Dara Baju Merah (Ang-I-Nio-Cu): 16-20


JILID 16

LIMA PULUH jurus telah lewat dan belum juga Tek Sin Tojin dapat mendesak sute-nya, apa lagi mengalahkannya! Tiba-tiba saja tosu itu merubah gerakannya dan kagetlah Liem Sun Hauw. Biar pun ia sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat Go-bi-pai, tapi baru kali ini ia melihat ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin. Ilmu silat ini hebat sekali. Gerakannya seperti seorang kakek tua memberi pelajaran menulis dengan telunjuknya. Sebentar saja Liem Sun Hauw terdesak.

Akan tetapi pemuda ini mengeluarkan seruan keras dan ia pun merubah gerakannya. Kini Twi Mo Siansu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget ketika melihat ilmu silat yang cepat sekali gerakannya akan tetapi sama sekali bukan ilmu silat dari Go-bi-pai! Tadinya ia sudah hendak menegur murid kepala karena mengeluarkan ilmu silat ‘simpanan’. Ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin adalah ilmu silat Go-bi-pai yang khusus diajarkan kepada murid kepala yang kelak dicalonkan menjadi ketua apa bila ketua yang sekarang meninggal dunia, maka tidak boleh sembarangan dikeluarkan.

Bahkan Thian Mo Siansu sendiri pun tidak pernah diberi pelajaran ilmu silat ini, maka tentu saja Liem Sun Hauw tidak mengenalnya. Akan tetapi Twi Mo Siansu yang merasa senang melihat kegagahan Sun Hauw, tadinya ingin sekali tahu sampai berapa lama Sun Hauw dapat mempertahankan diri. Alangkah kagetnya pada waktu ia melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu silat yang luar biasa dan yang agaknya dapat menandingi ilmu silat simpanan Go-bi-pai itu!

“Tahan! Tek Sin dan Sun Hauw, cukuplah ujian ini!” seru Twi Mo Siansu. Dia khawatir kalau-kalau sampai terjadi korban dan dia merasa malu kalau sampai akhirnya Tek Sin Tojin kalah, apa lagi di sana terdapat seorang tamu.

“Tek Sin, bagaimana pendapatmu? Sudah puaskah kau?”

Tek Sin Tojin adalah seorang jujur. Dia cepat berlutut di depan suhu-nya dan berkata, “Dalam hal ilmu silat Go-bi-pai, Liem-sute sudah memperlihatkan bahwa dia benar-benar anak murid Go-bi-pai dan tidak kalah oleh teecu sendiri. Bahkan agaknya Liem-sute telah mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain yang lebih hebat!” Kata-kata ini mengandung sindiran bahwa sebagai murid Go-bi-pai, tidak selayaknya Sun Hauw menjadi murid partai lain tanpa seijin Ketua Go-bi-pai.

“Liem Sun Hauw, apakah kau juga menjadi murid dari partai lain?” tanya Twi Mo Siansu dengan suara kereng.

Sun Hauw berlutut, “Teecu hanya menjadi murid Suhu Twi Mo Siansu saja, tidak menjadi murid partai lain.”

“Sute, jangan kau berbohong! Kalau menjadi murid partai lain, lebih baik mengaku saja, mungkin Suhu masih dapat mempertimbangkan!” tegur Tek Sin Tojin.

“Mana siauwte berani membohong di depan Susiok, Suheng?”

“Ilmu silatmu dalam jurus-jurus terakhir bukanlah ilmu silat Go-bi-pai! Apakah kau hendak menyangkal?”

“Memang bukan ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi siauwte menerima pelajaran ilmu silat itu dari Suhu pula, dan Suhu katanya menerima ilmu silat itu dari seorang tokoh yang sakti bernama Hok Peng Taisu di Hong-lun-san.”

Twi Mo Siansu terkejut mendengar nama ini. Nama itu adalah nama seorang di antara tokoh-tokoh terkemuka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh sakti di samping Bu Pun Su dan Han Le.

“Sun Hauw, mengapa kau tadi mengeluarkan ilmu silat itu? Apakah kau sengaja hendak memamerkannya dan menganggap bahwa ilmu silat itu lebih unggul dari pada ilmu silat Go-bi-pai?”

“Tidak sekali-kali teecu berani beranggapan demikian, Susiok. Tadi tiba-tiba saja teecu menghadapi serangan jurus-jurus ilmu silat yang sama sekali belum teecu kenal, yang amat hebat dan membingungkan teecu. Karena merasa bahwa tidak ada jurus ilmu silat Go-bi-pai yang teecu kenal bisa menghadapi serangan Suheng itu, maka terpaksa teecu mengeluarkan ilmu silat lain itu… harap Susiok sudi memaafkan.”

Twi Mo Siansu menarik napas panjang. “Sudahlah. Di dunia ini memang banyak sekali ilmu silat tinggi, mana bisa Go-bi-pai berani mengangkat dada mengagulkan kepandaian sendiri? Hanya pesanku, Sun Hauw, apa bila kau mengeluarkan ilmu silat yang tadi, kau sekali-kali tak boleh mengaku sebagai anak murid Gobi-pai! Pantangan besar bagi murid Go-bi-pai untuk mengandalkan penjagaan diri bukan dengan ilmu silat Go-bi-pai.”

”Teecu mentaati perintah Susiok,” kata Sun Hauw.

Twi Mo Siansu berpaling kepada Kiang Liat. “Sicu, sampaikan kepada sahabat baik Bu Pun Su bahwa permintaannya sudah kuterima dan kusetujui. Mengenai penjagaan di bagian utara, aku berianji akan mengerahkan anak murid Go-bi-pai. Dan tentang usaha mempersatukan sahabat-sahabat segolongan, kau lihat murid Liem Sun Hauw mewakili aku dan dia akan berusaha untuk mendamaikan urusan antara Kim-san-pai dan partai Bu-tong-pai.”

“Terima kasih, Locianpwe. Sesudah melihat sikap saudara muda Liem ini, saya merasa kagum dan tertarik. Karena perjalanan menuju ke Bu-tong-san sejalan dengan perjalanan saya, maka ingin sekali saya menemani Saudara Liem di perjalanan,” kata Kiang Liat.

Setelah membuat persiapan dan minta diri dari Twi Mo Siansu, maka berangkatlah Kiang Liat dan Liem Sun Hauw turun gunung.

*****

MEREKA merupakan dua orang jantan yang sama-sama gagah perkasa, hampir seimbang kokoh kekar bentuk badannya, sama-sama tampan dan gagah, hanya bedanya, Kiang Liat sudah setengah tua, rambutnya sebagian sudah putih dan mukanya telah berjenggot dan berkumis, sedangkan Liem Sun Hauw masih muda, mukanya masih halus.

Kiang Liat sengaja mengerahkan ilmu lari cepat dan Liem Sun Hauw yang muda tahu bahwa dirinya di’jajal’ oleh utusan Bu Pun Su ini. Sudah lama Liem Sun Hauw mendengar nama besar Bu Pun Su yang sering dipuja oleh mendiang suhu-nya, Thian Mo Siansu. Karena itu sekarang dia girang sekali dapat berkenalan dengan seorang yang masih ada hubungan dengan Bu Pun Su.

Mengetahui dirinya tengah diuji, ia pun mengerahkan ginkang dan berlari secepat terbang mengimbangi kecepatan lari Kiang Liat. Mereka menuruni Gunung Go-bi-san, melompati jurang dan melalui jalan yang sukar dengan enak saja bagaikan orang berlari-lari di atas tanah rata.

Kiang Liat pernah menerima latihan ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng, maka dalam ilmu lari cepat, dia sudah mencapai tingkat tinggi. Oleh karena ini, biar pun Liem Sun Hauw juga lihai, pemuda ini masih kalah setingkat. Namun Kiang Liat juga tidak bermaksud membikin malu pemuda itu, maka sengaja mengurangi kecepatannya agar mereka dapat jalan berendeng.

Sesudah bercakap-cakap, keduanya semakin merasa cocok, Liem Sun Hauw yang tahu bahwa ilmu lari cepat orang tua ini masih melampauinya, merasa amat kagum. Ia makin merasa suka karena Kiang Liat ternyata tidak meninggalkannya dan tidak memamerkan kemenangannya.

Tiba-tiba, pada sebuah tikungan jalan mereka melihat seorang tosu gemuk pendek berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka menghentikan perjalanan dan sesudah dekat, Liem Sun Hauw mengenali tosu ini sebagai murid ke dua dari Twi Mo Siansu. Melihat sikap tosu yang bermuka kuning dan bertubuh gemuk pendek ini, diam-diam Sun Hauw merasa tak enak hati.

“Agaknya Suheng ada keperluan penting maka menanti siauwte di sini,” kata Sun Hauw sambil memberi hormat.

“Memang ada keperluan penting sekali,” kata tosu itu, suaranya tinggi dan menggetar.

Mendengar suara ini dan melihat muka yang kekuningan dan pucat itu, diam-diam Kiang Liat terkejut karena maklum bahwa tosu yang kelihatannya tidak seberapa ini ternyata adalah seorang seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga lweekang tinggi.

“Barang kali kau belum tahu, pinto adalah Tek Le Tojin, murid ke dua dari Ciangbunjin (ketua) Gobi-pai.”

Melihat sikap tosu ini, Sun Hauw merasa mendongkol bukan main. Sikap ini menunjukkan seakan-akan dirinya tak dianggap sebagai murid Go-bi-pai, melainkan dianggap sebagai tamu.

“Siauwte sudah mengerti, sekarang apakah kehendak Ji-suheng?”

“Kau dipercaya oleh Suhu untuk memikul tugas yang berat. Tadi pinto telah menyaksikan kepandaianmu, akan tetapi sayang, Suhu buru-buru menahan. Karena tugasmu penting sekali, pinto masih merasa penasaran dan hendak meyakinkan apakah kau benar-benar akan sanggup melakukan tugas itu karena apa bila kiranya kau tidak patut menjadi wakil Suhu, masih belum terlambat kau mengembalikan tugas itu kepada Suhu.”

“Apa maksud Suheng?” tanya Sun Hauw tak senang.

“Menguji apakah betul-betul kau patut menjadi wakil Suhu!” jawab Tek Le Tojin tegas.

Mendengar ucapan tosu muka kuning yang bertubuh pendek gemuk itu, Liem Sun Hauw mengerutkan kening, hatinya tidak senang sekali.

“Suheng Tek Le Tojin, mengapa Suheng melakukan ini? Bukankah Suheng sendiri sudah menyaksikan bahwa Susiok telah memberi kekuasaan kepada siauwte untuk melakukan tugas ini?”

Tek Le Tojin tersenyum menyeringai. “Suhu selalu bersikap lemah dan pemurah. Akan tetapi sekali ini pinto sungguh-sungguh meragukan apakah kepercayaan Suhu kepadamu bijaksana. Kau bocah kemarin sore yang belum tahu tentang seluk beluk dunia kang-ouw, bagaimanakah kau dapat menyelesaikan tugas dengan baik? Apa lagi bila diingat bahwa tugas ini amat pentingnya, yakni menjadi pendamai antara dua partai besar, Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Pinto sendiri yang sudah banyak makan garam dunia masih ragu-ragu, apakah pinto akan berhasil menunaikan tugas itu, apa lagi seorang bocah macam kau. Hemmm, apakah yang kau andalkan? Maka majulah, pinto hendak mencobamu agar hati pinto tenteram kalau kau pergi. Bagimu mungkin nama besar Go-bi-pai tidak ada artinya, namun bagi pinto dan para anak murid Go-bi-pai amat besar artinya dan harus dijaga baik-baik, kalau perlu bahkan dibela dengan taruhan nyawa!”

Sun Hauw merasa mendongkol. Dia dapat memaklumi dan dapat pula mengagumi sifat tosu yang jujur ini, yang meragukan keputusan Ketua Go-bi-pai sekali-kali bukan dengan maksud untuk menghinanya atau untuk membandel terhadap keputusan Twi Mo Siansu, akan tetapi untuk menjaga nama baik Go-bi-pai yang kini mengutus seorang anak murid yang bukan langsung belajar di Go-bi-san. Pendeknya, tosu ini masih tidak percaya akan kepandaiannya.

Kali ini aku harus memperlihatkan kepandaianku. Pikir pemuda ini dengan hati gemas.

“Baiklah, Suheng. Kau adalah saudara tuaku, maka sebagai saudara muda, mana berani aku membantah kehendakmu? Biarlah Kiang-lo-enghiong ini menjadi saksi bahwa ujian kepandaian ini merupakan kehendakmu dan sama sekali bukan aku yang menghendaki. Maka kalau sampai Susiok marah, aku tidak mau memikul tanggung jawabnya.”

“Baik, baik, biarlah Sicu ini menjadi saksi. Nah, Liem-sute kau bersiaplah!”

Sambil berkata demikian, Tek Le Tojin segera memasang kuda-kuda menghadapi Liem Sun Hauw. Kuda-kudanya biasa saja, kuda-kuda ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi nampak kokoh kuat seakan-akan kedua kakinya telah berakar ke dalam tanah.

Melihat pasangan kuda-kuda ini, di dalam hatinya Sun Hauw tertawa geli. Bagaimana sih tosu ini? Sudah disaksikan oleh Twi Mo Siansu sendiri ketika ia dicoba oleh murid kepala Go-bi-pai, ia dapat melayani Tek Sin Tojin dengan baik. Sekarang murid kedua ini hendak mengujinya lagi dengan ilmu silat serupa. Mungkinkah ada murid kedua lebih pandai dari pada murid pertama?

“Baiklah, Suheng. Siauwte menunggu pelajaran dari Suheng!” Sun Hauw berkata sambil memasang kuda-kuda pula menghadapi tosu itu.

Tek Lojin mulai menyerang sambil berseru, “Awas serangan!”

Tangannya memukul ke arah dada Sun Hauw.

Pemuda ini dengan tenang kemudian memindahkan kaki sambil menangkis. Akan tetapi dia kaget sekali pada waktu lengannya beradu dengan lengan tosu itu, karena dia merasa lengannya menjadi linu dan sakit, bahkan tenaga serangan tosu ini sedemikian kerasnya sampai-sampai tubuhnya mendoyong!

Ahh, sekarang tahulah dia. Ji-suheng-nya ini adalah seorang yang mempunyai lweekang tinggi sekali, mungkin lebih kuat dari pada Tek Sin Tojin. Sun Hauw berlaku awas dan kini tak berani lagi ia menerima pukulan suheng-nya dengan tangkisan langsung, sebaliknya dia mengandalkan kelincahan untuk mengelak dan balas menyerang. Dia memang lebih lincah, selain tubuhnya memang lebih baik bentuknya, juga pemuda ini menerima latihan ginkang istimewa dari mendiang gurunya.

Akan tetapi lagi-lagi ia terkejut sekali karena kini setiap pukulan tangan Tek Le Tojin, biar pun tidak mengenai tubuhnya, tapi sudah mendatangkan angin pukulan yang panas dan dahsyat! Dia tidak tahu bahwa tingkat ilmu lweekang dari Tek Le Tojin sudah amat tinggi dan bahwa tosu ini telah memahami ilmu pukulan berdasarkan lweekang tingkat tinggi yang disebut Pek-lek-ciang (Si Tangan Kilat).

Biar pun ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat Go-bi-pai, namun dalam tiap pukulan Tek Le Tojin mempergunakan tenaga Pek-lek-ciang dalam usahanya untuk mengalahkan Sun Hauw.

Sun Hauw benar-benar terdesak hebat. Dalam hal menguji dirinya, ternyata Tek Le Tojin ini bahkan lebih kejam dari pada Tek Sin Tojin, karena Tek Le Tojin terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas dan kalau mengenai tepat pada sasarannya kiranya akan mendatangkan akibat hebat!

Oleh karena tidak tahan menghadapi serangan dengan pukulan Pek-lek-ciang, Sun Hauw berseru keras dan kembali ia mengeluarkan ilmu pukulan yang ia pelajari dari mendiang suhu-nya, yakni ilmu pukulan dari Hok Peng Taisu! Benar saja, baru tiga jurus ia melawan dengan ilmu silat ini, ia dapat membuyarkan desakan Tek Le Tojin.

“Bocah lancang! Kau sudah lupa akan pesan Suhu dan kembali berani mempergunakan ilmu silat iblis ini?!” bentak Tek Le Tojin!

“Suheng yang mulai lebih dulu!” bantah Sun Hauw. “Mengapa Suheng mempergunakan hawa pukulan yang panas itu? Di dalam ilmu silat Go-bi-pai tidak ada pukulan macam itu!”

“Begitu? Baik, kau tahanlah pukulanku dengan ilmu iblismu itu!”

Setelah membentak begini, Tek Le Tojin kemudian memukul dengan penggunaan tenaga sepenuhnya sehingga Sun Hauw cepat-cepat harus menggunakan kelincahannya untuk mengelak. Kemudian, dengan luar biasa cepatnya dan tidak kalah hebat, dia membalas dengan serangan-serangan yang gerakannya tak dikenal oleh Tek Le Tojin sehingga tosu ini menjadi kelabakan.

Dalam marahnya, pada saat kedua tangan Sun Hauw memukul dengan sepasang lengan dilonjorkan lurus ke muka, Tek Le Tojin langsung menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya.

“Plakkk!”

Dua pasang telapak tangan bertemu. Sun Hauw tidak kuasa menarik kembali sepasang tangannya! Ia terkejut sekali dan mencoba untuk membetot kedua tangannya, akan tetapi sia-sia belaka. Sepasang telapak tangan Tek Le Tojin seakan-akan menyedot tangannya, membuat dua tangan Sun Hauw menjadi menempel. Perlahan-lahan Sun Hauw merasa betapa hawa panas mengalir dari kedua tangan suheng-nya itu menyerang ke dadanya melalui sepasang lengannya!

Ia makin terkejut dan gelisah karena sebagai seorang ahli silat tinggi maklumlah pemuda ini bahwa suheng-nya sedang menyerang dirinya dengan tenaga lweekang tingkat tinggi, menyerang secara keji karena serangan ini apa bila sampai melukai jantungnya berarti mengantar ia menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)! Untuk melepaskan diri tak mungkin, maka Sun Hauw lalu mengerahkan seluruh lweekang-nya untuk melawan serangan ini.

Baiknya ia pun sudah mendapat latihan lweekang dari mendiang suhu-nya dan biar pun dalam hal tenaga lweekang tingkatnya masih kalah banyak oleh suheng-nya ini, namun setidaknya tenaganya bisa menolak kembali serangan itu dan ia dapat mempertahankan diri untuk sementara waktu. Ia hanya mengharapkan saja bahwa tosu ini takkan berlaku kejam dan akan menyudahi serangannya yang keji.

Akan tetapi harapannya ternyata kosong belaka. Tek Le Tojin sedikit pun tak mengurangi serangannya, bahkan mengerahkan tenaga Pek-lek-ciang untuk rnencelakai pemuda itu. Bahkan untuk memamerkan keunggulannya dalam adu tenaga lweekang itu, dia masih membuka mulut menyindir,

“Hemm, begini sajakah orang yang hendak mewakili Go-bi-pai? Sungguh mengecewakan dan memalukan sekali!”

Dia memperhebat tenaganya sehingga kini muka Sun Hauw sudah penuh keringat dan kedua lengan tangannya sudah mulai gemetar!

“Sungguh mengherankan sikap tokoh Go-bi-pai!” Tiba-tiba terdengar suara menggeledek.

Sun Hauw merasa pundaknya ditepuk orang dari belakang. Seketika itu juga, ada tenaga yang dahsyat mengalir melalui kedua lengannya dan menyerang Tek Le Tojin sehingga tosu itu merasa kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaga tempelannya lenyap. Sun Hauw mempergunakan tangan mendorong sambil melompat ke belakang. Tubuhnya terhuyung-huyung dan tentu akan roboh saking lemasnya kalau saja tidak ada Kiang Liat yang cepat menahan punggungnya.

Tek Lek Tojin memandang Kiang Liat dengan sepasang mata terbelalak lebar dan mulut tersenyum masam.

“Sudah menerima pelajaran dari Kiang-sicu, sungguh mengagumkan…!”

Memang, yang membantu Sun Hauw tadi bukan lain adalah Kiang Liat karena pendekar ini tidak tega melihat pemuda itu diancam bahaya maut oleh tangan suheng-nya sendiri. Ia merasa penasaran, dan biar pun urusan itu bukan urusannya melainkan urusan antara dua orang murid Go-bi-pai, akan tetapi dia tidak bisa membiarkan pemuda itu terbunuh begitu saja.

Sesudah berkata demikian sambil menjura kepada Kiang Liat, tosu gemuk pendek itu lalu berlari naik ke puncak lagi dengan cepat.

“Sungguh berbahaya…” Sun Hauw berkata sambil menarik napas panjang, “Baiknya ada Kiang-lo-enghiong yang menolongku tadi, kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan nasibku. Terima kasih banyak, Kiang-lo-enghiong.”

“Sudahlah, aku tidak bisa membiarkan dia berbuat kejam begitu saja. Dia seorang jujur dan pandai, sayang sekali terlalu keras. Pantas saja Twi Mo Siansu memilih Tek Sin Tojin sebagai calon pengganti ketua, padahal Tek Le Tojin masih lebih berbakat untuk menjadi seorang ahli silat tinggi.”

Karena tekanan Tek Le Tojin tadi sudah menyerang hebat dan baru saja Sun Hauw harus mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, maka ia perlu beristirahat untuk memulihkan kekuatannya. Kiang Liat mengajaknya beristirahat di bawah pohon dan sambil beristirahat mereka bercakap-cakap. Kiang Liat makin suka kepada pemuda ini, sebaliknya Liem Sun Hauw makin menghormat karena kini baru dia tahu betul bahwa utusan Bu Pun Su ini adalah seorang berkepandaian tinggi.

“Agaknya Suheng Tek Le Tojin, seperti juga Suheng Tek Sin To tidak senang kepadaku sebab aku adalah murid Thian Mo Siansu. Dalam hal ini terdapat hal tertentu,” Sun Hauw bercerita, “Dahulu Suhu-ku, Thian Mo Siansu, menjadi ketua dari Go-bi-pai dibantu oleh Susiok Twi Mo Siansu. Peraturan dari partai Go-bi-pai amat keras dan ketinggalan jaman, maka anak murid Go-bi-pai menjadi kaku-kaku dan cara hidupnya bahkan jauh melebihi pendeta-pendeta yang selama hidupnya dikeram di dalam kuil. Suhu-ku tidak menyetujui peraturan-peraturan ini dan setelah ia menjadi ciangbunjin, sedikit demi sedikit ia hendak merubahnya. Pendeknya Suhu hendak menjadi pencipta aliran baru untuk menyesuaikan keadaan partai kami dengan kemajuan jaman. Akan tetapi, Susiok Twi Mo Siansu adalah seorang yang amat kukuh dan penganut aliran lama dalam peraturan Go-bi-pai sehingga mulailah terjadi bentrokan paham antara Suhu dengan Susiok. Perubahan yang hendak dilakukan oleh Suhu antara lain bahwa Suhu ingin mengembangkan ilmu silat Go-bi-pai ke dunia ramai agar ilmu dari Go-bi-pai tidak hanya dimiliki oleh para pendeta saja, akan tetapi dapat digunakan oleh orang-orang untuk membasmi kejahatan di dunia kang-ouw. Hal ini ditentang keras oleh Susiok yang khawatir kalau-kalau ilmu silat partai Go-bi-pai akan terjatuh ke dalam tangan orang jahat dan akhirnya orang itu akan merusak nama baik Go-bi-pai. Pendirian Susiok ini disokong oleh hampir semua tosu di dalam kuil.”

Kiang Liat mengangguk-angguk. “Dua macam pendirian, akan tetapi keduanya memiliki kebenaran masing-masing. Suhu-mu benar sebab apalah artinya dahulu para guru besar Go-bi-pai susah payah menciptakan ilmu-ilmu yang tinggi kalau hanya disimpan di dalam kuil dan tidak dipergunakan untuk kebaikan umat manusia? Sebaliknya, susiok-mu juga benar karena memang bahaya yang dikhawatirkan itu mungkin sekali terjadi. Akan tetapi, sebetulnya perbedaan faham dapat dipecahkan dengan jalan tengah, misalnya, biar pun boleh menerima murid dari luar, akan tetapi dilakukan pemilihan yang keras dan setiap murid diharuskan belajar di puncak Go-bi-san.”

“Sayang dahulu tidak ada Lo-enghiong yang memberi nasehat kepada Suhu dan Susiok. Akan tetapi, pertikaian itu pun tidak berlarut-larut karena Suhu yang amat sayang kepada Susiok, lalu meninggalkan Go-bi-san dan menyerahkan kedudukannya kepada Susiok. Suhu sendiri lalu turun gunung merantau dan menerima beberapa orang murid di dalam perantauannya, di antaranya aku sendiri menjadi muridnya yang terakhir sampai Suhu meninggal di kampungku.”

“Di manakah kampungmu?”

“Kampungku Pek-kan-mui terletak di Propinsi Shansi, di lembah Sungai Huang-ho. Suhu tinggal di sana sampai selama tujuh tahun. Aku murid tunggal dan terakhir. Bahkan Suhu tinggalnya juga di rumahku, di mana aku tinggal berdua dengan Ayah yang telah menjadi duda. Ibuku sudah meninggal dunia semenjak aku berusia lima tahun. Kemudian karena sakit dan sudah amat tua, Suhu meninggal dunia dan berpesan agar supaya aku naik ke Go-bi-san dan memperkenalkan diri kepada Susiok serta memberi tahu tentang kematian Suhu.”

Kiang Liat tertarik sekali mendengar penuturan Sun Hauw. Apa lagi ketika mendengar keadaan pemuda ini yang tidak memiliki ibu lagi. Diam-diam ia membandingkan keadaan pemuda ini dengan keadaan puterinya.

Timbul rasa sayang dan suka di dalam hatinya kepada pemuda ini dan timbul keinginan hatinya untuk mengambil Sun Hauw sebagai menantunya, dijodohkan dengan Kiang Im Giok. Sebaliknya, Sun Hauw yang merasa sangat kagum kepada Kiang Liat, juga ingin mengetahui keadaan rumah tangga Kiang Liat lebih jelas.

“Kalau aku boleh bertanya, Lo-enghiong tinggal di manakah dan sebenamya Lo-enghiong yang lihai ini murid siapakah?”

Kiang Liat tersenyum. “Aku ahli waris ilmu silat keluarga Kiang dan selain itu, juga aku pernah menjadi murid Suhu Han Le, dan pernah pula menerima pelajaran dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Supek Bu Pun Su juga pernah memberi pelajaran kepadaku.”

“Aduh, pantas saja Lo-enghiong demikian lihai…” Sun Hauw berseru kagum dan menjura memberi hormat. “Harap maafkan kalau siauwte tadi berlaku kurang hormat.”

“Hushhh, mengapa banyak sungkan-sungkan? Apa sih artinya kepandaian? Betapa pun tinggi Gunung Thai-san, masih ada langit yang berada di atasnya! Betapa pun pandainya seseorang, pasti ada yang lebih pandai dari padanya. Kita sudah menjadi sahabat apa perlunya berlaku sheji (sungkan)?”

“Terima kasih atas kepercayaan Lo-enghiong padaku yang muda dan bodoh. Di manakah Lo-enghiong tinggal? Siapa tahu kelak kalau ada waktu, aku akan datang berkunjung.”

“Rumahku di Sian-koan dan di sana aku hanya tinggal berdua dengan puteri tunggalku. Ibunya sudah meninggal dunia semenjak anakku masih kecil sekali…” Kiang Liat menarik napas panjang dan meramkan mata karena teringat akan isterinya yang tercinta.

“Ahhh aku ikut menyesal sekali akan nasibmu yang malang, Lo-enghiong…,” cepat-cepat Sun Hauw menghibur melihat keadaan Kiang Liat.

Pendekar ini membuka kedua matanya, bibirnya memaksa tersenyum akan tetapi kedua matanya basah. “’Terima kasih, kau baik sekali, Liem-sicu.”

“Namaku Sun Hauw, harap Lo-enghiong jangan sungkan-sungkan menyebut namaku dan menganggap aku sebagai sahabat baik atau keluarga sendiri. Sungguh tidak enak kalau mendengar Lo-enghiong bersungkan dan menyebutku Liem-sicu!”

“Baiklah Sun Hauw, engkau memang seorang pemuda yang baik. Mudah-mudahan saja hidupmu bahagia, jangan seperti aku…”

Melihat betapa Kiang Liat kembali akan terbenam dalam kesedihannya, Sun Hauw yang amat pandai membawa diri itu berkata, dengan maksud menghibur Kiang Liat, membawa orang tua itu kepada kenangan yang menggembirakan.

“Lo-enghiong, kau begini gagah perkasa, sudah tentu puterimu juga memiliki kepandaian tinggi, bukan?”

Maksud Sun Hauw berhasil. Kini sesudah diingatkan akan puterinya, berserilah lagi wajah Kiang Liat, matanya bersinar-sinar gembira. Bukan sekedar dapat membikin Kiang Liat untuk sementara waktu melupakan isterinya yang telah meninggal, bahkan pertanyaan ini menimbulkan kembali niatnya semula, yakni memungut mantu pemuda yang tampan dan gagah lagi menyenangkan hati ini.

“Kau maksudkan puteriku Im Giok? Ha-ha-ha, orang sudah memberi julukan Ang I Niocu kepadanya! Salahnya sendiri, semenjak kecil dia suka memakai pakaian serba merah sih. Kepandaiannya? Ah, dia memang beruntung, bahkan Supek Bu Pun Su sendiri berkenan memberi beberapa ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Tentang kepandaiannya pada waktu ini kalau mau diukur, tingkatnya malah lebih tinggi dari pada tingkat kepandaianku!”

Diam-diam Sun Hauw terkejut. Bukan main! Kepandaian Kiang Liat sudah begini hebat, namun sekarang Kiang Liat sendiri mengaku bahwa kepandaian puterinya yang bernama Ang I Niocu Kiang Im Giok itu lebih tinggi lagi!

“Lo-enghiong benar-benar berbahagia dan keluarga Lo-enghiong adalah keluarga gagah perkasa. Benar-benar membuat siauwte tunduk dan kagum,” kata Sun Hauw.

“Sun Hauw, kau sendiri apakah sudah menikah?”

Ditanya tentang ini secara tiba-tiba, pemuda itu membuka lebar-lebar matanya, kemudian mukanya berubah merah dan ia menggeleng kepala.

“Belum Lo-enghiong.”

“Hemm, usiamu kurasa sudah lebih dua puluh dan sudah sepatutnya jika telah memiliki jodoh.”

“Siauwte berusia dua puluh dua tahun, akan tetapi siauwte yang miskin ini mana berani menyeret anak orang lain dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan?”

Jawaban ini menyenangkan hati Kiang Liat.

“Kata-katamu itu mencerminkan watakmu yang baik, Sun Hauw. Sebagai seorang gagah harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Namun ucapanmu tadi tidak betul. Bukan kemiskinan yang akhirnya mendatangkan kesengsaraan dalam perjodohan, akan tetapi ketidak rukunan atau ketidak cocokan keadaan dan watak. Sudah lama sekali aku mencari-cari calon jodoh puteriku, akan tetapi karena aku takut kalau-kalau wataknya tidak cocok, karena itu sampai sekarang aku masih belum menemukan orangnya. Anakku mempunyai kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, tentu dia mengutamakan kegagahan seperti semua keluarga kami. Selain ini, tentang muka, hmmm… bagiku, di muka bumi ini, kecuali mendiang ibunya, tidak ada wanita yang secantik dia! Sun Hauw, aku Kiang Liat paling suka bicara terus terang. Sampai sekarang belum pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang patut menjadi jodoh Im Giok. Dan sekarang aku bertemu dengan engkau. Aku suka sifat-sifatmu, aku melihat kau seorang pemuda yang cukup tinggi ilmu silatmu, bakatmu baik, dan kau mengutamakan kegagahan pula. Kau tampan dan gagah, kiranya pantas sekali menjadi calon jodoh puteriku.”

Mendengar ucapan ini bukan main bingung dan jengahnya pemuda itu. Mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia hanya tersenyum malu-malu dan tak berani langsung menatap wajah Kiang Liat.

“Bagaimana, anak muda? Apakah kau bersedia menjadi calon suami puteriku?”

Didesak begini, Sun Hauw tidak dapat menjawab, hanya memandang ragu dan bingung. Akhimya dapat juga ia menjawab,

“Maaf, Lo-enghiong. Urusan ini datangnya begini tiba-tiba sehingga aku tidak tahu bagai mana harus menjawab. Kiranya hal ini perlu dipikirkan lebih masak dan sekembaliku dari Bu-tong-san aku akan singgah ke Sian-koan dan memberi jawaban keputusan.”

Kiang Liat mengangguk-angguk gembira.

“Baiklah, tentu saja demikian! Asal ada kesanggupan darimu, hatiku sudah sangat puas. Memang, syarat dalam perjodohan bukan hanya tergantung dari persamaan watak, akan tetapi juga kecocokan hati! Aku tahu keadaan hati orang-orang muda jaman sekarang. Dan tentu saja kau belum puas mendengar kata-kataku kalau kau belum melihat sendiri orangnya. Ha-ha-ha! Baiklah, Sun Hauw, aku menunggu kedatanganmu secepat mungkin dan aku berani bertaruh potong kepala bahwa sekali kau melihat Im Giok, kau tidak akan dapat tidur nyenyak lagi. Ha-ha-ha!”

“Aku yang bodoh ini menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas budi kecintaan dari Lo-enghiong yang dilimpahkan kepadaku. Semoga Thian menjaga sehingga aku kelak tidak akan mengecewakan hati Lo-enghiong yang berbudi mulia, dan selama nyawa di kandung badan, aku tak akan melupakan Lo-enghiong. Aku bersumpah untuk datang ke Sian-koan setelah selesai tugas yang diserahkan kepadaku.”

Demikianlah, dengan hati girang dan penuh harapan, Kiang Liat berpisah dari Sun Hauw. Dia pulang menuju ke Sian-koan, sedangkan Sun Hauw melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-san.

*****

Semenjak kecilnya, Giok Gan Niocu Song Kim Lian memang sudah memiliki sifat-sifat kurang baik dari seorang gadis, yakni centil genit dan kadang-kadang bersifat cabul. Di dalam hatinya ia boleh dibilang gila lelaki dan pikirannya penuh oleh bayangan pemuda-pemuda tampan.

Selama ia tinggal bersama gurunya dan sumoi-nya, ia masih tak dapat berbuat sesuka hatinya karena takut kepada gurunya, juga takut dan segan kepada Kiang Im Glok. Akan tetapi, setelah gurunya dan sumoi-nya pergi dalam waktu berbareng, yakni Im Giok pergi mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai sedangkan Kiang Liat oleh Bu Pun Su disuruh ke Go-bi-san, keadaan Song Kim Lian laksana kuda betina liar tidak dipasangi kendali lagi!

Dia bersuka-suka dan bermain-main dengan para pemuda kota Siang-koan yang boleh dibilang semua memujanya karena dia memang cantik jelita lagi genit. Setiap hari Kim Lian pergi pesiar sambil bergurau gembira bersama serombongan pemuda tampan yang kerjanya hanya hilir mudik menjual tampang, pemuda-pemuda anak orang kaya yang tak memiliki pekerjaan lain kecuali mengatur pakaian dan merawat muka seperti perempuan.

Penduduk-penduduk tua di Sian-koan menggeleng kepala menyaksikan kejanggalan ini, akan tetapi siapakah berani menegur Giok Gan Niocu Song Kim Lian yang selain memiliki kepandaian tinggi juga merupakan murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, pendekar besar di kota Sian-koan?

Perjalanan Im Giok dan Kiang Liat memakan waktu lama. Hal ini diketahui baik oleh Kim Lian dan karenanya membuat dia menjadi semakin berani dan binal. Gadis yang merasa tidak ada orang yang akan berani menegurnya ini bahkan menjadi demikian binal sampai-sampai pada suatu hari ia mengundang belasan orang pemuda pemogoran untuk datang di taman bunga gedung gurunya untuk berpesta dan bergembira!

Para pelayan di rumah gedung keluarga Kiang tentu saja tidak ada yang berani menegur, bahkan mereka juga ikut bergembira. Para pemuda itu menikmati hidangan dan arak, dan puncak kegembiraan itu adalah pada saat dengan pakaian yang ringkas mencetak bentuk tubuhnya yang indah menggairahkan, Kim Lian keluar kemudian bermain silat pedang di tengah-tengah taman.

Dengan gerakan-gerakan indah dan tubuhnya yang lincah, Kim Lian sengaja berpamer, tidak saja memamerkan ilmu pedangnya, akan tetapi terutama sekali untuk memamerkan kecantikan dan keindahan bentuk tubuhnya kepada belasan pasang mata laki-laki yang memandang dengan kagum sehingga beberapa di antaranya hampir copot dan melompat keluar dari kepala!

Terdengar tepuk tangan riuh-rendah disertai sorak-sorai gembira setiap kali menyambut jurus atau gerakan yang dianggap indah. Kim Lian sengaja tak mau bersilat dengan gerak cepat, melainkan bersilat perlahan-lahan dan lambat-lambatan supaya setiap gerakannya dapat ‘dinikmati’ oleh pandang mata kawan-kawannya.

Selagi para pemuda itu ketawa-tawa dan bertepuk tangan memuji Kim Lian yang sedang bersilat dengan bibir merah tersenyum-senyum manis serta mata jeli melirik-lirik genit, tiba-tiba berkelebat bayangan merah yang tidak terlihat oleh para pemuda itu, akan tetapi terlihat oleh mata Kim Lian yang terlatih. Seketika wajah Kim Lian memucat dan gerakan silatnya berhenti.

“Suci…!”

Setelah terdengar suara ini, barulah semua pemuda yang berada di situ menengok dan memandang ke belakang dan di situ telah berdiri seorang gadis berpakaian merah, gadis cantik jelita yang sudah lama menjadi idaman para pemuda itu, yang sudah lama pula menjadikan mereka merindu, akan tetapi tidak berani menyatakan karena Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan gadis sebangsa Kim Lian. Dengan adanya Im Giok, kecantikan Kim Lian yang tadi dikagumi menjadi layu.

“Pergi kalian orang-orang tak beradab!” bentak Im Giok sambil menghunus pedang untuk menggertak rombongan pemuda itu.

Maka pergilah mereka seorang demi seorang dengan kepala tunduk dan kaki menggigil, bagaikan anjing-anjing diusir dan diancam dengan pecut. Kalau saja mereka itu berekor tentu masing-masing menyembunyikan ekor di bawah kaki belakang. Para pelayan juga bubar ketakutan, mengerjakan pekerjaan masing-masing.

“Sumoi… kau sudah datang? Ahh, mereka itu… ehh, aku… aku kesepian setelah kau dan Suhu pergi, maka hendak mengadakan sedikit pesta…”

“Mengapa mendatangkan orang-orang lelaki melulu? Suci, kau benar-benar keterlaluan. Kalau tidak merubah sifat macam ini, aku khawatir sekali kelak kau akan terjerumus…”

“Mereka… mereka mengagumiku, mengagumi ilmu pedangku, mengagumi kepribadianku dan aku… aku senang sekali mereka kagumi. Apa salahnya itu, Sumoi?” Kim Lian masih mencoba membantah.

Im Giok menghela napas, dia kehabisan akal. Memang dia sudah tahu akan sifat kakak seperguruannya ini yang agak ‘mata keranjang’.

“Sudahlah, masih baik aku yang mendapatkan kau mengundang mereka itu ke sini. Kalau Ayah yang datang tidak saja kau akan mendapat marah besar, mungkin mereka itu akan ditampar seorang demi seorang.”

“Hi-hi-hi, aku ingin melihat muka mereka kalau ditampar oleh Suhu. Tentu sekali tampar menjadi bengkak seperti semangka,” kata Kim Lian genit. “Sebetulnya aku pun tidak suka dengan pemuda-pemuda lemah seperti mereka. Akan tetapi di manakah mencari pemuda gagah seperti Suhu pada waktu muda? Karena tak ada yang demikian, mereka itu untuk kawan pun… bolehlah…”

“Cukup! Suci, kenapa bicaramu seperti itu? Sudah, aku tidak sudi mendengar lagi. Lekas kau berganti pakaian yang pantas dan membantu aku melayani tamu yang kini sudah duduk di ruang tamu.”

“Siapa?” tanya Kim Lian terheran.

Wajah Im Giok berubah merah. Baiknya waktu itu hari sudah mulai gelap sehingga warna kemerahan yang menjalar kedua pipinya itu tidak kelihatan oleh Kim Lian.

“Dia adalah Gan-siucai.”

“Oh, diakah? Yang kau antarkan ke Tiang-hai? Yang dulu pernah kita tolong dari tangan perampok?”

Im Giok mengangguk. “Benar, dia datang mengunjungi kita untuk bertemu dengan Ayah dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan Susiok-couw Bu Pun Su. Lekaslah kau berganti pakaian.”

“Apa Suhu belum pulang juga?” tanya Kim Lian.

“Kalau dia tidak berada di sini tentu berarti belum pulang. Aku baru saja datang, mana aku bisa tahu?” jawab Im Giok yang masih mendongkol melihat kelakuan suci-nya yang ditinggal seorang diri di rumah. Perlahan-lahan dia akan membicarakan tentang sikap dan watak suci-nya ini dengan ayahnya, karena kalau dibiarkan saja, bisa berbahaya nasib hidup suci-nya ini.

Sesudah Kim Lian muncul lagi, Im Giok semakin mendongkol saja. Suci-nya benar-benar terlalu. Sekarang menghadapi Tiauw Ki, suci-nya telah berganti pakaian indah dan baru, mukanya diberi bedak tebal dan bibir serta pipinya dimerah-merah! Dengan gerakan genit menarik Kim Lian memberi hormat kepada Tiauw Ki yang juga sudah berdiri dan memberi hormat, lalu Kim Lian berkata dengan suara halus merdu,

“Ah, kiranya Gan-siucai yang menjadi tamu agung! Gan-siucai, apakah kau masih ingat kepadaku?”

Tiauw Ki tersenyum “Tentu saja Lihiap. Bagaimana aku bisa lupa kepada Lihiap yang pernah menolong nyawaku!”

Kim Lian mengeluarkan suara ketawa, “Ahh, bisa saja kau, Gan-siucai. Bukan kau yang harus berkata demikian, sebaliknya akulah yang harus berterima kasih kepadamu. Kau telah memperlihatkan pembelaan besar sekali kepadaku di hadapan Susiok-cow Bu Pun Su. Budimu yang demikian besarnya itu, sampai mati pun aku Song Kim Lian tidak akan dapat melupakannya!”

Sambil berkata demikian, ia tersenyum dan pandang matanya menyambar dalam kerling yang penuh arti. Memang sepasang mata gadis ini amat indah dan tajam, maka aksinya ini tentu amat menarik hati, karena keindahan matanya maka ia diberi julukan Giok Gan Niocu (Nona bermata Kemala).

Melihat sikap Kim Lian ini, diam-diam Tiauw Ki merasa kurang senang dan tidak enak hati, akan tetapi pemuda ini lalu merendahkan diri dengan sikap sopan. Kemudian ia pun berkata kepada Im Giok,

“Karena Kiang-lo-enghiong belum pulang, biarlah aku pergi dahulu dan aku akan menanti kedatangannya di rumah penginapan. Mudah-mudahan saja dia akan datang tidak lama lagi.”

Im Giok juga mendongkol melihat sikap suci-nya, karena itu memang lebih baik apa bila kekasihnya itu lekas-lekas pergi dari depan Kim Lian. Maka katanya,

“Baiklah Gan-ko. Rumah penginapan Liok-nam di ujung barat kota ini merupakan rumah penginapan terbesar dan terbaik, harap kau bermalam di sana. Nanti kalau Ayah sudah pulang, tentu akan kuberi kabar kepadamu.”

Tiauw Ki memberi hormat lalu meninggalkan gedung keluarga Kiang. Setelah pemuda itu pergi, Kim Lian lalu memegang tangan Im Giok.

