Pedang Kayu Harum: 26-30


“Orang ini kepandaiannya juga hebat, Sri Baginda. Akan tetapi hamba mohon agar Paduka bersikap waspada. Orang seperti dia ini sama sekali tidak boleh dipercaya secara bulat-bulat,”

Kata The Ho perlahan secara kaisar. Kaisar tersenyum.

“Anjing yang betapa galak pun kalau pandai mempergunakannya, dapat menjadi penjaga yang setia, Ciangkun.”

The Ho menganguk-angguk dan dia pun tidak merasa gelisah karena orang pandai ini sudah mengenal kebijaksanaan junjungannya. Sementara itu, dua orang yang bertanding itu masih terus saling menyerang dengan seru, akan tetapi kini terjadi perubahan.

Siauw Lek kelihatan mulai mendesak dengan pukulan-pukulan ampuh yang bertubi-tubi sehingga Theng Kiu tidak mampu lagi membalas. Sebetulnya Theng Kiu tidaklah terdesak, dan memang dia sengaja main mundur dan bersikap seolah-olah terdesak. Hal ini sengaja dia lakukan untuk membuat lawan lengah. Ia hendak mempergunkan ilmu gulatnya untuk menangkan pertandingan ini. Andaikata dia menghadapi lawan lain, tentu sudah dia keluarkan sejak tadi untuk mencapai kemenangan. Akan tetapi dia maklum bahwa Siauw Lek adalah lawan yang amat tangguh dan senjatanya yang paling ampuh dalam pertandingan tangan kosong hanya ilmu gulatnya. Kalau dia keluarkan sembarangan dan diketahui lawan, agaknya lawan akan bersikap hati-hati sehingga sukar ditangkap. Maka dia sengaja bersikap terdesak untuk menyergap lawan secara tiba-tiba selagi lawan lengah.

Pada saat Siauw Lek mengiri pukulan dengan lengan kanan dengan kuat dan cepat sekali ke arah dada Theng Kiu, pengawal berambut putih itu menggerakkan tangan menangkis, akan tetapi tidak seperti yang sudah-sudah tadi, tangkisannya kurang tenaga sehingga kepalan tangan Siauw Lek masih meleset dan menuju dadanya. Agaknya Theng Kiu waspada sehingga mengirangkan hati Siauw Lek yang merasa bahwa pukulannya tentu akan mengenai sasaran. Duagaannya memang tepat, kepalan tangannya menyentuh dada lawan akan tetapi tangan yang menangkisnya tadi kini tahu-tahu telah mencekal pergelangan tangannya dan tubuh lawan secara tiba-tiba merendah, membungkuk dan Siauw Lek merasa tubuhnya terlempar tinggi di udara!

Hebat sekali serangan balasan Theng Kiu ini, yang menggunakan cara melontarkan yang istimewa, yaitu meminjam tenaga pukulan Siauw Lek dan mempergunakan tubuhnya sebagai pengganjel lengan Siauw Lek yang ditangkap sebagai pengayun maka terlontarlah tubuh Siauw Lek sampai tinggi dan jauh. Kalau bukan Siauw Lek yang sudah memiliki ginkang tinggi, berbahayalah lawan yang dilontarkan seperti ini, karena kalau terbanting dengan kepala lebih dulu tentu akan tewas seketika. Akan tetapi Siauw Lek tidak kehilangan akal. Sungguhpun tubuhnya melayang ke atas di luar kehendaknya sehingga untuk sesaat dia kehilangan keseimbangan tubuhnya, namun di udara dia sudah dapat menggerakkan tubuh dengan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Mencuat) dan di udara itu tubuhnya berpoksai (bersalto) tiga kali sehingga ketika tubuhnya melayang turun kembali,

Dia sudah dapat menguasai tubuhnya dan turun dengan arah terkendali, yaitu turun menukik ke arah lawan sabil mengirim pukulan dengan kedua tangan seperti gerakan seekor garuda menyambar kelinci! Gerakan Theng Kiu ketika menangkap dan melontarkan lawan tadi memang hebat, akan tetapi gerakan Siauw Lek itu lebih indah sehingga terdengar seruan-seruan memuji. Adapun Theng Kiu yang menjadi penasaran, sudah menggeser tubuh ke belakang sehingga serangan Siauw Lek luput dan mereka kembali saling berhadapan. Siauw Lek tersenyum dan maklumlah kini dia bahwa “simpanan”

Lawannya adalah ilu melontarkan tubuh lawan yang menjadi sebagian daripada ilu gulat utara. Siauw Lek bukanlah seorang pemuda hijau. Dia sudah mengalami banyak pertempuran dan dia banyak tahu akan ilmu silat ini,

Maka diam-diam dia mengambil keputusan untuk mengalahkan lawan ini dengan mencari titik kelemahan ilmu gulat! Ia tahu bahwa seorang ahli gulat, amat takut terlalu lama menangkap seorang ahli silat, takut akan pukulannya, maka begitu menangkap tentu akan dilontarkan atau di banting. Sebaliknya, seorang ahli silat biasanya bersikap hati-hati kalau melawan seorang ahli gulat, dan selalu bertanding dengan jarak jauh karena maklum akan lihainya ilmu gulat yang bukan lain adalah ilmu mencengkeram dan menangkap semacam Eng-jiauw-kang dan Kin-na-hoat. Setelah membuat perhitungan dan mencari akal, kembali Siauw Lek menerjang maju dengan pukulan-pukulan berat. Sekali lagi dia tertangkap, bahkan kini kedua lengannya yang ditangkap dengan beberapa kali tekukan tubuh, Siauw Lek telah diangkat dan sekali ini dia dibanting ke atas lantai.

“Bruuukkkkk!”

Debu mengebul ketika tubuh Siauw Lek terbanting ke atas lantai saking kerasnya bantingan, akan tetapi tubuh Siauw Lek sudah mencelat bangun kembali, sebaliknya, tubuh Theng Kiu terguling dan tidak dapat bangun karena pada saat dia dibanting dan dilepaskan oleh cekalan tangan lawan, Siauw Lek sudah secepat kilat menggerakkan tangan mengirim pukulan sinkang yang tepat mengenai lambung Theng Kiu. Biarpun tidak sangat tepat dan keras kenanya karena posisi Siauw Lek yang sedang dibanting itu, namun karena pukulan itu mengandung sinkang dan yang terkena adalah bagian tubuh yang lemah, cukup untuk merobohkan Theng Kiu yang perutnya menjadi nyeri dan napasnya sesak! Melihat keadaan lawannya, Siauw Lek cepat menghampiri dan dengan beberapa kali totokan dan pijatan, akhirnya Theng Kiu tidak begitu menderita. Keduanya lalu berlutut di depan kaisar dan Theng Kiu berkata,

“Hamba mengaku kalah dalam bertanding tangan kosong dengan saudara Siauw Lek, Sri Baginda.”

Kaisar mengangguk-angguk dan The Ho tai-caiangkun berkata,

“Mereka berdua lebih lihai daripada pengawal kepala, pangkat apakah yang akan Paduka berikan kepada mereka, Sri Baginda?”

Kaisar tersenyum memandang panglima tinggi yang dahulunya merupakan sahabat seperjuangan itu, dan berkata lirih,

“Aku telah mempunyai lima orang pengawal rahasia yang terdiri dari orang-orang sakti, kalau kini ditambah dua orang lagi, bukankah lebih baik, The ciangkun? Mereka hidup mewah dan bebas, akan tetapi bertugas untuk secara rahasia mengawal kaisar dengan taruhan nyawa mereka. Ingin mengenal mereka?”

Tanpa menanti jawaban panglima itu tahu pasti akan menyetujuinya, kaisar sudah memasukkan sebuah benda kecil ke mulutnya dan meniup. Terdengarlah suara melengking tinggi dan beberapa detik kemudian, baru saja kaisar menyimpan kembali benda yang ternyata semacam peluit kecil itu ke dalam saku, dari jendela, pintu, dan atas genteng melayang turun lima bayangan orang yang gerakannya cepat laksana burung-burung menyambar dan tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri lima orang laki-laki tua yang memandang kaisar, kemudian memandang ke kanan kiri penuh kewaspadaan dan persiapan.

Cui Im memandang penuh perhatian dan dengan kaget dia mengenal bahwa seorang di antara lima orang kakek itu bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong, kakek tinggi besar yang berkulit hitam arang, matanya kelihatan putih dan telinganya lebar seperti telinga gajah, di pinggangnya tergantung senjata rantai dengan kedua ujungnya terdapat tengkorak! Akan tetapi Siauw Lek lebih kaget lagi karena dia mengenal lima orang itu yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh kang-ouw, datuk-datuk dunia hitam atau golongan sesat. Yang seorang jelas adlah Pak-san Kwi-ong, tokoh nomor satu dari utara, akan tetapi yang empat orang juga merupakan tokoh-tokoh besar yang telah lama menjagoi perbatasan utara dari barat ke timur, merupakan “iblis-iblis”

Sepanjang Tembok Besar. Yang pertama bernama Gu Coan Kok yang terkenal dengan julukan Iblis Cebol, tingginya tidak ada satu setengah meter, akan tetapi senjatanya adalah sebatang tongkatnya yang panjangnya lebih dari ukuran tubuhnya!

Orang ke dua adalah seorang yang tubuhnya tinggi besar, lebih tinggi dari Pak-san Kwi-ong sendiri, akan tetapi punggungnya bongkok, senjatanya istimewa karena senjata ini tak pernah dapat dia lepaskan, yaitu cakar baja yang telah tertanam di ujung jari tangannya, menggantikan sepuluh kuku jari yang semuanya berbisa. Dia ini adalah Hok Ku, seorang keturunan suku bangsa Kerait dan berjuluk Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Suku bangsa Kerait adalah suku bangsa di utara yang dahulu pernah mengalami masa jaya di samping suku bangsa Nalman, bahkan sebelum suku bangsa mongol menjadi besar. Mongol pernah tunduk kepada bangsa Kerait. Orang ke tiga bermuka putih seperti mayat, tinggi kurus dan kedua tangannya memegang pisau kecil runcing dan taja mengkilap.

Dia inilah Kemutani, seorang perankan bangsa Mongol dan Han, dan biarpun senjatanya hanya pisau-pisau kecil, akan tetapi justeru senjata sederhana inilah yang membuat namanya terkenal karena selain dia seorang ahli dalam bersilat menggunakan sepasang pisau ini, juga pisau-pisau itu dapat dia lontarkan dari jarak dekat atau jauh dengan cepat dan tepat sehingga dia mendapat julukan Hui-to (Si Pisau Terbang). Orang ke empat bertubuh bulat bundar seperti bola saking gendut dan pendeknya, kedua kakinya pendek dan besar seperti kaki gajah, tubuhnya merupakan bulatan besar seperti gentong dan kepalanya merupakan bulatan kecil seperti bola. Biarpun bentuk tubuhnya lucu, akan tetapi sepak terjang Couw Seng yang berjuluk Thai-lek Sin-mo ( Iblis Sakti Bertenaga Besar) ini sama sekali tidak lucu, apalagi bagi lawannya karena dia benar-benar lihai sekali dan sukar dikalahkan.

“Ha-ha-ha, kalian berlima jangan kaget. Kami memanggil kalian bukan karena ada ancaman bahaya, melainkan hendak kami perkenankan dengan dua orang pengawal rahasia yang baru sebagai rekan-rekan kalian. Mereka berdua itulah pengawal-pengawal yang baru.”

Kaisar berkata sambil menuding ke arah Cui Im dan Siauw Lek. Mendengar ucapan kaisar ini barulah sikap lima orang pengawal rahasia itu tidak tegang dan mereka tersenyum-senyum, bahkan lalu menjura penuh hormat kepada kaisar.

Hanya lima orang pengawal rahasia inilah yang dibebaskan daripada kebiasan menghormat kaisar sambil berlutut karena mereka itu setiap detik harus waspada dan menjaga kaisar secara diam-diam dan rahasia, berbeda dengan para pengawal pribadi yang seolah-olah menjadi kaki tangan kaisar, ke manapun kaisar bergerak selalu harus menjaga di samping kaisar. Adapun liam orang pengawal rahasia ini seperti bayangan kaisar, kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak, namun selalu siap untuk membela kaisar pada saat-saat diperlukan. Maka begitu kaisar meniup peluit sebagai tanda rahasia panggilan, lima orang pengawal ini muncul secara tiba-tiba. Secara bergiliran, mereka berlima ini melakukan penjagaan siang malam. Setelah lima orang ini merasa yakin bahwa keselamatan kaisar tidak terancam, mereka memandang ke arah dua orang yang disebut pengawal baru oleh kaisar itu dan terdengarlah seruan-seruan,

“Kim-lian jai-hwa-ong….!”

“Eh, Tok-sian-li, engkaukah ini?? Benarkah bahwa Lam-hai Sin-ni telah kau….”

“Pak-san Kwi-ong, perlukah kita harus membongkar-bongkar keburukan masing-masing di hadapan yang mulia Sri Baginda Kaisar?”

Cui Im membentak marah sambil menudingkan telunjuknya kepada kakek tinggi besar berkulit hitam itu.

“Urusan pribadi tidak ada sangkut-pautnya dengan pengabdian kita kepada Sri Baginda. Atau, kalau engkau dan empat orang kawanmu ini merasa terlalu tinggi untuk bekerja sejajar dengan aku, dan merasa terlalu pandai, hemmm…. aku Ang-kiam Bu-tek akan mampu membuktikan bahwa aku dapat merobohkan kalian seorang demi seorang atau bahkan sekaligus!”

Siauw Lek juga berkata tersenyum,

“Kalau Sri Baginda ynag mulia menghendaki, aku pun sanggup menghadapi mereka seorang lawan seorang!”

Kaisar malah tertawa girang mendengar ini, akan tetapi dia lalu mengangkat tangan berkata,

“Pak-san Kwi-ong, dengar baik-baik perkataan kami. Kami telah menguji Ang-kiam Bu-tek dan Siauw Lek dan kami memutuskan untuk mengangkat mereka berdua ini menjadi pengawal rahasia di samping kalian berlima. Karena itu, perintahku pertama kepada kalian bertujuh adalah agar kalian jangan membuat ribut sendiri dengan urusan pribadi kalian yang tak ingin kudengar. Nah, Pak-san Kwi-ong, ajaklah mereka berdua ini yang sekarang menjadi rekan-rekanmu ke dalam dan boleh kalian bercakap-cakap di sana, jangan datang kalau tidak kupanggil!”

Lima orang pengawal rahasia itu membungkuk, demikian pula Cui Im dan Siauw Lek yang sudah cepat dapat menyesuaikan diri, kemudian kedua orang baru ini berlalu mengikuti lima orang pengawal rahasia, tidak canggung-canggung lagi dan gerakan mereka bertujuh amat cepat tanpa mengeluarkan suara seolah-olah pribadi kaisar dilindungi oleh tujuh setan. Setelah mereka bertujuh pergi, kaisar tertawa dan melanjutkan perundingannya dengan Laksamana The Ho dan Ma Huan, membicarakan rencana kaisar untuk mengirim barisan di bawah pimpinan The Ho ke selatan, memjelajah negeri-negeri di seberang lautan. Adapun di sebelah dalam istana, di tempat rahasia, Cui Im berkata kepada Pak-san Kwi-ong yang oleh kaisar disebut Pak-san-kwi (Setan Pegunungan Utara) dan dihilangkan “ong”

Atau rajanya.

“Kwi-ong, kita harus mentaati perintah kaisar dan ingatlah engkau bahwa aku bukanlah Ang-kiam Tok-sian-li murid Lam-hai Sin-ni seperti dulu lagi. Aku adalah Ang-kiam Bu-tek, pewaris harta peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan tentang kepandaianku, ingat saja bahwa Lam-hai sin-ni juga roboh dan tewas di tanganku. Kalau kalian berlima menghendaki kerja sama dengan aku untuk mengawasi kaisar, baik sekali. Akan tetapi kalau kalian berlima hendak bertengkar dan menentangku, aku akan membunuh kalian dengan bantuan Kim-lian Jai-hwa-ong dan terpaksa kita semua tidak akan dapat mempertahankan kedudukan kita di sini. Mana yang kau pilih?”

Pak-san Kwi-ong yang dianggap paling sakti di antara teman-temannya, tertawa dan berkata,

“Ang-kiam, sebelum engkau muncul aku sudah menjadi pengawal, tentu saja aku akan selalu mentaati perintah kaisar. Sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku takut kepadamu, akan tetapi selama engkau diterima oleh kaisar sebagai pengawal rahasia, engkau akan kuanggpap sebagai rekan dan kawan, demikian pula Jai-hwa-ong ini.”

Demikianlah, mulai saat itu, Cui Im dan Siauw Lek menjadi pengawal-pengawal rahasia kaisar yang berarti bahwa mereka merupakan dua orang di antara pengawal-pengawal yang paling tinggi kedudukannya, merupakan jagoan-jagoan istana yang disegani dan ditakuti orang lain, kecuali kaisar sendiri.

Bahkan pembesar-pembesar istana yang berpangkat tinggi sekalipun segan terhadap pengawal-pengawal rahasia ini karena mereka semua maklum bahwa apabila ada orang yang tidak setia kepada kaisar, apalagi yang berniat memberontak, tentu akan didatangi oleh pengawal-pengawal rahasia yang sakti ini dan menerima hukuman! Adanya tujuh orang pengawal rahasia yang kesemuanya terdiri dari bekas-bekas tokoh besar kaum sesat, membuktikan bahwa Kaisar Yung Lo memang pandai mempergunakan orang dan memanfaatkan kepandaian mereka, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Dan segera terkenal di seluruh dunia kang-ouw bahwa tujuh orang tokoh besar itu menghambakan diri di istana, maka hal ini sudah cukup membuat gentar hati setiap orang yang berniat memberontak.

Biauw Eng bersama Lai Sek tiba di kota raja, sesuai dengan permintaan Lai Sek yang mengajak Biauw Eng mengunjungi sahabatnya yang menjadi orang berpangkat di kota raja untuk minta bantuan sahabatnya agar mereka berdua dapat menjadi suami isteri dan dapat bekerja di kota raja, hidup dengan tenteram. Atas petunjuk Lai Sek yang sudah tak dapat melihat lagi itu, dengan mudah Biauw Eng menemukan sahabat yang dicari. Sahabat Lai Sek ini ternyata telah menduduki pangkat tinggi, mendapat pangkat mengepalai pembangunan istana-istana di kota raja. Pangkat ini amat tinggi dan juga menjadi sumber korupsi karena semenjak jaman itu pun, pembangunan atau usaha pemerintah apa saja yang ada hubungannya dengan keuangan, baik penerimaan maupun pengeluaran uang, selalu menjadi sumber perbuatan korupsi.

Ang Joan Ti, sahabat Sim Lai Sek itu, kini disebut orang Ang-taijin (pembesar Ang) dan menjadi bahan penjilatan dari lidah banyak orang yang menginginkan rejeki dalam usaha pembangunan besar-besaran di kota raja. Dahulu Ang Joan Ti adalah seorang sahabat ayah Sim Lai Sek, dan masih menjadi pelajar kesusastraan yang tekun dari kota Liok-keng. Setelah dia menjdi pembesar yang selalu naik pengkat berkat ketekunan dan kecerdikannya, mulailah terjadi perubahan besar pada pribadi dan watak Ang Joan Ti. Dahulu, sebagai seorang pelajar miskin yang semenjak kecil selalu menderita kekurangan, Joan Ti berwatak sederhana, tidak banyak keinginan kecuali memperdalam pelajarannya dan kelak dapat menduduki pangkat sebagaimana dicita-citakan semua orang pada waktu itu.

Memang, pada waktu itu, hidup yang terhormat, kaya raya atau setidaknya layak, hanya dapat dicapai oleh orang yang menjadi pegawai pemerimtah. Kecuali beberapa orang tuan tanah dan pedagang yang sudah terlahir kaya, maka seluruh rakyat yang tidak menjadi pegawai pemerintah hanyalah petani-petani miskin. Setelah Joan Ti lulus ujian dan mendapat pangkat, yang mula-mula kecil di kota raja namun berkat kecerdikannya makin meningkat sampai sekarang ini. Ang Joan Ti menjadi mabuk kekayaan, mabuk kemuliaan dan mabuk kemewahan. Karena disanjung banyak orang dan pejabat rendahan yang menjilat-jilatnya agar kebagian rejeki, diangkat-angkat dan dipuji-puji, timbullah sifat sombong pada diri bekas orang dusun miskin yang tadinya amat sederhana dan rendah hati ini.

Puji-pujian membuat dia seperti sebuah balon melayang-layang ke atas tiada puas dan batas, tidak sadar bahwa sewaktu-waktu dapat meletus dan lenyap. Kedudukan yang mulia, kemewahan yang berlebihan membuat dia terikat lebih kuat kepada kesenangan dunia, membuat dia lupa bahwa kesenangan dunia tidak ada yang bertahan lama. Yang paling cepat menjerumuskan Joan Ti sehingga menjadi berubah batinnya terutama sekali adalah pejabat bawahannya. Dalam usaha mereka menjilat dan menyenangkan hati Ang-taijin ini, bermacam-macamlah akal mereka untuk dipergunakan sebagai sogokan atau suapan. Karena pembesar ini sendiri sudah kaya raya sehingga penyuapan-penyuapan berupa harta benda takkan mengguncangkan hatinya, maka mulailah mereka itu mempergunakan alat lain, dan di antaranya adalah wanita-wanita cantik!

Di waktu mudanya, Joan Ti bukan tergolong seorang yang mata keranjang atau gila wanita, akan tetapi semenjak dia “dilolohi”

Wanita-wanita cantik oleh para penjilatnya, maka hal ini merupakan kesenanagn baru yang segera mencengkeramnya. Nafsu harus dikekang, kalau dituruti akan menjadi binal seperti kuda liar, dan akan menyeret manusia ke dalam jurang. Mula-mula Ang-taijin hanya menerima penyuapan berupa gadis cantik ini sebagai iseng-iseng belaka, akan tetapi dia lupa bahwa segala maksiat di dunia ini dimulai dengan iseng-iseng seperti juga api dimulai dengna bunga api yang akan menyala menjadi kebakaran besar. Iseng-iseng yang makin lama akan menjadi “hobby,”

Akan menjadi ketagihan dan pada waktu itu, Ang-taijin terkenal sebagai seorang yang haus akan wanita cantik!

Dan bagi seorang berkedudukan seperti dia, cadangan untuk korbannya tidak pernah surut, para penjilatnya dengan senang hati akan selalu menyediakan cadangan baru! Ang-taijin tinggal menunjuk saja kalau melihat wanita cantik dan para penjilat serta kaki tangannya akan berusaha sekuat tenaga, secara halus maupun kasar, untuk mendapatkan wanita cantik itu, baik dia bersuami atau masih gadis. Dan seorang yang sudah menjadi hamba nafsu berahi tidak lagi memiliki perasaan cinta kasih yang murni. Rasa cinta kasihnya sudah hambar dan setiap orang wanita yang berhasil didapatkan, dalam waktu satu dua bulan saja sudah membosankan baginya dan harus diganti yang baru. Wanita bagi seorang penghamba nafsu seperti Ang Joan Ti tiada lebih hanya sebagai benda yang akan membosankan setelah dipakai dan perlu diganti yang baru.

Dalam keadaan seperti itulah Ang Joan Ti menerima kunjungan Sim Lai Sek dan Biauw Eng di gedungnya yang megah. Pria berusia empat puluh tahun lebih ini tadinya menerima Lai Sek denga kening berkerut, tidak senang hatinya harus bertemu dengan putera kawan sekampung, mengingatkan dia akan keadaannya dahulu yang miskin dan rendah. Akan tetapi begitu melihat Biauw Eng, kemuraman wajahnya sirna seketika, terganti seri dan senyum, kerling mata menyambar penuh gairah karena harus dia akui bahwa selama petualangannya dengan banyak sekali wanita belum pernah dia bertenu dengan seorang yang secantik Biauw Eng, apalagi tampak menonjol kecantikan asli gadis berpakaian sederhana ini, pakaian yang menutupi bentuk tubuh yang padat dan membayangkan kehangatan dan kekuatan!

“Aihhh, kiranya Sim Lai Sek! Hampir aku tidak mengenalmu, Hiante! Karena mata… Eh, mengapa matamu….?”

Sim Lai Sek tersenyum setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat,

“saya tidak lagi dapat melihat Paman Ang, akan tetapi saya masih ingat akan suara Paman. Mata saya menjadi buta karena serangan penyakit…. dan karena keadaan saya inilah maka saya sengaja datang menghadap Paman dengan harapan, sudilah Paman mengingat akan hubungan antara Paman dan mendiang orang tuaku, untuk menolong saya.”

Di dalam hatinya Ang-taijin memaki, bukan hanya karena kedatangan orang yang tidak diharapkan dan tidak akan mendatangkan untung baginya ini, akan tetapi juga karena sikap pemuda buta ini kepadanya seperti sikap keluarga sekampung, sikap yang sudah terlupa olehnya karena setiap hari semua orang yang berhadapan dengannya bersikap sebagai orang bawahan terhadap atasannya! Pemuda buta ini agaknya lupa bahwa dia bukan lagi Ang Joan Ti si sastrawan miskin, melainkan Ang-taijin yang terhormat, berkuasa dan kaya raya! Akan tetapi, sambil mengerling ke wajah manis Biauw Eng yang menundukkan muka, dia tersenyum dan berkata, suaranya penuh keramahan,

“Sim-hiante, mengapa engkau begini sungkan? Kita seperti keluarga sendiri, dan setelah sekarang aku menjadi seorang pembesar, tentu saja aku akan membantu engkau dan… Eh, siapakah adik ini?”

Suaranya terdengar mesra sekali ketika dia menyebut “siauw moi.”

Menyebut adik padahal Biauw Eng lebih patut menjadi anaknya. Biauw Eng adalah seorang dara remaja yang belum banyak pengalamannya menghadapi pria dengan akal bulus mereka merayu wanita, akan tetapi perasaan kewanitaannya mebisikkan bahwa laki-laki ini tidaklah sejujur seperti yang hendak diperlihatkannya, maka diam-diam dia merasa tidak suka akan tetapi demi Lai Sek, ia diam saja.

“Maaf, Paman Ang, saya lupa meperkenalkan. Dia ini adalah Sie Biauw Eng, tunangan saya.”

“Tun… Tunanganmu…?”

Ang-taijin tidak dapat menahan seruannya karena dia benar-benar merasa kaget dan heran.

“Benar, Paman. Dia adalah calon isteri saya.”

“Ah, kionghi (selamat), Sim-hiante! Engkau beruntung sekali mendapatkan seorang calon isteri yang begini cantik jelita!”

Lai Sek tersenyum, hatinya girang sekali dan dia menoleh ke arah Biauw Eng sambil berkata,

“Eng-moi, haturkan terima kasih kepada Paman Ang.”

Biauw Eng menjura kepada pembesar itu dan berkata lirih,

“Saya mengucapkan terima kasih atas pujian Ang-taijin.”

“Ah, nona muda yang baik, di antara orang sendiri, perlu apa sungkan-sungkan? Nah, Sim-hiante, aku akan merasa girang sekali kalau dapat menolong engkau dan adik ini. Bantuan apakah yang kauperlukan?”

Biarpun mulutnya bicara kepada Lai Sek, akan tetapi pandang mata pembesar itu tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh Biauw Eng yang makin dipandang makin menggairahkan hatinya dan membangkitkan nafsunya itu.

“Kami berdua mohon pertolongan Paman agar kami berdua dapat membagun rumah tangga di kota raja, dan bisa mendapatkan sekedar usaha untuk menyambung hidup, terutama sekali agar Paman sudi mewakilli kedua orang tua kami yang sudah tidak ada untuk menikahkan kami.”

“Eh, jadi kalian belum menikah, jadi….. eh, belum…. belum berhubungan sebagai suami isteri?”

Tanya pembesar itu dengan hati girang sekali sungguhpun mata jalangnya sebagai seorang laki-laki yang banyak pengalamannya tentang wanita dapat menduga bahwa Biauw Eng adalah seorang yang masih gadis. Pertanyaan ini membuat wajah Lai Sek menjadi merah saking malu dan wajah Biauw Eng merah karena marah. Akan tetapi gadis ini tetap menunduk dan diam saja, menekan perasaan marahnya. Adapun Lai Sek lalu menjawab malu,

“Belum, Paman. Kami belum menikah…”

“Bagus! Memang begitulah seharusnya sebagai seorang calon suami yang baik. Jangan khawatir, Lai Sek, aku akan membantu kalian. Akan kusuruh carikan sebuah rumah yang layak untuk kalian tinggal sebagai suami isteri, dan tentang pekerjaan nanti kita pikirkan perlahan-lahan. Sekarang lebih baik kalian tinggal lebih dulu di sini untuk beristirahat sambil menanti didapatkannya rumah. Tentu saja kalau sudah mendapatkan rumah, baru aku akan mewakili orang tuamu merayakan pernikahan kalian.”

“Ah, Paman Ang baik sekali! Sudah kusangka Paman akan menolong kami! Terima kasih, Paman!”

Lai Sek menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi pembesar itu segera membangunkan pemuda buta ini sambil mengerling ke arah Biauw Eng. Biauw Eng mengangkat mukanya dan bertemulah pandang mata mereka. Ang-taijin terkejut dan kagum menyaksikan pandang mata yang demikian tajam seperti ujung pedang, demikian indah seperti mata burung hong.

Sedangkan Biauw Eng merasa makin yakin hatinya bahwa di balik segala keramahan dan pelepasan budi pembesar ini terkandung maksud yang hina dan keji terhadap dirinya. Tentu saja ia tidak menjadi gentar dan mengingat betapa pembesar ini merupakan ancaman bagi dirinya, ia tersenyum dingin. Orang macam itu mau bisa berbuat apakah terhadap dirinya? Hati Ang-taijin berdebar saking girangnya melihat gadis cantik jelita itu tersenyum. Ia menganggap bahwa senyum itu merupakan “janji”

Dan “kode”

Dari si gadis bahwa dia telah dapat menangkap hasrat hati si pembesar dan sudah siap melayaninya! Dengan hati girang Ang-taijin lalu memanggil pelayan yang tidak ada yang hadir karena maklum bahwa Ang-taijin sedang bicara dengan tamu urusan pribadi. Dua orang pelayan wanita datang berlari dan Ang-taijin segera berkata,

“Antarkan Sim-kongcu dan Sie-siocia ke dalam. Berikan sebuah kamar tamu untuk Sim-kongcu, dan ajak Sie-siocia bermalam di sebuah di antara kamar merah!”

“Baik, Taijin,”

Jawab dua orang wanita pelayan itu sambil tersenyum maklum mendengar bahwa gadis cantik itu diberi sebuah kamar merah! Di bagian dalam gedung itu terdapat tidak kurang dari sepuluh buah kamar-kamar yang indah dan kecil mungil berwarna merah. Di dalam kamar-kamar inilah Ang-taijin menerima wanita-wanita suguhan yang siap untuk melayaninya. Sebagai seorang pembosan, penghuni kamar-kamar merah ini sering kali berganti orang, hanya sebuah kamar yang besar yang tidak pernah berganti penghuni, yaitu kamar Ang-hujin (nyonya Ang) yang jarang pula menerima kunjungan Ang-taijin, apalagi di waktu malam. Namun nyonya Ang sudah kebal akan kebiasaan suaminya, maka tidak lagi merasa cemburu atau marah, bahkan menganggap kebiasaan suainya itu adalah “biasa”

Bagi seorang pembesar.

Dengan hati tidak enak namun tabah, Biauw Eng menggandeng tangan Lai Sek dan mengantarkan pemuda ini sampai ke kamar yang disediakan untuknya, dan baru meninggalkan pemuda ini setelah pelayan meyakinkan hatinya bahwa seorang pelayan yang khusus disediakan untuk melayani segala keperluan pemuda buta itu. Ia pun lalu mengikuti pelayan dan diam-diam ia kagum sekalli menyaksikan kamar merah yang disediakan untuknya. Untuk beberapa hari lamanya, baik Lai Sek maupun Biauw Eng mendapatkan pelayanan istimewa sehingga setiap kali mereka bertemu, Lai Sek tentu memuji-muji kebaikan hati pamannya. Akan tetapi diam-diam hati Biauw Eng tetap tidak enak dan dia mendesak agar Lai Sek suka bersama dia keluar saja dari gedung itu dan mencari tempat sendiri.

“Ah, mana boleh, Moi-moi? Paman Ang telah begitu baik terhadap kita. Biarlah kita bersabar sampai dia mendapatkan rumah untuk kita.”

Apa yang dikhawatirkan Biauw Eng terjadi pada malam kelima semenjak dia tinggal di situ.

Malam itu selagi ia merebahkan diri di atas dipan yang mewah, dengan tilam sutera merah muda, rebah termenung memikirkan nasibnya, dan terutama sekali membayangkan wajah Keng Hong, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang. Ia cepat melompat dengan sigap terbawa oleh reaksi tubuhnya sebagai seorang ahli silat yang selalu siap siaga dan waspada lahir batin. Akan tetapi ia segera bersikap biasa untuk menyembunyikan kepandaiannya, berjalan perlahan menuju pintu dan membukakan daun pintu. Ia terheran melihat bahwa yang datang adalah Ang Joan Ti yang berpakaian indah, diikuti oleh empat orang pelayan wanita yang tersenyum-senyum dan masing-masing membawa nampan yang terisi masakan-masakan yang masih panas mengepul dan berbau sedap.

“Taijin mau ….. apakah….? Biauw Eng bertanya, menindas perasaan dan pura-pura tidak mengerti sungguh pun dari senyum dan pandang mata pembesar itu ia dapat menduga maksud kedatangan orang ini. Akan tetapi Ang Taijin hanya tersenyum, bahkan menoleh pada para pelayan dan berkata,

“Cepat atur di atas meja dan segera pergi meninggalkan kami!!”

Biarpun suara pembesar itu setengah membentak, yang dibentak tersenyum-senyum dan mengatur makanan di atas meja dalam kamar, kemudian sambil membungkuk-bungkuk dan tertawa-tawa genit mengerling ke arah Biauw Eng, mereka meninggalkan kamar dan menutup daun pintunya.

“Nah, baru sekarang aku dapat menjawab pertanyaanmu tadi, Siauw-moi. Aku sengaja datang membawa hidangan ini karena aku tahu betapa engkau kesepian. Aku merasa kasihan kepadamu, maka aku ingin mengajakmu makan bersama sambil minum arak wangi untuk menghilangkan kesepian dan kekesalan hatimu. Marilah duduk, Manis, dan kusuguhkan arak untukmu!”

“Taijin, ini tidak boleh, tidak layak. Harap Taijin suka keluar dari kamar ini dan jangan menggangguku. Bagaimana Taijin boleh memasuki kamarku seperti ini? Aku adalah calon isteri Sim Lai Sek!”

“Heh heh heh, aku tidak akan mengganggumu menjadi isterinya, Manis. Akan kunikahkan engkau dengan si buta itu, ehemmm……hanya untuk di luarnya saja bukan? Padahal sesungguhnya, ahhhh……kita lebih cocok, dan semenjak aku melihatmu, aku sudah suka sekali kepadamu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, Sie Biauw Eng yang jelita. Engkau akan hidup mewah, apa pun yang kau minta akan kuberikan, asal engkau suka melayani aku. Marilah….!”

Pembesar itu mendekat akan tetapi Sie Biauw Eng melangkah mundur.

“Jangan Taijin, aku adalah tunangan Sim Lai Sek dan dia masih hidup, bagaimanan aku sudi berbuat serong? Aku bukan perempuan macam itu! Pergilah Taijin sebelum aku kehabisan kesabaranku.”

Ang Taijin tertawa.

“Ihhh, pakai malu-malu kucing segala? Aku pun tahu kau lebih suka kepadaku daripada pemuda buta yang tak dapat menghargai kecantikanmu dengan matanya……!”

“Cukup!!”

Biauw Eng membentak dan saking marahnya ia menusuk kan jari-jari tangannya ke permukaan meja.

“Plongggg!!”

Jari-jari tangan sebanyak lima buah yang kecil mungil itu amblas menusuk meja sampai tembus ke bawahnya. Ketika diangkat, tampak lima buah lubang kecil bekas tusukan jari. Melihat ini, seketika wajah Ang Taijin menjadi pucat.

“Taijin aku dapat mengusai jari tanganku, akan tetapi kalau kesabaranku hilang dan aku tidak dapat menguasai hatiku, jangan-jangan bukan meja yang kutusuk bolong, melainkan kepala orang,. Pergilah!”

“Aihhh…..kiranya engkau pandai silat. Hemm..tentu saja, Lai Sek juga seorang ahli silat. Baiklah aku tidak akan mengganggumu kalau engkau tidak suka melayani orang lain karena Lai Sek masih hidup. Akan tetapi katakanlah Nona Biauw Eng yang manis, andaikata di sana tidak ada Lai Sek, engkau tentu suka menyambut cinta kasihku, bukan? Agaknya pembesar ini masih tercengang karena belum pernah ada wanita menolak cintanya dan agaknya bagi laki-laki ini merupakan suatu hal yang mustahil kalau ada wanita yang tidak suka menjadi kekasih pembesar Ang. Biauw Eng sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya, maka untuk membuat pembesar itu cepat pergi, ia berkata,

“Kalau begitu lain lagi, Nah, pergilah dan jangan pernah berani lagi memasuki kamar ini!”

Pembesar itu menghela napas dan pergi meninggalkan kamar Biauw Eng. Setelah pembesar itu pergi, barulah Biauw Eng teringat akan keselamatan Lai Sek dan teringat akan ucapan Ang Taijin, ia cepat meniup padam lilin di atas meja, kemudia meloncat keluar melalui jendela kamarnya dan membayangi Ang Taijin yang memasuki ruangan tangah. Di ruangan ini, Ang Taijin bicara perlahan dengan seorang laki-laki berhidung bengkok yang agaknya menjadi penasehatnya. Biauw Eng cepat menghampiri, bersembunyi dan mengintai.

“Akan tetapi dia pandai silat dan bayangkan, sekali tusuk dengan jari tangan ia mampu melubangi meja! Kalau tusukan itu mengenai kepala, celaka! Mana bisa aku memaksa denga kekerasan?”

Terdengar suara pembesar itu penuh penyesalan.

