Suling Naga: 01-05


Penilaian, dalam bentuk apapun juga, tentu dipengaruhi suka dan tidak suka dari si penilai. Dan perasaan suka atau tidak suka ini timbul dari perhitungan rugi untung. Kalau si penilai merasa dirugikan, lahir maupun batin, oleh yang dinilainya, maka perasaan tidak suka karena dirugikan ini yang akan menentukan penilaiannya, tentu saja hasil penilaian itu adalah buruk. Sebaliknya, kalau merasa diuntungkan lahir maupun batin, timbul perasaan suka dan hasil penilainnya tentu baik. Penilaian menimbulkan dua sifat atau keadaan yang berlawanan, yaitu baik atau buruk. Tentu saja baik atau buruk itu bukan sifat aseli yang dinilai, melainkan timbul karena keadaan hati si penilai sendiri. Agaknya belum pernah ada kaisar atau orang biasa siapapun juga yang dinilai baik oleh orang seluruh dunia.

Kaisar Kian Liong, seperti dapat dilihat dalam catatan sejarah, adalah seorang kaisar yang terkenal berhasil dalam memajukan kebesaran pemerintahannya. Namun, diapun menjadi bahan penilaian rakyat dan karena itu, tentu saja diapun memperoleh pendukung dan juga memperoleh penentang. Seperti dalam pemerintahan kaisar-kaisar terdahulu, dalam pemerintahan Kian Liong inipun tidak luput dari pemberontakan-pemberontakan, baik besar maupun kecil. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong selalu bertindak tegas dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan itu dan karena dalam pemerintahannya terdapat banyak panglima-panglima yang tangguh dan pandai, dengan balatentara yang cukup besar, maka dia selalu berhasil memadamkan api-api pemberontakan yang terjadi di sana-sini. Pemberontakan yang hebat terjadi di daerah Yunan barat daya. Bangsa Birma bersekutu dengan para pemberontak di Propinsi Yunan.

Pasukan besar Bangsa Birma memasuki Propinsi Yunan bagian barat daya, menyeberangi Sungai Nu-kiang, bahkan bergerak sampai di tepi Sungai Lan-cang (Mekong). Tentu saja Kaisar Kian Liong tidak mendiamkan bangsa tetangga itu mengganggu wilayah Yunan dan dia segera mengirimkan panglima-panglima perangnya, memimpin pasukan besar untuk menghalau para pengganggu dari Birma itu dan menumpas pemberontakan di Yunan. Kembali terjadi perang! Perang adalah suatu peristiwa yang amat jahat dan buruk dalam dunia ini. Puncak kebuasan manusia menuruti nafsu mengejar kesenangan. Perang merupakan perluasan dan pembiakan nafsu kotor dalam diri yang mengejar kesenangan dengan cara apapun juga dan setiap orang atau benda yang dianggap menjadi penghalang usahanya mengejar kesenangan itu akan dihancurkan, dibinasakan.

Perang adalah permainan beberapa gelintir manusia yang kebetulan saja memperoleh kesempatan untuk duduk di tingkat paling atas, menjadi apa yang dinamakan pemimpin-pemimpin bangsa atau golongan atau kelompok, dalam usaha mereka untuk meneapai kedudukan paling tinggi dan kesenangan. Dan siapakah yang menjadi korban kalau bukan rakyat jelata? Para perajurit yang telah digembleng menjadi alat-alat membunuh atau dibunuh itupun sebagian dari rakyat yang menjadi korban ulah beberapa gelintir manusia yang berambisi itu. Perang itu kejam! Manusia-manusia dirobah untuk menjadi srigala-srigala dan harimau-harimau yang haus darah, menjadi orang-orang yang teramat kejam karena ketakutan, yang berdayaupaya untuk membunuh lebih dulu sebelum terbunuh, pembunuh berdarah dingin yang disanjung-sanjung dan dipuji-puji oleh mereka yang memperalatnya.

Di dalam perang berlakulah hukum rimba. Siapa kuat dia menang, siapa menang dia pasti benar dan berkuasa atas yang kalah. Bukan ini saja, akan tetapi di dalam perang juga timbul kejahatan-kejahatan yang diumbar karena desakan nafsu yang paling sesat. Para perajurit yang digembleng untuk melakukan kekerasan itu tentu saja berwatak keras. Bahaya-bahaya dan ancaman-ancaman dalam perang membuat mereka berwatak keras dan kadang-kadang malah buas. Ada pula akibat sampingan yang amat menyedihkan. Adanya perang membuat banyak daerah tak bertuan, hukum yang ada hanya hukum rimba dan kesempatan ini dipergunakan oleh gerombolan-gerombolan yang biasa melakukan perbuatan jahat untuk merajalela. Rakyat pula yang menjadi korban.

Tempat atau daerah-daerah yang dilanda perang membuat rakyat jelata ketakutan dan larilah mereka pontang-panting, cerai-berai dan kacau balau meninggalkan dusun atau kota mereka yang mereka tinggali selama ini, sejak mereka kecil. Terpaksa mereka melarikan diri demi meneari keselamatan, meninggalkan segala yang mereka sayang dan cinta, menuju ke tempat yang belum mereka ketahui atau kenal, memasuki nasib baru yang suram penuh rasa takut dan tanpa adanya ketentuan. Mereka ini adalah rakyat jelata pula. Pasukan perajurit, yang merupakan sebagian rakyat pula, dipaksa oleh para penguasa untuk menjadi bidak-bidak catur yang dimainkan oleh para penguasa kedua pihak yang saling bertentangan atau berebut kemenangan. Mereka, para perajurit itulah yang akan gugur tanpa dikenal.

Kalau menang? Beberapa orang penguasa itulah yang akan menikmati hasil sepenuhnya, dan para perajurit yang mempertaruhkan nyawa dalam arti kata seluas-luasnya itu sudah cukup kalau diberi pujian dan sekedar hadiah atau kenaikan pangkat. Bagaimana kalau kalah? Perajurit-perajurit itu mempertahankan sampai titik darah terakhir, mati konyol atau tertawan, tersiksa, terbunuh, sedangkan para penguasa yang hanya beberapa gelintir orang itu kalau terbuka kesempatan akan cepateepat melarikan diri, menyelamatkan diri beserta keluarganya, tidak lupa membawa barang-barang berharga. Mereka akan mengungsi ke negara lain sebagai orang-orang yang kaya raya! Hal ini bukan dongeng, melainkan kenyataan yang dapat kita saksikan, baik dengan menengok ke belakang melalui sejarah maupun melihat keadaan sekarang di mana timbul perang yang keji itu. Keluarga kecil itu terdiri dari suami isteri dan seorang anak perempuan.

Ayah itu berusia hampir empat puluh tahun, sang ibu berusia tiga puluhan tahun dan masih nampak cantik, sedangkan anak perempuan itu berusia kurang lebih sepuluh tahun. Mereka berhasil menyeberangi Sungai Lan-cang dengan sebuah perahu nelayan kecil. Mereka adalah penduduk di sebelah barat sungai itu. Karena pasukan-pasukan Birma sudah tiba di daerah itu, maka mereka melarikan diri mengungsi ke timur. Akan tetapi mereka mendengar pula betapa pasukan Kerajaan Maneu tidak kalah buasnya dengan pasukan Birma atau pasukan pemberontak. Ternak peliharaan para penduduk desa habis disikat mereka, segala barang berharga dirampas dan banyak pula wanita-wanita diganggu untuk melampiaskan nafsu mereka yang datang dengan dalih “melindungi rakyat dari ancaman pemberontakan dan pasukan Birma.”

Rakyat dihadapkan dua api yang sama-sama panas membakar.

“Ibu, aku capai sekali….”

Anak perempuan itu mengeluh setelah perahu yang mereka pergunakan untuk menyeberangi Sungai Lan-cang itu hampir tiba di tepi bagian timur. Anak yang usianya kurang lebih sepuluh tahun itu agak pucat dan nampak lelah sekali. Pakaiannya seperti biasa anak petani dan wajahnya yang ditutupi sebagian rambut panjang kusut itu memiliki garis-garis yang cantik manis, terutama sekali mulutnya yang kecil dengan hiasan lesung pipit di kanan kirinya. Ibu muda ini merangkulnya, mencoba untuk tersenyum walaupun ada garis-garis kegelisahan dan kelelahan di sekitar matanya. Ibu yang usianya tiga puluhan tahun ini bertubuh montok, dengan kulitnya yang putih dan rambutnya yang panjang hitam, walaupun pakaiannya sederhana namun nampak cantik dan manis.

“Kuatkanlah dirimu, Bi Lan, kita menderita kecapaian untuk mencari keselamatan.”

Ibu itu lalu mengusap air mata anaknya dan memijati kedua kaki anaknya yang nampak membengkak. Selama sepekan mereka berjalan terus, hampir tak pernah beristirahat. Bahkan makanpun sambil berjalan dan boleh dibilang tidur sambil berjalan pula. Untung bagi mereka, ketika melarikan diri dari dusun mereka dan menyusup-nyusup keluar masuk hutan, naik turun bukit, mereka tidak pernah bertemu dengan gerombolan, hanya bertemu dengan orang-orang yang lari ke sana ke mari menyelamatkan diri dari ancaman perang. Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Lan-cang dan berhasil menemukan seorang nelayan tua yang mau menyeberangkan mereka.

“Tenanglah, anakku. Setibanya di seberang itu, kita dapat mengaso untuk menghilangkan lelah. Setelah tiba di seberang, baru kita aman dan selanjutnya dapat meneruskan perjalanan seenaknya,”

Kata si ayah menghibur. Ayah ini dengan hati terharu dan duka melihat keadaan mereka yang benar-benar sengsara. Bukan saja kaki isteri dan anaknya luka-luka dan bengkak-bengkak, juga persediaan makan tinggal satu dua hari lagi, sedangkan mereka hanya membawa bekal uang yang kiranya hanya cukup untuk dibelikan makanan selama paling lama sebulan. Setelah itu, bagaimana? Ngeri dia membayangkan.

Belum tahu ke mana tujuan pelarian mereka, belum tahu bagaimana harus mendapatkan penghasilan, dan tidak mempunyai rumah atau tanah, dengan pakaian hanya tiga empat setel saja. Akan tetapi semua itu soal nanti. Yang penting sekarang adalah berada di tempat yang aman! Dan di seberang sungai itulah tempat aman! Akan tetapi, itu hanya harapan saja. Di jaman seperti itu, tempat manakah yang dapat dianggan aman? Baik di dalam kota, maupun dusun, di atas bukit atau di tengah hutan sekalipun, selama tempat itu masih didatangi orang, maka keamanan diripun tidak terjamin lagi. Kejahatan tidak memilih tempat, karena kejahatan muncul dari dalam batin, dan selama ada manusia, maka perbuatan jahatpun terjadilah. Dengan ucapan terima kasih, keluarga yang terdiri dari tiga orang itu meninggalkan nelayan tua yang juga cepat-cepat menengahkan lagi perahunya ke sungai karena bagi nelayan ini,

Tempat yang paling aman adalah di tengah sungai, di mana dia hanya bergaul dengan perahu, dengan kemudi, dengan dayung, kail, jala dan ikan-ikan. Dan Can Kiong bersama isteri dan puteri tunggalnya, Can Bi Lan, melanjutkan perjalanan memasuki hutan di tepi sungai itu. Setelah tiba di sebuah pohon besar di mana terdapat petak rumput, tempat yang teduh dan nyaman, barulah Cau Kiong mengajak anak isterinya berhenti. Isterinya yang sudah hampir merasa lumpuh kedua kakinya lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput tebal sambil menghela napas panjang karena lega. Puterinya, Bi Lan, segera menjatuhkan diri rebah di atas rumput, berbantal paha ibunya dan dalam waktu sebentar saja anak yang sudah hampir pingsan kelelahan inipun pulaslah. Bi Lan tidak tahu berapa lama ia tertidur.

Tiba-tiba tubuhnya terguncang dan terdengar suara riuh. Ia cepat membuka matanya dan ternyata ia telah rebah di atas tanah, tidak lagi berbantal paha ibunya karena ibunya sudah bangkit berdiri sambil berteriak-teriak ketakutan. Ketika ia melihat, ternyata mereka telah dikepung oleh belasan orang yang berpakaian seragam namun compang-camping, dengan jenggot kasar dan pandang mata liar! Belasan orang itu semua memegang senjata golok yang mengkilap tajam. Yang amat mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika ia melihat ayahnya sedang mati-matian melawan dua orang di antara mereka yang menyerang ayahnya dengan golok. Ayahnya berusaha mengelak ke sana-sini, namun diiringi suara ketawa belasan orang itu, akhirnya dua orang itu dapat mempermainkan ayahnya dengan menyarangkan golok mereka,

Mula-mula hanya menyerempet saja, merobek-robek pakaian dan kulit, kemudian makin dalam dan akhirnya Ayahnya, yang terus melawan mati-matian, roboh terguling dalam keadaan mandi darah. Dua batang golok itu masih terus mengejarnya dan menghujankan bacokan sampai tubuh ayahnya hanya menjadi onggokan daging merah berlumur darah! Selagi terjadi pembantaian itu, ibunya menjerit-jerit, apa lagi ketika melihat Ayahnya mandi darah dan terguling. Ibu ini hendak lari menubruk suaminya, akan tetapi tiba-tiba seorang laki-laki yang bercambang bauk, paling tinggi besar di antara mereka, dengan muka hitam totol-totol buruk sekali, menyambar tubuh ibunya dari belakang, kedua tangannya meremas-remas dan muka penuh brewokan itu menciumi muka ibunya.

Wanita itu berteriak-teriak, meronta-ronta dan bahkan memukul dan mencakar, akan tetapi dengan hanya satu tangan saja, dua pergelangan tangan wanita itu ditangkap dan tubuhnya lalu dipanggul. Semua orang tertawa-tawa melihat wanita yang dipanggul itu menggerak-gerakkan kedua kaki dan pinggul, meronta-ronta dan menjerit-jerit. Mereka bicara dalam bahasa asing karena memang mereka adalah Bangsa Birma, sisa pasukan yang terpukul mundur dan tercecer berkeliaran di dalam hutan. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus, yang mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan liar penuh kebengisan dan kekejaman, berkata sesuatu kepada si tinggi besar yang memanggul wanita itu.

Si tinggi besar tertawa dan terkekeh ketika si tinggi kurus menuding ke arah Bi Lan yang masih duduk di atas tanah dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Anak ini tadi ikut menjerit-jerit dan menutupi mukanya ketika ayahnya dibantai, kemudian melihat ibunya ditangkap, iapun menangis dan berteriak-teriak. Hampir ia pingsan melihat semua itu dan kini ia hanya bisa duduk dengan mata terbelalak seperti seekor kelenci tersudut dan terkurung oleh segerombolan srigala. Si tinggi kurus muka pucat itu dengan beberapa langkah saja sudah mendekati Bi Lan dan sebelum tahu apa yang terjadi, rambut Bi Lan yang panjang itu sekali dijambaknya dan sekali sentakan saja membuat gadis cilik itu tubuhnya melayang ke atas dan kepalanya terasa sakit karena rambutnya dijambak dan disentakkan ke atas. Ia menjerit dan tubuhnya sudah dipondong, oleh si tinggi kurus. Bi Lan menjerit dan meronta-ronta sekuat tenaga.

“Lepaskan anakku….! jangan ganggu anakku, ohhh…. bunuhlah aku, tapi jangan ganggu anakku….!”

Ibu itu menjerit-jerit ketika melihat anaknya ditangkap pula. Akan tetapi orang-orang kasar itu hanya tertawa bergelak dan Bi Lan dibawa pergi oleh si tingggi kurus. Bi Lan meronta-ronta, akan tetapi mana mungkin ia dapat melepaskan diri? Ia dibawa semakin jauh dan ia kini tidak melihat ibunya lagi, hanya mendengar jerit tangis ibunya yang makin lama makin jauh kemudian tidak terdengar lagi. Kini baru Bi Lan teringat akan nasib dirinya sendiri setelah ia jauh dari ayah ibunya. Tadi ia lupa akan keadaan diri sendiri karena melihat mereka dan kini baru ia tahu bahwa dirinya dibawa pergi menjauh dari pada yang lain oleh si tinggi kurus bermuka pucat.

Rasa takut membuat ia menangis sesenggukan dan tidak berteriak-teriak lagi, tidak meronta lagi. Ketika tiba di tengah hutan, di dekat sebuah sumber air di mana tumbuh rumput tebal di bawah pohon-pohon rindang, si tinggi kurus itu melempar turun Bi Lan ke atas rumput. Anak itu terbanting perlahan dan karena rumput itu tebal dan lunak, ia tidak terlalu menderita nyeri. Akan tetapi, Bi Lan segera bangkit duduk. Tubuhnya masih lemas karena kelelahan, ditambah lagi dengan kengerian yang dilihatnya, dan rasa takut yang amat sangat, membuat ia seperti lumpuh. Kini, dengan muka pucat, dengan mata merah basah, dengan rambut kusut dan tubuh panas dingin, ia memandang kepada laki-laki yang berdiri amat tingginya di depannya itu dengan sinar mata liar ketakutan. Ia melihat wajah yang pucat kurus itu menyeringai mata yang buas dan bengis itu ditujukan kepadanya.

“Nah, begitulah, anak manis. Diam saja dan jangan menangis. Aku paling benci kalau mendengar anak menangis. Nah, begitulah, jangan membikin aku marah.”

Laki-laki itu lalu menanggalkan bajunya, lalu duduk di depan Bi Lan. Anak perempuan ini melihat betapa kulit dadanya yang kurus itu, kulit yang hanya membungkus tulang, cacat dengan guratan-guratan panjang bekas luka. Mengerikan sekali dan gadis itu semakin ketakutan. Apa lagi melihat laki-laki itu menjulurkan tangan dan jari-jari yang kecil panjang itu menyentuh dan mengusap pipinya, lalu tangan itu mengusap rambutnya.

“Kembalikan…. kembalikan aku…. kepada ibuku….”

Akhirnya Bi Lan mampu juga bicara karena melihat laki-laki itu tak bersikap kasar kepadanya. Baru sekali ini nampak laki-laki itu tertawa dan hampir Bi Lan jatuh pingsan sakig takut dan seremnya. Laki-laki kurus ini sejak tadi diam saja dan sikapnya itu penuh dengan kebengisan, akan tetapi kalau ia diam, masih baiklah. Akan tetapi kini dia tertawa dan suasana menjadi menyeramkan. Dia tertawa tanpa disertai bibir dan matanya. Mulutnya seperti diam saja akan tetapi dari kerongkongannya terdengar kekeh lirih yang amat mengerikan, pantasnya iblis yang bisa tertawa seperti itu. Dan kini laki-laki itu, masih terkekeh, mencengkeram baju Bi Lan dan sekali renggut, terdengar kain robek dan baju itu pun terlepas dari pundak dan lengan Bi Lan! Tentu saja Bi Lan terkejut setengah mati dan ia pun menjerit dan menangis.

“Ehh! Aku paling benci….”

Laki-laki itu berteriak dan tangan kirinya menampar.

“Plakkk….!”

Rasa nyeri membuat Bi Lan yang terpelanting ke atas rumput itu seketika menghentikan tangisnya. Nyeri dan kaget bukan main. Tamparan pada pipinya itu membuat pandang matanya berkunang dan ujung bibirnya berdarah. Ketika ia membuka matanya lagi, tahu-tahu laki-laki itu telah menyambar tubuhnya, dipangkunya dan laki-laki itu lalu menciumi bibirnya yang berdarah. Bagaikan seekor srigala, laki-laki itu menjilati bibir sendiri yang berlepotan darah yang keluar dari bibir Bi Lan yang pecah,

Lalu menciumi lagi dengan buasnya, bukan mencium, melainkan lebih mirip hendak menghisap darah yang keluar itu sampai habis dari tubuh Bi Lan. Tentu saja Bi Lan semakin ketakutan dan kesakitan, meronta-ronta tanpa dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup mulut pria itu. Ia muak dan takut, matanya terbelalak dan ia masih belum mengerti mengapa orang itu melakukan hal seperti itu kepada dirinya. Keadaan orang tinggi kurus itu seperti mabok. Memang, orang yang membiarkan dirinya dikuasai nafsu, tiada bedanya dengan orang mabok. Makin dibiarkan nafsu menguasai diri semakin parah pula maboknya itu sehingga ia lupa segala-galanya, yang teringat hanyalah bagaimana caranya untuk dapat melampiaskan nafsunya secepat mungkin dan sepuas mungkin.

Orang yang dikuasai oleh nafsu berahi seperti orang tinggi kurus itu, yang memang menjadi hamba dari nafsu berahinya dan membiasakan diri untuk tunduk kepada nafsu ini, tidak lagi melihat apakah perbuatannya dalam melampiaskan nafsunya itu sudah tepat dan benar. Dia lupa bahwa yang dicengkeramnya adalah seorang anak kecil berusia sepuluh tahun, bukan seorang wanita yang sudah dewasa dan sudah layak dijadikan pemuas nafsu berahinya. Dia tidak peduli lagi, yang penting baginya adalah bagaimana nafsunya dapat cepat tersalurkan. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan diri Bi Lan itu, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa-tawa. Suara ketawa itu terdengar aneh dan halus, akan tetapi menusuk anak telinga sehingga si tinggi kurus yang sedang menciuminya, atau seperti hendak memakannya dengan lahapnya itu,

Tiba-tiba mengangkat muka yang dibenamkannya pada leher anak perempuan itu dan menoleh. Dia terkejut sekali melihat munculnya tiga orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Karena tigaa orang itu bukan anak buahnya, dia pun menjadi marah dan sekali dorong, dia telah membuat tubuh Bi Lan yang dipangkunya itu terlempar sampai dua meter lebih di depannya, bergulingan di atas rumput. Kemudian dengan sikap beringas karena merasa kesenangannya terganggu, dia meloncat ke atas seperti seekor harimau dan menghadapi tiga orang itu dengan dada dibusungkan. Akan tetapi karena memang tubuhnya kerempeng, biarpun dadanya dibusungkan, tetap saja nampak tidak gagah dan tidak menakutkan, malah lucu karena dadanya itu makin kelihatan kerempengnya. Tiga orang itu memang aneh sekali keadaannya.

Tiga orang kakek yang buruk rupa dan aneh, bahkan lucu dan agak menyeramkan. Usia mereka tentu tidak kurang dari enampuluh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi sekali, hampir satu setengah orang biasa dan seperti biasa orang yang memiliki tubuh tinggi, dia condong untuk merendahkan tubuhnya sehingga agak membungkuk dan kedua pundaknyapun terlipat ke dalam atau ke depan. Orang tinggi ini bertulang besar namun agak kurus, kulitnya penuh keriput kehitaman. Mukanya seperti muka kuda, agak meruncing ke depan dan kedua matanya yang berjauhan itu seperti menjuling kalau memandang ke depan dan sudah terbiasa untuk melihat dengan mata melirik sehingga mukanya selalu tidak lurus menghadapi benda-benda yang dipandangnya. Hidungnya juga mancung dan mulutnya meruncing. Mukanya yang lucu sekali, apa lagi di tambah dengan telinga yang berdaun lebar dan panjang seperti telinga keledai.

Matanya yang menjuling itu seringkali disipitkan karena dia memang kurang awas. Kedua lengannya panjang sekali sampai tergantung ke tepi lutut, seperti lengan kera saja. Pakaiannya serba hitam yang menambah keburukannya, dengan sepatu hitam pula yang dilapisi dengan baja. Kedua kakinya juga panjang-panjang dan agak bengkok seperti punggungnya pula. Orang yang buruk rupa ini sama sekali bukan orang yang biasa saja, bahkan keburukannya itu menambah ketenarannya di dunia kaum sesat karena orang ini adalah Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) yang memiliki kesaktian luar biasa, juga memiliki kekejaman yang hanya dapat disamakan dengan raja iblis sendiri. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini dia tidak pernah keluar dan baru sekarang nampak di hutan itu, suatu hal yang kebetulan saja nampaknya.

Orang yang kedua tidak kalah anehnya. Orangnya bulat seperti bal. Tingginya hanya tiga perempat orang biasa dan karena dia amat gemuk, terutama sekali perutnya yang gendut seperti bola, maka dia kelihatan bulat seperti sebuah gentung yang mempunyai kaki dan tangan. Mukanya yang bulat itu nampak cerah selalu karena dia memiliki mulut yang tidak dapat ditutup rapat, selalu terbuka sehingga nampaknya selalu tersenyum atau tertawa ramah. Orang ini memang segala-galanya serba bulat. Matanya, hidungnya, mulutnya yang lebar bahkan telinganya juga bundar bentuknya. Lengan dan kakinya juga gemuk bulat, apalagi pinggul dan perutnya. Pendeknya, manusia bundar ini memang lucu sekali kelihatan dari samping atau belakang. Akan tetapi jangan lihat dari depan karena kalau melihat sinar matanya dan kalau tersenyum,

Baru nampak sesuatu yang mengerikan membayang dari sinar mata dan senyumnya. Kalau dia diam saja malah mulutnya kelihatan tersenyum ramah, akan tetapi kalau dia tertawa atau tersenyum, sungguh mukanya seketika berubah seperti muka iblis! Dan matanya itu mengeluarkan sinar mencorong yang seperti bukan mata manusia lagi, melainkan mata srigala buas atau mata harimau di tempat gelap. Dia ini pun seorang yang luar biasa sekali, selain sakti juga pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal dengan julukan Im-kan Kwi (Iblis Akhirat). Orang ke tiga lebih menakutkan lagi. Tubuhnya hanya kulit membungkus tulang saja, agaknya sama sekali tidak berdaging lagi, apa lagi bergajih. Seperti tengkorak dan rangka terbungkus kulit, juga mukanya pucat seperti mayat.

Bahkan kalau berjalan kadang-kadang mengeluarkan suara berkerotokan seolah-olah tulang-tulang saling beradu! Hanya sepasang matanya saja yang nampak hidup, bahkan mata ini mencorong menakutkan. Orang ini sama dengan yang dua orang pertama, amat terkenal pada puluhan tahun yang lalu dengan julukan Iblis Mayat Hidup. Karena tiga orang ini selalu saling bantu dari bekerja sama, maka mereka bertiga itu dikenal di dunia kaum sesat sebagai Sam Kwi. {Tiga Iblis). Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, Sam Kwi ini pernah mencoba kepandaian Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. dan melalui perkelahian yang amat sengit, di mana Pandekar Super Sakti d keroyok oleh mereka bertiga, akhirnya Sam Kwi dapat dikalahkan dan masing-masing menderita kekalahan yang cukup parah. Karena tadinya mereka menyombongkan diri, merasa bahwa dengan maju bertiga,

Mereka dapat mengalahkan siapapun juga, dan bersumbar di depan Pendekar Super Sakti bahwa kalau mereka bertiga kalah mereka takkan muncul lagi di dunia persilatan, maka setelah diikalahkan, mereka bertiga lalu pergi menyembunyikan diri bertapa. Mereka merasa malu dan juga penasaran. Oleh karena itu, mereka mengasingkan diri jauh ke puncak yang terpencil dari Pegunungan Thai-san, di mana mereka bertapa dan memperdalam ilmu mereka, ditemani seorang murid yang pandai. Setelah merasa bahwa ilmu mereka mencapai tingkat yang tinggi, dan mendengar betapa negara kacau oleh pemberontakan-pemberontakan, tiga orang itu akhirnya turun gunung dan pergi ke timur. Pada hari itu, tanpa disengaja mereka tiba di hutan yang sunyi di sebelah timur Sungai Lan-cang dan melihat seorang laki-laki tinggi kurus sedang mempermainkan dan agaknya hendak memperkosa seorang anak perempuan yang masih kecil.

Perbuatan seperti itu tentu saja tidak ada artinya bagi tiga orang datuk sesat yang pernah melakukan segala macam kejahatan seperti iblis itu, bahkan dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak ada artinya dan memalukan, hanya pantas dilakukan oleh bajingan kecil saja. Maka, tadinya mereka hanya tersenyum-senyum melihat tingkah laku laki-laki tinggi kurus itu dan membiarkannya saja. Akan tetapi ketika pada suatu ketika anak perempuan itu mengangkat mukanya yang pucat dan tiga orang kakek itu melihat anak itu, tiba-tiba mereka bertiga melangkah maju dan ketiganya merasa amat tertarik. Pandang mata mereka yang tajam melihat bakat terpendam yang amat hebat dalam diri anak perempuan itu! Tentu saja Hek-kwi-ong tidak dapat melihat jelas, hanya melihat betapa anak perempuan itu sama sekali tidak berteriak minta tolong walaupun berusaha dan meronta untuk melawan dan hal ini saja dianggapnya sebagai suatu keberanian luar biasa.

“Wah, anak itu bagus sekali!”

Kata Im-kan-kwi.

“Benar. lebih bagus dari pada murid kita,”

Sambung. Iblis Mayat Hidup.

“Dan ia pemberani dan tabah,”

Kata pula Raja Iblis Hitam tidak mau ketinggalan karena hal ini sama saja mengakui bahwa matanya lamur!

“Sayang daging lunak dan lezat itu dimakan anjing kotor,”

Kata Iblis Akhirat. Ketiganya lalu mengeluarkan suara ketawa dan tubuh mereka melesat seperti terbang saja, dalam sekejap mata tiba di dekat si tinggi kurus yang sedang menciumi anak itu. Suara ketawa inilah yang mengejutkan perajurit Birma tinggi kurus itu dan dia mendorong pergi Bi Lan kemudian meloncat bangun dengan marah.

“Keparat busuk, kalian ini tiga orang tua bangka sudah bosan hidup, berani menggangguku!”

Bentak si tinggi kurus sambil mengamangkan goloknya ke arah tiga orang kakek itu. Iblis Akhirat yang lebih suka bicara dari pada dua orang kawannya, kini tertawa bergelak dan se-ketika prajurit Birma tinggi kurus itu tercengang dan bergidik. Setelah tertawa, kakek yang keli-hatannya ramah itu menjadi begitu menakutkan mukanya. Seperti setan!

“Ha-ha-ha-hah! Cucuku, siapakah engkau?”

Iblis Akhirat bertanya, suaranya tentu saja memandang rendah sekali. Melihat sikap tiga orang ini, si tinggi kurus yang juga bukan seorang yang hijau atau bodoh, dapat menduga bahwa tentu tiga orang kakek ini bukan orang sembarangan sehingga sikap dan keadaannya demikian aneh. Akan tetapi dia tidak takut, dan dia ingin mendatangkan kesan dan wibawa kepada tiga orang ini untuk menggertak mereka, maka jawabnya dengan angkuh,

“Aku adalah perwira pasukan Birma yang jaya!”

Pada waktu itu, semua orang tahu bahwa pasukan Birma bersekutu dengan pasukan pemberontak, dan semua orang takut kepada pasukan Birma ini. Akan tetapi, Iblis Akhirat itu agaknya sama sekali tidak takut.

“Apa? Dari bahasamu, jelas kamu ini bukan orang asing, bukan orang Birma, akan tetapi pekerjaanmu sebagai perwira pasukan Birma. Wah, kalau begitu engkau ini adalah seekor cacing busuk, seorang pengkhianat, ya? Kami paling benci melihat pengkhianat!”

“Anjing penjilat busuk!”

Kata Raja Iblis Hitam.

“Srigala masih lebih baik dari pada kamu!”

Bentak pula Iblis Mayat Hidup. Tentu saja si tinggi kurus menjadi marah bukan main mendengar ucapan mereka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa biarpun Sam Kwi merupakan iblis-iblis yang merajai dunia kaum sesat dan tidak segan melakukan kejahatan macam apa-pun juga, akan tetapi mereka itu pada dasarnya merupakan orang-orang yang membenci pemerintahan Mancu dan karena itu tentu saja membenci negara Birma yang berani masuk dan mengganggu wilayah Yunan, dan lebih benci lagi terhadap orang-orang yang berkhianat membantu kekuasaan asing untuk memerangi bangsa sendiri.

“Keparat, kalian memang sudah bosan hidup!”

Bentak si tinggi kurus dan dengan goloknya dia menerjang maju dan membacok ke arah kepala Iblis Akhirat yang berada paling dekat di depannya. Golok yang mengkilap itu menyambar ganas, kuat dan cepat ke arah kepala Iblis Akhirat yang botak. Akan tetapi si gendut itu sama sekali tidak mengelak dan agaknya bahkan tidak tahu bahwa kepalanya terancam senjata tajam yang akan dapat membelah kepalanya yang bundar dan botak itu menjadi dua!

“Singggg…. krakkk!”

Perwira Birma yang sebenarnya berbangsa Cina itu mengeluarkan suara teriakan kaget dan tangannya terpaksa melepaskan gagang golok karena goloknya menimpa kepala yang kerasnya seperti baja, membuat golok itu rompal dan rusak dan saking kerasnya pertemuan antara golok dan kepala,

Tangannya tergetar hebat dan menjadi seperti lumpuh sehingga terpaksa gagang golok terlepas dan dia sendiri terhuyung ke belakang! Barulah dia kaget dan takut. Kiranya kakek yang diserangnya itu adalah seorang sakti! Sudah banyak dia mendengar tentang orang sakti, dan kini, melawan seorang saja, baru sekali bacok goloknya malah rompal dan terlepas, apa lagi harus melawan tiga orang yang demikian saktinya. Dasar wataknya yang kejam itu terdorong oleh sifat pengecut dan penakut, begitu tahu bahwa dengan kekuatan dan kekuasaannya dia tidak akan menang menghadapi tiga orang ini, tanpa banyak pikir lagi dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Akhirat. Tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar ketika dia berkata dengan suara mengandung penuh rasa takut.

“Harap sam-wi locianpwe (tiga orang tua sakti) sudi mengampuni nyawa hamba….”

“Uhhih, memuakkan!”

Iblis Akhirat berseru sambil menggerakkan hidungnya yang bulat seperti orang mendengus bau busuk. Lalu dia menoleh kepada dua orang temannya.

“Kita apakan saja tikus ini?”

“Kita bantai saja!”

Kata Raja Iblis Hitam.

“Siksa dia!”

Kata pula Iblis Mayat Hidup.

“Ampun…. ampun…. Si tinggi kurus itu mengeluh ketakutan.

“Desss….!”

Tiba-tiba Iblis Akhirat menggerakkan kakinya dan kaki kanan yang pendek itu sudah menendang. Tubuh yang berlutut itu terlempar ke atas, tinggi sekali, sampai ada lima tombak tingginya. Si tinggi kurus berteriak kesakitan dan ketakutan. Ketika tubuhnya melayang turun, dia disambut oleh tendangan Raja Iblis Hitam.

“Desss….!”

Kembali tubuhnya terlempar ke atas, kini tendangan itu lebih keras lagi. Akan tetapi seperti juga tendangan Iblis Akhirat tadi, tendangan ini mengenai pangkal pahanya dan tidak mematikan, hanya menimbulkan rasa nyeri dan membuat tubuhnya terlempar jauh ke atas. Kembali si tinggi kurus berteriak ketakutan ketika tubuhnya melayang turun.

“Dukkk….!”

Sekali lagi tubuhnya mencelat ke atas ketika Iblis Mayat Hidup memperoleh giliran menyambut tubuhnya dengan tendangan. Agaknya tiga orang kakek ini tidak mau cepat membunuh korban mereka dan mereka seperti bermain bola, menendangi tubuh itu sampai berkali-kali terlempar ke atas. Baru setelah si tinggi kurus tidak mengeluh, mereka membiarkan tubuh itu terjatuh ke atas tanah.

“Brukkk….”

Si tinggi kurus terbanting keras dan tidak mengeluh lagi karena sudah pingsan.

“Byurrr….!”

Tubuh itu terbaring ke kubangan air yang tidak dalam, akan tetapi cukup membenamkan tubuh yang jatuh miring itu. Begitu mukanya terbenam ke dalam air yang amat dingin, si tinggi kurus sadar kembali dan gelagapan bangkit dari genangan air. Dia segera teringat akan ancaman mengerikan dari tiga orang kakek itu yang kini berdiri melihat kepadanya sambil menyeringai. Rasa takut mendatangkan tenaga dalam tubuhnya yang ngilu dan nyeri semua itu, lalu dia melompat dan melarikan diri.

“Ho-ho-ho, berani melarikan diri?”

Tiba-tiba Iblis Akhirat berseru dan sekali tubuhnya yang bulat bergerak, seperti sebuah bola yang menggelinding, cepat sekali dia mengejar dan tahu-tahu rambut kepala si tinggi kurus yang terurai karena terlepas dari lindungan topi pasukan dan ikatan rambut ketika dijadikan bulan-bulan tendangan tadi, sudah dijambaknya dan tubuh itu diseretnya seperti seorang anak kecil menyeret sebuah benda permainannya.

“Ampun, locianpwe…. ampun!”

Si tinggi kurus merintih ketakutan.

“Brukkk….!”

Kakek gendut itu membanting tubuh korbannya ke atas tanah dan mereka bertiga mengepungnya, seperti tiga orang anak yang sedang bermain-main dengan gembira.

“Ha-ha-ha, kau suka bermain dengan golok dan tadi mengetuk kepalaku dengan golokmu? Hemmm, coba sampai di mana ketajaman golok rompalmu!”

Kakek gendut itu mengambil golok rompal milik si tinggi kurus yang memandang dengan pucat sekali dan mata terbelalak.

“Iblis Hitam dan Mayat Hidup,”

Kata Iblis Akhirat kepada dua orang temannya.