“Ehh, Sumoi yang manis. Agaknya ada apa-apanya antara dia dan kau!”

Wajah Im Giok menjadi merah sekali.

“Jangan main-main, Suci. Betapa pun juga, aku dan dia tetap menjaga kesopanan.”

“Aha, jadi benar ada apa-apanya? Nah, aku dapat membayangkan… aduh, aku tahu, aku dapat menduga… hi-hi-hi-hi…!”

“Suci, jangan sembarangan bicara! Apa yang kau ketahui? Apa yang kau bayangkan dan kau duga?”

“Ahh, begitu mesra, adduuuhhh…” Kim Lian menggoda sambil menaruh kedua tangan di kanan kiri pipinya.

“Suci, jangan membuat aku marah. Jangan kau menduga yang bukan-bukan! Aku bukan perempuan macam itu. Apa yang kau duga?”

“Sumoi, apa salahnya kalau kau suka dia yang tampan dan dia suka kau yang cantik?”

“Kau menyangka keliru!”

“Yang betul bagaimanakah?” Kim Lian memancing.

“Tak akan kuceritakan padamu!” Im Giok berpura-pura marah.

“Ah, begitu? Adikku yang baik, kalau begitu aku tetap menduga yang bukan-bukan. Kalau kau tak bercerita terus terang kepadaku, bagaimana aku dapat menghentikan dugaanku sendiri? Hmmm, dapat kubayangkan betapa mesranya…” kembali Kim Lian menggoda.

“Suci Kim Lian, jangan kau main-main. Dia datang mau bertemu dengan Ayah untuk… meminangku. Ini sungguh-sungguh, bukan main-main!”

“Aaaahh… begitukah?” Kim Lian memeluk sumoi-nya. “Adikku yang manis, kini kau harus menceritakan semua pengalamanmu kepadaku bagaimana kau sampai mengikatkan diri dan begitu mudah menjatuhkan pilihan?”

Keduanya memasuki kamar dan di dalam kamar itu dua orang gadis ini kemudian bicara kasak-kusuk. Im Giok menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan Tiauw Ki yang penuh bahaya.

“Dia adalah seorang berbudi mulia, Suci. Sudah terbukti berkati-kali cinta kasihnya yang besar pada diriku, dan sudah beberapa kali ia rela mengorbankan keselamatannya demi untuk menolongku. Kurasa di dunia ini tidak ada orang ke dua sebaik dia.”

Terdengar isak tangis dan Kim Lian memeluk adiknya sambil menangis.

“Ehh, Suci, mengapa kau menangis?” tanya Im Giok terheran sambil memegang pundak suci-nya.

“Adikku… aku gembira sekali… akan tetapi, apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa? Kalau kau… menikah dan pergi, lalu bagaimana dengan diriku? Sumoi-nya sudah menikah dan suci-nya belum, apa akan kata orang…?”

Tahulah kini Im Giok mengapa Kim Lian menangis.

“Suci, apa salahnya hal itu? Kita bukan saudara kandung, dan hubungan kita hanyalah sumoi dan suci dari keluarga lain. Siapa yang lebih dahulu keluar pintu tidak merupakan halangan apa-apa.” Im Giok menghibur.

Diam-diam di dalam hatinya berdebar karena ia sendiri masih belum dapat menentukan apakah ayahnya akan menerima pinangan Tiauw Ki.

Anehnya, semenjak Im Giok datang, Kim Lian selalu kelihatan tidak gembira, bahkan tiap hari dia keluar tanpa mengajak Im Giok, menunggang kuda seorang diri. Tadinya Im Giok menaruh curiga dan diam-diam dia mengikuti suci-nya, akan tetapi ternyata sesudah Im Giok pulang, Kim Lian tak berani main gila lagi.

Kepergiannya hanya untuk menunggang kuda keluar kota lalu kembali lagi, hanya untuk memuaskan keinginan dan kesenangannya menunggang kuda. Akan tetapi diam-diam Im Giok mengerti bahwa suci-nya itu tidak senang hati, mungkin sekali iri hati karena melihat hubungannya dengan Tiauw Ki. Akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan.

Setiap hari Im Giok menyuruh salah seorang pelayan untuk pergi ke rumah penginapan Liok-nam, mengantar makanan atau apa saja kepada Tiauw Ki. Padahal, ini hanya untuk alasan saja, sebenarnya ia ingin mendengar dari pelayannya bahwa keadaan pemuda itu baik-baik saja, dan yang terutama sekali bahwa kekasihnya itu masih berada di rumah penginapan Liok-nam!

Pada hari ke lima, menjelang senja, ia mendengar suara ayahnya di luar rumah. Cepat Im Giok berlari keluar dan benar saja, ia melihat ayahnya sudah pulang dan agaknya tadi bertemu di tengah jalan dengan Kim Lian, karena pulangnya bersama suci-nya itu. Wajah Kiang Liat muram sekali dan begitu mereka memasuki ruangan dalam dan di mana tidak ada pelayan hadir, Kiang Liat memandang kepada puterinya dan bertanya,

“Im Giok, apa sih artinya hubunganmu yang gila-gilaan dengan manusia kutu buku she Gan itu?” Suaranya menyatakan bahwa orang tua itu menahan-nahan kemarahannya.

Im Giok kaget sekali dan menoleh kepada Kim Lian, pandangan matanya tajam menusuk. Kim Lian tersenyum dan berkata kepadanya,

“Benar, Sumoi. Sudah tak tahan lagi hatiku maka aku menceritakan kabar gembira itu kepada Suhu tadi…”

“Kabar gembira…? Gila betul! Kim Lian, keluarlah kau, biar aku bicara sendiri dengan Im Giok!” kata Kiang Liat makin marah mendengar kata-kata ini.

Kim Lian membungkuk dan berkata, “Baiklah, Suhu.”

Kemudian dia keluar dari kamar itu dan dari samping Im Giok dapat melihat bayangan senyum di sudut bibir suci-nya.

Setelah Kim Lian pergi, Kiang Liat menjatuhkan diri di atas kursi dan berkatalah dia, suaranya kini agak sabar,

“Coba kau beri penjelasan, Im Giok. Kuharap saja cerita Kim Lian tadi tidak betul adanya. Benarkah kau mempunyai hubungan dengan seorang siucai she Gan dan yang sekarang datang untuk melamarmu?”

Muka Im Giok sebentar pucat sebentar merah. Macam-macam perasaan teraduk-aduk dalam hati dan pikirannya. Akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya, dan ia pun berkata dengan suara tenang,

“Ayah, harap kau suka tenangkan hati dan bersabar. Hal ini ada ceritanya panjang lebar.”

“Tidak peduli aku akan cerita panjang lebar, pendeknya apakah benar kau ada hubungan dengan kutu buku terkutuk yang bisanya cuma membaca menulis dan menjual tampang itu?”

Mata Im Giok menjadi merah. Ia tahu bahwa kadang-kadang ayahnya suka marah-marah seperti itu pula, akan tetapi belum pernah ayahnya marah-marah tanpa alasan terhadap dia. Sebaliknya, semenjak kecil dia dibawa oleh Pek Hoa Pouwsat dan sesudah kembali bersama ayahnya, ia dimanja secara luar biasa oleh ayahnya, maka ia pun agak berani membantah ayahnya.

“Ayah, bagaimana kau bisa memaki-maki orang yang sama sekali tidak pernah kau lihat dan kenal?” kini gadis itu membantah marah.

Biasanya, apa bila sudah melihat puterinya berdiri menentangnya dengan alis terangkat, mata berapi-api dan dada dibusungkan ini, hati Kiang Liat menjadi lemah. Alangkah besar persamaan wajah Kiang Im Giok dengan Song Bi Li, isterinya! Dan biasanya apa bila Im Giok sudah menentang dan marah, Kiang Liat selalu mengalah dan menuruti kehendak gadis itu. Akan tetapi sekarang tidak demikian, Kiang Liat bahkan berkata keras,

“Tidak usah dilihat, tidak usah dikenal! Laki-laki kutu buku dan cacing tinta tidak ada yang baik, semua berhati palsu bermulut manis tak dapat dipercaya! Jangan kau dekat-dekat dengan dia!”

“Akan tetapi, Ayah. Gan-siucai bukan orang macam itu. Dan aku bahkan diberi tugas oleh Susiok-couw untuk mengantarnya ke Tiang-hai!”

Kiang Liat tertegun. Dia sudah mendengar dari Bu Pun Su ketika kakek sakti itu datang mengunjunginya bahwa Im Giok memang diberi tugas untuk mengawal utusan Kaisar ke Tiang-hai? Jadi utusan Kaisar itu pemuda inikah?

“Hemmm, mana ada utusan Kaisar kutu buku yang lemah?” dia berkata kepada Im Giok, agak tak percaya.

“Ayah terlalu mengandalkan kepandaian menggerakkan pedang! Sesungguhnya di antara para penggerak pensil juga tak kurang terdapat orang-orang bersemangat api dan berjiwa kesatria! Gan-siucai betul-betul utusan Kaisar walau pun dia memang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Akan tetapi jiwanya besar, Ayah.”

Melihat ayahnya diam saja, Im Giok lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai lalu ke kota raja. Semua pengalamannya itu dituturkan dengan singkat dan terutama sekali dia menonjolkan sikap kekasihnya yang gagah berani dalam membelanya.

Kiang Liat tidak kelihatan tertarik. Ia hanya beberapa kali menggelengkan kepala, bahkan memberi komentar tidak puas setelah penuturan puterinya selesai.

“Kalau dia bukan kutu buku, kalau dia seorang yang berkepandaian tinggi, tidak mungkin kau sampai dihina orang, dan tak mungkin kau menghadapi ancaman bahaya besar. Dan sekarang dia datang hendak melamarmu?”

Im Giok menundukkan mukanya, lalu menjawab lirih. “Demikianlah kehendaknya.”

“Tidak bisa! Kau suruh saja pelayan memberi tahunya bahwa ia boleh lekas-lekas pulang dan jangan sekali-kali berani datang lagi ke sini!”

Mendengar kata-kata ini, wajah Im Giok menjadi pucat.

“Ayaaaahhh…!” serunya, setengah marah setengah terkejut.

Ayahnya menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak bisa, kau sudah mempunyai calon suami. Kau sudah kujodohkan dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, murid terpandai dari Go-bi-pai yang bernama Liem Sun Hauw. Dia gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berwajah tampan, pendeknya tidak kalah oleh ayahmu di waktu muda. Dia patut menjadi suamimu, sama rupawan, sama perkasa. Apa itu kutu buku yang lemah, terkena angin sedikit saja jatuh sakit? Tidak…!”

Makin lama sepasang mata Im Giok makin berapi-api ketika ia mendengarkan kata-kata ayahnya.

“Tidak…!” katanya keras sekali sambil membanting kakinya ke atas lantai, dan saking kerasnya gadis ini mengerahkan tenaga, lantai itu sampai hancur dan kakinya melesak ke dalam. “Sekali lagi tidak! Aku tidak sudi menikah dengan dia!”

“Im Giok…!”

“Aku yang hendak menikah, bukan Ayah! Kalau Ayah memaksa, aku akan lari, minggat bersama Gan-siucai!”

Setelah berkata demikian, sambil terisak menangis Im Giok lari memasuki kamarnya di mana dia membanting tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan muka di bawah bantal dan menangis tersedu-sedu.

Kiang Liat berdiri tak bergerak seperti patung, mukanya pucat dan matanya memandang ke arah pintu kamar anaknya tanpa berkedip. Kata-kata ‘lari minggat meninggalkannya’ amat menusuk hatinya dan mendatangkan rasa sakit bukan main. Lalu menimbulkan rasa takut dan khawatir kalau-kalau anaknya benar akan pergi meninggalkannya.

Dengan langkah terhuyung-huyung ia pergi ke kamar anaknya, memasuki kamar itu dan hampir saja ia terguling apa bila tidak cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut di tengah kamar, dekat pembaringan anaknya.

Pikirannya tak karuan rasanya. Matanya dipejamkan dan di dalam otak ia merasa segala sesuatu berputar-putar. Jantungnya berdenyut-denyut keras sangat nyeri, dan telinganya penuh oleh suara seperti angin badai mengamuk. Bibimya bergerak-gerak dan terdengar kata-katanya seperti mabuk,

“Jangan tinggalkan aku… jangan tinggalkan aku seorang diri…!”

Im Giok sudah duduk di atas pembaringan dengan muka pucat. Tangisnya dalam sekejap berhenti dan kini ia memandang kepada ayahnya. Tadinya ia tidak tahu apa artinya sikap ayahnya seperti ini, akan tetapi akhirnya ia mengerti.

Selama ini ayahnya memang bersikap aneh, bahkan kadang kala mendekati sikap gila, menangis dan tertawa seorang diri di dalam kamar. Kadang-kadang memanggil-manggil nama ibunya. Dan sekarang, ayahnya bersikap seperti ini sebab ia hendak meninggalkan ayahnya!

“Ayaah…!” Im Giok menubruk dan menangis di dada ayahnya “Ayaah, tidak… aku tidak akan meninggalkanmu, Ayah…”

Dua titik air mata turun membasahi pipi Kiang Liat ketika ia kembali membuka matanya. Didekapnya kepala anaknya itu pada dadanya erat-erat, seperti orang yang merasa takut kalau-kalau mustikanya dirampas orang.

“Im Giok, anakku sayang. Benar-benar kau tidak akan meninggalkan aku…?” tanyanya dengan suara berbisik.

Im Giok terisak menahan tangisnya. “Tidak Ayah, asal saja Ayah jangan memaksa aku menikah dengan Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai itu…”

Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menarik anaknya bangkit berdiri. Dipandangnya wajah anaknya dan bentuk tubuhnya, lalu ia menghela napas lagi.

“Im Giok, kau serupa benar dengan ibumu… Aku tidak rela memberikan engkau kepada orang yang tidak pantas menjadi suamimu…”

“Tapi aku tidak mau menikah dengan anak Go-bi itu, Ayah,” kata Im Giok manja.

Kiang Liat tersenyum pahit. “Dan kau masih suka kepada cacing buku itu?”

Im Giok tidak berani menjawab, hanya menundukkan muka. Kembali Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menjauhkan diri dari anaknya dan berkata perlahan,

“Sebagai ayah aku harus menjaga agar kelak kau hidup bahagia, anakku. Baiklah, akan kulihat bagaimana macamnya kutu buku itu…” Ia lalu keluar dari kamar meninggalkan Im Giok yang duduk melamun di atas pembaringannya.

Diam-diam gadis ini berdoa mudah-mudahan ayahnya akan suka melihat Tiauw Ki dan ia percaya bahwa kekasihnya itu akan cukup pandai membawa diri di hadapan ayahnya sehingga menimbulkan rasa suka dalam hati ayahnya.

Sekarang ayahnya masih belum tenang, karena itu Im Giok tidak berani memberi kabar kepada Tiauw Ki, sebab dia pikir belum tepat waktunya bagi pemuda itu untuk menemui ayahnya. Malam itu Kiang Liat terdengar mendengkur di dalam kamarnya sehingga hati Im Giok menjadi lega.

Pada keesokan harinya, Kiang Liat memanggil Im Giok dan berkata-kata, “Im Giok, aku hendak pergi ke rumah penginapan Liok-nam.”

“Apakah tidak sebaiknya dia kuundang ke mari, Ayah?” tanya Im Giok.

“Tak usah. Jika dia datang berarti dia akan meminang dan aku tidak ingin mengecewakan hatimu. Lebih baik kulihat lebih dulu sebelum mengambil keputusan.”

Bila menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Im Giok juga ikut pergi dengan ayahnya. Akan tetapi kesopanan melarangnya, karena sungguh tidak patut kalau dia ikut ayahnya mengunjungi Tiauw Ki di rumah penginapan. Terpaksa dia menanti di rumah dengan hati berdebar dan dia merasa kecewa tidak melihat Kim Lian, karena kalau ada suci-nya itu tentu ada kawannya bercakap-cakap untuk menekan berdebarnya hatinya.

Dengan langkah lebar Kiang Liat menuju ke rumah penginapan Liok-nam yang berada di ujung kota sebelah barat. Semalam suntuk Kiang Liat tak bisa tidur nyenyak. Dengkurnya itu bukan tanda bahwa tidurnya enak, bahkan sebaliknya.

Dengkurnya bukan dengkur sewajarnya dan dulu ketika baru-baru ia kehilangan isterinya lalu pergi merantau mencari Im Giok yang diculik orang, setiap malam dia mendengkur seperti itu. Boleh dibilang bahwa dengkur itu adalah tanda bahwa penyakitnya yang lama kambuh pula.

Ia seperti orang mabuk dan sinar matanya juga sudah berbeda dengan biasanya. Hal ini adalah karena ia merasa kecewa dan bingung sekali menghadapi persoalan puterinya, soal perjodohan yang sama sekali tidak mencocoki hatinya.

“Dia harus kuusir jauh-jauh, kuancam agar jangan berani menemui anakku lagi!” Pikiran inilah yang semalaman tadi memenuhi otaknya dan kini Kiang Liat berjalan cepat tanpa menghiraukan orang-orang yang sudah kenal dengannya dan yang memberi salam di sepanjang jalan.

Sesudah tiba di penginapan Liok-nam, Kiang Liat disambut oleh seorang pelayan. Kiang Liat sudah terlalu terkenal maka sekali pandang saja pelayan itu mengenalnya. Dengan sangat ramah tamah dan penuh hormat, pelayan itu menyambut dan menjura,

“Selamat pagi, Kiang-taihiap. Sepagi ini Taihiap sudah datang mengunjungi penginapan kami, sungguh sebuah penghormatan besar sekali. Apakah yang bisa kami lakukan untuk Taihiap?”

“Apakah di sini ada seorang tamu bernama Gan Tiauw Ki?”

Pelayan itu mengerutkan kening, menempelkan telunjuk pada ujung hidungnya bagaikan orang yang sedang mengumpulkan ingatan. Kemudian dia menurunkan telunjuknya dan tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang tidak rata, kuning-kuning kehitaman.

“Ah, ada… ada… Taihiap. Tentu yang kau maksudkan Gan-siucai yang muda dan tampan wajahnya.”

“Ya, lekas kau panggil dia keluar menemuiku.”

“Baik, silakan Taihiap menanti di ruangan tamu,” kata pelayan itu sambil mempersilakan pendekar itu duduk di ruangan depan.

Kiang Liat mengambil tempat duduk karena ia merasa kedua kakinya gemetar dan dada kirinya sakit menghadapi ketegangan ini. Macam apakah pemuda sastrawan yang telah memikat hati puterinya?

Sementara itu, pelayan mengetuk pintu kamar Tiauw Ki. Begitu pintu itu dibuka, pelayan itu cepat memberi hormat dan berkata dengan muka menjilat,

“Ah Gan-kongcu mengapa tidak sejak dulu memberi tahu bahwa Kongcu adalah sahabat baik atau sanak dari Kiang-taihiap? Kalau kami tahu tentulah kami akan memberi kamar yang lebih baik. Harap Kongcu maafkan apa bila selama ini kami melakukan kesalahan atau berlaku kurang hormat karena sungguh mati kami tidak mengira bahwa Kongcu adalah kerabat Kiang-taihiap.”

“Eh, Lopek. Apakah sepagi ini kau mengetuk pintu kamarku hanya untuk menyatakan hal ini saja?” Tiauw Ki berkata agak kurang senang karena dari kata-katanya saja pelayan ini telah jelas menunjukkan bahwa dia bukan orang yang berwatak baik, melainkan seorang penjilat yang menjemukan.

“Mana hamba berani begitu kurang ajar memanggil Kongcu apa bila tidak ada peristiwa amat penting?” Pelayan itu tertawa dan kulit-kulit di pinggir kedua matanya ikut tertawa. “Kongcu didatangi oleh seorang tamu agung.”

“Siapa dia?” Tiauw Ki bertanya penuh gairah. Memang sudah lama dia mengharapkan kedatangan pelayan dari Im Giok yang membawa berita bahwa ayah gadis itu sudah pulang.

“Masa Kongcu tidak dapat menduga siapa?” tanya pelayan itu dengan sikap mengajak berkelakar untuk menyenangkan hati tamunya.

“Dari keluarga Kiang?” tanya Tiauw Ki tak sabar lagi.

Pelayan itu tertawa sambil mengeluarkan jempolnya. “Kongcu menebak jitu, benar-benar cerdas sekali!”

“Suruh dia lekas ke sini!” seru Tiauw Ki.

Pelayan itu melenggong. “Suruh ke sini? Dia…”

Mendengar suara dan melihat sikap pelayan ini, Tiauw Ki terkejut dan cepat bertanya, “Bukankah dia itu seorang pelayan dari rumah keluarga Kiang?”

“Ahh, bukan… bukan…! Dia adalah Kiang-taihiap sendiri, yang minta agar Kongcu keluar. Dia menanti di ruangan tamu di depan!”

Kalau ada petir menyambarnya, belum tentu Tiauw Ki akan sekaget itu. Kiang Liat ayah Im Giok sendiri datang mengunjunginya? Benar-benar ia hampir tak dapat mempercayai kata-kata pelayan ini.

“Harap Kongcu cepat menyambutnya, aku takut kalau-kalau Kiang-taihiap marah padaku apa bila Kongcu terlambat,” kata pelayan itu yang cepat pergi lagi ke depan.

Tiauw Ki yang ditinggal sendiri merasa tubuhnya panas dingin. Sudah semenjak tadi dia bangun, akan tetapi belum sempat bertukar pakaian karena memang tidak mempunyai maksud pergi ke mana-mana. Untuk menghadap ayah kekasihnya dalam pakaian kumal seperti itu, ia merasa malu.

Karena itu dia cepat-cepat berganti pakaian yang paling baru dan menyisir rambutnya. Kemudian tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Hatinya berdebar saat ia melihat seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi tegap dan berwajah kereng duduk di atas bangku dalam kamar tamu itu.

Ia cepat-cepat maju menjura dengan amat hormat dan berkata,

“Mohon dimaafkan sebanyak-banyaknya sebab boanpwe telah membuat Taihiap menanti sampai lama.”

Kiang Liat perlahan-lahan berdiri dan dia memandang dengan mata terbelalak dan kening berkerut. Mulutnya pun terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan ke atas dan menggosok gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya sendiri.

Akan tetapi sesudah dia memandang lagi, penglihatannya tidak berubah. Tak salah lagi, pemuda sastrawan yang halus dan lemah-lembut yang kini memberi hormat kepadanya, bukan lain adalah Cia Sun! Cia Sun sastrawan yang dulu mempermainkan isterinya dan yang sudah dibunuhnya! Baik wajah mau pun bentuk badan dan gerak-geriknya pemuda sastrawan di hadapannya sekarang ini tidak ada bedanya dengan mendiang Cia Sun.

“Kau… Cia Sun…” tanpa terasa lagi Kiang Liat berkata perlahan, dadanya berdebar dan jantungnya terasa sakit.

Tiauw Ki memandang heran. “Boan-pwe adalah Gan Tiauw Ki…”

“Jadi kau yang diantar oleh anakku Im Giok ke Tiang-hai?”

“Betul, Taihiap.”

“Dan kau… kau yang hendak meminang anakku sebagai calon jodohmu…?” Suara Kiang Liat setengah berbisik, sementara itu sepasang matanya memandang dengan cara yang menakutkan sekali.

Tiauw Ki memandang dengan hati berdebar gelisah. Kemudian dia mampu menetapkan hatinya dan berkata dengan suara tegas,

“Apa bila Taihiap tidak menolak, memang boanpwe hendak mohon persetujuan Taihiap untuk meminang tangan Adik Kiang Im Giok…”

“Kau…?! Kau Cia Sun jahanam keparat sekarang telah menjelma pula di dunia ini untuk mengganggu kepadaku? Kau masih belum puas dengan kematian isteriku dan hancurnya hidupku? Kau bahkan masih hendak merusak hidup anakku?” Sambil berkata demikian Kiang Liat berjalan maju, perlahan-lahan menghampiri Tiauw Ki, sikapnya mengancam dan amat menyeramkan.

Tiauw Ki melangkah mundur, “Kiang-taihiap, apa artinya ucapanmu itu? Boanpwe adalah Gan Tiauw Ki dan boanpwe tidak kenal siapa itu Cia Sun…”

“Jahanam! Biar pun kau memakai nama siapa pun juga, aku selamanya akan mengenal macam mukamu. Kau boleh pianhoa (berganti muka) seribu kali, namun aku Kiang Liat akan tetap mengenalmu dan membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan suara keras Kiang Liat menubruk maju, kedua tangannya bergerak cepat bertubi-tubi memukul dada dan kepala Tiauw Ki.

Kasihan sekali nasib pemuda ini. Dia seorang sastrawan yang bertubuh lemah. Seorang jagoan sekali pun belum tentu akan mampu menghindarkan diri dari serangan Kiang Liat itu, apa lagi seorang pemuda lemah seperti Tiauw Ki.

Dia tak berdaya sama sekali. Sekali terkena pukulan pada dada dan kepalanya, ia hanya dapat mengeluarkan keluhan lemah, lalu tubuhnya terlempar ke belakang dan menumbuk dinding kemudian roboh tak berkutik lagi. Nyawanya sudah melayang berbareng dengan keluhannya tadi!

“Ha-ha-ha, anjing Cia Sun! Anjing macam kau ini hendak melamar puteriku? Ha-ha-ha!” Sambil tertawa-tawa lebar di sepanjang jalan, Kiang Liat berjalan pulang.

Para pelayan menjadi kaget dan gemparlah keadaan di rumah penginapan itu. Sebentar saja ruangan tamu itu sudah dikerumuni banyak orang untuk melihat pemuda sastrawan yang rebah tak bernyawa di atas lantai.

Di antara para penonton ini terdapat gadis menerobos masuk. Orang-orang memberi jalan ketika melihat bahwa gadis ini bukan lain adalah Giok Gan Niocu Song Kim Lian.

Kim Lian hanya memandang sebentar dan mukanya berubah. Kemudian dia cepat-cepat berlari pulang, napasnya terengah-engah. Langsung dia berlari memasuki kamar Im Giok di mana gadis itu tengah bersisir menghadapi cermin.

“Sumoi, celaka besar…!” Kim Lian segera memeluk adik seperguruannya dan menangis terisak-isak.

Im Giok biasanya memiliki watak yang tenang dan tabah, namun akhir-akhir ini sesudah bertengkar dengan ayahnya mengenai kekasihnya, ia menjadi gampang gugup. Mukanya berubah pucat melihat keadaan suci-nya itu, maka tanyanya tak sabar lagi,

“Suci, apakah yang terjadi?”

Akan tetapi Kim Lian hanya menangis terisak-isak sehingga hilang kesabaran Im Giok. Digoyang-goyangnya dua pundak Kim Lian.

“Apa yang terjadi?”

“Celaka… Sumoi… Gan-siucai… oleh Suhu…”

“Apa? Gan-siucai mengapa? Bagaimana Ayah…?” Im Giok mendesak, wajahnya pucat, jantungnya berdebar keras.

“Suhu telah membunuh Gan-siucai di rumah penginapan…”

Im Giok mengeluarkan suara menjerit, akan tetapi cepat dia mendekap mulutnya sendiri. Kemudian, bagaikan kilat dia melompat keluar dan berlari seperti gila menuju ke rumah penginapan Liok-nam. Ruang depan atau ruangan tamu dari rumah penginapan itu masih dikerumuni orang ketika Im Giok tiba di situ.

“Minggir…!” serunya dan kedua tangannya membuka jalan sehingga empat orang laki-laki terpelanting ke kanan kiri.

Im Giok terus menerjang masuk dan ia berdiri terpaku di atas lantai pada saat ia melihat tubuh kekasihnya menggeletak miring di dekat dinding ruangan itu. Dengan isak tertahan ia menghampiri, berlutut dan sekali raba saja tahulah ia bahwa kekasihnya sudah tewas, kepalanya retak dan tulang dadanya patah-patah.

“Gan-ko…,” bisiknya.

Dipejamkannya kedua matanya dan ditahannya napasnya karena pukulan hebat sekali mengguncangkan jantungnya. Apa bila tidak kuat-kuat dia menahan tentu Im Giok sudah roboh pingsan!

Sampai lama dia berlutut sambil memejamkan mata, kemudian sesudah kepalanya yang pening menjadi sembuh kembali, ia baru membuka matanya. Bagaikan hujan gerimis, air matanya bertitik turun, menetes melalui pipi dan dagu dan ada yang jatuh bertitik di atas muka Tiauw Ki. Dilihat sekelebatan, dengan air mata di atas pipi, mayat pemuda itu bagai ikut menangis.

“Koko…,” kembali Im Giok berbisik.

Air matanya turun semakin deras ketika dia teringat betapa besar cinta kasih pemuda ini kepadanya. Dan kini, dalam menghadapi keputusan perjodohan mereka, pemuda ini telah terbunuh oleh ayahnya.

“Ayah…!” Im Giok menahan isaknya ketika ia teringat kepada ayahnya.

Tubuhnya berkelebat dan kembali tiga orang pemuda terguling roboh pada waktu gadis itu mendesak keluar dengan cepat lalu berlari-lari menuju ke rumah gedungnya. Tanpa mempedulikan kepada Kim Lian dan para pelayan yang memandangnya dengan mata terbelalak, Im Giok berlari terus menuju kamar ayahnya.

Pintu kamar ayahnya terpentang lebar-lebar dan Im Giok melompat ke ambang pintu, berdiri di sana dengan kedua kaki terpentang lebar dan mata berapi-api memandang ke dalam. Dia melihat ayahnya sedang duduk di atas kursinya sambil memegang pedang terhunus yang dipukul-pukulkan ke atas meja!

“Ayah…!” Suara Im Giok terdengar nyaring, penuh sesal dan nafsu amarah.

Ayahnya memandang. Dua pasang mata berpandangan, dua pasang mata yang sama tajam, sama berapi-api pandangannya. Sunyi di situ. Hanya terdengar ketukan-ketukan pedang pada meja, makin lama makin melambat.

“Kau mau apa?” akhirnya terdengar juga suara Kiang Liat, lambat-lambat dan setengah digumam, seakan-akan lidah dan bibirnya sukar digerakkan.

“Ayah, mengapa kau membunuh Gan-siucai?” Suara Im Giok nyaring tinggi dan tergetar.

Kiang Liat diam saja untuk beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba dia bangkit berdiri, membacokkan pedangnya ke arah meja yang menjadi terbelah dengan mudah dan roboh menimbulkan suara berisik.

“Ha-ha-ha, memang kubunuh mampus anjing itu! Ha-ha-ha, alangkah mudahnya, dengan hanya sekali pukul saja jahanam keparat pemakan tinta itu mampus!”

“Ayaahhh…!”

Im Giok tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Tangan kanannya digerakkan dan tahu-tahu pedangnya telah dia cabut. Tangan yang memegang pedang itu menggigil.

“Kau… kau pengecut besar! Kau… kau membunuh dia yang tidak berdosa. Kau manusia tidak tahu malu, membunuh orang yang kau tahu tak dapat melawan, seorang yang tidak mempunyai kepandaian ilmu silat. Kau pengecut!” Bagaikan gila Im Giok memaki-maki ayahnya sendiri.

Untuk sejenak ayahnya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian mulut pendekar itu meringis, seakan-akan ia merasa sakit yang hebat sekali. Mukanya menjadi pucat sekali. Kemudian ia membuka matanya dan mata itu sekarang berputaran sangat mengerikan. Dari bibirnya keluar busa dan ia tertawa kembali terbahak-bahak.

“Ha-ha-ha, cacing buku yang busuk itu hendak menikah dengan puteriku? Ha-ha-ha-ha, menjadi tukang membersihkan lantai kamarnya saja masih terlalu rendah. Hah! Memang dia patut mampus, anjing Cia Sun itu harus mampus meski pun beberapa ratus kali dia menjelma. Puteriku harus menjadi isteri Liem Sun Hauw pemuda gagah perkasa…”

“Tidak sudi! Kau manusia keji, kau dan Liem Sun Hauw itu harus masuk neraka!”

Mendengar makian ini, Kiang Liat menjadi marah sekali. Di dalam pandangan matanya, yang berdiri di hadapannya itu sudah bukan anaknya lagi, melainkan seorang yang berani menentangnya.

“Kau hendak membunuh aku dan Sun Hauw? Ha-ha-ha-ha, bocah lancang, kaulah yang akan mampus terlebih dahulu!” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menyerang puterinya sendiri.

Pada saat itu Im Giok juga sudah seperti orang kemasukan iblis dan sudah tidak ingat apa-apa lagi. Dia tahunya hanya marah dan duka, teraduk menjadi satu di dalam hatinya. Melihat ayahnya menyerangnya, dia pun segera menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Maka terjadilah pertempuran yang amat hebat di dalam kamar itu antara ayah dan anak gadisnya sendiri! Kepandaian mereka berimbang, bahkan Im Giok kini telah memperoleh kemajuan pesat sehingga dia bahkan telah melampaui ayahnya.

Hal ini adalah karena ilmu-ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su kepada Im Giok melalui Kiang Liat, oleh Kiang Liat hanya dipelajari teorinya saja, akan tetapi tidak berani dia melatih diri dengan ilmu itu. Karena itu tentu saja Im Giok yang dapat memetik sari pelajaran ilmu silat tinggi dari Bu Pun Su itu, sedangkan Kiang Liat hanya tahu ‘kulitnya’ belaka. Maka makin lama pedang Im Giok mendesak semakin hebat, dan gulungan sinar pedangnya makin menekan gulungan sinar pedang ayahnya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar pekik, “Im Giok!”

Akan tetapi dua orang yang sedang bertempur ini seakan-akan tidak mendengar pekik ini dan melanjutkan pertempuran mereka dengan hebat dan mati-matian.

“Im Giok…!”

Orang itu yang bukan lain Kim Lian adanya, mengeluarkan suara jeritan lagi, dan kali ini ia malah menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran dengan nekat. Pedangnya menangkis gulungan pedang Im Giok dan terkejutlah ia karena ia terpental ke belakang.

“Im Giok… Sumoi… apakah kau sudah gila hendak melawan ayahmu sendiri…?” Kim Lian menegur dengan suara nyaring.

Tangkisan dan jeritan ini membuyarkan permainan pedang Im Giok dan ayahnya yang tadinya sudah saling menempel. Apa lagi seruan ini membuat Im Giok segera sadar dari keadaannya yang bagaikan kemasukan iblis tadi, akan tetapi masih belum melenyapkan kemarahan dan nafsu membunuhnya.

Ia melompat mundur dan masih memasang kuda-kuda dengan jari-jari tangan kiri terbuka menengadah ke atas dan tangan kanan memegang pedang di depan dada, dalam sikap hendak menusuk.

Ada pun Kiang Liat juga berdiri sambil memasang kuda-kuda laksana patung, tangan kiri menempel pada dada kiri dan tangan kanannya memegang pedang melintang di dada. Wajahnya meringis seperti orang kesakitan dan hidungnya kembang kempis.

“Sumoi, kau gila! Bagaimana engkau menyerang ayahmu sendiri? Lepaskan pedangmu!” teriak Kim Lian.

Akan tetapi Im Giok bagaikan sedang di alam mimpi, tidak mau melepaskan pedang dan tetap memandang ke depan dengan mata terbelalak marah.

“Sumoi, lekas lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa aku akan menyerangmu, aku harus membantu Suhu!” teriak pula Kim Lian dengan suara keras.

Kim Lian melangkah maju dengan pedang di tangan. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah apa bila dibandingkan dengan sumoi-nya, akan tetapi dalam keadaan seperti ini ia harus berani membantu suhu-nya.

Ketika Im Giok tetap tidak bergerak, Kim Lian bergerak menyerang sambil berkata, “Kau membandel? Baik, lihat serangan pedangku!”

“Traangg…!”

Pedang di tangan Kim Lian terlepas dari pegangan dan gadis itu berseru kaget.

“Kim Lian, pergi kau! Jangan ikut-ikut!” Kiang Liat membentak setelah menangkis pedang muridnya sehingga terlepas.

Dengan wajah kecewa dan juga gelisah Kim Lian terpaksa mengundurkan diri keluar dari kamar itu.

Sementara, tadi ketika menangkis pedang muridnya, Kiang Liat sudah sadar kembali dari keadaan gilanya sehingga mukanya menjadi biasa kembali, bahkan dia nampak berduka bukan main. Sepasang matanya memandang sayu dan mulai membasah akibat air mata, bibirnya bergerak gemetar seperti menahan isak tangis.

Melihat ini, Im Giok tiba-tiba sadar dan teringat betapa kurang ajarnya kelakuan melawan ayahnya ini. Ia bahkan terkejut sekali kenapa ia sampai bisa menyerang ayahnya seperti itu. Melihat ayahnya seperti orang hendak menangis, runtuhlah hatinya dan ia tak berani memandang lebih lama lagi. Ia berdiri seperti patung dan memejamkan matanya, lalu air matanya bercucuran bagaikan hujan.

“Ayah… aku telah berdosa… kau bunuhlah aku… Ayah, jangan kepalang tanggung, tusuk dadaku… biar aku ikut kekasihku.”

Im Giok melepaskan pedangnya yang jatuh berkerontangan di atas lantai, kemudian dia melangkah maju sambil meramkan mata, memasang dada untuk ditusuk pedang.

“Gan-koko… kau tunggulah aku…,” bisiknya sayu.

Akan tetapi tusukan yang dinanti-nantinya tidak kunjung tiba. Bahkan terdengar keluhan panjang, disusul oleh suara muntah-muntah dan robohnya tubuh yang berat di atas lantai. Im Giok segera membuka matanya dan… ayahnya telah menggeletak, dan dari mulutnya mengalir darah yang dimuntahkannya tadi.

“Ayaaaahhh…!” jerit Im Giok menubruk dan memeluk tubuh ayahnya.

Diangkatnya kepala ayahnya yang sudah lemas itu dan dipangkunya, tidak peduli betapa darah yang dimuntahkan oleh ayahnya tadi menodai sekujur pakaiannya. Diraba-rabanya jidat ayahnya kemudian dadanya.

“Ayaaaahhh…!”

Dunia serasa gelap, kamar itu seperti terputar-putar dan Im Giok roboh pingsan di dekat ayahnya yang kiranya telah putus nyawanya. Akibat tekanan batin yang luar biasa, Kiang Liat yang semenjak ditinggal mati isterinya sudah menderita sakit jantung, tidak kuat lagi menahan, jantungnya pecah dan ia meninggal dunia pada saat itu juga.

Kim Lian cepat datang berlari-lari dan menubruk Im Giok sambil menangis. Diperiksanya keadaan Kiang Liat dan ia pun memanggil-manggil dengan suara mengharukan.

“Suhuuu…!”

Kali ini Kim Lian benar-benar berduka. Di dalam hatinya dia memang memuja suhu-nya dan menganggap suhu-nya sebagai pengganti orang tuanya. Bahkan lebih dari itu, dulu pernah dia mengagumi suhu-nya dan ‘ada hati’ terhadapnya. Sekarang melihat keadaan suhu-nya yang meninggal dunia secara demikian menyedihkan, bagaimana hatinya tidak merasa hancur?

Setelah puas menangisi Kiang Liat dan semua pelayan sudah datang bertangisan pula, Kim Lian lalu menubruk dan memeluki sumoi-nya. Dia amat sayang kepada Im Giok yang sejak kecil menjadi saudara seperguruannya, kawan bermain-main dan dianggap sebagai adik kandungnya sendiri. Kini dia hanya hidup berdua dengan Im Giok, tak berayah tak beribu, tidak berhandai taulan pula. Dengan hati hancur Kim Lian memondong tubuh adik seperguruannya, dibawa ke kamarnya dengan langkah sempoyongan.

Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada di dalam pelukan Kim Lian di atas pembaringan, Im Giok teringat akan semua yang terjadi dan cepat ia bangkit duduk dan bertanya,

“Ayah…? Bagaimana…?”

Kim lian tidak dapat menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi sambil memeluk pundak Im Giok. Im Giok seketika menjadi ingat akan semuanya dan ia melompat turun dari atas pembaringan.

“Ayaaaahhh…!”

Akan tetapi Kim Lian cepat memeluk Im Giok dan sambil menciumnya berkata, “Adikku… adikku sayang… tenangkanlah hatimu, ayahmu sudah… meninggalkan kita dan sekarang sedang dirawat. Tenanglah Sumoi, tenanglah, pergunakan kekuatan batinmu…”

Im Giok memejamkan matanya. Ia teringat bahwa bukan laku seorang gagah untuk kalap terhadap desakan hati, maka dia lalu mengatur napasnya dan kedua orang gadis dengan berdiri saling berpelukan untuk beberapa lamanya diam tak bergerak. Akhirnya Im Giok berkata lemah,

“Suci, aku harus dekat dengan jenazahnya…”

Kim Lian mengangguk dan dengan masih saling peluk dua orang gadis ini lalu berjalan ke ruangan tengah di mana jenazah Kiang Liat sedang dirawat. Mereka duduk berlutut dan memandang dengan wajah pucat, mata sayu dan kadang-kadang air mata menggelinding keluar.

Sampai jenazah dimasukkan peti mati, Im Giok dan Kim Lian tidak meninggalkan tempat itu, bahkan malamnya mereka tidak mau pergi dari situ, biar pun dibujuk-bujuk oleh para pelayan dan tetangga yang datang melayat. Lewat tengah malam, setelah para penjaga mengundurkan diri dan sebagian yang bertugas menjaga duduk di ruangan luar, di dalam ruangan jenazah itu hanya tinggal Im Giok dan Kim Lian berdua!

Mereka duduk di dekat peti mati, menjaga agar hio tidak padam, demikian pun api lilin. Kemudian terdengar mereka berbisik-bisik,

“Suci, sekarang aku tahu…”

Kim Lian memandang kepadanya, matanya bertanya-tanya.

”Aku tahu mengapa Ayah membunuhnya.” Air matanya mengucur deras dan cepat-cepat ia mempergunakan sapu tangan untuk menyusut air matanya.

“Mengapa, Sumoi?”

“Aku ingat akan riwayat ibuku dahulu. Kematian Ibu yang membuat Ayah seperti menjadi gila itu adalah karena perbuatan seorang siucai bernama Cia Sun. Oleh karena itu Ayah membenci para siucai dan kiranya… kiranya wajah Gan-siucai itu hampir serupa dengan wajah Cia Sun.” Im Giok menutupi mukanya dengan kedua tangannya.

Kim Lian tidak berkata apa-apa, karena dia tidak tahu bagaimana harus menghibur adik seperguruannya. Dia tahu betapa hebat derita batin yang menimpa perasaan sumoi-nya.

“Aku berdosa besar terhadap Ayah… dahulu sering kali Ayah batuk-batuk dan sering kali dadanya terasa sakit… tentu Ayah telah menderita penyakit jantung semenjak kehilangan ibu. Dan tadi… ahhh…” Im Giok kembali menutupi mukanya seperti orang merasa ngeri membayangkan kejadian tadi pagi, “walau pun ayah meninggal karena penyakit itu, akan tetapi sesungguhnya aku yang membunuhnya… Ayah, ampunkan anakmu yang berdosa, Ayah…” Im Giok lalu berlutut dan memeluk peti mati ayahnya, menangis tersedu-sedu.

Kim Lian memeluknya dan menariknya. “Sudahlah, Sumoi, segala kejadian di dunia telah ditentukan oleh Thian.”

Im Giok mengangguk-angguk dan mengerahkan tenaga batinnya untuk menenteramkan hatinya yang berguncang keras.

“Aku berdosa kepada Ayah… akan tetapi Ayah… Ayah juga berdosa terhadap Gan-koko… kasihan sekali Gan-koko yang tidak punya kesalahan apa-apa. Dibunuh dalam keadaan penasaran. Ahh, Suci, tolong kau menyuruh seorang pelayan untuk mengirim hio dan lilin secukupnya, kirimkan ke rumah penginapan Liok-nam. Biar arwah Gan-ko tahu betapa aku menderita karena kematiannya…”

Kim Lian mengangguk dan perlahan meninggalkan sumoi-nya untuk segera melakukan permintaan sumoi-nya itu. Ada pun Im Giok, sepeninggal Kim Lian lalu berlutut di depan peti mati ayahnya dan diam tak bergerak seperti patung. Hanya bayangannya saja yang bergerak-gerak akibat api lilin pun bergerak perlahan tertiup angin yang dapat menerobos masuk ke dalam ruangan itu.