“Mengapa mengkhawatirkan dia? Ilmu silat seorang gadis cantik itu saja apa artinya? Malam ini juga akan kupanggil Sin-chio Ngo-houw (Lima Harimau Bertombak Sakti) yang menjaga di luar istana untuk mengawal paduka dan kalau perlu menghadapinya,”

“Akan tetapi bagaimana agar dia mau? Aku paling tidak suka mendapatkan wanita dengan kekerasan. Lebih menyenangkan kalau dia menyerahkan diri dengan suka rela dan suka hati, hemmm……!”

“Begini, Taijin…..”

Si Hidung Bengkok itu lalu mendekatkan mulut ke telinga pembesar itu, berbisik-bisik sehingga Biauw Eng tidak mampu mendengar apa yang dikatakannya, sedangkan pembesar itu mengerutkan kening, kadang-kadang menggeleng, kadang-kadang cemberut, akan tetapi kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum. Biauw Eng tidak peduli lagi. Paling-paling mereka itu mengatur siasat untuk menundukkannya dan hal ini ia anggap remeh karena apa pun yang akan mereka lakukan terhadap dirinya, ia tidak khawatir dan merasa yakin akan dapat melindungi dirinya sendiri. Akan tetapi ia mengkhawatirkan keadaan Lai Sek.

Biarpun pemuda itu juga bukan orang lemah akan tetapi karena kedua matanya buta tentu saja tidak dapat menjaga dirinya sendiri dengan baik. Ia lalu meloncat pergi tanpa meninggalkan suara, mendatangi kamar Lai Sek dan mengintai dari atas. Ketika ia melihat Lai Sek sedang tidur pulas dan dalam keadaan selamat, baru ia lega dan kembali ke kamarnya. Melihat hidangan yang masih panas dan ternyata merupakan masakan-masakan yang lezat, ia tersenyum, menyambar sumpit dan makan beberapa potong daging dan sayur, dipilih yang enak-enak sambil kadang-kadang tersenyum mengenangkan sikap Ang Taijin yang dianggapnya seorang badut yang menggelikan dan juga menyebalkan. Boleh jadi Biauw Eng seorang gadis gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dalam hal pengalaman menghadapi tipu muslihat dan kejahatan hati manusia, ia masih hijau.

Ia tidak mengira bahwa hati laki-laki yang sudah tergila-gila pada seorang wanita dapat menelurkan perbuatan-perbuatan maksiat yang amat keji, tidak pantang melakukan perbuatan apa pun untuk mencapai dorongan nafsu berahinya. Tiga malam berturut-turut setelah kejadian itu, Biauw Eng tidak pernah diganggu dan ia sudah merasa lega, mengira Ang Taijin tentu jerih oleh ancamannya, maka ia pun tidak menyatakan sesuatu kepada Lai Sek untuk mencegah terjadinya keributan. Akan tetapi pada suatu pagi di hari keempatnya ia terbangun, ia kaget sekali mendengar jerit tangis wanita disusul tangis melolong-lolong. Ia meloncat turun dan tiba-tiba daun pintunya dibukadari luar oleh pelayan yang biasa melayaninya. Pelayan itu pun menangis dan serta merta menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.

“Celaka, Siocia….. celaka…… ah, mengerikan sekali….!”

“Apa yang terjadi?”

Biauw Eng bertanya, masih tenang.

“Sim-kongcu…..dia…..dia membunuh diri di kamarnya….!”

Tiba-tiba tubuh Biauw Eng berkelebat dari tempat itu, dan ketika pelayan itu mengangkat muka, gadis itu telah lenyap. Cepat sekali Biauw Eng tiba di tempat Lai Sek dan di situ ia melihat pelayan wanita yang biasa melayani Lai Sek menangis di atas lantai.

Kamar itu penuh orang, ada tiga orang pelayan wanita, dua orang pelayan pria yang dilihat Biauw Eng malam itu, bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang memegang tombak. Mereka semua memandangnya ketika ia memasuki kamar Lai Sek. Biauw Eng tidak mempedulikan semua orang, langsung ia berlutut di dekat tubuh Lai Sek yang telah menggeletak tanpa nyawa di atas lantai. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pedang, pedang milik Lai Sek, yang kini menembus perutnya sampai ke punggung, sedangkan tangan kiri pemuda itu mencengkeram sehelai kertas. Dengan muka pucat Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar telah tewas. Ia segera mengambil kertas bertulis dari genggaman tangan kiri Lai Sek, merapikan dan membacanya. Surat itu ditujukan kepadanya dan ia mengenal tulisan Lai Sek.

Eng-moi,

Aku maklum bahwa seorang pemuda tak berharga seperti aku hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan hidupmu. Seorang gadis sepertimu berhak untuk hidup mulia sebagai seorang puteri terhormat, di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu. Maka, aku mengalah dan lebih baik aku pergi selamanya.

Selamat tinggal, Sim Lai Sek

“Ah, Twako….!”

Biauw Eng tidak dapat menahan keharuan dan kedukaan hatinya. Ia menangis dan memeluki tubuh Lai Sek yang telah menjadi mayat itu. Ketika ia menangis dan wajahnya dekat sekali dengan leher pemuda yang telah tewas itu karena ia merebahkan mukanya di dada Lai Sek, pandang matanya tertarik oleh dua titik menghitam di dekat tenggorokan. Ia mengusap air matanya dan mengangkat dagu mayat itu.

Jelas kini tampak dua titik menghitam sebesar ujung jari tangan. Ia menyentuhnya dan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Ia tahu bahwa pemuda itu bukan tewas oleh pedang, melainkan tewas atau sedikitnya roboh oleh totokan dua buah jari tangan yang mengandung hawa beracun! Cepat ia memeriksa luka di perut yang masih tertancap pedang. Tidak terdapat darah pada luka itu. Hal ini hanya berarti bahwa pedang itu ditusukkan ke perut setelah pemuda ini tewas! Karena hatinya masih ragu-ragu, ia membuka surat itu kembali dan membacanya melalui air matanya, membacanya kembali dengan penuh perhatian. Sudah dua tiga kali ia melihat tulisan tangan Lai Sek dan gaya tulisan, bentuk huruf-huruf surat ini memang benar seperti tulisan Lai Sek. Akan tetapi….. tiba-tiba wajahnya berubah. Tulisan yang berbunyi

“Di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu”

Amat menarik perhatiannya. Lai Sek mengerti bahwa satu-satunya orang yang ia cinta adalah Keng Hong! Dan Keng Hong adalah seorang sebatangkara yang miskin. Mengapa Lai Sek menyatakan bahwa orang yang dicintanya dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya?

“Aduh…., Siauw-moi…. ah, kasihan sekali Lai Sek….! Ah, bagaimana bisa terjadi malapetaka ini…?”

Ucapan yang keluar dari mulut Ang-taijin yang baru tiba ini mengingatkan Biauw Eng akan segala sikap dan ucapan pembesar ini ketika hendak menggodanya beberapa malam yang lalu. Gadis ini menekan kemarahannya dan cepat ia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya, memandang pembesar itu dengan mata basah akan tetapi sambil mengacungkan surat di tangannya ia bertanya cepat,

“Taijin, aku … Aku tidak mengerti…. apa maksud tulisannya ini? Siapa yang dia maksudkan dan mengapa dia mengalah?”

“Masa engkau tidak mengerti, Siauw-moi? Dia maksudkan aku, dan tentu dia mengalah karena merasa takkan mampu membahagiakan engkau…. maka, sudahlah jangan berduka, Siauw-moi, di sini ada aku yang….”

Tiba-tiba pembesar itu menghentikan kata-katanya ketika melihat wajah yang cantik itu mmenjadi beringas, sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar seperti berapi.

“Bagaimana engkau bisa mengetahui isi suratnya??”

Biauw Eng membentak, suaranya melengking penuh kemarahan meluap-luap.

“Aku… Aku sudah membacanya….”

Ang-taijin yang menjadi gugup menjawab tanpa dia sadari.

“Engkau baru datang bagaimana bisa mebacanya? Surat ini palsu! Tentu engkau dan kaki tanganmu yang menulisnya dan Sim Lai Sek tidak mati karena membunuh diri, melainkan mati terbunuh oleh totokan di lehernya. Tentu engkau.. pembesar jahanam berhati palsu dan keji, engkau yang mengatur semua ini, keparat!”

Sambil berkata demikian, tangan Biauw Eng bergerak ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram baju pembesar itu di bagian dadanya.

“Jangan…. eh, tolooongg..!”

Laki-laki hidung bengkok yang berdiri di dekat pembesar Ang, cepat menengahi dan berkata,

“Nona, bersabarlah…. dan jangan kurang ajar terhadap Ang-taijin….”

“Engkau tukang mengatur siasat yang menjijikan!”

Tangan kirinya menyambar dan ia sudah menjambak rambut si hidung bengkok, kemudian dengan kemarahan membakar dada dan kepala, gadis ini menggerakkan kedua tangannya.

“Prokkk!”

Dua buah kepala milik Ang Joan Ti dan si hidung bengkok bertemu keras sekali, beradu dahi dan ternyata kepala si hidung bengkok lebih keras karena kalau kepala Ang Joan Ti pecah dan pembesar yang celaka oleh nafsunya sendiri itu tewas seketika. Si hidung bengkok hanya menjadi pening dan matanya menjuling saja. Melihat ini, Biauw Eng mengayun tubuh si hidung bengkok, membantingnya ke atas lantai dan terdengar suara keras ketika kepala si hidung bengkok ini pecah berantakan, berbeda dengan kepala Ang Joan Ti yang retak-retak saja.

“Perempuan keji! Pembunuh! Tangkap…!”

Teriakan-teriakan ini terdengar ramai dan keaaan di situ menjadi geger. Pelayan-pelayan perempuan menjerit dan melarikan diri, adapun lima orang tinggi besar bertombak yang berada di dalam kamar itu, segera menerjang maju dengan tombak mereka.

Biauw Eng yang sudah menjadi mata gelap saking duka dan marahnya melihat nasib Lai Sek, cepat melemparkan mayat Ang-taijin ke arah lima orang pengeroyoknya. Lima orang itu adalah Sin-chio Ngo-houw, lima orang pengawal luar istana yang oleh si hidung bengkok sengaja di undang untuk menghadapi Biauw Eng. Akan tetapi sungguh di luar persangkaan mereka bahwa gadis itu memiliki kepandaian sedemikian hebat sehingga gerakannya luar biasa cepatnya dan lima orang pengawal itu tidak sempat lagi mencegah pembunuhan yang dilakukan Biauw Eng atas diri Ang-taijin dan penasihatnya. Kini lima orang pengawal itu menjadi marah sekali. Melihat gadis itu dengan ganasnya membunuh Ang-taijin dan melemparkan mayatnya kepada mereka, seorang di antara mereka menerima mayat dengan kedua tangan sedangkan empat orang kawannya segera menerjang Biauw Eng dengan tombak mereka.

“Sim-twako, aku akan membalaskan kematianmu?”

Biauw Eng berseru, mencabut pedang yang menancap di perut mayat Lai Sek, kemudian sambil bercucuran air mata gadis ini mengamuk, menghadapi pengeroyokan lima orang Sin-chio Ngo-houw yang sudah mengurungnya. Adapun para pelayan sudah menyingkir dengan ketakutan dari kamar itu. Pertandingan terjadi dengan seru di dalam kamar maut itu di mana menggeletak tiga buah mayat. Dalam deretan tingkat para pengawal istana, pengawal pribadi rahasia tentu saja menduduki tingkat pertama, kemudian para pengawal pribadi kaisar menduduki tingkat ke dua. Adapun tingkat ke tiga diduduki oleh para pengawal dalam istana dan pengawal luar istana, seperti Sin-chio Ngo-houw, adalah pengawal tingkat empat. Mereka ini sudah termasuk ahli-ahli silat kelas tinggi bagi ahli silat umumnya. Akan tetapi dibandingkan dengan Biauw Eng, tentu saja mereka masih kalah jauh.

Gadis yang menjadi amat berduka dan marah ini menggerakkan pedang Lai Sek dengan cepat, ganas dan kuat sekali sehingga biarpun lima orang pengawal itu mengeroyoknya dengan tombak mereka yang terkenal ampuh, tetap saja dalam belasan jurus Biauw Eng telah merobohkan tiga orang di antara Sin-ciio Ngo-houw sehingga jumlah mayat di dalam kamar itu bertambah menjadi enam! Akan tetapi tiba-tiba keadaan di luar gedung itu menjadi berisik sekali dan ternyata bahwa sepasukan penjaga keamanan telah menyerbu. Kota raja menjadi geger ketika mendengar bahwa seorang gadis telah mengamuk di dalam rumah gedung pembesar Ang, bahkan membunuh pembesar Ang dan banyak pembantunya. Melihat betapa pasukan pengawal menyerbu, Biauw Eng menjadi makin marah, akan tetapi suaranya terdengar dingin menyeramkan ketika ia berkata,

“Puaskanlah hatimu, Sim-twako. Nyawamu akan mendapat tebusan banyak sekali nyawa musuh!”

Setelah berkata demikian, Biauw Eng menubruk maju dan pedangnya bergerak cepat, merobohkan dua orang sisa Sin-chio Ngo-houw dan mendesak mundur pasukan pengawal yang sudah tiba di depan pintu kamar itu. Biauw Eng maklum bahwa untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang, amatlah berbahaya kalau dia terus bertahan di dalam kamar yang sempit itu. Maka ia menerjang keluar dan di bawah teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan hujan senjata para pengeroyok, Biauw Eng mengamuk di ruangan tengah yang luas. Apa yang dikatakan Biauw eng kepada mayat Sim Lai Sek sebelum ia meninggalkan kamar maut itu terjadilah. Biauw Eng mengamuk dengan pedang itu dan para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya itu roboh seperti rumput di babat. Mereka, para penjaga keamanan, berteriak-teriak dan mengurung,

Akan tetapi mereka ini seperti sekumpulan laron menerjang api, siapa yang berani mendekati Biauw Eng tentu roboh disambar sinar pedang gadis ini. Ruangan yang kuas dan biasanya bersih itu kini menjadi tempat menyeramkan, banjir darah di lantai dan di dinding, sedangkan mayat berserakan, bertumpuk, ada yang masih berkelojotan, lebih dari dua pulah orang banyaknya! Melihat betapa pasukan pengeroyok makin banyak, Biauw Eng maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, pula dia tidak biasa mainkan pedang yang berat. Maka ia lalu melolos sabuk suteranya, meninggalkan pedang yang menancap di dada seorang pengeroyok dan begitu sinar sabuknya yang bergulung-gulung putih mengamuk, para pengeroyok mundur dan menjauh. Jangkauan sabuk sutera yang lebih panjang daripada pedang itu membuat para pengeroyok ngeri.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk meloncat dan lari keluar dari gedung dengan maksud untuk melarikan diri. Tidak perlu lagi ia mengamuk, kematian Lai Sek sudah cukup dibalas dan kalau terlambat ia tentu akan celaka, tidak mungkin kuat menghadapi pengeroyokan pasukan keamanan yang amat besar jumlahnya dan yang makin banyak berdatangan itu. Sabuk sutera di tangan Biauw Eng memang merupakan senjatanya yang khusus dan kalau tadi ketika memegang pedang Biauw Eng dapat diumpamakan seekor harimau marah, kini memegang sabuk suteranya dia seperti harimau yang tumbuh sayap! Dengan membuka jalan berdarah ia berhasil keluar sambil terus mengamuk sampai di luar gedung, di mana telah menanti banyak penjaga keamanan yang terus mengurungnya.

Namun Biauw Eng mengamuk terus, kini tidak lagi mengamuk untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya karena kematian Lai Sek, melainkan mengamuk untuk menyelematkan diri. Sabuk sutera putih itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung melindungi tubuhnya sehingga senjata para pengeroyoknya tidak ada yang dapat menyentuhnya, bahkan sekali-kali kalau ada pengeroyok yang kurang hati-hati, senjatanya akan terlibat ujung sabuk dan terampas, dilemparkan sampai jauh. Para pengeroyok berteriak-teriak saling menganjurkan kawan, dan biarpun mereka tidak mampu merobohkan Biauw Eng, sedikitnya mereka berhasil mengurung rapat sehingga sukarlah bagi Biauw Eng untuk dapat meloloskan diri. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring suara wanita,

“Semua mundur! Biarkan aku menangkap dia!”

Para pengeroyok menengok dan ketika melihat bahwa yang membentak adalah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki tampan, keduanya menunggang kuda, dan sama sekali tidak mereka kenal, para pengeroyok tidak mau ambil peduli. Akan tetapi tiba-tiba seorang perwira pengawal luar istana yang mengenal dua orang ini cepat memberi aba-aba,

“Semua pasukan mundur!”

Aba-aba ini tentu saja ditaati oleh semua pengeroyok yang menjadi terheran-heran dan terbukalah jalan yang lebar sehingga Biauw Eng kini berhadapan dengan dua orang penunggang kuda itu. Wajah Biauw Eng menjadi merah, matanya mengeluarkan sinar berapi saking marah dan bencinya ketika ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Bhe Cui Im dan laki-laki itu adalah Siauw Lek! Tujuh orang pengawal rahasia kaisar mengatur penjagaan secara bergiliran maka terbukalah kesempatan bagi Cui Im dan Siauw Lek di waktu bebas tugas untuk berjalan-jalan. Pagi hari itu mereka berdua juga sedang bebas tugas,

Maka dengan menunggang kuda mereka jalan-jalan di kota raja dan kebetulan sekali mereka mendengar berita akan mengamuknya seorang gadis di gedung pembesar Ang. Karena mereka ingin menonjolkan jasa, cepat mereka mendatangi tempat itu dan ketika mereka melihat bahwa yang mengamuk adalah Biauw Eng, Cui Im terkejut dan cepat menyuruh para pengeroyok mundur. Biauw Eng berdiri dengan sabuk sutera di tangan, maklum bahwa ia berada dalam cengkeraman bahaya maut, akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Dan sesunguhnya, apa sih artinya kematian baginya? Dia tadinya telah merupakan seorang yang hampir mati, hanya karena kenekatan dan pembelaan Sim Lai Sek yang mencintanya dan yang mengorbankan matanya maka ia masih hidup sampai sekarang.

Dia adalah seorang manusia yang seolah-olah hidup kembali dari kematian, hidup untuk kedua kalinya yang sedianya akan ia lewatkan untuk membalas budi Lai Sek. Hidupnya yang pertama telah lenyap dan mati bersama…. nama Keng Hong. Hidupnya yang kedua pun kini tidak ada artinya lagi setelah Lai Sek mati. Mengapa ia takut menghadapi kematian? Hatinya menjadi dingin sekali dan ia menghadap Cui Im dengan senyum dingin yang membuat Cui Im meremang bulu tengkukunya. Melihat bekas sumoinya itu dalam keadaan seperti itu, pakaianya banyak yang robek dalam pertempuran tadi, rambutnya kusut dan mukanya membayangkan kedukaan besar, melihat mulut yang tersenyum dingin, tiba-tiba Cui Im teringat akan perhubungan antara mereka di waktu kecil. Tanpa turun dari kudanya ia berkata,

“Biauw Eng, engkau telah terlalu banyak menderita. Biarlah mengingat hubungan lama, aku akan mengampunimu asal engkau suka menyerah. Aku yang akan mengusahakan agar perkaramu di sini diperiksa dan engkau akan mendapat hukuman ringan.”

Makin dingin senyum Biauw Eng ketika bibirnya merekah makin lebar.

“Bhe Cui Im, aku tidak butuh pengampunanmu, dan kalau engkau hendak membunuhku, coba majulah. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah takut kepadamu, perempuan durhaka, murtad dan khianat. Kalau aku tidak dapat membunuhmu saat ini, lebih baik aku mati di tanganmu!”

Wajah Cui Im menjadi merah sekali.

“Perempuan rendah! Tak tahu kebaikan orang! Mampuslah!”

Tiba-tiba tubuhnya mencelat dari atas kuda dan berubah menjadi sinar merah karena dalam kemarahannya, Cui Im mencabut pedang merahnya dan sabil meloncat itu, ia menerjang dan menyerang dengan pedangnya dengan gerakan yang hebat dan dahsyat luar biasa! Silau juga mata Biuaw Eng menyaksikan gulungan sinar pedang yang menerjangnya itu. Kedukaan karena kematian Lai Sek ditambah pertandingan ketika ia dikeroyok mebuat tubuhnya lemah dan lemas. Akan tetapi semangatnya bangkit ketika ia melihat Cui Im, musuh besar yang membunuh ibunya. Biarpun ia maklum bahwa dia bukan tandingan Cui Im yang sekarang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, namun ia tidak gentar dan cepat sabuk suteranya bergerak mengeluarkan suara meledak ketika ia menyambut terjangan Cui Im.

“Cring…. Brettttt!”

Biauw Eng terkejut dan cepat melompat ke belakang ketika pertemuan sabuknya dengan sinar merah membuat sabuknya terbabat putus ujungnya!

“Hi-hi-hik, Biauw Eng, bersiaplah untuk mampus!”

Cui Im mengejek dan menyerang lagi, pedangnya yang berubah gulungan sinar merah itu mengeluarkan suara berdesing-desing. Cui Im sengaja mengerahkan tenaga dan kepandaiannya setiap kali Biauw Eng menangkis, sabuknya menjadi putus. Sampai enam kali sabuknya terbabat putus sehingga tinggal satu kaki panjangnya.

Ia terpaksa membuang sabuknya itu dan tangan kirinya bergerak melepas senjata rahasia bola-bola putih berduri. Akan tetapi Cui Im tertawa dan dengan mudahnya ia membabat dengan pedangnya sambil mendesak. Bola-bola itu terpukul runtuh dan sinar pedang terus mengejar Biauw Eng. Melihat datangnya tusukan ke dadanya, Biauw Eng berlaku nekat dan hendak mengadu nyawa. Biar ia mati asal ia dapat membawa serta nyawa Cui Im! Ia sengaja bergerak lambat dan tiba-tiba ia mendoyongkan tubuh ke kiri, mengepit pedang lawan di bawah ketiak kanan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut Cui Im! Gerakan tiba-tiba ini biarpun membahayakan dirinya sendiri akan tetapi sekali tangannya berhasil mencengkeram perut, tentu perut itu akan pecah!

“Setan!”

Cui Im mendengus kaget, terpaksa menjatuhkan tubuh ke kiri, melepaskan gagang pedangnya dan rabutnya menyambar ke depan menotok ke arah leher Biauw Eng! Gadis ini miringkan tubuh, akan tetapi ujung rambut masih menampar pundaknya, membuat ia terhuyung ke belakang. Akan tetapi Biauw Eng sudah melepaskan kempitan pedang merah dan kini ia menyambar gagang pedang itu.

Pada detik berikutnya, tangannya yang memegang pedang itu ditendang Cui Im dengan cara menendang yang sama sekali tidak tersangka-sangka. Tubuh Biauw Eng yang masih terhuyung itu kehilangan keseimbangan, pedang rampasannya mencelat dan ia pun terguling. Sambil tertawa-tawa Cui Im yang berkepandaian luar biasa itu telah menyambar kembali pedangnya, kemudian dengan langkah perkahan dan pedang ditodongkan ia menghampiri Biauw Eng yang masih nanar oleh tamparan rambut Cui Im. Sinar merah berkelabat cepat sekali, membuat sinar kilat di depan mata Biauw Eng yang sukar mengikuti ke mana pedang hendak menyerang dan gadis ini yang merasa tak mungkin dapat menyelamatkan diri, hanya memandang sambil tersenyum dingin penuh ejekan. Pedang merah menusuk ke arah dada Biauw Eng secepat kilat!

“Tranggggg….!”

“Aiiihhhhh….!”

Cui Im kaget bukan main karena pedang itu hampir terlepas dari tangannya. Cepat ia meloncat ke belakang dan dengan mata terbelalak ia melihat bahwa yang menangkisnya adalah Keng Hong yang menggunakan Pedang Kayu Harum! Dengan sikap tenang namun cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar tubuh Biauw Eng yang setengah pingsan, kemudian sejenak matanya bagaikan dua ujung pedang menembus jantung Cui Im ketika dia memandang wanita itu sambil berkata,

“Cui Im, perempuan sejahat-jahatnya perempuan! Tak boleh engkau mengganggu seujung rambut pun dari wanita yang kucinta sepenuh jiwaku!”

Setelah berkata demikian, menggunakan kesempatan selagi semua orang terbelalak heran dan kaget, tubuhnya meloncat tinggi melampaui kepala orang ke atas genteng, memondong tubuh Biauw Eng yang sudah pingsan ketika mendengar ucapan Keng Hong tadi.

“Keng Hong, manusia menjemukan! Kejar! Tangkap!”

Cui Im menggerakkan tangan kirinya dan sinar-sinar merah dari senjata rahasia jarumnya menyambar ke arah tubuh Keng Hong yang masih melayang. Namun dengan menggerakkan tangan kanan yang memegang Siang-bhok-kiam, hanya dengan angin sambaran pedang ini saja sudah cukup membuat sinar merah jarum-jarum itu lenyap karena jarum-jarumnya runtuh ke bawah. Sebelum Cui Im sempat menyerang lagi, Keng Hong telah menghilang di balik wuwungan istana.

Kemudian pemuda perkasa ini mengerahkan seluruh ginkangnya berloncatan dari rumah ke rumah sampai berhasil keluar dari kota raja. Cui Im meloncat ke atas genteng mengejar, disusul oleh Siauw Lek, namun mereka berdua tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Keng Hong sehingga jauh sebelum Keng Hong keluar dari kota raja, mereka berdua sudah kehilangan jejaknya. Terpaksa Cui Im dan Siauw Lek kembali ke tempat tadi dengan sikap murung, apalagi Cui Im yang menjadi gelisah setelah melihat munculnya Keng Hong yang ia tahu merupakan satu-satunya orang yang berbahaya dan terlalu lihai baginya. Baru tangkisan tadi saja sudah membuktikan bahwa Keng Hong benar-benar amat lihai, memiliki sinkang yang tak terlawan, kemudian gerakan Keng Hong ketika melarikan diri juga jelas membuktikan keunggulannya.

“Mulai sekarang kita harus berhati-hati. Sebelum manusia itu dapat kubunuh, hidup ini tidak tenteram bagiku,”

Kata Cui Im kepada Siauw Lek yang sudah mendengar dari Cui Im tentang diri murid Sin-jiu Kiam-ong itu.

“Mengapa khawatir?”

Katanya memandang rendah.

“Dengan kepandaian kita berdua, belum tentu kita kalah olehnya. Apalagi di sana ada lima orang rekan kita yang berilmu tinggi.”

“Phuhhh! Apa kau kira manusia macam Pak-san Kwi-ong dan yang lain-lain itu akan suka membantu aku?”

“Kalau kita menggunakan akal sehingga Keng Hong dianggap berbahaya untuk istana, tentu saja mereka mau tak mau membantu kita menghadapi Keng Hong. Kalau kita bertujuh sudah maju mengeroyoknya, biar Keng Hong mepunyai kepala tiga dan lengan enam, masa kita tidak mampu membinasakannya?”

Ucapan Siauw Lek itu sedikit banyak menghibur hati Cui Im, akan tetapi wanita ini maklum bahwa mulai saat itu, ia tidak akan dapat menikmati makan lezat tidur nyenyak lagi.

“Mengapa….. mengapa engkau menolongku?”

Pertanyaan lirih sebagai kata-kata pertama yang keluar dari mulut Biauw Eng ini membuat Keng Hong terharu. Ia hanya memandang ketika gadis itu yang siuman dari pingsannya bergerak perlahan, bangkit dan duduk menyadarkan tubuhnya yang masih lemas itu ke batang pohon. Wajah itu pucat, rambut yang kusut itu sebagian menutupi muka, bibirnya agak menggigil ketika bertanya dan matanya yang memandang wajah Keng Hong benar-benar merupakan ujung pedang yang menikam jantung bagi Keng Hong.

“Mengapa… Mengapa engkau menolongku? Mengapa tidak kau biarkan saja aku mati agar tidak memperpanjang penderitaan hidupku?”

Kembali Biauw Eng bertanya dan kini dua butir air amta membasahi kedua pipi yang pucat.

“Biauw Eng, masihkah engkau bertanya lagi dan haruskah aku menjawabnya? Engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat membiarkan engkau terancam bahaya, apalagi ditangan Cui Im yang jahat. Engkau mengerti bahwa aku…. Aku mencintamu…”

“Ahhh…. Jangan sebut-sebut lagi hal itu….,”

Suara Biauw Eng terisak. Keng Hong menghela napas.

“Aku mengerti bahwa aku tidak berhak mengatakan hal itu karena engkau telah menjatuhkan pilihan hatimu kepada Sim Lai Sek. Seharusnya aku mengubur cinta kasihku di dalam hati ynag terluka…. Ah, sudahlah, memang benar bahwa kita tidak boleh lagi bicara tentag itu. Di manakah dia? Di mana Sm Lai Sek?”

Dengan air mata masih berlinang, pandang mata kosong dan suara menggetar Biauw Eng menjawab lirih.

“Dia… dia telah mati…”

Hampir saja Keng Hong meloncat saking kagetnya.

“Heh….?? Mengapa, bagaimana….?”

“Itulah sebabnya aku mengamuk di kota raja, tidak menyangka bahwa Cui Im juga berada di kota raja.”

Dengan singkat, dengan suara pilu Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang dialaminya kepada Keng Hong. Semenjak ibunya dibunuh Cui Im dan Siauw Lek, kemudian betapa ia terancam maut oleh racun Cui Im dan betapa Lai Sek menyelamatkan nyawanya dengan mengorbankan kedua matanya. Biauw Eng menceritakan ini sambil bercururan air mata.

“Setelah menerima budi dan cinta kasihnya yang begitu suci murni, dapatkah aku menolaknya? Dapatkah aku meninggalkannya?”

Keng Hong merasa terpukul. Bagaikan ditusukkan ke dalam matanya cinta kasih yang sedemikian besar dan murninya! Mengertilah dia kini mengapa Biauw Eng memaksa diri mendampingi Lai Sek dalam hal ini kembali menjadi bukti betapa kuat batin gadis ini yang rela mengorbankan perasaannya sendiri demi membalas budi orang! Alangkah mulia hati gadis ini. Jauh bedanya dengan Cui Im, bagikan bumi dengan langit. Dan masih jauh bedanya dengan dia sendiri! Mengingat akan hal ini, mukanya menjadi merah dan dia berkata,

“Lalu bagaimana, Biauw Eng? Bagaimana kalian bisa sampai di kota raja dan siapa yang membunuh Lai Sek?”

Biauw Eng melanjutkan ceritanya tentang pengalamannya di kota raja. Ketika menceritakan ini, matanya berapi dan ia menutup ceritanya dengan kata-kata duka.

“Sungguh menyedikan nasib yang menderita Sim-twako. Akan tetapi aku telah berhasil membalaskan sakit hatinya! Aku sudah puas, dan andaikata aku mati di tangan Cui Im sekalipun, sakit hati Sim-twako telah terbalas. Sayang….. kematian ibuku kiranya tak mungkin akan dapat kubalas, Cui Im terlalu lihai untukku….”

Diam-diam ada rasa girang yang luar biasa di Keng Hong, rasa girang yang membuat dia malu dan merasa berdosa. Mengapa dia bergirang hati mendengar kematian Lai Sek? Ia tidak mengaharapkan hal ini terjadi, akan tetapi hal itu terjadi di luar harapan dan pengetahuannya. Betapapun juga, sudah menjadi kenyataan bahwa Lai Sek telah tewas dan hal ini berarti bahwa Biauw Eng telah bebas! Bebas hatinya, dan dahulu gadis ini amat mencintanya!

“Biauw Eng…., mengapa engkau berduka akan hal itu? Engkau tahu bahwa aku selalu siap membantumu menghadapi Cui Im, bukan hanya untuk membalaskan sakit hatimu, juga membalaskan sakit hati ibumu, juga membalaskan segala perbuatan kejinya terhadap dirimu, betapa ia dahulu berusaha merusak namamu. Kemudian, ia malah mencuri kitab-kitab pusaka suhu. Antara dia dan aku terdapat perhitungan besar. Biauw Eng, marilah kita bersama menghadapinya dan percayalah mulai saat ini, aku tidak akan membiarkan engkau diganggu orang, tidak akan membolehkan engkau hidup menderita dan berduka, tidak akan membiarkan engkau terpisah lagi dari sampingku Biauw eng, engkau tentu maklum betapa sesungguhnya selama ini aku mencintamu, semenjak kita berjumpa. Betapa bodoh dan tololnya aku dahulu, tidak dapat menghargai cinta kasih seorang gadis sepertimu. Engkau maafkan semua kesalahan-kesalahanku yang lalu, Biauw eng dan aku bersumpah bahwa semenjak saat ini aku Cia Keng Hong akan mencintamu dengan selalu jiwa ragaku…”

Biauw Eng mengeleng-geleng kepala lirih, air matanya mengucur lagi ketika berkata lirih,

“Terlambat, Keng Hong…. terlambat sudah….”

Keng Hong memandang kaget dengan penuh kekhawatiran.

“Apa maksudmu? Telambat bagaimana, Biauw Eng?”

Ia menjadi tegang dan tanpa disadarinya dia memegang kedua tangan gadis itu yang terasa dingin sekali. Biauw Eng menunduk, membiarkan tangannya di pegang. Diam-diam ia merasa betapa dari kedua tangan pemuda yang menggenggam tangannya itu keluar getaran hangat yang menyentuh hatinya, yang mendatangkan rasa bahagia, tenteram dan aman, seolah-olah dalam kelelahan yang hebat tiba-tiba mendapatkan sandaran yang melindungi.

“Terlambat…

Ia memaksa mulutnya bicara lirih.

“Engkau pun tahu bahwa sejak dahulu, cintaku hanya untukmu, jiwaku adalah milikmu, akan tetapi tubuhku…. telah ku serahkan kepada Sim Lai Sek, jasmaniku telah menjadi milik mendiang Sim Lai Sek…”

Tiba-tiba kedua tangan Keng Hong yang memegang tangan gadis itu terlepas dan seluruh tubuh pemuda itu menjadi lemas, seluruh tubuh pemuda itu menjadi lemas, pandang matanya penuh penasaran ditujukan kepada Biauw Eng, hatinya dibakar cemburu dan dia lalu bangkit berdiri dengan gerakan kasar.

“Biauw Eng! Sungguh tidak kusangka.. seorang gadis seperti engkau mudah saja menyerahkan diri kepada orang yang belum menjadi suamimu. Ah… Semua perempuan sama saja di dunia ini…. lemah dan mudah dibujuk nafsu….! Engkau perempuan murah…! Biauw Eng juga bangkit berdiri, tidak kasar seperti Keng Hong, melainkan berdiri perlahan, pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah pemuda itu, kemudian ia berkata, suaranya tidak selemah tadi, melainkan tegas dan nyaring mengaandung kemarahan yang ditahan-tahan,

“Sudah kuduga bahwa cintamu kepadaku hanyalah cinta nafsu belaka, dan hanya tubuhku yang kau cinta, maka kini begitu mendengar bahwa tubuhku telah dimiliki pria lain, engkau menjadi kecewa dan marah! Cia Keng Hong, aku tadi hanya ingin mengujimu, sebelum aku mengambil keputusan dan ternyata bahwa aku mengambil keputusan untuk tidak sudi di sampingmu! Dahulu, setiap hari aku menangisimu, setiap hari bersembahyang untukmu akan tetapi ternyata bahwa pria yang kucinta sepenuh jiwaku, hanyalah seorang laki-laki yang diperhamba nafsu. Aku bukan seperti engkau, Keng Hong, aku tidak pernah tergelincir digoda nafsu, dan mendiang Sim Lai Sek adalah seorang pria yang tahu menghormati wanita, tidak sepertu engkau….”

Teringat akan Lai Sek, kembali Biauw Eng menangis. Ucapan itu bagaikan cengkeraman maut yang mencabut semangat dari tubuh Keng Hong. Tahulah dia Biauw Eng hanya mengujinya dan dia yang diuji telah jatuh! Hatinya menjadi gelisah, rasa takut akan kehilangan gadis yang sungguh-sungguh dicintanya ini membuat dia menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng dengan kedua kaki lemas!

“Ah, ampunkan aku, Biauw Eng…, ah, betapa bodohku selalu mencurigaimu! Ampunkan aku yang mencintamu dengan jiwa ragaku. Aku bersumpah…., hidupku takkan ada artinya kalau engkau meninggalkan aku. Biauw Eng.. maafkan ucapan dan sikapku tadi, dan ketahuilah bahwa aku dibikin gila oleh rasa cemburu yang besar. Rasa cinta kasih selalu mendatangkan rasa cemburu, Biauw Eng, dan harap engkau dapat mengerti perasaanku ini dan….”

“Cukuplah, Keng Hong. Engkau bilang bahwa engkau mencinta maka engkau bisa cemburu. Sebaliknya aku pun pandai mencintamu harus pula pandai membencimu. Aku pernah mencintamu dengan cinta kasih yang tulus ikhlas dan suci murni, bukan hanya mencinta jasmanimu sehingga biarpun aku tahu betapa jasmanimu bermain gila dengan wanita lain, cinta kasihku kepadamu tidak pernah goyah. Dan sekarang aku… Aku…. ben…..benci…..ahhhhh!”

Biauw Eng tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tercekik isak tangis, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Keng Hong.

“Biauw Eng …. jangan pergi…. engkau tidak membenciku! Biauw Eng, kembalilah… Eangkau mencintaku, aku yakin akan itu…. ah, Biauw Eng…!”

Akan tetapi jeritan hati Keng Hong ini tidak terucapkan lehernya seperti tercekik dan dia hanya berdiri bengong dengan muka pucat dan wajah muram memandang ke arah bayangan Biauw Eng yang makin mengecil kemudian lenyap. Ia menarik napas panjang, menjatuhkan diri di atas tanah dan bersandar kepada batang pohon. Masih terasa olehnya kehangatan bekas tubuh Biauw Eng dan tak terasa pula mata pemuda itu menjadi basah.

“Biauw Eng…. apa artinya hidup ini bagiku sekarang…..?”

Ia mengeluh dengan hati hancur. Kemudian dia menjadi seperti orang beringas dan ditamparnya kedua pipinya sendiri kanan kiri menjadi biru-biru dan membengkak. Setelah matanya berkunang dan tubuhnya tergelimpang miring baru dia berhenti menampari mukanya sendiri dan dia menangis terisak-isak. Keng Hong, pemuda gagah perkasa yang memiliki kesaktian jarang ada bandingnya itu menangis seperti anak kecil! Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya, hatinya diremas-remas.