“Aku telah melatih semacam ilmu yang menarik sekali. Dari jauh, dengan golok ini, aku mampu mengambil daun telinga kiri tikus ini. Kalian mau lihat?”

“Apa sukarnya itu?”

Iblis Mayat Hidup mendengus.

“Golok ini kubikin terbang mengambil daun telinga dan membawanya kembali ke tempat aku berdiri.”

Sambung si gendut.

“Ah, masih harus dibuktikan itu!”

Kata Raja Iblis Hitam tak percaya. Tentu saja kedua orang datuk iblis itu tahu dan bahkan pandai menyerang lawan dengan golok terbang, yaitu hui-to atau golok yang disambitkan. Akan tetapi membuat golok itu mengambil daun telinga dan membawanya kembali ke tuannya, sungguh mustahil!

“Ha-ha-ha, kalian lihat baik-baik,”

Kata kakek gendut sambil meloncat menjauhi korbannya sampai sejauh limabelas meter. Dia lalu menggunakan jari-jari kedua tangannya menekuk golok itu menjadi sebuah benda melengkung seperti gendewa patah tengahnya, dan beberapa kali ditimangnya di tangan kiri, lalu dibenarkan tekukannya, Setelah merasa puas dan menganggap bahwa bentuk senjatanya itu sudah sempurna, dia lalu mengukur jarak dengan matanya. Si tinggi kurus hanya memandang dengan muka pucat sekali, tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya.

“Terbanglah!”

Tiba-tiba Iblis Akhirat menggerakkan lengan kanannya yang pendek dan benda melengkung terbuat dari golok tadi melayang cepat ke arah si tinggi kurus, dengan berputar-putar aneh.

“Cratt…! Auhhh….”

Tiba-tiba si tinggi kurus berteriak dan menutupi telinga kirinya yang berdarah. Kiranya daun telinga kirinya sudah putus disambar benda terbang tadi dan hebatnya, daun telinga itu seperti menempel pada benda itu yang kini terbang terus, kembali kepada Iblis Akhirat! Kakek gendut ini bergelak dan menerima kembali senjata aneh itu yang dilemparkannya ke atas tanah bersama daun telinga itu.

“Bagus….!”

Dua orang kakek yang menjadi temannya memuji.

“Kalau hanya buntung sebelah menjadi kurang patut.”

Tiba-tiba Raja Iblis Hitam berkata dan sebelum si tinggi kurus tahu maksudnya, tiba-tiba si tinggi besar seperti raksasa itu sudah menjulurkan tangannya. Lengannya yang panjang itu terjulur dan betapa takutnya hati si tinggi kurus melihat betapa lengan yang dijulurkan itu terus mulur semakin panjang mengejarnya. Dia terkejut dan ketakutan, bangkit berdiri dan dengan tangan memegangi bagian telinga kiri yang buntung, dia mencoba lari.

“Krakkk…. aduhhhh….!”

Tubuh si tinggi kurus terpelanting dan dia bergulingan ke atas tanah, kini sebelah tangannya menutupi telinga kanan yang sudah tidak berdaun lagi karena tadi, jari-jari tangan yang diulurkan panjang itu tahu-tahu sudah meremas daun telinga itu sehingga hancur dan buntung!

“Heh-heh-heh-heh, ilmu memanjangkan lenganmu itu bagus sekali untuk melakukan pencopetan di pasar. Iblis Hitam!”

Iblis Akhirat terkekeh kagum. Tidak mudah menguasai ilmu membuat anggauta tubuh dapat mulur seperti itu.

“Kedua tangannya menyembunyikan hasil pertunjukan kalian, biar kusingkirkan!”

Kata Iblis Mayat Hidup yang melangkah maju menghampiri si tinggi kurus yang kini sudah ketakutan setengah mati. Melihat betapa kakek yang seperti mayat hidup itu menghampirinya, dia melupakan rasa nyeri pada kedua telinganya dan diapun cepat bangkit berdiri dan lari sekuatnya!

“Tak-tuk-krok-krok….!”

Terdengar suara berkerotokan dan itulah suara tubuh Iblis Mayat Hidup yang lari berloncatan mengejar. Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu iblis ini sudah berdiri menghadang di depan si tinggi kurus yang tentu saja terbelalak kaget melihat iblis itu telah berada di depannya. Dia membalikkan diri dan berlari ke lain jurusan, akan tetapi terdengar pula suara berkeretokan dan tahu-tahu iblis itu sudah menghadang pula di depannya.Beberapa kali dia membalik sampai akhirnya dia digiring kembali ke tempat tadi.

“Ampun…. ampun….!”

Katanya mengangkat kedua tangan ke atas, melepaskan pinggir kepala yang tadi ditutupinya. Nampak kedua telinga itu tidak bardaun lagi dan hanya merupakan sebuah lubang berlumuran darah.

“Wuuuuut…. krakkkkk!”

Tangan Iblis Mayat Hidup bergerak menyambar ke arah dua pundak si tinggi kurus dengan cepat bukan main dan tahu-tahu nampak darah menyembur dari kedua pundak si tinggi kurus itu ketika lengannya tahu-tahu sudah buntung disambar jari-jari tangan kurus dari Iblis Mayat Hidup! Dengan babatan jari-jari tangan saja tengkorak hidup itu mampu membikin buntung dua lengan sebatas pundak. Sungguh merupakan ilmu yang amat luar biasa dan keke-jaman yang mencapai puncaknya.

“Ha-ha-ha, bagus!”

Teriak Iblis Akhirat.

“Bagus sekali!”

Raja Iblis Hitam juga memuji. Akan tetapi si tinggi kurus hanya dapat menjerit dan diapun roboh pingsan. Darah bercucuran dari kedua pundak yang sudah tidak berlengan lagi itu.

“Heh-heh, dia tidak boleh mati dulu!”

Iblis Akhirat berkata dan cepat dia meloncat ke dekat tubuh yang pingsan itu, sedangkan Iblis Mayat Hidup memutar-mutar kedua lengan yang dipatahkannya itu seperti seorang anak kecil main-main, lalu melemparkan dua lengan itu jauh sekali ke dalam jurang.

Si gendut itu mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol yang berupa cairan hitam, ke atas luka di kedua pundak dan juga di kedua telinga. Obat ini manjur bukan main, cepat kerjanya karena seketika darah berhenti mengalir. Dengan beberapa tekanan pada jalan darah, si tinggi kurus disadarkan kembali oleh Iblis Akhirat. Si tinggi kurus itu begitu sadar, merintih-rintih karena merasakan nyeri yang amat hebat menusuk sampai ke ulu hati. Ketika dia melihat bahwa dua lengannya telah lenyap, dia mengeluh dan dengan susah payah dia dapat bangkit duduk, memandang ke arah tiga orang kakek itu. Tahulah dia bahwa minta ampun tidak ada gunanya, maka diapun menggigit bibir menahan nyeri lalu berkata,

“Kalian bunuh sajalah aku!”

Dia memang tidak dapat melihat jalan keluar lain kecuali mati dengan cepat. Sementara itu, sejak tadi Bi Lan yang sudah bangkit duduk di atas rumput dan mengenakan kembali bajunya yang tadi direnggut lepas dan robek, dan nonton semua peristiwa itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan tontonan yang demikian mengerikan. Seluruh tubuhnya menjadi panas dingin dan ia merasa ngeri sekali. Bukan main hebatnya pengalaman yang dihadapi gadis cilik ini secara beruntun. Mula-mula melihat ayahnya terbunuh oleh perampok, lalu melihat ibunya diculik, dan ia sendiri dilarikan si tinggi kurus yang melakukan hal-hal tak senonoh terhadap dirinya, perlakuan yang belm dimengertinya benar akan tetapi yang membuat ia hampir gila karena ngeri, muak dan takut. Kemudian, munculnya tiga orang kakek aneh yang menyiksa si tinggi kurus itu membuat ia mencapai ketegangan yang sudah tiba pada puncaknya. Agaknya pemandangan menegangkan dan mengerikan yang bertubi-tubi menghantam perasaan Bi Lan membuat gadis cilik itu terbiasa dan kini,

Biarpun ia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat, mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara apapun, akan tetapi ia tidak takut lagi, bahkan mulai menggunakan pikirannya. Jelas baginya bahwa tiga orang kakek itu telah menyelamatkannya, bahwa tiga orang kakek yang aneh itu tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi akan tetapi juga memiliki kekejaman yang luar biasa. Dan ia tentu tidak akan terlepas dari tangan tiga orang kakek itu, dan ia harus pandai membawa diri, demikian pikirnya. Ia tidak boleh cengeng, tidak boleh bingung, harus dapat mempergunakan akalnya karena tidak ada orang lain di dunia ini yang akan dapat diharapkan menolongnya kecuali dirinya sendiri. Bahkan, disamping kengerian, timbul pula rasa senang dan puas melihat betapa si tinggi kurus itu mengalami penyiksaan yang demikian mengerikan.

“Wah, ilmu kiam-ciang (tangan pedang) yang kau kuasai sudah hebat sekali, Mayat Hidup. Bagaimana pendapatmu, Iblis Hitam? Apa kau mampu menandinginya dalam hal kehebatan kiam-ciang itu?”

Kata si Iblis Akhirat kepada Hek-kwi-ong. Raksasa hitam itu menggeleng kepala.

“Aku tidak mampu sehebat dia.”

“Heh-heh, akupun demikian. Akan tetapi, kita berdua pernah melatihnya. Coba kita lihat, apakah orang pengecut dan pengkhianat seperti dia ini mampu hidup tanpa lengan tanpa kaki,”

Kata pula Iblis Akhirat yang melangkah maju mendekati si tinggi kurus yang sudah buntung kedua lengannya. Hek-kwi-ong si Raja Iblis Hitam mengangguk dan menghampiri pula. Tiba-tiba mereka berdua menggerakkan tangan seperti yang dilakukan oleh Iblis Mayat Hidup tadi, tangan mereka membacok, masing-masing ke arah kaki kanan dan kaki kiri si tinggi kurus.

“Krokk! Krokk!”

Si tinggi kurus kembali menjerit dan tubuhnya roboh, kedua kakinya, sebatas paha, buntung oleh bacokan tangan dua orang kakek itu! Kembali darah muncrat dan Im-kan Kwi si Iblis Akhirat yang gendut itu kembali mempergunakan obat cairan yang cepat menghentikan cucuran darah.

Ketika Im-kan Kwi mengurut jalan darah dan si tinggi kurus itu siuman kembali, tentu saja dia tidak mampu bangkit lagi. Tubuhnya hanya tinggal kepala dan badan, tanpa kaki tanpa lengan tanpa daun telinga, nampak menyedihkan sekali. Dia hanya merintih-rintih dan tergolek ke kanan kiri, mendesis-desis kesakitan. Dia tidak akan mati karena darahnya tidak bercucuran keluar, akau tetapi hidupnya takkan berguna lagi. Dan kalau tidak ditolong orang lain, tentu dia akhirnya akan tewas kelaparan atau diterkam binatang buas kalau dibiarkan di tempat itu. Kini tiga orang kakek itu agaknya sudah bosan mempermainkan si tinggi kurus, dan mereka lalu menghampiri Bi Lan. Akan tetapi anak perempuan ini tidak takut. Ia bahkan bangkit berdiri, memandang tiga orang kakek itu dengan sinar matanya yang jernih. Mukanya masih pucat, akan tetapi tidak terbayang ketakutan pada muka yang manis itu.

“Tiga orang kakek buruk, setelah kalian membunuh bangsat itu, apakah juga akan membunuh aku? Tapi jangan siksa aku seperti dia.”

Tiga orang kakek itu saling pandang. Lalu Iblis Akhirat yang gendut terkekeh, Raja iblis Hitam yang seperti raksasa itu tersenyum lebar dan Mayat Hidup menyeringai aneh.

“Ha-ha-ha-ha, anak baik. Kami suka padamu. tidak akan membunuhmu, akan tetapi kami ingin mengambilmu sabagai murid. Bagaimana, maukah kau menjadi murid kami? Mau tidak mau harus mau!”

Dan dalam suara kakek gendut itu terdengar suara mengancam! Akan tetapi Bi Lan tetap tenang. Anak ini tadi sudah memutar otaknya dan mengambil keputusan bahwa ia harus dapat mempergunakan kepandaian tiga orang kakek ini untuk menolong ibunya dan membalas dendam!

“Tentu saja aku mau, akan tetapi kalian juga harus memenuhi permintaanku lebih dulu!”

Tiga orang kakek itu kembali saling pandang dan tersenyum girang. Mereka suka kepada anak yang berani dan anak perempuan ini cukup berani, bahkan berani menyebut mereka “tiga kakek buruk”, sebutan yang menggembirakan hati mereka!

“Permintaan apa?”

Tanya Iblis Mayat Hidup yang biasanya jarang sekali bicara.

“Pertama, kalian harus menolong ibuku. Ke dua, kalian harus membunuh gerombolan penjahat yang tadi membunuh ayah dan menculik ibu.”

“Ha-ha-ha, permintaan yang mudah saja. Coba, ceritakan siapa namamu dan apa yang terjadi dengan ayah ibumu,”

Kata Iblis Akhirat, biarpun tertawa-tawa, akan tetapi hatinya menjadi tak senang karena iri hati mendengar anak itu menyebut-nyebut ayah ibunya. Apapun yang terjadi, kalau ayah dan ibu anak itu masih ada, harus mereka bunuh dulu sebelum mengambil anak ini menjadi murid, pikirnya. Pikiran yang luar biasa kotor dan jahatnya!

“Namaku Can Bi Lan, aku bersama ayah dan ibu sedang melakukan perjalanan mengungsi dari sebelah barat Sungai Nu Kiang. Ketika kami menyeberang Sungai Lan-cang, di tepi sungai sebelah timur kami dikepung oleh belasan orang perampok itu dan Ayah yang melakukan perlawanan mereka bunuh, ibu diculik dan aku dilarikan oleh si keparat itu. Nah, kalau kalian mau menolong ibu dan membunuh belasan orang akupun mau menjadi murid kalian.”

“Baik, baik, mari kita pergi!”

Kata iblis Akhirat.

“Hek-kwi, kau yang tinggi besar dan kuat gendonglah Bi Lan murid kita ini.”

Hek-kwi-ong Si Raja Iblis Hitam itu mendengus, lalu tangannya yang besar itu dijulurkan ke arah Bi Lan. Gadis ini merasa ngeri melihat lengan yang panjang itu dapat mulur ke arahnya, akan tetapi ia menahan rasa takutnya dan diam saja ketika tiba-tiba tangan itu menangkap tangannya dan sekali disentakkan tubuhnya melayang ke atas dan tiba di punggung kakek raksasa hitam itu! Mereka bertiga lalu melangkah pergi dengan amat cepatnya, meninggalkan si tinggi kurus yang kini tidak tinggi lagi, hanya merupakan kepala dan badan yang bergelimang di rumput yang berlepotan darah. Dia mengeluarkan suara dari tenggorokannya, entah tawa ataupun tangis. Peristiwa yang amat hebat menimpa dirinya, membuat si tinggi kurus ini menjadi gila saking takutnya.

“Brakkkkkk….!”

Pintu pondok kecil di tengah hutan yang tertutup rapat itu jebol, mengejutkan seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya bercambang bauk, juga bertotol-totol hitam buruk yang sedang rebah dengan dada telanjang, hanya mengenakan celana dalam yang tipis. Siang itu hawanya panas dan laki-laki inipun berkeringat. Bau arak yang keras tercium ketika pintu itu jebol, dan melihat wajah laki-laki buruk rupa itu yang kemerahan, juga matanya liar, bau arak yang keluar dari mulutnya, jelas menunjukkan bahwa dia terlalu banyak minum arak.

“Ibu….!”

Bi Lan menjerit ketika melihat ibunya tergantung di dalam kamar itu. Wanita yang malang ini tergantung dalam keadaan telanjang bulat, dengan kepala di bawah dan kaki terikat pada tali yang digantungkan di tihang melintang di atas.

Melihat tubuh telanjang itu sama sekali tidak bergerak, dan melihat mata yang terbuka akan tetapi tanpa sinar itu, mudah saja bagi. tiga orang kakek Sam Kwi untuk ,menduga bahwa wanita itu sudah tewas, seperti juga mayat laki-laki yang menjadi ayah Bi Lan yang menggeletak di luar dengan tubuh hancur oleh senjata tajam. Tiga orang Sam Kwi bernapas lega. Ayah ibu anak ini sudah mati. Bagus! Mereka tadi mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk mengejar gerombolan itu dan melihat mereka semua berada di dalam hutan itu. Anak buah pasukan Birma yang berubah menjadi gerombolan jahat itu nampak tidur-tiduran di bawah pohon. Guci-guci arak berserakan dan agaknya mereka baru saja makan minum dan kini tertidur setelah puas kekenyangan.

Apa lagi dalam keadaan mabok dan tidur, andaikata mereka dalam keadaan sadar dan tidak tidur sekalipun, amat mudah bagi tiga orang kakek itu untuk mendatangi pondok itu tanpa mereka ketahui. Melihat bahwa ayah anak itu sudah tewas di tempat perampokan, mereka bertiga lalu melakukan pengejaran dan jelas nampak jejak kaki mereka sampai di tengah hutan itu. Dan karena ibu anak itu tidak ada, mereka dapat menduga bahwa tentu wanita itu dibawa ke dalam pondok kecil itu, maka mereka langsung saja mendobrak daun pintu sampai jebol. Dan benar saja, wanita itu berada di dalam kamar, akan tetapi agaknya sudah tidak bernyawa lagi setelah mungkin diperkosa beramai-ramai lalu digantung karena mungkin wanita itu melawan. Si tinggi besar brewokan yang menjadi kepala pasukan, seorang Birma yang biasa hidup dalam kekerasan, terkejut bukan main.

Baru saja dia memuaskan diri memperkosa dan menyiksa wanita itu sampai mati, lalu dia makan dan minum-minuman sampai mabok dan merebahkan diri untuk tidur. Kini, kaget melihat jebolnya daun pintu dan melihat tiga orang kakek yang aneh, seorang di antaranya menggendong anak perempuan yang tadi dilarikan oleh pembantunya, dia mencium bahaya. Cepat dia bergerak kepada anak buahnya dan menyambarkan golok besarnya, menerjang ke depan, membabat ke arah Iblis Mayat Hidup yang paling menyeramkan dan berdiri paling dekat. Akan tetapi, rangka terbungkus kulit itu dapat bergerak cepat bukan main. Golok itu menyambar seperti mengenai sasarannya membabat pinggang, akan tetapi tiba-tiba saja tubuh kurus kering itu lenyap dan ternyata sudah mengelak ke samping dan pada saat itu si tengkorak hidup menggerakkan tangannya yang kurus.

“Tukkk!”

Hanya perlahan saja jari tangan Iblis Mayat Hidup menyentuh lengan yang memegang golok, akan tetapi seketika golok terlepas dan lengan itupun lumpuh dan berobah menghitam karena di sebelah dalamnya, beberapa otot besar putus dan darah mengalir liar membuat lengan nampak hitam! Bukan kepalang rasa nyeri pada lengan kanan itu, membuat si brewok berteriak-teriak, akan tetapi kembali tangan kurus itu menyambar, sekali ini leher si brewok yang disentuh dan seketika si brewok roboh, suara mengorok keluar dari lehernya, mukanya berobah hitam dan dia berkelojatan dalam sekarat.

Dia tewas tak bergerak lagi ketika anak buahnya yang belasan orang banyaknya itu sudah datang menyerbu dengan golok di tangan. Melihat betapa pemimpin mereka sudah roboh dengan muka berwarna hitam, tak bergerak lagi, belasan orang kasar itu menjadi marah sekali. Langsung mereka menerjang tiga orang kakek itu dengan golok mereka. Tiga orang kakek itu melangkah keluar dari pondok. Perkelahian yang aneh, lucu dan tidak seimbangpun terjadilah. Sepasang lengan Raja Iblis Hitam itu mulur dan tanpa memperdulikan golok-golok itu, kedua tangannya menangkapi lawan, membanting, melontarkan tinggi ke atas dan mambiarkan tubuh lawan itu terbanting keras, menangkap dua kepala dan mengadu dua kepala itu. Si gendut Iblis Akhirat sambil menyeringai aneh dan menyeramkan, membiarkan golok-golok itu mengenai kepala botaknya atau lengannya,

Dan hanya kedua kakinya saja yang pendek-pendek dan besar-besar itu bergerak cepat ke kanan kiri dan setiap orang yang terkena tendangannya tentu terlempar, terbanting roboh dan tidak dapat bangkit kembali. Iblis Mayat Hidup lebih mengerikan lagi. Dengan tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan, dia membagi-bagi pukulan dan setiap kali tangannya menyentuh tubuh lawan, karena sentuhan perlahan itu tidak pantas dinamakan pukulan, lawan roboh dengan bagian badan yang disentuh berobah kehitaman! Dalam waktu singkat saja, belasan orang itu roboh semua dan tidak seorangpun dapat bangkit atau bergerak lagi karena mereka telah tewas. Kepala-kepala pecah berantakan sampai otak dan darah berceceran, tulang-tulang berkerotokan ketika patah-patah bahkan ada kulityang robek-robek dan mayat yang ternoda hitam-hitam mengerikan.

“Ha-ha-ha-ha! Bi Lan murid yang baik, apakah kini engkau telah puas? Lihat, semua musuhmu telah kami bunuh,”

Kata Iblis Akhirat kepada Bi Lan. Gadis cilik itu melorot turun dari gendongan Raja iblis Hitam dan iapun memasuki pondok, sejenak berdiri memandang mayat ibunya yang tergantung dengan tubuh terbalik. Pada bagian tubuh tertentu dari ibunya nampak lula-luka guratan senjata tajam. Ingin ia menjerit, akan tetapi batinnya mengalami guncangan hebat sehingga ia tidak lagi dapat menangis.

“Ibumu sudah mati,”

Tiba-tiba terdengar suara orang dan ketika gadis cilik itu menengok, yang bicara adalah Iblis Mayat Hidup. Dua kakek lainnya juga sudah berdiri di belakangnya. Gadis cilik ini tidak tahu betapa tiga orang kakek itu memandang ke arah mayat ibunya dengan hati girang, bukan hanya karena gadis cilik itu kini sudah terlepas dari semua ikatan keluarga, juga karena mereka bertiga itu kagum akan cara gerombolan itu menyiksa wanita ibu Bi Lan!

“Ha-ha-ha, Bi Lan. Kami telah memenuhi permintaanmu, sekarang berlututlah dan angkat kami sebagai gurumu dan menyebut suhu,”

Kata Iblis Akhirat.

“Nanti dulu,”

Gadis cilik itu berkata.

“Sebelum itu kuminta agar kalian suka mengubur jenazah ibuku, juga jenazah ayahku, dikubur bersama dalam satu lubang di tempat ini.”

Tiga orang kakek itu saling pandang.

“Wah, apa-apaan ini!”

Raja Iblis Hitam mengeluh.

“Ada-ada saja!”

Iblis Mayat Hidup menyambung. Jelas bahwa keduanya merasa tidak senang dengan pekerjaan itu.

“Apa gunanya?”

Si gendut Iblis Akhirat ber-seru.

“Biarkan saja begitu, akhirnya juga akan habis sendiri.”

“Tidak!”

Bi Lan berseru.

“Kalau kalian tidak mau, biar aku sendiri yang akan melakukan penguburan itu. Mereka harus dikubur agar jenazah mereka tidak dimakan binatang buas!”

“Hemm, apa kau kira di dalam tanah tidak ada binatang buasnya? Kulit dagingnya akan digerogoti tikus dan cacing-cacing sampai habis!”

Mendengar ucapan si gendut itu, Bi Lan bergidik.

“Biarlah, mereka hancur dikubur dan kalau kalian tidak mau, akan kulakukan sendiri dan aku tidak akan sudi menjadi murid kalian.”

Tiga orang kakek itu saling pandang dan menggaruk-garuk kepala. Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat disertai suara berkerotokan dan Iblis Mayat Hidup sudah lenyap dari tempat itu. Tak lama kemudian dia datang kembali membawa mayat Can Kiong, Ayah Bi Lan yang sudah penuh luka itu.

Dan tanpa banyak cakap lagi, tiga orang kakek itu lalu menggali sebuah lubang besar. Cepat sekali pekerjaan ini dilakukan oleh tiga orang sakti itu, mempergunakan golok-golok para korban amukan mereka tadi. Setelah mengubur dua orang suami isteri itu dan menutupi lubang dengan tanah, kemudian atas permintaan Bi Lan mereka menaruh sebuah batu bundar sebesar gajah di tempat kuburan, mereka lalu berdiri berjajar dan menuntut agar Bi Lan suka menjadi murid mereka dan memberi hormat seperti layaknya seorang yang mengangkat guru. Kini Bi Lan tidak ragu-ragu lagi. Kalau bukan tiga orang kakek aneh ini, siapa lagi manusia di dunia ini yang memperdulikannya? Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki tiga orang itu, memberi hormat dengan sungguh-sungguh.

“Suhu…. suhu…. suhu….!”

Katanya setiap kali ia menyembah di depan kaki seorang kakek. Tiga orang itu girang bukan main.

“Muridku yang baik!”

Kata Raja Iblis Hitam dan tiba-tiba Bi Lan merasa tubuhnya melayang jauh tinggi di udara. Anak itu tentu saja terkejut bukan main, sama sekali tidak menyangka bahwa raksasa hitam yang menjadi seorang di antara gurunya itu akan melakukan hal seperti itu, melemparkan tubuhnya tingi ke udara! Ia teringat betapa tadi suhunya yang ini melempar-lemparkan tubuh lawan ke atas dan tubuh itu terbanting jatuh dengan kepala pecah berantakan. Tentu saja ingatan ini mendatangkan rasa takut yang hebat dalam batinnya yang sehari itu sudah mengalami guncangan-guncangan luar biasa. Akan tetapi justeru guncangan-guncangan hebat itu membuat Bi Lan kehilangan rasa takut, atau andaikata ada rasa takut, ia berani menghadapinya dan mendatangkan suatu kenekatan besar.

Maka, betapapun ngerinya, ia mengatupkan bibirnya yang kecil dan tidak mau mengeluarkan suara yang membayangkan ketakutan! Ketika tubuhnya melayang turun berputaran tangan Iblis Akhirat sudah menyambutnya dan kembali ia dilemparkan ke atas oleh kakek itu yang terkekeh senang. Ketika merasa betapa tubuhnya tidak terbanting melainkan disambut hendak di lemparkan lagi ke atas, mengertilah Bi Lan bahwa tiga orang gurunya itu bermain-main atau mungkin hendak menguji ketabahannya. Hal ini membesarkan hatinya. Ia akan memperlihatkan kepada tiga orang kakek aneh itu bahwa ia tidak takut! Maka, ketika untuk kedua kalinya tubuhnya terlempar ke atas, ia mengeluarkan suara ketawa cekikikan sebagai tanda bahwa iapun senang dilempar-lemparkan seperti itu. Akan tetapi terdengar suara Iblis Mayat Hidup mencela.

“Apa ketawa-ketawa! Dalam setiap keadaan, engkau harus belajar karena setiap peristiwa mengandung bahan baik untuk dipelajari!”

Dan ketika tubuhnya meluncur turun, ia disambut pula oleh kakek kurus kering itu dan dilontarkan pula ke atas. Bi Lan menghentikan ketawanya, takut kalau ketiga orang gurunya marah.

Gila, pikirnya, dilempar-lempar ke udara seperti itu dapat mempelajari apakah? Lalu teringatlah ia betapa kalau meluncur lagi ke bawah, tubuhnya berputaran tidak karuan. Mengapa ia tidak mau belajar agar luncurannya itu nyaman dengan kaki di bawah dan kepala di atas ? Bukankah kalau ia terpaksa terbanting ke atas tanah, akibatnya tidak begitu parah kalau kakinya lebih dulu dari pada kepalanya? Mulailah ia menggerak-gerakkan kaki tangannya, mengatur keseimbangan agar tubuhnya tidak jungkir balik atau berputaran. Agaknya tiga orang gurunya girang melihat ini, dan begitu ia meluncur turun, ia disambut lagi bergantian untuk dilontarkan pula ke atas. Akhirnya setelah puluhan kali dilontarkan ke atas, Bi Lan berhasil mengatur luncuran tubuhnya sehingga kakinya selalu meluncur di bawah,

Kedua tangan dikembangkan dan kedua kaki dipentang seperti orang menunggang kuda. Melihat ini, tiga orang gurunya bergantian memberi petunjuk, bagaimana harus mengatur tangan atau kaki, bagaimana harus mengatur napas dan gerakan-gerakan lain. Bi Lan yang tahu bahwa tiga orang gurunya ini adalah orang-orang aneh dan begitu ia mengangkat mereka sebagai guru, langsung saja mereka itu menguji dan memberi pelajaran yang begitu aneh! Maka iapun memperhatikan dengan tekun dan tanpa mengenal lelah ia terus berusaha, walaupun tubuhnya yang memang sudah amat lelah, apa lagi baru saja mengalami hal-hal yang amat hebat itu, terasa sakit-sakit. Bahkan ia menahan rasa lapar dan kantuknya sampai akhirnya ia tertidur selagi tubuhnya dilemparkan lagi ke atas oleh Iblis Mayat Hidup.

Melihat betapa murid mereka itu meluncur turun dengan tubuh lunglai, tiga orang kakek itu terkejut setengah mati, khawatir kalau-kalau murid mereka yang masih lemah dan amat lelah itu tidak kuat dan mati di udara! Mereka menyambutnya dan legalah hati mereka melihat bahwa murid mereka itu hanya tertidur pulas! Meledaklah suara ketawa mereka dan hati mereka puas dan bangga. Dilempar-lemparkan seperti itu, murid mereka ini malah bisa tidur nyenyak, dan itu di-anggap oleh mereka sebagai tanda nyali yang amat besar, ketabahan yang jarang dimiliki seorang anak kecil, apa lagi anak perempuan. Tiga orang Sam Kwi itu lalu meninggalkan hutan itu menuju ke timur. Mereka melakukan perjalanan cepat sekali, mengambil jalan melalui bukit-bukit dan rawa-rawa, melalui sungai dan hutan yang liar, yang jarang didatangi manusia.

Mereka mengambil jalan memotong, menerjang jalan yang betapa sukar sekalipun, dengan kepandaian mereka yang tidak lumrah manusia. Kalau mereka melalui perjalanan yang amat sukar, yang tidak dapat dilalui manusia biasa, mereka memondong Bi Lan bergantian, akan tetapi kalau melalui jalan biasa sambil menikmati pemandangan alam, mereka membiarkan Bi Lan berjalan kaki di belakang mereka. Dasar orang-orang aneh, kadang-kadang mereka meninggalkan Bi Lan begitu saja, membuat gadis cilik itu berlari-larian setengah mati mengejar mereka dan kalau Bi Lan sudah hampir putus asa karena tidak mampu mengejar dan guru-gurunya lenyap, barulah mereka muncul!

Dan di sepanjang perjalanan, mereka melatih Bi Lan dengan dasar-dasar ilmu silat, dan menggemblengnya dengan latihan-latihan untuk menghim-pun tenaga sin-kang.

Ada kalanya tiga orang itu berebut untuk melatih Bi Lan yang ternyata memiliki bakat yang hebat, tepat seperti dugaan mereka. Setiap pelajaran yang diberikan guru-gurunya, dapat ditangkap dengan mudah oleh Bi Lan dan hanya dalam latihan sajalah gadis cilik itu perlu memper-oleh tekanan. Dan gadis cilik itupun cerdik bukan main. Segera ia dapat merasakan betapa tiga orang gurunya yang aneh itu amat menyayanginya, bahkan berlumba dalam menyayangnya. Hal ini dipergu-nakannya sebagai senjata untuk menguasai tiga orang kakek itu! Pada suatu hari, tiga orang kakek itu terlibat dalam ketegangan dan perbantahan ketika mereka akan mulai menurunkan ilmu silat tinggi kepada murid mereka. Mereka memperebutkan, ilmu silat siapakah yarig harus diutamakan sebagai dasar.

“Siapa yang mampu menandingi ilmuku Hek-wan Si-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan belas Jurus Lutung Hitam)?”

Bentak Raja Iblis Hitam.

“Aku akan mengajarkan ilmu lebih dulu kepada Bi Lan!”

“Ha-ha-ha, sombongnya. Apa artinya pukulan-pukulanmu bagi, orang yang memiliki kekebalan seperti ilmuku Kulit Baja? Sebaiknya Bi Lan kulatih lebih dulu dalam ilmu tendanganku yang tiada bandingan, yaitu Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin). Dan untuk kematangannya, ia perlu memiliki dasar tenaga sin-kang yang amat kuat seperti aku,”

Bantah Iblis Akhirat.

“Ah, tidak! Seorang wanita seperti Bi Lan harus memiki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) seperti aku sebagai dasar, sambil mempelajari ilmu silatku Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot)!”

Bentak Iblis Mayat Hidup. Tiga orang kakek itu tidak mau saling mengalah. Di atas padang rumput yang sunyi di sebuah lereng bukit itu, mereka ngotot tidak mau saling dan akhirnya mereka menentukan bahwa harus diuji lebih dulu ilmu siapa yang paling kuat dan dialah yang berhak memberi bimbingan pertama kali kepada Bi Lan. Dan terjadilah perkelahian di antara mereka!

Bukan perkelahian sembarangan, bukan sekedar adu otot dan adu ilmu melainkan perkelahian sungguh-sungguh dengan serangan-serangan mematikan. Bukan main hebatnya serang-menyerang yang terjadi di antara mereka bertiga dan karena memang tingkat mereka seimbang, tentu saja sukarlah bagi seorang di antara mereka untuk memperoleh keunggulan. Kalau ada seorang di antara mereka yang nampaknya memperoleh angin dari orang ke dua, orang ke tiga lalu turun tangan mendesak sehingga yang tadinya nampak memperoleh angin sebaliknya terdesak kembali. Dan perkelahian itu bukan hanya mempergunakan ilmu pukulan biasa, melainkan mempergunakan sin-kang yang membuat tempat di sekitarnya dilanda angnin pukulan yang bersiutan dan berdesingan.

Juga mereka saling mengerahkan khi-kang, mengeluarkan bentakan-bentakan melengking nyaring. Penonton dan satu-satunya orang yang paling menderita di antara mereka. Angin pukulan yang dahsyat dan menyambar-nyambar itu tadi telah membuat ia jatuh bangun dan terguling-guling seperti sehelai daun kering dilanda badai dan ia yang cerdik cepat menggerakkan tubuhnya bergulingan di atas padang rumput sampai agak jauh. Akan tetapi, setelah angin pukulan tidak mampu meraihnya karena jauh, suara-suara yang mengandung tenaga khi-kang itu menyiksanya. Anak itu merasa betapa suara itu menusuk-nusuk anak telinganya dan biarpun ia sudah menutupi kedua telinga dengan kedua tangan, tetap saja suara itu membuat isi perutnya jungkir balik dan menyiksanya dengan hebat.

“Sudahlah, biar kalian bunuh saja aku!”

Akhirnya ia berteriak dan berlari ke tengah medan perkelahian, berloncatan dan dengan nekat terjun di antara mereka bertiga. Tiga orang kakek yang lihai itu tentu saja dapat melihat munculnya murid mereka yang meloncat ke tengah medan perkelahian. Kalau orang lain yang berbuat demikian, tentu mereka bertiga akan menjatuhkan pukulan maut sehingga tubuh orang yang berani mengganggu mereka itu akan hancur lebur. Akan tetapi melihat bahwa yang datang adalah Bi Lan, ketiganya tiba-tiba saja menghentikan gerakan mereka, masing-masing menarik diri dan mundur, berdiri dengan tubuh berkeringat dan tak bergerak seperti patung, tidak tahu harus berbuat apa.

“Kenapa suhu semua berhenti? Hayo teruskan perkelahian itu!”

Kata Bi Lan dengan suara marah.

“Ah, berbahaya untukmu. Menyingkirlah, Bi Lan, agar kami melanjutkan untuk menentukan siapa yang berhak lebih dulu mengajarmu.”

Iblis Akhirat berkata.

“Tidak perlu teecu menyingkir. Sejak tadi teecu sudah tersiksa. Biarlah kalau teecu mati juga, menemani, seorang atau dua orang di antara suhu yang akhirnya tentu akan kalah dan mati pula!”

Baru mereka tahu bahwa Bi Lan marah karena perkelahian mereka tadi.

“Kami…. kami berkelahi memperebutkan hak mengajarmu lebih dulu.”

Kembali Iblis Akhirat berkata memberi keterangan.

“Teecu (murid) telah mengangkat suhu bertiga menjadi guru semua, kenapa mesti berebutan lagi? Kenapa suhu bertiga tidak memberi pelajaran bersama saja?”

Ia berhenti sebentar untuk melihat tarikan muka mereka, lalu melanjutkan,

“Kalau suhu bertiga berebutan dan berkelahi lagi, teecu tidak akan mau belajar dari yang paling menang!”

Mendengar ancaman dari murid yang mereka tahu amat keras hatinya ini, tiga orang kakek itu saling pandang.

“Bergabung….?”

Raja Iblis Hitam berkata bingung.

“Ilmu ketiga orang disatukan?”

Iblis Mayat Hidup menyambung ragu.

“Wah, mengapa tidak? Kita ajarkan bersama ilmu-ilmu kita dan karena ilmu-ilmu itu amat tinggi, tentu sukar baginya untuk menerima semua.