*****

Enam bulan sudah berlalu semenjak peristiwa itu terjadi. Akan tetapi hingga kini Im Giok masih saja berkabung. Dia berpakaian serba putih sederhana sekali dan setiap hari orang tentu mendapatkannya di tanah pekuburan, di mana ia bersembahyang di depan kuburan ayahnya atau di depan kuburan Gan Tiauw Ki secara bergiliran.

Kadang-kadang nampak dia menangis tersedu-sedu di depan dua kuburan itu atau hanya duduk bengong seperti orang kehilangan semangat. Hiburan-hiburan yang diberikan oleh Kim Lian sama sekali tak ada artinya karena tidak pernah diacuhkan. Selama enam bulan ini Im Giok tidak mempedulikan pula makan dan tidur sehingga hidupnya tidak teratur, mukanya kurus pucat dan rambutnya awut-awutan.

Sebaliknya, Kim Lian dengan cepat dapat melupakan kesedihannya. Sesudah lewat tiga bulan, dia sudah melepaskan pakaian berkabung dan kembali memakai pakaiannya yang indah-indah. Bahkan kini ia kembali menjadi binal karena tidak ada yang mengawasinya. Suhu-nya sudah meninggal dan Im Giok, orang satu-satunya yang disegani, keadaannya seperti gila dan tidak peduli. Maka kembali Kim Lian menyeleweng dan melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh seorang gadis baik-baik.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Im Giok sudah kelihatan duduk di atas batu di hadapan bong-pai (batu nisan) kuburan ayahnya, duduk bengong sama sekali tak pernah bergerak sehingga dari jauh kelihatan seperti sebuah arca penghias bong-pai. Ia tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai-sampai tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya.

Gadis ini tak dapat melupakan wajah kekasihnya mau pun wajah ayahnya. Dua orang ini adalah orang-orang yang dicintanya, dan sekarang keduanya telah meninggalkan dirinya, dan keduanya tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan.

Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya, “Im Giok, kau masih hidup, tapi mengapa semangatmu berkeliaran di alam baka? Kembalilah ke dunia!”

Kalimat terakhir ini diucapkan sebagai perintah dan suaranya mengandung tenaga serta pengaruh yang luar biasa sekali sehingga Im Giok bagaikan disambar petir dan seketika itu juga lantas tersadar. Gadis ini terkejut dan menengok.

“Susiok-couw…!” Im Giok menjatuhkan diri berlutut di depan seorang kakek yang ternyata bukan lain adalah Bu Pun Su.

Kakek ini mengelus-elus jenggotnya sambil menundukkan muka memandang pada gadis yang bercucuran air mata di depannya itu. Terdengar helaan napasnya sampai tiga kali.

“Hemmm, memang banyak hal-hal yang aneh di dunia ini, keanehan yang merupakan kekuasaan indah dari kekuasaan Thian! Manusia boleh berdaya upaya sekuat tenaga, akan tetapi tak dapat keluar dari ikatan karena yang menimbulkan nasib tersendiri.”

Im Giok masih menangis terisak-isak dan Bu Pun Su tidak mengganggunya karena kakek sakti ini maklum bahwa obat yang paling baik di saat itu bagi Im Giok adalah menangis sepuasnya, tangis yang sungguh-sungguh sebagai peluapan perasaan yang mendesak memenuhi dada, sebagai pelepas hawa berbahaya yang mengancam isi dada.


JILID 17

Bu Pun Su sendiri mengenang segala peristiwa yang dia hadapi selama enam bulan ini dan berkali-kali dia menghela napas. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dalam usahanya untuk menolong negara dan mencegah pemecah belahan antara orang-orang gagah supaya tenaga dapat disatukan untuk memperkuat keadaan negara dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat pergi ke Go-bi-pai untuk menemui Twi Mo Siansu.

Ia sendiri lalu pergi ke Pulau Pek-le-to untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh pergi ke Thian-san dengan maksud yang sama, karena setelah itu ia pun hendak pergi menuju Kun-lun-pai. Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, dia menemui kekecewaan luar biasa di Pulau Pek-le-to, di mana ia mendapatkan Han Le berada di bawah pengaruh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan bahkan dengan bantuan Han Le, Pek Hoa Pouwsat telah berhasil membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-to!

Kemudian, dalam marahnya Bu Pun Su menghajar Han Le dan akhirnya mengusir Pek Hoa Pouwsat, kemudian menghukum Han Le tidak boleh keluar dari pulau itu selamanya. Setelah ini dengan hati sangat mengkal Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya ke Kun-lun-san. Akan tetapi, baru saja dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun-san, dia bertemu dengan serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia segera saja mengepung dan menyerangnya!

Tosu-tosu Kun-lun-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian lihai, jumlah mereka ada tiga puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali.

“Tahan…! Aku Bu Pun Su mempunyai kesalahan apakah?” serunya.

Akan tetapi dia harus mengelak ke sana ke mari karena pedang dan golok beterbangan menyambarnya dari segala jurusan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.

Para tosu Kun-lun-pai ini sudah mendengar tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tak mau memberi hati, tak mau memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan serentak. Akan tetapi mereka kecele jika mengira bahwa dengan mengandalkan banyak orang akan dapat merobohohkan Bu Pun Su begitu saja.

Melihat betapa para tosu itu tidak ada yang mau menjawabnya dan bahkan melanjutkan serangan-serangan mereka yang dahsyat, timbul penasaran dalam hati kakek ini. Ia lalu mulai menggerakkan ilmu silatnya yang aneh dan luar biasa.

Tangan kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar burung, yang aneh sekali gerakannya dan setiap kali menyambar dan menyambut pedang atau golok, senjata itu dengan mudah kena dirampasnya dan dicengkeram sampai patah-patah! Ada pun tangan kirinya digerakkan dengan gerakan berlainan lagi, lambat-lambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi dari tangan ini keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan terlanggar oleh hawa pukulan tangan kiri ini, menjadi terpental dan orangnya menjerit kesakitan lalu melompat mundur!

Inilah dua macam ilmu silat yang tiada keduanya di dunia persilatan waktu itu. Tangan kanan Bu Pun Su telah bergerak dan mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri yang bernama Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak Sakti) sedangkan tangan kirinya memainkan bagian ilmu silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih). Dua tangan dapat sekaligus memainkan dua macam ilmu silat yang amat berlainan sifat dan gerakannya, benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya dapat melakukannya!

Akan tetapi, sesuai dengan sifatnya, Bu Pun Su sama sekali tidak ingin melukai para pengeroyoknya, kalau pun ada yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak berarti saja. Tetapi tetap saja para pengeroyok menjadi kacau-balau sebab pedang dan golok mereka dengan cara yang aneh sekali dapat terampas, dipatahkan atau dibikin terpental entah ke mana.

Sedangnya ribut-ribut dengan para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit berlari seorang kakek tua. Kakek ini adalah seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana dan terlihat seperti seorang tua renta yang sangat lemah.

Akan tetapi kalau melihat cara ia menuruni bukit itu, orang akan terheran-heran karena biar pun ahli silat yang bertubuh tinggi tegap tidak akan mungkin dapat melakukan hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek itu berlari cepat, seakan-akan kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi dan jubahnya berkibar-kibar di belakangnya saking cepatnya ia lari.

“Bu Pun Su, apakah kau hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?” Kakek itu menegur setelah tiba di tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepat-cepat berdiri di pinggiran sambil memberi hormat.

Bu Pun Su tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Keng Thian Siansu. Baru bertemu pertama kali kau sudah mengenalku, benar-benar lihai sekali matamu.”

“Kau pun datang-datang sudah dapat mengenalku, Bu Pun Su. Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang-datang hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?”

“Ha-ha-ha-ha, Keng Thian Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang Seng Thian Siansu sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam bebas itu. Agaknya kau harus banyak belajar dari mendiang suheng-mu Seng Thian Siansu itu, meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan lain.”

“Apa maksudmu?”

“Sudah puluhan tahun semenjak Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki di sini. Akan tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang. Ehhh, tidak tahunya kau sudah menyambut kedatanganku secara berlebihan, dengan tiga puluh orang lebih anak murid Kun-lun-pai, bahkan masing-masing menghadiahi sebatang golok atau pedang! Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan sekali?”

Ucapan Bu Pun Su ini memang merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga, tiada hujan tiada angin tahu-tahu ia telah diserang begitu hebat oleh begini banyak tosu Kun-lun-pai, tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri. Kalau saja dia tidak pandai menghindarkan diri dari serangan-serangan itu, bukankah tubuhnya sudah hancur dan nyawanya menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa kesalahannya?

Keng Thian Siansu tersenyum sindir sambil memukul-mukulkan tongkat di depan kakinya. Para tosu yang lain juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di pandangan mata mereka. Melihat ini, diam-diam Bu Pun Su terkejut dan tidak mau main-main lagi, akan tetapi mendengarkan dengan penuh perhatiannya apa yang akan diucapkan oleh Ketua Kun-lun-pai.

“Bu Pun Su, sudah lama pinto mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang bijaksana dan pembela keadilan. Akan tetapi sekarang pinto merasa kecewa. Tadi kau menyatakan bahwa orang harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain, bukankan begitu?”

“Benar, Kheng Thian Siansu.”

“Kalau begitu mengapa kau menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekas-lekas mengakui dosa-dosamu?”

Bu Pun Su tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum ramah.

“Ehh, ehhh, jangan kau main-main, tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup siapakah yang tidak menumpuk dosa? Akan tetapi kalau dosa-dosaku tidak ada sangkut pautnya dengan kau, apakah aku harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku yang dulu-dulu dihadapanmu? Memangnya siapakah kau ini? Wakil dari Giam-lo-ong?”

“Bu Pun Su, tidak perlu kau membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau sudah membunuh murid keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih berani bilang tidak mempunyai dosa terhadap Kun-lun-pai?”

Bu Pun Su memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat tangkas dan cepat, maka seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan kematian Cin Giok Sianjin di pantai Pulau Pek-le-to! Akan tetapi bagaimanakah Kun-lun-pai demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula menuduh dia? Padahal yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dibantu oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapa pun juga, Han Le ikut bersalah dalam hal ini dan Han Le adalah adik seperguruannya, terpaksa ia mengalah dan berlaku sabar.

“Keng Thian Siansu, nanti dulu. Aku bisa memberi penjelasan tentang kematian Cin Giok Sianjin. Akan tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu begitu cepatnya? Dan mengapa pula menuduh aku yang melakukan perbuatan itu?”

“Dari mana pinto mengetahui, bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin Giok Sianjin telah tewas olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa.”

Bu Pun Su menarik napas panjang. Dia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa bekerja cepat.

“Hemm, siluman betina itu tentunya baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng Thian Siansu, apakah kau begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek Hoa Mo-li (Iblis Wanita Pek Hoa) itu?” Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek Hoa Pouwsat menjadi Pek Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi sedangkan Mo-li berarti Iblis Betina.

“Apakah ketika dia bercerita bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia berbicara sambil menggoyang-goyangkan tubuh seperti pohon yang-liu tertiup angin musim chun, matanya mengerling-ngerling bagaikan bintang-bintang di langit dan bibirnya tersenyum-senyum manis sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi percaya penuh?”

Wajah Keng Thian Siansu menjadi merah sekali. Memang, biar pun agak berlebih-lebihan semua dugaan Bu Pun Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat mengunjungi Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya yang genit sekali bahwa Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun Su, dan bahwa Pek Hoa Pouwsat sendiri yang hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh Bu Pun Su!

“Bu Pun Su, pinto sendiri memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi selain kau, siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-si yang berkepandaian tinggi? Dan pula, apa perlunya Pek Hoa Pouwsat datang-datang ke Kun-lun-san dan membohong? Ditambah lagi kedatanganmu di sini, benar-benar semuanya menimbulkan kecurigaan kami. Kalau kau beri penjelasan, katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-to. Apakah betul-betul Cin Giok Sianjin terbunuh?”

“Betul, sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-to terlambat,” jawab Bu Pun Su. Keterangan ini disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai.

“Siapa yang membunuhnya?” tanya Keng Thian Siansu.

“Ketika aku mendarat di Pek-le-to, aku melihat tiga mayat orang yang setelah kuperiksa ternyata adalah jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin beserta dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Dan orang yang saat itu tinggal di Pulau Pek-le-to itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat sendiri!”

Keng Thian Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh. “Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Orang macam Pek Hoa Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-pai?”

“Memang ada yang membantu…,” kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan kekecewaan.

“Siapa…?” Keng Thian Siansu mendesak.

Bu Pun Su menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai itu.

“Keng Thian Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya menyambut aku seperti ini saja? Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di tempat panas ini? Ahh, benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang merupakan tuan rumah yang tidak manis budi…”

Keng Thian Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata, “Maaf, maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa akan tata susila. Mari, Bu Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-lun-san!”

Bu Pun Su balas menjura. “Terima kasih!”

Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini, semua tosu Kun-lun-pai meleletkan lidah saking kagum menyaksikan ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari cepat yang sedemikian hebatnya.

Keng Thian Siansu berseru, “Kau memang hebat Bu Pun Su.”

Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah lenyap dari pandangan mata para tosu yang saling berpandangan dan kemudian beramai-ramai naik ke puncak.

Setelah berada di kuil Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh Keng Thian Siansu di ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu terdapat pula tiga orang tokoh Kun-lun-pai yang ikut mendengarkan penuturan Bu Pun Su. Mereka ini yang dua orang merupakan murid Keng Thian Siansu, sedangkan yang seorang lagi adik seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang Bu Pun Su menuturkan tentang peristiwa di Pulau Pek-le-to.

Dia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh Pek Hoa Pouwsat sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-to.

“Hemm, kalau begitu sute-mu itu yang menjadi pembunuh!” kata Keng Thian Siansu.

“Bukan, sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan membuat tak berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi pembunuhnya adalah Pek Hoa Pouwsat yang sudah datang ke sini dan menipu kalian di sini. Bukan aku hendak membela sute-ku yang juga berdosa, tetapi harus diingat bahwa sute-ku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh karena pandainya ia bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa. Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar hebat. Apa bila orang tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin yang sangat kuat, kiraku pasti akan roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat bahwa Han Le sudah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat roboh ketiga orang itu di Pulau Pek-le-to dalam keadaan tidak sadar seperti di bawah pengaruh sihir dari Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum sute-ku melarang dia keluar selamanya dari Pulau Pek-le-to. Apakah kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat baginya?”

Kiang Thian Siansu serta anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka terpaksa mengaku bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama dengan hukuman buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le tak akan dapat melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman ini pada hakekatnya bahkan lebih berat dari pada hukuman mati.

“Bu Pun Su, kami memang telah mendengar penuturanmu dan kami percaya sepenuhnya kepadamu. Akan tetapi masih ada satu hal dan engkaulah satu-satunya orang yang harus membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa Pouwsat. Apa bila memang betul dia itu yang membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar sudah datang ke sini untuk memburukkan namamu, maka untuk membuktikan kebenaran semua penuturanmu, kau harus mencari dan membunuh Pek Hoa Mo-li!”

Bu Pun Su nampak terkejut. “Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan pantangan membunuh!”

“Kalau begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar pengakuan dosanya. Kalau kau melakukan itu, barulah selamanya Kun-lun-pai percaya kepadamu, Bu Pun Su.”

Bu Pun Su tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian Siansu. Akan tetapi tidak apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan sekarang kuharap tamu agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi masuk. Keng Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?”

Keng Thian Siansu juga tersenyum dan berkata, “Saudara dari Siauw-lim-si berlaku amat sungkan-sungkan di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?”

Tiga orang tosu lain yang hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian penglihatan Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat sesuatu pun, juga tidak mendengar sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan berkelebat sesosok bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu dengan gerakan yang cepat, akan tetapi walau pun kedua kakinya tidak menimbulkan suara apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang merasa lantai tergetar hebat seolah-olah dijatuhi benda yang ribuan kati beratnya!

Semua orang memandang. Orang yang baru muncul ini adalah seorang hwesio gundul yang badannya tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pula mukanya licin kelimis seperti kedok. Kulit mukanya berwarna putih seperti dikapur dan yang membuat rupanya menjadi amat buruk adalah telinga kirinya yang sudah buntung tidak ada sisanya sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya nampak seperti orang murung dan duka. Sebenarnya usianya sudah enam puluh tahun lebih, akan tetapi oleh karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda.

Melihat hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran. Melihat gerakannya tadi, tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai, akan tetapi siapakah orang ini? Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada pertalian persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini belum pernah mereka kenal.

Kalau yang datang ini adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya, tidak mengherankan apa bila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi melihat lweekang serta ginkang yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah sekali dilihat bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi sekali, jadi bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai.

“Bu Pun Su,” hwesio itu berkata dengan muka yang tidak berubah akan tetapi suaranya menggeledek dan menggetarkan anak telinga. “Biar pun kaum Kun-lun-pai telah berlaku lemah, akan tetapi pinceng dari Siauw-lim-pai tak nanti melepaskan kau begitu saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-lim-pai, kemudian menerima hukuman atas dosa-dosamu!”

Kata-kata ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat panas hati Keng Thian Siansu bersama tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka anggap keterlaluan sekali.

Mereka tidak ambil pusing dengan apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu Pun Su, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali tidak mempedulikan pihak tuan rumah, betul-betul telah melanggar peraturan kang-ouw dan peraturan kesopanan antara partai-partai besar.

Hwesio itu telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu terlebih dulu dan tentu telah menggunakan kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan bisa sampai di ruangan lian-bu-thia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran pertama.

Ke dua, hwesio ini sama sekali tak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan hal ini benar-benar merupakan kekurang ajaran yang menyinggung rasa kehormatan ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja, bahkan, datang-datang hwesio ini hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi tamu Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tak memandang mata kepada Kun-lun-pai dan merupakan pelanggaran ke tiga.

Sun Giok Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di situ, menjadi marah dan cepat dia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa banyak peradatan lagi dia menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu sambil berkata,

“Kami mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu bahwa Siauw-lim-pai adalah partai persilatan di kolong langit yang paling menjaga peraturan sehingga memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan memasuki pintu langit! Akan tetapi kenapa kau ini hwesio yang mengaku dari Siauw-lim-si begini tidak tahu aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?”

Hwesio itu memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, dan tak lama kemudian terdengar suaranya yang keras dan parau, “Apakah kau ini yang bernama Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?”

Sun Giok Sianjin tersenyum mengejek. “Hwesio, kelirunya dugaanmu ini saja telah membuktikan bahwa kau bukan seorang yang banyak mengenal dan dikenal di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal hwesio di Siauw-lim, akan tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan kau. Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok Sianjin, dan kau ini siapakah?”

“Pinceng Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?”

Sesudah berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan terkejutlah Sun Giok Sianjin karena kedua telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin sakit telinganya sampai hampir tidak tertahankan lagi. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya untuk menjaga keselamatan bagian halus di dalam telinganya supaya tidak mengalami kerusakan akibat suara yang mengandung getaran tenaga lweekang ini.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga serangan merusak dari suara ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun Su. Dalam suara ketawanya yang halus, Bu Pun Su sudah mengerahkan tenaganya sehingga dapat menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara ketawanya.

“Pernah dahulu Suhu-ku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah yang menjadi kacung di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu mencuri sebuah kitab simpanan peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah tersebut bisa mempelajari isi kitab itu tanpa persetujuan para ketua Siauw-lim-si. Akhirnya ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selama hidupnya tidak boleh mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping itu dibuang ke luar kuil dan bertapa seorang diri dalam goa di hutan. Sekarang tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama yang memiliki tenaga I-kin-keng begini tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?” tanya Bu Pun Su di akhir penjelasannya.

Juga Keng Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget. “Pinto juga teringat akan sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng Seng Thian Siansu. Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya, Suheng bertemu dengan seorang hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di sebuah dusun tidak jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis kampung dan tentu saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi. Hwesio keparat itu ditegur dan terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini tahulah Suheng bahwa hwesio itu mempunyai sari kepandaian dari Siauw-lim-si. Akhirnya hwesio itu dapat dikalahkan oleh Suheng beserta sahabat-sahabatnya, dan biar pun tidak dapat dibinasakan, tetapi hwesio itu sudah diberi peringatan dengan terbabatnya sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!”

Hwesio itu mukanya tidak berubah, akan tetapi sinar matanya makin berapi-api.

Tiba-tiba Sun Giok Sianjin tertawa bergelak, “Aha, kiranya kaulah yang telinganya sudah dibuntungi oleh Suhu!”

“Sun Giok Sianjin, awas!” teriak Bu Pun Su.

Tosu ini cepat-cepat melompat ke belakang ketika merasa ada angin mendesir. Ternyata bahwa hwesio gundul itu sudah menyerang dengan sebuah pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan luar biasa sekali.

Sun Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, setingkat dengan kepandaian Cin Giok Sianjin tetapi lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian para murid Keng Thian Siansu. Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main.

Biar pun ia dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lweekang dari Si Gundul ini masih jauh melampaui tingkatnya. Segera tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu dia telah mencabut pedang yang tadinya menggemblok pada punggungnya. Sun Giok Sianjin terkenal sangat lihai dengan senjata pedang yang dimainkan dengan tangan kirinya.

Memang tosu ini adalah seorang kidal yaitu seorang yang semenjak kecilnya lebih trampil mempergunakan tangan kiri dari pada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam hal ilmu pedang, ia juga selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan suatu kesukaran jika menghadapi seorang yang memainkan senjata dengan tangan kiri.

Terdengar Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka hwesio telinga buntung ini. Biar pun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya mulutnya saja yang terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tak memperlihatkan gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!

“Tosu bulukan kau mengandalkan pedangmu? Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng Thian Siansu saja menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh tahun lagi, barulah menghadapi pinceng!” Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin mendengar ejekan ini.

“Hwesio siluman lihat pedang!”

Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar dengan gerak tipu Hek-in Koan-goat (Awan Hitam Menutup Bulan), yang lalu disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu Sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai).

Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua tangannya dengan lembut ke arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu itu menyerang, begitu bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu, lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali.

Sun Giok Sianjin terkejut sekali dan sesudah semua serangannya dapat dielakkan dan disampok oleh hawa pukulan ahli lweekang I-kin-keng ini, ia kemudian berseru keras dan tiba-tiba dari samping pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher! Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan seluruh tenaga lweekang sehingga apa bila hwesio itu berani menangkis, sungguh pun tidak dapat dia menangkan tenaga lweekang hwesio itu, akan tetapi kecepatan gerakan dan ketajaman pedangnya paling tidak tentu akan melukai tubuh lawannya!

Akan tetapi hwesio itu benar-benar amat lihai. Sambil merendahkan tubuhnya yang tinggi besar itu, ia mengelak cepat dan begitu pedang telah menyambar lewat, tangan kirinya menyusul pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan kosong semacam Siok-lui Kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat, akan tetapi bukan digerakkan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang. Benar-benar luar biasa sekali.

Biar pun hanya didorong oleh hawa pukulan, betapa pun Sun Giok Sianjin berusaha, pedang itu tidak dapat ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di lain saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lweekang dikerahkan dan…

“Krakk!” pedang itu telah patah-patah empat potong di atas lantai!

Di lain saat kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin terlempar dan terbanting pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak lebih!

Kong Mo Taisu tertawa bergelak, sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita luka berat merangkak bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia telah dikalahkan oleh hwesio itu. Ini adalah hal yang benar-benar sangat mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar biasa lihainya.

Hal ini diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biar pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada murid keponakannya itu, namun apa bila disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, ia masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang amat berat.

Akan tetapi sebagai seorang ciangbunjin dia harus menjaga nama dan kehormatan partai Kun-lun-pai. Apa lagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-pai, melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit dia bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang.

“Hwesio, harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan apakah?”

Kong Mo Taisu memandang tajam. “Engkau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari Kun-lun-pai?”

“Betul dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang memancing keonaran, sebenarnya apakah kehendakmu? Pinto tidak bisa turun tangan tanpa dasar yang kuat dan alasan yang tepat,” Keng Thian Siansu menyeringai.

“Bagus, Keng Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi? Kau tak tahu malu, yang sudah kehilangan anak murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang, setelah Bu Pun Su datang, karena takut padanya kau bahkan bersobat dengan dia, kau masih ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng? Pertama-tama memang pinceng hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar memuaskan hatiku menebus hinaan pada waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak menangkap Bu Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!”

Orang yang tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong ketika mengaku bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai itu, sebagai cucu muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini hwesio ini berkata benar.

Memang Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya dari pada Hok Bin Taisu sendiri. Kalau menurut keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih menyebut susiok kepadanya.

Hal ini adalah karena Kong Mo Taisu yang telah berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya menjadi seimbang atau boleh disebut sebagai murid seperguruan yang setingkat dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh disebut cucu-cucu muridnya.

Keng Thian Siansu menjadi mendongkol sekali mendengar betapa hwesio ini terus terang menyatakan ingin mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san. Kata-kata ini mengandung sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan puncak bukitnya, akan tetapi puncak kepandaiannya, yaitu tentu saja kepandaian Keng Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat itu. Kata-kata ini sama halnya dengan menantangnya.

Apa lagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya menebus hinaan di waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan adalah hinaan potong telinga yang sudah dilakukan oleh mendiang suheng-nya, Seng Thian Siansu.

“Hwesio, kau sombong sekali. Pantas saja mendiang suheng-ku membuntungi telinga kirimu. Kini kau mau membalas dendam masa lalu? Baiklah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang Suheng untuk menyelesaikan pekerjaannya dulu yang belum sempurna, yaitu membuntungi telinga keledaimu yang sebelah lagi!”

Keng Thian Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya untuk bersombong dan menghina orang. Tapi kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata pedas, bukan saja untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga sengaja ingin memanaskan hati dan membuat hwesio itu menjadi marah, karena hanya bila hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan harapan menang.

Bagi para ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan terhadap musuh berat pada tenaga lweekang, nafsu amarah adalah pantangan besar karena nafsu amarah ini dapat mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah, sulit sekali untuk menghimpun hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa sinkang di dalam tubuh pun buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun banyak berkurang.

Ejekan tentang telinga itu kiranya betul-betul tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat hwesio ini marah bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil berseru keras dia mencabut senjatanya yang tadinya tidak kelihatan dari luar, yakni sebatang ring rantai yang dijadikan ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan tangan warnanya hitam.

“Tosu keparat, mampuslah kau menyusul suheng-mu!” Hwesio itu membentak sambil dia mengirim serangan.

Bukan main hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat ke belakang, ujung rantai menghantam lantai hingga debu berhamburan ke atas karena lantai yang terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.

“Traangg…!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis oleh tongkat pada tangan Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar.

Kiranya tidak sembarang orang kang-ouw mampu menyamai kepandaiannya, baik dalam hal ilmu silat, tenaga lweekang, mau pun ginkang yang semua sudah mendekati puncak kesempurnaan. Namun kali ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini maklum bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo Couwsu yang luar biasa hebatnya.

Telapak tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja dia tidak memiliki sinkang yang sangat kuat tentu kulit serta daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai itu mengandung getaran tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang mendatangkan hawa panas bagaikan api membara.

Rantai itu sudah menyambar lagi, kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai itu melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah kakinya, rantai itu tahu-tahu sudah menghadang pula dan kini meluncur ke arah kepalanya! Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini. Kecepatan perubahan gerakan rantai yang dari serangan ke arah kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan berbahaya sekali.

Keng Thian Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu tongkat yang berdasarkan ilmu silat Kun-lun Kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar mengeluarkan bunyi berdering dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh bagian.

Pertempuran menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga tidak mau kalah. Dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Karena maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu segera mengandalkan kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan untuk pertahanan diri, sedangkan ia membalas serangan lawan yang hanya dengan dua bagian saja. Hal ini adalah karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya saja baru dia sanggup menangkis serangan lawannya yang tentu saja menggunakan sistem setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada pada pihak penahan belaka, dan hanya sedikit sekali melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan.

Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya. Kini tempat itu sudah terkurung oleh puluhan orang-orang Kun-lun-pai yang datang menonton dan telah siap sedia menghadapi semua perintah ketua mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi bencana.

Akan tetapi di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa apa bila Ketua Kun-lun-pai sampai roboh binasa, tentu hwesio gundul itu tak akan dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan selamat. Walau pun hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin dia sanggup menghadapi pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi itu.

Mereka pun takkan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh hwesio itu kalau sampai ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu bukan sebagai seorang tamu terhormat, tetapi sebagai seorang pencuri yang datang secara sembunyi-sembunyi. Kalau hwesio itu adalah tamu terhormat dan pertandingan itu adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup tak akan dipersoalkan lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain lagi soalnya, maka mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan.

Ada pun Kong Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya, menjadi penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu, akan tetapi ia kalah karena dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu beserta empat orang lain yang kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian Siansu seorang diri yang maju, dahulu Seng Thian Siansu juga pasti kalah olehnya.

Padahal setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai belasan tahun, melatih I-kin-keng sampai hampir sempurna. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia sudah salah duga. Ternyata, hanya dengan tenaga dalam I-kin-keng yang luar biasa saja dia tak akan dapat memenangkan musuh kalau ilmu silatnya tidak bisa mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan tenaganya dia dapat menangkan Keng Thian Siansu, hanya saja dalam ilmu silat, ternyata ketua dari Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!

Aku harus menangkan dengan adu tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat tongkat menyambar dengan sodokan ke arah dada, dia tidak mengelak, bahkan dia melibat ujung tongkat itu dengan ujung rantainya sambil mengerahkan lweekang.

“Bukkk!”

Ujung tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja saja, licin dan keras sehingga meleset tanpa mendatangkan akibat apa pun. Namun sebaliknya, ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh rantai. Betapa pun Keng Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan kepalan tangan kirinya yang datang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lun-pai!

Keng Thian Siansu tadinya sudah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata merangkap lambang kekuasaan sebagai ketua partai, maka tentu saja kehilangan tongkat yang terampas oleh lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa.

Akan tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat tangan kanannya, mempergunakan gerak Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman Harimau) menyambut tangan kiri hwesio itu sehingga di lain saat jari-jari kedua tangan itu telah saling cengkeram!

Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lweekang. Sebelah tangan berebut tongkat yang terlibat rantai, tarik-menarik, dan sebelah lagi saling cengkeram.

Muka hwesio itu tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah mulur menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dan dari kepalanya sudah mengepul uap, tanda pengerahan lweekang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.

Tenaga lweekang dari hwesio itu yang diperoleh dari latihan I-kin-keng secara mendalam sekali, memang masih menang setingkat lebih. Maka, setelah kini pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan tenaga lweekang, sudah bisa dipastikan bahwa nyawa Ketua Kun-lun-pai itu tidak akan tertolong lagi! Pertandingan lweekang biar pun dilakukan tanpa mengeluarkan suara dan tanpa bergerak, namun bahayanya melebihi pertandingan silat.

Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau tetap mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan. Sebaliknya dalam pertandingan lweekang, orang bertanding dengan mengandalkan tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang ‘tidak kelihatan’ namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut.

Bu Pun Su pasti maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan sungguh pun tongkatnya lenyap, tetapi ia akan selamat nyawanya.

Akan tetapi ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia merasa kagum terhadap Keng Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar dari pada nyawanya!

Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya. Batuknya makin keras dan kakek sakti ini tiba-tiba meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan tenaga lweekang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu.

Kong Mo Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan!

“Ayaaaa…!” Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dan melompat ke belakang.

Dengan demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut. Tubuh tosu tua ini terhuyung-huyung dan ia cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah menggunakan lweekang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan nyawanya.

Sekarang Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka, nampaknya seperti iblis yang marah sekali.

“Bu Pun Su, kau memang seorang pengecut dan tak tahu malu!” Ia memaki dan bibirnya bergerak-gerak akan tetapi tak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai sukar mengeluarkan kata-kata!

Bu Pun Su tersenyum mengejek, “Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus kemudian digunakan untuk perbuatan sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah menjadi ilmu hitam yang keji!”

“Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling hina. Kau sendiri seorang keji yang telah membunuh dua orang cucu muridku dan kini kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku? Kau tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap? Apakah itu perbuatan seorang laki-laki?”

Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini. “Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya memang harus dilakukan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan taruhan nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa aturan kesopanan pula.”

“Jahanam, kau memaki aku anjing?”

”Siapa memaki? Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kau bilang aku sudah membunuh dua orang cucu muridmu?”

“Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa kepalamu saja ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk upacara menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng.”

Bu Pun Su tertawa geli. “Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang! Apakah akan direbus lebih dahulu? Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada dagingnya, mana ada setan yang suka?”

Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya. “Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!”

Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop. “Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Sedangkan aku yang hendak kau bunuh tidak tergesa-gesa, mengapa engkau yang mau membunuh begitu tidak sabaran? Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang, mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain? Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauw-lim-pai? Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu?”

“Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai! Pinceng adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam.”

Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak. Suara ketawanya bergema sampai jauh dan suara ini lapat-lapat mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, yang dijawab oleh auman binatang-binatang buas!

“Kong Mo Taisu, kau kira aku tidak dapat menduga? Ternyata siluman betina Pek Hoa telah mengunjungi Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-si pasti tak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu. Kemudian siluman itu lari memasuki goamu dan membujuk rayu dengan matanya yang bening dan bibirnya yang merah. Dan kau… ahhh, mana bisa lain? Kau dengan segala senang hati berkenan melaksanakan permintaannya untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?”

Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su itu, seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan Bu Pun Su ini tepat sekali.

Setelah berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, Pek Hoa kemudian langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar dia hanya diterima di ruangan depan sekali, tak diperbolehkan masuk. Di situ wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-to.

Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan ketidak percayaannya.

“Apa pun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su dari pada kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-lim-si!” kata Hek Bin Taisu.

Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-lim-si dan mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.

Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-heran, juga ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah datang ke goanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap Siauw-lim-si.

Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari goa dan untuk menolong wanita itu membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam menggoda, membujuk dan merayu hati pria, dia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali. Meski pun Kong Mo Taisu telah menjadi seorang hwesio dan telah bertapa bertahun-tahun, akan tetapi pada dasarnya ia memiliki kelemahan batin.

Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah juga. Apa lagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-nyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu!

Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang akhirnya menimbulkan marahnya.

“Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapa pun juga, kau telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!” Setelah berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su.

Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki tenaga lweekang dan ilmu I-kin-keng, karena itu serangan-serangannya tentu berbahaya sekali. Akan tetapi di samping ini, dia pun maklum bahwa ilmu silat dari Kong Mo Taisu adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna, tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.

Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu, kemudian berkatalah Bu Pun Su,

“Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan hingga kau dihukum oleh Siauw-lim-si. Kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat hingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum bertobat bahkan sudah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat. Hwesio, kedosaanmu sudah sangat memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!”

Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja.

Sekali saja kakek ini menggeser kaki, memiringkan tubuh atau menundukkan kepalanya, menekuk lutut atau menggoyang pinggang, maka semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka, dan hanya sejari terpisah dari anggota tubuh! Dalam penglihatan para tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga semua pukulan tidak mengenai sasaran.

“Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?” Bu Pun Su bicara terus.

Dia cepat menggunakan tenaga Pek-in Hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu bagai terdorong oleh tenaga aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.

“Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Oleh karena seorang hwesio itu wajib membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu birahi didahului dengan penggundulan rambut kepala.”

Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,

“Akan tetapi kau walau pun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!”

Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget bukan main. Ia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkatan yang tertinggi. Mengapa sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja, serangan-serangannya sampai dua puluh jurus lebih tak pernah berhasil? Apa lagi Bu Pun Su masih ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu!

Sekali ini pukulan rantai ke arah kepala amat kuatnya, dilakukan dengan mengerahkan tenaga I-kin-keng sepenuhnya. Biar pun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su sudah merasakan sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat.

“Siancai… sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat…,” kata kakek sakti ini.

Cepat dia mengulur tangan kanannya menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah kepalanya. Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su seorang saja yang berani melakukannya, karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andai kata setingkat saja, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya maut yang nyata!

Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil.

Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biar pun kelihatannya gerakannya biasa saja, akan tetapi lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat serta menyambar cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah, dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun ujung baja itu sudah digenggamnya.

Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar sangat aneh. Meski pun rantai itu terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja dapat berbengkok-bengkok.

Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga lweekang tinggi yang membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biar pun yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras melebihi baja.

Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh kaki tangan, bahkan dengan senjata sekali pun, masih belum begitu menegangkan laksana pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu. Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam, kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!

Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini telah memiliki tingkat yang tak dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia bisa menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.

“Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan lupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, seolah memberi kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.

Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu ia tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu tenaga dalam ini saja, dia sendiri telah mengerahkan seluruh tenaga I-kin-keng yang ada padanya. Akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-kata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.

Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.

Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras dia mendorong dengan segenap tenaga yang ada dalam dirinya.

Semua tosu Kun-lun-pai melihat ini dan mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su.

“Curang…!” Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo Taisu ini. Akan tetapi karena dia maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.

Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu. Bu Pun Su adalah seorang yang cerdik dan waspada. Dia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalau-kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya.

Diam-diam dia telah menyediakan tenaga pada pundaknya. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu secara nekat mendorong dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su segera menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak tangan menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.

Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali.

“Krek… krek…krek…!” terdengar suara dan satu demi satu mata rantai itu hancur!

Akhirnya Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik mengerikan pada saat mata rantai terakhir di dekat telapak tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Dia jatuh terduduk, wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua matanya meram.

“Siancai… siancai… Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri.” kata Bu Pun Su menarik napas panjang.

Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Walau pun sepak terjang Kong Mo Taisu sangat jahat dan tidak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah kehilangan seluruh tenaga lweekang-nya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang berarti bahwa selamanya dia tak akan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.

Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su untuk melakukan pengawasan serta penjagaan di tapal batas barat untuk mencegah musuh-musuh negara menyerbu dari barat dan memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu Pun Su juga menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-pai untuk menerima hukuman.

Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu kepada Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai mengenai kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.

Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh. Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan dari Bu Pun Su untuk membantu menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat jelata yang terancam bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di kuil Siauw-lim-si dan segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai sendiri, hal yang jarang terjadi.

Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni mencari dan kemudian menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.

Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa Pouwsat sudah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran.

Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki? Benar-benar aneh sekali. Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Sian-koan, di samping hendak menanyakan mengenai Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, dia juga hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar itu.

Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika tiba di Sian-koan dia mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang. Kemudian dia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara teguran Bu Pun Su, lalu segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu dan mencurahkan seluruh kesedihan hatinya.

“Susiok-couw… teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang… membunuh Ayah…“ Dia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi.

Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya karena terharu dan ikut berduka. Sebelum dia menjumpai Im Giok, lebih dahulu kakek ini telah mencari keterangan mengenai terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa keluarga gadis ini.

“Susiok-couw… harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu… sirnakan saja teecu dari muka bumi ini… teecu sudah tidak kuat menanggung dosa…,” gadis ini melanjutkan kata-katanya yang dicampur dengan tangis.

“Kiang Im Giok, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Bukan demikian sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu dan usir semua kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari. Angkatlah muka dan dada, arahkan pandangan ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan ini? Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?”

Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan, membuat dirinya sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di hadapannya dengan mata penuh harap dan tanya.

Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa sangat kasihan. Dia harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.

“Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi seorang yatim piatu dan apa bila dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah terlalu buruk. Aku tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati dan hidup? Setiap pertemuan pasti akan diakhiri dengan perpisahan, demikian pula setiap perpisahan pasti akan mendatangkan pertemuan lain.”

Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar kembali, lalu menjawab,

“Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang hendak mengajukan pinangan untuk diri teecu kepada Ayah, akan tetapi siapa sangka, dia tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah… Ayah meninggal dunia dalam keadaan… sebagai… sebagai musuh teecu…” Mata yang sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.

“Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi tidak sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang mengaturnya lebih dulu, kau tidak perlu penasaran. Ada pun semua sebab-sebab yang mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin, merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap intisari semua sebab dan akibat, lalu mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga mata kita akan terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai menyeleweng. Semenjak kecil kau dilatih tentang kegagahan, maka kau juga harus memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian, tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu masih cukup banyak di dunia ini, kenapa mesti terbenam dalam lamunan dan duka untuk hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang berada di depan mata? Beginikah sikap seorang pendekar?”

Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Dia memberi hormat sambil berlutut lalu berkata,

“Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan? Teecu mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk memberi petunjuk.”

“Banyak sekali yang bisa kau lakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya pedangmu itu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di dunia ini.”

“Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya terhadap tugas itu, Susiok-couw.”

Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas yang penting, tugas yang sukar, merupakan hiburan yang menarik dan dapat melupakan orang dari kedukaannya, mendatangkan perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan oleh orang banyak.

“Baiklah, Im Giok. Aku pun tengah membutuhkan bantuanmu, karena itu kebetulan sekali kalau kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan di samping membutuhkan kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana. Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang persatuan, terjadi suatu hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai terjadi bentrokan dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai merupakan seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan. Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan terkenal pula sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sangat sibuk mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki mengenai pertentangan antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai itu dan sedapat mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan jalan damai.”

Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.

“Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw,“ katanya.

Kemudian dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan makam ayahnya, juga di depan kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati serta pikirannya, setelah dia bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couw-nya.

“Di mana adanya suci-mu?” tiba-tiba saja Bu Pun Su bertanya sesudah Im Giok selesai bersembahyang.

“Kalau tidak pergi, tentu dia ada di rumah,” jawab Im Giok yang selama ini seakan-akan sudah lupa akan suci-nya itu.

“Hemm, aku ingin bertemu dengan dia.”

Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan.

Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis itu sudah pergi sejak dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak memberi tahu kepada siapa pun juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia mendapat kenyataan bahwa suci-nya itu sudah membawa semua pakaian dan perhiasan, tanda bahwa suci-nya itu pergi jauh dan mungkin sekali tidak akan kembali. Ia menarik napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.

“Im Giok, di samping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-amati suci-mu. Jangan sampai kelak dia melakukan kejahatan-kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan yang akan mencemarkan nama baik kita. Betapa pun juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itu pun adalah anak muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas seluruh sepak terjangnya dan karenanya aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat.”

Setelah banyak memberi nasehat yang merupakan hiburan dan pembangkitan semangat bagi gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Sesudah kakek ini pergi, Ang I Niocu kemudian menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan perjalanannya ke Kim-san.

Im Giok memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan kedukaan belaka, maka dia menjual rumah dan semua isinya. Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, di samping hendak memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat tertindas.

Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok selalu mengenakan pakaian putih yang sederhana sekali, sekarang dalam perjalanannya, dia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah! Kecantikan dan kesegarannya yang dahulu sudah pulih kembali dan setiap orang yang melihat gadis baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman.

Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang ada keduanya. Mukanya bulat telur dengan dagu meruncing manis dan pipi yang selalu kemerah-merahan tanpa cat, merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan sisa rambut yang panjang itu dibiarkan menggantung di belakang leher.

Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang dulu selalu dibelikan ayahnya yang sangat memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu.

Sepasang telinganya yang bagian atas tertutup rambut, digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas bermata kemala. Anting-anting ini selalu bergerak-gerak, seperti bermain-main di antara leher dan dagu yang halus, amat manisnya dipandang mata.

Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh dengan kemanisan dan keindahan yang tak membosankan. Alis matanya hitam kecil memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang cemerlang itu.

Sekarang mata ini sedikit berbeda dengan dahulu. Apa bila dahulu selalu membayangkan kejenakaan, kegembiraan, dan juga kegagahan, sekarang di situ terbayang sesuatu yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat.

