan belum menghentikan cobaan yang menimpa diriku. Dusun kami dilanda wabah penyakit yang amat ganas. Sore sakit, pagi mati dan pagi sakit sore mati. Keluarga kami yang tinggal Ayah ibu dan aku seorang, tidak luput dari amukan wabah penyakit itu. Ayah dan ibu terkena dan mereka meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan.”

   “Ahhh…!”

   Tanpa disadarinya kedua mata Hui Lan menjadi basah ketika ia memandang kepada Si Kong penuh rasa haru dan iba. Si Kong menarik napas panjang beberapa kali untuk menekan perasaan dukanya, kemudian dia melanjutkan ceritanya dan suaranya sudah terdengar tenang.

   “Kami mengubur jenazah Ayah dan ibu. Ketika semua orang pulang aku tinggal sendiri di dekat makam. Habis sudah semuanya, tidak ada yang tertinggal lagi. Ayah ibu dan saudaraku telah meninggal. Yang ada hanya enci Kiok Hwa, akan tetapi ia terkurung di rumah gedung sehingga kematian Ayah ibu pun tidak terdengar olehnya. Sawah dan rumah sudah di jual untuk biaya pemakaman Ayah dan ibu. Karena sedih dan kelaparan, ditambah di timpa hujan lebat malam itu, tidak terasa olehku aku roboh pingsan di makam Ayah dan ibu.”

   “Ah, kasihan kau… Kong-ko… !”

   Kini dari kedua mata Hui Lan jatuh menetes dua butir air mata di atas pipinya.

   “Agaknya Tuhan menaruh kasihan kepadaku. Pada keesokan paginya guruku yang pertama menemukan aku menggeletak pingsan di makam itu. Guruku yang pertama itu adalah Yok-sian Lo-kai. Setelah menolongku, suhu lalu menolong para penduduk dusun yang dilanda wabah penyakit, dan memberi tahu bagaimana cara mengobati orang-orang yang terkena wabah. Bukan itu saja, suhu lalu mengunjungi para hartawan, merobohkan semua tukang pukulnya dan menasihati para hartawan sambil mengancam agar para hartawan tidak bersikap pelit dan masa bodoh terhadap kemiskinan para petani dan suka membantu mereka agar tidak sampai kelaparan.”

   “Aku sudah mendengar dari Ayah ibuku tentang Yok-sian Lo-kai yang sakti dan budiman itu,”

   Kata Hui Lan sambil mengusap pipinya yang basah.

   “Semenjak itu engkau menjadi murid Yok-sian Lo-kai?”

   “Benar, aku dilatih ilmu silat dan suhu juga mengajarkan cara pengobatan sambil merantau sampai lima tahun lamanya. Dalam perantauan itu, kami berdua bertemu dengan Tung-hai Liong-ong.”

   “Hemm, majikan Pulau Tembaga yang terkenal sebagai datuk sesat itu?”

   “Benar, suhu bentrok dengan Tung-hai Liong-ong ketika suhu membela Hek I Kaipang, dan mereka bertanding. Tung-hai Liong-ong dapat dikalahkan dan terusir pergi, akan tetapi suhu sendiri menderit luka parah yang beracun. Suhu ingin menyendiri dan beliau meninggalkan aku agar hidup seorang diri. ketika itu usiaku sudah lima belas tahun. Walaupun aku sedih dan kecewa ditinggalkan suhu, akan tetapi aku tidak putus harapan dan melanjutkan hidupku dengan bekerja sebagai kuli atau buruh kasar. Biarpun aku dapat membaca dan menulis berkat ajaran Yok-sian Lo-kai, akan tetapi aku tidak mempunyai pengalaman. Dengan uang hasil kerjaku, aku membeli pakaian, tidak lagi berpakaian pengemis seperti ketika aku ikut suhu Yok-sian Lo-kai.”

   “Ceritamu menarik sekali, Kong-ko. Lanjutkanlah.”

   “Apakah engkau tidak lelah dan mengaso?”

   “Malam belum larut dan aku tidak mengantuk. Teruskan ceritamu, Kong-ko. pengalamanmu menarik sekali!”

   Si Kong tersenyum. Tentu saja dia hanya dapat menceritakan hal-hal yang penting saja.

   “Pada suatu hari, secara kebetulan aku bertemu dengan guruku yang kedua.”

   “Siapakah dia, Kong-ko?”

   “Dia adalah seorang sastrawan she Kwa, suka disebut Kwa Siucai (Sastrawan Kwa) atau juga di sebut Penyair Gila.”

   “Ah, aku pernah mendengar tentang Penyair Gila itu dari Ayah. Kata Ayah, biarpun disebut Penyair Gila, sebetulnya dia sama sekali tidak gila dan dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.”

   “Kepandaian manusia itu terbatas, Lan-moi. Bagaimana bisa tinggi sekali? Malam hari itu aku, mengikuti Kwa Siucai merantau. Suhuku yang kedua ini berbeda dengan suhuku yang pertama. Kalau Lok-sian Lo-kai lebih suka mengemis daripada mencuri, sebaliknya Kwa Siucai lebih suka mencuri harta para hartawan yang terkenal pelit, lalu membagikan hasil curiannya itu dan menyimpan sebagian kecil untuk biaya hidup kami. Aku belajar ilmu kepadanya selama dua tahun dan tiba-tiba saja guruku yang kedua inipun meninggalkan aku karena ingin mengundurkan diri dan menjadi pertapa.”

   “Wah, dalam usia tujuh belas tahun engkau telah menjadi murid dua orang guru yang sakti. Nasibmu baik sekali, Kong-ko. apalagi setelah itu engkau diambil murid kong-couw (kakek buyut). Bagaimana ceritanya sampai engkau dapat menjadi murid kong-couw, Kong-ko?”

   “Peristiwa itu terjadi di Bukit Iblis. Karena aku mengintai pertandingan antara tokoh-tokoh sesat, aku ketahuan oleh pemenang pertandingan itu, yaitu Twa Ok dan Ji Ok.”

   “Ah, dua orang datuk besar golongan sesat dari Barat itu? Ayah pernah menceritakan tentang mereka.”

   “Benar, mereka adalah dua orang datuk besar yang kejam sekali. Mereka lalu berlumba untuk membunuhku! Melawan seorang saja dari mereka aku tidak akan menang, apalagi mereka maju berbareng untuk membunuhku. Pada saat yang amat gawat itu muncullah suhuku yang ketiga, yaitu Ceng Lo-jin. Beliau menandingi dua orang datuk itu, mengalahkan mereka sehingga mereka melarikan diri. semenjak saat itu, aku diambil murid dan diajak ke Pulau Teratai Merah dan selama tiga tahun aku diajar ilmu-ilmu yang amat sulit oleh suhu.”

   “Dan dua orang datuk itu bersama Bu-tek Ngo-sian datang ke Pulau Teratai Merah untuk menantang Kong-couw?”

   Tanya Hui Lan. Si Kong menarik napas panjang.

   “Benar, dan aku merasa menyesal sekali bawha suhu walaupun dapat mengusir mereka, telah mempergunakan terlampau banyak tenaga sehingga terluka dalam pula. Aku merasa menyesal mengapa suhu melarangku untuk membantunya ketika dikeroyok tujuh orang yang lihai.”

   “Tidak perlu disesalkan lagi, Kong-ko. Mungkin kong-couw merasa malu kalau harus minta bantuan muridnya, dan kenyataannya dia memang dapat mengusir tujuh orang musuhnya. Ah, kalau saja aku dapat bertemu dengan Toa Ok, dan Ji Ok dan kelima Bu-tek Ngo-sian, tentu akan kutantang dan kuhadapi mereka!”

   “Kuharap engkau menyadari benar bahwa balas membalas dan dendam mendendam adalah ulah napsu yang amat membahayakan diri sendiri, Lan-moi. Kalau kelak aku berhadapan sebagai musuh tujuh orang itu, maka tentu bukan karena hendak membalas dendam, melainkan karena mereka melakukan perbuatan jahat yang harus kutentang. Tentu hal ini sudah engkau ketahui dari Ayah ibumu.”

   Hui Lan mengangguk.

   “Memang, Ayah selalu mengatakan demikian, akan tetapi kalau aku ingat betapa Kong-couw yang usianya sudah amat tua itu mereka keroyok, hatiku menjadi panas sekali.”

   “Hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin, Lan-moi, karena segala tindakan kita diatur oleh pikiran dalam kepala kita. Nah, aku sudah menceritakan semua, sekarang harap engkau mengaso. Sudah kutaburi dengan rumput kering di sana, dapat kau pakai untuk tidur.”

   “Dan engkau sendiri?”

   “Biarlah aku yang menjaga agar api unggun tidak sampai padam.”

   “Aih, bagaimana aku dapat tidur kalau begitu? Akui tidur nyenyak dan engkau berjaga seorang diri di sini? Biarlah engkau saja yang mengaso dan tidur, aku yang menjaga api unggun.”

   “Engkau menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak mungkin, Lan-moi! Semua orang akan mentertawakan aku kalau mendengar bahwa aku menyuruh seorang gadis berjaga malam sedangkan aku sendiri tidur mendengkur! Sudah sepantasnya kalau aku sebagai laki-laki mengalah. Tidurlah dan aku dengan senang hati akan menjaga api unggun ini agar tidak padam.”

   “Baiklah, Kong-ko. Akan tetapi kau harus berjanji akan membangunkan aku setelah lewat tengah malam agar aku dapat menggantikan engkau berjaga.”

   “Baik, Lan-moi.”

   Hui Lan meratakan daun kering yang menutupi rumput basah, kemudian membaringkan tubuhnya membelakangi Si Kong dan api unggun. Karena ia memang sudah lelah sekali, maka sebentar saja ia sudah tidur. Si Kong mengetahui bahwa gadis itu telah tidur pulas. Pernapasan gadis itu panjang dan lembut, tanda bahwa ia sudah tidur. Kini dengan leluasa Si Kong dapat memandangi gadis itu. Wajahnya tidak nampak karena ia membelakangi api unggun, akan tetapi ia dapat melihat kulit tengkuk yang putih mulus itu, dan melihat bentuk tubuh yang ramping dan padat itu. Alangkah cantiknya ia, sukar mendapatkan gadis secantik Hui Lan, demikian dia mendengar bisikan di telinganya.

   “Lihat betapa montok pinggulnya, dan betapa halus mulus kulit lehernya. Pinggangnya demikian ramping, jari-jari tangannya demikian mungil,”

   Bisikan itu melanjutkan.

   “Akan tetapi sungguh tidak sopan memandangi tubuh seorang gadis yang sedang tidur!”

   Suara lain dari hatinya mencela suara yang datang dari kepala itu.”

   “Hah, apanya yang tidak sopan? Sudah jamak laki-laki memperhatikan dan mengagumi perempuan, dan di sini tidak ada siapa-siapa lagi, tidak ada yang melihatnya. Mungkin ia pun tertarik kepadamu. Sinar matanya begitu lembut kalau memandangmu, dan bibirnya… ahhh, bukankah bibir itu menantangmu untuk kau cium”?”

   Suara kepala membujuk.

   “Keparat! Kau sungguh tidak tahu malu! Dimana kesopananmu? Dimana kegagahanmu? Usirlah keinginan yang bukan-bukan dari pikiranmu!”

   Suara hatinya membentak. Pikirannya mentertawakannya.

   “Jangan pura-pura alim! Sejak tadi engkau sudah ingin mencumbunya. Kalian hanya berdua saja di tempat yang sunyi ini. Hanya kalian berdua! Dan lupakah engkau betapa mancung hidung itu, betapa bibir itu merah segar dan selalu mengharapkan cumbuan darimu?”

   Bisikan itu sayu-sayu saja dan seolah terdengar dibelakang kepalanya.

   “Iblis!”

   Tiba-tiba dia memutar tubuhnya.

   “Desss…!”

   Batang pohon yang berada dibelakangnya itu terkena pukulannya dan runtuhlah semua daun kering dan setengah kering.

   “Pergi kau, iblis!”

   Si Kong merasa betapa kepalanya berdenyut dan panas. Dia harus dapat menentang dan mengusir bisikan iblis, napsunya sendiri itu. Dia termenung dan teringat akan wejangan dari guru-gurunya.

   “Napsu itu sifatnya seperti api,”

Demikian kata Si Penyair Gila.

   “Kalau dapat dikendalikan dia akan menjadi pembantu yang bermanfaat sekali bagi kehidupan, bahkan tanpa api orang akan hidup tidak normal. Akan tetapi sekali engkau membiarkan dia merajalela dia akan membakar seluruh hutan dengan lahapnya!”

   Si Kong mengerti bahwa yang berbisik tadi adalah nafsu yang memenuhi pikirannya dengan bayangan-bayangan yang menyenangkan sedangkan yang membantah dan mengingatkannya adalah jiwanya yang murni. Dia teringat akan ujar-ujar dari Nabi Khong-cu dalam kitab Tiong Yong dan diapun berbisik lirih mengulang ujar-ujar itu.

   Hi Nouw Ai Lok Ci Bi Hoat,
Wi Ci Tiong.
Hwat Ji Kai Tiong Ciat,
Wi Ci Ho.
Tiong Ya Cia,
Thian He Ci Tai Pun Ya.
Ho Ya Cia,
Thian He Ci Tat To Ya.

   “Sebelum timbul rasa senang, marah, duka dan suka, maka hati, akal pikiran berada dalam Keadaan Seimbang. Apabila dapat mengendalikan bermacam perasaan itu, hati, akal pikiran berada Keadaan Selaras. Keadaan Seimbang itu adalah Pokok Terbesar dari dunia. Sedangkan Keadaan Selaras adalah Jalan Utama dari dunia.”

   Si Kong termenung dan mencoba untuk menguraikan ujar-ujar itu. Perasaan susah, senang, marah, benci dan sebagainya adalah ulah nafsu. Kalau seseorang belum dikuasai nafsu-nafsu ini, maka dia adalah seorang yang berimbang atau lurus, tidak miring. Akan tetapi begitu nafsu menguasainya dan perasaan-perasaan itu memasukinya, maka pertimbangannya menjadi miring. Manusia menjadi jahat kalau sudah dikuasai nafsu. Akan tetapi kalau dia dapat mengendalikannya, maka diapun akan tetap menjadi majikan dari nafsunya dan keadaannya menjadi selaras. Nafsu telah berada dalam diri manusia sejak dia lahir di dunia. Nafsu inilah yang membuat manusia dapat hidup di dunia. Nafsu inilah yang membuat manusia hidup seperti sekarang ini, memperoleh kemajuan, ada gairah hidup dan semangat.

   Nafsu menjadi peserta manusia yang teramat penting sehingga manusia dapat hidup di dunia dengan bahagia. Nafsu menjadi hamba yang amat baik. Akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan nafsu merajalela. Kalau begitu halnya, nafsu memperbudak kita, membelenggu kita dan membuat kita menuruti segala kehendaknya. Nafsu akan menjadi majikan dan kalau dia menjadi majikan, dia menjadi majikan yang menyeret kita ke dalam kehancuran. Si Kong menghela napas panjang. Samar-samar dia masih dapat mendengar suara yang membujuknya tadi pergi sambil menyumpah-nyumpah. Untung jiwanya kuat, pikirnya. Kalau tidak, tentu dia akan menjadi budak nafsu dan menuruti semua bujukannya.

   Dia merasa ngeri! Kalau tadi dia membiarkan diri dicengkeram nafsu dan melakukan semua perbuatan keji terhadap Hui Lan, alangkah ngerinya itu, alangkah besar penyesalannya dan hebat akibatnya. Dia bergidik. Dia tadi sudah berada di mulut jurang. Dia harus berhati-hati. Inilah yang dikatakan para arif bijaksana bahwa musuh yang paling besar adalah nafsu-nafsunya sendiri yang berada di dalam diri. Dikatakan pula bahwa mengalahkan musuh adalah gagah, akan tetapi mengalahkan nafsunya sendiri adalah bijaksana! Si Kong teringat akan sajak yang amat disuka oleh Kwa Siucai, yang diambil dari Kitab To-tek-keng. Dengan lirih diapun bersenandung, seperti yang dilakukan oleh gurunya yang kedua, Si Penyair Gila.

Kata-kata yang jujur tidak bagus,
kata-kata yang bagus tidak jujur.
Si cerdik tidak membual,
si pembual tidak cerdik.
Orang yang tahu tidak sombong,
orang yang sombong tidak tahu.
Orang suci tidak menyimpan,
dia menyumbang sehabis-habisnya,
akan tetapi makin menjadi kaya,
dia memberi sehabis-habisnya.
Jalan yang ditempuh Langit
menguntungkan, tidak merugikan.
Jalan yang ditempuh orang suci
memberi, tidak merebut.”

JILID 14


   Malam semakin larut. Suasana hening sekali walaupun dalam keheningan itu penuh dengan suara-suara margasatwa, kadang-kadang diseling suara api membakar kayu kering, berkerotokan. Si Kong yang mengamati diri sendiri merasakan betapa bujukan seperti tadi tidak ada lagi, sedikitpun tidak ada bekasnya. Hal ini terjadi karena pikirannya sibuk dengan ujar-ujar tadi. Jadi jelaslah bahwa pikiran, ingatan, yang menjadi penggoda manusia. Segala perbuatan diawali dengan pemikiran yang bergelimang nafsu sehingga lahirlah perbuatan-perbuatan yang hanya mementingkan diri mencari kesenangan sendiri saja. Demi mencapai kesenangan yang dikehendaki, orang tidak segan melakukan segala macam kejahatan yang merugikan orang lain. Si Kong menghela napas dan menengadah.