“Justeru karena menerima setengah-setengah inilah maka ia akan dapat menggabung ilmu-ilmu itu menjadi satu ilmu yang tentu hebat karena mengandung dasar dan kelihaian ilmu kita masing-masing!”

“Bagus!”

Kata Raja Iblis Hitam girang.

“Tepat sekali!”

Kata pula Iblis Mayat Hidup.

“Sama sekali tidak bagus dan tidak tepat!”

Tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita. Bi Lan terkejut dan merasa heran ada orang berani mencampuri percakapan tiga orang gurunya. Ketika ia menengok, ia melihat seorang wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian rapi dan mewah, berwajah cantik sekali dengan sinar mata yang tajam. Kecantikannya aneh mengandung hawa dingin, akan tetapi ada kecabulan membayang dalam senyum dan kerlingnya. Hati Bi Lan merasa khawatir sekali.

“Wanita ini sudah bosan hidup,”

Pikirnya. Ia sudah mulai mengenal watak tiga orang gurunya yang aneh dan kadang-kadang amat kejam, apa lagi setelah ia mendengar julukan guru-gurunya yang memperkenalkan diri sebagai Sam Kwi dengan julukan yang serem-serem itu. Ia malah dapat menduga bahwa gurunya adalah orang-orang yang amat kejam dan jahat, akan tetapi yang amat baik kepadanya karena sayang kepadanya. Karena takut kalau-kalau tiga orang gurunya itu menurunkan tangan secara tiba-tiba membunuh gadis itu, Bi Lan mendahului, meloncat dan menghadap tiga orang gurunya.

“Suhu sekalian harus dapat memaafkan cici ini!”

Teriaknya. Akan tetapi kini terjadi hal yang amat mengherankan hati Bi Lan. Iblis Akhirat yang gendut pendek itu berteriak kegirangan,

“Aha, Bwi-kwi (Iblis Cantik), kau baru muncul? Waah, aku sudah kangen sekali padamu! Dan si gendut langsung memeluk pinggang wanita cantik itu dan menariknya. Anehnya, gadis itu tersenyum lalu merendahkan kepalanya dan kakek gendut itu lalu mencium mulutnya dengan bernapsu sekali sampai mengeluarkan bunyi “ceplok!”. Tentu saja Bi Lan menjadi bengong melihat ini, apalagi melihat dua orang suhunya yang lain juga menghampiri gadis itu, Raja Iblis Hitam mengelus rambut gadis itu, dan si Iblis Mayat Hidup mencolek dadanya! Dan gadis cantk itu hanya tersenyum manis saja, sama sekali tidak marah.

“Suhu, siapakah bocah itu?”

Gadis itu bertanya dan kini tahulah Bi Lan bahwa gadis itu adalah murid tiga orang suhunya.

“Ha-ha-ha-ha, ia adalah murid kami yang baru. Bakatnya bagus sekali, melebihimu, Bi-kwi. Namanya Can Bi Lan, heh-heh, dua orang murid kami semua cantik-cantik. Kami menyebutmu Bi-kwi, biarlah mulai sekarang Bi Lan kami sebut Siauw-kwi (Iblis Cantik). Ha-ha!”

Tiba-tiba sepasang mata yang indah dan bersinar tajam itu berkilat memandang ke arah Bi Lan.

“Murid suhu? Hemm, sejak dahulu murid suhu bertiga hanya aku, dan setiap ada orang berani merobah keadaan ini harus dibunuh. Anak ini pun harus kubunuh!”

Berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan tangan kanannya dan lengan kanan yang montok itu tiba-tiba mulur panjang dan dua jari yang mungil menotok ke arah dada Bi Lan! Akan tetapi, biar baru beberapa bulan lamanya, Bi Lan sudah menerima latihan-latihan dasar dari tiga orang sakti, maka begitu ada tangan menyerangnya, gadis cilik itu mampu melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik dengan sigapnya.

“Ehh….! Ia malah sudah-belajar dari suhu!”

Bentak Bi-kwi dan iapun menyerang lagi, kini kakinya melangkah ke depan. Akan tetapi tiba-tiba pinggangnya dipeluk dari belakang oleh Raja Iblis Hitam, dan kedua tangannya dipegang masing-masing oleh Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup.

“Hemm, suhu bertiga menghalangi? Berarti suhu bertiga tidak lagi cinta kepadaku!”

“Ehh? Tenang…. sabar, sabar….! Kami sudah menjelajah dunia ramai dan melihat perobahan-perobahan hebat terjadi di dunia persilatan. Engkau seorang diri tidak akan kuat menghadapi mereka, oleh karena itu kami sengaja memilih Bi Lan untuk menjadi murid kedua. Apa salahnya itu?”

“Hanya murid?”

Gadis cantik itu menegaskan.

“Heh-heh, cemburu? Hanya murid karena bagi kami sebagai laki-laki, engkau seorang sudah lebih dari cukup dan memuaskan. Nah, maukah engkau berbaik dengan Bi Lan? tanya Iblis Akhirat. Bi-kwi mengangguk.

“Baiklah, tadipun ia sudah berusaha menolongku. Tidak apa mengampuni nyawa anjingnya. Akan tetapi kalau kelak ada tanda-tanda bahwa suhu bertiga…. hemm, aku pasti akan membunuhnya.”

Bi Lan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu apa sebenarnya maksud percakapan aneh itu dan iapun masih tertegun menyaksikan adegan aneh ketika gadis cantik itu menerima ciuman Iblis Akhirat dan belaian-belaian dua orang suhunya yang lain. Akan tetapi ia tahu bahwa gadis itu berbahaya bukan main, dan agaknya tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan tiga orang kakek itu. Ia harus berhati-hati menghadapi gadis ini, pikirnya.

“Ha-ha-ha, bagus sekali. Bi Lan, lekas berterima kasih kepada sucimu (kakak seperguruanmu) yang baru saja mengembalikan nyawamu,”

Kata Iblis Akhirat. Sam Kwi kelihatan gembira sekali dengan pertemuan itu dan Bi Lan, walaupun hatinya tidak senang, namun anak ini mempergunakan kecer-dikannya. Ia tahu bahwa gadis ini mempunyai kekuasaan atas tiga orang gurunya agaknya tiga orang gurunyapun tidak akan dapat menyelamatkannya atau menjamin keselamatannya kalau sampai ia dimusuhi gadis ini. Sebaiknya ia bersiasat dan menyenangkan hati gadis ini sebelum mengenal benar keadaannya. Maka iapun lalu bangkit dan menjura kepada gadis itu, berkata dengan suara manis dan tersenyum. Ia, oleh tiga orang gurunya, diingatkan betapa manisnya kala tersenvum, betapa timibul sepasang lesung pipit kanan kiri mulutnya.

“Suci yang cantik dan gagah perkasa, aku menghaturkan terima kasih kepadamu.”

Gadis cantik itu menjebikan bibirnya.

“Huh, baiknya engkau tadi berusaha melindungiku dari kemarahan suhu, kalau tidak. Baiklah, kalau selanjutnya engkau tunduk dan taat kepadaku, mulai saat ini engkau adalah sumoiku.”

“Terima kasih, suci.”

“Bi-kwi, kenapa tadi engkau mengatakan bahwa pendapat kami untuk menggabungkan ilmu dan diajarkan kepada Siauw-kwi tidak betul dan tidak tepat?”

Iblis Akhirat bertanya sambil menggandeng tangan wanita cantik itu dengan sikap yang kangen sekali.

“Tentu saja tidak tepat, karena di sini ada aku yang dapat mewakili suhu bertiga untuk mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada sumoi. Kalau seorang anak kecil seperti sumoi itu sekaligus menerima pelajaran dari suhu bertiga, mana kuat menerimanya? Serahkan saja kepadaku dan suhu bertiga tidak perlu susah-susah.”

Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.

“Ha-ha, lihat, betapa berun-tnngnya kita bertiga mempunyai seorang murid seperti Bi-kwi,”

Kata Iblis Akhirat.

“Bi-kwi, bagaimana dengan tugasmu”

Tiba-tiba Raja Iblis Hitam bertanya, dan Bi Lan merasa heran mendengar suara kakek raksasa hitam ini. Biasanya dia pendiam dan kalau bersuara terdengar keras, parau dan bengis, akan tetapi kini suaranya terdengar lembut dan mengandung kemesraan. Gadis yang disebut Bi-kwi (Iblis Cantik) itu sebenarnya bernama Ciong Siu Kwi yang sejak berusia lima tahun sudah menjadi murid Sam Kwi. Seperti juga Bi Lan, Siu Kwi atau yang kini disebut Bi-kwi ini yatim piatu. Ayah ibunya dibunuh oleh Sam Kwi sendiri yang ingin menguasai anak ini dengan bebas.

Memang pada mulanya, Sam Kwi mengambil murid ini hanya untuk menurunkan ilmu karena melihat bakat baik pada diri Siu Kwi, juga agar anak ini dapat menemani mereka dalam persembunyian dan pertapaan mereka di puncak pegunungan Thai-san. Akan tetapi, makin dewasa, Bi-kwi atau Siu Kwi ini makin nampak watak aselinya, watak yang genit dan cabul, di samping wajahnya yang cantik. Gadis ini mempelajari ilmu-ilmu tinggi, akan tetapi juga melayani Sam Kwi, mencuci pakaian, memasak dan segala macam kebutuhan tiga orang kakek itu. Setelah ia berusia hampir Delapan belas tahun, tiga orang kakek itu tidak tahan melihat kegenitannya. Mulailah mereka bertiga itu, tertarik sebagai pria terhadap wanita kepada murid sendiri dan mulailah terjadi hubungan perjinaan antara ketiga Sam Kwi dengan murid tunggal mereka itu!

Luar biasa-nya, gadis yang sejak kecil hidup di tempat pengasingan di Thai-san itu, menyambut tiga orang kakek buruk rupa yang menjadi suhunya itu dengan tangan dan hati terbuka! Dan sejak berusia delapan belas tahun itulah, Siu Kwi menjadi murid dan merangkap kekasih Sam Kwi dan mulai pula ia menguasai tiga orang kakek itu yang namanya saja guru-gurunya, akan tetapi dalam banyak hal mereka bertiga itu tunduk dan taat kepada Siu Kwi! Mendengar pertanyaan Hek-kwi-ong tentang tugasnya tadi Siu Kwi melepaskan tangan Iblis Akhirat, dan mengerutkan alisnya, kemudian ia duduk di atas sebuah batu yang bersih. Tiga orang kakek itupun duduk di depannya dan Bi Lan yang ingin mendengarkan juga duduk di dekat Siu Kwi. Gadis ini menarik napas panjang beberapa kali, lalu berkata dengan suara jengkel.

“Dua urusan yang suhu serahkan kepadaku itu semua gagal! Yang pertama mengenai Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, ternyata telah tewas belasan tahun yang lalu!”

“Wah, sialan!”

Raja Iblis Hitam berseru kecewa sambil mengepal tangannya yang besar.

“Pengecut! Mampus lebih dulu!”

Iblis Mayat Hidup juga berseru kecewa.

“Ha-ha, biarlah dia mampus, kelak di akhirat kita masih dapat mencarinya untuk membuat perhitungan!”

Kata Iblis Akhirat yang lalu memandang Siu Kwi.

“Dan bagaimana dengan urusan yang lain?”

“Urusan Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) lebih menjengkelkan lagi. Dengan susah payah selama berbulan-bulan aku mencari kakek Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih) di sekitar Pegunungan Himalaya dan belum kutemukan jejaknya. Akan tetapi, akhirnya dari para pertapa aku mendengar bahwa kakek tua bangka itupun sudah meninggal dunia.”

“Dan pusakanya?”

Raja Iblis Hitam memotong.

“Itulah yang menjengkelkan hatiku. Menurut keterangan para pertapa yang mengenal Pek-bin Lo-sian, sebelum kakek itu meninggal dunia, mereka sering kali melihat kakek itu berbincang-bincang dengan seorang pendekar sakti dan menurut mereka, sangat boleh jadi kakek itu mewariskan Liong-siauw-kiam kepada pendekar itu.”

“Wah-wah, siapa pendekar jahanam itu?”

Bentak Iblis Akhirat dengan marah.

“Mereka tidak tahu, akan tetapi, dalam penyelidikanku selanjutnya, ada sebuah berita yang amat menarik, yaitu munculnya seorang pendekar yang dijuluki Pendekar Suling Naga yang kabarnya membawa senjata sebatang suling naga….”

“Itulah orangnya!”

Bentak Iblis Mayat Hidup.

“Di mana dia?”

Gadis itu menggerakkan pundaknya.

“Menurut penyelidikanku, pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga itu merantau ke selatan, dan karena aku ingin mendengar keputusan suhu dalam hal ini, maka aku lalu mencari suhu untuk melapor.”

Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Iblis Akhirat yang biasa menjadi juru bahasa mereka, berkata,

“Tugasmu menjadi semakin berat, Bi-kwi. Pendekar Super Sakti sudah mati, akan tetapi keturunan Suma tentu masih banyak berkeliaran. Karena itu kita harus berusaha membasmi semua keturunan Suma Han si Pendekar Super Sakti yang pernah membuat kami bertiga harus menyembuyikan diri selama puluhan tahun. Akan tetapi, di samping itu juga kita harus mencari orang yang menguasai Pedang Suling Naga untuk merampasnya. Tak mungkin tugas-tugas berat itu kau pikul sendiri. Maka, sebaiknya kita melatih Siauw-kwi ini sampai pandai agar kelak dapat membantumu menunaikan tugas-tugas itu. Kami sendiri sudah terlalu tua untuk berkeliaran mencari orang.”

Bi-kwi menoleh ke arah Bi Lan dan mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang cerdik.

Mewakili suhu-suhunya bermusuhan dengan keturunan Pendekar Super Sakti adalah tugas yang amat berat dan tidak menarik hatinya. Ia sudah mendengar bahwa Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh besar yang amat tinggi ilmu kesaktiannya dan sukar dilawan. Bahkan tiga orang gurunya yang pernah mengeroyok pendekar itupun tidak mampu menang. Tentu keturunannya juga amat lihai dan bagaimana kalau keturunannya itu banyak jumlahnya? Dan urusan balas dendam guru-gurunya karena pernah dikalahkan ini, tidak ada apa-apanya yang menarik hatinya karena tidak ada yang menguntungkan. Sebaliknya, mencari pusaka Suling Naga itu lebih menarik baginya. Karena itu, menghadapi dua tugas ini memang sebaiknya kalau ia ditemani orang yang dapat dipercaya, dan agaknya Bi Lan inilah orangnya.

“Hemm, aku meragukan apakah anak ini akan sanggup. Siauw-kwi, sanggupkah engkau mem-bantuku kelak dalam dua urusan itu?”

Bi Lan sejak tadi mendengarkan dan kini ia menghadap ketiga orang suhunya.

“Urusan suhu dengan keluarga Pendekar Super Sakti itu mudah teecu mengerti. karena tentu urusan dendam pribadi yang melibatkan keluarga Pendekar Super Sakti yang sudah mati. Akan tetapi urusan ke dua, teecu kurang jelas. Apakah pusaka Suling Naga itu dan mengapa dijadikan rebutan?”

“Ha-ha-ha, engkau memang anak cerdik yang ingin memasuki suatu urusan tidak secara membuta. Baiklah, akan kuceritakan padamu mengenai pusaka itu.”

Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat yang bertubuh pendek bundar itu lalu dengan ringkas bercerita tentang pusaka yang dinamakan Pedang Suling Naga itu.

Benda pusaka itu telah ribuan tahun usianya, terbuat dari pada semacam kayu yang tumbuh di Pegunungan Himalava, dan kayu itu diukir dan dibuat menjadi sebuah suling yang amat indah oleh seorang abi di Pegunungan Himalaya kurang lebih seribu tahun yang lalu. Benda itu lalu direndam dalam obat-obatan rahasia yang membuat kayu itu menjadi keras membaja, bahkan kabarnya lebih keras dari pada baja. Pusaka yang indah itu, yang dapat ditiup sebagai sebatang suling yang suaranya merdu, juga dapat dipegang sebagai sebatang pedang, kepala naga menjadi gagang dan badan serta ekornya menjadi pedangnya. Ukiran naga itu sedemikian hidupnya, sepasang mata di bagian kepalanya dibuat dari batu permata sehingga nampak bernyala dan hidup sekali. Selama ratusan tahun, benda itu menjadi pusaka dan menjadi lambang, kekuasaan raja-raja Khitan.

Sampai akhirnya, di jaman Kaisar Jenghis Khan, Raja Mongol ini dalam penyerbuannya ke barat berhasil merampas benda itu dan karena amat kagum dan suka, benda itu menjadi pusaka kesayangan Kaisar Jenghis Khan. Akan tetapi pada suatu hari, pusaka itu lenyap dari dalam gudang pusaka. Kaisar Jenghis Khan marah sekali akan tetapi urusan itu dirahasiakan karena kaisar akan merasa malu kalau terdengar rakyat bahwa pusaka yang paling disayang itu dapat lenyap begitu saja dari dalam gudang pusaka. Saking marahnya, Kaisar Jenghis Khan menghukum mati tiga puluh orang pengawal dan pelayan yang dicurigai! Dan semenjak saat itu, pusaka Suling Naga dianggap lenyap dan tak pernah dapat ditemukan kembali walaupun Kaisar Jenghis Khan telah mengeluarkan banyak sekali biaya dan mengerahkan banyak orangnya untuk mencarinya.

“Sebenarnya yang mencuri benda pusaka itu adalah seorang sakti yang menyembunyikan dirinya di pegunungan sebelah utara. Benda itu menjadi kebanggaannya karena tentu saja orang yang mampu mencuri benda dari gudang pusaka Kaisar Jenghis Khan adalah seorang yang sakti. Benda itu turun temurun menjadi milik murid-murid keturunannya dan akhirnya jatuh ke tangan suhu dan susiok kami yang bertapa di Pegunungan Himalaya. Ketika suhu meninggal dunia, pusaka itu oleh suhu diserahkan kepada susiok Pek-bin Lo-sian yang bertapa di Pegunungan Himalaya. Kami memintanya, akan tetapi susiok mengatakan bahwa pusaka itu tidak pantas menjadi milik kami. Tentu saja kami berusaha merampasnya, akan tetapi susiok Pek-bin Lo-sian terlalu tangguh bagi kami. Tidak ada lain jalan kecuali menanti sampai kakek yang sudah tua renta ini mampus. Akan tetapi, sungguh tak terduga sekali halnya kami dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti sehingga kami terpaksa mengundurkan diri bertapa sampai dua puluh tahun dan ketika kami mengutus Bi-kwi, ternyata kakek tak tahu malu itu telah mampus dan mewariskan pusaka itu kepada orang lain!”

Iblis Akhirat menghentikan ceritanya dan tiga orang kakek itu nampak beringas dan marah sekali.

“Bagaimana, Siauw-kwi, maukah engkau membantu sucimu dalam mencari pusaka itu dan mem-balas dendam terhadap keturunan Suma?”

Tiba-tiba Iblis Mayat Hidup bertanya. Cerita itu amat menarik hati Bi Lan. Bagaimanapun juga, tiga orang suhunya memang berhak mendapatkan kembali pusaka itu dan pendekar yang menerimanya dari Pek-bin Lo-sian tidak berhak.

“Baik, suhu. Teecu akan belajar giat agar kelak mampu membantu suci.”

Mereka berlima lalu meninggalkan tempat itu, kembali ke puncak Pegunungan Thai-san.

Di sepanjang perjalanan, dengan hati kaget dan heran, juga muak, Bi Lan melihat betapa tiga orang gurunya itu mengadakan hubungan amat mesra dengan sucinya. Ia belum begitu mengerti tentang hubungan perjinaan seperti itu, Akan tetapi nalurinya membuat ia selalu membuang muka dan menyingkir kalau melihat pertunjukan tak tahu malu di sepanjang perjalanan itu. Karena perbuatan ini saja, diam-diam Bi Lan merasa amat tidak suka kepada sucinya dan kepada tiga orang suhunya, walaupun dengan cerdik ia dapat menyembunyikan perasaan ini di lubuk hatinya. Demikianlah, setelah tiba di puncak Pegunungan Thai-san, di tempat terpencil sunyi, Bi-kwi atau Su Kwi mulai melatih sumoinya dengau ilmu silat. Akan tetapi, dasar orang yang licik, curang dan juga hatinya diliputi penuh kebencian,

Bi-kwi yang tidak rela kalau ada orang kelak lebih pandai atau setidaknya mengimbangi kepandaiannya, ia melatih dengan cara yang kadang-kadang dibalikkan, dengan harapan agar sumoinya tentu mewarisi ilmu yang keliru cara melatihnya menjadi ilmu sesat yang akan membahayakan sumoi itu sendiri. Ilmu bersamadhi dan menghimpun tenaga sin-kang misalnya, kalau dilatih dengan cara yang keliru, amat membahayakan, dapat membuat orang menjadi menderita luka dalam, atau dapat membikin orang menjadi gila, atau bahkan mati keracunan! Kita tinggalkan dulu Bi Lan, anak berusia hampir sebelas tahun yang kini sedang digembleng secara keliru oleh Bi-kwi atau Siu Kwi itu, di tempat terasing, satu di antara puncak Thai-san dan mari kita menengok peristiwa yang terjadi di lain tempat, jauh dari Thai-san.

Peristiwa pemberontakan yang berkembang di perang saudara antara para pemberontak dan pasukan pemerintah, yang dicampuri pula oleh pasukan asing Birma yang bersekutu dengan para pemberontak, membuat seluruh negeri menjadi tidak aman. Karena pemerintah pusat mencurahkan perhatian terhadap pemberontakan pemberontakan itu, maka pengurusan keamanan di daerah-daerah tidak terlalu diawasi. Hal ini membuat para pembesar setempat seolah-olah menjadi raja yang berdaulat, tidak ada yang menentang, tidak ada yang mengawasi. Akan tetapi, juga tidak ada yang melindungi dan pembesar-pembesar itu hanya mengandalkan pasukan keamanan setempat. Oleh karena inilah, maka para penjahatpun muncul dan merajalela di wilayah masing-masing, mengganggu rakyat jelata.

Mungkin karena mempunyai kepentingan yang sama dan keduanya mengganggu dan menentang rakyat jelata, banyak terjadi persekongkolan antara para gerombolan penjahat yang kuat dan para pembesar setempat. Tidaklah mengherankan apabila ada sebagian rakyat bangkit melawan penjahat- penjahat itu, mereka akan berhadapan dengan pasukan keamanan yang akan menentang mereka dan membantu para penjahat! Ada kalanya, agar perbuatan mereka tidak me nyolok, petugas keamanan menangkapi para penjahat dan juga rakyat yang menentang penjahat! Beberapa hari kemudian, para penjahat yang di tangkapi itu telah berkeliaran kembali melakukan kejahatan mereka, sedangkan orang-orang yang ditangkap ketika melawan penjahat itu tetap di tahan, bahkan dihukum dengan tuduhan pemberontak!

Dalam keadaan negara kacau seperti ini terjadilah apa yang dinamakan “pagar makan tanaman”, para petugas keamanan yang seharusnya menjaga keamanan hidup rakyat, Sebaliknya malah membuat kehidupan rakyat menjadi tidak aman! Kalau petugas keamanan sudah bersekongkol dengan penjahat, dapat dipastikan bahwa keadaan pemerintahannya lemah, dan yang celaka adalah rakyat jelata pula. Keadaan semacam itupun melanda kota kecil Siang-nam yang terletak tidak jauh dari kota besar Siang-tan, di Propinsi Hunan. Kepala daerah kota Siang-nam seperti boneka saja. Hanya pakaian dan kursinya saja yang menandakan dia seorang kepala daerah, akan tetapi sikap dan perbuatannya sama sekali tidak mencerminkan seorang pemimpin. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bong-ciangkun, komandan pasukan keamanan kota Siang-nam.

Dan di atas Bong-ciangkun ini, sebagai penguasa yang tidak terlihat, adalah kepala penjahat yang menguasai seluruh Siang-nam dan daerahnya. Selalu terjadi persekutuan antara kepala penjahat dan Bong-ciangkun dalam menghadapi perkara apapun dan Bong-ciangkun lalu tunduk karena kepala penjahat itu memberi sogokan yang berlebihan, yang membuat komandan itu menjadi kaya raya. Lebih celaka lagi, Bong-ciangkun terkenal sebagai seorang pria congkak, menyombongkan kedudukannya, bengis dan yang paling buruk, mata keranjang dan selalu ingin mendapatkan wanita mana saja yang menarik hatinya! Dia dikenal sebagai srigala kota Siang-nam dan semua penduduk merasa takut kepadanya. Pada suatu pagi, di antara orang-orang yang sibuk pergi ke pasar, ada yang hendak berjualan dan ada pula yang hendak berbelanja, nampak seorang wanita bersama seorang anak laki-laki berjalan menuju ke pasar.

Ibu dan anak ini masing-masing membawa keranjang berisi telur. Mereka memelihara banyak ayam di rumah dan kini mereka hendak menjual hasilnya ke pasar. Biasanya, yang menjual telur adalah suami wanita itu, akan tetapi pada pagi hari itu, si suami rebah pembaringan karena masuk angin dan walaupun enggan keluar rumah dalam suasana kacau seperti itu, terpaksa si isteri mengajak putera tunggalnya untuk menemaninya membawa telur dan menjualnya ke pasar. Wanita itu berwajah lumayan, dengan kulit kuning bersih sehingga usianya yang sudah tiga puluh tahun itu belum menghilangkan daya tariknya yang memikat. Puteranya, seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun, juga wajahnya mirip ibunya sehingga dia nampak tampan dan bersih, wajahnya cerah. Anak ini bernama Gu Hong Beng, dan ayahnya yang sedang sakit itu bernama Gu Hok, seorang tukang kayu yang pandai. Selain memiliki penghasilan sebagai tukang kayu,

Juga isterinya dibantu oleh putera mereka memelihara atau beternak ayam yang hasilnya lumayan pula. Kehidupan mereka yang tidak kaya akan tetapi juga tidak miskin itu cukup bahagia, dengan seorang putera yang baik dan penurut, rajin bekerja membantu ibunya merawat ayam, bahkan sudah dapat melakukan beberapa pekerjaan tukang kayu yang ringan-ringan. Karena semua pedagang di pasar tahu bahwa telur dari ternak ayam milik tukang kayu itu selalu baru dan segar, maka dengan mudah mereka dapat menjual semua telur mereka di pasar dan dengan wajah berseri keduanya membawa uang hasil penjualan itu untuk berbelanja keperluan bumbu-bumbu masakan dan bahan-bahan makanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan agar semua orang minggir dan memberi jalan kepada seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut sekali.

Mukanya buruk hitam dan kulitnya tebal dengan mata lebar bundar yang memandang penuh keangkuhan. Dia berjalan dengan dada dibusungkan, akan tetapi karena perutnya yang luar biasa gendutnya, yang makin membusung adalah perutnya itu. Pakaiannya indah dan gagah, pakaian seorang perwira dengan pedang besar panjang tergantung di pinggang kiri. Kepalanya terhias topi perwira Mancu yang memakai hiasan bulu. Dengan langkah dibuat-buat perwira yang bukan lain adalah Bong-ciangkun ini menoleh ke kanan kiri, sikapnya sombong sekali ketika dia memandangi orang-orang di dalam pasar. Sudah diketahui umum bahwa kaum wanita amat lemah terhadap harta, kedudukan dan nama kehormatan. Oleh karena itu, biar melihat bentuk perut dan mukanya laki-laki yang bernama Bong-ciangkun ini sama sekali tidak dapat dibilang ganteng atau menarik,

Namun kedudukannya, pangkatnya, pakaiannya yang gagah, kehormatannya dan hartanya tentu sekali membuat banyak wanita di pasar itu berlumba untuk bergaya dan menarik hati sang perwira dengan berbagai gaya. Ada yang suaranya tiba-tiba saja meninggi dan nyaring, ada yang tiba-tiba menjadi genit sekali, terkekeh, ada yang matanya lalu menjadi lincah mengerling tajam, ada yang senyum-senyum manis, ada pula yang memperbaiki letak rambut dan merapikan pakaian. Akan tetapi, Bong-ciangkun hanya mengangkat hidung memandang rendah. Empat orang perajurit pengawal yang berada di depan perwira itu untuk membuka jalan bersikap kasar sekali. Ada beberapa orang laki-laki yang memukul keranjang, karena kurang cekatan menyingkir, ditendang keranjangnya sehingga isinya berantakan.

“Minggir! Minggir! Komandan kami akan lewat!”

Demikian mereka membentak-bentak. Pada saat mereka tiba dekat dengan Gu Hong Beng dan ibunya yang sedang berbelanja, empat orang pengawal itu membentak-bentak dan mendorong-dorong. Seorang kakek tua kena dorong dan terhuyung menabrak ibu Hong Beng. Wanita ini menahan jerit, terjatuh dan kacang yang dibelinya dan dipondongnya tadi terlepas, bungkusannya pecah dan kacang itupun berserakan di atas tanah.

“Ahhh kacangku….!”

Ibu muda ini cepat berjongkok dan mengumpulkan kacang yang tumpah-tumpah itu. Tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan ia ditarik dengan lembut ke atas. Nyonya itu ter-paksa bangkit dan menoleh. Terkejutlah ia ketika melihat bahwa yang menariknya itu adalah seorang laki-laki tinggi besar berpakaian perwira yang kelihatannya galak dan bengis. Akan tetapi pada saat itu, laki-laki tinggi besar yang bukan lain adalah Bong-ciangkun itu menyeringai, maksudnya untuk tersenyum manis akan tetapi hasilnya sama sekali tidak manis bahkan menyeringai menakutkan.

“Nyonya yang manis, harap jangan kaget dan takut. Maafkan pengawalku bersikap kasar sehingga kacangmu tumpah. Marilah engkau ikut denganku, nyonya, dan aku akan mengganti kerugianmu sepuluh kali lipat.”

Tentu saja wajah wanita itu menjadi merah sekali. Ia pernah mendengar tentang perwira yang bernama Bong-ciangkun ini dan jantungnya berdebar tegang dan takut. Ia lalu menggandeng tangan Hong Beng dan berkata kepada anaknya itu,

“Hong Beng, mari kita pulang tanpa menoleh ia menggandeng dan menarik tangan anaknya untuk diajak pergi. Akan tetapi kembali lengannya dipegang orang dan kini pegangannya itu agak keras membuat ia merasa nyeri.

“Nyonya, aku adalah Bong-ciangkun. Jangan takut, aku suka sekali padamu. Engkau manis, mari ikut denganku sebentar. Engkau akan senang, marilah.. Bong-ciangkun menarik lengan itu dan senyumnya melebar, matanya yang besar bundar itu berkedip-kedip penuh kegenitan dan kekurangajaran. Nyonya Gu Hok menarik dan merenggutkan tengannya sampai terlepas dari pegangan perwira itu.

“Tidak, biarkan kami pulang….!”

Katanya lirih.

“Ah, itu anakmukah, nyonya? Ajaklah dia, aku akan menjamu kalian dengan hidangan yang lezat. Marilah, dan nanti pulangnya akan kuantar dengan kereta.”

Kembali Bong-ciangkun membujuk dengan sikap ramah

“Tidak…., terima kasih, ciangkun, akan tetapi kami mau pulang, sudah siang….”

“Marilah, nyonya. Apakah engkau akan menolak uluran tangan dan undanganku?”

Kembali perwira itu memegang lengan wanita yang tidak mampu melepaskan tanyannya lagi.

“Lepaskan ibuku….!”

Tiba-tiba Hong Beng berseru dan dia membantu ibunya menarik tangannya dari pegangan perwira itu. Kalau sang perwira menghendaki, tentu mereka berdua tidak mampu melepaskan tangan itu, akan tetapi melihat betapa banyaknya orang di pasar menyaksikan peristiwa itu, dia terpaksa melepaskan pegangannya. Mukanya menjadi semakin hitam. Dia merasa malu sekali! Ada wanita berani menolaknya! Bahkan terang-terangan didepan begitu hanyak orang. Dia tentu akan menjadi bahan tertawaan orang sepasar! Dan kalau dia bertindak di situ juga, dia merasa malu karena banyak orang menyaksikan dan bagaimanapun dia adalah seorang pembesar, komandan pasakan keamanan.

Maka, dengan uring-uringan dia lalu mengajak para pengawalnya keluar dari pasar dan terus pulang. Setibanya di rumah, Bong-ciangkun menjadi semakin penasaran ketika mendengar bahwa nyonya manis tadi adalah isteri tukang kayu Gu Hok. Hanya isteri tukang kayu! Dan berani menolaknya! Padahal, isteri orang orang yang lebih kaya dan lebih tinggi kedudukannya sekalipun akan masuk ke dalam pelukannya dengan suka rela! Dia lalu menghubungi Coa Pit hiu, kepala penjahat yang menguasai dunia hitam di daerah Siang-nam. Setelah mengadakan pertemuan dan menceritakan perasaan hatinya yang tergila-gila kepada isteri Gu Hok dan merasa penasaran karena ditolak mentah-mentah oleh wanita itu di tengah pasar sehingga diketahui banyak orang, Coa Pit Hu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha!”

Pria berusia empat puluhan yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit, hidungnya lebar dan pesek.

“Untuk urusan kecil seperti itu, kenapa ciangkun menjadi marah-marah? Kalau pada waktu kemarin itu ciangkun menyuruh pengawal menangkapnya dan menyeretnya ke sini, siapa yang akan melarang dan siapa berani menghalangi tindakan ciangkun?”

“Ah, enak saja! Di depan begitu banyak orang, bagaimana aku bisa melakukan hal itu? Tentu tidak enak dan tidak baik. Sekarang, bantulah aku bagaimana baiknya agar aku dapat menebus rasa malu itu. Wanita itu menarik sekali, kaupun tentu akan setuju kalau sudah melihatnya!”

“Ha-ha, bunga simpanan dalam taman yang dipelihara tentu saja cantik menarik. Jangan khawatir, sekarangpun aku dapat menculiknya, kalau suaminya ribut-ribut akan kubunuh saja!”

“Jangan!”

Bong-ciangkun mencegah.

“Peristiwa di pasar itu telah diketahui banyak orang. Kalau sekarang isterinya diculik, tentu semua orang akan menuduh aku. Sebaliknya diambil jalan halus agar wanita itu mau datang ke sini dengan suka rela, dan akan lebih menyenangkan lagi kalau ia mau melayani aku dengan suka rela. Aku sudah bosan dengan cara paksaan dan perkosaan.”

“Beres!”

Kepala penjahat itu membual.

“Ciangkun katakan tadi bahwa wanita itu mempunyai seorang anak laki-laki? Nah, anak buahku akan menculik anak itu, kemudian kami akan minta kepada ibu anak itu datang sendiri menjemput anaknya ke sini. Nah, bukankah dengan ditangkapnya anak itu, si ibu akan dengan suka rela melayani segala hasrat ciangkun? Ha-ha-ha!”

Komandan itu tertawa bergelak dengan hati senang, sampai perutnya bergoyang-goyang naik turun dan ke kanan kiri.

“Bagus, bagus! Laksana-kanlah dan hadiah-hadiahnya sudah menanti untuk anak buahmu.”

“Aih, kenapa ciangkun berkata demikian? Biarlah wanita itu merupakan hadiah dari kami untuk ciangkun! Malam ini juga ia tentu akan datang menyembah-nyembah kaki ciangkun dan minta diajak tidur. Sebagai tebusan nyawa anaknya, ha-ha-ha!”

Mereka berdua tertawa-tawa dan Coa Pit Hu, kepala penjahat itu, segera berpamit untuk mempersiapkan rencananya. Siang hari itu, Cu Hak dan isterinya menjadi gelisah sekali ketika mendengar dari beberapa orang anak tetangga bahwa Hong Beng yang sedang bermain-main dengan mereka, tiba-tiba ditangkap oleh empat orang laki-laki yang tidak dikenal, mulutnya disumbat dan dibawa lari oleh mereka!

“Hong Beng diculik penjahat!”

Demikian Gu Hok berpendapat dengan muka pucat, merasa heran sekali.

“Mengapa? Kita adalah keluarga miskin, perlu apa orang menculik anak kita?”

Isterinya juga merasa khawatir sekali dan sedikitpun tidak menghubungkan diculiknya anaknya itu dengan peristiwa pagi tadi di dalam pasar. Ia tidak menceritakan peristiwa itu kepada suaminya karena merasa tidak enak, takut suaminya akan marah dan ia tahu bahwa mereka tidak mampu berbuat sesuatu terhadap kekurangajaran seorang perwira seperti Bong-ciangkun.

“Apa yang harus kita lakukan? Ke mana kita harus mencari anak kita?”

Dengan wajah pucat ibu yang kehilangan anaknya itu mengeluh. Selagi ayah dan ibu ini kebingungan, seorang petani yang menjadi tetangga mereka tergopoh datang memberi tahu bahwa selagi bekerja di ladang, dia didampingi seorang laki-laki tinggi kurus bermata sipit yang mengatakan bahwa kalau keluarga Gu Hok menghendaki anaknya kembali dengan selamat, mereka harus menyediakan uang tebusan seratus tail perak dan yang mengantar uang itu untuk menebus anaknya haruslah ibu anak itu sendiri. Tidak boleh dikawali orang dan tidak boleh diantarkan orang lain atau ditemani orang lain. Kalau melanggar, anak itu akan dibunuh! Uang itu harus diantar malam nanti di tanah kuburan yang berada di tepi kota, tempat yang amat sunyi! Tentu saja suami isteri itu menjadi kebingungan.