“Bodoh! Engkau laki-laki tolol! Rasakan sekarang….!”

Seperti orang gila memaki-maki dirinya sendiri dan makin dia ingat dan kenangkan, makin sakit rasa hatinya, teringat betapa dia telah melakukan hal-hal yang amat tidak patut dan tidak adil terhadap Biauw Eng. Teringatlah dia betapa dengan mudahnya dia tergelincir oleh nafsu berahi, betapa dia melayani wanita-wanita bermain cinta. Dan dia telah memaki-maki Biauw Eng sebagai gadis tak tahu malu, bahkan sebagai perempuan murah karena gadis itu menyerahkan tubuhnya kepada Lai Sek.

Andaikata gadis itu menyerahkan tubuhnya kepadanya, agaknya akan lagi sikapnya. Ah, dan ternyata gadis itu hanya mengujinyaa, membohong dan sama sekali belum pernah menyerahkan tubuhnya, apalgi hati dan cinta kasihnya, kepada pria lain! Biauw Eng selamanya hanya mencinta dia, dan kalau gadis itu dahulu memilih Lai Sek hanya karena gadis itu hendak membals budi. Ah, betapa mulianya gadis itu, betapa mendalam cinta kasihnya. Dan sebaliknya betapa rendahnya dia, betapa cintanya dikotorkan oleh nafsu semata. Dan sampai saat ini, dia tahu benar dan dapat meraba dengan perasaannya, betapa gadis yang merasa sakit hati dan bertekad untuk membencinya itu sebetulnya masih mencintanya. Bahkan, untuk mengatakan membencinya dengan mulut saja sampai tidak terucapkan.

“Aduh, Biauw Eng…. bagaimana aku dapat menemukan engkau kembali? Bagaimana aku bisa mendapatkan engkau kembali….?”

Keng Hong mengeluh dan menyembunyikan muka di antara kedua lengan yang dia tumpangkan di atas kedua lutut yang dia angkat naik.

Sampai lama dia duduk di bawah pohon seperti itu, kedua pipinya membiru dan bengkak-bengkak, pandang matanya kosong dan sayu. Menjelang senja, setelah duduk seperti itu selama setengah hari, tiba-tiba ia meloncat berdiri dan mengepal tinjunya. Bhe Cui Im! Wanita itulah yang menjadi gara-gara! Wanita itulah yang pertama kali menyeretnya ke dalam gelombang permainan nafsu! Wanita itu yang menjatuhkan fitnah secara keji kepada Biauw Eng, bahkan kemudian membunuh ibu Biauw Eng dan hampir membunuh Biauw Eng kalau saja dia tidak ditolong Lai Sek. Wanita itu sebenarnya membuat Biauw Eng berhutang budi kepada Lai Sek dan menjadi biang keladi pertama sehingga timbul pertentangan dan keretakan dalam cinta kasih antara dia dan Biauw Eng.

Dan Cui Im pulalah orangnya yang harus dia cari, tidak saja untuk mendapatkan kembali semua pusaka yang dicuri gadis itu, yang membuat dia dimusuhi banyak tokoh kang-ouw, juga untuk membunuhnya karena perbuatan-perbuatannya yang kejam dan yang dahulu hampir membunuhnya dalam tempat persembunyian gurunya. Masih ada urusan di dalam hidupnya! Masih banyak tugas memanggilnya dan pada saat itu, tugas terpenting adalah membasmi Cui Im dan Siauw Lek yang dia kenal dari cerita Biauw Eng tadi, disamping merampas kembali semua benda pusaka yang dicuri Cui Im. Timbul kembali semangat hidup dalam diri Keng Hong yang tadinya sudah melayu. Dan pada saat itu juga dia lalu berlari meninggalkan hutan itu, kembali ke kota raja untuk mencari Cui Im!

Ternyata tidak mudah bagi Keng Hong untuk mendapatkan keterangan tentang Cui Im. Sekian banyaknya orang yang menyaksikan pertempuran di gedung bangsawan atau pembesar Ang, tidak ada yang mengenal Cui Im, hanya semua orang merasa kagum kepada wanita cantik yang menunggang kuda dan berhasil mengalahkan pembunuh pembesar Ang itu. Hal ini tidaklah mengherankan karena seperti diketahui, Cui Im adalah seorang pengawal rahasia yang memang tidak dikenal oleh orang biasa kecuali para perwira pengawal. Apalagi karena Cui Im dan Siauw Lek belum lama menjadi pengawal rahasia kaisar. Setelah melakukan penyelidikan selama tiga hari, barulah Keng Hong berhasil mendapat keterangan dari seorang perwira yang sedang mabuk di dalam restoran, yang agaknya tergila-gila dan kagum kepada Cui Im.

“Ha-ha-ha, hebat bukan main dia! Kiraku, diantara tujuh orang pengawal rahasia kaisar, dialah orang pertama yang paling lihai! Cantik seperti bidadari dan kepandaiannya,…. Aaahhh….., hebat! Juga kepandaiannya dalam hal… Hi-hi-hik, matipun tidak penasaran seorang pria yang diberi kesempatan mengenalnya luar dalam! Ang-kiam Bu-tek, menang dalam segala macam pertandingan, ha-ha-ha!”

Mendengar ocehan perwira mabuk ini, Keng Hong yang juga makan di restoran itu mendekat dan bertanya, suaranya di buat-buat seperti orang yang punya gairah namun takut-takut.

“Saya berkesempatan menonton ketika mengalahkan pembunuh Ang-taijin. Sungguh saya terpesona dan sekaligus jatuh cinta! Ah, Tai-ciangkun yang baik, dimanakah rumah wanita perkasa itu? Ingin…., ingin…. aku belajar kenal….”

Dengan mata merah karena mabuk perwira itu memandang Keng Hong. Tentu dia sudah marah kalau saja hatinya tidak terlalu senang disebut tai-ciangkun (panglima besar) tadi.

“Ho-ho-ho, engkau…? Biarpun engkau cukup tampan, akan tetapi untuk mencium telapak kakinya pun jangan harap…., akan tetapi siapa tahu…. sekali waktu kalau dia sedang berkeliling kota raja naik kuda dan dia merasa suka! Ahhh…. dia pengawal rahasia, tentu saja tempatnya di dalam istana….”

Tiba-tiba perwira itu seperti orang tersentak kaget, agaknya dia telah membuka rahasia yang tidak boleh dibicarakan, maka dia membentak,

“Heh, cacing tanah! Mau apa kau tanya-tanya? Pergi sebelum kutendang mukamu!”

Keng Hong menjura dan cepat mengundurkan diri. Ia tidak marah, malah tersenyum dan berkata.

“Terima kasih!”

Memang dia berterima kasih karena dari ocehan perwira mabuk ini dia dapat mengetahui kemana dia harus mencari Cui Im.

Di dalam istana! Memang amat berbahaya dan besar resikonya, akan tetapi baginya, jangankan harus memasuki istana, walaupun harus menempuh lautan api dia akan mengejarnya juga. Malam hari itu juga Keng Hong menyelinap di antara kegelapan malam di luar komplek istana, menanti saat baik baginya selagi para peronda baru saja lewat, melompat naik ke atas pagar tembok dan menggunakan kepandaiannya untuk melayang turun di sebelah dalam tembok. Biarpun para pengawal luar mengadakan penjagaan ketat, namun gerakan Keng Hong yang luar biasa cepatnya itu tak dapat terlihat oleh mereka karena di dalam kegelapan itu, andaikata ada yang kebetulan memandang ke tepat Keng Hong meloncat, tentu hanya akan melihat berkelebat bayang-bayang hitam yang secepat kilat.

Keng Hong menyelinap memasuki taman istana yang berada di belakang. Cepat dia bersembunyi di balik pohon cemara ketika melihat seorang penjaga, agaknya anggauta pasukan pengawal yang menjaga taman, berjalan perlahan, tangan kiri memegang lampu, tangan kanan memegang golok terhunus, celingukan memandang ke kanan kiri dan menyoroti bagian-bagian gelap dengan lampunya. Tiba-tiba penjaga ini terkejut melihat bayangan hitam menyambar. Namun dia tidak sempat bergerak, tidak sempat dia berteriak, bahkan dia tidak tahu mengapa tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Keng Hong cepat menyambar lampu yang terlepas dari tangan penjaga itu, meniup pada dan menyeret tubuh yang telah ditotok dan dicengkeram pundaknya itu ke balik pohon cemara.

“Aku bukan penjahat pengacau istana, juga tidak ingin menganggumu. Akan tetapi, kalau engkau tidak memberi tahu dimana aku dapat bertemu dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im pengawal rahasia kaisar yang baru, terpaksa aku akan membunuhmu.”

Setelah berbisik demikian Keng Hong menekan leher si penjaga yang segara dapat mengeluarkan suara kembali. Tubuhnya gemetar ketakutan dan dia berkata gagap.

“Kau… Siapa…. mau apa….?”

“Aku musuh pribadinya, dan aku hanya akan bertemu dia, tidak akan mengacaukan istana. Lekas jawab, dimana dia?”

Keng Hong menekan pundak orang itu yang mengeluh kesakitan dan cepat menjawab,

“Pondok para pengawal rahasia…. di belakang istana sebelah kiri.. ada tirai bambunya berwarna kuning…!”

Keng Hong menotok kembali orang itu sehingga selain tidak mampu bergerak, juga tidak mampu mengeluarkan suara, kemudian tubuhnya berkelebat ke arah yang ditunjuk penjaga itu. Setelah melewati taman yang luas itu, menghindarkan pertemuan dengan para penjaga, akhirnya dia melihat pondok yang bertirai bambu kuning itu. Ia berindap-indap mendekati dan betapa girang rasa hatinya ketika dia mengintai dari balik pintu samping, dia melihat Cui Im sedang duduk mengobrol sambil makan minum bersama Siauw Lek, hanya berdua saja di ruangan yang luas dan sunyi itu, bahkan pondok ini, sebagai pondok para pengawal rahasia, tentu saja tidak ada pasukan penjaganya. Saking girang dan lega hatinya dapat menemukan musuh besarnya, Keng Hong lalu meloncat.

“Cui Im, akhirnya aku dapat menemukan engkau disini!”

Siauw Lek meloncat bangun dan mencabut senjatanya, pedang hitam yang selalu tergantung di pinggang. Namun Keng Hong tidak memperdulikan, pandang matanya ditujukan kepda Cui Im yang sama sekali tidak kelihatan gugup seperti Siauw Lek, bahkan wanita ini masih duduk, hanya memutar tubuh menengok sambil tersenyum.

“Hi-hi-hik, pancinganku berhasil melalui perwira mabuk itu ternyata berhasil, dan napas penjaga taman juga kau caplok Keng Hong? Betapa bodoh engkau!”

Keng Hong terkejut, akan tetapi sikapnya tenang.

“Cui Im, tak perlu banyak cakap lagi. Kita sudah sama mengetahui mengapa aku datang mencarimu. Lekas serahkan kembali semua kitab dan senjata rahasia kepadaku!”

Cui Im tertawa mengejek.

“Hi-hi-hik, enak saja kau bicara, Keng Hong. Yang bodoh menjadi makanan yang pintar, yang lemah menjadi injakan kaki yang kuat, hukum ini sudah berlaku semenjak aku masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni. Engkau bodoh dan lemah,bahkan sampai sekarang pun masih bodaoh. Keng Hong, tengoklah engkau telah terkurung dan takkan dapat menyelamatkan diri. Engkau akan mati sebagai seorang penjahat dan pemberontak yang berani mengacau di istana kaisar!”

Siauw Lek sudah meniup peluitnya dan setiap orang pengawal rahasia membawa peluit semacam ini untuk memanggil teman.

Terdengarlah suara berisik dan ketika Keng Hong melirik, ternyata di situ telah muncul Pak-san Kwi-ong dan empat orang kakek yang kelihatannya menyeramkan dan berkepandaian tinggi, sedangkan di belakangnya telah muncul pasukan pengawal yang jumlahnya paling tidak ada tiga puluh orang, terdiri dari para pengawal dalam istana! Keng Hong maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, namun dia tidak menjadi gentar. Ancaman bahaya maut bukanlah apa-apa bagi seorang yang memperjuangkan kebenaran, apalagi dalam menghadapi kejahatan, dan kedatangannya adalah untuk menentang Cui Im, untuk merampas kembali pusaka yang menjadi haknya, bahkan pusaka-pusaka yang harus dia kembalikan kepada para partai persilatan besar yang menjadi pemiliknya, serta menghukum Cui Im atas segala kejahatan yang dilakukannya terutama sekali terhadap diri Biauw Eng dan terhadap dirinya sendiri.

“Ha-ha-ha, bukankah ini murid Sin-jiu Kiam-ong? Eh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa bocah ini kesasar sampai di sini?”

Pak-san Kwi-ong bertanya.

“Pak-san Kwi-ong, mau apalagi dia kalau tidak mau membikin kacau? Gurunya dahulu pun seorang pengacau besar tentu muridnya sama saja!”

Jawab Cui Im. Tujuh orang pengawal rahasia yang menjadi jago-jago nomor satu dari istana itu telah mengurung dengan sikap mengancam. Melihat ini, Keng Hong berkata tenang,

“Pak-san Kwi-ong, aku tidak mengerti bagaimana orang-orang macam engkau dan Cui Im, juga Kim-lian Jai-hwa-ong yang nama busuknya sudah kudengar di mana-mana, dapat menjadi pengawal-pengawal kaisar yang terkenal bijaksana. Akan tetapi hal itu bukan urusanku dan aku pun tidak peduli. Kedatanganku ke sini sama sekali tidak ada hubungannya dengan para pengawal, juga sama sekali tidak akan membuat kekacauan. Aku datang khusus untuk menemui Cui Im dan untuk membereskan perhitungan pribadi dengan dia. Harap kalian tidak mencampuri!”

“Ha-ha-ha, bocah lancang! Engkau sudah memasuki istana seperti maling, bagaimana kami tidak akan mencampuri?”

“Kalau tidak lekas dienyahkan, bocah ini membahayakan keselamatan kaisar. Serang!”

Cui Im yang cerdik sudah berseru dan menerjang maju karena kalau Keng Hong diberi kesempatan bicara, mungkin akan mengubah keadaan. Bersama Siauw Lek ia sudah maju, mencabut pedang merahnya dan Siauw Lek sudah pula mencabut pedang hitamnya. Pak-san Kwi-ong, sudah pula menggerakkan senjata rantainya sehingga sepasang tengkorak di ujung rantai beterbangan! Demikian pula Gu Coan Kok Si Iblis Cebol sudah maju dengan tongkatnya,

Si Tinggi besar bongkok Hok Ku sudah menyerang dengan cakar besi beracun, Kemutani mainkan sepasang hui-to di kedua tangan, dan Thai-lek Sin Cou Seng sudah menggerakkan pecut bajanya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan nyaring. Melihat sinar-sinar berkelebatan menyerangnya, dan kesemuanya merupakan senjata-senjata ampuh dan berbahaya digerakkan oleh tangan-tangan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat maklum bahwa serangan-serangan itu dahsyat, Keng Hong cepat mencabut Siang-bhok-kiam, memutar pedang itu sehingga tampak berkelebatnya sinar hijau menyilaukan mata dan dia pun menggunakan tangan kirinya mendorong ke depan. Terdengar berturut-turut suara nyaring disusul teriakan-teriakan kaget ketika tujuh orang itu merasa senjata mereka membalik dan disusul angin dorongan yang kuat sekali ke arah mereka!

“Aku Cia Keng Hong tidak bermaksud mengacau istana, tidak pula memusuhi para pengawal, melainkan hendak berurusan dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im! Seruan Keng Hong yang dikeluarkan deangan pengerahan tenaga khikang, keluar dari pusarnya ini amat nyaring sehingga menggema di seluruh istana, mengejutkan semua penjaga yang tidak berada di tepat itu, dan menggetarkan jantung para pengurung yang menjadi bengong dan berubah wajahnya.

“Serang pemberontak!”

Kembali Cui Im berseru dan semua pengawal yang tadinya terkejut itu sudah siap mengurung Keng Hong. Pada saat itu, terdengar suara yang berwibawa,

“Hentikan pertempuran!”

Semua orang menengok dan para pengawal terkejut ketika melihat hadirnya tiga orang yang mereka tahu amat berpengaruh dan amat dekat dengan kaisar yaitu Laksamana The Ho yang menjadi panglima besar menguasai armada, Ma Huan seorang sakti dan terpelajar beragama Islam yang diperbantukan kepada laksamana itu dalam perantauannya yang datang, dan Tio Hok Gwan, si tinggi kurus sederhana yang selalu mengantuk dan berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal pribadi Laksamana The Ho.

“The-tai-ciangkun, dia adalah seorang pemberontak yang memasuki istana seperti penjahat!”

Cui Im berusaha mempengaruhi pembesar itu. Akan tetapi The Ho mengangkat tangannya dan berkata,

“Harap para pengawal minggir semua dan biarkan aku bicara dengannya. Aku datang atas nama sendiri!”

Mendengar ucapan ini, semua pengawal lalu minggir. The Ho memandang Keng Hong yang masih berdiri tegak. Ketika Keng Hong memandang dan melihat sinar mata pembesar ini, dia terkejut sekali. Cepat-cepat dia menyimpan Siang-bhok-kiam dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki, lalu berdiri kembali.

“Orang muda yang gagah, engkau siapakah?”

Tadi begitu bertemu pandang dengan The Ho, Keng Hong segera mengenal seorang sakti, kini melihat sikap dan mendengar suaranya, dia benar-benar menjadi kagum dan tunduk. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa di bawah naungan kekuasaan kaisar, terdapat pengawal-pengawal macam tujuh orang itu disamping pembesar seperti ini. Betapa mungkin kuda yang baik dapat bekerja sama dengan harimau yang ganas, betapa burung hong dapat terbang bersama dengan burung-burung gagak. Mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara halus itu, dia cepat menjawab singkat dan hormat.

“Hamba Cia Keng Hong.”

“Cia Keng Hong, engkau bukan seorang pekerja istana, telah berani memasuki istana di waktu malam tanpa ijin. Apa kehendakmu?”

Dengan sikap penuh hormat Keng Hong menjawab,

“Mohon maaf kepada Paduka, Taijin, hamba mengaku telah berbuat lancang. Akan tetapi hamba tidak bermaksud mengacau istana, melainkan hendak bertemu dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang menjadi musuh besar hamba.”

Hening sejenak, kemudian terdengar suara The Ho menegur,

“Cia Keng Hong, sungguh lancang dan besar dosamu! Kalau aku tidak melihat engkau seorang muda yang gagah perkasa, tentu engkau akan kusuruh tangkap dan menerima hukuman berat. Karena engkau belum melakukan sesuatu yang merusak, biarlah atas nama kaisar kami ampuni. Pergilah sekarang dari tempat ini dan jangan sekali-kali engkau berani lagi masuk tanpa ijin karena tidak ada pengampunan dosa dua kali!”

Suara ini berwibawa sekali dan di dalam hatinya Keng Hong sudah tunduk dan tidak berani melanggar. Akan tetapi karena dia masih merasa penasaran melihat betapa orang-orang macam Cui Im, Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong bisa menjadi pengawal kaisar, dia lalu bertanya.

“Jadi, hamba tidak boleh menganggu musuh besar hamba ini?”

Ia memandang ke arah Cui Im yang tersenyum mengejek.

“Tidak boleh! Dia adalah pengawal yang berada dalam istana, bagaimana engkau boleh menganggunya?”

“Kalau begitu…. apakah istana melindungi orang-orang jahat dan keji macam Bhe Cui Im, Siauw Lek dan….”

“Cia Keng Hong!”

The Ho membentak, suaranya mengguntur, bukan mengandung kemarahan, melainkan mengandung bantahan dan peringaran.

“Bukalah matamu, pergunakan pikiranmu dan lihatlah kenyataan! Istana mempergunakan orang-orang pandai menjadi pengawal, bukan membutuhkan riwayat hidupnya, melainkan tenaganya! Istana tidak akan memperdulikan urusan pribadi semua petugasnya, dan tidak mengenal siapa keji siapa tidak sebelum menjadi petugas istana! Urusan pribadi antara engkau dan dia sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan istana, kalau engkau hendak menyelesaikan urusan pribadimu itu di luar lingkungan istana, di luar pelaksanaan tugas di istana, hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan siapa. Akan tetapi, kedatanganmu malam-malam tanpa ijin memasuki istana, hal ini adalah urusan istana! Mengertikah engkau ataukah pura-pura tidak mengerti??”

Keng Hong terkejut sekali, merasa mukanya seperti di tampar dan matanya seperti dibuka lebar-lebar oleh ucapan yang keluar dari mulut The Ho ini. Betapa lancang dan bodohnya dia yang mencari Cui Im ke dalam istana sehingga dia membuat kesalahan dan perbuatannya ini saja sudah cukup untuk mendatangkan maut baginya, bisa dianggap pemberontakan. Dan biarpun pembesar yang memiliki pandang mata begitu tajam berwibawa ini seolah-olah marah kepadanya, namun ternyata telah menginsyafkannya dan telah mengampuninya. Tak terasa lagi Keng Hong menjatuhkan diri memberi hormat kepada The Ho dan berkata,

“Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih kepada Paduka atas kemurahan hati Paduka yang telah memberi ampun.”

Setelah berkata demikian, Keng Hong bangkit, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.

“Tunggu dulu, Cia Keng Hong!”

Tiba-tiba The Ho berkata dan Keng Hong cepat membalikkan tubuh, memandang tajam akan tetapi menanti dengan sikap tenang. Laksamana yang bermata tajam berwibawa itu tersenyum.

“Kedatanganmu amat menarik perhatianku, orang muda. Engkau tidak bisa pergi begitu saja tanpa meninggalkan sesuatu.”

Keng Hong memandang dengan alis berkerut. Apa pula kehendak pembesar yang berwibawa ini?

“Apakah yang harus hamba tinggalkan?”

Tanyanya, sikapnya tenang sekali sehingga The Ho dan Ma Huan, dua orang yang memiliki pandang mata waspada itu, diam-diam merasa kagum sekali. Jarang mereka bertemu dengan seorang pemuda seperti ini dan diam-diam menyesalkan bahwa pemuda seperti ini kini seolah-olah menjadi seorang pelanggar. Bepatapun juga, mereka tadi hanya menyaksikan sepak terjang Keng Hong segebrakan saja dan ingin mereka menyaksikan kelihaian pemuda ini.

“Aku bukan seorang yang menginginkan benda milik orang lain,”

Jawab The Ho tertawa.

“Akan tetapi aku mempunyai semacam penyakit, yaitu kalau bertemu orang pandai, hatiku belum merasa puas kalau belum menyaksikan kepandaiannya. Karena itu, sebagai imbalan keputusanku mengampunimu, aku minta agar engkau meninggalkan pertunjukkan ilmu silatmu dan suka melayani pengawalku barang sepuluh jurus! Tio Hok Gwan, kau cobalah kelihaian Cia Keng Hong ini, akan tetapi hati-hatilah, sekali ini engkau bertemu tanding.”

Tio Hok Gwan si pengantuk itu mengangguk dan melangkah lebar menghadap Keng Hong. Pemuda ini merasa serba salah. Menolak berarti dia tidak menghargai sikap pembesar yang baik itu kalau dia menerima berarti dia harus melawan si tinggi kurus yang baru langkahnya saja mendatangkan kesan bahwa si pengantuk ini tentu seorang ahli Iweekeh yang memiliki sinkang kuat sekali. Juga dia tidak dapat menerka apa yang dikandung dalam hati pembesar itu di balik “ujian”

Ini. Maka dia lalu menjawab,

“Baiklah, karena hamba telah melanggar dan berada di sini, hamba tidak dapat membangkang perintah Paduka. Akan tetapi hendaknya Paduka tidak menganggap hamba kurang ajar dan ingin memamerkan kepandaian, karena sesungguhnya hamba tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Mana dapat dibandingkan dengan Locianpwe ini yang menjadi pengawal Paduka?”

Setelah berkata demikian, Keng Hong berdiri tegak dan siap menghadapi Tio Hok Gwan. Sejenak kedua orang ini berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter, saling memandang penuh perhatian seolah-olah dengan pandang mata mereka itu mereka hendak mengukur keadaan lawan.

“Cia Keng Hong, sambutlah!”

Tiba-tiba Tio Hok Gwan berseru dan tubuhnya sudah bergerak ke depan, sekaligus mengirim pukulan dengan tangan kiri ke arah dada Keng Hong.

“Wuuuttttt!”

Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan sebelum kepalan itu datang, Keng Hong sudah merasai hawa pukulannya. Tidak salah dugaannya, pengawal yang mukanya seperti orang kurang tidur ini memiliki sinkang yang hebat. Cepat dia mementang kedua kaki memutar tubuh iring kekiri untuk mengelak dan dengan kontan dia membalas dengan pukulan tangan kiri ke arah lambung lawan. Tio Hok Gwan yang agaknya benar-benar hendak mengandalkan kemenangan, tidak mengelak seperti Keng Hong, melainkan cepat menggerakkan tangan kanan dengan jari terbuka menerima hantaman Keng Hong.

“Desss!”

Dua telapak tangan bertemu dan mengeluarkan bunyi keras. Akibatnya, tubuh Keng Hong terpental ke belakang sedangkan tubuh Tio Hok Gwan tergeser tiga tindak ke belakang!

“Hebat…!”

Terdengar The Ho berseru karena pembesar yang sakti ini dapat mengukur dari pertemuan tenaga kedua orang itu bahwa Keng Hong benar-benar memiliki sinkang yang dapat mengatasi pengawalnya! Hok Gwan menjadi penasaran. Selama dia menjadi pengawal The Ho, belum pernah dia menemui tanding yang dapat melawan sinkangnya. Dalam hal ilmu silat, mungkin banyak tokoh-tokoh, umpamanya ke tujuh orang pengawal rahasia kaisar, yang akan dapat menandingi, bahkan mungkin melebihinya. Akan tetapi dalam hal kekuatan sinkang, dia berani diadu dengan siapapun juga dan merasa yakin bahwa dia akan lebih kuat.

Siapa kira, pemuda ini dapat menandinginya, bahkan diam-diam dia merasa sangsi apakah dia lebih kuat daripada pemuda ini. Karena penasaran, dia lalu membuat gerakan miring dan mengirim tendangan dari samping, diikuti pukulan kedua tangannya ke arah muka dan perut lawan! Cepat dan kuat sekali gerakan Hok Gwan ini sehingga Keng Hong terpaksa harus mengerahkan ginkangnya, meloncat ke arah yang berlawanan dengan tendangan lawan sambil mengibaskan kedua tangan ke bawah dan atas untuk menangkis pukulan tangan lawan. Kembali kedua tangan saling bertemu dan membuat mereka berdua terhuyung. Keng Hong tidak mau mengalah karena maklum akan kekuatan lawan, dia cepat membalas dengan pukulan tangan miring menuju tengkuk selagi leher lawan miring. Namun sambil memutar tubuhnya, kembali Hok Gwan dapat menangkis,

Bahkan langsung membarengi dengan jotosan ke arah bawah ketiak lawan yang lengannya sedang terangkat itu. Keng Hong kembali mengelak karena pemuda ini maklum bahwa kalau dia mengandalkan sinkang untuk selalu menandingi kekuatan lawan, maka hal itu berati keras lawan keras dan tentu akan mengakibatkan luka-luka dalam di antara mereka. Hal ini tidak dia kehendaki, pertama karena dia tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Tio Hok Gwan, kedua karena dia ingin pergi dari situ tanpa meninggalkan kesan buruk. Karena menemui tandingan yang seimbang, Hok Gwan dan Keng Hong menjadi gembira dan mereka beradu kelihaian sampai lebih dari lima puluh jurus tanpa ada yang terdesak! Keng Hong yang baru saja mewarisi kepandaian dari gurunya dan juga dari Thai Kek Couwsu, diam-diam juga menjadi penasaran.

Kalau dia kalah oleh pengawal The Ho yang amat lihai ini, bukanlah merupakan hal yang besar baginya, akan tetapi karena Cui Im, Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong hadir disitu dan menonton, dia tidak ingin kalah di depan mereka! Dia harus menang dan pikiran ini membuat Keng Hong makin lama makin cepat dan kuat gerakannya. Mula-mula kedua orang itu mengandalkan tenaga, kini karena Keng Hong mengerahkan kecepatannya, terpaksa Hok Gwan harus pula mengerahkan ginkangnya yang ternyata tidak sehebat Keng Hong. Mulailah bayangan kedua orang itu berkelebat cepat dan berubah menjadi bayangan yang bergulung menjadi satu! Akan tetapi dalam pandangan mata para tokoh yang berada di situ, jelas tampak betapa Keng Hong mulai mendesak Tio Hok Gwan dengan serangan-serangan kilatnya.

“Hiaaaaaaahhhhh!”

Tiba-tiba Hok Gwan mengeluarkan teriakan keras dan gerakannya kini berubah, tidak cepat lagi akan tetapi gerakan merupakan benteng yang amat kuat sehingga semua serangan Keng Hong menemui jalan buntu. Kalau serangan Keng Hong yang cepat itu seperti air mengalir, pertahanan Hok Gwan seperti tanggul dari baja yang menahan banjirnya air! Melihat ini, Keng Hong terkejut dan maklum bahwa lawannya sudah bersungguh-sungguh dan kini mengeluarkan simpanannya.

“Haaaiiittt!”

Ia pun memekik dan kini caranya bersilat juga berubah pula. Gerakan-gerakannya juga lambat, namun setiap gerakan mendatangkan tenaga yang dahsyat, dan kedua lengan melakukan gerakan membentuk lingkaran-lingkaran! Inilah Thai Kek Sin-kun yang dia pelajari dari kitab peninggalan Thai Kek Couwsu! Ilmu silat sakti yang digerakkan dengan inti tenaga sinkang dan menghadapi ilmu silat ini, Hok Gwan terkejut dan tampak bingung, bahkan gerakan-gerakannya menjadi agak kacau.

“Ah…., gerakan-gerakan membuat lingkaran itu… Lihat…. delapan macam gerakan tangan…. dengan mengarah delapan jurusan…. eh, apakah ini Pat-kwa Kun-hoat? Akan tetapi berbeda benar… Dan lingkaran-lingkaran itu…..”

Terdengar The Ho berseru kaget dan kagum sekali setelah menyaksikan Keng Hong bersilat Thai Kek Sin-kun sampai belasan jurus yang membingungkan Hok Gwan.

“Akan tetapi, Taijin, harap lihat gerakan kakinya. Bukankah berdasarkan Ngo-heng? Gerakan kakinya seperti Ilmu Silat Ngo-heng Kun Hoat, akan tetapi gerakan atasnya lain. Dan lingkaran-lingkaran itu amat aneh….!”

Demikian Ma Huan berkata. Kedua orang ini saking kagum dan tertariknya, bicara dengan suara keras sambil menonton, lupa bahwa di situ ada tujuh orang pengawal rahasia yang juga menonton dengan bengong dan kagum. Kata-kata kedua orang pembesar itu tidak terlepas dari pendengaran Keng Hong dan pemuda ini terkejut. Biarpun tidak dapat menebak dengan tepat, namun pernyataan kedua orang itu sudah mendekati rahasia Ilmu Silat Thai Kek Sin-kun! Hal itu sudah cukup membuktikan bahwa The Ho dan Ma Huan tentu bukan sembarang pembesar, melainkan orang-orang yang sakti, dan mungkin lebih lihai! Maka dia berlaku hati-hati sekali.

“Sambutlah!”

Tiba-tiba Hok Gwan mengirim tendangan kilat. Itulah ilmu tendangan yang amat terkenal di Tiongkok Utara yang disebut Soan-hong-twi atau Tendangan Angin Taufan yang datangnya amat cepat dan susul-menyusul, sedangkan yang diarah oleh kedua kaki adalah bagian atas tubuh. Ketika kaki lawan menendang ke arah tenggorokannya dengan cepat sekali, Keng Hong lalu membuat gerakan yang indah. Kaki kirinya diluruskan ke dapan dengan tumit menempel lantai, Kaki kanan berjongkok ketika dia mengelak dari tendangan yang menyambar lewat di atas kepalanya,

Tangan kiri yang tadinya melingkar di depan pusar itu membuat gerakan melingkar ke atas sambil mengangkat tubuh menjadi tegak dan dari tangan kanan yang tadinya melingkar dari tangan kanan yang tadinya melingkar di depan dada secara tiba-tiba mendorong ke depan dengan tangan kiri ditarik ke atas kepala. Inilah jurus yang disebut “Bidadari Meneropong”

Dari Ilmu silat Thai-kek Sin-kun! Gerakan yang sederhana namun karena dilakukan sebagai lanjutan mengelak tendangan dan pukulan dengan tangan kanan mendorong itu mengandung tenaga sinkang yang hebat luar biasa, membuat Hok Gwan yang tendangannya luput tadi terkejut. Ia masih dapat menjatuhkan diri ke kanan dan bergulingan, tendangan dari pukulan sakti, namun dia mengalami kekagetan dan ketika melompat bangun dia lalu menyerang lagi dengan hati-hati, lebih mengerahkan tenaga dan perhatian untuk bertahan!

Pertandingan antara jago sakti ini berlangsung sampai seratus jurus lebih dan para pengawal yang menonton pertandingan itu menahan napas. Bahkan Cui Im sendiri merasa penasaran sekali menyaksikan kehebatan ilmu silat yang dimainkan Keng Hong. Ia menjadi bingung dan menduga-duga. Dari mana Keng Hong mendapatkan ilmu ini? Semua kitab telah dibacanya, dipelajari, bahkan kitab-kitab telah dibacanya, dipelajarinya, bahkan kitab-kitab itu telah dibawanya. Apakah guru pemuda itu, Sin-jiu Kiam-ong, mempunyai simpanan kitab lain yang tak dilihatnya? Diam-diam ia menyumpah di dalam hati dan merasa menyesal mengapa dahulu di tempat rahasia ia tergesa-gesa berusaha melenyapkan Keng Hong. Kini menyaksikan kelihaian Keng Hong dia merasa ragu-ragu apakah dia akan dapat mengatasi pemuda yang makin lihai itu.

Biarpun Tio Hok Gwan ternyata amat lihai dan pertahanannya amat kuat, namun makin lama dia makin terdesak hebat. The Ho dan Ma Huan menonton dengan gembira, dan biarpun The Ho maklum bahwa pengawalnya tidak akan dapat menangkan Keng Hong. Namun dia tidak mau menghentikan pertandingan itu saking tertariknya dan ingin menonton sepuasnya! Hok Gwan diam-diam merasa penasaran sekali. Selama hidupnya, baru sekali ini baru bertemu tanding yang membuatnya kehabisan akal dan terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membela diri, membentuk pertahanan yang amat kuat. Namun, ilmu silat yang melakukan gerakan-gerakan tangan melingkar-lingkar itu membingungkannya dan pengawal lihai ini pun maklum bahwa kalau dilanjutkan, lambat laun dia tentu akan roboh.

Gerakan aneh dari lawannya sudah beberapa kali hampir dapat menyusup dan membobolkan pertahanannya. Ia merasa malu kalau harus menderita kekalahan di depan junjungannya. Tak lama lagi junjungannya akan memimpin barisan menyerang lautan dan dialah yang selalu akan diandalkan untuk melindungi pembesar itu. Kalau kini dia kalah oleh seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih, bukankah dia akan kehilangan muka? Karena itu, tiba-tiba pengawal ini mengeluarkan pekik yang menyerupai gerengan harimau marah, kedua tangannya membalas dengan pukulan nekat. Biarpun dia maklum bahwa dengan mengubah gerakan bertahan menjadi menyerang ini membuka sebagian pertahanannya dan dia dapat celaka,

Namun dia yakin bahwa kalau lawan melakukan penyerangan, sebuah daripada kedua tangannya akan mengenai sasaran pula dan kalau perlu dia akan roboh bersama lawannya. Pokoknya asal dia tidak kalah. Kalau keduanya roboh, berarti tidak ada yang menang! Keng Hong tadinya bersilat dengan tekun dan sabar. Maklum akan pertahanan lawan yang amat kuat, dia tahu bahwa kalau akan menjatuhkan lawan tanpa melukainya, dia harus membuat lawan lelah dan pening. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat lawannya menyerang hebat, tidak begitu memperdulikan lagi pertahanannya. Ia terkejut, tahu bahwa lawan menjadi nekat dan pantang kalah. Satu-satunya jalan untuk mencapai kemenangan harus melancarkan pukulan maut mendahului kedua tangan lawan. Posisi tubuhnya lebih baik karena dia dalam keadaan menekan.

Kedua tangan menyambar lurus menuju dada dan lehernya sehingga penjagaan tubuh lawan di bagian bawah terbuka. Kalau dia merendahkan diri, membuat gerakan melingkar dan menyerang perut dan pusar lawan, dia yakin pasti menang. Akan tetapi kalau hal ini dia lakukan, berarti Tio Hok Gwan akan menderita luka berat dan mungkin sekali tewas. Padahal dia tidak menghendaki hal ini terjadi. Ia maklum bahwa pembesar yang memiliki wibawa luar biasa itu tidak bermaksud buruk terhadap dirinya, dan kalau kini mengujinya semata-mata memang ingin sekali menyaksikan kepandaiannya, hal ini terbukti ketika dia tadi melirik ke arah dua orang pembesar itu, mereka itu menonton dengan wajah berseri dan pandang mata kagum, sama sekali tidak menjadi khawatir atau penasaran melihat pengawalnya didesak.

“Haaaiiittttt!”

Pukulan tangan kanan Hok Gwan menghantam pundaknya, pukulan tangan kiri menghantam lehernya, namun Keng Hong kini menghentikan gerakannya sama sekali, mengerahkan sinkangnya dan menggunakan tenaga mujijatnya yang tidak akan dia keluarkan seandainya keadaan tidak seperti itu.

“Bukkk! Dessssss!!”

Dua pukulan itu tiba pada saat yang hampir bersamaan, hanya setengah detik selisihnya. The Ho dan Ma Huan berseru kaget.