   “Ya Tuhan, berilah kekuatan pada hamba untuk mengekang dan mengendalikan nafsu,”

   Dia berbisik lalu menyibukkan diri dengan menambah kayu bakar pada api unggun.

   Tanpa dirasakannya, malam telah larut dan hawa udara makin dingin menyusup tulang. Bahkan api unggun tidak cukup kuat untuk menghangatkan udara. Dia melihat betapa Hui Lan tidur miring dengan kedua kaki terlipat. Kasihan, pikir Si Kong, ia kedinginan. Dia lalu membuka buntalannya dan mengeluarkan sehelai kain lebar yang biasa dipakainya untuk melindungi tubuhnya dari serangan hawa dingin. Dengan perlahan-lahan dan hati-hati agar jangan membangunkan gadis yang sedang tidur nyenyak itu dia menyelimuti Hui Lan. Kemudian dia duduk kembali dekat api unggun. Kini dia duduk bersila dan memejamkan matanya. Mata dan tubuhnya perlu beristirahat, akan tetapi kepekaannya tetap menjaga. Sedikit suara saja akan terdengar olehnya dan akan membuatnya terjaga.

   Juga kalau api unggun mengecil, akan terasa olehnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Si Kong sudah bangun. Suara burung-burung yang berkicau riang gembira membangunkannya. Setelah menambah kayu bakar pada api unggun untuk menghangatkan hawa udara yang masih dingin sekali, dia lalu mencari sumber air di hutan terdekat. Akhirnya dia menemukan sumber air yang memancur dari celah-celah batu. Bukan main girang rasa hatinya. Cepat dia membersihkan tubuhnya dan dengan wajah dan rambut masih basah dan meneteskan air, dia kembali ke padang rumput. Ternyata Hui Lan sudah bangun. Bajunya agak kusut dan rambutnya awut-awutan, sebagian gelung rambutnya terlepas. Si Kong memandang dan terpesona. Dalam keadaan bangun tidur seperti itu, Hui Lan nampak lebih menarik!

   “Ah, engkau sudah bangun, Lan-moi?”

   “Kong-ko, ini kepunyaanmukah?”

   Ia mengambil selimut yang sudah dilipatnya dengan baik. Si Kong hanya mengangguk dan menerima selimut itu ketika gadis itu menyodorkannya.

   “Kong-ko engkau tidak membangunkan aku, bahkan menyelimutiku. Aku enak-enak tidur semalam suntuk dan kau berjaga sampai pagi! Sungguh engkau membuat aku merasa malu. Kenapa engkau tidak menggugahku untuk menggantikanmu berjaga?”

   “Aku tidak tega menggugahmu, Lan-moi. Dan pula, akupun sudah beristirahat. Bahkan aku telah membersihkan badan di sumber air di hutan itu.”

   Dia menunjuk ke kanan.

   “Disana ada pohon yang tertinggi. Nah, disamping pohon itu terdapat batu-batu besar dan sumber air itu memancur keluar dari celah-celah batu besar.”

   “Ah, baik sekali! Biar aku membersihkan badan dan berganti pakaian.”

   Hui Lan lalu mengambil satu setel pakaian dan berlari kecil menuju ke hutan yang ditunjuk oleh Si Kong. Si Kong memandang dan tersenyum. Alangkah indahnya pagi ini. Kicau burung menggantikan suara marga satwa yang sudah tidak berbunyi lagi. Kicau burung yang amat meriah dan terdengar merdu sekali. Jarang Si Kong merasakan pagi secerah dan seindah ini. Ada rasa bahagia menyelinap di dalam hatinya. Begini bahagia dan nikmatnya hidup, dia termenung dan bangkit berdiri, menghirup napas yang panjang dan dalam sampai terasa hawa murni memasuki bawah pusar. Dia merasa tubuhnya demikian segarnya sehingga tanpa disadari dia telah berlatih silat!

   Dia mainkan delapan jurus Hok-liong-sin-ciang, mula-mula dengan lambat sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya, kemudian makin lama semakin cepat dan diapun mengubah ilmu silatnya, kini mainkan Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) dan tubuhnya sudah tidak kelihatan jelas lagi saking cepatnya dia bergerak. Hanya nampak bayangannya saja berkelebatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar. Setelah jurus terakhir dia mainkan dan kini tubuhnya tidak bergerak lagi dalam posisi kedua lengan rapat di tubuh dan kedua kaki sejajar tegak, jurus penutupan yang disebut jurus “Burung Walet Beristirahat”

   Tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara orang memuji dan bertepuk tangan. Si Kong seperti baru sadar dari mimpi. Ketika dia membalikkan tubuhnya, dia melihat Hui Lan sudah berdiri di depannya dan gadis ini bertepuk tangan memuji.

   “Bagus sekali ilmu silatmu tadi, Kong-ko. Begitu cepatnya gerakanmu!”

   Si Kong merasa terpesona. Hui Lan sudah mengenakan pakaian pengganti, rambutnya masih agak basah dan dibiarkan terjurai agar cepat kering, wajahnya yang tanpa bedak atau gincu itu nampak segar berseri, putih kemerahan. Dengan rambut terurai seperti itu, di bawah sinar matahari yang cerah, ia kelihatan seperti seorang Dewi dari Langit! Akan tetapi dia segera dapat menguasai dirinya, dan sambil tersenyum berkata merendah.

   “Ah, Lan-moi, betapa cepatpun gerakanku, masih tidak mampu menandingimu.”

   “Pujianku tidak kosong belaka, Kong-ko. Ilmu silat tangan kosong yang kau latih tadi sungguh hebat gerakannya. Demikian cepatnya. Ilmu silat apakah itu, Kong-ko? Apakah engkau mempelajarinya dari kong-couw? Aku tahu bahwa kong-couw memiliki banyak ilmu silat yang luar biasa.”

   “Bukan dari suhu Ceng Lo-jin, Lan-moi. Ilmu silat itu disebut Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) dan aku mempelajarinya dari Si Penyair Gila.”

   “Ah, pantas aku belum pernah melihatnya. Engkau beruntung mendapatkan banyak guru yang sakti, Kong-ko. Aku percaya bahwa dari kong-couw engkau tentu telah mempelajari ilmu-ilmu yang langka dan lihai. Engkau tentu telah mempelajari ilmu simpanan kong-couw!”

   Dalam suara itu terkandung nada iri.

   “Aku hanya mempelajari dua macam ilmu dari suhu Ceng Lo-jin,”

   Kata Si Kong terus terang.

   “Ilmu apa sajakah yang kau pelajari dari Pulau Teratai Merah? Aku ingin sekali mengetahui, Kong-ko.”

   “Hanya dua macam, yaitu Hok-liong Sin-ciang dan Thi-ki-i-beng.”

   “Wah, dua macam ilmu yang paling sulit di dunia, kata nenekku. Bahkan nenek sendiri sebagai anak kakek buyut tidak diberi pelajaran Thi-ki-i-beng!”

   Seru Hui Lan dengan kagum sekali.

   “Dan kata ibuku, ilmu silat Hok-liong Sin-ciang merupakan ilmu yang sulit dipelajari.”

   “Memang sesungguhnya begitu, Lan-moi. Ilmu silat itu hanya terdiri dari delapan jurus, akan tetapi untuk menguasai ilmu itu dengan baik, aku harus berlatih tekun selama dua tahun! Dan ternyata setiap jurus ilmu itu dapat dikembangkan menjadi puluhan macam gerakan, tergantung dari bakat dan naluri si murid.”

   Hui Lan menggeleng-gelengkan kepalanya.

   “Wah, begitu sulit? Dan yang tadi kau mainkan kau peroleh dari Si Penyair Gila. Ilmu apa saja yang kau pelajari darinya, Kong-ko? atau, ini merupakan rahasia pribadi yang tidak boleh diketahui orang lain?”

   Si Kong tersenyum.

   “Terhadap orang lain memang aku harus merahasiakan, akan tetapi engkau bukan orang lain, malah cucu buyut suhu Ceng Lo-jin, maka aku berterus terang saja padamu. Dari Suhu Kwa Siucai itu aku mempelajari Yan-cu Hui-kun, ilmu silat yang tadi kumainkan dan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng (Lari Terbang Diatas Bumi).”

   “Pantas ilmu meringankan tubuh yang kau kuasai demikian hebat. Dan dari Yok-sian Lo-kai, engkau mempelajari apa sajakah?”

   “Dari suhu Yok-sian Lo-kai aku mempelajari ilmu tongkat Taw-kauw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing), ilmu pengobatan dan juga ilmu mengemis.”

   “Ilmu mengemis?”

   Tanya Hui Lan terbelalak heran dan geli.

   “Ya, ilmu mengemis. Mengemispun ada ilmunya, Lan-moi. Ada orang mengemis secara kasar dan menakut-nakuti. Adapula yang mengemis dengan cara berpura-pura buta, lumpuh dan sebagainya. Mengemis seperti itu tidak baik, membuat orang yang dimintai sumbangan menjadi kecewa atau marah. Ilmu mengemis adalah cara mengemis yang wajar, dilakukan karena terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan sehingga yang dimintai sumbangan merasa iba hati dan menolong sepenuh hati dan rela. Inilah yang kumaksudkan dengan ilmu mengemis.”

   Hui Lan menggeleng-geleng kepalanya dan memandang kepada pemuda itu dengan kagum.

   “Wah, banyak sekali pengalaman hidup yang kau peroleh, disamping ilmu-ilmu yang tinggi. Sekarang aku hendak menguji ilmu-ilmu tadi, Kong-ko. engkau tidak berkeberatan memberi sedikit petunjuk kepadaku, bukan?”

   “Wah, aku mengaku kalah saja, Lan-moi. Aku tidak berani melawanmu.”

   “Ini bukan pertandingan kalah atau menang, Kong-ko. Hanya untuk menguji ilmu masing-masing. Kalau engkau menolak kuanggap engkau memandang rendah kepadaku dan aku akan merasa kecewa dan marah kepadamu. Nah, pergunakanlah tongkatmu itu, aku ingin mencoba ilmu tongkatmu.”

   “Kita tidak bertanding mengapa harus menggunakan senjata? Kalau engkau memaksa, marilah kita latihan sebentar dengan tangan kosong saja.”

   “Hemm, bertangan kosong dan menggunakan senjata, apa bedanya? Kalau sudah menguasai ilmu dengan baik, senjata dapat ditahan sebelum mengenai tubuh lawan. Akan tetapi karena engkau menghendaki latihan dengan tangan kosong, baiklah. Marilah kita berlatih ilmu silat tangan kosong. Engkau pergunakanlah Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga) yang hebat itu, agar mataku terbuka dan pengetahuanku bertambah.”

   “Baik, Lan-moi,”

   Kata Si Kong sambil berdiri tegak di depan gadis itu.

   “Awas, Kong-ko, aku mulai menyerangmu!”

   Gadis itu berseru dan tubuhnya sudah meloncat ke depan dan mengirim serangan yang cepat sekali dan pukulannya mendatangkan angin menderu! Si Kong terkejut dan kagum, maklum bahwa gadis itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, maka diapun tidak berani memandang rendah. Dia benar-benar bersilat dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang, mengelak dan mencari kesempatan untuk balas menyerang. Akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu berputar dan kedudukannya sudah beralih ke sebelah kiri Si Kong sambil menyerang lagi dengan pukulan tangan miring! Si Kong terpaksa menangkis dengan lengan kirinya.

   “Dukk!”

   Dua buah lengan bertemu dan Si Kong merasa betapa lengannya tergetar sedangkan Hui Lan juga terpaksa melangkah ke belakang karena tubuhnya terdorong hebat. Keduanya maklum bahwa tenaga sin-kang lawan amat kuat. Sebelum Si Kong dapat menemukan lowongan, kembali tubuh Hui Lan berkelebat ke kanan kiri, bahkan memutari dirinya, membuat Si Kong kagum sekali. Ternyata gadis ini menggunakan ilmu silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Silat Dewa Mabok Delapan belas Jurus) dan iapun menggunakan langkah ajaib Jiauw-pou Poan-san. Langkah kedua kakinya ini aneh sekali, akan tetapi amat membingungkan bagi lawan karena langkah-langkah yang berubah-ubah itu membuat tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri membingungkan.

   Si Kong merasa kagum bukan main dan diam-diam dia harus mengakui bahwa kalau dia tidak mahir ilmu Hok-liong Sin-ciang, tentu dia akan kalah. Biarpun ilmu tangan kosong Yan-cu Hui-kun yang amat cepat itupun akan sulit menghadapi ilmu silat gadis ini. Namun Hok-liong Sin-ciang adalah dasar ilmu-ilmu silat tinggi. Dengan tegap Si Kong mengatur langkahnya dan memainkan kedua lengannya sedemikian rupa sehingga Hui Lan tidak melihat lowongan untuk menyerang, seolah tubuh pemuda itu telah dilindungi oleh perisai baja yang menghalangi setiap pukulan lawan. Karena langkah-langkah gadis itu luar biasa dan membingungkan, Si Kong juga tidak tahu bagaimana mengalahkan gadis itu. Padahal, mereka sudah saling serang selama lima puluh jurus lebih. Daun-daun yang berdekatan terlepas dari tangkainya dan berguguran terkena hawa pukulan mereka.

   “Hemm, kalau aku mengalah, Lan-moi tentu akan mengetahuinya dan menganggap aku meremehkannya. Akan tetapi untuk mengalahkannya tanpa melukai, sungguh amat sukar,”

   Demikian pikir Si Kong dan tiba-tiba dia teringat akan ilmunya Thi-ki-i-beng. Hanya ilmu itulah yang kiranya akan dapat membantunya mengalahkan Hui Lan tanpa melukainya. Ketika sebuah pukulan Hui Lan menyambar ke arah lehernya, dia membuat gerakan miring dan sengaja membiarkan pundak terkena pukulan tangan miring itu.

   “Plakk!”

   Pukulan itu mengenai pundak dan tiba-tiba saja Hui Lan berseru kaget. Tangan kirinya yang memukul melekat pada pundak pemuda itu dan ia merasa betapa tenaga sin-kangnya menerobos keluar! Hui Lan mengerahkan tenaganya untuk melepaskan tangannya, namun makin kuat ia mengerahkan tenaga sin-kangnya, makin kuat pula pundak itu menyedot sin-kangnya. Tiba-tiba Si Kong melepaskan ilmunya dan berbareng mendorong tubuh gadis itu terlontar ke belakang. Hui Lan membuat gerakan jungkir balik empat kali yang indah sekali dan ia turun ke atas tanah dengan tegak.

   “Hebat bukan main caramu pok-sai (jungkir balik) itu, Lan-moi. Ternyata ginkangmu juga sudah mencapai tingkat tinggi.”

   “Kong-ko, yang tadi itu, Thi-ki-i-beng?”

   Tanyanya kagum.

   “Benar, Lan-moi. Karena aku bingung bagaimana untuk dapat mengalahkanmu, maka aku terpaksa menggunakan Thi-ki-i-beng. Maafkan aku, Lan-moi.”

   “Kenapa mesti minta maaf? Aku girang engkau menggunakan Thi-ki-i-beng sehingga aku mengenal kehebatannya. Padahal, kalau engkau tidak ragu dan banyak mengalah, dengan Hok-liong Sin-ciang itupun aku pasti kalah. Sekarang, agar aku merasa puas, pergunakan tongkatmu, Kong-ko. Aku akan menggunakan sepasang Hok-mo Siang-kiam!”

   Setelah berkata demikian, Hui Lan mencabut sepasang pedangnya dan dua sinar gemilang ketika sepasang pedang itu telah berada di kedua tangannya. Si Kong tidak dapat menolak lagi. Gadis itu bersikap jujur dan terus terang, dapat menerima kekalahannya dengan wajar. Dia mengambil tongkat bambunya dan melintangkan tongkat bambunya di depan dada.

   “Kong-ko,”

   Kata Hui Lan dengan nada suara ragu.

   “Engkau perlu mengetahui bahwa sepasang pedangku ini adalah Hok-mo Siang-kiam yang amat tajam dan kuat, mudah membuat patah pedang atau golok lawan. Sedangkan engkau hanya bersenjata tongkat bambu, ini tidak seimbang sama sekali. sekali bentur tongkatmu tentu akan patah.”

   Si Kong tersenyum.

   “Jangan khawatir dan ragu, Lan-moi. Suhu Yok-sian Lo-kai tidak pernah menggunakan senjata lain kecuali tongkat bambu. Akan tetapi belum pernah tongkat bambunya dipatahkan senjata lawan. Aku akan berusaha agar tongkat bambuku ini tidak sampai patah oleh sepasang pedangmu.”

   “Baik, Kong-ko. Awas seranganku!”

   Hui Lan mulai menggerakkan sepasang pedangnya. Demikian cepat gerakan pedang gadis ini sehingga bentuk pedang lenyap berubah menjadi dua gulung sinar kebiruan seperti sepasang naga bermain-main diangkasa.

   Ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam ini dahulu menjadi andalan Toan Kim Hong atau Lam Sin (Sakti dari Selatan) yang menjadi isteri kakek Ceng Thian Sin. Ilmu ini diwariskan kepada Ceng Sui Cin yang kemudian mewariskannya pula kepada anaknya, Cia Kui Hong yang kemudian menyerahkan pula kepada Tang Hui Lan. Nenek Toan Kim Hong yang memiliki sepasang pedang lalu mempersatukan ilmu-ilmu pedang yang dikenalnya, dirangkai dan diambil bagian terpenting dan terlihai sehingga ia memiliki ilmu pedang rangkaian sendiri yang diberi nama sama dengan pedangnya, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka jadilah ilmu pedang pasangan yang amat dahsyat seperti yang dimainkan Hui Lan sekarang ketika ia menyerang Si Kong. Si Kong terkejut dan mengelak dengan cepat. Dia kagum sekali ketika Hui Lan menyerangnya secara bertubi-tubi dengan kedua pedangnya.