“Celaka!”

Kata Gu Hok.

“Orang miskin seperti kita mana mampu menyediakan uang seratus tail perak?”

Akan tetapi sambil menangis isterinya membujuk-bujuknya agar mengumpulkan uang dari manapun juga.

“Biarpun tidak cukup seratus tail, cari dan kumpulkanlah uang itu, aku akan memohon kepada mereka agar suka meringankan beban itu, dan kalau anak kita sudah dikembalikan, biarlah kita cari kekurangan itu sedapat kita.”

Karena khawatir akan keselamatan anaknya. Gu Hok lalu mencari pinjaman ke sana-sini dan akhirnya dia dapat mengumpulkan uang sebanyak dua puluh tail perak. Isterinya, lalu membungkus uang itu dengan kain dan segera pergi meninggalkan rumah. Suaminya khawatir dan hendak menemaninya, akan tetapi isterinya melarang dengan keras.

“Suamiku, anak kita terancam nyawanya, jangan main-main,”

Katanya.

“Bukankah mereka itu hanya menginginkan aku sendiri yang mengantarkan uang? Tentu mereka curiga, takut kalau engkau membawa kawan-kawan dan menggerebek. Biarlah aku yang mengantarkan dan aku akan mohon kasihan kepada mereka.”

“Tapi, apakah tidak berbahaya kalau engkau pergi sendiri? Malam-malam begini ke kuburan yang begitu sunyi?”

Suaminya meragu.

“Jangankan ke kuburan, biar ke neraka aku bersedia kalau untuk menyelamatkan anakku!”

Terpaksa Gu Hok membiarkan isterinya pergi sendiri dan dia menanti di rumah dengan hati tidak karuan rasanya. Melarang isterinya pergi, berarti dia menaruh nyawa anak tunggalnya dalam bahaya, sedangkan membiarkan isterinya pergi, membuat hatinya merasa khawatir dan tidak enak sekali.

Juga dia tidak berani secara diam-diam membayangi isterinya karena dia mengerti bahwa penjahat-penjahat itu amat berbahaya dan tentu akan tahu kalau dia mengintai. Hal ini bukan hanya dapat membahayakan keselamatan anaknya yang berada dalam cengkeraman penjahat, melainkan juga membahayakan isterinya karena mereka merasa dikhianati. Dengan perasaan serem ketika memasuki kuburan yang gelap itu, nyonya Gu Hok memberanikan hatinya demi anaknya, dan ia menoleh ke kanan kiri di tempat yang amat sunyi itu. Tiba-tiba ia terkejut dan hampir menjerit ketika tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang tinggi kurus dari belakang sebuah batu kuburan. Kalau saja ia tidak tahu sebelumnya bahwa tentu ada orangnya gerombolan penjahat yang menyambutnya, tentu ia sudah menjerit ketakutan dan menyangka setan.

“Apakah engkau nyonya Gu Hok?”

Tanya laki-laki tinggi kurus itu.

“Be…. benar…. aku ibu dari anakku Hong Beng…. aku…. aku mohon kepadamu, di mana anakku?”

“Engkau datang sendirian saja?”

Tanya suara itu dengan galak.

“Benar….”

“Membawa uang itu?”

“Ampunkan aku kami tidak mampu mengumpulkan uang seratus tail dan hanya berhasil terkumpul dua puluh tail saja….”

“Hemm, mana bisa….?”

Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan dirinya berlutut.

“Ampunkan kami, ampunkan anak kami, aku mohon kepadamu, bebaskanlah anakku dan aku berjanji bahwa kekurangannya kuanggap hutang dan kelak akan kubayar dengan cicilan….”

“Wah, mana bisa?”

“Aku mohon kepadamu, kasihanilah kami….”

“Begini, nyonya. Kalau pembayarannya kurang, aku tidak dapat memutuskan. Engkau harus minta sendiri kepada pimpinan kami.”

“Mana dia? Aku akan mohon kepadanya, dan mana anakku?”

“Anakmu dalam keadaan sehat, bersama pimpinan kami. Mari kita ke sana dan kau boleh bicara sendiri dengan dia dan mengambil anakmu.”

Tentu saja nyonya itu merasa girang sekali dan dengan penuh harapan disertai kecemasan, iapun mengikuti laki-laki tinggi kurus itu pergi ke sebuah rumah yang agak terpencil,

Sebuah rumah pondok kecil. Ia terus mengikuti ketika laki-laki tinggi kurus itu memasuki rumah dari pintu belakang dan hatinya gentar bukan main melihat belasan orang laki-laki yang bersenjata tajam berada di sekitar rumah pondok itu. Setahunya, pondok ini adalah rumah milik pembesar yang jarang dipakai, dan ia tidak mengerti mengapa ia dibawa ke pondok milik pembesar. Dan ketika ia bersama orang tinggi kurus itu memasuki sebuah kamar yang besar, dan penerangan yang besar menerangi seluruh kamar itu, membuat ia dengan jelas dapat melihat laki-laki tinggi besar yang duduk di situ sambil menyeringai, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Laki-laki itu bukan lain adalah Bong-ciangkun, laki-laki muka hitam berperut gendut yang matanya besar itu, yang pagi tadi mengganggunya di tengah pasar!

“Ibuuu….”

“Hong Beng, anakku….!”

Ibu itu berteriak girang melihat anaknya berada pula di sudut kamar. Akan tetapi ketika ia hendak lari menghampiri, pergelangan tangannya dicengkeram oleh si tinggi kurus.

“Jangan bergerak….!”

“Ibu….!”

Hong Beng meloncat dan berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dan si tinggi kurus tidak mampu mencegah ibu dan anak itu saling rangkul. Wanita itu berlutut dan berangkulan dengan anaknya, si ibu menangis akan tetapi Hong Beng tidak menangis, melainkan memandang ke arah si tinggi kurus dan perwira brewokan itu dengan sirar mata berapi-api.

“Kalian telah meculikku, sekarang membawa ibuku ke sini. Sebetulnya kalian ini orang-orang jahat mau apakah?”

Tadi ketika ibunya belum dibawa ke situ, Hong Beng memperlihatkan sikap takut-takut, akan tetapi kini melihat ibunya juga diculik, kemarahannya meluap dan dia melupakan rasa takutnya.

“Plakkk….”

Sebuah tamparan dari si tinggi kurus membuat Hong Beng terpelanting dan ibunya menjerit.

“Anak lancang, apa kau bosan hidup?”

Si tinggi kurus membentak anak yang kini merangkak bangun dengan pipi kiri merah membiru dan agak membengkak itu. Akan tetapi sebelum anak itu dapat bergerak, si tinggi kurus sudah meloncat dan sekali pegang sudah mencengkeram tengkuk anak itu sehingga tidak mampu bergerak lagi.

“Jangan…. jangan pukul anakku…. ah, jangan bunuh anakku…. ini, tai-ciangkun, aku sudah membawa uangnya, tetapi kurang…. kami hanya mampu mengumpulkan dua puluh tail saja…. ampunkanlah kami dan anakku, kekurangannya akan kucicil….”

Wanita itu bicara dengan air mata bercucuran dan mengeluarkan buntalan berisi uang dua puluh tail perak. Ia berlutut di depan kaki perwira Bong yang tersenyum menyeringai karena setelah berdekatan, ternyatalah olehnya bahwa wanita ini memang mulus dan manis sekali.

“Nyonya, kalau saja sikapmu di pasar tadi tidak kasar dan lunak seperti sekarang ini, tentu aku tidak perlu membawa anakmu ke sini. Sekarang, bagaima-na? Engkau pilih anakmu mati di depanmu ataukah melayani aku dan menyenangkan hatiku?”

Perwira brewok itu mengajukan pertanyaan ini tanpa malu-malu, di depan Hong Beng yang belum mengerti apa yang dimaksudkan laki-laki buruk rupa itu dan didepan si tinggi kurus Coa Pit Hu yang hanya menyeringai. Kedua lengan Hong Beng masih ditelikungnya ke belakang sehingga anak ini tidak mampu meronta. Dapat dibayangkan betapa kaget, takut dan bingungnya hati ibu Hong Beng mendengar ucapan itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa ke situlah tujuan perwira ini menculik anaknya, yaitu untuk memaksanya melayani perjinaan dengan penwira itu. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi melihat puteranya dalam cengkeraman si tinggi kurus, ia tidak berani menolak secara kasar dan hendak mencari jalan lain.

“Tai-ciangkun, ampunkanlah aku, ampunkan anakku….”

Ia berlutut sambil menangis.

“Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk memenuhi tuntutan seratus tail itu…. asal anakku dibebaskan…. aku mau bekerja keras, aku mau melakukan apa saja demi keselamataan anakku…. akan tetapi…. jangan itu….”

“Setan!”

Si perwira brewok membentak. Hatinya tersinggung sekali, harga dirinya runtuh mendengar ada wanita berani menolaknya mentah-mentah.

“Coa-sicu, bunuh anak itu sekarang juga di depan matanya!”

Si perwira brewok mengedipkan matanya dan Coa Pit Hu terkekeh, lalu meloloskan, sebatang golok besar yang tajam mengkilat. Golok itu ditempelkannya ke leher Hong Beng. Melihat ini, tentu saja ibu anak itu menjadi pucat, matanya terbelalak lebar dan saking takutnya ia hanya menggeleng-geleng kepalanya dan memegang lehernya sendiri seolah-olah ia dapat merasakan bagaimana leher anaknya itu dipenggal.

“Tidak…. tidak…. jangan….!”

“Mau kau melayaniku?”

Kembali perwira itu. membentak dengan senyum mengejek. Ibu muda itu mengang-guk-angguk, akan tetapi, matanya masih terus memandang anaknya sambil bercucuran air mata. Ia tidak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat memilih lain. Yang terpenting baginya adalah keselamatan anak tunggalnya. Biar harus mengorbankan nyawa sekalipun ia rela asal anaknya selamat.

“Ha-ha-ha!”

Perwira itu tertawa penuh kemenangan.

“Coa-sicu, jangan bunuh anak itu dan ajaklah keluar kamar.”

Coa Pit Hu menyeringai dan memandang wanita itu.

“Tapi…. ciangkun berjanji akan memberi bagian kepadaku….”

“Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Kalau, aku suka, aku tidak akan membaginya kepada siapapun, juga dan engkau akan kuberi hadiah barang lain, akan tetapi kalau aku tidak suka, boleh saja kuberikan padamu!”

Coa Pit Hu tertawa dan menyeret Hong Beng keluar dari dalam kamar itu. Hong Beng berusaha meronta akan tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang, tubuhnya tak dapat diputarnya dan dia hanya dapat memutar lehernya untuk memandang ibunya. Dan sebelum daun pintu ditutup oleh orang yang menyeretnya, dia melihat betapa perwira brewok itu menubruk dan merangkul ibunya, lalu ibunya yang lemas dan pucat dan bercucuran air mata itu dipondongnya ke arah pembaringan.

Dia masih belum tahu apa yang terjadi, bahkan hatinya agak lega karena ibunya tidak dipukuli atau disiksa. Tidak terdengar suara tangis dari dalam kamar itu. Ibu Hong Beng tidak berani mengeluarkan rintihan atau tangisan karena maklum bahwa sekali saja perwira laknat ini memberi perintah, anaknya tentu akan dibunuh di luar kamar! Akan tetapi batinnya merintih dan tangis batinnya membubung tinggi ke angkasa, seperti jerit tangis wanita-wanita lain yang pernah menjadi korban perwira ini di dalam kamar itu. Biarpun tidak terdengar suara apapun di dalam kamar itu, Hong Beng yang berada di luar dan duduk di atas lantai, merasa tidak enak sekali hatinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi. Melihat betapa Coa Pit Hu, laki-laki tinggi kurus itu tersenyum-senyum sendiri, dia tidak dapat lagi menahan hatinya.

“Di mana ibuku? Apa yang terjadi dengan ibuku?”

Coa Pit Hu tertawa mengejek.

“Ha-ha, ibumu sedang bersenang-senang dengan Bong-ciangkun.”

“Kau diam sajalah di sini dan jangan pergi ke manapun.”

Mengenangkan apa yang dilakukan pembesar itu terhadap si wanita mulus, Coa Pit Hu menjilat bibirnya dan dia hampir tidak sabar lagi menanti gilirannya. Waktu terasa seperti merayap perlahan sekali oleh pria ini. Akhirnya, karena lelah menanti, Coa Pit Hu mengantuk di atas kursinya. Hong Beng sendiri tidak dapat tidur, hanya duduk bersandar dinding dengan hati diliputi kecemasan. Tengah malam telah lewat dan tiba-tiba terdengar bentakan Bong-ciangkun.

“Coa-sicu, masuklah!”

Coa Pit Hu yang sedang terkantuk-kantuk itu terkejut. akan tetapi tersenyum gembira dan diapun membuka daun pintu.

“Nih, untukmu! Perempuan sialan, melayani seperti sepotong mayat saja!”

Hong Beng juga menjenguk dan karena daun pintu terbuka, dia dapat melihat ibunya didorong terhuyung dan disambut oleh Coa Pit Hu dengan rangkulan. Ibunya berwajah pucat dan menangis, pakaiannya tidak karuan.

Akan tetapi daun pintu sudah ditutup lagi. Dia hanya mendengar suara tangis ibunya diseling suara ketawa Coa Pit Hu dan Bong-ciangkun. Melihat kesempatan baik ini, Hong Beng lalu melarikan diri keluar dari tempat itu. Di pintu gerbang depan terdapat perajurit-perajurit yang berjaga, akan tetapi karena dari dalam tidak terdengar perintah apa-apa, mereka mengira bahwa anak itu memang dilepaskan oleh Bong-ciangkun dan merekapun hanya memandang sambil tertawa melihat anak itu berlari keluar sambil menangis. Hong Beng terus berlari menuju pulang. Ayahnya terkejut bukan main ketika melihat puteranya memasuki rumah sambil menangis. Ada rasa girang melihat puteranya dalam keadaan selamat, akan tetapi melihat anak itu menangis dan pulang tanpa ibunya, dia terkejut.

“Hong Beng….!”

“Ayah…. ayah….!”

Anak itu menubruk ayahnya dan menangis.

“Kenapa, Hong Beng? Kenapa? Mana ibumu….?”

Hati Gu Hok merasa tidak enak sekali.

“Ibu…. tolonglah ibu, ayah Ibu…. ibu ditahan oleh Bong-ciangkun!”

“Eh? Bong-ciangkun? Kenapa….?”

Tentu saja Gu Hok menjadi bingung karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa hilangnya puteranya itu adalah akibat perbuatan seorang pembesar yang berpengaruh itu. Siapa tidak mengenal Bong-ciangkun, komandan pasukan keamanan kota Siang-nam, yang seolah-olah menjadi raja kecil itu?

“Aku…. aku ditangkap orang-orang Bong-ciangkun dan ditahan di sana, malam ini ibu datang bersama penjahat tinggi kurus, lalu ibu ditahan di dalam kamar Bong-ciangkun…. dan kulihat…. ibu setengah telanjang, ibu menangis dan aku lalu lari….”

“Keparat…. !”

Gu Hok tentu saja dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya Bong-ciangkun yang mengatur semua itu untuk memaksa dan menggagahi isterinya! Tukang kayu itu marah sekali dan lupa siapa adanya Bong-ciangkun. Dia mengambil sebuah kapak besar yang biasa untuk menebang pohon, lalu berlari keluar.

“Ayah….!”

Hong Beng berteriak dan mengejar ayahnya. Ayah dan anak berlarian menuju ke gedung keluarga Bong-ciangkun. Karena hari sudah lewat tengah malam, keadaan sunyi sekali dan agaknya tidak ada seorangpun melihat ayah dan anak ini berlari-larian. Akan tetapi, mereka berdua itu tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali membayang mereka. Setelah tiba di depan pintu gerbang gedung Bong-ciangkun, Gu Hok yang diikuti puteranya itu lari masuk. Tentu saja para pengawal segera menghadangnya.

“Heii, berhenti! Mau apa kau?”

Bentak seorang pengawal sambil melintangkan tombaknya.

“Minggir! Aku mau bertemu Bong-ciangkun!”

Gu Hok membentak dan mengobat-abitkan kapaknya yang besar dan tajam! Pengawal itu terkejut dan melompat-mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gu Hok untuk menerobos masuk diikuti Hong Beng.

“Heii! Berhenti kau….!”

Para pengawal itu mengejar ayah dan anak ini. Akan tetapi Gu Hok yang sudah nekat itu sudah tiba di depan pintu kamar Bong-ciangkun atas petunjuk anaknya dan segera dia mengayun kapaknya menjebol daun pintu.

Dengan suara keras dan pintu itu jebol dihantam kapak dan terbuka. Orang-orang yang berada di dalam kamar itu terkejut dan apa yang dilihat oleh Gu Hok membuat tukang kayu ini menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak. Isterinya menjerit, meronta dan terlepas dari rangkulan orang tinggi kurus itu, lalu lari ke arah suaminya dalam keadaan telanjang bulat! Ia menangis sesenggukan menjatuhkan dirinya berlutut di depan, suami dan puteranya. Melihat keadaan isterinya, Gu Hok marah bukan main dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju kearah Bong-ciangkun. Akan tetapi, dari samping si tinggi kurus itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras yang membuat tubuh Gu Hok terdorong mundur keluar dari dalam kamar itu. Sekali lagi Coa Pit Hu menendang dan kini tubuh Hong Beng terlempar keluar.

“Ha-ha-ha, bunuh para pengacau itu!”

Kata Bong-ciangkun kepada para pengawalnya. Isteri Gu Hok menjerit melihat suami dan anaknya ditendang keluar, dan iapun bangkit, lupa bahwa ia berada dalam keadaan telanjang dan bagaikan seekor harimau betina yang marah, ia menerjang keluar pula untuk melindungi suami dan anaknya. Akan tetapi, seorang pengawal menggerakkan tombaknya.

“Ceppp….!”

Tombak itu menusuk perut menembus punggung wanita yang mengeluarkan suara jerit mengerikan. Tombak dicabut dan wanita itupun roboh terkulai. Melihat ini, Gu Hok meloncat bangun.

“Isteriku….!”

Teriaknya dan diapun meng-amuk dengan kapaknya. Akan tetapi karena dia hanya seorang tukang kayu biasa saja yang tidak pandai ilmu silat, hanya memiliki tenaga besar saja, mana mungkin dia dapat melawan pengeroyokan para pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat dan mereka itu memegang senjata tombak yang panjang? Dalam beberapa gebrakan saja, tubuhnya tertembus tombak pula dan dia roboh tewas di dekat mayat isterinya.

“Ayahhh….! Ibuuuu…. !”

Hong Beng menjerit dan menangis. Anak ini lalu nekat menyerang para pengawal itu dengan kedua tangan dan kakinya, memukul menendang asal kena saja. Para pengawal itu tertawa, tidak mempergunakan senjata lagi melainkan menghadapi amukan anak kecil itu dengan tamparan-tamparan yang membuat tubuh Hong Beng terpelanting dan terlempar ke sana-sini. Akan tetapi anak itu bangkit lagi, menyerang lagi untuk disambut tamparan yang membuatnya terpelanting lagi. Dia dipermainkan oleh para pengawal seperti seekor tikus dipermainkan beberapa ekor kucing saja. Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu kini sudah keluar dari dalam kamar. Melihat betapa belasan orang pengawal itu mempermainkan anak laki-laki yang mengamuk seperti gila dan nekat itu, Bong-ciangkun berseru,

“Bunuh saja dia dan lempar tiga mayat mereka!”

Seorang pengawal yang berkumis tebal dan berwatak kejam lalu mengangkat goloknya dan membacok ke arah leher Hong Beng yang kembali sudah terpelanting ke atas lantai.

“Singgg…. tranggg…. aughhhh….!”

Bukan leher Hong Beng yang terpental putus, melainkan golok itu terpental dan pemegangnya roboh dengan kepala retak dan tewas seketika.

Semua orang terkejut bukan main dan ketika mereka memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang amat gagah perkasa. Laki-laki inilah bayangan yang tadi membayangi Gu Hok dan puteranya. Dia seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bentuk mukanya bulat dengan sepasang matanya yang mencorong tajam. Wajah yang tampan itu berkulit agak gelap. Pakaiannya serba indah dan rapi, rambutnya tersisir rapi pula, seorang laki-laki pesolek. Ketika laki-laki ini memandang ke arah dua buah mayat suami isteri Gu Hok, dan melihat keadaan mayat wanita itu yang telanjang bulat, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat. Pandang mata mencorong itu kini ditujukan kepada Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang berdiri di depan pintu kamar, kemudian beralih kepada Hong Beng yang sudah bangkit lagi dengan muka matang biru dan hidung berdarah.

“Anak baik, apakah mereka itu ayah ibumu?”

“Benar, dan mereka…. mereka dibunuh…. dua orang jahanam itu dan anak buahnya.”

Laki-laki gagah itu mengangguk-angguk.

“Tidak aneh kalau terjadi pemberontakan di mana-mana. Pejahat-pejahat pemerintah bertindak sewenang-wenang dan berkomplot dengan para penjahat. Manusia-manusia macam ini memang harus dibasmi!”

Coa Pit Hu sudah dapat menenangkan hatinya yang terkejut melihat munculnya orang yang membunuh seorang pengawal itu. Dan menudingkan telunjuknya ke arah muka laki-laki itu dan membentak,

“Kurang ajar! Siapakah engkau berani mengantar nyawa di sini? Hayo mengaku sebelum kupenggal kepalamu!”

Laki-laki itu tersenyum, senyumnya dingin sekali.

“Tidak ada gunanya engkau mengenal namaku karena kalian semua akan mati malam ini!”

“Kurang ajar!”

Coa Pit Hu marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok lalu menyerang dengan amat ganas. Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi, yaitu hendak memenggal kepala orang yang berani menentang dia dan Bong-ciangkun.

“Singgg….!”

Goloknya menyambar ke arah leher laki-laki gagah itu. Laki-laki itu hanya menggerakkan tangan, telapak tangannya sudah menampar dada Coa Pit Hu sebelah kanan.

“Plakkk!”

Coa Pit Hu mengeluarkan teriakan dan tubuhnya terpelanting, roboh dan matanya mendelik, dari mulut dan hidungnya mengalir darah dan dia sudah tidak berkutik lagi karena telah tewas seketika. Jantungnya pecah karena getaran pukulan telapak tangan yang amat dahsyat itu! Melihat ini, Bong-ciangkun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi dia masih ingat untuk memberi aba-aba.

“Serbu dan bunuh penjahat ini!”

Lalu dia sendiri membalikkan tubuhnya hendak lari bersembunyi ke dalam rumahnya.

“Hemm, pembesar lalim jangan harap dapat lolos dari tanganku!”

Laki-laki gagah itu menyambar golok yang tadi terlepas dari tangan Coa Pit Hu dan sekali menyambit, golok itu terbang meluncur.

“Cappp….!”

Pembesar Bong-ciangkun menjerit ketika golok itu menembus punggungnya sampai dada, dan diapun roboh tersungkur, menelungkup di atas lantai. Darah membanjir keluar dari punggung dan dadanya, dan tubuhnya hanya sebentar saja berkelojotan lalu tak bergerak lagi. Belasan, orang pengawal menjadi terkejut dan merekapun lalu mengeroyok kalang kabut.

Namun, tubuh pria yang gagah itu berkelebatan ke sana-sini dan setiap kali tangannya bergerak tentu seorang pengeroyok roboh dan tewas. Sebentar saja sepuluh orang telah roboh. Sisanya hendak lari, akan tetapi laki-laki itu tidak mau memberi ampun dan dengan lemparan-lemparan tombak atau golok yang berserakan, dia merobohkan mereka yang melarikan diri sehingga tak seorangpun ketinggalan! Tempat itu berobah menjadi tempat mengerikan di mana mayat berserakan dan lantai banjir darah! Hong Beng sendiri merasa sakit hati dan mendendam terhadap Bong-ciangkun, kini terbelalak dengan muka pucat menyaksikan pembunuhan yang lebih tepat dinamakan pembantaian yang dilakukan laki-laki gagah perkasa itu.Laki-laki itu lalu berkata kepada Hong Beng yang berdiri di sudut dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

“Anak baik, mari kita pergi dari sini.”

“Tapi…. tapi…. aku ingin mengubur jenazah ayah ibuku….”

Laki-laki itu menarik napas panjang.

“Hemm, baiklah!”

Dia lalu mengambil sebatang golok dan dengan golok itu dia memenggal leher Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu. Rambut dari dua buah kepala itu dia ikat menjadi satu lalu dia menyerahkan dua kepala itu kepada Hong Beng.

“Kau bawalah dua kepala ini dan aku akan membawa jenazah ayah ibumu.”

Tentu saja Hong Beng terbelalak ngeri. Melihat orang mati saja belum pernah, sekarang setelah menyaksikan belasan orang berserakan menjadi mayat dalam keadaan mandi darah, dia harus membawa dua buah kepala orang! Akan tetapi, karena mendengar bahwa laki-laki perkasa itu akan membawakan dua jenazah ayah ibunya, terpaksa dengan gemetaran dia menerima dua kepala itu, dipegang pada rambut yang diikat menjadi satu dan dibawanya kepala yang lehernya masih meneteskan darah itu. Laki-laki itu merenggut beberapa helai tirai sutera dari tempat itu, menyelimuti tubuh isteri Gu Hok yang telanjang, kemudian dia mengambil dua mayat itu dengan ringan dan mudah.

“Mari kita pergi,”

Katanya lagi dan dia membawa dua mayat itu berjalan keluar, diikuti oleh Hong Beng yang membawa dua buah kepala orang! Setelah dua orang ini pergi, barulah para pelayan rumah pondok yang biasanya dipergunakan Bong-ciangkun untuk menjagal wanita-wanita yang menjadi korbannya itu berani keluar. Melihat betapa mayat-mayat berserakan, diantaranya adalah mayat Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang sudah tidak berkepala lagi,

Tentu saja para pelayan itu menjerit-jerit ketakutan, bahkan ada yang roboh pingsan. Tempat itu segera ramai di datangi orang dan gegerlah kota Siang-nam. Pasukan keamanan datang dan para pembesar di kota ribut-ribut mencari siapa yang telah membunuh Bong-ciangkun dan belasan orang itu. Akan tetapi semua orang yang menjadi saksi telah tewas, sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan siapa pembunuhnya. Kegemparan itu makin menghebat ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang berdatangan ke pasar menjadi terkejut melihat adanya dua buah kepala digantung di atas pintu gerbang pasar. Itulah kepala Bong-cioangkun dan Coa Pit Hu! Dan di atas tembok pintu gerbang itu terdapat tulisannya, tulisan yang bergaya kuat dan berbentuk indah, ditulis dengan darah yang telah menghitam.

“BONG CIANGKUN BERSEKONGKOL DENGAN PARA PENJAHAT MENINDAS RAKYAT, INILAH HUKUMANNYA AGAR MENJADI CONTOH BAGI PARA PEJABAT LAIN.”

Tentu saja kota Siang-nam menjadi gempar dan semua orang menduga-duga siapa gerangan orang yang begitu berani membunuh seorang komandan pasukan keamanan, bahkan membunuh Coa Pit Hu yang terkenal sebagai pimpinan penjahat di sekitar tempat itu,

Lalu menggantungkan kepala mereka di atas pintu gerbang pasar tanpa diketahui seorangpun. Kepala daerah, dengan hati kecut dan ketakutan, segera memerintahkan pasukan keamanan untuk menjaga rumahnya dan sebagian ditugaskan untuk mencari pembunuh itu. Sementara itu, si pembunuh pada keesokan harinya telah berjalan seenaknya di luar kota Yang-nam sambil menggandeng tangan Hong Beng. Dia telah membantu anak itu mengubur jenazah ayah ibu anak itu di luar kota Siang-nam, di sebuah lereng bukit yang sunyi, kemudian mengajak anak itu pergi dari situ. Siapakah laki-laki gagah perkasa itu? Kalau saja ada yang mengenalnya, tentu kegemparan di Siang-nam bertambah dengan rasa takut dan kagum. Laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti yang namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw beberapa tahun yang lalu. Dia bernama Suma Ciang Bun.

Para pembaca kisah-kisah yang menyangkut keluarga Pulau Es tentu sudah mengenal nama ini. Suma Ciang Bun adalah cucu dari mendiang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, majikan Pulau Es. Ayahnya, bernama Suma Kian Lee, putera majikan Pulau Es itu, seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan ibunya bernama Kim Hwee Li, juga seorang wanita yang sakti. Ayah ibunya kini sudah tua, sudah sekitar enam puluhan tahun usianya dan mereka bertempat tinggal di Thian-cin, sebuah kota di sebelah selatan kota raja. Suma Ciang Bun yang kini berusia tiga puluh tahun ini belum menikah. Sejak muda remaja, dia memiliki suatu kelainan, yang pernah menyiksa batinnya dengan hebat sekali. Kelainan ini amat aneh, akan tetapi banyak dialami pria di dunia ini, yaitu bahwa gairah kelaminnya tidak seperti pria umumnya,

Tidak ditujukan terhadap wanita melainkan terhadap sejenis kelaminnya sendiri. Gairahnya timbul bukan terhadap wanita melainkan terhadap pria! Tentu saja kelainan itu menimbulkan peristiwa-peristiwa yang aneh dan yang menyeretnya ke lembah kesengsaraan batin yang hebat. Tubuhnya saja pria, akan tetapi seleranya seperti wanita. Maka, pernah beberapa kali dia patah hati, mencinta seorang pria, bahkan pernah dia tergila-gila seorang pria, yang ternyata adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Hal ini menghancurkan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia benar-benar mencinta orang itu, tak perduli orang itu pria maupun wanita. Namun segalanya sudah terlambat. Orang itu telah pergi meninggalkannya karena merasa dihina dan disakitkan hatinya. Hal ini dapat dibaca dalam KISAH PENDEKAR PULAU ES.

Akan tetapi, pengalaman pahit yang bertubi-tubi dirasakannya, kemudian nasihat-nasihat terutama dari adik misannya sendiri yang bernama Suma Ceng Liong, dan dari kakak perempuannya yang bernama Suma Hui, dia akhirnya dapat mengetahui dirinya sendiri dan dapat melihat bahwa tidak mungkin dia menuruti seleranya yang tidak lumrah itu. Suma Ciang Bun kini telah sembuh! Tidak lagi timbul gairah berahinya melihat pria tampan, walaupun sampai kini dia belum juga dapat menimbulkan gairah berahinya terhadap wanita. Biarpun sudah sembuh, namun Ciang Bun masih belum dapat melenyapkan sifat-sifatnya yang seperti wanita, yaitu pesolek, rapi dan suka akan kelembutan! Sudah bertahun-tahun lamanya Suma Ciang Bun meninggalkan rumah orang tuanya di Thian-cin, hidup sebagai seorang pendekar perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya.

Di manapun dia berada, pendekar ini selalu mengulurkan tangannya untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dengan gigih. Berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, yang membuat dia dapat disebut orang sakti, maka jarang dia menemui lawan yang mampu menandinginya, dan karenanya, namanya amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Banyak orang pernah melihat sepak terjangnya yang amat hebat, akan tetapi karena dia tidak pernah meninggalkan nama, maka orang-orang yang belum pernah melihatnya dan hanya mendengar saja penuturan orang, tidak dapat menduga siapa sebenarnya pendekar sakti itu. Sepasang pedang dengan ronce-ronce biru selalu tersembunyi di balik jubahnya, dari siang-kiam (sepasang pedang) ini jarang sekali dipergunakannya, karena dengan kaki tangannya saja dia sudah sukar dikalahkan lawan.

Setelah matahari naik tinggi, Suma Ciang Bun mengajak Hong Beng berhenti mengaso di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan yang sunyi. Anak itu sejak pagi tadi, sejak meninggalkan makam ayah ibunya, tidak pernah bicara, hanya menurut saja ketika tangannya digandang oleh Ciang Bun dan diajak pergi. Tak pernah bertanya hendak ke mana, tak pernah mengeluh walaupun keringatnya sudah membasahi seluruh pakaiannya dan nampaknya lelah sekali. Maklumlah, semalam suntuk anak itu tidak pernah tidur, apa lagi mengalami hal-hal yang amat menegangkan dan menekan hatinnya. Melihat betapa dirinya dikurung, lalu muncullnya ibunya, kemudian melihat betapa ayah ibunya tewas di depan matanya, dan dia sendiri dihajar babak belur dan bengkak-bengkak oleh para pengawal yang terdiri dari anak buah penjahat itu,

Kemudian melihat pula betapa semua orang itu dibantai oleh penolongnya ini. Ditambah lagi sejak kemarin dia tidak mau makan, perutnya lapar, badannya sakit-sakit, hatinya berduka, namun anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh! Hal ini memang sejak semalam telah diketahui oleh Suma Ciang Bun. Dia datang agak terlambat, yaitu setelah Gu Hok dan isterinya tewas. Dia melihat betapa anak kecil itu mengamuk, nekat dan tidak pernah mengeluh walaupun dijadikan bola oleh para pengawal ini. Dan kini, setelah mengubur jenazah ayah ibu Hong Beng, dan mengajak anak itu berjalan terus sampai siang, melihat betapa anak itu sebenarnya menderita lahir batin akan tetapi sama sekali tidak mengeluh, Cian Bun merasa semakin kagum. Inilah seorang bocah yang amat hebat, dan pantas menjadi muridnya.

“Kita beristirahat dulu di sini. Duduklah,”

Katanya dan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. Hong Beng juga dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput.

“Kau lelah sekali?”

Tanya Ciang Bun sambil memandang wajah anak itu. Seorang anak laki-laki yang berkulit kuning berwajah jernih dan tampan. Anak itu mengangguk tanpa menjawab.

“Muka dan tubuhmu sakit-sakit?”

Tanya lagi Ciang Bun, menatap muka yang bengkak-bengkak dan matang biru itu. Kembali Hong Beng mengangguk tanpa menjawab.

“Perutmu lapar?”

Kembali anak itu mengangguk.

“Hemm, akupun lapar sekali. Tapi di tempat sunyi seperti ini, dari mana kita bisa mendapatkan makanan?”

“Di rumahku ada telur, ada banyak ayam, dan masih ada beras.”

“Rumahmu? Di Siang-nam itu?”

Hong Beng mengangguk.

“Katakan di mana rumahmu.”

“Di jalan kecil belakang pasar, sebelah kiri toko yang berdagang mangkok piring, rumahku bercat kuning.”

“Baik, kau tunggu saja di sini. Aku yang akan mengambil bahan makanan. Kalau kau ikut ke sana, tentu akan timbul keributan karena semua orang mengenalmu.”

Dan sebelum Hong Beng menjawab, sekali berkelebat tubuh Suma Ciang Bun telah berada jauh sekali dari situ, seperti terbang saja dan tak lama kemudianpun lenyap. Tentu saja Hong Beng memandang dengan melongo.

Tadipun ketika melihat laki-laki itu mengamuk dan membantai semua orang, dia sudah terheran-heran dan amat kagum. Akan tetapi karena kedukaan oleh kematian ayah ibunya, dia kurang memperhatikan hal itu. Kini, melihat betapa orang itu seperti terbang saja pergi dari situ, baru dia mengkirik. Ibliskah orang itu? Dia pernah mendengar tentang orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan orang yang pandai terbang! Yang pernah dilihatnya hanya orang-orang penjual obat di pasar yang suka bermain silat dan memamerkan kekuatannya, mengangkat besi berat atau bahkan ada yang memukuli dadanya dengan benda keras memamerkan kekebalannya. Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang demikian lihainya seperti penolongnya itu. Mulailah dia memperhatikan dan diam-diam dia khawatir sekali.

Jangan-jangan orang itu pergi meninggalkannya dan tidak akan kembali lagi. Setelah ditinggal seorang diri, baru Hong Beng teringat bahwa dia sekarang sebatangkara. Dan bahwa keselamatannya terancam di Siang-nam. Dia harus pergi dari tempat tinggalnya. Akan tetapi ke mana? Dan apa yang harus dilakukannya? Satu-satunya harapan baginya adalah ikut bersama orang yang menolongnya tadi. Ah, kenapa tidak? Kalau penolongnya itu mau, dia suka menjadi muridnya, atau jadi pelayannya sekalipun. Dengan cepat sekali, terlalu cepat bagi Hong Beng sehingga sukar dipercaya, tiba-tiba saja orang itu telah berkelebat dan tahu-tahu telah berada di dekatnya, membawa buntalan yang cukup besar. Ketika Suma Ciang Bun menurunkan buntalan itu ke atas tanah, isi buntalan bergerak dan terdengar suara ayam!

“Nah, ini kubawakan semua keperluan dari rumahmu,”

Kata Suma Ciang Bun yang sudah duduk kembali. Hong Beng membuka buntalan itu dan ternyata di dalamnya, selain terdapat belasan butir telur dan dua ayam paling gemuk, juga terdapat beras yang cukup dan juga beberapa potong pakaiannya yang paling baik. Melihat pakaiannya itu, Hong Beng memandang kepada Suma Ciang Bun dengan sinar mata bertanya.

“Kau tentu membutuhkan pakaian pengganti,”

Kata Ciang Bun.