Mungkin dulu orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya bagai sinar mata kanak-kanak nakal. Akan tetapi sekarang, lebih dulu orang akan berpikir masak-masak sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang dengan Ang I Niocu.

Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang sangat dahsyat, sesuatu yang berupa ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, tentu akan bisa menangkap kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.

Akan tetapi kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah, di mana kadang kala waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih yang selalu bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana yang lebih indah, matanya ataukah mulutnya.

Baju dalamnya berwarna biru, yang hanya nampak pada bagian leher serta lengan baju. Kemudian bajunya terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, amat lemas sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang amat molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk berwarna biru terhias benang emas.

Ikat pinggang inilah yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan tetapi, betapa pun menariknya gadis jelita ini, tidak ada orang yang berani sembarangan berlaku kurang ajar oleh karena selain bersikap agung, Ang I Niocu juga selalu membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.

Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, yaitu kuda bulu putih kesayangannya. Dalam menempuh perjalanan menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-hong-ma. Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan dibalapkannya kudanya.

Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dahulu dibeli ayahnya dari selatan dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya panjang.

Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah suci-nya ini yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I Niocu semakin sayang kepada Pek-hong-ma.

Pada suatu hari, ketika dia sampai di sebuah dusun, dia mendengar suara orang wanita menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda yang sudah jinak dan mengerti, karena itu dia berani meninggalkannya begitu saja tanpa mengikatkan kendalinya pada pohon.

Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si isteri menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.

“Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu pergi dan kau masih ada muka untuk merengek-rengek? Benar-benar anjing yang tak mengenal malu!” laki-laki itu memaki dan kakinya menendang sehingga perempuan itu roboh terguling.

Akan tetapi perempuan itu merangkak kembali. Di antara tangisnya terdengar ia berkata,

“Suamiku, kenapa kau begini kejam? Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau mengusirku? Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika hendak meminang aku? Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah menjadi isterimu, kalau kau mengusirku… di mana aku harus menempatkan mukaku?”

“Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!”

Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, “Suamiku, mengapa kau begitu keji…?”

“Siapa keji? Kaulah yang mendatangkan sial? Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku, kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!” Kembali laki-laki itu menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-guling kemudian mengaduh-aduh.

Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan sakit perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.

“Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah, akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti akan dikutuk oleh Thian…!”

”Jangan banyak cerewet…”

Kata-kata si suami ini terhenti dan dia berdiri melongo ketika tiba-tiba dia melihat seorang gadis baju merah yang cantik luar biasa bagaikan bidadari, tahu-tahu sudah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat munculnya yang tiba-tiba itu, dia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan!

Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi.

“Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?”

Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai seorang dusun dia pun percaya akan tahyul dan menyangka bahwa Ang I Niocu tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,

“Ampunkan hamba… dia itu adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah dengan gadis lain dan gadis itu mengajukan permintaan supaya hamba lebih dulu dicerai. Suami hamba mempergunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai keturunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba…”

Semenjak tadi pun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek.

Ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya? Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana jalannya?

“Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?”

“Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?” perempuan itu bertanya heran.

“Walau pun andai kata dia menjadi buruk rupa atau… sepasang telinganya hilang sekali pun?”

“Apa pun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi isterinya…,” jawab isteri yang setia ini.

Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah

“Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak mengusirnya? Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah? Orang macam engkau ini harus diberi hajaran. Rasakan ini!”

Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat dan meraba pada bagian yang sakit, ternyata bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap! Darah mengucur deras dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah daun telinganya telah menggeletak di atas tanah.

“Lihat baik-baik daun telingamu!” kata Ang I Niocu sambil menyimpan pedangnya. “Lain kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil kepalamu!”

Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan kepala tergeletak di atas pangkuannya.


JILID 18

Ang I Niocu mengeluarkan bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada wanita itu sambil berkata, “Aku sengaja membuntungi telinganya supaya dia kapok. Pula kiraku perempuan yang lain itu takkan sudi lagi ia kawini setelah ia menjadi cacat. Kau rawat dia dan belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan mudah-mudahan rumah tanggamu baik kembali.”

Tanpa memberi kesempatan kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang I Niocu sudah berkelebat pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan mengira dia betul-betul seorang dewi, berlutut dan mulutnya berkemak-kemik mengucapkan doa seperti kalau ia bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat!

Sambil duduk di punggung kudanya yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan seluruh peristiwa yang tadi dilihatnya. Berkali-kali dia menghela napas panjang dan dari bibirnya yang merah itu keluar keluhan-keluhan pendek,

“Hemmm, ngeri kalau melihat suami isteri seperti itu…! Alangkah banyaknya suami isteri yang tidak bahagia hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta ibu sampai menjadi sengsara, Twako Gan Tiauw Ki terbunuh akibat mencintaiku. Perempuan tadi pun karena cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan yang keji.”

Memikirkan ini semua, makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa cinta di dalam hatinya telah ikut terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan kematian Gan Tiauw Ki. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk tidak menikah selama hidupnya, untuk selalu hidup sebatang kara di dunia ini, melakukan perbuatan-perbuatan besar sebagai seorang lihiap (pendekar wanita).

Pandangannya terhadap cinta kasih menjadi rendah dan remeh, dan di dalam pikirannya timbul kesan bahwa cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka, bahwa di dunia ini lebih banyak cinta palsu dari pada cinta kasih murni. Cinta kasih murni saja banyak mendatangkan kesengsaraan, apa lagi cinta yang palsu! Bergidik kalau dia teringat akan peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi.

Perjalanan menuju Kim-san, gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-san-pai, melalui daerah perbatasan antara Propinsi Secuan dengan Cing-hai. Daerah ini termasuk wilayah Pegunungan Min-san dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai daerah yang amat liar dan berbahaya. Tidak saja berbahaya karena jalannya sukar ditempuh dan banyak terdapat binatang buas, akan tetapi terutama sekali karena sudah berpuluh tahun tempat ini dijadikan sarang gerombolan penjahat yang terkenal kejam.

Gerombolan rampok ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan nama poyokan Min-san Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala perampok bersaudara ini terkenal lihai ilmu silatnya dan mereka mempunyai kepandaian tinggi dan keistimewaan masing-masing.

Pernah ada beberapa orang gagah di dunia kang-ouw yang mendatangi Min-san untuk menyerbu Min-san Sam-kui ini. Akan tetapi para pendekar itu akhirnya terpukul mundur dan terpaksa lari turun gunung menderita luka-luka. Selanjutnya tidak ada pendekar yang berani naik lagi.

Orang-orang yang kepandaiannya tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau berani mengganggu Min-san Sam-kui. Sebaliknya, para tokoh besar juga tak mau mengganggu mereka oleh karena walau pun ketiga orang ini merupakan tokoh-tokoh golongan liok-lim (berandal), tetapi mereka berwatak gagah perkasa dan tidak pernah melanggar peraturan liok-lim atau kang-ouw. Mereka melakukan perampokan tidak membuta tuli dan mereka hanya beroperasi di daerah Min-san saja, tidak pernah mengganggu daerah atau wilayah orang lain.

Orang pertama dari Min-san Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi besar bermuka brewok berusia kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan julukannya Toa-to yang berarti Golok Besar, Ang Kim adalah seorang ahli golok yang lihai, bertenaga besar dan mengandalkan tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat hebat.

Dengan kedua tangannya, Ang Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong yang besarnya sepelukan orang dan goloknya saja yang sangat tebal besar dan tajam, beratnya tidak kurang dari seratus kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga Ang Kim, karena orang dengan tenaga biasa saja, jangankan harus memainkan golok yang sedemikian beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar dilakukan.

Orang ke dua bernama Kwan Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang berwajah putih serta tampan sekali. Juga kedua telapak tangannya berkulit putih seperti kulit tangan wanita, maka dia dijuluki Si Tangan Putih. Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita, akan tetapi lebih baik tidak dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau dia sedang marah.

Sifatnya yang lemah lembut dapat berubah beringas dan kejam sekali. Berbeda dengan suheng-nya, Ang Kim, pemuda ini adalah seorang ahli lweekang dan pedangnya sangat tangguh dan lihai. Memang dulu guru mereka yang melihat bakat Ang Kim, menurunkan kepandaian yang berdasarkan gwakang kepada Ang Kim, sebaliknya melihat dasar dari Kwan Liong, menurunkan ilmu-ilmu silat berdasarkan lweekang kepada pemuda tampan ini.

Ada pun orang ke tiga adalah adik perempuan Kwan Liong yang bernama Kwan Bi Hoa, seorang gadis berusia dua puluh lima tahun. Seperti juga Kwan Liong, Bi Hoa mempunyai wajah yang cantik dan manis dengan bentuk tubuh ramping berisi yang selalu ditutup oleh pakaian yang ketat dan sepan mencetak bentuk tubuhnya. Bedanya, apa bila Kwan Liong kelihatan pendiam, adalah Bi Hoa amat genit dan suka bicara, lagi pula galak dan telengas.

Hanya dalam satu hal gadis dan kakaknya ini mempunyai watak yang sama, yakni mata keranjang! Walau pun kakak beradik ini belum pernah menikah, namun kekasih mereka banyak sekali. Seperti kakaknya pula, Kwan Bi Hoa adalah seorang ahli pedang, akan tetapi jika Kwan Liong memainkan pedang tunggal, adalah Bi Hoa memainkan sepasang pedang dan oleh karena itu dia diberi julukan Siang-kiam Sian-li atau Bidadari Dengan Sepasang Pedang!

Agaknya kehidupan tiga orang pimpinan gerombolan ini akan berlangsung aman dan tak seorang pun berani mengganggu mereka, kalau saja Ang I Niocu tidak lewat di situ, atau kalau saja Ang I Niocu tidak secantik itu atau Kwan Liong bukan seorang mata keranjang!

Ketika Ang I Niocu menjalankan kudanya perlahan-lahan mendaki jalan yang berliku-liku dan menanjak di pegunungan Min-san, gadis ini merasa tertarik sekali dengan keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini. Dia sengaja membelokkan kudanya ke arah sebuah puncak yang nampak indah penuh dengan pohon Pek dan bunga-bunga merah putih, kemudian ia melompat turun dan menikmati pemandangan indah dan hawa gunung yang sejuk yang bermain-main dengan rambutnya.

“Indah nian tempat ini…” pikirnya dan tak terasa pula Ang I Niocu lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu.

Jiwa seninya lalu tergugah oleh keindahan tamasya alam yang terbentang luas di depan kakinya dan perlahan-lahan Ang I Niocu bernyanyi. Tanpa terasa serangkaian sajak telah dijalinnya dalam keadaan termenung dan terpesona dengan keindahan alam itu, sambil melihat burung-burung beterbangan di atas jurang.

Berkawan sebatang pedang

Menjelajah ribuan li tanah dan air

Tanpa maksud, tiada tujuan

Hanya mengandalkan kaki dan hati!

Ang I Niocu merasa betapa kata-kata ini cocok sekali, karena itu dengan girang ia lalu mengulang-ulang kata-kata itu. Saking asyiknya menikmati pemandangan-pemandangan indah dan hawa sejuk, ia sampai tidak tahu bahwa semenjak tadi, beberapa pasang mata mengintainya dari balik gerombolan pohon, agak jauh dari situ.

Makin lama orang-orang yang mengintainya ini semakin mendekat, menyelinap di antara pohon-pohon. Sesudah mereka datang agak mendekat, tentu saja mata Ang I Niocu yang berpandangan tajam itu dapat melihat mereka.

Dengan tenang gadis ini tersenyum seorang diri, lalu dia berkata dengan suaranya yang merdu akan tetapi nyaring dan tinggi menusuk telinga,

“Siapakah kalian yang mengintai dari balik batang pohon? Kalau kalian bukan binatang buas, keluarlah dan katakan apa maksud kalian mengintai aku!”

Sampai lama suara ini tidak ada yang menjawab. Kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara suitan dan dari balik batang-batang pohon itu berlompatan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap dan bersikap kasar.

“Kalian ini siapakah dan apa maksud kalian mengintai aku yang sedang duduk seorang diri?”

Seorang di antara mereka, agaknya pemimpinnya, yang bertubuh tinggi dan berhidung hitam, kemudian tertawa bergelak, cengar-cengir bagaikan monyet memandang kepada kawan-kawannya.

“Seorang tamu menegur dan bertanya kepada tuan rumah. Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu. Nona, dengan sesuka hatimu kau melanggar wilayah kami, maka terbaliklah apa bila kau yang bertanya siapa kami. Sepatutnya kau yang harus mengaku siapa kau ini dan apa maksudmu memasuki wilayah Min-san. Kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang pandai. Siapakah gurumu dan dari golongan manakah kau?”

Mendengar pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan dua belas pasang mata makin kagum memandangnya karena memang bukan main manisnya kalau gadis ini tersenyum. Beberapa orang sampai menelan ludah dengan hati penuh gairah.

Tiba-tiba saja gadis ini teringat akan kata-kata yang dinyanyikan seorang diri tadi. Maka, kini ditanya nama dan asal usulnya, dia pun membuka bibir bersyair sambil menengadah ke langit.

Berkawan sebatang pedang

Menjelajah ribuan li tanah dan air

Tanpa maksud, tiada tujuan

Hanya mengandalkan kaki dan hati

Kau masih bertanya maksud keperluan?

Tanyalah kepada burung di puncak pohon

Terbang ke sini berkehendak apakah?

Dua belas orang itu adalah anak buah gerombolan perampok di bawah pimpinan Min-san Sam-kui. Tentu saja mereka ini adalah bangsa kasar yang tak peduli tentang sajak. Akan tetapi mereka pun sudah banyak tahu mengenai keanehan orang-orang kang-ouw, maka biar pun mereka merasa mendongkol mendengar jawaban ini, tetap saja mereka masih menahan kesabaran. Pemimpinnya maju selangkah dan berkata dengan suaranya yang parau,

“Nona, kau begini muda, begini cantik seperti bukan manusia, kau seorang diri berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang aneh dan sulit dipercaya. Kalau kami melihat seekor singa betina, atau seekor ular betina atau binatang-binatang buas yang lain lagi, kami takkan merasa heran. Akan tetapi melihat kau seorang diri saja berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang hampir tidak mungkin! Ketahuilah bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak bisa menghargai persahabatan di dunia kang-ouw dan pemimpin-pemimpin kami adalah Min-san Sam-kui yang terkenal gagah perkasa. Mungkin kau juga seorang kang-ouw, melihat lagakmu dan pedangmu, maka kami sudah bertanya dengan baik. Harap kau suka menjawab pertanyaan kami, Nona manis.”

Biar pun kata-kata yang keluar dari mulut orang ini seperti kata-kata sopan dan tahu aturan, akan tetapi pandang mata mereka itu semua menimbulkan muak dalam hati Ang I Niocu, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata singkat,

“Aku tidak peduli tentang Min-san Sam-kui dan aku tidak kenal mereka. Aku tidak ada urusan dengan kalian!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu segera berjalan pergi dari puncak itu, kegembiraannya yang tadi lenyap oleh gangguan ini.

Akan tetapi dua belas orang itu serentak mengejar kemudian menghadang di depannya. Pemimpin yang berhidung hitam tadi berkata, “Nanti dulu, Nona. Mengapa terburu-buru? Kalau kau kenal dengan Min-san Sam-kui, kau pergi begitu saja masih tidak mengapa. Akan tetapi kau sendiri menyatakan tidak kenal. Hemm, kalau begitu kau seorang asing dan karenanya kau harus membayar pajak jalan kepada kami!”

Ang I Niocu mengerti bahwa ia kini berhadapan dengan perampok-perampok kasar, akan tetapi ia tetap tenang. Ia juga mengerti akan peraturan di kalangan liok-lim ini, yakni siapa yang dianggap bukan kawan atau kenalan, apa bila lewat di daerah mereka diharuskan ‘membayar pajak jalan’ atau kasarnya dirampok barang-barang bawaannya!

“Berapa aku harus membayar pajaknya?” tanya Ang I Niocu.

Sebagai seorang pengembara ia harus mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku di dunia kang-ouw supaya jangan dianggap tidak mengerti aturan, maka nona ini sudah bersedia mengeluarkan uang untuk sekadar menyokong mereka.

Akan tetapi, orang-orang itu saling berpandangan dengan muka cengar-cengir, kemudian terdengar seorang di antara mereka majukan usul kepada pemimpin Si Hidung Hitam.

“Twako, minta ia tinggalkan pakaian yang dipakainya!”

“Setuju…! Biar hilang sombongnya!”

“Serahkan kepadaku saja untuk membikin jinak kuda betina liar ini!”

Kata-kata yang tak sopan mulai terdengar dan pemimpin hidung hitam itu menghadapi Ang I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata,

“Kau mendengar sendiri, Nona manis. Kawan-kawanku berlaku murah, karena kau cantik jelita dan masih muda, kami tidak mengharapkan barang-barang bawaan atau bekalmu. Akan tetapi kami hanya menghendaki pakaian yang menempel di badanmu itu supaya kau tanggalkan dan kau berikan kepada kami.”

Kata-kata ini disambut sorak-sorai para perampok itu.

Ang I Niocu tetap tersenyum, akan tetapi bila diperhatikan betul-betul, orang akan melihat belahan bibirnya yang bawah tergetar dan kedua matanya mengecil, mengeluarkan sinar berapi-api. Inilah tandanya bahwa Ang I Niocu menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dadanya.

Dengan gerakan tenang sinar matanya mencari-cari ke bawah. Ia tidak mau menghadapi orang-orang kasar ini dengan tangan, segan ia menggunakan tangan menyentuh mereka. Untuk menggunakan pedang dia malu kepada diri sendiri. Masa menghadapi tikus-tikus busuk macam ini saja ia harus mencabut pedangnya?

Akhirnya matanya melihat sebatang ranting kering yang berada di bawah pohon, maka tersenyumlah ia, senyum manis yang membuat hati dua belas orang laki-laki itu semakin tergiur hatinya.

“Kalian ini tikus-tikus hutan berani bermain gila di depan Ang I Niocu? Bagus, terimalah pembayaran pajakku ini!”

Tiba-tiba dua belas orang itu berseru kaget ketika gadis baju merah itu lenyap dari depan mereka. Sebagai gantinya, nampak berkelebat bayangan merah yang menyambar ranting di tanah, kemudian menjerit-jeritlah mereka, disusul tubuh mereka roboh tumpang tindih.

Si Hidung Hitam tahu-tahu sudah kehilangan sebelah hidungnya dan hidung itu sekarang berubah merah karena darah. Ada pula yang daun telinganya pecah dan juga ada yang lengannya tertusuk ranting, dan sebentar saja dua belas orang itu melarikan diri sambil menjerit-jerit kesakitan dan penuh rasa takut!

Ang I Niocu melemparkan rantingnya, mengebut pakaian yang terkena debu, lalu dengan senyum manis serta langkah tenang dia turun dari tempat itu dan menghampiri kudanya. Dengan perlahan dia menjalankan kudanya menuruni Bukit Min-San. Dia mengira bahwa para perampok itu tentu sudah tobat dan tidak akan muncul lagi. Akan tetapi ternyata dugaannya ini keliru.

Baru saja ia turun dari puncak itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tahu-tahu dari segala jurusan muncul banyak orang. Mereka ini adalah anak buah perampok yang tentu saja lebih hafal akan keadaan di situ dan dapat mengambil jalan pendek menghadang perjalanan Ang I Niocu. Mereka terdiri dari puluhan orang, dipimpin oleh Min-san Sam-kui yang menghadang di tengah jalan dengan sikap sombong.

Melihat tiga orang yang pakaiannya serba mewah dan sikapnya jauh berbeda dengan para perampok itu, Ang I Niocu segera bersiap-siap dan sengaja melompat turun dari atas kudanya.

“Pek-hong-ma, kau tunggu aku di bawah sana!” katanya sambil menepuk punggung kuda itu.

Kuda Pek-hong-ma ini sudah bertahun-tahun dipelihara oleh Ang I Niocu, maka menjadi amat penurut dan karena dilatih, maka ia mengerti akan kehendak nona majikannya. Mendapat tepukan itu, ia lalu berlari-lari turun gunung! Dengan tenang Ang I Niocu lalu menghadapi para perampok itu, terutama tiga orang yang menjadi pemimpin mereka.

Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa memandang kepada Ang I Niocu dengan mata mengandung kemarahan besar, meski pun kemarahan Ang Kim tercampur dengan keheranan dan kekaguman melihat gadis muda cantik jelita itu. Adalah Pek-ciang Kwan Liong yang berdiri dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menahan napas dan dadanya berdebar-debar.

“Demi Iblis!” katanya perlahan dengan mata tidak pernah berkedip menatap wajah dan bentuk tubuh gadis baju merah di depannya itu, penuh takjub. “Kalau dia itu manusia dan bukan dewi kahyangan, tidak tahu lagi aku apa bedanya antara gadis dan dewi!”

Mendengar ini, Bi Hoa adiknya membantah perlahan, ”Apakah dewi kahyangan saja yang memiliki kecantikan luar biasa? Juga siluman rase mempunyai kecantikan yang melebihi kecantikan manusia biasa. Jangan nanti kau salah menduga, siluman rase disangka dewi kahyangan.”

“Biar pun ia siluman rase atau siluman tikus, apa bila bisa mendapatkan dia, aku akan merasa bahagia sekali… alangkah manisnya, ehhh, Bi-moi pernahkah kau melihat bibir semanis itu? Hemm…”

Percakapan antara kakak dan adik yang dilakukan bisik-bisik dan dari jarak cukup jauh ini kiranya tidak akan dapat terdengar oleh telinga Ang I Niocu kalau saja gadis ini bukan seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi. Pendengarannya jauh lebih tajam dari pada pendengaran manusia biasa, maka ia dapat menangkap semua percakapan itu sehingga diam-diam ia tersenyum geli.

Sementara itu, Toa-to Ang Kim sudah menegur dengan kata-kata keras dan ketus, “Nona yang lewat di daerah kami! Kau mengaku berjuluk Ang I Niocu dan secara kejam sudah melukai orang-orang kami. Sesungguhnya siapakah kau, dari golongan mana dan apa maksudmu datang ke wilayah kami melakukan penghinaan? Apakah kau sengaja hendak mencari permusuhan dengan Min-san Sam-kui?”

“Kepala berandal, enak saja kau bicara! Anak buahmu tadi bersikap kurang ajar sekali sehingga terpaksa aku turun tangan memberi hajaran. Kau yang tidak bisa mendidik anak buahmu, tidak menegur mereka dan minta maaf padaku, sebaliknya hendak menegurku? Aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun juga, andai kata aku tidak suka kepada kalian ini orang-orang kasar, agaknya Susiok-couw-ku Bu Pun Su takkan membolehkan aku mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi ini bukan berarti aku takut! Meski kalian sekali pun kalau bertindak kurang ajar dan keterlaluan, tak urung akan mendapat bagian!”

“Bocah sombong, rasakan pedangku!”

Bi Hoa sudah menjerit marah dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyerang Ang I Niocu. Hanya nampak sinar pedang berkelebat, disusul pekik kaget dari Bi Hoa.

Ternyata Ang I Niocu telah mencabut pedang dan menangkis serangannya, tangkisannya demikian cepat dan kuat sehingga pedang di tangan kiri Bi Hoa terlepas dan menancap di atas tanah, sedangkan pedang kedua tentu akan terlepas pula jika saja ia tidak buru-buru melompat ke belakang dengan muka pucat!

“Sumoi, tahan…!” Toa-to Ang Kim yang melihat gelagat berseru keras. Kemudian kepala rampok yang tinggi besar ini maju menjura memberi hormat kepada Ang I Niocu sambil berkata ramah,

“Ahhh, tidak tahunya Lihiap adalah cucu murid Sin-taihiap (Pendekar Sakti) Bu Pun Su! Maaf, maaf, kami mempunyai mata tetapi tidak melihat tingginya Bukit Thai-san. Harap Lihiap sudi memaafkan perbuatan kurang ajar dari para anak buah kami dan kelancangan Sumoi tadi.”

Di antara tiga orang kepala rampok ini, tentu saja Toa-to Ang Kim yang tertua memiliki pandangan yang lebih luas dan sikap yang lebih hati-hati. Tidak saja ia menjadi terkejut bukan main mendengar nama Bu Pun Su disebut-sebut oleh Ang I Niocu, juga melihat betapa sekali gerakan Ang I Niocu sudah dapat merampas sebatang pedang dari tangan sumoi-nya, maklumlah ia bahwa gadis baju merah ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan, maka ia cepat-cepat mengeluarkan diplomasinya.

Ang I Niocu adalah puteri seorang pendekar besar, juga murid dari orang-orang ternama di dunia kang-ouw, maka gadis ini dapat membawa diri. Melihat sikap orang tertua dari Min-san Sam-kui, ia pun merobah sikapnya dan membalas penghormatan itu.

“Jika mau bicara tentang maaf, siauwmoi juga hendak mohon maaf sebanyaknya bahwa kedatangan siauwmoi di Bukit Min-san yang sebenarnya hanya kebetulan lewat belaka, sudah mendatangkan banyak gangguan kepada Sam-wi. Karena kesalah pahaman telah diatasi, perkenankan siauwmoi kini melanjutkan perjalanan turun gunung mencari kudaku yang sudah lari lebih dulu tadi.”

Memang bagi Ang I Niocu, tak perlu dia menanam bibit-bibit permusuhan dengan segala macam penjahat rendah, apa lagi kalau tidak ada sebab-sebabnya yang kuat. Dia takut akan mendapat marah dari Bu Pun Su karena dalam perjalanan berusaha mendamaikan permusuhan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, amat tidak baik kalau usaha itu ia mulai dengan permusuhannya dengan golongan lain! Maka dia hendak menghabiskan perkara itu sampai di situ saja dan melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi dasar harus terjadi keributan, tiba-tiba saja Pek-ciang Kwan Liong, orang ke dua dari Min-san Sam-kui yang berwajah tampan, dengan sikap halus dan penuh hormat menjura ke depan Ang I Niocu sambil mengeluarkan suaranya yang merdu halus,

“Lihiap Ang I Niocu, aku yang rendah Pek-ciang Kwan Liong, turut menghaturkan terima kasih atas ketinggian budimu yang telah memaafkan anak buahku dan adikku tadi. Kita baru saja berjumpa, akan tetapi kau sudah mendapat kedudukan tinggi dalam pandangan kami. Kelihaian dan pribudimu yang luhur benar-benar membuat kami sangat kagum dan tunduk. Oleh karena itu, atas nama semua kawan-kawan, aku mohon dengan hormat dan sangat, sudilah kiranya Lihiap singgah di tempat kami untuk mempererat perkenalan ini. Siapa tahu kalau kelak kita akan dapat saling membantu dalam urusan besar.”

Ang I Niocu merasa ragu-ragu. Menurutkan suara hatinya, ia harus menolak dan segera pergi dari situ. Akan tetapi, orang sudah mengajukan permintaan demikian penuh hormat dan merendah, tidak enak juga bila ditolak begitu saja. Selagi ia ragu-ragu, ia mendengar ucapan Kwan Bi Hoa,

“Ahhh, Koko, kau ini tidak dapat melihat gelagat. Sungguh pun Ang I Niocu Lihiap sudah memaafkan kita, akan tetapi tadi sempat bermusuh dengan kita, mana ia percaya kepada undanganmu? Tentu disangka kita hendak menjebaknya!”

Merah muka Ang I Niocu mendengar ini. Dengan suara mengejek ia berkata, “Hemm, sesungguhnya aku hendak menolak undangan ini. Akan tetapi karena khawatir disangka takut akan jebakan, biarlah aku melihat-lihat sarang kalian.”

Berseri-seri wajah Pek-ciang Kwan Liong. Ia segera memberi perintah kepada para anak buah berandal untuk menyiapkan segala sesuatu di ‘pesanggrahan’ untuk menyambut datangnya tamu agung, dan mempersiapkan meja perjamuan!

Sesudah itu, dengan langkah tenang dan gagah Ang I Niocu diiringkan naik ke sebuah puncak tak jauh dari situ, puncak yang penuh dengan pohon-pohon liar. Di tengah-tengah hutan di puncak bukit ini terdapat sebuah rumah kayu yang besar. Inilah tempat tinggal dari Min-san Sam-kui, ada pun para anak buah rampok itu tinggal di sekeliling puncak, di dalam gubuk-gubuk kecil yang dibangun di sana-sini.

Ketika mulai mendaki puncak bukit ini, di kanan kiri lorong berdiri para perampok dengan senjata di tangan, berdiri tegak seperti barisan memberi hormat kepada seorang jenderal yang lewat. Keadaan amat angker dan menakutkan sekali, akan tetapi Ang I Niocu tetap tenang-tenang saja, berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.

Iring-iringan ini masuk ke dalam bangunan besar dan diam-diam Ang I Niocu merasa kagum karena keadaan di dalam bangunan kayu ini jauh bedanya dengan keadaan di luar. Belasan pemuda dan pemudi yang nampak di ruangan tamu dan kelihatan sebagai pelayan-pelayan tidak kasar-kasar seperti para perampok itu, bahkan boleh dibilang para pemudanya rata-rata tampan-tampan dan para gadisnya cantik-cantik.

Sama sekali ia tidak mengira bahwa para pemuda ini adalah orang-orang culikan yang dipaksa dan dibawa ke tempat itu sebagai kekasih Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa dan juga gadis-gadis itu adalah orang-orang culikan yang dipaksa menjadi kekasih Pek-ciang Kwan Liong! Mereka ini selain bertugas menghibur hati kakak beradik mata keranjang ini, juga bekerja sebagai pelayan dan selalu berada di dalam bangunan, tidak pernah keluar, apa lagi ikut merampok. Mereka ini pendiam tidak banyak bicara, mukanya pucat-pucat, muka orang-orang yang putus harapan.

Di ruangan tamu yang lebar itu telah disediakan meja panjang penuh dengan hidangan-hidangan lezat. Kembali Ang I Niocu terheran-heran karena bagaimana di tengah hutan dan di puncak gunung itu orang bisa mendapatkan hidangan-hidangan seperti di rumah makan di kota saja?

Ia tidak tahu bahwa memang di tempat ini disediakan bahan-bahan masakan yang serba lengkap, juga di situ terdapat sebuah dapur yang besar dan lengkap, bahkan terdapat pula seorang koki culikan. Kesenangan Toa-to Ang Kim yang terutama adalah makanan enak, maka untuk memenuhi selera dan memuaskan hatinya setiap hari diadakan pesta besar memotong ayam dan babi.

“Untuk menghormati kedatangan Lihiap sebelum kembali melanjutkan perjalanan, kami mengadakan sekedar acara makan minum. Setelah mengaso sebentar baru Lihiap dapat melanjutkan perjalanan,” kata Ang Kim sambil tertawa ramah.

“Mana bisa begitu sebentar? Kami malah berharap Lihiap suka bermalam di tempat kami yang buruk ini barang semalam dua malam,” Kwan Liong menyambung cepat-cepat.

Ada pun Kwan Bi Hoa hanya tersenyum-senyum saja dan kadang-kadang memandang kepada seorang pelayan tampan dengah mata mendelik kalau pelayan ini mengerling ke arah Ang I Niocu dengan pandangan mata kagum. Agaknya perempuan ini besar sekali cemburunya!

“Undangan makan dapat kuterima dengan senang hati dan kuucapkan terima kasih. Akan tetapi untuk bermalam di sini betul-betul tidak mungkin. Aku harus segera melanjutkan perjalanan,” jawab Ang I Niocu dan tanpa malu-malu ia segera mengambil tempat duduk ketika pihak tuan rumah mempersilakannya.

Mereka lalu mulai makan minum. Ang I Niocu berlaku seolah-olah ia makan dan minum semua hidangan tanpa ragu-ragu dan tanpa sangsi-sangsi. Padahal sebenarnya dia amat hati-hati dan waspada, hidungnya bekerja keras, terus mencium bau setiap makanan dan minuman sebelum makanan atau minuman itu memasuki mulut dan perutnya. Akan tetapi ia sengaja tidak pernah mengeringkan cawan araknya sehingga setelah pihak tuan rumah menghabiskan tujuh delapan cawan, ia baru menghabiskan tiga cawan saja.

Tiba-tiba Pek-ciang Kwan Liong yang mukanya sudah mulai kemerahan akibat pengaruh arak berdiri dan tertawa-tawa sambil memegang seguci arak yang baru didatangkan oleh pelayan.

“Lihiap Ang I Niocu mengapa sungkan-sungkan? Arak kami adalah arak simpanan, arak wangi yang sudah puluhan tahun usianya, amat baik untuk menyehatkan tubuh dan dapat menambah semangat. Harap Lihiap sudi menerima secawan arak ini untuk menghormati pertemuan yang amat membahagiakan hati ini!”

Tentu saja Ang I Niocu tak dapat menolak dan memberikan cawannya untuk diisi penuh. Arak kali ini adalah arak berwarna merah yang baunya harum sekali, mengalahkan arak yang tadi-tadi. Ang I Niocu mengikuti mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya.

Sebelum arak itu memasuki mulutnya, hidungnya dapat mencium bau keras di antara bau harum, akan tetapi tanpa memperlihatkan tanda sesuatu, Ang I Niocu segera menenggak arak itu. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, berdiri, kemudian memegang kepala sambil menundukkan mukanya, lalu terhuyung-huyung seperti orang pusing.

Dia mendengar Ang Kim bertanya, “Eh, ehh, Lihiap kenapakah…?”

Juga dia mendengar suara ketawa Kwan Bi Hoa, kemudian dia mendengar suara yang diharap-harapkan, yakni suara Kwan Liong yang berkata perlahan penuh kegembiraan, “Aha, sudah kena… roboh… roboh…”

Ang I Niocu terguling miring dan roboh tak bergerak lagi!

“Sute apa yang kau lakukan?” terdengar Ang Kim membentak sute-nya.

Kwan Liong tidak menjawab, akan tetapi Kwan Bi Hoa yang kemudian menjawab sambil tertawa-tawa genit, “Twa-suheng seperti tidak tahu saja, mana Liong-ko mau melepaskan orang begini cantik?”

“Bi-moi benar, Twa-suheng,” kata Kwan Liong, “selama hidup belum pernah aku melihat seorang gadis secantik ini. Kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, tentu selamanya aku akan terkenang dan tergila-gila.”

Ang Kim menarik napas panjang. “Asal kau berhati-hati saja. Dia itu lihai sekali…”

“Jangan khawatir, Suheng. Aku sudah biasa menundukkan singa-singa betina liar. Kalau sekali dia sudah menjadi punyaku, tentu dia akan menjadi penurut dan dia akan menjadi pembantu kita yang amat boleh diandalkan.”

Ang Kim mengomel sambil menghirup araknya. “Sesukamulah, kesukaanmu main-main seperti ini tidak akan menambah panjangnya usiamu. Aku lebih baik makan dan minum…” lalu terdengar ia mengunyah daging dengan lahapnya dan mendorongnya ke dalam perut dengan beberapa teguk arak.

Kwan Bi Hoa yang sudah dalam keadaan setengah mabuk, membelai-belai rambut salah seorang pemuda pelayan yang berlutut di dekatnya, ada pun Kwan Liong sambil tertawa haha-hihi mendekati Ang I Niocu, kemudian berlutut.

Ang I Niocu yang kelihatan seperti orang pingsan tak berdaya itu, tiba-tiba saja membuka mulutnya dan arak tadi menyembur keluar dari mulutnya, mengenai muka Kwan Liong.

“Ayaaa…!” Kwan Liong menjerit sambil melompat mundur dan kedua tangannya menutupi muka yang terasa pedas sekali terkena semburan arak tadi. Akan tetapi di lain saat, sinar pedang berkelebat dan kepala Pek-ciang Kwan Liong sudah terpisah dari lehernya yang terbabat putus oleh pedang di tangan Ang I Niocu!

Dara baju merah ini berdiri dengan mata berapi-api dan pedang di tangan, dan sikapnya mengancam sekali. Toa-to Ang Kim berdiri di atas kursinya laksana patung, terlampau kaget sehingga untuk beberapa lama dia tak dapat bergerak. Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa juga segera melompat berdiri dengan mata terbelalak, kaget setengah mati melihat kakaknya sudah menggeletak dengan leher putus.

“Bagus, kalian memang buta, akan tetapi tadinya kukira kalian sudah sembuh dan dapat melihat. Tidak tahunya kalian ini tikus-tikus busuk yang tidak pandai menggunakan mata. Orang-orang macam kalian ini apa bila tidak dibasmi, untuk apa lagi aku semenjak kecil mempelajari ilmu?” kata Ang I Niocu.

Sekali kakinya menendang, sebuah meja penuh piring dan mangkok melayang ke arah Kwan Bi Hoa. Perempuan ini cukup gesit, melompat ke samping dan yang menjerit roboh adalah pelayan yang tadi dibelainya, terpukul meja.

Para pelayan menjerit dan lari ke sana ke mari mencari tempat sembunyi. Para anak buah perampok yang menjaga di luar, cepat menyerbu masuk dengan senjata di tangan. Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa sudah sadar dari kagetnya dan kini Ang Kim memegang goloknya yang besar, ada pun Bi Hoa memegang sepasang pedang siap menggempur Ang I Niocu.

Ang I Niocu mengeluarkan suara ketawa yang merdu, akan tetapi yang membangkitkan bulu tengkuk para perampok ketika gadis ini berkata,

“Rakyat Min-san, saksikanlah aku Ang I Niocu akan membebaskan kalian dari gangguan perampok-perampok Bukit Min-san!”

Pada lain saat tubuh Ang I Niocu berkelebat lenyap berubah menjadi sinar merah yang menyambar ke sana ke mari, dikeroyok oleh Ang Kim, Kwan Bi Hoa, dan puluhan orang perampok yang biasanya berlaku sewenang-wenang kepada rakyat di sekitar daerah itu. Pedang di tangan Ang I Niocu luar biasa sekali ganasnya, setiap kali pedang itu meluncur pasti merobohkan seorang perampok yang tewas di saat itu juga.

Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran yang hebat. Meja kursi yang tadinya dipakai pesta, kini melayang ke sana ke mari terkena terjangan dan tendangan. Mangkok piring yang pecah tertumbuk dinding kayu atau jatuh ke lantai menerbitkan suara hiruk pikuk. Ini semua masih ditambah oleh orang-orang berteriak kesakitan. Darah membanjiri ruangan itu.

Akhirnya hanya tersisa lima orang tangan kanan mereka saja yang masih melakukan pengepungan. Yang lain-lain sudah tak ada lagi. Banyak yang menggeletak tanpa nyawa, akan tetapi lebih banyak pula yang melarikan diri karena gentar menghadapi pendekar wanita baju merah yang kosen itu.

Golok besar yang dimainkan oleh Ang Kim cukup kuat dan tangguh. Golok ini lalu diputar hingga mengeluarkan angin dan sinar pedang Ang I Niocu sulit menembus benteng sinar goloknya yang bergulung-gulung. Juga Kwan Bi Hoa berdaya upaya membalas kematian kakaknya, sepasang pedangnya diputar cepat, membalas serangan Ang I Niocu dengan serangan maut. Lima orang perampok yang masih mengeroyok benar-benar merupakan anak buah yang setia, karena sungguh pun mereka ini kewalahan benar, namun mereka tidak mau melarikan diri meninggalkan dua orang pemimpin mereka itu.

Ang I Niocu tadinya mengharapkan mereka ini melepaskan senjata dan minta ampun. Kalau terjadi hal demikian, kiranya dia pun tidak tega untuk membunuh mereka. Asal saja mereka mau berjanji untuk mengubah cara hidup, dia bersedia untuk memberi ampun. Akan tetapi melihat kekerasan kepala mereka, timbul amarah di dalam hatinya.

“Bangsat-bangsat kecil, kalian tak boleh dikasih hati!” bentaknya dan tiba-tiba permainan pedangnya berubah.

Jika tadi permainan pedangnya amat cepat menyilaukan mata, adalah sekarang menjadi lambat dan gerakan tubuhnya menjadi amat indah seperti orang menari-nari. Akan tetapi kini setiap kali pedangnya digerakkan, tidak hanya sebagai main-main belaka, melainkan merupakan serangan yang tak dapat ditangkis lagi.

Sekali pedangnya berkelebat ke arah dua orang perampok. Biar pun dua orang itu sudah menangkis dengan golok, tetap saja pedang itu menyeleweng dan meneruskan serangan tanpa dapat dielakkan lagi. Dua orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Ang I Niocu melanjutkan serangannya dan dalam beberapa jurus saja tiga orang perampok yang lain roboh juga.

”Apakah kalian masih belum mau bertobat?!” Ang I Niocu memberi kesempatan terakhir kepada Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa.

Jawaban yang diterimanya justru berupa sabetan golok besar pada lehernya dan tusukan sepasang pedang pada dada dan leher!

“Kalian sudah bosan hidup!” bentak Ang I Niocu.

Tiba-tiba tubuhnya lenyap menjadi bayangan merah yang melesat ke sebelah kiri tubuh Kwan Bi Hoa. Sebelum perempuan cabul ini dapat menangkis, pedang Ang I Niocu sudah memasuki lambungnya, membuat dia terguling roboh. Sebuah jeritan ngeri merupakan perbuatan terakhir yang dapat dia lakukan.

Melihat sumoi-nya roboh, Toa-to Ang Kim menjadi nekat. Goloknya diputar dalam suatu penyerangan mati-matian. Akan tetapi, seorang lawan seorang, dia ini bukanlah lawan tanding dari Ang I Niocu. Dalam tiga jurus kemudian, pedang Ang I Niocu telah memasuki rongga dadanya sehingga matilah kepala rampok yang selama bertahun-tahun ini sudah menumpuk dosa.

Ang I Niocu memandang ke kanan kiri. Tidak kelihatan seorang pun anggota perampok. Ia lalu berjalan memasuki ruangan dalam. Tiba-tiba belasan orang laki perempuan berlari keluar dan berlutut di hadapannya sambil menangis. Mereka ini ternyata adalah pelayan-pelayan tadi yang sudah bersembunyi di belakang dan kini mereka berlutut di depan Ang Niocu dengan ketakutan.

“Mohon ampunkan hamba sekalian, Lihiap. Hamba sekalian hanya orang-orang culikan yang tidak berdosa…,” mereka meratap.

Ang I Niocu menjadi amat terharu. Diam-diam ia mengutuk kejahatan para perampok dan merasa girang bahwa yang dibasminya benar-benar gerombolan orang jahat pengganggu rakyat.

“Jangan takut, aku memang akan menolong kalian. Sekarang kumpulkan semua barang-barang berharga, bagi-bagi di antara kalian, kemudian kalian boleh pulang ke kampung masing-masing.”

Dengan gembira sekali belasan orang laki-perempuan itu lalu berserabutan lari ke dalam kamar-kamar di mana terdapat barang-barang berharga dan tak lama kemudian mereka sudah berkumpul di luar, masing-masing membawa bungkusan besar. Ang I Niocu lalu membakar bangunan besar itu yang sebentar saja menjadi lautan api karena bangunan itu terbuat dari kayu.

“Kalian pulanglah ke rumah masing-masing,” kata pula Ang I Niocu.

Rombongan orang muda itu menjatuhkan diri berlutut untuk menghaturkan terima kasih, kemudian mereka berlari-lari turun gunung dengan perasaan kegirangan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka, kegirangan seperti burung-burung yang dilepas dari sangkarnya yang sempit.

Ang I Niocu lalu turun gunung lagi melalui lereng yang tadi, untuk mencari kudanya. Akan tetapi, alangkah heran dan cemasnya ketika ia tidak dapat menemukan Pek-hong-ma. Ia sudah memanggil-manggil nama kuda itu dengan suara keras, akan tetapi Pek-hong-ma tetap saja tidak mau muncul.

“Ehh, kemanakah dia?” Ang I Niocu menjadi cemas. “Apakah di sini ada kuda lain yang menariknya?”

Gadis itu lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari cepat ke sana ke mari, melompati jurang-jurang kecil yang kiranya dapat dilompati kudanya. Tiba-tiba ia mendengar suara ringkik Pek-hong-ma di balik gunung kecil. Cepat ia berlari ke tempat itu dan ketika tiba di belokan gunung ini, dia melihat pemandangan yang membuat bibir dan pelupuk matanya gemetar saking marahnya.