   “Ilmu pedang yang hebat!”

   Dia berseru dan dia sudah memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung. Tubuhnya melesat ke sana-sini menyelinap diantara gulungan sinar pedang yang kebiruan itu. Biarpun ilmu tongkat ini hebat dan menjadi rajanya semua ilmu tongkat, akan tetapi kalau bukan Si Kong yang memainkannya, belum tentu akan dapat menandingi kehebatan Hok-mo Siang-kiam. Akan tetapi di tangan Si Kong, tongkat itu menjadi aneh sekali dan begitu diputar mengeluarkan angin dahsyat. Hebatnya, tongkat bambu itu berkali-kali membentur sepasang pedang dan sama sekali tidak menjadi patah atau putus! Dan terbentuklah gulungan sinar kuning kehijauan dari tongkat itu mengimbangi gulungan sinar sepasang pedang.

   Hampir seratus jurus berlalu tanpa ada yang nampak kalah atau menang. Ketika Si Kong kelihatan agak mengendur, Hui Lan menggunting dengan sepasang pedangnya ke arah pinggang Si Kong. serangan ini hebat sekali dan agaknya sekali ini Si Kong tidak akan dapat menghindarkan dirinya lagi. Akan tetapi, dengan ilmu Liok-te Hui-teng, tubuhnya melesat ke atas sehingga guntingan sepasang pedang itu luput dan pada saat itu Hui Lan merasa betapa rambut dikepalanya dijamah sesuatu dan seketika tali pengikat rambutnya yang belum digelung itu lepas dan rambutnya menjadi awut-awutan dan berkibar-kibar. Hui Lan cepat meloncat ke belakang. Ia melihat Si Kong sudah turun pula dan di ujung tongkatnya terdapat pita yang tadi mengikat rambutnya. Gadis itu memandang kagum. Tentu saja kalau pita rambutnya dapat diambil oleh tongkat Si Kong, berarti ia kalah. Mengambil pita rambut itu dapat saja diubah menjadi pukulan atau totokan pada kepalanya!

   “Ilmu tongkatmu juga hebat sekali, Kong-ko!”

   Kata Hui Lan kagum dan ia mengambil pita rambutnya dari ujung tongkat yang disodorkan Si Kong.

   “Ilmu pedangmu juga amat hebat. Terus terang saja belum pernah aku bertanding melawan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi darimu. Ilmu pedangmu membuat aku kewalahan dan kehabisan akal untuk mencari kemenangan. Baru setelah melihat pita rambutmu berkibar, aku mendapat akal dan ternyata berhasil menggunakan tongkat untuk mengambilnya,”

   Kata Si Kong sejujurnya.

   “Benarkah kata-katamu itu, Kong-ko?”

   Tanya Hui Lan yang kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri karena dikalahkan Si Kong.

   “Untuk apa aku berbohong? Apa yang kuucapkan keluar dari dalam hatiku, bukan untuk menyenangkanmu, Lan-moi.”

   Hui Lan membereskan dan mengikat kembali rambutnya dengan pita.

   “Aku percaya padamu, Kong-ko dan ucapanmu itu melegakan hatiku. Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Kong-ko. Mudah-mudahan di depan ada dusun dan kedai makanan agar kita dapat sarapan.”

   “Mari, Lan-moi. Akupun sudah siap.”

   Pemuda dan gadis perkasa ini sama sekali tidak mengira bahwa tak jauh dari situ, dibelakang semak-semak, ada dua pasang mata mengamati dan dua pasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Kenyataan bahwa disitu terdapat dua orang yang mengintai tanpa diketahui Hui Lan maupun Si Kong sudah menunjukkan bahwa dua orang itu berkepandaian tinggi. Mereka dapat membuat gerakan mereka tidak mengeluarkan suara.

   Ketika Si Kong dan Hui Lan pergi meninggalkan tempat itu, dua orang yang tadi mengintai itupun pergi dengan cepatnya. Bahkan mereka berlari cepat mendahului Si Kong dan Hui Lan yang sama sekali tidak tahu bahwa mereka diamati orang. Setelah matahari naik tinggi, Si Kong dan Hui Lan tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Mereka segera mencari penjual makanan dan mendapatkan sebuah kedai makanan dan minuman yang merupakan satu-satunya kedai makanan di dusun itu. Matahari telah naik tinggi dan kedai itu telah sepi tamu. Si Kong dan Hui Lan memasuki kedai, disambut oleh penjaga kedai yang hanya ada seorang saja tiu, seorang yang berusia empat puluh tahun lebih. Penjaga kedai itu bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang menderita suatu penyakit.

   “Selamat siang, tuan muda dan nona. Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak makan dan minum? Ji-wi memesan apakah?”

   “Jual makanan apa saja engkau?”

   Tanya Hui Lan.

   “Ada bakpau, roti gandum dan juga nona dapat memesan bakmi kuah.”

   “Aku memesan bakmi kuah dan air teh hangat,”

   Kata Hui Lan.

   “Aku juga memesan yang sama,”

   Kata Si Kong.

   “Baik, harap ji-wi tunggu sebentar. Silakan duduk, saya akan mempersiapkan pesanan ji-wi.”

   Penjaga kedai itu lalu masuk ke dalam, terus kedapur yang letaknya diruangan belakang. Di dapur itu duduk seorang pemuda dan seorang gadis, sedangkan di atas sebuah bangku panjang duduk seorang wanita dan seorang anak berusia sepuluh tahun, keduanya terikat pada bangku. Penjaga kedai memandang kepada pemuda dan gadis itu dengan muka ketakutan, lalu memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat itu.

   “Mereka memesan apa?”

   Tanya gadis cantik itu.

   “Me… memesan… Bakmi kuah dan air teh,”

   Jawab penjaga kedai dengan suara gemetar ketakutan.

   “Bagus, cepat buatkan bakmi kuah itu,”

   Kata pula si gadis itu. Si penjaga kedai cepat memasakkan bakmi kuah itu dan tak lama kemudian bakmi kuah telah matang. Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku pinggangnya, membuka bungkusan dan mengambil sedikit bubuk putih yang lalu dimasukkan ke dalam dua mangkuk bakmi kuah. Bakmi itu diaduk-aduk dengan sumpit lalu gadis itu berbisik,

   “Cepat hidangkan kepada mereka. Hati-hati kau, jangan sampai kedua orang itu curiga!”

   “Kalau engkau tidak memenuhi perintah, ingat, isteri dan anakmu akan kubunuh!”
   
Pemuda itu pun menghardik lirih. Penjaga kedai itu mengangguk-angguk, tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat dibangku dengan hati cemas, kemudian dia membawa dua mangkuk mi kuah dan sepocai air teh dan dua cangkir kosong. Setelah tiba di luar, dia menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Ditaruhnya dua mangkuk mi kuah itu bersama poci teh dan dua cangkirnya ke atas meja di depan Si Kong dan Hui Lan. Sambil menahan agar suaranya tidak gemetar, dia berkata,

   “Silakan makan dan minum, kongcu dan siocia.”

   Hui Lan memandang tajam wajah penjaga kedai itu.

   “Kenapa wajahmu demikian pucat dan suaramu gematar, paman? Apakah engkau sakit?”

   Penjaga kedai itu terkejut dan was-was, dia membungkuk dan menjawab,

   “Dalam beberapa hari ini memang badan saya masuk angin dan sakit-sakit, nona. Akan tetapi sudah saya belikan obat.”

   Dia lalu kembali ke depan untuk menyambut kalau ada tamu memasuki kedainya. Akan tetapi matanya terus melihat ke arah pemuda dan gadis yang mulai makan mi kuahnya. Hatinya merasa gelisah sekali. Dia tidak tahu benda apa yang dimasukkan ke dalam mi kuah tadi, akan tetapi dia menduga bahwa perbuatan itu tentu tidak bermaksud baik. Pemuda dan gadis cantik yang berpakaian mewah itu telah menyandera isteri dan anaknya.

   Orang-orang seperti itu, betapapun taman dan cantiknya, tentu bukan orang baik-baik. Hatinya terasa lega bukan main melihat Si Kong dan Hui Lan menghabiskan bakmi mereka dan minum beberapa cangkir air teh. Tergopoh dia maju menghampiri ketika Si Kong minta agar guci tempat airnya diisi penuh dengan air jernih. Setelah mengisi guci itu dengan air jernih dan mengembalikannya kepada Si Kong, penjaga kedai itu dengan wajah gembira melihat dua orang tamunya tidak apa-apa, lalu memperhitungkan harga makanan dan minuman. Hui Lan membayar lalu ia dan Si Kong keluar dari kedai itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. Sedikitpun mereka tidak menyangka buruk. Sementara itu, pemuda yang mengintai ke depan bersama gadis cantik itu mengerutkan alisnya.

   “Yin-moi, bagaimana sih kau ini? Racun bubuk putihmu sama sekali tidak mendatangkan hasil. Lihat mereka pergi dengan tenang!”

   Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau ia tersenyum. Seorang gadis cantik, rambutnya dihias emas permata, lengannya memakai gelang kemala, mengenakan anting-anting indah dan pakaiannya juga mewah. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin yang sudah kita kenal. Dahulu ia merantau dengan menyamar sebagai seorang pemuda pengemis yang usianya remaja dan memakai nama Siangkaon Ji. Seperti kita ketahui, gadis ini bertemu dengan Tio Gin Ciong putera Datuk Timur yang berjuluk Tung Giam-ong. Mereka menjadi sahabat dan melakukan perjalanan bersama menuju ke Kwi-liong-san untuk ikut merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tanpa disengaja, kedua orang muda yang menunggang dua ekor kuda itu melihat Hui Lan dan Si Kong. Cu Yin yang merasa masih sakit hati kepada Si Kong yang menolak cintanya, bahkan tidak mau melakukan perjalanan bersamanya, tentu saja marah sekali melihat pemuda itu kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain.

   “Kita ambil jalan lain mendahului mereka ke dusun itu!”

   Kata Cu Yin yang segera membalapkan kudanya diikuti oleh Gin Ciong.

   “Tahan dulu, Yin-moi! Mereka itu siapa dan kenapa kita harus mendahului mereka?”

   “Diamlah dulu, Ciong-ko. Nanti saja kuceritakan. Sekarang, cepat balapkan kuda memasuki dusun di depan itu, mendahului mereka!”

   Mendengar bentakan ini, Gin Ciong hanya menggerakkan pundak dan membalapkan kudanya. Mereka mengikat kuda mereka di luar dusun, lalu memasuki dusun itu. Mereka mencari-cari dan melihat kedai makanan dan minuman di tepi jalan.

   “Sini Ciong-ko. Mereka tentu akan makan minum di sini. Mari, kita menyelinap dari belakang!”

Keduanya dengan cepat melompat ke belakang kedai itu dan masuk melalui pintu dapur di belakang. Di dapur itu mereka melihat seorang wanita berusia kurang dari empat puluh tahun bersama seorang anak berusia sepuluh tahun. Ibu dan anak itu terkejut, akan tetapi dengan cepat Cu Yin menggerakkan tangannya dua kali dan kedua orang ibu dan anak itu tak dapat bergerak atau bersuara lagi.

   “Ikat mereka di bangku itu, Ciong-ko!”

   Kata Cu Yin. Permintaan ini ditaati oleh Gin Ciong yang segera mengikat ibu dan anak itu disebuah bangku panjang. Kemudian Cu Yin mengintai. Sepi di luar, hanya pemilik kedai yang berjaga di depan kedainya.

   “Sstt, paman! Kesinilah! Isteri dan anakmu ini kenapa?”

   Teriak Cu Yin. Pemilik kedai itu terheran, juga terkejut melihat seorang gadis cantik dan mewah memanggilnya dan muncul dari dalam itu. Mendengar ada sesuatu yang terjadi dengan isteri dan anaknya, dia pun bergegas masuk mengikuti Cu Yin ke dapur. Setelah tiba di dapur melihat isteri dan anaknya terikat dibangku, tentu saja dia terkejut bukan main.

   “Apa yang terjadi di sini?”

   Dia menghampiri anak isterinya, akan tetapi Gin Ciong sudah mencabut pedang dan menodongnya.

   “Turuti semua kehendak kami kalau engkau ingin isteri dan anakmu selamat!”

   Bentak Gin Ciong yang belum juga mengerti akan tindakan Cu Yin.

   “Kalau nanti ada seorang pemuda dan seorang gadis memasuki kedaimu, terimalah mereka dengan baik dan layani dengan ramah,”

   Kata Cu Yin.

   “Baik, nona… Akan tetapi kasihanilah kami, jangan ganggu isteri dan anak kami…”

   “Lihat saja nanti. Kalau engkau mentaati semua perintah kami, anak dan isterimu akan kami bebaskan. Akan tetapi kalau engkau tidak menaati kami, isteri dan anakmu akan kami bunuh!”

   Kata Cu Yin.

   “Sekarang keluarlah dan siap menerima dua orang tamu itu!”

   Pemilik kedai itu keluar dengan tergopoh-gopoh dan pada saat itu Hui Lan dan Si Kong memasuki kedainya. Dengan muka pucat karena mengingat keadaan anak isterinya, pemilik kedai menerima Hui Lan dan Si Kong dengan ramah. Dan selanjutnya kita sudah mengetahui betapa Cu Yin memasukkan racun bubuk putih dalam mi kuah yang dihidangkan kepada Hui Lan dan Si Kong. Ketika Gin Ciong menegur Cu Yin karena racun bubuk putihnya tidak mengganggu sedikitpun kepada pemuda dan gadis itu, ia tersenyum. Pada saat itu, pemilik kedai memasuki dapur dan Cu Yin menyambutnya dengan totokan. Orang itu mengeluh dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.

   “Mari kita tinggalkan mereka. Sebelum lewat satu jam dia tidak akan sadar. Mari kita bayangi mereka!”

   “Mau apa lagi, Yin-moi? Kalau memang mereka itu musuh-musuhmu, mari kita hadang mereka. Tidak perlu takut, aku akan membasmi mereka kalau engkau menghendakinya.”

   “Diamlah dulu. Nanti akan kujelaskan kepadamu siapa mereka dan mengapa aku melakukan semua ini!”

   Cu Yin menegur pemuda itu dan mereka membayangi Hui Lan dan Si Kong dari jarak jauh. Si Kong dan Hui Lan melangkah seenaknya, mereka telah memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan dusun itu, Hui Lan mengeluh, dan berkata,

   “Aih, kepalaku pening dan dadaku rasanya tidak enak sekali!”

   Ia lalu berhenti melangkah dan tangan kirinya meraba dahinya. Ia bahkan terhuyung. Si Kong terkejut dan cepat merangkulnya agar gadis itu tidak sampai roboh. Ia memapah gadis itu ke bawah sebatang pohon dan mengajaknya duduk di atas batu.

   “Engkau kenapa, Lan-moi? Coba kuperiksa sebentar.”

   Dia lalu menekan nadi pergelangan tangan gadis itu.

   “Ah, denyut nadimu kacau tidak karuan! Coba kau kerahkan sinkang untuk melawan rasa nyeri itu.”

   Hui Lan menurut dan mengerahkan sinkangnya. Akan tetappi akibatnya ia malah terpelanting dan terengah-engah.

   “Aduh, aku terpukul tenaga sendiri, ah nyeri, Kong-ko…!”

   Si Kong merasa heran dan dia mencobanya dengan diri sendiri. Dia mengerahkan sinkang dan dadanya seperti terpukul oleh tenaga yang amat kuat. Diapun terpelanting dan terengah-engah.

   “Kau kenapa, Kong-ko?”

   Tanya Hui Lan khawatir dan ia sudah lupa akan keadaannya sendiri.

   “Celaka, Lan-moi. Kita telah keracunan!”

   “Keracunan? Di kedai tadi?”

   “Tenanglah, Lan-moi, aku dapat mengobati kita… ahh, diamlah, ada orang datang…!”

   Yang muncul adalah Cu Yin dan Gin Ciong. Melihat Cu Yin, Si Kong segera mengenalnya dan saking herannya, dia berseru,

   “Yin-moi…! Engkau di sini?”

   “Kong-ko, engkau seorang manusia kejam, sekarang tahu rasa!”

   Gadis itu tersenyum manis dan berkata kepada Gin Ciong.

   “Lihat, Ciong-ko! Engkau tadi terlalu memandang rendah kepada puteri Lam Tok! Tidak percuma Ayahku berjuluk Racun Selatan kalau racunku tidak ampuh! Lihat mereka berdua sudah tidak dapat berdaya.”

   “Akan tetapi, siapakah mereka, Yin-moi?”

   “Nanti saja kuceritakan. Aku ingin menikmati pemandangan ini. Si Kong yang gagah perkasa, yang berkepandaian tinggi kini menggeletak tak berdaya, tidak dapat menyelamatkan kawan perempuannya, juga tidak dapat menolong dirinya sendiri. Hi-hi-hik!”

   “Yin-moi, jadi engkaukah yang melakukan ini? Tidak malukah engkau sebagai puteri datuk besar Lam Tok, menggunakan cara yang curang ini untuk merobohkan kami?”

   “Tutup mulutmu!”

   Bentak Gin Ciong sambil mencabut pedangnya.

   “Yin-moi, dia berani membuka mulut besar kepadamu, baiknya kuhabisi saja dia!”

   Dia mengelebatkan pedangnya, hatinya penuh cemburu mendengar betapa pemuda tampan itu menyebut Yin-moi kepada Cu Yin.

   “Jangan! Terlalu enak bagi dia! Biar dia menderita dan mati perlahan-lahan, kecuali kalau dihutan ini ada binatang buas yang akan merobek-robek dagingnya! Mari kita pergi, Ciong-ko.”