“Apakah kau dapat masak?”

Hong Beng mengangguk.

“Akan tetapi tidak ada tungku dan tidak ada api….”

Ciang Bun tersenyum. Dia sudah berpengalaman hidup merantau di gunung-gunung dan sebentar saja dia sudah dapat membuat api dan membuat tungku dari batu-batu. Hong Beng segera menanak nasi dari panci yang berada dalam buntalan, dan dua ekor ayam itupun dipotong dan dipanggang. Tak lama kemudian, dua orang ini makan nasi dan panggang ayam dengan lahapnya, walaupun bumbunya hanya garam dan bawang yang dibawa oleh Ciang Bnn dari rumah kecil keluarga Gu.

“Nah, sekarang kita bicara,”

Kata Ciang Bun telah mereka makan kenyang.

“Siapakah namamu dan apa yang telah terjadi maka ayah ibumu tewas di sana?”

Hong Beng memandang Ciang Bun dengan tajam untuk beberapa saat lamanya, kemudian menceritakan segala peristiwa yang menimpa keluarga orang tuanya, dimulai dari peristiwa di pasar ketika ibunya diganggu oleh Bong-ciangkun sampai dia diculik dan ibu berdua ayahnya kemudian tewas. Setelah anak itu selesai bercerita, Ciang Bun mengangguk-angguk.

“Hemm, sudah kuduga tentu demikian. Aku sudah banyak mendengar akan kejahatan orang she Bong itu dan aku girang bahwa aku telah berhasil membasmi dia bersama komplotannya. Hong Beng, sekarang ayah ibumu telah tiada, lalu apa rencanamu selanjutnya? Apakah engkau memiliki sanak keluarga?”

Hong Beng menggeleng kepala.

“Jadi engkau sebatangkara saja?”

Anak itu mengangguk.

“Hemmm, engkau sebatangkara dan engkau tak mungkin kembali ke Sang-nam. Di sana sudah geger dan orang-orang mulai mencari keluargamu yang lenyap. Lalu apa yang akan kau lakkukan sekarang?

“Kalau paman suka, aku akan ikut dengan paman….”

“Ikut aku?”

“Ya, menjadi…. murid atau pelayan….”

Ciang Bun tertawa. Dia semakin kagum kepada anak ini. Tidak banyak cakap, dan cukup sopan.

“Aku suka kepadamu, Hong Beng. Kalau engkau mau, akupun suka sekali mengambil engkau sebagai muridku.”

Mendengar ucapan ini, segera Hong Beng menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Ciang Bun.

“Suhu, mulai saat ini, teecu akan mentaati segala perintah suhu dan teecu berjanji akan menjadi seorang murid yang baik.”

Ciang Bun menyentuh kedua pundak anak itu dan menyuruhnya bangkit duduk. Ditatapnya wajah anak itu dan dia merasa senang sekali.

“Berapa usiamu Hong Beng?”

“Sebelas tahun, suhu.”

“Ah, engkau pantas menjadi anakku, keponakanku, atau muridku. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, aku seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya, kadang-kadang bermalam di dalam hutan, di puncak gunung atau di tepi sungai. Hidupmu akan serba kekurangan dan bahkan kadang-kadang harus berani menahan kehausan dan kelaparan kalau ikut aku. Beranikah engkau menghadapi semua kesukaran itu?”

Hong Beng mengangguk.

“Teecu berani dan apapun yang akan suhu perintahkan, teecu akan mentaati tanpa membantah.”

Ciang Bun lalu bangkit dan menarik tangan Hong Beng agar berdiri dan merangkul anak itu sambil tertawa.

“Ha-ha, jangan khawatir, muridku. Aku belum begitu gila untuk membuat engkau sengsara. Mari kita pergi naik ke puncak bukit di depan itu. Besok, di puncak itu, akan mulai kuajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadamu. Engkau tidak akan menyesal menjadi muridku. Ketahuilah bahwa saat ini, engkau merupakan anak murid keluarga Pulau Es dan kalau engkau tekun belajar, kelak akan sukar orang menandingimu.”

Demikianlah, Suma Ciang Bun yang selama bertahun-tahun hidup dalam kesunyian dan kesepian, kini memperoleh seorang murid yang seolah-olah membuat hidupnya berarti dan dia berguna bagi seseorang. Kesepian atau kesendirian merupakan suatu hal yang amat ditakuti oleh kebanyakan orang. Sendirian sama artinya dengan mati atau lenyapnya bayangan tentang diri sendiri yang kita bentuk sendiri. Timbulnya sang aku adalah karena ada hubungan dengan manusia lain, dengan benda maupun dengan gagasan-gagasan. Kalau sudah berada sendirian maka sang akupun tidak dapat bergerak lagi, atau kalaupun bergerak, tentu hanya karena dorongan ingin mempertahankan hidup. Itulah sebabnya kita selalu haus akan perhatian orang lain, selalu haus akan kasih sayang orang lain.

Orang yang merasa bahwa dia tidak diperhatikan orang, tidak disukai orang, akan merasa sengsara dan hidupnya seolah-olah kosong, dapat mendatangkan penyakit hampa atau frustrasi, Karena sang aku yang sudah digambarkan dan dipupuk semenjak kecil menjadi tidak berarti lagi, menjadi diremehkan. Takut akan kesepian atau sendirian ini pula yang mendorong kita untuk mengingatkan diri dengan apa saja yang menyenangkan lahir dan batin. Kalau sudah terikat, kita merasa aman, merasa terjamin. Padahal, ikatan-ikatan inilah yang membuat kita hidup seperti robot. Pengulangan-pengulangan, kebiasaan-kebiasaan, menurut “umum”, dan menonjolkan sang aku sama saja dengan hidup di atas awan angan-angan dan karenanya seringkali menemui kekecewaan dan kedukaan karena kenyataan sama sekali berbeda dengan angan-angan dan harapan-harapan.

Siapa yang berani meninggalkan hidup dalam dunia angan-angan dan harapan ini, dan berani membuka mata menghadapi segala macam kenyataan hidup, Menerima sebagaimana adanya, barulah dia itu benar-benar hidup dan tidak terkecoh oleh harapan-harapan yang pada dasarnya hanyalah sang aku yang ingin senang. Pemuda itu berjalan seorang diri menyusuri tepi Sungai Wu-kiang, sebuah sungai yang mengalir ke utara untuk kemudian terjun ke sungai besar Yang-ce-kiang. Sungai Wu-kiang ini mengalir di antara bukit-bukit pegunungan yang amat luas, sunyi dan penuh dengan hutan liar. Dia tidak sangat muda lagi. Usianya sekitar dua puluh enam tahun, bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya sederhana seperti pakaiannya, hanya sapasang mata yang mengandung sinar penuh ketajaman itu yang menarik perhatian.

Dilihat sepintas lalu, dia mirip seorang petani atau mungkin seorang pemburu karena berjalan seenaknya di tempat yang amat sunyi dan liar itu. Padahal, tempat itu amat berbahaya dan kalau tidak dengan rombongan yang bersenjata lengkap, jarang ada orang berani memasuki daerah ini. Akan tetapi, orang muda itu berlenggang seenaknya dan memandang ke kanan kiri, kadang-kadang tersenyum sendiri kalau melihat kupu-kupu, atau burung, atau kelinci berkejaran. Di tempat yang amat sunyi itu, di mana tidak terdapat manusia lain kecuali diri sendiri, membuat mata menjadi waspada sekali. Pikiran menjadi hening, tidak terisi berbagai masalah seperti kalau berada di tempat ramai yang penuh orang. pikiran tidak mengada-ada, tidak dipenuhi keinginan-keinginan, karena kosong dan hening inilah maka panca indera bekerja dengan amat baiknya,

Setiap anggauta tubuh menjadi amat pekanya. Dan dalam keadaan hening dan waspada ini, maka segala keindahanpun nampak! Biasanya, panca indera kita seperti menjadi tumpul karena dipenuhi oleh keinginan batin yang berupa nafsu sehingga perhatian hanyalah ditujukan kepada hal-hal yang belum ada yang sedang dikejar atau diinginkan. Akan tetapi, berada di tempat sunyi itu, barulah terasa betapa indahnya segala hal yang ada, betapa bersilirnya angin membawa suara indah melebihi alunan musik yang manapun juga, bahkan gugurnya setangkai daun kering yang menari-nari ke bawah nampak sedemikian indahnya seperti tarian yang menakjubkan. Diri menjadi lenyap, seperti lebur menjadi suatu kenyataan yang ada, bukan lagi boneka yang dipermainkan oleh nafsu dan keinginan.

Pemuda itu amat sederhana, hanya menggendong sebuah buntalan pakaian dan di pinggangnya terselip sebuah benda kecil yang panjangnya kira-kira tiga kaki, terbungkus oleh sarung dari kain kuning. Bagi orang yang tidak mengenalnya tentu mengira bahwa dia itu hanya seorang petani biasa, atau seorang pemburu dan paling hebat tentu seorang perantau yang biasa melakukan perjalanan seorang diri dengan bekal sedikit kepandaian silat untuk mlindungi dirinya. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar yang amat lihai, bahkan yang baru-baru ini memperoleh julukan Pendekar Suling Naga! Bagi para pembaca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES, pemuda ini pasti dapat diduga siapa orangnya, karena dia merupakan seorang di antara para tokoh dalam kisah itu. Pemuda ini adalah Sim Houw.

Seorang pemuda gemblengan yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari dua aliran yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas). Ilmu yang pertama dia peroleh dari mendiang ayahnya sendiri, yaitu Sim Hong Bu yang mewarisinya dari keluarga isterinya, keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Pegunungan Himalaya. Adapun ilmu yang ke dua itu diperolehnya dari pendekar sakti Kam Hong yang pernah menjadi calon mertuanya akan tetapi perjodohannya dengan puteri gurunya ini gagal karena gadis itu mencinta orang lain. Ayahnya, pendekar sakti Sim Hong Bu telah gugur dalam pertempuran antara para pendekar yang melawan pasukan tentara pemerintah. Juga ibunya telah tewas sehingga dia hidup sebatangkara. Memang masih ada keluarga dari pihak ibunya, yaitu keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman,

Akan tetapi karena ayahnya telah bercerai dari ibunya dan terjadi pertentangan antara mendiang ayahnya dan keluarga Cu, dia tidak mau lagi kembali ke lembah itu. Demikianlah sedikit riwayat pendekar yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga itu. Baru kurang lebih tiga tahun dia diberi julukan itu setelah beberapa kali dia menghadapi datuk-datuk sesat yang lihai dan terpaksa dia menggunakan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang suling yang dapat dipergunakan sebagai pedang pula. Suling ini terbuat dari kayu yang diukir berbentuk seekor naga dan kayu yang sudah ribuan tahun usianya dan direndam ramuan obat itu menjadi keras seperti baja, dan selain dapat ditiup sebagai suling yang suaranya merdu, juga dapat dipergunakan sebagai pedang. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, timbul dalam pikiran Sim Houw untuk menjenguk kelu-arga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman.

Dia teringat bahwa yang tadinya bertentangan dengan ayahnya adalah ayah dari ibunya bersama seorang paman, juga ibunya sendiri. Keluarga Cu terdiri dari tiga orang kakak beradik, yang pertama adalah Cu Han Bu, yaitu ayah ibunya, ke dua adalah Cu Seng Bu dan ke tiga adalah Cu Kang Bu. Yang menentang ayahnya hanyalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang sekarang telah meninggal dunia, sedangkan Cu Kang Bu tidak menentang ayahnya. Dan sekarang, yang tinggal di lembah itu hanya tinggal Cu Kang Bu dan isterinya. Teringat akan paman kakeknya ini, seorang pendekar berjuluk Ban-kin-sian yang gagah perkasa, juga isteri pendekar ini seorang wanita bernama Yu Hwi yang memiliki kepandaian tinggi pula, Sim Houw menjadi rindu. Tidak ada lagi keluarganya di dunia ini kecuali paman kakek Cu Kang Bu itu, maka diapun berangkatlah ke Pegunungan Himalaya. Akan tetapi, ketika pada suatu pagi dia tiba di lembah itu, menyeberangi jembatan tambang yang direntang dari lembah oleh seorang murid keluarga Cu,

Sim Houw menjadi terkejut bukan main melihat betapa paman kakek berdua isterinya itu berada dalam keadaan luka parah! Cu Kun Tek, putera yang baru berusia dua belas tahun menjaga mereka dengan sikap murung dan berduka. Lembah Gunung Naga Siluman itu merupakan tempat yang selain amat indah juga tersembunyi dan tidak mungkin dapat dikunjungi orang kecuali kalau penghuni lembah itu menghendaki. Lembah itu dikurung oleh jurang yang amat curam, dan jalan masuk satu-satunya hanyalah melalui jembatan tambang yang direntang dari lembah dan selalu dijaga oleh murid-murid penghuni lembah itu. Pada waktu itu, Cu Kang Bu yang hanya mempunyai seorang putera memiliki belasan orang murid, selain untuk menjadi teman puteranya, juga untuk melayani segala keperluan keluarganya dan menjaga kebersihan tempat tinggal mereka.

Murid-murid ini yang melakukan penjagaan jembatan tambang itu. Ketika Sim Houw muncul dan memperkenalkan namanya, di antara murid-murid itu ada yang sudah pernah mengenalnya, maka tambang yang tadinya tergantung ke dalam jurang lalu ditarik dan direntang. Sim Houw mempergunakan ilmunya untuk menyeberang melalui atas tambang yang besar itu. Kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak memiliki keberanian besar, siapa berani menyeberang melalui jembatan yang terbuat dari sehelai tambang itu? Sekali jatuh, nyawa akan melayang dan tubuh akan hancur lebur. Melihat keadaan paman kakeknya suami isteri yang rebah dengan muka pucat, Sim Houw terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut. Suami yang nampak lemah tubuhnya itu memandang penuh perhatian, lalu terdengar Cu Kang Bu bertanya,

“Orang muda, siapakah engkau dan ada keperluan apakah engkau mendatangi tempat kami ini?”

Mendengar pertanyaan kakek itu, Sim Houw merasa terharu sekali.

“Cek-kong (paman kakek), saya adalah Sim Houw….”

“Sim Houw….?”

Isteri kakek itu bangkit duduk dan memandang dengan penuh perhatian. Juga kakek itu bangkit duduk.

“Engkau Sim Houw putera mendiang Pek In?”

Tanya kakek yang kini usianya sudah lima puluh tiga tahun itu. Disebutnya nama mendiang ibunya, Sim Houw menjadi semakin terharu.

“Benar dan saya menghaturkan hormat kepada cek-kong berdua.”

Suami isteri yang sedang menderita luka itu nampak gembira sekali.

“Kun Tek, lihat, pemuda perkasa ini adalah keponakanmu sendiri, putera tunggal mendiang encimu Cu Pek In! Sim Houw, ini adalah anak tunggal kami, bernama Cu Kun Tek.”

Sim Houw memandang kepada anak laki-laki itu. Dia hanya pernah mendengar bahwa suami isteri itu mempunyai seorang anak laki-laki dan baru sekarang dia bertemu dengan anak laki-laki itu, seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun yang menjadi pamannya! Dia merasa canggung, akan tetapi Sim Houw segera bangkit berdiri dan menjura kepada anak itu.

“Paman kecil, harap engkau baik-baik saja dan banyak memperoleh kemajuan.”

Cu Kun Tek juga sudah banyak mendengar dari ayah bundanya tentang Sim Houw, maka diapun membalas penghormatan itu.

“Harap kau tidak terlalu sungkan, karena walaupun aku terhitung pamanmu, akan tetapi aku jauh lebih muda dan banyak mengharapkan petunjuk darimu.”

Diam-diam Sim Houw kagum dan dapat melihat bahwa paman cilik ini adalah seorang anak laki-laki yang cerdas dan ada pembawaan yang gagah perkasa seperti paman kakeknya.

“Selama ini engkau ke mana sajakah, anak Houw?”

Tanya Yu Hwi, isteri Cu Kang Bu itu.

“Saya merantau memperluas pengalaman dan tiba-tiba saya merasa rindu kepada keluarga di sini, juga tempat ini di mana saya dibesarkan, maka hari ini saya datang menghadap. Harap cek-kong berdua sudi memaafkan bahwa baru sekarang saya sempat singgah. Akan tetapi betapa kaget hati saya melihat bahwa cek-kong berdua agaknya dalam keadaan sakit…. kalau tidak salah, menderita luka dalam. Apakah cek-kong berdua berkelahi dengan seorang lawan yang amat lihai?”

Mendengar pertanyaan ini, suami isteri itu saling pandang dan seperti diingatkan akan sesuatu yang membuat mereka penasaran. Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menjawab,

“Kalau diceritakan, sungguh membuat orang menjadi jengkel dan penasaran sekali. Seperti kau ketahui, Sim Houw, keluarga Cu selalu menjauhkan diri dari keributan, bahkan menempati lembah yang terpencil dan terasing ini, karena tidak ingin terlibat dalam permusuhan. Akan tetapi, kalau memang perkelahian akan terjadi, ke manapun kita bersembunyi, ada saja yang datang mencari perkara. Dan sekali ini yang datang mencari keributan adalah seorang kakek tua renta yang gila….”

Sim Houw terkejut dan merasa heran sekali. Seorang kakek tua renta yang gila? Dan seorang kakek gila demikian lihainya sehingga cek-kongnya yang lihai ini, bersama isterinya yang juga amat lihai, kalah dan menderita luka dalam.

“Cek-kong, apakah yang telah terjadi?”

Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang.

“Dua pekan yang lalu, pada suatu siang muncul seorang kakek di seberang jurang dan dia berteriak dengan mempergunakan khi-kang, minta bertemu denganku. Karena maklum bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian tinggi maka aku menyuruh para murid merentangkan jembatan tambang. Kakek itu menyeberang dan ternyata dia sudah sangat tua, dan dia datang mengajukan usul yang aneh.”

“Bagaimana usulnya itu?”

Sim Houw bertanya dengan hati tertarik sekali melihat Cu Kang Bu menghentikan ceritanya.

“Ahh, sungguh aneh dan memalukan. Dia mengatakan bahwa dia memiliki sebuah benda pusaka yang akan diwariskan kepada seorang pendekar yang mampu mengalahkannya. Karena dia bertapa di Pegunungan Himalaya dan dia mendengar bahwa di lembah ini tinggal pendekar-pendekar sakti, dia lalu datang untuk minta dikalahkan agar dia dapat mewariskan pusaka itu kepada kami. Tentu saja aku yang tidak butuh pusakanya, menolak. Akan tetapi dia malah marah-marah dan mengatakan bahwa kalau aku tidak mau melayaninya, dia akan membunuh aku dan seluruh penghuni lembah ini….”

“Gila….”

Sim Houw berseru heran dan penasaran. Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Hendak mewariskan pusaka saja dengan syarat harus mengalahkannya, dan kalau orang tidak mau menyambut usulnya yang aneh itu, akan dibasmi seluruh keluarganya!

“Memang, agaknya dia telah gila, akan tetapi dia lihai bukan main.”

Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

“Karena ancamannya yang gila itu, tentu saja aku menjadi marah dan akhirnya kami bertanding, bukan untuk memenuhi permintaannya, melainkan untuk menentang niatnya yang hendak membasmi kami itu. Akan tetapi, biarpun isteriku telah membantuku, tetap saja setelah lewat seratus jurus, kami berdua terkena pukulannya yang ampuh dan terluka. Akan tetapi dia tidak membunuh kami, hanya mengatakan bahwa setelah kami sembuh, dia akan datang lagi, karena dia menganggap bahwa aku cukup pantas menerima warisan dan dia minta agar aku berlatih dan memperkuat diri agar lain kali aku dapat mengalahkannya. Kemudian dia pergi.”

“Orang itu agaknya memang gila dan dia bisa berbahaya sekali, kata Yu Hwi. Bayangkan saja, cek-kongmu ini sudah mempergunakan cambuknya, dan akupun sudah melawan mati-matian. Kami hanya mampu mengimbangi saja tanpa mampu mengatasinya sehingga akhirnya kami terluka.”

“Siapakah nama kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?”

Sim Houw yang merasa amat tertarik dan penasaran bertanya.

“Dia belum sempat memperkenalkan diri dan kamipun tidak tahu di mana dia tinggal,”

Jawab Cu Kang Bu.

“Kami memang tidak tertarik sama sekali untuk berkenalan dengan orang gila itu, apa lagi mewarisi pusakanya.”

Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara melengking tinggi yang terdengar dekat sekali, seolah-olah suara itu keluar dari mulut seorang yang berada di dalam gedung atau ruangan di mana mereka duduk bercakap-cakap. Lengkingan suara itu disusul kata-kata yang lembut,

“Orang she Cu, rentangkan jembatan tambang, aku datang berkunjung!”

“Nah, itu dia orang gila itu datang lagi!”

Cu Kang Bu berkata dan dia bersama isterinya nampak pucat. Cu Kun Tek yang masih kecil itu bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. Anak ini kelihatan marah sekali.

“Ayah dan ibu, kalau dia datang lagi, biarlah kita lawan mati-matian. Bukankah di sini ada Sim Houw yang pernah ayah ceritakan sebagai seorang yang amat lihai? Tentu dia akan membantu kita, bukankah demikian, Sim Houw?”

Sim Houw memandang kagum dan tersenyum, lalu mengangguk.

“Tentu saja, paman kecil.”

Sementara itu, tiga orang murid datang menghadap dengan muka pucat dan jelas nampak betapa mereka ini cemas sekali.

“Suhu, kakek gila itu datang lagi….”

Kata mereka.

“Ada tamu datang, rentangkan jembatan, biarkan dia ke sini,”

Kata Cu Kang Bu dengan sikap gagah. Dia maklum bahwa selagi dalam keadaan sehat dan segar saja, dia dan isterinya yang maju mengeroyok kakek itu tidak menang bahkan terluka parah, apa lagi sekarang dalam keadaan masih belum sembuh benar. Maju melawan kakek itu berarti mengundang kematian. Akan tetapi kalau perlu dia tidak takut mati. Lebih baik mati melawan dari pada memperlihatkan rasa takut dan tidak berani merentangkan jembatan.

“Suhu, biar teecu rentangkan jembatan dan kalau Si kakek gila itu sudah menyeberang sampai di tengah-tengah, teecu lepaskan tambang agar dia mampus terbanting ke dalam jurang,”

Kata seorang murid yang tinggi besar.

“Brakkkk!”

Cu Kang Bu menggebrak dipannya dengan mata melotot.

“Pengecut! Hayo kau masuk ke dalam Ruangan Bertobat, tiga hari tiga malam tidak boleh keluar mempelajari sikapmu yang pengecut itu sampai dapat kau hapus sama sekali dari batinmu!”

Murid tinggi besar itu berlutut dengan muka pucat, mengangguk-angguk.

“Baik, teecu menerima perintah dan hukuman.”

Lalu dengan tubuh lemas dia mengundurkan diri untuk memasuki sebuah ruangan di bawah tanah yang dipergunakan untuk menghukum murid-murid yang bersalah. Di tempat ini dia terpaksa harus bertapa selama tiga hari tiga malam untuk menebus kesalahannya karena tadi dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya pengecut dan curang.

“Rentangkan jembatan dan biarkan dia menyeberang!”

Katanya kepada dua orang murid lain yang cepat mengangguk dan pergi. Kemudian pendekar itu berkata kepada isterinya dan puteranya.

“Kalian jangan turut campur. Biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya dan kalau perlu mengadu nyawa dengannya.”

“Akan tetapi engkaupun masih belum sembuh!”

Seru isterinya dengan khawatir. Sim Houw cepat maju berkata,

“Cek-kong berdua harap tenangkan hati. Saya kira, dengan bujukan yang halus dan dapat diterima, kiranya dia dapat disadarkan dan dapat disuruh pergi tanpa kekerasan. Saya tidak sakit, maka biarlah saya mewakili cek-kong berdua karena bagaimanapun juga, saya adalah anggauta keluarga di lembah ini.”

Cu Kang Bu mengangguk.

“Akan tetapi, engkau harus berhati-hati benar, Sim Houw. Dia memiliki ilmu yang luar biasa anehnya.”

“Saya mengerti, cek-kong. Orang yang mampu mengalahkan cek-kong berdua tentu seorang sakti.”

Setelah berkata demikian, Sim Houw melangkah keluar, diikuti oleh Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan juga Cu Kun Tek. Ketika mereka tiba di luar gedung, tak lama kemudian nampak bayangan berkelebat cepat, datang dari depan dan diam-diam Sim Houw terkejut bukan main karena bayangan itu sungguh memiliki gin-kang yang luar biasa sehingga tubuh itu seolah-olah terbang saja ketika berlari ke arah mereka.

Segera nampak seorang kakek berdiri di depan mereka. Kakek itu memang nampak sudah tua sekali, sukar menaksir berapa usianya, akan tetapi tentu mendekati seratus tahun. Rambut di kepalanya tinggal sedikit, tipis panjang dan tak terpelihara membuat kepala itu nampak kecil. Tubuhnya kurus dan saking kurusnya, nampak tulang terbungkus kulit belaka. Matanya sipit hampir terpejam, mulutnya kempot dan kedua pipinya cekung ke dalam. Akan tetapi yang luar biasa adalah kulit mukanya, Kulit muka itu putih, bukan pucat melainkan putih seperti dibedaki tebal saja. Jubahnya hitam lebar dan panjang, celananya berwarna kuning. Begitu berhadapan dengan mereka, mata yang sipit itu menujukan pandangannya ke arah Cu Kang Bu dan isterinya, lalu terdengar kakek itu berkata dengan nada suara penuh sesal,

“Aih, kalian belum sembuh! Itulah akibatnya kalau tinggi hati, kuberi obat tidak mau. Sekarang, jangankan mengalahkan aku, baru menandingi seratus jurus seperti tempo hari saja kalian akan mati, dan siapa lagi yang dapat kuharapkan mengalahkan aku dan mewarisi pusakaku? Aihhh…. aku tidak mau pusakaku terjatuh ke tangan mereka, aku tidak mau biar mereka itu murid-murid keponakanku sendiri, aku tdak mau….”

Dan suara kakek itu berobah seperti suara orang menangis! Sim Houw melangkah maju menghadapi kakek itu sambil menjura dengan sikap hormat dan suaranya terdengar halus namun tegas,

“Locianpwe, kami para penghuni Lembah Naga Siluman tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga, tidak pernah mencampuri urusan orang lain, harap locianpwe suka mundur dan meninggalkan tempat kami tanpa mengganggu kami lagi. Kalau locianpwe memaksa, terpaksa sayalah yang akan menghadapi dan melawan locianpwe!”

Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dan kini mata yang sipit sekali itu ditujukan kepada Sim Houw, memandang dari atas ke bawah.

“Heh-heh, kau gagah juga….! Apakah kau murid mereka?”

Jari telunjuknya yang kurus panjang itu menunjuk ke arah Cu Kang Bu dan isterinya.

“Bukan, locianpwe. Saya adalah cucu keponakan mereka yang kebetulan datang berkunjung.”

“Uuh-huh-huh, murid juga bukan, malah hanya cucu keponakan! Dan kau bilang bahwa kau akan melawan aku? Heh-heh-heh, bocah, engkau sombong benar!”

“Locianpwe yang sombong, seolah-olah locianpwe pandai mengukur tingginya langit dalamnya lautan. Akan tetapi, tidak ada pertandingan dilakukan tanpa sebab, apa lagi tanpa saling mengenal. Nama saya adalah Sim Houw, dan sudah jelas bahwa saya mewakili cek-kong saya berdua isterinya, mewakili keluarga dan penghuni Lembah Naga Siluman untuk menandingi locianpwe, Sebaliknya, siapakah locianpwe dan mengapa locianpwe datang mengacau di lembah kami?”

Kakek kurus kering itu terkekeh.

“Heh-heh-heh, kau bocah kemarin sore tapi omonganmu berisi! Agaknya dirimu berisi kepandaian pula. Dengarlah, aku disebut orang Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih), seorang pertapa di puncak bukit sebelah utara yang nampak dari sini itu.”

Dia menuding ke arah sebuah puncak bukit yang nampak samar-samar dari lembah itu, terhalang kabut dan awan.

“Aku sudah tua, sudah mau mati, akan tetapi aku takkan dapat mati dengan mata terpejam sebelum pusaka yang berada padaku kuserahkan kepada orang yang pantas memilikinya. Dan yang pantas memilikinya hanyalah seorang pendekar yang mampu menandingiku. Kalau aku tidak menemukan orang itu, pusaka itu tentu akan terjatuh ke tangan tiga orang murid keponakanku yang seperti setan, dan aku tidak rela, sungguh tidak rela! Karena itulah aku datang ke sini karena aku mendengar bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar yang sakti. Akan tetapi ternyata kepandaian mereka hanya begitu saja, sungguh mengecewakan hatiku.”

“Locianpwe, mengapa bersusah payah menetapkan syarat begitu aneh dan berat? Kalau memang locianpwe tidak rela memberikan pusaka kepada orang lain, perlu apa mencari-cari? Kepandaian locianpwe begitu tinggi, siapa yang akan sanggup mengalahkannya? Dan kalau memang locianpwe berhasrat mewariskan pusaka itu kepada orang lain, berikan saja kepada siapa yang locianpwe sukai, tidak perlu dengan syarat yang aneh-aneh. Pula, kami keluarga Lembah Naga Siluman juga tidak kepingin memperoleh pusaka apapun juga.”

Kakek itu menghela napas panjang.

“Orang muda, enak saja kau bicara. Kalau aku memberikan kepada sembarang orang, berarti menyuruh dia mampus dan pusaka itu akhirnya akan terampas pula oleh tiga orang murid keponakanku. Mengertikah kau? Aku sudah menjatuhkan pilihanku kepada penghuni lembah ini, kalau tidak ada yang mampu mengalahkan aku, berarti mengecewakan hatiku dan karenanya akan kubunuh semua!”

Sim Houw menjadi marah.

“Hemm, watak locianpwe begini aneh dan jahat, pantas murid keponakan locianpwe juga jahat seperti setan. Nah, biarlah saya mewakili keluarga Cu untuk menghadapi locianpwe!”

Sambil berkata demikian, karena maklum bahwa lawannya yang sudah mengalahkan cek-kongnya bersama isterinya tentu amat sakti, dia sudah mencabut keluar sebatang suling dari balik jubahnya. Begitu suling di cabut, nampak sinar emas berkelebat dibarengi suara melengking dari suling itu seolah-olah ditiup. Melihat dan mendengar ini, kakek itu terbelalak.

“Ihhh….? Itu…. itu senjatamu? Sebatang suling emas?”

Tanyanya kaget dan memandang ke arah sebatang suling terbuat dari pada emas yang berada di tangan pemuda itu. Memang suling ini sebuah suling emas, pemberian pendekar sakti Kam Hong, sebatang suling yang merupakan duplikat dari suling emas di tangan pendekar itu, yang dipergunakan oleh Sim Houw untuk berlatih ketika digembleng oleh bekas calon mertuanya itu.

“Aneh….!”

Kakek itu berkata, matanya yang sipit itu agak terbelalak lebar dan mulutnya tersenyum, wajahnya yang tadinya keruh nampak berseri penuh harapan.

“Lihat seranganku!”

Tiba-tiba kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya dan Sim Hoaw merasa betapa ada angin yang amat kuat menyambar ke arahnya dari kanan kiri. Kakek itu telah menyerang dengan pukulan-pukulan yang ampuh, aneh datangnya, melengkung dari kanan kiri dan dari angin serangan itu saja dapat diketahui bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang amat kuat! Akan tetapi, yang diserang oleh Pek-bin Losian adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah matang kepandaiannya.

Pemuda inilah merupakan satu-satunya orang yang telah mewarisi dua ilmu kesaktian yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Koai-liong Kiam-sut dari keluarga Cu dan juga Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dari pendekar Kam Hong! Kini dua ilmu itu telah mendarah daging pada dirinya. Hanya ada satu orang lagi yang pandai menggabung kedua ilmu itu, ia adalah Kam Bi Eng, bekas tunangannya, puteri tunggal pendekar sakti Kam Hong yang kini menjadi isteri dari Suma Ceng Liong, cucu dari majikan Pulau Es. Memang terdapat perbedaan antara kepandaian yang dikuasai Sim Houw dan yang dikuasai Kam Bi Eng. Sim Houw, menggabungkan kedua ilmu itu dengan dasar Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang dipelajarinya pertama kali dari ayahnya, sebaliknya Bi Eng mendasari penggabungan itu dengan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisi dari ayahnya. Ketika mereka dipertunangkan, Sim Houw digembleng oleh Kam Hong, bekas calon mertuanya, sebaliknya Bi Eng digembleng oleh Sim Hong Bu, ayah Sim Houw. Keduanya kini telah menguasai penggabungan kedua ilmu itu, akan tetapi sayang, karena tidak adanya cinta kasih kedua pihak, maka pertunangan itu putus dan mereka tidak menjadi suami isteri. Menghadapi serangan aneh dari Pek-bin Lo-sian, dengan tenang akan tetapi dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan, Sim Houw memutar sulingnya kekanan kiri dan ujung sulingnya itu mengancam kedua lengan lawan dengan totokan-totokan maut ke arah pergelangan tangan. Kalau dilanjutkan serangan kakek itu, sebelum kedua tangannya menyentuh tubuh lawan, maka lebih dulu kedua pergelangan tangannya akan tertotok suling emas! “Ohh….!” Dia terkejut, akan tetapi juga girang. Tadi dia sengaja mengeluarkan jurus serangannya yang ampuh untuk menguji kepandaian pemuda aneh yang bersenjata suling emas itu, dan kini ternyata pemuda itu tidak hanya mampu membuyarkan serangannya, bahkan berbalik mengancam kedua lengannya! Dia cepat menarik kembali kedua tangan itu dan mulailah kakek itu berloncatan dan bergerak cepat, melakukan serangan bertubi-tubi kepada Sim Houw. Sim Houw juga tidak mau berlaku sungkan lagi. Suling emasnya bergerak semakin cepat menghadang setiap serangan sehingga kini kakek itu yang berbalik terserang olehnya. Beberapa kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Suling itu berobah menjadi sinar keemasan bergulung-gulung disertai suara melengking-lengking seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang. Hal ini membuat Pek-bin Lo-sian kagum bukan main. Pernah dia mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, dan sekarang dia merasa seolah-olah berhadapan dengan pendekar yang pernah terkenal di seluruh dunia persilatan itu! Dia tidak tahu bahwa memang yang dihadapinya adalah murid dari Pendekar Suling Emas Kam Hong. Belum sampai lima puluh jurus, kakek itu sudah terdesak oleh gulungan sinar yang melengking-lengking itu. Cu Kang Bu dan isterinya yang nonton pertandingan itu, menjadi kagum bukan main. Tak mereka sangka bahwa putera mendiang Sim Hong Bu dan Cu Pek In kini telah menjadi seorang pendekar yang demikian hebat ilmu silatnya. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan nampak sinar hitam berkelebat, dan tahu-tahu dia telah memegang sebuah pedang yang aneh sekali Senjata itu disebut pedang, karena dipegang dan dimainkan seperti orang memainkan pedang, akan tetapi bentuknya adalah seekor naga yang merupakan ukiran indah sekali dan warnanya hitam pekat, akan tetapi tubuh pedang berbentuk naga itu terdapat lubang-lubang seperti pada sebuah suling! Dan ketika kakek itu menggerakkan senjata aneh ini, nampak sinar hitam berkelebat dan terdengar pula suara melengking kacau, sama sekali berbeda dengan lengking suara yang keluar dari suling emas di tangan Sim Houw yang terdengar merdu seperti melagu. “Cringgg….!” Nampak bunga api berpijar ketika senjata aneh itu bertemu suling emas dan Sim Houw merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Akan tetapi pemuda ini tidak menjadi gentar. Cepat dia memindahkan suling emas di tangan kiri dan begitu tangan kanannya bergerak ke bawah jubahnya, nampak sinar berkilat menyeramkan, sinar biru yang menyilaukan mata dan mendengar suara mengaum seperti seekor singa. Itulah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) peninggalan ayahnya! Dan kini dia menggerakkan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri. Bukan main hebatnya karena pedangnya itu memainkan jurus-jurus ampuh dari Koai-liong Kiam-sut sedangkan suling emasnya memainkan jurus-jurus pilihan dari Kim-siauw Kiam-sut! Menghadapi gabungan dua ilmu yang sakti dan ampuh ini, si kakek kembali mengeluarkan suara terkejut bukan main dan dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak hebat. Kini kakek itu benar-benar kagum bukan main, berkali-kali mengeluarkan seruan memuji, akan tetapi diapun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan pemuda yang amat menarik perhatiannya itu. Dan memang ilmu silat kakek ini aneh sekali. Beberapa kali hampir saja Sim Houw tertipu dan terpancing, Akan tetapi berkat keampuhan dua ilmu silat yang digabung itu, serangan-serangan kakek itu selalu gagal. Sim Houw diam-diam merasa bingung juga. Dia tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan kakek ini, maka tadinya dia hanya ingin menandingi dan kalau mungkin mengalahkan tanpa melukai kakek itu. Akan tetapi, kini ternyata bahwa ilmu kepandaian kakek ini benar-benar hebat sehingga tidak mungkin kiranya tanpa melukai. Bahkan kalau dia terlalu mengalah, jangan-jangan dia sendiri yang akan roboh akhirnya! Maka, terpaksa diapun lalu mengeluarkan jurus-jurus terampuh yang digabung sehingga keadaan kakek itu benar-benar terkurung oleh sinar keemasan dan sinar biru yang dahsyat. Tiba-tiba sinar biru menyambar dahsyat menyambut pedang naga hitam itu, didukung tenaga sin-kang yang amat kuat. “Krekkk….!” Kini patahlah senjata ampuh kakek itu, terbabat Koai-liong Po-kiam yang ampuh dan pada saat itu juga, suling di tangan kiri pemuda itu sudah menotok ke arah tenggorokan dengan kecepatan seperti kilat menyambar. “Ahhh….!” Kakek itu terkejut melihat senjatanya patah sehingga kurang waspada dan tahu-tahu ujung suling sudah meluncur ke arah tenggorokannya. Melihat ini, Sim Houw yang tidak ingin membunuh, cepat mengurangi tenaga pada totokannya. Hanya itulah yang mampu dilakukan, karena menarik kembali tidaklah mungkin melihat kedudukannya, karena tangan kiri kakek itu dapat saja melakukan pukulan kalau ia menarik kembali totokan sulingnya. Kakek itupun biar terlambat masih dapat membuang tubuh ke samping. “Tukk….!” Tetap saja ujung suling masih menotok pundak kirinya dan kakek itu mengeluh, lalu terpelanting! Bukan main girang kagumnya rasa hati Cu Kang Bu dan isterinya melihat betapa akhirnya cucu keponakan mereka itu berhasil mengalahkan kakek gila yang amat lihai itu. “Aihh, locianpwe, maafkan saya….!” Sim Houw terkejut dan menyesal, menyimpan sepasang senjatanya dan menjura. “Sudahlah, aku kalah….” Kakek itu mengeluh dan bangkit berdiri, napasnya terengah-engah dan dia menekan pundak kirinya. Jelas bahwa totokan itu telah mendatangkan luka di dalam dadanya. Sampai beberapa lamanya kakek itu menatap wajah Sim Houw, kemudian dia mengangguk-angguk. “Ah, tak kusangka bahwa akhirnya Suling Naga bertemu dengan majikannya. Orang muda, engkaulah orangnya yang patut sekali memiliki Liong-Siauw-Kiam. Engkau memiliki dua ilmu dengan pedang dan suling, dan kalau engkau mempergunakan Liong-siauw-kiam, berarti engkau dapat memainkannya dengan dua ilmu itu. Engkau telah mengalahkan aku, pusaka itu akan kuserahkan kepadamu.” “Hemmm, kakek jahat. Pusakamu itu telah patah dua, untuk apa diberikan kepada cucu keponakan kami?” Yu Hwi mencela sambil menuding ke arah senjata hitam yang patah terbabat pedang Koai-liong-po-kiam tadi. Kakek itu tertawa, akan tetapi tiba-tiba menahan ketawanya dan menyeringai kesakitan. “Locianpwe, engkau telah terluka. Marilah kubantu meringankan penderitaanmu,” Kata Sim Houw sambil melangkah maju. Akan tetapi kakek itu mundur ke belakang. “Jangan! Aku sudah terluka dan itu adalah resiko pertandingan. Kalau engkau yang kalah, engkau bukan hanya terluka melainkan mampus, orang muda! Dan siapa bilang bahwa pusaka itu benda yang patah itu? Heh-heh, kau kira aku begitu bodoh membawanya ke mana saja? Memang sama bentuknya, akan tetapi yang ini adalah buatanku sendiri, yang palsu. Yang aseli mana mungkin dapat dipatahkan, dengan senjata pusaka yang bagaimana ampuhpun juga? Mari, orang muda, engkau berhak memiliki Liong-Siauw-Kiam. Mari kau ikut denganku mengambilnya di tempat persembunyianku.” Sim Houw percaya sepenuhnya kepada kakek aneh yang amat lihai itu, maka diapun mengangguk dan menjawab, “Baiklah, locianpwe.” “Sim Houw, jangan mudah percaya omongannya!” Tiba-tiba Yu Hwi berseru. “Orang macam dia ini mana bisa dipercaya? Jangan-jangan engkau dipancing untuk memasuki perangkap! Kakek itu memandang kepada Yu Hwi dan mengangguk-angguk sambil tersenyum aneh. “Nyonya ini memiliki kecerdikan yang boleh juga, heh-heh. Terserah kepadamu, orang muda, apakah engkau berani atau tidak ikut bersamaku. Kalau tidak, sungguh aku akan mati dengan mata terbuka karena kecewa dan penasaran.” “Biarlah, cek-kong berdua harap jangan khawatir. Saya dapat menjaga diri,” Kata Sim Houw dan diapun lalu mengikuti kakek itu yang sudah membalikkan tubuh dan pergi sambil tertawa mengejek. Cu Kang Bu dan isterinya mengikutinya dengan pandang mata khawatir, akan tetapi Cu Kun Tek berkata dengan kagum.