Mereka benar-benar kaget dan menyesal karena mereka tadi hanya ingin menguji, sama sekali tidak bermaksud menyuruh pengawal itu membunuh pemuda yang amat lihai itu. Dan mereka terkejut melihat betapa pemuda itu yang tadinya sudah “menang angin”

Kini menerima pukulan begitu saja tanpa mengelak atau menangkis. Mereka cukup maklum betapa hebatnya pukulan kedua tangan Hok Gwan mampu memukul pohon menjadi remuk isi batangnya tanpa melecetkan kulit batang pohon! Tembok yang ditutup kertas tipis akan hancur oleh pukulan ini tanpa merobek kertasnya! Akan tetapi kekagetan kedua orang pembesar ini disusul keheranan yang amat besar sehingga mereka melongo. The Ho adalah seorang pembesar sakti dan sudah mengalami banyak hal aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia menyaksikan yang seaneh itu.

Jelas bahwa kedua kepalan tangan Hok Gwan mengenai leher dan pundak Keng Hong, akan tetapi pukulan-pukulan itu seperti dua buah batu besar dilempar ke permukaan telaga yang dalam dan amblas tanpa bekas! Tangan Hok Gwan yang kiri masih menempel di leher Keng Hong, sedangkan tangan kanannya masih melekat di pundak, akan tetapi pengawalnya itu kini membelakkan kedua mata yang biasanya sipit mengantuk itu, seolah-olah dia bangun tidur karena disiram air, mukanya pucat dan mulutnya mengeluarkan suara merintih! Kedua tangan itu tidak bisa ditariknya kembali seperti biasa dilakukan oleh ahli silat yang setiap memukul tentu menggunakan sasaran untuk menendang balik pukulannya. Kedua tangan itu melekat pada leher dan pundak Keng Hong sedangkan pemuda yang dipukul itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah tidak merasa sesuatu.

“Aihhh…. Thi-khi-I-beng …!”

Cui Im berseru kaget karena dia maklum bahwa ilmu yang dimiliki Keng Hong itu adalah ilmunya yang tidak wajar, yaitu yang dimiliki Keng Hong bukan berdasarkan ilmu, melainkan karena sesuatu keanehan dan biasanya pemuda itu tidak tahu bagaimana harus membebaskan lawan yang telah tersedot sinkangnya. Sejenak teringatlah wanita ini betapa dahulu, tanpa disengaja, Keng Hong telah “menyedot”

Pula sinkangnya secara halus ketika mereka memadu asmara! Sedetik mukanya menjadi merah sekali dan ia sudah melangkah maju hendak membantu Hok Gwan.

Akan tetapi ketika sinar matanya bertemu dengan pandang mata The Ho, dia mundur lagi. Jelas tampak bahwa pembesar itu melarang dia turun tangan. Dan memang sesungguhnya The Ho sendiri tidak tahu akan keadaan pengawalnya sungguhpun dia heran mengapa pengawalnya tidak bergerak dan wajah pengawalnya itu menjadi pucat sekali. Tio Hok Gwan merasa betapa tenaga sinkangnya membanjir keluar melalui kedua tangannya. Ia terkejut dan berusaha menarik tangan, makin keras pula tenaga sinkangnya membanjir keluar. Ia terkejut dan matanya terbelalak saking herannya. Ketika Keng Hong mendengar seruan Cui Im, dia teringat dan cepat sekali dia mengeluarkan pekik melengking dan menggerakkan tubuh sendiri ke belakang dan menggunakan sinkang menolak.

Tio Hok Gwan berteriak dan tubuh pengawal ini mencelat ke belakang seperti dilontarkan, sedangkan tubuh Keng Hong sendiri berjungkir balik sampai lima kali ke belakang. Tio Hok Gwan masih dapat turun di atas kedua kakinya dengan terhuyung. Ia berdiri dan memandang Keng Hong dengan wajah pucat. Kaget sekali pengawal ini dan dia tidak lagi berani bergerak, melainkan menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan tenaga dan menyalurkan sinkang ke pusar, kemudian memutar hawa panas dari pusar untuk menyelidiki keadaan dalam tubuhnya. Ia merasa lega karena tidak terluka, hanya agak lemas karena ada tenaga sinkang yang membocor keluar secara aneh. Adapun Keng Hong yang mukanya lebih merah daripada biasanya, akibat kebanjiran sinkang, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan The Ho dan berkata,

“Harap Taijin sudi memberi maaf kepada hamba. Pengawal Taijin terlalu lihai, hamba tidak kuat melawannya.”

The Ho yang masih terheran-heran menganngguk-anggguk dan berkata,

“Orang muda yang hebat Cia Keng Hong, bagaimana kalau engkau bekerja padaku, membantuku seperti Tio Hok Gwan?”

“Terima kasih, Taijin. Kiranya akan berbahagia sekali bagi hamba untuk dapat menghambakan diri kepada seorang bijaksana seperti Paduka. Akan tetapi maaf, untuk waktu sekarang hamba belum sanggup karena urusan pribadi masih banyak yang harus hamba selesaikan lebih dulu.”

Kembali The Ho dan mengangguk-angguk ke arah Cui Im yang memandang Keng Hong dengan wajah sebentar pucat sebentar merah.

“Baiklah kalau begitu. Akan tetapi sebelum engkau pergi, katakanlah apakah benar engkau tadi menggunakan Ilmu Thi-khi-I-beng? Aku mendengar bahwa ilmu mujijat itu telah lenyap dari permukaan dunia kang-ouw!”

“Ah, sesungguhnya hamba sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu dan tidak tahu bagaimanakah macamnya Thi-khi-I-beng. Hamba mohon diperkenankan keluar, Taijin.”

“Pergilah, mudah-mudahan kelak kita berjodoh untuk saling berjumpa kembali. Hok Gwan, kau antar Cia Keng Hong keluar dari istana dengan aman!”

Perintah ini melenyapkan harapan Cui Im untuk mencegat dan mengeroyok Keng Hong dalam perjalanannya keluar dari istana. Hok Gwan segera mengajak Keng Hong pergi dari tempat itu dan dengan adanya pengawal The Ho ini, Keng Hong dapat keluar dengan aman tanpa ada yang berani menganggu.

“Sahabat muda, terima kasih atas kemurahan hatimu dalam pertandingan tadi. Aku takluk benar kepadamu. Siapakah gurumu?”

Tanya Hok Gwan setelah mereka tiba di luar istana dan mereka akan berpisah.

“Mendiang suhu adalah Sin-jiu Kiam-ong…”

“Ah…. sungguh aku tidak tahu diri, maaf…maaf!”

Hok Gwan menjura dan cepat-cepat Keng Hong membalas penghormatan ini.

“Engkau juga hebat sekali, Ciangkun. Dan engkau amat baik hati. Kuharap engkau suka berhati-hati menghadapi orang-orang macam pengawal-pengawal rahasia yang hadir di sana tadi. Mereka bukanlah orang-orang yang baik dan boleh dipercaya.”

Tio Hok Gwan mengangguk.

“Aku sudah tahu akan hal itu, dan terima kasih atas peringatanmu. Engkau ingin membekuk wanita cabul itu, bukan?”

“Benar, akan tetapi tak mungkin sekarang. Dia telah menjadi pengawal bagaimana aku akan dapat menyentuhnya? Dia dilindungi oleh kekuasaan kaisar.”

“Memang, kalau engkau mencarinya di dalam istana atau menyerangnya selagi ia bertugas sebagai pengawal, engkau akan dianggap pemberontak dan engkau tentu akan menghadapi bencana. Akan tetapi, kalau engkau bersabar, ada cara yang amat baik, yang membuka kesempatan bagimu.”

Mendengar ini, Keng Hong cepat-cepat memberi hormat dan berkata,

“Mohon petunjuk Ciangkun bagaimana aku akan dapat membentuk perempuan iblis itu?”

“Dia terkenal sebagai wanita cabul yang tak dapat bertahan lama melewatkan malam dingin sendirian saja.”

Hok Gwan tertawa mengejek dan merendahkan.

“Selain ini, di waktu lepas tugas setiap malam dia selalu berkeliaran mencari pemuda untuk menemaninya. Nah, kalau engkau bersabar, Cia-taihiap, engkau dapat menggunakan kesempatan selagi ia bebas tugas seperti itu, menyergapnya dan kalau di waktu itu menewaskannya, engkau tidak akan dianggap pemberontak. Akan tetapi engkau harus bersabar dan untuk beberapa lamanya jangan muncul di kota raja, karena seorang perempuan iblis seperti dia amatlah cerdik dan tentu dia tidak akan berani muncul kalau dia tahu atau menduga bahwa engkau sedang mengintainya seperti seekor kucing menanti munculnya tikus. Mengartikah engkau apa yang kumaksudkan, Taihiap?”

Keng Hong menjadi girang sekali, akan tetapi dia merasa malu sendiri mendengar pengawal yang lihai ini menyebutnya taihiap (pendekar besar)! Ia cepat menjura dan berkata,

“Banyak terima kasih atas petunjuk Ciangkun. Nah, selamat berpisah sampai jumpa pula.”

Tubuh Keng Hong berkelebat dan sebentar saja lenyaplah pemuda ini dari depan Tio Hok Gwan. Pengawal pengantuk ini sejenak termangu, kemudian menghela napas dan menggeleng kepalanya.

“Pemuda hebat….!”

Kemudian dia pun kembali ke dalam istana. Keng Hong mempergunakan ilmu lari cepat setelah dia keluar dari kota raja. Ia memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan kota raja, kemudian dia duduk di bawah pohon, termenung. Hatinya girang bahwa dia telah bisa menemukan tepat sembunyi Cui Im. Biarpun dia sekarang belum berhasil, akan tetapi dia yakin akan dapat menangkap Cui Im, merampas kembali kitab-kitab yang harus dia kembalikan kepada mereka yang berhak, kemudian menghukum gadis itu yang selalu mencelakainya dan telah mendatangkan kesengsaraan kepada Biauw Eng. Biauw Eng! Teringat akan gadis itu, tanpa disadarinya Keng Hong menyangga dagu dengan tangan dan menyangga siku lengan lutut. Hatinya berduka sekali.

Memang ada rasa bahagia di hatinya bahwa dia telah bertemu dengan Biauw Eng, melihar dara itu selamat dan telah membukakan rahasia hatinya kepada Biauw Eng, bahkan telah menceritakan segala kesalahfahaman di masa lalu. Akan tetapi, akhirnya Biauw Eng marah-marah dan meninggalkannya! Dan semua itu adalah karena kesalahannya sendiri, karena sikapnya! Kalau dia kenangkan keadaan gadis itu, hatinya makin pedih dan tampak olehnya betapa mulia dan murninya hati gadis itu, gadis yang menjadi puteri Lam-hai sin-ni si nenek iblis, akan tetapi juga puteri gurunya, Sin-jiu Kiam-ong! Ia selalu menyangka yang bukan-bukan terhadap Biauw Eng, padahal gadis itu bersih dan tidak berdosa. Kalau dipikir-pikir kembali, jelas kini bahwa dialah yang kotor dan penuh dosa. Dan yang terakhir sekali, dia masih memaki Biauw Eng karena gadis ini membalas budi Lai Sek yang amat besar!

“Heh-heh-heh.. tak baik orang muda melamun kosong! Melamun membikin orang lekas menjadi lekas tua, heh-heh-heh!”

Keng Hong terkejut dan meloncat bangun sambil membalikkan tubuh. Tidak banyak di dunia kang-ouw ada orang datang tanpa dia ketahui, biarpun dia sedang melamun.

Ternyata di depannya telah berdiri seorang kakek bertubuh kecil bongkok, punggungnya berpunuk dan mukanya ramah tersenyum terus, rambutnya panjang akan tetapi di tengah kepalanya botak, tangan kirinya membawa guci arak. Siauw-bin Kun-cu! Di antara selaksa orang, dia mengenal kakek ini, kakek yang selain aneh juga yang amat berjasa kepadanya karena kakek inilah yang membuka rahasia Siang-bhok-kiam. Kakek inilah yang tanpa disadarinya oleh kakek itu sendiri telah menolongnya sehingga berhasil mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Hanya tampak perbedaan pada pakaian kakek itu. Kalau dalam pakaiannya yang selalu bersih dan baru itu terbuat dari bahan sederhana dan dengan potongan tidak karuan pula, kini pakaiannya yang amat mewah, berkembang seperti pakaian orang berpangkatan, bahkan kedua kaki yang biasanya telanjang itu kini memakai sepatu baru, berkembang pula!

“Ah, kiranya Locianpwe yang datang!”

Keng Hong cepat menjura penuh horat dan hatinya girang bertemu dengan kakek ini.

“Siauw-bin Kun-cu Locianpwe, sungguh saya hampir tidak mengenal Locianpwe melihat pakaian dan sepetu Locianpwe yang indah!”

“Heh-heh-heh-he-he! Wah, engkau menyindir,ya? Memang pakaian dan sepatuku hebat. Manyalah, ya? Dan caraku berjalan juga berubah. Lihat…!”

Kakek itu lalu mendemonstrasikan cara melangkah kaki seorang pembesar! Penuh gaya, dengan langkah tegap tenang berwibawa, dagu ditarik ke atas, mata memandang seperti dari angkasa memandang ke bawah. Akan tetapi karena punuk di punggunggnya membuat dia terpaksa membongkok, biarpun dia memasang aksi tetap saja kelihatan lucu! Keng Hong menahan rasa geli hatinya dan berkata,

“Locianpwe benar hebat! Telah memperoleh banyak kemajuan kiranya!”

“Tentu saja! Wah, aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Cia Keng Hong! Muird Sin-jiu Kiam-ong benar-benar menimbulkan gara-gara dan heboh! Aku telah mendengar akan sepak terjangmu di istana. Sampai-sampai panglima besar seperti The-taijin yang gagah perkasa dan arif bijaksana juga kagum kepadamu. Bagaimana kabarnya, sahabat cilik? Aduh, betapa bahagianya bertemu dengan sahabat lama!”

Keng Hong tersenyum mendengar kalimat terakhir itu yang dikutib oleh si kakek dari pelajaran Nabi Khong Hu Cu.

“Sayalah yang bahagia dan girang dapat bertemu dengan Locianpwe yang bijaksana karena tentu akan mendapatkan banyak petunjuk. Di manakah Locianpwe kini tinggal? Ataukah masih merantau sebatangkara, bebas lepas di udara seperti burung?”

“Heh-heh-heh, orang setua aku, kalau seperti burung terus, bukankah berarti kelak akan mati terlantar dan menyia-nyiakan pengertian yang ku pelajari sampai puluhan tahun? Ha-ha-ha, tidak Cia Keng Hong. Aku sekarang telah menjadi guru besar, aku menjadi pembesar di kota raja, memimpin kebudayaan dan kesusastraan, mengurus pelaksanaan ujian bagi para calon siucai. Ha-ha-ha-ha-ha!”

Keng Hong tertegun.

“Locianpwe… Menjadi pembesar…?”

Kenyataan ini amat aneh dan lucu bagi Keng Hong. Sulit membayangkan seorang pendekar tua aneh seperti Siauw-bin Kun-cu menjadi seorang pembesar!

“Apa salahnya?”

Mata kakek itu melotot.

Asal orang telah mengerti dan menjalankan tugas hidupnya sesuai dengan To, menjadi pembesar pun tidak ada salahnya. Seorang kuncu (budiman) bukan hanya sebutannya saja, juga harus dalam sepak terjangnya! Aku memegang jabatanku sebagai pembesar berdasarkan pelajaran dari Nabi Khong Hu Cu. Engkau mau tahu? Dengarlah!”

Siauw-bin Kun-cu yang masih berdiri itu lalu menengadah dan membaca ujar-ujar dengan suara lantang dan memakai irama seperti orang bernyanyi berdeklamasi: “Cai-siang-wi, put-leng-he, Cai-he-wi, put-wan-siang! Ceng-ki-ji, put-kiu-I-jin….” (Berada di atas tidak menghina yang bawah, berada di bawah, tidak menjilat atasan! Memperbaiki diri sendiri tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain….) Keng Hong melanjutkan,

“Siang put wan Thian, he put yu jin! (Ke atas tidak mencela Tuhan, ke bawah tidak menyalahkan orang!)”

“Heh-heh-heh, engkau murid yang baik! Engkau tahu betapa Nabi Khong HU Cu sampai mengeluh menyaksikan betapa pada masa beliau hidup, pelajarannya yang amat indah dan menuntut manusia ke kebenaran, disia-siakan orang. Karena itu, sekarang aku ikut membantu menyebarkan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu agar sedikit banyak dapat berguna bagi manusia. Eh, orang muda, mari kita duduk dan mengobrol yang enak, jarang aku bertemu dengan orang yang dapat mengerti baik apabila diajak bicara soal filsafat dan kebatinan.”

Keng Hong tersenyum dan mereka duduk di bawah pohon besar, di atas akar-akar pohon. Kakek itu menenggak arak dari gucinya, menawarkan kepada Keng Hong. Dengan halus pemuda itu menolak. Kakek itu minum lagi beberapa teguk, lalu berkata,

“Aah, apa katamu melihat aku menjadi pembesar dan mengajarkan pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang memang mulai disebarluaskan oleh kaisar yang pandai memakai orang dan menghargai kebudayaan ini?”

“Maaf, kalau pendapat saya keliru, Locianpwe. Sesungguhnya saya hanya seorang muda yang bodoh dan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu amatlah sukar bagiku…”

Kakek itu ribut menggoyang-goyang kedua tangannya.

“Salah! Salah! Tidak ada orang pintar atau bodoh di dunia ini. Tidak ada pula sesuatu yang sukar atau mudah! Yang ada hanyalah belum mengerti atau sudah mengerti. Orang biasanya disebut bodoh karena belum mengerti, dan disebut pintar kalau sudah mengerti. Dan untuk jadi mengerti orang harus belajar! Engkau pandai silat, apakah engkau disebut orang pintar! Aku pandai filsafat, apakah aku orang pintar? Kalau kita berdua pergi melihat serorang tukang kayu membuat ukiran-ukiran kayu yang indah, apakah kita dapat melakukannya? Apakah kita pintar dalam pertukangan kayu? Tentu saja tidak. Oleh si tukang kayu kita akan dianggap bodoh. Bukan bodoh, hanya belum mengerti, belum bisa! Dan apakah itu sukar? Apa mudah? Tidak ada. Kalau sudah bisa tentu mudah, kalau belum bisa menjadi sukar. Soalnya hanya MENGERTI, dan untuk mengerti harus belajar!”

“Locianpwe benar sekali, akan tetapi pelajaran budi pekerti sungguh lain lagi, mudah dipelajari, mudah dihafal namun betapa sulitnya melaksanakannya!”

“Salah! Salah! Nabi Khong Hu Cu pernah bersabda demikian : Yang menyebabkan To tidak dilaksanakan : Orang pandai terlampau jauh melewatinya, orang bodoh tidak mampu mencapai/mengertinya. Yang menyebabkan To tidak dimengerti: Orang pintar terlampau jauh melewatinya, orang tidak pintar tidak mampu memahaminya.”

Keng Hong mengangguk-angguk karena dia pun hafal akan ujar-ujar itu, akan tetapi dia mendengarkan terus. Kakek itu menggaruk-garuk botak di kepalanya lalu melanjutkan.

“Ujar-ujar itu melanjutkan : Tidak ada seorang pun manusia yang tidak minum dan makan, akan tetapi hanya sedikit saja yang dapat mengenal cita rasanya!”

“Tepat sekali ujar-ujar itu, locianpwe. Memang manusia di dunia ini selalu tertarik oleh kulit tanpa mau memperhatikan isi. Betapa banyaknya orang yang hafal akan segala filsafat, kenal segala pengetahuan batin, mengerti akan segala ilmu kebatinan dan tentang kebajikan. Namun betapa sedikit sepak terjang dalam penghidupan manusia berlandaskan kebenaran dan kebajikan.”

Kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas.

“Orang muda, dengan kata-katamu itu engkau menampar mukaku pula! Memang demikianlah, banyak sekali orang, termasuk aku juga agaknya, gila akan kedudukan, akan nama, paling suka kalau disebut seorang kuncu, seorang budiman, seorang cerdik pandai dan arif bijaksana! Segala filsafat yang muluk-muluk ditelan semua, namun apa artinya mengenal dan menghafal seribu satu macam filsafat kebatinan namun tidak menerapkannya dalam hidup satu pun juga? Sama dengan gentong kosong nyaring bunyinya!”

“Kalau Locianpwe sudah tahu akan hal ini, mengapa Locianpwe kini menjadi seorang pembesar, menjadi seorang yang berusaha mengembangkan pelajaran kebatinan atau agama? Bukankah akan sia-sia belaka kalau ada selaksa orang yang mengerti akan semua filsafat kebatinan tanpa melaksanakannya dalam hidup?”

“Eh-eh-eh, orang muda. Lidahmu terlalu tajam dan berbahaya. Coba jelaskan!”

Kakek itu melotot.

“Maaf, Locianpwe, akan pendapat saya yang pandir. Bagi saya, filsafat dan ujar-ujar dalam kitab-kitab suci dibuat untuk dilaksanakan! Kalau hanya untuk dihafalkan belaka kemudian tidak dilaksanakan, sama halnya dengan menodai semua pengetahuan murni dan suci itu! Umpamanya saja, ada dua buah ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu yang kalau dituruti oleh semua orang di dunia ini, kiranya dunia akan menjadi aman.”

“Heh-heh-heh, kau kira begitu? Ujar-ujar yang manakah itu?”

“Pertama ujar-ujar yang berbunyi : Semua manusia di empat penjuru adalah saudara! Kalau kita berpegang kepada pelajaran ini dan menganggap setiap orang manusia, bangsa apa pun juga, di manapun juga adanya, kaya maupun miskin, berpangkat tinggi maupun rendah, pintar maupun bodoh, adalah seperti saudara sendiri, tentu tidak akan ada musuh! Tentu akan saling bantu, seperti yang selayaknya di antara saudara! Kemudian yang ke dua ujar-ujar yang berbunyi : Jangan melakukan kepada orang lain sesuatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu. Kalau semua orang mentaati pelajaran ini, saya kira tidak akan ada orang yang suka berbuat jahat terhadap orang lain karena dia sendiri tentu tidak mau kalau orang lain berbuat jahat kepadanya.”

“Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Apa kau kira hanya untuk itu manusia hidup di dunia ? Apakah cukup dengan mencinta sesama dan tidak berbuat jahat kepada orang lain? Tidak, Keng Hong,. Manusia terikat kewajiban-kewajiban, kewajiban sebagai manusia hidup dan Nabi Khong Hu Cu menunjukkan jalan-jalan dan cara-cara betapa manusia dapat menunaikan kewajiban hidupnya dengan sempurna! Karena itu, mutlak penting bagiku, yang sudah berani memakai nama julukan Kun-cu, untuk menyebarluaskan pelajaran-pelajaran itu agar setiap orang manusia di dunia mengarti, mempejajari, dan kemudian melaksanakannya dalam hidup sehingga semua manusia akan tahu memenuhi kewajiban masing-masing!”

“Maaf, Locianpwe. Akan tetapi bukankah kewajiban pun dapat diartikan banyak sekali, tergantung daripada orang yang mengartikannya?”

“Tidak begitu, ada sabda Nabi Khong Hu Cu mengenai itu yang berbunyi begini : Melakukan kewajiban terhadap ayahku sebagaimana aku ingin melihat puteraku melakukannya terhadap aku. Melakukan kewajiban terhadap rajaku, sebagaimana aku ingin melihat sebawahanku melakukannya terhadap aku. Melakukan kewajiban terhadap kakakku sebagimana aku ingin melihat adikku melakukannya terhadap aku dan demikianlah selanjutnya. Singkatnya merupakan kebalikan daripada ujar-ujar yang kau sebut ke dua tadi. Kalau tadi ujar-ujar itu berbunyi jangan melakukan kepada orang lain sesuatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu, yaitu, Lakukanlah kepada orang lain perbuatan yang kau ingin orang lain melakukannya kepadamu! Jelaskan?”

“Jelas, Locianpwe. Saya teringat akan sebuah pelajaran yang mengatakan bahwa untuk dapat mengatur dan memperbaiki orang lain harus lebih dulu mengatur dan memperbaiki keluarga sendiri dan untuk dapat mengatur dan memperbaiki keluarga sendiri harus lebih dahulu mengatur dan memperbaiki diri sendiri.”

Kakek itu bersungut-sungut dan mengamang-amangkan telunjuknya kepada Keng Hong, seolah-olah hendak menusuk hidung pemuda itu dengan telunjuknya.

“Wah-wah, engkau sekali lagi menyinggung aku, ya? Kata-katamu itu benar-benar “mengenai”

Namanya! Kau tentu bertanya dalam hatimu apakah aku yang mengajar orang lain ini sudah mengatur keluarga sendiri dan telah memperbaiki diri sendiri, bukan? Akan tetapi kata-katamu itu memang amat perlu diperhatikan tiap orang. Memang apakah artinya mengajar orang lain atau keluarga sendiri kalau tidak dapat lebih dulu memperbaiki diri sendiri. Siu-sin (mengatur dan memperbaiki diri sendiri) ini merupakan pelajaran terpenting dari Nabi Khong Hu Cu mengajarkan demikian : Seorang Kuncu tidak boleh tidak harus mengatur dan memperbaiki diri sendiri. Untuk dapat memperbaiki diri sendiri, tidak boleh tidak harus mencinta dan berbakti kepada orang tua. Untuk dapat mencinta dan berbakti, tidak boleh tidak harus tahu akan prikemanusiaan. Untuk dapat tahu akan prikemanusiaan, tidak boleh tidak harus tahu akan ketuhanan!”

“Saya mengenal pelajaran itu, Locianpwe. Dilanjutkan dengan pelajaran bahwa ada lima macam jalan kebenaran, yaitu tata susila antara raja dan hulubalangnya, antara orang tua dan anaknya, antara suami dan isterinya, antara kakak dan adiknya dan antara sahabat dengan handai taulannya. Untuk melaksanakan tata susila itu terdapat tiga dasar kebajikan, yaitu pengertian (kesadaran), welas asih, dan gagah berani.”

“Benar…. benar….!”

Kalau sudah melaksanakan dalam hidupnya semua pelajaran itu, mau apalagi hidup di dunia? Heh-heh-ha-ha-ha! Senang sekali hatiku bertemu dan bicara denganmu Keng Hong! Engkau masih muda akan tetapi engkau sudah banyak mengerti tentang ilmu kebatinan!”

“Aahhh, Locianpwe. Saya hanya seperti seekor burung beo yang meniru-niru belaka. Ujar-ujar dan ayat-ayat suci, pengetahuan tentang agama bukannya hal yang perlu diributkan dalam percakapan melainkan pelajaran yang harus dilaksanakan dalam perbuatan. Kalau tidak dengan Locianpwe, sungguh saya tidak berani bicara soal itu. Hanya satu hal yang amat membingungkan hati saya, Locianpwe. Saya sudah banyak mendengar akan kebijaksanaan kaisar yang pandai mempergunakan orang-orang bijaksana, sehingga buktinya Locianpwe menghabakan diri kepada kaisar. Hal ini saja sudah cukup bagi saya untuk membuktikan kebenaran kabar yang saya dengar itu. Akan tetapi, Locianpwe. Mengapa dalam tempat yang bersih disimpan barang yang kotor? Mengapa kaisar yang bijaksana memelihara srigala dan harimau buas? Mengapa orang-orang macam mereka itu diangkat menjadi pengawal-pengawal?”

“Mengapa tidak? Hal itu justeru menunjukkan betapa bijaksananya kaisar! Dapat menjinakkan srigala dan harimau sehingga mengubah mereka dari binatang-binatang buas perusak tiada guna menjadi anjing-anjing penjaga yang amat berguna, betapa bijaksananya itu! Jauh lebih bijaksana daripada membiarkan mereka berkeliaran bebas melakukan pengrusakkan sehingga perlu mengerahkan tenaga untuk mengejar-ngejar dan berusaha membasmi mereka!”

Keng Hong tidak membantah, akan tetapi diam-diam dia tidak menyetujui kebijaksanaan itu. Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri.

“Cia Keng Hong, kuperingatkan kepadamu, jangan sekali lagi engkau mengacau istana, karena kalau engkau ulangi lain kali aku sendiri tentu akan ikut muncul untuk menentangmu! Aku suka kepadamu, akan tetapi kalau urusan pribadimu kau bawa-bawa ke istana sehingga mengacaukan istana, terpaksa aku melupakan rasa sukaku kepadamu. Selamat tinggal!”

Setelah berkata demikian, kakek aneh itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Keng Hong memandang bengong, teringat akan nasihat Panglima The Ho dan juga nasihat pengawal lihai Tio Hok Gwan. Baru pergi belasan langkah, Siauw-bin Kuncu menoleh dan berkata,

“Aku mendengar bahwa pengawal rahasia wanita itu mempunyai pondok di luar kota raja sebelah barat, pondok mungil warna merah!”

Setelah berkata demikian, kakek itu bergerak cepat sekali dan seperti juga dahulu. Keng Hong merasa geli dan kagum melihat kakek itu meloncat-loncat dengan kedua lengan digerakkan seperti seekor ayam lari akan tetapi gerakannya cepat sekali. Juga hatinya girang. Ternyata biarpun mulut orang-orang seperti Siauw-bin Kun-cu dan Tio Hok Gwan menentangnya, namun di hati mereka itu berfihak kepadanya dalam menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Ia harus bersabar dan menanti saat dan kesempatan baik untuk menyergap Cui Im di luar istana, dan kalau mungkin di luar kota raja.

Bayangan putih itu berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata manusia biasa saking cepatnya. Kalau ada orang melihat bayangan putih itu berkelebat di dalam hutan itu, mendengar isak tangisnya, tentu orang itu akan mengira bahwa yang berkelebatan itu adalah iblis penghuni hutan! Bayangan putih itu adalah Biauw Eng. Dara ini setelah melarikan diri dari kota raja lalu berlari ke utara. Di sepanjang jalan ia menangis, menangis dengan hati pilu. Ibunya telah dibunuh bekas sucinya dan denda ini bukan hanya tidak dapat ia balas, bahkan ia kehilangan Lai Sek, pemuda yang amat mencintanya.

Dua peristiwa ini, kematian ibunya dan Lai Sek, merupakan malapetaka hebat yang amat melukai hatinya, akan tetapi lebih hebat lagi adalah luka di hatinya karena pertemuannya dengan Keng Hong. Dia harus mengakui bahwa cinta kasihnya terhadap Keng Hong tidak lenyap, bahkan makin mendalam. Akan tetapi setelah ia menguji hati Keng Hong, ternyata bahwa Keng Hong tidaklah setulus dia cintanya. Keng Hong hanya mencinta tubuhnya, mencinta kecantikannya sehingga ketika ia mencoba dan membohonginya, mengatakan bahwa tubuhnya telah dimiliki Lai Sek, pemuda itu menjadi marah dan menghinanya! Ah, betapa dangkal cinta kasih Keng Hong terhadap dirinya, kiranya sama saja dengan cinta kasih pemuda itu terhadap Cui Im atau terhadap para wanita yang pernah dilayaninya bermain cinta.

Cinta pemuda itu sifatnya hanya badani belaka, cinta nafsu, cinta berahi! Buktinya, begitu mendengar bahwa tubuhnya telah dijamah pria lain, Keng Hong menjadi marah. Padahal, cinta kasihnya terhadap Keng Hong amatlah murni. Dia sudah memaafkan Keng Hong walaupun dia tahu bahwa pemuda itu telah bermain cinta dengan Cui Im dan dengan gadis-gadis lain. Cintanya amat mendalam dan dia sudah berkabung untuk pemuda itu selama bertahun-tahun. Biarpun tadinya menyangka bahwa pemuda itu telah tewas, ia tetap mencinta Keng Hong. Dan kini, setelah bertemu dengan pemuda yang ternyata masih hidup itu, ia dikecewakan! Makin diingat, makin sakit hatinya dan dengan tubuh lemas Biauw Eng menjatuhkan diri di atas rumput dalam hutan itu.

“Ahhh, Keng Hong…. alangkah kejam hatimu…!”

Tentu saja ia melarikan diri dari Keng Hong karena maklum bahwa kalau ia mengikatkan diri dengan pemuda itu, akhirnya ia hanya akan dianggap sebagai sebuah benda indah, dijadikan benda permainannya. Tentu saja dia tidak sudi. Lebih baik berpisah! Akan tetapi, betapa sengsaranya perasaan hatinya terpisah dari pria yang dicintanya!

“Aduhhh…, daripada menderita siksa batin seperti ini, lebih baik aku mati saja…! mati menyusul ibu… Menyusul ayah….”

Makin terisak ia menangis ketika teringat bahwa dia adalah puteri Sin-jiu Kiam-ong. Dia belum pernah bertemu dengan ayahnya. Dan Keng Hong adalah murid ayahnya, murid yang terkasih! Kalau saja ia dapat bersanding dengan Keng Hong, akan terobatilah rindunya kepada ayahnya. Akan tetapi Keng Hong….!

“Lebih baik aku mati…!”

Dan gadis itu menangis sesenggukan, air matanya seperti air sungai meluap, membasahi kedua pipinya, terus menurun ke dagu dan menetes ke dada.

Akan tetapi Biauw Eng adalah seorang gadis yang semenjak kecilnya digembleng kegagahan oleh mendiang ibunya. Semenjak kecil dia diajar menghadapi segala apa pun di dunia ini penuh ketahanan, penuh keberanian dan kepercayaan kepada diri sendiri. Kini, pikiran ingin mati hanya terucapkan di mulut karena dorongan rasa duka yang amat mendalam. Di dalam hatinya, tidak seujung rambut pun keinginan untuk mati, apalagi bunuh diri yang dianggapnya perbuatan seorang pengecut. Ia tidak takut apa pun juga, mengapa takut melanjutkan hidup. Pula, kematian ibunya belum terbalas! Pada saat itu, tidak mungkin bagi dia untuk membalas dendam karena jelaslah bahwa menghadapi Cui Im, dia tidak dapat berbuat apa-apa.

Bekas sucinya itu, yang dahulu bekas lawannya dan akan dapat ia kalahkan dengan mudah, kini telah menjadi seorang wanita yang amat lihai, memiliki kepandaian ynag jauh mengatasinya. Apalagi di sebelah Cui Im terdapat Siauw Lek yang juga amat lihai. Kalau saja ada Keng Hong di sampingnya, tentu mereka berdua akan dapat mengalahkan Cui Im dan Siauw Lek. Keng Hong….! Ah, tak dapat diharapkan dan ia pun tidak sudi minta pertolongan pemuda berhati palsu itu! Dia tidak takut mati, akan tetapi dia pun bukan seorang tolol yang menyerahkan kematian begitu saja denagn nekat menyerang Cui Im. Ibunya dahulu meberi tahu bahwa dengan nekat menyerang lawan yang jauh lebih kuat sehingga diri sendiri dirobohkan, bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan perbuatan seorang tolol! Habis, apa yang akan ia lakukan?

“Aduh, ibu…!”

Biauw Eng menangis lagi, baru pertama kali ini selama hidupnya ia merasa tidak berdaya, kehabisan akal dan kehabisan semangat. Luka di hati karena asmara memang amat pedih, apalagi kalau dirasakan dan dikenang. Memang sesungguhnya bukan apa-apa, karena luka seperti itu akan lenyap dengan sendirinya, akan sembuh tanpa diobati. Obatnya hanya tidak memikirkannya lagi dan mencurahkan pikiran untuk hal-hal lain yang banyak terdapat dalam hidup. Akhirnya tentu akan lenyap dan kemudian orang yang tadinya terluka asmara akan tertawa geli kalau mengenang kelakuannya sendiri.

Akan tetapi kalau dikenang dan dirasakan, memang tidak ada luka lebih pedih daripada luka asmara, tidak ada penyakit yang lebih parah dan berat daripada penyakit asmara! Tidak, dia tidak akan mati! Dia tidak boleh putus asa! Ia teringat akan ibunya. Ibunya dahulu juga disakitkan hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong! Ayahnya, atau guru Keng Hong telah menggoda ibunya, bahkan lebih jauh perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, yaitu telah melakukan hubungan cinta dengan ibunya sehingga ibunya mengandung! Dan ayahnya itu tidak pernah kembali kepada ibunya. Biarpun demikian, ibunya tidak putus asa, bahkan lalu mengasingkan diri dan berhasil memiliki ilmu kepandaian tinggi, menjadi Lam-hai Sin-ni, tokoh pertama dari semua datuk hitam! Mengapa dia tidak meniru perbuatan ibunya?

Ia akan pergi jauh, jauh dari tempat ramai, menggembleng diri dengan ilmu sehingga ia akan dapat memiliki ilmu kepandaian yang akan dapat mengatasi Cui Im! Dia lebih beralasan untuk hidup daripada ibunya dahulu! Dia akan menggembleng diri dan kelak akan membalas dendamnya kepada Cui Im! Pikiran ini mendatangkan semangat baru dalam hati Biauw Eng. Tidak, dia tidak akan putus asa. Sedikitnya, hubungannya dengan Keng Hong belum sejauh hubungan antara ibunya dengan Sin-jiu Kiam-ong! Dia masih gadis. Lai Sek sekalipun, Lai Sek yang amat mencintanya, yang selalu siap berkorban apa saja untuknya, bahkan yang telah ia serahi seluruh tubuhnya, Lai Sek pun tak pernah menyentuhnya! Sungguh seorang pemuda yang hebat! Cinta kasihnya demikian murni! Kalau saja Keng Hong memiliki cinta kasih seperti Lai Sek. Ah, tidak perlu memikirkan Keng Hong lagi.

“Aku tidak boleh memikirkannya lagi. Dia laki-laki yang tidak berharga! Aku…. benci kepadanya!”

Biauw Eng melompat bangun lalu lari secepatnya ke utara.

Ia lari seperti dikejar setan, dan memang dia melarikan diri untuk lari dari bisikan yang mengejarnya, bisikan bahwa tidak mungkin ia dapat melupakan Keng Hong, bahwa tidak mungkin ia dapat membencinya. Betapapun cepat ia lari, suara bisikan ini terud mengejarnya, terus terdengar oleh telinganya karena yang berbisik adalah hatinya sendiri. Ah, cinta! Sungguh engkau dapat berubah dari seorang dewi pembawa bahagia menjadi seorang iblis yang kejam pembawa derita sengsara! Dan betapa bodohya orang muda yang sudah dicengkeram kuku-kuku beracun dari asmara! Lebih lagi, betapa bodohnya seorang pemuda seperti Keng Hong yang tadinya tidak dapat membedakan antara cinta kasih seorang gadis seperti Biauw Eng dari cinta nafsu seorang wanita macam Cui Im!