   Cu Yin segera memutar tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh Gin Ciong. Mereka kembali ke dusun tadi unuk mengambil kuda mereka. Ketika berlari itu, Gin Ciong melihat betapa Cu Yin menggunakan punggung tangan untuk menghapus air matanya. Gadis itu menangis! Dia dapat menduga bahwa ada hubungan batin antara Cu Yin dan pemuda yang menggeletak tadi. Dia menjadi makin benci kepada pemuda itu. Kalau saja berada di depannya sekarang, tentu sudah dibunuhnya. Setelah mereka berdua menunggang kuda dengan perlahan, Gin Ciong bertanya.

   “Siapakah mereka, Yin-moi? Agaknya engkau jerih kepada mereka sehingga engkau perlu menggunakan racun.”

   Cu Yin menghela napas panjang.

   “Engkau tidak tahu. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Tentang gadis itu, aku tidak tahu siapa.”

   “Kenapa engkau hendak membunuhnya, Yin-moi?”

   “Karena aku mencintainya!”

   Jawaban yang jujur ini membuat Gin Ciong tertegun sejenak dengan hati panas. Bagaimana tidak akan panas hatinya mendengar gadis yang dicintanya ternyata mencinta pemuda lain? Akan tetapi hatinya masih merasa penasaran.

   “Kalau engkau mencintanya, kenapa engkau hendak membunuhnya?”

   Cu Yin cemberut dan sampai lama tidak menjawab, kelihatan termenung.

   “Kenapa engkau hendak membunuh orang yang kau cinta, Yin-moi?”

   “Karena aku”

   Aku membencinya!”

   Hati Gin Ciong menjadi girang, akan tetapi juga heran.

   “Engkau mencintanya akan tetapi juga membencinya?”

   Tanyanya sambil menatap wajah yang cantik itu penuh selidik.

   “Cerewet benar engkau, Ciong-ko! Aku memang mencintainya, akan tetapi dia menolak cintaku, bahkan menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersama. Tahu-tahu dia sekarang melakukan perjalanan dengan seorang gadis lain!”

   Gin Ciong kini mengerti. Gadis yang membuatnya tergila-gila itu merasa cemburu, dan dia girang sekali mendengar betapa cinta gadis itu terhadap pemuda yang diracuni berubah menjadi benci.

   “Pemuda seperti dia itu memang tidak tahu diri! Berani-beraninya dia menolak cintamu! Dia kira dia yang paling tampan di dunia ini? Hemm, sayang tadi engkau melarangku membunuhnya. Ingin kucabik-cabik tubuhnya untuk membalas penghinaannya terhadap dirimu, Yin-moi.”

   Tiba-tiba Cu Yin termenung. Ia membayangkan tubuh Si Kong diterkam harimau dan dicabik-cabik tubuhnya. Ia mengerutkan alisnya, terbayang semua pengalamannya ketika melakukan perjalanan bersama pemuda itu sewaktu ia masih menyamar sebagai seorang pengemis muda. Betapa baiknya sikap Si Kong terhadap dirinya, betapa penuh pembelaan dan keramahan. Membayangkan Si Kong sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersikap amat baik kepadanya, tak terbendung lagi Cu Yin menangis tersedu-sedu di atas punggung kudanya. Gin Ciong memandang dengan alis berkerut. Watak gadis itu demikian aneh, dan angin-anginan, mudah berubah-ubah. Maka diapun menutup mulut, khawatir kalau dia bicara, gadis itu akan marah kepadanya. Cu Yin yang menangis tersedu-sedu itu tiba-tiba mengangkat mukanya yang basah air mata.

   “Tidak…! Dia tidak boleh mati! Kong-ko… ah, Kong-ko…!”

   Ia lalu mencambuk kudanya yang meloncat ke dapan lalu berlari cepat sekali kembali ke tempat di mana mereka tadi meninggalkan Si Kong dan Hui Lan. Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat itu, mereka tidak menemukan kedua orang itu. Cu Yin kembali menangis dan terisak-isak.

   “Celaka… Kong-ko… telah diterkam harimau…”

   Ia menangis lagi.

   “Tidak, Yin-moi. Lihat ini. Kalau dia diterkam harimau dan dibawa pergi, tentu ada tanda darah di sini. Dan lihat ini, Yin-moi. Ada bekas api unggun. Mungkin mereka ada yang menolong.”

   Cu Yin meloncat turun dari atas kudanya dan ikut memeriksa keadaan tempat itu. Benar saja. Ada bekas apin unggun di situ dan tidak ada tanda darah. Hatinya menjadi agak lega.

   “Kita cari mereka di sekitar sini. Mungkin mereka ditolong orang-orang dusun itu. Mari kita cari, Yin-moi!”

   Cu Yin hanya mengangguk dan mereka menunggang kuda mereka lagi, mencari disekitar tempat itu. Akan tetapi mereka tidak menemukan jejak kedua orang itu. Mereka lalu pergi meninggalkan ke dusun yang ditinggalkan, bertanya-tanya, akan tetapi tidak seorangpun mengetahui di mana dua orang yang mereka cari.

   “Sudahlah, Yin-moi. Mereka tidak mati seperti yang kau kehendaki…”

   Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dengan mata masih merah bekas tangis, lalu mengangguk.

   “Engkau benar, mereka tidak mati…”

   “Nah, lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita ke Kwi-liong-san.”

   “Baik, Ciong-ko, mari kita pergi.”

   Keduanya lalu membalapkan kuda keluar dari dusun itu. Kemanakah perginya Si Kong dan Hui Lan? Benarkah mereka mati diterkam harimau atau ada orang yang menolong mereka? Kedua-duanya tidak benar. Ketika mereka berdua ditinggalkan Cu Yin dan Gin Ciong, Si Kong berkata,

   “Lan-moi, jangan khawatir. Aku dapat mengobati kita…”

   Si Kong lalu memeriksa lagi nadi pergelangan tangan Hui Lan untuk mengetahui jenis racun apa yang memasuki tubuh mereka melalui makanan tadi. Dia mengerutkan alisnya. Racun itu bekerja lambat namun berbahaya sekali, mengandung hawa panas yang akan membakar dan merusak pencernaan. Ada memang ramuan obat yang akan dapat melawan racun itu, akan tetapi ramuan obat itu sukar di dapat dari hutan, harus dibeli ditoko obat yang besar di kota. Padahal melihat sifatnya racun itu, mereka tidak akan bertahan lebih dari sehari semalam!

   “Bagaimana, Kong-ko?”

   Tanya Hui Lan melihat wajah Si Kong nampak berduka.

   “Obatnya harus didapatkan di toko obat yang besar, Lan-moi. Kita harus dapat membelinya di toko obat itu sebelum lewat sehari semalam. Kalau lewat waktu itu, kita tidak dapat diselamatkan lagi.”

   “Kong-ko, aku mempunyai sebuah mustika batu giok yang dapat menawarkan segala racun. Ayah memberikan mustika itu kepadaku. Mungkin mustika ini yang akan dapat menyembuhkan kita.”

   Hui Lan mengeluarkan batu giok itu dari buntalannya dan memberikannya kepada Si Kong. Begitu menerima batu kemala itu dan mengamatinya, Si Kong berseru kagum,

   “Ini tentu Liong-cu-giok (Kemala Mustika Naga)! Aku pernah diceritakan oleh guruku Yok-sian Lo-kai!”

   “Entahlah, Kong-ko. Aku menerimanya dari Ayah dan mustika kemala ini dapat menawarkan segala macam racun.”

   “Bagus sekali, akupun sudah mendengar tentang cara pemakaiannya dari suhu.”

   Si Kong lalu membuat api unggun, mengambil guci tempat air yang tadi sudah dipenuhi air jernih oleh pemilik kedai dan dia memasukkan kemala itu ke dalam tempat air lalu menggantung tempat air itu ke atas api. Dia menambah kayu bakar sehingga api bernyala besar dan tak lama kemudian air itu mendidih, diturunkannya tempat air dan dibiarkan mendingin kembali.

   “Kalau ini benar Kemala Mustika Naga, kita akan tertolong, Lan-moi. Biar aku yang minum lebih dulu.”

   Setelah air di tempat air itu sudah menjadi dingin, Si Kong lalu minum dari bibir guci itu beberapa teguk. Dia berdiam diri sambil memejamkan matanya, lalu mengambil pernapasan panjang dan mencoba untuk mengerahkan sinkangnya. Tidak terasa sakit sama sekali.

   “Bagus! Aku sudah sembuh, Lan-moi!”

   Dia berseru girang sekali.

   “Mari kau minum air obat ini.”

   Tanpa ragu lagi Hui Lan minum air dari guci itu dan ia merasakan hawa yang dingin memasuki perutnya. Ia mengembalikan guci itu kepada Si Kong, lalu ia pun memejamkan kedua matanya, mengumpulkan hawa murni dan mencoba mengerahkan sinkangnya. Ia pun tidak merasakan sakit lagi!

   “Bukan main! Batu kemala milikmu ini benar-benar merupakan batu ajaib yang amat hebat, Lan-moi! Harap simpan dengan hati-hati agar jangan sampai dirampas orang jahat.”

   Si Kong mengambil batu giok itu dari dalam guci dan menyerahkannya kepada Hui Lan yang segera menyimpannya kembali ke dalam buntalan pakaiannya. Pada saat itu mereka mendengar derap kaki kuda dari jauh.

   “Mereka datang lagi! Dan kita belum dapat memulihkan sinkang. Cepat kita harus bersembunyi, dan hati-hati jangan tinggalkan jejak sepatu.”

   Mereka memadamkan api unggun, menyambar buntalan pakaian masing-masing dan berindap-indap pergi dari situ, memasuki semak-belukar. Mereka tadi sengaja menginjak tanah yang tertutup daun sehingga tidak meninggalkan jejak langkah mereka. Di dalam semak belukar itu mereka menyusup masuk dan mengintai dari celah-celah daun rumpun yang tebal. Tak lama kemudian mereka melihat Cu Yin dan Gin Ciong melompat turun dari kuda mereka dan memandang ke sekeliling.

   Dengan jantung berdebar tegang, Si Kong dan Hui Lan mengintai tanpa berani bergerak dan menjaga pernapasan mereka agar jangan mengeluarkan bunyi. Akhirnya kedua orang itu melompat ke atas punggung kuda dan pergi dari situ. Sampai lama Si Kong tidak bergerak, bukan lagi takut ketahuan Cu Yin, melainkan masih terharu ketika mendengar ucapan dan tangis Cu Yin tadi. Gadis itu sungguh mencintainya dengan caranya sendiri yang liar. Setelah Hui Lan menyentuh lengannya, barulah Si Kong sadar dan merekapun keluar dari semak-semak, lalu berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan lain dari jurusan yang diambil Cu Yin tadi. Mereka berlari cukup jauh, barulah mereka berhenti dan beristirahat di tepi sebuah sungai kecil. Matahari telah naik tinggi dan mereka merasa lelah karena berlari dengan cepat tadi

   “Kong-ko, siapakah gadis cantik dan pemuda tadi? Agaknya mereka yang meracuni kita, akan tetapi mengapa ia melakukan hal itu?”

   Si Kong menghela napas panjang.

   “Ia bernama Siangkoan Cu Yin, puteri dari datuk besar Lam Tok.”

   “Ah, puteri Si Racun Selatan yang tersohor itu? Pantas kalau begitu, ia pandai sekali menggunakan racun tanpa kita ketahui. Racun itu rupanya ditaruh di dalam masakan mi kuah itu, Kong-ko. Dan mengapa ia meracunimu? Meracuni kita?”

   Hening sejenak ketika Hui Lan mengamati wajah Si Kong yang menundukkan kepala. Kemudian Hui Lan mengangguk-angguk dan berkata,

   “Aku mengerti sekarang, Kong-ko!”

   “Mengerti apa, Lan-moi?”

   “Aku mengerti mengapa ia meracuni kita. Tadi ketika ia menemui kita, ia mengaku bahwa ia yang meracuni kita, bahkan mengatakan bahwa engkau seorang yang kejam, lalu meninggalkan kita. Hal itu membuktikan bahwa ia mendendam kepadamu, merasa sakit hati. Lalu ketika ia datang lagi mencari kita, ia menangis dan mengira bahwa engkau dimakan harimau. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa ia mencintaimu, Kong-ko. Ia mencintaimu, akan tetapi juga membencimu karena engkau menyakitkan hatinya. Apakah yang telah engkau lakukan sehingga gadis itu sakit hati kepadamu, Kong-ko?”

   Si Kong menghela napas panjang dan merasa salah tingkah. Kalau tidak diberitahukan kepada Hui Lan, tentu Hui Lan akan menyangka dia melakukan yang tidak-tidak. Sebaliknya kalau dia berterus terang, dia merasa kikuk dan malu mengatakan bahwa Cu Yin jatuh cinta padanya! Setelah berpikir sejenak dia menjawab.

   “Cu Yin pernah mengajak aku untuk mencari Pek-lui-kiam. Aku menolak ajakannya karena aku merasa tidak pantas seorang laki-laki melakukan perjalanan bersama seorang gadis.”

   “Hemm, Kong-ko, bukankah kini kita berdua melakukan perjalanan bersama? Apakah ini juga kau anggap tidak pantas?”

   “Ah, tidak… tidak…,”

   Si Kong menjadi bingung.

   “Kalau kita berdua lain lagi. Guruku masih terhitung kakek buyutmu, jadi kita ini boleh dibilang orang sendiri. Nah, mungkin karena penolakanku itu ia merasa sakit hati.”

   “Bagaimana mungkin hanya karena ditolak melakukan perjalanan bersama ia menjadi begitu sakit hati untuk membunuhmu?”

   “Kalau mengingat bahwa ia puteri Lam Tok, apa anehnya kalau ia bertindak aneh dan kejam?”

   “Tidak Kong-ko, pasti ada alasan yang lain dan aku mengerti mengapa ia melakukan itu. Ia bukan saja meracunimu, akan tetapi juga meracuni aku yang sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengannya. Jawabannya hanya satu, ialah bahwa ia cemburu kepadaku! Melihat engkau melakukan perjalanan dengan aku, padahal menolaknya, ia merasa cemburu dan sakit hati, maka berusaha hendak meracuni kita.”

   “Begitukah pendapatmu, Lan-moi?”

   “Tidak salah lagi. Cemburu dapat menimbulkan perbuatan kejam. Kenyataan bahwa ia mengkhawatirkan keselamatanmu membuktikan bahwa puteri Lam-tok itu amat mencintaimu, karena cinta itulah maka ia menjadi cemburu.”

   “Hemmm…”

   Si Kong tidak menajwab karena dia sudah tahu bahwa Siangkoan Cu Yin mencintanya. Hal ini telah diakui terus terang oleh Cu Yin.

   “Apakah cinta harus disertai cemburu? Cinta adalah perasaan yang menyayang dan melindungi, sedangkan cemburu adalah perasaan yang membenci dan merusak.”

   Hui Lan memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dengan kedua pipi berubah kemerahan ia berkata,

   “Kenapa engkau tanyakan hal itu kepadaku? Aku tidak tahu, aku tidak pernah mencinta, tidak pernah cemburu.”

   Si Kong tersenyum dan balas memandang.

“Aku sendiripun tidak pernah mencinta dan tidak pernah cemburu. Akan tetapi setidaknya kita berdua tentu pernah menyayang. Tidakkah engkau menyayang Ayah ibumu? Dan bukankah ibumu menyayangmu? Mungkinkah kalian saling membenci?”

   “Ah, aku menjadi pusing. Engkau saja yang menerangkan dan menjawab pertanyaanmu itu sendiri, Kong-ko. Tentu saja aku menyayang orang tuaku karena mereka adalah orang-orang yang paling baik dan menyayang diriku.”

   “Hemm, akan kucoba untuk mengupas soal cinta ini, Lan-moi. Akan tetapi aku minta agar engkau bersungguh-sungguh dan adil membantuku mengupasnya. Engkau menyayang orang tuamu karena mereka menyayang dan bersikap baik kepadamu. Sekarang, coba renungkan, bagaimana andaikata orangtuamu tidak bersikap baik dan menyayangmu? Pernah engkau ngambek dan menangis ketika masih kecil, kalau permintaanmu tidak dipenuhi orang tuamu? Dapatkah engkau menyayang mereka kalau mereka bersikap jahat dan kejam kepadamu?”

   “Tidak mungkin orang tua kejam dan tidak baik terhadap anaknya!”

   Bantah Hui Lan.

   “Nanti dulu, Lan-moi. Orang tua memang baik dan menyayang anaknya karena si anak patuh dan berbakti kepada mereka. Seperti juga si anak menyayang orang tuannya karena orang tuanya itu bersikap baik dan menyayangnya. Coba andaikata si anak tidak berbakti, tidak patuh, tentu orang tua akan menjadi marah dan menghukumnya dan rasa sayangnyapun luntur.”

   Hui Lan mengerutkan alisnya. Tidak bisa ia membayangkan ia membenci orang tuanya atau orang tuanya membencinya.

   “Kalau begitu pendapatmu, maka di dunia ini tidak ada rasa cinta dalam hati manusia?”

   “Mari kita selidiki. Kita lanjutkan lagi. Dapatkah seorang wanita mencinta pria kalau si pria itu tidak mencintanya, kalau si pria itu bersikap jahat terhadap dirinya? Sebaliknya demikian pula, seorang pria tentu tidak dapat mencinta wanita yang bersikap jahat terhadapnya dan tidak mencintainya. Banyak sudah terjadi betapa cinta itu berbalik menjadi benci, seperti kita lihat pada diri Siangkoan Cu Yin.”