“Hebat sekali Sim Houw itu. Kalau aku menjadi dia, akupun akan pergi mengambil pusaka yang dijanjikan kakek itu.” Dua orang itu lalu menyeberangi tambang dan dengan cepat sekali kakek yang mengaku bernama Pek-bin Lo-sian itu lalu berlari seperti terbang. Agaknya dia masih ingin menguji kepandaian Sim Houw. Akan tetapi, setelah berlari secepatnya dan napasnya mulai memburu dia menoleh ke belakang, dia melihat betapa pemuda itu berada tepat di belakangnya, sedikitpun tidak tertinggal, bahkan tidak nampak letih seperti orang berjalan seenaknya saja. Kakek itu kagum sekali dan menahan larinya, menjadi langkah biasa untuk mengatur pernapasannya. Wajahnya menjadi semakin pucat. “Locianpwe, mengapa tergesa-gesa? Tidak baik untuk kesehatan locianpwe yang menderita luka.” Sim Houw berkata dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa pengerahan tenaga gin-kang tadi memang amat berbahaya bagi kakek yang sudah menderita luka di dalam tubuhnya. “Marilah, kita sudah dekat….!” Kata kakek itu dengan napas terengah-engah dan dia mendaki bukit itu. Dan karena luka yang diderita oleh Pek-bin Lo-sian semakin parah, kini kakek itu hampir tidak kuat mendaki bukit itu. Melihat ini, Sim Houw berkata, “Locianpwe terluka, marilah saya membantu locianpwe untuk meringankan penderitaan itu.” Pemuda ini bermaksud untuk mengobatinya dengan pengerahan sin-kangnya. Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala. “Tidak ada gunanya, hanya menghilangkan nyeri sebentar akan tetapi tidak akan mampu menyembuhkan.” Sim Houw juga maklum akan hal ini dan dia merasa menyesal sekali. “Maafkan saya, locianpwe. Bukan maksud saya untuk…. akan tetapi saya terdesak dan terpaksa….” “Sudahlah, begini lebih baik. Roboh di tangan seorang pemuda seperti engkau tidak membikin hatiku penasaran. Kalau kau mau…. kau gendong saja aku sampai ke puncak, aku khawatir akan putus nyawaku sebelum berhasil menyerahkan pusaka itu. Sim Houw tidak ragu-ragu lagi lalu menggendong kakek itu di belakang punggungnya. Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba kakek yang tadinya nampak loyo itu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah tengkuk Sim Houw. “Tolol kau! Mencari mampus sendiri!” Akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan kaget karena tengkuk yang dicengkeramnya itu lemas seperti tidak berotot atau bertulang sehingga cengkeramannya meleset dan tenaga yang dipergunakannya seperti tenggelam ke dalam air saja. Tahulah dia bahwa pemuda itu tidak setolol seperti yang disangkanya karena diam-diam pemuda itu telah siap melindungi dirinya dengan ilmu Ikiong-hoan-hiat, yaitu Ilmu Memindahkan Jalan Darah yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Dan sebelum dia sempat melakukan hal lain lagi, tahu-tahu tubuhnya sudah tak dapat digerakkan karena pemuda itu telah menotoknya dan membuat kaki tangannya lumpuh! Diam-diam dia kagum dan girang sekali. “Bagus! Baru yakin hatiku bahwa engkau memang paling pantas menjadi pemilik Liong-siauw-kiam, karena selain lihai engkaupun cerdik sekali.” Dia lalu menunjukkan jalan bagi Sim Houw yang tidak menjawab melainkan berlari dengan cepat mendaki bukit itu sambil menggendong tubuh kakek yang sudah tidak mampu bergerak lagi itu. Setelah kakek itu menyuruhnya berhenti di depan sebuah guha besar, baru Sim Houw menurunkan tubuh kakek itu dari gendongan dan membebaskan totokannya sehingga kakek itu mampu bergerak lagi. “Maafkan saya yang terpaksa menotokmu, locianpwe,” Katanya dengan sikap tetap menghor-mat. Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengangguk-angguk. “Kalau engkau tidak cerdik dan tidak melindungi tubuhmu, tentu cengkeramanku akan mematikanmu. Dan memang lebih baik engkau mati kalau tidak mampu melindungi diri dari ke curangan seperti itu. Musuh-musuhmu yang akan kau hadapi puluhan kali lebih curang dari pada yang kulakukan tadi. Tadi aku memang mengujimu. Kalau kau gagal, kau mampus, dan karena kau lulus, maka aku merasa lebih yakin kau akan mampu mempertahankan Liong-Siauw-Kiam.” Tiba-tiba kakek itu batuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya. “Locianpwe, harap kau beristirahat….!” Kata Sim Houw dengan kaget karena muntah darah itu menunjukkan bahwa luka yang diderita kakek itu sudah amat berat. “Heh-heh-heh….!” Pek-bin Lo-sian mengusap darah dari bibirnya sehingga ujung lengan bajunya menjadi merah semua. “Kau…. kau tunggu…. akan kuambil pusaka itu….” Dan terhuyung-huyung dia memasuki guha yang lebar dan dalam itu. Sim Houw menanti di luar dengan hati tegang. Hatinya tidak merasa gembira. Tanpa sebab, tanpa permusuhan apapun dia telah menyebabkan seorang kakek yang memiliki kesaktian luar biasa menderita luka parah, luka yang dia tahu akan membawa maut bagi kakek itu. Dan sesungguhnya dia sama sekali tidak menginginkan pusaka orang, walaupan sikap dan kata-kata kakek itu tentang pusaka yang disebut Liong-siauw-kiam menarik perhatiannya. Tiba-tiba dia melihat kakek itu keluar lagi, dan jalannya semakin terhuyung-huyung, bahkan ketika tiba di depan guha, kakek itu terguling roboh dan kembali muntahkan darah segar. “Locianpwe….!” Sim Houw meloncat dan berlutut dekat kakek itu. Akan tetapi kakek itu sudah bangkit duduk bersila, mengusap darah dari bibirnya dan dia mengangkat tinggi sebuah benda hitam yang ternyata sama benar bentuknya dengan senjata kakek itu yang pernah patah oleh pedang Koai-liong Po-kiam. “Inilah Liong-siauw-kiam, pusaka ampuh itu yang akan kuserahkan kepadamu, Sim Houw.” Pemuda itu memandang dengan sinar mata ragu. Benda itu serupa benar dengan senjata kakek tadi, dan tentu saja dia meragukan keampuhannya. Hanya sebuah benda sepanjang kurang lebih tiga kaki, terbuat dari kayu hitam yang diukir membentuk seekor naga, dengan ekor meruncing dan tepinya tajam seperti pedang, di tengahnya yang tebal terdapat lubang-lubang seperti suling. Sebatang Pedang Suling Naga? Kalau hanya terbuat dari kayu, mana dapat menjadi senjata yang ampuh? Mana mungkin dapat dibandingkan dengan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam? Agaknya Pek-bin Lo-sian dapat menduga apa yang diragukan pemuda itu. “Sim Houw, coba keluarkan pedangmu dan kau babatlah pusaka ini untuk membuktikan bahwa pusaka ini tidak kalah dibandingkan dengan pedangmu itu.” Wajah Sim Houw berobah agak merah karena isi pikirannya ternyata dapat ditebak dengan tepat oleh kakek itu. Dia lalu mengeluarkan Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar biru berkelebat menyeramkan. Pek-bin Lo-sian sendiri memandang kagum dan mengangguk-angguk. “Pedang itu memang hebat, akan tetapi cobalah diadu dengan pusaka ini.” Dia lalu mengacungkan Liong-Siauw-kiam itu dan memegang dengan kedua tangannya. “Babatlah dan pergunakan tenagamu. Aku sendiri ingin menguji keampuhan pusaka ini!” Sim Houw lalu bangkit berdiri, mengerahkan tenaganya dan mengayun pedangnya. Sinar biru berkelebat dan pedang itu membacok Suling Naga itu dengan kuatnya karena didasari tenaga sin-kang. “Cringggg….!” Bunga api berpijar keras dan Sim Houw merasa betapa pedangnya bertemu dengan benda seperti baja kerasnya sehingga pedangnya membalik. Akan tetapi karena tenaganya amat besar dan kakek itu sudah lemah, hampir saja pusaka itu terlepas dari kedua tangannya. Sim Houw memandang dan ternyata benda itu sama sekali tidak rusak, lecetpun tidak! Tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Jangankan hanya kayu, biar baja sekalipun, kalau bukan baja terbaik, tentu akan patah terbabat Koai-liong Po-kiam. Akan tetapi suling atau pedang kayu hitam itu sama sekali tidak rusak. “Heh-heh-heh….!” Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengulurkan tangannya. “Nih, terimalah Liong-siauw-kiam, mulai saat ini menjadi milikmu, Sim Houw.” Sim Houw menerima benda itu. “Terima kasih, locianpwe….” Dan ketika menerima pedang dia menyentuh jari-jari tangan kakek itu, dia menjadi terkejut bukan main karena jari-jari tangan itu terasa amat panas seperti api! “Ah, kau…. kenapa locianpwe?” Kakek itu tidak menjawab dan kembali muntah-muntah darah. Wajahnya pucat bukan main dan ketika Sim Houw hendak menolongnya, dia menolak dengan tangannya. “Tak perlu ditolong lagi. Kau pergilah, bawalah pusaka yang menjadi milikmu itu, pertahankan dengan nyawamu, dan berhati-hatilah. Ada tiga orang murid keponakanku yang amat lihai mengincar pusaka itu…. kau…. kau harus dapat melawan mereka….” “Siapakah mereka, locianpwe?” “Sam-kwi…. mereka…. ah, sudahlah, pergilah dan tinggalkan aku sendiri.” Pek-bin Lo-sian menggerakkan tangannya mengusir Sim Houw. Terpaksa pemuda itu menjura dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, baru dia pergi dengan berlari cepat sekali turun dari bukit itu sambil membawa Liong-Siauw-Kiam. Dia adalah seorang pemuda yang berhati-hati sekali karena telah lama merantau di dunia kang-ouw, di mana terdapat banyak sekali kaum sesat yang licik dan curang. Dia dapat menduga bahwa melihat sikap dan perbuatannya, Pek-bin Lo-sian tentulah seorang datuk sesat pula yang mengasingkan diri, maka tadipun dia tidak sampai kena diserang secara menggelap karena dia sudah siap siaga. Kini pun dia belum mau menelan begitu saja semua keterangan kakek itu dan dia masih memegang pusaka itu dengan hati-hati. Dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk meneliti apakah benda itu dilumuri racun dan setelah mendapat kenyataan bahwa benda itu bersih dari racun, dia tetap masih memegangnya dengan hati-hati, khawatir kalau-kalau di situ tersembunyi senjata rahasia yang akan membahayakan dirinya. Setelah menuruni bukit itu, barulah Sim Houw memeriksa pusaka yang baru saja diterimanya dari Pek-bin Lo-sian. Dia memeriksa dengan teliti dan merasa kagum sekali. Benda itu benar-benar terbuat dari pada kayu, Akan tetapi kayu hitam itu luar biasa keras dan kuatnya, tidak kalah dengan baja aseli! Dan ukirannya demikian indah dan halus. Ketika dia memegang bagian kepala yang menjadi gagang dan mencoba untuk memainkannya, dia terkejut sendiri dan juga girang. Benda itu enak benar dimainkan sebagai pedang, dengan bobot yang tepat dan ketika dia mencoba satu dua jurus, benda itu mengeluarkan suara merdu, tidak kalah oleh suling emasnya! Lalu dia mencoba untuk meniupnya, ternyata benda itu merupakan sebuah suling yang suaranya amat merdu! Dengan hati girang luar biasa Sim Houw lalu kembali ke Lembah Naga Siluman. Setelah dia menyeberang dan bertemu dengan Cu Kang Bu dan isterinya, dia menceritakan pengalamannya dan memperlihatkan pusaka itu. Suami isteri itu kagum bukan main dan juga merasa amat gembira. “Ah, engkau sungguh beruntung, Sim Houw,” Kata Cu Kang Bu dengan kagum sambil mengembalikan pusaka itu. “Ternyata kakek aneh itu tidak membohongimu dan engkau telah mendapatkan sebuah pusaka yang amat hebat” “Dengan demikian engkau memiliki tiga buah pusaka ampuh, Sim Houw,” Kata Yu Hwi dengan suara yang jelas mengandung iri. “Sebuah suling emas, sebuah pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dan sekarang pusaka Liong-siauw-kiam!” Cu Kang Bu dapat mendengar suara mengandung iri dari isterinya, maka dia cepat berkata dengan suara lantang. “Tentu saja dan memang dia berhak memiliki semua itu. Suling emasnya adalah tanda bahwa dia murid Pendekar Suling Emas Kam Hong, pedang Koai-liong Po-kiam adalah warisan ayahnya, sedangkan Pedang Suling Naga ini adalah pemberian Pek-bin Lo-sian setelah Sim Houw berhasil menundukkannya. Semua itu adalah haknya!” Akan tetapi, sebelum menghadap suami isteri itu, dalam perjalanannya meninggalkan kakek itu, setelah mencoba Liong-siauw-kiam dan tahu benar bahwa pusaka itu memang ampuh, Sim Houw sudah mengambil satu keputusan. “Cek-kong berdua, Long-siauw-kiam ini dapat dipergunakan sebagai suling dan juga sebagai pedang. Dengan sendirinya, pusaka ini seperti pengganti suling emas dan Koai-liong Po-kiam menjadi satu. Bahkan penggabungan kedua ilmu dapat lebih mantap kalau dimainkan dengan pusaka ini, hanya tinggal melatih saja. Karena itu Koai-liong Po-kiam dan suling emas akan saya tinggalkan di sini, saya serahkan kepada cek-kong sekeluarga.” “Ah, apa maksudmu dengan keputusan ini?” Cu Kang Bu yang berwatak keras dan jujur itu bertanya dengan suara lantang dan sinar matanya menatap wajah Sim Houw penuh selidik. “Cek-kong Cu Kang Bu, harap jangan salah mengerti. Saya sudah mendengar bahwa lembah ini dahulunya bernama Lembah Suling Emas, dan bahwa pusaka suling emas yang terkenal itu berasal dari tempat ini. Juga sekarang. lembah ini di ganti dengan nama Lembah Naga Siluman, dan pedang pusaka Naga Siluman juga berasal dari tempat ini. Biarpun suling emas di tangan saya bukan suling emas yang aseli, melainkan hanya tiruan saja, akan tetapi biarlah saya serahkan kepada keluarga Cu berikut pedang pusaka Naga Siluman, dengan demikian terhapuslah sudah, semua rasa penasaran dan kedua pusaka itu kembali ke tempat asalnya.” “Akan tetapi….” Cu Kang Bu hendak membantah. “Aih, kenapa engkau hendak menolak niat baik dari Sim Houw? Niatnya itu membuktikan bahwa dia adalah seorang gagah sejati, yang tahu akan jalannya sejarah dan mengenal pula sumbernya. Keluarga Cu adalah keluarga yang tadinya berhak atas kedua pusaka itu. Dan keluarga Cu masih belum habis, masih ada engkau dan sekarang ada pula Cu Kun Tek, puteramu. Tidak pantaskah puteramu kelak mewarisi pusaka-pusaka lembah yang turun-temurun dihuni oleh keluarga Cu ini?” Kata Yu Hwi dengan penuh semangat. Cu Kang Bu masih mengerutkan alisnya yang tebal. “Sim Houw, apakah tidak ada maksud-maksud tersembunyi di balik niatmu ini? Apakah engkau tidak akan menyesal kelak? Ingat, yang menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut adalah engkau seorang, jadi kedua pusaka itu memang sudah menjadi hakmu.” Sini Houw mencabut keluar suling emas dari pinggangnya dan meloloskan sabuk pedang Koai-liong Po-kiam dari punggungnya, kemudian menyerahkan kedua pusaka itu kepada Cu Kang Bu dengan sikap hormat dan wajah penuh keramahan. “Saya menyerahkannya dengan hati ikhlas dan rela, cek kong. Biarlah kedua pusaka ini, walaupun suling emasnya hanya tiruan, menjadi pusaka-pusaka keturunan keluarga Cu.” “Wah, aku senang sekali kalau punya dua senjata itu!” Tiba-tiba si kecil Kun Tek berseru girang. “Kelak aku ingin bisa menjadi seperti Sim Houw!” “Hemm, enak saja kau bicara!” Ayahnya menegur, “Tanpa memiliki ilmu-ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, mana bisa seperti Sim Houw?” “Jangan khawatir, Kun Tek.” Ibunya menghibur. “Ayahmu dapat mengajar ilmu dengan suling emas, dan aku akan mengajarkan ilmu pedang padamu.” Nyonya ini bukan hanya membual. Ia adalah seorang ahli pedang, bahkan ia memiliki Ilmu-ilmu Kiam-to Sin-ciang, yaitu ilmu yang membuat lengannya dapat digerakkan dengan ampuh seperti berobah menjadi pedang dan golok. Di samping ini, juga ia ahli ilmu Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Depalan Penjuru) dan ilmu ini dapat pula dimainkan dengan pedang menjadi Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin. Karena melihat kesungguhan hati dan kerelaan Sim Houw, dan mengingat bahwa memang tidak keliru alasan Sim Houw yang mengatakan bahwa kedua pusaka itu berasal dari lembah mereka akhirnya Cu Kang Bu menerima juga penyerahan dua pusaka itu dengan hati girang. “Aku akan menyimpan benda-benda ini sebagai pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman dan mudah-mudahan kami akan mampu menjaganya.” Katanya dengan hati lega. “Dan banyak terima kasih kepadamu, Sim Houw. Engkaulah yang telah menyatukan kembali keretakan yang pernah terjadi pada mendiang ayah dan ibumu.” Setelah tinggal di lembah itu selama tiga hari, Sim Houw lalu berpamit dan diantar oleh keluarga Cu ayah ibu dan anak itu sampai ke tepi jembatan tambang. Dia lalu meninggalkan lembah itu dan mulai dengan perantauannya. Selama tiga tahun ini, banyak sudah dia lakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar. Karena dia tidak pernah meninggalkan nama, atau jarang sekali memperkenalkan diri, akhirnya yang lebih dikenal di dunia kang-ouw hanyalah senjata barunya itu dan mulailah dia dijuluki orang Pendekar Suling Naga. Demikianlaih peristiwa tiga tahun yang lalu itu, semua terbayang di dalam benaknya ketika Sim Houw beristirahat ditepi Sungai Wu-kiang duduk di atas rumput hijau tebal yang bersih itu. Alam di sekelilingnya amat indahnya dan setelah Sim Houw menghentikan lamunannya, dia mulai masuk ke dalam keheningan yang penuh dan maha luas itu. Pagi yang indah cerah, sinar matahari kuning emas yang menerobos celah-celah daun dan dahan nampak seperti garis-garis lurus yang amat indah. Sebagian sinar matahari sempat menimpa permukaan air sungai yang membentuk jalan lurus panjang berwarna kuning kemerahan. Dia merasa betapa kulkit pinggul dan belakang pahanya dingin, karena embun yang tadinya menghias ujung rumput yang didudukinya meresap melalui celana dan membasahi kulitnya. Semilir angin pagi yang membuat rambut kepalanya berkibar lembut mendatangkan rasa nyaman seperti membelai-belai leher dan dagunya. Dengan kesadaran sepenuhnya akan keadaan sekeliling dirinya, Sim Houw melihat keindahan yang tiada taranya. Sukar untuk dapat diceritakan karena kata-kata amatlah terbatas, kata-kata hanya dapat menceritakan hal-hal yang telah lalu saja, tidak mungkin dapat menggambarkan keadaan SAAT INI. Keindahan dalam keheningan itu hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya pada saat itu juga. Cerita yang dituturkan kemudian sama sekali berbeda denga kenyataan pada saat itu. Kenyataan yang demikian indahnya, yang menimbulkan rasa bahagia dan keharuan yang mendalam sehingga tak terasa lagi ada air mata membasahi kedua mata Sim Houw. Bukan air mata kesenangan atau air mata kesedihan, melainkan air mata yang muncul ketika batinnya yang paling dalam tersentuh oleh sesuatu yang halus, yang mendekatkan batinnya pada HIDUP yang sejati, bukan kehidupan di dunia fana yang penuh dengan permainan emosi ciptaan sang aku. Sang aku tidak ada pada saat seperti itu, dirinya telah lebur menjadi satu dengan segala sesuatu, dengan alam, dengau keheningan. Berkericiknya air sungai, berkicaunya burung-burung di dalam pohon, semua itu termasuk di dalam keheningan yang maha luas itu. Hening, tapi bukan kesepian. Keheningan yang nyaman karena tidak adanya pikiran, Tidak adanya sang aku, namun bukan pula tidur lelap, bukan pula termenung atau tenggelam ke dalam sesuatu. Sadar sesadar-sadarnya, segalanya terbuka, wajar, tanpa pamrih. Seperti otomatis, Sim Houw mengeluarkan suling naga dari balik jubahnya. Benda ini selalu berada pada dirinya, tersembunyi aman tak nampak dari luar diselipkan di ikat pinggang, tertutup baju. Keharuan selalu timbul dalam keadaan seperti itu, dan selalu mendorongnya untuk meniup suling! Getaran batin dapat disatukan melalui suara suling yang ditiup. Segera melayanglah suara merdu dari suling itu ketika Sim Houw mulai meniup sulingnya. Pemuda ini memang telah menguasai ilmu-ilmu dari Kam Hong yang pernah menjadi gurunya dan juga bekas calon ayah mertuanya dan bukan hanya pelajaran ilmu kesaktian Kim-siauw Kiam-sut saja yang dipelajarinya, melainkan juga ilmu meniup suling, baik meniup dengan mulut biasa untuk menciptakan lagu maupun tiupan dengan pengerahan khi-kang untuk menyerang lawan yang tangguh.