Kuda Pek-hong-ma telah rebah miring, dalam keadaan berkelojotan hampir mati. Leher dan dadanya mengucurkan darah. Ketika mata kuda itu melihat Ang I Niocu, binatang ini mengeluarkan suara lagi, terdengar menggelogok. Kakinya lalu berkelojotan keras seperti hendak meronta-ronta, kemudian menjadi lemas. Binatang itu telah menjadi bangkai.

Dengan sinar mata tajam berapi-api, Ang I Niocu memandang kepada orang-orang yang berada di tempat itu, yang semuanya berdiri seperti patung dan memandang kepadanya dengan sinar mata menantang. Di dekat kuda itu berdiri tiga orang wanita, yaitu seorang nenek dan dua orang gadis. Sekali pandang saja Ang I Niocu mengenal mereka.

Nenek itu bukan lain adalah Koai-tung Toanio tokoh besar Kong-thong-pai dan dua orang gadis itu adalah anak-anaknya yang terkenal dengan sebutan Kim-jiu Siang-eng Kwan Ci-moi! Tiga orang wanita itu dahulu pernah bertempur dengannya ketika ia melakukan perjalanan bersama Gan Tiauw Ki.

Apakah kehendak tiga orang wanita yang sekarang datang bersama serombongan orang yang berpakaian seperti pasukan pemerintah? Dulu tiga orang wanita ini sengaja mencari gara-gara dan memusuhinya. Kini, begitu muncul mereka agaknya sengaja membunuh kudanya Pek-hong-ma, apakah artinya semua ini?

Saking marahnya melihat Pek-hong-ma sudah dibunuh orang, Ang I Niocu membentak sambil menudingkan pedang yang sudah dicabutnya ke arah tiga orang wanita itu.

“Kalian ini tiga siluman wanita ibu dan anak mengapa selalu memusuhiku? Dahulu kalian sudah menjadi pecundang, kenapa ada orang-orang begitu tidak tahu malu, menimpakan sakit hati kepada kudaku? Sungguh keji dan pengecut besar!”

Koai-tung Toanio yang dahulu pendiam sekarang nampak marah sekali. Ia menudingkan tongkatnya ke arah Ang I Niocu dan berkata marah,

“Manusia keji Ang I Niocu! Baru saja kau telah membunuh anak-anakku Kwan Liong dan Kwan Bi Hoa, masih saja kau berkata tidak punya kesalahan terhadap kami? Manusia celaka, dulu kau melakukan penghinaan terhadap kami masih boleh kami lupakan, akan tetapi sekarang, kau berani membunuh mati kedua orang anakku beserta kawan-kawan mereka. Benar-benar aku tak bisa hidup bersamamu di muka bumi ini, seorang di antara kita harus mampus sekarang dan di sini juga!”

Ang I Niocu kaget dari baru sekarang ia melihat beberapa di antara pelayan yang tadi ia bubarkan berada di situ, berlutut dan bajunya robek-robek, agaknya tadi dicambuki dan disuruh mengaku. Tidak tahunya dua orang Min-san Sam-kui adalah anak dari Koai-tung Toanio atau kakak-kakak dari dua orang gadis yang sekarang menghadapinya bersama mereka.

Dia menjadi marah. Meski pun tiga orang wanita itu datang bersama pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, semuanya nampak tegap-tegap dan merupakan tentara yang terlatih, dia sama sekali tidak menjadi gentar.

“Pantas… pantas…! Hari ini aku bertemu dengan keluarga besar penjahat dan pengecut! Majulah kalian, biar aku tidak kepalang tanggung dan biar pedangku kenyang dan puas membabat iblis-iblis bermuka manusia!”

Pada lain saat Ang I Niocu sudah dikeroyok dan sebuah pertempuran yang seru segera terjadi di lapangan itu. Saking marahnya melihat kuda kesayangannya dibunuh, kini Ang I Niocu mengamuk hebat.

Dia mengeluarkan ilmu pedangnya Sian-li Kiam-sut atau ilmu Pedang Tari Bidadari, yang nampaknya indah akan tetapi sangat berbahaya bagi lawan. Sukar sekali mata mengikuti gerakan-gerakannya, nampaknya hanya sebagai seorang dewi cantik menari-nari, tetapi pada sekeliling tubuh dewi ini nampak sinar terang. Inilah sinar pedang yang menyambar-nyambar tanpa dapat diketahui ke mana gerakan berikutnya sehingga musuh yang begitu banyaknya itu menjadi bingung dan pengeroyokan menjadi kacau-balau.

Akan tetapi, para pengeroyok sekarang ini jauh bedanya kalau dibandingkan dengan para pengeroyok di puncak gunung tadi. Tadi para pengeroyok Ang I Niocu hanya terdiri dari kaum perampok yang kasar dan dalam pertempuran hanya mengandalkan tenaga besar belaka.

Kali ini para pengeroyok yang membantu Koai-tung Toanio dan kedua orang anaknya itu adalah pasukan terlatih dari Gubernur Lie Kong, yaitu gubernur yang mempunyai cita-cita untuk memberontak di Propinsi Shansi. Mereka ini terdiri dari prajurit-prajurit pilihan yang sedikit banyak mengerti ilmu silat, maka pengepungan dan penyerbuan mereka teratur sekali. Mereka dapat bekerja sama, baik dalam penyerangan mau pun dalam pertahanan sehingga sebegitu lama Ang I Niocu masih belum berhasil merobohkan seorang lawan pun, sedangkan pengepungan makin lama semakin rapat.

Baru beberapa jam yang lalu, Ang I Niocu telah melakukan pertempuran hebat, dikeroyok oleh banyak orang dan di dalam pertempuran membasmi kawanan perampok di Gunung Min-san itu telah membutuhkan banyak tenaga. Oleh karena itu, ia sudah amat lelah.

Sekarang, dia menghadapi keroyokan musuh yang lebih tangguh, tentu saja keadaannya menjadi terancam. Akan tetapi Ang I Niocu adalah seorang gadis yang tak mengenal apa artinya takut. Sedikit pun dia tidak menjadi gentar dan khawatir, bahkan kini pedangnya diputar makin cepat sehingga dalam beberapa gebrakan saja ia berhasil merobohkan tiga orang anggota pasukan yang mengepungnya.

Hasil ini membuat para pengepungnya terkejut dan kacau-balau, ada pun semangat Ang I Niocu justru bertambah besar. Biar pun kaki tangannya sudah terasa lemas, ia memaksa diri, memutar-mutar pedangnya dengan gerakan-gerakan lincah sekali sehingga kembali ia merobohkan dua orang.

“Serbu dan bunuh saja!” Koai-tung Toanio kini berseru keras dengan hati penasaran dan marah sekali.

Tadinya dia memang berpesan kepada anak buah pasukan itu untuk menangkap Ang I Niocu hidup-hidup, karena ia mempunyai maksud untuk menyerahkan gadis baju merah itu kepada majikan mudanya, yakni Lie Kian Tek si putera gubernur. Akan tetapi melihat sepak terjang Ang I Niocu yang demikian hebat, dia lalu merubah niatnya. Orang dengan kepandaian seperti gadis baju merah ini kiranya tidak mungkin ditawan hidup-hidup.

Benar saja, sesudah dia mengeluarkan aba-aba ini, para anak buah pasukan yang juga khawatir akan menjadi korban jika berlaku lemah terhadap gadis cantik jelita yang kosen itu, kini mulai mendesak dengan serangan-serangan maut. Sekarang barulah Ang I Niocu dapat didesak, karena dia betul-betul harus menjaga diri terhadap desakan dan serangan puluhan batang senjata yang melancarkan serbuan-serbuan mengancam keselamatan itu. Betapa pun juga, dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan dan bila mana saja terdapat lowongan, pasti pedangnya merobohkan seorang dua orang lawan.

Namun, pasukan itu adalah pasukan terlatih dan di dalam ketentaraan Gubernur Shansi, pasukan ini disebut Pasukan Maut. Mereka itu sudah dilatih, tidak saja latihan jasmani, akan tetapi juga dilatih untuk bertempur sampai orang terakhir!

Menghadapi pasukan yang semuanya tidak takut mati ini, Ang I Niocu menjadi kewalahan juga. Akan tetapi ia pun tidak mengenal artinya takut atau mundur. Bagaikan seekor naga betina dia mengamuk, pedangnya berkelebat-kelebat dan tubuhnya menyambar ke sana ke mari, sepak-terjangnya benar-benar hebat.

Meski pun Ang I Niocu mengerti bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, tak mungkin ia bisa menewaskan sekian banyaknya lawan dan akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan roboh, namun ia masih belum mau menyerah dan tidak sudi melarikan diri sebelum tenaganya habis betul-betul!

Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras, “Kaum pemberontak hina dina sungguh tak tahu malu mengandalkan orang banyak mengeroyok seorang dara!”

Muncullah seorang pemuda gagah perkasa yang diiringi oleh belasan orang berpakaian seperti jago-jago silat. Sikap mereka gagah bukan main dan atas isyarat pemuda gagah itu, mereka lantas menyerbu dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka serupa, menandakan bahwa mereka ini datang dari satu partai, ilmu pedang yang menyambar-nyambar dari kanan ke kiri dan sebaliknya, dibarengi bentakan-bentakan nyaring.

Ang I Niocu seperti pernah melihat ilmu pedang seperti ini, kalau tidak salah ilmu pedang partai Bu-tong-pai. Sebentar saja pasukan Gubernur Lie menjadi kalang-kabut dan Ang I Niocu kini hanya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan dua orang gadisnya saja. Walau pun kedatangan pemuda tampan gagah bersama kawan-kawannya itu merupakan pertolongan baginya, namun diam-diam Ang I Niocu merasa mendongkol sekali.

Gadis ini memang mempunyai watak yang tinggi hati dan tidak mau kalah. Meski pun berada dalam keadaan bahaya dia tidak mengharapkan pertolongan orang lain, apa lagi pertolongan serombongan orang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya.

Salah seorang di antara dua gadis puteri Koai-tung Toanio yang melihat datangnya bala bantuan ini, memaki marah dan kecewa, “Dasar perempuan jalang, di mana-mana ada laki-laki yang membantu. Cih, tak tahu malu!”

Mendengar makian ini, naiklah darah Ang I Niocu. Tanpa mempedulikan serangan lain, pedangnya menyambar ke arah orang yang memakinya. Ketika tongkat Koai-tung Toanio menyodok dadanya, ia tidak mengelak dan juga tidak mau menunda serangannya, hanya menyampok dengan tangan kiri.

Tongkat itu terpental, akan tetapi Ang I Niocu merasa lengannya sakit sekali. Ia menggigit bibir, lantas melanjutkan serangannya sampai ujung pedangnya mengenai pundak gadis yang memakinya tadi. Gadis itu memekik dan roboh dengan pundak kanan hampir putus!

Koai-tung Toanio dan puterinya yang seorang lagi cepat mendesak sehingga Ang I Niocu tidak punya kesempatan untuk mengirim tusukan kedua, namun ia telah puas, wajahnya berseri dan ia melayani para pengeroyoknya dengan tenang. Ketika ia melihat pemuda gagah yang membantunya mengamuk hebat dan berada dekat dengan tempat di mana ia bertempur, ia pun berseru kepada pemuda itu, “Aku tidak membutuhkan bantuan kalian. Pergilah!”

Pemuda itu tertegun dan menengok, mengeluarkan seruan kaget dan menjauhkan diri dari pertempuran, berdiri seperti patung memandang kepada Ang I Niocu dengan penuh kekaguman. Agaknya baru kini ia melihat wajah orang yang dibantunya dan penglihatan ini membuat ia tercengang.

Melihat ini, Ang I Niocu makin mendongkol. Gadis ini sudah terlalu sering menyaksikan laki-laki berlaku seperti itu apa bila memandang kepadanya dan ia menjadi mendongkol sekali, di samping keinginan hendak mempermainkan laki-laki yang tergila-gila padanya. Senyumnya penuh ejekan dan ia sengaja memainkan ilmu silatnya dengan gerakan dan gaya yang indah sekali seperti orang menari-nari.

Ada pun Koai-tung Toanio yang melihat betapa pihaknya jadi terdesak dan jatuh banyak korban, segera memberi aba-aba keras dan ia sendiri menyambar tubuh puterinya yang terluka, lalu melarikan diri dari tempat itu.

Ang I Niocu yang sudah lelah bukan main tentu saja tidak mau mengejar. Demikian pula orang-orang yang datang membantunya tidak mau mengejar pula.

Semua orang itu kini menoleh dan memandang kepada Ang I Niocu dengan sinar mata kagum, bukan hanya kagum melihat ilmu silat gadis ini saja, akan tetapi terutama sekali kagum akan kecantikannya yang memang jarang bandingnya itu. Melihat ini, Ang I Niocu tersenyum mengejek lalu memutar tubuhnya dan lari dari tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepada mereka!

Melihat ini, pemuda tampan dan gagah tadi segera melompat dan mengejarnya sambil berseru, “Lihiap yang gagah perkasa, harap kau tunggu dulu, mari kita bicara!”

Akan tetapi Ang I Niocu hanya menoleh sebentar dan berkata, “Aku tidak ada urusan dengan kau!” Dan ia berlari terus, kini makin cepat.

Pemuda itu penasaran mengerahkan ginkang-nya. Sekali melompat dia sudah maju dua puluh kaki lebih! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu pun melompat, bahkan lebih jauh dari pada lompatannya.

“Nona yang baik, harap kau berhenti dulu, aku hanya ingin berkenalan!” serunya pula, akan tetapi Ang I Niocu tidak mempedulikannya, bahkan mempercepat larinya.

Pemuda itu masih hendak mengejar sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, akan tetapi sia-sia. Gadis itu dapat berlari lebih cepat dan sebentar saja sudah lenyap di balik gunung!

Terpaksa kini Ang I Niocu melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Setelah melihat bahwa pemuda tampan itu tidak mengejarnya lagi, baru terasa olehnya betapa lelahnya setelah dua kali berturut-turut ia melakukan pertempuran hebat tadi.

Ia berhenti dan duduk beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Dengan ujung lengan bajunya, disusutnya peluh yang membasahi leher dan jidatnya. Matahari telah tenggelam di barat dan keadaan sudah mulai gelap. Tak terasa pula senja telah lewat dan malam sudah di ambang pintu.

Di samping kelelahan yang sangat, baru sekarang Ang I Niocu merasa lapar sekali. Sejak pagi ia belum makan dan sehari penuh hanya bertempur saja. Lengan kirinya sekarang terasa sakit sekali, akibat benturan dengan tongkat Koai-tung Toanio tadi. Kemudian ia teringat lagi akan kudanya yang sudah mati.

Celaka sekali! Dengan kehilangan Pek-hong-ma berarti ia pun kehilangan segala-galanya yang menjadi bekal. Pakaian, uang dan lain-lain semua ada di punggung Pek-hong-ma dan sekarang semua itu hilang.

Ang I Niocu mengerutkan keningnya, wajahnya muram. Semenjak ikut ayahnya, ia selalu dimanja dan selalu terpenuhi apa yang menjadi kehendaknya, belum pernah kekurangan makan dan pakaian. Sekarang, dia seorang diri dan lelah serta lapar. Setelah kehilangan segalanya, ia merasa sengsara sekali.

Tak terasa lagi air matanya jatuh bertitik ketika ia tiba-tiba teringat kepada ayahnya dan kepada Gan Tiauw Ki. Ketika masih tinggal di gedung ayahnya, belum pernah ia merasa selelah dan selapar ini. Pada saat ia melakukan perjalanan-perjalanan dengan Tiauw Ki, betapa jauh bedanya dengan sekarang. Dengan Gan Tiauw Ki ia mengalami perjalanan yang penuh madu, penuh kegembiraan dan kebahagiaan.

Tiba-tiba dia bangkit berdiri, “Alangkah bodohku, susiok-couw akan marah kalau melihat aku selemah ini…” pikirnya.

Ia berjalan lagi, menuju ke sebuah dusun yang atap-atap rumahnya sudah kelihatan dari situ. Sebelum cuaca menjadi gelap ia harus sudah berada di dusun itu kalau ia tidak mau tidur di tengah hutan.

Alangkah herannya ketika ia tiba di luar dusun, ia disambut oleh semua penduduk dusun, di sana-sini terdengar seruan!

“Ang I Niocu…! Dia sudah datang… Sambut Ang I Niocu, pendekar kita yang mulia…”

Setelah memandang lebih teliti baru Ang I Niocu tahu bahwa di antara para penyambut itu terdapat bekas-bekas pelayan di pesanggrahan perampok. Tentu mereka inilah yang sudah mengabarkan tentang pembasmian terhadap para perampok itu. Kepala kampung itu, seorang laki-laki setengah tua yang berkumis panjang, mengepalai penyambutan dan menjura dengan penuh hormat kepadanya.

“Lihiap yang mulia, telah bertahun-tahun kami hidup dalam ketakutan dan penindasan kaum perampok di Min-san. Bahkan ada beberapa orang muda dusun kami diculik, selain harta benda kami. Kini muncul Lihiap yang gagah perkasa, yang telah membasmi mereka dan berarti membebaskan kami dari cengkeraman perampok jahat. Benar-benar Thian telah mengirimkan Lihiap sebagai seorang dewi untuk menolong kami yang sudah lama memohon kemurahan dan keadilan Thian.” Setelah berkata demikian, kepala kampung itu berlutut di depan Ang I Niocu, diturut oleh semua orang kampung.

Akan tetapi, ketika mereka mengangkat kepala, ternyata dara baju merah itu telah lenyap! Tentu saja mereka heran dan kagum sekali, dan sekali lagi mereka berlutut, mengira bahwa gadis yang cantik luar biasa dan bisa ‘menghilang’ itu benar-benar seorang dewi kahyangan utusan dari langit! Semenjak hari itu, orang sekampung sering kali memasang hio, memuja kepada dewi penolong baju merah itu.

*****

Ada pun Ang I Niocu dengan bersungut-sungut berlari cepat meninggalkan kampung itu. Dasar awak lagi sial, gerutunya. Ia sama sekali tak mau melayani sambutan orang-orang kampung yang menganggapnya bagaikan dewi itu, karena ia maklum bahwa apa bila ia melayani mereka, akan berarti ia tidak tidur lagi semalam suntuk.

Tentu orang-orang kampung akan mengerumuninya, akan memujanya, dan ia pun akan menjadi pusat perhatian orang belaka. Padahal ia melakukan pekerjaan di puncak bukit tadi, secara mati-matian membasmi perampok, sama sekali bukan untuk mencari muka atau mencari nama. Disambut secara demikian oleh kepala kampung dan penduduknya, bukan menjadi girang, sebaliknya Ang I Niocu menjadi mendongkol kemudian pergi tanpa pamit.

Malam hari itu Ang I Niocu terpaksa tidur di atas pohon di dalam hutan, dan perutnya yang berteriak-teriak kelaparan itu ia diamkan dengan beberapa butir buah apel. Ia tidak mengira bahwa perbuatannya membasmi Min-san Sam-kui dan anak buahnya di Gunung Min-san itu telah menggemparkan dunia kang-ouw sehingga sekaligus nama Ang I Niocu disebut-sebut orang! Ia dianggap sebagai tokoh hebat yang baru muncul ke dalam dunia kang-ouw.

Dengan melakukan perjalanan cepat, dua pekan kemudian Ang I Niocu sudah tiba di kaki Pegunungan Kim-san. Dari keterangan seorang penduduk dusun di kaki pegunungan ini, ia mendapat tahu bahwa kuil Kim-san-pai berada di puncak yang sebelah kiri. Ang I Niocu langsung mendaki puncak ini.

Baru saja ia tiba di lereng, ia mendengar suara orang-orang dari bawah dan dilihatnya lima orang tosu berlari-lari mendaki puncak itu. Dua orang di antara mereka memondong tubuh dua orang tosu tua yang wajahnya amat pucat dan matanya dipejamkan, agaknya terluka atau sakit payah.

Melihat Ang I Niocu berdiri di pinggir jalan memandang mereka, lima orang tosu itu balas memandang dengan sinar mata bercuriga. Kemudian dua orang yang memondong kedua tosu terluka tadi berlari terus, sedangkan yang tiga orang berhenti di depan Ang I Niocu.

Ang I Niocu yang melihat cara lima orang tosu tadi berlari cepat, maklum bahwa dia kini sedang berhadapan dengan orang-orang berkepandaian tinggi, maka ia lalu menjura dan berkata,

“Mohon, tanya, apakah betul jalan ini menuju ke kuil dari Kim-san-pai? Apakah Sam-wi Totiang juga hendak ke sana?”

Mendengar pertanyaan Ang I Niocu yang ramah itu, kecurigaan tiga orang tosu tadi jadi berkurang. Seorang di antara mereka, yang tertua dan berusia kurang lebih empat puluh tahun, memberi hormat dan menjawab,

“Tak salah dugaan Nona, ini memang jalan menuju ke kuil Kim-san-pai dan pinto bertiga memang betul sedang menuju ke sana sebab pinto bertiga merupakan tosu-tosu anggota Kim-san-pai. Tidak tahu siapakah Nona ini dan apakah maksud penghormatan kunjungan Nona ini?”

“Aku adalah… hemm, orang-orang memanggilku Ang I Niocu, dan aku datang ke sini atas perintah susiok-couw-ku, Bu Pun Su.” Ang I Niocu tidak mau memperkenalkan namanya sendiri karena ia memang lebih suka namanya tak diketahui orang dan lebih suka dikenal sebagai Ang I Niocu.

Nama Ang I Niocu baru saja terkenal, ada pun para tosu Kim-san-pai itu belum pernah mendengarnya, maka nama ini tidak mendatangkan apa-apa. Akan tetapi pada saat Ang I Niocu menyebutkan nama Bu Pun Su, berubah wajah mereka dan berseri pandang mata mereka. Otomatis ketiganya lalu memberi hormat dengan membungkuk.

“Maafkanlah, pinto bertiga tidak tahu bahwa Niocu adalah utusan Sin-taihiap Bu Pun Su. Marilah kami antarkan Niocu bertemu dengan Suhu, karena kebetulan sekali pinto bertiga juga mau menghadap Suhu.”

Sesudah berkata demikian, tiga orang tosu itu segera berlari cepat mendaki puncak itu, nampaknya terburu-buru sekali.

“Maaf, Nona, pinto bertiga jalan di depan!” kata tosu tadi sambil menoleh.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia sudah tidak dapat melihat lagi nona yang tadi ditinggalkannya. Hanya bayangan merah berkelebat melewati mereka dan sebentar saja bayangan merah tadi sudah jauh di atas!

“Hebat… !” tosu itu menarik napas panjang dan berkata kepada dua orang kawannya, “melihat kepandaiannya, dia betul-betul utusan Sin-taihiap Bu Pun Su dan agaknya nama baik Kim-san-pai akan dapat tercuci bersih!” Ia lalu mengajak dua orang kawannya untuk cepat-cepat mengejar ke puncak.

Ketika tiga orang tosu itu sudah di puncak dan memasuki kuil besar yang berada di situ, mereka melihat semua tosu sudah berkumpul di ruangan besar, bahkan guru mereka juga sudah berada di situ. Ada pun Nona Baju Merah tadi hanya duduk agak jauh tidak berani mengganggu karena guru besar Kim-san-pai sedang sibuk memeriksa dua orang tosu yang terluka.

Tiga orang tosu yang baru datang mendapat jalan dan segera masuk ke tengah ruangan di mana guru mereka bersila di lantai sedang memeriksa dua orang anak murid yang tadi dipondong naik.

“Suhu…!” tiga orang tosu ini berlutut.

Kakek yang memeriksa tosu-tosu terluka tadi memandang. Ternyata dia adalah seorang tosu tua. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih akan tetapi dia masih kelihatan sehat dan kuat. Keningnya berkerut dan pandang matanya suram, tanda bahwa ia sedang menahan ketidak senangan hatinya.

“Siauw Seng Cu, coba kau ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi atas diri kedua orang susiok-mu ini,” kata kakek itu yang ternyata bukan lain adalah Thian Beng Cu, ketua dari Kim-san-pai. Berbeda dengan partai lain, para tosu di Kim-san-pai menggunakan nama dengan huruf belakang Cu semua, dari ketuanya sampai tosu pelayan.

Siauw Seng Cu, yakni tosu yang tadi bercakap-cakap dengan Ang I Niocu, lalu bercerita. Untuk mengetahui lebih jelas tentang pertentangan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, baiklah kita meninjau keadaan antara kedua partai itu dan apa sebabnya kedua partai itu sampai bermusuhan.

Kim-san-pai dan Bu-tong-pai berdekatan, hanya berbeda puncak saja akan tetapi masih satu daerah pegunungan, yakni pegunungan Bu-tong-san. Bahkan kalau melihat riwayat dahulu, Kim-san-pai masih ada hubungan dengan Bu-tong-pai, oleh karena pendiri dari Kim-san-pai adalah sute dari pendiri Bu-tong-pai, jadi ilmu silat mereka masih berasal dari satu sumber. Tentu saja ratusan tahun kemudian, ilmu silat itu lalu berkembang biak dan mengalami banyak perubahan sehingga akhirnya banyak perbedaannya, masing-masing mempunyai corak dan kelihaian sendiri.

Asal mulanya kakak beradik seperguruan, yang satu pendiri Bu-tong-pai dan satu lainnya pendiri Kim-san-pai, hanya terpisah puncak sebagai tempat bertapa. Tapi kemudian para murid mereka setelah berkembang biak, mempunyai perbedaan dalam kepercayaan atau agama. Kalau pihak si suheng itu anak muridnya menganut Agama Buddha, adalah anak murid si sute menganut Agama To.

Inilah kiranya yang menjadi jurang pemisah hingga akhirnya timbul dua partai persilatan yang berbeda sekali, yakni Bu-tong-pai yang menganut Agama Buddha dan Kim-san-pai penganut Agama To. Ratusan tahun kemudian, di puncak Bu-tong-san berdiri kelenteng besar di mana dipuja patung Buddha dan penghuni atau pendeta-pendetanya yakni anak murid Bu-tong-pai, terdiri dari hwesio-hwesio gundul. Dan sebaliknya, di puncak Kim-san berdiri kuil besar dari Agama To dan anak-anak murid Kim-san-pai adalah tosu-tosu yang mempunyai nama akhir huruf Cu.


JILID 19

SELAMA ratusan tahun, hubungan antara kedua partai ini baik saja. Sungguh pun berbeda agama, akan tetapi mereka tak mau saling menyinggung, juga tak mau saling mengejek, walau pun tak boleh dibilang bahwa hubungan mereka itu erat dan baik pula. Pendeknya, kedua pihak sadar bahwa di antara mereka masih ada hubungan saudara seperguruan, dan untuk menjaga agar jangan sampai terjadi salah paham, sengaja kedua pihak saling menjauhi dan hanya ‘saling mendoakan’ saja dari jauh!

Akan tetapi, kurang lebih dua tahun yang lalu, mulailah terjadi permusuhan antara dua partai yang bersaudara ini. Di kaki pegunungan Bu-tong-san, di sebuah dusun terdapat dua orang pemuda kakak beradik Lai Tek dan Lai Seng. Semenjak kecil Lai Tek menjadi anak murid Kim-san-pai, sedangkan Lai Seng pada waktu sedang menggembala kerbau, dibawa oleh seorang hwesio Bu-tong-pai yang melihat bakat baik di dalam dirinya dan selanjutnya Lai Seng menjadi murid Bu-tong-pai.

Setelah tamat mempelajari ilmu silat di Kim-san-pai, Lai Tek pulang ke dusunnya sambil membawa kepandaian tinggi dan dia menjadi petani menggantikan pekerjaan ayahnya. Ada pun Lai Seng dibujuk oleh gurunya untuk masuk menjadi hwesio sebab oleh gurunya dianggap bahwa murid ini hanya akan memperoleh kebahagiaan hidup abadi apa bila suka menjadi hwesio.

Lai Seng tidak mau menerima bujukan ini, bahkan minggat dari Bu-tong-pai dan pulang ke dusunnya, di mana dia membantu pekerjaan kakaknya yang tentu saja girang sekali melihat adiknya pulang sudah menjadi seorang pandai pula.

Sayang sekali bahwa watak Lai Seng jauh bedanya dengan kakaknya. Lai Tek seorang yang amat jujur dan berbudi baik, menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan. Sebaliknya setelah turun gunung, Lai Seng menjadi ‘binal’ dan mulailah melakukan hal-hal yang tidak patut. Bahkan dia berani mengandalkan kepandaiannya untuk mengganggu anak gadis orang dan minta harta secara paksa setengah merampok.

Lai Tek yang mendengar akan kejahatan dan penyelewengan adiknya sudah berkali-kali menegur, bahkan pernah pula terjadi perkelahian antara kakak beradik ini yang berakhir dengan kemenangan Lai Tek.

Akan tetapi, Lai Seng ternyata tidak kapok dan masih sering kali melanggar, sungguh pun kini secara bersembunyi supaya jangan diketahui kakaknya. Lai Tek maklum di dunia ini dia hanya mempunyai adiknya itu seorang sebagai anggota keluarganya, maka dia juga tak mau main keras, hanya kadang-kadang memberi nasehat dengan pengharapan kelak adiknya yang masih muda itu dapat merubah kesalahannya.

Pada suatu hari, pada waktu Lai Tek sedang bekerja di sawahnya, seorang tetangganya datang berlari-lari dan memberi tahu bahwa adiknya tengah bertempur dengan dua orang hwesio gundul. Lai Tek segera meninggalkan paculnya di tengah sawah. Dengan kedua kaki tangan masih penuh lumpur, ia berlari pulang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat Lai Seng roboh, terpukul oleh dua orang hwesio itu tepat pada saat ia datang.

“Keparat gundul, kau membunuh adikku?” bentaknya sambil menyerang.

Dua orang hwesio itu melompat mundur. “Nanti dulu, Sicu. Pinceng berdua datang untuk menghukum seorang anak murid Bu-tong-pai yang sudah menyeleweng dan melakukan kejahatan. Harap kau jangan mencampuri urusan pinceng.”

Lai Tek maklum bahwa dua orang hwesio ini tentu orang-orang Bu-tong-pai yang datang menghukum Lai Seng. Akan tetapi pada saat itu perasaan kasih sayang terhadap adiknya yang disertai oleh kesedihan besar melihat adiknya menggeletak mati itu sudah menutup semua pertimbangan Lai Tek.

“Dia itu adik kandungku, bagaimana tidak boleh ikut campur? Hwesio keji, semenjak lahir dia itu sudah menjadi adikku, sedangkan dia baru menjadi murid Bu-tong-pai setelah dia sudah besar. Kalian membunuhnya secara keji tanpa minta pertimbanganku terlebih dulu. Hutang nyawa harus dibayar nyawa pula!”

Sesudah berkata demikian, Lai Tek mengambil pedangnya dan menyerang kedua orang hwesio itu. Tingkat kepandaian Lai Tek memang sudah tinggi, ada pun serangannya itu dilakukan dalam keadaan nekad dan marah sekali.

Dalam sebuah pertempuran mati-matian, akhirnya seorang hwesio Bu-tong-pai tewas di tangan Lai Tek dan hwesio ke dua melarikan diri, memberi laporan kepada para pimpinan Bu-tong-pai.

Lo Beng Hosiang, Bu-tong-san Ciangbunjin adalah seorang kakek yang sabar dan alim. Mendengar laporan ini, ia menarik napas panjang dan berkata,

“Lai Tek membalas sakit hatinya oleh karena dia melihat adiknya dihukum mati, itu sudah sewajarnya. Hanya sayang sekali dia sebagai seorang gagah tidak menjunjung keadilan, tidak rela melihat adiknya dihukum padahal adiknya itu jelas-jelas sudah menjadi seorang penjahat pengganggu rakyat. Akan tetapi, perbuatannya itu bukan berarti bahwa dia pun jahat, hanya dia tidak dapat melepaskan kasih sayangnya terhadap adiknya. Apa lagi dia itu masih anak murid Kim-san-pai. Oleh karena itu, biarlah urusan ini dihabiskan saja, tak perlu diperpanjang.”

Akan tetapi, para hwesio lainnya diam-diam tidak menyetujui pendapat ini dan beberapa orang hwesio yang merasa penasaran, diam-diam lalu pergi naik ke puncak Kim-san-pai, menjumpai ketuanya dan menyampaikan protes.

Thian Beng Cu, ketua Kim-san-pai yang sudah tua itu, mendengarkan protes para hwesio Bu-tong-pai dengan tenang, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata,

“Baiklah, pinto akan memanggil Lai Tek dan akan minta pertanggungan jawabnya. Kalau memang betul dia bersalah, pasti pinto akan menghukumnya. Harap sampaikan salam pinto kepada Lo Beng Hosiang dan semoga kelak dia tidak sampai keliru memilih murid.”

Kata-kata ini seakan memperingatkan bahwa gara-gara semua peristiwa itu adalah akibat kesalahan pihak Bu-tong-pai dalam memilih murid. Inilah kata-kata mengandung sindiran yang memperingatkan bahwa kesalahan bukan berada di pundak pihak Kim-san-pai dan semua ini sebetulnya adalah sudah sepatutnya.

Para hwesio Bu-tong-pai yang mendengar ini pun dapat mengerti, maka mereka sudah merasa puas mendengar janji dari Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai bahwa Lai Tek akan diadili. Sambil menghaturkan terima kasih mereka turun dari puncak Kim-san dan pulang ke Bu-tong-san.

Akan tetapi, ketika pada keesokan harinya atas perintah Thian Beng Cu, tiga orang tosu Kim-san-pai mendatangi dusun tempat tinggal Lai Tek untuk memanggil pemuda ini ke Kim-san-pai, mereka mendapatkan Lai Tek telah menggeletak di kamarnya dengan tubuh rusak dicacah-cacah senjata tajam dan pada tembok kamarnya terdapat tulisan dengan huruf darah.

Mampuslah Lai Tek, anak murid partai peniru Bu-tong-pai!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati ketiga orang tosu itu. Tanpa memberi tahukan guru mereka lagi, mereka segera menyerbu Bu-tong-pai dan di sana mereka menantang. Mereka merasa yakin bahwa yang membunuh Lai Tek pasti orang-orang Bu-tong-pai.

Terjadi pertempuran di puncak Bu-tong-san. Akan tetapi tiga orang tosu yang tingkatnya hanya ke tiga ini tentu saja kalah oleh hwesio Bu-tong-pai yang tentu saja mengajukan jago yang lebih tinggi tingkatnya. Dengan hati sakit dan tubuh luka-luka, tiga orang tosu itu pulang ke Kim-san-pai dan mengadu kepada Thian Beng Cu.

Ketua Kim-san-pai mengerutkan kening, meraba-raba jenggotnya yang putih, kemudian menggeleng-geleng kepalanya

“Eh, ehh, bagaimana bisa terjadi seperti ini? Mereka membunuh Lai Tek, kalau ini untuk membalaskan kematian seorang hwesio Bu-tong, itu masih tidak apa. Akan tetapi mereka menghancurkan tubuh Lai Tek, ini sungguh-sungguh tidak sesuai dengan watak seorang penganut agama! Dan mereka menuliskan kata-kata menghina, hemm, dalam hal apakah partai Kim-san-pai meniru Bu-tong-pai?”

“Dan mereka itu tidak mau mengakui bahwa mereka yang membunuh Lai Tek, Suhu,” kata seorang di antara tiga orang tosu itu.

Thian Beng Tosu mengangguk-angguk. “Bisa dimengerti… bisa dimengerti. Sudah tentu saja Lo Beng Hosiang dan lain-lain tokoh Bu-tong-pai tak akan mau mengakui perbuatan rendah itu dan mungkin sekali pekerjaan busuk itu dilakukan secara diam-diam oleh salah seorang murid Bu-tong-pai. Akan tetapi baiklah kita tunggu, tentu Lo Beng Hosiang akan berusaha menangkap pembunuh Lai Tek itu.”

Demikianlah, ketua kedua pihak sama-sama bersikap sabar dan tidak mau memperbesar urusan itu. Akan tetapi anak buah kedua pihak makin panas hati dan semenjak hari itu, sering kali terjadi bentrokan di antara anak-anak murid Bu-tong-pai dan anak-anak murid Kim-san-pai.

Ada pun lima orang tosu yang bertemu di lereng gunung dengan Ang I Niocu itu, mereka adalah tosu-tosu Kim-san-pai. Dua orang yang terluka adalah Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, yaitu dua orang sute dari Thian Beng Cu, sedangkan yang tiga orang lagi adalah murid-murid Thian Beng Cu yang sudah tinggi kepandaiannya.

Tujuh orang tosu ini tadinya diutus oleh Thian Beng Cu untuk mewakilinya, berangkat ke Bu-tong-pai untuk berunding dengan pihak Bu-tong-pai yang maksudnya mendamaikan urusan pertikaian antara anak-anak murid kedua pihak itu. Akan tetapi sebelum sampai di kuil para hwesio Bu-tong-pai, baru saja tiba di lereng bukit, kebetulan mereka bertemu dengan serombongan hwesio Bu-tong-pai yang melarang mereka naik.

Karena kedua pihak memang telah mendendam, lalu diadakan pibu di lereng gunung itu. Masing-masing pihak lantas mengajukan jagonya. Untuk mencegah pihaknya mengalami kekalahan, maka Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang tosu tua itu mengajukan diri. Dari pihak Bu-tong-pai maju dua orang hwesio tua yang kosen pula.

Pertempuran berjalan sengit sekali dan akhirnya Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dapat merobohkan dua orang lawannya. Kemudian dari pihak Bu-tong-pai muncul seorang jago muda, bukan seorang hwesio. Pemuda ini lihai sekali dan melihat gerakan-gerakannya, dia itu bukanlah anak murid Bu-tong-pai, melainkan lebih tepat kalau menjadi anak murid Go-bi-pai karena ilmu pedangnya lihai sekali.

Menghadapi pemuda yang menjadi jago Bu-tong-pai ini, seorang demi seorang kedua tosu tua Kim-san-pai kena dirobohkan! Setelah dua orang susiok ini roboh, tentu saja lima orang tosu Kim-san-pai yang lainnya tidak berani maju, tahu bahwa hal itu akan percuma saja dan akan menambah besar rasa malu.

Mereka lalu menggotong tubuh dua orang tosu tua itu untuk dibawa kembali ke puncak Kim-san dan di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu. Demikian penuturan Siauw Seng Cu, murid dari Thian Beng Cu atau seorang di antara lima orang tosu tadi.

Mendengar ini, ketua Kim-san-pai nampak marah, akan tetapi masih berusaha sedapat mungkin menahan perasaannya.

“Kembali hal ini tidak ada hubungannya dengan Lo Beng Hosiang. Keributan itu terjadi di lereng Bu-tong-san dan di luar pengetahuan Lo Beng Hosiang. Pinto tak bisa ikut campur. Hal ini hanya akan mengeruhkan suasana. Sayang sekali kedua orang sute kurang dapat menyabarkan hati, bahkan sudah terjun ke dalam pertempuran sebelum bertemu dengan Lo Beng Hosiang sendiri.”

Dia menarik napas panjang, lalu menyuruh murid-muridnya membawa Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu ke dalam kamar untuk dirawat selanjutnya. Walau pun luka-luka mereka parah, akan tetapi tidak membahayakan jiwa.

Sesudah dua orang tosu yang terluka itu dibawa masuk, pandang mata Thian Beng Cu menyapu para tosu anak-anak murid Kim-san-pai yang hadir di tempat itu dan jumlahnya empat puluh orang lebih, lalu berkata,

“Kalian harus mampu menjaga diri dan menahan perasaan. Mulai hari ini, sekali-kali tidak boleh mencari gara-gara dengan pihak Bu-tong-pai. Kalau ada pihak mereka yang datang mencari gara-gara, jangan ada yang turun tangan akan tetapi cepat memberi tahu supaya pinto sendiri yang dapat membereskan!”

Di dalam kata-kata ini biar pun terkandung nasehat supaya anak murid Kim-san-pai dapat bersabar, namun bukan sekali-kali memperlihatkan sifat takut, karena kalau ada apa-apa, Thian Beng Cu sendiri hendak turun tangan. Terang bahwa tosu tua ini mengalah, akan tetapi bukan takut.

Tiba-tiba di antara pakaian para tosu yang berwarna putih, kuning dan abu-abu itu, mata Thian Beng Cu yang masih tajam melihat warna merah yang menyolok mata. Ketika dia memandang, dia terkejut dan heran bukan main melihat seorang gadis cantik jelita duduk di bagian belakang para hadirin.

“Ehh, siapakah Nona yang berada di sana?” tegurnya.

Siauw Seng Cu cepat berkata, “Maaf bahwa tadi teecu belum sempat memberi tahukan akan kedatangan seorang tamu. Dia itu adalah seorang utusan dari Sin-taihiap Bu Pun Su.”

Berseri wajah tosu tua itu dan tangannya memberi isyarat kepada semua anak muridnya supaya bubar dari ruangan itu. Kemudian ia melambai ke arah Ang I Niocu dan berkata, “Harap jangan berkecil hati bahwa pinto tidak dari tadi menyambut, karena adanya sedikit keributan tadi. Mari, Nona, silakan duduk di sini.”

Ang I Niocu menghampiri Ketua Kim-san-pai itu dan memberi hormat. “Locianpwe, harap maafkan jika kedatanganku mengganggu. Aku diutus oleh Susiok-couw Bu Pun Su untuk bertemu dengan Locianpwe.”

“Aha, jadi Pendekar Sakti Bu Pun Su itu masih ada di dunia ini? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali kalau seorang pendekar besar dan sakti seperti dia itu masih ingat bahwa di dunia ini terdapat sebuah partai kecil seperti Kim-san-pai. Nona, siapakah namamu dan kau diutus apakah oleh Susiok-couw-mu itu?”

“Maaf, Locianpwe, maaf kalau aku tidak dapat memberi tahukan nama kecilku yang telah kulupakan. Orang menyebutku Ang I Niocu dan kedatanganku di sini adalah atas perintah Susiok-couw Bu Pun Su. Susiok-couw mendengar tentang pertikaian yang timbul antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Orang tua itu merasa prihatin sekali mendengar akan hal ini, maka mengutus aku datang ke sini untuk mohon kepada Locianpwe atau lebih luas lagi kepada pihak Kim-san-pai agar supaya suka menghentikan segala permusuhan di antara kawan sendiri yang hanya mendatangkan kerugian bersama. Susiok-couw Bu Pun Su minta agar aku menyampaikan bahwa pada saat ini, negara sedang terancam bahaya perang dari pihak pemberontak-pemberontak, dan rakyat sedang menderita karena timbul kekacauan di mana-mana. Dan oleh karena itu, perlu bagi kita semua untuk menghimpun tenaga serta memperkuat persatuan, menghapus segala macam salah paham di antara kita. Demikianlah pesan Susiok-couw dan orang tua itu mengharap supaya Locianpwe sudi mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai.”

Thian Beng Cu tersenyum dan mengangguk-angguk perlahan.

“Ang I Niocu, kau masih begini muda sudah melupakan nama sendiri, alangkah hebatnya kesengsaraan yang kau derita. Pinto hanya berharap kau akan kuat menahan ujian hidup ini dan tidak menjadi putus harapan. Karena kau yang sudah dipilih oleh Bu Pun Su untuk mewakilinya dalam urusan ini, tentu kau sudah memiliki kekuatan itu. Pandangan Bu Pun Su yang kau kemukakan tadi memang betul, akan tetapi, apa kau kira pinto sendiri tidak menyadari akan hal itu? Kalau sekiranya pinto tidak menjaga keutuhan hubungan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, apakah sejak siang-siang tidak sudah terjadi pertumpahan darah besar-besaran? Kau sudah sejak tadi berada di tempat ini, kiranya kau pun sudah mendengar sendiri peristiwa apa yang baru saja terjadi. Pinto sudah berusaha hendak mendamaikan urusan, akan tetapi sayangnya, utusan pinto bahkan dihadang di jalan dan dua orang sute-ku dilukai. Nona biar pun masih muda, akan tetapi kau adalah utusan Bu Pun Su, oleh karena itu, pinto serahkan urusan ini kepadamu untuk dibereskan. Usaha untuk damai dari pihak kami sudah cukup dan kalau dipaksakan lagi, kiranya hanya akan mendatangkan keributan saja. Biar sekarang kau yang mencoba untuk membereskan.”