   Hui Lan mengerutkan alisnya, berpikir dan membayangkan. Kalau ia bertemu dengan seorang pria yang tidak mencinta dirinya dan tidak bersikap baik kepadanya, rasanya memang tidak mungkin ia dapat mencinta seorang pria seperti itu!

   “Kalau begitu menurut pendapatmu, tidak ada manusia yang memiliki cinta murni?”

   “Nanti dulu, Lan-moi. Kenyataan ini sebaiknya kita selidiki bersama, jadi bukan menurut pendapatku atau pendapatmu. Kita melihat tadi bahwa cinta manusia mengandung pamrih, minta imbalan. Aku mencinta dia karena cinta kepadaku. Atau lebih jelas lagi, kau mencinta dia karena dia menyenangkan hatiku. Semua ini terjadi karena manusia telah dikuasai oleh nafsunya sendiri. Nafsu yang mengaku-aku menjadi si-aku, selalu minta disenangkan. Kalau disenangkan aku menyayang, kalau tidak disenangkan aku tidak menyayang. Aku menyayang benda karena benda itu menyenangkan, aku menyayang binatang peliharaan karena binatang itu patuh dan menyenangkan. Maka terjadilah: mencinta yang menyenangkan dan membenci yang tidak menyenangkan.”

   Hui Lan membelalakkan matanya.

   “Wah, kalau begitu manusia ini semua mempunyai cinta palsu, dan tidak murni.”

   “Kita melihat kenyataan begitu. Karena nafsunya, manusia tidak dapat menghilangkan pamrih atau imbalan dalam perasaan cintanya. Yang mendekati kemurnian hanyalah kebersihan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, seekor induk kepada anak-anaknya. Mendekati kemurnian, tidak murni benar.”

   “Hemm, jadi kalau begitu cinta kasih murni tidak mungkin ada di dunia ini, Kong-ko?”

   Suara gadis itu begitu sayu seperti orang yang kecewa dan putus asa. Si Kong tersenyum.

   “Sama sekali tidak begitu, Lan-moi. Kita melihat cinta kasih yang murni terbentang di depan mata kita. Cinta kasih Tuhan terhadap ciptaannya!”

   “Apakah maksudmu dengan cinta kasih Tuhan?”

   “Tuhan memberikan kehidupan kepada semua ciptaannya tanpa menuntut imbalan. Cinta kasihnya berlimpahan. Contohnya, sinar matahari menghidupkan kita dan semua mahluk menerimanya, tidak peduli mahluk atau orang itu taat atau tidak kepadaNya, tidak peduli orang itu percaya atau tidak kepadaNya. Bunga mawar itu tetap memberi aroma yang sedap, baik kepada seorang pendeta maupun kepada seorang penjahat, baik kepada seorang hartawan maupun kepada seorang pengemis. Masih banyak lagi contohnya dan itulah Cinta Kasih yang murni, Lan-moi.”

   “Ah, itu kan Cinta Kasih Tuhan, Kong-ko. Mana bisa manusia disamakan dengan Tuhan!”

   “Engkau benar, Lan-moi. Yang jelas, cinta kasih manusia selalu diliputi nafsu.”

   “Bagaimana kalau cinta kasih antara sahabat? Ini tidak mengharapkan apa-apa.”

   “Benarkah itu? Bagaimana kalau seorang sahabatmu yang paling baik pada suatu hari mengkhianatimu, membencimu, dan mencelakakanmu? Apakah engkau akan tetap menyayangnya?”

   “Wah, wah, engkau menyudutkan aku sehingga aku tidak dapat menyangkal lagi, Kong-ko! Kalau begitu kita ini tidak memiliki cinta kasih?”

   “Agaknya cinta kasih kita sudah dihabiskan untuk mencintai diri sendiri, Lan-moi. Tidak ada sisanya lagi bagi orang lain.”

   “Lalu, bagaimana usaha kita agar dapat mencinta dengan tulus ikhlas dan murni?”

   “Aku tidak tahu, Lan-moi. Selama kita tidak dapat menundukkan nafsu sendiri, tidak mungkin kita mencinta tanpa gelimangan nafsu. Dan yang dapat menyisihkan nafsu hanyalah kekuasaan Tuhan. Yang penting bagi kita adalah melihat kenyataan kalau kita mencinta, dan melihat betapa cinta kita itu diselimuti nafsu.”

   “Wah, wah! Mudah-mudahan aku tidak mempunyai cinta kasih palsu seperti itu, Kong-ko. Aku ngeri membayangkannya!”

   “Tidak perlu ngeri atau menyesal, Lan-moi. Memang demikianlah kenyataan cinta kasih manusiawi, berbeda dengan cinta kasih Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Pemurah. Setidaknya kalau kita menyadari bahwa cinta kasih nafsu itu tidak bersih, akan memudahkan kita untuk melawan dan mengendalikan nafsu pribadi.”

   “Akan tetapi betapa sukarnya melawan perasaan hati sendiri, Kong-ko. Kecewa, marah atau benci adalah ulah perasaan, bagaimana kita dapat mencegah atau menghalanginya?”

   “Memang berat, Lan-moi, dan sukar sekali. Karena itu kita harus mohon bimbingan kepada Tuhan, karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah kita akan mampu menundukkan nafsu kita sendiri.”

   Gadis itu memandang kepada Si Kong dengan kagum dan heran.

   “Ah. Aku heran sekali, Kong-ko. Pantasnya yang bicara ini adalah seorang guru besar yang sudah mendalam pengetahuannya tentang hidup! Akan tetapi engkau yang masih muda bagaimana dapat mengetahui tentang kehidupan ini?”

   Si Kong tersenyum dan menjawab.

   “Tahu dan mengerti tentang kehidupan bukanlah suatu pengetahuan, Lan-moi. Setiap orang hidup yang sudah dewasa akan mengetahui tentang hidup karena dia sendiri juga hidup, bukan? Dengan membaca buah pikiran cerdik pandai dan budiman, dan terutama sekali dengan mawas diri, memperhatikan dan mengikuti ulah hati akal pikiran sendiri akan menimbulkan pengertian itu. Akan tetapi mengerti itu saja, tidak akan membawa perubahan kepada kita. pengamatan yang terus menerus terhadap ulah hati akal pikiran sendiri yang akan menimbulkan perubahan.”

   Hui Lan menggeleng kepalanya.

   “Bicaramu mengingatkan aku akan Ayahku. Ayah juga kalau bicara tentang kehidupan, demikian gamblang dan menelanjangi semua kenyataan hidup, betapapun pahit kenyataan itu. Sudahlah, Kong-ko, mari kita melanjutkan perjalanan kita.”

   “Nanti dulu, Lan-moi. Sekarang coba kau kerahkan sin-kangmu, apakah masih terasa sakit dalam dada dan perutmu?”

   Hui Lan mengerahkan tenaga sinkangnya ke seluruh bagian tubuhnya. Tidak ada yang terasa nyeri lagi dan karena sudah mengerahkan sinkang, ia lalu menggerakkan tubuh dan kaki tangannya untuk bersilat. Ia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan belas Jurus Silat Dewa Arak) yang dipelajari dari Ayahnya. Si Kong memandang kagum. Ilmu silat itu nampak aneh, seperti gerakan orang mabok, akan tetapi setiap gerakannya mengandung tenaga sinkang yang kuat. Setelah memainkan delapan belas jurus itu, Hui Lan menghentikan gerakannya dan tersenyum girang memandang pemuda itu.

   “Tidak ada yang terasa nyeri sama sekali, Kong-ko.”

   “Bagus! Kalau begitu kita telah benar-benar terlepas dari bahaya maut. Batu kemala mustika itu manjur sekali, Lan-moi. Mustika itu amat langka dan amat berharga, hati-hati engkau menyimpannya, jangan sampai hilang.”

JILID 15

   Dua orang muda-mudi itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kwi-liong-san. Kwi-liong-san merupakan sebuah pegunungan yang bentuknya memanjang. Dari jarak jauh nampak seperti seekor naga, karena itulah pegunungan itu disebut orang Kwi-liong-san (Gunung Naga Siluman). Tidak ada orang berani mendaki pegunungan itu karena Kwi-liong-san terkenal dengan hutan-hutannya yang liar penuh dengan binatang buas, harimau, ular besar dan sebagainya lagi.

   Akan tetapi yang terutama menimbulkan rasa takut adalah segerombolan manusia yang menjadikan tempat itu sebagai sarang mereka. Gerombolan manusia yang ditakuti ini adalah perkumpulan Kwi-jiauw-pang (Perkumpulan Cakar Setan). Kwi-jiauw-pang mempunyai anggauta sebanyak seratus orang lebih, dan orang-orang Kwi-jiauw-pang terkenal tangguh dan juga kejam. Sudah banyak orang yang memasuki daerah pegunungan itu dan tidak dapat keluar lagi. Mereka adalah para pemburu yang tadinya hendak memburu binatang di hutan-hutan pegunungan itu. Mereka tidak dapat keluar lagi karena mati terbunuh. Bahkan ada beberapa orang pendekar gagah yang ingin membasmi gerombolan itu, akan tetapi bukan saja mereka tidak berhasil, bahkan mereka tewas dan tidak dapat meninggalkan daerah pegunungan Kwi-liong-san.

   Sejak saat itu, tidak ada lagi orang yang berani mencoba memasuki daerah pegunungan yang angker itu. Penduduk dusun-dusun yang berada di sekitar kaki pegunungan Kwi-liong-san bahkan beranggapan bahwa Kwi-liong-san menjadi sarang setan dan iblis. Mereka yang tahyul ini merasa takut sekalu memasuki utan-hutan di pegunungan itu, bahkan untuk mencari kayu bakarpun mereka tidak berani memasuki hutan yang paling bawah sekalipun. Kwi-jiauw-pang dipimpin oleh seorang tokoh kangouw terkenal. Karena tokoh ini selalu mengenakan pakaian yang serba merah, maka dia menyebut diri sendiri sebagai Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Dari sebutan ini saja tercerminkan ketinggian hati orangnya yang ingin dianggap sebagai seorang dewa!

   Ang I Sianjin adalah seorang datuk sesat dari barat. Tadinya dia adalah seorang penjahat besar yang menjadi buruan pemerintah. Dia melarikan diri ke barat dan menghilang untuk belasan tahun lamabya. Ketika itu dia pergi bertapa dan mempelahari berbagai ilmu sehingga dia menjadi seorang yang semakin tangguh. Ketika dia muncul kembali, dia memperkenalkan diri sebagai Ang I Sianjin. Dia menaklukan banyak gerombolan perampok, kemudian menghimpun orang-orang terlihai diantara gerombolan itu dan mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Kwi-jiauw-pang. Dia melatih anak buahnya dengan ilmu silat yang tinggi dan menggunakan alat penyambung tangan berupa cakar-cakar setan. Cakar setan ini terbuat dari baja dan selain dapat mematahkan senjata lawan, juga mengandung racun yang amat jahat.

   Terkena goresan sedikit saja oleh cakar setan ini, orang akan menderita keracunan yang mengancam nyawanya! Setelah perkumpulan ini berdiri kokoh, Ang I Sianjin lalu memilih Kwi-liong-san menjadi sarang perkumpulannya. Mereka hidup dari hasil hutan yang tidak pernah didatangi orang lain, juga mereka mendatangi bandar-bandar perjudian dan tempat pelesir, menuntut pembagian hasil dari mereka, di kota-kota yang berdekan dengan wilayah itu. Pada suatu pagi, para anggauta Kwi-jiauw-pang menjadi gempar dengan muncuolnya dua orang kakek di dalam hutan dekat puncak, sudah dekat dengan sarang mereka yang berada di puncak pegunungan itu. Mula-mula ada lima orang anggauta Kwi-jiauw-pang yang melihat adanya dua orang kakek itu. Tentu saja mereka menjadi marah dan menghampiri dua orang kakek yang sedang duduk bersila di atas batu besar.

   “Hai, kalian dua orang kakek yang sudah bosan hidup! Berani kalian memasuki daerah kekuasaan kami!”

   Bentak pemimpin diantara lima orang itu yang bertubuh tinggi besar. Dua orang kakek itu saling pandang dan menyeringai. Kakek berusia empat puluh tahun lebih yang berkepala besar sekali, kepalanya botak dan telinganya lebar berbaju putih itu bukan lain adalah Thai-mo-ong Toa Ok,

   Si Jahat nomor satu yang telah kita kenal ketika mereka berdua bersama Bu-tek Ngo-sian menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang Ceng Lo-jin atau Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis. Mereka dapat dipukul mundur dan karena jerih meninggalkan Pulau Teratai Merah dengan cepat. Mereka menderita luka dalam yang membutuhkan waktu beberapa bulan untuk menyembuhkannya. Tahu-tahu kini dua orang datuk besar Dunia Barat itu muncul di Kwi-liong-san. Mudah di duga bahwa kemunculan mereka itu tentu ada hubungannya dengan Pek-lui-kiam yang hendak diperebutkan semua orang kangouw. Orang kedua adalah Ji-mo-ong Ji Ok si jahat nomor dua.rambut kepala Ji Ok amat panjang dan tebal, dibiarkan berjuntai sampai ke pinggangnya. Mukanya penuh dengan brewok seperti muka monyet dan pakaiannya berbeda sekali dengan Toa Ok. Kalau Toak Ok berpakaian serba putih, Ji Ok berpakaian serba hitam.

   “Eh, Ji Ok. Siapa gerangan cacing-cacing busuk ini?”

   Tanya Toa Ok yang merasa jengkel melihat sikap lima orang itu.

   “Agaknya mereka ini gerombolan yang merajalela di pegunungan ini,”

   Kata Ji Ok yang menghadapi mereka. Setelah memandang kepada anggauta Kwi-jiauw-pang yang tinggi besar dan menjadi pemimpin mereka berlima, Ji Ok bertanya.

   “Apakah kalian ini anggauta gerombolan Kwi-jiauw-pang?”

   “Hemm, kalian sudah tahu, kini bersiap-siaplah kalian untuk mampus. Siapapun yang berani memasuki daerah kami harus mati!”

   Setelah berkata demikian si tinggi besar itu sudah memberi isarat kepada kawan-kawannya untuk turun tangan.

   “Nanti dulu!”

   Kata Ji Ok sambil menyeringai.

   “Kalian hanyalah anggauta, tidak ada artinya bagi kami. Cepat panggil Ang I Sianjin ke sini dan membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami. Kalau dia menolak, seluruh orang Kwi-jiauw-pang akan kami basmi dan sarangnya akan kami bakar habis!”

   Si tinggi besar itu terbelalak. Tidak hanya marah mendengar ucapan itu, akan tetapi juga heran. Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang, kakek-kakek lagi, yang berani mengeluarkan ancaman seperti itu terhadap Kwi-jiauw-pang?

   “Kalian tua bangka yang bosan hidup.”

   Dia menoleh kepada empat orang kawannya dan berkata.

   “Serbu! Bunuh kedua orang kakek ini!”

   Dia sendiri juga menerjang setelah memasang cakar setan kepada kedua tangannya. Empat orang kawannya juga telah memasang cakar setan masing-masing dan mereka berlima menyerang kedua orang kakek yang masih duduk di atas batu besar itu dengan sikap tenang dan wajah mentertawakan lima orang itu. Toa Ok menggerakkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju panjang, dan dua orang penyerang terlempar seperti di sambar angin badai,

   Dan mereka roboh bergulingan karena merasa tubuh mereka seperti di bakar, lalu mereka diam dan tewas! Ji Ok juga menggerakkan tangan kirinya dan dua orang lain terlempar dan menggigil kedinginan lalu mati kaku! Si tinggi besar yang melihat ini terbelalak dengan muka pucat, lalu dia membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri. Akan tetapi sekali Ji Ok melambaikan tangan kirinya, si tinggi besar itu seperti ditarik dari belakang dan diapun terjengkang roboh! Si tinggi besar menjadi semakin ketakutan dan dia meloncat bangun untuk melarikan diri lagi, akan tetapi tiba-tiba ujung pecut yang dipegang oleh Ji Ok telah menyambar kakinya dan sekali pecut itu ditarik, si tinggi besar terpelanting dan roboh lagi. Dia menjadi semakin ketakutan dan menghadap dua orang kakek itu dengan tubuh gemetar, lalu dalam keadaan berlutut dia berkata,

   “Mohon ampun, ji-wi Locianpwe! Harap ampuni saya…”

   “Heh-heh, aku mau mengampuni engkau, akan tetapi engkau harus cepat berlari memanggil Ang I Sianjin ke sini dan meneyrahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepada kami!”

   Si tinggi besar berulang-ulang menyembah dengan tubuh gemetar dan berkata,

   “Baik, Locianpwe, saya menaati perintah…”

   Dia lalu bangkit berdiri dan merasa lega karena dia tidak dikorbankan lagi.

   “Sekarang juga saya hendak mengundang pemimpin ke sini.”

   Setelah berkata demikian, si tinggi besar lalu lari secepatnya menuju ke puncak, ke sarang Kwi-jiauw-pang. Ketika si tinggi besar dengan napas terengah-engah tiba di sarang Kwi-jiauw-pang, dia terus memasuki bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Ang I Sianjin. Dia terus memasuki bangunan dan bertanya kepada pelayan dimana adanya ketua mereka itu.

   “Pangcu sedang sarapan di kamar makan, harap jangan diganggu,”

   Kata pelayan itu. Akan tetapi si tinggi besar tidak perduli. Dia terus memasuki kamar makan dan benar saja, Ang I Sianjin sedang duduk makan seorang diri. Melihat si tinggi besar menerobos masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depannya, Ang I Sianjin mengerutkan alisnya.

   “Hemm, berani mati engkau! Ada urusan apa engkau berani mengganggu aku yang sedang makan?”