Suara suling itu mengalun dan kadang-kadang melengking tinggi sekali sampai tidak tertangkap telinga manusia biasa, kemudian merendah dan menggereng sampai lenyap dari pendengaran pula, merdu dan sesuai sekali dengan suara yang ada, dengan gemersik daun-daun yang terhembus angin pagi, dengan kicau burung, dengan gemerciknya air di tepi sungai, dengan detak jantungnya sendiri. Getaran hatinya hanyut dalam aliran suara suling yang merdu. Demikian asyiknya Sim Houw meniup suling sehingga seluruh keadaan dirinya lahir batin seperti masuk ke dalam suara itu, dia seperti melayang-layang bersama suara sulingnya. “Heiiii….! Bising sekali suara sulingmu!” Tiba-tiba terdengar suara orang menegurnya, suaranya berteriak melengking tak kalah nyaringnya menyaingi suara suling. Sim Houw melihat meluncurnya sebuah perahu di atas air sungai dan di atas perahu itu terdapat seorang wanita muda yang memegang tangkai pancing. Gadis itulah yang berteriak menegurnya. Akan tetapi Sim Houw bersikap tenang, melanjutkan tiupan sulingnya sampai lagunya habis barulah dia menghentikan tiupan sulingnya. Kini perahu kecil itu sudah berada di tepi sungai di depannya dan seorang gadis yang duduk di dalam perahu sambil memegang tangkai pancing itu memandang kepadanya dengan mata melotot. Lalu gadis itu menuding ke arah Sim Houw dengan tangkai pancingnya sambil berseru marah, “Kebisingan sulingmu itu menggangguku! Kalau mau menyuling jangan di sini, mengganggu aku yang sedang berlatih!” Sim Houw memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang gadis yang menarik sekali, wajahnya manis sekali, kecantikan yang aseli karena gadis itu tidak merias mukanya. Sikapnya gagah dan rambutnya diikat ke atas dengan pita dan ujungnya digelung secara sederhana. Pakaiannya yang ringkas membayangkan bentuk tubuhnya yang penuh dan padat, di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce merah muda. Melihat keadaan gadis ini, Sim Houw sudah dapat menduga bahwa nona di atas perahu itu adalah seorang gadis ahli silat. Apalagi ketika gadis itu menuding dengan tangkai pancing dan ketika mengangat tangkai itu, Ujungnya hanya terdapat sehelai tali tanpa pancing, diapun dapat menduga bahwa gadis itu sebenarnya bukan memancing, melainkan melakukan semacam latihan dengan bantuan tangkai pancing itu. Dan diapun kagum ketika dia menduga bahwa tentu gadis itu sedang berlatih samadhi dengan bantuan tangkai pancing. Banyak macam orang bersamadhi dengan maksud mengumpulkan konsentrasi pada suatu hal saja dan orang mengggunakan bantuan api lilin yang dipandangnya terus, atau sebuah gambar lingkaran dengan titik di tengah, atau gambar pat-kwa, ada pula yang menggunakan patung dan sebagainya. Semua itu hanya dipergunakan sebagai alat untuk menujukan seluruh perhatian. Dan gadis ini agaknya menggunakan tangkai pancing dengan tali yang tidak ada pancingnya, melainkan diikatkan ujungnya pada sepotong batu. Dan gadis itu tentu berlatih konsentrasi sambil mencurahkan seluruh perhatiannya pada tangkai pancing yang dipegangnya dan air di mana nampak tali pancing ini tenggelam. Sebuah cara melatih perhatian yang amat aneh akan tetapi juga istimewa. Teringatlah Sim Houw akan sebuah dongeng tentang Sang Bijaksana Kiang Cu Ge di dalam dongeng Hong-sin-pong, ketika Kiang Cu Ge memancing seperti yang dilakukan gadis itu, dengan sebatang tangkai, sehelai benang dan di ujung benang terdapat pancing yang lurus tanpa umpan! Tentu saja tidak akan mendapatkan ikan! Cara memancing Kiang Cu Ge itu hanya kiasan saja karena yang dipancing bukan ikan melainkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin rakyat yang bijaksana. Dan tentu saja juga dipergunakan untuk melatih konsentrasi itulah karena pencurahan perhatian amat penting dalam ilmu silat. “Eih, nona, kenapa di ujung tali itu tidak ada mata pancingnya?” Dia pura-pura tidak mengerti dan bertanya heran. Gadis itu juga tadi memandang ke arah Sim Houw dengan penuh perhatian. Tadinya ia menyangka bahwa pria yang dapat meniup suling dengan suara menggetar-getar itu tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi hatinya kecewa melihat betapa pria itu nampak sederhana saja, tidak memperlihatkan sifat gagah seorang pendekar dan agaknya hanya seorang dusun yang pandai meniup suling saja. Juga dari atas perahunya ia tidak melihat sesuatu yang aneh pada suling yang kelihatan hitam itu, hanya sebatang suling yang bentuknya agak aneh, batangnya berlekak-lekuk seperti tubuh ular. Dan pertanyaan pemuda itupun menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang biasa saja yang tidak tahu apa-apa tentang pancingnya. “Hemm, kuberitahu juga engkau tidak akan mengerti, Sudahlah, engkau jangan meniup suling itu lagi.” ” Kenapa, nona?” “Suaranya tidak sedap didengar dan menggangguku! Mengerti? Tidak usah bertanya lagi, sebaiknya kau pergi saja dari sini dan jangan meniup sulingmu karena kalau kau lakukan lagi, aku akan mematahkan sulingmu itu dan membuangnya ke tengah sungai!” Setelah berkata demikian gadis itu menggunakan sebuah dayung dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap memegang tangkai pancing, dan menggerakkan dayung itu. Hanya dengan sebelah tangan saja ia mendayung, akan tetapi hebatnya, perahu itu meluncur menentang arus dan laju bukan main. Sim Houw tersenyum seorang diri. Seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa dan agaknya memiliki kepandaian yang lumayan, seorang gadis yang agaknya suka pula akan keheningan dan berada di tempat sunyi dan liar itu seorang diri saja! Sinar mata gadis itu demikian tajamnya dan suaranya demikian merdu! Sim Houw tersenyum dalam renungannya sendiri. Akan tetapi dia terkejut ketika melihat berkelebatnya lima orang kakek di tepi sungai dan lima orang itu agaknya mengejar ke arah perginya perahu gadis itu tadi. Entah apa sebabnya dia menduga bahwa lima orang itu membayangi gadis di dalam perahu akan tetapi hatinya merasa tidak enak dan diapun cepat bangkit dan berdiri membayangi lima orang kakek itu. Perahu gadis itu meluncur dengan amat cepatnya, dan lima orang kakek itupun berlari dengan mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga Sim Houw menjadi semakin curiga. Akan tetapi, karena tidak mengenal lima orang itu, juga tidak mengenal siapa adanya gadis itu, diapun hanya membayangi dari jauh, saja. Kecurigaan dan kekhawatiran hati yang mendorong Sim Houw untuk membayangi lima orang kakek itu memang tidak sia-sia. Dia melihat betapa gadis itu mendayung perahunya menepi, di seberang sini dan secara lincah sekali ia meloncat ke darat, menyeret perahunya dan mengikatkan tali perahu pada sabatang pohon. Tepi itu merupakan kaki sebuah bukit kecil dan nun di atas puncak bukit itu nampak sebuah pondok yang terpencil, dikelilingi ladang sayuran dan di sebelah kanan pondok itu tumbuh pohon-pohon buah dengan suburnya. Dan begitu gadis itu selesai mengikatkan perahunya, tiba-tiba saja lima orang kakek itu berloncatan keluar dari balik semak-semak dan mengepung si gadis yang memandang dengan tajam akan tetapi sikapnya tenang, bahkan senyum-nya mengejek. Sim Houw segera mendekam di balik semak belukar untuk menonton pertemuan antara lima orang kakek dan gadis itu dengan hati tegang. Nampak jelas olehnya betapa sikap lima orang kakek itu membayangkan niat yang tidak baik terhadap si gadis. Melihat sikap lima orang kakek itu, si gadis mengerutkan alisnya. Lima orang itu membentuk setengah lingkaran menghadapinya, seolah-olah mengurung dan sikap mereka tidak bersahabat, bahkan alis mereka berkerut dan sinar mata mereka mengandung kemarahan dan ancaman. “Kalian lima orang tua ini siapakah dan mengapa menghadang perjalananku?” Seorang di antara lima kakek itu, yang berjenggot panjang berwarna putih dan agaknya menjadi orang paling tua di antara mereka, memandang tajam, tangan kiri mengelus jenggot, tangan kanan kini menunjuk ke arah nona itu dan bertanya, suaranya halus namun tegas dan mengandung kemarahan. “Apakah nona yang bernama Souw Hui Lan?” “Benar sekali, dan siapa kalian?” Gadis yang bernama Souw Hui Lan itu menjawab, sikapnya masih angkuh dan seperti orang memandang rendah, membuat lima orang kakek itu saling pandang dan mereka menjadi semakin marah. “Engkau murid dari Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?” Tanya pula kakek berjenggot. Kini Hui Lan mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu. “Kalau sudah tahu kenapa kalian berani menghadang perjalananku? Kalian siapa?” “Kami adalah Bu-tong Ngo-lo (Lima Kakek Bu-tong-pai).” Mendengar sebutan Beng-san Siang-eng tadi Sim Houw tidak pernah mendengarnya, akan tetapi mendengar sebutan Bu-tong Ngo-lo, dia terkejut, Lima orang kakek Bu-tong-pai itu pernah terkenal sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi juga terkenal sebagai pemberantas penjahat-penjahat, Bahkan mereka berlima pernah mengobrak-abrik perkumpulan Hui-to-pang (Perkumulan Golok Terbang) yang berkedok sebagai perkumpulan para patriot akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan orang-orang jahat yang amat kejam. Karena perbuatannya membongkar keburukan Hui-to-pang dan membasminya, maka nama Bu-tong Ngo-lo ini dipuji dan dikagumi orang-orang di dunia persilatan, terutama di kalangan para pendekar. Sim Houw sudah banyak mendengar nama lima kakek itu, akan tetapi baru sekarang melihat orang-orangnya dan diapun menjadi semakin ragu-ragu melihat betapa lima orang kakek ini agaknya memusuhi gadis yang bernama begitu indah dan yang katanya murid Sepasang Garuda dari Beng-San. Sementara itu, mendengar disebutnya nama lima orang kakek itu, si gadis tidak menjadi kaget, bahkan tersenyum mengejek. “Hemmm, tidak perduli lima kakek dari Bu-tong atau dari Neraka, tanpa ijin kami, tidak boleh sembarangan melanggar wilayah kami. Bu-tong-san amat jauh dari sini dan kami tidak pernah ada urusan dengan Bu-tong-pai, kenapa kalian ini lima kakek dari Bu-tong-pai hari ini menghadang perjalanan orang dan melanggar daerah kami tanpa ijin?” Sim Houw tercengang. Gadis ini masih muda, paling banyak dua puluh tahun usianya dan melihat sikapnya tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian, akan tetapi mengapa sikapnya demikian tekebur dan angkuh? Bahkan nama Bu-tong Ngo-lo yang dihormati dan dikagumi para pendekar juga tidak dipandangnya sama sekali. Mendengar teguran itu, lima orang itu nampak jengah, akan tetapi kakek berjenggot putih panjang segera menudingkan telunjuknya kepada Hui Lan. “Memang kami melanggar daerah orang tanpa ijin dan ini merupakan suatu kesalahan, akan tetapi semua ini gara-gara engkau, nona jahat. Engkau mengatakan tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai, akan tetapi tiga bulan yang lalu engkau telah membunuh seorang murid Bu-tong-pai bernama Ji Kang, dan gurumu membunuh seorang tokoh perguruan kami bernama Kui Siok Cu.” Gadis itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. “Kami memang pernah bertanding dengan dua orang itu, akan tetapi sama sekali tidak ada urusannya dengan Bu-tong-pai. Mereka datang sebagai pelamar yang gagal, sama sekali tidak mewakili Bu-tong pai dan tidak ada urusan dengan perkumpulan itu. Juga kami tidak membunuh siapa-siapa. Kalau mereka kalah, menderita luka-luka dan mungkin kemudian tewas, apakah hal itu lalu menjadi alasan kalian untuk menyalahkan kami? Bagaimana kalian dalam pertandingan waktu itu kami yang kalah, luka-luka lalu mati? Apakah kalian juga akan menyalahkan mereka? Hayo jawab!” Sim Houw tidak tahu apa urusan yang telah timbul di antara mereka, akan tetapi jawaban gadis itu membuatnya menduga-duga bahwa tentu pernah terjadi masalah pribadi antara murid dan tokoh Bu-tong-pai yang mengakibatkan perkelahian di antara mereka dengan akibat terluka dan tewasnya orang-orang Bu-tong-pai. Dan agaknya kini Bu-tang Ngo-lo datang untuk membalas dendam. Lima orang kakek itu kembali saling lirik. Jawaban gadis itu agaknya membuat mereka sejenak bingung dan tidak mampu menjawab walaupun tidak mengurangi kemarahan mereka. Akan tetapi akhirnya si jenggot panjang berkata, suaranya tegas sekali. “Oho, kiranya selain pandai membunuh, engkau pandai pula berdebat! Kami selamanya tidak akan membela yang salah, melainkan selalu menentang yang jahat dan sewenang-wenang. Kami datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi kalau perlu membasmi gadis pembunuh yang berhati kejam, yang telah menewaskan banyak pemuda gagah perkasa dengan kecantikanmu dan dengan pedangmu!” Gadis itu menjadi marah sekali. “Ngaco! Enak saja kalian bicara! Kalian kira aku takut kepada nama Bu-tong Ngo-lo? Kalian datang mau membasmi aku? Hemm, majulah, hendak kulihat sampai di mana kehebatan kalian, apakah sepadan dengan kesombongan kalian!” Hui Lan berkata dengan marah sekali, mukanya merah, alisnya terangkat dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Memang, siapakah orangnya yang dapat melihat keangkuhan diri sendiri seperti mudahnya melihat kesombongan orang lain? Dalam perselisihan ini, Sim Houw yang nonton tanpa berpihak itu memperoleh pelajaran yang amat mengesankan hatinya. Kakek yang lima orang itu, yang namanya sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh tua penentang kejahatan, menuduh gadis itu sebagai pembunuh kejam dan mereka datang untuk membunuh gadis itu! Sebaliknya, si gadis menuduh mereka sombong dengan sikap angkuh pula. Agaknya sukar mencari orang di dunia ini yang mau membuka mata untuk mengenal diri sendiri, sikap dan isi hati dan pikiran sendiri karena mata itu selalu sibuk untuk meneliti orang lain! Meneliti orang lain hanya akan menimbulkan suka atau benci, sedangkan meneliti diri sendiri akan menimbulkan kesadaran. “Siancai….! Gadis ini adalah setan yang patut dibasmi!” Bentak seorang di antara lima orang kakek itu dan orang ini bertubuh tinggi besar dengan muka hitam. Setelah berkata demikian, dia langsung menerjang dan mengirim pukulan dengan tangan kanan yang dimiringkan ke arah kepala Hui Lan. “Wuuuutt….!” Angin pukulan yang amat kuat menyambar. Pukulan itu bukan main-main, melainkan pukulan membacok dengan tangan miring yang dilakukan dengan tenaga sin-kang amat kuatnya. Diam-diam Sim Houw terkejut juga dan merasa khawatir terhadap gadis yang masih muda itu. Dia mengira bahwa gadis itu tentu akan mengelak, karena dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki gerakan yang gesit sekali. Akan tetapi, heranlah dia ketika melihat betapa gadis itu menggerakkan kedua tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan membalas dengan totokan ke arah pangkal leher. “Dukkk….!” Pukulan tangan kakek itu kena ditangkis dan agaknya gadis itupun sama sekali tidak terguncang, tangkisannya mantap dan kuat sehingga dua lengan yang bertemu itu saling terpental, akan tetapi jari tangan kanan gadis itu meluncur ke arah leher dangan kecepatan kilat. “Ihhhh….!” Kini kakek bermuka hitam itu yang terkejut dan cepat dia melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik. Hanya dengan cara beginilah dia dapat menghindarkan totokan pada pangkal lehernya tadi yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Dia terhindar dari malapetaka, akan tetapi segebrakan ini saja sudah senunjukkan betapa dia terdesak. “Wuuuttt….!” Angin pukulan menerjang Hui Lan dari kanan dan kakek ke dua sudah menyerang Hui Lan dengan cengkeraman ke arah lambung dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan kakek itu juga mencengkeram ke arah kepala. Serangan berganda yang dilakukan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, amat berbahaya karena jari-jari tangan itu sudah terlatih, kini penuh dengan tenaga sin-kang dan dapat mencakar hancur batu karang sekalipun! Namun, Hui Lan tidak menjadi gentar atau gugup menghadapi serangan berbahaya itu. Sekali ini ia tidak menangkis, akan tetapi tubuhnya meliuk dengan lemas dan cepatnya, tubuh bawah ke kiri dan tubuh atas ke kanan, tubuhnya melipat dengan amat lemasnya sehingga dua serangan itu pun luput, akan tetapi seperti juga tadi, Hui Lan membarengi gerakan mendadak itu dengan gerakan menyerang pula, yaitu dengan kedua tangannya yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menotok ke arah jalan darah di ulu hati! Kakek ke dua itu, terkejut dan terpaksa harus meloncat beberapa langkah ke belakang karena sama sekali dia tidak menduga bahwa orang yang menyerangnya itu berbalik menyerang pada saat yang sama atau hanya satu dua detik berikutnya! Dan kini Sim Houw memandang kagum. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya, memiliki tingkat kepandaian yang sama sekali tidak pernah diduganya. Yang amat mengagumkan adalah caranya berkelahi, menangkis atau mengelak sambil sekaligus menyerang, bahkan membalas kontan serangan lawan. Hal ini merupakan cara berkelahi yang membutuhkan pencurahan perhatian, membutuhkan gin-kang yang amat cepat dan juga membutuhkan kesempurnaan gerakan. Serangan yang dilakukan sambil menangkis atau mengelak itu memang amat berbahaya. Orang yang menyerang tentu saja agak lemah daya tahannya, karena pencurahan perhatiannya ditujukan pada serangannya sehingga kalau tiba-tiba yang diserang membarengi dengan serangan, tentu saja dia terkejut dan kedudukannya menjadi lemah. Akan tetapi kini kakek ke tiga sudah menerjang lagi sebagai lanjutan serangan kakek ke dua. Ketika Hui Lan juga berhasil mengelak dan balas menyerang yang membuat kakek ini terdesak, kakek ke empat lalu menyerang, disusul kakek ke lima. Kiranya lima orang kakek itu walaupun tidak mengeroyok secara berbareng telah maju semua secara beruntun! Dan melihat betapa gadis itu terlampau kuat kalau dilawan satu demi satu akhirnya mereka mengurung dan mengeroyok Hui Lan dengan serangan-serangan mereka yang penuh! Agaknya lima orang kakek itu sudah tidak lagi melihat kenyataan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh tua Bu-tong-pai dan yang mereka hadapi hanyalah seorang gadis berusia dua puluh tahun. Dalam keadaan biasa, andaikata mereka melakukan pibu (pertandingan silat) tentu mereka tidak akan mau melakukan pengeroyokan, karena hal itu akan memalukan sekali. Akau tetapi kini mereka datang dengan niat membasmi gadis yang mereka anggap jahat dan berbahaya, maka mereka tidak lagi memakai banyak pertimbangan atau aturan lagi. Mereka datang untuk membunuh dan mengenyahkan kejahatan dari muka bumi, bukan untuk mengadu ilmu dan gadis itu ternyata memang lihai bukan main sehingga perlu dikeroyok oleh mereka berlima. “Hemm, tidak mudah mengambil nyawaku, tuabangka-tuabangka tak tahu malu!” Hui Lan membentak dan nampaklah sinar terang berkilauan ketika ia telah mencabut pedang dari punggungnya. “Sing-sing….!” Sinar pedangnya menyambar-nyambar, membuyarkan pengepungan lima orang kakek itu. “Siancai….! Inilah pedang yang sudah membunuh banyak orang itu. Terpaksa kami menggunakan senjata pula!” Kata kakek yang berjenggot panjang dan lima orang kakek itu meraba ke bawah jubah mereka dan nampaklah senjata berkilauan di tangan. Tiga orang di antara mereka memegang pedang dan yang dua orang lagi masing-masing memegang sebuah rantai baja yang panjangnya ada enam kaki. Rantai itu tadinya menjadi ikat pinggang, sedangkan pedang para tosu Bu-tong-pai itu tadi tersembunyi di balik jubah mereka. Lima orang kakek itu adalah pendeta-pendeta tosu dari Bu-tong-pai. Walaupun mereka bukan para pimpinan Bu-tong-pai, namun mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai dan di perkumpulan persilatan yang besar itu mereka termasuk tokoh-tokoh besar. Hui Lan tidak mau banyak cakap lagi. Melihat betapa lima orang kakek itu benar-benar lihai dan kini mereka semua memegang senjata, iapun lalu mengeluarkan teriakan nyaring melengking dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan, didahului sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Kembali Sim Houw tertegun kagum. Gadis itu benar-benar lihai. Kini setelah memegang pedang, ternyata gadis itu lebih hebat pula. Ilmu pedangnya aneh dan amat cepat gerakannya, lebih lihai dibandingkan ilmu silat tangan kosongnya tadi. Sim Houw berusaha untuk mengenal ilmu pedang ini seperti tadi dia berusaha mengenal ilmu silat gadis itu, namun kembali dia gagal. Dia merasa seperti pernah melihat corak ilmu silat dengan gaya seperti yang dimainkan gadis itu, namun dia lupa lagi di mana dia pernah bertemu ilmu silat seperti itu, dan dia sama sekali tidak mengenalnya. Kalau ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang lima orang kakek itu tidak asing baginya. Dia sudah mengenal ilmu silat dari Bu-tong-pai, dan karena dia tahu betapa indah dan lihainya ilmu pedang dari perkumpulan itu, yaitu Bu-tong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bu-tong-pai), walaupun hatinya merasa semakin tegang, dia memperhatikan dengan penuh perhatian. Ilmu pedang Bu-tong-pai memang hebat, apa lagi dimainkan oleh lima orang ahli yang tingkatnya sudah tinggi. Perlahan-lahan gadis itu mulai terdesak dan kini ia hanya dapat memutar pedangnya menjadi gulungan sinar yang melindungi seluruh tubuhnya saja. Andaikata gadis itu disiram air, atau hujan turun, tentu ia tidak akan basah karena tubuh itu terlindung oleh benteng sinar pedang! Hebatnya, ketika seorang di antara lawannya lengah, yaitu kakek muka hitam, tangan kiri gadis itu mencuat keluar dari gulungan sinar pedangnya dan tangan yang kecil nampak lunak itu menampar ke arah kepala kakek ini. Si kakek muka hitam terkejut bukan main karena tidak menyangka gadis yang sudah didesak hebat itu akan mampu melakukan serangan yang demikian tiba-tiba. Tamparan ke arah kepalanya itu berbahaya, maka dia cepat mengelak. “Plakkk!” Tetap saja telapak tangan kiri Hui Lan menyentuh pundak si kakek muka hitam dan dia menggigil seperti orang kedinginan, lalu cepat-cepat dia berhenti berdiri dan menghimpun tenaga dalam untuk melawan hawa dingin menusuk yang timbul ketika pundaknya kena ditampar tadi. Melihat ini, tiba-tiba saja Sim Houw teringat dan hampir dia meloncat ke luar dari balik semak-semak. Benar! Hanya ada satu cabang persilatan saja di dunia ini yang dapat memainkan ilmu silat yang sekaligus dapat mengerahkan sin-kang keras dan lunak, panas dan dingin, Yang-kang dan Im-kang dan satu-satunya itu adalah persilatan keluarga Pulau Es! Dia pernah melihat pendekar-pendekar keluarga Pulau Es dan kini dia ingat benar bahwa corak ilmu silat dan ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Souw Hui Lan ini mengandung sifat-sifat dari ilmu silat keluarga Pulau Es. Dia hampir yakin akan hal ini walaupun dia sendiri tentu saja tidak mengenal ilmu silat keluarga itu secara mendalam. Akan tetapi, setiap cabang ilmu silat mempunyai ciri-ciri khas tertentu dan di antara ciri khas ilmu keluarga para pendekar Pulau Es adalah penggunaan sin-kang yang saling berlawanan itu. Betapapun lihainya Hui Lan dengan pedangnya, karena dikeroyok lima orang tokoh besar Bu-tong-pai, akhirnya ia kewalahan juga. Si muka hitam tadi sudah pulih kembali dan kini, sudah maju mengeroyok dengan sikap lebih hati-hati. Gadis itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk membalas lagi dan repot menghadapi hujan serangan dari lima orang lawannya. Tentu saja memutar terus senjatanya untuk melindungi tubuhnya memeras tenaganya sehingga makin lama ia menjadi semakin lelah dan putaran pedangnya makin berkurang kecepatannya. Akhirnya sebuah sabetan rantai baja menyerempet paha Hui Lan. Kain celana paha kiri itu terobek, nampak kulit paha yang putih itu terhias jalur merah ketika terkena sabetan rantai baja. Walaupun gadis itu telah dapat melindungi pahanya dengan sin-kang sehingga tidak terluka, namun ia terhuyung dan pada saat itu, sebatang pedang menyambar dari belakangnya, membabat ke arah lehernya, dan sebatang pedang lain menusuk dari kiri ke arah dadanya. Sim Houw terkejut sekali. Sejak tadi dia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan di antara gadis dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu sehingga merasa tidak enak untuk mencampuri perkelahian mereka. Akan tetapi kini melihat nyawa gadis itu terancam maut, tubuhnya sudah menjadi tegang dan hampir dia bergerak meloncat untuk mencegah pembunuhan. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Bagaikan dua ekor burung raksasa saja dua bayangan itu meluncur dari atas, menyambar ke arah perkelahian itu. “Tring! Tranggg….!” Dua orang kakek yang sudah menyerang Hui Lan dengan pedangnya, terpental ke belakang dan mereka terkejut sekali. Ketika lima orang kakek itu memandang, ternyata di situ telah berdiri dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan sejenak mereka tertegun karena melihat bahwa dua orang pria itu mempunyai wajah yang serupa. Usia mereka antara empat puluh tahun, dengan pakaian ringkas dan sikap gagah. Mudah diduga bahwa kedua orang pria ini adalah sepasang orang kembar. Tidak hanya wajah dan bentuk badan mereka yang serupa, juga pakaian yang mereka pakai, dari potongannya sampai warna dan corak pakaiannya, semua sama! Keduanya menyarungkan kembali pedang yang tadi mereka pakai untuk menolong Hui Lan menangkis dua batang pedang yang mengancam nyawa gadis itu. Hui Lan agak terpincang ketika menghampiri dua orang pria itu. Dengan nada suara manja ia berkata,

“Suhu, mereka ini adalah Bu-tong Ngo-lo yang tidak tahu malu mengeroyokku….”

“Kami mengerti, mundurlah kau,”

Kata seorang di antara dua pria kembar itu. Hui Lan melangkah mundur sambil menyimpan pedangnya dan ia mengusap keringat yang sudah membasahi dahi dan leher, bahkan pakaiannya juga kusut dan basah oleh keringat. Perkelahian tadi amat melelahkan tubuhnya dan hantaman pada paha kirinya tadi juga menyakitkan. Robek pada celananya tidak diperdulikan dan kini dengan penuh perhatian Hui Lan nonton dua orang suhunya yang berhadapan dengan Bu-tong Ngo-lo. Kalian akan mampus, demikian agaknya ia berpikir di balik senyumnya yang mengejek. Dua orang pria kembar itu kini melangkah maju dan memandang kepada lima orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Lalu seorang di antara mereka bertanya, suaranya tegas dan mantap, namun halus,

“Bu-tong Ngo-lo adalah lima orang tokoh Bu-tong-pai, patutkah mengeroyok seorang wanita muda seperti murid kami? Apa maksud pengeroyokan yang tidak pantas ini?”

Lima orang kakek itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Bagaimanapun juga, mereka merasa malu karena telah maju mengeroyok seorang gadis semuda itu yang pantasnya menjadi cucu murid mereka, dan yang lebih memalukan lagi, biar mengeroyok, mereka ternyata tidak berhasil merobohkannya! Kakek berjenggot panjang lalu menjawab dengan sikap galak,

“Apakah kalian ini yang berjuluk Beng-san Siang-eng, Sepasang Garuda dari Beng-san?”

Dua orang kakek itu mengang-guk.

“Bagus!”

Kata kakek berjenggot panjang.

“Kami datang untuk membunuh kalian guru dan murid agar tidak jatuh lagi korban orang-orang tidak berdosa. Kalian adalah orang-orang kejam yang sudah melakukan banyak dosa dan harus dienyahkan dari permukaan bumi ini!”

Seorang di antara dua pria kembar itu tersenyum.

“Hemm, katakan saja bahwa kalian datang untuk membalas dendam, ataukah kalian datang dengan maksud yang sama seperti orang-orang Bu-tong-pai itu?”

“Tidak! Kami datang sengaja uutuk mencari kalian guru dan murid yang berdosa, untuk menghukum dan membunuh kalian!”

Bentak kakek berjenggot panjang dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju bersama empat orang saudaranya,

Menyerang dengan senjata mereka dengan dahsyat. Akan tetapi sekali ini lima orang kakek Bu-tong-pai itu berhadapan dengan dua orang lawan yang jauh lebih lihai dibandingkan dengan Hui Lan tadi. Dua orang pria kembar itu menghadapi lima orang pengeroyoknya dengan tangan kosong saja, walaupun tadi ketika menyelamatkan Hui Lan, mereka menggunakan pedang. Akan tetapi, walaupun tanpa senjata, keduanya dapat bergerak dengan bebas dan lincah sekali. Gerakan mereka memang cepat dan pantas mereka dijuluki Sepasang Garuda. Tubuh mereka berloncatan ke atas dan menyelinap di antara sinar senjata lawan dan mereka juga sempat membalas dengan serangan-serangan mereka yang biarpun hanya dilakukan dengan tangan dan kaki,

Namun tidak kalah dahsyatnya dari senjata lawan. Terjadi perkelahian yang amat seru dan Sim Houw yang non-ton perkelahian itu kini merasa yakin benar bahwa sepasang pria kembar itu memang ahli dalam ilmu silat keluarga para pendekar Pulau Es. Begitu melihat gerakan dua orang laki-laki kembar itu, Sim Houw maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada tingkat Bu-tong Ngo-lo dan biarpun dua orang kembar itu tidak memegang senjata, namun mereka tidak akan kalah. Keduannya menguasai gin-kang dan sin-kang yang amat tinggi, bahkan kadang-kadang mereka berani menangkis pedang dan rantai baja dengan tangan kosong saja! Makin benar keyakinan. hatinya bahwa dua orang kembar itu tentu murid para pendekar Pulau Es dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Pulau Es.

Dugaan Sim Houw ini memang tidak meleset. Dua orang kembar itu masih cucu luar dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mendiang Pendekar Super Sakti Suma Han mempunyai seorang puteri dari isterinya yang bernama Puteri Nirahai dan puteri ini diberi nama Puteri Milana yang kemudian menjadi isteri seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng. Mereka berdua kini telah tua sekali dan tinggal di puncak Pegunungan Beng-san, hidup sebagai petani-petani sederhana. Mereka mempunyai sepasang anak kembar yang mereka beri nama Gak jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu dua orang pria inilah. Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, gagah perkasa dan juga memiliki jiwa patriot. Akan tetapi dia saling jatuh cinta dengan Milana yang mempunyai ibu puteri Mancu.

Milana sendiri, sebagai puteri Pendekar Super Sakti, tahu bahwa ia mempunyai ibu puteri Mancu bahkan karena tertarik oleh ibunya, ia pernah berapa kali membantu pemerintah Mancu memimpin barisan dan menjadi panglima untuk membasmi pemberontakan. Setelah semakin tua ia dapat melihat bahwa suaminya mulai diasingkan dan dipandang sebagai musuh oleh banyak orang gagah di dunia sebagai seorang pendekar yang berpihak kepada pemerintah penjajah Mancu! Padahal, Milana tahu benar bahwa suaminya sama sekali tidak berpihak kepada pemerintah Mancu. Ia melihat betapa terjepitnya kedudukan suaminya yang oleh para pendekar dan patriot dianggap sebagai seorang pengkhianat atau antek penjajah. Oleh karena itulah, maka iapun menyetujui keputusan suaminya untuk menyembunyikan diri menjadi setengah pertapa,

Di puncak Beng-san dia tidak mencampuri lagi urusan dunia. Karena itu lah, maka kehidupan suami isteri ini menjadi terasing dan nama mereka seperti terhapus di duna kang-ouw dan tidak ada orang mengetahui bagaimana dengan keadaan mereka. Suami isteri Gak Bun Beng dan Puteri Milana ini, tentu saja mendidik anak kembar mereka dengan tekun. Akan tetapi, keduanya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi itu dapat melihat bahwa bakat anak kembar mereka dalam ilmu silat tidaklah menonjol, betapapun juga karena ketekunan mereka menggembleng putera-putera mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat juga menguasai sebagian dari ilmu-ilmu ayah bunda mereka dan menjadi orang-orang yang dapat dibilang memiliki ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingan mereka.

Akan tetapi, setelah sepasang bocah kembar itu menjadi dewasa, Gak Bun Beng dan Milana mengalami kekecewaan yang amat besar. Dua orang pemuda Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu tidak mau menikah! Mereka bahkan marah-marah kalau orang tua mereka mengajak mereka bicara tentang pernikahan! Di antara mereka, terdapat hubungan batin yang aneh sekali, yang menimbulkan perasaan iri hati dan cemburu satu kepada yang lain dalam segala hal. Pakaianpun harus diberi yang serupa dan mereka tidak boleh dibeda-bedakan karena hal ini akan menimbulkan perasaan iri yang membuat mereka marah. Juga dalam perjodohan. Yang seorang akan menjadi iri hati dan cemburu kalau yang lain dijodohkan dengan seorang gadis. Karena inilah, maka kedua orang pria kembar ini tidak pernah menikah.

Pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya akhirya putus asa dan setelah capai membujuk tanpa hasil, akhirnya merekapun diam saja dan lebih banyak menyepi di dalam pondok mereka di puncak Beng-san. Betapapun juga, akhirnya orang mengenal kelihaian dua saudara kembar itu ketika beberapa kali terjadi peristiwa di mana dua saudara kembar itu terpaksa memperlihatkan kelihaian mereka. Bahkan orang tua merekapun membujuk mereka untuk sering melakukan perantauan untuk memperluas pengalaman. Akhirnya, orang mengenal mereka sebagai Sepasang Garuda dari Beng-san! Ketika mereka berusia dua puluh empat tahun, mereka melakukan perjalanan ke selatan di mana terjadi pemberontakan. Mereka, sesuai dengan pesan ayah ibunda mereka, tidak diperbolehkan mencampuri urusan pemberontakan,

Tidak boleh membantu pemberontakan juga tidak boleh membantu pemerintah. Mereka melihat pemberontakan dengan sikap pasip saja, hanya mereka turun tangan menolong mereka yang lelah dan pantas diselamatkan. Ketika mereka melihat sebuah keluarga dirampok dan dibunuh oleh gerombolan pemberontak, mereka turun tangan membela. Namun dua orang saudara kembar ini agak terlambat dan hanya berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan keluarga Souw itu, sedangkan keluarga itu selebihnya terbasmi dan terbunuh oleh gerombolan perampok. Anak perempuan she Souw itu berusia empat tahun dan semenjak itu, Souw Hui Lan, anak yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lainnya, dibawa oleh Beng-san Siang-eng dan menjadi murid mereka berdua!

Bahkan dalam mengajarkan ilmu kepada Hui Lan merekapun bersaing dan mereka berdua amat menyayang anak ini sehingga memperlakukannya tidak hanya sebagai murid, bahkan sebagai adik atau puteri mereka sendiri. Tentu saja hal ini membuat Hui Lan menjadi lihai sekali, akan tetapi juga amat manja! Baru lima tahun mereka meeninggalkan Beng-san dan akhirnya menetap di bukit di tepi Sungai Wu-kiang itu, tempat yang sunyi terpencil dan amat indah pemandangannya. Beberapa tahun kemudian, setelah Hui Lan berusia tujuh belas tahun, mulailah datang godaan-godaan. Gadis itu menjadi seorang dara yang cantik manis dan gagah perkasa sehingga tentu saja, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum dan mengandung madu yang amat manis, mengundang datangnya kumbang-kumbang berupa pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan yang menginginkan jodoh seorang dara perkasa pula.

Mulailah berdatangan lamaran-lamaran yang diajukan oleh tokoh-tokoh persilatan terhadap dara itu, baik untuk murid atau anak mereka sendiri. Dan begitu muncul pinangan-pinangan ini, dua orang guru dan seorang muridnya itu lalu menentukan syarat yang amat berat, yaitu calon jodoh Hui Lan harus seorang pemuda yang mampu mengalahkan Hui Lan, dan selain syarat berat ini, ditambah syarat yang lebih berat lagi yakni bahwa pemuda calon jodoh Hui Lan itu harus mengajukan guru atau orang tuanya yang mampu mengalahkan Beng-san Siang-eng! Orang yang tergila-gila kepada seorang wanita biasanya suka melakukan apapun juga, siap untuk berkorban. Demikianlah, banyak pemuda gagah perkasa berdatangan, hanya untuk dikalahkan oleh Hui Lan,

Dan guru atau orang tua jagoan mereka tidak ada seorangpun mampu mengalahkan dua orang pria kembar itu. Dan yang mengejutkan, guru dan murid ini agaknya berdarah panas sehingga dalam setiap pertandingan untuk memenuhi syarat itu, mereka menjatuhkan para peminang dengan pukulan-pukulan maut sehingga banyak di antara para peminang yang kalah dengan membawa luka-luka parah, bahkan ada pula yang sampai tewas! Seorang pemuda Bu-tong-pai yang pandai, maju pula bersama seorang susioknya, dan dia dikalahkan oleh Hui Lan, juga tosu yang menjadi susioknya dan merupakan tokoh Bu-tong-pai, juga terluka hebat oleh Beng-san Siang-eng. Mereka berdua meninggalkan tempat itu sebagai penderita kekalahan, membawa luka dalam yang berat dan akhirnya keduanya tewas setelah menderita sakit beberapa pekan lamanya!

Selama tiga tahun kurang lebih, sudah puluhan kali murid itu mengalahkan pelamar dan sudah belasan orang tewas di tangan mereka! Demikian sedikit catatan tentang Beng-san Siang-eng yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu, dan karena itu pula pada hari itu muncul Bu-tong Ngo-lo yang berniat membunuh guru dan murid yang dianggap kejam dan jahat itu. Lima orang tokoh Bu-tong ini memang bukan hanya datang untuk membalas kematian dua orang Bu-tong-pai itu, akan tetapi juga untuk mengenyahkan guru dan murid yang dianggap jahat itu agar tidak jatuh korban lagi. Sim Houw mengikuti jalannya perkelahian itu penuh perhatian. Hatinya merasa semakin tegang lagi. Perkelahian itu adalah perkelahian mati-matian di mana Bu-tong Ngo-lo makin lama makin terdesak hebat oleh dua orang pria kembar itu.

Mereka berkelahi untuk saling bunuh, bukan sekedar mengalahkan lawan. Jurus-jurus maut dikerahkan dan diam-diam dia merasa khawatir sekali. Mereka adalah orang-orang gagah, orang-orang berilmu yang agaknya tentu saja bukan termasuk kaum sesat. Dua orang pria kembar itu memainkan ilmu silat Pulau Es, tentu bukan penjahat dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu tentu juga bukan orang-orang sesat. Kini mereka berkelahi mati-matian untuk saling bunuh. Dia sendiri tidak dapat berpihak, karena dia tidak tahu siapa antara mereka yang bersalah. Akan tetapi, membiarkan saja mereka berkelahi, hatinya merasa tidak tega karena dia tahu bahwa satu pihak tentu akan roboh, terluka parah dan mungkin saja tewas. Tiba-tiba dua orang kembar itu mengeluarkan teriakan nyaring melengking panjang, disusul bentakan seorang di antara mereka,

“Bu-tong Ngo-lo, rebahlah kalian!”

Hebat bukan main serangan dua orang itu. Biarpun lima orang lawan mereka sudah bersiap siaga, tetap saja terjangan mereka yang dahsyat itu membuat mereka berlima terdorong dan terjengkang,

Senjata mereka terlempar dan mereka terbanting keras ke atas tanah dalam keadaan terlentang! Dan dua orang kembar itu melangkah maju, agaknya siap untuk menurunkan pukulan terakhir, pukulan maut. Tiba-tiba terdengar suara melengking yang aneh, suara suling yang ditiup secara aneh dan suaranya begitu mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang pria kembar itu sendiri tertegun dan menghentikan langkah mereka lalu menengok seperti orang yang terpesona. Mereka berdiri ternganga memandang ke arah seorang pemuda yang tiba tiba saja muncul di situ sambil meniup sebatang suling. Sim Houw yang tadi melihat betapa nyawa lima orang kakek Bu-tong-pai itu terancam maut, cepat meniup sulingnya dan keluar dari tempat persembunyiannya sambil terus meniup sulingnya.

Tiupan pertama tadi dilakukan dengan pengerahan khi-kang dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut sehingga suling itu mengeluarkan suara yang mengandung pengaruh dan wibawa amat kuatnya! Dua orang cucu dari Pendekar Super Sakti itu sendiri sampai terpesona dan tertahan dari niat mereka membunuh lima orang Bu-tong-pai yang sudah tidak mampu melindungi diri sendiri itu. Kini Sim Houw sudan berjalan menghadapi dua orang saudara Gak itu, menghalang di antara mereka dan lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah merangkak bangun dengan muka pucat. Lalu Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan menjura ke arah dua orang pria kembar. Begitu suara suling berhenti, semua orang merasa seolah-olah terlepas dari himpitan yang membuat mereka seperti tidak mampu bergerak tadi.

“Ji-wi locianpwe harap jangan menyiksa lima orang kakek ini lebih lanjut. Kasihanilah mereka dan kalau mereka telah melakukan kesalahan, biarlah saya yang mintakan ampun untuk mereka.”

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban dua orang pria kembar itu, Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya menghadapi Bu-tong Ngo-lo,

“Kalian berlima telah diampuni oleh dua orang locianpwe ini, tidak lekas pergi apakah yang ditunggu lagi?”

Berkata demikian Sim Houw mengedipkan matanya dan lima orang kakek itu yang sudah maklum bahwa mereka tidak akan mampu menang, apa lagi kini sudah menderita luka dalam yang dirasakan di dalam dada, rasa yang dingin sekali, tanpa banyak cakap lagi mereka lalu memungut senjata masing-masing dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit!

“Kalian hendak lari ke mana?”

Tiba-tiba Hui Lan membentak marah dan siap mengejar. Akan tetapi Sim Houw sudah berdiri di depannya dan mengembangkan kedua lengannya.

“Nona, ji-wi locianpwe ini sudah memberi ampun, jangan kejar mereka!”

Hui Lan melihat betapa pemuda itu mengembangkan lengan seperti hendak memeluknya, menjadi marah. Apa lagi ketika dara ini mengenal Sim Houw sebagai penyuling yang tadi dianggap mengganggu ketenangannya, ia menjadi semakin marah.

“Enyahlah kau!”

Bentaknya sambil menampar kepala pemuda itu.

“Wuuuttt….!”

Tamparan tangan halus ini dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala manusia.

“Eh, eh…. jangan pukul….!”

Sim Houw berseru gugup dan mengangkat sebelah lengannya seperti melindungi kepalanya dengan gerakan amat kaku, sama sekali bukan gerakan silat.

“Plakk!”

Akibat tamparan tangan yang mengenai pangkal lengannya itu membuat Sim Houw terlempar dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia bergulingan memotong jalan sehingga gadis itu tidak dapat melakukan pengejaran terhadap lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah melarikan diri.

“Keparat, engkau selalu menggangguku!”

Hui Lan meloncat dan hendak menendang tubuh Sim Houw yang masih bergulingan.

“Hui Lan, jangan pukul dia!”

Tiba-tiba terdengar suara Gak Jit Kong dan gadis itupun menahan gerakan kakinya sehingga Sim Houw terhindar dari tendangan maut.

Sim Houw melirik ke arah lima orang kakek Bu-tong-pai dan merasa lega melihat bahwa lima orang kakek itu telah melarikan diri dengan cepat dan lenyap dari situ. Dia lalu bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor terkena debu. Hui Lan biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun ia belum berpengalaman dan gadis yang berwatak manja ini memang tidak pernah menghargai orang lain, maka iapun tidak sadar betapa tamparannya yang amat kuat tadi dapat ditangkis oleh pemuda penyuling ini! Padahal, kalau ia teringat, tentu ia akan terkejut melihat kenyataan betapa tamparan-nya itu, tidak meremukkan tulang pangkal lengan pemuda itu. Beng-san Siang-eng mengira bahwa murid mereka idak menyerang dengan sungguh-sungguh kepada pemuda yang kelihatannya tidak memiliki kepandaian silat ini dilihat dari gerak-geriknya dan Gak Jit Kong lalu bertanya,

“Orang muda, kenapa engkau mencampuri urusan kami dan menghalangi kami membunuh lima orang musuh tadi?”

Sim Houw kembali menjura dengan sikap hormat. Sulingnya sudah sejak tadi diamankannya di balik bajunya, terselip di pinggang.

“Ji-wi locianpwe, saya pernah mendengar, kata orang bahwa seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak melawan dan tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya. Dan saya melihat bahwa mereka itu tadi sudah tak berdaya….”

“Omong kosong!”

Bentak Hui Lan.

“Kalau kalah, mereka tentu akan membunuh kami. Suhu, tidak perlu kiranya berdebat dengan pengacau ini!”

Akan tetapi Gak Jit Kong agaknya tertarik.

“Orang muda, tahukah engkau bahwa seandainya kami kalah, lima orang Bu-tong Ngo-lo itu akan membunuh kami tanpa ragu lagi?”

“Ji-wi locianpwe, haruskah orang membalas pembunuhan dengan pembunuhan, membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau begitu, apa bedanya antara kita dengan si penjahat?”

“Jadi sudah sejak tadi engkau melihat perkelahian antara kami dan mereka?”

Tanya pula Gak Jit Kong, memandang penuh selidik.

“Saya kebetulan berada disini, karena ketakutan melihat perkelahian lalu saya bersembunyi di dalam semak belukar, nonton perkelahian. Melihat mereka sudah tidak berdaya dan khawatir ji-wi membunuh mereka, maka saya keluar….”

“Kenapa membunyikan suling?”

Kini Gak Goat Kong mendesak.

“Saya tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mencegah dilanjutkannya perkelahian itu, dan karena saya hanya bisa meniup suling, maka dalam kegugupan saya lalu meniup suling saya untuk menarik perhatian. Syukur saya berhasil….”

“Siapakah namamu dan engkau dari perguruan silat mana?”

Gak Jit Kong bertanya lagi.

“Nama saya Sim Houw dan bukan dari perguruan silat, saya hanya bisa meniup suling, tidak bisa apa-apa selain itu, locianpwe.”

“Bohong! Engkau selalu mengacau dengan suara sulingmu, tentu engkau mengerti sedikit ilmu silat. Biar kuselidiki dia datang dari perguruan silat mana suhu!”

Kata Hui Lan dan gadis itu sudah meloncat ke depan dan tangan kirinya menyambar, jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri itu menotok ke arah pundak kanan Sim Houw. Sim Houw tahu bahwa, jalan darah Kian-keng-hiat-to di pundaknya akan ditotok dan akibatnya amat hebat karena jalan darah itu merupakan satu di antara jalan darah besar. Akan tetapi dia diam saja sedikitpun tidak berkutik, tidak mengelak atau menangkis, seolah-olah dia tidak tahu bahwa nyawanya terancam oleh serangan itu.

“Hui Lan, jangan….!”