Biauw Eng melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah. Hanya kalau kakinya sudah mogok saking lelahnya, baru ia beristirahat. Kalau matanya sudah hampir tak dapat dibuka saking kantuknya, baru dia tidur dan kalau perutnya sudah tak dapat menahan laparnya, baru ia mencari makanan pengisi perut. Berbulan-bulan dara yang merana karena asmara ini melakukan perjalananke utara dan pada suatu pagi ia memasuki sebuah hutan di lereng Pegunungan Go-bi-san. Pakaiannya yang berwarna putih itu masih bersih karena sering kali dia berhenti dan mencucinya di sungai atau danau, akan tetapi pakaian itu sudah banyak yang robek, juga sepatunya sudah bolong-bolong. Kulit mukanya yang biasanya halus putih itu kini agak hitam karena setiap hari dibakar terik matahari.

Hanya ada perubahan yang amat menyolok, yaitu pada pandang mata gadis ini. Dahulu, ketika masih bersama ibunya, ketika namanya terkenal sebagai Song-Siu-li (Dara Jelita Berkabung) pandang mata, sikap dan bicaranya dingin seperti sebuah gunung es, dingin akan tetapi amat ganas dan ia dapat membunuh lawannya dengan mata tanpa berkedip. Akan tetapi kini pandang matanya bersinar-sinar penuh api dan semangat, tanda bahwa di dalam hatinya terkandung cita-cita yang amat besar. Selain pandang matanya berubah panas, juga ada kematangan dalam sikap dan suaranya. Kematangan seorang dara muda yang tergembleng oleh tekanan-tekanan batin yang hebat. Keadaan di hutan itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Banyak tetumbuhan yang aneh dan tak pernah dijumpainya di selatan.

Juga banyak terdapat burung-burung indah beraneka warna bulunya. Banyak pula kembang-kembang yang indah bentuk maupun warnnanya. Biauw Eng duduk beristirahat di bawah pohon, memperhatikan bunga kuning yang tumbuh di dekatnya. Bunga itu aneh bentuknya, dapat dikatakan buruk dan tidak berbau wangi. Tak jauh dari bunga kuning ini tumbuh bunga lain yang warnanya merah, bentuknya indah seperti bunga kiok-hwa (seruni) dan berbau harum. Bunga ini dikelilingi beberapa ekor kumbang yang seolah-olah berebut hendak memasuki kelopak bunga merah dan menghisap madunya. Bunga kuning yang buruk itu tidak dihiraukan kumbang. Biauw Eng menarik napas panjang mengulur lengan dan menyentuh bunga kuning dengan ujung jari-jari tangannya, sentuhan halus penuh kasih sayang dan rasa iba.

“Jangan berduka, bunga kuning,”

Bisiknya menghibur.

“Dalam kesepianu, engkau lebih bahagia daripada bunga merah itu.

Biauw Eng memperhatikan bunga-bunga itu dan menghela napas panjang. Betapa sama nasib bunga-bunga ini dengan nasib para wanita. Di mana-mana, seperti bunga-bunga ini, wanita menjadi permainan kaum pria. Hanya wanita-wanita cantik yang dikejar-kejar kumbang. Pria dan kumbang sama saja. Pria tertarik oleh kecantikan wanita seperti kumbang tertarik oleh keharuman madu kembang. Kembang-kembang yang tidak harum, seperti kaum wanita yang tidak cantik, tidak dipedulikan dan tersia-sia. Namun, kembang-kembang tidak harum dan wanita-wanita tidak cantik tidaklah lebih sengsara daripada nasib kembang-kembang harum atau wanita-wanita cantik. Kembang bermadu setelah madunya habis dihisap kumbang, lalu ditinggal pergi tanpa pamit oleh si kumbang.

Wanita cantik setelah dipermainkan oleh pria, seperti kembang habis madunya, seperti tebu habis manisnya, lalu disia-siakan dan ditinggal begitu saja! Seperti ibunya! Dan dia tidak mau dijadikan seperti ibunya seperti kembang beradu harum yang kelak disia-siakan. Tidak, lebih baik menjadi kembang kuning yang tidak dipedulikan kumbang, akan lebih segar dan dapat bertahan lama, tidak mudah layu! Persetan dengan kumbang-kumbang palsu itu! Persetan dengan cinta kasih pria-pria palsu yang hanya membutuhkan kecantikan wajah dan keindahan tubuh! Tiba-tiba rasa bencinya kepada kaum pria yang mempunyai cinta kasih palsu melimpah dan membuat Biauw Eng marah kepada kumbang-kumbang itu. Tangan kirinya bergerak menampar dan empat ekor kubang besar terkena tamparan tangannya, terbanting hancur di atas tanah, di bawah kembang kuning. Biauw Eng memandang puas.

“Tersenyumlah, kembang kuning. Tertawalah, dan lihat kumbang-kumbang palsu itu kini menjadi bangkai, sebentar lagi membusuk dan dimakan semut!”

Saking gembiranya dan puas hatinya melihat “kumbang-kumbang berhati palsu”

Itu tewas, Biauw Eng bicara dengan keras, seolah-olah kembang kuning merupakan seorang wanita lain yang perlu dihibur hatinya. Tiba-tiba, agaknya terkejut oleh suaranya, dua ekor kijang berbulu coklat berkuningan seperti emas meloncat keluar dari balik semak-semak. Biauw Eng terkejut dan memandang, ketawa senang dan ia merasa kagum sekali menyaksikan dua ekor kijang jantan betina yang berkejaran itu. Saking gembiranya, Biauw Eng lupa diri dan seperti seorang anak kecil yang nakal, ia pun lalu mengerahkan ginkangnya dan meloncat pula, lari mengikuti dua ekor kijang yang berlari naik ke bukit.

Dua ekor kijang berlari makin cepat dan kelihatan ketakutan, mengira bahwa manusia yang dapat berlari cepat di belakang mereka itu mengejar mereka dan hendak menangkap mereka. Mereka mengeluarkan suara ketakutan dan lari kacau balau. Melihat ini, Biauw Eng menjadi kasihan dan mengikuti dari jauh agar dua ekor kijang itu tidak menjadi ketakutan. Ia berniat untuk mendekati mereka secara sembunyi agar dia dapat memandang mereka sepuas hatinya. Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang amat nyaring, yang menggetarkan seluruh permukaan bukit. Gerengan ini disusul suara mengembik yang menyayat hati, dua kali beruntun. Biauw Eng terkejut bukan main dan cepat ia meloncat tubuhnya berkelebat mengejar ke arah suara. Ketika ia tiba di tempat itu, dara ini memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali saking marahnya.

Dua ekor kijang jantan dan betina yang berkejaran tadi kini telah menjadi bangkai, leher mereka terluka dan robek, darah mereka menjadi satu membasahi rumput dan di antara bangkai kedua kijang itu berdiri seekor harimau besar yang mengaum perlahan lalu mencium-cium darah dan tubuh kijang, agaknya hendak menikmati baunya yang sedap dan gurih sebelum mengganyangnya. Harimau itu besar seperti anak lembu, bulunya kehitaman, ekornya panjang melingkar dan yang aneh sekali adalah sebuah tanduk yang tumbuh di antara kedua telinganya yang kecil! Akan tetapi Biauw Eng tidak memperdulikan keanehan binatang ini. Hatinya telah dikuasai nafsu amarah dan sambil mengeluarkan jerit melengking ke depan, menerjang hariau bertanduk satu itu. Dalam kemarahannya, Biauw Eng menubruk maju dan menghantam dengan tenaga sekuatnya ke arah kepala harimau yang ada tanduknya itu.

“Siuuuuuuttt…. werrrrrrr!”

“Aihhhhh!”

Biauw Eng berseru kaget karena pukulannya yang cepat dan kuat itu mengenai tempat kosong! Ternyata harimau bertanduk itu telah dapat mengelakkan pukulannya.

Padahal pukulan tadi tidak akan mudah dielakan begitu saja oleh seorang ahli silat yang belum memiliki kepandaian tinggi! Tentu saja merupakan hal yang amat aneh kalau seekor binatang dapat mengelak dengan gerakan yang begitu cepat akan tetapi juga seenaknya saja karena Biauw Eng melihat betapa harimau itu mengelak secara tenang tidak tergesa-gesa, hanya dengan miringkan kepala ke kiri! Biauw Eng yang marah sekali melihat sepasang kijang menjadi bangkai diterkam oleh harimau ganas ini, cepat memutar tubuh dan melanjutkan gerakannya dengan sebuah tendangan. Ujung sepatunya meluncur cepat menyambar bawah iga binatang itu. Akan tetapi, sambil mengaum harimau itu kini mengelak dengan loncatan ke belakang dan kaki depan kiri yang bercakar runcing tiba-tiba diangkat menampar ke arah kaki Biauw Eng!

“Ehhh…..!”

Biauw Eng terpaksa menarik kembali kakinya. Ia tidak takut dicakar, akan tetapi celana dan sepatunya bisa dirobek kalau terkait kuku-kuku yang kuat itu. Ia makin heran dan penasaran. Dua kali dia menyerang dan dua kali binatang itu mampu mengelak, bahkan balas mencakar ke arah kakinya. Biauw Eng hampir tidak percaya.

Cepat ia menerjang lagi, kini menggunakan seluruh kecepatan gerakannya, melambung dan ketika tubuhnya menubruk dan menukik, tangan kirinya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah mata harimau itu, dan tangan kanannya diiringkan menghantam ke arah tengkuk. Dua serangan ini ia lakukan sambil mengerahkan Iweekang. Melihat gadis itu yang malah menerkamnya, harimau tanduk satu mengangkat muka, agaknya terheran, akan tetapi begitu angin serangan yang dahsyat menyambar, harimau mengaum dan tiba-tiba tubuhnya merendah dan diputar, lalu kaki depan kanannya membuat gerakan melingkar, menangkis tusukan jari ke arah matanya, sedangkan tangan kanan Biauw Eng yang menghantam tengkuk itu ditangkisnya dengan ekornya yang panjang, yang dipergunakan seperti cambuk diayun dari belakang.

“Plakkk! Dukkk!”

“Hayaaaaaa….!”

Biauw Eng cepat melempar diri ke belakang. Tangkisan-tangkisan itu membuat kedua pukulannya tertahan dan harimau agaknya menjadi marah itu tadi sambil menangkis sudah menggerakkan kepala menggigit sehingga Biauw Eng terpaksa melempar tubuh ke belakang. Akan tetapi baru saja meloncat turun, harimau yang marah itu sudah menerjangnya dan membalas dengan serangan yang dilakukan secara aneh,

Bukan menubruk seperti harimau-harimau biasa, melainkan menggerakkan kedua kaki depan bertubi-tubi mencakarnya dari kanan kiri, sedangkan tubhnya bergerak maju dengan kaki belakang saja. seperti gerakan manusia! Biauw Eng melangkah mundur dan melolos sabuknya. Dalam keadaan biasa kiranya gadis ini akan merasa malu menggunakan senjatanya menghadapi seekor binatang hutan. Akan tetapi, ia sudah merasa amat marah melihat sepasang kijang yang dibunuh dan ia tahu bahwa harimau ini bukan sembarangan harimau, melainkan seekor harimau yang memiliki kelebihan daripada harimau lain. Gerakannya selain cepat dan kuat, juga aneh, mirip gerakan yang terlatih, gerakan yang memiliki dasar ilmu silat!

“Binatang jahat dan kejam, mampuslah!”

Biauw Eng membentak dan tangannya bergerak. Sinar putih menyambar ke depan, sinar putih panjang dari sabuk suteranya. Dengan sabuk suteranya ini, dahulu Biauw Eng amat dikenal dan ditakuti lawan, karena memang hebat permainan sabuk suteranya yang dala segebrakan saja mampu merapas senjata lawan, kalau perlu mampu merampas nyawa lawan! Kini ujung sabuk sutera itu melayang ke arah kepala, tenggorokan dan lambung harimau dengan kecepatan yang menyilaukan mata. Ujung sabuk yang bergerak bertubi-tubi itu seolah-olah berubah menjadi pukulan banyaknya dan ketika menyambar ke arah harimau mengeluarkan bunyi bercuitan mengerikan.

“Cuiiiiiittttt…. dar-dar-dar…!”

Tiga kali ujung sabuk sutera yang tidak mengenai sasaran itu meledak di tempat kosong. Sekali ini Biauw Eng benar-benar terkejut. Binatang buas itu mampu mengelak serangan sabuk suteranya secara beruntun tiga kali dengan cara menggulingkan diri. Mana di dunia ini ada harimau yang mempunyai akal untuk mengelak sambil bergulingan?

Dan bukan sampai disitu saja karena tiba-tiba harimau itu mengaum dan tubuhnya yang tadi bergulingan itu kini berguling mendekat dan secara mendadak sekali tubuh yang kehitaman itu mencelat ke atas dan sudah menubruk ke arah Biauw Eng dengan gerakan dahsyat. Keempat kakinya bergerak hendak mencengkeram akan tetapi dengan cakar-cakar digerak-gerakkan sehingga sukar ditentukan kemana keempat buah cakar yang mengerikan itu akan mencengkeram, dan serangan ini didahului oleh sebatang “cambuk”

Yaitu ekornya yang digerakkan lebih dulu, bukan menyabet seperti buntut harimau biasa, akan tetapi ekor ini dari bawah menjadi sebatang toya lurus yang menyodok ke arah leher Biauw Eng. Hebat bukan main serangan binatang itu karena sekali serang, buntutnya menotok leher, keempat cakar kakinya mencengkeram dan mulutnya yang terbuka menggigiit kepala!

“Aihhhhh….!”

Biauw Eng kaget, akan tetapi tidak menjadi gugup. Ia merendahkan tubuh, tidak mengelak mundur, bahkan cepat ia menyusup ke bawah tubuh harimau yang sedang meloncat. Harimau menggereng, agaknya menjadi bingung dan merasa diakali oleh lawan karena selagi tubuhnya meloncat tak mungkin membalik. Hanya buntutnya yang dapat digerakkan secara tidak terduga oleh Biauw Eng dan tiba-tiba menyabet ke bawah selagi gadis itu menyusup. Hal ini sungguh tidak terduga oleh Biauw Eng sehingga pundaknya terpukul ekor harimau yang menyambar. Dan ternyata pukulan itu amat keras sehingga Biauw Eng terbanting ke kanan dan pundaknya terasa nyeri seperti dipukul toya oleh lawan yang bertenaga besar!

Kini Biauw Eng marah sekali. Ia tidak memperdulikan rasa nyeri di pundak cepat ia melompat bangun dan pada saaat harimau itu melayang turun, sabuk suteranya sudah menyambar ganas, merupakan dua sinar putih karena yang menyambar adalah kedua ujungnya sedangkan dara itu memegang bagian tengah. Kedua ujung sabuk itu dengan kecepatan kilat sudah menyambar dan membelit keempat kaki harimau itu, ujung pertama membelit kedua kaki belakang, ujung ke dua membelit dua kaki depan. Harimau menggereng dan meronta, namun sia-sia karena tubuhnya tiba-tiba terangkat naik tanpa dapat ditahannya lagi. Harimau masih meronta-ronta ketika Biauw Eng mengerahkan tenaga menggerakkan tangan. Tubuh harimau yang sudah dibelenggu oleh kedua ujung sabuk itu kini terbanting ke bawah menghantam sebuah batu gunung.

“Desssss!”

Batu itu remuk dan harimau itu menggerang-gerang kesakitan. Kembali tubuhnya terangkat dan kini menghantam sebuah batu lain yang lebih besar, hanya kali ini ia terbanting dengan kepala lebih dulu.

“Prokkk!”

Dan kembali batu yang pecah biarpun kepala harimau itu pun terluka dan berdarah. Biauw Eng menjadi penasaran. Betapa kuatnya harimau itu. Saking marah dan penasaran, berkali-kali ia membanting tubuh harimau yang sudah tak berdaya itu sampai kepala harimau itu pecah-pecah. Sebelum tewas harimau itu mengeluarkan suara mengaum yang amat dahsyat dan nyaring, menggetarkan gunung. Biauw Eng lalu melontarkan bangkai harimau itu jauh memasuki jurang. Kemudian Biauw Eng menghampiri bangkai sepasang kijang berjongkok dan memandang bangkai sepasang kijang itu dengan kening berkerut karena kasihan. Akan tetapi kemarahannya mereda dan sekarang, dalam keadaan tidak panas hatinya, baru ia teringat dan terheran-heran penuh kekaguman akan kelihaian harimau itu.

Baru keadaannya sudah aneh, kepalanya bertanduk, sungguhpun dalam perkelahian tadi ia melihat bahwa benda di kepalanya itu bukan tanduk keras macam lembu, melainkan segumpal daging yang tumbuh di antara kedua telinga. Selain keadaanya yang aneh, juga kini ia teringat betapa gerakan harimau tidak wajar. Gerakan-gerakannya mengandung tehnik ilmu silat! Cara kaki depan menangkis dari samping dengan gerakan memutar dan membesut, cara buntut harimau itu menangkis dan menyerang, semua itu adalah gerakan ilmu silat! Kemudian Biauw Eng termenung memandangi bangkai dua ekor kijang itu dan ia merasa heran teringat akan kelakuannya sendiri. Harimau itu membunuh dua ekor kijang ini karena lapar, karena kijang-kijang ini akan dijadikan mangsanya. Kenapa ia marah-marah dan membunuh harimau itu? Hal ini tidak biasa ia lakukan. Mengapa ia menjadi marah melihat harimau membunuh kijang?

Bukankah hal itu sudah sewajarnya dan dahulu sudah sering kali ia melihat kejadian seperti ini tanpa terpengaruh sedikitpun? Ia memandang lagi dan tiba-tiba mengertilah dia, lalu menghela napas panjang. Tadi ia melihat dua ekor kijang itu, sepasang kijang indah, jantan dan betina yang kelihatan rukun. Hatinya yang baru diobrak-abrik asmara itu tadi merasa mesra dan penuh gairah menyaksikan pasangan kijang ini, mengingatkan ia akan Keng Hong. Betapa akan mesra dan bahagianya kalau dia bersama Keng Hong bisa hidup rukun berdampingan seperti sepasang kijang itu. Dan harimau itu kemudian muncul menghancurkan kemesraan yang memenuhi dada. Melihat sepasang kijang rebah menjadi bangkai yang berlumuran darah, ia seolah-olah merasa bahwa si harimau juga menghancurkan kebahagiannya bersama Keng Hong, maka bangkitlah kemarahannya yang luar biasa.

“Ah, Keng Hong… Engkau membuat aku tidak hanya menjadi merana, juga menjadi… Gila!”

Keluhnya dan kini hatinya mulai merasa menyesal mengapa ia membunuh harimau yang sesungguhnya tidak bersalah apa-apa terhadap dirinya itu. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras, teriakan-teriakan yang makin lama makin mendekati tepat itu. Biauw Eng terkejut dan cepat meloncat bangun sambil melibatkan sabuk suteranya di pinggang. Tak lama kemudian muncullah tiga belas orang wanita. Mereka muncul dari berbagai jurusan, ada yang berlari-larian dari atas, ada yang meloncat keluar dari jurang. Gerakan mereka gesit-gesit dan mereka memakai pakaian seragam berwarna kuning. Tangan mereka memegang pedang dan gerakan mereka gesit sekali. Sambil bertteriak-teriak marah mereka mengurung Biauw Eng yang berdiri tegak dengan sikap tenang.

“Dia membunuh tuan muda..!”

Beberapa orang di antara mereka berteriak sambil menangis.

“Dia menyiksa tubuh tuan muda…., hi-hi-hik!”

Beberapa orang lagi berseru dan”. Tertawa-tawa. Melihat sikap mereka, meremang bulu tengkuk Biauw Eng. Wajah tiga belas orang wanita yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun itu rata-rata cantik, akan tetapi sinar mata mereka liar seperti mata orang yang miring otaknya! Mereka menangis dan tertawa tidak karuan, meloncat-loncat seperti orang menari mengelilinginya.

“Kalian ini mau apakah?”

Biauw Eng membentak.

“Siapa pula yang membunuh tuan muda?”

“Kau yang membunuh siauw-ya (tuan muda)!”

Seorang di antara mereka, yang membiarkan rambutnya terurai dan yang kelihatan paling tua di antara mereka juga paling cantik, membentak dengan suara seperti orang menangis, akan tetapi bentakan marah itu disusul suara ketawa cekikikan!

“Aku? Tuan muda yang manakah yang kubunuh?”

Biauw Eng bertanya, tengkuknya terasa dingin dan hatinya merasa serem. Mudah di duga bahwa wanita yang mengurai rambut ini tidak waras pikirannya. Akan tetapi kalau gila, masa tiga belas orang wanita yang melihat pakaiannya merupakan pasukan seragam ini gila semua?

“Eh, engkau masih berpura-pura? Engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw (Harimau Tanduk Satu)! Mayatnya kau lempar ke dalam jurang!”

Sambil berkata demikian wanita itu menggerakkan pedangnya menyerang.

“Srattttt… Sing-sing….!”

Cepat sekali gerakan pedangnya, sekaligus sudah membacok satu kali dan menusuk dua kali. Biauw Eng mengelak tiga kali lalu meloncat mundur, akan tetapi tiga belas orang wanita itu sudah menerjangnya dan menggunakan ginkangnya mengelak ke sana-sini sambil beerseru.

“Heeeeee! Nanti dulu, apakah kalian sudah gila semua? Yang kubunuh adalah seekor binatang! Seekor harimau karena dia telah membunuh sepasang kijang. Aku tidak membunuh seorang manusia, bagaimana kalian menuduhku membunuh tuan muda kalian?”

Tiba-tiba tiga belas wanita itu tertawa semua, tertawa dan dengan telunjuk kiri menuding ke arah hidung Biauw Eng, lalu tertawa lagi terpingkal-pingkal. Melihat ini, Biauw Eng makin terheran dan serem, bahkan otomatis dia meraba hidungnya sendiri. Mengapa hidungnya ditunjuk dan ditertawakan? Hidungnya tidak apa-apa dan gerakannya itu agaknya memancing kegelian hati mereka karena meledaklah suara ketawa mereka makin keras, bahkan ada yang memegangi perut menahan ketawa.

“Hi-hi-hik, heh-heh, engkau sendiri gila mengatakan kami gila! Engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw dan masih menyangkal? Hayo lekas berlutut untuk kami belenggu dan kami bawa menghadap Thai-houw (Ratu)!”

Kata pemimpin pasukan itu dan kembali Biauw Eng terkejut. Apakah di tempat seperti itu ada ratunya? Kalau harimau mereka sebut tuan muda, bagaimana macamnya ratu mereka? Tentu mereka ini sekawanan manusia jahat yang sengaja hendak mempermainkannya, dan marah Biauw Eng. Ia tadi melihat gerakan mereka amat gesit dan lihai, aka ia lalu meloloskan sabuk suteranya dan berkata dengan suara nyaring,

“Kalian ini orang-orang gila jangan main-main dengan aku! Pergilah atau kalian akan mampus seperti harimau siluman itu!”

Tiga belas orang wanita itu tertawa cekikikan, akan tetapi di antara suara ketawa ini terdengar oleh Biauw Eng suara tangis, sehingga keadaan amat menyeramkan.

Gadis ini menjadi serem karena baru saja ia mengeluh dan merasa menyesal bahwa dia telah membunuh harimau, merasa bahwa Keng Hong membuatnya menjadi gila. Kini, tiga belas orang wanita itu sikapnya begitu aneh dan ia menganggap mereka seperti gila. Benar gilakah mereka ini? Ataukah…, dia sendiri yang sebetulnya gila sehingga hal yang wajar tampak olehnya sebagai tidak wajar? Ia mengkirik dan kemarahan memenuhi hatinya. Ia merasa ditertawakan dan dihina, maka sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring ia lalu menerjang maju, menggerakkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Tiga belas orang wanita baju kuning itu berteriak-teriak dan mengeroyoknya. Biarpun mereka cekikikan seperti orang gila, namun ternyata gerakan mereka selain ringan cepat dan kuat, juga teratur baik sekali sebagai pasukan yang terlatih.

Gulungan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng selalu bertemu dengan sambaran-sambaran pedang yang datang bagaikan hujan. Terpaksa Biauw Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ternyata olehnya bahwa tiga belas orang itu benar-benat amat lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Gerakan pedang mereka aneh, kadang-kadang membacok atau menusuk secara kasar seperti gerakan tukang menebang pohon saja, akan tetapi kadang-kadang gerakan mereka melingkar-lingkar dan sukar sekali diduga kemana hendak menyerang. Namun Biauw Eng adalah seorang wanita yang sejak kecil telah dilatih dengan ilmu silat tinggi maka dengan tenang ia dapat menangkis semua serangan dengan membuat benteng dari sinar putih yang mengelilingi tubuhnya secara rapat sekali. Yang membingungkan adalah gerakan tubuh dan kaki para pengeroyoknya.

Mereka itu bergerak-gerak aneh, kadang-kadang seperti monyet menggoda, dan kadang-kadang seperti tarian manusia-manusia yang liar. Meloncat-loncat, berjongkok, bahkan ada yang bergulingan di atas tanah menyerang dengan pedang membabat ke arah kaki. Ada pula yang meloncat tinggi dan seperti burung mematuk, pedangnya menusuk-nusuk ke arah kepala Biauw Eng! Biauw Eng terheran-heran. Ilmu silat apakah yang mereka mainkan itu? Dala hal ginkang dan tenaga sinkang, ia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi menghadapi ilmu silat edan-edanan yang selama hidupnya belum pernah ia saksikan itu, ia benar-benar tidak berani bersikap sembrono dan melawan dengan hati-hati sekali. Setelah ia melawan dengan pertahanan ketat sampai lima puluh jurus sambil memperhatikan gerakan mereka,

Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa di balik semua gerakan anak-anak dan edan-edanan itu sebetulnya bersembunyi ilmu silat yang dasarnya tinggi dan indah sekali. Gerakan aneh-aneh itu hanya terbawa oleh sifat mereka dan juga dipergunakan untuk mengacau lawan! Sebagai seorang ahli silat tinggi, begitu mengenal dasar mereka, Biauw Eng dapat melihat gerakan-gerakan yang mengandung kelemahan dari mereka yang lebih rendah, maka sekali ia berseru keras secara tiba-tiba ia merebahkan tubuh terlentang akan tetapi berbarengan sabuk suteranya menyambar dengan lingkaran lebar ke arah kaki tiga belas orang yang mengurungnya! Terdegat jerit-jerit dan tertawa-tawa dan dua orang yang terjungkal roboh karena terlibat sabuk sutera kakinya. Akan tetapi Biauw Eng cepat menarik kembali sabuknya dan menggunakan kedua tangan menekan tanah sehingga tubuhnya sudah mencelat berdiri di atas tanah.

Tepat seperti dugaannya, sebelas orang yang berhasil mengelak dari serampangan sabuknya kini menusuk atau membacok pinggangnya. Ia berseru keras, tubuhnya meloncat tinggi. Ia maklum bahwa pedang-pedang itu akan mengejarnya, maka cepat ia menggunakan kedua kakinya membarengi saat semua pedang menyambar, menginjak pedang-pedang itu, meminjam tenaga mereka mengenjot tubuhnya ke atas. Sebelas batang pedang yang kena dienjot itu tertekan ke bawah sehingga memperlambat gerakan mereka, dan pada saat itu, tubuh Biauw Eng yang sudah melayang ke atas cepat membuat gerakan membalik, kepalanya menukik ke bawah dan sinar putih sabuk suteranya menyambar dari atas ke arah kepala orang-orang itu.

“Wuuuttt… Trang-trang-cringggg…!”

Beberapa batang pedang yang menangkisnya terlempar, beberapa orang lagi meloncat jauh menghindar, akan tetapi ada tiga orang yang kurang cepat mengelak sehingga pundak mereka terkena totokan ujung sabuk. Mereka terguling roboh dan…. tertawa cekikikan, padahal yang kena ditotok ujung sabuk adalah jalan darah kin-ceng-hiat-to dan tiong-ca-hiat-to. Mestinya mereka yang tertotok ini mengalami penderitaan karena nyeri, akan tetapi mereka tidak mengeluh tidak menangis malah tertawa sambil meraba-raba pundak!

Dua orang sudah roboh karena kaki mereka terkilir uratnya, tak dapat bangun, tiga orang lagi tertotok roboh, tinggal delapan orang yang kini mulai mengurung lagi. Mata mereka makin liar berputaran, mulut menyeringai, ada yang menjilat-jilat bibir basah dengan ujung lidah merah kecil meruncing,sikap mereka amat menyeramkan. Akan tetapi ada perasaan kasihan timbul di hati Biauw Eng. Dara ini sekarang merasa yakin bahwa yang mengeroyoknya adalah pasukan wanita yang miring otaknya alias gila! Ia pikir lebih baik melarikan diri dari situ meninggalkan orang-orang gila yang sebetulnya tidak berdosa ini. Akan tetapi selagi ia berpikir hendak pergi meninggalkan mereka, tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring melengking, ketawa merdu sekali, akan tetapi ternyata mengandung wibawa hebat bagi delapan serta merta mereka itu menjatuhkan diri berlutut sambil berseru,

“Sian-li datang….!”

Biauw Eng cepat menoleh ke arah wanita-wanita itu menghadap terkejut mendengar mereka menyebut sian-li (dewi) kepada wanita yang tertawa merdu tadi.

Ia makin terheran dan terkejut ketika melihat seorang wanita muda berpakaian serba merah. Wanita itu masih muda, hanya dua tiga tahun lebih tua dari padanya, berwajah cantik manis dan bersikap gagah, matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi, akan tetapi di balik kemanisan wajahnya ini terbayang kebengisan dan kekerasan hati. Pakaian yang berwarna merah dan dipinggangnya juga tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir kembang-kembang merah pula. Dua orang gadis jelita itu berdiri berhadapan dan saling pandang. Diam-diam Biauw Eng bergidik. Kalau para pelayannya yang tiga belas orang itu gila, apakah majikannya tidak lebih gila? Akan tetapi, pelayan-pelayannya sudah begitu lihai, tentu majikannya lebih lihai! Maka ia bersikap waspada, menggulung sabuk sutera dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.

“Apa yang terjadi di sini?”

Suara wanita baju merah itu halus dan merdu, sikapnya tenang sekali sehingga Biauw Eng menjadi kagum dan lebih hati-hati lagi. Sikap ini saja sudah menimbulkan dugaan bahwa wanita ini tentu amat lihai.

“Tanpa sebab aku dikeroyok oleh pasukan ini, terpaksa aku membela diri,”

Kata Biauw Eng mendahului orang-orang gila itu.

“Hi-hi-hik, orang gila ini bicaranya tidak karuan, Sianli. Dia melakukan tiga macam kesalahan besar. Pertama, dia membikin marah Thai-houw, ke dua, dia membikin sakit hati Sianli, dan ke tiga, dia menyerang kami!”

Kata wanita gila berambut riap-riapan.

“Bohong!”

Biauw Eng berteriak marah dan penasaran.”Mereka itulah yang gila dan miring otaknya!”

“Kau yang gila!”

Teriak tiga belas orang itu berbarengan.

“Kalian yang gila!”

Biauw Eng balas berteriak, tak kalah nyaring.

“Kau……!”

Tiga belas orang itu membalas.

“Kalian!”

Biauw Eng berseru pula. Beberapa kali tiga belas orang itu dan Biauw Eng saling mengatakan gila. Dara baju merah mengangkat tangan dan tiga belas orang wanita itu diam, terpaksa Biauw Eng juga diam.

“Hemmm, ternyata kalian semua ini gila. Eh, orang berbaju putih dekil kotor. Benarkah engkau telah melakukan tiga dosa besar itu?”

“Tidak! Bohong semua. Coba buktikan, orang-orang gila. Tiga dosa apakah yang kulakukan? Mengapa aku membikin marah Thai-houw kalian sedangkan bertemu pun belum?”

Wanita berurai rambut bangkit berdiri dan menuding ke arah hidung Biauw Eng.

“Tentu saja engkau membikin marah Thai-houw. Engkau memasuki wilayah kekuasaan Thai-houw tanpa ijin, bukankah hal itu berarti engkau membikin marah Thai-houw?”

Biauw Eng meraba-raba dagunya. Biarpun alasan yang dikemukakan alasan gila, namun tak dapat disangkal, memang akibatnya akan memarahkan orang yang berkuasa di situ, biarpun ia tidak sengaja melanggar wilayah orang. Ia masih penasaran dan bertanya.

“Kenapa kalian katakan aku menyakitkan hati Sianli dan menyerang kalian?”

“Dosamu ke dua, engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw yang menjadi kesayangan Sianli, bukankah berarti engkau menyakitkan hati Sianli? Dan engkau menyerang kami, kalau tidak menyerang, bagaimana lima orang teman kami bisa roboh? Hayo sangkal kalau bisa, orang gila!”

Biauw Eng mengerutkan alis. Mereka itu gila, akan tetapi agaknya memiliki kepandaian berdebat melebihi pokrol bambu! Percuma saja berdebat dengan orang gila, pikirnya. Maka ia lalu menghadapi gadis baju merah yang agaknya tidak gila itu lalu berkata,

“Aku kebetulan lewat di tempat ini, tidak tahu bahwa aku melanggar wilayah orang. Kemudian aku melihat seekor harimau membunuh dua ekor kijang, maka aku lalu membunuh binatang ganas itu. Tiba-tiba mereka ini muncul dan mengeroyokku, terpaksa aku membela diri dan kalau di antara mereka ada yang roboh, hal itu sudah wajar dalam pertandingan.”

“Siapa namamu?”

Tiba-tiba gadis berpakaian merah itu bertanya.

“Namaku Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng,”

Biauw Eng memperkenalkan nama julukannya karena bermaksud agar wanita itu tidak akan memandang rendah kapadanya. Akan tetapi ia kecelik, karena wanita itu seolah-olah tidak kaget mendengar nama julukan yang amat terkenal di dunia kang-ouw itu, bahkan bertanya,

“Julukanmu Gadis Berkabung? Untuk kematian siapa engkau berkabung?”

Pertanyaan ini membuat Biauw Eng tertegun sejenak. Semenjak kecil ia suka berpakaian putih, bukan untuk berkabung dan dia mendapat julukan “Berkabung”

Karena pakaiannya yang selalu putih itu. Kini pertanyaan itu membuatnya berpikir dan tanpa ragu-ragu ia menjawab,

“Aku berkabung untuk ayah bundaku yang sudah tiada.”

“Kenapa engkau memakai pakaian putih?”

Pertanyaan tolol, ataukah gila? Biauw Eng mengerutkan keningnya dan menjawab tak sabar,

“Tentu saja berpakaian putih, kan sudah jelas aku berkabung?”

Tiba-tiba wanita cantik berpakaian merah itu tertawa, suara ketawanya seperti tadi, nyaring dan merdu sekali dan anehnya, seperti juga tadi, wanita-wanita gila yang mendengar suara ketawa ini lalu menundukkan muka seperti orang ketakutan. Apakah suara ketawa itu merupakan tanda bahwa gadis itu sedang marah?

“Mengapa engkau tertawa?”

Biauw Eng bertanya, suaranya dingin dan marah, Gadis baju merah itu tertawa makin nyaring.

“Siapa tidak akan tertawa mendengar engkau berkabung memakai pakaian putih? Lihat, aku pun berkabung karena kematian ayah bundaku, dan aku memakai pakaian serba merah. Ini baru benar-benar berkabung!”

Biauw Eng mengangkat muka dan memandang wajah yang cantik manis itu penuh perhatian. Celaka, pikirnya. Agaknya gadis cantik yang kelihatannya waras ini pun ternyata tidak kalah gilanya dengan ketiga belas orang pelayannya!

“Hemmm, seluruh dunia mengakui bahwa warna berkabung adalah putih yang berarti suci dan warna duka. Kalau engkau berkabung memakai pakaian merah, terserah kepadamu,”

Jawab Biauw Eng yang menganggap tiada akan ada gunanya berdebat dengan orang berotak miring.

“Hi-hi-hi-hi-hik, alangkah lucunya! Siapa bilang warna putih itu suci? Apanya yang suci? Mengapa warna putih dianggap sebagai warna berkabung dan duka? Yang berkabung itu hatinya, ataukah pakaiannya dan warna pakaiannya?”

Diam-diam Biauw Eng mendongkol karena betapapun gilanya bantahan itu, memang sukar untuk dijawab. Memang harus ia akui bahwa yang menentukan berkabung atau tidaknya, berduka atau tidaknya, bukanlah warna pakaian melainkan hati orangnya.

“Sesukamulah, aku tidak ada waktu untuk mengobrol lagi. Aku hendak pergi dari sini!”

Biauw Eng lalu meloncat hendak pergi, gerakannya cepat sekali. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan merah melesat cepat seperti kilat menyambar dan tahu-tahu gadis pakaian merah itu sudah berdiri menghadang di depannya.

“Engkau mau apa?”

Bentaknya marah, tidak takut sedikitpun biar ia tahu bahwa gadis itu ternyata memiliki ginkang yang luar biasa.

“Mau apa? Mau membunuhmu! Apakah sepasang kijang itu milikmu?”

“Bukan”

“Nah, engkau telah membunuh kesayanganku sekarang engkau harus menjadi penggantinya, menjadi kesayangan dan teman mainku, kalau tidak mau aku akan membunuhmu.”

“Gila! Kau kira aku takut kepadamu?”

Biauw Eng tak dapat menahan marahnya lagi dan ia sudah menubruk dan memukul ke arah muka wanita baju merah itu. Gadis itu tertawa, mengangkat tangan dan menangkis.

“Dukkk!”

Dua buah lengan yang berkulit putih halus bertemu, dua tenaga dahsyat dari sinkang yang kuat bertumbuk. Akibatnya, Biauw Eng terhuyung ke belakang dan tubuh gadis baju merah itu bergoyang-goyang.

“Hi-hi-hik, tenagamu boleh juga!”

Gadis berpakaian merah itu tertawa.

“Engkau lebih kuat daripada Tok-kak-houw, pantas dia kalah. Engkau akan menjadi teman main yang lebih menyenangkan.”

“Tidak sudi!”

Biauw Eng membentak. Tentu saja dia marah sekali. Masa dia hendak dijadikan seekor harimau yang menjadi binatang peliharaan? Karena maklum akan kelihaian lawan, Biauw Eng sudah meloloskan sabuk suteranya dan ia menggerakkan pergelangan tangan.

“Hi-hi-hik, bagus sekali! Mari kita main-main!”

Si nona berpakaian merah tertawa dan sinar merah berkelebat ketika ia mencabut pedangnya.

“Wuuuttt.. wirrrr…. cringgg….!”