   Bentaknya.

   “Malapetaka telah menimpa kami, pangcu. Maka saya berani mengganggu pangcu. Empat orang saudara kami telah terbunuh!”

   “Apa? Siapa pembunuhnya dan bagaimana hal itu bisa terjadi?”

   “Kami berlima melihat adanya dua orang kakek yang duduk di atas batu di dalam hutan bambu di bawah puncak. Kami segera menegurnya, akan tetapi dua orang kakek itu bahkan mengatakan agar kami memanggil pangcu untuk menghadap mereka dan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Kalau pangcu menolak, Kwi-jiauw-pang akan dibasmi dan tempat tinggal kami akan dibakar habis. Kami berlima lalu menyerang mereka, akan tetapi sekali mereka menggerakkan tangan, empat orang diantara kami tewas. Kemudian mereka melepaskan saya untuk melapor kepada pangcu.”

   Mendengar laoran itu, merahlah muka Ang I Sianjin.

   “Apa! Kurang ajar!”

   Dia marah sekali dan melemparkan sepasang sumpit yang dipegangnya ke bawah. Sepasang sumpit itu meluncur dan menancap ke dalam lantai sampai ke gagangnya! Ang I Sianjin berkata dengan suara lantang kepada si tinggi besar.

   “Kumpulkan seluruh anggauta Kwi-jiauw-pang agar ikut aku memberi hajaran kepada kedua orang musuh itu!”

   Sebentar saja di situ telah berkumpul delapan puluh orang lebih, karena banyak juga di antara mereka yang bertugas di luar. Bagaikan pasukan yang akan berperang, mereka mngikuti ketua mereka yang berjalan di depan. Ang I Sianjin yang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bermuka pucat itu membawa sepasang pedang yang berada di punggungnya dan sebuah kipas yang dipegang di tangan kirinya. Dengan langkah tegap dan gagah ketua Kwi-jiauw-pang ini menuju ke hutan bambu yang ditunjukkan oleh anak buahnya yang melapor tadi. Tak lama kemudian mereka tiba di tempat itu. Dua orang kakek yang diceritakan oleh si tinggi besar tadi masih duduk di atas batu dengan sikap tenang.

   Melihat dua orang kakek itu duduk dengan tenang di atas batu besar dan mayat empat orang anak buahnya masih menggeletak di atas tanah, bangkitlah kemarahan Ang I Sianjin. Akan tetapi ketika dia melihat dengan pandang mata penuh selidik karena dua orang kakek itu, melihat pakaian mereka, yang seorang berpakaian putih dan yangh kedua berpakaian hitam, wajah Ang I Sianjin yang sudah pucat itu menajdi semakin pucat. Tentu saja dia sudah mendengar tentang kedua orang kakek ini. Akan tetapi, dia tidak merasa takut karena bukankah dia membawa anak buah yang delapan puluh orang banyaknya? Dengan menekan hatinya yang berdebar tegang, Ang I Sianjin menghampiri kedua orang itu dan berdiri di depannya. Suaranya terdengar lantang untuk menutupi hatinya yang gelisah dan agak jerih.

   “Kalau kami tidak salah menduga, bukankah yang duduk di depan kami ini Thai-mo-ong Toa Ok dan Ji-mo-ong Ji Ok?”

   Dua orang kakek tiu saling pandang dan menyeringai. Ji Ok yang bertubuh kurus itu tertawa.

   “Ha-ha-ha, kiranya ketua Kwi-jiauw-pang yang berjuluk Ang I Sianjin itu memiliki pandangan yang tajam juga. Kami memang Toa Ok dan Ji Ok.”

   Ang I Sianjin memandang ke arah empat mayat anak buahnya dan tertawa,

   “Apakah ji-wi yang telah membunuh empat orang anak buah kami? Apa kesalahan mereka? Andaikata mereka bersalah di sini masih ada aku yang dapat menghukumnya. Kenapa ji-wi membunuh mereka?”

   “Mereka menyerang kami, terpaksa kami membunuh mereka dan membebaskan yang seorang lagi untuk melapor kepadamu. Apakah engkau sudah menerima laporan itu dan apakah engkau sudah membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami?”

   Panas juga rasa hati Ang I Sianjin mendengar ucapan yang meremehkannya itu. Dia sendiri memiliki ilmu silat yang tinggi, dan disitu terdapat delapan puluh anak buahnya.

   “Pedang pusaka didapatkan dengan taruhan nyawa, tidak mungkin diserahkan kepada siapapun juga.”

   Tiba-tiba Toa Ok yang berkata dengan angkuhnya.

   “Ang I Sianjin, engkau boleh memilih. Engkau menyerahkan Pek-lui-kiam kepada kami dan kami tidak akan mengganggu kalian, atau engkau lebih senang kalau kami mengamuk dan membunuh engkau dan seluruh anak buahmu, membakar sarangmu dan menggeledah sampai kami mendapatkan pedang pusaka itu?”

   Ang I Sianjin tertegun. Dia tahu bahwa kedua orang kakek itu tidak hanya menggertak kosong belaka. Dia harus dapat menghadapi mereka dengan cerdik, mencari cara yang paling menguntungkan fihaknya. Dengan cerdik Ang I Sianjin lalu tersenyum. Dia tahu benar betapa lihainya kedua orang datuk itu. Biarpun dia memiliki delapan puluh orang anak buah dia tidak yakin bahwa pihaknya akan memperoleh kemenangan dan gertakan dua orang kakek itu menjadi kenyataan. Dia lalu menggunakan sikap menghormat.

   “Ji-wi tentu sudah tahu kebiasaan dunia kangouw. Memperebutkan sesuatu haruslah dilakukan dengan mengadu kepandaian, bukan saling menghancurkan. Karena itu, kami akan menempuh cara yang sama. Disini kami berdiri dengan semua anggauta Kwi-jiauw-pang kami. Kalau ji-wi dapat mengalahkan kami tanpa membunuh, kami akan takluk kepada ji-wi dan kami akan mengangkat ji-wi sebagai pimpinan kami. Dengan sendirinya Pek-lui-kiam menjadi milik ji-wi. Akan tetapi kalau ji-wi menolak syarat ini, kami akan melawan sampai mati, tetapi jangan harap akan dapat menemukan Pek-lui-kiam yang sudah kami sembunyikan.”

   Kembali kedua orang datuk besar itu saling pandang sambil menyeringai.

   “Keputusannya ada padamu, Toa Ok!”

   Kata Ji Ok kepada rekannya. Toa Ok mengangguk-anggukkan kepalanya.

   “Cara itu cukup adil dan baik. kalau nanti kalian kalah dan menaluk, itu cocok sekali dengan keinginan kami. Kamipun membutuhkan anak buah untuk melawan mereka yang hendak memperebutkan Pek-lui-kiam!”

   “Kalau begitu, bersiaplah, kami akan maju mengeroyok!”

   Kata Ang I Sianjin dengan hati lega. Dengan perjanjian itu, andaikata dia dan anak buahnya kalah, mereka tidak akan di bunuh dan menjadi anak buah kedua datuk yang sakti itu.

   “He-heh, sejak tadi kami sudah bersiap. Majulah kalian semua!”

   Kata Ji Ok sambil menyeringai memandang rendah. Ang I Sianjin lalu memberi isarat kepada semua anak buahnya untuk memecah menajdi dua kelompok. Kelompok yang lebih kecil hanya berjumlah tiga puluh orang, membantu dia untuk melawan Toa Ok, sedangkan selebihnya yang lima puluh mengeroyok Ji Ok. Mereka lalu mengepung batu dimana kedua orang datuk itu duduk dan setelah Ang I Sianjing memberi isarat, semua anak buahnya lalu memasang cakar setan di kedua tangan mereka. Mereka nampak menyeramkan, dengan kedua tangan menjadi cakar setan dan sikap mereka yang mengancam. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok tenang-tenang saja duduk di atas batu besar itu. Ketika para anggauta Kwi-jiauw-pang itu menerjang ke arah batu besar dengan cakar setan mereka,

   Tiba-tiba saja kedua orang kakek itu lenyap hingga cakar-cakar setan itu menghantam batu. Bunga api berpijar ketika batu itu dihajar tangan cakar setan itu. Semua orang memutar tubuh dan mereka melihat bahwa dua orang kakek itu telah berada di belakang mereka. Demikian cepat gerakan mereka ketika meloncat tadi sehingga tidak nampak oleh mereka, seolah dua orang datuk itu pandai menghilang. Ang I Sianjin dapat melihat gerakan mereka, maka dialah yang lebih dulu memutar tubuhnya. Ketua Kwi-jiauw-pang yang sudah mencabut pedang dengan tangan kanan dan memegang kipas di tangan kiri itu lalu menyerang Toa Ok dengan dahsyatnya. Serangan pedang dan kipasnya amat dahsyat, cepat dan mengandung tenaga yang amat kuat. Melihat ini Toa Ok tidak berani memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tongkat ularnya untuk menangkis.

   “Trang…!”

   Pedang di tangan Ang I Sianjin terpental ketika bertemu tongkat dan kipasnya hampir terlepas dari tangannya. Pada saat itu, puluhan anggauta Kwi-jiauw-pang telah menerjang maju dengan cepat.

   Puluhan pasang cakar setan menerkam ke arah tubuh Toa Ok. Akan tetapi, putaran tongkat ular itu merupakan gulungan sinar yang menyelimuti tubuh Toa Ok. Para anggauta Kwi-jiauw-pang yang berani menyerang, begitu menyentuh gulungan sinar tongkat, terdorong ke belakang dan roboh bergelimpangan. Mereka merasa seperti menyerang dinding baja yang amat kuat dan terdorong oleh kekuatan yang dahsyat sekali. Demikian pula dengan lima puluh orang anak buah Kwi-jiauw-pang yang mengeroyok Ji Ok. Datuk yang kurus pendek ini bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang nampak hanya bayangan hitam saja diselimuti gulungan sinar cambuknya yang diputar amat cepat. Setiap kali seorang anggauta Kwi-jiauw-pang menerjang gulungan sinar ini, mereka tentu roboh terjengkang!

   Ketika puluhan orang itu bangkit dan menyerang lagi, Toa Ok dan Ji Ok menghajar mereka dengan lebih kuat lagi. Bukan hanya senjata kedua orang datuk ini yang melindungi tubuh menangkis, juga kaki dan tangan kiri mereka menyambar dan siapa saja yang terkena tendangan atau tamparan mereka, tentu roboh dan mengaduh-aduh karena bagian tubuh yang terkena serangan itu terasa sakit bukan main. Ang I Sianjin merasa penasaran. Melihat betapa para anak buahnya sudah jatuh bangun, bahkan banyak yang tidak mampu membantunya lagi, diapun menyerang dengan ganas, menusukkan pedangnya ke arah dada dan menggerakkan kipasnya menyerang bagian muka Toa Ok. Melihat ini, Toa Ok mengerahkan tenaga dan menggerakkan tongkatnya, menangkis pedang dan sekaligus menangkis kipas.

   “Trang… trak…!”

   Pedang di tangan Ang I Sianjin patah dan kipasnya juga terlepas dari tangan kirinya. Ang I Sianjian menjadi kaget dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan Toa Ok. Ketika dia menoleh ke arah anak buahnya yang mengeroyok Ji Ok, dia melihat betapa anak buahnya juga sudah jatuh bangun di hajar Ji Ok. Maklum bahwa kalau dilanjutkan hanya berarti malapetaka bagi anak buahnya, Ang I Sianjin berteriak.

   “Hentikan pengeroyokan!”

   Para anggauta Kwi-jiauw-pang menghentikan gerakan mereka dengan hati lega. Mereka menolong kawan-kawan yang terluka dan mundur. Ada di antara mereka yang menderita luka memar dan tulang patah, akan tetapi tidak ada yang terluka berat. Mereka memandang ke arah ketua mereka. Ang I Sianjin menggerakkan tangan ke bawah jubahnya dan ketika tangannya ditarik, keluarlah sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ketika pedang digerakkan, nampak sinar bagaikan kilat menyambar dan membuat mata yang memandangnya menjadi silau! Mudah mereka semua menduga pedang apakah itu. Tentu pedang yang dijadikan perebutan di antara orang-orang kangouw, yaitu pedang yang disebut Pek-lui-kiam (Pedang Kilat)! Melihat pedang yang berada di tangan Ang I Sianjin itu, mata Toa Ok dan Ji Ok bersinar-sinar dan wajah mereka berseri.

   “Pek-lui-kiam”

   Kata mereka berbareng dan Ji Ok sudah melangkah maju menghampiri Ang I Sianjin.

   “Cepat berikan pedang itu kepada kami!”

   Kata Ji Ok sambil menjulurkan tangan kanannya. Akan tetapi Ang I Sianjin tidak mau menyerahkan pedang itu begitu saja. Dia menjura kepada dua orang datuk itu dan berkata dengan lantang.

   “Kami telah mendapat pelajaran dari ji-wi dan kamu mengakui bahwa kami telah kalah. Akan tetapi pedang ini saya dapatkan dengan susah payah. Karena itu, untuk mendapatkan pedang ini, siapa saja orangnya, harus dapat merampasnya dari tangan saya. saya hara ji-wi tidak mengabaikan aturan dunia kangouw ini!”

   “Biarkan aku yang maju merampasnya, Ji Ok!”

   Kata Toa Ok.

   “Tidak perlu engkau yang turun tangan, Toa Ok,”

   Jawab Ji Ok.

   “Cukup aku yang maju merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin!”

   Ji Ok melangkah maju mendekati Ang I Sianjin.

   “Bersiaplah engkau, Ang I Sianjin. Aku hendak merampas Pek-lui-kiam dari tanganmu!”

   “Silahkan, saya sudah siap!”

   Jawab Ang I Sianjin sambil melintangkan pedang pusaka itu di depan dadanya. Dia maklum bahwa dalam ilmu silat, dia seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Ok. Tadi dia sudah melihat gerakan datuk itu ketika dikeroyok banyak anak buahnya. Dengan Toa Ok pun dia hanya kalah sedikit, akan tetapi sinkang yang amat kuat dari Toa Ok yang tidak dapat dia lawan. Ji Ok juga maklum setelah memegang Pek-lui-kiam, Ang I Sianjin merupakan lawan yang amat berbahaya dan tangguh. Senjata cambuknya tentu akan putus rusak apabila bertemu dengan pedang pusaka itu. Dia harus berhati-hati, karena setelah Ang I Sianjin menggunakan pedang pusaka itu sebagai senjata, kalau dia tidak berhati-hati, dia mungkin menjadi korban ketajaman Pek-lui-kiam.

   “Awas serangan!”

   Bentak Ji Ok dan cambuknya sudah menyambar dengan cepat ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.

   Ang I Sianjin menggerakan pergelangan tangannya dan pedang Pek-lui-kiam menyambar turun untuk menyambut pecut itu. Dia merasa yakin bahwa sekali sabet saja pecut itu akan putus. Akan tetapi Ji Ok cepat menarik cambuknya dan kini cambuk menyambar ke arah kepala Ang I Sianjin. Ketua Kwi-jiauw-pang ini cepat mengelak dengan miringkan kepala dan pedangnya menyambar dari bawah, mengarah lambung lawan. Ji Ok terkejut. Tadinya dia mengira bahwa Ang I Sianjin akan menggunakan pedangnya hanya untuk melepaskan pedang dari bahaya terampas. Tidak tahunya pedang itu sekarang menyambar bagaikan tangan maut yang menjangkaunya! Dia pun cepat meloncat ke belakang dan balas menyerang. Cambuknya meledak-ledak di udara dan terputar membentuk gulungan sinar.

   Kedua orang itu segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Melihat betapa sukarnya dia merampas pedang, kini Ji Ok juga menggunakan serangan bukan hanya untuk merampas pedang melainkan untuk melukai atau bahkan membunuh lawannya! Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga yang nampak hanyalah segulung sinar pedang yang berkilauan dan segulung sinar cambuk yang menghitam. Demikianlah dalam penglihatan para anggauta Kwi-jiauw-pang. Bagi Toa Ok, tentu saja dia dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan jelas dan mulailah dia merasa khawatir. Kalau dia tadi dapat mengalahkan Ang I Sianjin dan puluhan orang pembantunya karena dia menang tenaga sinkang, sekarang keadaannya lain lagi.

   Ang I Sianjin memegang sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, sedangkan tingkat kepandaian silat ketua Kwi-jiauw-pang itu tidak berselisih banyak dibandingkan tingkat Ji Ok. Karena itu dia khawatir sekali kalau-kalau Ji Ok tidak akan mampu merampas pedang pusaka, bahkan dia mungkin akan menjadi korban pedang ampuh itu. Pertandingan itu memang seru sekali. Ang I Sianjin menang senjata, akan tetapi Ji Ok menang tenaga sinkang dinginnya. Berulang kali Ji Ok menyerang dengan tangan kirinnya, menghantam dan pukulannya mendatangkan hawa dingin yang kadang menbuat Ang I Sianjin gemetar. Akan tetapi, sambaran pedang Pek-lui-kiam juga membuat Ji Ok terdesak dan kadang-kadang dia terpaksa meloncat ke belakang dan mundur.

   Dengan demikian, maka keadaan kedua orang tokoh ini berimbang dan sukar diduga siapa diantara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Melihat hal ini, Toa Ok tiba-tiba meloncat dengan tongkat ular ditangannya dan tongkat itu menyambar dengan cepat sekali ke depan, pada saat pedang di tangan Ang I Sianjin terbelit oleh ujung cambuk di tangan Ji Ok. Agaknya Ji Ok hendak merampas pedang itu dengan membelitkan cambuknya dan menarik cambuk agar pedang itu terlepas dari pegangan Ang I Sianjin. Akan tetapi Ang I Sianjin menahan pedangnya, bahkan menggunakan gagang kipasnya untuk menotok ke arah dada Ji Ok. Pada saat itu, Ji Ok mengerahkan tenaga sinkangnya untuk menarik pedang sedangkan tangan kirinya menyambut kipas dengan cengkeraman.