Gak Goat Kong berseru kaget melihat betapa muridnya hendak membunuh pemuda yang agaknya memang tidak menya-dari akan bahaya itu. Tentu saja Sim Houw sadar sepenuhnya, bahkan dia tahu bahwa tidak ada bahaya yang mengancam dirinya. Gadis itu hanya menggertaknya saja dan sama sekali tidak berniat melakukan totokan secara sungguh-sungguh, dan andaikata demikian, diapun dapat menyelamatkan dirinya dengan ilmu memindahkan jalan darah! Dan benar saja dugaannya, tanpa dicegah oleh gurunya sekalipun, Hui Lan memang tidak mau membunuhnya. Gadis itu hanya ingin memaksanya mengeluarkan ilmu silatnya untuk membela diri agar ia dapat mengenal ilmu silatnya. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan totokan maut, gadis itu merasa sebal dan totokannya berobah menjadi dorongan atau tamparan pada pundak pemuda itu.

“Plakkk….!”

Dan tubuh Sim Houw terpelanting! Namun, Hui Lan juga terkejut dan heran sekali, menahan rasa nyeri pada telapak tangannya. Ia tadi merasa seperti menampar benda yang lunak sekali akan tetapi dari dalam kelunakan itu muncul tenaga yang membuat tenaga tamparannya membalik sehingga ia terpukul tenaga tamparannya sendiri yang menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi buktinya, pemuda itu terpelanting keras oleh tamparannya! Sebelum Hui Lan sempat menyatakan keheranannya, tiba-tiba dua orang gurunya berseru.

“Hui Lan, hati-hati! Banyak musuh datang!”

Gadis itu cepat menggerakkan tubuh menoleh Dan benar saja. Sedikitnya dua puluh orang yang dipimpin oleh seorang wanita cantik berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat itu. Sim Houw juga sudah bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor dan berdirii di belakang tiga orang itu. Diam-diam dia merasa mendongkol juga karena gadis itu sungguh sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Seorang gadis yang selain cantik manis dan gagah perkasa, juga manja, angkuh dan ringan tangan! Dua puluh empat orang itu semua berpakaian serba merah sehingga amat menyolok sekali.

Mereka terdiri dari laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin seorang kakek berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat. Laki-laki ini berada di depan bersama seorang wanita yang lebih menarik perhatian lagi. Wanita ini cantik dan berpakaian merah, bukan serba merah seperti yang lain. Memiliki sepasang mata yang amat tajam dan gerak-geriknya lincah. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Sim Houw tidak mengenal semua orang itu. Juga agaknya Beng san Siang-eng dan murid mereka tidak mengenal wanita cantik yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun itu, apa lagi dua puluh empat orang yang berpakaian serba merah. Wanita itupun agaknya belum mengenal pihak tuan rumah, karena begitu berhadapan, ia sudah bertanya dengan suara lantang.

“Siapakah di antara kalian yang berjuluk Pendekar Suling Naga?”

Sepasang Garuda Beng-san itu saling pandang dengan murid mereka. Hui Lan menggerakkan pundak dan gadis ini sudah marah sekali melihat sikap wanita yang datang bersama segerembolan orang berpakaian serba merah itu dan ia sudah menudingkan telunjuk kanannya sambil membentak,

“Dari mana datangnya perempuan liar yang membawa gerombolan bajak atau rampok ini?”

Akan tetapi, wanita cantik itu hanya mengeluarkan senyum mengejek, agaknya tidak memperhatikan kemarahan Hui Lan. Sekali lagi ia bertanya,

“Siapakah Pendekar Suling Naga?”

Dan kini pandang matanya ditujukan kepada Sim Houw dan ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik. Juga dua puluh empat orang berpakaian serba merah itu memandang kepada empat orang itu bergantian dengan sinar mata mengancam. Wanita cantik itu bukan sembarang orang. Ia bukan lain adalah Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), murid pertama Sam Kwi (Tiga Iblis). Seperti telah diceritakan di bagian depan Siu Kwi atau Bi-kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari seorang gadis yang lihai bukan main, telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari ketiga gurunya.

Ketika ia pulang menjumpai guru-gurunya, ia melaporkan akan kegagalan dua macam tugas yang dipikulnya. Pertama, ia telah gagal mencari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es karena pendekar sakti itu telah tewas, kemudian tugas ke dua, yaitu mencari Pek-bin Lo-sian untuk minta senjata pusaka Liong-siauw-kiam juga gagal. Ketika wanita itu menghadap Pek-bin Lo-sian yang menjadi paman guru dari ketiga Sam-kwi, ia mendapatkan kakek tua renta itu dalam keadaan sakit berat dan napasnya tinggal satu-satu! Siu Kwi atau Bi Kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari Pek-bin Lo-sian yang dijawab oleh Pek-bin Lo-sian bahwa pusaka itu telah dia berikan kepada orang lain karena dia tidak suka kalau pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, tiga orang keponakan seperguruannya sendiri yang jahat!

Mendengar jawaban ini. Bi-kwi memaksa kakek tua renta itu untuk menunjukkan siapa orang yang diserahi pusaka itu. Namun kakek yang sudah menderita penyakit berat itu hanya tersenyum mengejek, tidak mengaku. Bi-kwi marah, lalu menggunakan kekerasan terhadap kakek itu yang sebenarnya masih susiok-kongnya sendiri. Disiksanya kakek itu, akan tetapi Pek-bin Lo-sian tetap tidak mau mengaku. Tubuhnya yang sudah tua dan menderita penyakit berat itu tidak dapat menahan siksaan yang dilakukan Bi-kwi dan kakek itupun tewas tanpa menyebut nama Sim Houw yang telah diserahi pusaka Suling Naga atau Siauw-liong-kiam. Seperti kita ketahui, Bi-kwi pulang dengan hati mengkal dan uring-uringan karena ia pulang dengan tangan kosong. Akan tetapi ia mendengar berita akan munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga.

Sebelum pulang menyampaikan laporan kepada tiga orang gurunya, lebih dulu ia menemui perkumpulan Ang-i-mo (Setan Berbaju Merah), yaitu perkumpulan sesat yang telah ditaklukkannya. Perkumpulan itu dipimpin oleh seorang datuk sesat bernama Tee Kok yang berusia lima puluh tahun sebagai ketuanya. Ketika mereka bentrok dengan Bi-kwi, mereka kalah dan Tee Kok merajuk, menyatakan kalah dan menyerah. Melihat kehebatan mereka, Bi-kwi dengan cerdik mengampuni mereka dan menyuruh mereka berjanji untuk membantunnya dalam segala macam hal kalau dimintanya, Tee Kok menyanggupi. Bi kwi lalu memerintahkan Ang-i-mo untuk melakukan penyelidikan, mencari adanya pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan kalau ada beritanya agar cepat memberi kabar kepadanya di puncak Thai-san, di mana ia tinggal bersama Sam Kwi.

Setelah itu barulah ia pulang ke Thai-san, di mana ia terpaksa menerima Bi Lan sebagai sumoi atau murid guru-gurunya yang baru, bahkan ia lalu dengan cerdik menyediakan dirinya untuk melatih sumoinya itu menggantikan guru-gurunya. Baru beberapa bulan kemudian, datang Tee Kok bersama anak buahnya yang pilihan, berjumlah dua puluh empat orang bersama dia, berkunjung ke Thai-san dan melaporkan bahwa mereka mendengar akan munculnya Pendekar Suling Naga di daerah selatan. Mendengar ini, cepat Bi-kwi meninggalkan Thai-san, bersama dua puluh empat orang itu cepat-cepat melakukan pengejaran dan pencarian ke selatan. Akhirnya, mereka mengikuti jejak orang yang dicari di sepanjang pantai Sungai Wu-kiang dan tiba di kaki bukit yeng menjadi tempat tinggal Beng-san Siang-eng bersama murid mereka.

Tee Kok dalam pelaporannya kepada Bi-kwi hanya mengatakan bahwa anak buahnya belum pernah ada yang berjumpa dengan pendekar yang dicari, hanya mendapat keterangan bahw pendekar itu masih muda dan lihai sekali. Maka, ketika mereka tiba di tempat itu, perhatian Bi-kwi dan kawan-kawannya tertarik kepada Sim Houw. Akan tetapi, mereka merasa ragu-ragu karena pemuda itu tadi mereka lihat didorong oleh gadis cantik itu saja terpelanting, mana mungkin orang lemah itu yang dinamakan Pendekar Suling Naga? Karena itu Bi-kwi lalu mengajukan pertanyaan kepada mereka, dengan sikapnya yang angkuh, siapa di antara mereka yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Biarpun Hui Lan telah membentaknya dengan ucapan menghina, ia tetap tidak perduli dan mengulangi pertanyaannya.

“Siapakah Pendekar Suling Naga? Hayo mengaku, kalau tidak kalian berempat tentu akan menjadi setan-setan tanpa nyawa!”

Sekali lagi ia menghardik, sekali ini sinar matanya berkilat mengeluarkan ancaman yang mengerikan. Kalau sepasang saudara kembar Gak itu masih bersikap sabar, murid merekalah yang sudah kehabisan kesabaran lagi.

“Perempuan hina! Berani engkau mengancam kami di rumah kami sendiri? Apa kau kira aku takut kepadamu dan gerombolanmu, badut-badut berpakaian merah ini? Bukalah matamu dan lihat dengan siapa kau berhadapan!”

Bi-kwi memang orang aneh. Iblis betina ini tidak mudah marah, atau tidak mau menurutkan emosi dan kemarahannya, kalaupun ada, disimpan di dalam hati saja. Hanya sinar matanya yang menyambar ketika ia menjawab,

“Tidak perduli siapa orangnya. kalau tidak mau memberi tahu kepadaku di mana adanya Pendekar Suling Naga, tentu akan kami bunuh!”

“Keparat! Kami tidak mengenal Suling Naga atau Suling Ular atau Suling Cacing! Akan tetapi kedua orang suhuku ini adalah Beng-san Siang-eng!”

Maksud Hui Lan memperkenalkan julukan kedua orang gurunya adalah untuk balas menggertak agar wanita itu menjadi terkejut dan gentar. Siapa yang tidak mengenal nama Beng-san Siang-eng. Bi-kwi memang terkejut, akan tetapi bukan terkejut lalu gentar, bahkan terkejut lalu wajahnya berseri dan senyumnya makin mengejek.

“Ahh! Ini namanya mencari bandeng mendapatkan kakap! Jadi kalian inikah Beng-san Siang-eng, keluarga Pulau Es?”

Katanya sambil memandang kepada dua orang pria kembar itu penuh perhatian. Dua orang pria kembar itu membalas pandang mata tajam itu dengan alis berkerut. Gadis cantik ini masih muda namun sikapnya demikian angkuh dan memandang rendah, tentu bukan orang sembarangan.

“Kami berdua saudara Gak memang masih cucu luar dari kakek kami Suma Han dari Pulau Es. Akan tetapi kami tidak merasa pernah berurusan denganmu. Siapakah engkau, nona dan ada urusan apakah engkau bersama rombonganmu datang ke tempat kami?”

Ciong Siu Kwi meraba gagang goloknya dengan sikap angkuh, tanpa mencabut senjata itu, dan memandang kepada dua orang kakek itu dengan mata tajam.

“Beng-san Siang-eng, aku disebut orang Bi-kwi dan aku datang mewakili guru-guruku, Sam Kwi untuk mencari Pendekar Suling Naga. Akan tetapi dia tidak ada dan yang ada ialah kalian cucu dari Majikan Pulau Es. Hemm, sungguh kebetulan sekali karena akupun mempunyai tugas mewakili guru-guruku untuk membunuh semua keluarga Pulau Es setelah Majikan Pulau Es sendiri meninggal dunia!”

Dua orang pria kembar itu mengerutkan alis lagi.

“Nanti dulu, Bi-kwi. Memusuhi orang dengan niat membunuh bukan merupakan hal yang tidak ada sebabnya. Mengapa guru-guru kalian memusuhi kami orang-orang Pulau Es?”

“Kakekmu itu pernah mengalahkan guru-guruku, dan sudah bersumpah untuk membalas kekalahan itu. Akan tetapi kakekmu sudah mati, maka yang harus menebus dosanya adalah keluarga dan keturunannya. Nah, bersiaplah kalian untuk mati, juga bocah perempuan sombong ini dan pemuda itu siapa dia?”

Telunjuk kiri Bi-kwi menuding ke arah muka Sim Houw dan diam-diam hatinya berbisik betapa tampannya pemuda sederhana itu.

“Jangan ganggu dia. Kami tidak mengenalnya. Dia seorang yang baru saja datang, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kami. Jangan kira akan mudah saja membunuh kami, bahkan kalau boleh kunasihatkan agar kamu yang masih muda ini pulang saja dan biarlah ketiga orang suhumu itu yang datang membuat perhitungan dengan keluarga para pendekar Pulau Es,”

Kata Gak Jit Kong yang merasa tidak enak juga kalau dia bersama adik kembarnya harus berhadapan mengadu ilmu dengan seorang gadis yang masih muda itu. Memang semua tokoh persilatan yang sudah ada nama tentu akan merasa ragu untuk mengadu ilmu melawan seorang gadis muda. Kalau kalah amat memalukan, kalau menangpun akan ditertawakan orang!

“Beng-san Siang-eng, kematian sudah di depan mata, tak perlu banyak cakap lagi! Bersiaplah untuk mampus!”

Bentak Bi-kwi dan nampak sinar berkilat menyilaukan mata ketika wanita ini mencabut pedangnya.

“Suhu, biar aku yang menghadapi iblis wanita ini!”

Hui Lan juga mencabut pedangnya dan ia meloncat ke depan gurunya, menghadapi Bi-kwi. Dua orang pria kembar itu tidak melarang murid mereka. Memang sepatutnyalah kalau Hui Lan yang menghadapi wanita itu, dan mereka sendiri akan berjaga-jaga karena kalau dua puluh empat orang berpakaian seragam merah itu mengeroyok, mereka akan menghadapi pasukan merah itu. Akan tetapi, Bi-kwi yang sudah menghunus pedang itu memandang kepada Hui Lan dengan alis berkerut.

“Bocah sombong, engkau bukan lawanku. Guru-gurumu itulah lawanku dan engkau nonton saja, jangan tergesa minta mampus, tunggu giliranmu tiba!”

Ucapan itu sungguh menghina sekali. Hui Lan mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia sudah maju menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi Bi-kwi tersenyum saja dan hanya nonton ketika dari samping, Tee Kok ketua Ang-i-mo telah menggerakkan sepasang goloknya ke depan menangkis.

“Tranggg….!”

Nampak api berpijar ketika pedang Hui Lan bertemu dengan golok di tangan laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu.

“Ciong Siocia (Nona Ciong), biarkan aku menghadapi gadis ini!”

Kata Tee Kok.

“Matamu sudah menjadi hijau melihat perawan mulus ini, ya? Baik, kalau bisa, tangkaplah bocah itu dan boleh menjadi milikmu sebelum kau bunuh!”

Biarpun ucapan ini ditujukan kepada Tee Kok. akan tetapi tentu saja Hui Lan menjadi marah bukan main, demikian pula dua orang gurunya karena omongan wanita itu sungguh kasar dan kotor.

“Kalian adalah manusia-manusia busuk!”

Kata Gak Jit Kong yang segera menghunus pedangnya, diikuti oleh adik kembarnya.

“Bagus! Mari kita ramai-ramai basmi keturunan Pulau Es!”

Bi-kwi berseru dan iapun menerjang maju disambut oleh sepasang pria kembar yang sudah memegang pedang masing-masing. Dan dalam gebrakan pertama, kedua orang she Gak itu terkejut bukan main. Mereka memang sudah menduga bahwa wanita ini tentu jahat dan juga amat lihai, akan tetapi tidak mereka sangka bahwa ketika pedang mereka bertemu dengan pedang Bi-kwi, mereka merasa betapa lengan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat dan ada hawa panas menyambar ke arah mereka melalui pedang di tangan gadis itu!

Tahulah mereka bahwa gadis itu benar-benar amat lihai maka merekapun cepat mengurung dengan pengerahan tenaga dan kepandaian mereka. Segera terjadi perkelahian yang amat seru di antara Beng-san Siang-eng dan Ciong Siu Kwi atau Iblis Cantik itu. Hui Lan juga segera merasakan ketangguhan lawannya. Sepasang golok lawannya bergerak menyambar-nyambar dari dua jurusan yang berlawanan, seperti hendak mengguntingnya dan ternyata si tinggi kurus bermuka pucat inipun memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Boleh jadi Bi-kwi yang telah digembleng sejak kecil oleh tiga orang gurunya sekaligus kini telah menjadi seorang wanita yang lihai bukan main. Hampir seluruh ilmu dari Sam Kwi telah diresapinya dan ia memang memiliki bakat yang amat baik. Akan tetapi, kini ia melawan dua orang pria kembar yang masih cucu luar Majikan Pulau Es,

Maka segera ia mendapatkan kenyataan bahwa tidak akan mudah baginya untuk dapat mengalahkan dua orang pria kembar itu dan paling-paling hanya akan dapat mengimbangi ketangguhan mereka. Maka wanita itu lalu memberi aba-aba kepada pasukan Ang-i-mo itu untuk maju dan membantu! Hui Lan merasa terkejut sekali. Baru melawan si tinggi kurus seorang diri saja sudah terasa berat, apa lagi kalau lawannya dibantu oleh anak buahnya yang amat banyak. Tidak disangkanya bahwa si baju merah itu dapat memainkan sepasang goloknya sedemikian lihainya. Ia tidak tahu bahwa Tee Kok itu adalah bekas anak buah Hek-i-mo (Iblis Pakaian Hitam), yaitu perkumpulan yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong, datuk besar kaum sesat yang dua puluh tahun lebih yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan. Hek-i-mo telah dihancurkan oleh para pendekar, terutama oleh para pendekar Pulau Es.

Perkumpulan Hek-i-mo atau Hek-i Mo-pang sudah tidak ada, akan tetapi masih ada belasan orang anggauta yang dapat meloloskan diri, dipimpin oleh Tee Kok. Dia ini pernah menerima pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi langsung dari mendiang Hek-i Mo-ong, maka tentu saja ilmu silatnya cukup tinggi. Dan Tee Kok ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan lain yang diberi nama Ang-i Mo-pang dan semua anggautanya mengenakan pakaian seragam merah dan dia mengangkat diri menjadi ketuanya. Belasan tahun lamanya dia dan anak buahnya merajalela sampai pada suatu hari mereka berjumpa dengan Bi-kwi dan kalahkan oleh wanita cantik ini! Karena mereka itu segolongan maka ada kecocokan di antara mereka. Bi-kwi tidak membunuh mereka, bahkan meraih mereka menjadi teman dan anak buah.

Kini dua puluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang rentak bergerak mengepung, membantu Bi-kwi dan Tee Kok. Tentu saja Beng-san Siang-eng dan Hui Lan menjadi terkepung dan terdesak hebat. Mereka berada dalam keadaan gawat dan terancam sekali. Akan tetapi dengan semangat meluap-luap, guru dan murid ini melawan mati-matian dan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Lan dan dua orang gurunya itu, tiba-tiba terdengar suara suling melengking nyaring. Semua orang yang sedang berkelahi terkejut bukan main karena suara suling itu seperti menusuk telinga mereka dan langsung menyerang jantung sehingga jantung mereka terguncang. Bahkan beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah terpelanting jatuh dan mengeluh sambil menutupi kedua telinga mereka dengan tangan.

Beng-san Siang-eng dan Souw Hui Lan juga cepat meloncat ke belakang, lalu mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi jantung mereka. Tidak terkecuali Bi-kwi dan Tee Kok yang juga terkena serangan suara melengking itu sehingga merekapun terpaksa meloncat ke belakang dan menengok ke arah suara suling seperti yang dilakukan semua orang yang berada di situ. Kiranya yang mengeluarkan bunyi melengking menyakitkan jantung dan menusuk-nusuk anak telinga itu adalah Sim Houw. Pemuda itu kini sudah duduk bersila dan menyuling sambil memejamkan kedua matanya, mengerahkan khi-kang kuat sekali ke dalam tiupan sulingnya untuk membubarkan perkelahian yang tidak adil itu. Melihat suling berbentuk naga yang ditiup pemuda itu, Bi-kwi terkejut dan tak tertahan lagi ia berteriak,

“Suling Naga!”

Semua orang terkejut mendengar teriakan ini, termasuk Hui Lan dan dua orang gurunya. Merekapun memandang ke arah Sim Houw dengan perasaan tegang dan penuh keheranan. Mendengar teriakan ini, Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan membuka matanya lalu bangkit berdiri.

Suling itu masih dipegangnya, dipegang pada bagian ekor naga seperti kalau menyuling. Bi-kwi sudah dapat menekan guncangan hatinya. Ia melangkah maju menghampiri Sim Houw, pan-dang matanya tajam penuh selidik, wajahnya berseri karena ada rasa girang di dalam hatinya bahwa akhirnya ia dapat berhadapan dengan orang yang telah menerima Liong-siauw-kiam dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Suara suling yang menusuk telinga dan mengguncangkan jantungnya tadi dianggapnya sebagai keampuhan suling itu, bukan karena peniupnya yang memiliki kepandaian tinggi. Bi-kwi termasuk orang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan selalu meremehkan orang lain. Ia sudah mendapat gambaran yang jelas dari Sam Kwi tentang macamnya Pedang Suling Naga, maka melihat suling di tangan pemuda itu ia tidak merasa ragu lagi.

“Hemm, jadi engkau inikah yang berjuluk Pendekar Suling Naga? Engkaukah orangnya yang menerima suling pusaka itu dari tangan mendiang Pek-bin Lo-sian di Himalaya?”

Tanya Bi-kwi dengan suara lantang. Pertanyaan ini menarik perhatian semua orang yang berada di situ sehingga mereka semua seakan-akan telah lupa akan perkelahian tadi dan semua orang memandang kepada Sim Houw. Sim Houw mengamati suling di tangannya dan alisnya berkerut.

“Benar, akan tetapi tidak kusanga bahwa Pek-bin Lo-sian telah meninggal dunia.”

“Siapa namamu?”

Tiba-tiba Bi-kwi bertanya sambil menatap wajah yang tampan itu.

“Aku she Sim bernama Houw, dan secara kebetulan saja Pek-bin Lo-sian memberikan suling ini kepadaku dengan suka rela. Mengapa engkau mencari-cari aku?”

“Orang she Sim, dengarlah baik-baik. Lion siauw-kiam itu adalah milik nenek moyang tiga orang guruku yang dikenal dengan julukan Sam Kwi. Pek-bin Lo-sian adalah susiok-kongku sendiri. Orang tua yang tak tahu diri itu secara lancang telah memberikan pusaka keluarga perguruan guru-guruku kepada engkau, seorang asing. Karena itu, dia layak mati di tanganku. Sekarang, serahkan pusaka itu kembali kepadaku yang berhak memilikinya, dan baru aku akan mempertimbangkan apakah engkau harus dibunuh ataukah tidak.”

Diam-diam Sim Houw terkejut dan marah. Kiranya kakek itu telah dibunuh oleh wanita kejam itu dan tentu saja dia sudah mendengar tentang Sam Kwi. Justeru karena tidak ingin pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, murid-murid keponakan Pek-bin Lo-sian itu, maka kakek itu memberikan pusaka itu kepadanya dan berpesan agar dia berhati-hati menghadapi Sam Kwi. Sekarang murid dari Tiga Iblis itu telah muncul dan memang benar gadis ini memiliki kepandaian yang tinggi, belum lagi dua puluh empat orang pembantunya itu.

“Bi-kwi, julukanmu itu tepat sekali. Memang engkau cantik, akan tetapi watakmu seperti iblis yang kejam. Engkau Iblis Cantik bahkan telah membunuh susiok-couw sendiri. Pusaka ini diberikan kepadaku oleh mendiang Pek-bin Lo-sian memang dengan maksud agar jangan sampai terjatuh ke tangan Sam Kwi. Aku menerimanya dari Pek-bin Lo-sian dan hanya kakek itu seorang yang berhak memintanya dari tanganku. Baik engkau, maupun Sam Kwi tidak berhak.”

“Keparat, berani engkau menentang Bi-kwi?”

Bentak Bi-kwi dan pedang di tangannya tergetar sampai mengeluarkan suara berdengung.

“Ciong Siocia, biar kurebutkan pusaka itu untukmu!”

Teriak Tee Kok dan pria tinggi kurus bermuka pucat ini sudah menerjang maju, sepasang goloknya membuat gerakan bersilang, yang satu membacok ke arah pergelangan tangan Sim Houw yang memegang suling sedangkan yang ke dua menyambar ke arah pundak kiri pemuda itu. Sungguh merupakan serangan maut yang berbahaya, sekaligus hendak merampas suling dengan membacok tangan kanan lawan sambil berusaha membunuhnya!

Akan tetapi, Sim Houw kelihatan tenang saja menghadapi serangan maut ini. Dengan sedikit gerakan tubuh dan geseran kaki, dua serangan itu telah meluncur lewat dan mengenai tempat kosong, dan di detik berikutnya, ujung suling itu telah membalik di tangannya, kini yang dipegangnya adalah bagian kepala suling naga yang menjadi gagangnya dan kini ekor naga itu yang merupakan ujung mata pedang telah menusuk ke arah paha Tee Kok dengan kecepatan kilat. Tee Kok terkejut dan cepat menarik ka-kinya, akan tetapi pada saat itu, angin keras menyambar dan ternyata angin itu keluar dari lengan baju kiri Sim Houw yang sudah menyusulkan tamparan ke arah kepala lawan. Tee Kok mengelebatkan goloknya yang kanan untuk membacok tangan kiri lawan, akan tetapi kembali tangan itu mengelak dan melanjutkan serangan dengan totokan jari ke arah dada.

“Eh….!”

Tee Kok terkejut sekali. Demikian cepat gerakan lawan sehingga dalam segebrakan saja dia sudah dihujani serangan. Sebagai bekas murid mendiang Hek-I Mo-ong yang lihai tentu saja dia masih dapat menghindarkan diri diri totokan itu dengan cara meloncat ke belakang. Kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa yang dihadapinya adalah seorang lawan yang amat tangguh. Dia mengeluarkan suara menggereng dan kedua goloknya diputar-putar membentuk dua lingkaran sinar bergulung-gulung yang menyerang ke arah Sim Houw. Karena agaknya kini sadar akan kelihaian lawan, Tee Kok mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus ilmu sepasang goloknya yang paling ampuh. Untuk dapat merebut suling pusaka itu seperti yang dijanjikannya kepada Bi-kwi, dia harus terlebih dahulu dapat membunuh pemuda ini.

“Hemm,”

Sim Houw mengeluarkan seruan dari hidungnya dan tiba-tiba sulingnya itu mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup ketika dia memutarnya. Mendengar suara melengking tajam ini, entah bagaimana tahu-tahu dua gulungan sinar golok itu terhenti sebentar seperti tertahan sesuatu dan saat itu, ujung ekor suling naga telah meluncur dan menusuk ke arah Tee Kok, tepat di antara kedua matanya. Tee Kok mengeluh kaget dan sepasang goloknya bergerak ke depan untuk menangkis dan menggunting suling lawan, akan tetapi suling itu telah bergerak ke belakang dan pada saat yang sama, sebuah tendangan mengenai dada Tee Kok.

“Bukk!”

Tee Kok tidak melihat datangnya tendangan ini karena tadi matanya terancam tusukan pedang suling sehingga seluruh perhatiannya tercurah untuk menyelamatkan kedua matanya.

Kini tendangan itu mengenai dadanya yang sudah dilindungi dengan kekebalan, akan tetapi tetap saja tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Tee Kok merasa betapa tulang pinggulnya seperti remuk, akan terapi dia sudah dapat terus bergulingan seperti seekor trenggiling dan sudah meloncat bangun lagi dengan muka semakin pucat dan mata berapi-api. Tentu saja Hui Lan dan dua orang gurunya terkejut bukan main, terkejut dan penuh rasa kagum. Pemuda tukang suling yang tadinya mereka pandang rendah, mereka remehkan sebagai seorang pemuda lemah, ternyata dalam dua tiga gebrakan saja mampu menendang jatuh Tee Kok yang tadi dirasakan sebagai lawan yang amat tangguh oleh Hui Lan. Gadis ini teringat betapa tadi ia pernah mendorong Sim Houw sampai terguling-guling dan teringat akan hal itu, mukanya berobah merah sekali.

Tahulah ia kini bahwa tadi Sim Houw hanya berpura-pura saja dan baru sekarang terpaksa pemuda itu memperkenalkan diri hanya karena melihat ia dan dua orang gurunya tadi terancam bahaya maut. Sementara itu, melihat mereka berkelahi dalam dua tiga gebrakan saja dan melihat pembantunya tertendang roboh, Bi-kwi juga terkejut. Baru terbuka matanya bahwa pemuda yang menerima benda pusaka itu, yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga, ternyata adalah seorang yang amat lihai. Ia mengenal tingkat kepandaian Tee Kok yang pernah dikalahkannya itu. Cukup tangguh. Ia serdiri baru akan mampu mengalahkan Tee Kok setelah bertanding sedikitnya lima puluh jurus. Akan tetapi pemuda ini dalam tiga gebrakan saja sudah mampu membuat pembantunya itu terjatuh.

“Kembalikan Liong-siauw-kiam kepadaku!”

Bentaknya dan Bwi-kwi juga menerjang ke depan, menyerang Sim Houw untuk membantu Tee Kok yang sudah siap pula dengan sepasang goloknya. Melihat betapa Bi-kwi yang diandalkan itu maju, besarlah hati Tee Kok dan diapun sudah maju lagi, memutar sepasang goloknya mengeroyok Sim Houw. Akan tetapi tiba-tiba badan pemuda itu lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang terbungkus gulungan sinar hitam dari sulingnya. Dan dari dalam gulungan sinar itu muncul suara berdengung-dengung dan melengking-lengking yang membuat dua orang pengeroyoknya terpaksa harus mengerahkan sin-kang,

Kalau tidak mau roboh oleh serangan suara mujijat itu. Terjadilah perkelahian yang amat menarik. Hui Lan dan dua orang gurunya terbelalak penuh kagum dan ketegangan. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu sedemikian lihainya sehingga akan mampu menghadapi pengeroyokan dua orang tangguh itu. Padahal tadi, dikeroyok oleh Beng-san Siang-eng saja, Bi-kwi dapat menandinginya tanpa merasa kewalahan. Dan ini, wanita sakti itu bersama pembantunya yang lihai pula, mengeroyok Sim Houw! Begitu Bi-kwi memasuki gelanggang perkelahian, Sim Houw terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya. Suara sulingnya semakin dahsyat, gerakannya semakin cepat dan tiba-tiba terdengar suara nyaring ketika suling itu menghantam pedang Bi-kwi dilanjutkan dengan menangkis sepasang golok Tee Kok.

Suara nyaring itu disusul teriakan kaget dua orang pengeroyok itu dan Semua orang yang melihat perkelahian itu menjadi terheran-heran melihat betapa Bi-kwi terhuyung ke belakang sampai lima langkah sedangkan Tee Kok untuk kedua kalinya terjengkang dan terbanting keras! Padahal, perkelahian itu baru berlangsung paling banyak limabelas jurus saja. Hampir berbareng, Bi-kwi dan Tee Kok mengeluarkan seruan rahasia dan dua puluh tiga orang anak buah Tee Kok itu serentak maju mengeroyok, dipimpin oleh Bi-kwi dan Tee Kok yang sudah menyerang lagi. Sepasang saudara kembar Gak saling pandang dengan penuh keheranan. Baru sekarang ini mereka menyaksikan kepandaian yang demikian hebatnya seperti yang dimiliki pemuda itu. Akan tetapi melihat betapa kini semua anak buah pasukan baju merah itu maju mengeroyok, mereka menjadi marah.

“Manusia-manusia curang!”

Bentak Gak Kong dan bersama adik kembarnya diapun menerjang ke depan, diikuti pula oleh Souw Hui Lan. Mereka bertiga mengamuk di antara dua puluh tiga orang anak buah Ang-i Mo-pang sehingga mereka tidak memperoleh kesempatan mengeroyok Sim Hou yang sudah dikeroyok lagi oleh Bi-kwi dan Tee Kok.

Belasan di antara dua puluh tiga anggauta Ang-i Mo-pang itu adalah bekas anak buah Hek-i Mo-pang yang sudah biasa berkelahi, banyak pengalaman, lihai dan kejam. Akan tetapi kini mereka diamuk oleh tiga orang ahli silat keturunan keluarga Pulau Es, maka rusaklah pertahanan mereka dan mereka dibikin kocar-kacir oleh tiga batang pedang yang bergerak cepat dan amat kuat itu. Dalam waktu tidak terlalu lama, sudah ada beberapa orang di antara mereka roboh dan terluka, bahkan ada pula yang tewas. Sementara itu, karena tidak memperoleh bantuan anak buahnya yang diamuk Hui Lan dan dua orang gurunya, Bi-kwi dan Tee Kok kembali terdesak hebat oleh pedang suling di tangan Sim Houw. Untung bagi mereka bahwa pemuda ini adalah seorang pen-dekar yang berhati lembut sehingga tidak tega untuk membunuh dua orang yang sebetulnya bukan musuhnya itu.

Dia hanya mempermainkan mereka dengan pukulan-pukulan suling yang tidak sampai membuat mereka terluka parah atau sampai tewas. Kini Bi-kwi melihat jelas bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, ia akan menderita kekalahan, terluka parah atau mungkin juga akan tewas. Ia tidak perduli apa yang akan terjadi dengan para pembantunya. Orang seperti Bi-kwi ini tidak pernah memusingkan keadaan orang lain. Yang terpenting adalah dirinya sendiri. Kalau ia selamat, masa bodoh dengan orang lain. Maka, gadis yang cerdik ini segera mengambil keputusan sebelum terlambat. Pedang suling di tangan Sim Houw sungguh hebat bukan main. Gerakannya aneh dan dahsyat, mengandung tenaga mujijat dan terutama sekali suara melengking-lengking dan mengaum-ngaum itu membingungkan hatinya.

“Aku pergi dulu! Lain waktu masih banyak kesempatan untuk membunuh Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pusaka itu!”

Setelah berkata demikian, wanita itu meloncat jauh ke kiri dan melarikan diri lenyap di antara pohon-pohon. Melihat ini, Tee Kok terkejut bukan main. Kekagetannya membuat dia lengah dan sebuah tendangan mengenai pahanya dan sinar hitam menyentuh pundaknya. Tubuhnya terpental dan dia roboh terbanting, lalu bangkit lagi dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.

“Kita pergi….!”

Dia sendiri lalu terpincang-pincang melarikan diri. Golok kirinya lenyap dan lengan kirinya sengkleh (lumpuh terkulai) karena tulang pundaknya retak-retak terkena pukulan suling. Anak buahnya yang sejak tadi memang sudah merasa gentar menghadapi amukan gadis dan dua orang gurunya itu, begitu mendapatkan aba-aba, cepat menyambar tubuh teman yang luka atau tewas, berbondong-bondong melarikan diri dari tempat itu. Sim Houw, Hui Lan, dan Beng-san Siang-eng hanya memandang saja dan tidak melakukan pengejaran. Sedikitnya ada enam orang pengeroyok yang tewas dan banyak yang luka-luka. Setelah semua penyerbu itu lenyap dari pandangan dan tidak terdengar suara mereka lagi, barulah dua orang saudara kembar itu menghadapi Sim Houw dan menjura dengan sikap hormat.

“Ah, kiranya engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Terima kasih atas pertolongan Sim-taihiap kepada kami bertiga….”

Sim Houw cepat-cepat memberi hormat.

“Ah, ji-wi locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Mereka itu memang mengejar dan mencari saya. Ketika tadi aku dikeroyok, bahkan sam-wi yang telah membantu saya. Maaf kalau saya bersikap kurang hormat kepada ji-wi locianpwe yang ternyata adalah keluarga para pendekar Pulau Es yang saya kagumi dan hormati.”

“Sim-taihiap terlalu merendahkan diri. Ilmu silatmu sungguh membuat kami merasa kagum sekali. Gerakan pedang suling yang seperti amukan naga itu sungguh dahsyat dan juga lengkingan suara suling itu benar-benar merupakan kekuatan khi-kang yang sudah mencapai puncaknya. Kemahiranmu bermain suling mengingatkan kami akan seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Suling Emas Kam Hong. Hanya dialah yang kabarnya memiliki khi-kang seperti yang telah kau perlihatkan tadi.”

“Dia adalah guru saya.”

“Ah, pantas! Dan gerakan ilmu pedangmu yang seperti naga mengamuk itu mengingatkan kami akan cerita orang tentang Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hanya dimiliki oleh pendekar Sim Hong Bu dari Lembah Gunung Naga Siluman….”

“Dia adalah mendiang ayah saya.”

Dua orang saudara kembar itu menjadi girang sekali.

“Kiranya begitu? Ah, kalau begitu di antara kita terdapat hubungan yang cukup erat. Bukankah engkau mengenal baik anak paman-paman kami, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong?”

Sim Houw tersenyum dan mengangguk. Tentu saja! Bahkan wanita yang kini menjadi isteri pendekar Suma Ceng Liong, yaitu Kam Bi Eng, pernah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya. Akan tetapi Bi Eng mencinta Ceng Liong dan melihat kenyataan ini, dengan hati rela dia mundur, sesuai dengan anjuran mendiang ayahnya yang bijaksana.