Thian Beng Cu memang cerdik. Dia sama sekali tidak gentar menghadapi Bu-tong-pai, akan tetapi tadi ia mendengar bahwa kedua orang sute-nya itu dirobohkan oleh seorang anak murid Go-bi-pai. Hal ini bukan main-main, karena kalau tidak berhati-hati, bisa jadi Kim-san-pai akan bertambah seorang musuh lagi, yakni Go-bi-pai.

Kalau ini terjadi, sungguh amat berbahaya dan akan semakin membahayakan kedudukan Kim-san-pai. Oleh karena itu, setelah kini Ang I Niocu muncul sebagai utusan Bu Pun Su, biarlah dia mengoperkan tugas perdamaian itu kepada gadis ini.

Ang I Niocu menyanggupi. Pada malam hari itu Ang I Niocu mendengar penuturan para tosu Kim-san-pai tentang asal mula pertikaian itu timbul. Sementara itu, diam-diam Thian Beng Cu menyuruh salah seorang muridnya untuk pergi ke Propinsi Hokkian dan mencari seorang sute-nya yang sudah lama merantau, yakni Eng Yang Cu.

Sute-nya ini jauh lebih muda darinya, usianya paling banyak lima puluh tahun. Akan tetapi kalau dibanding tingkat kepandaiannya, kiranya Eng Yang Cu ini termasuk orang paling tinggi tingkatnya di Kim-san-pai. Memang Eng Yang Cu adalah murid yang dahulu paling disayang oleh mendiang guru mereka, dan menerima warisan ilmu yang paling banyak.

Sebetulnya, Eng Yang Cu inilah dahulunya yang dicalonkan menjadi ketua Kim-san-pai. Akan tetapi ternyata bahwa Eng Yang Cu mempunyai darah perantau dan tidak betah tinggal di puncak gunung. Oleh karena itu, terpaksa kedudukan ciangbunjin diserahkan kepada Thian Beng Cu, murid tertua dan Eng Yang Cu melakukan perantauan di Propinsi Hokkian.

Thian Beng Cu memanggil sute-nya yang boleh diandalkan itu untuk menjaga kalau-kalau usaha perdamaian gagal dan pecah pertempuran di antara kedua pihak. Hanya sute-nya inilah yang boleh ia andalkan.

Pada esok harinya, pagi-pagi sekali Ang I Niocu sudah bangun dan bersiap-siap hendak ke Bu-tong-pai. Ia telah memperoleh keterangan dan penjelasan dari Ketua Kim-san-pai, sekarang ia harus menemui Ketua Bu-tong-pai sehingga sesudah mendengar keterangan dari kedua belah pihak, akan mudah baginya untuk mendamaikan urusan ini. Ia merasa girang sekali bahwa ternyata pihak Kim-san-pai sangat bijaksana dan tidak menghendaki dilanjutkannya permusuhan itu.

“Mudah-mudahan saja pihak Bu-tong-pai juga dapat diajak berunding,” pikirnya.

Akan tetapi, sebelum ia berangkat, tiba-tiba ia melihat beberapa orang tosu berlari-larian masuk dengan muka berubah dan mendengar mereka memberi laporan kepada Thian Beng Cu bahwa ada beberapa orang hwesio Bu-tong-pai datang menyerbu Kim-san-pai. Mendengar ini, Ang I Niocu berkata,

“Locianpwe, biarkan aku menghadapi mereka!”

Ia merasa penasaran sekali dan melihat gelagat seperti ini, ia hampir menduga bahwa di dalam pertikaian itu, pihak Bu-tong-pailah yang keterlaluan!

Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Ang I Niocu turun dari puncak. Tak lama kemudian benar saja, dia dapat melihat serombongan orang mendaki puncak itu. Mereka ini terdiri dari tujuh orang hwesio gundul dan seorang pemuda yang tampan dan gagah.

Melihat sikap mereka, makin besar dugaan Ang I Niocu bahwa mereka ini sengaja datang mencari keributan, maka ia lalu mencabut pedangnya dan memegang pedang itu dengan sikap tenang dan gagah. Setelah mereka datang dekat, baru ia tahu bahwa mereka ini ialah rombongan orang-orang Bu-tong-pai yang dulu pernah membantunya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan pasukan pemberontak Lie. Pemuda itu ternyata adalah pemuda tampan yang mengejar-ngejarnya untuk berkenalan!

Ada pun ketika melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, pemuda itu serta rombongannya segera mengenalnya. Pemuda itu melompat cepat menghampirinya.

“Kau di sini, Nona…,” tegurnya dengan wajah berseri.

Akan tetapi Ang I Niocu hanya memandang kepadanya dengan muka dingin dan sinar mata menyelidik. Kemudian Ang I Niocu menghadapi tujuh orang hwesio itu dan berkata, suaranya nyaring akan tetapi halus,

“Cu-wi Suhu sekalian ini bukankah hwesio-hwesio Bu-tong-pai?”

Seorang di antara tujuh orang hwesio itu, yang tertua, menjawab,

“Betul, Nona, pinceng dan saudara-saudara pinceng ini adalah murid-murid Bu-tong-pai. Kau sendiri siapakah dan mengapa dahulu dikeroyok oleh pasukan pemberontak?”

“Aku Ang I Niocu dan urusanku dengan mereka itu tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Yang terpenting sekarang, kalian ini datang ke Kim-san mempunyai keperluan apakah?”

Hwesio itu nampaknya tidak senang.

“Ang I Niocu, kau bilang tadi bahwa urusanmu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami. Sebaliknya, urusan kami di Kim-san ini pun kiranya tak ada sangkut-pautnya denganmu!”

Ang I Niocu tersenyum dan jika tadinya di antara para hwesio itu ada yang marah, maka kemarahan itu sekaligus mencair oleh senyum yang luar biasa manisnya ini. Pemuda tampan itu sampai melongo dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Begitu hebat wajah Ang I Niocu menarik hatinya.

“Hwesio-hwesio dari Bu-tong-pai, ketahuilah. Aku sudah mendapat tugas dari Locianpwe Thian Beng Cu untuk menyelesaikan urusan pertikaian antara Kim-san-pai dengan pihak Bu-tong-pai. Sekarang aku justru hendak pergi ke Bu-tong-pai untuk menghadap Lo Beng Hosiang dan mendamaikan urusan. Akan tetapi, baru kemarin utusan Kim-san-pai yang datang ke Bu-tong-pai untuk mendamaikan urusan, telah dilukai orang…” Ang I Niocu lalu menggunakan lirikan matanya yang tajam menyambar ke arah pemuda tampan itu. “Dan melihat gelagatnya, agaknya kalian inilah yang menyerang mereka. Kini kalian datang ke sini dengan sikap aneh, membawa-bawa pula seorang jagoan. Mau apakah?”

Pemuda itu menjadi merah mukanya! Cepat ia maju dan menjura kepada Ang I Niocu, lalu bicara dengan suaranya yang halus dan sikapnya yang sopan,

“Maaf, maaf… harap Niocu sudi memberi maaf. Agaknya dalam urusan ini ada kesalah pahaman, dan antara kau dan aku kiranya ada persamaan tugas. Ketahuilah, Nona, aku Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai mewakili Susiok Twi Mo Siansu, datang ke Bu-tong-pai juga dengan maksud untuk mendamaikan urusan perselisihan antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai.”

Tiba-tiba pemuda itu menunda kata-katanya karena ia melihat betapa sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar berapi-api dan wajah gadis itu menjadi merah. Jelas sekali bahwa gadis itu marah luar biasa kepadanya.

“Ehh, Nona… kau… mengapa kau marah kepadaku?” tanyanya gagap.

Memang, Ang I Niocu marah sekali sehingga ia merasa seluruh tubuhnya tergetar-getar. Tangan yang memegang pedang menggigil dan jika ia tidak mengerahkan seluruh tenaga batin, tentu sejak tadi ia sudah menyerang pemuda di depannya ini.

Jadi inilah pemuda yang bernama Liem Sun Hauw, inilah pemuda yang disebut-sebut oleh ayahnya dahulu, pemuda yang hendak dijodohkan dengan dia! Inilah pemuda yang menjadi gara-gara, menjadi biang keladi hingga ia kehilangan kekasihnya dan kehilangan ayahnya pula. Kalau tidak ada pemuda ini di muka bumi, kiranya ia tidak akan kehilangan ayahnya, dan kiranya ia akan dapat berjodoh dengan Gan Tiauw Ki.

“Kau…?!” Ketika hendak mengeluarkan kata-kata, ternyata lehernya seperti tercekik dan yang keluar hanya sebuah kata-kata itu saja.

Pemuda itu memandang heran. Ia tidak mengerti mengapa nona cantik ini begitu marah kepadanya. Akan tetapi Ang I Niocu teringat akan tugasnya, teringat bahwa dia sedang melakukan tugas yang diperintahkan oleh susiok-couw-nya Bu Pun Su. Kalau ia menuruti nafsu hatinya sehingga urusan itu menjadi kacau, tentu ia akan mendapat marah besar dari susiok-couw-nya.

Setelah dapat menekan debar jantungnya, ia berkata, melanjutkan kata-katanya tadi. “Kau bilang hendak mendamaikan, tetapi mengapa kau justru melukai dua orang tosu Kim-san-pai? Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke puncak Bu-tong-san? Kenapa pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu Kim-san-pai? Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?”

Menghadapi tuduhan Ang I Niocu ini, Liem Sun Hauw merasa penasaran sekali. Sebagai mana telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini telah dipilih oleh Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai sebagai wakilnya memenuhi permintaan Bu Pun Su. Tugas Liem Sun Hauw adalah untuk mendamaikan pertikaian yang timbul antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.

Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan telah mendatangkan rasa kagum pada Kiang Liat sehingga pendekar itu mempunyai niat untuk memungut pemuda ini sebagai mantunya!

Setelah Liem Sun Hauw berpisah jaIan dengan Kiang Liat, pemuda ini lalu melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-pai yang amat jauh itu. Karena perjalanan ini melalui Propinsi Shansi, dan kampungnya hanya terletak seratus li dari jalan itu, ia hendak singgah dulu di kampungnya, Peng-kan-mui untuk memberi tahu ayahnya akan segala pengalamannya. Pemuda ini memang seorang anak berbakti dan dia tidak tega meninggalkan ayahnya seorang diri terlalu lama.

Alangkah sedihnya ketika ia mendapatkan ayahnya yang sudah tua dan duda itu ternyata sedang menderita sakit panas yang agak berat juga. Terpaksa dia harus menunda dulu perjalanannya. Tugas yang dia terima dari susiok-nya boleh jadi penting, akan tetapi lebih penting lagi menjaga dan merawat ayahnya. Oleh karena inilah maka perjalanannya jadi terlambat. Sampai lima bulan lebih ia tinggal di rumahnya untuk merawat ayahnya.

Ketika dia pergi, yang merawat ayahnya ialah Tang Siok Lan, gadis tetangga yang sudah dikenalnya semenjak kecil. Gadis ini sangat manis dan terkenal sebagai bunga kampung Peng-kan-mui, dan melihat gelagatnya, semenjak dahulu gadis itu ‘ada hati’ kepadanya. Akan tetapi, tentu saja tidak pernah menyatakan hal ini dengan kata-kata atau gerakan, hanya sinar matanya saja yang berkata banyak.

Sebaliknya, Sun Hauw juga amat suka kepada gadis itu, kawan mainnya semenjak kecil. Seperti juga dia, Siok Lan telah ditinggal mati ibunya dan. hanya hidup bersama ayahnya dan kakaknya yang sudah menikah dan tinggal satu rumah dengan ayahnya.

Sesudah Sun Hauw datang, Siok Lan mengundurkan diri dan pemuda itu yang kemudian menggantikannya merawat ayahnya sendiri. Akan tetapi boleh dibilang setiap hari Siok Lan pasti datang untuk membawa ini-itu, untuk menyatakan ini-itu, sehingga diam-diam Sun Hauw makin suka dan merasa berhutang budi kepada gadis manis itu.

Akhirnya ayahnya sembuh kembali dan Sun Hauw teringat lagi akan tugasnya. Dia lalu menceritakan semua pengalamannya pada ayahnya, kecuali tentang maksud Kiang Liat menariknya menjadi mantu.

“Berangkatlah, Sun Hauw. Sudah menjadi tugasmu untuk memenuhi perintah susiok-mu itu. Akan tetapi kau berhati-hatilah dan jangan terlalu lama pergi. Setelah tugasmu selesai kau harus segera pulang, karena aku bermaksud merayakan pernikahanmu.”

Sun Hauw kaget. “Pernikahan…?!”

Ayahnya mengangguk. “Kau sudah cukup dewasa, Sun Hauw. Dan kau melihat sendiri betapa baiknya Siok Lan. Kiranya di atas dunia ini sukar mencari keduanya. Lagi pula, bukankah dia kawan mainmu semenjak kecil? Dan bukankah kalian sudah saling suka? Aku sudah mengambil keputusan dan berdamai dengan ayahnya, perjodohan antara kau dan Siok Lan sudah kuikat. Kau kuberi waktu setengah tahun, Anakku. Ayah sudah tua dan sudah ingin melihat seorang cucu.”

Sun Hauw menundukkan kepalanya saja, tidak berani membantah. Memang harus ia akui bahwa selama ini, satu-satunya gadis yang menarik hatinya hanyalah Siok Lan seorang. Akan tetapi, mendengar ucapan ayahnya tentang perjodohannya dengan Siok Lan, ia jadi teringat akan usul Kiang Liat dan ia menjadi ragu-ragu.

Tak dapat disangkalnya bahwa Siok Lan merupakan seorang gadis pilihan. Cukup cantik manis dan ia sudah tahu dan kenal betul akan watak gadis itu yang lemah-lembut, halus dan berbudi mulia. Akan tetapi, gadis itu adalah seorang yang lemah, yang tidak pernah belajar ilmu silat sedikit pun juga!

Berbeda dengan puteri dari Kiang Liat, pendekar yang berilmu tinggi itu. Apa lagi menurut penuturan Kiang Liat sendiri, puterinya yang bernama Kiang Im Giok dan berjuluk Ang I Niocu itu, kepandaiannya bahkan lebih tinggi dari pada Kiang Liat. Padahal kepandaian Kiang Liat saja sudah tinggi sekali!

Hati Sun Hauw menjadi bimbang. Bingung ia kalau harus memilih. Siok Lan cantik jelita, berbudi baik, akan tetapi tidak pandai silat. Ang I Niocu Kiang Im Giok lihai ilmu silatnya akan tetapi ia belum pernah melihatnya, tidak tahu apakah dia itu juga cantik dan bagai mana pula wataknya.

Akan tetapi Sun Hauw tidak berani membantah. Ia tidak mau membikin ayahnya kecewa dan berduka, oleh karena itu dia tidak menyatakan sesuatu tentang perjodohan ini. Maka berangkatlah Sun Hauw menuju ke Bu-tong-san.

Ketika tiba di kaki Pegunungan Min-san, di tengah jalan ia bertemu serombongan anak murid Bu-tong-pai. Sun Hauw bermata tajam dan sekali melihat saja dia dapat menduga bahwa rombongan yang terdiri dari belasan orang ini adalah orang-orang berkepandaian silat. Maka ia menyapa mereka dan mengajak berkenalan.

Alangkah girangnya ketika mereka itu terus terang mengaku bahwa mereka adalah para anak-anak murid Bu-tong-pai yang sedang melakukan tugas meronda. Ternyata bahwa Bu-tong-pai tidak tinggal diam dan berpeluk tangan saja melihat adanya pemberontakan-pemberontakan di berbagai tempat. Atas perintah Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai, anak-anak murid yang bukan hwesio diberi tugas melakukan penjagaan dan penyelidikan di beberapa tempat.

Min-san termasuk wilayah perbatasan Secuan-Kansu-Shensi, karena itu di tempat ini pun terdapat pula murid Bu-tong-pai yang melakukan ronda dan penjagaan. Rombongan yang bertemu dengan Sun Hauw ini adalah rombongan anak murid Bu-tong-pai yang sedang melakukan penyelidikan.

“Kebetulan sekali,” berkata Sun Hauw. “Siauwte juga sedang menuju ke Bu-tong-pai atas perintah dari Susiok Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai.” Dengan singkat ia lalu menuturkan tentang tugasnya.

Tentu saja rombongan Bu-tong-pai itu merasa girang. Akan tetapi mereka menyatakan bahwa pada waktu itu mereka sedang menyelidiki ke puncak Min-san, karena mendengar kabar tentang datangnya pasukan pemberontak, yakni anak buah pasukan pemberontak Lie di propinsi Shensi.

“Kami harus menyelidiki apa yang mereka lakukan di sini, dan kalau perlu mengusir mereka,” kata seorang di antara rombongan Bu-tong-pai itu.

Karena Sun Hauw juga termasuk orang yang anti pemberontak, ia segera menyatakan kesediaannya untuk membantu. Demikianlah, mereka lalu mendaki puncak Min-san dan kebetulan sekali melihat Ang I Niocu sedang dikeroyok oleh pasukan pemberontak, lalu turun tangan membantunya. Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu tidak mau menghubungi mereka dan pergi meninggalkan Sun Hauw yang sangat tertarik oleh kecantikannya.

Memang Sun Hauw benar-benar tertarik sekali. Harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang dara demikian ayu dan demikian tinggi ilmu silatnya. Tidak mengherankan apa bila ia terpesona sekali dan merasa seakan-akan semangatnya terbetot keluar mengikuti bayangan nona itu.

Diam-diam ada juga dugaan di dalam hatinya yang berdebar-debar. Nona itu berpakaian serba merah, cantik jelita dan lihai sekali. Apakah dia itu yang disebut Ang I Niocu, puteri dari Kiang Liat? Kalau teringat akan dugaan ini, Sun Hauw menjadi berdebar-debar. Kalau betul nona itu Ang I Niocu yang hendak dijodohkan dengan dia, aduuuh! Bukan main cantiknya! Dan bukan main tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi, wataknya… mengapa demikian galak?

Bersama rombongan Bu-tong-pai ini, Sun Hauw lalu menuju ke Bu-tong-san. Kebetulan sekali, baru saja ia naik sampai di lereng puncak Bu-tong-san dan disambut oleh para hwesio penyambut, tiba-tiba seorang hwesio berlari-larian dari bawah melaporkan bahwa ada orang-orang Kim-san-pai datang menyerbu!

Sementara itu, di sepanjang perjalanan Sun Hauw telah mendengar cerita dari anak-anak murid Bu-tong-pai bahwa Kim-san-pai selalu mencari perkara dan permusuhan, dan biar pun Bu-tong-pai sudah banyak mengalah, selalu Kim-san-pai mendesak mengandalkan ilmu silatnya yang katanya lebih tinggi dari Bu-tong-pai!

Hal ini memang sudah wajar. Tiap kali ada dua pihak yang bermusuhan, masing-masing pihak tentu saja tidak mau mengaku salah, dan selalu menganggap pihak yang lain amat jahat. Siapakah orangnya yang berani mengaku dia yang salah dan pihak lawan yang benar? Orang demikian inilah betul-betul orang gagah, akan tetapi di dunia hanya ada satu setiap seribu!

Sun Hauw tidak mau berlaku ceroboh. Meski pun ia sudah mendapat kesan jelek tentang Kim-san-pai dari para anak murid Bu-tong-pai, akan tetapi ia hendak melihat dahulu dan tidak akan mencampuri kalau tidak perlu sekali. Maka ia pun ikut dengan para hwesio itu turun lagi dari lereng untuk menyambut datangnya rombongan Kim-san-pai.

Apa bila dua pihak yang bermusuhan dan di dalam hati sudah mengandung dendam dan benci saling bertemu, sukarlah untuk mengharapkan kata-kata yang baik. Suasana tentu menjadi panas sekali dan hal ini dapat dimaklumi. Ketika melihat tujuh orang tosu naik ke puncak Bu-tong-pai sambil menggunakan ilmu lari cepat, para hwesio Bu-tong-pai sudah menduga salah sehingga menuduh mereka itu sengaja memamerkan kepandaian mereka dalam ilmu lari cepat!

Kini kedua rombongan itu sudah saling berhadapan.

“Tosu-tosu sombong, mau apa kalian berani naik ke sini?” seorang hwesio Bu-tong-pai menegur. Sementara itu, semua hwesio Bu-tong-pai telah mencabut pedang dan bersiap sedia. Mereka memandang kepada para tosu itu dengan penuh curiga.

Melihat sikap bermusuhan dari hwesio-hwesio Bu-tong-pai, para tosu Kim-san-pai itu pun merasa tersinggung dan tak senang. Apa lagi kalau mereka lihat bahwa hwesio-hwesio yang menyambut mereka dengan sikap kurang ajar dan bermusuh ini bukanlah hwesio-hwesio tingkat tinggi, melainkan hwesio tingkat rendah saja.

Yang datang adalah dua orang sute dari Ketua Kim-san-pai bersama lima orang hwesio tingkat tinggi, ini merupakan rombongan orang-orang terkemuka dari Kim-san-pai. Akan tetapi kedatangan mereka disambut secara kasar oleh hwesio-hwesio dari tingkat rendah. Benar-benar hal ini merupakan penghinaan bagi Kim-san-pai.

Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, dua orang sute dari Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai mengerutkan kening. Thian Lok Cu adalah seorang tosu yang berwatak keras. Melihat sikap para hwesio itu ia lalu melangkah maju dan berkata nyaring,

“Sobat-sobat gundul, ketahuilah bahwa kami datang untuk berbicara dengan Lo Beng Hosiang, bukan untuk ribut mulut dengan kalian. Lekas kalian laporkan kedatangan kami kepada Lo Beng Hosiang atau kalian cepat menyingkir supaya kami dapat naik sendiri ke kuil Bu-tong-pai!”

“Tosu sombong! Orang macam kalian ini mau bertemu dengan guru besar kami? Kalau ada keperluan, lekas beri tahu kepada kami, bila tidak lebih baik kalian lekas-lekas pergi dari sini sebelum kami terpaksa mendorong kalian menggelundung turun!” kata seorang hwesio yang pernah menjadi pecundang dalam sebuah pertempuran dengan anak murid Kim-san-pai beberapa hari yang lalu.

Suasana menjadi makin panas ketika serombongan hwesio turun pula dari atas. Mereka ini sebagian besar adalah hwesio-hwesio tingkatan rendah yang merasa paling ‘dendam’ kepada pihak Kim-san-pai, maka ramailah mereka mengeluarkan kata-kata menantang.

Para tosu Kim-san-pai juga sudah mencabut pedang, takut kalau-kalau para hwesio yang amat banyak itu menyerbu dengan tiba-tiba. Thian Lok Cu menggerak-gerakkan tangan sambil membentak,

“Hwesio-hwesio tidak tahu aturan, apakah kalian hendak mengeroyok kami?”

Seorang hwesio bermuka hitam segera melompat keluar dan melintangkan toya di depan dadanya. Hwesio ini adalah Twi Kang Hwesio, murid termuda dari Lo Beng Hosiang, sifatnya jujur dan amat berangasan, tidak mau kalah. Ia sudah marah sekali mendengar kata-kata Thian Lok Cu tadi, maka katanya dengan suara menggeledek,

“Tosu bau! Masa untuk menghadapi seorang Kim-san-pai saja harus dilakukan dengan keroyokan? Pinceng sendiri sudah cukup mencegah kau naik dan membikin ribut. Hayo segera turun, atau kau berani menghadapi toyaku ini?” Diamang-amangkan toyanya di depan muka Thian Lok Cu.

“Keparat gundul, kami datang dengan maksud baik, kalian sengaja mengajak pibu? Baik, baik, jangan kira Kim-san-pai tidak mempunyai orang lihai. Kalau aku kalah olehmu, aku akan kembali ke Kim-san-pai dan belajar sepuluh tahun lagi.”

Tak dapat dicegah pula, pertempuran hebat pasti akan terjadi. Melihat hal ini, Thian Hok Cu yang lebih tua dan lebih sabar dari pada Thian Lok Cu, menggoyang-goyang tangan dan berkata,

“Sahabat-sahabat dari Bu-tong-pai, harap tenang dan sabar. Lebih baik laporkan kepada Lo Beng Hosiang bahwa kami hendak bertemu bukan mencari keributan di sini.”

Akan tetapi suasana yang sudah panas itu mana dapat dibikin dingin oleh Thian Hok Cu yang tidak pandai bicara? Seorang hwesio tinggi kurus yang memegang pedang, yakni suheng dari Twi Kang Hwesio yang bernama Lu Pek Hwesio, lantas melangkah maju menghadapi Thian Hok Cu sambil berkata,

“Tosu, kalau kau tidak berani menerima tantangan pibu, lebih baik kau pulang saja dan jangan berlagak pula di sini. Ingat bahwa di sini adalah tempat kami!”

Terdengar suara seorang hwesio dari belakang, “’Hah! Satu lawan satu saja dia sudah ketakutan. Lihat mukanya pucat seperti mayat, ha-ha-ha. Tosu pengecut!”

Memang Thian Hok Cu memiliki muka yang pucat kuning, maka sindiran ini benar-benar menyakitkan hatinya.

Thian Lok Cu berkata kepada suheng-nya, “Suheng, apakah kita harus diamkan saja orang-orang hutan ini menghina partai kita? Sedikitnya kita harus menjaga nama baik Kim-san-pai. Marilah kita layani tantangan pibu mereka.”

Didesak seperti itu, akhirnya Thian Hok Cu kehilangan kesabaran pula. Dia memandang kepada rombongan hwesio dan berkata, “Biarlah kami berdua melayani tantangan pibu kalian. Akan tetapi apa bila kami menang, kami harus boleh naik menemui Lo Beng Hosiang!”

Twi-Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio sudah siap sedia. Twi Kang Hwesio Si muka hitam menghadapi Thian Lok Cu dan berkata, “Menang kalah masih belum tentu mengapa ribut-ribut? Kalau kalian mampu menangkan kami, tentu saja kalian boleh lakukan apa yang kalian suka, siapa berani menghalangi? Siaplah dan lihat senjata!”

Sambil berkata begini, toyanya menyelonong ke depan melakukan serangan pertama. Dengan mudah Thian Lok Cu menangkis, dan terjadilah pertempuran sengit antara Thian Lok Cu melawan Twi Kang Hwesio dan Thian Hok Cu yang bertempur melawan Lu Pek Hwesio.

Berbeda dengan sute-nya yang bermain toya, Lu Pek Hwesio bermain pedang sehingga pertempuran ini lebih ramai. Suara senjata bertemu senjata terdengar sangat nyaring dan menegangkan hati, berkelebatnya sinar senjata menambah keseraman pertempuran itu.

Liem Sun Hauw semenjak tadi hanya menonton, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia diberi tugas untuk mendamaikan pertikaian antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, dan sekarang ia menjadi saksi pertempuran antara kedua partai itu!

Kalau ia turun tangan keadaannya tak akan menjadi lebih baik, pikirnya. Suasana sudah terlalu panas dan kedua pihak sudah marah sekali. Apa bila dia datang memisah, belum tentu mereka suka menurut, bahkan dia sendiri mungkin akan dimusuhi oleh kedua pihak! Ia telah mendapat kesan baik tentang Bu-tong-pai dan kesan buruk tentang Kim-san-pai, dan sekarang dia melihat bahwa pertempuran itu adalah sebuah pibu yang adil, maka ia menjadi serba salah dan hanya menonton di pinggir.

Tak lama kemudian ternyata bahwa tingkat kepandaian dua orang tosu Kim-san-pai itu masih lebih tinggi dari pada kepandaian Twi Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio. Dalam waktu yang hampir bersamaan, dua orang hwesio itu roboh dengan menderita luka-luka ringan, terkena tusukan dan babatan pedang dua orang tokoh Kim-san-pai itu.

Para hwesio Bu-tong-pai menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan lebih dari lima puluh orang hwesio ini agaknya akan menyerbu, mengeroyok tujuh orang tosu Kim-san-pai. Melihat hal ini, Liem Sun liauw cepat melompat ke tengah, mendahului para hwesio itu dan menghadapi Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu.

“Ji-wi totiang harap mundur saja dan jangan lanjutkan maksud naik ke puncak,” katanya nyaring.

Para hwesio yang melihat pemuda utusan Ketua Go-bi-pai itu maju, berhenti bergerak dan menjadi besar hati. Mereka tahu akan kelihaian utusan Go-bi-pai ini maka diam-diam mereka hanya memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ada pun Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, sesudah mendapat kemenangan, tentu saja tidak mau mundur. Mereka menganggap amat tidak adil kalau pihak yang menang justru harus mundur! Bukankah tadi sudah dijanjikan bahwa karena mereka menang, mereka akan diperkenankan menemui Lo Beng Hosiang?

“Kau ini siapakah dan ada hak apakah akan melarang kami?” Thian Lok Cu membentak marah.

Liem Sun Hauw tersenyum. “Totiang, siauwte sekali-kali bukan melarang, hanya siauwte menganggap jauh lebih baik menghindari pertengkaran yang makin menghebat dari pada berkeras kepala.”

“Kami sudah menang, kau mau apa? Kalau masih ada yang penasaran, boleh coba-coba. Kami selalu sedia melayani, asal jangan dilakukan pengeroyokan secara pengecut!” kata pula Thian Lok Cu.

Sun Hauw mengerutkan kening. Sikap yang diperlihatkan oleh tosu ini sama sekali tidak baik, pikirnya. Sikap yang seperti inilah yang memperbesar permusuhan, yakni sikap tak mau mengalah dan keras kepala. Tosu ini menganggap diri sendiri yang paling pandai, dan kiranya perlu diberi hajaran. Demikian Sun Hauw berpikir.

Kalau sampai terjadi pertempuran keroyokan, kiranya keselamatan jiwa tujuh orang tosu ini akan berbahaya sekali. Dari pada pertempuran keroyokan lebih baik dia turun tangan dulu mengusir mereka turun gunung.

“Totiang, kau memang keras kepala dan mengira di dunia ini kau sendiri yang paling kuat. Aku ingin sekali mencoba-coba!” Sambil berkata demikian, Sun Hauw lalu mengeluarkan pedangnya dan berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.

Thian Lok Cu mengeluarkan suara ketawa mengejek, kemudian tubuhnya bergerak dan dia sudah mulai menyerang sambil berseru, “Bocah lancang, lihat pedang!”

Akan tetapi alangkah kagetnya pada saat pemuda itu menangkis. Thian Lok Cu merasa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa pemuda itu mempunyai tenaga yang amat besar. Kemudian dia menjadi lebih kaget dan heran lagi menyaksikan ilmu pedang yang cepat dan ganas, jauh bedanya dengan ilmu pedang Bu-tong-pai!

Akan tetapi ia tidak sudi mundur dan melawan dengan gerakan cepat dan nekat. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari pemuda tampan ini lihai sekali. Setelah tiga puluh jurus lebih bertempur dengan sengit dan seru, akhirnya dengan mengeluarkan jurus yang hebat, yakni jurus yang disebut Sin-mo Sam-bu (Payung Sakti Memutar Tiga Kali), Sun Hauw berhasil merobohkan Thian Lok Cu.

Jurus ini sebetulnya bukan jurus ilmu pedang Go-bi-pai, melainkan ilmu pedang Thian Mo Siansu yang di samping memiliki ilmu silat Go-bi-pai juga mempunyai ilmu silat lihai dari orang-orang sakti sehingga Thian Mo Siansu dapat menciptakan ilmu pedang tersebut.

Dengan pedang diputar merupakan bundaran sehingga nampak seperti orang memakai payung, Sun Hauw berhasil melukai kedua pundak Thian Lok Cu sehingga tosu itu roboh tak dapat bangun lagi. Kawan-kawannya menolongnya dan Thian Hok Cu melompat maju dengan pedang di tangan.

“Anak muda, pinto lihat ilmu pedangmu bukan dari Bu-tong-pai, agaknya kau adalah anak murid Go-bi-pai, mengapa kau mencampuri urusan kami? Apakah Twi Mo Siansu sudah mengajarmu untuk menjadi orang yang usil dan suka mencampuri urusan orang lain?”

Mendengar ini, Liem Sun Hauw kaget. Ternyata tosu ini dapat mengenal ilmu pedang dan agaknya kenal pula kepada Ketua Go-bi-pai, susiok-nya Twi Mo Siansu. Cepat ia menjura memberi hormat dan berkata,

“Totiang, harap suka maafkan. Memang siauwte anak murid Go-bi-pai yang datang untuk mendamaikan urusan antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai. Akan tetapi sayang sekali Totiang dan kawan-kawan Totiang datang mengacaukan keadaan dan memperbesar permusuhan. Oleh karena itu, siauwte harap Totiang sudi pulang saja ke Kim-san-pai dan lain hari siauwte akan datang minta maaf kepada Ketua Kim-san-pai.”

“Bocah sombong, kau kira pinto takut kepadamu? Kau bilang datang untuk mendamaikan urusan, akan tetapi kau bahkan melukai sute-ku! Kalau kau mau menjadi jago undangan Bu-tong-pai, mari kita coba-cobal”

Sambil berkaia demikian, Thian Hok Cu menyerang dengan pedangnya. Tosu ini tentu saja tidak mau mengalah karena keadaan sudah seperti itu. Sute-nya terluka dan kalau ia mengundurkan diri begitu saja, sikapnya ini bersifat pengecut sekali.

Sun Hauw menarik napas panjang dan terpaksa melayani. Sesungguhnya dia tidak suka berkelahi dengan tosu-tosu Kim-san-pai dan kalau pun bertempur, ia tidak suka melukai mereka.

Akan tetapi kepandaian tosu ini sudah sangat tinggi sehingga sukarlah baginya mencapai kemenangan tanpa melukainya. Ia hanya menang sedikit saja, menang dalam hal ilmu pedang, maka seperti juga tadi, terpaksa ia membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah lihainya.

Pertempuran kedua ini lebih hebat dari pada tadi, kedua pihak nampak berimbang dan sama kuatnya. Para hwesio Bu-tong-pai dan tosu Kim-san-pai menonton pertempuran itu sambil menahan napas. Tentu saja di dalam hati mereka, masing-masing pihak menjagoi jago sendiri.

Di pihak Bu-tong-pai yang hadir di situ, pemuda Go-bi-pai ini merupakan orang terpandai, demikian pula di pihak Kim-san-pai yang berada di situ, Thian Hok Cu merupakan jago terlihai. Oleh karena itu, pertempuran ini adalah pertempuran terakhir yang menentukan. Kalau pihak Kim-san-pai kalah, berarti tidak ada yang akan berani maju lagi dan mereka harus turun gunung. Sebaliknya, andai kata pemuda itu kalah, tentu hwesio Bu-tong-pai akan lari naik dan melaporkan hal ini kepada guru besar mereka.

Akan tetapi, akhirnya ternyata pula bahwa Liem Sun Hauw lebih unggul. Pemuda ini telah mewarisi ilmu silat yang aneh-aneh dari gurunya, yakni Thian Mo Siansu, ada pun Thian Mo Siansu sendiri sudah pernah menerima latihan oleh kakek sakti Hok Peng Taisu di Hong-lun-san.

Sesudah bertempur lebih dari lima puluh jurus, akhirnya Thian Hok Cu terpaksa harus mengakui keunggulan Sun Hauw dan tosu ini roboh pula oleh babatan pedang pada paha dan pukulan tangan kiri pada dadanya. Sun Hauw terpaksa merobohkannya dengan cara ini karena kalau tidak, kiranya dia sendiri yang akan termakan oleh pedang Thian Hok Cu yang lihai.

Demikianlah, para hwesio Kim-san-pai bersorak-sorak girang dan para tosu yang tinggal lima orang itu lalu memondong tubuh susiok mereka dan berlari turun gunung. Ada pun para hwesio Bu-tong-pai lalu mengantar Sun Hauw naik ke puncak di mana dia disambut oleh Lo Beng Hosiang yang mengerutkan keningnya ketika mendengar apa yang sudah terjadi.

Hwesio tua ini menggeleng-geleng kepalanya dan berkata penuh sesal, “Ahh, mengapa terjadi hal seperti itu di lereng sini dan tak seorang pun memberi laporan kepada pinceng? Kalau pinceng tahu sejak tadi, tentu pinceng akan mencegah terjadinya pertempuran.”

“Mereka terlalu menghina, Suhu,” kata seorang hwesio. “Dua orang Suheng sudah roboh terluka dan kiranya teecu semua takkan ada yang dapat melawan dan terpaksa menelan hinaan dari orang-orang Kim-san-pai itu kalau saja Liem-enghiong ini tidak keburu datang menolong dan membersihkan nama kita.”

Lo Beng Hosiang memandang kepada pemuda tampan yang hadir di situ dan tadi telah memberi hormat kepadanya. “Sicu dari manakah?” tanyanya singkat.

“Teecu bernama Liem Sun Hauw, anak murid Go-bi-pai. Teecu diutus oleh Susiok Twi Mo Siansu untuk menghadap Locianpwe dan untuk berusaha mendamaikan pertikaian yang terjadi antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai. Susiok berpesan bahwa semua ini adalah atas usul desakan Sin-taihiap Bu Pun Su yang menghendaki agar pada waktu sekarang ini kita melupakan segala kesalah pahaman dengan golongan sendiri, dan menghimpun persatuan guna membela negara serta melindungi rakyat dari ancaman perang. Karena hal itu, Susiok lalu menunjuk teecu untuk datang ke sini. Dan kebetulan sekali tadi teecu melihat pertempuran antara serombongan tosu Kim-san-pai dengan para hwesio di sini. Teecu sudah berusaha memisah, memohon kepada tosu-tosu Kim-san-pai untuk pulang, akan tetapi siapa kira, mereka itu justru berkeras memperlihatkan kepandaian sehingga terpaksa teecu menghadapi mereka. Selanjutnya mohon petunjuk Locianpwe, bagaimana pendapat Locianpwe dan usaha apa yang kiranya dapat dilakukan untuk mendamaikan pertikaian ini.”

Lo Beng Hosiang menghela napas lagi. “Kau datang hendak mendamaikan urusan, akan tetapi kau bahkan melukai dua orang tosu Kim-san-pai. Bagaimana ini?”

“Teecu bertanggung jawab sepenuhnya akan hal ini,” jawab Sun Hauw gagah. “Teecu akan datang ke Kim-san-pai dan akan teecu jelaskan kepada Ketua Kim-san-pai disertai permintaan maaf.”

“Bagus, seorang laki-laki harus berani memikul akibat dari perbuatannya sendiri. Sayang kedua orang muridku Kang Bok Sian dan Kang Ek Sian sudah turun gunung, kalau saja mereka masih ada di sini, biar pun mereka itu bukan orang-orang yang menggunduli kepala mereka kiranya takkan terjadi keributan-keributan ini.”

Lo Beng Hosiang menulis sepucuk surat kepada Thian Beng Cu, lalu memanggil murid kepalanya, yakni hwesio gemuk pendek Ki Keng Hosiang dan menyuruh muridnya untuk membawa surat itu dan membawa semua hwesio yang pernah melakukan pertempuran dengan pihak Kim-san-pai, bersama Liem Sun Hauw menuju ke Kim-san!

“Serahkan surat pinceng ini kepada Thian Beng Cu, sampaikan salamku dan serahkan pula semua anak murid Bu-tong-pai yang pernah bertempur. Katakan kepada Thian Beng Cu bahwa dia boleh saja menghukum anak-anak murid Bu-tong-pai ini sebagai seorang paman guru!”

Liem Sun Hauw memuji kebijaksanaan Guru Besar Bu-tong-pai yang sungguh-sungguh hendak melenyapkan permusuhan sampai habis dengan jalan menyuruh semua anak muridnya datang ke Kim-san-pai menerima hukuman. Demikianlah Liem Sun Hauw lalu pergi ke Kim-san-pai bersama anak murid Bu-tong-pai itu dan seperti telah dituturkan di bagian depan, rombongan ini ketika sampai di lereng Bukit Kim-san, disambut oleh Ang I Niocu!

Pada saat melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, Liem Sun Hauw menjadi terkejut, heran dan girang sehingga dia menyapanya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ang I Niocu sebaliknya menyindirnya, mengatakan pemuda ini menjadi ‘jago’ pihak Bu-tong-pai dan bermaksud untuk menghina Kim-san-pai.

Liem Sun Hauw menolak semua tuduhan itu dan menyatakan bahwa ia pun bertugas sama, yaitu mendamaikan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, tetapi Ang I Niocu marah bukan main. Marah karena sekarang ia tahu bahwa pemuda tampan ini adalah pemuda yang diusulkan oleh almarhum ayahnya untuk menjadi calon suaminya! Pemuda yang dicap menjadi penyebab kematian kekasihnya, Gan Tiauw Ki beserta kematian ayahnya.

Ang I Niocu menahan-nahan nafsu marahnya dan hanya memaki Sun Hauw dengan kata-kata pedas, “Kau bilang hendak mendamaikan, tetapi mengapa kau justru melukai dua orang tosu Kim-san-pai? Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke puncak Bu-tong-san? Kenapa pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu Kim-san-pai? Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?”

Sun Hauw seperti orang tuli. Dia tidak memperhatikan semua kata-kata itu dan sepasang matanya seperti kena hikmat, tanpa berkedip memandang bibir indah yang berkata-kata. Kecantikan Ang I Niocu yang luar biasa itu benar-benar membikin Sun Hauw seperti gila. Apa lagi kalau dia ingat betapa ayah dari gadis jelita ini sudah memilihnya menjadi calon mantu!

“Jawab pertanyaanku!” Ang I Niocu membentak marah, mukanya agak merah karena ia maklum apa artinya pemuda itu menjadi termenung seperti patung.

Ada pun tujuh orang hwesio Bu-tong-pai yang terpilih sebagai orang-orang bertanggung jawab dalam pertikaian terhadap Kim-san-pang adalah hwesio-hwesio yang tingkatnya sudah tinggi, yakni anak murid Lo Beng Hosiang sendiri. Mendengar desakan Ang I Niocu kepada Liem Sun Hauw, seorang di antara mereka membela Sun Hauw yang kelihatan ‘mati kutunya’ menghadapi nona baju merah itu.

“Ang I Niocu, harap jangan salah sangka terhadap Liem-sicu. Dia ini betul-betul penolong kami dan bermaksud baik…”

“Siapa menyangkal bahwa dia itu penolong Bu-tong-pai? Akan tetapi sekali-kali aku tak percaya dia ini menjadi pendamai! Menolong sepihak namun memusuhi pihak lain sama sekali bukan sifat seorang pendamai, karena dia berat sebelah dan menghina orang lain dengan mengandalkan kepandaiannya yang dia kira tidak ada keduanya di kolong langit! Aku datang sebagai pendamai antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai, sudah pasti sekali aku tidak mau menghina Bu-tong-pai juga tidak mau memusuhi Kim-san-pai.”

Liem Sun Hauw menjadi serba salah dan memang kepandaian kata-katanya telah lenyap entah ke mana setelah ia berhadapan dengan Ang I Niocu. Dalam pandangannya, segala gerak-gerik Ang I Niocu menarik hati dan menambah kemanisan dan kecantikannya. Kini dimarahi oleh Ang I Niocu, dia hanya tundukkan mukanya yang sebentar merah sebentar pucat, seperti seorang anak nakal dimarahi oleh ibunya.

“Lihiap, untuk meredakan permusuhan, sekarang pinceng sekalian datang ke sini hendak menghadap Locianpwe Thian Beng Cu, dan Liem-sicu yang bertugas sebagai pendamai dari Go-bi-pai, ikut sebagai perantara,” kembali hwesio itu membela Sun Hauw.