   Tepat pada saat itu, tongkat di tangan Toa Ok datang menyambar. Ang I Sianjin terhuyung ke belakang, dan Ji Ok juga terhuyung ke belakang. Akan tetapi pedang itu telah terlepas dari tangan Ang I Sianjiin dan disambar oleh Toa Ok dengan cepatnya. Ternyata Toa Ok telah menotok siku lengan kanan Ang I Sianjin sambil mendorong dengan tangan kirinya sehingga Ang I Sianjin terpaksa melepaskan pedangnya dan tubuhnya terdorong ke belakang. Sebaliknya, cambuk di tangan Ji Ok putus dan Ji Ok terdorong tenaga tarikannya sendiri sehingga terhuyung ke belakang. Ang I Sianjin sudah dapat berdiri tegak kembali. Dia tidak teruka dan dia memandang kepada Toa Ok dengan penasaran. Melihat pedang pusakanya berada di tangan datuk yang bertubuh gendut itu, dia berkata dengan penasaran.

   “Kalian telah bertindak curang! Kalian mengeroyokku!”

   Toa Ok tertawa dan sama sekali dia tidak merasa malu disebut curang. Segala perbuatan keji dan jahat sudah dia lakukan bersama Ji Ok, apalagi bertindak curang.

   “Ha-ha-ha, Ang I Sianjin, jangan berlaku bodoh dan pura-pura gagah! Ketika kami berdua melawanmu beserta puluhan orang anak buahmu, bukankah itu juga melakukan pengeroyokan? Kalau engkau masih penasaran, engkau boleh mencoba untuk merampas pedang ini dari tanganku, akan tetapi aku tidak mau berjanji untuk tidak membunuhmu!”

   Ditantang demikian, Ang I Sianjin diam saja. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan menang melawan datuk gendut ini, apalagi Toa Ok sudah memegang Pek-lui-kiam.

“Baiklah, Toa Ok. Aku mengaku kalah dan seperti yang sudah kujanjikan, aku bersama semua anggauta Kwi-jiauw-pang mengangkatmu sebagai pimpinan. Akan tetapi aku minta agar dapat menjadi saudara kalian dan di sebut Sam Ok (Jahat Ketiga). Bagaimana?”

   Toa Ok dan Ji Ok saling pandang dan mereka berpikir. Mendapatkan pembantu seperti Ang I Sianjin amat menguntungkan, apalagi beserta seratus orang lebih anggauta Kwi-jiauw-pang yang boleh diandalkan. Sebaliknya kalau mereka menolak, tentu pernyataan taluk dari Ang I Sianjin hanya pada lahirnya saja, dan orang itu hanya akan menjadi musuh dalam selimut yang berbahaya.

   “Baiklah, Sam-ok!”

   Kata Toa Ok. Ji Ok tertawa bergelak.

   “Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami senang sekali mempunyai saudara ketiga, dan sekarang kita harus merayakan peristiwa ini, Sam Ok!”

   Diam-diam Ang I Sianjin juga merasa girang.

   Dia tahu bahwa banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlumba untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Tadinya dia mengandalkan anak buahnya yang banyak. Akan tetapi ternyata anak buahnya yang banyak itu tidak mampu melindunginya dari Toa Ok dan Ji Ok. Kini, dengan bergabung menjadi satu, mereka bertiga merupakan kekuatan yang dapat menentang siapapun juga, di tambah lagi dengan anak buahnya. Bagaimanapun juga, kekalahannya dan kehilangan pedang pusaka itu tidakmembuatnya kehilangan muka karena dia bahkan kini menjadi Sam Ok, kedudukan yang lebih besar daripada ketua Kwi-jiauw-pang. Dengan julukan Sam Ok, berarti dia terangkat menjadi anggauta dari persaudaraan yang dikenal sebagai datuk barat! Ang I Sianjin atau Sam Ok berpaling memandang anak buahnya dan dia berkata dengan lantang.

   “Kalian semua tentu telah melihat dan mendengar! Mulai saat ini, kalian memanggil Toa Ok dengan Toa-pangcu (Ketua Pertama), Ji Ok dengan Ji-pangcu (Ketua Kedua) dan aku Sam Ok dengan Sam-pangcu (Ketua Ketiga). Mengertikah kalian semua? Kalian sekarang dipimpin oleh tiga orang ketua sehingga kedudukan kita semakin kuat!”

   Para anak buah itu sudah melihat sendiri kehebatan ilmu kepandaian dua orang datuk itu, maka dengan serentak mereka menjawab dengan sorakan gembira. Sam Ok lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengadakan pesta merayakan peristiwa itu dan mereka makan minum dengan penuh kegembiraan.

   Gadis yang mendaki Kwi-liong-san dari barat itu amat cantik dan gagah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya. Tubuhnya ramping padat dan langkahnya gemulai namun tetap. Gadis itu masih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas, dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai. Setelah agak lama memandang ke arah puncak Kwi-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah ia mendaki bukit itu. Melihat seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah di duga ia tentulah seorang gadis kangouw yang memiliki ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebatang pedang yang tergantung dipunggungnya.

   Memang ia bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang memiliki ilmu silat yang tangguh sekali. Ia adalah Pek Bwe Hwa yang telah kita kenal. Gadis perkasa ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika ia menjadi tamu ketua Hek I Kaipang. Setelah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat. Akan tetapi Si Kong segera pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya lebih baik. Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan Ayahnya. Pek Bwe Hwa adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula.

   Ia mewarisi ilmu-ilmu dari Ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persis ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun memiliki ketenangan seperti Ayahnya. Dalam usianya yang sembilan belas tahun itu, ia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang yang dimainkan dengan tongkat, ilmu Kwan Im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kum, ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun menyembunyikan daya serang yang amat kuat, Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), dan selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, ia masih mempelajari ilmu sihir dari Ayahnya! tidak mengherankan kalau Ayah bundanya merelakan ia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.

   Biarpun masih muda, namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti Ayahnya. Juga nama besar Ayahnya amat menolongnya ketika ia mencari keterangan tentang pedang pusaka Pek-lui-kiam. Akhirnya ia mendapat keterangan tentang pedang pusaka itu berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kwi-jiauw-pang yang amat terkenal. Bwe Hwa mendapat pesan dari Ayah ibunya bahwa kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, ia harus berusaha untuk merampasnya, akan tetapi kalau terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, ia bahkan harus membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat. Kini ia mendengar betapa Kwi-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap dunia kangouw di sekitar daerah Kwi-liong-san.

   Karena itulah maka Bwe Hwa pada pagi hari itu telah tiba dikaki gunung Kwi-liong-san. Matahari telah naik tinggi, namun sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu, cuaca masih remang-remang dan sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pohon. Namun pemandangan itu sungguh indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang selalu terlindung pohon-pohon itu. Bwe Hwa melangkah terus. Pagi-pagi tadi ia sudah berhenti di sebuah dusun dan sarapan di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak ketika mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kwi-liong-san.

   “Maaf, nona. Nona hendak mendaki Kwi-liong-san, mempunyai keperluan apakah?”

   Tanya kakek penjual bubur itu. Bwe Hwa tersenyum.

   “Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman.”

   Orang itu memandang penuh kekhawatiran.

   “Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar! Kwi-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Disana menanti bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit itu.”

   “Bahaya apakah, paman?”

   Tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal ia sudah mendengar bahwa bukit itu menjadi sarang perkumpulan Kwi-jiauw-pang yang tersohor jahat.

   “Apakah nona belum mendengar? Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!”

   Bwe Hwa tersenyum lagi.

   “Aku tidak takut kepada binatang buas, paman. Aku mempunyai pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku.”

   “Akan tetapi… ah, apakah nona belum mendengar?”

   Orang itu memandang ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya.

   “Gunung itu sudah menjadi sarang setan dan iblis! Siapa yang berani mendaki bukit itu, tentu tidak akan dapat turun kembali. Karena itu, kunasihatkan, pilihlah tempat lain untuk pesiar, nona.”

   Bwe Hwa melangkah maju dengan tenang. Sama sekali hatinya tidak menjadi jerih mendengar keterangan pemilik kedai bubur itu. Ia dapat menduga bahwa yang dimaksudkan setan dan iblis oleh penjual bubur itu, tentu anak buah Kwi-jiauw-pang. Tiba-tiba ia mendengar suara berkeresekan dari arah kiri. Disana terdapat semak-semak belukar yang lebat. Ia menjadi waspada karena hidungnya mencium bau yang mencolok hidung. Bau yang keras dan apak. Kemudian ia mendengar gerengan halus namun menggetarkan jantung. Bwe Hwa berhenti melangkah dan menghadapi semak belukar itu. Ia merasa yakin bahwa di dalam semak-semak itu tentu bersembunyi seekor binatang buas. Ia sudah siap siaga menghadapi binatang buas apapun. Kemudian muncullah binatang itu. Mula-mula hanya kepalanya yang nongol keluar. Kepala seekor harimau yang besar! Mata harimau itu mencorong dan gerengannya makin lama semakin kuat, menggetarkan jantung.

   Namun Bwe Hwa menghadapi harimau itu dengan tenang dan siap. Harimau itu keluar dari dalam semak-semak dan melihat perutnya yang kempis, Bwe Hwa dapat menduga bahwa binatang itu sedang kelaparan. Dan seekor harimay yang lapar merupakan binatang yang amat buas dan berbahaya, berani menyerang apa saja yang kiranya dapat dijadikan mangsanya. Perlahan-lahan harimau itu melangkah, menghampiri Bwe Hwa. Setelah jarak antara harimau dan gadis itu tinggal empat meter lagi, harimau itu berhenti dan kembali mengaum dengan dahsyatnya, lalu dia mendekam, nampak otot-ototnya menggeletar. Kemudian, dengan tiba-tiba sekali dia meloncat ke depan dan lompatan kedua kalinya dilakukan dengan kuat sehingga tubuhnya melambung ke atas dan menyerang Bwe Hwa dengan terkaman kedua kaki depan yang kuat.

   Bwe Hwa yang sejak tadi bersikap tenang dan waspada, cepat mengelak dan menyusup di bawah perut harimau itu. Tubrukan itu luput dan harimau itu mengaum lagi sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat. Agaknya kegagalannya dengan serangan tadi membuat dia marah sekali. Bwe Hwa sudah mencabut pedangnya. Ia tidak boleh main-main dengan harimau itu karena binatang itu amat buas dan cepat kuat. Binatang itu mengaum lagi dan kini menyerang dengan terkaman rendah, kedua kaki depan mencengkeram dan moncongnya sudah siap untuk menggigit apabila korbannya dapat dicengkeram dengan kedua kaki depannya. Bwe Hwa sudah siap. Ketika harimau itu menerkamnya, ia cepat menggeser kaki ke kiri dan pedangnya membalik dan membacok ke arah kedua kaki itu.

   “Crokk!!”

   Kedua kaki depan itu terbacok putus dan harimau itu terbanting ke atas tanah, menggereng-gereng dan berusaha bangkit akan tetapi selalu terpelanting roboh lagi.

   Darah bercucuran dari kedua kaki depan yang buntung itu. Melihat harimau itu menggereng-gereng kesakitan dan tubuhnya bergulingan tak mampu bangkit, timbul perasaan iba di hati Bwe Hwa. bagaimanapun juga harimau itu tidak jahat. Dia menyerang siapa saja yang dapat dijadikan mangsanya, untuk mencegahnya dari mati kelaparan. Tidak pantas kalau ia menyiksanya. Diapun tidak akan dapat bertahan hidup dengan kedua kaki depat putus, tentu tidak dapat menangkap mangsa lagi dan akan mati kelaparan. Setelah mempertimbangkan, Bwe Hwa melompat ke depan, pedangnya terayun dan harimau itupun rebah dan tidak dapat bergerak lagi. Leher harimau yang kokoh itu terbabat pedang pusaka Kwan-im-kiam dan hampir putus! Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan memuji, disusul kata-katanya kagum,

   “Wah, hebat sekali!”

   Bwe Hwa cepat membalikkan tubuhnya dan ia melihat seorang pemuda tampan berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu berpakaian serba putih, rambutnya diikat dengan pita kuning dan diikat pinggangnya yang merah itu terselip sebatang suling perak. Pemuda itu nampak tampan dan terutama bersih sekali sehingga tidak sesuai dengan keadaan sekelilingnya.

   Baju putih itu sama sekali tidak ternoda, seolah baru saja dia mengenakannya. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, gerak-geriknya lembut dan senyumnya memikat. Bwe Hwa hanya memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Ia belum pernah melihat pemuda ini dan hatinya bertanya-tanya siapakah pemuda yang pesolek dan tampan ini dan apa maksudnya muncul dalam hutan di kaki gunung Kwi-liong-san ini. Pemuda itu pun seakan terpesona. Dia melihat seorang gadis yang cantik jelita seperti dewi dari langit, akan tetapi selain cantik jelita juga gagah perkasa, berani melawan seekor harimau besar yang kelaparan, bahkan membunuhnya. Akhirnya pemuda itu menyadari bahwa kemuncullannya tentu mengejutkan dan mencurigakan gadis itu, maka dia pun tersenym dan menjura memberi hormat.

   “Maafkan aku, nona. Tadi ketika aku sedang berjalan dalam hutan ini, tiba-tiba aku dikejutkan oleh auman suara harimau yang marah. Aku terkejut dan cepat menuju ke sini, dan aku masih sempat melihat nona memenggal leher harimau itu. Sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu, nona. Akan tetapi yang mengherankan hatiu, harimau itu telah buntung kedua kaki depannya dan tidak mungkin dapat menyerangmu lagi. Kenapa engkau membunuhnya, Nona?”

   Bwe Hwa merasa tidak senang ditegur oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya, akan tetapi karena pemuda ini bersikap sopan dan ucapannya juga teratur dan sopan, ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

   “Justeru karena kedua kaki depannya putus aku membunuhnya untuk menghentikan derita siksaan sampai dia mati kelaparan.”

   Pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat dan kagum.

   “Bukan main! Nona seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, juga amat bijaksana. Memang, apa yang nona lakukan itu tepat sekali, membuktikan akan kemuliaan hati nona. Nona, secara kebetulan sekali kami bertemu di sini, karena itu sudah sepatutnya kalau kami saling berkenalan, tentu saja kalau nona tidak merasa terlalu tinggi dan mulia untuk mengenalku, seorang yang bodoh dan tidak berarti. Namaku adalah Coa Leng Kun, nona.”

   Kita pernah berkenalan dengan pemuda ini. Dia adalah pemuda yang pernah beberapa kali membantu Tang Hui Lan bahkan sudah berkenalan dengan Tang Hui Lan. Pemuda itu adalah Coa Leng Kun. Pemuda ini sudah yatim piatu dan dia mewarisi ilmu silat dari mendiang Hek Tok Siansu. Ketika Hek Tok Siansu tewas di tangan Hay Hay, dia telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang bernama Giam Tit.

   Giam Tit inilah yang mengajarkan semua ilmunya kepada Coa Leng Kun. Ketika Giam Tit yang menjadi seorang perampok tunggal terluka parah oleh keroyokan beberapa orang pendekar Bu-tong-pai, sebelum meninggal dunia dia berpesan kepada muridnya untuk membalaskan kematian kakek gurunya. Dia sendiri tidak dapat melakukan balas dendam itu dan dia minta agar Coa Leng Kun mewakili gurunya membalaskan dendam atas kematian Hek Tok Siansu kepada Tang Hay dan keluarganya. Ketika bertemu dengan Tang Hui Lan, diam-diam Coa Leng Kun merasa girang sekali. Hui Lan adalah puteri musuh besarnya. Dia ingin mendekati gadis itu, kalau mungkin memperisterinya sehingga kelak dengan mudah dia dapat mengatur untuk membalas dendamnya dan menyeret keluarga musuh besarnya itu ke lembah kehancuran.

   Akan tetapi Hui Lan meninggalkannya dan tidak mau dekat dengannya, maka diapun berusaha untuk mengejar. Akan tetapi dia kehilangan jejak gadis perkasa itu. Maka, diapun melakukan perjalanan ke Kwi-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam dan kalau mungkin merampasnya. Inilah sebabnya mengapa dia berada di hutan di kaki gunung Kwi-liong-san dan secara kebetulan dapat bertemu dengan Bwe Hwa. Bwe Hwa adalah seorang gadis yang keras hati. Kalau orang bersikap keras kepadanya, tentu dia akan menjadi marah. Akan tetapi kalau orang bersikap lembut dan hormat kepadanya, ia menjadi seorang gadis yang lembut pula. Mendengar pemuda itu memperkenalkan diri dan bersikap demikian sopan, ia merasa tidak enak kalau tidak menanggapinya. Iapun membalas penghormatan orang dan memperkenalkan dirinya.

   “Aku bernama Pek Bwe Hwa,”

   Katanya singkat. Coa Leng Kun mengerutkan alisnya dan memandang tajam.

   “She Pek? Aku pernah mendengar akan keluarga Pek yang menjadi ketua dari perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) yang berada di Kong-guan di propinsi Secuan. Entah apa hubungan nona dengan mereka?”

   Bwe Hwa tersenyum. Pemuda ini agaknya mengenal dunia kangouw, karena perkumpulan Pek-sim-pang yang berada ditempat yang demikian jauhnya, dapat dia kenali.

   “Ketua Pek-sim-pang adalah kakekku,”

   Ia menerangkan dengan pendek.