Sinar putih dan sinar hitam itu pecah membuyar dan masing-masing menarik kembali senjatanya ketika ujung sabuk sutera bertemu pedang hitam, membuat tangan mereka tergetar. Biauw Eng terkejut bukan main. Gila atau tidak, gadis baju merah itu benar-benar memiliki sinkang yang kuat, ginkang yang tinggi dan senjata pedang yang ampuh!

“Bagus, engkau lihai juga, Sie Biauw Eng! Jagalah pedangku ini!”

Gadis baju merah itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking ketawa yang amat aneh sehingga Biauw Eng merasa jantungnya berdebar dan sinar bergulung-gulung berwarna hitam datang menyambar seperti badai datang mengamuk. Biauw Eng kaget, cepat memutar sabuk suteranya dan bertandinglah dua orang gadis cantik itu dengan seru. Tiga belas orang wanita yang sikapnya seperti gila itu ternyata amat suka menonton pertandingan silat. Mereka kini bangkit berdiri dan menonton, bahkan yang tadi dirobohkan Biauw Eng juga menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Mata yang tadinya liar berputar itu kini kehilangan sifat liarnya, seperti mata orang waras dan memang hanya dalam hal ilmu silat saja mereka ini dapat mengerahkan perhatian maka dapat mempelajari ilmu silat sampai mencapai tingkat tinggi.

Betapapun juga, kini menyaksikan pertandingan hebat itu pandang mata mereka menjadi kabur dan kepala mereka terasa pening. Yang tampak oleh mereka hanyalah sinar hitam dan putih bergulung-gulung dan mereka mendengar suara ketawa merdu dari wanita baju merah diselingi pujian-pujian akan kelihaian Biauw Eng. Puteri Lam-hai Sin-ni makin lama menjadi makin kaget dan juga kagum sekali. Memang banyak sudah ia bertemu tanding yang lihai, akan tetapi selain bekas sucinya yang kini amat lihai, belum pernah ia bertemu dengan wanita sebaya yang memiliki kepandaian seperti wanita baju merah ini. Hatinya panas mendengar pujian-pujian dan suara ketawa yang keluar dari mulut lawannya. Dia sudah mandi keringat dan harus mengerahkan semua tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, tidak berani memecah perhatian.

Akan tetapi lawannya masih bisa tertawa-tawa dan memujinya. Pujian itu bagi telinganya merupakan ejekan yang memanas hati. Maka ia melengking nyaring dan mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in-sin-pian (Ilmu Cambuk Awan Putih). Ilmu silat ini sebetulnya diperuntukkan senjata joan-pian, yaitu ruyung lemas atau senjata seperti cambuk. Akan tetapi karena senjata Biauw Eng yang istimewa adalah sabuk sutera, maka kini ilmu itu dimainkan dengan sabuknya dan ibunya dahulu sengaja menciptakan ilmu yang khusus untuk sabuknya diambil dari dasar-dasar Pek-in-sin-pian itu. Segera sabuknya mengeluarkan suara bercuitan dan diakhiri dengan ledakan-ledakan yang keluar dari ujung sabuk yang dilepas kemudian ditarik tiba-tiba seperti orang membunyikan cambuk.

“Hi-hi-hik, ilmu cambuk yang luar biasa!”

Wanita baju merah itu berseru keras, akan tetapi seruannya itu disusul pekik kaget ketika tiba-tiba pedangnya terlibat ujung sabuk dan tanpa dapat ia tahan lagi, pedang itu terlepas dari tangannya direnggut sabuk dan terlempar ke atas tanah! Pada detik berikutnya, wanita baju merah itu sudah menyambar ujung sabuk sutera dan terjadillah perebutan ketika mereka saling membetot sabuk sutera. Biauw Eng maklum bahwa kalau mereka berdua berkeras mengeluarkan tenaga, sabuknya akan putus dan hal ini tidak akan menguntungkannya. Maka tiba-tiba ia melepas sabuknya sehingga ujung yang tadi dipegangnya melecut ke arah muka lawan. Wanita itu lihai sekali, melepaskan ujung sabuk sambil menggulingkan tubuh ke atas tanah. Sabuk sutera itu melayang ke belakangnya dan ia tidak mau mengambilnya. Bahkan ia tertawa-tawa dan meloncat maju menghadapi Biauw Eng dengan tangan kosong.

“Hi-hi-hik, bagus sekali. Engkau teman main yang menyenangkan. Mari kita main-main dengan tangan kosong!”

Melihat datangnya pukulan, Biauw Eng mengelak dan balas menendang, namun lawannya sudah meloncat ke belakang sambil terkekeh. Biauw Eng kini merasa ragu-ragu.

Agaknya lawannya ini yang dianggapnya gila dan jahat, belum tentu benar-benar jahat, karena siapa tahu maksud kata-katanya teman main adalah teman berlatih. Mungkin sekali harimau tanduk satu yang juga lihai itu selain menjadi binatang peliharaan, juga menjadi teman berlatih silat! Agaknya dia bukan dihina, bukan hendak dijadikan binatang peliharaan teman bermain-main, melainkan dijadikan teman berlatih silat. Berkuranglah kemarahannya akan tetapi ia pun merasa penasaran. Dalam pertandingan tadi, dialah yang sesungguhnya terdesak karena ilmu pedang wanita itu benar-benar luar biasa sekali. Kalau ia tadi berhasil merampas pedang, hal itu mungkin karena lawannya terkejut dan bingung menyaksikan perubahan permainan sabuk suteranya, atau mungkin juga lawannya sengaja menyerahkan pedang untuk merampas sabuk sutera!

Dan hasil pertandingan mengadu senjata tadi masih sama kuat, belum ada yang kalah karena keduanya kehilangan senjata. Dalam hal ilmu silat tangan kosong, Biauw Eng juga amat lihai, maka ia tidak menjadi jerih dan menghadapi lawannya penuh semangat. Akan tetapi, setelah lewat tiga puluh jurus saling menyerang, saling mengelak dan menangkis, tiba-tiba Biauw Eng terkejut sekali menyaksikan perubahan luar biasa pada permainan silat lawan. Kini lawannya itu bersilat dengan aneh bukan main, gerakan-gerakannya kadang-kadang lemas dan indah melebihi keindahan orang menari, kadang-kadang amat kaku dan buruk seperti monyet pincang menari! Dan kadang-kadang bahkan secara tiba-tiba menjatuhkan diri duduk dan membanting-banting kedua kaki sambil menangis seperti seorang bocah nakal sedang ngambek!

Akan tetapi dalam keadaan seperti itu diserang, tiba-tiba mencelat dan membalas serangan dengan lebih hebat! Makin aneh gerakan wanita baju merah itu, makin sukar dilawan karena Biauw Eng menjadi bingung sekali. Lima puluh jurus telah lewat dan beberapa kali Biauw Eng tertegun dan berhenti setengah jalan dalam penyerangannya karena melihat gerakan lawan yang terlalu aneh. Ia mencoba untuk menyatukan pikiran dan tidak mempedulikan sikap lawan yang luar biasa itu. Sambil berteriak ia menerjang maju, memukul ke arah peruh lawan. Nona baju merah menangkis dan karena posisinya miring ia terhuyung. Baiuw Eng mendesak akan tetapi tiba-tiba lawannya itu berteriak keras sekali. Biauw Eng siap menghadapi terjangan balasan lawan karena teriakan itu biasanya mendahului serangan yang dahsyat.

Karena ia tidak berani memandang rendah lawan yang ia tahu amat lihai, mendengar teriakan itu ia siap membela diri. Wanita baju merah itu benar saja menggerakkan kedua tangan, yang kiri ditudingkan ke depan, ke arah hidung Biauw Eng, mulutnya tertawa dan tangan kanan dikepal, terus dihantamkan ke arah…. mukanya sendiri! Biauw Eng terhenti gerakannya, matanya terbelalak lebar saking herannya. Biarpun hanya sedetik dua detik ia terpesona dan terheran, namun yang sedetik dua detik ini sudah cukup mendatangkan bencana baginya karena tahu-tahu kaki lawannya sudah “menyelonong”

Dan ujung sepatu merah menyentuh lututnya. Tanpa dapat dielakkannya lagi, tubuh Biauw Eng roboh miring dan sebuah totokan di pundak dan punggung membuat ia tak dapat berkutik lagi!

Lima orang anggota pasukan baju kuning sambil tertawa-tawa menubruk dan mengikat tubuh Biauw Eng seperti orang mengikat seekor domba yang hendak disembelih, kemudian beramai-ramai mereka mengangkat dan menggotong tubuh Biauw Eng, dibawa naik ke atas sebuah puncak sambil tertawa-tawa gembira. Sikap mereka mengingatkan Biauw Eng akan sikap serombongan pemburu yang pulang membawa seekor harimau hasil buruan. Ia bergidik. Akan diapakankah dia? Segala kemungkinan bisa saja terjadi atas dirinya di tangan orang-orang gila ini. Apakah mereka akan memanggangnya seperti orang memanggang domba di atas api sampai kulit dagingnya menjadi setengah matang untuk diganyang dengan teman arak wangi?

Kembali ia bergidik dan meramkan matanya, tidak tahan memandangi wajah yang cantik-cantik akan tetapi yang menyeringai seperti muka kuda sakit gigi itu. Akan tetapi setelah rombongan aneh ini membawanya tiba di puncak, mata Biauw Eng terbelalak memandang ke depan dan kembali ia meragukan apakah mereka itu yang gila ataukah dia sendiri yang sudah berubah pandang mata dan pikirannya sehingga hal-hal yang sebetulnya biasa dan wajar dia anggap aneh dan gila. Jangan-jangan dia sendiri yang telah gila. Ingin ia menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi tidak dapat karena kedua tangan dan kedua kakinya dibelenggu pada kayu pikulan di mana ia digotong seperti seekor domba. Yang membuat ia terbelalak keheranan adalah ketika ia melihat adanya bangunan besar di puncak itu.

Bangunan itu besar dan megah, akan tetapi bentuknya sungguh tidak lumrah bangunan manusia. bentuknya pletat-pletot, bulat bukan persegi pun bukan. Tiang rumah yang biasanya dan seharusnya lurus itu berbentuk bengkang-bengkong tidak karuan, tembok yang biasanya rata itu brenjal-brenjol tinggi-rendah tidak karuan pula. Lantainya tidak rata, melainkan penuh lekuk-lengkung sehingga kalau tidak hati-hati berjalan di situ bisa tersanjung atau terjeblos! Pintunya sekecil jendela, sebaliknya jendelanya selebar pintu. Daun pintu bangunan itu dibuka dengan engsel di kanan kiri, atau terbuka dengan mengangkat daun pintu ke atas, melainkan daun pintunya amblas ke dalam lantai. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah ia melihat rumah seperti itu. Agaknya pembuatnya adalah orang-orang dengan pikiran kanak-kanak atau pikiran tidak waras!

Ataukah…. Pikirannya sendiri dan pandang matanya yang sudah berubah sehingga ia melihat sesuatu yang wajar akan tetapi kelihatan aneh? Para pemikulnya melemparkannya di depan pintu gedung aneh itu, dan mereka semua, termasuk gadis pakaian merah berdiri di pinggiran. Tiga belas orang pelayan itu berlutut dan menyembah dengan muka mencium tanah, sedangkan gadis pakaian merah itu berlutut dengan sebelah kaki. Tak lama kemudian terdengar suara ketawa dari dalam gedung. Suara ketawa terkekeh aneh dan menyeramkan, seperti suara ketawa kuntilanak. Tubuh ketiga belas orang anak buah pasukan baju kuning tidak ada yang bergerak, muka mereka tetap menempel tanah, sedangkan gadis baju merah yang berlutut dengan kaki kiri itu menunduk, sikapnya penuh hormat.

Hati Biauw Eng berdebar tidak karuan. Mahluk apakah yang tertawa seperti itu? Mengingatkan ia akan suara burung hantu yang berbunyi pada tengah malam di tengah tanah kuburan. Apakah ia akan diserahkan mahluk ajaib yang akan mengganyangnya mentah-mentah? Ia bergidik dan membuka mata lebar-lebar penuh perhatian ke arah lubang pintu yang hitam gelap. Suara ketawa disusul suara batuk-batuk serak dan agak lega hati Biauw Eng. Betapapun juga, yang dapat batuk-batuk seperti itu tentulah seorang manusia. Akan tetapi manusia macam apakah? Terdengar bunyi kaki diseret dan ketukan tongkat, tidak rata bunyinya dan Biauw Eng mengerti bahwa orang yang berjalan di atas lantai berlekuk-lengkung, seperti itu mana bisa rata langkahnya? Tentu sambil berloncatan kalau tidak mau tertelungkup.

Kini muncullah orang yang tertawa dan batuk-batuk itu. Kiranya seorang nenek yang tua sekali, mukanya sudah kempot peyot dan karena ia tertawa lebar, tampak mulutnya tidak bergigi sama sekali. Matanya sipit hampir tertutup, keriput, rambutnya putih semua, muntel seperti kapas basah, seluruh kulit tubuhnya yang tampak, dari muka, leher dan tangan, penuh keriput karena kelebihan kulit kekurangan daging. Biarpun nenek itu sudah kelihatan tua sekali, akan tetapi pakaiannya amat mewah dan indah, terbuat daripada sutera halus dari barat dan berkembang-kembang lima macam warna, kuning merah biru hitam dan putih! Sepatunya sulaman dan rambut yang putih tinggal sedikit itu dihias burung hong emas bertabur mutiara! Nenek ini memegang tongkat dan tongkatnya pun terbuat daripada gading yang kepalanya diukir indah merupakan kepala liong.

Sukar ditaksir berapa usia nenek ini, tentu sedikitnya ada seratus tahun. Bukan main, pikir Biauw Eng, setengah geli akan tetapi juga heran dan merasa ngeri hatinya. Inilah agaknya sang ratu yang menjadi peran utama di tempat ini! Ia mengingat-ingat akan penuturan ibunya dahulu tentang nama tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw bagian utara, akan tetapi seingatnya ibunya belum pernah menyebut-nyebut seorang nenek yang masih pesolek seperti ini, yang tinggal di rumah gila dan mempunyai pasukan wanita gila pula! Seingatnya, seorang di antara Bu-tek Su-kwi atau empat iblis tanpa tanding, yang disebut pula empat datuk hitam, yang menguasai daerah utara adalah Pat-jiu Sian-ong, di timur Ang-bin Kwi-bo dan di selatan adalah ibunya sendiri.

Adapun tokoh-tokoh di Go-bi-san, yang ia dengar adalah Go-bi-pai atau partai persilatan Go-bi-san yang tersohor ilmu pedangnya dan termasuk golongan putih yang pimpinannya adalah hwesio-hwesio dari barat. Di samping Pak-san Kwi-ong, memang ada tokoh-tokoh Go-bi-san yang tergolong tokoh sesat, yaitu Go-bi Chit-kwi (Tujuh Iblis Go-bi) yang dahulu pernah hampir memperkosa ibunya akan tetapi mereka dipukul mundur oleh Sin-jiu Kiam-ong, sehingga ibunya yang masih gadis menjadi tergila-gila kepada pendekar itu. Akan tetapi Go-bi Chit-kwi sudah mati dan kini yang ada hanya muridnya, yaitu Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang menjadi sahabat bekas sucinya. Akan tetapi nenek gila dan aneh ini? Dia belum pernah mendengarnya!

“Heh-heh-heh! Hun Bwe muridku yang hebat, dewiku yang cantik, untuk apa engkau membawa pula hasil buruan seperti ini? Hi-hi-hi, dagingnya tentu tidak enak dan kalau dipelihara, dia ini gila, bukan?”

“Dia gila segila-gilanya, Thai-houw….!”

Tiga belas orang anak buah pasukan baju kuning menjawab serentak.

“Dia mengatakan hamba semua gila, hi-hi-hik, ha-ha!”

Perempuan berurai rambut berkata sambil tertawa.

“Hush, aku tidak tanya kamu! Mengapa mulutmu terbuka? Bau!”

Sang ratu itu memencet hidungnya. Melihat ini hampir saja Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya. Benar-benar ia telah memasuki dunianya orang gila.

“Apa engkau pagi tadi menyikat gigimu?”

Tiba-tiba nenek itu bertanya kepada si rambut riap-riapan.

“Sudah, Thai-houw.”

“Perlihatkan gigimu!”

Wanita itu meringis sehingga deretan giginya yang putih seperti mutiara itu tampak semua. Nenek itu menggangguk-angguk.

“Baik, akan tetapi awas, kalau gigimu kotor dan bau, akan kucabuti semua. Gigiku dahulu tinggal sebuah, kuning dan bau maka kucabut sekali. Sekarang bersih. Nah, lihat, bagus dan tidak bau,kan?”

Nenek itu meringis sehingga tampak gusinya yang kemerahan dan gundul tanpa gigi. Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya dan biarpun kaki tangannya masih terbelenggu, gadis ini cekikikan, tak dapat menahan kegelian hatinya. Melihat ini, nenek itu mencela muridnya yang berpakaian merah.

“Hun Bwe, bagaimana ini? Kulihat dia waras! Dapat tertawa sehat!”

Gadis berpakain merah itu cepat menjawab,

“Dia memang gila, Subo, akan tetapi bisa disembuhkan.”

“Hemmm, begitukah? Eh, mengapa dia dibelenggu? Kalau mau dipelihara, harus dibebaskan agar dia senang.”

“Dia lihai sekali subo. Teecu khawatir dia memberontak.”

“Di depanku, mana bisa memberontak?”

Nenek itu menggerakkan tongkatnya, dan Biauw Eng terkejut bukan main. Tongkat itu menyambar bagaikan kilat ke arah tubuhnya. Dia memejamkan mata, siap menerima datangnya pukulan maut. Ia maklum bahwa menghadapi pukulan tongkat yang anginnya mendatangkan rasa dingin sekali itu ia takkan dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi betapa herannya ketika tiba-tiba kaki tangannya sudah terbebas daripada belenggu! Ia kagum bukan main, membuka matanya dan melihat betapa tali-tali kuat yang tadi mengikatnya sudah putus seperti dibabat pedang tajam. Padahal tongkat di tangan nenek itu runcing pun tidak melainkan tumpul. Cepat ia meloncat bangun dengan sigapnya, siap untuk mempertahankan diri dan membela diri mati-matian sebelum menyerah.

“Heh, di depan ratumu engkau berani berdiri? Hayo berlutut!”

Nenek itu membentak. Biauw Eng adalah seorang gadis yang berhati keras dan tabah, tentu saja ia tidak sudi berlutut di depan nenek gila ini, biarpun nenek ini menamakan dirinya seorang ratu. Akan tetapi sebelum ia membantah, tampak sinar kuning berkelebat ke arah kakinya. Biauw Eng hanya melihat sinar, dapat menduga bahwa dia diserang maka cepat ia meloncat untuk mengelak. Akan tetapi sinar yang ternyata adalah tongkat nenek itu mengejar ke atas, kakinya ditotok dan ia roboh kembali ke atas tanah!

“Heh-heh-heh, berlutut.. rebahlah….!”

Nenek itu berjingkrak-jingkrak kegirangan. Merah seluruh wajah Biauw Eng, merah saking malu dan marahnya. Ia meloncat bangun lagi, akan tetapi sekali ini bukan sinar kuning tongkat nenek itu yang menyambar, melainkan tangan kiri nenek yang kurus itu mendorong ke depan. Biauw Eng cepat mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi seperti juga tadi, percuma saja ia meloncat ke kiri karena pukulan jarak jauh itu tetap saja mengenai tubuhnya dan ia sekali lagi roboh terguling!”

“Nenek iblis!”

Biauw Eng memaki sambil meloncat bangun lagi karena biarpun ia roboh, ternyata hawa pukulan nenek itu tidak melukainya, hanya membuatnya terjengkang karena hawa pukulan itu amat kuat.

“Bagus, terima kasih, nona manis! Aku memang nenek iblis, juga nenek ratu! Pujianmu kuterima dengan hati terbuka!”

Nenek itu berjingkrak kegirangan seperti seorang anak kecil mendapat pujian. Melihat ini, Biauw Eng tercengang. Benar-benar nenek yang miring otaknya dan agaknya nenek ini lihai sekali. Kalau ia tidak cepat merobohkan nenek ini, tentu tidak aka harapan lagi baginya terlepas dari tangan orang-orang gila ini. Pasukan baju kuning dapat ia atasi, sedangkan gadis baju merah biarpun lihai, dapat pula ia tahan karena tidak selihai nenek ini. Ia menggunakan kesempatan selagi nenek itu menari-nari dan memutar tubuh, secepat kilat ia menghantam punggung nenek itu dari belakang.

“Wuuuuuuttt….. bleggg!!”

Pukulan Biauw Eng tepat mengenai punggung nenek itu, dan sekali ini ia mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dilatih sambil merendam tangan dalam godokan lima macam racun karenanya dinamai Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun).

Tadi dalam pertandingan melawan gadis baju merah ia tidak tega menggunakan tangan beracun itu, akan tetapi kini menghadapi nenek yang demikian lihainya, yang perlu ia pukul mati agar ia dapat bebas, ia terpaksa mengeluarkan pukulan ini, bahkan memukul dari belakang. Pukulannya mengenai punggung dengan tepat. Nenek itu mengeluh dan terguling miring, dari mulutnya mengeluarkan darah hitam, tanda bahwa pukulan itu mengenai sasaran dan jantung nenek itu telah keracunan. Anehnya, baik nona baju merah maupun tiga belas orang perempuan baju kuning diam saja seperti patung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk memutar tubuh dan hendak lari meninggalkan puncak. Akan tetapi baru melangkah beberapa tindak, terdengar suara ketawa,

“Heh-heh-heh, dewiku yang manis, kau hendak terbang ke mana?”

Biauw Eng terkejut mengenal suara nenek itu dan pada saat itu pun ia terguling roboh karena kedua kakinya kena diserampang tongkat gading.

Biauw Eng menggulingkan diri mendekati tambang yang tadi dipergunakan mengikat tubuhnya. Ia melihat nenek yang tadinya roboh mati oleh pukulannya itu kini telah berdiri lagi dan terkekeh-kekeh. Kiranya nenek itu tidak apa-apa dan tadi hanya mempermainkannya saja. akan tetapi mengapa mulutnya keluar darah hitam? Biauw Eng bergidik, maklum bahwa nenek ini luar biasa lihainya, memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia, lebih lihai daripada ibunya sendiri. Sabuk suteranya telah lenyap ketika ia bertanding melawan nona baju merah tadi, maka ia teringat akan tambang yang tadi mengikat dirinya. Tambang itu pun merupakan benda lemas maka ia dapat pergunakan sebagai senjatanya. Begitu ia meraba tambang, ia cepat meloncat ke arah tubuh nenek itu, sekaligus ujung tambang menotok ketiga belas jalan darah di depan tubuh yang mematikan!

“Heh-heh-heh, engkau memiliki dasar yang lebih baik daripada Hun Bwe…!”

Dengan matanya sendiri Biauw Eng melihat betapa totokannya yang bertubi-tubi itu semua mengenai sasaran, akan tetapi nenek itu tidak apa-apa, bahkan akhirnya ujung tambang itu membalik dan menotok dadanya sendiri. Ia cepat menyendal tambang itu sehingga ujung tambang lewat di atas kepalanya. Keringat dingin mulai keluar dari wajah Biauw Eng. Tahulah ia bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Nenek ini memiliki kepandaian yang amat luar bias seperti siluman saja.

“Sumoi, Subo telah mengambilmu sebagai murid, kenapa engkau masih melawan? Hi-hi-hik, Subo, sudah kukatakan bahwa dia ini memang gila. Betul tidak?”

Mendengar ucapan gadis pakaian merah ini. Biauw Eng terkejut. Dia diambil murid? Sejak kapan?

“Subo sudah menyebutmu dewi, berarti engkau menjadi muridnya,”

Kata lagi wanita itu dan setiap kali bicara dengannya, suara wanita baju merah itu tenang dan wajar. Akan tetapi begitu bicara kepada nenek itu atau kepada pasukan baju kuning, gadis baju merah itu lalu ketularan gila! Giranglah hati Biauw Eng. Bukankah dia mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak dapat menghadapi Cui Im?”

Tempat mana yang lebih tepat untuk mengasingkan diri dari dunia ramai daripada tempat aneh di samping sekumpulan orang gila ini? Dan guru mana yang akan dpat menggemblengnya lebih hebat daripada nenek gila yang meiliki kepandaian tidak lumrah manusia ini? Segera ia dapat mengambil keputusan dan cepat Biauw Eng menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata,

“Subo…!”

“Heh-heh-heh, muridku yang manis, engkau tidak lekas memberi hormat?”

Biauw Eng tercengang. Dia sudah berlutut masih disuruh lekas memberi hormat. Penghormatan apalagi yang harus ia lakukan? Cepat ia melakukan pai-kwi (menyembah) sampai delapan kali. Akan tetapi betapa kagetnya ketika nenek itu berkata lagi,

“Lekas engkau memberi hormat kepada gurumu. Apakah kau tidak suka menjadi muridku?”

Biauw Eng menjadi bingung dan wanita berpakaian merah di dekatnya berbisik,

“Lekas kau mencium ujung kedua sepatunya.”

Kemudian nona baju merah itu tertawa.

“Hi-hi-hik, Subo. Bukankah Sumoi ini masih gila dan belum sembuh benar? Akan tetapi teecu percaya dia akan sembuh.”

Biauw Eng terkejut dan hampir saja ia meloncat berdiri untuk memaki-maki nenek itu. Aturan mana ini kalau bukan aturan orang gila? Masa menjadi murid saja harus merendah diri melebihi budak belian, harus mencium kedua ujung sepatu gurunya! Akan tetapi kesadarannya membuat ia mempertimbangkan. Kalau ia bangkit dan menentang, tentu ia akan mati. Ia tidak takut mati, akan tetapi bukankah kematiannya itu akan sia-sia dan bagaimana ia akan dapat membalas dendamnya terhadap Cui Im dibiarkan enak-enak tak terhukum setelah melakukan kekejian terhadap dirinya dan terhadap ibunya? Ia mengeraskan hatinya, lalu menghampiri nenek itu, berlutut dan mencium kedua ujung sepatunya.

“Heh-heh-heh, bagus, bagus, engkau mulai sembuh dari penyakit gilamu! Eh, siapa namamu?”

“Nama teecu Sie Biauw Eng,”

Jawab Biauw Eng, diam-diam mengharap agar nenek itu tidak mengeluarkan perintah yang gila-gila lagi.

“Dukkk…!”

Tubuh Biauw Eng terpental dan bergulingan sampai lima meter jauhnya. Kembali nafsu amarah hampir membuat Biauw Eng meloncat bangun, memaki-maki dan melawan. Biarpun tendangan itu tidak melukainya karena ia sebetulnya hanya didorong pada pundaknya dengan ujung kaki, namun penghinaan itu terlampau berat baginya. Untung bahwa sebelum ia melakukan sesuatu yang tentu akan berakibat hebat sesuatu yang tentu akan berakibat hebat bagi dirinya, nenek itu sudah membentak,

“Engkau she Sie ? Apa hubunganmu dengan Sie Cun Hong??”

Saking herannya mendengar nama mendiang ayahnya disebut-sebut nenek itu. Biauw Eng lupa akan kemarahannya. Nenek ini gila, semua orang yang berada disitu gila. Apa salahnya kalau ia membohong? Semua ucapan mereka pun kacau balau dan tidak ada yang benar!

“Teecu tidak mengenalnya. Mengapa Subo menyebut-nyebut nama itu? Siapakah dia?”

“Dia? Heh-heh-heh, dia laki-laki yang paling tampan, paling gagah perkasa di dunia ini! Dia laki-laki satu-satunya yang kucinta, akan tetapi…. sikeparat gila dia menolakku dengan mengatakan aku berotak miring! Heh-heh-heh!”

Mendengar ini dan melihat nenek itu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian mendengar pula nona baju merah tertawa diikuti gelak tawa ketiga belas orang pasukan kuning, Biauw Eng lalu tertawa pula. Tertawa bergelak, lebih nyaring dari yang lain karena gadis ini tertawa sewajarnya, timbul dari hati yang girang bahwa ayahnya dahulu menolak nenek ini yang semenjak mudanya sudah gila! Melihat sikap Biauw Eng ini, nenek itu kelihatan senang.

“Heh-heh-heh, muridku yang baik, Biauw Eng dewi manis, ternyata engkau sudah sembuh, tidak gila seperti Sie Cun Hong. Biarlah, biar she-mu Sie akan tetapi engkau tidak ada hubungan dengan dia. Kalau masih keluarga, tentu kubunuh sekarang juga engkau. Dan ibumu, di mana ibumu?”

“Ibu sudah meninggal dunia, dibunuh orang. Ayah pun sudah meninggal dunia!”

“Heh-heh-heh-ha-ha! Orang tuamu sudah mati, orang tuaku pun sudah mati. Orang tua Hun Bwe juga sudah mati semua. Ha-ha-ha, betapa sengsara hidup kita, merana sebangkara… Heh-heh-heh!”

“Hi-hi-hik, sungguh sengsara kita!”

Hun Bwe si nona baju merah juga terkekeh. Biauw Eng menjadi bingung, memandang nenek dan “sucinya”

Itu yang tertawa-tawa. Mereka bilang hidup sebatangkara ditinggal mati orang tua akan tetapi mengapa mereka tertawa-tawa? Benar-benar gila! Tiba-tiba nenek itu menghentikan ketawanya dan memandang Biauw Eng.

“Eh, kenapa engkau tidak tertawa? Apakah engkau tidak berduka ditinggal mati orang tuamu?”

Biauw Eng terkejut. Ia memang berduka diingatkan bahwa ibunya telah mati dengan mengenaskan. Akan tetapi mengapa dia disuruh tertawa? Karena tidak dapat menyelami isi hati gurunya ia tertawa akan tetapi tidak seperti tertawa, melainkan menyeringai pahit.

“Wah, ketawamu tidak sedap! Mulutmu bau kalau tertawa seperti itu!”

Nenek itu membentak.

“Subo, Sumoi masih belum sembuh dari gilanya.”

Hun Bwee mengingatkan gurunya yang mengangguk-angguk.

“Benar, hampir aku lupa. Mari kita rayakan kedatanganmu Biauw Eng. Kita rayakan datangnya muridku yang baru!”

Biauw Eng digandeng tangannya oleh Hun Bwe dan diajak memasuki gedung aneh mengikuti guru mereka. Ternyata di sebelah dalam gedang itu amat luas dan biarpun lantainya tidak rata, namun di dalam gedung itu hawanya dingin dan sejuk. Celaka bagi Biauw Eng, semua perabot rumah itu aneh-aneh. Bangku-bangkunya diletakkan terbalik, tempat duduknya di bawah dan empat kakinya mencuat ke atas. Mereka duduk di atas kaki-kaki bangku itu.

Tentu saja amat tidak enak, akan tetapi Biauw Eng yang mulai dapat menyesuaikan diri, bagi orang yang memiliki kepandaian seperti dia, duduk di atas bangku atau di atas ujung tombak sekalipun, sama saja. Mejanya juga aneh, bentuknya segi tiga tidak rata pletat-pletot dan letaknya miring sehingga kalau meletakkan benda di aatas meja itu tentu akan tergelincir jatuh! Akan tetapi melihat permukaan meja yang miring itu kasar dan banyak lubang-lubangnya, mengertilah Biauw Eng bahwa menaruh benda di situ harus menggunakan sinkang sehingga bendanya ditekan menancap pada permukaan meja! Ketika ia melirik ke arah dinding, disitu terdapat gambar-gambar yang aneh. Warnanya menyolok beraneka macam sehingga menyakitkan mata, dan bentuk lukisan itu sendiri aneh sekali. Ada orang yang matanya hanya satu, hidungnya dua,

Bahkan ada lukisan orang yang kepalanya di bawah kakinya di atas, matanya berada di kuku jempol kaki! Banyak pula lukisan yang membuat Biauw Eng menjadi pening kepalanya hanya dengan memandanginya saja. sampai hampir pecah rasa kepalanya hanya dengan memandanginya saja. Sampai hampir pecah rasa kepalanya ketika ia berusaha untuk mengerti lukisan apa sebenarnya yang tergantung itu. Namun tetap saja ia tidak mengerti! Bayangkan saja. Lukisan itu merupakan coretan-coretan halus, malang melintang dan saling membelit seperti lima macam benang ruwet menjadi satu! Ada pula lukisan yang merupakan titik-titik hitam di atas putih, dan yang lebih gila lagi adalah lukisan yang hanya hitam saja tidak berbentuk, tak tentu garisnya, akan tetapi lukisan-lukisan aneh ini di taruh di tempat tertinggi dan ada yang diberi bingkai emas!

“Indah, ya?”

Tiba-tiba nenek itu bertanya kepada Biauw Eng ketika melihat gadis ini memandangi lukisan-lukisan yang menghias dinding. Biauw Eng terpaksa mengangguk-angguk, akan tetapi ia tidak dapat menahan keingin tahuannya dan bertanya,

“Subo, lukisan apakah itu? Apakah lukisan benang lima warna yang ruwet dan awut-awutan?”

“Wah, celaka….! Dasar engkau masih gila, belum sembuh benar, maka tidak bisa mengerti. Itu adalah lukisan yang bernama KECERDASAN!”

Biauw Eng menelan ludah bersama sumpah serapah yang sudah berada di ujung lidah. Lukisan berjudul Kecerdasan? Kecerdasan orang gila!

“Karena engkau gila maka engkau tidak dapat menikmati keindahannya. Lihat saja, betapa goresan si pelukis menjiwai lukisannya. Betapa jelas menggambarkan kecerdasan manusia, seperti benang-benang sutera halusnya, dapat menyusuri setiap liku-liku hidup dan seisi alam mayapada. Hemmm, betapa hebatnya si pelukis!”

Nenek itu mengangguk-angguk.

“Dan yang hitam semua itu, Subo. Apakah itu lukisan keindahan waktu malam gelap tiada bulan?”

“Wah-wah, dasar gila! Itu namanya lukisan ketenangan! Dan yang titik-titik hitam di atas putih itu namanya lukisan Titik-titik Dosa.”

Bukan main! Biauw Eng tidak berani memandang atau bertanya lagi, bukan takut disebut gila oleh gurunya, melainkan takut kalau-kalau ia akan betul-betul gila jika ia dapat mengerti lukisan-lukisan seperti itu! Para anak buah pasukan baju kuning yang kemudian ternyata merupakan pelayan-pelayan dan juga murid-murid si nenek, datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Semua mangkok dan panci berisi hidangan itu mereka taruh di atas meja sambil mengerahkan sinkang mangkok-mangkok itu tertekan di dalam permukaan meja dan tidak jatuh biarpun permukaan itu miring.

“Mari kita pesta, hayo makan, Biauw Eng!”

Biauw Eng mengambil mangkok dan sumpit, akan tetapi begitu sumpitnya menjadi sepotong daging di dalam panci, ia hampir menjerit karena yang disumpinya itu adalah buntut seekor kadal! Tiba-tiba, sebelum ia membuang buntut itu sambil menggigil jijik, kakinya diinjak orang dan ia tahu bahwa yang menyentuh kakinya itu kaki Hun Bwee yang duduk di sebelah kirinya. Ia menoleh dan melihat sedetik mata yang indah dari gadis baju merah itu berkedip. Biauw Eng melihat Hun Bwee sengaja menyumpit sebutir kepala kadal yang mata melotot,

Lalu memasukkan kepala ini ke mulutnya yang merah dan mengunyah, kelihatan enak sekali! Biauw Eng menelan ludah, hampir muntah. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau ia menolak hidangan itu, gurunya yang gila akan marah dan sucinya itu telah memberi isyarat. Mengapa sucinya memberi isyarat ? Ia sambil memejamkan mata seperti orang makan jamu pahit ia memasukkan buntut itu ke mulutnya dan… Ternyata rasanya enak gurih dan baunya sedap. Entah bumbu apa yang digunakan, akan tetapi buktinya enak! Rasa enak ini mengurangi kemuakkannya dan mulailah dia ikut makan. Dapat dibayangkan betapa muak rasa perut Biauw Eng ketika mendapat kenyataan bahwa yang dimasak itu adalah binatang yang tidak biasa dimakan orang waras. Ada sop cacing, ada tim cecak, goreng kacoa kering, ca ular berbisa dan kadal godok!

“Hayo makan yang kenyang, ini rasakan sopnya, wah lezat sekali!”

Nenek itu berkata dan sekali sumpitnya bergerak seonggok cacing memasuki mangkok Biauw Eng! Gadis ini membelalakan matanya, hampir menjerit, akan tetapi kembali Hun Bwee berkedip kepadanya! Biauw Eng meramkan mata, menyumpit cacing dan memasukkan ke mulutnya. Ihhhh, memang enak rasanya akan tetapi licin dan seolah-olah cacing-cacing itu masih hidup, terus saja meluncur memasuki tenggorokannya terus ke perut. Perut Biauw Eng mual dan hampir ia muntah, dan hanya dengan kekuatan kemauannya saja ia dapat bertahan. Setelah pesta makan, nenek itu lalu menari dan semua orang menari, termasuk Biauw Eng. Gadis ini selalu berusaha mencontoh Hun Bwee, akan tetapi melihat sucinya itu mengegal-egolkan pantatnya yang bulat membusung, menjadi geli dan tertawa bergelak.

“Eh, mengapa engkau berduka? Mari bergembira!”

Nenek itu menyela melihat Biauw Eng tertawa dan… Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil menari. Biauw Eng terbelalak heran, lebih lagi kaget dan herannya melihat Hun Bwee juga menangis sambil menari. Juga tiga belas pelayan wanita itu menangis semua, ada yang merauang-raung, ada yang sesunggukan, ada yang mengguguk, ada yang terisak-isak. Mereka menangis sambil menari, menggoyangkan pinggul, meliak-liukkan pinggang yang ramping! Benar-benar lucu dan aneh dan…. Gila! Terpaksa Biauw Eng juga ikut menangis dan karena ia teringat akan nasibnya,betapa ia sampai tersesat ke dunia gila dan terpaksa ikut-ikutan gila, tangisnya paling menyedihkan! Hal ini menyenangkan hati nenek itu. Ia menepuk-nepuk pundak biauw Eng sambil menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus,

“Aahhh… Muridku yang baik…. engkau paling gembira… Ah, hu-hu-huuu, bagus… Engkau menikmati pesta ini… Hu-hu-huuukkk!”