“Jika Losuhu bertujuh datang hendak menghadap Ketua Kim-san-pai untuk menjernihkan suasana, hal itu amat baik dan patut dipuji, dan memang demikianlah seharusnya kalau orang hendak memperbaiki hubungan satu sama lain. Aku pun sedang hendak berangkat menemui Lo Beng Hosiang untuk mendamaikan urusan. Akan tetapi orang she Liem ini biar di sini jangan ikut masuk, dia tidak akan mendamaikan urusan bahkan mungkin akan mengacau lagi!”

“Niocu harap kau suka maafkan aku…,” akhirnya Sun Hauw dapat bicara kembali setelah menenteramkan hatinya yang berguncang. “Memang aku telah berlaku terburu nafsu dan melukai dua orang tosu Kim-san-pai dalam pibu yang terjadi di Bu-tong-san. Oleh karena itu maka kedatanganku ini pun hendak memohon ampun kepada Locianpwe Thian Beng Cu dan bersama para Suhu ini hendak menyerahkan diri menerima hukuman. Sekarang baru Niocu saja sudah tidak dapat memaafkan, apa lagi para tosu Kim-san-pai. Biarlah kalau begitu kau bunuh saja aku untuk menebus dosaku terhadap Locianpwe Sin-taihiap Bu-Pun Su…” Sambil berkata demikian, Sun Hauw melolos pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Ang I Niocu.

Gadis itu tak mau menerima pedang, malah agak heran dan terkejut mendengar pemuda itu menyebut-nyebut nama Bu Pun Su. “Mengapa pula kau menyebut-nyebut nama Susiok-couw Bu Pun Su?” tanyanya wajar.

“Sesungguhnya, tugasku ini adalah kehendak Sin-taihiap Bu Pun Su yang menyampaikan pesannya kepada Susiok Twi Mo Siansu melalui utusannya, yakni Lo-enghiong Kiang Liat yang akhirnya menjadi sahabat baikku. Aku dipilih oleh Susiok untuk mengerjakan tugas ini, tak tahunya karena kebodohanku aku bahkan membuat keadaan jadi semakin buruk. Kalau Sin-taihiap Bu Pun Su mendengar akan hal ini, apakah aku masih dapat diampuni? Kalau Kiang Lo-enghiong yang baik hati dan mulia itu mendengar, bukankah aku bisa mati saking maluku?”

Tentu saja Sun Hauw sengaja menyebut-nyebut nama Bu Pun Su dan Kiang Liat untuk mengambil hati gadis yang kecantikannya telah merobohkan hatinya itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa semua kata-katanya itu bahkan merupakan garam yang diulaskan pada luka di dalam hati Ang I Niocu, mendatangkan rasa perih dan sakit karena mengingatkan ia akan semua peristiwa duka yang dialaminya. Hal ini bahkan menambah kebenciannya terhadap Sun Hauw sehingga kalau mungkin di saat itu juga ia memenggal leher pemuda itu.

Akan tetapi pada saat itu, dari puncak bukit datang Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai, diiringi oleh tosu-tosu muridnya, merupakan sebuah rombongan yang kereng dan agung. Para tosu Kim-san-pai yang berada di situ cepat memberi hormat kepada ketua mereka.

Dengan air muka tenang dan ramah, Thian Beng Cu memandang kepada para hwesio Bu-tong-pai yang tujuh orang itu, melempar pandang tak acuh kepada Sun Hauw, lalu berkata kepada para hwesio itu,

“Cu-wi Suhu dari Bu-tong-pai, harap tidak berkecil hati kalau pinto terlambat menyambut. Pesan apakah yang Cu-wi bawa dari sahabat Lo Beng Hosiang?”

Melihat sikap dan mendengar kata-kata Ketua Kim-san-pai ini, para hwesio Bu-tong-pai menjadi merah mukanya, malu kepada diri sendiri dan heran mengapa Ketua Kim-san-pai yang selama ini disangka sombong, ternyata seorang kakek yang baik hati dan ramah tamah. Serta merta mereka berlutut memberi hormat.

Kakek Kim-san-pai itu sudah begitu merendahkan diri, maka kini tanpa ragu-ragu lagi para hwesio Bu-tong-pai maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang tua yang berhati mulia dan tunduklah mereka.

Ki Keng Hosiang, pendeta gemuk pendek yang memimpin rombongan Bu-tong-pai itu lalu berkata, “Teecu bertujuh menerima titah Suhu untuk menghadap kepada Susiok, selain untuk menyerahkan surat serta menyampaikan salam dari Suhu, juga teecu yang sudah melakukan banyak dosa menghina saudara-saudara dari Kim-san-pai, sengaja datang menyerahkan diri untuk menerima hukuman.”

Thian Beng Cu menarik napas panjang, mengelus-elus jenggotnya. Wajahnya nampak gembira sekali dan apa bila diperhatikan, orang akan melihat sepasang matanya menjadi basah.

“Gurumu Lo Beng Hosiang adalah seorang bijaksana. Kalian tidak salah apa-apa, bahkan saudara-saudara mudamu dari Kim-san-pai yang keliru. Kesinikan surat dari suhu-mu supaya pinto dapat segera mengetahui petunjuk apa yang diberikan kepada pinto yang bodoh.”

Pada saat itu, Liem Sun Hauw yang merasa terharu menyaksikan pertemuan tokoh-tokoh dari kedua pihak yang saling mengalah, merasa malu terhadap Thian Beng Cu yang ternyata seorang kakek yang begitu halus dan baik hati. Ia pun lalu, berlutut dan berkata,

“Locianpwe, teecu Liem Sun Hauw utusan dari Go-bi-pai, karena cupat pengetahuan dan lancang, sudah salah tangan melukai dua orang tosu Kim-san-pai. Sekarang teecu sudah insyaf akan kesalahan sendiri dan menghadap untuk menerima hukuman.”

Thian Beng Cu menunda niatnya membaca surat dari Lo Beng Hosiang, memandang kepada Liem Sun Hauw dan mengangguk-angguk.

“Anak murid Go-bi-pai memang amat mengagumkan, masih begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi, dan berani pula bertanggung jawab atas perbuatannya. Liem-sicu, jika kau tidak datang mengakui kesalahanmu, memang nama baik Go-bi-pai akan tercemar, akan tetapi dengan pengakuanmu ini, segala apa sudah beres. Di dalam pibu, kalah atau menang sudah lumrah, terluka atau tewas bukan hal aneh. Antara kau atau Go-bi-pai dengan kami tidak ada urusan apa-apa, habis sampai di sini saja.”

Sun Hauw menjadi girang sekali, akan tetapi kata-kata itu membuat ia makin tunduk dan malu. Thian Beng Cu lalu membuka surat dari Lo Beng Hosiang. Selain permintaan maaf bagi murid-muridnya, di dalam surat itu Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa mengenai pembunuhan atas diri Lai Tek, sebenarnya bukanlah perbuatan anak murid Bu-tong-pai, dan menurut dugaan Lo Beng Hosiang, tentunya dilakukan oleh pihak ke tiga yang ingin mengadu-dombakan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Oleh karena itu, Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa penjahat atau pihak ke tiga inilah yang harus dicari.

Thian Beng Cu menghadapi Ang I Niocu yang masih berdiri di situ. Ketika melihat betapa para hwesio mengaku salah dan betul-betul datang hendak menerima hukuman, gadis ini juga menjadi girang dan terharu. Tak disangkanya bahwa tugasnya dapat selesai dengan demikian mudahnya, apa lagi ketika ia melihat Sun Hauw juga menerima salah dan rela dihukum, kebenciannya terhadap pemuda ini agak berkurang.

“Ang I Niocu, sebagai utusan Sin-taihiap Bu Pun Su, kau sudah mendengar dan melihat sendiri keadaan anak-anak murid Bu-tong-pai yang ternyata jauh lebih baik dibandingkan anak-anak murid Kim-san-pai. Karena kedatangan mereka inilah, maka segala kesalah pahaman telah dapat dibikin beres dan dihabiskan sampai di sini saja. Di dalam suratnya ini, Lo Beng Hosiang juga menyatakan bahwa pihak Bu-tong-pai betul-betul tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap diri Lai Tek, dan menduga bahwa tentu ada pihak ke tiga yang melakukan perbuatan itu untuk mengadu domba antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Tidak tahu bagaimanakah baiknya kalau menurut pendapat Niocu?”

“Soalnya sudah jelas bahwa memang tentu ada penjahat yang membunuh Lai Tek dan berbuat seakan-akan yang melakukan hal itu adalah dari pihak Bu-tong-pai. Akan tetapi, perbuatan penjahat itu mendatangkan kerugian lebih besar kepada pihak Bu-tong-pai dari pada kepada Kim-san-pai. Lai Tek anak murid Kim-san-pai tewas sebagai orang gagah dan tidak ada kecewanya, sebaliknya dengan perbuatan itu, nama baik Bu-tong-pai jadi tercemar. Oleh karena itu, menurut pikiranku, sudah menjadi kewajiban Bu-tong-pai untuk menyelidiki hal ini dan menangkap pembunuhnya. Sungguh pun begitu, demi kembalinya hubungan baik di antara kedua partai, yang sudah menjadi tugas yang kupikul menurut perintah Susiok-couw, aku akan turut berusaha pula untuk membongkar rahasia ini dan membekuk penjahatnya.”

Sun Hauw melompat berdiri, menjura kepada Thian Beng Cu, lalu menghadapi Ang I Niocu sambil berkata cepat, “Niocu, cocok sekali petunjukmu tadi. Memang sudah seharusnya Bu-tong-pai mencuci bersih namanya dari perbuatan terkutuk penjahat yang membunuh Lai Tek itu. Dan untuk pekerjaan ini, biarlah aku yang akan melakukannya. Aku telah berlaku lancang dan biar pun aku diberi tugas menjernihkan suasana antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, ternyata aku bahkan mengeruhkan suasana. Sekarang ada pekerjaan ini, maka biarlah aku yang diwajibkan, hitung-hitung menebus dosaku!”


JILID 20

Ang I Niocu memandang kepada pemuda itu dengan tajam dan diam-diam ia harus akui bahwa Liem Sun Hauw adalah seorang pemuda yang bersemangat dan gagah. Pantas saja ayah suka kepada pemuda ini dan hendak menjodohkannya dengan aku, pikirnya. Kebenciannya terhadap pemuda itu makin berkurang saja.

“Bagaimana, Locianpwe? Apakah Locianpwe dapat menyetujui jika teecu yang mencoba untuk menangkap penjahat pembunuh Lai Tek-enghiong itu?” tanya Sun Hauw kepada Thian Beng Cu dengan suara mendesak.

Thian Beng Cu mengangguk-angguk dan tersenyum. “Liem-sicu, kau memang gagah dan kiranya tepat kalau kau yang mencarinya. Untuk hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ang I Niocu tadi, pinto serahkan saja urusan ini kepada pihak Bu-tong-pai. Pinto hanya bisa menyampaikan terima kasih atas maksudmu yang mulia ini, Liem-sicu.”

“Kalau demikian, perkenankan teecu berangkat sekarang untuk membekuk batang leher pembunuh Lai Tek-enghiong!” kata Sun Hauw penuh semangat sambil mengerling pada Ang I Niocu.

Tiba-tiba terdengar suara orang, lemah-lembut terdengarnya, “Tidak usah, tidak usah… penjahat itu telah tertangkap…!”

Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di sana berdiri seorang tosu yang usianya kurang lebih lima puluhan tahun, gerak-geriknya halus, akan tetapi sinar matanya tajam berpengaruh.

“Eng Yang Cu-sute… kau baru datang…?” Thian Beng Cu berkata dengan suara girang. “Dan betulkah penjahat itu telah tertangkap?”

Tosu itu bukan lain adalah Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai yang menjadi sute termuda dari Thian Beng Cu dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada semua tokoh Kim-san-pai lainnya, akan tetapi yang selalu merantau. Tosu itu memberi hormat kepada suheng-nya lalu berkata,

“Memang benar, penjahat itu bukan lain adalah Siang-hek-pian (Sepasang Pian Hitam) Bwee Cat. Seperti Suheng tentu masih ingat, dahulu Siang-hek-pian Bwee Cat pernah memusuhi Kim-san-pai dan pernah jatuh oleh siauwte. Agaknya ia mengandung dendam sakit hati dan melihat salah paham yang timbul antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, dia lalu turun tangan, menewaskan muridku Lai Tek kemudian menggunakan nama Bu-tong-pai untuk mengadu domba.”

“Sute yang baik, bagaimana kau bisa mengetahui ini semua dan bagaimana kau bilang bahwa dia itu sudah tertangkap?” tanya Thian Beng Cu dengan girang, sedangkan wajah Liem Sun Hauw menjadi muram sekali mendengar bahwa penjahat yang menjadi biang keladi pertikaian itu telah tertangkap.

“Dalam perantauan siauwte mendengar mengenai pertikaian antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai dan siauwte sudah mendengar pula sebab-sebab pertikaian itu. Siauwte tidak percaya bahwa Bu-tong-pai akan dapat berlaku sekeji itu, maka siauwte teringat kepada Siang-hek-pian Bwee Cat. Apa bila ada orang yang hendak mencelakakan Kim-san-pai, kiranya hanya penjahat itulah yang menaruh dendam dan pernah menjadi pecundang. Siauwte lalu mencarinya dan sesudah berjumpa, betul saja bahwa dia yang melakukan pembunuhan terhadap Lai Tek, katanya untuk memancing siauwte supaya mencarinya. Kami bertempur dan ternyata selama ini ia telah mempertinggi ilmunya sehingga hampir saja siauwte kalah dan celaka dalam tangannya. Tidak heran bila Lai Tek mudah saja ia tewaskan, tidak tahunya penjahat itu sudah berguru lagi semenjak kalah di Kim-san-pai. Masih baik nasib siauwte, pada saat itu datang dua orang bersaudara, yakni Kang Bok Sian dan Kang Eng Sian. Dua orang pendekar muda ini ternyata adalah anak-anak murid Bu-tong-pai dan mereka pun telah mendengar pula tentang pertikaian antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Dari orang-orang kang-ouw mereka mendengar tentang Siang-hek-pian Bwee Cat yang menyombongkan perbuatannya, yakni sudah membunuh Lai Tek murid Kim-san-pai. Karena dua orang saudara Kang yang gagah perkasa itu telah mendengar pula akan sebab pertikaian kedua partai mereka lalu mengerti bahwa biang keladinya adalah Bwee Cat dan mencarinya. Kebetulan sekali siauwte terdesak dan mereka berdua turun tangan membantu. Barulah penjahat itu dapat dirobohkan, sayang sekali dalam keadaan tewas sehingga tidak mungkin siauwte seret ke sini untuk membuat pengakuan.”

Thian Beng Cu menggeleng-geleng kepalanya. Kemudian ia menoleh kepada para anak muridnya dan kepada tujuh orang hwesio Bu-tong-pai yang berada di situ, lalu berkata dengan suaranya yang halus berpengaruh,

“Kalian para murid-murid Kim-san-pai dan murid-murid Bu-tong-pai dengarlah baik-baik. Penuturan sute-ku Eng Yang Cu ini menjadi cermin bagi kalian. Kalian yang berada di sini ribut-ribut saling menuduh dan saling menyerang menurutkan hati panas. Sebaliknya Eng Yang Cu dan dua orang saudara Kang sebagai murid-murid Kim-san-pai dan Bu-tong-pai yang jauh dari sini, bahkan sudah bekerja sama untuk menangkap penjahat. Murid-murid Kim-san-pai, kalian tirulah sikap susiok kalian ini dan murid-murid Bu-tong-pai harap suka meniru perbuatan kedua saudara Kang yang gagah perkasa.”

Sementara itu, Liem Sun Hauw lalu berkata kepada Thian Beng Cu dengan muka muram,

“Locianpwe, ternyata bahwa teecu seorang yang tidak ada gunanya sama sekali, kalau lebih lama di sini hanya akan mengotorkan tempat saja. Mohon maaf sebanyaknya dan perkenankan teecu pergi. Cuwi Suhu dari Bu-tong-pai, tolong sampaikan rasa hormatku kepada Locianpwe Lo Beng Hosiang di Bu-tong-pai. Nona Ang I Niocu, aku telah banyak melakukan kesalahan terhadapmu, maaf…”

Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Liem Sun Hauw melompat dan pergi dari situ, berlari turun dari lereng Bukit Kim-san-pai.

Semua orang memandang dengan bengong dan diam-diam merasa kasihan juga kepada pemuda tampan dan gagah itu yang sebenarnya bukan bertindak salah, hanya kurang teliti dan kurang hati-hati.

“Saudara Liem, tunggu dulu!” Ang I Niocu berseru dan di lain saat dia sudah melompat sambil berkata, “Totiang, maafkan aku tak dapat lebih lama lagi tinggal di sini!”

Sebelum Ketua Kim-san-pai menjawab, tubuhnya sudah lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebat dan meluncur turun gunung.

“Siapa mereka itu?” tanya Eng Yang Cu kagum sekali melihat kehebatan dua orang muda itu.

“Yang pertama adalah Liem Sun Hauw, murid mendiang Thian Mo Siansu dari Go-bi-pai untuk mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Yang ke dua tadi adalah Ang I Niocu, puteri dari Jeng-jiu-sian Kiang Liat, Bu Pun Su adalah susiok-couw-nya dan dia pun datang atas perintah Bu Pun Su untuk maksud yang sama, yakni mendamaikan kedua partai.”

Eng Yang Cu menarik napas panjang. “Ahhh, anak-anak muda sekarang memang hebat. Kepandaian mereka tadi benar lihai, apa lagi nona baju merah tadi, ginkang-nya sudah sampai di tingkat yang melebihi kita…”

Semua yang ada di situ mengangguk-angguk. Sunyi sepi di tempat itu, hanya beberapa kali terdengar suara orang menarik napas panjang.

*****

Liem Sun Hauw merasa amat malu. Ia kecewa sekali karena usahanya melakukan tugas yang diserahkan kepadanya oleh Twi Mo Siansu selalu menemui kegagalan. Dia bahkan membuat suasana semakin keruh dan sebelum ia dapat menebus kesalahannya, dengan menangkap biang keladi permusuhan, ia telah didahului oleh Eng Yang Cu!

Saking malu dan kecewanya dia lalu meninggalkan Kim-san-pai. Yang membuat dia malu sesungguhnya bukan terhadap orang lain, melainkan terhadap Ang I Niocu. Dia sudah tertarik dan jatuh hati kepada gadis ini, apa lagi setelah dia tahu bahwa gadis itulah yang dicalonkan menjadi isterinya oleh Kiang Liat. Dan sekarang di depan gadis itu ia kelihatan sebagai seorang yang bodoh!

Biar pun ia berlari cepat sekali, sebentar saja ia tersusul oleh Ang I Niocu. Tadi Sun Hauw mendengar suara panggilan Ang I Niocu, akan tetapi ia mengira bahwa gadis yang cantik tapi galak itu akan menyalahkan dan menyindirnya, maka ia tidak mau berhenti sebelum jauh dari para tokoh Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.

Selain ini dia pun hendak menguji ilmu lari cepat dari gadis itu dan diam-diam dia segera mengerahkan ilmu lari cepat yang paling diandalkan, yakni Liok-te Hui-teng (Lari Seperti Terbang di Atas Bumi), karena ia tahu bahwa gadis itu mengejarnya.

Akan tetapi alangkah kagumnya ketika tak lama kemudian gadis itu sudah menyusulnya. Bayangan merah berkelebat di samping kanannya dan di lain saat gadis itu telah berdiri beberapa tombak jauhnya di sebelah depan, tersenyum menghadang di jalan.

Ang I Niocu sengaja mengejar Sun Hauw karena gadis ini ingin sekali mendengar dari pemuda ini mengenai hubungan ayahnya dengan pemuda ini. Ingin dia mengetahui bagai mana pemuda ini bertemu dengan ayahnya dan bagaimana pula ayahnya sampai punya maksud menjodohkan dia dengan pemuda itu.

Selain ini, ia pun agak menyesal atas sikapnya yang menghina dan keras terhadap Sun Hauw, dan sekarang ternyata bahwa sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang yang menyombongkan kepandaian dan sengaja membantu Bu-tong-pai melakukan penghinaan terhadap Kim-san-pai. Semua pertengkaran yang terjadi hanya timbul diakibatkan kesalah pahaman.

Sungguh pun pada mukanya terbayang kemuraman, namun di dalam hatinya Sun Hauw merasa girang sekali melihat gadis itu. “Nona, apakah kau masih merasa penasaran? Aku sudah mengaku salah dan…”

“Saudara Liem, jangan kau salah sangka. Tadi kau menyebut nama ayahku. Di mana kau pernah bertemu dengan Ayah dan kapankah? Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang Ayah.”

Seketika wajah Sun Hauw berseri, hatinya berdebar-debar girang dan dia menarik napas lega.

“Aku bertemu kemudian berkenalan dengan ayahmu yang gagah perkasa dan mulia itu di Go-bi-san,” dia mulai bercerita, “ketika aku menghadap Susiok Twi Mo Siansu, kebetulan ayahmu datang dan menyampaikan pesan dari Sin-taihiap Bu Pun Su kepada Susiok-ku. Susiok lalu memilih aku untuk berusaha mendamaikan pertikaian antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai dan hal ini menimbulkan iri hati dan tidak senangnya beberapa orang anak murid Go-bi-pai. Aku sendiri biar pun anak murid Go-bi-pai, akan tetapi suhu-ku adalah seorang perantau dan hampir tidak mempunyai hubungan lagi dengan Go-bi-pai.”

Kemudian Sun Hauw menuturkan bagaimana dia telah diserang oleh tokoh Go-bi-pai Tek Le Tojin dan hampir celaka kalau saja dia tidak ditolong oleh Kiang Liat. Dan bagaimana perjalanannya ke Bu-tong-pai tertunda dan terlambat karena dia singgah di kampungnya dan terpaksa menunda perjalanan ke Bu-tong-san sebab dia harus terlebih dulu merawat ayahnya yang sedang sakit payah. Semua peristiwa ini sudah dituturkan di bagian depan dan kiranya tak perlu diulang pula.

“Demikianlah, Nona. Apakah ayahmu sudah pulang ke Sian-koan dan apakah kau telah bertemu dengan orang tua yang mulia itu?” Sun Hauw menutup penuturannya dan balas bertanya.

Ang I Niocu tak dapat menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa bagai ditusuk-tusuk karena teringatlah dia akan segala peristiwa antara dia dan ayahnya yang menyebabkan kematian ayahnya.

Sun Hauw makin berdebar. Kalau gadis ini sudah bertemu dengan ayahnya, tentu sudah mendengar pula mengenai maksud pertalian jodoh itu. Matanya bersinar-sinar, mukanya merah ketika ia menatap wajah dara cantik jelita yang berdiri sambil menundukkan muka di depannya itu.

“Syukurlah jika ayahmu telah pulang, Nona. Kuharap saja orang tua yang gagah perkasa itu dalam sehat-sehat dan selamat. Ah, alangkah inginku menghadap Kiang-lo-enghiong, alangkah rindu hatiku bertemu muka dengan dia lagi. Aku amat menghormat dan memuja ayahmu, Nona, selembar nyawaku ini masih bisa berada di dalam tubuhku hanya berkat pertolongan ayahmu.”

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan sungguh-sungguh ini, Ang I Niocu menjadi sangat terharu. Ia meramkan kedua matanya dan merasa hatinya perih sekali. Ketika ia membuka lagi kedua matanya, ia tak dapat menahan air matanya yang mengucur deras. Cepat-cepat ia menggunakan ujung lengan baju untuk menutupi matanya dan mengusap air matanya.

“Ang I Niocu… kau kenapa…? Maafkan kalau aku kesalahan bicara…” Sun Hauw berkata kaget.

Ang I Niocu dapat menekan perasaannya dan kini menjadi tenang kembali. “Saudara Liem, harap kau maafkan kelemahanku. Sebenarnya, perlu kiranya kau ketahui bahwa Ayah telah meninggal dunia tujuh bulan yang lalu.”

Tiba-tiba muka Sun Hauw menjadi pucat dan ia merasa seperti kehilangan semangatnya. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan biar pun ia tidak mengeluarkan suara, kedua pundaknya bergerak-gerak dan tahulah Ang I Niocu bahwa pemuda ini telah menangis!

Diam-diam ia menjadi terharu hadap pemuda ini, sekarang perasaan benci lenyap dan ia harus mengakui bahwa kecuali mendiang Gan Tiauw Ki, pemuda ini merupakan seorang pemuda pilihan dan baik, yang pernah ditemuinya.

“Gakhu…,” terdengar kata-kata dari mulut pemuda itu, hanya perlahan sekali

Wajah Ang I Niocu menjadi merah sekali ketika mendengar pemuda itu mengeluarkan kata-kata sebutan gakhu (ayah mertua) itu, akan tetapi kata-kata itu diucapkan perlahan sekali dan agaknya pemuda itu menahan hatinya supaya tidak mengeluarkan suara. lagi.

Memang di samping keharuan dan kesedihannya, Sun Hauw juga merasa bimbang dan gelisah. Calon mertuanya sudah meninggal dunia, apakah nona ini sudah tahu tentang perjodohan yang diikat? Bagaimana kalau Nona ini belum diberi tahu oleh ayahnya.

Ingin sekali ia bertanya kepada Ang I Niocu tentang ini, akan tetapi tentu saja ia merasa malu dan sungkan. Sebaliknya ia lalu menenangkan hatinya, diam-diam ia mengeringkan air matanya, lalu bangkit berdiri lagi. Kedua matanya masih basah dan mukanya merah.

“Niocu…,” suaranya serak dan pandang matanya kepada Ang I Niocu penuh perasaan kasih dan iba, “sungguh aku ikut berduka cita dan betapa kaget hatiku mendengar warta yang menyedihkan ini. Niocu, ayahmu demikian sehat dan gagah perkasa ketika bertemu dengan aku, bagaimana ia bisa meninggal dengan mendadak? Apa sebabnya?”

Jika saja masih ada kemarahan dan kebencian dalam hati Ang I Niocu terhadap pemuda ini, tentu dia akan menjawab dengan makian dan tuduhan bahwa pemuda inilah yang menjadi gara-gara kematian ayahnya. Akan tetapi sikap Sun Hauw mendatangkan kesan baik dalam hati Ang I Niocu dan gadis itu hanya menjawab singkat,

“Ayah meninggal karena sakit pada bagian jantungnya.”

Keduanya lalu berdiam diri agak lama. Sun Hauw tidak tahu harus berbuat atau berkata apa untuk menghibur nona itu. Akhirnya ia hanya dapat bertanya dengan perlahan,

“Niocu, apakah… apakah mendiang ayahmu ada meninggalkan sesuatu pesanan untuk aku…?”

Tentu saja Ang I Niocu dapat menangkap maksud dari pertanyaan itu, tentu pemuda ini hendak bertanya tentang maksud perjodohan yang direncanakan ayahnya. Akan tetapi ia hanya menggeleng kepala dan tidak berkata apa-apa.

“Niocu, apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?”

Kembali Ang I Niocu menggeleng kepalanya.

“Kau sebatang kara di dunia ini?” pertanyaan ini penuh perasaan iba.

Ang I Niocu mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara karena tahu bahwa suaranya tentu akan gemetar. Pertanyaan-pertanyaan ini telah membangkitkan kesedihan hatinya. Sampai lama Sun Hauw diam saja, penuh bimbang, ragu dan iba.

“Niocu, aku hendak melaporkan urusan Bu-tong-pai dan Kim-san-pai yang sudah selesai itu kepada Susiok di Go-bi-pai, setelah itu aku akan menghadiri pertemuan yang hendak diadakan oleh Sin-taihiap Bu Pun Su. Kalau aku boleh bertanya, kau hendak ke mana?”

“Aku juga harus menghadiri pertemuan di puncak Gunung Thai-san, seperti yang dipesan oleh Susiok-couw Bu Pun Su.”

Wajah Sun Hauw berseri. “Kalau begitu, Niocu, apa bila kau tak menganggap aku terlalu lancang dan kurang ajar, maukah kau mengijinkan aku mengiringkan perjalananmu? Kita sejalan, dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau dibolehkan melakukan perjalanan bersamamu.”

Karena sikap pemuda itu memang sangat baik dan menyenangkan hatinya, Ang I Niocu tidak merasa keberatan. Di atas dunia ini ia memang hidup sebatang kara, tiada keluarga tiada teman, sekarang ada pemuda yang baik hati dan sopan ini, mengapa dia menolak perjalanan bersama? Sedikitnya dia akan dapat menyelidiki dan mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya dari pemuda yang menjadi pilihan ayahnya ini.

Maka berangkatlah dua orang muda itu menuruni Bukit Kim-san dan dengan kepandaian mereka yang tinggi, mereka perjalanan cepat sekali. Sikap Sun Hauw benar-benar amat sopan dan baik sehingga Ang I Niocu makin suka kepadanya, meski pun sukar dikatakan bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya. Sesudah kehilangan ayahnya dan Gan Tiauw Ki, memang amatlah sukar bagi Ang I Niocu untuk dapat mencinta pemuda lain.

Memang Sun Hauw seorang pemuda yang baik dan gagah. Tidak saja dia telah memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi dia juga amat pandai membawa diri. Perjalanan yang selama berbulan-bulan bersama Ang I Niocu menjadi ujian baginya. Walau pun dia sudah tergila-gila kepada Ang I Niocu, mabuk oleh kecantikan gadis ini yang memang sungguh luar biasa sehingga dia mencinta gadis ini dengan sepenuh hati dan perasaannya, tetapi belum pernah dia memperlihatkan sikap yang kurang ajar dan melanggar tata susila.

Bahkan, biar pun sepasang matanya selalu menyorotkan sinar cinta kasih yang berkobar-kobar, tetapi bibirnya tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun tentang perasaan yang terkandung dalam hatinya itu. Tiap malam, kalau Ang I Niocu sudah pulas di dalam kamar lain di penginapan, atau di dalam kamar pada sebuah kelenteng kosong di mana mereka bermalam, Sun Hauw gelisah tak dapat tidur.

Kadang-kadang dia hanya duduk bersandar pada meja sembahyang di dalam kelenteng dan melamun! Tentu saja yang terbayang hanyalah Ang I Niocu yang gagah perkasa dan cantik jelita, dan terbayanglah pula pertemuannya yang pertama kali dengan dara pujaan hatinya itu.

Kadang-kadang pemuda ini menjadi muram wajahnya, penuh kegelisahan dan kedukaan, kalau dia teringat betapa akan sengsara hidupnya kalau gadis itu kelak menolaknya! Dia pun merasa bingung mencari jalan bagaimana untuk bicara dengan Ang I Niocu tentang kehendak mendiang Kiang Liat mengenai tali perjodohan itu.

Oleh karena nama Ang I Niocu sudah mulai terkenal, apa lagi semenjak dia membasmi gerombolan perampok di Bukit Min-san itu, tidak ada penjahat yang berani sembarangan mengganggunya dalam perjalanan itu. Lebih-lebih karena di situ ada Liem Sun Hauw dan pemuda ini yang sudah lama merantau di dunia kang-ouw bersama mendiang suhu-nya, juga merupakan tokoh yang terkenal dan ditakuti penjahat.

Para kaum liok-lim mempunyai mata yang sangat awas dan telinga yang tajam. Mereka tak mau mengganggu orang-orang gagah yang sekiranya malah akan merugikan mereka sendiri.

Ketika mereka tiba di jalan simpangan yang dekat dengan kampung tempat tinggal Sun Hauw, pemuda itu berkata, “Nah, di sinilah jalan yang menuju ke rumah ayahku, Niocu. Kau tentu tidak keberatan apa bila kita singgah sebentar, bukan? Aku harus menengok keadaan Ayah karena ketika kutinggalkan, dia baru saja sembuh dari sakit.”

Hal ini memang sering kali dikemukakan oleh Sun Hauw dalam perjalanan, yakni bahwa pemuda itu hendak singgah di kampung halamannya. Ang I Niocu tidak keberatan dan ia memang ingin sekali melihat keadaan keluarga pemuda ini.

Mereka membelok dan dengan cepat menuju ke kampung Peng-kan-mui. Akan tetapi, ketika mereka sampai di luar kampung itu, tiba-tiba Sun Hauw menghentikan kakinya dan mukanya berubah. Ang I Niocu juga berhenti dan menoleh, memandang heran kepada pemuda itu.

“Mengapa kita berhenti di sini?” tanyanya.

Mendadak Sun Hauw teringat akan sesuatu yang membuat hatinya berdebar cemas dan yang membuatnya tiba-tiba berhenti. Ia teringat akan Siok Lan, gadis yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi isterinya!

Ia mengajak Ang I Niocu ke rumahnya, bahkan bermaksud minta kepada ayahnya agar melamar gadis ini sebagai calon isterinya. Namun bagaimana dengan Siok Lan? Karena dahulu ayahnya sudah menetapkan perjodohannya dengan Siok Lan, maka urusan ini menjadi sulit dan harus dipecahkan dengan perlahan.

Kalau ia mengajak Ang I Niocu ke rumah ayahnya, bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tak dikehendakinya? Bagaimana kalau andai kata ayahnya marah-marah dan Ang I Niocu mendengar tentang pertunangannya dengan Siok Lan? Bisa ribut dan tentu Ang I Niocu akan tersinggung, akan marah!

“Niocu, baru sekarang aku ingat dan betapa pun besar malu dan kecewaku kepadamu, terpaksa hal ini harus kukemukakan secara terus terang padamu. Kau tahu bahwa Ayah adalah seorang dusun yang kuno dan pendiriannya masih kolot. Kalau tiba-tiba saja aku datang bersama engkau, tentu ia akan menduga yang bukan-bukan dan mengira bahwa aku sudah menyeleweng. Hal ini bukan saja tidak baik bagiku, juga akan menyinggung perasaanmu. Oleh karena itu, aku harap kau sudi memaafkan aku, Niocu. Biarlah nanti aku yang masuk terlebih dahulu, memberi tahukan tentang perjalananku dan mengenai kunjunganmu, agar orang tua itu tidak salah paham dan bisa menyambut kunjunganmu.”

Wajah Ang I Niocu menjadi merah. Akan tetapi bagaimana dia bisa marah? Pemuda ini bicara dengan begitu terus terang dan secara terbuka, sehingga sama sekali tidak dapat disebut menghinanya, bahkan telah melindunginya dari keadaan yang benar-benar akan dapat menyinggung dan menghinanya, misalnya kalau tiba-tiba ayah pemuda itu lantas memaki-maki puteranya di depannya, tentu hal ini akan membuat dia merasa terhina. Oleh karena itu ia pun, tersenyum manis sekali dan berkata,

“Aku mengerti, Saudara Liem. Tidak apa, karena memang aku tidak berhak mengganggu orang tua itu. Kau masuklah ke kampung dan tengok orang tuamu. Biar aku berjalan-jalan di kampung ini melihat-lihat. Kiranya setengah hari cukup untuk melepas rindu kepada ayahmu, bukan? Nah, sekarang masih pagi. Nanti lewat tengah hari kita bertemu pula di luar kampung ini untuk melanjutkan perjalanan.”

Sun Hauw tidak berani banyak membantah. Masuklah dua orang muda itu ke kampung Peng-kan-mui dalam keadaan berpisah. Sun Hauw membelok ke kanan dan Ang I Niocu membelok ke kiri.

Kampung itu besar juga sehingga Ang I Niocu takkan merasa kesepian selama menanti Sun Hauw menyelesaikan kunjungannya ke rumah. Dia berjalan perlahan di sepanjang jalan kampung itu, tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang terheran-heran dan kagum melihatnya.

*****

Di bawah sebatang pohon di belakang rumahnya, Tang Siok Lan berdiri dan termenung. Gadis manis ini kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang membelai-belai batang pohon dengan jari-jari tangannya yang halus. Baru saja ia mendengar warta girang, warta yang dianggapnya paling baik di antara segala berita. Warta tentang datangnya Liem Sun Hauw, kekasih dan tunangannya!

Ia sudah ‘jatuh hati’ kepada Liem Sun Hauw semenjak ia masih kecil! Teringat ia ketika dahulu, sama-sama masih seorang anak berusia sekitar enam atau tujuh tahun, ia selalu bermain-main dengan Sun Hauw di tempat ini, di kebun rumahnya di mana setiap hari Sun Hauw selalu datang mengajaknya bermain-main.

Semenjak kecilnya, Sun Hauw memang sudah gagah atau setidak-tidaknya bercita-cita menjadi seorang gagah. Sering kali Sun Hauw membuat kuda-kudaan dari batang pohon, lalu berlari-lari ‘naik kuda’ dengan lagak seorang pahlawan berangkat ke medan perang! Dan di tengah jalan ia melambai-lambaikan tangan kepada Siok Lan yang dibalas dengan lambaian tangan pula. Sering kali mereka bermain-main, Sun Hauw menjadi pangeran dan Siok Lan menjadi puterinya, sang pangeran menolong sang puteri yang ditawan oleh penjahat!

Siok Lan tersenyum dan kadang-kadang tertawa kecil menutupi mulut dengan tangannya kalau dia teringat akan semua ini. Sekarang Sun Hauw sudah pulang! Sedangkan ayah Sun Hauw dan ayahnya sendiri sudah setuju bahwa kalau Sun Hauw pulang, pernikahan antara dua orang muda ini akan segera dilangsungkan.

Tiba-tiba pintu belakang rumah itu terbuka dan seorang wanita muda yang cantik juga datang berlari-lari sambil tertawa,

“Siok Lan, kau sedang apa di situ? Mengapa kau tidak lekas-lekas berganti pakaian dan membereskan rambutmu? Sebentar lagi tentu dia akan datang ke sini…!” kata wanita itu yang ternyata adalah kakak ipar dari Siok Lan.

“Ahhh… Soso suka menggoda orang…,” jawab Siok Lan dan mukanya yang putih halus menjadi merah, lesung di atas tahi lalat yang berada di dagu kirinya segera membayang, menambah kemanisannya.

Dua orang wanita ini lalu bersendau-gurau dan Siok Lan digoda terus oleh kakak iparnya. Keduanya tertawa-tawa gembira tidak tahu bahwa tak jauh dari situ dua orang mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.

*****

Bila di rumah Siok Lan terjadi hal yang menggembirakan, sebaliknya di rumah Sun Hauw terjadi hal yang ribut. Terdengar ayah pemuda itu berteriak-teriak marah, diselingi suara Sun Hauw yang tenang dan lemah-lembut, agaknya hendak menghibur ayahnya.

Akhirnya dengan suara yang menyatakan kekecewaan, kemarahan, dan kedukaan, ayah pemuda itu berkata, “Sudahlah, Sun Hauw. Kalau kau berkukuh, aku pun tak dapat memaksa, karena kaulah yang akan menikah. Akan tetapi, untuk membatalkan ikatan jodoh dengan keluarga Tang, harus kau sendiri yang datang memberi tahukan. Aku tidak sampai hati, aku tidak tega membikin malu dan susah Siok Lan, anak yang baik itu… Baru saja dia masih demikian lincah gembira… penuh harapan, sekarang kau hendak menghancurkan hatinya…”

“Ayah, sesungguhnya anak pun merasa amat kasihan kepada Siok Lan. Akan tetapi apa daya, Ayah. Anak merasa lebih cocok dan anak mencintai Ang I Niocu, seorang wanita gagah yang lebih sesuai dengan keadaan anak sendiri. Mengenai Siok Lan, biarlah anak anggap sebagai adik sendiri dan kelak anak yang akan mencarikan calon suami.”

“Masa bodoh… masa bodoh… anak muda sekarang memang tidak kenal budi!”

Biar pun secara terpaksa sekali harus mendapat persetujuan ayahnya, Sun Hauw girang juga bahwa akhirnya ayahnya menyerahkan hal perjodohan ini kepadanya. Dia lalu cepat meninggalkan rumahnya dan menuju ke rumah Siok Lan. Ia harus bertindak cepat karena khawatir kalau membuat Ang I Niocu terlalu lama menunggu.

Akan tetapi, sesudah dia sampai di dekat rumah Siok Lan, hatinya merasa berdebar juga. Bagaimana dia harus menyampaikan hal yang amat pahit bagi Siok Lan itu? Lebih baik kusampaikan kepada Siok Lan sendiri, pikirnya.

Untuk menyampaikan hal ini kepada ayah Siok Lan, atau kakak Siok Lan, ia merasa lebih sukar lagi karena hubungannya dengan mereka ini kurang erat. Semenjak kecil memang kakak Siok Lan itu bekerja di kota lain dan pulang-pulang sudah membawa isteri. Akan tetapi kalau dengan Siok Lan, semenjak kecil ia memang sudah kenal baik sehingga biar pun amat berat rasa hati menyampaikan hal yang menghancurkan perasaan gadis itu, namun masih lebih mudah apa bila dibandingkan dengan menyampaikan kepada ayah atau kakaknya.

Ketika Sun Hauw melompati pagar belakang rumah, ternyata dia mendapatkan Siok Lan tengah duduk seorang diri di bawah pohon. Kebetulan sekali, setelah bergurau dengan kakak iparnya yang barusan menggodanya, kakak ipar itu kembali ke dalam rumah untuk melanjutkan pekerjaan rumah tangga. Siok Lan kemudian melamun seorang diri di dalam kebunnya, mengambil keputusan di dalam hatinya, hanya akan keluar kalau Sun Hauw sudah datang berkunjung ke rumahnya.

Akan tetapi kini ia telah berganti pakaian seperti yang dinasehatkan oleh kakak iparnya tadi, dan rambutnya yang hitam halus dan panjang sudah disisirnya rapi. Mukanya yang jarang dibedaki, karena ia memang bukan seorang pesolek, akan tetapi yang putih dan halus, kini bertambah menarik dengan bedak tipis-tipis, ada pun senyumnya tidak pernah meninggalkan bibirnya. Saat-saat seperti ini, menunggu datangnya kekasih hati, memang merupakan saat paling bahagia bagi seorang dara.

Ketika melompat turun ke dalam kebun itu, untuk sesaat Sun Hauw berdiri tertegun. Ia terharu. Teringat ia akan masa kanak-kanak dahulu. Setiap kali dia pun memasuki kebun Siok Lan dengan cara seperti ini. Hanya bedanya, kalau dulu ia masuk menerobos pagar kebun yang rusak, adalah sekarang dengan mudahnya dia dapat melompati pagar tanpa mengeluarkan suara.

“Siok Lan…” Ia memanggil dengan nada suara seperti dahulu ketika masih kecil pula.

Gadis itu terkejut, serasa dalam mimpi. Seperti pada waktu dahulu, dia pun tersenyum, menoleh dan memandang ke Sun Hauw.

“Hauw-ko… kau baru datang…?” Kemudian ia teringat bahwa mereka bukan kanak-kanak lagi, maka merahlah mukanya dan disambungnya dengan kata. kata itu, “Ehh, mengapa kau datang dari belakang?”

Sun Hauw makin terharu melihat wajah wanita itu tersenyum bahagia, sepasang mata yang sudah dikenalnya baik semenjak kanak-kanak itu berseri seri, akan tetapi ia tidak bisa membalas senyum dan wajahnya nampak muram.

“Aku sengaja datang dari belakang untuk bertemu dan bicara dengan kau, Siok Lan.”

Dia lalu menghampiri gadis itu dan mulai mengucapkan kata-kata yang sudah dirangkai dan dihafalkannya di sepanjang jalan tadi.

“Siok Lan, semenjak kita masih kanak-kanak, kita sudah menjadi sahabat baik, bahkan boleh dibilang sudah seperti kakak beradik saja. Oleh karena itu, biarlah sekarang kau anggap aku bicara selaku kakakmu dan bagi aku, lebih baik aku bicara sendiri denganmu dari pada dengan ayah atau kakakmu. Sebagai seorang kakak aku hendak bicara terus terang saja, demi kebaikan kita berdua dan demi kebaikan keluarga kita. Kau tahu bahwa selamanya aku menganggap kau sebagai adikku, karena aku sendiri tidak mempunyai saudara. Akan tetapi, ketika aku pulang tadi, aku mendengar dari Ayah bahwa antara kita telah diikat tali perjodohan.”