   “Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat kepadamu, nona Pek!”

   Coa Leng Kun kembali menjura dan memberi hormat.

   “Tidak mengherankan kalau nona begini lihai dan budiman, kiranya nona adalah cucu ketua Pek-sim-pang!”

   “Sudahlah, tidak perlu basa basi ini. Sebetulnya, apa yang mendorongmu datang ke Kwi-liong-san ini, saudara Coa Leng Kun? Tempat ini tidak layak untuk didatangi orang yang berpesiar.”

   Coa Leng Kun tersenyum.

   “Tepat sekali pertanyaanmu, nona Pek. Di dalam hatiku juga ada pertanyaan seperti itu untukmu. Engkau seorang gadis, lebih aneh lagi berada di tempat liar dan berbahaya seperti ini. Akan tetapi melihat kelihaianmu, aku mengerti jawabannya.”

   “Hemm, coba terangkan kalau benar engkau mengerti mengapa aku datang ke tempat ini.”

   “Menurut dugaanku, engkau tentu datang ke tempat ini sehubungan dengan Pek-lui-kiam! Kwi-liong-san terkenal sebagai tempat yang gawat, berbahaya dan ditakuti semua orang. Akan tetapi tempat ini juga menarik karena ada desas-desus bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kwi-jiauw-pang yang berpusat di puncak bukit ini. Maka, apalagi yang menarik hatimu untuk berkunjung ke sini kalau tidak karena Pek-lui-kiam?”

   Bwe Hwa tersenyum. Dia mulai tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya halus dan sopan, akan tetapi ramah dan terbuka sehingga dara ini menilai bahwa Leng Kun tentu seorang pemuda terpelajar dan juga pandai ilmu silat yang jujur.

   “Kalau dugaanmu begitu, demikian pula dugaanku. Engkau tentu datang ke sini karena Pek-lui-kiam pula,”

   Katanya. Coa Leng Kun tertawa.

   “Engkau cerdik dan menduga dengan tepat, nona. Akan tetapi sedikit sekali harapan bagiku untuk berhasil merebut pusaka itu kalau mengingat bahwa orang-orang pandai seperti nona juga ikut memperebutkan. Biarlah aku hanya meramaikan suasana dan ikut menonton saja.”

   Pemuda ini pandai merendahkan dirinya sendiri, sikap rendah hati yang baik, pikir Bwe Hwa. Timbul keinginannya untuk mengukur sampai dimana kehebatan ilmu silatnya.

   “Engkau terlalu merendahkan diri, sauadar Coa. Aku yakin bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Karena itu, kuharap engkau tidak menolak untuk saling mengukur ilmu silat masing-masing.”

   Leng Kun melangkah mundur dan mengangkat tangan kanannya ke atas.

   “Ah, mana aku berani, nona? Jangan-jangan baru satu dua jurus saja aku bernasib seperti harimau ini!”

   Bwe Hwa tersenyum.

   “Engkau bukan harimau yang hendak menerkam aku. Dan pula, mengukur kepandaian tidak sama dengan bertanding karena bermusuhan. Tentu saja kita tidak akan saling melukai. Akan tetapi aku ingin sekali mencoba ilmu silatmu, saudara Coa. Kalau kita sudah saling mengetahui kepandaian masing-masing, barulah kita dapat bersahabat.”

   “Ah, engkau bersahabat dengan aku yang tolol ini, nona? Terima kasih, dan kalau begitu pendapatmu, aku tidak berani menolak lagi. Akan tetapi harap engkau kasihani diriku dan tidak mendesak terlalu hebat.”

   “Keluarkan senjatamu, saudara Coa!”

   Kata Bwe Hwa yang segera mencabut Kwan-im-kiam dari punggungnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya. Seperti yang diduga oleh Bwe Hwa, pemuda itu mencabut suling perak yang terselip di ikat pinggang merah dan begitu suling itu digerakkan, terdengar suara melengking seolah suling itu titiup dan dimainkan. Baru gerakan ini saja sudah membuat ia maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga Sin-kang yang kuat, maka ia menjadi semakin gembira dan kagum. Akan tetapi ia merasa khawatir kalau-kalau pedangnya akan merusak suling itu, maka iapun berkata dengan suara lembut.

   “Saudara Coa, ketahuilah bahwa pedangku ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Aku khawatir kalau sulingmu yang terbuat dari perak itu kalau bertemu dengan pedangku akan menjadi rusak.”

   Leng Kun tersenyum lebar.

   “Jangan khawatir, nona. Sulingku ini juga merupakan pusaka yang ampuh dan terbuat dari pada baja biru yang kuat. Warna perak itu hanya merupakan selimut saja, agar nampak indah dan kalau dimainkan merdu suaranya. Jangan khawatir, sulingku tidak akan rusak.”

   Setelah berkata demikian, Leng Kun memasang kuda-kuda dengan suling diangkat di atas kepala dan menuding ke depan, tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat menempel kaki kanan. Kuda-kudanya ini kokoh dan juga gagah sekali.

   “Aku telah siap, nona. Mulailah!”

   Bwe Hwa tidak banyak cakap lagi. Ia memang ingin sekali melihat kelihaian pemuda ini. Kalau kepandaiannya hanya rendah saja, untuk apa bersahabat dengannya?

   “Lihat pedang!”

   Bentaknya dan pedangnya sudah bergerak menusuk ke arah dada. Leng Kun menurunkan dan menggeser kakinya mengelak lalu sulingnya menyambar ke arah leher Bwe Hwa. Gadis ini cepat mengelak lalu membalas dengan pedangnya, membabat kaki Leng Kun. Akan tetapi dengan ringan Leng Kun meloncat ke atas, sulingnya menyambar ke bawah untuk menangkis pedang.

   “Cring”

   Trangg…!!”

   Dua kali suling bertemu pedang dan bunga api berpijar, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Leng Kun, suling itu tidak menjadi rusak. Mereka lalu menyerang dengan seru. Bwe Hwa sudah memainkan Kwan-im-kiamsut. Tubuhnya berkelabatan ke sana-sini menjadi bayangan yang dilindungi oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Akan tetapi Leng Kun memainkan sulingnya dengan hebat dan aneh pula. Nampak gulungan sinar putih berkeredapan dibarengi dengan suara melengking-lengking! Setelah bertanding selama lima puluh jurus, tahulah Bwe Hwa bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Kalau mereka berkelahi benar-benar, ia akan menang, akan tetapi akan memakan waktu yang cukup lama. Setelah puas menguji ilmu silat pemuda itu, ia membentak dengan suara penuh getaran berwibawa.

   “Coa Leng Kun, tak mungkin engkau mampu melawan pedangku yang berubah menjadi sepuluh batang!”

   Gadis itu mengerahkan tenaga batinnya, menggunakan sihir untuk mencoba pemuda itu. Ternyata ia telah menggunakan kekuatan batinnya dan mempengaruhi pikiran pemuda itu. Coa Leng Kun terbelalak melihat betapa gadis itu kini memainkan sepuluh batang pedang yang mengepungnya dari segala penjuru! Dia melompat jauh ke belakang dan berseru,

   “Nona Pek Bwe Hwa, aku mengaku kalah!”

   Bwe Hwa tersenyum dan tidak menyerang lagi. Pemuda itu masih bengong keheranan.

   “Nona, ilmu pedang apakah yang kau mainkan tadi? Pedangmu menjadi banyak sekali sehingga aku terkurung dan tidak mampu lagi melawan.”

   Bwe Hwa merasa senang. Biarpun dalam ilmu silat dia hanya menang sedikit saja dari pemuda ini, akan tetapi dengan kekuatan sihirnya dia mampu mengalahkannya dalam waktu singkat saja.

   “Ah, ilmu pedangku tidak seberapa kalau dibandingkan dengan ilmu silat sulingmu yang lihai itu, saudara Coa.”

   “Nona engkau tidak perlu merendahkan diri, aku tahu betul bahwa aku tidak dapat menandingimu. Pula, kita telah berkenalan, bahkan telah bertanding yang berarti bahwa kita sudah menjadi sahabat. Kenapa engkau masih menyebutku saudara Coa? Terdengarnya begitu asing.”

   “Habis engkau juga menyebut aku nona, lalu aku harus menyebutmu apa?”

   “Engkau lebih muda dariku, pantas kuesebut moi-moi (adik perempuan) dan kalau engkau tidak keberatan, aku akan senang sekali kalau kausebut twako (kakak pria). Bagaimana pendapatmu, Hwa-moi?”

   Bwe Hwa sudah mengenal watak dan sikap pemuda itu yang sopan dan lembut, maka iapun tidak keberatan untuk menganggap epmud aitu sebagai sahabat atau kakaknya.

   “Baiklah, Kun-ko,”

   Jawabnya sederhana. Bukan main girangnya rasa hati Leng Kun.

   “Kita sudah menjadi sahabat baik atau bahkan saudara, akan tetapi kita tidak saling mengenal keadaan masing-masing. Maukah engkau menceritakan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu, dan dimana engkau tinggal. Hwa-moi? Akan tetapi biarlah aku yang lebih dulu bercerita. Seperti telah kuperkenalkan tadi, namaku Coa Leng Kun. Aku tidak mempunyai orang tua lagi, juga guruku telah meninggal dunia. Aku hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka berkelana. Dalam perjalananku aku mendengar tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di tangan Ang I Sianjin. Pusaka itu tadinya milik pendekar besar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi pada suatu hari, pendekar Tan Tiong Bu di bunuh orang dan pedang pusaka Pek-lui-kiam lenyap. Menurut dugaan orang, tentu Ang I Sianjin yang membunuh pendekar itu dan mencuri pedangnya. Nah, demikianlah keadaan diriku. Tidak menarik sama sekali.”

   “Dari siapakah engkau mempelajari ilmu silatmu yang lihai itu? Siapakah gurumu yang telah meninggal dunia itu?”

   “Tentu saja aku mempelajarinya dari guruku. Beliau adalah seorang pertapa yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri dari dunia ramai. Bahkan namanyapun tak seorang pun mengetahuinya. Kepadaku dia hanya mengatakan bahwa dia sudah lupa akan namanya dan minta di sebut Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama). Nah, sekarang aku ingin mendengar tentang dirimu, Hwa-moi.”

   “Tidak ada yang aneh tentang diriku, Twako. Seperti sudah kukatakan kepadamu, namaku Pek Bwe Hwa. Guruku adalah orang tuaku sendiri dan kami tinggal di Kong-goan, propinsi Secuan, bersama kakekku yang menjadi ketua Pek-sim-pang. Aku sedang merantau untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman di dunia kangouw. Orang tuaku yang memesan kepadaku agar aku ikut pula menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Akupun mendengar juga tentang kematian Tan Tiong Bu dan pembunuhnya adalah seorang kakek berpakaian merah yang tinggi kurus. Dunia kangouw segera dapat menduganya bahwa pembunuh itu adalah Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di bukit ini. Maka akupun datang ke sini untuk menyelidikinya.”

   “Dengan kepandaianmu, aku yakin bahwa engkau tentu akan berhasil merampas pedang pusaka itu, Hwa-moi.”

   “Aih, belum tentu, twako. Setidaknya disini ada engkau pula yang tidak kalah lihai. Kalau ada kemungkinan bahwa aku yang akan berhasil, tentu ada kemungkinan pula bahwa engkau juga akan berhasil.”

   “Tidak, Hwa-moi. Aku tidak akan berebut denganmu, aku bahkan akan membantumu untuk mendapatkan pedang pusaka itu!”

   Bwe Hwa memandang tajam penuh selidik. Ia merasa heran dan curiga kepada Coa Leng Kun. Pemuda itu baru saja bertemu dan berkenalan dengannya, mengapa begitu baik hendak membantunya mendapatkan Pek-lui-kiam? Kebaikan yang berlebihan ini tentu mengandung niat dan pamrih. Ayahnya sudah menasihatkan kepadanya bahwa musuh yang paling berbahaya adalah orang yang bersikap terlalu baik kepadanya. Apakah pemuda ini diam-diam mengandung maksud jahat terhadap dirinya? Ia harus berhati-hati.

   “Kun-ko, kenapa engkau begitu baik kepadaku?”

   Leng Kun tersenyum.

   “Tentu saja, Hwa-moi. Bukankah kita telah bersahabat?”

   “Hemm, baru saja kita bertemu dan berkenalan.”

   “Akan tetapi kita telah bertanding dan mengenal keadaan masing-masing. Aku merasa seolah sudah lama sekali kita berkenalan, Hwa-moi. Aku merasa kagum sekali kepadamu, dan suka sekali. Ah, sampai lupa aku! Hwa-moi, harimau ini telah kau bunuh, akan tetapi sia-sialah kalau dibiarkan begitu saja. Pernahkah engkau merasakan daging harimau?”

   “Daging harimau?”

   Bwe Hwa memandang heran ketika percakapan mereka tiba-tiba saja membelok ke arah lain.

   “Aku belum pernah memakannya.”

   “Wah, engkau harus merasakannya, Hwa-moi. Kalau pandai memasaknya, daging harimau itu lezat sekali. Biarpun kita tidak membawa alat masak, aku tahu cara yang baik untuk memanggang dagingnya. Aku membawa bumbu penyedap untuk itu.”

   Tanpa banyak cakap lagi Leng Kun lalu mengambil sebuah pisau belati dari pinggangnya dan dia mulai mengerat daging harimau itu, mengambil bagian pahanya. Bwe Hwa hanya menonton saja, kecurigannya sudah terlupa lagi olehnya. Ia hanya duduk di atas baju sambil melihat pemuda itu bekerja. Dengan cekatak Leng Kun menguliti potongan paha itu, kemudian mengiris dagingnya menjadi beberapa potong. Diambilnya bumbu garam, merica dan lain-lain dari buntalannya dan setelah memberi bumbu kepada daging-daging itu, lalu dibuatnya api unggun. Daging-daging paha yang menjadi beberapa potong sebesar kepalan tangan itu lalu di tusuk dengan belahan bambu yang didapatkan disekitar tempat itu dan dipanggangnyalah daging-daging itu. Bwe Hwa segera mencium bau yang amat sedap sehingga timbul seleranya. Ia kini membantu Leng Kun memanggang daging-daging itu.

   “Coba cicipilah!”

   Kata Leng Kun sambil memberikan sepotong bambu yang menusuk dua potong daging kepada Bwe Hwa.

   “Hemm, baunya sedap!”

   Kata Bwe Hwa terus terang dan setelah daging itu agak mendingin, ia menggigitnya. Ternyata memang lezat sekali,, ada rasa gurih dan manis, berbau sedap karena di bumbui. Mereka lalu makan habis semua potongan daging harimau panggang itu dan mereka minum dari bekal minuman masing-masing. Bwe Hwa membawa bekal minuman air jernih, dan Leng Kun membawa seguci arak. Setelah makan dan minum, Leng Kun berkata kepada Bwe Hwa,

   “Sekarang kita lanjutkan pendakian ke sarang Kwi-jiauw-pang, Hwa-moi. Akan tetapi karena penjagaan tentu ketat, sebaiknya kalau kita berpisah. Engkau jalan dari arah kiri dan aku mendaki dari arah kanan. Kita bertemu diatas nanti. Dengan berpencar kita akan lebih mudah masuk ke sarang mereka. Setidaknya seorang diantara kita tentu berhasil.”

   Bwe Hwa mengangguk.

   “Pendapatmu benar sekali. Perkumpulan Kwi-jiauw-pang itu kuat sekali, siapa tahu mereka memasang perangkap di jalan menuju ke atas.”

   “Harap engkau suka berhati-hati, Hwa-moi.

   “

   “Sampai nanti, Kun-ko.”

   Bwe Hwa lalu meloncat ke kira dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata Leng Kun. Pemuda ini menarik napas panjang, merasa kagum bukan main. Diapun lalu berlari ke arah kanan dengan cepatnya. Coa Leng Kun berlari dengan cepat sekali, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar.

   Melihat cara dia berlari tanpa ragu, mudah diduga bahwa pemuda ini tidak asing dengan daerah pegunungan itu. Dan dia mengambil jalan pintas, tidak menurut jalan setapak melainkan menerobos semak-semak. Tak lama kemudian dia sudah tiba di depan pintu gerbang perkumpulan Kui-jiaw-pang yang berdiri di tengah puncak bukit yang datar. Selosin orang anggota Kui-jiaw-pang muncul dari gardu penjagaan dan menghadang di tengah pintu gerbang. Mereka memandang heran dan penuh kecurigaan kepada pemuda tampan berpakaian putih yang tahu-tahu tiba di depan pintu gerbang. Tentu pemuda itu tidak menggunakan jalan setapak maka dapat tiba disitu tanpa mereka ketahui. Kalau melalui jalan setapak, tentu pemuda itu menemui rintangan dan jebakan yang telah mereka pasang.

   “Heii, berhenti!! Siapa engkau berani datang ke sini tanpa diundang?”
   
Bentak kepala jaga dengan suara lantang. Leng Kun tersenyum dan berdiri tegak, matanya menentang pandangan mata sepuluh orang itu.

   “Bagus, kalian melakukan penjagaan yang ketat dan baik. Akan tetapi aku bukanlah lawan, melainkan kawan.”

   Dia mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Bendera itu berdasar warna biru dan di tengahnya terdapat sulaman gambar setangkai bunga teratai putih.

   “Serahkan ini kepada ketua kalian!”

   Kepala jaga melihat bendera itu, berubah sikapnya. Dia menerima bendera itu, memberikan kepada seorang anak buah untuk membawa bendera itu kepada ketua mereka, dan kepada Leng Kun dia berkata ramah,

   “Harap kongcu suka menunggu di dalam gardu sebentar menanti kembalinya pelapor.”