Biauw Eng merasa pening kepalanya, tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis. Akan tetapi hatinya penuh duka, dan ia sengaja mengenangkan ibunya, mengenangkan Keng Hong sehingga hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin mengguguk. Akhirnya pesta berakhir dan Biauw Eng disuruh mengaso, tidur bersama Hun Bwee. Kamar tidurnya juga membuat ia menarik napas panjang. Bukan dipan dengan kasur empuk, melainkan dipan kasar dengan “kasur”

Batu-batu karang yang runcing dan tajam. Ini bukan beristirahat namanya, melainkan menyiksa diri! Melihat wajah sumoinya muram Hun Bwee berbisik.

“Sumoi, kau harus pandai menyesuaikan diri. Pilihlah, tidur di atas dipan, atau tidur bersila di lantai atau tidur… Berdiri.”

Biauw Eng kehilangan kesabarannya. Disambarnya tangan sucinya dan ia berkata.

“Suci, apa artinya ini semua? Aku tahu betul, engkau tidak gila!”

“Sssttttt….!”

Hun Bwee menarik tangan sumoinya, diajak duduk di atas lantai dan ia berbisik lirih sekali di dekat telinga suoinya.

“Kalau subo tahu, kita tentu akan dibunuhnya. Engkau ingin memperdalam ilmu silat, bukan?”

Biauw Eng mengangguk.

“Sudah kuduga, maka engkau mau menjadi murid. Aku pun begitu hanya subolah yang akan dapat menggembleng kita. Aku baru setahun di sini akan tetapi ilmuku maju pesat secara luar biasa. Demi tercapainya cita-cita kita harus berani berkorban dan di sini kita hanya berkorban menyesuaikan diri dalam dunia yang tidak normal. Akan tetapi kau tunggu saja, hal ini bahkan akan dapat memberi kemajuan kepada ilmu silatmu. Setahun yang lalu, ketika aku tiba di sini, kepandaianku masih jauh di bawah tingkatmu sekarang.”

Biauw Eng terkejut. Kalau begitu jelas bahwa kemajuan yang diperoleh sucinya memang hebat sekali.

“Suci, siapakah subo itu..”

“Mari kita berbaring di atas dipan batu-batu karang itu. Baik sekali untuk latihan ginkang. Aku dapat menempelkan mulut ke telingamu dan kita dapat mengobrol dengan leluasa tanpa khawatir terdengar orang lain.”

Hati Biauw Eng girang sekali. Kenyataan bahwa sucinya bukanlah orang gila seperti guru mereka dan para pelayan, memberi hiburan yang amat besar dan berpengaruh sehingga rasa mual di perutnya seketika lenyap. Kalau dia harus berpura-pura gila dan makan masakan yang menjijikan itu, kini ia tahu bahwa dia tidak menderita sendirian,

Ada Hun Bwee yang juga sama dengan dia nasibnya! Kedua dara ini lalu membaringkan diri di atas dipan berkasur batu karang dan melihat betapa sucinya dapat berbaring dengan enak Biauw Eng menjadi kagum akan ginkang sucinya. Ia pun lalu mengerahkan ginkangnya dan berbaring di sebelah sucinya yang kini ia tahu sengaja mengajak dia untuk dijadikan teman agar penderitaaannya menjadi ringan. Tahulah ia mengapa sucinya ini tadi sengaja memaki-maki dia gila akan tetapi dapat disembuhkan. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hun Bwee dan merasa suka kepada sucinya ini. Mereka berbisik-bisik dan Hun Bwee menceritakan pengalamannya lebih dulu. Kini mereka bicara sewajarnya seperti orang waras dan Hun Bwee kelihatan berduka sekali, bercerita sambil bercucuran aiar mata.

“Namaku Tan Hun Bwee, orang tuaku meninggal dunia karena tekanan batin, tidak berhasil membalas dendam kepada musuh besarnya. Aku berusaha melanjutkan cita-cita mereka membalas dendam, akan tetapi musuh besar itu telah tewas. Aku bertemu dengan murid musuh itu, hendak kubalas dendam kepada muridnya, akan tetapi …. aku…. Aku…. Malah diperkosanya…!”

Gadis itu menutupi mukanya dan menangis tanpa suara. Biauw Eng memeluknya.

“Aduh, sungguh buruk nasibmu, Suci. Siapakah jahanam itu? Biar kelak aku membantumu menghancurkan kepalanya!”

Hun Bwee menggeleng kepala.

“Marilah kita berjanji Sumoi. Kita tidak akan mencampuri urursan kita masing-masing. Urusan pribadi kita harus kita selesaikan sendiri dan marilah kita disini saling melatih agar dapat cepat memperoleh hasil, yaitu kepandaian tinggi untuk membalas dendam.”

Biauw Eng menarik napas panjang. Ada benarnya kata-kata sucinya ini. Urusan pribadi memang tidak baik kalau dicampuri orang lain, biarpun yang mencampuri itu saudara seperguruan sendiri.

“Baiklah, Suci.”

Tentu saja Biauw Eng sama sekali tidak pernah mimpi bahwa musuh besar yang dimaksudkan oleh Hun Bwee adalah ayahnya sendiri. Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan bahwa murid musuh besar yang dikatakan memperkosa dirinya itu bukan lain adalah… Keng Hong. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Hun Bwee, puteri mendiang Hek-houw Tan Kai Sek atau Tan-piauwsu yang bersama isterinya mati karena tekanan batin tak mampu membalas dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong, telah bertemu dengan Keng Hong dan betapa dia telah diperkosa oleh Lian Ci Tojin tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng dan menjadi hamba nafsu berahi, kemudian betapa Hun Bwee ditolong oleh Keng Hong akan tetapi menyangka pemuda itu telah memperkosanya.

“Sumoi, sekarang ceritakanlah pengalamanmu. Tentu pengalamanmu hebat pula, tidak kalah sengsara dari pengalamanku, maka engkau kelihatan seperti orang yang putus asa. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah pengalamanmu kepadaku, Sumoi.”

Diam-diam Biauw Eng merasa terharu mendengar ucapan Hun Bwee yang terdengar penuh kasih sayang. Suara seperti ini belum pernah ia dengar, dari mulut ibunya yang bersuara dingin pun belum pernah. Hanya pernah dari suara Keng Hong…. Akan tetapi, pemuda itu hanya menjual madu di bibir! Merasa betapa ia seolah-olah mendapat seorang kakak, ia lalu merangkul leher Hun Bwee dan menangis terisak-isak di dada gadis itu. Hun Bwee mengelus-elus rambut yang hitam berombak itu dan gadis itu pun menangis. Keduanya bertangisan, tangis karena terharu, tangis yang wajar dan tulen, tidak seperti tangis ketika mereka berdua menari-nari tadi.

“Kalau berat hatimu, tak usah kau ceritakan, Sumoi.”

“Tidak, Suci… Engkau kuanggap enciku sendiri.. akan tetapi karena janjimu tadi, biarlah kuceritakan tanpa menyebut nama. Namaku memang Sie Biauw Eng, Ayahku telah meninggal dunia dan ibuku dibunuh secara keji sekali oleh suciku sendiri, murid ibuku! Aku telah mencarinya, akan tetapi dia telah memperdalam ilmunya dan kini menjadi seorang yang amat lihai, aku bukan tandingannya sehingga aku hampir putus harapan untuk dapat mengalahkannya. Selain itu aku… aku, ah… aku mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia ternyata berhati palsu, hanya mencinta jasmaniku dan aku tidak sudi… Ahhh….”

“Sudahlah, Sumoi. Aku dapat mengerti kesengsaraan hatimu. Aku pun mencinta seorang pria, cinta yang baru bersemi karena melihat dia tampan dan gagah perkasa, akan tetapi dia.. dialah yang memperkosa aku…”

Kedua orang gadis itu menjadi akrab, merasa senasib sependeritaan, terutama sekali sependeritaan dalam menyesuaikan diri di tempat itu, di antara sekumpulan orang gila!

“Suci, siapakah sebenarnya subo? Benarkah dia amat lihai?”

“Untuk masa sekarang agaknya sukar dicari orang yang lebih lihai dari dia. Engkau tahu, itu Go-bi Chit-kwi yang disohorkan amat lihai, pernah dihajar mati-matian oleh subo sehingga mereka bertujuh merangkak-rangkak minta ampun, baru dibebaskan oleh subo. Kiraku hanya ada satu orang yang mungkin dapat menandinginya, yaitu laki-laki yang pernah mematahkan hatinya, Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong!”

“Ohhhhh….!”

Biauw Eng terkejut.

“Kenapa, Sumoi? Pernahkah engkau mendengar nama Sin-jiu Kiam-ong?”

“Tentu saja. siapakah yang tidak mendengar namanya?”

Diam-diam Biauw Eng merasa lega bahwa sucinya tidak pernah mendengar nama julukannya sehingga tidak tahu bahwa dia adalah puteri Lam-hai Sin-ni, sungguhpun andaikata tahu sekalipun, tidak ada halangannya. Demikianlah, sejak hari itu Biauw Eng menjadi murid nenek itu yang tidak ada orang mengenal namanya. Bahkan Tan Hun Bwee pun hanya mengenalnya sebagai Go-bi Thai-houw (Ratu Go-bi). Biauw Eng dilatih bersama Hun Bwee, akan tetapi tidak sama latihan mereka.

Hal ini adalah karena dasar ilmu silat yang mereka miliki jauh berbeda. Nenek itu mempunyai cara mengajar yang amat lucu dan aneh, disesuaikan dengan dasar kepandaian mereka, akan tetapi tampaknya ilmu silat murid-muridnya itu malah “dirusak”

Karena semua diubah variasinya, diisi gerakan-gerakan seperti orang gila, sungguhpun dasarnya tetap tidak diubah. Dan Biauw Eng mendapat penjelasan dari sucinya yang membuat ia mulai mengerti mengapa pelajaran nenek itu dapat mendatangkan kemajuan yang cepat luar biasa. Kiranya, keadaan nenek yang gila ini serba terbalik dari orang waras, sehingga kalau bergembira ia menangis, sebaliknya kalau berduka ia tertawa. Justeru orang yang dapat menguasai perasaan ini menimbulkan kekuatan batin yang hebat, yaitu dapat tertawa dalam duka dan dapat menangis dalam suka!

Sikap seperti ini biasa saja bagi orang gila, akan tetapi kalau dilaksanakan oleh orang waras, merupakan latihan batin yang amat berat dan hasilnya pun bukan main besarnya, karena orang yang dapat melakukannya, berarti dapat mengatasi perasaan dan nafsu-nafsunya. Orang yang tidak dikuasai oleh nafsu, berati selalu dalam keadaan “tiong-yong” (lurus, tegak, tidak berat sebelah). Kalau datang nafsu-nafsu seperti suka-duka marah dan lain-lain, maka perimbangannya menjadi tidak lurus lagi, menjadi miring dan tentu saja hal ini membayangkan kelemahan batin yang dapat mendorong orang lupa diri dan melakukan hal-hal yang menyeleweng. Dalam ilmu silat pun perlu sekali orang dapat mengatasi semua nafsu, karena ia akan menjadi kuat batinnya dan dengan cepat tenaga sakti (sinkang) di tubuh yang terbenam dalam pusar akan menjadi makin kuat.

Karena pada dasarnya ilmu kepandaian Biauw Eng memang lebih tinggi daripada tingkat Hun Bwee, setelah belajar selama setahun saja, tingkat kepandaian Biauw Eng sudah melampaui tingkat Hun Bwee. Melihat ini, diam-diam, Hun Bwee menjadi kagum dan menduga-duga siapakah tadinya guru sumoinya ini. Akan tetapi ia tidak menjadi iri hati karena selama setahun ini ia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng seorang dara yang amat baik budi sehingga hubungan di antara mereka seperti kakak beradik saja. mereka berdua tekun belajar dan berlatih terus di bawah pengawasan Go-bo Thai-houw yang biarpun gila, akan tetapi ternyata amat tekun mengajar dan banyak macam ilmu aneh ia turunkan kedua muridnya.

Kita tinggalkan dulu Hun Bwee dan Biauw Eng yang belajar dengan tekun sekali karena keduanya mempunyai cita-cita. Mari kita mengikuti perjalanan Keng Hong yang telah lama kita tinggalkan. Semenjak pertemuannya dengan Siauw-bin Kun-cu, mulailah Keng Hong dengan sabar sekali melakukan pengintaian untuk dapat bertemu dengan Cui Im di luar kota sehingga ia akan dapat menyergap dan memaksa wanita itu mengembalikan semua pusaka peninggalan gurunya. Akan tetapi sampai tiga bulan lebih ia mengintai dan menunggu, tidak pernah Cui Im mendatangi pondok merah di luar kota raja yang ditunjukkan oleh Tio Hok Gwan itu. Ternyata bahwa Cui Im amat cerdik dan sudah dapat menduga bahwa Keng Hong tentu takkan tinggal diam dan akan berusaha menemuinya di luar istana atau luar kota raja sehingga gadis yang cerdik ini jarang sekali meninggalkan istana.

Selain itu, juga Cui Im menyebar banyak mata-mata untuk menyelidiki sehingga akhirnya ia malah tahu bahwa Keng Hong mengintai dan menantinya di luar kota raja, menunggu dia datang ke pondok merahnya! Tentu saja diam-diam Cui Im menetertawakan Keng Hong, malah gadis ini yang mencari akal muslihat bagaimana caranya melenyapkan Keng Hong dari muka bumi karena selama pemuda itu masih hidup, tentu dia tidak akan merasa aman. Cui Im mengerti bahwa dia sendiri takkan dapat mengalahkan Keng Hong, bahkan biarpun ia dibantu oleh Siauw Lek sekalipun, belum tentu akan dapat menandingi Keng Hong. Dia merasa ngeri ketika menyaksikan pertandingan antara Hok Gwan dan Keng Hong, apalagi melihat betapa Keng Hong telah menguasai Thi-khi-I-beng demikian mahirnya, tidak seperti dulu. Tidak ada jalan baginya, untuk dapat menandingi Keng Hong, selain bantuan Siauw Lek.

Dia harus mendapat bantuan orang-orang pandai seperti Pak-san Kwi-ong dan beberapa orang rekannya pengawal rahasia yang berilmu tinggi. Mereka berjumlah tujuh orang. Tentu saja tugas mereka tak mungkin dapat ditinggalkan. Sedikitnya harus tiga orang yang menjaga keselamatan kaisar. Kalau ia dibantu Pak-san Kwi-ong dan Kemutani saja, datuk persilatan peranakan Mongol itu, bersama Siauw Lek, agaknya mereka berempat akan dapat menandingi Keng Hong. Mendengar dari para penyelidiknya bahwa Keng Hong selalu menanti di luar kota raja sebelah barat, tak jauh dari sebuah pondok kecil mungil warna merah yang telah lama selalu kosong seperti kosongnya hati Keng Hong yang mengintai dengan sabar sampai berbulan-bulan, Cui Im lalu mengajak Pak-san Kwi-ong berunding,

“Engkau telah menyaksikannya sendiri, Kwi-ong, ketika Keng Hong melawan Tio Hok Gwan. Dia telah menguasai Thi-khi-I-beng (Mencuri Hawa Pindahkan Nyawa). Kalau dia tidak dilenyapkan dari muka bumi, bukankah kelak nama kita akan hancur olehnya?”

“Ha-ha-ha-ha-ha! Nama siapa yang akan hancur, Ang-kiam?”

Pak-san Kwi-ong seperti biasa tertawa bergelak dan dia memang tidak pernah mau menyebut Cui Im dengan julukan lengkapnya, yaitu Ang-kiam Bu-tek. Dia tidak mau menyebut gadis itu Bu-tek (Tanpa lawan) karena hal ini akan membuat dia seperti mengaku bahwa gadis itu tidak ada lawannya, berarti dia sendiri pun menyatakan takluk! Maka ia hanya menyebut Ang-kiam (Pedang Merah) saja.

“Antara dia dan aku tidak ada urusan sesuatu yang dicarinya bukan aku melainkan engkau. Urusan pribadimu dengan dia kau bereskan sendiri saja kalau kau mampu menghadapinya, ha-ha-ha! Mengapa harus aku mencampuri urusanmu?”

Diam-diam Cui Im menyumpah kakek tinggi besar hitam ini. Akan tetapi biarpun dia jauh lebih muda, patut menjadi cucu kakek itu, dalam hal kecerdikan, Cui Im menang jauh. Ia hanya tersenyum manis, bukan untuk memikat hati Pak-san Kwi-ong. Dia tahu bahwa kecantikan wajahnya dan keranuman tubuh mudanya tidak akan dapat menggerakkan hati kakek itu. Andaikata demikian halnya, pasti dia tidak akan segan untuk menggunakan umpan lain.

“Kwi-ong, jangan engkau membohong. Bukankah engkau dahulu merupakan seorang di antara mereka yang memperebutkan Sian-bhok-kiam untuk mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong? Keng Hong adalah murid Sin-jiu Kiam-ong!”

Kembali kakek hitam itu tertawa bergelak.

“Aku bukan orang bodoh, Ang-kiam. Aku tahu bahwa bocah itu murid Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi kalau dahulu kita semua tidak berhasil membujuk dan mengepung gurunya, bagaimana sekarang akan dapat berhasil memaksa muridnya? Kulihat bocah itu lihai sekali, belum tentu kalah oleh mendiang gurunya, dan juga dalam kekerasan hati, dia tidak kalah. Tidak, aku sudah tua dan kedudukanku di sini sudah amat baik, mau apa lagi? Aku tidak akan mencari penyakit memusuhi murid Sin-jiu Kiam-ong, membahayakan keselamatan sendiri tanpa tujuan yang jelas, kecuali…. Ha-ha-ha, menolong dan membantumu!”

Cui Im tersenyum mengejek,

“Hem, tertawalah, Kwi-ong karena engkau belum tahu, nanti ketawamu akan lain bunyinya. Katakanlah pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang manakah yang dahulu amat kau inginkan?”

Pak-san Kwi-ong menghentikan tawanya dan memandang wajah cantik itu dengan sinar mata tajam menyelidik.

“Hemmm, apa artinya kuberitahukan kepadamu? Akan tetapi tidak apalah kuceritakan juga. Di antara kitab-kitab yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, ada sebuah kitab yang amat kubutuhkan, yaitu kitab Siauw-lim-pai…”

“Seng-to-cin-keng? Ataukah kitab I-kiong-hoan-hiat?”

Cui Im memotong. Kakek hitam itu terbelalak.

“Eh, engkau sudah tahu pula? Kitab ke dua itulah, I-kiong-hoan-hiat. Amat kubutuhkan karena ilmu dalam kitab itulah yang akan membantu sempurnanya ilmu yang sedang kuciptakan.

“Sekarang bagaimana? Masih inginkah? Kalau engkau membantuku menghadapi Keng hong, aku tanggung engkau akan memiliki kitab itu.”

Kakek itu membelalakkan mata.

“Hemmm, jangan main-main. Andaikata aku membantumu dan kita berhasil mengalahkan Keng Hong, dari mana aku akan bisa mendapatkan kitab itu? Aku sangsi apakah dia akan suka menyerahkan kitab itu, dia seorang yang keras hati dan tak mungkin dapat dipaksa dengan siksaan yang bagaimanapun.”

“Hi-hi-hik, ternyata engkau biarpun sudah tua masih tetap bodoh, Kwi-ong.”

“Apa maksudmu?”

Kening tebal itu berkerut dan sinar mata datuk dari utara itu membayangkan kemarahan.

“Kau kira dari manakah aku mendapat kepandaian sehingga kini menjadi Ang-kiam Bu-tek, tokoh nomor satu tak terkalahkan? Kau kira bagaimanakah aku sampai dapat mengalahkan bekas guruku, Lam-hai sin-ni yang menjadi tokoh terkuat dari Bu-tek Su-kwi dan membunuhnya? Dari mana aku mendapatkan kepandaian untuk merobohkan semua jagoan yang berani menentangku, membunuh Sin-to Gi-hiap dan yang lain-lain? Akulah orangnya yang telah berhasil mewarisi semua pusaka Sin-jiu Kiam-ong dan termasuk kitab I-kiong-hoan-hoat. Kalau engkau mau membantuku menghadapi Keng Hong sampai dia tewas, aku akan memberimu kitab pusaka Siauw-lim-pai kepadamu.”

Sepasang mata yang lebar dan tampak putih sekali karena mukanya hitam itu terbelalak, telinga yang lebar seperti telinga gajah itu bergerak-gerak. Pak-san Kwi-ong sudah maklum akan kelihaian bekas murid Lam-hai Sin-ni itu, akan tetapi mendengar pengakuan bahwa gadis ini yang berhasil mewarisi pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong, benar-benar merupakan hal yang tak disangka-sangkanya. Ia masih belum mau percaya benar, maka dia berkata,

“Ang-kiam, bagaimana aku bisa tahu bahwa engkau tidak membohong?”

“Pak-san Kwi-ong, apakah kepandaianku masih belum meyakinkan hatimu? Apakah engkau perlu untuk mencobanya lebih dulu?”

Cui Im meraba gagang pedang merahnya.

“Ha-ha-ha! Kita berdua tentu akan dihukum mati oleh kaisar kalau membuat ribut disini. Tentang engkau pandai sampai setinggi langit, aku tidak peduli. Akan tetapi bagaimana aku bisa percaya bahwa kitab I-kiong-hoan-hiat berada padamu kalau aku belum melihat buktinya?”

“Bagus! Aku akan memperlihatkan kitab itu. Kalau memang benar, maukah engkau membantuku menghadapi Keng Hong dan kalau dia tewas aku akan memberikan kitab itu kepadamu sebagai balas jasa?”

Kakek hitam yang amat membutuhkan kitab itu, mengangguk-angguk.

“Kau tunggulah sebentar!”

Cui Im berkelebat pergi dan tak lama kemudian ia sudah datang lagi bersama Siauw Lek yang tersenyum-senyum.

“Lihatlah baik-baik, bukankah ini kitab yang kau inginkan itu?”

Cui Im memegang sebuah kitab yang tadinya terbungkus kain kuning memperlihatkan sampulnya dan membuka-buka lembarannya. Sepasang mata kakek hitam itu makin melebar dan wajahnya berseri-seri. Ia mengenal kitab itu yang pernah dilihatnya dahulu di Siauw-lim-si akan tetapi yang tak pernah dapat dia miliki. Dahulu, dia siap mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan kitab ini. Dan sekarang, dia akan dapat memilikinya dengan mudah! Syaratnya hanya membantu Cui Im menewaskan Keng Hong! Kalau dia sendiri disuruh menandingi Keng hong, setelah dia melihat kelihaian pemuda itu bertanding melawan Tio hok Gwan, agaknya akan amat sukar mengalahkan pemuda itu. Akan tetapi bersama-sama Cui Im dan Siauw Lek yang lihai benar-benar tidaklah amat sukar.

“Baiklah, Ang-kiam Bu-tek. Aku terima permintaanmu! Jawabnya penuh gairah. Cui Im menyimpan kitabnya di balik baju dengan hati girang. Yang penting adalah menundukkan kakek ini supaya ikut membantunya. Yang penting adalah menewaskan Keng Hong. Kalau hal itu telah terlaksana, tentang pemberian kitab adalah merupakan urusan belakang! Mereka bertiga duduk melakukan perundingan.

“Aku tidak mau bertindak sembrono,”

Kata Cui Im.

“Menghadapi lawan yang demikian lihai, kita tidak boleh terlalu mengandalkan kepandaian sendiri agar jangan sampai gagal. Terus terang saja, ilmu kepandaian yang dimiliki Keng Hong juga didapatnya dari kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Sesungguhnya, aku tidak akan kalah menghadapinya karena kepandaian kami berdua setingkat dan sesumber. Akan tetapi..”

Cui Im menarik napas panjang karena ia benar-benar merasa penasaran dan kecewa.

“dia telah dapat dapat menguasai Thi-khi-I-beng yang entah dia dapatkan dengan cara bagaimana. Bahkan dahulu sebelum kami menemukan kitab-kitab itu, dia sudah memiliki ilmu mujijat itu. Akan tetapi, kalau kita maju bersama, kurasa kita akan dapat mengatasinya.”

Pak-san Kwi-ong yang kini menjadi bersemangat karena dia ingin sekali segera dapat memiliki kitab I-kiong-hoan-jiat, berkata,

“Kurasa bukan hanya ilmu menyedot sinkang lawan itu saja yang perlu kita perhatikan. Apakah engkau juga mengenal ilmu silatnya ketika dia melawan Tio Hok Gwan?”

Cui Im menggeleng kepala.

“Belum pernah aku melihat dia mempergunakan ilmu silat aneh itu.”

“Ha-ha-ha! Apa sih anehnya ilmu silatnya itu?”

Tiba-tiba Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek berkata dengan suara menghina.

“Mereka gerakan tangannya, ilmu silatnya itu bukankah mengambil dari Pat-kwa Kun-hoat dan melihat gerak kakinya, tentulah Ngo-heng-kun. Mungkin merupakan penyatuan dua ilmu silat itu.”

Pak-san Kwi-ong yang tentu saja lebih banyak pengalamannya, menggeleng kepala dan berkata serius,

“Bukan! Gerakan lengan yang membentuk lingkaran-lingkaran itu amat aneh dan kurasa merupakan ilmu silat simpanan yang tidak terkenal. Kita harus waspada menghadapi ilmu silatnya itu dan ilmu sedotnya yang lihai!”

“Aku percaya kita bertiga akan dapat mengalahkannya!”

Kata Siauw Lek. Pak-san Kwi-ong mengangguk.

“Kurasa pun begitu. Biarpun dia lihai, mustahil kita bertiga takkan dapat mengalahkannya.”

Cui Im mengerutkan alisnya.

“Aku ingin sekali turun tangan tidak sampai gagal. Kalau kita bertiga maju, kita hanya merasa unggul, akan tetapi aku belum yakin, sebaliknya kalau kita bisa mengajak seorang di antara rekan kita. Kurasa Kemutani paling boleh diandalkan dengan hui-to (pisau terbang) dia akan dapat mengacaukan lawan.”

“Hemmm, akan tetapi wataknya yang keras mana mungkin dapat kita bujuk?”

Siauw Lek meragu.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Kesukaan Kemutani hanya satu dan pandang matanya kepadamu Ang-kiam…”

Cui Im mengangguk.

“Aku mengerti dan aku siap membalas budinya.”

“Akan tetapi dia…. mengingatkan aku akan kuda Mongol…”

“Hussshhh, Siauw Lek. Jangan bicara begitu. Harap engkau suka memanggil dia ke sini.”

Cui Im mencela dan pandang matanya membuat Siauw Lek tak berani membantah lagi. Dia adalah kekasih Cui Im, dan dia tidak menjadi cemburu, bahkan tidak peduli kalau Cui Im berpesta pora membagi cinta berahinya kepada pemuda-pemuda tampan.

Akan tetapi, membayangkan Cui Im dengan tubuhnya yang ranum dan menggairahkan, kulitnya yang halus putih kemerahan itu, harus melayani Kemutani? Dia bergidik. Teringat ia akan cerita orang betapa sudah ada tiga orang pelayan istana yang dihadiahkan kepada Kemutani, semua mati setelah berada di kamar peranakan Mongol itu selama tiga malam! Kemutani yang memiliki tenaga Iweekang yang amat kuat, bermuka pucat seperti mayat dan bertubuh tinggi kurus itu mengingatkan dia akan seekor kuda jantan Mongol yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita! Kemutani muncul bersama Siauw Lek dan segera duduk menghadapi Cui Im. Pandang matanya tanpa disembunyikan lagi melihat belahan dada membusung di atas meja di hadapannya itu, wajahnya pucat berseri dan dia berkata dengan suara yang agak kaku karena dia lebih mahir berbahasa Mongol daripada bahasa Han,

“Nona, engkau memanggil aku? Ada urusan apakah?”

“Kemutani, aku ingin minta pertolonganmu dalam urusan pribadiku.”

Kemutani tersenyum dan matanya berkedip-kedip sebelum menjawab.

“Ah, tentu saja, aku bersedia menolong, bukankah kita harus saling menolong? Siapa tahu sekali waktu aku pun ingin minta pertolongan darimu, Nona.”

Cui Im mengangguk-angguk dan semua maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu.

“Memang kita harus saling menolong dan aku berjani jika engkau suka membantuku dalam urusan ini, setelah berhasil aku pun akan suka membalasmu dengan membantumu.”

“Heh-heh-heh, betulkah? Katakan dulu, apakah urusan itu?”

“Engkau sudah melihat sendiri bahwa ada datang musuh besarku yang hendak mencelakakan aku. Karena dia lihai, maka aku ingin minta bantuanmu menghadapinya bersama Pak-san Kwi-ong dan Jai-hwa-ong…”

“Ah, pemuda lihai bukan main itu?”

Kemutani tampak kaget karena diapun telah menyaksikan sepak terjang Keng Hong ketika menghadapi Hok Gwan dan diam-diam dia pun telah dapat menilai bahwa dia bukanlah lawan pemuda hebat itu.

“Boleh jadi dia lihai, akan tetapi kalau kita berempat maju, aku yakin dia akan dapat kita tewaskan,”

Jawab Cui Im dengan suara pasti.

“Akan tetapi… Apakah kita tidak akan mendapat teguran kalau melakukan pembunuhan di kota raja? Padahal The-taiciangkun sendiri sudah mengetahui duduknya perkara dan sudah mengenal pemuda itu.”

“Kita harus cerdik. Aku akan memancingnya di luar kota raja dan kita habiskan nyawanya di sana. Pendeknya, hal itu kau tak usah khawatir, aku yang akan mengaturnya. Yang penting, maukah engkau membantuku menghadapi dia?”

Kemutani tampak meragu, akan tetapi pada saat itu, senyum manis sekali di bibir setengah terbuka penuh tantangan, pandang mata yang indah, dada yang agak dibusungkan, memberi janji yang menggetarkan nafsu berahinya.

“Nona, apakah balas jasamu untuk membantuku?”

“Sudah kukatakan, kalau kau suka membantuku, aku pun bersedia membantu, apa saja yang kau minta dariku. Kalau engkau membantuku dan kita berhasil menewaskan dia, boleh kau terima balas jasa itu.”

“Betul? Heh-heh-heh, engkau bersedia… Eh menemani aku semalam suntuk?”

Ucapan kasar dan terang-terangan di depan orang-orang lain ini tentu akan membikin merah telinga orang, terutama telinga wanita yang bersangkutan. Akan tetapi Cui Im kebal dan ia malah tersenyum, juga Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong mendengar ucapan ini dengan sikap biasa saja. Cui Im mengangguk.

“Dengan senang hati aku akan menemanimu, Kemutani, setelah engkau membantu kami menewaskan Keng Hong.”

“Wah, aku tidak mau kalau syaratnya harus menewaskan. Bagaimana kalau usaha kita gagal dan dia tidak sampai tewas? Padahal aku sudah membantumu! Bukankah aku akan membantu dengan sia-sia belaka? Tidak, Nona. Janjinya harus begini. Aku akan membantumu menghadapi pemuda sakti itu dan akan kuusahakan sekuat tenagku agar engkau menang dan dia tewas. Akan tetapi, tidak peduli dia terbunuh atau tidak, setelah aku membantumu dan kita kembali ke istana, engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku berenang di lautan asmara selama semalam suntuk. Aku selalu rindu untuk mendapat teman yang akan dapat mengimbangiku dan kurasa hanya engkaulah orangnya, Nona. Bagaimana? Berhasil atau tidak membunuh Keng Hong, engkau harus menemani aku!”

Cui Im mengangguk dan tersenyum, mengerjapkan mata kirinya dengan gaya yang manis memikat, lalu berkata,

“Baiklah, Kemutani. Aku pun ingin sekali menguji sampai di mana kekuatanmu berenang di lautan seperti yang disohorkan orang!”

Ucapan Cui Im ini pun tentu akan terasa menggatalkan telinga orang-orang biasa, akan tetapi mereka yang mendengarkan hanya tertawa. Mereka lalu berunding di dalam kamar itu mengatur siasat, atau tepatnya, Cui Im yang menjelaskan siasatnya kepada tiga orang pembantunya.

“Menurut penyelidikanku, Keng Hong masih terus menanti di luar kota raja. Kalau kita langsung datang ke sana, tentu dia akan mendapat kesempatan melarikan diri apabila dia melihat akan dikeroyok. Lebih baik kita pura-pura tidak tahu bahwa dia mengintai di sana, biar dia menganggap aku sudah merasa aman dan aku akan bersenang-senang di sana bersama seorang pemuda. Tentu dia muncul dan kalian bertiga yang sudah bersembunyi lebih dulu, menyergap. Kalau dia terjebak memasuki pondok, tidak akan ada jalan keluar lagi baginya.”

Tiga orang itu mengangguk-angguk dan akhirnya Siauw Lek bertanya,

“Dengan pemuda mana engkau akan ke sana dan kapan akan dilakukan siasat ini?”

Pertanyaan itu sama sekali tidak mengandung nada suara cemburu, dan Cui Im menjawab,

“Aku belum tahu. Harus kucari dulu, kemudian setelah dapat baru akan kutentukan waktunya.”

Berakhirlah perundingan gelap ini dan Cui Im lalu keluar dan seperti biasa di waktu dia bebas tugas, ia menunggang kuda dan mengelilingi kota sambil memasang matanya mencari-cari pemuda yang mencocoki hatinya, seperti mata seekor burung elang mencari anak ayam atau burung kecil yang berdaging penuh.

Biarpun baru kurang lebih setahun Cui I menjadi pengawal istana, akan tetapi ia sudah amat terkenal di kota raja. Hampir semua orang tahu siapakah gerangan gadis berpakaian mewah dan indah, cantik, jelita, dan menunggang seekor kuda yang besar itu. Maklum pula bahwa di samping memiliki kepandaian yang disohorkan orang seperti kepandaian seorang dewi dari langit, juga bahwa wanita cantik menggairahkan ini memiliki hobby mencari pemuda tampan untuk diajak bersenang-senang. Tentu saja bagi pemuda yang dipilih, hal itu merupakan pengalaman yang takkan terlupakan, merasa beruntung seperti kejatuhan bulan. Maka tidaklah mengherankan apabila Cui Im sedang menunggang kuda keliling kota, para pemudanya keluar dari dalam rumah dan memasang gaya masing-masing di depan pintu. Siapa tahu mereka akan terpilih!

Akan tetapi sekali ini, Cui Im tidak mau memilih pemuda sembarangan saja. Sudah terlalu lama, hampir tiga bulan ia terpaksa menahan nafsunya karena tidak berani keluar dari istana, apalagi pergi bersenang-senang di pondoknya di luar kota. Dia ingin memilih seorang pemuda yang betul-betul memenuhi syarat selera hatinya, untuk diajak bersenang-senang sampai sepuasnya dan juga untuk dipergunakan sebagai umpan memancing keluarnya Keng Hong. Jadi, untuk malam istimewa yang direncanakan itu dia harus mendapatkan seorang pemuda yang betul-betul istimewa! Hatinya kesal karena dia tidak melihat pemuda yang baru. Dia bosan melihat para pemuda yang itu-itu juga berlumba gaya di depan pintu, memasang aksi dan tersenyum-senyum kepadanya. Akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara para pemuda itu yang berani bersikap kurang ajar.

Mereka semua sudah mengenal siapa Cui Im, seorang wanita yang di satu saat dapat menjadi seorang bidadari dengan jari-jari tangan halus mesra membelai, akan tetapi di saat lain dapat menjadi iblis yang akan membunuh orang tanpa berkedip mata! Dengan hati kesal Cui Im menghentikan kudanya di depan sebuah restoran yang paling terkenal di kota raja. Seorang pelayan cepat menuruni anak tangga depan restoran dan sambil terbongkok-bongkok lalu meneria kendali kuda untuk menuntun kuda nona itu ke kandang kuda yang tersedia di belakang restoran. Cui Im melangkahkan kaki dengan sigap dan sikap angkuh memasuki restoran, tidak begitu mengacuhkan para pelayan yang menyambutnya dengan senyum-senyum menjilat dan tubuh terbongkok-bongkok.

“Sediakan meja di sudut dalam, menghadap keluar. Aku ingin makan masakan yang paling enak!”

Kata Cui Im singkat. Pengurus rumah makan itu dengan ramah lalu mempersilakan nona ini duduk di meja sudut sebelah dalam. Cui Im duduk dan memandang keluar. Dari tempat duduknya ia tidak hanya dapat melihat semua tamu yang memasuki restoran, bahkan dapat melihat orang-orang yang lewat dijalan besar depan restoran itu. Dia tidak peduli akan pandangan semua tamu yang menoleh ke arahnya sejak ia memasuki restoran sampai ia duduk. Ada di antara mereka beberapa orang pria muda yang cukup ganteng,

Akan tetapi tidak ada yang memenuhi seleranya. Hal ini agaknya disebabkan oleh sikap orang-orang muda itu sendiri yang memandangnya penuh gairah. Cui Im terlalu sering melihat pandang mata seperti itu sehingga ia menjadi kebal dan terbiasa. Pandangan laki-laki penuh gairah dan kagum kepadanya malah membosankan, bahkan menjemukan hatinya. Dia ingin mencari seorang pria yang betul-betul istimewa, muda atau tua tidak menjadi soal baginya. Tiba-tiba pandang mata Cui Im berkilat dan seluruh tubuhnya menegang penuh getaran, semangatnya bangkit dan setiap urat syaraf di tubuhnya berdenyut, terbawa oleh jantungnya yang berdebar. Pandang matanya seperti lekat kepada seorang pemuda yang memasuki restoran itu. Begitu melihat wajah pemuda ini, melihat tubuhnya yang sedang berpakaian hijau, Bertemu pandang dengan sepasang mata tajam di bawah alis yang hitam tebal, nafsu berahinya bangkit, menyala dan berkobar. Pemuda itu usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya membayangkan kejantanan, akan tetapi gerak-geriknya halus. Alisnya yang tebal hitam, matanya tajam dan hidungnya mancung, bibirnya merah membayangkan kesehatan. Wajah yang tampan dan membayangkan kehalusan budi. Melihat bentuk pakaiannya yang kehijauan mudah diketahui bahwa dia adalah seorang pemuda terpelajar, seperti pakaian sastrawan di masa itu, serba longgar, dengan lengan baju lebar. Akan tetapi pakaian itu agaknya kotor dan berdebu, tanda bahwa dia adalah seorang pendatang dari luar kota raja dan agaknya baru saja datang dari perjalanan jauh. Ada kelelahan karena perjalanan tapamk dalam keadaan pakaian dan sepatunya yang berdebu.