Mendengar ini Siok Lan menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali sampai ke telinga dan lehernya. Ia tidak berani bergerak, hanya tersenyum-senyum malu dan ujung kasutnya menggurat-gurat tanah di bawah kaki, hanya itulah gerakan satu-satunya yang ia berani lakukan. Ia merasa malu, jengah, dan juga… girang bukan main.

“Siok Lan, kau sendiri tentu tahu bahwa aku selalu akan merasa gembira dan berterima kasih, bahwa aku tentu akan menerima perjodohan itu dengan tangan dan hati terbuka, karena kau memang seorang yang kutahu amat bijaksana, amat mulia, dan seorang dara pilihan, kalau saja…”

Mendadak wajah menunduk yang kemerahan itu menjadi pucat dan diangkat, sepasang mata yang bingung dan kaget, menatap wajah Sun Hauw bagaikan mata seekor kelinci melihat harimau, membuat Sun Hauw merasa kerongkongannya tersumbat! Akan tetapi pemuda itu mengeraskan hati dan ia harus sanggup mengakhiri kalimat yang paling sulit diucapkannya itu.

“Kalau saja aku belum mempunyai seorang kekasih, Siok Lan. Memang ini salahku. Aku sudah jatuh cinta kepada seorang gadis gagah perkasa bernama Ang I Niocu Kiang Im Giok, dan aku… aku bahkan sudah bertunangan dengan dia, aku pulang untuk meminta Ayah meminangnya, maka tali perjodohan antara kau dan aku ini tentu saja menjadi tak mungkin…! Kau tahu Siok Lan, aku sayang kepadamu seperti seorang kakak menyayang adiknya, dan terhadap Ang I Niocu… dia itu pilihan hatiku, tidak mungkin diganti oleh lain orang…”

Kalau ada geledek yang menyambarnya di saat itu, kiranya Siok Lan takkan begitu kaget seperti ketika mendengar kata-kata ini. Sepasang matanya terbelalak, mukanya pucat, bibirnya gemetar dan bergerak-gerak tanpa mampu mengeluarkan satu patah kata pun, kakinya menggigil dan akhirnya air mata membanjir keluar dibarengi keluhan suaranya,

“Hauw-ko…” dan gadis ini berlari dengan limbung, memasuki rumahnya.

Sun Hauw menarik napas panjang dengan perasaan kasihan bercampur lega. Akhirnya kata-kata itu dapat juga dikeluarkan dan nona itu tentu akan menyampaikannya kepada kakaknya dan ayahnya dan semua bereslah! Ia lalu membalikkan tubuh dan melompati pagar kebun itu, kembali ke rumah ayahnya, untuk menyampaikan bahwa hal itu sudah beres.

Walau pun kebun itu sudah ditinggalkan oleh Siok Lan dan Sun Hauw, akan tetapi orang yang semenjak tadi mengintai di situ masih belum pergi. Ia berdiri bersembunyi, seperti patung, rupa-rupanya terpengaruh oleh semua yang sudah didengarnya, semenjak Siok Lan bergurau dengan kakak iparnya tentang Sun Hauw sampai pertemuan antara Siok Lan dan Sun Hauw.

Tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dari dalam rumah sederhana, rumah keluarga Tang itu. Orang yang tadi bersembunyi, cepat sekali berkelebat, berubah menjadi bayangan merah dan di lain saat ia telah naik ke atas genteng rumah itu. Dilihatnya dari atas betapa Siok Lan berlari dikejar oleh kakak dan iparnya.

Bayangan merah di atas genteng hendak melompat turun mengejar, akan tetapi sudah terlambat. Siok Lan sudah sampai di dekat dinding dan dengan sekuat tenaga gadis yang malang ini lantas membenturkan kepalanya pada dinding.

Terdengar suara keras dan gadis itu roboh terkulai, darah mengalir dari pelipisnya, keluar pula dari mulut, hidung, dan matanya yang terbuka lebar tanpa cahaya, mata seorang yang sudah tewas…!

Kakak Siok Lan menggereng-gereng, isterinya menjerit-jerit dan seorang kakek tua, yakni ayah Siok Lan, terbungkuk-bungkuk berlari dari dalam, lalu menubruk jenazah puterinya sambil menangis dan berkata-kata tidak karuan bagaikan orang yang ingatannya sudah berubah, seperti orang gila saking sedihnya.

Bayangan merah itu menggigit bibir dan menghapus dua titik air mata yang membasahi pipinya, kemudian berkelebat pergi.

Sun Hauw menjadi terkejut dan menyesal sekali pada saat mendengar tentang perbuatan Siok Lan yang nekad. Tak terasa lagi air matanya turun bertitik, karena betapa pun juga, ia sesungguhnya amat sayang kepada Siok Lan. Kalau di sana tidak ada Ang I Niocu, kiranya ia akan menerima Siok Lan sebagai isteri dengan perasaan gembira dan bahagia.

Ayahnya juga menangis sesenggukan, membanting diri di atas pembaringan sambil terus memaki-maki anaknya, “Sun Hauw, dasar kau manusia tidak kenal budi! Kau sudah melakukan perbuatan yang membikin kotor nama keluarga kita, kau telah melakukan dosa besar sekali oleh karena sesungguhnya kaulah yang membunuh Siok Lan…!”

Setelah memaki-maki, ayah ini berkata, “Kau boleh mencari isteri yang mana saja, akan tetapi bagiku, kau sudah mempunyai isteri Siok Lan! Aku tak akan sudi melamarkan lain orang gadis untuk menjadi isterimu!”

Tentu saja Sun Hauw merasa amat berduka. Akan tetapi, di samping kedukaannya ini, ia pun diam-diam merasa girang karena sekarang perjodohannya dengan Ang I Niocu tidak terhalang oleh apa pun juga lagi! Kalau ayahnya tidak mau meminang, dia dapat minta perantaraan susiok-nya. Memang, seorang yang telah dimabuk cinta kadang kala sampai lupa akan kebajikan, yang diingat hanyalah kesenangan diri sendiri saja.

Sesudah meninggalkan sebagian besar uangnya untuk disumbangkan kepada keluarga Tang, Sun Hauw lalu berpamit kepada ayahnya untuk melanjutkan perjalanan. Tak dapat dilukiskan betapa remuk perasaan hati ayahnya. Ayah ini hanya memiliki seorang putera dan sekarang, putera ini telah mengecewakan hatinya, bahkan hanya setengah hari saja pulang, dan hendak pergi lagi.

Sebaliknya, setelah keluar dari rumahnya, Sun Hauw merasa seakan-akan seekor burung terlepas dari sangkar yang sempit. Ia berlari-lari menuju ke luar kampung di mana tadi ia berpisah dari Ang I Niocu. Kemuraman wajahnya yang tadi telah lenyap dan terganti oleh seri penuh harapan dan kegembiraan. Masa depannya penuh madu dan kebahagiaan bersama Ang I Niocu, dara perkasa yang cantik seperti bidadari, mengapa pula ia harus berduka?

Dengan hati gembira ia berlari keluar dari pintu gerbang dusunnya dan dari jauh ia sudah melihat dara baju merah itu menunggu kedatangannya, berdiri tegak dengan gagah dan cantiknya. Gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya bersinar-sinar menatap wajah Sun Hauw.

“’Kuharap aku tidak terlalu lama pergi sehingga kau tidak menjadi kesal hati,” kata Sun Hauw.

“Tidak sama sekali,” jawab Ang I Niocu dengan suara merdu dan sikap menarik sekali. “Saudara Liem, mengapa selama ini kau tak pernah bercerita kepadaku tentang maksud-maksud mendiang ayahku?”

Sun Hauw terkejut, hatinya berdebar. “Apa yang kau maksudkan, Niocu?”

Ang I Niocu tersenyum manis. “Sebelum menutup mata, Ayah telah meninggalkan pesan kepadaku tentang kita.”

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Sun Hauw. Jadi kalau begitu selama ini Ang I Niocu sudah tahu bahwa dia merupakan pilihan ayahnya? Dan gadis itu mau melakukan perjalanan bersama dia. Ah, kalau begini dapat diharapkan sembilan dari sepuluh bagian cita-citanya terlaksana!

“Jadi kau… kau sudah tahu, Niocu? Aku diam saja karena tidak ingin membikin kau tak enak hati dan malu. Memang, mendiang ayahmu dahulu sudah… mengusulkan tentang… ikatan jodoh antara kita…”

“Saudara Liem, apakah kau suka kepadaku?” Ang I Niocu bertanya, sepasang matanya menatap tajam, mulutnya tetap tersenyum manis.

Diam-diam Sun Hauw terheran-heran juga kenapa gadis ini tidak kelihatan likat atau pun sungkan, dan bicara tentang ikatan jodoh nampaknya demikian biasa!

“Suka kepadamu, Niocu? Ah, kiranya tak perlu kujelaskan dan Niocu yang berpandangan tajam tentu sudah mengetahui akan isi hatiku. Semenjak pertemuan kita yang pertama kali, aku… aku sedetik pun tidak pernah dapat melupakanmu, Niocu. Aku cinta kepadamu dengan seluruh jiwaku…”

Senyum di mulut Ang I Niocu melebar sehingga nampak sekilas giginya yang putih dan rapi. “Begitukah? Akan tetapi kau harus tahu bahwa sebelum Ayah menyatakan keinginannya supaya aku berjodoh denganmu, aku sudah bersumpah bahwa aku hanya akan menikah dengan seorang pria yang dapat mengalahkan pedangku. Nah, Saudara Liem, kalau kau memang benar-benar cinta kepadaku dan hendak memperisteri aku, coba kau kalahkan pedangku ini!” Sambil berkata demikian Ang I Niocu mencabut pedangnya dan menanti dengan sikap garang.

Tentu saja Liem Sun Hauw menjadi terkejut, tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi, melihat senyum Ang I Niocu tadi, hatinya menjadi besar. Melihat gelagatnya, nona ini pun membalas cinta kasihnya. Sudah tentu saja Ang I Niocu memegang harga diri dan mengadakan ‘sayembara’ ini untuk mempertinggi harga dirinya. Akan tetapi kalau nona ini membalas cintanya, masa Ang I Niocu akan bertempur sungguh-sungguh?

Dan pula, andai kata Ang I Niocu bersungguh-sungguh, ia pun tidak takut karena biar pun dalam hal ginkang ia harus mengakui masih kalah oleh nona baju merah ini, akan tetapi dalam ilmu pedang, dia tidak percaya kalau kalah. Dia telah menerima gemblengan dari mendiang Thian Mo Siansu dan telah mempelajari ilmu pedang yang lebih lihai dari pada ilmu pedang Go-bi-pai.

“Begitukah kehendakmu, Niocu? Biarlah aku memperlihatkan kebodohanku,” dia berkata sambil mencabut pedang dan memasang kuda-kuda. Ia sengaja memasang pertahanan untuk memberi kesempatan kepada Ang I Niocu menyerang lebih dulu.

Ang I Niocu tidak sungkan-sungkan lagi. “Lihat pedang!” serunya

Pada lain saat Sun Hauw harus cepat-cepat membuang diri ke kanan sambil menyampok karena pedang gadis itu telah lenyap berubah sinar bagaikan kilat menyambarnya, cepat bukan main.

“Hebat…!” tak terasa lagi Sun Hauw mengeluarkan seruan terkejut.

Kembali sinar pedang di tangan Ang I Niocu menyambarnya. Dalam beberapa jurus Sun Hauw terus terdesak hebat dan serangan-serangan Ang I Niocu benar-benar luar biasa ganasnya. Akan tetapi Sun Hauw tidak mau membalasnya, hanya sedapat mungkin dia memutar pedang untuk melindungi tubuhnya.

“Balaslah, aku paling tidak suka bila melihat orang berlaku mengalah. Memangnya ilmu pedangmu jauh lebih menang?” kata Ang I Niocu. Sambil berkata-kata, dia melanjutkan serangan-serangannya dengan cepat.

Melihat gerakan pedang Ang I Niocu, diam-diam Sun Hauw terkejut sekali dan tahulah ia bahwa gadis itu benar-benar lihai, ada pun ilmu pedangnya amat tinggi tingkatnya, sukar diduga gerak-gerik dan perubahannya. Akan tetapi ia masih percaya penuh bahwa tidak nanti Ang I Niocu mau melukainya, maka sambil tersenyum manis ia berkata,

“Niocu, bagaimana aku berani menyerangmu? Sejak dahulu ayahmu telah memberi tahu bahwa kepandaianmu tinggi sekali, bahkan lebih tinggi dari pada ayahmu sendiri. Pula, pedang tidak bermata, bagaimana aku tega menyerangmu? Kalau sampai kulitmu terluka pedang, bukankah aku akan menyesal setengah mati?”

Ang I Niocu yang tadinya bersikap manis, sekarang mengeluarkan suara ketus. “Orang she Liem, kita dalam pibu, luka atau mati merupakan soal biasa! Aku akan menyerangmu sungguh-sungguh!”

Sun Hauw masih saja tidak sadar akan perubahan suara ini. Dia masih tersenyum dan berkata manis, “Niocu, aku tidak percaya kau akan melukaiku. Apakah kau tega melihat tunangan sendiri menjadi korban ujung pedangmu? Kalau kau tega, silakan, aku rela mati dalam tangan orang yang paling kucinta…“

Ang I Niocu tidak mampu menahan marahnya lagi. Ia menghentikan gerakan pedangnya, berdiri tegak dan dengan muka merah dia menudingkan pedangnya ke arah muka Sun Hauw.

“Bangsat rendah! Kau kira kau ini orang macam apakah berani sekali bicara seperti itu di depanku? Ketahuilah, buka telingamu lebar-lebar, jangankan kau tidak dapat menangkan pedangku, andai kata kau mampu menangkan juga, belum tentu aku sudi menjadi isteri seorang kejam macam kau!”

Kali ini benar-benar Sun Hauw terkejut. Mukanya berubah pucat ketika ia bertanya, “Ehh, Niocu, mengapa kau marah kepadaku? Apakah kesalahanku?”

“Manusia rendah, kau pandai berpura-pura! Tentu Ayah dahulu juga sudah tertarik oleh gerak-gerik dan kata-katamu yang palsu, menyangka kau seorang baik-baik tak tahunya kau menyimpan hati yang palsu. Apa yang kau sudah lakukan terhadap Siok Lan?”

Sun Hauw merasa semangatnya terbang. “Siok Lan…? Bagaimana kau bisa tahu…?”

Ang I Niocu tersenyum akan tetapi kini senyumnya mengiris jantung, senyum mengejek dan memandang rendah.

“Kau sanggup menghancurkan hati seorang gadis suci seperti Siok Lan, dan kau sudah mempermainkan perasaan cintanya. Kemudian, setelah gadis itu membunuh diri, masih hangat jenazahnya, kau sudah berani beraksi di depanku seolah-olah aku ini kekasihmu. Cih, laki-laki tak tahu malu!” Setelah berkata demikian, dengan sikap menghina sekali Ang I Niocu membalikkan tubuh dan meninggalkan pemuda itu.

Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan Sun Hauw pada saat itu. Malu dan marah karena terhina, kecewa dan berduka karena cintanya ditolak mentah-mentah, menyesal sekali atas perbuatannya terhadap Siok Lan, semua perasaan ini teraduk-aduk menjadi satu dalam hati dan pikirannya.

Kemudian, melihat Ang I Niocu meninggalkannya, ia mengejar sambil rnembentak, “Ang I Niocu, ayahmu telah menjanjikan aku untuk menjadi suamimu! Apakah kau hendak melanggar janji? Apakah hendak mencemarkan nama baik ayahmu dengan mengingkari janji?”

Tiba-tiba saja Ang I Niocu membalikkan tubuh dan menantangnya dengan pandang mata berapi-api.

“Kau masih berani menyebut-nyebut ayahku? Bangsat rendah, aku tidak membunuh kau seperti anjing saja sudah sangat untung bagimu. Kau berani menuduh aku mengingkari janji? Kaulah yang menipu Ayah, kau sudah bertunangan dengan Siok Lan masih berani menerima uluran tangan Ayah! Kau yang sudah mengingkari janjimu terhadap keluarga Siok Lan. Ada pun aku, aku sama sekali tidak mengingkari janji. Sudah kukatakan tadi bahwa orang yang hendak menjadi suamiku harus dapat mengalahkan pedangku. Nah, sanggupkah kau mengalahkan pedangku?” Kata-kata ini disusul dengan tarikan pedang yang dilintangkan di depan dada dengan gaya menantang sekali.

Hati Sun Hauw yang telah remuk dan putus asa, yang merasa kebahagiaannya jatuh dan hancur berantakan, kini menjadi panas dan membuatnya nekad. Dia rela mati kalau tidak bisa mendapatkan Ang I Niocu sebagai isterinya. Maka cepat dihadapinya Ang I Niocu dengan pedang di tangan dan katanya, “Baiklah, Niocu. Kalau begitu besar keinginanmu hendak mengadu ilmu, mari kulayani kau!”

Sun Hauw kini menerjang dengan sengitnya dan sebentar kemudian dua orang muda itu sudah bertanding dengan seru. Ilmu pedang dari Sun Hauw memang lihai sekali, karena di dalam ilmu pedang yang berdasar pada ilmu pedang Go-bi-pai ini terdapat pukulan-pukulan aneh yang dulu diwarisi oleh Thian Mo Siansu dari orang sakti Hok Peng Taisu. Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung, bagai seekor naga mengejar awan.

Namun kini ia menghadapi Ang I Niocu, dara perkasa ahli pedang yang mewarisi ilmu pedang dari keluarga Kiang, kemudian yang sudah menerima petunjuk dari orang sakti Bu Pun Su. Dalam menghadapi pemuda lihai ini, Ang I Nio tidak berani main-main dan cepat memainkan limu pedang Sian-li Kiam-sut yang gerakan-gerakannya sangat indah akan tetapi di dalamnya mengandung tangan maut yang setiap saat mengancam nyawa lawannya.

Setelah mendapat kenyataan betapa tangguh ilmu pedang Ang I Niocu dan bahwa gadis itu benar-benar hendak merobohkan dirinya, Sun Hauw menjadi marah dan hatinya sakit sekali. Dia merasa dipermainkan oleh gadis ini yang tadinya dikira ‘ada hati’ kepadanya. Dengan seluruh tenaga dan kepandaian yang ada padanya, ia tidak sungkan-sungkan lagi dan kini ia benar-benar ingin mengalahkan Ang I Niocu, baik dengan melukainya mau pun kalau perlu membunuhnya!

Pertempuran di luar kampung Peng-kan-mui menjadi semakin seru dan hebat. Beberapa orang kampung yang melihat pertempuran ini memberi kabar kepada lain orang sehingga sebentar saja di tempat itu banyak berkumpul orang kampung. Akan tetapi mereka itu hanya menonton saja, tak ada yang berani mencampuri. Apa lagi dua orang itu bertempur bagaikan telah saling libat dengan sinar pedang, seperti menjadi satu.

Kalau bukan seorang ahli, mana bisa mencampuri mereka? Di samping ini, biar pun Sun Hauw orang kampung itu, akan tetapi ia sudah mendatangkan kesan yang buruk kepada penduduk kampung itu dengan peristiwa yang terjadi pada diri Siok Lan.

Seratus jurus sudah lewat dan mendadak terdengar Ang I Niocu mengeluarkan bentakan nyaring, disusul dengan robohnya tubuh Liem Sun Hauw yang dada kirinya telah tertusuk oleh pedang dara baju merah itu. Aneh sekali, dalam menghadapi maut ini, tiba-tiba Sun Hauw teringat kepada Siok Lan dan seperti dalam mimpi ia berseru, “Siok Lan… kau tunggulah aku…!”

Dan tewaslah ia dengan pedang masih di tangan. Melihat ini, Ang I Niocu merasa terharu juga, terharu karena pemuda ini tewas sebagai akibat mencintainya. Dia menoleh kepada orang-orang kampung yang masih berdiri memandangnya.

“Yang menewaskan Liem Sun Hauw adalah aku, Ang I Niocu. Aku membalaskan sakit hati Nona Siok Lan.” Setelah berkata demikian, Ang I Niocu berjalan pergi dengan langkah tenang dan lambat, akan tetapi anehnya, sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata orang-orang kampung.

Ang I Niocu segera menuju ke Thai-san untuk menghadiri pertemuan orang-orang gagah yang diadakan oleh susiok-couw-nya. Memang sebetulnya dia tidak diharuskan ke sana, akan tetapi setelah sekarang ia menjadi seorang perantau, peristiwa ini menarik hatinya dan ingin ia melihat dan bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama. Ketika ia tiba di sebuah hutan di kaki Gunung Thai-san, selagi ia berjalan perlahan-lahan, tiba-tiba terdengar bentakan!

“Perempuan rendah, sudah lama aku menunggu di sini!”

Dengan tenang Ang I Niocu memandang. Dia melihat Koai-tung Toanio muncul bersama seorang kakek tua yang bermuka hijau. Ang I Niocu maklum bahwa Koai-tung Toanio tentu akan membalas sakit hati karena telah dua kali ia kalahkan, apa lagi akhir-akhir ini ia telah melukai pundak seorang puterinya, bahkan telah membunuh dua orang anaknya yang menjadi anggota Min-san Sam-kui, yakni Kwan Liong dan Kwan Bi Hwa. Karena itu tahulah ia bahwa kali ini ia harus bertempur mati-matian.

Terhadap Koai-tung Toanio dia tidak takut. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek yang menyertai nenek galak itu tentulah seorang berkepandaian tinggi.

“Toanio, kita berjumpa pula di sini. Kali ini apa kehendakmu?” tanya Ang I Niocu tenang akan tetapi siap sedia.

Sementara itu, kakek muka hijau itu semenjak tadi sudah memandang dengan bengong kepada Ang I Niocu.

“Ci Im, inikah nona yang bernama Ang I Niocu?” tanya kakek itu kepada Koai-tung Toanio yang sebetulnya bernama Kwan Ci Im.

“Betul, Susiok. Dia inilah siluman betina yang telah membunuh dua orang anakku,” jawab Koai-tung Toanio penuh kebencian.

“Kau keliru, Ci Im. Dia ini tidak seperti siluman, tapi lebih patut menjadi bidadari. Hemm, alangkah cantik manisnya. Aku telah hidup selama lima puluh tahun lebih, baru sekarang ini melihat seorang wanita secantik ini…! Bukan main…!”

Dapatlah dibayangkan alangkah mendongkol dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar kata-kata bandot tua itu. Dari kata-katanya itu sudah dapat dinilai orang macam apa yang sekarang dia hadapi.

“Anjing-anjing tua yang tidak tahu malu!” makinya sambil mencabut pedangnya. “Kalian menggonggong di sini mau apakah?”

“Setan perempuan, kuhancurkan kepalamu!”

Koai-tung Toanio sudah tak dapat menahan marahnya lagi dan tongkatnya menyambar. Ang I Niocu cepat menangkis sehingga tongkat itu terpental kembali.

“Ci Im, jangan! Biarkan aku menangkapnya. Sayang kalau sampai kulitnya yang putih halus itu lecet oleh tongkatmu! Aku akan menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya. Nona manis, marilah ikut dengan aku!”

Kakek tua bermuka hijau itu melompat maju. Kedua tangannya dikembangkan, jari-jari tangannya seperti cakar setan.

Ang I Niocu marah bukan main. Pedangnya berkelebat membabat dua lengan itu. Kakek itu tertawa bergelak, tangannya disampokkan ke arah pedang.

“Triiing…!”

Kedua pihak kaget. Ang I Niocu terkejut sekali karena pedangnya sudah ditangkis oleh kuku jari-tangan kakek itu! Benar-benar kepandaian yang luar biasa dan hebat. Agaknya kakek ini telah melatih jari tangannya berikut kukunya untuk menghadapi senjata tajam lawan. Di lain pihak, kakek itu pun kaget setengah mati karena bukan saja ia tidak dapat merampas pedang seperti yang ia duga semula, bahkan jari tangannya terasa sakit ketika bertemu dengan pedang.

“Ehh, ehhh, kau ternyata berisi juga, Nona manis. Akan tetapi sekarang bertemu dengan Tiat-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Besi), jangan harap kau dapat berlagak!” Setelah berkata demikian, ia mencabut keluar sebatang golok yang memakai gelangan-gelangan kecil pada punggung golok, gelangan yang dapat mengeluarkan bunyi gemerincing yang gunanya untuk mengacaukan lawan.

Ang I Niocu diam-diam terkejut juga. Ia pernah mendengar nama julukan Tiat-sim Lo-mo ini, yaitu seorang tokoh besar Kong-thong-pai yang menyeleweng dan sudah tidak diakui di partainya. Tiat-sim Lo-mo terkenal sebagai seorang penjahat cabul yang kejam sekali. Di samping ini ia pun sering kali merampok rumah orang dan dalam melakukan semua kejahatan ini, ia bisa berlaku kejam dan membunuh seisi rumah tanpa berkedip mata, dari yang tua sampai anak-anak kecil. Oleh karena itulah maka dia diberi julukan Iblis Tua Berhati Besi untuk menggambarkan betapa kejam hatinya.

“Ahh, kiranya kau iblis jahat. Kebetulan sekali, aku ingin membalaskan sakit hati puluhan orang yang menjadi korbanmu!” kata Ang I Niocu sambil memainkan pedangnya.

“Ha-ha-ha, kau sendiri akan menjadi korban baru, bagaimana kau akan membalas sakit hati? Ha-ha-ha-ha, lebih baik kau menyerah dengan tenang dari pada harus lecet-lecet kulitmu!”

Ang I Niocu tidak mau melayaninya bicara lagi, pedangnya bergerak hebat dan mengerti bahwa ia berhadapan dengan orang lihai, Ang I Niocu langsung mengeluarkan jurus-jurus yang paling lihai dari ilmu pedangnya.

Sebetulnya tingkat dari Tiat-sim Lo-mo ini lebih tinggi dari Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena dia seorang pemogoran sehingga lweekang-nya banyak berkurang, pula karena ilmu pedang dari Ang I Niocu memang luar biasa, sebentar saja ia terdesak hebat dan goloknya hanya mampu menangkis saja. Baiknya ia masih mempunyai andalan tangan kirinya yang kadang-kadang melakukan serangan mencengkeram yang berbahaya sekali sehingga Ang I Niocu harus berlaku hati-hati sekali dan tidak mudah merobohkan iblis tua ini.

Melihat Tiat-sim Lo-mo belum juga dapat mendesak, apa lagi mengalahkan Ang I Niocu, Koai-tung Toanio menjadi kecewa bukan main. Nenek ini kemudian menyerbu dengan tongkatnya, membantu Tiat-sim Lo-mo dan mengeroyok Ang I Niocu!

Kali ini Ang I Niocu benar-benar terdesak hebat. Kepandaian nenek bertongkat itu sudah tinggi. Menghadapi kakek muka hijau itu saja sudah amat berat baginya, apa lagi kini nenek itu ikut-ikut mengeroyok. Terpaksa Ang I Niocu mengerahkan tenaga dan memutar pedangnya melindungi tubuhnya sehingga jangan kata baru senjata lawan, biar angin dan air pun takkan mampu menembus benteng sinar pedangnya!

Akan tetapi, pertempuran seperti ini apa bila dilanjutkan tentu ia akan kalah juga, kalah karena kehabisan tenaga. Ia hanya mampu melindungi diri tanpa mendapat kesempatan membalas sama sekali. Sudah delapan puluh jurus lebih Ang I Niocu bertahan diri. Dia mulai lelah karena untuk menangkis semua serangan kedua lawannya, dia harus mengerahkan tenaga lweekang. Ang I Niocu merasa gemas sekali.

Untuk membalas serangan lawan, ia tidak mampu karena dirinya sudah dikurung hebat. Untuk melarikan diri, memang dapat karena dalam hal ginkang ia masih menang, akan tetapi ia tidak sudi melakukan hal ini. Ia bertahan terus.

Seratus jurus telah lalu dan kini peluh telah membasahi jidat dan leher gadis itu. Tiat-sim Lo-mo sudah tertawa-tawa mengejek dan mengeluarkan kata-kata kotor yang menambah kemarahan Ang I Niocu.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Dua orang siluman bangkotan sungguh tidak tahu malu! Ang I Niocu, jangan khawatir, aku datang membantumu!”

Berkelebat bayangan yang gerakannya cepat dan gesit, sebatang pedang menyerang dan menahan tongkat Koai-tung Toanio. Serangan ini cukup kuat dan cepat sehingga terpaksa Koai-tung Toanio meninggalkan Ang I Niocu dan menghadapi lawan baru ini.

Ternyata dia adalah seorang pemuda tampan yang berpakaian sastrawan. Sungguh pun gerak-geriknya lemah, akan tetapi ternyata ilmu pedangnya ini cukup kuat, apalagi tenaga lweekang-nya cukup hebat.

Ang I Niocu melirik dan melihat pemuda tampan ini, ia menjadi heran. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda ini, mengapa begitu datang langsung membantunya dan sudah mengenal namanya? Akan tetapi segera nona baju merah ini mengerutkan kening.

Walau pun ia sudah ditinggalkan Koai-tung Toanio sehingga ia kini dapat membalas dan mendesak Tiat-sim Lo-mo, akan tetapi sebaliknya, pemuda itu lalu terdesak oleh tongkat Koai-tung Toanio yang hebat dan ganas. Sekali pandang saja Ang I Niocu sudah dapat mengenal ilmu pedang pemuda itu, yakni ilmu pedang dari Bu-tong-pai, dan biar pun ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi masih belum cukup kuat untuk mengalahkan Koai-tung Toanio.

Di lain pihak, meski pun dia sendiri mengurung lawan dengan sinar pedangnya, ternyata bahwa Tiat-sim Lo-mo benar-benar seorang yang luar biasa. Pengalaman bertempur kakek ini sudah banyak sekali, maka ia tak mudah ditipu oleh gerakan pedang dan dapat menjaga diri dengan baiknya, bahkan kadang-kadang tangan kirinya masih melakukan serangan yang berbahaya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring. “Ha-ha-ha, iblis tua berani mengganggu Sumoi? Ini artinya kau akan segera mampus!”

Berbareng dengan ucapan itu sinar pedang gemerlapan menyambar leher Tiat-sim Lo-mo yang menjadi kaget sekali karena serangan ini benar-benar cepat dan ganas.

“Giok Gan Kui-bo (Biang Iblis Bermata Kemala)!” teriak Koai-tung Toanio ketika ia melihat gadis yang baru datang.

“Enci Kim Lian…!” Ang I Niocu berseru girang dan juga heran.

Dengan majunya Kim Lian mengeroyok Tiat-sim Lo-mo, sebentar saja kakek itu menjadi kewalahan. Walau pun ilmu pedang Kim Lian tidak sehebat ilmu pedang Ang I Niocu, namun memiliki keganasan sesuai dengan wataknya dan dalam lain-lain hal, kepandaian gadis ini hanya kalah sedikit saja oleh sumoi-nya.

Akibat rangsekan dua orang gadis ini, tak lama kemudian pedang Ang I Niocu telah dapat membabat lehernya, dan pedang Kim Lian membabat putus lengan kirinya. Kakek itu roboh tanpa dapat berteriak lagi dan tewas pada saat itu juga!

Ang I Niocu tidak cepat menyambut suci-nya, melainkan terus saja menyerang Koai-tung Toanio, membantu pemuda itu. Mana Koai-tung Toanio dapat menahannya? Dalam lima jurus kemudian, ia pun roboh binasa oleh pedang Ang I Niocu.

Setelah itu, baru Ang I Niocu menoleh kepada suci-nya. Kim Lian tertawa, akan tetapi sepasang mata yang indah sekali itu menjadi basah air mata! Ang I Niocu memandang terharu dan di lain saat dua orang gadis itu saling berpelukan.

“Im Giok… aku bahagia sekali kau sudah pulih kembali, sudah gembira dan bertambah cantik!” kata Song Kim Lian atau dengan julukan baru Giok Gan Kui-bo sambil menatap wajah sumoi-nya.

Sebaliknya, Ang I Niocu juga memperhatikan suci-nya yang sekarang kelihatan pesolek sekali, jauh melebihi dulu. Bahkan sepasang pipi dan bibirnya juga diberi merah-merah! Pakaiannya indah dan terbuat dari sutera mahal. Ang I Niocu teringat akan pemuda itu, lalu ia menoleh dan menghadapinya.

“Tuan siapakah? Sungguh gegabah sekali berani menyerang Koai-tung Toanio. Bila tidak cepat-cepat Suci datang membantu, bukankah kau hanya akan mengantarkan nyawamu dengan cuma-cuma?” tegurnya, akan tetapi suara dan pandang matanya manis.

Pemuda itu menjura dan sepasang matanya yang bening dan menyinarkan watak jujur dan halus itu berseri. “Niocu,” katanya tersenyum, “andai kata aku harus tewas dalam membantumu, aku rela! Aku adalah Kang Ek Sian dan aku mewakili Bu-tong-pai untuk menghadiri pertemuan di Thai-san. Di Bu-tong-pai aku telah banyak mendengar tentang engkau, Niocu, kau sudah berjasa mengakurkan kembali Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai. Budimu terlalu besar dan nyawaku tidak berharga dibandingkan itu!”

Mendengar ini, diam-diam Ang I Niocu menjadi senang dan memuji pemuda yang pandai bicara ini. Akan tetapi tiba-tiba Giok Gan Kui-bo membentaknya, “Bocah lancang! Awas, jangan kau berani main gila. Kau telah jatuh cinta pada sumoi-ku, ya? Jangan kau main-main, orang seperti kau ini mana ada harganya untuk mencinta Sumoi?”

“Suci!” Ang I Niocu menegur gadis itu. “Jangan kau bicara sembarangan dan menghina orang tanpa alasan. Kalau Susiok-couw mendengarnya, kau akan menerima hukuman!”

Nama Bu Pun Su sangat ditakuti Kim Lian. Ia menjadi pucat dan menengok ke sana ke mari. “Apakah Susiok-couw berada di sini?” tanyanya.

“Apa kau masih belum tahu?” Ang I Niocu menjawab. “Susiok-couw sedang mengadakan pertemuan di puncak Gunung Thai-san ini. Sewaktu-waktu Susiok-couw bisa muncul di sini. Maka jangan kau bicara sembarangan!”

Song Kim Lian menjadi makin ketakutan. Ia buru-buru pergi sambil berkata, “Aku pergi dulu, Sumoi, ada urusan penting sekali. Biar lain kali kita bertemu kembali.”

Akan tetapi sesudah agak jauh, dia mengamang-ngamangkan tinjunya ke arah Kang Ek Sian sambil berkata, “Awas kau, aku tahu kau tergila-gila pada Sumoi!” Dan di lain saat Giok Gan Kui-bo Song Kim Lian lenyap dari situ.

Kang Ek Sian berdiri seperti patung, mukanya agak pucat. Ang I Niocu merah mukanya dan ia merasa malu sekali atas sikap suci-nya.

“Harap kau suka memaafkan Suci, memang wataknya aneh luar biasa,” katanya kepada pemuda itu.

Kang Ek Sian memandangnya dengan tajam. “Tidak ada yang harus dimaafkan, Niocu. Bahkan aku diam-diam memikirkan apakah kata-katanya itu tidak tepat sekali.”

Kedua mata Ang I Niocu memancarkan api kemarahan, akan tetapi melihat wajah yang jujur dan terbuka itu, ia menahan kemarahannya. Hanya ia merasa mendongkol sekali.

Pada saat yang sama, dua orang laki-laki telah tergila-gila kepadanya. Tadi si tua bangka bermuka hijau itu tergila-gila, sekarang pemuda ini! Akan tetapi selain kedongkolannya, timbul perasaan aneh di dalam hatinya. Perasaan seperti orang gembira dan puas. Puas melihat orang-orang lelaki yang tergila-gila kepadanya karena dia maklum bahwa mereka akan tergila-gila dengan sia-sia belaka, tak akan menerima balasan darinya. Biar mereka itu menjadi korban cinta, pikirnya. Biar laki-laki bodoh itu makan hati, biar sengsara karena kebodohan sendiri telah mabuk oleh cinta, seperti yang sudah pernah ia alami…!

Kang Ek Sian sadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang kurang patut, maka ia lalu berkata cepat-cepat, “Maaf, Niocu. Aku… aku hendak mengurus dua jenazah ini lebih dulu.”

Pemuda itu lalu menggali lubang dan mengubur jenazah Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio. Ang I Niocu melihat semuanya ini dengan hati memuji. Pemuda ini benar-benar seorang yang berbudi luhur, meski pun Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio merupakan penjahat-penjahat keji, akan tetapi sesudah mereka tewas, pemuda itu mau mengubur jenazah mereka. Jarang terdapat pemuda yang demikian baik hati, pikirnya.

“Anak baik, kau siapakah?” tiba-tiba terdengar suara halus.

Belum juga orangnya nampak, Ang I Niocu sudah cepat menjatuhkan diri berlutut dan betul saja tak lama kemudian, tiba-tiba di situ berdiri Bu Pun Su, pendekar sakti yang kini pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis. Kakek sakti itu memandang kepada Ang I Niocu yang memberi hormat sambil menyebut, “Susiok-couw!”

Kakek itu mengangguk-angguk senang, lalu menoleh kepada Kang Ek Sian yang sudah selesai dengan pekerjaannya.

Ketika Kang Ek Sian mendengar bahwa kakek ini adalah Sin-taihiap Bu Pun Su, ia cepat menjatuhkan diri memberi hormat dan menjawab, “Boanpwe adalah Kang Ek Sian, murid Bu-tong-pai. Suhu Lo Beng Hosiang menyuruh boanpwe mewakili Bu-tong-pai untuk menghadiri pertemuan di puncak Thai-san. Harap Locianpwe maafkan kalau boanpwe tidak melihat kedatangan Locianpwe sehingga tidak sempat menyambut.”

“Tidak apa, tidak apa. Kau mengubur jenazah Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio, itu amat baik! Terima kasih, orang muda. Dengarlah, dan kau juga Im Giok, pertemuan di puncak tidak jadi diadakan. Perang sudah meletus, para pemberontak sudah bergerak di sana-sini. Celakanya, banyak orang-orang gagah di dunia kang-ouw membantu mereka! Benar-benar dunia kang-ouw telah terpecah dua dengan adanya pemberontakan ini.” Bu Pun Su menghela napas dan memandang ke angkasa.

“Kehendak Thian, siapakah orangnya dapat membantah? Im Giok, kau jagalah di lereng bukit sebelah barat, tunggu selama tiga hari. Kalau ada orang datang, sampaikan terima kasih dan salamku, dan katakan bahwa pertemuan tak mungkin diadakan karena banyak tokoh-tokoh kang-ouw sudah turun tangan, ikut terjun dalam peperangan. Jadi tidak perlu dirunding-runding lagi. Dan kau, Kang Ek Sian, kau jagalah di lereng timur, jaga sampai tiga hari dan lakukan seperti yang kukatakan kepada Im Giok tadi. Aku sendiri hendak meninjau keadaan di mana terjadi perang supaya rakyat jangan terlalu menderita akibat kerusuhan yang timbul karenanya.”

Dua orang muda yang berlutut itu menyatakan kesanggupan mereka. Pada saat hendak pergi, Bu Pun Su berkata, “Im Giok, kelak kau harus mengawasi baik-baik suci-mu Kim Lian itu. Aku sekarang tidak sempat, sampaikan peringatanku kepadanya supaya dia menjaga langkah hidupnya dan jangan menyeleweng!”

Sebelum Ang I Niocu menjawab, kakek itu berkelebat lenyap! Dua orang muda itu bangkit berdiri, saling pandang dan Kang Ek Sian berkata, “Alangkah besar untungku, dapat bertemu dengan pendekar sakti itu. Niocu, setelah kita melakukan tugas ini selama tiga hari, bolehkah aku menemuimu di lereng barat? Aku merasa bahagia dan terhormat sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, dan sudikah kau menerimaku berkunjung di lereng barat untuk bercakap-cakap?”

Permintaan ini cukup pantas, bagaimana ia dapat menolaknya? ”Apa salahnya? Tentu saja aku suka menerima kunjunganmu, asal saja aku masih ada di sana,” jawabnya menyimpang, kemudian gadis itu berlari cepat menuju ke lereng barat.

Kang Ek Sian memandang ke arah bayangan merah itu dengan bengong, semangat dan hatinya seakan-akan ikut melayang bersama bayangan merah itu.

*****

Benar seperti dugaan Bu Pun Su, hanya sedikit saja orang yang datang mengunjungi puncak Thai-san untuk menghadiri pertemuan. Mereka ini segera turun kembali setelah diberi tahu oleh Ang I Niocu atau Kang Ek Sian. Tak seorang pun di antara mereka berani mengganggu dua orang muda ini karena siapakah orangnya berani main-main terhadap orang kepercayaan Bu Pun Su?

Tiga hari telah lewat dan pada hari ke empat, ketika masih pagi-pagi sekali, Kang Ek Sian telah berlari-lari menuju ke lereng sebelah barat untuk bertemu dengan gadis baju merah yang selama tiga hari tiga malam telah membuat dia tak dapat memejamkan mata barang semenit! Akan tetapi setelah tiba di tempat itu, ia tidak melihat lagi bayangan Ang I Niocu.

“Niocu…!” ia memanggil. Tidak ada jawaban. “Ang I Niocu…!” ia memperkeras suaranya. Hanya kumandangnya saja yang menjawab.

Sambil berseru memanggil-manggil nama gadis yang telah merampas hatinya itu, Kang Ek Sian mencari terus di daerah itu, semakin lama suaranya yang memanggil-manggil nama Ang I Niocu itu makin jauh sampai akhirnya tidak kedengaran lagi.

Bayangan merah berkelebat dari balik gerombolan pohon dan Ang I Niocu berdiri di situ menarik napas panjang berkali-kali. Ia tidak mau mendekati Kang Ek Sian. Pemuda ini orang baik-baik dan memiliki watak yang mulia. Kalau dia dekati, mungkin akan menjadi berubah seperti halnya Liem Sun Hauw.

Bukankah Sun Hauw tadinya juga seorang pemuda gagah perkasa yang berbudi mulia? Akan tetapi menjadi buta dan tidak kenal pribudi setelah tergoda oleh cinta. Ia tidak mau melihat Kang Ek Sian menjadi seperti itu.

Setelah berpikir sebentar, Ang I Niocu segera berlari-lari cepat turun gunung. Tujuannya adalah Pek-tiauw-san (Bukit Rajawali Putih) di mana ia akan mencari telur Rajawali Putih untuk dibuat obat anti tua agar ia tetap cantik jelita seperti Pek Hoa Pouwsat dahulu! Ang I Niocu tidak mau melayani kasih sayang pria, akan tetapi ia pun tidak mau menjadi tua, hendak muda selalu, cantik jelita selalu, dan menjatuhkan hati laki-laki.

Setelah dia mendapatkan telur Pek-tiauw dan meminumnya bersama obat sebagaimana yang diajarkan oleh mendiang Pek Hoa Pouwsat, benar saja Ang I Niocu menjadi makin cantik jelita, mukanya menjadi semakin halus kemerahan dan bercahaya, dan meski pun tahun demi tahun usianya meningkat, namun wajah serta bentuk tubuhnya masih tetap seperti seorang remaja berusia tujuh belas tahun!

Tidak terbilang banyaknya pria yang tergila-gila kepadanya, tua muda, ahli silat dan sastrawan, bangsawan dan petani, hartawan dan miskin. Namun, Ang I Niocu tetap tidak mau menerima seorang di antara mereka, hanya tersenyum makin manis sambil pergi meninggalkan mereka yang kehilangan semangat dan hati, pergi meninggalkan mereka yang bertekuk lutut mengharapkan balasan cintanya. Di samping semua ini, Ang I Niocu tidak lupa melakukan pekerjaan sebagai seorang pendekar wanita menolong orang-orang yang tertindas, membasmi si jahat dan si penindas.

Oleh karena itu beberapa tahun kemudian, nama Ang I Niocu terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, kadang-kadang ganas sekali dan tidak mengenal ampun menghadapi penjahat. Seorang pendekar wanita yang cantik jelita seperti bidadari akan tetapi yang berhati batu, dingin membeku tidak pernah menghiraukan segala bujuk rayu kaum pria.

TAMAT