Sebuah buntalan kain kuning yang cukup besar, agaknya terisi bekal pakaian dan lain-lain, diletakkan pemuda itu di atas bangku dekat meja. Kemudian ia duduk dan tidak mengacuhkan keadaan sekelilingnya. Dia bukan seorang yang bersikap tinggi hati, akan tetapi jelas tidak merasa rendah berada di restoran, di antara tamu-tamu yang berpakaian mewah bersih itu. Dengan suara tenang dan halus dia memesan makanan kepada pelayan. Kebetulan sekali pemuda itu duduknya menghadap ke dalam sehingga Cui Im dapat melihat wajahnya dari depan. Debar jantung wanita ini makin mengencang. Ia merasa amat tertarik. Inilah pemuda yang dicarinya! Agaknya pandang mata Cui Im yang tajam penuh perasaan itu terasa getarannya oleh pemuda itu karena dia mengangkat muka dan beberapa detik pandang mata mereka bertaut.

Pemuda itu cepat menunduk dan Cui Im makin tersiksa hatinya dan tergugah nafsunya. Pemuda itu memandangnya dengan heran, seolah-olah mengherankan kehadiran seorang wanita muda sendirian dalam restoran besar itu. Sama sekali tidak ada pandang mata gairah dan kagum seperti didapatkan Cui Im berada dalam sinar mata tiap orang pria yang memandangnya. Dia menjadi makin tertarik dan juga penasaran. Begitu angkuhkah pemuda ini sehingga tidak tertarik kepadanya? Hemmm, aku harus mendapatkan engkau dan akan kubikin mabuk engkau dengan kecantikanku, dengan sifat kewanitaanku, sampai engkau suka bertekuk lutut dan mencium telapak kakiku, demikian bisik hati Cui Im yang menjadi penasaran dan gemas karena baru pertama kali ini dia tidak dipedulikan oleh seorang pria! Memang watak yang aneh dan juga sukar sekali yang dimiliki Cui Im.

Tadi dia merasa jemu melihat semua pemuda memandangnya penuh kagum dan gairah. Kini bertemu dengan seorang pria yang tidak memandangnya dengan kagum dan gairah, ia menjadi penasaran dan mendongkol! Pesanan makanan Cui Im datang lebih dulu dan dengan sikap amat hormat dan ramah, dua orang pelayan mengatur hidangan itu di atas meja di depan Cui Im. Pemuda baju hijau itu terpaksa memandang, bukan untuk mengagumi wajah Cui Im, melainkan karena bau sedap masakan yang mengepul itu menambah perih perutnya yang amat lapar, dan juga sikap dua orang pelayan yang menjilat-jilat, banyaknya hidangan yang sampai tujuh macam di piring dan mangkok besar itulah. Akan tetapi Cui Im memandang wajah pemuda itu dan ketika dua orang pelayan sudah meninggalkan meja dan kebetulan pandang mata mereka bertemu,

Cui Im memandang mesra penuh daya pikat, bibirnya yang manis tersenyum dan mengangguk sedikit memberi isyarat menawarkan. Merah wajah pemuda itu, Ia merasa telah melakukan hal tidak pantas, memandang orang mau makan. Melihat isyarat itu ia lalu menggerakkan tubuh membungkuk dan mengangkat kedua tangan di dada sebagai ucapan terima kasih dan minta maaf sekaligus, kemudian menundukkan muka tidak berani memandang lagi. Sampai lama jari-jari tangan Cui Im menjepit tanpa mulai makan. Ia terus memandang pemuda itu, hatinya tertarik sekali. Sikap pemuda itu begitu lemah lembut, begitu sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan kagum atau tertarik. Betapa sukarnya mencari pemuda yang memang sudah mengaguminya, kadang-kadang membosankan.

Belum pernah ia mendapatkan penyerahan diri seorang pria yang tadinya memandang rendah kepadanya. Betapa akan mesranya kalau pemuda sopan dan tak acuh atas kecantikannya seperti pemuda di depannya itu akhirnya menyerah dalam pelukannya! Betapa akan terasa bangga hatinya. Seorang pelayan datang membawa bak terisi makanan yang dipesan pemuda itu. Cukup seorang saja yang melayaninya karena yang dipesannya pun hanya nasi, bakmi dan semacam masakan bersama seguci arak. Setelah hidangan di atur di meja dan pelayan mempersilakannya makan, pemuda itu agaknya teringat kepada Cui Im yang tadi menawarinya. Hatinya merasa tidak enak kalau dia diam saja maka lebih dulu mengerling ke arah meja gadis cantik itu yang tentu sedang asyik makan sehingga dia mendapat alasan untuk tidak menawarkan,

Akan tetapi mukanya menjadi merah sekali ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya memegang sumpit dan belum mulai makan, bahkan sedang memandanginya dan tersenyum ketika pandang mata mereka bertemu! Dengan sikap canggung dan tersipu pemuda itu mengangguk untuk menawarkan, dibalas oleh Cui Im yang tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih. Tiba-tiba pemuda itu melihat Cui Im mengambil sebuah di antara mangkok-mangkok terisi masakan sekali menggerakkan tangan, mangkok itu melayang di udara, berputaran dan hinggap di atas meja depan pemuda itu, sedikit pun tidak tumpah kuahnya! Pemuda itu terbelalak kaget dan memandang Cui Im penuh pertanyaan, juga penuh keheranan. Cui Im tersenyum lalu berkata lirih,

“Silakan, Siangkong (Tuan Muda), masakan yang dihidangkan untukku terlalu banyak.”

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali, akan tetapi dia hanya mengangguk dan menjawab lirih,

“Terima kasih.”

Kemudian mulai makan dengan lambat, tidak berani memandang ke kanan kiri karena dia merasa bahwa para tamu lainnya tentu melihat semua kejadian tadi sehingga dia menjadi malu sekali. Akan tetapi pemuda ini diam-diam merasa heran sekali mengapa tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, padahal apa yang dilakukan wanita itu adalah hal yang tentu akan menimbulkan keheranan banyak orang. Melempar semangkok masakan seperti itu sungguh merupakan perbuatan aneh yang takkan dapat dilakukan oleh sembarangan orang! Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa wanita cantik itu adalah pengawal rahasia kaisar, dan tidak tahu bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencampuri urusan wanita itu, apa pun yang dilakukannya! Cui Im sudah mengambil keputusan tetap di hatinya. Pemuda inilah pilihannya!

Pemuda tampan yang merupakan pendatang baru, yang begitu sopan, begitu halus dan lemah lembut, yang masih begitu murni sehingga tidak mengacuhkan kecantikan dan sinar matanya yang penuh pancaran kasih. Apakah pemuda itu masih begitu bodoh? Usianya tidaklah muda lagi, akan tetapi agaknya dia masih jejaka dan besar kemungkinan belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat Cui Im makin terangsang dan ia menelan ludah. Ia mengilar seperti seorang wanita mengandung melihat buah muda yang masam! Harus ia dapatkan pemuda itu, untuk menemaninya sepuasnya dan untuk memancing Keng Hong. Setelah menghabiskan beberapa potong daging dan minum beberapa teguk arak, ia lalu bangkit berdiri dan keluar dari rumah makan itu diikuti para pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat. Cui Im meloncat ke atas punggung kuda.

Setiap rumah makan atau kedai apa saja takkan ada yang berani menerima uang pembayaran Cui Im, apalagi memintanya! Melihat betapa pelayan-pelayan begitu menghormat, bahkan melihat pula betapa gadis itu pergi saja tanpa membayar, pemuda itu menjadi makin heran. Dia tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu, kecantikan yang dia tahu menyembunyikan sifat yang amat tidak menyenangkan, sungguhpun dia tidak tahu sifat apakah itu, hanya dia dapat menangkap sikap tercela dari sinar mata dan senyum memikat gadis itu. Akan tetapi dia amat tertarik melihat betapa gadis itu amat dihormat, dan melihat kepandaian hebat gadis itu yang tadi melempar mangkok secara luar biasa. Karena tertarik, ketika dia selesai akan dam memanggil pelayan untuk membayar, sambil lalu dengan suara tak acuh dia bertanya,

“Lopek, tahukah Lopek (Paman) siapa nona yang duduk di situ tadi?”

Mendengar pertanyaan ini, pelayan itu memandang pemuda itu dengan mata lebar, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki, kemudian menggeleng kepala!

“Ah, tentu Kongcu seorang pendatang dari jauh maka tidak mengenalnya. Dan sebetulnya Kongcu amatlah bahagia mendapatkan perhatiannya. Hemmm… sungguh aneh dunia ini… Yang mengharapkan tidak mendapat, yang sama sekali tidak sengaja malah menemukan! Dia itu adalah Bhe-siocia yang terkenal sebagai pengawal istana dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek..”

Pelayan itu bergegas menerima pembayaran dan pergi, seolah-olah merasa ketakutan telah berani menyebut nama julukan itu. Karena bergegas pergi, pelayan itu tidak melihat wajah pemuda pelajar itu berubah mendengar nama julukan Ang-kiam Bu-tek. Pemuda itu lalu mengambil buntalannya, memanggulnya dan dengan langkah tenang keluar dari restoran, tidak peduli betapa dia menjadi pusat perhatian para tamu lainnya yang merasa iri hati melihat sikap Cui Im tadi kepada pemuda itu dan juga merasa amat heran mengapa ada pemuda yang menerima keuntungan seperti itu sama sekali tidak mengacuhkannya! Pemuda yang sedang melihat-lihat keramaian kota raja, tiba-tiba mendengar derap kaki kuda yang berhenti lari setelah tiba di belakangnya, kemudian terdengar suara halus merdu menegurnya,

“Siangkong, harap berhenti dulu…!”

Pemuda dapat menduga siapa yang menegurnya sungguhpun di dalam hati dia merasa terheran, maka ketika dia berhenti dan memutar tubuh, melihat Cui Im duduk dengan gaya indah menarik di atas kudanya yang besar, dia tidak menjadi kaget. Ia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat dan berkata,

“Ah, saya menghaturkan terima kasih atas keramahan Nona di restoran tadi. Tidak tahu apakah yang dapat saya lakukan untukmu maka Nona menghentikan saya?”

Kembali Cui Im kagum. Pemuda ini benar-benar amat halus dan sopan santun. Kesopanan yang menimbulkan keraguan di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini jasmaninya selemah sikapnya yang halus. Akan tetapi ia mengusir keraguannya dan tersenyum manis sekali, kemudian dengan gerakan lemas, dengan gerak pinggang ramping yang lemah gemulai, ia turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda mendekati pemuda itu. Dengan kendali kuda di tangan ia membalas penghormatan pemuda itu, bersoja (mengangkat kedua tangan depan dada) dan berkata,

“Tidak perlu berterima kasih, Siangkong. Aku tertarik melihat engkau yang agaknya merupakan seorang pendatang baru di kota raja, dan ingin sekali berkenalan. Kalau sudi Siangkong berkenalan dengan seorang bodoh seperti aku..”

Cui Im menutupi mukanya untuk menyembunyikan senyum lebar.

“aku bernama Bhe Cui Im…”

“Nona terlalu merendahkan diri. Kalau seorang seperti Nona menyebut diri bodoh, tentu saya merupakan seorang setolo-tololnya. Tentu saja saya merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan Nona. Nama saya Yap Cong San.”

“Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya..”

Kata Cui Im dan ia menahan ketawanya ketika melihat betapa wajah pemuda itu menjadi merah sampai ke leher! Untuk menolong Cong San dari rasa malu, Cui Im cepat berkata lagi.

“Yap-siangkong datang ke kota raja tentu hendak mengikuti ujian bukan?”

“Hemmm….., ya, benar. Mengikuti ujian, akan tetapi saya adalah seorang yang amat bodoh…”

“Eh, Siangkong terlalu merendahkan diri. Siangkong tentulah seorang terpelajar, aku yakin benar akan hal ini.. eh, tidak enak bicara di tengah jalan begini. Di manakah Siangkong bermalam?”

“Saya baru saja datang, karena lapar terus makan di restoran tadi belum sempat mencari rumah penginapan.”

“Ah, kalau begitu saya bisa menolong Siangkong..”

“Jangan merepotkan diri, Nona. Sesunguhnya saya… saya merasa amat malu menganggu Nona. Apalagi, Nona yang terhormat di kota raja ini, kalau dilihat orang bicara dengan seorang sastrawan miskin seperti saya””

“Hemmm…. hendak kulihat siapa yang berani mencela aku..!”

Cui Im sengaja menengok sekelilingnya dan Cong San melihat dengan heran betapa semua orang yang tadinya memandang ke arah mereka, segera menundukkan muka dan melanjutkan perjalanan dengan secepatnya dan tergesa-gesa, seolah-olah dari pandang mata Cui Im memancar api panas yang membuat mereka tidak betah memandang lebih lama.

“Hemmm, Nona tentu seorang yang amat berkuasa di sini.”

“Benar, Yap-siangkong. Karena itu, marilah kau ikut denganku dan kucarikan tempat penginapan yang patut untukmu. Marilah!”

Pemuda kelihatan canggung dan malu, akan tetapi dia melangkah dan berjalan di samping nona itu yang bicara dengan senyum-senyum,

“Percayalah, Siangkong, saya tidak mempunyai niat buruk terhadap Siangkong, saya tahu bahwa Siangkong seorang yang pandai dan terpelajar. Sebagai seorang asing di sini, kasihan kalau Siangkong tidak mendapatkan tempat yang layak.”

Cui Im membawa Cong San ke sebuah hotel terbesar di kota raja. Melihat pakaian para pelayan di situ dan melihat tempat penginapan yang besar, tamu-tamu yang berpakaian mewah, Cong San dapat menduga bahwa kalau dia muncul sendirian di situ agaknya dia akan dipandang rendah dan tentu biaya penginapan di situ amat mahal. Diam-diam ia menghitung bekalnya yang tidak banyak. Akan tetapi karena dia datang bersama Cui Im, para pelayan sibuk menyambut mereka berdua, bahkan kuasa hotel itu sendiri menyambut sambil membongkok-bongkok sehingga pinggangnya hampir patah.

“Selamat datang, selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita)! Sungguh merupakan kehormatan besar mendapat kunjungan Lihiap. Apakah Lihiap hendak menggunakan kamar? Ataukah ada perintah lain yang harus kami lakukan?”

Kata kuasa hotel itu tersenyum-senyum dan juga tidak lupa menyoja dengan hormat kepada Cong San. Cui Im tersenyum dan melirik ke arah Cong San seperti hendak membanggakan diri atas sikap kuasa hotel dan para pelayan itu.

“Tidak, bukan aku yang membutuhkan kamar, melainkan sahabat baikku, Yap-siangkong ini. Harap kau suka memberi kamar terbaik untuknya dan melayaninya dengan baik pula.”

“Tentu… Tentu, Lihiap. Marilah, Yap-siangkong!”

Kuasa hotel itu menjura kepada Cong San. Pemuda ini cepat berkata kepada Cui Im,

“Banyak terima kasih, Nona.”

“Ah, diantara sahabat mengapa banyak sungkan, Siangkong?”

Bantah Cui Im “mengharap Siangkong akan memenuhi undanganku untuk minum arak malam nanti.”

Cong San hendak membantah, akan tetapi nona itu sudah melangkah keluar, di ruangan depan ia menengok sambil tersenyum dan berkata,

“Saya akan mengirim utusan mengundangmu, Siangkong.”

Lalu dengan langkah ringan dan lincah, Cui Im keluar, meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda pergi dari situ, meninggalkan debu mengepul di halaan hotel.

“Yap-siangkong amat beruntung menjadi sahabat baik Bhe-lihiap,”

Kuasa hotel itu berkata sambil tertawa.

“Silakan, Siangkong.”

Terpaksa Yap Cong San mengikuti kuasa hotel itu, dipandang oleh para pelayan yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk. Setelah mereka memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap dengan perabotan dan amat bersih, Cong San menjadi khawatir dan berkata,

“Twako, terus terang saja, sahabatku nona Bhe Cui Im itu agak berlebihan. Aku seorang miskin, bagaimana dapat menyewa sebuah kamar sebesar dan semewah ini? Beri padaku sebuah kamar yang kecil saja, yang paling murah.”

“Aiiihhhhh, mana bisa begitu. Saya masih sayang akan nyawa saya, Siangkong. Lihiap telah menentukan kamar yang terbaik untukmu, mana berani saya melanggar perintahnya? Harap Siangkong tidak merendahkan diri. Sebagai sahabat lihiap, saat ini Siangkong menjadi tamu agung bagi kami.”

“Tapi…. tapi…

Cong San memegang lengan kuasa hotel yang hendak meninggalkan kamar itu.

“Saya… Tidak akan kuat membayar! Berapa sewanya sehari semalam, Twako?”

“Ha-ha-ha-ha-ha! Siangkong berkelakar! Mana berani saya menerima uang sewa dari Siangkong? Tidak usah bayar, biar sampai sebulan sekalipun. Nah, selamat beristirahat, Siangkong. Pelayan akan siap menjaga di luar dan menanti segala perintah Siangkong.”

Cong San berdiri tertegun di tengah kamar, kemudian dia menghela napas panjang dan menutup daun pintu, meletakkan buntalan besar di atas meja kemudian dia tertawa seorang diri mengingat segala peristiwa, peristiwa-pwristiwa yang sama sekali tidak pernah diduganya! Benar saja pelayan hotel itu bersikap amat hormat kepadanya dan melayani segala keperluan.

Cong San juga tidak sungkan-sungkan lagi, malah minta disediakan air panas untuk mandi dan pada sore hari itu ia memesan makanan yang cepat diantar ke kamarnya. Setelah makan sore, dengan pakaian yang bersih, sedangkan pakaiannya yang kotor cepat-cepat dicuci oleh para pelayan, dia duduk di kamarnya membaca buku. Melihat kitab yang dibacanya, yaitu kitab-kitab Susi Ngokeng, para pelayang maklum bahwa pemuda ini adalah seorang terpelajar yang datang dari jauh untuk mengikuti ujian negara. Sementara itu, Cui Im sudah berunding dengan tiga orang pembantunya, yaitu Siauw Lek, Pak-san Kwi-ong dan Kemutani. Penjagaan sekitar kamar kaisar diserahkan kepada Gu Coan Kok, Hok Ku dan Cou Seng. Kemudian tiga orang pembantunya itu diam-diam berangkat keluar dan bersembunyi di dekat pondok merah di luar kota raja sebelah barat.

Adapun Cui Im lalu mengirim seorang pelayan ke rumah penginapan untuk memberi tahu kepada Cong San, melalui sebuah surat yang ditulisnya sendiri. Ketika Cong San yang sedang membaca kitab di kamarnya itu diberi tahu oleh pelayan hotel dan menerima surat dari pelayan istana, dia terkejut dan cepat merobek sampulnya dan membaca surat dengan kertas merah wangi dengan tulisan yang tidak terlalu buruk bagi seorang wanita yang begitu ditakuti orang. Ternyata surat itu memberitahukan bahwa Bhe Cui Im mengundangnya untuk minum arak sambil bicara tentang sastra di pesanggrahan wanita itu, dan bahwa Cong San diminta untuk bersiap-siap karena akan dijemput sendiri oleh wanita cantik itu! Cong San, mengangguk-angguk dan berkata kepada pelayan utusan,

“Harap sampaikan terima kasihku kepada nona Bhe, dan katakan bahwa aku siap.”

Setelah utusan itu pergi, Cong San cepat berganti pakaian yang paling baik, juga berwarna hijau pupus, kemudian dia menanti di luar kamarnya. Malam telah mulai gelap dan lampu-lampu telah di nyalakan ketika terdengar derap kaki kuda dan seorang pelayan hotel berlari-lari menyampaikan warta bahwa “lihiap”

Telah menanti di luar. Cong San menutup pintu kamarnya dan dia berjalan keluar. Diam-diam dia kagum juga melihat Cui Im yang berdandan serba indah, kelihatan cantik dan gagah perkasa, sedangkan bau yang harum semerbak menyambut hidungnya ketika wanita itu mendekat.

“Ah, engkau baik sekali, Siangkong. Ternyata telah siap. Mari kita segera berangkat sebelum malam terlalu gelap.”

“Berangkat ke mana? Di manakah pesanggrahan itu, Nona?”

“Tidak jauh kalau berkuda. Marilah arak dan hidangan telah tersedia di sana! Siangkong duduk di depan atau di belakang?”

Muka Cong San menjadi merah sekali. Untung bahwa cahaya lampu di ruangan depan hotel itu juga merah sehingga warna mukanya tidak terlalu kentara, akan tetapi andaikata ketahuan juga, para pelayan yang berada di situ tidak ada yang berani mentertawainya.

“Maksudmu… Kita berboncengan?”

Tanyanya, agak gugup karena memang selama hidupnya, biar usianya sudah dua puluh lima tahun, belum pernah dia berdekatan dengan wanita, apalagi boncengan menunggang kuda!”

Cui Im tertawa senang. Makin sukalah ia kepada pemuda yang masih “murni”

Itu, dan ia berkata merdu,

“Maaf, Siangkong. Karena tergesa-gesa, saya hanya membawa seekor kuda. Terpaksa kita boncengan!”

“Ah, mana saya berani, Nona? Biarlah Nona menunggang kuda aku berjalan kaki saja.”

“Mana bisa begitu, Siangkong? Apakah Siangkok merasa jijik duduk dekat dengan saya? Ataukah … Siangkong tidak sudi menerima undanganku?”

“Eh…., eh, bukan begitu, Nona. Engkau sudah begitu baik… Hanya, saya suka berjalan kaki dan… Saya senang sekali memenuhi undangan Nona…”

Cong San berkata gagap.

“Nah, kalau begitu, kita harus boncengan. Jangan khawatir, kudaku ini kuat sekali, biar ditunggangi empat orang yang kuat. Tempat saya itu dekat kalau menunggang kuda, akan tetapi terlalu jauh kalau jalan kaki, di luar kota raja. Siangkong telah melakukan perjalanan jauh, tentu lelah kalau berjalan. Marilah Siangkong suka di depan atau di belakang?”

Melihat wanita cantik itu bicara terang-terangan di depan banyak pengawal yang tentu ikut mendengarkan, Cong San khawatir kalau menjadi buah tertawaan maka dia lalu berkata,

“Biarlah…. Aku di belakang saja, Nona.”

Cui Im tertawa dan Cong San merasa betapa pipi dan telinganya panas. Ia sadar akan kebodohannya. Kalau dia di belakang, ah, seolah-olah dia merasa senang memangku tubuh yang montok itu. Akan tetapi bagaimana? Masa dia seorang laki-laki harus duduk di depan? Akan tetapi Cui Im sudah meloncat ke atas punggung kuda, menggeser ke depan dan berkata,

“Memang seharusnya Siangkong di belakang, karena saya yang tahu jalan dan saya yang mengendalikan kuda. Marilah, Siangkong!”

Yap Cong San menghampiri kuda dan kelihatan bingung dan malu.

“Kuda begitu tinggi..”

“Meloncatlah!”

Kata Cui Im yang menganggap meloncat ke punggung kuda seperti permainan kanak-kanak saja.

“Saya… Saya tidak bisa….!”

Cong San berkata dan para pelayan yang mendengar ini pun tidak dapat menyalahkan si pemuda karena bagi yang tidak ada kepandaian, apalagi yang tidak biasa menunggang kuda, meloncat setinggi itu bukan pekerjaan mudah. Lebih-lebih karena di atas punggung kuda itu sudah ada orangnya!

“Mari tanganmu, kubantu!”

Cui Im berkata, kehilangan kesabaran karena ia sudah ingin cepat-cepat berdua dengan pemuda yang menggugah nafsunya ini. Cong San mengulur tangan, ditangkap oleh tangan kecil halus itu dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas, ditarik oleh tenaga yang hebat bukan main. Tahu-tahu dia telah duduk di belakang tubuh nona itu.

“Berpeganglah kuat-kuat!”

Kata Cui Im dan kuda itu sudah meloncat ke depan. Cong San memegangi sela kuda dengan kaku, tubuhnya terguncang dan miring-miring.

“Eh, awas, engkau nanti jatuh. Berpeganglah padaku, peluk pinggangku kata Cui Im yang membalapkan kudanya lebih cepat lagi dengan maksud agar si pemuda menjadi ketakutan. Benar saja, terpaksa Cong San merangkul pingang yang ramping itu sehingga diam-diam Cui Im menjadi girang bukan main, tubuhnya terasa panas semua karena nafsu berahinya sudah berkobar! Sela kuda itu legok bagian tengahnya.

Karena Cui Im duduk di pinggir depan dan tubuh Cong San duduk di pinggir belakang tentu saja tubuh mereka merosot ke tengah dan berada di bagian yang melekuk. Cong San yang jauh daripada pengaruh nafsu, merasa malu dan canggung dan malu sekali. Tubuh bagian depannya terpaksa berhimpitan dengan tubuh belakang wanita itu yang lunak, halus dan hangat. Beberapa kali Cui Im terkekeh genit dan sengaja menggeser makin ke belakang sehingga tubuh mereka merapat berhimpitan! Bahkan kadang-kadang, kalau kuda meloncat, tubuh wanita itu melambung dan terjatuh di atas paha Cong San sehingga tubuh wanita itu seperti dipangkuannya, sedangkan pinggang wanita itu dipeluknya! Para penjaga pintu gerbang di barat tadinya menghadang, akan tetapi melihat Cui Im, mereka memberi hormat dan tertawa lalu membukakan pintu gerbang, membiarkan kuda wanita itu lewat tanpa gangguan sedikit pun.

Setelah keluar dari pintu gerbang, kuda membalap cepat dan tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah pondok merah yang indah dan diterangi lampu-lampu dengan teng berkembang. Tiga orang pelayan yang bertubuh tinggi besar segerta menyambut, seorang menerima kuda, dan dua orang mengiringkan Cui Im dan Cong San memasuki pondok merah. Cong San terbelalak kagum menyaksikan isi pondok yang ternyata mewah dan serba indah. Di dalam pondok terdapat sebuah ruangan dan disitu tampak sebuah pintu terbuka, memperlihatkan sebuah kamar tidur yang mentereng dan bau harum semerbak keluar dari kamar tidur yang terbuka menantang itu. Di dalam ruangan terdapat sebuah meja dengan dua bangku dan hidangan yang masih hangat mengepul telah tersedia di atas meja.

“Duduklah, Siangkong. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan enak sambil akan minum.”

Yap Cong San mengerutkan alisnya sebentar, akan tetapi dia mengangguk dan duduk di atas bangku, berhadapan dengan Cui Im. Dua orang pelayan yang kelihatan kuat dan sigap itu keluar dari ruangan setelah menutupkan pintu ruangan itu. Sambil tersenyum-senyum Cui Im menuangkan arak ke dalam cawannya dan cawan di depan Cong San sambil berkata,

“Siangkong, mari kita minum demi persahabatan kita!”

Cong San mengangkat cawan dan minum araknya sekali teguk. Cui Im tertawa manis.

“Siangkong sungguh amat baik, suka bersahabat dengan seorang kasar seperti saya.”

“Ah, Nona. Sesungguhnya sayalah yang harus malu. Nona adalah seorang yang berpengaruh dan berkuasa, dan…. hemmm, melihat sikap semua orang, melihat cara Nona menunggang kuda dan tadi menarikku ke atas kuda dan tadi menarikku ke atas kuda, saya dapat menduga bahwa Nona tentulah seorang yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Bahkan pengurus hotel menyebut Nona lihiap. Sedangkan saya, seorang kutu buku yang lemah, seorang pelajar yang canggung dan seorang sasatrawan yang miskin.”

“Wah-wah-wah, Siangkong terlalu merendah diri!”

Cui Im menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan mereka.

“Silakan minum demi….eh, rasa suka di hatiku terhadap Siangkong!”

Ia mengerling tajam penuh arti. Merah wajah pemuda itu ketika mengangkat cawannya.

“Terima kasih, Nona. Aku …., eh, tidak berharga untuk rasa suka Nona yang gagah perkasa dan terhormat.”

Akan tetapi ia minum juga araknya. Setelah meletakkan cawan kosong di atas meja Cong San berkata,

“Semenjak dahulu, banyak saya membaca tentang sepak terjang seorang pendekar wanita. Kini dapat bertemu, bersahabat, bahkan bercakap-cakap dengan seorang pendekar wanita, betapa bangga dan girang hati saya. Tentu Nona seorang pendekar yang kenamaan. Maukah Nona menceritakan tentang pengalaman Nona bertualang di dunia kang-ouw seperti yang saya baca di dalam buku-buku?”

Cui Im sudah mabuk, bukan mabuk arak melainkan mabuk nafsu berahinya sendiri. Pemuda ini tadi ketika berhimpitan tidak tergerak nafsunya, hal itu menandakan bahwa dia termasuk golongan laki-laki kuat. Dia harus dapat membangkitkan gairahnya, menarik perhatiannya, menggugah berahinya. Dia tahu dari pengalamannya bahwa laki-laki yang tenang dan kuat seperti ini, sekali tergugah berahinya seperti laut yang tadinya tenang diamuk badai. Menghanyutkan dan menenggelamkan. Membayangkan ini, Cui Im makin mabuk, maka mendengar pertanyaan Cong San, ia berniat untuk membanggakan diri agar pemuda itu tertarik.

“Yap Cong San, engkau belum mengenal siapakah wanita yang menjadi sahabatmu ini,”

Katanya tersenyum sambil berdiri dan menarik kedua pundak ke belakang sehingga dadanya yang penuh membusung ke depan, pakaiannya yang ketat itu membuat bentuk tubuhnya yang ramping padat tampak nyata.

“Aku terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-kiam Bu-tek! Bukan julukan kosong karena pedang merahku belum pernah ada yang mampu menandinginya!”

Ia duduk kembali, matanya bersinar penuh bafsu berahi dan kegembiraan ketika melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar.

“Wah, engkau tentu hebat sekali, Nona! Aku belum pernah mendangar nama itu, akan tetapi aku dapat menduga bahwa engkau tentulah murid orang pandai, mungkin murid hwesio-hwesio Siauw-li-pai yang kudengar merupakan orang-orang sakti yang berkepandaian seperti dewa.”

“Hi-hi-hi-hi-hi-hik! Hwesio Siauw-lim-pai? Mereka itu bukan apa-pa! Thian Ti Hwesio, tokoh Siauw-lim-pai tingkat dua itu dengan mudah saja roboh dan tewas di ujung pedang merahku!”

“Aaaahhhhh!”

Pemuda itu berseru kaget.

“Tidak perlu kaget, sahabatku yang tampan! Aku mempunyai banyak musuh dan jangan kau kaget kalau andaikata malam ini ada musuhku datang menyerangku, karena pedangku akan melindungimu. Nah, katakanlah, wahai pemuda pujaan hati, apakah engkau suka kepadaku?”

Cong San menelan ludah, sukar menjawab dan dia hanya dapat menggangguk. Diam-diam Cui Im girang, akan tetapi dia masih belum puas benar karena sikap pemuda itu masih membayangkan bahwa dia belum terangsang.

“Mari kita makan hidangan ini!”

Ia mempersilakan dan mereka lalu mulai makan. Melihat sikap Cong San masih canggung dan belum kelihatan pemuda itu tertarik, Cui Im kembali menuangkan arak, akan tetapi kini ia menuangkan arak dari sebuah guci emas yang kecil dan begitu arak dituang di dalam cawan tercium bau yang harum dan arak itu berwarna merah.

“Minum, sahabatku. Mari kita minum demi…. Cinta kasih kita!”

Cong San mengangkat cawan dan minum habis arak itu. Cui Im tertawa genit, lalu menawarkan masakan-masakan lezat, diterima oleh Cong San yang tidak banyak bicara lagi. Arak yang diminum Cong San adalah arak istimewa, arak buatan Cui Im yang mengandung obat perangsang yang amat kuat, yaitu Ai-ang-ciu.

Belum pernah Cui Im mempergunakan arak perangsang ini sebelumnya karena setiap orang pria yang di bawanya ke pondok merah itu, tanpa minum obat perangsang pun sudah terangsang hebat oleh keindahan wajah dan tubuh Cui Im. Sekali ini terpaksa dia menggunakan araknya yang lihai karena melihat bahwa Cong San benar-benar merupakan seorang pemuda istimewa yang sukar sekali dibangkitkan gairahnya. Mereka sudah kenyang akan dan arak di guci sudah habis. Pemuda itu telah minum secawan penuh Ai-ang-ciu dan belasan cawan arak biasa, arak tua dan harum yang keras. Akan tetapi masih kelihatan “dingin”

Saja. hal ini membuat Cui Im yang sudah tidak kuat menahan gelora nafsunya menjadi penasaran sekali. Ia bangkit, memindahkan bangkunya ke sebelah Cong San, duduk merapatkan tubuhnya dan berbisik,

“Cong San…. ah, Cong San…. belum tergerak jugakah hatimu…?”

Aku suka sekali padamu…”

Dalam gairah nafsunya, Cui Im memegang tangan kanan Cong San, mempermainakn jari-jari tangan pemuda itu yang halus seperti jari tangan wanita, jari tangan yang biasa dimiliki kaum sastrawan lalu menciumi tangan itu. Melihat pemuda itu masih saja dingin, Cui Im membawa tangan itu ke dadanya, dan ia mencondongkan tubuh ke depan mencium pipi Cong San. Karena gerakan ini, sebelah kakinya bergeser ke depan dan kaki itu menginjak sesuatu yang basah di lantai bawah meja. Cui Im melepaskan pipi yang diciumnya, melongok ke bawah meja.

“Aihhh…!”

Ia menjerit lirih dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, bangku yang didudukinya terguling sehingga kini tidak mengalingi lagi lantai di bawah meja yang ternyata basah oleh arak! Pada saat itu, berkelebat bayangan putih dan terdengar suara bentakan halus penuh kemarahan dan amat berpengaruh,

“Cui Im, akhirnya kita dapat berhadapan juga!”

Cui Im cepat memutar tubuhnya dan ia tidak kaget melihat Keng Hong telah berdiri di situ, bahkan ia lalu tertawa terkekeh, kemudian mencabut pedangnya ke arah Keng Hong sambil membentak,

“Cia Keng Hong! Karena mendengar engkau masih berkeliaran di sini, aku memang sengaja datang untuk memancingmu keluar dari tempat sembunyimu. Sekarang dapat masuk ke pondok ini akan tetapi jangan harap akan dapat keluar sebelum meninggalkan nyawa!”

Keng Hong tersenyum, mengerling ke arah pemuda tampan yang kini mundur-mundur ketakutan dan berdiri di pojok ruangan.

“Sobat, seorang terpelajar seperti engkau tidak semestinya dapat terpikat oleh wanita iblis ini!”

Kemudian Keng Hong memandang Cui Im dengan sinar mata tajam penuh teguran.

“Bhe Cui Im, agaknya setelah engkau mati baru engkau akan menghentikan perbuatanmu yang selalu berlandaskan nafsu! Semua perbuatanmu yang telah engkau menjatuhkan fitnah atas diri Biauw Eng menipuku dan berusaha membunuhku di Kiam-kok-san, membunuh gurumu sendiri, membunuh tokoh-tokoh kang-ouw yang tidak berdosa, sungguh membuktikan bahwa engkau bukanlah manusia, melainkan iblis! Akan tetapi, masih belum terlambat bagimu untuk sadar dan bertobat.”

“Heh-heh-heh, Keng Hong manusia sombong! Engkau memaki aku jahat seperti iblis, apakah engkau sendiri suci dan bersih seperti dewa? Dahulu aku cinta padamu dan bersumpah untuk membasmi semua wanita yang berani mencintamu. Dan Biauw Eng ternyata cinta kepadamu! Perbuatanku itu ada dasarnya, yaitu dasar cinta padamu. Apakah kau sendiri tidak sadar bahwa engkau pun seorang yang tidak mengenal cinta dan budi? Lupakah engkau betapa kita bersama menikmati cinta kita? Kemudian engkau malah menghinaku! Dan aku membunuhi tokoh-tokoh besar, apa hubungannya denganmu? Kalau aku tidak membunuh mereka, mana bisa aku disebut Ang-kiam Bu-tek, dan apa gunanya pula susah payah mempelajari semua ilmu, hidup tersiksa selama lima tahun di dalam neraka bersama seorang pria macam engkau yang tiada ubahnya sebuah arca batu? Huh, engkau sekarang mau apa, Keng Hong?”

“Cui Im, mengingat bahwa engkau, biarpun secara tidak resmi, adalah murid guruku juga, biarlah aku mengampunimu asal engkau suka memenuhi dua syaratku!”

“Hi-hi-hik! Keng Hong, engkau benar-benar sombong bukan main. Akan tetapi biarlah aku mendengar dulu apa syaratmu itu?”

“Pertama, sekarang juga engkau harus mengembalikan semua pusaka peninggalan suhu. Aku tidak ingin benda-benda itu, akan tetapi benda-benda itu menjadi hak milik orang-orang dan partai-partai persilatan lain, tidak boleh kau rampas dan curi begitu saja. Ke dua, mulai detik ini engkau harus bertobat, menghentikan perbuatan-perbuatamu yang jahat. Kurasa, dengan bekerja di istana, apalagi di bawah pengawasan pembesar-pembesar-pembesar sakti bijaksana seperti The-taijin, engkau akan dapat menjadi seorang manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa.”

Cui Im membanting kakinya dan mengelebatkan pedangnya sehingga tampak sinar merah,

“Keng Hong, syarat-syaratmu adalah syarat yang hendak menang sendiri. Kau katakan aku merampas dan mencuri pedang. Hendak kutanya, bagaimana pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain bisa berada di tangan Sin-jiu Kiam-ong gurumu itu? Bukankah dia juga dahulu merampas dan mencurinya? Kau bilang sendiri bahwa aku juga murid Sin-jiu Kiam-ong, nah kalau benar begitu, akulah murid yang berbakti dan setia, melanjutkan cita-cita dan perbuatan guru. Sebaliknya engkau hendak mengembalikan pussaka-pusaka itu kepada peilik asal, berarti engkau hendak menentang perbuatan mendiang guru sendiri! Tidak, aku tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali tidak kepada engkau! Dan soal ke dua, kau mengatakan aku melakukan perbuatan jahat! Yang mana? Apakah bersenang-senang dengan dia itu kau anggap jahat? Bagaimana dengan engkau sendiri dengan Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai, dengan Kim Bwee Ceng dan Tan Swat Si murid-murid Kong-thong-pai itu?”